• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alelopati pada Jahe (Zingiber offinale rosc)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Alelopati pada Jahe (Zingiber offinale rosc)"

Copied!
204
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)
(86)
(87)
(88)
(89)
(90)
(91)
(92)
(93)
(94)
(95)
(96)
(97)
(98)
(99)
(100)
(101)
(102)
(103)
(104)
(105)
(106)
(107)
(108)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jahe ( Z i n g i b e r officinale Rosc) mendapat perhatian karena meningkatnya permintaan ekspor. Mengutip data Biro Pusat Statistik, Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN) Departemen Perdagangan Republik Indonesia mencatat ekspor berbagai produk jahe ( jahe segar

,

jahe kering

,

jahe olah- an) terus meningkat. Tabel 1 memperlihatkan perkembangan ekspor jahe dalam jangka waktu I1 tahun (1981-1991) seba- gai berikut : [image:108.509.39.447.32.571.2] [image:108.509.41.444.35.586.2]

Tabel 1. Perkembangan ekspor jahe tahun 1981-1991 (BPEN, 1992).

...

Tahun Volume (ton) Nilai ( S U S )

...

Dilihat dari nilai ekspor jahe dunia, maka nilai ekspor j ahe Indonesia pada tahun 19 9 0 hanya mencapai 6.69 persen. Angka ini walaupun masih kecil, namun telah menunjukkan kemajuan ekspor jahe Indonesia. Pada tahun-

(109)

2

Indonesia adalah : 0.33, 1.06, 0.79 dan 1.14 %. Masih kecilnya pangsa pasar ekspor jahe yang dapat diraih Indo- nesia, dapat menjadi petunjuk antara lain masih kurang tersedianya produk jahe siap ekspor.

Upaya meningkatkan produksi jahe untuk ekspor, dapat dilakukan dengan memperluas areal tanam, dengan membuka areal baru atau dengan meningkatkan intensitas pemanfaatan lahan melalui penerapan pola tanam beruntun. Hasil pene- litian Wiroatmodjo (1990) pada tanaman jahe varitas Badak,

menunjukkan bahwa persyaratan produk jahe ekspor, khusus- nya yang tidak berserat, dapat dicapai apabila tanaman dipanen paling lambat pada umur 4 bulan. Pada umur tanam- an lebih dari 4 bulan, kadar serat rimpang rneningkat, dan

peningkatan yang tajam terjadi mulai umur 6 bulan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada peluang untuk memanfaatkan lahan lebih dari satu kali dalam seta- hun untuk tanaman jahe dengan pola tanam beruntun. Inten- sitas pemanfaatan lahan yang meningkat, sangat berarti bagi upaya untuk menjamin penyediaan produk tanaman jahe secara teratur dan berkesinambunqan, khususnya dalam keadaan lahan terbatas. Tetapi apakah jahe dapat ditanam atau diusahakan secara beruntun pada sebidang lahan yang tetap dengan produktivitas yang relatip stabil, masih perlu dipelajari.

Kegagalan atau kehilangan hasil tanaman dalam pols

(110)

3

dilaporkan oleh Young dan Chen (1989) terjadi pada tanaman asparagus (Asparagus officinalis). Pola tanam beruntun, atau pola tanam dengan jenis tanaman yang sama secara berturut-turut pada sebidang lahan yang tetap, sering dilihat sebaqai pola tanam yanq cenderung menurunkan produktivitas lahan. Seminar Internasional tentang kehi- langan hasil tanaman pada penanaman terus menerus yang dilakukan di Suweon-Korea tahun 1989 (Food & Fertilizer Technologi Center, 1989) merumuskan bahwa penyebab kehi- langan hasil pada pola tanam beruntun adalah sangat rumit dan belum sepenuhnya dipahami. Di antaranya adalah kesu- buran tanah yanq menurun atau ketersediaan hara yang tidak seimbang, perubahan kemasaman tanah (pH) dan struktur tanah, berkembangnya populasi patogen spesifik dan serang- ga hama, serta pengaruh fitotoksik dari tanaman yang mendahului.

Tanaman jahe tidak biasanya diusahakan secara berun- tun. Walaupun di India penanaman jahe dilakukan secara be- runtun dengan selang waktu 3-4 bulan setelah panen perta- naman pertama umur 8-9 bulan (Douglas, 1973), namun menu- rut Aycardo (1979), tanaman jahe tidak dianjurkan untuk ditanam secara beruntun, dengan alasan penyakit tanaman dan berkurangnya hara N dan K. Jahe mengabsorbsi N dan K

(111)

4

dengan pemupukan Urea 800 kg/ha, P205 600 kg/ha, dan K ~ O

500 kg/ha, menunjukkan bahwa hasil jahe (dalam bobot rimpang basah) pertanaman kedua yang ditanam dengan selang waktu satu bulan setelah panen pertanaman pertama umur 4 bulan, turun sebesar 65-75 %. Penelitian ini belum memberi petunjuk tentang penyebab kehilangan hasil terse- but. Kerusakan atau kematian tanaman oleh hama atau penyakit tanaman tidak dilaporkan sebagai faktor penyebab turunnya hasil itu. Perlakuan dan kualitas bibit yang digunakan untuk pertanaman kedua relatif tidak berbeda dengan bibit yang digunakan untuk pertanaman pertama. Demikian juga dengan pemupukan dan pemberian air. Atas dasar pengamatan itu, diduga ada faktor lain selain hama, penyakit, dan unsur hara yang menyebabkan turunnya hasil jahe pertanaman kedua dalam pola tanam beruntun. Dari hasil analisis lanjut data Handono (1989) tersebut, Wiroatmodjo (1992) manunjukkan adanya perbedaan tangen (slone) kurva respon bobot kering (log) hasil tanaman terhadap populasi tanaman (log) dari pertanaman pertama dan kedua. Tangen kurva respon pertanaman kedua lebih kecil dari pertanaman pertama. Gejala ini oleh Weidenham- er, Hartnett dan Romeo (1989) disebutkan sebagai pertanda adanya peng-aruh fitotoksin. Oleh karena itu, Wiroatmodjo (1992) melihat kemungkinan berperannya faktor alelopati dalam kehilangan hasil pertanaman kedua pada pola tanam

(112)

5

nyata bahwa residu rimpang jahe tidak mempenqaruhi pertum- buhan dan hasil jahe.

Kasus alelopati pada jahe sampai sejauh ini belum dilaporkan. Hasil analisis komposisi minyak esensial rimpang jahe segar yang dilakukan oleh Sakamura (1987) menunjukkan bahwa minyak esensial yang ada dalam rimpang segar umur 3 dan 7 bulan, adalah dari kelompok terpenoid, khususnya monoterpen dan sesquiterpen. Pada kelompok monoterpen, terdapat antara lain senyawa-senyawa a-pinene, A -pinene, camphene, dan 1.8-cineole. Pada kelompok ses- quiterpen ada A-bisabolene. Dari hasil-hasil penelitian berbagai sumber yang dikumpulkan oleh Rice ( 1 9 7 4 ) , telah terbukti bahwa senyawa-senyawa camphene, cineole, a-pinene dan A-pinene adalah zat penghambat yang dapat menguap

(volatills

. . .

) yang dihasilkan oleh Selvia leu- cophylla, S. apiana, dan S. mellifera. Selain itu telah terbukti juga bahwa cineole, a-pinene, A-pinene, adalah zat penghambat yang dihasilkan oleh Eucalyptus camaldulen- sis. Cineole dan a-pinene adalah terpenting dalam akti- vitas alelopatik dari spesis tumbuhan ini karena diad- sorbsi oleh tanah dalam jumlah yang cukup nyata. Senyawa bisabolene dibuktikan sebagai zat penghambat yang dihasil- kan oleh Artemisia absinthina.
(113)

6

(1987), dan hasil penelitian Wiroatmodjo (1992), maka diduga tanaman jahe dapat melepaskan senyawa-senyawa yang potensial untuk bersifat alelopatik ke lingkungannya, dan berpengaruh terhadap hasil tanaman jahe yang ditanam sebagai pertanaman kedua dalam pola tanam beruntun. Apabila pengaruh alelopati itu nyata, maka perlu penye- suaian komponen tehnologi dalam pola tanam jahe beruntun, serta penyesuaian dalam pola tanam yang memasukkan jahe sebagai salah satu komponen tanaman.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakuRan dengan tujuan :

I. Membuktikan terjadinya kehilangan hasil pada per- tanaman jahe kedua dalam pola tanam beruntun.

2. Menetapkan besarnya kehilangan hasil pertanaman kedua

.

3. Membuktikan bahwa faktor alelopati berpengaruh da- lam kehilangan hasil jahe tersebut.

4 . Menentukan saat tanam pertanaman jahe kedua dalam

pola tanam beruntun, sebaqai upaya memperkecil kehilangan hasil oleh faktor alelopati

.

Hipotesis

(114)

ditanam sebagai pertanaman kedua dalam pola tanam berun- tun.

2 . Faktor alelopati berpengaruh dalam kehilangan ha- sil tersebut.

(115)

TtNJAUAN PUSTAKA

Pemahaman Tentanq Arti Alelopati

Adanya senyawa toksik yang dilepaskan ke dalam tanah oleh akar tumbuhan dan mempengaruhi tumbuhan lain dalam spesis yang sama atau berbeda, telah lama diamati dan dilaporkan, antara lain oleh Plank pada tahun 1795 (Bor- ner, 1960). Hal tersebut dikenal sebagai teori toksik yang digunakan untuk menjelaskan masalah tanah b e r m a s a l w s a k i t

(m

sickness) atau infertilitas tanah. Pada tahun 1937, Molisch menggunakan istilah alelopati pada publikasinya tentang pengaruh suatu tumbuhan terhadap tumbuhan lainnya.
(116)

9

dan Jaag pada tahun 1946, digunakan untuk senyawa yang dihasilkan oleh mikro organisme dan efektip untuk tumbuhan tingkat tinggi. Sedang untuk senyawa yang dihasilkan oleh tumbuhan tingkat tinggi dan efektip untuk tumbuhan tingkat tinggi Grummer mengajukan istilah koline, namun Rademacher pada tahun 1957 menggunakan istilah alelopati. Tukey (1969). Whittaker dan Feeny (1971), menggunakan istilah alelopati untuk interaksi biokimia yang melibatkan senyawa yang dilepas oleh suatu tumbuhan yang berpengaruh negatip terhadap tumbuhan yang lain. Apabila Nolisch menggunakan istilah alelopati untuk menyatakan interaksi biokimia yang saling merugikan maupun yang saling menguntungkan, maka bertolak dari arti kata alelopati yang berasal dari kata Yunani yang berarti saling merugikan

all el^

= satu dengan yang lain,

each

other, pathos = menderita, sufferinq), Rice (1974) serta Young dan Chen (1989) menggunakan istilah alelopati untuk interaksi biokimia yang merugikan. Fuerst dan Putnam (1983) menggunakan istilah p h v t ~ inhi

-

bitin untuk senyawa toksik yang dihasilkan oleh jaringan

.

. . .

(117)

10

yang di dalamnya senyawa kimia yang dilepaskan oleh suatu tumbuhan ke lingkungannya, potensial berpengaruh negatip terhadap tumbuhan lainnya dalam suatu spesis atau dalam spesis berbeda yang tluabuh atau ditanam bersamaan atau yang ditanam kemudian.

Ada peneliti-peneliti yang memasukkan interaksi ale- lopati ini sebagai salah satu bentuk dari kompetisi (Rice, 1974 ; Sunarwidi, 1982). Secara umum diketahui bahwa kompetisi adalah suatu mekanisme dimana suatu tanaman mengambil sejumlah faktor esensial seperti hara, air, dan cahaya sampai pada taraf dimana faktor-faktor tersebut menjadi sangat terbatas untuk pertumbuhan tumbuhan yang lain pada lahan yang sama. Berdasarkan pengertian istilah kompetisi seperti ini, maka alelopati bukan suatu bentuk kompetisi.

Alasan memasukkan alelopati sebagai suatu bentuk kom- petisi bertolak dari difinisi Schreiber yang diajukan pada tahun 1967 (Sunarwidi, 1982) tentang kompetisi yang menya- takan bahwa kompetisi itu merupakan pengaruh faktor ling- kungan yang termodifikasi oleh suatu tumbuhan, terhadap tumbuhan yang lain. Dengan adanya pemahaman tentang alelopati dan kompetisi seperti itu, maka Rice (1974) mendukung penggunaan istilah interferensi dari Huller

(118)

11

Senyawa Alelopati dan Pelepasannya

Suatu jenis senyawa alelopatik, tidak selalu bersifat toksik untuk semua jenis tumbuhan. Sebagai contoh, asam trans-sinamat yang tetcuci dari daun-daun Partheniurn argentaturn, sangat toksik bagi pertumbuhan akar tumbuhan itu sendiri sehingga menghambat pertumbuhan lanjut dari tumbuhan tersebut, namun tidak berpengaruh pada tomat (Rovira, 1969; Tukey, 1969). Contoh lain yaitu hasil penelitian dari Leela (1985) yang menunjukkan bahwa hasil pencucian (leachate) daun dan biji Acantospermvm hispidurn DC, menghambat pertumbuhan pucuk (shoot) dari ruskmelon dan areenaram, namun tidak berpengaruh pada pertumbuhan pucuk french beans.

Senyawa alelopatik dapat ditemukan pada semua bagian atau organ tumbuhan. Moreland dan Novitzky (1987) mela- porkan adanya 3 jenis flavonoid yaitu quercetin, luteolin, dan taxifolin, pada daun, kulit, kayu, biji, dan bunga dari tumbuhan berpembuluh. Namun kandungan senyawa alelo- patik pada organ-organ tumbuhan itu berbeda (Qasem dan Abu-Irmaileh, 1985).

Senyawa organik yang berperan sebagai penghambat

(in-

hibitor) sangat beragam. Menurut Whittaker dan Feeny
(119)

dikemukakan hal-ha1 berikut :

(120)

1 3

jelas golongannya.

Senyawa alelopatik yang terdapat dalam tanah, dapat terbentuk dari senyawa alelopatik yang dilepaskan oleh tumbuhan. Hal tersebut dibuktikan oleh Borner (1960). Senyawa phlorizin, adalah senyawa yang terdapat dalam kulit akar tumbuhan apel, dan telah terbukti bersifat alelopatik bagi tumbuhan apel itu sendiri, yaitu mempe- ngaruhi pertumbuhan akar dan batang. Di dalam tanah, senyawa ini diuraikan oleh mikro organisme, Dari peng- uraian ini diperoleh senyawa-senyawa phloretin, asam p- hydroxyhydrocinamat, asam p-hydroxybenzoat, dan phloroglu- cinol. Dalam pengujian lanjut terbukti bahwa senyawa phloroqlucinol dan senyawa-senyawa yang lain menghambat pertuarbuhan akar. Hambatan terhadap pertumbuhan batang hanya terjadi oleh senyawa-senyawa phlorezin dan phlore- tin. Dengan adanya senyawa-senyawa lain yang juga bersi- fat toksik selain phlorizin, maka hambatan terhadap per- tumbuhan bertambah. Borner (1960) juga mencatat dari penelitian Patrick pada tahun 1955 bahwa dari senyawa non-

(121)

14

Senyawa-senyawa metabolik yang berpotensi sebagai

alelopatik, lepas dari tanaman ke lingkungannya melalui

beberapa cara. Untuk senyawa-senyawa yang mudah menguap,

seperti senyawa terpenoid (canphene, pinene), pelepasannya

berlangsung melalui penguapan. Daun dan bagian-bagian

lain dari turnbuhan dapat jatuh ke tanah kemudian mengalami

dekomposisi. Dari proses ini dilepaskan berbagai senyawa

metabolik termasuk senyawa-senyawa yang berpotensi sebagai

senyawa alelopatik. Senyawa-senyawa ini dapat secara

langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap tumbuhan

yang lain yang berada disekitarnya atau yang ditanam

kemudian. Pengaruh yang tidak langsung terjadi karena

berlangsungnya dekomposisi lanjut dari senyawa-senyawa

tersebut menjadi produk yang lain dari pada produk awal,

yang dapat mengganggu pertumbuhan tumbuhan yang lain.

Senyawa metabolik dapat juga lepas dari jaringan tumbuhan

melalui eksudasi pada berbagai organ tumbuhan. Senyawa

yang dieksudasi oleh organ-organ tumbuhan di atas tanah

dapat tercuci oleh adanya hujan atau embun dan jatuh ke

tanah, sedang pada eksudasi akar senyawa metabolik lang-

sung lepas ke tanah. Eksudasi akar ini berlangsung pada

akar tumbuhan yanq utuh dan pada semua bagian akar, dengan

proporsi terbesar pada bagian ujung akar. Pada kondisi

pertumbuhan normal, menurut Tang dan Young (1982), eksuda-

si akar merupakan mekanisme utama pelepasan senyawa meta-

(122)

15

Dengan mengambil contoh suatu hasil penelitian yang menemukan bahwa siklus basah dan kering menyebabkan pelepasan asam amino yang lebih banyak daripada yang biasa terjadi pada kondisi kelembaban tanah yang tetap, Woods

(1961) menyatakan bahwa jumlah material yang disksudasikan adalah fungsi dari keadaan lingkungan. Dari hasil-hasil penelitian berbagai sumber, Rovira (1969). Hale dan Moore (1979) mencatat berbagai pengaruh lingkungan terhadap senyawa penghambat yang dihasilkan oleh tumbuhan. Faktor- faktor tersebut adalah : radiasi (kualitas, intensitas, dan panjang hari), defisiensi hara (B,Ca, Mg, N, P, K,S),

stres air, suhu. Umur organ tumbuhan ternyata juqa mem- pengaruhi senyawa penqhambat yang dihasilkan.

Pengaruh Senyawa Alelopatik

(123)

16

respirasi, dan kegiatan-kegiatan yang berlangsung oleh adanya ensim. Lovett dan Potts (1987) melakukan peneli- tian dengan tujuan mempelajari pengaruh primer dari senya- wa alelopatik Datura stramonium (L) yaitu scopolamine. Senyawa ini terdapat pada hasil pencucian biji dan daun bersama-sama dengan hyociamine, dan terbukti bersifat toksik untuk sejumlah spesis tumbuhan. Dari beberapa penelitian sebelumnya telah dilaporkan bahwa pengaruh sekunder dari senyawa alelopatik Datura stramonium (L)

(124)

peneliti-peneliti ini, hambatan terhadap pertumbuhan ke- cambah, dapat dipandang sebagai pengaruh tertier, hambatan terhadap metabolisme makanan cadangan sebagai pengaruh sekunder, dan penyebab hambatan terhadap metabolisme makanan cadangan ini sebagai pengaruh primer.

Selain pengaruh terhadap perkecambahan benih (Leela, 1985), pengaruh senyawa alelopatik terhadap pertumbuhan dapat terlihat pada luas daun, dan pada laju pertambahan luas daun. Hal ini dibuktikan oleh Blum, Weed, dan Dalton ( 1987 ) pada tanaman Cuculnis s a t i v u s yang mendapat perla- kuan asam ferulat. Avers dan Goodwin (1956) yang melaku- kan penelitian tentang penqaruh coumarin dan scopoletin terhadap pola pertumbuhan akar Phleum pratense, membukti- kan bahwa senyawa fenolat yaitu coumarin dan scopoletin menghambat pembelahan sel.

Pengaruh senyawa alelopatik terhadap pertumbuhan ta- naman, yang dinilai dari bobot basah atau bobot kering, dapat terjadi lewat pengaruhnya terhadap akumulasi bobot kering tanaman (Qasem dan Hill, 1989b). Hasil pencucian akar Cenepodium album mempengaruhi bobot basah dan baht

kerinq pucuk tomat, serta akumulasi W , P, K, Ca, dan Mg pada pucuk tomat, namun jumlah hara-hara tersebut di bagian akar tidak terpengaruh. Pengaruh senyawa alelopa- tik terhadap hara tanaman, dilaporkan juga oleh peneliti- peneliti yang lain. Glass (1973) melaporkan bahwa absorb- si P oleh akar

-

(Hordeum vulgare L )
(125)

18 12 derivat asam benzoat dan asam cinamat yang diuji. Terhambatnya absorbsi P oleh asam ferulat dilaporkan oleh McClure, Gross, dan Jackson (1978) terjadi juga pada kedelai. Absorbsi K oleh akar Avena sativa (L) terhambat oleh asam ferulat dan salisilat (Harper dan Balke, 1981), dan oleh derivat asam benzoat dan asam cinamat pada Hor- d e u m vulgare (Glass, 1974). Asam ferulat selain mempe- ngaruhi absorbsi P, dilaporkan juga mempengaruhi konsen- trasi K dan Mg pada akar, dan konsentrasi Fe pada pucuk kecambah Sorghum bicolor (L) Moench (Kobza, dan Einhellig, 1987). Hasil penelitian Glass dan Dunlop (1974) membukti- kan bahwa senyawa fenolat (derivat asam benzoat) berpenga- ruh langsung pada membran sel. Hasil penelitian ini men- mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa pengaruh senya- wa-senyawa ini terhadap absorbsi ion, berlangsung karena pengaruhnya terhadap permeabilitas dinding sel, yaitu meningkatnya permeabilitas membran terhadap ion-ion anor- ganik.

D a r i penelitiannya tentang pengaruh senyawa alelopa- tik terhadap pertumbuhan dan tanqqap fisiologi dari kede- lai ( G l y c i n e max), Patterson (1981) membuktikan bahwa asam-asam fenolat seperti cafeat,chloroqenat, t-cinamat, p-coumarat, ferulat, galat, p-hydroxybenzaldehyde, 5 -

(126)

19 stomata tembakau dan bunga matahari (Einhellig dan Kuan, 1971), kandungan klorofil (Alsaadawi, Al-Hadithy, dan Arif, 1986; Einhellig dan Rasmussen, 1979; Anita Kumari dan Kohli, 1987). dan sintesis protein (Cameron dan Ju- lian, 1980). Asam vanilat dan asam t-cinamat pada konsen- trasi M dan lama perlakuan 6 jam, mempengaruhi poten- sial air pada daun trifoliat pertama dari kedelai (Patter- son, 1981). Kaempferol dilaporkan hambat fotofosforilasi (Arntzen, Falkenthal, dan Bobick, 1974; Tissut, Chevalli- er. dan Douce, 1980).

Morefand dan Novitzky (1987) yang melakukan peneliti- an untuk melihat pengaruh luteolin, quercetin, dan taxifo- lin pada transport elektron dan fotofosforilasi, mendapat- kan bahwa luteolin hambat transport elektron (couoled dan un-couoled) dan fosforilasi pada thylakoid dari Spinacia

01 eraceae ( L )

.

Hambatan terhadap transport elektron (couuled) dapat terjadi secara tidak langsung dari penga- ruh terhadap lintasan fosforilasi (hambatan transfer energi) atau secara langsung terhadap komponen lintasan transfer elektron. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa yang paling sensitip dipengaruhi oleh luteolin adalah komponen dari lintasan yang menghasilkan ATP (hambatan transfer energi). Hambatan terhadap transfer energi ini terjadi lewat hambatannya terhadap 1 4 g Z + - ~ ~ p a s e dan c~'+-ATP~s~ yang aktip oleh adanya cahaya (J..j&&
(127)

20

elektron (hambatan transport elektron), lebih lemah dari- pada hambatan terhadap transfer energi. Apabila psngaruh pada lintasan penghasil ATP (hambatan transfer energi) diredam atau dihilangkan (dalam percobaan ini digunakan suatu yn

-

counley ) maka luteolin menghambat transport elektron. Hambatan terhadap transport elektron juga menjadi nyata pada konsentrasi luteolin yang tinggi. Selain itu ditemukan juga, dalam ha1 halabatan terhadap transport elektron, luteolin, quercetin, dan taxifolin, tidak mempengaruhi PS I. Luteolin dan quercetin mempeng- aruhi PS XI-complex. Peran luteolin dan quercetin dalam menghambat transport elektron, yaitu pada fungsi dari QB- complex (akseptor elektron sekunder).

Ensim juga nyata dipengaruhi oleh senyawa alelopatik. Dari penelitian Risvi, Risvi, dan Mukerjee (1987) tentang cara kerja (mode

ef

action) senyawa 1,3,7- trimethylxanthine, yaitu suatu senyawa alelopatik dari bi ji Coff ea arabica, diketahui bahwa 1,3,7-T itu menekan aktivitas ensim amilase yang menghidrolisis pati pada perkecambahan benih Amaranthus spinosus. Hambatan terha- dap aktivitas ensim amilase ini terbukti bukan karena pengaruh 1,3,7-T terhadap sifat katalitik dari ensim tersebut, tetapi terhadap biosintesisnya.

Pengaruh senyawa alelopatik terhadap aktivitas hor- mon, antara lain dilaporkan oleh Tomaszewski dan Thimann

(128)

21 pertumbuhan yang diinduksi oleh I A A dengan mencegah terja- dinya decarboxylasi IAA, sebaliknya senyawa monofenol menstinulasi decarboxylasi IAA pada saat monofenol ini menekan pertumbuhan.

Metode Penelitian Alelopati

Metode yang sesuai untuk menunjukkan atau membuktikan secara jelas dan pasti tentang interferensi alelopatik menurut Dekker, Meggit, dan Putnam (1983) belum ditemukan. walaupun telah banyak tehnik dan rancangan percobaan untuk membuktikan alelopati yang telah dikembangkan. Masaaahnya adalah kesulitan untuk memisah-misahkan komponen alelopati dari komponen-komponen interferensi lainnya, dalam suatu percobaan (Dekker,

d,

1983; Weidenhammer, &

d,

1989).

Tehnik-tehnik percobaan yang sudah digunakan dalam pembuktian alelopati yaitu : pembuktian dengan menggunakan ekstraksi jaringan tumbuhan (Tang, Wat, dan Towers, 1987). material hasil pencucian atau perendaman (Leachate) ja- ringan tumbuhan (Leela, 1985), material jaringan tumbuhan yang dihamparkan di atas tanah atau dicampur dengan tanah (Eussen dan Soerjani, 1976). material eksudat akar (Tang dan Young, 1982; Sunarwidi, 1982), material ekstraksi tanah di daerah perakaran (Young dan Chen, 1989), dan percobaan lapang dengan berbagai rancangannya.

(129)

tentang alelopati pada alang-alang (Imperata cylindrica L Beauv) dengan cara sebagai berikut : uji perkecambahan

(bioassay) benih berbagai tumbuhan antara lain Zea mays, Sorghum vulgare, Oryza sativa, Cucumis sativus, Lycopersi- cum esculentum, dengan menggunakan ekstraksi daun segar dan daun kering. Ekstraksi dilakukan dengan mengaduk (blendinq) 10 g daun dengan air destilasi 400 ml selama 5 menit. Selain percobaan ini, juga dilakukan percobaan lainnya dengan perlakuan menutup permukaan tanah dengan daun segar alang-alang, mencampur daun alang-alang dengan tanah, dan mencampur daun alang-alang kering yang telah digiling dengan tanah. Sebaqai tanaman indikator untuk percobaan ini digunakan mentinun (Cucumis sativus) yang ditanam dalam pot kapasitas 1 kg tanah.

(130)

2 3 alang, digunakan pasir. Pot yang ditanami bibit cacao dihubungkan ke pot yang ditanami alang-alang dengan pipa. Kedua pot ini ditempatkan pada ketinggian yang berbeda. Pot yang berisi alang-alang ditempatkan pada bagian atas, dan yang berisi bibit cacao pada bagian bawah. Pengaturan seperti ini disebutkan sehagai pengaturan stair

-

step (sfair steD

-

v e n t)

.

Dengan pengaturan seperti ini diharapkan eksudat akar yang dilepaskan oleh alang-alang akan tercuci dan tertampung pada pot di bawahnya yang berisi bibit cacao. Setiap pasangan pot ini dilengkapi dengan pot yang berisi larutan hara Hoagland untuk mencu- kupi kebutuhan hara, dan ditempatkan pada tempat yang lebih tinggi dari pot yang berisi alang-alang. Larutan yang tertampung pada pot penampung terbawah, dikembalikan

ke pot teratas yang berisi larutan hara. Dari percobaan percobaan yang dilakukan ini nampak bahwa tidak hanya satu metode yang digunakan dalam pembuktian alelopati. Selain itu, dalam satu metode, seperti metode ekstraksi, dapat digunakan berbaqai tehnik, dalam ha1 ini bahan pengek- strak.

Untuk mempelajari senyawa alelopatik dari Tagetes pa-

(131)

2 4

akar dan ekstrak akar, ternyata berbeda. Dari eksudat akar terdeteksi 4 senyawa thiophane, yaitu :

o!

-

terthienyl (a-T), 5-(3-buten-1-yny1)-2.2' bithienyl

(BBT), 5-(4-hydroxy-1-butyny1)-2.2. bithienyl (BBT-OH), dan 5-(4-acetyl-1-butyny1)-2.2' bithienyl (BBT-OAc). Per- bandingan a -T, BBT, BBT-OH, dan BBT-OAc adalah 1:20:25:12. Dari ekstrak jaringan akar terdeteksi selain keempat senyawa thiophane tersebut, ada juga 6-hydroxy-2- isopropenyl-5-acetyl atau cumaranon (dihydroxy-cuparin). Perbandingan keempat senyawa thiophane pada ekstrak akar adalah 1:12:0.2:8 untuk a -T: BBT: BBT-OH: BBT-OAc. Hasil penelitian ini memberi petunjuk bahwa konsentrasi relatip dari beberapa metabolit bioaktip dalam jaringan tanaman, tidak harus menggambarkan apa yang ada dalam rizosfer. Hal seperti itu tclah dilaporkan oleh Rovira (1969) terja- di pada T a g e t e s erecta.

Hasil ekstraksi ternyata juga tidak sama dengan hasil pencucian jaringan tanaman (leachate). Hal ini antara lain dibuktikan oleh Leela (1985). Pada analisis kimia hasil pencucian daun dan biji Acanthospermm hispidum DC,

(132)

25

seperti ini, nyata bahwa fitotoksin yang telah terbukti, lewat pembuktian dengan hasil ekstraksi jaringan tumbuhan, menqharabat pertumbuhan tumbuhan lain, tidak dengan sendi- rinya berarti akan tercuci atau tereksudasi dari tumbuhan ke linqkungannya. Qasem dan Hill (1989a) nenilai metode ekstraksi mengabaikan kenyataan bahwa sejumlah pelarut dapat mendorong difusi senyawa kimia yang dapat larut. Dengan ekstraksi, akan terikut material-material toksik dan non-toksik, serta senyawa-senyawa yang dapat maupun yang tidak dapat berdifusi.

Metode pembuktian alelopati yang juga umum digunakan yaitu, pemberian atau pencampuran bagian-bagian atau sisa- sisa tumbuhan (residu) ke dalam tanah. Pengaruh alelopati ditimbulkan oleh senyawa alelopatik yang dilepaskan atau yang terbentuk ketika berlangsung proses dekomposisi. Pemberian atau pencarnpuran residu tumbuhan ke dalam tanah dapat menimbulkan permasalahan yaitu (Qasem dan Hill,

1989a) :

1. Penambahan residu dalam jumlah besar, dapat menye- babkan perubahan tekstur medium tumbuh, dan kemampuan menahan (retensi) air. Apabila hara telah diberikan sebelumnya, air akan mencuci hara tersebut, sehingga akan didapatkan perbedaan antara tumbuhan indikator yang menda- pat perlakuan residu dengan yang tidak mendapatkan perla- kuan itu.

(133)

26

perkembangan sistim perakaran.

3. P e n a m a h a n residu turbuhan ke medium tumbuh dapat mempengaruhi kemasaman (pH) tanah.

4 . Pemberian residu tumbuhan, dapat rnemacu perkem- bangan mikro organisme. nikro organisma itu sendiri menghasilkan senyawa fitotoksik, atau olah aktivitas mikro organisme, senyawa fitotoksik yang dilepaskan dari jaring- an tumbuhan berubah menjadi non-toksik. Hal yang seba- liknya dapat juga terjadi (Blum & gh, 1987).

5. Residu tumbuhan, dapat merupakan substrat yang baik bagi perkembangan patogen akar tumbuhan-

6. Multiplikasi mikro organisme yang berlangsung cepat, dapat juga mengurangi hara tersedia dalam tanah, dan ha1 tersebut dapat membawa pada kondisi defisiensi.

Metode pembuktian alelopati dengan eksudat akar sudah dilakukan oleh Sunarwidi (1982) dengan menggunakan metode stair-sten. Cara lain untuk mendapatkan eksudat akar, yaitu dengan metode CRETS (Continuous Boot Exudates T23zaQ=

(134)

2 7

(135)

28

atau dipengaruhi oleh densitas tanaman itu, adalah : Pada suatu volume tanah tertentu dimana terdapat sejumlah fitotoksin, setiap tanaman yang tunbuh pada densitas yang rendah akan mendapat toksin tersedia dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan tanaman yang ditanam dengan densitas tinggi. Pada densitas yang tinggi, jumlah toksin yang tersedia itu dapat diambil oleh lebih banyak tanaman, sehingga setiap tanaman hanya memperoleh toksin dalam jumlah sedikit. Dengan demikian, oleh adanya senyawa toksik dalam tanah, tanaman yang berukuran tinggi akan diperoleh pada densitas yang sedang, dan tanaman dengan ukuran yang lebih rendah, akan diperoleh pada densitas yang rendah (karena fitotoksitas yang tinggi), dan pada densitas yang tinggi (karena kompetisi yang menguat). Hasil penelitian Weidenhamer & (1989) ini juga memper- lihatkan bahwa fitotoksisitas berkurang dengan meningkat- nya densitas. Adanya fitotoksin, menyebabkan penyimpangan hubungan hasil dan densitas dari bentuk hubungan yang normal (universal) itu. Pada konsentrasi fitotoksin yang rendah sampai sedang, tangen hubungan densitas dan hasil tanaman (keduanya dalam log) mengecil. oleh karena itu, peneliti-peneliti ini berpendapat bahwa pendekatan pola hubungan hasil tanaman (dalam log) dan densitas (dalam log) dapat digunakan sebagai indikator ada tidaknya senya- wa fitotoksik dalam tanah.

(136)

2 9

untuk mengetahui ada tidaknya senyawa fitotoksik dalam tanah, yaitu percobaan dengan rancangan w t

-

series (Dekker !&

a,

1983). Dengan rancangan percobaan ini. dilibatkan dua spesis tumbuhan (misalnya : tanaman,C dan

W). Metode ini pertama kali diajukan oleh dewit. Anali- sisnya didasarkan pada asumsi bahwa hasil dari setiap spesis dalam suatu pertanaman campuran adalah proporsional denqan bagian sumber daya lingkungan yang dapat diambil- nya. Apabila pembagian sumber daya itu tidak seimbang, maka spesis yang lemah akan mendapatkan sedikit dibanding yang kuat. Pada model ini, kerapatan (D) atau jumlah tanaman per satuan luas lahan adalah konstan (C+W = D ) .

Kedua spesis ditanam monokultur dan campuran dengan bebe- rapa variasi perbandingan C dan W.

Interpretasi hasil percobaan dengan rancangan ini, dilakukan dengan melihat pada respon tanaman yang ditanam secara monokultur dan campuran. Berbagai bentuk respon yang mungkin diperoleh dari percobaan dengan rancangan ini adalah :

1. Respon hasil total tanaman campuran dan masing- masing komponen spesis, dapat diprediksi dari kedua respon monokultur. Respon seperti ini dapat terjadi apabila :

a). Masing-masing tanaman tidak saling menggang- gu atau berinteraksi.

(137)

3 0

interferensi interspesifik seimbang dengan interfsrensi intraspesifik. Hubungan seperti ini disebut oleh dewit sebagai exclusive.

2. Interaksi

d ens at or^.

Pada bentuk interaksi seperti ini. suatu spesis dalam tanaman campuran memper- oleh keuntungan dari atau atas kerugian spesis yang lain. Namun besarnya keuntungan dan kerugian yang dialami oleh masing-masing spesis adalah seimbang. Disini, respon total tanaman campuran tidak dapat diprediksi dari respon monokultur. Interaksi ini terjadi apabila kebutuhan terhadap suatu faktor tumbuh berbeda, atau apabila efi- siensi untuk mendapatkan faktor tumbuh berbeda.
(138)

31

dari hasil rata-rata komponen tanaman monokultur. Inter- aksi ini dapat terjadi karena suatu spesis memproduksi toksin yang mengurangi pertumbuhan spesis lain atau kedua- duanya (alelopati).

Fuerst dan Putnam (1983), rnengajukan beberapa ha1 yang dipandang perlu untuk membuktikan interferensi alelo- patik, yaitu :

1. Tunjukkan adanya interferensi dengan mengidenti- fikasi gejala dari interferensi, dan apabila perlu, quan- tifikasikan taraf interferensi itu.

2. Isolasi, assay, karakterisasikan, dan sintesiskan toksin. Isolasi senyawa toksik adalah tahap awal untuk mendapatkan bukti langsung bahwa interferensi itu adalah karena senyawa kimiawi. Hal ini perlu dilakukan hati-hati agar supaya senyawa yang tidak dilepas oleh tumbuhan atau saprofit secara alamiah, tidak mengkontaminasi preparat toksin.

3 . Gejala interferensi yang telah didiagnosa, harus dapat terulanq dengan pemberian toksin dalam jumlah yang ada secara alamiah, dan pada stadia tumbuh yang tepat dari tumbuhan uji. Ini akan menunjukkan bahwa gejala tersebut dapat direproduksi hanya oleh toksin.

4 . Pelepasan, pergerakan, dan pengambilan (uatake)

toksin harus dimonitor dan nampak memadai untuk interfer- ensi yang diamati.

(139)

3 2

(140)

SAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kebun Percobaan Sub Balai Penelitian Kelapa Pakuwon, Sukabumi Jawa Barat. Waktu pelaksanaan penelitian 27 bulan, yaitu dari Oktober 1991 sampai dengan Januari 1994.

Uetode Penelitian

Untuk mencapai tujuan penelitian ini. telah dilaksa- nakan beberapa percobaan, yaitu : percobaan pot, percobaan lapang, dan percobaan perkecambahan.

Percobaan

L

: Percobaan pot.

Tujuan percobaan ini adalah :

1. Untuk membuktikan bahwa faktor alelopati berperan dalam kehilangan hasil pertanaman kedua dalam pola tanam jahe beruntun.

2. Untuk menetapkan besarnya kehilangan hasil jahe oleh faktor alelopati.

3. Untuk menentukan populasi maksimum dan saat tanam pertanaman jahe kedua dalam pola tanam jahe beruntun.

Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, percobaan ini dilaksanakan sebagai berikut :

(141)

34

63 cm dan tinggi tanah 2 5 - 3 0 cm. Pada bagian dasar pot diberi lobang untuk drainase. Tanah yang digunakan adalah tanah yang diambil langsung dari lapang.

2 . Perlakuan terdiri dari 2 faktor, yaitu :

2 . 1 . Populasi tanaman (faktor A), dengan 3 taraf

yaitu :

A . 1 = 1 tanaman/pot.

A.2 = 3 tanaman/pot.

A . 3 = 5 tanaman/pot.

2.2. Selang waktu panen pertanaman pertama dan

waktu tanam p e r t a n a m a n kedua (faktor B), dengan 3 taraf yaitu :

B.1 = 1 bulan. 3.2 = 2 bulan. B.3 = 3 bulan.

Rancangan percobaan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 ulangan. Percobaan ini dilakukan dalam 2 unit, masing-masing untuk umur panen tanaman pertama 4 dan

7 bulan.

3. Peubah yang diamati adalah :

3 . 1 . Bobot kerinq tanaman. Dihitung dengan

menjumlahkan bobot kering daun, bobot ke- ring batang, bobot kering rimpang.

3.2. Hasil tanaman, yaitu bobot basah dan kering rimpang.

(142)

35 berikut : Bibit jahe (varitas Badak) disiapkan dari rim- pang tanaman berumur kurang lebih 9 bulan. Sebelum dita- nam, bibit disemai selama 3 minggu. Bibit yang digunakan, berbentuk potongan rimpang dengan berat kurang lsbih 50 g. Sebelum ditanam, bibit direndam dalam larutan bakterisida Agrimycin 15/1.5 WP (1.2 g/l air) selama kurang lebih 12

(143)

pertanaman pertama dilakukan. pada umur 7 bulan. Kecuali akar, semua sisa tanaman diangkut keluar pada saat panen. Pertanaman pertama ini hanya ditanam pada separuh jumlah pot yang disediakan untuk percobaan ini.

5 . Pertanaman kedua yang ditanam pada selang waktu

dan jumlah bibit sesuai perlakuan, mendapat perlakuan budidaya sama seperti pada tanaman pertama, kecuali pemu- pukan P, K, organik, dan pemberian sekam.

6. Anelisis data dilakukan dengan Sidik Ragam, re- regresi linier, dan uji homogenitas koefisien regresi

linier (Gomez dan Gomez, 1976).

Percobaan LX : Percobaan lapang.

Tujuan percobaan ini adafah sama dengan tujuan perco- baan pot. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, maka percobaan ini dilakukan sebagai berikut :

1. Percobaan ini adalah percobaan faktorial 3 x 3. Faktor pertama adalah saat panen pertanaman pertama (faktor A), yang terdiri dari 3 taraf perlakuan yaitu :

A.1 = Panen 4 bulan. A.2 = Panen 7 bulan. A.3 = Panen 10 bulan.

Faktor kedua adalah populasi pertanaman kedua (faktor B),

yang terdiri dari 3 taraf yaitu :

(144)

B.2 = 62 500 tanaman/ha, jarak tanam 40 cm x 40 cm.

B.3 = 125 000 tanaman/ha, jarak tanam 20 cm x 40 cm.

Rancangan percobaan adalah Acak Kelompok ( R A K ) dengan 4

ulangan

.

Peubah yang diamati adalah daya ( % ) tumbuh bibit, bobot kering tanaman, bobot basah dan kering rim-

Pang

-

Percobaan ini dilakukan pada lahan bekas ditanami ja- he clan yang tidak ditanami jahe sebelumnya. Untuk itu a- real yang tersedia disiapkan sebagai berikut : Areal diolah sampai diperoleh struktur tanah yang gembur dan gulma minimal. Areal dibagi 4 bagian. Masing-masing bagian dipisahkan saluran selebar 1 m. Setiap bagian diperlakukan sama, kecuali satu ha1 yaitu pada dua bagian ditanami jahe sebagai pertanaman pertama dan dud baqian

lainnya tidak ditanami. Pada setiap bagian itu dibuat 36 petak dengan ukuran masing-masinq petak 4 . 5 0 m x 3.00 m Jarak antara petak adalah 0.50 m.

(145)

38 berikan 4 hari sebelum tanam sebanyak 1 ton/ha yang setara dengan 1350 g/petak. Dilakukan pemupukan N sebanyak 400 kg N/ha yang setara dengan 1200 g urea/petak. Pupuk I? ini dibagi dalam tiga kali pemberian yaitu 25 % atau 300 g urea pada umur tanaman 1 dan 2 bulan, dan 50 % atau 6 0 0 g urea pada umur tanaman 3 bulan. Pupuk P diberikan seban- yak 600 kg P/ha setara dengan 4050 g TSP/petak. Pupuk K diberikan sebanyak 415 kg K/ha setara dengan 1127 g KCl/petak. Pupuk organik diberikan sebanyak 20 ton/ha yang setara dengan 2 7 kg/petak. Sekam padi diberikan sebanyak 5 ton/ha setara dengan 6.75 kg/petak. Sekam ini ditempatkan pada alur tanam, dan yang lainnya ditebar dan dicampur dengan tanah sehari sebelum tanam. Jarak tanam yang digunakan untuk tanaman pertama ini adalah 60 cm x 40 cm. Untuk proteksi tanaman, selain digunakan Agrimycin 15/ /l. 5 WP, juga digunakan Dithane dan Furadan 3 G. Gulma diupayakan minimal dan dilakukan penyiraman apabila diper- lukan. Pertanaman pertama ini dipanen pada umur 4, 7, dan 10 bulan. Kecuali akar, semua sisa tananran diangkut ke- luar petak percobaan pada saat panen.

3 . Budidaya pertanaman kedua dilakukan sebagai be-

(146)

3 9

pertanaman kedua ini sama dengan pertanaaan pertama. Panen pertanaman kedua dilakukan pada umur 4 bulan.

Percobaan ;U1I. : Percobaan Perkecambahan.

Tujuan percobaan ini adalah untuk membuktikan adanya hambatan perkecambahan benih dalam tanah yang ditanami jahe. Untuk mencapai tujuan tersebut, percobaan dilakukan sebagai berikut :

(147)

4 0

(148)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil percobaan pot, diperoleh perbandingan ha- hasil pertanaman kedua terhadap pertanaman pertama sebagai berikut (Tabel 2) :

Tabel 2. Perbandingan hasil pertanaman kedua terhadap pertanaman pertama dalam pola tanam jahe be- runtun populasi 1 tanaman/pot.

---

----

-

---

---

-- ---

---

--

--

Wt basah [g) rirpang Ratio ( t ) Bobt keriq (g) rinpang Ratio ( % )

Yaktu tanam

-

mn

tanasan

Ianalan I1 Tanaman1 1I:I Taman11 T a n a m 1 1I:I

Ket-r- : Waktu tanam 4/1, dibaca waktu tanam 1 bu- lan setelah panen tanaman I umur 4 bulan bulan. Cara yang sama berlaku untuk waktu tanam yang lain.

Dari Tabel 2 ini jelas terlihat adanya nilai perban- dingan (ratio) pertanaman kedua terhadap pertanaman perta- ma yang lebih kecil dan lebih besar dari 100 %. Dalam uji beda rata-rata, bobot rimpang pertanaman pertama dan kedua tidak berbeda nyata. Hal ini berlaku untuk semua waktu tanam pertanaman kedua.

[image:148.485.38.440.19.556.2]
(149)
(150)

4 3 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kehilangan hasil pertanaman kedua dapat terjadi apabila pertanaman kedua ditanam 2 atau 3 bulan setelah panen pertanaman pertama umur 4 bulan. Namun kehilangan hasil yang cukup besat dan nyata, dapat terjadi apabila pertananan kedua ditanam setelah panen pertanaman pertama umur 7 bulan. Walaupun masih harus dibuktikan keberadaannya, namun diduga ha1 tersebut ada kaitannya dengan pengaruh senyawa toksik dalam tanah,

Untuk mengetahui faktor penyebab kehilangan hasil tersebut, digunakan pendekatan pola hubungan hasil tana- man, yang diwakili oleh bobot kering tanaman (log) dan bobot kering rimpang (log) dengan densitas tanaman (log)

(Weidenhamer &

u,

1989). Dengan pendekatan ini, dilaku- kan analisis regresi, khususnya regresi linier, yang dilanjutkan dengan uji homogenitas koefisien regresi tersebut. Analisis reqresi dilakukan terhadap populasi tanaman (dalam log) dengan bobot kering rimpang dan bobot kering tanaman (dalam log). Hasil yang diperoleh adalah sebagai barikut :

I. Waktu tanam

kedua

u.

1 - Hubungan log populasi ( X ) dengan log bobot ke-

(151)

Pertanaman I : Y = 1.646

-

0.4336 X.

(R' = 0.97321 Pertanaman I1 : Y = 1.716

-

0.4007 X.

( R ~= 0.9332)

Uji homogenitas koefisien regresi :

t

- hitung

= 1.4274.

t - tabel (df:2) 0.05 = 4.303.

0.01 = 9.925.

2. Hubunqan log populasi ( X ) dengan log bobot ke-

ring tanaman ( Y ) (Gambar 2) :

Pertanaman I : Y = 1.830

-

0.4555 X.

(R' = 0.9613)

P e r t a n a m a n II : Y = 1.888

-

0.3951 X.

( ~ 2= 0.9799)

Uji homogenitas koefisien regresi :

t

-

hitung = 3.1457.

t

-

tabel ( d f - 2 ) 0.05 = 4.303. 0.01 = 9.925,
(152)

D a n s i u s Tanaman ( l o g )

[image:152.492.46.404.36.534.2]

, Tanaman l ,Tanaman 11

Gambar 1. Hubunqan linier populasi tanaman (log) dengan bobot kering rimpang (log) waktu tanam 4/1.

$

1.4

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6

0.7

0.8

Densiras Tanaman (log)

(153)

4 6

berbeda nyata. Keadaan seperti ini oleh Weidenhamer &

fi

(1989) disebutkan sebagai tidak ada respon terhadap senya- wa toksik dalam tanah. Dengan perkataan lain, pengaruh senyawa toksik dalam tanah, apabila ada, tidak nyata pada pertanaman kedua yang ditanam satu bulan setelah panen pertanaman pertama umur 4 bulan.

11. w a k t u t a n a m u L

1. Hubungan log populasi ( X ) dengan log bobot ke- ring rimpang (Y) (Gambar 3) :

Pertanaman I

.

.

. Y = 1.657

-

0.2149 X.

(R2 = 0.7639)

Pertanaman I1 : Y = 1.539

-

0.2186 X.

U j i homogenitas koefisien regresi :

t - hitung - -

-

0.0619. t

-

tabel (df:2) 0.05 = 4.303.
(154)

4 7

2. Hubungan log. populasi (X) dengan log. bobot ke- ring tanaman (Y) (Gambar 4 ) :

Tanaman I : Y = 1.842

-

0.2433 X.

( R ~ = 0.7906) Tanaman I1 : Y = 1.765

-

0.3213 X.

( R ~ = 0.6044)

Uji hornogenitas koefisien regresi :

t

-

hitung

-

-

-

7.3446.

t

- tabel

(df:2) 0.05 = 4.303.

0.01 = 9.925.

(155)

ul

k!

a

1.3

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6

[image:155.489.44.411.44.534.2]

Densitas Tanaman (log)

Gambar 3 : Hubungan linier populasi tanaman (log) dengan bobot kering rimpang (log) wak- t u tanam 4 / 2 .

Densitas Tanaman (log)

,Tanaman I ,Tannaman I1

(156)

4 9

111. Waktu

tanam

a.

1, Hubungan log populasi (X) dengan log bobot ke- ring rimpang (Y) (Garabar 5) :

Tanaman I : Y = 1,636

-

0.3409 X. (R2 = 0.8920) Tanaman I1 : Y = 1.564

-

0.2109 X.

(R2 = 0.9362) Uji homogenitas koefisien regresi :

t

-

hitung = 5.5660*

t

-

tabel (df:2) 0.05 = 4.303. 0.01 = 9.925.

2. Hubungan log populasi ( X ) dengan log bobot ke- ring tanaman ( Y ) (Gambar 6) :

Tanaman 1 : Y = 1.852

-

0.2366 X . ( R ~ = 0.7693)

Tanaman I1 : Y = 1.820

-

0.2682 X.

( R ~ = 0.9763)

Uji homogenitas koefisien regresi :

t

-

hitung =

-

1.2994. t

-

tabel (df:2) 0.05

-

-

4.303. [image:156.489.44.432.25.521.2]
(157)

5 0 Dari persamaan-persamaan regresi linier yang dipero- leh ini, nampak bahwa koefisien regresi linier pertanaman kedua pada hubungan populasi dan bobot kering rimpang, lebih kecil dan b e r k d a nyata dengan koefisien regresi pertanaman pertama. Dengan perkataan lain, telah terjadi penyimpangan koefisien hubungan linier populasi dan bobot kering rimpang, yaitu lebih kecil dari pertanaman pertama. Penyimpangan seperti itu tidak nampak pada hubungan popu- lasi dengan bobot kering tanaman. Dengan adanya petunjuk ini, dapat dinyatakan bahwa pengaruh senyawa toksik dalam tanah terhadap pertanaman kedua, khususnya pertumbuhan rimpang, nyata (Weidenhamer %+

a,

1989).

IV. Waktu tanam

u.

I. Hubungan log populasi (X) dengan log bobot ke-

ring rimpang (Y) ( G a m b a r 7) :

Tanaman I : Y = 1.899

-

0.5047 X. (R2 = 0.9504) Tanaman I1 : Y = 1.716

-

0.3639 X.

(R2 = 0.8963)

Uji homogenitas koefisien regresi :

t

-

hitung

-

-

4 -6248,.
(158)

1.6 0

v 1.55

do fi 1.5

n

a

1.45

{

1.4

:

1.35

1.3

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8

Densitas Tanaman (log)

[image:158.489.41.429.51.517.2]

, Tnnaman l ,Tanaman I l

Gambar 5 . Hubunqan linier populasi tanaman (log)

dengan bobot kering rimpang (log) wak- t u tanam 4 / 3 .

0.1 0.2 0.3 0-4 0-5 0.6 0.7 0.8

Densitas Tanaman (log)

(159)

52

2. Hubungan log populasi ( X ) dengan log bobot ke- ring tanaman ( Y ) (Ganbar 8) :

Tanaman I : Y = 2.100

-

0.3798 X. (R' = 0.9413)

Tanaman I1 : Y = 1.992

-

0.4163 X.

( R ~= 0.8303) Uji homogenitas koefisien regresi :

t

-

hitung -

- -

6. 4431.

t

-

tabel (df:2) 0.05 = 4.303. 0.01 = 9.925.

-

0 Q 1 0.2

0.3

0.4 0.5 0.6 0.7 0.8

Densitas Tanaman (log)

[image:159.492.36.446.45.546.2]

, Tanaman I

,

Tanaman ll
(160)

0.1 0.2, 0.3 0.4 0.5 0

0.7

a8

Dcnsitas Tanaman (log)

[image:160.489.37.442.48.536.2]

, Tanaman 1

,

Tanaman 11

Gambar 8. Hubungan linier populasi tanaman (log) dengan bobot kering tanaman (log) wak- tu tanam 7/1.

(161)

54

v -

Waktw

tanam

ZL2-

1. Hubungan log populasi (X) dengan log bobot ke- ring rimpang (Y) (Gambar 9 ) :

Tanaman I : Y = 1.956

-

0.7519 X.

( R ~ = 0.9876) Tanaman I1 : Y = 1.680

-

0.3619 X.

= 0.9997)

Uji homogenitas koefisien regresi :

t

-

hitung - - 25.8995**

t

-

tabel (df:2) 0.05 - - 4.303. 0.01 -

-

9.925.

2. Hubungan log populasi ( X ) dengan log bobot ke- ring tanaman ( Y ) (Gambar 10) :

Tanaman 1 : !I = 2.165

-

0.7115 X. ( R ~ = 0.9819) Tanaman I1 : Y = 1.953

-

0.4756 X.

(R' = 0.9998)

Uji homogenitas koefisien regresi :

t

-

hitung

-

-

13.6710** t

-

tabel (df:2) 0 . 0 5

-

-

4.303-
(162)

Y

=

1-956

-

0.7519 X.

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8

[image:162.498.43.414.40.537.2]

Densitas Tanaman (log) , Tanaman f

,

Tanaman I1

Gambar 9 . Hubungan linier populasi tanaman ( l o g )

dengan bobot kering rimpang (log) wak- t u tanam 7 / 2 .

p

2.3

Y

=

2.165 - 0.7115 X.

Y

=

1.953

-

0.4756

X.

<R'

=

0.9998)

0

0.1

0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8

Densitas Tanaman (log)

, Tanaman l

,

Tanaman 11
(163)

56

Dari persamaan-persamaan garis linier ini, terlihat bahwa koefisien hubungan linier populasi dengan bobot kering rimpang pertanaman kedua lebih kecil dan berbeda nyata dengan pertanaman pertama. Hal tersebut juga terja- di pada hubungan populasi dengan bobot kering tanaman. Data ini menunjukkan bahwa pengaruh senyawa toksik nampak pada pertumbuhan tanaman dan pertumbuhan rimpanq.

Hasil-hasil u ji hubungan log populasi dan log bobot kerinq, serta hasil-hasil uji homogenitas koefisien regre- si linier, menunjukkan bahwa mengecilnya koefisien hu- bungan populasi dan bobot kering pada pertanaman kedua. mulai terjadi pada pertanaman dengan waktu tanam 4 / 3 . Hal itu berlanjut sampai pada pertanaman dengan waktu tanam 7 / 2 , dan terutama terjadi pada bobot kering rimpang. Terjadinya penyimpangan koefisien itu, menunjukkan adanya pengaruh senyawa toksik terhadap pertumbuhan rimpang pertanaman kedua. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa, di dalam tanah yang ditanami pertanaman kedua telah ada atau telah terbentuk senyawa toksik. Adanya senyawa toksik tersebut, tidak dapat dilepaskan dari kenyataan adanya tanaman jahe yang tunbuh di tanah tersebut sebe- lumnya sebagai pertanaman pertana.

(164)

57

yang potensial toksik, pelepasan senyawa-senyawa organik dari bagian tanaman di atas tanah. Senyawa tersebut dapat juga ada dalam tanah oleh aktivitas mikro organisme yang merolnbak bahan-bahan organik dalam tanah (Borner, 1960; Tukey

,

1969)

.

Data penelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh senyawa toksik belum nampak pada pada pertanaman kedua yang waktu tanamnya 4/1 dan 4 / 2 . Kemungkinan penye- babnya ialah senyawa toksik be.lum terbentuk atau sudah terbentuk namun jumlahnya masih sedikit.

Selain itu, data yang ada membuka suatu kemungkinan bahwa senyawa toksik yang ada dalam tanah, bukanlah atau tidak semata-mata produk langsunq dari pertanaman jahe pertama. Apabila senyawa toksik tersebut adalah produk langsung pertanaman pertama saja, maka pengaruh menghambat pertumbuhan rimpang, tidak hanya terjadi pada pertanaman kedua dengan waktu tanam 4 / 3 , tetapi seharusnya terjadi

Gambar

Tabel 1 memperlihatkan perkembangan
Tabel 2. Perbandingan hasil pertanaman kedua terhadap
Gambar 1. Hubunqan linier populasi tanaman
Gambar 3 : Hubungan linier populasi tanaman (log)
+7

Referensi

Dokumen terkait

feeder benthic. Segara Menyan was fertility waters with medium polluted in water quality. it has low diversity, low stable , community, medium similarity and high

Berbeza dengan pemerian lampau tentang bahasa Negeri Sembilan yang lebih berkisar pada huraian fonologi (seperti Sharman 1973, 1974; Mohd Pilus 1977; Arbak 1994), kosa kata

Second, the camera orientation is obtained from the horizon sil- houette matched with ICP (Iterative Closest Point): the matching is done in 2D, while the horizon extracted from the

penelitian ini, yaitu bagaimanakah kemampuan menulis karangan persuasi pada siswa kelas X SMA Pasundan 7 Bandung sebelum, sesudah, dan perbedaan kemampuan menulis

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah melimpahkan berkat dan karuniaNya yang luar biasa, sehingga penulis dapat menyelesaikan

Jenis penelitian yang peneliti lakukan adalah penelitian eksperimen karena peneliti ingin mengujicobakan model pembelajaran somatis, auditoris, visual, dan

PT.Pegadaian (Persero) merupakan salah satu lembaga formal di Indonesia yang bergerak dibidang jasa yang berdasarkan hukum diperbolehkan melakukan pembiayaan dengan

tidak seperti sekolah unggulan lain yang hanya menerima calon siswa yang pandai, SLTPN 4 Mendoyo memiliki sistem penerimaan siswa baru yang tidak berdasarkan NEM yang