• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional and Transaction Cost Analysis of Sea Farming Management in Panggang Island, Administrative Regency of Kepulauan Seribu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional and Transaction Cost Analysis of Sea Farming Management in Panggang Island, Administrative Regency of Kepulauan Seribu"

Copied!
306
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KELEMBAGAAN DAN BIAYA TRANSAKSI

DALAM PENGELOLAAN

SEA FARMING

DI PULAU PANGGANG KABUPATEN ADMINISTRASI

KEPULAUAN SERIBU

BAMBANG YUDHO RUDIYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas tesis mengenai analisis kelembagaan dan ekonomi yang berjudul “Analisis Kelembagaan dan Biaya Transaksi dalam Pengelolaan Sea Farming di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu”, adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian tugas akhir ini.

Bogor, Agustus 2011

(3)

iv

BAMBANG YUDHO RUDIYANTO. Institutional and Transaction Cost Analysis of Sea Farming Management in Panggang Island, Administrative Regency of Kepulauan Seribu. Under supervision of TRIDOYO KUSUMASTANTO and ACENG HIDAYAT.

Phenomenon of declining fishing production in some Indonesian waters area has raised fears of increasing scarcity of fish resources, therefore many implementative programs and efforts has been developed. One of these programs is sea farming. Sea farming is shallow waters marine resources use system based on mariculture. The main objective is to increase fish resources while sustaining fishing activity, mariculture and marine ecotourism. Sea farming is not exactly the same with mariculture. Mariculture and other economic activities based on marine resources are subsystem of the sea farming.

The aim of this research are : 1) to identify the role of institutional in managing coastal resources in Panggang Island Administrative Regency of Kepulauan Seribu, 2) to analyze institutional management of sea farming, 3) to evaluate economic benefit and transaction cost of sea farming management, 4) to analyze sustainability of sea farming program. The data was analyzed by 7 methods: 1) Institutional Analysis and Development (IAD); 2) stakeholders analysis; 3) fisheries resources management conflict analysis; 4) income analysis; 5) transaction cost analysis; 6) cost effectiveness analysis; 7) program scenario evaluation analysis.

Based on the identification of institutional role in management of sea farming and coastal resources, the stakeholders actors are subject (sea farming members and trader), players (government, National Parks of Kepulauan Seribu, and university-PKSPL IPB), spectator (village government), and actor (security). Economic benefit of sea farming group member is Rp 6,805,645/year. Transaction cost for institutional management is Rp 875,000/year and the effectivity of transaction is 0.13, which is considered cost effective. Evaluation of sustainable scenario showed that scenario B which is program can be continued with a significant improvement was selected. The improvement of sea farming program includes adaptif institutional development, improvement of group organization and management, in order to achieve sustainability of sea farming program.

(4)

v

RINGKASAN

BAMBANG YUDHO RUDIYANTO. Analisis Kelembagaan dan Biaya Transaksi dalam Pengelolaan Sea Farming di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Dibimbing oleh TRIDOYO KUSUMASTANTO dan ACENG HIDAYAT.

Pemanfaatan sumberdaya perairan laut di kawasan Kepulauan Seribu selama ini secara nyata dilakukan tanpa perencanaan dan pengawasan yang baik. Kondisi stok ikan di beberapa wilayah telah mengalami tangkap lebih (overfishing), degradasi sumberdaya alam akibat pencemaran, penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan bahan kimia, pengambilan karang yang berlebihan dan lain-lain. Sehingga sebagian besar penduduk akan terperangkap dalam kemiskinan akibat produktivitas sumberdaya yang semakin berkurang dan terjadinya kerusakan lingkungan. Fenomena penurunan produksi tangkapan ini telah menimbulkan kekhawatiran masyarakat akan terjadinya kelangkaan sumberdaya ikan.

Penelitian ini dilakukan bertujuan : pertama, mengidentifikasi kelembagaan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Kedua, menganalisis kelembagaan pengelolaan

sea farming. Ketiga, mengkaji manfaat ekonomi dan biaya transaksi pengelolaan

sea farming. Keempat, menganalisis keberlanjutan pengelolaan sea farming.

Metode analisis data yang digunakan untuk menganalisis kelembagaan dalam pengelolaan dan pemanfataan sumberdaya pesisir dan lautan di Kepulauan Seribu adalah dengan pendekatan Institutional Analysis and Development (IAD). IAD ini dapat digunakan untuk menganalisis performa dan struktur aransemen kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, yang meliputi analisis stakeholder, analisis konflik pengelolaan sumberdaya ikan. Metode analisis data yang digunakan untuk menganalisis manfaat ekonomi pengelolaan sea farming adalah dengan analisis pendapatan terhadap kesejahteraan pembudidaya. Untuk menganalisis biaya transaksi pengelolaan sea farming menggunakan analisis biaya transaksi dan analisis keefektifan biaya. Untuk menganalisis keberlanjutan pengelolaan sea farming menggunakan analisis evaluasi skenario program. Analisis stakeholder adalah analisis yang dilakukan untuk mengidentifikasi dan memetakan aktor (tingkat kepentingan dan pengaruhnya) dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir serta potensi kerjasama dan konflik antar aktor. Aktor merupakan masyarakat yang memiliki daya untuk mengendalikan penggunaan sumberdaya. Mereka menjadi pengguna dari sumberdaya yang diteliti, akan tetapi bukan menjadi kajian objek sasaran untuk diteliti. Analisis konflik digunakan untuk menganalisis berbagai konflik antar pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di Kepulauan Seribu. Analisis pendapatan terhadap kesejahteraan pembudidaya digunakan untuk menghitung besarnya pendapatan pembudidaya ikan sebagai implikasi dari adanya pemberian dana bergulir

(revolving fund) yang menjadi basis pembinaan kegiatan kelompok melalui

(5)

vi

menganalisis biaya-biaya yang dikeluarkan suatu organisasi dalam menjalankan manajemen dan mekanisme internal pelaksanaan organisasi. Analisis Keefektifan Biaya (AKB) adalah suatu teknik untuk memilih berbagai pilihan strategis dengan keterbatasan sumberdaya. Analisis evaluasi skenario program digunakan untuk mengambil keputusan (decision making) mengenai tindak lanjut program sea farming melalui wawancara para stakeholder (responden) yang sekaligus sebagai pakar sehingga dapat memahami kondisi maupun visi ke depan program sea farming. Tujuan dari skenario adalah melakukan analisis prioritas terhadap skenario evaluasi program sea farming.

Karakteristik fisik sumberdaya pesisir di Kepulauan Seribu termasuk dalam sumberdaya bersama (common property) dan akses terbuka (open access) dengan implikasi terhadap penurunan produksi tangkapan dan kelangkaan biota-biota laut tertentu akibat overfishing dan over-exploitation. Sumberdaya bersama atau akses terbuka (open access) memiliki karakteristik (a) excludability atau kontrol terhadap akses oleh pemakai potensial (potential users) nampaknya tidak dimungkinkan; dan (b) subtractability, yaitu pemakai dapat mengurangi kesejahteraan orang lain. Permasalahan yang dihadapi di perairan Kepulauan Seribu terkait karakteristik fisik sumberdaya pesisir dan lautan diantaranya adalah semakin sulitnya memperoleh tangkapan ikan kerapu di alam disebabkan oleh banyaknya nelayan dari pulau lain (di luar Kepulauan Seribu) seperti Bangka Belitung, Madura, dan Makassar yang menggunakan alat tangkap lebih besar dari mereka. Akibatnya kegiatan pemanfaatan oleh nelayan luar mengurangi manfaat yang bisa diambil oleh nelayan Kepulauan Seribu.

Berdasarkan potensi Kepulauan Seribu yang memiliki perairan laut dangkal yang terlindung (protected shallow sea) karang penghalang di sekitar pulau merupakan kawasan perairan yang potensial untuk lokasi kegiatan budidaya laut (marikultur). Alternatif program yang dapat dikembangkan dalam pengelolaan perikanan dan program pelestarian sumberdaya ikan adalah kegiatan penstokan ulang atau pertanian laut (sea farming) untuk jenis ikan yang tidak bermigrasi, seperti ikan kerapu. Sea farming merupakan kegiatan budidaya yang mengubah paradigma masyarakat pesisir tentang pemanfaatan lahan laut dan pengelolaan sumberdaya ikan secara berkelanjutan. Konsep kegiatan sea farming

ini relatif sangat baru diimplementasikan di Indonesia. Model yang dikembangkan adalah sistem sea farming berbasis masyarakat dengan tujuan membantu masyarakat nelayan di wilayah ini untuk memanfaatkan ekosistem laut dengan tujuan menciptakan peningkatan ekonomi masyarakat sekitar dan pada saat yang sama turut berperan dalam pelestarian ekosistemnya. Salah satu daerah yang telah mengembangkan kegiatan sea farming adalah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL IPB).

Aransemen kelembagaan dalam pengelolaan sea farming diantaranya adalah batas pengelolaan dan mekanisme sea farming, sistem aturan, sistem hak, pengaturan hak kepemilikan, sistem sanksi, dan kelembagaan informal.

(6)

vii

subyek ditempati oleh masyarakat pembudidaya ikan, Kelompok Sea Farming

Pulau Panggang, pendeder dan pedagang pengumpul. Kelompok ini menunjukkan kelompok yang memiliki kepentingan yang tinggi terhadap kegiatan tetapi rendah pengaruhnya dalam perumusan kebijakan. Ketergantungan tinggi disini terkait dengan proses hasil budidaya dan pemasaran hasil produksi perikanan. Selama ini hasil budidaya oleh pembudidaya/anggota sea farming biasanya disalurkan kepada pendeder dan pihak pedagang pengumpul untuk kemudian dijual ke pasar. Kedua, pemain ditempati oleh Pemerintah KAKS, Pengelola TNKS dan akademisi (PKSPL IPB) yang merupakan kelompok aktor yang memiliki derajat pengaruh dan kepentingan yang tinggi untuk mensukseskan kegiatan melalui perumusan berbagai kebijakan. Pemerintah KAKS melalui dinas teknisnya (Suku Dinas Perikanan dan Pertanian) berhak mengatur pemanfaatan tradisional (budidaya). Sedangkan Pengelola TNKS melalui regulasinya menetapkan wilayah perairan Pulau Panggang sebagai bagian dari zona pemanfaatan tradisional. Melalui berbagai kajian dan penelitian, akademisi mampu mempengaruhi pengelolaan sea farming di Pulau Panggang lewat berbagai program pemerintah. Ketiga, penonton ditempati oleh aparat desa. Keberadaan mereka dinilai tidak terlalu tergantung terhadap sumberdaya perikanan dan juga tidak terlalu berpengaruh terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan. Aparat desa mempunyai fleksibilitas yang tinggi dalam mencari sumber perekonomian desa selain kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kelurahan Pulau Panggang. Keempat, aktor merupakan aktor yang berpengaruh tetapi rendah kepentingannya dalam pencapaian tujuan dan hasil kebijakan, ditempati oleh pihak keamanan (Polairud) dan Dinas Perhubungan. Melalui penegakan hukum yang sesuai dengan peraturan mampu mempengaruhi pengelolaan sea farming di Pulau Panggang.

Berdasarkan pemetaan konflik, terdapat tiga sumber yang menjadi penyebab terjadinya konflik pengelolaan sumberdaya ikan, yaitu banyaknya ikan yang rusak dan menimbulkan kematian ikan yang banyak, penyaluran benih yang semakin sedikit, keberpihakan pemerintah, khususnya Suku Dinas Kelautan dan Pertanian Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terhadap kelompok masyarakat tertentu.

Pendampingan pada pengembangan skala usaha kelompok adalah dengan mendorong anggota kelompok untuk maju dan berkembang skala usahanya. Manfaat ekonomi dalam pengembangan sea farming di Pulau Panggang sudah terlihat nyata. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan jumlah keramba pembudidaya, jumlah benih yang telah disalurkan, jumlah produksi ikan yang dipanen, jumlah pinjaman yang telah dikembalikan serta jumlah pendapatan yang diterima. Rata-rata pendapatan yang diterima setiap anggota Kelompok Sea Farming periode 2006-2009 sebesar Rp 6.805.645,00 per tahun (setelah dikurangi besaran pinjaman yang harus dikembalikan) dengan catatan pendapatan ini berasal dari benih yang dipelihara oleh anggota berkisar 200-400 ekor (sesuai mekanisme pinjaman benih kelompok) dan infrastruktur keramba yang sederhana. Persentase anggota yang panen dan mengembalikan pinjaman periode 2006-2009 sebanyak 64,9%.

Berdasarkan hasil kajian perencanaan usaha budidaya kerapu dalam keramba jaring apung (KJA) diperoleh total perkiraan biaya investasi sebesar Rp 15.667.000,00 dengan perkiraan usia investasi selama 5 tahun, maka diperoleh biaya penyusutan sebesar Rp 3.133.400,00 per tahun. Total biaya produksi atau

(7)

viii

11.396.600,00 atau tingkat keuntungannya mencapai 50,98% per tahun. Nilai

Payback Period (PP) = 1,37 tahun atau sama dengan 17 bulan.

Total biaya transaksi kelompok sea farming dalam menjaga mekanisme internal pelaksanaan organisasi pengelolaan program sea farming sebesar Rp 875.000,00 per tahun. Biaya transaksi tersebut lebih banyak untuk biaya operasional bersama. Efektifitas biaya transaksi mencapai sekitar 0,13, yang berarti menunjukkan penggunaan biaya transaksi tersebut sudah relatif efektif.

Berdasarkan hasil analisis skenario evaluasi program sea farming dengan menggunakan software Decision Criterium Plus (DCP) dapat digambarkan mengenai kerangka pengambilan keputusan identifikasi skenario evaluasi program melalui mekanisme multi-criteria. Dari hasil analisis Delphi diperoleh hasil bahwa dari domain lingkungan, opsi yang optimal adalah skenario B, yaitu program dapat dilanjutkan dengan perbaikan signifikan dengan kontribusi skor sekitar 0,19. Sementara itu, dalam konteks kriteria domain sosial ekonomi, skenario B juga menempati rangking tertinggi dengan kontribusi skor sekitar 0,41. Selanjutnya dalam konteks kelembagaan, opsi skenario B tetap menjadi pilihan dengan skor tertinggi yaitu sekitar 0,17. Dalam konteks domain pengelolaan program, opsi skenario B tetap menjadi opsi paling optimal dibandingkan dengan skenario A (program dilanjutkan sesuai dengan rencana) dan skenario C (program dihentikan sama sekali), dengan kontribusi skor sekitar 0,065. Dengan menggunakan analisis agregat untuk seluruh domain, opsi skenario B memiliki skor tertinggi, yaitu 0,84 yang kemudian diikuti oleh opsi skenario A dengan skor 0,35, dan skenario C (0,0). Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka diputuskan skenario B, yaitu program dapat dilanjutkan dengan syarat perbaikan yang signifikan sebagai skenario optimal. Lebih lanjut, domain kelembagaan dan pengelolaan program menjadi domain prioritas yang perlu diperhatikan karena memiliki skor rata-rata yang rendah dibandingkan domain yang lain. Pelaksanaan skenario di atas memiliki justifikasi yang kuat berdasarkan analisis implikasi dari skenario B yang mengkaji parameter kepercayaan masyarakat, kesan stakeholders

kunci, konsekuensi hukum dan konvergensi dengan program daerah. Dari hasil analisis tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pilihan Skenario B adalah yang terbaik mengingat pentingnya program pengelolaan sea farming bagi para

stakeholders maupun bagi keberlanjutan kelestarian sumberdaya ikan di perairan Kepulauan Seribu.

(8)

ix

dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta, ketiga lembaga tersebut bersifat pemberi instruksi kepada Suku Dinas Kelautan dan Pertanian KAKS. Disamping itu Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKS) mempunyai fungsi koordinasi dengan Suku Dinas Kelautan dan Pertanian KAKS dalam hal pengelolaan zona pemanfaatan, Kelompok Masyarakat, yang tergabung dalam musyawarah kelompok masyarakat pengelola sumberdaya perikanan, serta akademisi yang beranggotakan unsur-unsur perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Kedua, level operasional (Operational Choice Level) yang berperan dalam mengimplementasikan berbagai kesepakatan yang telah dilakukan oleh lembaga musyawarah kelompok masyarakat di Kelurahan Pulau Panggang KAKS serta bertugas memberi dukungan dan mengkoordinasikan aspek usaha pengelolaan sumberdaya perikanan di Kelurahan Pulau Panggang KAKS. Kelompok ini terdiri atas (1) kelompok lembaga pengelolaan sumberdaya ikan yang berada di Kelurahan Pulau Panggang KAKS (kelompok pembudidaya dan nelayan, Pernitas/Perhimpunan Nelayan, Pedagang Ikan dan Tanaman Hias dan Kelompok

Sea Farming), (2) kelompok lembaga pemasaran hasil perikanan (Koperasi,

Pernitas, Tempat Pelelangan Ikan/TPI, swasta, pedagang pengumpul yang berfungsi sebagai kelompok yang memasarkan hasil produksi perikanan dari kelompok nelayan, (3) Kelompok lembaga pengawas sumberdaya perikanan berfungsi untuk mengawasi wilayah perairan KAKS, dan juga bertugas sebagai lembaga penegak hukum bagi pelanggaran aturan yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. Lembaga ini terdiri dari Kepolisian dan Dinas Perhubungan.

Berdasarkan desain kelembagaan tersebut di atas terlihat bagaimana peran dari masing-masing lembaga dan sistem koordinasi yang dibangun dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kelurahan Pulau Panggang KAKS. Peran dan fungsi masing-masing lembaga tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya dimana masing–masing saling ada keterkaitan antar lembaga. Peran yang cukup menonjol adalah Lembaga Musyawarah Kelompok Masyarakat pengelola sumberdaya perikanan. Hal ini disebabkan karena keberadaan lembaga tersebut menjadi jembatan antara kebijakan pemerintah dengan implementasi di tingkat masyarakat.

Disamping pengembangan kelembagaan yang adaptif, perlu dilakukan pula perbaikan organisasi dan manajemen Kelompok Sea Farming dalam rangka keberlanjutan program sea farming. Mengingat pengembangan kelembagaan adaptif ini akan meningkatkan biaya manajerial organisasi, namun nilai ekonomi sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan dengan alokasi dan alternatif penggunaannya secara benar dan mengenai sasaran. Dengan terjaganya fungsi sumberdaya pesisir dan lautan di Kepulauan Seribu, maka sumberdaya tersebut dapat dimanfaatkan oleh generasi penerus di masa yang akan datang.

(9)

x

©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulisan ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber :

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

(10)

ANALISIS KELEMBAGAAN DAN BIAYA TRANSAKSI

DALAM PENGELOLAAN

SEA FARMING

DI PULAU PANGGANG KABUPATEN ADMINISTRASI

KEPULAUAN SERIBU

BAMBANG YUDHO RUDIYANTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(11)
(12)

xv

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya, sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini berjudul : “Analisis Kelembagaan dan Biaya Transaksi dalam Pengelolaan Sea Farming di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu”.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto, MS dan Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT atas kesediaannya untuk meluangkan waktunya dalam membimbing penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Terima kasih sebesar-besarnya disampaikan kepada Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB (PKSPL IPB) Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto, MS yang telah memberikan kesempatan beasiswa dan waktu kepada penulis untuk menempuh jenjang program pascasarjana S2. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Luky Adrianto, MSc yang telah membantu dalam penyelesaian tesis; Ibu Muti yang telah membantu dalam kelancaran administrasi; teman-teman seperjuangan di ESK (Pak Zaky, Pak Fajri, Pak Kastana, Bu Intan, Bu Fitri, Bu Ola, dan kawan-kawan); rekan-rekan staf PKSPL IPB; serta Sdr. Ahmad yang telah membantu penulis dalam mengumpulkan data di lapangan. Semoga Allah SWT membalasnya dengan yang lebih baik.

Terima kasih yang luar biasa kepada kedua orang tua ayahanda tercinta H. Maryudi Prawirowidjoyo dan ibunda terkasih Hj. Urip Sugiarti, istri tersayang Siti Aisyah, serta putra-putri tercinta Zahra, Zachri dan Zamira atas doa, pengertian, pengorbanan dan dukungan moril yang tidak ternilai selama ini.

Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua civitas akademika, peneliti dan pemerintah, sehingga mampu memperkaya hasanah keilmuan bidang ekonomi sumberdaya kelautan di masa mendatang.

(13)

xvi

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 11 Nopember 1972 dari pasangan Bapak H. Maryudi Prawirowidjoyo dan Ibu Hj. Urip Sugiati. Penulis merupakan putra keempat dari empat bersaudara. Penulis menikah dengan Siti Aisyah pada tahun 2000 dari putri pasangan H. M. Sokhib dan Hj. Siti Aminah. Saat ini penulis dikaruniai 3 orang anak yang bernama Alivia Zahra Aveninne, Asyrafa Zachri Achmad dan Annisa Zamira Asha.

Tahun 1991 penulis lulus dari SMA Negeri 13 Jakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis memilih Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP) Fakultas Perikanan dan lulus pada tahun 1997. Pada tahun 2007, penulis melanjutkan pendidikan magister di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika.

(14)

xvii

2.3. Karakteristik Kelembagaan ... 8

2.4. Property Right ... 10

2.5. Karakteristik Fisik Common Pool Resources (CPRs) ... 12

2.6. Aransemen Kelembagaan dalam Tata kelola Pembangunan Kelautan ... 14

2.7. Tata Kelola Kelembagaan Sumberdaya Perikanan ... 16

2.8. KonflikPengelolaan Sumberdaya Ikan ... 17

2.9. Transaksi ... 18

2.10.Biaya Transaksi ... 19

2.11. Biaya Transaksi dalam Ko-Manajemen Perikanan ... 19

2.12. Kebijakan Pengembangan Kelembagaan ... 20

2.13. Definisi dan Perkembangan Sea Farming ... 23

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI ... 25

IV. METODOLOGIPENELITIAN ... 27

4.1. Lokasi Penelitian ... 27

4.2. Metode Penelitian ... 28

4.3. Metode Pengumpulan, Jenis, Sumber dan Analisis Data ... 29

4.4. Metode Analisis Data ... 31

4.4.1. Analisis Kelembagaan ... 31

4.4.2. Analisis Stakeholder ... 32

4.4.3. Analisis Konflik Pengelolaan Sumberdaya Ikan ... 35

4.4.4. Analisis Pendapatan terhadap Kesejahteraan Pembudidaya ... 35

4.4.5. Analisis Biaya Transaksi ... 36

4.4.6. Analisis Keefektifan Biaya ... 36

4.4.7. Analisis Evaluasi Skenario Program ... 37

4.5. Batasan Penelitian ... 39

V. KEADAAN UMUM WILAYAH ... 41

(15)

xviii

5.3.2. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) ... 47

5.3.3. Koperasi ... 48

5.3.4. Organisasi Kemasyarakatan ... 48

5.3.5. Kelompok Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Laut 48 VI. ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR KEPULAUAN SERIBU ... 56

6.1. Karakteristik Fisik Sumberdaya Pesisir ... 56

6.2. Tragedi Kebersamaan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dan Lautan ... 59

6.3. Property Right Regime Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan ... 59

6.4. Aransemen Kelembagaan ... 60

6.4.1. Kelembagaan Formal ... 62

6.4.2. Kelembagaan Informal ... 66

6.5. Sistem Pengelolaan dan Alternatif Kebijakan ... 67

VII. ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SEA FARMING ... 69

7.1. Program Sea Farming sebagai Solusi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir ... 69

7.2. Sistem Kelembagaan Pengelolaan Sea Farming ... 71

7.2.1. Batas Pengelolaan dan Mekanisme Sea Farming ... 75

7.2.2. Sistem Aturan ... 75

7.2.3. Sistem Hak ... 76

7.2.4. Pengaturan Hubungan Kepemilikan ... 76

7.2.5. Sistem Sanksi ... 77

7.2.6. Kelembagaan Informal Pengelolaan Sea Farming ... 77

7.3. Arena Aksi dalam Pengelolaan Sea Farming ... 78

7.4. Pola Interaksi Antar Aktor Dalam Pengelolaan Sea Farming ... 81

7.5. Analisis Manfaat Ekonomi dalam Pengelolaan Sea Farming ... 84

7.6. Keefektifan Biaya Transaksi Organisasi ... 91

7.7. Keberlanjutan Program Sea Farming ... 92

7.8. Desain Kelembagaan Pengelolaan Sea Farming ke Depan ... 97

7.9. Implikasi Kelembagaan ... 101

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 104

8.1. Kesimpulan ... 104

8.2. Saran ... 107

DAFTAR PUSTAKA ... 108

(16)

xix

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Tipe hak kepemilikan dalam pemanfaatan sumberdaya alam

berdasarkan pemilik, hak dan tugas-tugasnya ... 11

2. Tujuan penelitian, jenis, sumber dan analisis data ... 30

3. Ukuran kuantitatif terhadap identifikasi dan pemetaan aktor ... 33

4. Indikator dan parameter yang digunakan dalam skenario evaluasi ... 37

5. Skor evaluasi indikator program sea farming dengan menggunakan skala Saaty ... 38

6. Skenario evaluasi program ... 39

7. Perbandingan luas dan peruntukan pulau-pulau di Kelurahan Pulau Panggang ... 42

8. Jumlah penduduk Kelurahan Pulau Panggang menurut umur dan jenis kelamin tahun 2009 ... 43

9. Jumlah penduduk dan Kepala Keluarga (KK) di Pulau Panggang per RW Tahun 2009 ... 44

10. Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan (di atas umur 6 tahun/usia sekolah) Tahun 2009 ... 44

11. Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian Tahun 2009 ... 45

12. Jumlah alat penangkapan ikan di Kelurahan Pulau Panggang Tahun 2009 ... 46

13. Jumlah kegiatan budidaya di Kelurahan Pulau Panggang Tahun 2009 . 46 14. Jenis koperasi serta anggotanya di Kelurahan Pulau Panggang Tahun 2009 ... 48

15. Potensi, produksi dan pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Laut Jawa ... 57

16. Identitas Stakeholder dan peranannya ... 78

(17)

xx

18. Biaya transaksi yang dikeluarkan kelompok sea farming terkait dengan mekanisme internal pelaksanaan organisasi di Kelurahan

(18)

xxi

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Hubungan antara rules dan level analisis kelembagaan (Ostrom,

1990) ... 9

2. Klasifikasi hak kepemilikian (Property right) (Charles 2001) ... 10

3. Model dan alur kebijakan pembangunan kelautan dalam tata kelola kelautan (Kusumastanto 2010) ... 15

4. Framework analisis dan pengembangan kelembagaan. Modifikasi dari Ostrom, Gardner, and Walker (1999), diacu dalam Kusumastanto (2003) ... 21

5. Kerangka pendekatan studi ... 26

6. Lokasi penelitian ... 27

7. Framework analisis dan pengembangan kelembagaan (Institutional Analysis and Development/IAD) ... 31

8. Aktor Grid (Haswanto 2006) ... 34

9. Perkembangan jumlah anggota kelompok sea farming Pulau Panggang berdasarkan angkatan ... 54

10. Potensi dan produksi sumberdaya ikan di perairan Laut Jawa ... 58

11. Sistem kelembagaan sea farming (Adrianto et al. 2010) ... 72

12. Rantai pemasaran ikan kerapu (Adrianto et al. 2011) ... 74

13. Sistem agribisnis antar sistem budidaya dalam Konsep Sea Farming (Adrianto et al. 2011) ... 74

14. Pemetaan Stakeholder pengelolaan sea farming di Pulau Panggang ... 79

15. Hubungan antar kelembagaan dan aktor pengelolaan sea farming di Kepulauan Seribu ... 82

(19)

xxii

panen dan mengembalikan pinjaman periode 2006-2009 ... 86 18. Produksi ikan kerapu anggota sea farming periode 2006-2009 ... 88 19. Hasil penjualan ikan kerapu anggota kelompok sea farming Pulau

Panggang periode 2006-2009 (dalam Rupiah) ... 89 20. Rata-rata pendapatan yang diterima setiap anggota sea farming yang

panen periode 2006-2009 (dalam Rupiah) ... 90 21. Kerangka hirarki skenario evaluasi program sea farming ... 93 22. Identifikasi opsi skenario evaluasi berbasis domain lingkungan dengan

menggunakan teknik Delphi ... 93 23. Identifikasi opsi skenario evaluasi berbasis domain sosial ekonomi

dengan menggunakan teknik Delphi ... 94 24. Identifikasi opsi skenario evaluasi berbasis domain kelembagaan

dengan menggunakan teknik Delphi ... 94 25. Identifikasi opsi skenario evaluasi berbasis domain pengelolaan

program dengan menggunakan teknik Delphi ... 95 26. Analisis agregat opsi skenario evaluasi program sea farming ... 95 27. Kerangka implikasi skenario terpilih ... 96 28. Desain Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di

(20)

xxiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Anggaran Dasar Kelompok Pengelola Sea Farming Pulau Panggang . 113 2. Anggaran Rumah Tangga Kelompok Pengelola Sea Farming

Pulau Panggang ... 117 3. Nilai Skor Analisis Stakeholders ... 121 4. Data perkembangan keramba Kelompok Sea Farming ... 122 5. Data peminjaman benih dan pengembalian pinjaman dana bergulir

anggota Kelompok Sea Farming ... 124 6. Analisis usaha budidaya kerapu dalam Keramba Jaring Apung

(KJA) di kawasan perairan Kelurahan Pulau Panggang Kabupaten

(21)

1.1. Latar Belakang

Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terdiri atas gugusan kepulauan yang terdiri dari 110 pulau besar dan kecil, 11 pulau diantaranya sudah dihuni penduduk secara permanen sekitar 18.000 jiwa. Luas perairan laut mencapai 6.997,5 km2

Potensi sumberdaya tersebut dan aksesibilitas lokasi yang relatif dekat dengan Provinsi DKI Jakarta dan Kota Tangerang menjadi daya tarik tersendiri bagi stakeholders untuk melakukan berbagai aktivitas pemanfaatan sumberdaya perairan laut di kawasan ini. Bahkan tidak jarang aktivitas ini mengakibatkan konflik pemanfaatan ruang. Selama ini potensi sumberdaya alam yang dapat dikelola dan dikembangkan serta dimanfaatkan oleh masyarakat setempat adalah kegiatan perikanan (tangkap dan budidaya laut) dan pariwisata bahari. Dilihat dari sisi sosial ekonomi, biaya hidup sehari-hari masyarakat setempat relatif lebih tinggi dibanding dengan wilayah lain di DKI Jakarta, yaitu mahalnya transportasi laut, terbatasnya sumber air tawar, dan terbatasnya sumber energi/listrik.

dan sebagian wilayahnya merupakan taman nasional laut, cagar alam, dan suaka margasatwa. Luas daratan Kepulauan Seribu adalah 864,59 ha dan terletak di lepas pantai utara Jakarta yang memanjang dari utara ke selatan dengan karakteristik pantai berpasir putih dan gosong karang. Perairan lautnya mengandung berbagai sumberdaya hayati dan non hayati, seperti terumbu karang, mangrove, rumput laut, berbagai jenis ikan, bahan mineral dan bahan galian.

(22)

2

budidaya rumput laut dengan aktivitas lalulintas kapal-kapal nelayan, pencemaran akibat penambangan pasir yang berdampak pada kegiatan budidaya laut dan pelestarian alam, serta limbah rumah tangga (penempatan kamar mandi dan kakus serta pembuangan sampah).

Fenomena penurunan produksi tangkapan ini telah menimbulkan kekhawatiran masyarakat akan terjadinya kelangkaan sumberdaya ikan. Berdasarkan potensi Kepulauan Seribu yang memiliki perairan laut dangkal yang terlindung (protected shallow sea) karang penghalang di sekitar pulau merupakan kawasan perairan yang potensial untuk lokasi kegiatan budidaya laut (marikultur). Kegiatan budidaya laut relatif masih muda di Indonesia, walaupun sesungguhnya potensi pengembangan budidaya ini sangat besar, diperkirakan mencapai 24.528.178 ha. Dengan potensi yang begitu besar dan harapan yang begitu tinggi, pengembangan marikultur memiliki nilai yang strategis untuk pemenuhan gizi, penyediaan lapangan pekerjaan, peningkatan penerimaan dan kegiatan perekonomian serta peningkatan devisa.

Budidaya perikanan yang selama ini dikembangkan di Kepulauan Seribu diantaranya adalah rumput laut (Euchema cotonii), ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dan ikan kakap putih (Lates calcaliver). Budidaya ikan kerapu di wilayah Kepulauan Seribu umumnya berlokasi di sekitar Pulau Lancang, Pulau Kongsi, Pulau Tidung, Pulau Panggang, dan Pulau Pramuka. Kegiatan budidaya ikan kerapu sangat potensial untuk dikembangkan mengingat harga jual yang cukup tinggi dan potensi pasar yang sangat luas.

Saat ini keberhasilan budidaya rumput laut sudah surut akibat penyakit

(23)

Untuk tidak mengulangi kekeliruan teknis marikultur yang sudah pernah dilaksanakan, maka usaha budidaya laut di lokasi ini yang hanya bertumpu pada sedikit sistem, sedikit pelaku dan komoditas yang terbatas pula, perlu dikembangkan secara terpadu (integrated) dan membuka alternatif yang lebih luas, baik pelaku, komoditas, lokasi maupun sistem dan teknologi yang digunakan. Salah satu program budidaya laut yang dikembangkan di Kepulauan Seribu adalah program sea farming. Program sea farming adalah program pengelolaan sumberdaya dengan aktifitas utama marikultur dan aktifitas terkait lainnya (marine tourism) serta perbaikan kualitas dan kuantitas sumberdaya perairan maupun kualitas lingkungan laut. Kegiatan sea farming mengubah paradigma masyarakat pesisir tentang pemanfaatan lahan laut dan pengelolaan sumberdaya ikan secara berkelanjutan. Pendekatan yang digunakan dalam sea farming adalah alternatif pengelolaan sumberdaya secara terbuka (open access) yang dapat mengakibatkan konflik dan dapat menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan.

Model yang dikembangkan sea farming berbasis masyarakat dengan tujuan membantu masyarakat di wilayah ini untuk memanfaatkan ekosistem laut dengan tujuan menciptakan peningkatan ekonomi masyarakat sekitar dan pada saat yang sama turut berperan dalam pelestarian ekosistemnya. Konsep sea farming yang melibatkan berbagai pelaku usaha, menggunakan beberapa alternatif sistem teknologi dan kelembagaan yang saling mendukung dan terintegrasi dalam rangkaian sistem bisnis rantai tata niaga diharapkan dapat mewujudkan kegiatan perikanan budidaya yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Program sea

farming ini telah berjalan sejak tahun 2005 kerjasama antara Pemerintah

Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL IPB).

(24)

4

Berdasarkan uraian di atas maka pengelolaan sumberdaya pesisir di perairan Kepulauan Seribu umumnya, dan pengelolaan sea farming khususnya, perlu dilakukan dengan sistem kelembagaan yang kuat. Hal ini dimaksudkan agar pengelolaan sumberdaya pesisir Kepulauan Seribu dapat berjalan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab. Selain itu keberadaan sistem kelembagaan yang kuat diharapkan dapat berdampak terhadap menurunnya tingkat konflik antar masyarakat dalam upaya memanfaatkan sumberdaya pesisir di Kepulauan Seribu.

1.2. Perumusan Masalah

Pengelolaan sumberdaya pesisir di Kepulauan Seribu selama ini belum berlangsung dengan optimal. Akibatnya berbagai kasus penurunan produksi tangkapan seringkali terjadi yang berakibat pada penurunan pendapatan ekonomi masyarakat. Disamping itu biaya operasional semakin mahal karena daerah penangkapan semakin jauh. Kondisi tersebut semakin mengancam bila cuaca memburuk. Oleh karena itu Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu beserta seluruh stakeholders perlu mencari solusi pemecahannya.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang mendasari dilakukannya penelitian ini, adalah sebagai berikut :

1) Peran kelembagaan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir serta terciptanya kelestarian sumberdaya laut belum optimal.

2) Desain kelembagaan pengelolaan sumberdaya pesisir umumnya dan pengelolaan sea farming khususnya belum efektif dalam mencapai tujuan program.

1.3. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan penelitian ini adalah :

1) Mengidentifikasi kelembagaan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.

2) Menganalisis kelembagaan pengelolaan sea farming.

3) Mengkaji manfaat ekonomi dan biaya transaksi pengelolaan sea farming.

(25)

Adapun kegunaan penelitian ini adalah memberikan sumbangan pemikiran yang lebih komprehensif untuk memahami sistem kelembagaan yang baik bagi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir di Kepulauan Seribu, terutama dalam tata kelola sea farming di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Output dari penelitian ini adalah dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai pentingnya sistem kelembagaan yang kuat dalam tata kelola sea farming di wilayah Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dengan pendekatan analisis ekonomi.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Kelembagaan

Kelembagaan diartikan sebagai aturan dan rambu-rambu sebagai

panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk

mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain.

Penataan institusi dapat ditentukan oleh beberapa unsur, yaitu : aturan operasional

untuk pengaturan pemanfaatan sumberdaya, aturan kolektif untuk menentukan,

menegakkan hukum atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional

serta mengatur hubungan kewenangan organisasi (Ostrom 1985).

Bardhan (1989) menyatakan bahwa kelembagaan akan lebih akurat bila

didefinisikan sebagai aturan-aturan sosial, kesepakatan dan elemen lain dari

struktur kerangka kerja interaksi sosial. North (1990) memperdalam lagi tentang

definisi kelembagaan, menurut North kelembagaan merupakan aturan main di

dalam suatu kelompok sosial dan sangat dipengaruhi faktor-faktor ekonomi, sosial

dan politik. Institusi dapat berupa aturan formal atau dalam bentuk kode etik

informal yang disepakati bersama. North membedakan antara institusi dari

organisasi dan mengatakan bahwa institusi adalah aturan main sedangkan

organisasi adalah pemainnya.

Manig (1991) mencatat bahwa kelembagaan merefleksikan sistem nilai

dan norma dalam masyarakat, tetapi nilai dan norma tersebut bukanlah

kelembagaan itu sendiri. Sementara itu, Rutherford (1994) menyatakan bahwa

kelembagaan dapat dimaknai sebagai regulasi perilaku yang secara umum

diterima oleh anggota-anggota kelompok sosial, untuk perilaku spesifik dalam

situasi yang khusus, baik yang diawasi sendiri maupun dimonitor oleh otoritas

luar.

2.2. Tiga Lapisan Kelembagaan

Berdasarkan berbagai definisi yang telah diungkapkan oleh para ahli

terlihat bahwa sebenarnya definisi kelembagaan tergantung dari mana orang

(27)

sekian banyak pembatasan tentang kelembagaan, minimal ada tiga lapisan

kelembagaan yang terkait dengan ekonomi politik, yaitu :

1) Kelembagaan sebagai norma-norma dan konvensi, lebih diartikan sebagai

aransemen berdasarkan konsesus atau pola tingkah laku dan norma yang

disepakati bersama. Norma dan konvensi umumnya bersifat informal,

ditegakkan oleh keluarga, masyarakat, adat dan sebagainya. Hampir semua

aktivitas manusia memerlukan konvensi-konvensi pengaturan yang

memfasilitasi proses-proses sosial, dan begitu juga dalam setiap setting

masyarakat diperlukan seperangkat norma-norma tingkah laku untuk

membatasi tindakan-tindakan yang diperbolehkan. Jika aturan diikuti,

proses-proses sosial bisa berjalan baik. Jika dilanggar maka yang akan

timbul hanya kekacauan dalam masyarakat.

2) Kelembagaan sebagai aturan main. Bogason (2000) mengemukakan

beberapa ciri umum kelembagaan, antara lain adanya sebuah struktur yang

didasarkan pada interaksi di antara para aktor, adanya pemahaman bersama

tentang nilai-nilai dan adanya tekanan untuk berperilaku sesuai dengan yang

telah disepakati/ditetapkan. Bogason (2000) menyatakan ada tiga level

aturan, yaitu level aksi, level aksi kolektif dan level konstitusi. Pada level

aksi, aturan secara langsung mempengaruhi aksi nyata. Dalam hal ini

biasanya ada standar atau rules of conduct. Pada level aksi kolektif,

didefinisikan sebagai aturan untuk aksi pada masa-masa yang akan datang.

Aktivitas penetapan aturan seperti ini sering juga disebut kebijakan.

Terakhir, pada level konstitusi, mendiskusikan prinsip-prinsip bagi

pengambilan keputusan kolektif masa yang akan datang, seperti

prinsip-prinsip demokrasi. Aturan-aturan pada level konstitusi ini biasanya ditulis

secara formal dan dikodifikasi. Konstitusi biasanya lebih sulit berubah,

walaupun bukan harga mati.

3) Kelembagaan sebagai pengaturan hubungan kepemilikan. Kelembagaan

dianggap sebagai aransemen sosial yang mengatur : (1) individu atau

kelompok pemilik, (2) obyek nilai bagi pemilik dan orang lain, serta (3)

orang dan pihak lain yang terlibat dalam suatu kepemilikan (Deliarnov

(28)

8

kepemilikan, yaitu (1) hak eksklusif untuk memilih penggunaan dari suatu

sumberdaya, (2) hak untuk menerima jasa-jasa atau manfaat dari

sumberdaya yang dimiliki, dan (3) hak untuk menukarkan sumberdaya yang

dimiliki sesuai persyaratan yang disepakati. Dari uraian tersebut, tersirat

bahwa siapa yang memiliki suatu sumberdaya, berhak mengontrol

penggunaan sumberdaya tersebut, sampai batas-batas tertentu hal ini dapat

dibenarkan. Begitupun, seseorang tidak bebas berbuat sesuka hatinya atas

barang yang dimilikinya, sebab bagaimana memperlakukan dan

menggunakan sumberdaya tersebut dinilai oleh masyarakat.

2.3. Karakteristik Kelembagaan

Lembaga bersifat dinamis, selalu berubah mengikuti perubahan pola

interaksi, nilai, kultur, serta selera masyarakat seiring dengan perubahan waktu.

Dimensi perubahan kelembagaan meliputi :

1) Perubahan konfigurasi/kepentingan pelaku ekonomi, perubahan kelembagaan

dianggap sebagai dampak dari perubahan kepentingan.

2) Sengaja dirancang untuk mempengaruhi/mengatur kegiatan ekonomi.

Tujuan perubahan adalah memperbaiki kualitas interaksi/transaksi

ekonomi antar pelaku menuju keseimbangan baru yang lebih efisien dan

berkeadilan.

Profesor Elinor Ostrom, penggiat kelembagaan dari Indiana University,

Bloomington, mengembangkan kerangka analisis perubahan kelembagaan yang

membaginya dalam tiga level, yaitu 1) Operational rule yang berada pada

operational choice level, 2) Collective choice rule yang berada pada level

collective choice, dan 3) Constitutional rule yang berada pada level constitutional

choice. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1 (Ostrom 1990).

Operational rule adalah aturan main yang berlaku dalam keseharian, yaitu

aturan yang ditemukan dalam sebuah komunitas, organisasi atau kelompok

masyarakat mengenai bagaimana interaksi antar anggota komunitas tersebut

seharusnya terjadi. Terkait dengan pemanfaatan sumberdaya alam, operational

rule merupakan instrumen pembatas mengenai kapan, dimana, seberapa banyak

(29)

Pengawasan (monitoring) terhadap tindakan setiap aktor, penegakan sanksi bagi

para pelanggar dan pemberian reward kepada mereka yang taat aturan semuanya

diatur dalam operational rule. Operational rule berubah seiring dengan perubahan

teknologi, sumberdaya, budaya, keadaan ekonomi, dan lain-lain (Ostrom 1990).

Rules: Constitutional Collective choice Operational

Levels of Analysis

Constitutional choice Collective choice Operational choice

Processes: Formulation Governance Adjudication Modification

Policy-making Management Adjudication

Appropriation Provision Monitoring Enforcement

Gambar 1 Hubungan antara rules dan level analisis kelembagaan (Ostrom 1990).

Walaupun operational rule berubah secara spontan, namun dalam

pelaksanaannya ada ketentuan-ketentuan atau kesepakatan-kesepakatan mengenai

bagaimana operational rule tersebut berubah.

Ketentuan-ketentuan/kesepakatan-kesepakatan tersebut disebut collective choice rule, yaitu aturan mengenai

bagaimana operational rule dibuat atau diubah, siapa yang melakukan perubahan,

dan kapan perubahan tersebut harus berlangsung. Hasil pekerjaan aktor-aktor

yang bermain pada level collective choice akan langsung berpengaruh pada

operational rule (Ostrom 1990).

Kelembagaan pada constitutional choice level mengatur, utamanya,

mengenai siapa yang berwenang bekerja pada level collective choice dan

bagaimana mereka bekerja. Constitutional rule merupakan rule tertinggi yang

tidak semua kelompok, organisasi atau komunitas memilikinya. Collective choice

rule berbeda dengan constitutional rule walaupun aktor yang terlibat dalam

(30)

10

2.4. Property Right

Dalam literatur ekonomi sumberdaya, istilah property right (hak

kepemilikan) didefinisikan sebagai serangkaian hak yang menggambarkan tentang

hak milik (owner’s right), keistimewaan (privileges) dan pembatasan-pembatasan

dalam penggunaan sumberdaya (Tietenberg 1992). Charles (2001)

mengklasifikasikan property right menjadi dua bagian, yaitu property right

regime dan types of right. Property right regime terdiri atas non property, state

property, common property dan private property. Secara lengkap klasifikasi

property right tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Klasifikasi hak kepemilikan (Property right) (Charles 2001).

Hanna et al. (1996) membagi 4 tipe rezim hak kepemilikan dalam sistem

pengelolaan sumberdaya alam, yaitu : (1) hak kepemilikan pribadi (private

property regime); (2) hak milik bersama (common property regime); (3) hak milik

negara (state property regime); dan (4) tanpa hak milik (open acces regime).

Karakteristik masing-masing rezim hak kepemilikan berdasarkan unit pemegang

hak kepemilikan dan hak pemilik, serta tugas-tugas pemilik sebagaimana tersaji

pada Tabel 1.

Hak Kepemilikan

Tipe Hak Kepemilikan Rezim Hak

Kepemilikan

Hak Pengalihan

Hak Eksklusif

Hak Pengelolaan

Hak Pemanfaatan

Hak Akses Akses

Terbuka Negara

Masyarakat

Swasta

(31)

Tabel 1 Tipe hak kepemilikan dalam pemanfaatan sumberdaya alam berdasarkan pemilik, hak dan tugas-tugasnya

Tipe Pemilik Hak Pemilik Kewajiban Pemilik • Hak milik pribadi Individu Penggunaan SDI

secara sosial diterima, kendali akses

Penghindaran

penggunaan secara sosial tidak dapat diterima • Hak bersama Kolektif Pengaturan bukan

pemilik

Pemeliharaan, menghambat tingkat penggunaan

• Hak negara Warga

negara

Menentukan aturan Memelihara tujuan sosial

• Tidak ada hak milik Tidak ada Menangkap Tidak ada Sumber : Hanna et al. (1996)

Common property, menurut Bromley (1991) esensinya adalah hak milik

swasta dalam kelompok, dan kelompok yang menentukan siapa yang tidak

diperkenankan mengambil manfaat dari sumberdaya alam “milik bersama”.

Sementara itu, open access diartikan sebagai suatu situasi sumberdaya alam tanpa

hak milik (no property right). Situasi tersebut muncul karena tidak adanya atau

gagalnya sistem pengelolaan dan wewenang yang bertujuan menerapkan norma

dan kaidah tingkah laku yang berhubungan dengan sumberdaya alam. Dengan

kata lain, rezim tanpa milik (open access) sumberdaya muncul akibat gagalnya

ketiga rezim sebelumnya untuk membawa misi kesejahteraan bersama.

Di dunia rezim pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan yang dominan

ditemukan adalah rezim milik bersama (common property regime) dan open

access (no property right). Common property regime dan open access terbukti

mengalami berbagai kegagalan, baik dalam aspek keberlanjutan sumberdaya

perikanan dan juga memunculkan berbagai tipe konflik, sehingga menimbulkan

tragedi kebersamaan (tragedy of the common) sebagaimana dikemukakan pertama

kali oleh Garrett Hardin (1968). Dalam artikelnya yang terbit dalam Journal

Science tahun 1968, menggambarkan rezim pengelolaan sumberdaya alam akses

terbuka (open access) dimana setiap individu yang memiliki akses terhadap

sumberdaya alam yang bersifat langka akan terdorong (incentive) untuk

meningkatkan intensitas pemanfaatannya demi mendapatkan economic return

dalam jangka pendek. Keadaan seperti ini akan menyebabkan setiap individu

(32)

12

Hak kepemilikan (property right) atau status penguasaan sumberdaya

perikanan merupakan salah satu faktor utama yang menentukan alokasi

sumberdaya yang efisien (efficient resource allocation). Bagaimana produsen dan

konsumen menggunakan sumberdaya ikan dan lingkungan perairan tergantung

pada hak kepemilikan yang mengukur sumberdaya ikan tersebut. Menurut

Tietenberg (1992), secara konseptual, struktur hak kepemilikan dalam

pengelolaan sumberdaya alam untuk menghasilkan alokasi yang efisien pada

suatu ekonomi pasar yang berfungsi dengan baik, ia harus memiliki 4 karakteristik

penting, yaitu :

(1) Universalitas (universality). Semua sumberdaya alam adalah milik pribadi

(privately owned), dan seluruh hak-haknya dirinci dengan lengkap dan jelas.

(2) Eksklusivitas (exclusivity). Semua manfaat yang diperoleh dan biaya yang

dikeluarkan sebagai akibat dari pemilikan dan pemanfaatan sumberdaya itu

harus dimiliki oleh pemiliknya saja, baik secara langsung maupun tidak

langsung dalam transaksi atau penjualan ke pihak lain.

(3) Dapat dipindahtangankan (transferability). Seluruh hak kepemilikan itu bisa

dipindahtangankan dari satu pemilik ke pihak lainnya dengan transaksi yang

bebas dan jelas.

(4) Terjamin pelaksanaannya (enforceability). Hak kepemilikan tersebut harus

aman dari perampasan atau pengambilan secara tidak baik dari pihak lain.

Kalau keempat komponen di atas bisa diterapkan dalam sistem

pengelolaan sumberdaya perikanan, maka alokasi sumberdaya ikan dapat

berlangsung secara efisien.

2.5. Karakteristik Fisik Common Pool Resources (CPRs)

Kegagalan pasar (market failure) akan terjadi dalam alokasi sumberdaya

pada saat hak-hak kepemilikan yang melekat pada sumberdaya tertentu tidak

terdefinisikan secara lengkap atau tidak memiliki salah satu dari keempat

komponen hak kepemilikan. Sumberdaya yang tidak memiliki satupun dari

keempat komponen hak-hak kepemilikan disebut sebagai sumberdaya bersama

(common pool resources).

Sumberdaya bersama adalah sumberdaya alam atau sumberdaya buatan

manusia yang karena besarnya sehingga akses terhadap sumberdaya tersebut sulit

(33)

kesempatan orang lain dari memanfaatkan sumberdaya tersebut (subtractable)

(Ostrom 1990). Oleh karena itu, pihak-pihak yang terlibat dalam pemanfaatannya

tidak memiliki kendali dan tanggung jawab yang jelas terhadap kualitas dan

prospek sumberdaya tersebut, sehingga tidak memiliki insentif untuk membuat

keputusan investasi dan alokasi sumberdaya yang efisien. Karena sumberdaya

bersama ini tidak dikuasai oleh perorangan atau agen ekonomi tertentu, maka

akses terhadap sumberdaya ini tidak dibatasi sehingga mendorong terjadinya

eksploitasi yang berlebihan dan berdampak negatif terhadap lingkungan.

Eksploitasi sumberdaya bersama ini cenderung menguntungkan siapa yang duluan

dan mengeruk terus menerus manfaat (keuntungan) yang bisa diperoleh dengan

mengabaikan pihak lain dan efek yang ditimbulkannya. Tidaklah sukar untuk

mencari contoh-contoh sumberdaya bersama ini, seperti misalnya sumberdaya

perikanan, hutan, irigasi dan padang penggembalaan (Dharmawan dan Daryanto

2002).

Lebih jauh Berkes et al. (1989) menyatakan bahwa CPRs mengandung

dua karakteristik penting yakni (a) excludability atau kontrol terhadap akses oleh

pemakai potensial (potential users) nampaknya tidak dimungkinkan; dan (b)

subtractability, yaitu pemakai dapat mengurangi kesejahteraan orang lain.

Permasalahan yang timbul sehubungan dengan CPRs menurut Ostrom

(1990) terdiri atas :

1) Appropriation problem, yaitu permasalahan dalam hal upaya pengambilan

sesuatu yang dapat diekstrak dari suatu ekosistem sumberdaya (resource unit).

Terkait dengan pemanfaatan non excludable dan subtractable, maka

permasalahan yang timbul adalah sebagai berikut :

a. Appropriation externalities : kegiatan pemanfaatan oleh seseorang dapat

mengurangi manfaat yang bisa diambil orang lain.

b. Assigment problem : ketidakmerataan alokasi manfaat CPRs yang dapat

memicu konflik.

c. Technological externalities : penggunaan suatu teknologi oleh seseorang

user CPRs akan meningkatkan biaya penggunaan teknologi lain yang

dipakai user lain.

Upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas adalah mengatur user

(34)

14

2) Provision problem, yaitu permasalahan dalam hal upaya untuk memelihara

kondisi resource system agar dapat terus memproduksi resource unit. Terkait

dengan pemeliharaan dan peningkatan kapasitas atau menghindari degradasi

produksi CPRs, maka permasalahan yang timbul adalah sebagai berikut :

a. Demand side : pemanfaatan CPRs melebihi kapasitas produksi akan

menurunkan kemampuan produktivitas CPRs memenuhi kebutuhan

pengguna.

b. Supply side : setiap individu memiliki insentif untuk menjadi free rider,

ingin mendapat manfaat dari CPRs tetapi tidak mau turut memelihara.

Upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas adalah memaksa atau

mengarahkan user agar ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan/penjagaan

CPRs.

2.6. Aransemen Kelembagaan dalam Tata Kelola Pembangunan

Kelautan

Saat ini arah kebijakan pembangunan kelautan masih berjalan

sendiri-sendiri. Semua institusi negara yang berkepentingan dengan laut membuat

kebijakan lebih bersifat sektoral. Belum ada suatu mekanisme atau aransemen

kelembagaan yang mampu mensinergikan dan memadukan kebijakan

pembangunan kelautan. Dampaknya, penanganan suatu kasus dalam

pembangunan kelautan acapkali menimbulkan konflik kepentingan ketimbang

solusi integral (Kusumastanto 2010).

Nikhols et al. (2003) dalam Kusumastanto (2010) menyarankan agar

menciptakan aransemen kelembagaan (institutional arrangement) yang

menunjang mekanisme kerja kebijakan kelautan yang disebutnya sebagai ocean

governance (OG). Aspek yang tercakup dalam OG adalah :

a. Pengalokasian masyarakat dan antar institusi negara dalam penggunaan hak,

kepemilikan dan mengurusi sumberdaya kelautan.

b. Pengaturan (regulation) hak pemanfaatan, kepemilikan dan mengurusi

sumberdaya kelautan.

c. Pengembangan suatu lembaga/institusi yang memiliki otoritas untuk

memonitoring dan menegakkan hukum dalam pengelolaan sumberdaya

(35)

d. Penciptaan ketentuan yang efektif untuk mencegah konflik pemanfaatan

sumberdaya kelautan, baik oleh masyarakat maupun antar institusi negara.

Agar bidang kelautan menjadi sebuah bidang unggulan dalam perekonomian

nasional, maka diperlukan suatu kebijakan pembangunan yang bersifat terintegrasi

antar institusi pemerintah dan sektor pembangunan (Kusumastanto 2010). Guna

mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan sebuah kebijakan pembangunan

kelautan nasional yang nantinya menjadi “payung” dalam mengambil sebuah

kebijakan yang bersifat publik. Penciptaan payung ini dibangun oleh sebuah

pendekatan kelembagaan (institutional arrangement) yang lingkupnya mencakup

dua dominan dalam suatu sistem pemerintahan yakni eksekutif dan legislatif.

Gambar 3 Model alur kebijakan pembangunan kelautan dalam tata kelola kelautan (Kusumastanto 2010)

Menkoekuin, Bappenas, Mabes TNI, BPPT, Lemhanas, Meneg LH

Kementerian Teknis :

Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, Perindustrian, Perdagangan, Kelautan dan Perikanan, Pariwisata dan Budaya, Pertahanan, Keuangan, Hukum dan HAM, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Perhubungan, Koperasi dan UKM, Dalam Negeri, Luar Negeri, Pendidikan Nasional

(36)

16

Secara skematis model alur kebijakan pembangunan kelautan dijelaskan

pada Gambar 3 di atas. Dalam konteks itu, maka kebijakan kelautan dan perikanan

pada akhirnya menjadi kebijakan ekonomi politik yang nantinya menjadi tanggung

jawab bersama pada semua level institusi eksekutif dan legislatif yang mempunyai

keterkaitan kelembagaan maupun sektor pembangunan. Sementara pada level

legislatif adalah bagaimana lembaga ini mampu menciptakan instrumen

kelembagaan (peraturan perundangan) pada level pusat maupun daerah untuk

mendukung kebijakan pembangunan kelautan.

2.7. Tata Kelola Kelembagaan Sumberdaya Perikanan

Pengelolaan sumberdaya perikanan terdiri atas dua rezim yang dikenal oleh

masyarakat yaitu pengelolaan sumberdaya perikanan oleh pemerintah atau yang

dikenal dengan sentralistis (Government Centralized Management/GCM) dan

pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis mesyarakat (Community Based

Management/CBM) (Nikijuluw 2002). Pengelolaan sentralistik adalah rezim

pengelolaan dengan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dan wewenang

dalam memanfaatkan sumberdaya, sehingga pemerintah mempunyai hak akses,

hak memanfaatkan, hak mengatur, hak eksklusif dan hak mengalihkan. Implikasi

dari model ini adalah munculnya berbagai konflik yang sangat kompleks di

masyarakat, seperti terjadinya kerusakan sumberdaya, konflik antar kelas sosial

masyarakat nelayan, kemiskinan yang terus dirasakan oleh masyarakat pesisir,

dan lain-lain.

Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat merupakan suatu proses

pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk

mengelola sumberdaya perikanannya sendiri dengan memperhatikan kebutuhan,

keinginan, tujuan dan aspirasinya (Nikijuluw 2002). Dengan model ini,

masyarakat akan bertanggung jawab penuh dalam menjalankan kebijakan

pengelolaan sumberdaya perikanan, karena masyarakat ikut terlibat dalam

membuat perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga evaluasi. Partisipasi

masyarakat tersebut merupakan wujud kepentingannya terhadap kelangsungan

sumberdaya ikan sebagai mata pencaharian hidup sehari-hari (Satria et.al 2002).

Dengan demikian, pengelolaan sumberdaya ikan berbasis masyarakat lebih efektif

(37)

lokal, sehingga dapat mengakomodir setiap aspirasi masyarakat serta pembuat

kebijakan lebih memahami kondisi daerahnya (Satria et.al 2002).

2.8. Konflik Pengelolaan Sumberdaya Ikan

Menurut Fisher et al. (2000), ada 9 alat bantu dalam penelitian untuk

menganalisis konflik, yaitu:

1) Penahapan konflik. Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai aktivitas,

intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Tahapan penahapan ini

terdiri atas :

(1) Pra konflik, ini merupakan periode dimana terhadap suatu

ketidaksesuaian sasaran di antara dua pihak atau lebih, sehingga timbul

konflik.

(2) Konfrontasi, pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka.

(3) Krisis, ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan/atau

kekerasan terjadi paling hebat.

(4) Akibat, suatu krisis pasti akan menimbulkan suatu akibat. Satu pihak

mungkin menaklukkan pihak lain, atau mungkin melakukan gencatan

senjata.

(5) Pasca konflik, akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri

berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan

mengarah ke labih normal di antara kedua pihak.

2) Urutan kejadian. Urutan kejadian merupakan daftar waktu dan menggambarkan

kejadian-kejadian secara kronologis. Tujuan penggunaan urutan kejadian

bukan untuk mendapatkan sejarah yang benar atau obyektif, tetapi untuk

memahami pandangan orang-orang yang terlibat.

3) Pemetaan konflik. Pemetaan merupakan suatu teknik yang digunakan untuk

menggambarkan konflik secara grafis, menghubungkan pihak-pihak dengan

masalah dan dengan pihak lainnya.

4) Segitiga Sikap-Perilaku-Konteks (SPK), merupakan suatu analisis berbagai

faktor yang berkaitan dengan sikap, perilaku dan konteks bagi masing-masing

pihak utama. Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mengidentifikasi ketiga

faktor tersebut di setiap pihak utama, menganalisis bagaimana faktor-faktor

(38)

18

berbagai kebutuhan dan ketakutan masing-masing pihak, dan mengidentifikasi

titik awal intervensi dalam suatu situasi.

5) Analogi bawang Bombay (atau donat), merupakan suatu cara untuk

menganalisis perbedaan pandangan tentang konflik dari pihak-pihak yang

berkonflik.

6) Pohon konflik, merupakan suatu alat bantu, menggunakan gambar sebuah

pohon untuk mengurutkan isu-isu pokok konflik.

7) Analisis kekuatan konflik, merupakan cara untuk mengidentifikasi

kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi konflik.

8) Analogi pilar, merupakan alat bantu yang didasarkan pada keyakinan bahwa

situasi tertentu tidak benar-benar stabil, tetapi ditahan oleh berbagai faktor

atau kekuatan, yaitu pilar-pilar. Alat bantu ini menggunakan ilustrasi berupa

grafik dari elemen-elemen atau kekuatan-kekuatan yang menahan situasi yang

tidak stabil.

9) Piramida, merupakan alat bantu grafik yang menunjukkan tingkat-tingkat

stakeholders dalam suatu konflik.

2.9. Transaksi

Ekonomi klasik/neoklasik berasumsi bahwa transaksi bersifat free of cost.

Dengan kata lain, transaksi dapat berlangsung mengikuti mekanisme pasar tanpa

perlu keluar biaya. Pandangan ini bertolak belakang dengan pemikiran ekonomi

kelembagaan baru yang beranggapan sebaliknya. Pasar tidak akan berjalan

sempurna bila pelaku ekonomi tidak memiliki informasi mengenai barang yang

akan ditransaksikan. Untuk itu, sebagian ekonom berkeyakinan bahwa transaksi

dapat berjalan bila ada informasi. Pengumpulan informasi memerlukan biaya.

Karena itu, asumsi bahwa transaksi dapat berjalan tanpa biaya menjadi

tergoyahkan. Dengan demikian, biaya transaksi menjadi unit analisis penting

dalam ekonomi kelembagaan.

Untuk memahami apa itu biaya transaksi, berikut disampaikan berbagai

pengertian yang disampaikan oleh para pakar. Williamson sebagai salah satu

penggiat ternama ekonomi kelembagaan berpendapat bahwa transaksi adalah

transfer/perpindahan barang dari satu tahap ke tahap lain melalui teknologi yang

(39)

Sedangkan menurut Furubotn dan Richter (2000), transaksi merupakan

perpindahan barang, jasa, informasi, pengetahuan, dan lain-lain dari satu tempat

(komunitas) ke tempat (komunitas) lain atau pemindahan barang dari produsen ke

konsumen, atau pemindahan barang dari satu individu ke individu yang lain. Hal

ini disebut transaksi fisik/delivery.

Selain dalam pengertian perpindahan fisik, transaksi juga meliputi akuisisi

atau pemindahan hak kepemilikan atas barang dari pemilik ke pihak lain.

Transaksi dilihat dari aspek legal. Pengertian transaksi yang lebih luas

disampaikan Max Weber. Menurutnya, transaksi adalah tindakan yang diperlukan

untuk menetapkan, memelihara dan atau mengubah hubungan sosial (Weber

1968). Definisi ini meliputi pembentukan dan upaya mempertahankan kerangka

kelembagaan dimana proses transaksi ekonomi bisa terjadi.

2.10. Biaya Transaksi

Oliver Williamson mendefinisikan biaya transaksi sebagai biaya untuk

menjalankan sistem ekonomi (Williamson 1985). Doglas North menyebutnya

sebagai biaya untuk menspesifikasi dan memaksakan kontrak yang mendasari

pertukaran, sehingga dengan sendirinya mencakup biaya organisasi politik dan

ekonomi. Dengan demikian, meliputi biaya negosiasi, mengukur, dan

memaksakan pertukaran (North 1990).

2.11. Biaya Transaksi dalam Ko-Manajemen Perikanan

Abdullah et al. (1998) mengelompokkan biaya transaksi dalam

ko-manajemen perikanan menjadi tiga kategori, yaitu : (1) biaya informasi, (2) biaya

pengambilan keputusan bersama, dan (3) biaya operasional. Kategori pertama

dan kedua merupakan biaya transaksi sebelum kegiatan kontrak (ex ante

transaction cost), sedangkan kategori ketiga merupakan biaya transaksi sesudah

kegiatan (ex post transaction cost).

Abdullah et al. (1998) menyatakan bahwa masing-masing kategori

memiliki beberapa turunan aktivitas yang memungkinkan terdapatnya biaya

transaksi. Pertama, biaya informasi mencakup beberapa aktivitas, yaitu (a) upaya

untuk mencari dan memperoleh pengetahuan tentang sumberdaya, (b)

(40)

20

free riding. Kedua, biaya pengambilan keputusan bersama mencakup beberapa

aktivitas, yaitu (a) menghadapi permasalahan di bidang perikanan, (b)

keikutsertaan dalam pertemuan atau rapat, (c) membuat kebijakan atau aturan, (d)

menyampaikan hasil keputusan, dan (e) melakukan koordinasi dengan pihak yang

berwenang di tingkat lokal dan pusat. Ketiga, biaya operasional bersama dalam

ko-manajemen perikanan dijabarkan lagi menjadi tiga kelompok biaya, dimana

masing-masing kelompok mencakup beberapa kegiatan. Ketiga kelompok biaya

tersebut adalah :

(1) Biaya pemantauan, penegakan dan pengendalian terdiri dari pemantauan

aturan-aturan perikanan, pengelolaan laporan hasil tangkapan, pemantauan

lokasi penangkapan, pemantauan input untuk kegiatan penangkapan,

manajemen atau resolusi konflik, serta pemberian sanksi terhadap setiap

pelanggaran.

(2) Biaya mempertahankan kondisi sumberdaya terdiri dari perlindungan

terhadap hak-hak penangkapan, peningkatan stok sumberdaya, dan evaluasi

terhadap kondisi sumberdaya.

(3) Biaya distribusi sumberdaya terdiri dari distribusi hak penangkapan, dan

biaya kelembagaan atau keikutsertaan.

2.12. Kebijakan Pengembangan Kelembagaan

Salah satu problem utama dalam pembangunan kelautan sejak Orde

Baru sampai saat ini adalah bagaimana menciptakan suatu mekanisme

kelembagaan yang menunjang pengelolaan sumberdaya kelautan. Untuk

melakukan suatu analisis dan pengembangan kelembagaan dibutuhkan

framework analisis kelembagaan. Framework tersebut dinamakan Institutional

Analysis and Development (IAD). Kerangka analisis ini telah digunakan untuk

menguji pengaturan kelembagaan – aransemen kelembagaan (institutional

arrangement) dalam pengelolaan air tanah, common pool resources (misalnya

sistem irigasi, kehutanan dan perikanan), organisasi metropolitan dan

pengembangan infrastruktur pedesaan. IAD ini dapat digunakan juga untuk

menguji aransemen kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Hasil

dari analisis dan pengujian ini diharapkan akan mampu mengembangkan suatu

mekanisme kelembagaan yang sesuai (Kusumastanto 2003). Secara skematik

(41)

Gambar 4 Framework analisis dan pengembangan kelembagaan. Modifikasi dari Ostrom, Gardner, and Walker (1999), diacu dalam Kusumastanto (2003).

IAD secara teoritik merupakan suatu kerangka kerja yang dapat

membantu untuk menganalisis performa dan struktur aransemen kelembagaan.

Diferensiasi analisis kelembagaan berasal dari bentuk analisis organisasi yang

terfokus pada aturan. Aturan yang bersifat formal (hukum, kebijakan,

peraturan) dan informal (norma sosial) (Kusumastanto 2003).

Oleh karena itu, analisis kelembagaan mencoba untuk menguji

permasalahan yang dihadapi oleh suatu kelompok individu atau organisasi dan

bagaimana aturan itu digunakan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

IAD menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi desain kelembagaan

seperti karakteristik fisik suatu ekosistem dan problem yang bersifat alami,

budaya individu (organisasi), sehingga mampu menyelesaikan problem yang

dihadapi. Selain itu, IAD juga dapat melakukan penyusunan kelembagaan yang

bersifat individu maupun organisasi (Kusumastanto 2003).

• Atribut fisik dari sistem

• Aturan/kelembagaan

• Atribut masyarakat/budaya

Arena aksi :

• Pelaku (actor)

• Situasi yang diputuskan (decision situation)

Pola interaksi (antar jaringan kerja

pemerintah)

• Performa kelembagaan

• Hasil kebijakan Evaluasi

• Biaya informasi

• Biaya koordinasi

• Biaya strategi

Performa kelembagaan secara keseluruhan

• Efisiensi

• Keseimbangan fiskal

• Redistribusi keadilan

• Akuntabilitas

• Adaptabilitas Evaluasi Dampak

Gambar

Gambar 2  Klasifikasi hak kepemilikan (Property right) (Charles 2001).
Gambar 3 Model alur kebijakan pembangunan kelautan dalam tata kelola kelautan
Gambar 4 Framework analisis dan pengembangan kelembagaan. Modifikasi
Gambar 5  Kerangka pendekatan studi.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Impulse Response

[r]

[r]

Pada pernyataan kelima “Apa yang saya dapat di toko Kopinkra sesuai dengan yang saya keluarkan”, dapat digambarkan bahwa responden yang menjawab sangat setuju 25 orang atau

Pendekatan inkuiri yang diterapkan dibatasi pada jenis inkuiri terbimbing (guided inquiry). Pada inkuiri terbimbing, guru mengemukakan masalah sedangkan siswa yang

Sehubungan dengan hal tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan sistem administrasi perpajakan modern terhadap kepatuhan wajib pajak

Pada kompon variasi 1 dengan komposisi 30% carbon black dan 2% sulfur dari jumlah seluruh komposisi kompon, menghasilkan harga koefisien grip sebesar 0,653 kondisi lintasan kering

catalogue could use the RSS auto discovery protocol to find all the services available at a site and harvest them ... without having to have a priori knowledge of the URL for