• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh penambahan komponen fenolik teroksidasi terhadap karakteristik gel surimi ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh penambahan komponen fenolik teroksidasi terhadap karakteristik gel surimi ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)"

Copied!
177
0
0

Teks penuh

(1)

i

IMA WIJAYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

iii

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Pengaruh Penambahan Komponen Fenolik Teroksidasi terhadap Karakteristik Gel Surimi Ikan Lele Dumbo (Clarias Gariepinus)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2012

Ima Wijayanti

(4)
(5)

v

IMA WIJAYANTI. Adding Effect of Phenolic Compound on the Gel Properties of Catfish (Clarias gariepinus) Surimi. Supervised by JOKO SANTOSO and AGOES M. JACOEB.

Catfish (Clarias gariepinus) has potential as raw material of surimi because the production is abundant. However, research is needed to enhance the gel strength of catfish surimi. The effect of leaching times on the proximate composition and gel properties of catfish surimi were studied. Three times of leaching produced better characteristics of the gel rather than leaching 1 and 2 times. Commercial tannic acid and tea leaf extract were added in producing surimi gel. Ethanol extracts from tea leaves powder 100 mesh size used in surimi since had higher total phenol content (47.34 mg/g) than 60 mesh. The effects of different oxidised phenolic compounds (tannic acid (K) and tea leaf extract (T) at different levels (0–0.50%) of protein content) on the properties of gels from catfish (Clarias gariepinus) surimi were investigated. Gels with addition of 0.50% tannic acid and 0.4% tea extract increased in WHC by 27.27 % and 20.5% and decreased in EMC by 34.55% and 44.85% respectively. The highests deformation, gel strength and breaking force had been reached by 0.5% tannic acid and 0.4% tea leaf extract. Whiteness decreased slightly with the increasing of phenolic concentration. Tannic acid 0.5% and tea leaf extract 0.4% gave the best textural properties on gel surimi. Result of sensory evaluation indicated that addition of oxidised phenolic compounds had positive impact in folding test and teeth cutting test however there were no effect in taste of surimi gels. Gels with addition of all oxidised phenolics exhibited fibrillar structures which were more compact in compared to control. Optimum concentration of phenolic compound to enhance catfish surimi gel are 0.5 % for tannic acid and 0.4% for tea leaf extract.

(6)
(7)

vii

terhadap Karakteristik Gel Surimi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus). Dibimbing oleh JOKO SANTOSO and AGOES M. JACOEB.

Budidaya lele cukup mudah sehingga terus dikembangkan di Indonesia dan termasuk komoditas yang dikembangkan pada kebijakan minapolitan. Bertambahnya jumlah ikan lele hasil budidaya bisa menjadi pilihan sebagai bahan

baku bagi produk olahan hasil perikanan misalnya surimi. Teknologi pengolahan surimi dari bahan baku ikan air tawar masih terus dikembangkan karena kualitas gel yang dihasilkan masih rendah. Penambahan komponen fenolik teroksidasi pada surimi telah dikaji pada beberapa spesies ikan laut, namun demikian penggunaannya pada ikan air tawar belum pernah dilakukan. Penambahan komponen fenolik teroksidasi pada surimi ikan lele diharapkan menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan kualitas gel. Penelitian ini bertujuan memperoleh teknologi pembuatan surimi dari ikan lele dengan penambahan komponen fenol teroksidasi untuk peningkatan kekuatan gel. Penelitian dilakukan dalam 3 tahap, yaitu penentuan frekuensi pencucian terbaik dalam pembuatan surimi, ekstraksi fenol dari daun teh serta penentuan jenis fenol dan konsentrasi yang ditambahkan pada surimi lele.

Frekuensi pencucian yang dicobakan dalam penelitian ini adalah 1x, 2x, 3x dan 4x. Frekuensi pencucian berpengaruh nyata terhadap komposisi kimia dan karakteristik gel surimi lele. Frekuensi pencucian meningkatkan kandungan air, menurunkan kadar protein, lemak dan mineral surimi lele. Nilai WHC dan deformasi meningkat seiring bertambahnya frekuensi pencucian. Kekuatan gel dan pH cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya frekuensi pencucian meskipun secara statistika tidak berbeda nyata. Pencucian 3 kali memberikan hasil karakteristik gel lebih baik dibandingkan pencucian 1 dan 2 kali.

Ekstraksi fenol dilakukan pada daun teh kering yang telah dihaluskan menjadi serbuk dengan ukuran berbeda (100 mesh dan 60 mesh). Ekstraksi dengan kandungan total fenol terbaik akan diaplikasikan pada surimi lele. Kandungan total fenol terbaik dihasilkan pada ekstrak dari serbuk dengan ukuran 100 mesh yaitu 47,34 mg tanin/g bubuk kering atau setara dengan 4,73%.

(8)

viii

berpengaruh nyata pada tingkat kesukaan (hedonic scale). Gel dengan penambahan fenol teroksidasi baik pada asam tanat komersial maupun ekstrak teh menunjukkan struktur serat yang lebih kompak dan lebih halus dibanding kontrol. Gel dengan penambahan asam tanat teroksidasi (K) dan ekstrak teh (T) pada konsentrasi 0,4% dan 0,5% menunjukkan struktur mikro yang terbaik.

Penambahan senyawa fenol teroksidasi pada surimi lele berpengaruh nyata terhadap karakteristik gel surimi lele dibandingkan kontrol. Konsentrasi optimum yang dapat digunakan untuk meningkatkan karakteristik gel surimi lele adalah 0,5% pada asam tanat dan 0,4% pada ekstrak teh.

(9)

ix

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(10)
(11)

xi

IMA WIJAYANTI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister sains

pada Program Studi Teknologi Hasil perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

xiii

Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

Nama : Ima Wijayanti

NRP : C351100011

Program Studi : Teknologi Hasil Perairan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr.Ir.Joko Santoso, M.Si Dr.Ir.Agoes M.Jacoeb,Dipl-Biol Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana, Teknologi Hasil Perairan Institut Pertanian Bogor

Dr.Tati Nurhayati, S.Pi,M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(14)
(15)

xv

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan yang berjudul Pengaruh Penambahan Komponen Fenolik Teroksidasi terhadap Karakteristik Gel Surimi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus).

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si selaku ketua komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, saran dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis. Terima kasih atas ilmu yang Bapak berikan, semoga bermanfaat bagi saya pribadi maupun institusi tempat saya bekerja.

2. Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl. Biol sebagai anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan memberi masukan serta motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan tesis.

3. Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si selaku ketua program S2 Teknologi Hasil Perairan IPB dan Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc sebagai penguji luar komisi atas masukan dan saran untuk perbaikan penulisan tesis.

4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas kesempatan dan beasiswa yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi S2.

5. Seluruh staf pengajar program studi Teknologi Hasil Perairaan FPIK IPB, terima kasih atas ilmu dan pengalaman yang diberikan selama penulis studi S2.

6. Suamiku tercinta, Setianto yang telah sabar serta penuh pengertian dan kasih sayang mendukung penulis untuk melanjutkan tugas belajar meskipun harus jauh dari keluarga. Putri kami Delisha yang menjadi semangat penulis untuk segera menyelesaikan studi.

7. Ibu (Purwati) dan Ayah (Sugiharto) serta adik-adik (Priyo, Nana, Anto dan Vivi), terima kasih untuk doa yang selalu mengiringi dan kasih sayang yang tidak terputus serta dukungan selama ini.

8. Ibu mertua (Darmi), Bapak mertua (Suwardi) dan adik Nia, terima kasih atas doa dan dukungannya serta telah menjaga putri kami dengan penuh kasih sayang selama penulis menjalankan studi.

9. Prof. Dr. Ir. YS. Darmanto, M.Sc dan Dr. Ir. Tri Winarni, M.Sc (Ketua dan Sekretaris Laboratorium THP FPIK UNDIP) atas segala dukungan selama penulis penelitian serta seluruh staf pengajar THP FPIK UNDIP atas doa dan motivasinya.

(16)

xvi bantuan yang diberikan.

13. Teman-teman sekelas THP 2010 (Mbak Yenni, Mbak Nani, Vivi, Tyas, Fikri, Wiwit, Dewi, Eka, Tia, Pak Agus, Kak Leny dan Usi Kristin) terima kasih atas kebersamaan kita selama ini, semoga jalinan silaturahmi kita tetap terjaga.

Penulis menyadari masih ada kekurangan di dalam penyusunan tesis ini, meskipun demikian semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Juli 2012

(17)

xvii

Penulis dilahirkan di Jepara, pada tanggal 5 April 1981. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara keluarga Bapak Sugiharto dan Ibu Purwati. Pada tahun 1999, setelah menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Umum di SMU Negeri 1 Jepara, penulis diterima di Universitas Diponegoro melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) di Universitas Diponegoro pada Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada tahun 2004.

(18)
(19)

xix

2.4 Sifat Fungsional Protein... 13

2.4.1 Pembentukan gel/gelasi (gelation)... 14

2.4.2 Water holding capacity (WHC) ... 16

2.5 Surimi... 16

2.5.1 Standar kualitas surimi... 18

2.6 Faktor yang Berpengaruh pada Kualitas Surimi ... 20

2.6.1 Spesies... 20

2.6.2 Kematangan seksual atau musim ... 20

2.6.3 Kesegaran atau rigor ... 21

2.6.4 Faktor pengolahan... 22

2.7 Bahan Penguat Gel pada Surimi ... 22

2.7.1 Air ... 23

2.7.2 Pati ... 23

2.7.3 Protein aditif... 24

2.7.4 Hidrokoloid ... 25

2.7.5 Senyawa kimia food grade... 25

2.8 Texture Profile Analysis... 26

2.9 Senyawa Fenolik ... 29

2.9.1 Metabolisme senyawa fenol... 31

2.9.2 Asam tanat... 32

2.10 Oksidasi Senyawa Fenolik ... 33

2.10.1 Oksidasi enzimatik komponen fenolik... 33

2.10.2 Auto oksidasi komponen fenolik (non enzimatik) ... 35

(20)

xx

3.1 Waktu dan Tempat... 41

3.2 Bahan dan Alat ... 41

3.2.1 Bahan ... 41

3.2.2 Alat ... 41

3.3 Tahapan Penelitian ... 42

3.3.1 Persiapan bahan ... 42

3.3.2 Penelitian tahap 1... 42

3.3.3 Penelitian tahap 2... 43

3.3.4 Penelitian tahap 3... 44

3.4 Persiapan Gel (Kamaboko)... 44

3.5 Prosedur Analisis ... 48

3.5.1 Analisis fisik ... 48

3.6 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ... 54

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 57

4.1 Pengaruh Frekuensi Pencucian terhadap Kualitas Surimi Lele... 57

4.1.1 Komposisi kimia... 57

4.2 Ekstrak Fenol dari Daun Teh... 70

4.3 Pengaruh Penambahan Senyawa Fenol Teroksidasi pada Surimi Lele ... 72

4.3.1 Nilai organoleptik dan komposisi kimia ikan segar ... 73

4.3.2 pH ... 74

4.3.3 Protein larut garam ... 75

(21)

xxi

4.3.8 Sensorik... 89

4.3.9 Scanning electron microscope(SEM) ... 91

5 SIMPULAN DAN SARAN ... 95

5.1 Simpulan ... 95

5.2 Saran... 95

DAFTAR PUSTAKA ... 97

(22)
(23)

xxiii

1 Standar mutu surimi berdasar pengujian kamaboko ... 19

2 Persyaratan mutu dan keamanan pangan surimi beku ... 19

3 Komposisi polifenol pada teh hijau dan teh hitam (% berat/berat)... 40

4 Lembar pengujian uji lipat ... 53

5 Lembar pengujian uji gigit ... 53

6 Lembar penilaian uji kesukaan/hedonik... 54

7 Komposisi kimia ikan lele segar ... 58

8 Komposisi kimia surimi dengan frekuensi pencucian berbeda... 59

9 Komposisi kimia kamaboko dengan frekuensi pencucian berbeda ... 59

10 Nilai water holding capacitydan expressible moisture contentgel surimi

dengan frekuensi pencucian yang berbeda... 65

11 Nilai deformasi dan kekuatan gel (gel strength) surimi lele ... 68 12 Kadar air, rendemen dan total fenol serbuk daun teh ... 71

13 Nilai organoleptik ikan lele segar ... 73

14 Komposisi kimia ikan segar dan surimi lele ... 74

15 Komposisi asam amino ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)... 77 16 Nilai water holding capacity(WHC) dan expressible moisture content

(EMC) gel surimi dengan penambahan jenis fenol teroksidasi dan

konsentrasi yang berbeda ... 78

17 Nilaitexture profile analysis(TPA) gel surimi lele dengan penambahan

jenis fenol teroksidasi dan konsentrasi berbeda... 84

18 Nilai warna gel surimi dengan dengan penambahan jenis fenol teroksidasi dan konsentrasi berbeda ... 87

19 Nilai uji lipat, uji gigit dan tingkat kesukaan terhadap gel surimi dengan

(24)
(25)

xxv

Halaman 1 Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)... 7 2 Molekul miosin (King 2011)... 11

3 Kurva texture profile analysisGF Texturometer(Bourne 2002)... 27 4 Beberapa jalur biosintesis grup utama senyawa fenol (Michalak 2006) ... 32

5 Oksidasi sebuah ortho-difenol menjadi kuinon (Prigent 2005 diacu dalam

Balange 2009) ... 34

6 Mekanisme kresolase dan katekolase dari polifenol oksidase (Matheis dan Whitaker 1984 diacu dalam Balange 2009)... 35 7 Oksidasi 1,4-dihidroksibenzena menjadi -kuinon (Vermerris dan Nicholson

2006)... 35

8 Auto oksidasi katekol membentuk dimer yang berbeda (Vermerris dan

Nicholson 2006) ... 36

9 Mekanisme reaksi fenol teroksidasi dengan protein (Kroll dan Rawel 2001) 37

10 Mekanisme monodentatedan multidentate(Haslam 1989 diacu dalam

Balange 2009) ... 38

11 Diagram alir penelitian tahap pertama ... 45

12 Diagram alir penelitian tahap kedua ... 46

13 Diagram alir penelitian tahap ketiga ... 47

14 Nilai pH surimi dengan frekuensi pencucian berbeda ... 63

15 Nilai pH kamaboko dengan frekuensi pencucian berbeda... 63

16 Nilai protein larut garam gel surimi dengan pencucian berbeda ... 67

17 Nilai uji lipat gel surimi lele dengan frekuensi pencucian berbeda ... 69

18 Nilai uji gigit gel surimi lele dengan frekuensi pencucian berbeda... 70

19 Nilai pH gel surimi dengan penambahan jenis fenol teroksidasi dengan

konsentrasi berbeda ... 75 20 Nilai protein larut garam gel surimi dengan penambahan jenis fenol

teroksidasi dengan konsentrasi berbeda ... 76

21 Nilai deformasi gel surimi dengan penambahan jenis fenol teroksidasi

dengan konsentrasi berbeda ... 80

22 Kekuatan gel kamaboko dengan penambahan jenis fenol teroksidasi

dengan konsentrasi berbeda ... 81 23 Nilai breaking forcegel surimi dengan penambahan jenis fenol teroksidasi

dengan konsentrasi berbeda ... 82

24 Scanning electron microscopy(SEM) gel surimi dengan penambahan

(26)
(27)

xxvii

(28)

xxviii

19 Analisis ragam pH kamaboko dengan jenis dan konsentrasi fenol

teroksidasi yang berbeda...126

20 a. Analisis ragam protein larut garam kamaboko dengan jenis dan

konsentrasi fenol teroksidasi yang berbeda ...127 b. Uji beda protein larut garam kamaboko pada level konsentrasi ...127

21 a. Analisis ragam WHC kamaboko dengan jenis dan konsentrasi fenol

teroksidasi yang berbeda...128 b. Uji beda WHC kamaboko dengan jenis dan konsentrasi fenol teroksidasi yang berbeda ...128 22 a. Analisis ragam EMC gel surimi dengan jenis dan konsentrasi fenol

teroksidasi yang berbeda...129 b. Uji beda EMC gel surimidengan jenis dan konsentrasi fenol teroksidasi yang berbeda ...129 23 a. Analisis ragam deformasi gel surimi dengan jenis dan konsentrasi fenol

teroksidasi yang berbeda...130 b. Uji beda deformasi kamaboko pada level konsentrasi... 130 24 a. Analisis ragam gel strengt gel surimi dengan jenis dan konsentrasi fenol

teroksidasi yang berbeda...131 b. Uji beda gel strength gel surimi dengan jenis dan konsentrasi fenol

teroksidasi yang berbeda...131 25 a. Analisis ragam break forcegel surimi dengan jenis dan konsentrasi

fenol teroksidasi yang berbeda ...132 b. Uji beda break forcegel surimi dengan jenis dan konsentrasi fenol

teroksidasi yang berbeda...132

26 a. Analisis ragam hardnessgel surimi dengan jenis dan konsentrasi fenol

teroksidasi yang berbeda...133 b. Uji beda hardnessgel surimi pada level konsentrasi...133 27 Analisis ragam cohesivenessgel surimi dengan jenis dan konsentrasi fenol

teroksidasi yang berbeda...134 28 a. Analisis ragam springinessgel surimi dengan jenis dan konsentrasi fenol

teroksidasi yang berbeda...135 b. Uji beda springinessgel surimi dengan jenis dan konsentrasi fenol

teroksidasi yang berbeda...135 29 a. Analisis ragam adhesive forcegel surimi dengan jenis dan konsentrasi

fenol teroksidasi yang berbeda ...136 b. Uji beda adhesive forcegel surimi dengan jenis dan konsentrasi fenol

teroksidasi yang berbeda...136

30 a. Analisis ragam gumminessgel surimi dengan jenis dan konsentrasi fenol teroksidasi yang berbeda...137 b. Uji beda gumminessgel surimi dengan jenis dan konsentrasi fenol

(29)

xxix

32 a. Analisis ragam Lightness(L*) gel surimi dengan jenis dan konsentrasi

fenol teroksidasi yang berbeda ... 139 b. Uji beda Lightness(L*)gel surimi pada level konsentrasi ... 139 33 a. Analisis ragam redness/greennes(a*) gel surimi dengan jenis dan

konsentrasi fenol teroksidasi yang berbeda... 140 b. beda redness/greennes(a*) gel surimi dengan jenis dan konsentrasi

fenol teroksidasi yang berbeda ... 140 34 a. Analisis ragam yellowness/blueness(b*) gel surimi dengan jenis dan

konsentrasi fenol teroksidasi yang berbeda... 141 b. Uji beda yellowness/blueness(b*) gel surimi pada level konsentrasi... 141 35 a. Analisis nonparametrik Kruskal Wallis uji lipat gel surimi dengan

jenis dan konsentrasi fenol teroksidasi yang berbeda ... 142 b. Uji beda Multiple Comparison pada uji lipat gel surimi ... 143 36 a. Analisis nonparametrik Kruskal Wallis uji gigit gel surimi dengan

jenis dan konsentrasi fenol teroksidasi yang berbeda ... 145 b. Uji beda Multiple Comparison pada uji gigit gel surimi... 146 37 a. Analisis nonparametrik Kruskal Wallis uji kesukaan gel surimi dengan

(30)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Produksi perikanan nasional pada tahun 2009 mencapai 9,8 juta ton dan

hingga akhir tahun 2010 ditaksir mencapai 10,83 juta ton atau mencapai 100,56%

dari target sebesar 10,76 juta ton. Sektor perikanan budidaya memberi kontribusi

peningkatan terbesar yakni 50,55% (KKP 2011). Lele termasuk dari 10 jenis

komoditas unggulan yang dibudidayakan dan termasuk komoditas yang

dikembangkan pada kebijakan minapolitan (Ditjen Perikanan Budidaya KKP

2009).

Meningkatnya jumlah ikan lele hasil budidaya diharapkan dapat menjadi

alternatif sumber protein hewani. Permasalahan sekarang dan masa depan adalah

kurangnya alternatif pemanfaatan ikan lele hasil budidaya. Keadaan ini akan

mengakibatkan adanya penahanan panen atau penundaan panen bagi sebagian

petani atau pengusaha budidaya ikan, menunggu giliran pemasaran bagi ikan

segarnya (Hustiany 2005). Bertambahnya jumlah ikan lele hasil budidaya bisa menjadi pilihan sebagai bahan baku bagi produk olahan hasil perikanan. Dengan

demikian ikan tersebut tidak hanya dijual segar namun dapat diolah lebih lanjut

menjadi produk diversifikasi sehingga dapat memberikan nilai tambah.

Salah satu diversifikasi produk olahan hasil perikanan adalah surimi.

Surimi adalah lumatan daging ikan, yang dicuci untuk menghilangkan sebagian

besar lemak, darah, enzim dan protein sarkoplasma serta distabilkan dalam

kondisi beku dengan menambahkan cryoprotectant (Balange dan Benjakul 2009a). Surimi adalah protein miofibril yang distabilisasi dan diperoleh dari

daging ikan yang telah dibuang tulangnya, dicuci dengan air serta dicampur

dengan cryoprotectant. Surimi merupakan produk intermediate yang digunakan dalam berbagai variasi produk, mulai dari produk kamaboko tradisional di Jepang

sampai sebagai substitusi atau pengganti shellfish/kerang-kerangan (Park dan Morrissey 2000).

Bahan baku surimi biasanya dari spesies ikan laut yang berdaging putih,

(31)

(Priachantus tayenus) dan beloso (Saurida tumbil). Namun spesies-spesies tersebut mulai mengalami overfishing. Produksi ikan air tawar cukup besar

dengan nilai komersialnya masih rendah. Oleh karena itu ikan air tawar

berpotensi sebagai bahan baku surimi. Teknologi pengolahan surimi dari bahan

baku ikan air tawar masih terus dikembangkan karena kualitas gel yang dihasilkan

masih rendah.

Wang et al. (2001) melaporkan bahwa pembentukan gel surimi dari

Japannese common carp lebih rendah dibandingkan dengan surimi dari Alaska pollack. Demikian pula pada surimi dari silver carp, grass carp dan common carp(Luo et al.2001). Namun demikian beberapa perlakuan, misalnya pencucian dan penggunaan bahan tambahan (TGase, bovine plasma, protein kedelai, putih

telur), dapat meningkatkan kualitas gel kamaboko pada Japannese common carp. Li dan Xia (2010) membuktikan kekuatan gel ikan mas (silver carp) dapat ditingkatkan dengan penambahan kitosan. Rendahnya kualitas gel surimi dari

ikan tawar juga disebabkan adanya fenomena modori oleh enzim endogenous serin proteinase. Penambahan soybean tripsin inhibitorpada crucian carpdapat menurunkan aktivitas enzim tersebut (Jiang et al. 2006). Hossain et al. (2004) menyatakan bahwa surimi dari silver carp dan pangasius (ikan patin) dapat diproduksi dengan penambahan 0,1% NaCl pada proses pencucian dalam waktu

10 menit. Gel yang kuat dapat diperoleh dengan penambahan garam 3% serta

dengan pemanasan dua tahap.

Usaha untuk meningkatkan kekuatan gel surimi banyak dilakukan.

Penambahan zat pengoksidasi pada proses pencucian dapat meningkatkan kualitas

gel surimi terutama pada ikan dengan kualitas rendah (Patcharat et al. 2006). Penggunaan temperatur settingmedium (25 °C) pada beberapa spesies ikan tropis dapat meningkatkan kekuatan gel ketika waktu setting dinaikkan (Benjakul et al.

2003). Selain itu berbagai bahan ditambahkan untuk memperbaiki kekuatan gel

pada surimi. Penambahan gelatin ikan dapat meningkatkan kualitas gel Alaska Pollock(Briones et al. 2009); isolat protein kedelai 10% meningkatkan kekuatan gel silver carp yang diinkubasi pada suhu 50 °C selama 60 menit (Luo et al.

2008); penambahan kalsium klorida 0,4% meningkatkan sifat mekanis gel pada

(32)

gel surimi cumi-cumi yang berkualitas rendah (Otero et al. 2010); pada konsentrasi 1% konjak glukomanan dapat mengurangi denaturasi protein surimi

grass carpyang disimpan pada -18 °C (Xiong et al. 2009).

Senyawa fenolik merupakan senyawa yang memiliki satu atau lebih grup

hidroksil yang terikat secara langsung pada sebuah cincin aromatik fenol dalam

cincin karbon. Meskipun demikian grup hidroksil fenol dipengaruhi oleh

keberadaan cincin aromatik. Karena merupakan cincin aromatik, hidrogen dari

hidroksil fenolik bersifat labil dan membuat fenol bersifat asam lemah. Senyawa

polifenol didefinisikan sebagai senyawa yang memiliki grup hidroksil fenolik

lebih dari satu yang melekat pada satu atau lebih cincin benzena (Vermerris dan

Nicholson 2009). Polifenol terdistribusi luas sebagai komponen minor tetapi

berfungsi penting pada jaringan tanaman, berada pada jaringan yang keras atau

kaku misalnya pada sekam dari butir-butir sereal, dinding sel buah (apel, anggur),

biji kopi, daun teh dan umbi akar (kentang) (Naczk dan Shahidi 2004 diacu dalam

Balange dan Benjakul 2009a).

Oksidasi senyawa fenolik dapat menghasilkan kuinon (Balange 2009).

Autooksidasi mengacu pada pembentukan struktur ikatan silang (cross-linked) sebagai akibat dari terpapar cahaya dan oksigen. Di bawah pengaruh cahaya,

oksigen dapat memisahkan proton dan menghasilkan radikal. Hal ini mungkin

terjadi jika proton berdekatan dengan ikatan rangkap, karena elektron radikal

dapat terdelokalisasi sehingga menurunkan energi. Mengingat sifat aromatiknya,

senyawa fenolik mudah teroksidasi secara otomatis. Radikal yang dihasilkan

kemudian dapat bereaksi dengan radikal lain untuk membentuk dimer (Vermerris

dan Nicholson 2009). Kuinon dapat membentuk sebuah dimer dalam satu sisi

reaksi atau bereaksi dengan asam amino atau dengan sisi rantai sulfhidril dari

polipeptida untuk membentuk kovalen ikatan C-N atau C-S dengan regenerasi

hidrokuinon. Selanjutnya bisa direoksidasi dan mengikat polipeptida dengan

cepat menghasilkan sebuah ikatan silang (Balange dan Benjakul 2009a).

Penggunaan komponen fenolik teroksidasi sebagai bahan untuk

meningkatkan kekuatan gel pada surimi telah dilakukan pada surimi dari ikan

kembung dan ikan mata besar. Penambahan komponen asam ferulat, asam kafeat,

(33)

0,15%, 0,05% dan 0,05% pada surimi ikan mata besar menunjukkan peningkatan

gel yang signifikan dibanding kontrol (Balange dan Benjakul 2009a). Pada ikan

berdaging merah misalnya kembung (Rastrelliger kanagurta) penambahan komponen fenol teroksidasi meningkatkan breaking force hingga 70,3% dibanding kontrol (Balange dan Benjakul 2009b). Penambahan asam tanat

teroksidasi sampai 0,2% menunjukkan pembentukan agregasi natural actomiosin

(NAM) ketika diinkubasi pada temperatur 40 °C (Balange Benjakul 2009c).

Balange dan Benjakul (2009c) melaporkan bahwa komponen fenolik bereaksi

dengan protein menghasilkan ikatan silang sehingga mampu meningkatan

kekuatan gel dari surimi.

Tanin merupakan komponen fenolik yang terdapat pada kulit dan buah

beberapa tanaman. Ekstraksi tanin pada kayu kiam telah digunakan untuk

meningkatkan kekuatan gel surimi ikan mackerel. Konsentrasi 0,30% tanin kayu

kiam yang dikestrak dengan air meningkatkan breaking force 134,81% dan

deformation 52,6%, sedangkan pada konsentrasi 0,15% tanin yang diekstrak dengan etanol meningkatkan breaking force dan deformation masing masing 136,09% dan 54,96% (Balange 2009). Daun teh dikenal mengandung komponen

fenolik yang cukup tinggi. Bajaj dan Devsharma (1977) melaporkan bahwa daun

teh hijau mengandung tanin 23%. Teh banyak dimanfaatkan sebagai minuman

kesehatan dengan aktivitas antioksidan tinggi terutama yang dimanfaatkan adalah

pucuk daunnya, sedangkan daun teh tua belum banyak dimanfaatkan.

Penggunaan ekstrak tanin pada daun teh sebagai agen pembentuk ikatan silang

dengan protein ikan belum dilakukan.

1.2 Perumusan Masalah

Permasalahan ketersediaan bahan baku pada pembuatan surimi di Indonesia

disebabkan oleh menurunnya jumlah ikan hasil tangkapan akibat overfishing. Selain itu ikan yang berasal dari laut bersifat musiman, sehingga stock untuk

bahan baku tergantung dari musim ikan yang ada. Sekarang ini budidaya ikan air

tawar terus ditingkatkan di Indonesia sehingga produksinya semakin meningkat.

Oleh arena itu penggunaan ikan air tawar hasil budidaya sebagai bahan baku

(34)

Jepang dan Cina mulai mengembangkan surimi dari beberapa ikan air tawar hasil

budidaya misal ikan mas dan nila.

Dibandingkan dengan ikan air laut, tekstur ikan air tawar lebih berair,

sehingga untuk bahan baku surimi diperlukan cara pengolahan yang baik untuk

meningkatkan kualitas gelnya. Lele salah satu jenis ikan air tawar yang

produksinya cukup melimpah sehingga dapat digunakan sebagai alternatif bahan

baku surimi. Namun pembuatan surimi dari ikan tersebut belum banyak dikaji.

Sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas surimi telah dikembangkan

teknologi ingredientmisalnya penambahan air, pati, protein additive, hidrokoloid dan komponen bahan kimia food grade (Park 2000); komponen fenol teroksidasi (Balange dan Benjakul 2009a). Penambahan komponen fenolik teroksidasi pada

surimi telah dikaji pada beberapa spesies ikan laut yakni ikan kembung dan ikan

mata besar. Namun demikian penggunaannya pada ikan air tawar belum pernah

dilakukan. Penambahan komponen fenolik teroksidasi pada surimi ikan lele

diharapkan menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan kualitas gel yang

dihasilkan.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memperoleh teknologi pembuatan

surimi dari ikan lele dengan penambahan komponen fenol teroksidasi untuk

peningkatan kekuatan gel. Tujuan khusus penelitian ini adalah :

(1) menentukan frekuensi pencucian terbaik dalam pembuatan surimi ikan

lele;

(2) menentukan kandungan total fenol pada ekstraksi daun teh dengan etanol

dengan ukuran serbuk yang berbeda;

(3) menentukan jenis dan konsentrasi fenolik teroksidasi yang terbaik pada

pembuatan surimi dari ikan lele.

Manfaat penelitian ini adalah dapat mengoptimalkan pemanfaatan ikan lele

menjadi produk bernilai tambah melalui teknologi pembuatan surimi. Sebagai

sumber informasi bahwa komponen fenol teroksidasi dapat digunakan untuk

(35)

1.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah :

(1) Frekuensi pencucian berpengaruh terhadap karakteristik surimi dari

pengkomposisian ikan lele.

(2) Ukuran serbuk berpengaruh terhadap nilai kandungan fenol total daun teh

kering.

(3) Jenis dan konsentrasi komponen fenolik teroksidasi berpengaruh terhadap

(36)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

Ikan lele memiliki bentuk tubuh memanjang, agak bulat, kepala gepeng,

tidak bersisik, mempunyai 4 pasang kumis, mulut besar, warna kelabu sampai

hitam (Gambar 1). Lele dumbo banyak ditemukan di rawa-rawa dan sungai di

Afrika, terutama di dataran rendah sampai sedikit payau. Ikan ini mempunyai

alat pernapasan tambahan yang disebut arborescent, sehingga mampu hidup dalam

air yang oksigennya rendah. Lele dumbo termasuk ikan karnivora, namun pada

usia benih lebih bersifat omnivora. Induk lele dumbo sudah dapat dipijahkan

setelah berumur 2 tahun dan dapat memijah sepanjang tahun (Margolang 2009).

Klasifikasi ikan lele menurut Beaufort (1965) diacu dalam Suyanto (1999)

adalah sebagai berikut :

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Pisces

Subkelas : Teleostei

Ordo : Ostariophysi

Subordo : Siluroidea

Famili : Clariidae

Genus : Clarias

Spesies : Clarias gariepinus

Lele merupakan jenis ikan konsumsi air tawar dengan tubuh memanjang

(37)

lain: ikan kalang (Padang), ikan maut (Gayo, Aceh), ikan pintet (Kalimantan Selatan), ikan keling (Makasar), ikan cepi (Bugis), ikan lele atau lindi (Jawa

Tengah). Sedang di negara lain dikenal dengan nama mali (Afrika), plamond

(Thailand), ikan keli(Malaysia), gura magura (Srilangka), ca tre trang (Jepang). Dalam bahasa Inggris disebut pula catfish, siluroid, mudfish dan walking catfish

(Prihatman 2000).

Ikan lele tidak pernah ditemukan di air payau atau air asin. Habitatnya di

sungai dengan arus air yang perlahan, rawa, telaga, waduk, sawah yang tergenang

air. Ikan lele bersifat noctural, yaitu aktif bergerak mencari makanan pada malam

hari. Pada siang hari, ikan lele berdiam diri dan berlindung di tempat-tempat

gelap. Di alam ikan lele memijah pada musim penghujan (Prihatman 2000).

Olayemi et al. (2011) melaporkan bahwa ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) segar dengan ukuran rata-rata 332,48 gram mempunyai kandungan air 78,7%; protein 16,24%; lemak 0,5%; abu 1,33% dan karbohidrat 0,92%. Ikan lele

ini termasuk dalam kategori berprotein tinggi (15-20%) dan berlemak rendah

(<5%).

2.2 Struktur Daging Ikan

Daging ikan dibagi menjadi tiga tipe yaitu daging yang bergaris

melintang/lurik, daging polos dan otot jantung. Daging ikan hampir seluruhnya

terdiri dari daging bergaris melintang yang dibentuk oleh serabut-serabut daging.

Daging ikan bergaris melintang dibagi menjadi dua berdasarkan warnanya yaitu

daging putih dan daging merah (Adawayah 2008).

Warna merah pada daging ikan disebabkan adanya gurat sisi (lateral line)

yang padat saraf. Saraf tersebut dilapisi dengan lemak dan dialiri

pembuluh-pembuluh darah dan banyak mengandung lemak serta mioglobin. Perbedaan

warna pada daging ikan disebabkan adanya kandungan pigmen daging yang

dikenal dengan mioglobin (Adawayah 2008).

Otot/daging yang terletak di bagian punggung dan perut, merupakan

jaringan pengikat yang terbanyak, dan tersusun oleh segmen-segmen yang disebut

miomer atau miotoma yang tampak seperti garis-garis zigzag. Miotoma

sebenarnya merupakan jaringan pengikat, sedangkan miosepta adalah jaringan

(38)

miotoma-miotoma. Penyusun miotoma adalah satu bendel daging yaitu

endomiosin yang merupakan sel otot/daging ikan. Satu sel daging ikan tersusun

oleh benang-benang halus yang disebut miofibril. Antara miofibril satu dengan

lainnya terdapat cairan sel yang disebut sarkoplasma (Hadiwiyoto 1993).

2.3 Protein Ikan

Protein ikan, misal kebanyakan otot daging bahan pangan lainnya

diklasifikasikan menjadi tipe sarkoplasma, miofibril, dan stroma. Protein

sarkoplasma, terutama albumin menyusun kira-kira 30% dari total protein otot.

Proporsi sarkoplasma yang besar tersebut tersususun atas haemoprotein. Daging

anjing laut terdiri dari 10% mioglobin dan haemoglobin, akibatnya dagingnya

berwarna sangat gelap. Protein miofibril dalam daging terdiri dari miosin, aktin,

aktomiosin dan troponin dan berjumlah 40-60% dari kandungan total protein ikan.

Protein otot yang terakhir adalah stroma yang merupakan penyusun bahan

kolagen (Shahidi dan Botta 1994).

2.3.1 Sarkoplasma

Protein sarkoplasma terdiri dari protein larut air yang disebut miogen.

Protein ini dapat diperoleh dengan cara yang sederhana yaitu dengan melakukan

pressing pada daging ikan atau melalui ekstraksi dengan larutan garam berkekuatan ion rendah. Kandungan protein sarkoplasma pada ikan bervariasi

tergantung pada spesies ikan, tetapi pada umumnya lebih tinggi pada ikan pelagis

misalnya sarden dan mackerel, dan rendah pada ikan demersal misal ikan kakap

(Suzuki 1981). Keberadaan jumlah mioglobin, haemoglobin, dan cytochrome C

yang lebih besar pada daging merah menyebabkan kecenderungan daging

berwarna lebih gelap. Lebih jauh lagi, spesies ikan dari perairan/laut dingin

mengandung protein dengan karakteristik tertentu yang berfungsi sebagai protein

antibeku (antifreeze protein) dan glikoprotein yang termasuk dalam grup sarkoplasma (Shahidi dan Botta 1994).

Protein sarkoplasma kebanyakan mempunyai berat molekul yang rendah,

pH isoelektrik yang tinggi dan struktur yang globular. Karakteristik fisik tersebut

kemungkinan bertanggung jawab terhadap kelarutan protein yang tinggi pada air

(39)

bertanggung jawab terhadap proses pembusukan ikan setelah mati. Enzim ini

terdiri dari golongan enzim glikolisis dan hidrolisis. Berbagai enzim proteinase

ditemukan pada fraksi sarkoplasma yang mungkin bertindak sebagai katalisator

dalam degradasi komponen nitrogen jaringan daging. Aktivitas enzim ini

tergantung pada spesies ikan, tipe jaringan otot, faktor musim, dan lingkungan

(Shahidi dan Botta 1994).

Konformasi, denaturasi termal, dan sifat reologi dinamis protein

sarkoplasma sangat dipengaruhi oleh pH. Protein sarkoplasma ikan patin

mengalami unfolding dan terkena residu hidrofobik lebih besar pada pH yang sangat basa (10-12) dibandingkan pada pH asam (pH 2-3). Interaksi hidrofobik

protein sarkoplasma meningkat pada pH sangat asam (pH 2-4). Selain itu,

pembentukan ikatan disulfida sangat baik pada kondisi asam (pH 2-4) maupun

basa (pH 10-12). Denaturasi panas protein sarkoplasma pada pH 7,0 terjadi pada

suhu yang relatif tinggi 67,7 dan 85,8 °C (Tadpitchayangkoon 2010).

2.3.2 Protein miofibrilar

Protein miofibrilar adalah protein yang membentuk miofibril yang terdiri

dari miosin, aktin dan protein regulasi misal tropomiosin, troponin dan aktinin

(Suzuki 1981). Menurut Nakai dan Modler (2000), berdasarkan peranannya

dalam fisiologis dan struktur jaringan hidup, protein miofibril dapat dibagi

menjadi 3 kelompok yaitu:

1) Protein kontraktil utama, termasuk di dalamnya adalah miosin dan aktin yang

bertanggung jawab secara langsung pada kontraksi otot dan sebagai

rangka/kekuatan bagi protein miofibril.

2) Protein regulasi, terdiri dari tropomiosin, troponin kompleks dan beberapa

protein minor lainnya yang terlibat dalam inisiasi dan kontrol pada kontraksi.

3) Protein sitoskeletal/rangka, termasuk diantaranya titin atau konektin,

C-protein, desmin dan beberapa komponen minor lainnya, protein ini

menyediakan struktur pendukung dan bisa berfungsi untuk menjaga deretan

miofibril.

Kandungan potein miofibrilar sebesar 66-77% dari total protein daging

ikan dan berperan penting dalam pembentukan gel dan koagulasi ketika daging

(40)

lebih tinggi dibandingkan daging mamalia (Suzuki 1981). Protein ini dapat

diekstrak dari ikan dengan menggunakan larutan garam dengan kekuatan ion

0,3-1 Debye. Protein miofibrilar mengalami perubahan selama proses rigor

mortis, resolusi rigor mortis dan penyimpanan beku dalam waktu yang lama.

Tekstur produk perikanan dan kemampuan pembentukan gel pada daging lumat

dan surimi juga dipengaruhi oleh kondisi tersebut (Shahidi dan Botta 1994).

Protein miofibril terutama terdiri dari miosin rantai berat (myosin heavy chain) (MHC) (200 kDa) dan aktin (42 kDa) serta protein kecil lainnya, misalnya α

-aktinin (100 kDa) dan tropomiosin (34 kDa) (Cao et al.2006).

2.3.2.1 Miosin

Miosin adalah fraksi protein miofibril yang paling besar pada daging ikan

dan memberi kontribusi sebesar 50-60% dari jumlah total. Molekul miosin

terdiri dari 2 rantai berat (heavy chains) (200 dan 240 kD) yang berhubungan secara non kovalen dengan 2 pasang rantai ringan (light chains) (16-28 kD) (Shahidi dan Botta 1994).

Setengah karboksil terminal dari rantai berat terdiri dari kumparan

melingkar-urutan yang membentuk homodimerizes untuk membentuk batang

yang panjang yang biasanya diakhiri dengan segmen non-heliks pendek (Hodge

et al. 1992 diacu dalam Wang 2011) dan memiliki dua kepala globular yang terpasang pada salah satu terminal yang terbentuk oleh amino-terminal MHCs

(myosin heavy chains) dan MyLCs (myosin light chains) (Wang 2011). Gambar 2 menjelaskan molekul miosin yang terdiri dari rantai ringan LMM (light meromyosin) dan rantai berat HMM (heavy meromyosin).

(41)

Pemecahan myosin heavy chain (MHC) diketahui sebagai penyebab utama fenomena modori (degradasi gel pada produk jeli ikan yang disebabkan oleh suhu

sekitar 55 °C. Myiosin heavy chain berperan penting dalam pembentukan gel. Degradasi MHC biasanya disebabkan oleh enzim endogenous proteinase.

Myiosin heavy chain lebih mudah terdegradasi oleh endogenous proteinase dibandingkan protein miofibril yang lain (Cao et al.2006).

2.3.2.2 Aktin

Aktin menyusun kurang lebih 22% dari massa miofibril dengan berat

molekul 42.000 dalton. Biasanya, dalam jaringan otot aktin dikaitkan dengan

troponin dan tropomiosin kompleks. Protein miofibrilar ini juga terdiri dari

sebuah sisi pengikat miosin (miosin binding site), yang memungkinkan untuk membentuk kompleks miosin yang bersifat sementara selama kontraksi otot atau

kompleks aktin miosin yang permanen selama rigor mortis di dalam post mortem

(Xiong 1997 diacu dalam Balange 2009). Bentuk monomer aktin disebut G-aktin

dan setelah polimerisasi, filamen aktin terbentuk dan disebut sebagai F-aktin. Dua

F-aktin dalam bentuk heliks disebut super heliks (Foegeding et al. 1996 diacu dalam Balange 2009).

Di dalam otot, aktomiosin berada dalam bentuk aktin dan miosin. Aktin

dan miosin mudah diekstrak dari daging ikan dengan larutan garam karena

keduanya bergabung membentuk aktomiosin di dalam larutan (Suzuki 1981).

Yongsawatdigul dan Sinsuwan (2007) melaporkan bahwa gelasi aktomiosin ikan

nila dipengaruhi oleh ion Ca2+ melalui 2 cara yang berbeda. Pertama, Ca2+

mengaktifkan endogenous TGase yang mendorong pembentukan ikatan silang ε-(γ-glutamil)lisin. Kedua, Ca2+ menyebabkan struktur aktomiosin terbuka (unfolding myosin) dan mengakibatkan meningkatnya permukaan hidrofobik. Keduanya berperan penting dalam pembentukan gel pada suhu seting 40 °C dan

meningkatkan tekstur gel pada ikan.

2.3.3 Stroma

Sebagaimana protein miofibrilar, protein stroma juga merupakan protein

struktural dan terdiri dari jaringan yang menghubungkan sel otot, bundel serat dan

otot. Protein ini juga menyediakan struktur pendukung dalam pembentukan

(42)

Residu dari ekstraksi protein sarkoplasma dan miofibril adalah stroma yang

terdiri dari kolagen dan elastin pada jaringan ikat. Stroma larut dalam larutan HCl

dan NaOH dan memberi kontribusi 10% dari protein kasar (crude muscle protein). (Shahidi dan Botta 1994). Stroma ini sering disebut protein jaringan pengikat

yang banyak terdapat pada miosepta dan endomiosin, tetapi ada pula yang

terdapat pada sarkolema atau bagian-bagian tubuh yang lain tapi jumlahnya tidak

banyak. Kolagen dan elastin merupakan protein jaringan pengikat yang berguna

untuk mempertahankan struktur fisik. Jika kolagen dipanaskan dalam air, maka

kolagen dapat berubah menjadi gelatin. Penyusun kolagen adalah asam-asam

amino penyusun protein, tetapi tidak mengandung triptopan, sistin dan sistein.

Meskipun demikian protein stroma tidak larut walaupun dalam cairan berkekuatan

ion tinggi. Protein stroma banyak terdapat pada daging merah daripada daging

putih (Hadiwiyoto 1993).

Kandungan kolagen tergantung pada spesies, kebiasaan makan dan tingkat

kematangan ikan. Pada umumnya, daging ikan terdiri dari 0,2 sampai 2,2%

kolagen (Sato et al. 1986 diacu dalam Shahidi dan Botta 1994). Meskipun kandungan kolagen yang lebih tinggi akan memberi kontribusi pada kekerasan

daging, namun pada ikan tidak cukup berarti. Akan tetapi, pada beberapa spesies

cumi-cumi dapat meningkatkan tekstur keras dan kenyal pada proses pemanasan

(Shahidi dan Botta 1994).

2.4 Sifat Fungsional Protein

Protein adalah komponen fungsional dasar dari berbagai produk olahan

makanan yang berprotein tinggi dan menentukan sifat tekstur, sensorik dan nutrisi

bahan pangan. Bahan pangan menghasilkan berbagai jenis protein yang berbeda

struktur, sifat fisik, kimia dan fungsionalnya serta derajat sensitifnya terhadap

panas dan perlakuan lainnya. Sifat fungsional protein merupakan sifat fisikokimia

protein yang mempengaruhi perilaku di dalam sistem bahan pangan selama

persiapan, proses, penyimpanan, konsumsi dan menyumbangkan sifat kualitas dan

sensorik pada sistem bahan pangan. Sifat fungsional protein yang paling penting

dalam aplikasi pangan adalah hidrofilik, contohnya kelarutan protein, swelling

(43)

(gelling capacity); hidrofilik-hidrofobik, contohnya emulsifikasi dan foaming; hidrofobik, contohnya fat binding properties(Zayas 1997).

Sifat fungsional protein dapat diartikan sebagai sifat fisikokimia protein

selama proses yang mempengaruhi kualitas dan stabilitas produk akhir makanan.

Pada proses pengolahan daging, fungsionalitas protein biasanya dijelaskan dalam

istilah hidrasi, sifat permukaan, ikatan dan kinerja rheologi. Sifat fungsional

protein ini ditentukan oleh interaksi antara protein, lemak, air dan komponen

makanan lainnya atau oleh faktor lingkungan. Kemampuan untuk membentuk gel

yang kompak dan untuk mengemulsi lemak adalah dua hal terpenting dalam sifat

fungsional protein pada proses pengolahan makanan yang berbahan baku daging

(Nakai dan Modler 2000).

2.4.1 Pembentukan gel/gelasi (gelation)

Kemampuan pembentukan gel (gelling capacity) protein bahan pangan merupakan sebuah atribut fungsional yang penting dalam produksi makanan.

Gelling capacity adalah kriteria yang sering digunakan untuk mengevaluasi protein makanan. Karakteristik dari beberapa bahan pangan khususnya tekstur

dan juicinessditentukan oleh kemampuan pembentukan gel (gelling capacity) dari protein (Zayas 1997).

Pembentukan struktur gel protein dapat terjadi di bawah kondisi yang

mengganggu struktur protein alami yang tersedia dimana konsentrasi protein,

kondisi termodinamika dan kondisi lainnya optimal untuk pembentukan matriks

tersier. Teknik proses pangan yang paling penting berhubungan dengan gelasi

protein melibatkan kation divalent (kalsium) dan atau perlakuan panas. Gel akan

terbentuk ketika sebagian dari protein terbuka/tidak terlipat (unfolded) menjadi ruas-ruas polipeptida yang tidak berbelit (uncoiled) kemudian bereaksi pada titik tertentu membentuk sebuah jaringan ikatan silang tiga dimensi. Sebagian protein

yang tidak berlipat (unfolding) dengan sedikit perubahan struktur sekunder diperlukan untuk pembentukan gel/gelasi. Terbentuknya bagian yang tidak

terlipat dari struktur alaminya bisa berhubungan dengan beberapa faktor,

pemanasan dan perlakuan asam, basa dan urea (Zayas 1997).

Gelasi protein adalah proses fisikokimia yang terjadi karena interaksi

(44)

dihasilkan jaringan tiga dimensi viskoelastis yang mampu menahan air dalam

jumlah besar. Gelasi protein daging biasanya disebabkan oleh panas, sebagai

contoh terjadi pada proses pengolahan daging selama pemasakan dan didahului

dengan pendinginan. Pembentukan matriks gel hasil dari ikatan silang atau

agregasi dari polipeptida yang tidak terlipat melalui interaksi hidrofobik dan

elektrostatik, jembatan/ikatan disulfida dan ikatan hidrogen (Nakai dan Modler

2000).

Proses gelasi tergantung pada pembentukan jaringan tiga dimensi protein

sebagai hasil interaksi antara protein dengan protein dan protein dengan pelarut

(solvent). Interaksi dan gelasi ini dipercepat pada konsentrasi protein yang tinggi karena kontak intermolekuler lebih kuat. Gel dengan kekuatan dan stabilitas yang

tinggi dapat dibentuk sebagai hasil ikatan silang yang memberikan sifat fluiditas,

elastisitas dan aliran gel. Pembentukan gel adalah sebuah hasil dari ikatan

hidrogen, interaksi hidrofobik dan ionik, kekuatan Van der Waals dan ikatan

kovalen disulfida (Zayas 1997).

Struktur gel protein bertanggung jawab pada pola pemecahan yang disebut

sebagai tekstur makanan. Misalnya, kekerasan (hardness), dianggap sebagai kekuatan menggigit yang diperlukan untuk menyebabkan suatu bahan menjadi

patah merupakan atribut sensorik umum pada makanan dengan struktur gel, misal

keju, makanan penutup berbahan gelatin, tahu dan daging olahan (surimi, sosis

dan lain-lain). Fungsionalitas protein untuk gelasi terdiri dari a) kondisi untuk

gelasi termasuk konsentrasi protein dan faktor-faktor untuk meningkatkan

interaksi antarmolekul; b) interaksi protein dengan komponen lain misal polimer

di atas atau di bawah binodal; dan c) interaksi protein dan protein yang mengarah

ke fase mikro atau sistem fase tunggal. Kondisi tersebut tergantung pada ukuran

dan bentuk protein, titik isoelektrik, jenis interaksi antarmolekul dan distribusi

struktural bermuatan, asam amino hidrofobik dan lainnya, serta kondisi pelarut

(Foegeding dan Davis 2011).

Gelasi adalah sifat fungsional penting dari protein ikan yang

mempengaruhi sifat rheologi dan tekstur produk perikanan. Pembentukan gel

melibatkan denaturasi parsial protein diikuti dengan agregasi ireversibel yang

(45)

otot dan berperan penting dalam pembentukan gel pada ikan dan produk daging.

Selama pemanasan pada kecepatan 1 °C/menit, miosin silver carp

(Hypophthalmichthys molitrix) membentuk gel hanya pada pH 5,5-7,5, tetapi tidak pada pH 8,0 dan pH 9,0. Ketika pH dinaikkan, kecepatan gelasi dan

kekuatan gel menurun dan WHC meningkat. Pemanasan menyebabkan

transformasiα-heliks menjadi β-sheet dan β-turn. Transformasi berperan penting

dalam proses gelasi. Gel kompak dan seragam diperoleh pada pH 7,0 sementara

terjadi penurunan dalam susunan tiga dimensi ketika pH diubah (Liu et al.2010).

2.4.2 Water holding capacity(WHC)

Water holding capacity (WHC) atau kapasitas mengikat air pada makanan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menahan air yang ada di

dalam makanan tersebut maupun yang ditambahkan selama aplikasi gaya,

tekanan, sentrifugasi atau panas.Water holding capacitymerupakan sifat fisik dan kemampuan suatu struktur makanan untuk mencegah air terlepas dari struktur tiga

dimensi protein dan merupakan kemampuan protein menahan air dalam melawan

gaya berat secara fisika maupun fisikokimia (Zayas 1997).

Mekanisme WHC berpusat pada protein dan struktur yang mengikat dan

memerangkap air, khususnya protein miofibril. Terdapat bukti nyata yang

menunjukkan efek langsung dari pH, kekuatan ionik, dan oksidasi pada

kemampuan protein miofibril dan sel-sel otot untuk menahan air. Secara bebas,

jelas bahwa faktor yang sama (penurunan pH, kekuatan ionik, oksidasi) juga

mempengaruhi proteolitis protein sitoskeletal kunci dalam post mortem otot.

Variasi WHC pada pH dan suhu penyimpanan sebagian disebabkan oleh variasi

proteolisis dan berakibat pada penyusutan sel otot serta mobilisasi air ke ruang

ekstraseluler (Lonergan dan Lonergan 2005).

2.5 Surimi

Surimi adalah daging ikan yang dihilangkan kulit, tulang dan isi perut

secara mekanis yang dicuci dengan air atau larutan garam pada suhu 5-10 °C dan

dengan penambahan cryoprotectant (Lee 1984 diacu dalam Shahidi dan Botta 1994). Pembuangan protein larut air termasuk enzim, haemoprotein dan

(46)

50-60%. Kandungan bahan kolagen sebagaimana protein miofibril kandungannya

lebih besar pada surimi dibandingkan pada daging ikan. Meskipun demikian,

komposisi asam amino surimi yang dihasilkan kemungkinan sama dengan bahan

awal sebagaimana dilaporkan pada surimi dari anjing laut (Synowiecki et al.1992 diacu dalam Shahidi dan Botta 1994).

Surimi dapat diproduksi dari ikan air laut maupun ikan air tawar,

termasuk daging putih maupun daging merah misalnya Alaska pollock, blue whiting, croaker, beloso, sardin, nila dan mata besar. Biasanya spesies tertentu yang digunakan karena alasan mudah penangkapannya dan murah harganya.

Penggunaan spesies alternatif untuk memperoleh surimi dengan kualitas

pembentukan gel yang baik merupakan salah satu tujuan industri perikanan

(Nopianti et al.2011).

Industri surimi dunia terutama menggunakan ikan Alaska pollock untuk produksi surimi, yang mencapai 50-60% produksi total surimi dunia, tetapi

proporsi tersebut secara berkelanjutan berkurang. Sejak tahun 1991, usaha untuk

menggunakan spesies lain telah sukses dilakukan dengan pengembangan teknik

dan pemasaran di Jepang. Sekarang ini, sejumlah spesies yang berbeda telah

digunakan dalam produksi surimi secara komersial. Spesies ikan yang paling

cocok untuk pembuatan surimi adalah ikan daging putih dengan kandungan lemak

rendah (Park dan Morrissey 2000).

Permintaan dunia akan protein ikan meningkat lebih cepat dibandingkan

persediaan sumberdaya yang ada. Permintaan tersebut menyebabkan overfishing,

terlebih pada spesies yang biasa digunakan sebagai bahan baku surimi oleh sebab

itu dibutuhkan campur tangan pemerintah untuk mencegah eksploitasi berlebihan

spesies tersebut. Spesies ikan daging merah mencapai 40-50% dari total

tangkapan dunia. Hal tersebut menimbulkan ketertarikan untuk menggunakan

spesies ini yang jumlahnya cukup besar, harganya murah, berlemak dan

merupakan ikan pelagik yang cukup tersedia untuk pangan manusia. Namun

demikian diperlukan cara dan biaya yang efektif untuk meningkatkan kualitas

bahan (Park dan Morrissey 2000).

Metode pembuatan surimi beku menurut Suzuki (1981) terdiri dari

(47)

daging ikan, pencucian dengan air dan pembuangan air, penyaringan dan

pelumatan, penambahan anti denaturasi, pengemasan, pembekuan dan

penyimpanan.

Teknologi surimi telah berkembang secara luas. Berbagai usaha nyata

telah dilakukan untuk mengembangkan produk baru, misalnya teknologi baru

untuk penanganan air limbah; penggunaan spesies lain; pengawetan produk

berbasis surimi; penggunaan berbagai cryoprotectant dan peningkatan pembentukan gel (Nopianti et al.2011).

2.5.1 Standar kualitas surimi

Kualitas produk surimi terjamin oleh standar praktis masing-masing

perusahaan sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan konsumen/pelanggan.

Produsen dan konsumen bekerja sama untuk memastikan kualitas surimi yang

diinginkan. Banyak pelanggan melakukan inspeksi dan audit langsung pada

pemasok. Praktek ini rutin dilakukan dalam industri dan termasuk fokus pada

traceabilitydari semua produk (Anonim 2012).

Dari berbagai review yang telah dipublikasikan menunjukkan kriteria

mutu surimi diantara perusahaan di Jepang tidak seragam. Terdapat dua asosiasi

besar di Jepang yang mempunyai standar surimi berbeda yaitu All-Japan Frozen

Fish Meat Association (AJFFMA) dan Hokaido Surimi Association (HSA).

All-Japan Frozen Fish Meat Association (AJFFMA) membagi mutu surimi menjadi

6 kelas sedangkan HSA 4 kelas. Kadar air surimi yang ditetapkan oleh standar

AJFFMA adalah 79-82%, sedangkan HSA 75-78%. Alasan perbedaan kadar air

tersebut kemungkinan disebabkan perbedaan jumlah cryoprotectant yang ditambahkan yaitu 5% untuk skala AJFFMA dan 10% untuk skala HSA (Lanier

1992).

Kriteria untuk penentuan kelas mutu surimi yang diproduksi di laut

maupun di darat telah ditetapkan oleh Surimi Workshop di Seattle pada tahun

1984. Tingkatan standar mutu kualitas surimi berdasar pengujian kamaboko

(48)

Tabel 1 Standar mutu surimi berdasar pengujian kamaboko

Tingkatan Mutu (Grade)

Dengan penambahan pati Tanpa penambahan pati

Kekuatan

1 >900 10 >60 >680 10 >46

2 >900 10 >59 >680 10 >45

3 >850 >8,5 >58 >640 8,5 >43

4 >700 >7,5 >55 >520 7,5 >38

5 >600 >7,0 >52 >440 7,0 >35

6 >450 >6,5 >50 >310 6,5 >32

Sumber : Lanier (1992)

Spesifikasi mutu surimi beku di Indonesia ditetapkan oleh Badan Standar

Nasional (BSN) dengan menyusun Standar Nasional Indonesia tentang surimi

beku (SNI 01-2694.1-2006) yang merupakan revisi SNI 01-2694-1992.

Penyusunan standar tersebut dalam rangka memberikan jaminan mutu dan

keamanan pangan komoditas ikan segar yang akan dipasarkan di dalam dan di

luar negeri (BSN 2006a). Spesifikasi standar surimi beku SNI 01-2694.1-2006

tidak menetapkan kekuatan gel sebagai salah satu jenis uji dalam persyaratan

mutu. Persyaratan mutu dan keamanan pangan surimi beku berdasarkan

SNI 01-2694.1-2006 disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Persyaratan mutu dan keamanan pangan surimi beku

Jenis uji Satuan Persyaratan

a. Organoleptik Angka (1-10) minimal 7

b. Cemaran mikroba

- Suhu pusat °C maksimal -18

f. Filth potong 80-82

(49)

2.6 Faktor yang Berpengaruh pada Kualitas Surimi 2.6.1 Spesies

Sifat fungsional dan komposisi surimi sangat beragam tergantung pada

spesies yang digunakan. Sifat fungsional surimi tergantung dari komposisi tetapi

tidak dapat secara umum diprediksi melalui analisis komposisi. Oleh sebab itu

pengolah harus memahami hubungan antara fungsi fisikokimia ikan dan sifat

fungsional dan komposisi surimi (Park dan Morrissey 2000).

Surimi dari beberapa ikan tropis misalnya threadfin bream (Nemipterus bleekeri), big eye snapper (Priacanthus tayenus), baracuda (Sphyraena jello) dan

bigeye croacker(Pennahai macrophthalamus) mempunyai sifat gel yang berbeda ketika dilakukansettingpada suhu medium (Benjakul et al. 2003).

Surimi dari ikan berdaging merah atau berlemak tinggi misalnya sarden,

kembung dan salmon memerlukan tahapan tertentu untuk menghilangkan

pengaruh minyak dan hemeprotein (mioglobin dan hemoglobin). Pada pembuatan

surimi dari daging merah dianjurkan menambahkan NaHCO3 0,1-0,5% pada

proses awal pencucian (Park dan Morrissey 2000).

Fukuda et al. (2001) melaporkan surimi dari ikan air tawar antara lain silver carp(Hypopthalmichthys molitri),big head carp(Aristichthys nobilis), grass carp

(Ctenopharyngodon idellus), common carp(Cyprinus carpio), blunt snout bream

(Megalobrama amblycephala), chinnese snake head (Ophicephalus argus) dan nila (Tilapia nilotica) mempunyai nilai kekuatan gel yang berbeda.

2.6.2 Kematangan seksual atau musim

Komposisi kimia ikan bervariasi terhadap perubahan musim penangkapan.

Alaskan Fisheries Development diacu dalam Park dan Morrissey (2000)

melaporkan bahwa komposisi ikan Alaska pollockbervariasi berdasarkan musim. Hasil pengamatan menunjukkan kandungan protein tertinggi (19%) terjadi pada

bulan November dan terendah (16%) di bulan Mei, sementara kandungan air

tertinggi (82,3%) di bulan Juli dan terendah (80,2%) di bulan November.

Demikian pula terjadi pada spesies ikan yang lain misalnya Pacific waiting

dengan kandungan air tertinggi (84,5%) di bulan April dan terendah (80-82%) di

akhir bulan Oktober. Protein terendah (14-15%) terekam pada bulan April

(50)

lemak cenderung stabil (0,5-1,5%) sampai bulan Agustus dan mulai meningkat

(1,5-2,5%) di bulan Oktober (Park dan Morrissey 2000).

Secara umum, ikan yang dipanen selama periode mencari makan

menghasilkan kualitas surimi tertinggi. Selama musim tersebut daging ikan

mengandung air dan pH terendah namun kandungan protein tertinggi, sedangkan

ikan yang dipanen selama atau sesudah masa pemijahan menghasilkan surimi

dengan kualitas terendah. Pada musim tersebut kandungan pH lebih tinggi dan

cenderung mempertahankan lebih banyak air. Sebagai konsekuensinya, sukar

menghilangkan air berlebih pada proses pencucian daging. Untuk memudahkan

penghilangan air berlebih tersebut, karakteristik jaringan otot harus diubah dengan

menurunkan nilai pH atau meningkatkan salinitas pada pencucian akhir (Park dan

Morrissey 2000).

2.6.3 Kesegaran atau rigor

Kekuatan pembentukan gel surimi utamanya tergantung pada spesies dan

kesegaran ikan yang akan diproses dan keduanya saling berkaitan. Kemampuan

pembentukan gel beberapa spesies ikan menurun dengan mudah seiring dengan

penurunan kesegaran ikan bahkan tidak terbentuk gel segera setelah proses rigor

berakhir (Chen et al. 2001).

Perubahan biokimia dan biofisika selama perkembangan rigor mortis

menyebabkan perubahan yang nyata pada sifat fungsional protein otot. Ikan

sebaiknya segera diproses sesegera mungkin setelah melalui rigor. Sebelum

melewati fase ini, kurang dari 5 jam pada kasus surimi Alaska pollock sukar menghilangkan bau amis, beberapa membran dan kontaminan lainnya yang

akhirnya berpengaruh pada kualitas produk (Pigot 1986 diacu dalam Park dan

Morrissey 2000).

Kesegaran ikan dianggap sebagai faktor penting yang menentukan kualitas

surimi (Benjakulet al. 2002; MacDonald et al. 1990 diacu dalam Benjakul et al.

2005). Ikan segar atau yang disimpan dengan es biasanya digunakan untuk

produksi surimi di seluruh dunia. Akibat sebagai eksploitasi sumberdaya yang

berlebih, armada perikanan harus melakukan perjalanan jarak jauh, yang

menyebabkan bahan baku yang diperoleh berkualitas lebih rendah. Tanpa

(51)

terkait dengan degradasi dan denaturasi protein miofibril. Sebagai akibatnya,

kualitas surimi yang diperoleh rendah (Benjakul et al. 2002; Benjakulet al. 2003

diacu dalam Benjakul et al. 2005).

Chen et al. (2001) melaporkan bahwa surimi ikan silver carp dengan beberapa variasi kesegaran yang dipanaskan pada suhu 60 °C selama 10 menit,

breaking strength gel mencapai maksimum, namun nilainya menurun seiring dengan penurunan kualitas kesegaran ikan.

2.6.4 Faktor pengolahan

Faktor ekstrinsik yang berpengaruh terhadap kualitas surimi menurut Park

dan Morrissey (2000) antara lain: pemanenan dan penanganan ikan, air, waktu dan

temperatur pencucian, siklus pencucian dan rasio air pencucian, pH, dan salinitas.

Beberapa faktor di dalam penangkapan ikan dapat pula berpengaruh pada

kualitas produk akhir, termasuk kondisi cuaca di laut, metode penangkapan,

ukuran alat tangkap, pemberian garam dan temperatur ikan setelah penangkapan.

Faktor-faktor tersebut saling berkaitan dan terkadang susah untuk

mempertimbangkan pentingnya setiap faktor secara terpisah (Park dan Morrissey

2000).

Secara teoritis air dengan kesadahan rendah mengandung mineral dalam

jumlah minimal misalnya Ca2+, Mg2+, Fe2+ dan Mn2+ direkomendasikan untuk

pencucian surimi. Air dengan kesadahan tinggi dapat menyebabkan kerusakan

kualitas tekstur dan warna selama penyimpanan beku. Mineral Ca2+ dan Mg2+

bertanggung jawab pada perubahan tekstur sementara Fe2+ dan Mn2+ berpengaruh terhadap perubahan warna (Park dan Morrissey 2000).

2.7 Bahan Penguat Gel pada Surimi

Sifat fungsional utama surimi dari seafood adalah warna, rasa dan tekstur. Pengendalian warna dan rasa relatif lebih mudah, sementara penambahan aditif

yang berpengaruh terhadap sifat tekstur produk kebanyakan tidak linear, oleh

karena itu lebih susah mengendalikan tekstur dibanding lainnya.

Konsekuensinya, terdapat kisaran yang luas pada sifat tekstur ini. Bahan aditif

utama yang digunakan untuk mengembangkan dan memodifikasi karakteristik

(52)

2.7.1 Air

Penambahan air pada surimi dibutuhkan untuk menjaga penerimaan tekstur

dan meminimalkan biaya bahan baku. Sifat polar dari air menyokong gugus

residu hidrofobik di dalam rantai polipeptida yang terlipat untuk meminimalkan

entropi sebagai hasil dari terpaparnya residu hidrofobik dengan air di permukaan.

Air juga memberi kontribusi pada stabilitas konformasional molekul protein

sebelum pemanasan dan bisa menjadi dasar untuk ikatan intermolekul ketika sisi

hidrofobik pada molekul protein yang berdekatan terpapar pada permukaan

selama proses pemanasan. Dengan demikian air berfungsi untuk menyebarkan

molekul protein miofibril, sehingga memungkinkan jaringan yang lebih diperluas

untuk memperkuat bentuk ikatan protein-protein selama pemanasan (Park 2000).

Air sering kali tidak dianggap sebagai sebuah bahan makanan di beberapa

negara. Oleh karena itu, di negara-negara Asia tidak ditemukan air terdaftar

sebagai bahan di dalam label makanan. Namun di kebanyakan negara barat, air

adalah bahan terbesar kedua di dalam surimi seafood(Park 2000).

2.7.2 Pati

Pati berperan penting dalam pembentukan struktur jaringan gel surimi-pati

dan oleh karena itu pati merupakan bahan aditif fungsional penting di dalam

surimi seafood. Sumber pati yang paling umum digunakan adalah terigu, jagung, kentang, maizena jagung dan tapioka. Fungsi pati-pati tersebut berbeda. Pati

dengan amilose tinggi misalnya jagung, terigu dan kentang, membentuk gel yang

agak rapuh, sedangkan pati dengan kandungan amilopektin yang tinggi misalnya

tapioka dan maizena membentuk gel yang lekat dan kompak (Park 2000).

Pati biasa ditambahkan pada surimi untuk meningkatkan sifat tekstur dari

gel ikan. Selama gelatinisasi pati, beberapa perubahan terjadi. Perubahan ini

termasuk pembengkakan granula, pemisahan daerah kristal, meningkatnya

viskositas dan pemisahan granul. Gelatinisasi pati di dalam surimi selama proses

pemanasan telah dilaporkan dapat meningkatkan elastisitas gel. Gel daging ikan

dengan tambahan pati 0,5% menunjukkan nilai modulus yang lebih tinggi pada

suhu 80 °C dibanding pada suhu 90 °C (Kong et al. 1999).

Gambar

Gambar 1 Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
Tabel 2 Persyaratan mutu dan keamanan pangan surimi beku
Gambar 4 Beberapa jalur biosintesis grup utama senyawa fenol (Michalak 2006).
Gambar 9   Mekanisme reaksi fenol teroksidasi dengan proteinGambar 9   Mekanisme reaksi fenol teroksidasi dengan proteinGambar 9   Mekanisme reaksi fenol teroksidasi dengan protein
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata tekstur sosis ikan lele dumbo. Sosis yang

Berdasarkan data pada Gambar 15 dapat dilihat bahwa pada hari ke-0 nilai uji lipat pada surimi ini memiliki kisaran nilai 4-5, nilai ini akan semakin menurun seiring dengan

Berdasarkan hasil uji perbandingan LSD terhadap produk surimi ikan lele dumbo menunjukkan adanya perbedaan signifikan terhadap antar perlakuan terhadap citarasa manis

adalah organoleptik dan proksimat, hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan tepung tapioka 75 g (15%) pada bakso merupakan perlakuan terbaik dan paling disukai

Perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata tekstur sosis ikan lele dumbo.. Sosis yang

Perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata tekstur sosis ikan lele dumbo.. Sosis yang

Batas maksimum penambahan lemak dalam pembuatan sosis yaitu sebesar 25% (Erdiansyah 2006). Selain itu, penyusun dari kedua sosis pun berbeda, dilihat dari analisis proksimat

Menurut Matsumoto dan Naguchi 1992 pencucian adalah salah satu tahap dalam pembuatan surimi dan bertujuan untuk meningkatkan kekuatan gel dimana akan meningkatkan kandungan protein