• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Karakteristik Fisik dan Kimia Surimi Hasil Pengkomposisian Ikan Mas (Cyprinus carpio) dan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Selama Penyimpanan Suhu Dingin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perubahan Karakteristik Fisik dan Kimia Surimi Hasil Pengkomposisian Ikan Mas (Cyprinus carpio) dan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Selama Penyimpanan Suhu Dingin"

Copied!
207
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL PENGKOMPOSISIAN IKAN MAS (

Cyprinus carpio)

DAN IKAN LELE DUMBO (

Clarias gariepinus)

SELAMA

PENYIMPANAN SUHU DINGIN

BINANGA PAJAR DINI HARAHAP

C34052504

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

BINANGA PAJAR DINI HARAHAP. C34052504. Perubahan Karakteristik Fisik dan Kimia Surimi Hasil Pengkomposisian Ikan Mas (Cyprinus carpio) dan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Selama Penyimpanan Suhu Dingin. Dibimbing oleh ANNA C. ERUNGAN dan JOKO SANTOSO.

Pemanfaatan ikan budidaya air tawar yang banyak terdapat di daerah Bogor khususnya ikan mas dan ikan lele belum dilakukan secara optimal padahal ikan air tawar tersebut memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi. Ikan-ikan budidaya air tawar tersebut cukup potensial untuk diolah menjadi surimi yang merupakan produk intermediate. Surimi tersebut nantinya dapat diolah menjadi berbagai macam produk sehingga dapat meningkatkan nilai guna dari ikan mas dan lele. Tujuan umum penelitian ini adalah memanfaatkan ikan budidaya air tawar dalam pembuatan produk surimi. Tujuan khusus adalah mencari frekuensi pencucian dan komposisi surimi terbaik untuk pembuatan surimi komposisi dan mengetahui pengaruh penyimpanan suhu dingin (chilling) terhadap karakteristik fisik, kimia dan mikrobiologi surimi.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus hingga September 2009, bertempat di Balai Pengembangan dan Pengendalian Mutu Hasil Perikanan (BPPMHP), Departemen Kelautan dan Perikanan, Muara Baru, Jakarta Utara, Laboratorium Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dan Laboratorium Biokimia Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Bahan baku yang digunakan adalah ikan mas (Cyprinus carpio) dan ikan lele dumbo (Clarias gariepinus).

Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan utama. Penelitian pendahuluan meliputi : (1) karakterisasi fisika kimia bahan baku, (2) penentuan frekuensi pencucian terbaik, (3) penentuan komposisi surimi terbaik. Pada penelitian utama dilakukan penyimpanan dingin (4-5 oC) surimi pengkomposisian terbaik selama 10 hari dan dievaluasi perubahan karakteristik organoleptik, fisik, kimia dan mikrobiologi.

(3)

HASIL PENGKOMPOSISIAN IKAN MAS (

Cyprinus carpio)

DAN IKAN LELE DUMBO (

Clarias gariepinus)

SELAMA

PENYIMPANAN SUHU DINGIN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor

BINANGA PAJAR DINI HARAHAP

C34052504

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(4)

SURIMI HASIL PENGKOMPOSISIAN IKAN MAS

(Cyprinus carpio) DAN IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) SELAMA PENYIMPANAN SUHU DINGIN

Nama Mahasiswa : Binanga Pajar Dini Harahap

NRP : C34052504

Menyetujui,

Pembimbing I

(Ir. Anna C Erungan, MS) NIP 1962 0708 1986 03 2 001

Pembimbing II

(Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si) NIP 1967 0922 1992 03 1 003

Mengetahui,

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

(Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., M. Phil) NIP 1958 0511 1985 03 1 002

(5)
(6)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Perubahan Karakteristik Fisik dan Kimia Surimi Hasil Pengkomposisian Ikan Mas (Cyprinus carpio) dan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Selama Penyimpanan Suhu Dingin” adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2010

(7)

Penulis memiliki nama lengkap Binanga Pajar Dini Harahap, dilahirkan di Tanjung Karang, 22 Juni 1987. Merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Zulkifli Harahap dan Ibu Nurniati Siregar.

Penulis mengawali pendidikan formal tahun 1993 di SD Negeri 6 Bandar Lampung, kemudian pada tahun 1999 melanjutkan pendidikan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 19 Bandar Lampung dan Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 3 Bandar Lampung pada tahun 2002.

Pada tahun 2005 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada tahun 2006 diterima pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi dan kepanitian. Organisasi yang pernah diikuti antara lain : Anggota Keluarga Mahasiswa

Lampung, Himpunan Mahasiswa Hasil Perairan (HIMASILKAN) periode 2006-2007 bidang Sosial Kemasyarakatan, Anggota Himpunan Mahasiswa Hasil

Perairan periode 2007-2008 bidang Sosial Kemasyarakatan. Kegiatan kepanitian yang pernah diikuti antara lain, panitia Gemar Makan Ikan (GMI) tahun 2007, panitia SANITASI, Bendahara Umum Seminar dan Pelatihan ISO 22000, panitia Bina Desa FPIK dan kegiatan lainnya. Pada tahun 2008 penulis melakukan Praktek Kerja Lapang di PT Central Windu Sejati, Medan. Penulis juga pernah tercatat sebagai asisten mata kuliah Dasar-Dasar Teknologi Hasil Perairan tahun 2009 dan asisten Mata Kuliah Surimi S2 Teknologi Hasil Perairan.

(8)
(9)

Alhamdulilah, segala puji syukur penulis berikan kepada Allah SWT atas segala karunia, petunjuk, kelancaran serta kemudahan yang telah diberikan kepada penulis selama penelitian berlangsung sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perubahan Karakteristik Fisik dan Kimia Surimi Hasil

Pengkomposisian Ikan Mas (Cyprinus carpio) dan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Selama Penyimpanan Suhu Dingin”.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa selama penyelesaian skripsi ini mendapatkan banyak dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang telah bersedia membantu, diantaranya adalah :

1. Ibu Ir. Anna C. Erungan, MS dan Bapak Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si sebagai dosen pembimbing yang telah dengan sabar membimbing dan memberikan masukan pada penulis dalam menyelesaikan penulisan akhir ini.

2. Ibu Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si dan Bapak Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc sebagai dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. DP2M melalui proyek hibah penelitian yang telah banyak membantu terlaksananya penelitian ini.

4. Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl Biol sebagai komisi pendidikan Departemen Teknologi Hasil Perairan.

5. Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Mutu Hasil Perikanan (BBP2MHP), Muara Baru- Jakarta.

(10)

vi

yang berada di Medan. Terima kasih atas segala dukungan, baik moril maupun materi. Semangat dan doa yang tidak pernah terputus yang diberikan kepada penulis.

8. Ibu Ema, Rita, Ibu Rubiyah, Mas Zaki dan semua laboran yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

9. Adik-adikku tersayang Sawalludin Harahap dan Akbar Harahap, atas doa dan kasih sayang dan dukungannya selama ini.

10. Teman-Teman satu bimbingan Indri Widiastuti, Niken Yorita, Inka Santika A, Irma Soraya A, Choridatul Jannah, Ernawati, dan mbakku Ulina Jufebriyanti yang tergabung dalam “Bidadari Surimi” atas segala canda tawa dan segala suka dan duka selama pengerjaan skripsi ini.

11. Lina Karlina, Fitriani Idham, Ian Pranita, Komalasari, Wina Sundari, Juning Tyas Anwar, Sri Maria, Sofya Eka Masti, Lili Handayani, dkk. Terima kasih atas persahabatan ini semoga kita bisa bersama selamanya.

12. Rizka Andina Yosya, Nadya Meriza, Erdita Hasian Sianipar, Istifarini, Dan Pratisari, Purwati, Rance Raska Febriyano Tarigan atas doa, dan kesediannya menemani dan mendengarkan penulis dalam suka dan duka.

13. Fuad Wahdan, Sabda Aji Pambayu, M.Irfan, Prilisa S, Diani S, Evi P, Junide MH, Dewi MM, Stevanus S, Uut, Binyok, dan seluruh teman THP 42 “ANTI MANJA”terima kasih atas kebersamaan selama ini. Teman-teman THP

40&41 (Ka Tommy (’40), Ka Tommy (’41), Ka Ubit, Ka Dika, Ka Laler, ka Bobby), dan THP 43, 44 dan 45 terima kasih atas semangat dan

kebersamaannya.

14. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas segala bantuan dan doa yang telah diberikan kepada penulis.

Bogor, Januari 2010

(11)
(12)

Halaman

2.3.2 Protein sarkoplasma... 10

2.3.3 Protein stroma... 11

2.4 Surimi ... 12

2.4.1 Deskripsi dan karakteristik surimi ... 12

2.4.2 Pengaruh pencucian terhadap mutu surimi... 13

2.4.2 Bahan tambahan dalam pembuatan surimi ... 14

a) Alkali (natrium bikarbonat) (NaHCO3) ... 15

b) Garam (NaCl)... 15

c) Antidenaturan (cryoprotectant)... 16

2.4.3 Syarat mutu surimi beku... 17

2.4.4 Mekanisme pembentukan gel ... 18

(13)

ix

3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ... 38

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 42

4.1 Penelitian Pendahuluan... 42

4.1.1 Komposisi kimia ikan mas (Cyprinus carpio) dan ikan lele (Clarias gariepinus)... 42

4.1.2 Karekteristik surimi ikan mas dan ikan lele pada berbagai frekuensi pencucian ... 44

4.1.3 Karakteristik surimi hasil pengkomposisian ... 48

4.2 Penelitian Utama ... 50

4.2.1 Karakteristik kimia surimi hasil pengkomposisian selama penyimpanan dingin ... 50

a) Derajat keasaman pH ... 50

b) Total volatile base nitrogen(TVBN)... 52

c) Protein larut garam (PLG)... 54

(14)
(15)

Halaman 1. Komposisi kimia daging ikan mas setiap 100 gram

bahan yang dimakan ... 7

2. Komposisi kimia ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)... 8

3. Komposisi protein ikan secara umum ... 9

4. Syarat mutu surimi beku (SNI 01-2693-1992)... 18

5. Komposisi kimia daging ikan mas dan ikan lele dumbo... 42

(16)

Halaman

1. Ikan mas (Cyprinus carpio)... 6

2. Ikan lele (Clarias gariepinus) ... 8

3. Proses pembentukan gel kamaboko... 20

4. Diagram alir pembuatan surimi... 26

5. Diagram alir proses pengkomposisian surimi ... 27

6. Diagram alir proses pembuatan kamaboko ... 28

7. Diagram alir proses penyimpanan surimi selama 10 hari ... 29

8. Nilai kekuatan gel surimi ikan mas dan ikan lele dumbo pada berbagai komposisi... 49

9. Nilai pH surimi hasil pengkomposisian pada ... 51

10. Kadar TVBN surimi komposisi ikan mas dan ikan lele pada penyimpanan dingin... 53

11. Kadar PLG surimi komposisi ikan mas dan ikan lele pada penyimpanan dingin ... 55

12. Nilai kekuatan gel surimi komposisi mas dan lele pada penyimpanan dingin ... 57

13. Kadar derajat putih surimi komposisi mas dan lele pada... 60

14. Kadar WHC surimi komposisi mas dan lele pada ... 63

15. Nilai uji lipat surimi komposisi mas dan lele pada penyimpanan dingin ... 65

16. Nilai uji gigit surimi komposisi mas dan lele pada penyimpanan dingin... 66

(17)
(18)

Halaman

7. Data kekuatan gel surimi ikan mas dan ikan lele dumbo pada berbagai frekuensi pencucian... 81

8. Data derajat putih surimi mas dan lele dumbo berdasarkan frekuensi pencucian... 82

9. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Tukey pengaruh frekuensi pencucian ikan lele... 82

10. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Tukey pengaruh frekuensi pencucian ikan mas ... 84

11. Data kekuatan gel surimi ikan mas dan lele berbagai komposisi... 86

12. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Tukey surimi komposisi mas dan lele... 86

13. Hasil analisis ragam dan uji Tukey surimi komposisi (M1L1) pada suhu dingin ... 87

14. Hasil analisis ragam dan uji Tukey TVBN surimi komposisi pada penyimpanan suhu dingin ... 87

15. Hasil analisis ragam dan uji Tukey kadar PLG surimi komposisi pada penyimpanan suhu dingin ... 88

16. Hasil analisis ragam dan uji Tukey kekuatan gel surimi komposisi pada penyimpanan suhu dingin ... 88

17. Hasil analisis ragam dan uji Tukey derajat putih surimi komposisi selama penyimpanan suhu dingin ... 89

18. Hasil analisis ragam dan uji Tukey WHC surimi komposisi selama penyimpanan suhu dingin ... 89

19. Hasil uji Kruskal-Wallis uji lipat surimi komposisi selama penyimpanan dingin ... 90

(19)

xv

selama penyimpanan suhu dingin ... 92

22. Gambar kamaboko surimi komposisi mas dan lele... 93

23. Gambar rheoner (alat pengukur kekuatan gel surimi) ... 93

(20)

1.1 Latar Belakang

Krisis pangan merupakan permasalahan nasional yang dihadapi bangsa Indonesia sejak lama. Permasalahan ini akan berdampak pada menurunnya tingkat kesehatan masyarakat yang pada akhirnya juga akan menurunkan kecenderungan angka harapan hidup. Kurangnya perhatian dari pemerintah dan masyarakat tentang pentingnya mengkonsumsi makanan yang bergizi menjadi salah satu faktor terjadinya krisis pangan yang berkepanjangan di Indonesia. Salah satu alternatif untuk menyelesaikan permasalahan tersebut adalah meningkatkan ketahanan pangan bangsa. Peningkatan ketahanan pangan ini dilakukan agar bangsa Indonesia dapat bertumpu pada sumberdaya lokal yang melimpah dan beragam. Selain itu, peningkatan ketahanan pangan juga dilakukan untuk menghindari ketergantungan pada produk impor.

Ketahanan pangan hendaknya dilakukan secara menyeluruh tidak hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan pangan pokok seperti karbohidrat, tetapi pemenuhan terhadap komponen pangan yang lain seperti protein. Pemenuhan kebutuhan protein masyarakat Indonesia dapat dipenuhi dengan meningkatkan konsumsi protein baik protein hewani maupun protein nabati. Protein hewani dapat dipenuhi salah satunya dengan mengkonsumsi ikan. Sebagai negara yang sebagian besar wilayahnya berupa perairan yang terdiri dari perairan laut dan perairan tawar maka sumberdaya alam perairannya pun akan memberikan hasil yang melimpah. Hasil perairan yang sebagian besar merupakan komodias perikanan ini dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan protein masyarakat Indonesia.

(21)

asam amino yang terdapat pada daging ikan juga cukup lengkap sehingga daging ikan dipercaya baik untuk pertumbuhan otak anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Kandungan lemak pada ikan tergolong rendah dan asam lemaknya sebagian besar merupakan asam lemak tidak jenuh ganda, seperti omega-3 yang dapat menurunkan kadar kolesterol tubuh, meningkatkan kecerdasan otak, dan mencegah berbagai penyakit degeneratif (DKP 2008).

Melimpahnya produksi ikan air tawar khususnya ikan mas dan ikan lele merupakan potensi yang sangat besar bagi pengembangan industri perikanan. Data produksi ikan mas dan ikan lele di daerah Bogor pada kurun waktu 2006 – 2008 mencapai kisaran 10. 840 ton tiap tahunnya (DKP 2008). Produksi tersebut diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya konsumsi masyarakat terhadap pangan ikani. Selain nilai gizi yang baik, ikan mas dan ikan lele bisa dimanfaatkan menjadi produk yang bernilai ekonomois tinggi dengan teknologi tepat guna yang efisien, efektif, dan terjangkau. Pemanfaatan ikan budidaya air tawar seperti ikan mas dan ikan lele belum dilakukan secara optimal. Hal ini disebabkan pemanfaatannya masih terbatas dalam konsumsi segar.

(22)

Hingga saat ini pembuatan surimi masih difokuskan pada ikan-ikan teleostei dan ikan berdaging putih seperti Alaska pollock, Pacific whiting, coral fish, wolf herring (Park 2000), tilapia (Mahawanich 2008) dan lainnya. Pembuatan surimi dengan menggunakan ikan tersebut pada umumnya dilakukan secara tunggal. Pada penelitian kali ini proses pembuatan surimi dilakukan dengan menggunakan ikan air tawar. Ikan yang akan digunakan untuk pembuatan surimi ini adalah ikan mas dan ikan lele. Penggunaan kedua jenis ikan ini disebabkan melimpahnya produksi ikan mas dan ikan lele, dan terjangkaunya harga kedua jenis ikan tersebut dikalangan masyarakat (DKP 2008).

Pada dasarnya, surimi merupakan protein miofibril yang stabil dari daging ikan yang telah digiling dan dipisahkan dari tulang dan berbagai jenis kotoran yang setelah itu mengalami proses pencucian dan pencampuran dengan

cryoprotectant. Menurut (Okada 1992 dalam Jin et al. 2007) surimi juga merupakan produk antara yang bisa digunakan untuk variasi berbagai jenis produk. Produk-produk yang biasanya dibuat dengan bahan baku surimi adalah kamaboko, otak-otak, chikuwa, dan berbagai produk tradisional Jepang lainnya. Sebelum tahun 1960, surimi biasanya disimpan dan digunakan dalam beberapa hari saja. Surimi tersebut biasanya disimpan pada suhu dingin. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya denaturasi protein bila surimi disimpan pada suhu beku (Park 2000).

Bertitik tolak dari tingginya permintaan terhadap produk surimi, dan melimpahnya bahan baku (ikan mas dan ikan lele dumbo) maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif solusi terhadap potensi ikan budidaya air tawar yang melimpah namun belum dimanfaatkan dengan optimal. Metode pengkomposisian merupakan metoda yang digunakan pada penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya tentang pengkomposisian daging lumat ikan cucut (Carcharinus falciformis) dan ikan pari (Tryon sephen) pada penyimpanan dingin (Santoso et al. 2008), studi pembuatan surimi multi-species

(23)

pengkomposisian dapat meningkatkan kekuatan gel surimi. Selain itu, dengan pendinginan diharapkan surimi dapat bertahan lebih lama. Pendinginan merupakan suatu unit operasi yang bertujuan untuk menurunkan suhu suatu bahan (Clucas dan Ward 1996). Selama penyimpanan dingin terjadi perubahan sifat fisika-kimia dan mikrobiologi yang pada akirnya akan memberikan pengaruh terhadap sifat fungsionalnya, sehingga pengaruh penyimpanan dingin dalam hubungannya dengan perubahan karakteristik surimi penting untuk diteliti lebih lanjut.

1.2 Tujuan

Tujuan umum dari penelitian ini adalah pemanfaatan ikan mas dan ikan lele sebagai ikan budidaya air tawar untuk pembuatan surimi komposisi.

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

(1) Membuat surimi dengan metode pengkomposisian dari ikan air tawar (ikan mas dan lele) dengan perlakuan faktor pengulangan pencucian dan pengkomposisian.

(24)

2.1 Ikan Mas (Cyprinus carpio)

Ikan mas merupakan jenis ikan konsumsi air tawar, memiliki badan dengan bentuk panjang dan pipih kesamping serta memiliki daging yang lunak. Ikan mas sendiri sudah dipelihara sejak tahun 475 sebelum masehi di Cina sedangkan di Indonesia, ikan mas dipelihara sekitar tahun 1920. Ikan mas yang terdapat di Indonesia merupakan merupakan jenis ikan mas yang dibawa dari Cina, Eropa, Taiwan dan Jepang (Anonim 2007b). Hingga saat ini sudah terdapat 10 jenis ikan mas yang telah diidentifikasi berdasarkan karakteristik morfologisnya.

Pada ilmu taksonomi hewan, klasifikasi ikan mas adalah sebagai berikut (Bachtiar 2002) :

Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Osteichthyes Subkelas : Actinopterygii Ordo : Cypriniformes Subordo : Cyprinoidea Famili : Cyprinidae Subfamili : Cyprininae Genus : Cyprinus

Spesies : Cyprinus carpio

(25)

Gambar 1 Ikan mas (Cyprinus carpio)(Anonim 2007b)

Ikan mas memiliki bentuk tubuh yang agak memanjang dan sedikit memipih ke samping (compressed). Sebagian besar tubuh ikan mas ditutupi oleh sisik. Moncongnya terletak di ujung tengah (terminal) dan dapat disembulkan (protaktil). Pada bibirnya yang lunak terdapat dua pasang sungut (berbel) dan tidak bergerigi. Pada bagian dalam mulut terdapat gigi kerongkongan (pharynreal teeth) sebanyak tiga baris berbentuk geraham. Sirip punggung ikan mas memanjang dan bagian permukaannya terletak berseberangan dengan permukaan sirip perut (ventral). Sirip punggungnya (dorsal) berjari-jari keras, sedangkan di bagian akhir bergerigi. Seperti halnya sirip punggung, bagian belakang sirip dubur (anal) ikan mas ini pun berjari-jari keras dan bergerigi pada ujungnya. Sirip ekornya menyerupai cagak memanjang simetris hingga ke belakang tutup insang, sisik ikan mas relatif besar dengan tipe sisik lingkaran (cycloid) yang terletak beraturan. Garis rusuk atau gurat sisi (linea lateralis) yang lengkap terletak di tengah tubuh dengan posisi melintang dari tutup insang sampai ke ujung belakang pangkal ekor (Bachtiar 2002).

(26)

Tabel 1 Komposisi kimia daging ikan mas setiap 100 gram bahan yang dimakan

Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan salah satu komoditas perairan yang dibudidayakan di air tawar. Ikan ini sangat digemari oleh masyarakat Indonesia karena memiliki cita rasa yang dapat diterima oleh hampir semua lapisan masyarakat dan harganya yang relatif murah. Selain untuk dikonsumsi, ikan lele juga bermanfaat untuk menjaga kualitas air yang tercemar.

(27)

yang membahayakan dirinya. Pada bagian tubuh lele yang lain, yaitu sirip punggung dan sirip dubur bentuknya memanjang sampai ke daerah pangkal ekor tetapi tidak menyatu dengan sirip ekornya. Bagian punggungnya berwarna hijau kegelapan dan bagian perutnya berwarna putih keperakan. Memiliki empat pasang kumis di sekitar mulutnya dan dua buah lubang penciuman di belakang bibir atas. Pada saat mencari makan lele biasanya menggunakan kumisnya sebagai alat peraba (tentakel) yang disebut kumis mandibular (Khairuman dan Khairul 2002). Gambar ikan lele dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Ikan lele (Clarias gariepinus) (Anonim 2008a)

Ikan ini juga memiliki alat pernafasan tambahan disebut arborescen organ

yang terletak pada lembar insang ke-2 dan ke-4 untuk mengambil oksigen langsung dari udara dengan bergerak vertikal. Alat pernafasan tambahan tersebut merupakan pengadaptasian ikan lele terhadap tempat hidup yang minim oksigen. Sebagai contoh, ikan lele dapat hidup dengan baik di kolam penampungan air maupun di sawah dengan air dangkal pada kedalaman 5-10 cm saja dengan syarat ada tempat untuk berlindung seperti kolong dari tumpukan batu-batu atau potongan pipa paralon (Anonim 2008a) .

Ikan lele memiliki nilai gizi yang tinggi. Selain itu, ikan ini banyak digemari oleh masyarakat karena rasa dagingnya yang gurih. Hal ini juga didukung dengan harga ikan lele yang terjangkau oleh masyarakat. Kandungan gizi ikan lele dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi kimia ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

Komposisi Jumlah (%)

Air 75,1

Protein 17

Lemak 4,8

(28)

Vitamin 1,2

Sumber : Anonim (2008a).

2.3 Protein Daging Ikan

Protein merupakan senyawa yang mengandung berbagai macam asam amino berbeda yang disambungkan dengan ikatan peptida (Winarno 2002). Protein yang berbeda dapat mempunyai sifat kimia yang berbeda serta struktur sekunder dan tersier yang berbeda pula (deMan 1997). Menurut Junianto (2003), protein ikan menyediakan lebih kurang 2/3 dari kebutuhan proten hewani yang diperlukan manusia. Kandungan protein ikan relatif besar, yaitu antara 15-25 g dari 100 g daging ikan. Selain itu, protein ikan terdiri dari asam-asam amino yang hampir semuanya diperlukan oleh tubuh manusia.

Protein ikan digolongkan dalam 3 fraksi yaitu protein miofibril, protein sarkoplasma, dan protein stroma. Komposisi protein ikan tersebut bervariasi menurut jenis atau spesiesnya, namun secara umum komposisi protein ikan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Komposisi protein ikan secara umum

Fraksi Protein Jumlah (%)

Miofibril 65-75

Sarkoplasma 20-30

Stroma 1-3

Sumber : Nakai dan Modler (2000)

2.3.1 Protein miofibril

Protein miofibril disebut juga protein kontraktil (struktur) dan bersifat larut dalam larutan garam. Protein ini merupakan fraksi terbesar (65-70 %) dari keseluruhan protein yang terdapat pada daging ikan tergantung pada spesies ikan (Alasalvar dan Taylor 2002). Protein ini terdiri dari miosin, aktin serta protein regulasi, yaitu protein gabungan dari aktin dan miosin yang membentuk

aktomiosin. Penyusun terbesar dari protein miofibril ikan adalah miosin, yaitu 50-60 % dan penyusun kedua terbesar adalah aktin. Aktin tersusun hampir 20 % dari total miofibril dan merupakan filamen tipis. Protein ini mempunyai dua

(29)

membentuk aktomiosin. Protein miofibril sangat berperan dalam pembentukan gel dan proses koagulasi terutama dari fraksi aktomiosin (Suzuki 1981).

Miosin adalah protein yang paling penting dari semua protein otot, bukan hanya karena jumlahnya yang besar (50-60 %) dari total miofibril, tetapi juga karena mempunyai sifat biologi khusus. Adanya aktivitas enzim ATP-ase dan kemampuannya pada beberapa kondisi, miosin dapat bergabung dengan aktin membentuk kompleks aktomiosin (Shahidi 1994). Sifat kontraksi pada proses pembentukan aktomiosin inilah yang menyebabkan terjadinya gerakan otot

sewaktu ikan hidup dan selama terjadinya kekejangan setelah ikan mati. Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat gel aktomiosin pada ikan adalah

konsentrasi protein, pH, kekuatan ion, waktu dan suhu pemanasan. Penurunan pH

dan peningkatan konsentrasi protein meningkatkan kekuatan gel aktomiosin (Zayas 1997).

Protein otot sebagian besar tersimpan dalam bentuk koloid, baik berupa sol maupun gel. Kemampuan untuk mengekstrak protein miosin lebih besar pada pH agak tinggi, tetapi kekuatan gel daging ikan pada produk akhir lebih rendah meskipun jumlah miosin yang diekstrak lebih banyak (Junianto 2003). Pembentukan gel oleh protein miofibril pada surimi dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti konsentrasi protein miofibril (PLG), jumlah air yang terkandung, tipe ion dan kekuatannya, pH dan interaksi yang terjadi antara miofibril dengan bahan lain yang ditambahkan, seperti cryoprotectant(Lee et al. 1992).

Pada umumnya protein yang larut dalam garam lebih efisien sebagai pengemulsi dibandingkan dengan protein yang larut dalam air. Pada proses pengolahan daging, protein miofibril mempunyai peran sebagai struktur dan fungsi utama yaitu berinteraksi dengan komponen lain dan dengan unsur nonprotein secara kimia dan secara fisik untuk menghasilkan karakteristik produk yang diinginkan (Nakai dan Modler 2000).

2.3.2 Protein sarkoplasma

(30)

jenis ikannya, juga tergantung dari habitat hewan tersebut. Pada umumnya, ikan pelagis mempunyai kandungan protein sarkoplasma yang cukup tinggi dibandingkan ikan demersal (Suzuki 1981).

Protein sarkoplasma berjumlah sekitar 20-30 % dari total protein daging. Protein sarkoplasma mempunyai sifat kimia yaitu memiliki berat molekul yang kecil, pH isoelektrik yang tinggi, dan berstruktur globular. Karakteristik fisik dari protein sarkoplasma sebagian besar bertanggung jawab untuk kelarutan yang tinggi terhadap air. Salah satu bagian dari protein sarkoplasma yang penting dalam menentukan kualitas daging adalah mioglobin. Mioglobin bertanggung jawab untuk warna merah pada daging segar dan warna merah muda pada daging yang dicuring (Nakai dan Modler 2000).

2.3.3 Protein stroma

Protein stroma atau protein jaringan ikat tersusun dari kolagen dan elastin. Protein jaringan pengikat kebanyakan terdapat pada miosepta dan endomiosin, tetapi ada pula yang terdapat pada sarkolema atau bagian tubuh yang lain tetapi jumlahnya tidak banyak. Seperti halnya protein miofibril, protein jaringan ikat juga merupakan protein struktural dan terdiri dari sel-sel otot jaringan pengikat, berkas serat dan otot. Protein jaringan ikat ini memelihara struktur bentuk pada tulang, ligamen, dan tendon. Jaringan ikat pada tempat interstitial sel otot terdiri dari 3 protein ekstraselular (kolagen, retikulin, dan elastin) dan substansi dasar penyangga (Nakai dan Modler 2000).

Protein stroma ini tidak dapat diekstrak oleh larutan asam, alkali atau garam berkekuatan ion tinggi. Menurut Hall dan Ahmad (1992), pada proses pengolahan surimi protein stroma tidak dapat dipengaruhi oleh panas dan merupakan komponen netral pada produk akhir.

(31)

2.4 Surimi

Surimi merupakan istilah dalam bahasa Jepang untuk daging lumat dan jaringan ikan yang dicuci. Surimi juga dapat disebut sebagai olahan daging cincang ikan yang telah mengalami beberapa kali proses pencucian yang dimaksudkan untuk menghilangkan komponen yang larut dalam air seperti protein sarkoplasma, darah dan enzim (Mahawanich 2008). Sejak tahun 1900-an, produksi surimi mengalami peningkatan yang cukup tajam. Peningkatan tersebut dapat dilihat dari persentase permintaan yang cukup tajam (2-3 %) pada tahun 2000-2003 (Park 2000). Produksi surimi secara komersial dibuat dengan menggunakan alat pemisah mekanik untuk memisahkan daging lumat ikan dari tulang dan kulit, diikuti dengan pencucian (sampai dengan 3 kali pencucian) dengan air atau larutan garam. Proses pencucian bertujuan untuk menghilangkan sebagian besar komponen larut dalam air, darah (pigmen), penyebab bau dan lemak. Setelah pencucian terakhir, daging lumat dipressuntuk menghilangkan air yang tersisa lalu dicampur dengan cryoprotectant yang tepat untuk mencegah denaturasi protein selama penyimpanan beku (Nakai dan Modler 2000).

2.4.1 Deskripsi dan karakteristik surimi

Pada dasarnya, hampir semua daging ikan bisa dijadikan surimi. Hal pertama yang dilakukan sebelum membuat surimi adalah membuat daging lumat ikan atau minced fish. Daging giling yang digunakan untuk pembuatan surimi sebaiknya memiliki diameter 3 mm hingga 5 mm. Sebelum daging dipress daging harus dibersihkan dari tulang, kulit, darah. Ukuran dan tekstur dari daging giling ikan juga akan memberikan pengaruh pada kualitas minced fish(Park 2000).

Surimi yang baik adalah surimi yang memiliki warna yang putih, rasa yang baik (khas ikan), dan kemampuan gel yang kuat. Surimi yang baik biasanya terbuat dari bahan baku yang segar. Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan surimi biasanya merupakan bahan baku yang kurang memiliki nilai ekonomis, tetapi tersedia dalam jumlah yang banyak (Lanier 1992).

(32)

lainnya seperti kamaboko, chikuwa, dan beberapa produk tradisional Jepang lainnya. Sebelum tahun 1960, surimi disimpan dan digunakan dalam beberapa hari saja, hal ini dikarenakan surimi hanya dapat disimpan pada suhu dingin pada refrigerator. Pada waktu itu proses pendinginan beku akan menyebabkan protein dalam daging ikan akan keluar dan akan mengalami denaturasi pada akhirnya (Park 2000).

Terdapat dua tipe surimi beku, yaitu Mu-en surimi, yang dibuat dengan menggiling campuran daging ikan yang telah dicuci dan dicampur dengan gula fosfat tanpa penambahan garam (NaCl) dan telah mengalami proses pembekuan, sedangkan Ka-en surimi dibuat dengan menggiling campuran daging ikan yang telah dicuci dan dicampur dengan gula dan garam (NaCl) serta yang telah mengalami proses pembekuan. Selain surimi beku, terdapat tipe lain yang disebut

Nama surimi (raw surimi) yaitu surimi yang tidak mengalami proses pembekuan (Okada 1992).

2.4.2 Pengaruh pencucian terhadap mutu surimi

Pencucian merupakan tahap paling penting dalam pembuatan surimi agar dapat dihasilkan surimi dengan kualitas yang baik. Proses pencucian bertujuan untuk menghilangkan protein sarkoplasma, darah, lemak dan kandungan nitrogen lainnya dari daging ikan sehingga dihasilkan surimi tanpa bau, rasa dan warna serta memiliki kekuatan gel yang baik (Mahawanich 2008). Proses pencucian surimi dilakukan dengan cara mencampur air dan daging lumat kemudian digerakkan secara mekanis. Jumlah air yang digunakan dan banyaknya siklus pencucian ditentukan oleh jenis ikan dan mutu surimi yang diinginkan. Pada umumnya pencucian surimi dilakukan sebanyak 3-4 kali selama 10 menit dengan perbandingan air dan ikan yaitu 3 : 1 atau 4 : 1. Pada beberapa ikan pada

pencucian terakhir biasanya ditambahkan garam (0,2 %) dalam air pencucian (Hall dan Ahmad 1992).

(33)

beberapa faktor diantaranya adalah kondisi air yang digunakan dalam proses pencucian. Air yang digunakan pada proses pencucian sebaiknya memiliki nilai pH yang netral dan suhu yang rendah (±5 °C). Air pencucian yang memiliki tingkat kesadahan tinggi justru dapat merusak tekstur dan mempercepat terjadinya degradasi lemak, sedangkan bila pencucian menggunakan air laut atau air garam protein yang hilang akan semakin tinggi. Kandungan garam-garam inorgaik yang tinggi pada air pencuci, terutama Ca2+ dan Mg2+ akan memberikan pengaruh terhadap kemampuan membentuk gel surimi dengan menyebabkan denaturasi aktomiosin selama penyimpanan beku. Selain itu, kadar pH juga akan mempengaruhi proses pengikatan air dan kemampuan pembentukan gel, pH yang disarankan dalam proses pencucian surimi yaitu sekitar 6,5-7,0 (Park 2000).

Pada proses pencucian sebaiknya diperhatikan suhu air yang akan digunakan untuk proses pencucian. Suhu yang digunakan untuk pencucian biasanya ± 5 °C. Penggunaan suhu rendah pada air yang digunakan untuk pencucian surimi ini dimaksudkan untuk menjaga tekstur daging dan kandungan enzim proteolisisnya. Selain suhu, perbandingan volume air yang digunakan pada proses pencucian juga harus diperhatikan. Efisiensi pencucian dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya penambahan air, daging ikan, umur panen ikan, kecepatan agitasi, bentuk agitator, dan temperatur air. Bentuk wadah yang sebaiknya digunakan adalah square-shaped. Kecepatan agitator yang baik digunakan pada saat pencucian surimi adalah 20-40 rpm (Park 2000).

Proses pencucian pada pembuatan surimi juga bertujuan untuk menghilangkan protein larut air yaitu protein sarkoplasma. Protein sarkoplasma merupakan protein yang dapat menghambat pembentukan gel dan dapat menurunkan mutu produk. Protein sarkoplasma terdapat di dalam cairan dalam serat daging dan berhubungan dengan banyak metabolit enzim. Protein ini dapat menurunkan kualitas enzim selama proses penyimpanan (Lanier 1992).

2.4.2 Bahan tambahan dalam pembuatan surimi

(34)

aroma, pemantap, antioksidan, pengawet, pengemulsi, pemucat dan pengental (Winarno 2002).

Bahan tambahan yang ditambahkan dalam proses pembuatan surimi antara lain adalah garam, cryoprotectant (sorbitol, sukrosa/gula) dan bahan lain untuk meningkatkan daya ikat air (sodium tripolifosfat). Bahan anti denaturasi akan menurunkan tegangan permukaan dan menurunkan titik beku air terperangkap dari miofibril, sehingga air yang keluar selama proses dan penyimpanan beku akan sangat berkurang dan struktur alami protein tetap stabil (Mackie 1992).

a) Alkali (natrium bikarbonat) (NaHCO3)

Natrium bikarbonat atau sodium bikarbonat (NaHCO3) adalah garam yang terdiri atas ion Na+dan anion bikarbonat HCO3-. Garam ini telah digunakan secara luas dan mempunyai beberapa nama lain, yaitu sodium hidrogen karbonat, sodium bikarbonat, baking soda, soda roti, soda masak, soda bikarbonat, dan saleratus. Padatan putih ini berbentuk kristal tetapi sering ditemukan dalam bentuk serbuk. Komponen kimia ini mempunyai rasa sedikit basa (Anonim 2008b).

Natrium bikarbonat (NaHCO3) dalam pencucian surimi berfungsi untuk meningkatkan nilai pH agar dapat mencegah terjadinya denaturasi protein. Jumlah natrium bikarbonat (NaHCO3) yang digunakan dalam pencucian surimi adalah 0,5 % (BPPMHP 2001).

b) Garam (NaCl)

Garam terdiri dari 34,39 % Na dan 60,69 % Cl, garam biasa digunakan dalam pengolahan ikan sebagai pemberi rasa dan bahan pengawet. Pada pembuatan surimi penambahan garam sebanyak 0,2-0,3 % selama proses pencucian akan memudahkan penghilangan air dari daging ikan yang telah dilumatkan (Ditjen Perikanan 1990).

Garam dalam pembuatan produk fish jelly lebih berfungsi sebagai agen

pelarut bagi protein miofibril dibandingkan sebagai penambah cita rasa (KIFTC 1992). Penambahan garam pada konsentrasi dibawah 2% akan

(35)

adalah dengan menggunakan kadar garam tinggi (5-10 %), akan tetapi selang kadar garam 2-3 % biasa digunakan pada beberapa spesies dan produk. Hal ini dilakukan untuk mengindari rasa asin yang berlebihan pada produk hasil akhir (Niwa 1992).

c) Antidenaturan (cryoprotectant)

Cryoprotectant adalah bahan yang biasa ditambahkan dalam pembuatan surimi yang tidak langsung diolah menjadi produk lanjutan, melainkan akan disimpan terlebih dahulu pada suhu beku dalam waktu yang lama. Penambahan

cryoprotectant dalam pembuatan surimi dilakukan untuk mencegah terjadinya denaturasi protein selama penyimpanan pada suhu rendah. Pada surimi mentah, penambahan cryprotectant dibutuhkan untuk menstabilkan salah satu komponen yang penting yaitu protein miofibril. Penambahan cryoprotectant ini mampu meningkatkan N-aktomiosin dari 350 mg % menjadi 520 mg % dan meningkatkan kekuatan gel dari 400 g cm menjadi 480 g cm yang artinya sama dengan meningkatkan nilai pelipatan (folding score) dari A menjadi AA (Peranginangin et al. 1999). Bahan yang umum digunakan sebagaicryoprotectant

adalah jenis gula, misalnya sukrosa dan sorbitol. Namun pada saat ini, komponen yang digunakan sebagai cryoprotectant untuk melindungi protein yang labil selama proses pembekuan banyak macamnya yaitu : gula, asam amino, poliol, metal amina, polimer karbohidrat, polimer sintetik (seperti polietilen glikon, PEG), protein lain (seperti bovine serum albumin, BSA), dan garam anorganik (seperti potassium fosfat dan ammonium sulfat) (Park 2000).

Pipatsattayanuwong et al. (1995) menyatakan bahwa cryoprotectant

dibutuhkan untuk meminimalisasikan denaturasi protein selama masa penyimpanan beku. Sukrosa (4 %) dan sorbitol (4-5 %) sering digunakan bersamaan dengan 0,3 % sodium fosfat. Penambahan polifosfat dapat menyebabkan surimi tahan disimpan selama lebih dari satu tahun (Lee et al.

1992).

(36)

memperbaiki sifat ketahanan air). Fosfat dapat meningkatkan nilai pH dan kelarutan garam dari protein miofibril. Fosfat juga dapat meningkatkan kekenyalan dari surimi (Lee et al. 1992).

Polifosfat akan memisahkan aktomiosin dan berikatan dengan miosin. Miosin dan polifosfat akan berikatan dengan air dan menahan mineral dan vitamin. Pada proses pemasakan, miosin akan membentuk gel dan polifosfat membantu menahan air dengan menutup pori-pori mikroskopis dan kapiler. Polifosfat dapat menambah nilai kelembutan dan memperbaiki sifat surimi, terutama sifat elastisitas dan kelembutan. Polifosfat dapat memperbaiki daya ikat air (water holding capacity) dan memberikan sifat pasta yang lebih lembut pada produk-produk olahan surimi (Peranginangin et al. 1999)

Pada sebagian besar protein, cryoprotectant yang digunakan harus berada pada konsentrasi yang tinggi untuk memberikan perlindungan maksimum, pengecualian pada polimer seperti PEG (polietilen glikon), BSA (bovine serum albumin) dan polivinilpirolidon (PVP), harus digunakan pada konsentrasi kurang dari 1 % (b/v) yang sepenuhnya melindungi enzim yang sensitif. Konsentrasi

cryoprotectant yang ditambahkan pada surimi tergantung pada lamanya waktu penyimpanan. Pada umumnya cryoprotectant yang digunakan adalah 4 % sukrosa atau 4-5 % sorbitol. Surimi yang telah ditambahkan sebagai cryoprotectant

kemudian dilakukan proses pengemasan dan pembekuan pada suhu -25 °C (Park 2000).

2.4.3 Syarat mutu surimi beku

Mutu surimi beku umumnya dinilai dari kekuatan gelnya dan warna yang sangat tergantung dari faktor-faktor bahan baku seperti spesies ikan, kesegaran ikan, metode dan pengawasan pengolahan, kadar air, pengawasan suhu pembekuan dan penyimpanan serta kondisi penanganan dan distribusi. Penentuan

mutunya dilakukan dengan mengukur kekuatan gel dan penilaian organoleptik (uji lipat / folding testdan uji gigit / teeth cutting test) (Tan et al. 1987).

(37)

Karakteristik kesegaran bahan baku yang digunakan untuk membuat surimi secara organoleptik sekurang-kurangnya sebagai berikut :

 Rupa dan warna : bersih, warna daging spesifik jenis ikan  Aroma : segar spesifik jenis

 Daging : elastik, padat dan kompak  Rasa : netral agak manis

Syarat mutu surimi beku menurut SNI 01-2693-1992 disajikan pada Tabel 4 :

Tabel 4 Syarat mutu surimi beku (SNI 01-2693-1992)

Jenis Uji Satuan Persyaratan Mutu

Keterangan : ALT = Angka Lempeng Total, AMP = Angka Paling Memungkinkan

2.4.4 Mekanisme pembentukan gel

(38)

sifat dasar dari pengembangan produk yang menuntut kekuatan gel atau elastisitas sebagai atribut utamanya.

Pembentukan gel pada surimi terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah denaturasi protein dan tahap kedua terjadi agregasi protein membentuk struktur tiga dimensi. Terdapat empat tipe ikatan utama yang berkontribusi terhadap pembentukan struktur jaringan selama proses gelasi dari pasta surimi, yaitu ikatan garam, ikatan higrogen, ikatan disulfida dan ikatan hidrofobik. Interaksi hidrofobik terjadi ketika suhu naik dan ikatan hidrogen menjadi tidak stabil. Pembentukan interaksi hidrofobik diketahui sebagai akibat keberadaan beberapa poliol dan asam amino seperti gliserin, sukrosa, sorbitol, asam glutamat dan lisin. Interaksi hidrofobik berfungsi untuk melepaskan energi bebas yang dapat menstabilkan sistem protein (Park 2000).

Proses gelasi juga dapat dibagi menjadi tiga bagian yang diawali dengan proses denaturasi utuh dari bentuk terlipat menjadi tidak terlipat. Tahap pertama adalah pembentukan turbiditas yang terjadi pada 3-10 menit pemanasan pertama. Pada tahap ini terjadi interaksi hidrofobik (Hudson 1992). Ketika suhu naik, maka ikatan hidrogen menjadi tidak stabil dan interaksi hidrofobik akan berlangsung lebih kuat (Niwa 1992).

Tahap kedua adalah oksidasi sulfihidril. Pada tahap ini menurut pasta surimi akan mengeras, dimana ikatan intermolekul disulfida (SS) terbentuk melalui oksidasi dari dua residu sistein. Ikatan disulfida lebih intensif terjadi pada suhu pemanasan yang lebih tinggi (diatas 80 oC) (Niwa 1992). Tahap ketiga adalah tahap peningkatan elastisitas gel yang terjadi ketika pendinginan. Peningkatan elastisitas ini terjadi karena pembentukan ikatan hidrogen kembali yang menyebabkan peningkatan terhadap kekerasan gel (Hudson 1992).

Pembentukan gel ikan terjadi pada saat penggilingan daging mentah dengan penambahan garam. Aktomiosin (miosin dan aktin) sebagai komponen yang paling penting dalam pembentukan gel akan larut dalam larutan garam, membentuk sol (disperse partikel padat dalam medium cair) yang sangat adhesive.

Bila sol dipanaskan akan terbentuk gel dengan kontruksi seperti jala dan memberikan sifat elastis pada daging ikan. Sifat elastis ini disebut ashi atau

(39)

kamaboko yang kekuatannya berbeda-beda menurut jenis dan kesegaran ikan (Tanikawa 1985).

Pasta surimi yang dibuat dengan mencampurkan daging dengan garam yang dipanaskan, maka pasta daging tersebut berubah menjadi gel suwari. Gel

suwari tidak hanya terbentuk oleh hidrasi molekul protein, tetapi juga oleh pembentukan jaringan oleh ikatan hidrogen pada molekul miofibril. Gel suwari

terbentuk dengan cara menahan air di dalam ikatan molekul yang terbentuk oleh ikatan hidrofobik dan ikatan hidrogen. Pembentukan gel suwari terjadi pada pemanasan dengan suhu mencapai 50 °C. Jika pemanasan ditingkatkan hingga diatas suhu 50 °C, maka struktur gel tersebut akan hancur. Fenomena ini disebut dengan modori. Modori akan terjadi apabila pasta surimi dipanaskan pada suhu 50-60 °C selama 20 menit, pada rentang suhu tersebut enzim alkali proteinase akan aktif. Enzim tersebut dapat menguraikan kembali struktur jaringan tiga dimensi gel yang telah terbentuk sehingga gel surimi akan menjadi rapuh dan hilang elastisitasnya (Suzuki 1981). Proses pembentukan gel kamaboko dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Proses pembentukan gel kamaboko(Suzuki 1981)

Metode analisis mutu surimi dingin dapat dilakukan dengan mengukur kadar air, pH, deteksi kotoran dan kemampuan pembentukan gel dengan metode uji lipat (folding test). Evaluasi organoleptik dapat juga dilakukan untuk mengukur daya ikat air (water holding capacity) (Suzuki 1981).

2.5 Pendinginan

(40)

penelitian adalah untuk melihat sejauh mana surimi hasil komposisi tahan dan masih layak dikonsumsi bila disimpan pada suhu dingin.

Kualitas daging ikan yang disimpan pada suhu dingin secara umum dipengaruhi oleh degradasi senyawa kimia dan biokimia yang dipengaruhi oleh aktivitas mikrobiologi dan enzimatis yang secara alami terjadi sesaat setelah ikan mati. Selain karakteristik biologi, kondisi ikan saat ditangkap dan penanganan ikan setelah ditangkap juga dapat mempengaruhi laju kemunduran mutu ikan selama penyimpanan dingin (Sikorski dan Pan 1994).

Penerapan suhu rendah bertujuan untuk mempertahankan sifat segar ikan. Penerapan suhu rendah antara lain yaitu dengan pendinginan dan pembekuan. Penerapan suhu rendah dilakukan guna menghindarkan bahan pangan dari kerusakan yang disebabkan oleh autolisa dan pertumbuhan mikroba. Peningkatan aktifitas enzim maupun pertumbuhan mikroba sangat dipengaruhi oleh suhu. Pada kondisi tertentu aktifitasnya menjadi optimum dan pada kondisi lain aktifitasnya dapat menurun, terhambat bahkan terhenti (Clucas dan Ward 1996).

(41)

proses pembekuan, karena terbentuknya kristal es yang terjadi di dalam jaringan daging ikan (Hadiwiyoto 1993).

Penurunan suhu, terutama jika sampai dibawah titik beku air dapat berakibat pada membekunya sebagian air sehingga konsentrasi garam dalam cairan sel lebih pekat dari keadaan semula. Jika proses tersebut terus berlangsung, maka pada saat tertentu besarnya konsentrasi garam dapat menyebabkan denaturasi protein. Protein yang terdenaturasi bukan hanya protein yang terdapat pada daging ikan saja melainkan enzim yang terdapat pada mikroba juga ikut terdenaturasi. Terhambatnya enzim-enzim yang terdapat pada mikroba menyebabkan terganggunya sistem metabolisme dalam sel mikroba terganggu dan pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan mikroba (Amlacher 1961).

Kualitas daging ikan yang disimpan selama suhu dingin secara umum dipengaruhi oleh degradasi senyawa kimia dan biokimia serta aktivitas mikrobiologi dan enzimatis yang secara alami terjadi sesaat setelah ikan mati. Selain itu, kondisi ikan saat penangkapan dan umur ikan pada waktu panen juga mempengaruhi laju kemunduran mutu ikan selama penyimpanan dingin (Hadiwiyoto 1993).

(42)

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan September 2009. Bertempat di Balai Pengembangan dan Pengendalian Mutu Hasil Perikanan (BPPMHP), Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta Utara, Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Laboratorium Organoleptik, Departemen Teknologi Hasil Perairan, IPB dan Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan Pusat Antar Universitas (PAU) Pangan dan Gizi IPB Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu bahan yang digunakan untuk pembuatan surimi dan bahan yang digunakan untuk analisis mutu surimi. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan surimi adalah ikan lele dumbo, ikan mas, garam, sukrosa, sorbitol, NaHCO3, air dan es curai, sedangkan bahan kimia yang digunakan untuk analisis karakteristik surimi meliputi bahan-bahan kimia yang diperlukan untuk analisis proksimat, total volatile base nitrogen (TVBN), total mikroba, pH dan protein larut garam (PLG). Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah: K2SO4, CuSO4, H2SO4, H2O2, kloroform, H3BO3, indikator (bromethymol blue0,1 %, methyl red 0,1 % ; 2:1), NaOH, HCl, NaCl, buffer pH 4 dan 7, K2CO3, garam fisiologis, TCA 7 % , garam fisiologis, PCA.

(43)

sentrifuse dingin, rheoner, pengepres hidraulik, whitenessmeter, timbangan analitik dan peralatan gelas lainnya.

3.3 Tahapan Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu

1) Penelitian pendahuluan, terdiri dari analisis karakteristik fisika-kimia bahan baku (proksimat, pH, TVBN). Penentuan frekuensi pencucian terbaik dalam pembuatan surimi ditentukan berdasarkan nilai kekuatan gel, kadar protein larut garam, derajat putih dan pH. Penentuan komposisi surimi terbaik antara ikan mas dan lele dumbo ditentukan dari nilai kekuatan gel.

2) Penelitian utama, yaitu mempelajari pengaruh penyimpanan dingin selama 10 hari terhadap perubahan karakteristik fisika, kimia dan mikrobiologi surimi (kekuatan gel, protein larut garam, pH, TVBN, derajat putih, daya ikat air, total mikroba, uji lipat dan uji gigit).

3.3.1 Penelitian pendahuluan

Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk menganalisis komposisi kimia bahan baku (ikan mas dan ikan lele dumbo) yang digunakan untuk pembuatan surimi, menentukan frekuensi pencucian terbaik dari surimi ikan mas dan ikan lele dumbo, serta menentukan komposisi terbaik dari surimi hasil pengkomposisian ikan mas dan ikan lele dumbo.

Ikan yang digunakan dalam pembuatan surimi adalah ikan mas dan ikan lele dumbo yang diperoleh dari pembudidaya di Kabupaten Bogor. Ikan-ikan yang masih hidup tersebut kemudian ditimbang untuk mengetahui bobot tubuhnya. Ikan-ikan tersebut kemudian difillet (skinless) kemudian dicuci untuk menghilangkan darah, sisa darah, dan kotoran yang melekat pada daging ikan. Daging ikan yang telah dicuci tersebut dimasukkan dilumat dengan menggunakan

grinder sehingga dihasilkan daging lumat. Setelah didapatkan daging lumat (minced fish) dilakukan analisis terhadap nilai pH, TVBN, dan proksimat (kadar air, abu, protein kasar, dan lemak) bahan baku,

(44)

digunakan adalah 4:1, proses pencucian dilakukan selama 10 menit pada suhu dingin (suhu ± 4-5 ºC) dan dengan agitasi.

Pencucian pertama untuk ikan lele dilakukan penambahan natrium bikarbonat (NaHCO3) sebanyak 0,5 % dan diaduk selama ± 10 menit (BPPMHP 2001), sedangkan untuk ikan mas pencucian pertama dilakukan dengan menggunakan air dingin dengan suhu ± 4-5 °C dan dengan agitasi. Setelah itu, surimi disaring dengan kain kasa dan dipress menggunakan press hidraulik untuk mengeluarkan airnya, kemudian ditimbang.

Pada setiap tahap frekuensi pencucian, dimulai dari tahap pencucian pertama hingga pencucian tiga kali dilakukan pengamatan terhadap nilai pH, derajat putih, kekuatan gel, dan protein larut garam (PLG). Frekuensi pencucian yang terbaik dapat dilihat dari tingginya kekuatan gel, dan peningkatan kadar protein larut garam. Setelah itu, dilakukan karakterisasi fisik dan kimia terhadap surimi masing-masing ikan. Karakterisasi tersebut dibagi menjadi dua bagian yaitu karakteristik fisik dan karakteristik kimia. Karakteristik fisik meliputi kekuatan gel dan nilai derajat putih, sedangkan karakteristik kimia meliputi protein larut garam (PLG). Setelah proses tersebut, akan didapat surimi terbaik dari masing-masing ikan dan selanjutnya akan dilakukan proses pengkomposisian. Diagram alir proses pembuatan surimi ikan mas dan ikan lele dapat dilihat pada Gambar 4.

(45)

Gambar 4 Diagram alir pembuatan surimi

Penimbangan

Penyiangan

Pencucian

Pelumatan

Penimbangan Minced fish (daging lumat)

Pencucian dengan air dingin dengan frekuensi pencucian 1,2,3 kali (ikan lele

pada pencucian pertama menggunakan natrium bikarbonat (NaHCO3))

Penyaringan dan pengepressan

Analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak), pH, TVBN

Pengulangan (1, 2, 3, kali)

Surimi ikan mas Surimi ikan lele

Karakteristik:

 Fisik: kekuatan gel, derajat putih

 Kimia: derajat keasaman (pH), protein larut garam

(46)

Gambar 5 Diagram alir proses pengkomposisian surimi

Pada setiap pembuatan surimi dilakukan pembuatan kamaboko yang bertujuan untuk analisis kekuatan gel surimi. Pembuatan kamaboko dilakukan berdasarkan metode Suzuki (1981) yang dimodifikasi. Sebanyak 90 g surimi ditambahkan NaCl sebesar 2,5 % (b/b) dari berat surimi dan diberi sedikit es agar menjaga suhu tetap dingin. Adonan tersebut diaduk menggunakan food processor

hingga dihasilkan pasta surimi. Pasta surimi yang dihasilkan kemudian dimasukkan ke dalam stuffle selongsong dengan diameter 25-35 mm. Selongsong yang berisi pasta surimi tersebut dipanaskan dengan dua tahap pemanasan yaitu tahap pertama dipanaskan pada suhu 40 oC selama 20 menit dan tahap kedua dipanaskan pada suhu 90 oC selama 20 menit. Diagram alir proses pembuatan kamaboko dapat dilihat pada Gambar 6.

Surimi ikan mas

Surimi ikan lele

Perbandingan komposisi surimi ikan mas dan lele :

1. Surimi ikan mas : surimi ikan lele dumbo ( 1:1 ) 2. Surimi ikan mas : surimi ikan lele dumbo ( 1:2 ) 3. Surimi ikan mas : surimi ikan lele dumbo ( 2:1 )

Surimi komposisi

Analisis kekuatan gel Surimi ikan

mas

(47)

Gambar 6 Diagram alir proses pembuatan kamaboko 3.3.2 Penelitian utama

Pada tahap ini dilakukan pembuatan surimi hasil pengkomposisian terbaik yang disimpan pada suhu chiling 4-5 °C selama 10 hari. Surimi ditimbang

sebanyak 200 g dan ditambahkan cryoprotectant (campuran 4 % sukrosa, 4 % sorbitol, dan 0,2-0,3 % polifosfat) (Pipattsattayanuwong et al. 1995),

kemudian dimasukkan ke dalam plastik poliethylene (PE) dan ditutup rapat. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui perubahan perubahan karakteristik surimi tersebut pada penyimpanan hari ke 0, 2, 4, 6, 8 dan 10 hari. Pada saat proses penyimpanan akan dilakukan analisis surimi yang meliputi analisis organoleptik, fisik, kimia dan mikrobiologi. Analisis organoleptik meliputi uji lipat (folding test)dan uji gigit (teeth cutting test). Analisis fisik meliputi kekuatan

Surimi

Kamaboko Pasta surimi

Pengadukan dalam food processor, panambahan garam 2,5 % (b/b)

(48)

gel, derajat putih, water holding capacity (WHC). Analisis kimia meliputi protein larut garam (PLG), total volatile base nitrogen (TVBN), dan nilai pH. Uji mikrobiologi dilakukan adalah total plate count (TPC). Diagram alir penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Diagram alir proses penyimpanan surimi selama 10 hari

3.4 Prosedur Analisis

Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi analisis fisik, kimia dan sensori/organoleptik. Analisis dari karakteristik fisik meliputi analisis kekuatan gel (gel strength), analisis derajat putih, WHC (water holding capacity)

uji lipat dan uji gigit. Analisis karakteristik kimia yang dilakukan terhadap surimi komposisi ini meliputi nilai pH, nilai TVBN, dan PLG (Protein larut garam),

3.4.1 Analisis fisik

Analisis fisik yang dilakukan terhadap surimi komposisi ikan mas dan ikan lele ini adalah uji kekuatan gel, analisis derajat putih, dan water holding capacity

(WHC).

Karakteristik:

 Fisik: kekuatan gel, derajat putih, water holding capacity (WHC), uji lipat, uji gigit.

 Kimia: protein larut garam (PLG), total volatile base nitrogen (TVBN), nilai pH.

 Mikrobiologi: total mikroba/ total plate count(TPC). Surimi komposisi

mas-lele terbaik (200 g)

Penambahan cryoprotectant

(campuran 4 % sukrosa, 4 % sorbitol, dan 0,2-0,3 % polifosfat)

Pengemasan dengan polyethilen (PE)

(49)

a) Uji kekuatan gel (Suzuki 1981 yang telah dimodifikasi)

Pengujian kekuatan gel surimi dilakukan dengan menggunakan alat

Rheoner jenis RE-3305, Scarsdale NY / Stable Microsyatem. Alat diatur dengan jarak 400 x 0,01 mm, sensitivitas 0,5 V. Sebanyak 90 gram surimi ditambah NaCl sebanyak 2,5% dari berat surimi. Adonan diaduk dengan menggunakan food processor sampai didapat pasta surimi. Pasta surimi dimasukkan ke dalam selongsong untuk direbus pada suhu 40 oC selama 20 menit dan pada suhu 90 oC selama 20 menit. Kemudian sampel didinginkan pada suhu 1-5 oC selama 5 menit dan sebelum dilakukan pengujian, sampel didiamkan selama 24 jam pada suhu kamar karena pengujian dilakukan pada suhu kamar.

Sampel dipotong dengan panjang 2,5 cm. Nilai kekuatan gel diukur dengan menggunakan probe dengan diameter 5 mm yang terbuat dari bahan plastik dan kecepatan pengukuran sebesar 0,5 mm/s. Nilai kekuatan gel dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Kekuatan gel (g cm) ={jumlah kotak (grafik) x 25}g x jarak (cm)

b) Uji lipat (folding test)(Suzuki 1981)

Uji pelipatan merupakan salah satu pengujian mutu surimi yang dilakukan dengan cara memotong sampel dengan ketebalan 4-5 mm potongan sampel tersebut diletakkan diantara ibu jari dan telunjuk, kemudian dilipat untuk diamati ada tidaknya retakan pada surimi. Tingkat kualitas uji lipat sebagai berikut : 1. Tidak retak jika dilipat seperempat lingkaran, kualitas

“AA” dengan nilai 5

2. Tidak retak jika dilipat seperempat lingkaran, kualitas “A” dengan nilai 4

3. Retak jika dilipat menjadi setengah lingkaran, kualitas “B” dengan nilai 3

4. Putus menjadi dua bagian jika dilipat setengah lingkaran, kualitas “C” dengan nilai 2

(50)

c) Uji gigit(teeth cutting test)(Suzuki 1981)

Uji gigit dilakukan untuk mengukur kekuatan produk. Pengujian ini dilakukan dengan cara memotong atau menggigit sampel antara gigi seri atas dan gigi seri bawah. Sampel yang diuji memiliki ketebalan 5 mm dan diameter 12 mm. Tingkat kualitas uji lipat adalah sebagai berikut :

10 : Amat sangat kuat 9 : Sangat kuat 8 : Kuat 7 : Cukup kuat 6 : Dapat diterima

5 : Dapat diterima, sedikit kuat 4 : Lemah

3 : Cukup lemah 2 : Sangat lemah

1 : Tekstur seperti bubur, tidak ada kekuatan

d) Uji derajat putih (Kett Electric Laboratory 1981)

Pengujian derajat putih surimi dilakukan dengan menggunakan alat KETT Digital Whiteness meter. Prinsip pengujian menggunakan alat adalah membandingkan derajat putih sampel dengan derajat putih standar yang telah ditentukan berdasarkan jenis sampel yang diuji.

Pertama kali dilakukan kalibrasi alat. Kalibrasi dilakukan dengan cara meletakkan lempengan kalibrasi yang berwarna putih ke dalam wadah berbentuk piring kecil, lempeng kalibrasi yang berwarna putih menghadap keatas. Selanjutnya dimasukkan kedalam kotak sampel dan ditutup dengan penutup. Kotak sampel yang berisi lempeng kalibrasi dimasukkan ke dalam alat whiteness meter. Tombol “on” ditekan dan ditunggu hingga enam menit sampat tanda peringatan “wait” berhenti. Setelah itu akan terbaca pada layer (LED) nilai kalibrasi dari lempeng kalibrasi tersebut. Nilai akan terbaca 100 %.

(51)

on” ditekan dan akan muncul pada LED waktu pengujian dan nilai derajat putih dari surimi. Pengujian dilakukan sebanyak dua kali ulangan.

Nilai derajat putih (%) = x 100 %

e) Water holding capacity (WHC) (Grau dan Hamm 1972 dalam Faridah et al.

2006)

Prinsip pengujian daya ikat air (water holding capacity) adalah pengepresan pada tekanan tertentu, air bebas yang terdapat pada daging atau bahan dilepaskan ke kertas saring yang digunakan untuk pengepresan. Cairan yang terpisah membentuk lingkaran pada kertas saring antara air yang terikat dengan air bebas yang dilepaskan akibat perlakuan pengepresan, berbanding terbalik dengan kemampuan bahan untuk mengikat air bebas sebagai akibat dari perlakuan pengepresan atau berbanding terbalik dengan WHC atau daya ikat airnya.

Sampel sebanyak 0,3 g diambil dan ditempatkan di atas kertas saring dan ditutup dengan penutupnya setelah itu diletakkan pada alat pengepres hidrolik dan diletakkan pada alat pengepres hidrolik dan ditekan sampai 200 bar atau 200 kg/cm2 selama 5 menit. Luasan lingkaran dari daging diukur, begitu pula luasan lingkaran luar yang terbentuk oleh air. Luasan lingkaran yang terbentuk oleh air bebas merupakan pengurangan dari luasan lingkaran luar dengan luasan lingkaran dalam.

Kriteria umum yang digunakan adalah jika luasan lebih kecil dari 6 cm2, maka hanya sekitar 25 % air bebas yang dilepaskan pada waktu pengepresan yang berarti daya ikat airnya tinggi, jika luasannya 6-8 cm2 maka daya ikat airnya sedang dan jika luasan air bebasnya lebih dari 8 cm2 maka daya ikat airnya rendah. Adapun perhitungan luas air bebas adalah sebagai berikut :

Luasan air bebas (cm) = Luasan lingkaran luar – Luasan lingkaran dalam

Jumlah air bebas (mg) = 8

(52)

WHC dihitung dengan menggunakan rumus :

Analisis kimia yang dilakukan meliputi analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat), protein larut garam, kadar pH, dan Total volatile base nitrogen (TVBN).

a) Kadar air (AOAC 1995)

Penentuan kadar air ini berdasarkan pada perbedaan berat contoh sebelum dan sesudah dikeringkan. Mula-mula cawan kosong yang akan digunakan dikeringkan dalam oven selama 30 menit pada suhu 105 °C atau sampai didapat berat yang tetap, kemudian cawan didinginkan selama 30 menit dalam desikator, setelah dingin kemudian cawan tersebut ditimbang.

Sampel sebanyak 5 gram ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan lalu dikeringkan dalam oven selama 12 jam pada suhu 100 °C sampai 102 °C. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan setelah dingin ditimbang kembali. Persentase kadar air (berat basah) dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

Prinsip penetapan kadar abu adalah dengan menimbang sisa mineral hasil pembakaran bahan organik pada suhu 650 °C. Cawan dipanaskan dalam oven lalu didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang beratnya. Sampel ditimbang sebanyak 5 gram dan diletakkan dalam cawan, kemudian dibakar dalam kompor listrik hingga tidak mengeluarkan asap. Cawan kemudian dimasukkan

(53)

didinginkan dalam desikator, setelah cawan dingin kemudian cawan ditimbang. Presentase dari kadar abu dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

Kadar abu (%) = 100%

Penentuan kadar protein kasar ini menggunakan metode semi mikro

Kjeldahl. Sampel sebanyak 0,75 gram dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl. Kedalam labu tersebut ditambahkan 6,25 gram K2SO4 dan 0,6225 gram CuSO4 sebagai katalisator. Sebanyak 15 ml H2SO4pekat dan 3 ml H2O2secara perlahan-lahan ditambahkan kedalam labu dan didiamkan selama 10 menit dalam ruang asam. Tahap selanjutnya adalah proses destruksi pada suhu 410 oC selama ± 2 jam atau hingga didapatkan larutan jernih. Hasil destruksi didiamkan hingga mencapai suhu kamar dan ditambahkan 50-75 ml akuades.

Disiapkan erlemenyer berisi 25 ml larutan H3BO3 4 % yang mengandung indikator (bromcheresol green 0,1% dan methyl red 0,1% (2:1)) sebagai penampung destilat. Labu Kjeldahl dipasang pada rangkaian alat destilasi uap. Ditambahkan 50 ml NaOH 40% (alkali). Dilakukan destilasi dan destilat ditampung dalam erlemenyer tersebut hingga volume destilat mencapai 150 ml (hasil destilat berwarna hijau).

Destilat dititrasi dengan HCl 0,2 N, dilakukan hingga warna berubah menjadi abu-abu natural. Blanko dilakukan seperti tahapan contoh. Pengujian contoh dilakukan duplo. Kadar protein dilakukan dengan rumus :

Kadar N (%) =

Kadar protein (%) = % N x faktor konversi (6,25)

d) Kadar lemak (AOAC 1995)

Kadar lemak ditentukan dengan metode ekstraksi Soxhlet. Prinsipnya lemak diekstrak dengan pelarut dietil eter. Setelah pelarutnya diuapkan, lemaknya dapat ditimbang dan dihitung persentasenya.

(54)

Sampel yang sudah dihomogenkan ditimbang sebanyak 5 gram. Dibungkus dalam kertas saring dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak. Selongsong sampel ditutup dengan kapas bebas lemak.

Pelarut dietil eter dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya, sesuai dengan ukuran soxhlet yang digunakan. Refluks dilakukan selama minimal 5 jam sampai pelarut yang turun kembali ke labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi dan ditampung pelarutnya. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105 °C. Setelah didapatkan berat yang tetap, lemak dalam labu tersebut didinginkan dalam desikator. Selanjutnya lemak beserta labunya ditimbang dan dihitung kadar lemaknya. Kadar lemak dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

e) Protein larut garam (PLG) (Shuffle dan Galberaeth 1964 dalamEryanto 2006) Sampel sebanyak 5 g ditambahkan 50 ml larutan NaCl 5 % kemudian di homogenkan dengan menggunakan homogenizer selama 2-3 menit, suhu blender tetap dijaga rendah. Setelah itu, sampel kemudian di sentrifuse pada 10.000 rpm selama 30 menit pada suhu 10 °C. Setelah itu, sampel disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman no.1. Filtrat yang didapat ditampung dalam Erlenmeyer, lalu disimpan pada suhu 4 °C. sampel. Sampel sebanyak 25 ml dianalis kandungan proteinnya dengan menggunakan metode semi-mikro Kjeldahl. Perhitungan kadar protein larut garam adalah :

Kadar PLG (%) = x 100

(55)

pH 7 lalu dibiarkan hingga stabil. Sampel sebanyak 5 g ditambahkan akuades 45 ml, kemudian dihomogenkan dengan menggunakan homogenizer selama 2-3 menit. Setelah sampel tercampur dengan baik, elektroda yang telah siap dicelupkan ke dalam sampel selama beberapa menit, nilai pH dibaca setelah menunjukkan angka yang stabil. Pengujian dilakukan dengan dua kali ulangan.

g) Total volatile base nitrogen(TVBN) (BSN 1998)

Prinsip dari pengujian terhadap kadar TVBN (Total Volatile Base Nitrogen) sampel adalah senyawa-senyawa basa volatil (ammonia, mono-, di-, trimetilamin, dll) yang terdapat dalam sampel yang bersifat basa diuapkan. Senyawa-senyawa tersebut diikat oleh asam borat dan dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N.

Penentuan TVBN dilakukan dengan metode Conway, dimana pertama-pertama 25 g sampel dihomogenkan dengan menggunakan homogenizer selama 25 menit dengan 75 ml larutan TCA 7 %, lalu disaring untuk mendapatkan filtrat yang bening. Sebanyak 1 ml H3BO3 2 % dimasukkan ke dalam inner chamber cawan Conway dan 1 ml filtrat ke outer chamber. Sebelum cawan ditutup, pinggir cawan diolesi vaselin agar penutupan sempurna, pada posisi hampir menutup ditambahkan K2CO31 :1 (b/v) ke dalam outer chamber sebanyak 1 ml kemudian cawan Conway segera ditutup.

Blanko dikerjakan dengan mengganti sampel dengan filtrat TCA 7 % dengan produr yang sama seperti diatas. Setelah itu sampel diinkubasi pada suhu 35 °C selama 24 jam. Selanjutnya larutan asam borat yang mengandung sampel atau tidak (blanko) ditetesi 2 tetes inkubator (methyl red 0,1 dan bromethyl blue

Gambar

Tabel 1 Komposisi kimia daging ikan mas setiap 100 gram bahan yang dimakan
Gambar 4 Diagram alir pembuatan surimi
Gambar 5 Diagram alir proses pengkomposisian surimi
Gambar 6 Diagram alir proses pembuatan kamaboko
+7

Referensi

Dokumen terkait

burger lele ini dig& rempah-rempah yang memiliki aroma yang tajam yaitu pala dan la& Selain itu, aroma yang tidak k b e d a nyata dikarenakan pada proses

Batas maksimum penambahan lemak dalam pembuatan sosis yaitu sebesar 25% (Erdiansyah 2006). Selain itu, penyusun dari kedua sosis pun berbeda, dilihat dari analisis proksimat

Penelitian dilakukan dalam 3 tahap, yaitu penentuan frekuensi pencucian terbaik dalam pembuatan surimi, ekstraksi fenol dari daun teh serta penentuan jenis fenol

Gambar 7 menunjukkan nilai mutu hedonik tekstur ikan layang hasil perlakuan yang semakin menurun seiring dengan makin lamanya penyimpanan dengan konsentrasi daun

Berdasarkan hasil uji perbandingan LSD terhadap produk surimi ikan lele dumbo menunjukkan adanya perbedaan signifikan terhadap antar perlakuan terhadap citarasa manis

Berdasarkan data nilai sensori dapat diketahui bahwa pada awal sebelum penyimpanan bakso ikan lele dumbo dengan perlakuan konsentrasi asap cair yang berbeda

Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi kitosan sebagai coating pada surimi ikan lele dumbo ( Clarias sp.) dapat meningkatkan kandungan gizinya, yaitu meningkatkan

Penelitian dilakukan dengan menyimpan produk pada suhu penyimpanan tinggi yaitu 60 °C dengan tujuan untuk mempercepat tercapainya nilai peroksida dan TBA kritis sebagai