• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bioavailabilitas Kalsium secara In Vitro pada Produk Susu Komersial dengan Klaim Tinggi Kalsium Rendah Lemak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bioavailabilitas Kalsium secara In Vitro pada Produk Susu Komersial dengan Klaim Tinggi Kalsium Rendah Lemak"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BIOAVAILABILITAS KALSIUM SECARA

IN VITRO

PADA

PRODUK SUSU KOMERSIAL DENGAN KLAIM TINGGI

KALSIUM RENDAH LEMAK

NOVI RIZQI RAMADHANI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Bioavailabilitas Kalsium secara In Vitro pada Produk Susu Komersial dengan Klaim Tinggi Kalsium Rendah Lemak” adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2013

Novi Rizqi Ramadhani

(4)

ABSTRAK

NOVI RIZQI RAMADHANI. Bioavailabilitas Kalsium secara In Vitro Pada Produk Susu Komersial dengan Klaim Tinggi Kalsium Rendah Lemak. Dibimbing oleh RIMBAWAN.

Produk susu dengan klaim tinggi kalsium rendah lemak semakin banyak dijual di pasaran. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bioavailabilitas kalsium secara in vitro pada produk susu komersial dengan klaim tinggi kalsium rendah lemak dari dua susu cair, pasteurisasi dan UHT, serta satu susu bubuk. Produk yang diuji merupakan hasil survei dan sampling di beberapa minimarket dan supermarket di Bogor berdasarkan kriteria yang telah ditentukan melalui

purposive sampling. Ketiga produk diuji kadar air, abu, protein, lemak, kalsium, fosfor, serta bioavailabilitas kalsium. Total kalsium tersedia dari masing-masing produk juga dihitung. Kadar air, protein, kalsium, fosfor, dan total kalsium tersedia masing-masing produk berbeda nyata. Kadar abu dan lemak masing-masing produk tidak menunjukkan perbedaan nyata. Bioavailabilitas kalsium tertinggi terdapat pada produk A (64.01%) dan terendah terdapat pada produk B (28.71%). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemrosesan susu yang berbeda memiliki pengaruh nyata terhadap bioavailabiltas kalsium (p<0.05). Bioavailabilitas kalsium produk A paling tinggi secara nyata dibandingkan bioavailabilitas kalsium produk B dan C. Kadar protein, lemak, kalsium, maupun fosfor, serta jenis susu tidak berkorelasi dengan bioavailabilitas kalsium.

Kata kunci: susu, tinggi kalsium rendah lemak, bioavailabilitas, kalsium

ABSTRACT

NOVI RIZQI RAMADHANI. In Vitro Calcium Bioavailability of High Calcium Low Fat Milk Claimed Commercial Product. Supervised by RIMBAWAN.

Dairy products claimed for high calcium and low fat become more available in the market. The objective of this study was to analyze in vitro bioavailability of calcium in milk products which have been claimed for high calcium and low fat . Two liquid, pasteurized and UHT, and a powdered milk product were used. The survey and sampling were conducted based on predetermined criteria through purposive sampling in several minimarket and supermarket in Bogor area. Each product was tested for the content of moisture, ash, protein, fat, calcium, phosphorus, and also for calcium bioavailability. Total available calcium in each product was also calculated. There were significant difference in moisture content, protein, calcium, phosphor, and total available calcium among the milk products. Ash and fat content of each product were not significantly different. The highest calcium bioavailability was observed product A (64.01%) and the lowest was in product B (28.71%). The result of statistical analysis by ANOVA showed that different processing affected calcium bioavailability of three products (p<0.05). Calcium bioavailability of product A was the highest and the most noticeable different among three products. Levels of protein, fat, calcium, and phosphorus, and the type of milk did not correlate with calcium bioavailability

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

BIOAVAILABILITAS KALSIUM SECARA

IN VITRO

PADA

PRODUK SUSU KOMERSIAL DENGAN KLAIM TINGGI

KALSIUM RENDAH LEMAK

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)
(8)

Judul Skripsi : Bioavailabilitas Kalsium secara In Vitro pada Produk Susu Komersial dengan Klaim Tinggi Kalsium Rendah Lemak Nama : Novi Rizqi Ramadhani

NIM : I14090047

Disetujui oleh

Dr. Rimbawan Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS. Ketua Departemen

(9)

PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik. Penelitian yang mengambil judul “Bioavailabilitas Kalsium secara In Vitro pada Produk Susu Komersial dengan Klaim Tinggi Kalsium Rendah Lemak” merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr.Rimbawan selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dalam pelaksanaan hingga penyusunan karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua, laboran, serta teman-teman yang selalu memberikan doa, dukungan, dan semangat bagi penulis.

Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi penulis pribadi dan semua pihak pada umumnya. Kritik dan saran membangun selalu penulis harapkan untuk kesempurnaan penelitian selanjutnya.

Bogor, Oktober 2013

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

METODE 3

Waktu dan Tempat Penelitian 3

Bahan 3

Alat 3

Tahapan Penelitian 3

Rancangan Percobaan 4

Pengolahan dan Analisis Data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

Karakteristik Produk Susu Komersial dengan Klaim Tinggi Kalsium Rendah

Lemak 5

Keragaan Kadar Air, Abu, Protein, Lemak, Kalsium, dan Fosfor Produk Susu Komersial dengan Klaim Tinggi Kalsium Rendah Lemak 8

Bioavailabilitas Kalsium 11

Total Kalsium Tersedia per Takaran Saji Sehari 13

SIMPULAN DAN SARAN 14

Simpulan 14

Saran 14

DAFTAR PUSTAKA 14

LAMPIRAN 18

(11)

DAFTAR TABEL

1 Informasi produk komersial dengan klaim tinggi kalsium rendah

lemak 6

2 Hasil analisis kadar air dan abu produk 8 3 Hasil analisis kadar protein dan lemak produk 9 4 Hasil analisis kadar kalsium dan fosfor produk 10 5 Data analisis kadar air dan abu produk 21 6 Data analisis kadar kalsium produk 22 7 Data analisis kadar fosfor produk 23 8 Hasil uji sidik ragam produk 24 9 Hasil uji lanjut Duncan untuk kadar air 25 10 Hasil uji lanjut Duncan untuk kadar abu 25 11 Hasil uji lanjut Duncan untuk kadar protein 25 12 Hasil uji lanjut Duncan untuk lemak 25 13 Hasil uji lanjut Duncan untuk kadar kalsium 26 14 Hasil uji lanjut Duncan untuk kadar fosfor 26 15 Hasil uji lanjut Duncan untuk bioavailabilitas kalsium 26 16 Hasil uji lanjut Duncan untuk total kalsium tersedia 26

17 Hasil uji korelasi Pearson 27

DAFTAR GAMBAR

1 Bioavailabilitas kalsium produk 12

2 Total kalsium tersedia produk per takaran saji sehari 13

3 Kurva standar kalsium 19

4 Kurva standar fosfor 19

DAFTAR LAMPIRAN

1

Prosedur analisis kadar air, abu, protein, lemak, kalsium,

fosfor, dan bioavailabilitas kalsium 18

2 Perhitungan kadar air dan abu produk 21

3 Perhitungan kadar kalsium produk 22

4 Perhitungan kadar fosfor produk 23

5 Hasil uji sidik ragam kadar air, abu, protein, lemak, kalsium, fosfor, bioavailabilitas kalsium, dan total kalsium

tersedia dari produk 24

6 Hasil uji lanjut Duncan kadar air, abu, protein, lemak, kalsium, fosfor, bioavailabilitas kalsium, dan total kalsium

tersedia dari produk 25 7 Hasil uji korelasi Pearson antara bioavailabilitas kalsium dengan kadar air, abu, protein, lemak, kalsium, fosfor dari produk 27

(12)
(13)
(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Susu dalam bentuk air susu ibu (ASI) merupakan makanan pertama terbaik bagi bayi. Saat tidak ada ASI pun, bayi tetap diberi susu dalam bentuk susu formula. Ketika memasuki masa anak-anak dan dewasa, susu masih diperlukan dalam diet sehari-hari.

Susu mengandung zat gizi makro maupun mikro yang dibutuhkan oleh tubuh. Zat gizi makro yang terdapat dalam susu, antara lain karbohidrat, protein, lemak, dan air. Berbagai jenis vitamin dan mineral sebagai zat gizi mikro juga ikut memperkaya kandungan gizi susu. Susu dan produk turunannya merupakan sumber paling baik untuk ketersediaan kalsium (Gibson 2005).

Pada masa pertumbuhan, kalsium berperan dalam peningkatan kepadatan tulang. Penelitian yang dilakukan Suryono et al (2007) menunjukkan adanya peningkatan kepadatan tulang punggung pada remaja pria yang diintervensi susu tinggi kalsium. Jumlah konsumsi susu dan frekuensi minum susu menunjukkan hubungan positif dengan densitas tulang dan tinggi badan (Hardinsyah et al 2008). Beberapa penelitian mengaitkan kalsium susu dengan penurunan risiko penyakit degeneratif. Penelitian Umesawa et al (2008) menyatakan bahwa kalsium susu berhubungan dengan penurunan risiko kejadian stroke pada wanita paruh baya Jepang. Konsumsi susu secara teratur pada masa remaja berpotensi menurunkan risiko diabetes mellitus pada saat dewasa (Malik et al 2011).

Saat ini berkembang produk susu dan olahannya dengan klaim tinggi kalsium rendah lemak. Susu rendah lemak ini diproduksi karena persepsi masyarakat yamg menganggap lemak adalah suatu zat gizi yang dihindari. Lemak dianggap sebagai zat gizi yang berimplikasi pada timbulnya beberapa jenis penyakit degeneratif. Konsumsi yang tinggi dari produk susu rendah lemak terbukti menurunkan risiko diabetes tipe 2 (Choi 2005). Susu rendah lemak juga menjadi salah satu menu dalam DASH diet sebagi diet untuk menurunkan tekanan darah (Liese et al 2009).

Klaim tinggi kalsium digunakan karena kalsium telah dikenal sebagai zat gizi yang baik untuk kepadatan tulang dan gigi. Diet tinggi kalsium dengan produk susu rendah lemak yang dilakukan pada lima pria dan enam wanita di Denmark menunjukkan adanya penurunan berat badan (Bendsen et al 2008). Bagi wanita, kelompok yang akan mengalami menopause dan rentan terhadap risiko osteoporosis, konsumsi kalsium dari produk susu menjadi alternatif yang baik.

Klaim rendah lemak pada produk susu menunjukkan bahwa susu tersebut sudah mengalami proses untuk menghilangkan sebagian kandungan lemaknya sehingga jumlah lemak tidak lebih dari 3 g/ 100 g (dalam bentuk padat) atau 1.5 g/ 100 ml (dalam bentuk cair). Klaim tinggi kalsium apabila susu tersebut mengandung kalsium tidak kurang dari 240 mg/ 100 g bahan pangan dalam bentuk padat atau 120 mg/ 100 g bahan pangan dalam bentuk cair (BPOM 2006).

(15)

pangan, seperti oksalat, fitat, dan mineral divalen lain, juga menjadi faktor baik tidaknya bioavailabilitas kalsium dalam tubuh. Penyerapan kalsium dapat terganggu akibat adanya asam lemak berlebih yang nantinya membentuk sebuah sabun (kompleks kalsium dan lemak) dan dikeluarkan lewat feses (Gropper et al

2009).

Slette dan Meylinah (2012) melaporkan bahwa tiga tipe produk susu yang banyak dikonsumsi penduduk Indonesia dari yang terendah sampai yang tertinggi adalah susu cair UHT, susu kental manis, dan susu bubuk. Susu dengan klaim tinggi kalsium rendah lemak di pasaran biasanya terdapat dalam bentuk susu cair dan susu bubuk. Pemrosesan yang dilakukan juga bermacam-macam berdasarkan suhu pemanasan yang digunakan, seperti pasteurisasi dan UHT (Ultra High Temperature) untuk susu cair serta evaporasi untuk susu bubuk. Pemanasan yang diberikan pada susu dapat mengurangi bioavailabilitas kalsium akibat perubahan koloid kalsium dan denaturasi protein (Pohl dan Pruissez 2007).

Bioavailabilitas kalsium pada produk susu dengan klaim tinggi kalsium rendah lemak di pasaran dapat menjadi pertimbangan konsumen untuk memilih produk yang paling tepat untuk memenuhi kebutuhan kalsiumnya. Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengidentifikasi bioavailabilitas kalsium pada produk susu dengan klaim tinggi kalsium rendah lemak yang beredar di pasaran. Susu yang diuji berasal dari tiga hasil pemrosesan berbeda, yaitu pasteurisasi dan UHT dari jenis susu cair serta evaporasi dari jenis susu bubuk. Metode in vitro dapat digunakan untuk menganalisis bioavailabilitas kalsium dengan pertimbangan efisien dan praktis.

Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah menganalisis bioavailabilitas kalsium secara in vitro pada produk susu komersial dengan klaim tinggi kalsium rendah lemak dari tiga hasil pemrosesan berbeda, yaitu pasteurisasi, UHT, dan evaporasi. Tujuan utama tersebut dijabarkan dalam tujuan khusus, sebagai berikut :

1. Menganalisis kadar air, abu, lemak, protein, kalsium, dan fosfor pada produk susu komersial dengan klaim tinggi kalsium rendah lemak dari susu dengan pemrosesan pasteurisasi, UHT, dan evaporasi

2. Menganalisis bioavailabilitas kalsium secara in vitro pada produk susu komersial dengan klaim tinggi kalsium rendah lemak dari susu dengan pemrosesan pasteurisasi, UHT, dan evaporasi

3. Menganalisis total kalsium yang tersedia menurut anjuran konsumsi sehari pada produk susu komersial dengan klaim tinggi kalsium rendah lemak dari susu dengan pemrosesan pasteurisasi, UHT, dan evaporasi

Manfaat Penelitian

(16)

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2013. Analisis kimia produk susu komersial dengan klaim tinggi kalsium rendah lemak dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Nutrisi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Sementara analisis bioavailabilitas kalsium dilakukan di Laboratorium Analisis Kimia dan Pangan Departeman Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Bahan

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah produk susu komersial dengan klaim tinggi kalsium rendah lemak. Produk yang diambil sebanyak tiga buah, yaitu susu pasteurisasi (A), susu UHT (B), dan susu bubuk (C). Bahan lain yang dibutuhkan adalah bahan-bahan kimia untuk keperluan analisis kimia meliputi analisis kadar protein, kadar lemak, total kalsium, fosfor, dan bioavailabilitas kalsium. Bahan-bahan tersebut adalah air destilata, asam sulfat (H2SO4), asam nitrat (HNO3), selenium mix, asam klorida (HCl), asam borat

(H3BO3), natrium bikarbonat (NaHCO3), kalium hidroksida (KOH), air bebas ion,

enzim pepsin dari porsin (Merck), ekstrak bile dari porsin (Merck), ekstrak empedu dari porsin (Sigma B-8631).

Alat

Alat-alat lain yang digunakan adalah alat untuk analisis kimia yang meliputi kadar air, abu, protein, lemak, total kalsium, fosfor, seng, dan bioavailabilitas kalsium. Peralatan utama yang digunakan adalah labu Soxhlet , labu Kjeldahl, kantung dialisis (Spectrapor I, MWCO 6000-8000, d: 32,8 mm, flat width: 50 mm,

vol/length: 8 ml/cm), Spectrophotometer double beam Optima SP-300, dan AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer) Hitachi 170-30.

Tahapan Penelitian

Tahap 1 Survei produk komersial susu tinggi kalsium rendah lemak

Survei dilakukan di beberapa tempat perbelanjaan di Kabupaten dan Kota Bogor. Tempat perbelanjaan yang dipilih sebagai tempat survei, yaitu tiga supermarket di wilayah Kota Bogor dan dua minimarket di wilayah Kabupaten Bogor. Tempat perbelanjaan tersebut dipilih berdasarkan kredibilitasnya sebagai

(17)

Tahap 2 Sampling produk komersial susu tinggi kalsium rendah lemak

Sampling dilakukan dengan metode purposive dimana diambil tiga jenis susu dengan pemrosesan berbeda, yaitu pasteurisasi, UHT, dan evaporasi. Susu pasteurisasi dan UHT dalam bentuk susu cair sementara evaporasi dalam bentuk susu bubuk. Kriteria umum yang dipakai adalah semua produk mencantumkan klaim tinggi kalsium rendah lemak. Kriteria khusus untuk jenis pasteurisasi dan UHT adalah produk terbuat dari susu segar tanpa penambahan bahan apa pun. Sementara itu, kriteria khusus yang digunakan untuk memilih susu bubuk adalah produk tidak mendapat penambahan kalsium atau garam kalsium.

Tahap 3 Analisis kadar air, abu, protein, lemak, kalsium, dan fosfor pada sampel

Analisis kadar air dan abu dilakukan berdasarkan standar metode AOAC (1995). Analisis protein menggunakan metode semi mikro Kjeldahl (Sulaeman et al 1994). Analisis lemak untuk susu bubuk menggunakan metode Soxhlet (AOAC 1995) sementara untuk susu cair menggunakan metode gerber (BSN 1998). Kadar kalsium diukur menggunakan metode Atomic Absorption Spectrophotometry

(Apriyantono et al 1989). Kadar fosfor dianalisis menggunakan metode spektrofotometri vanadat molibdat (Sulaeman et al 1994).

Tahap 4 Analisis bioavailabilitas kalsium secara in vitro

Analisis bioavailabilitas kalsium secara in vitro dilakukan dengan metode dialisis (Roig et al 1999). Kalsium sampel dihirolisis dari ikatannya dengan protein menggunakan enzim-enzim pencernaan yang terdapat di lambung dan usus halus. Kalsium bebas yang terdapat dalam larutan sampel akan berdifusi melalui membran semipermeabel ke dalam kantung dialisis yang berisi buffer 0.1 M NaHCO3.

Kalsium dalam dialisat menunjukkan jumlah kalsium yang diserap tubuh.

Tahap 5 Analisis total kalsium tersedia produk menurut anjuran konsumsi sehari

Total kalsium yang dapat diserap tubuh dari produk dianalisis dengan menghitung total kalsium tersedia. Total kalsium tersedia dihitung menurut anjuran konsumsi sehari. Perhitungan total kalsium tersedia merupakan hasil perkalian antara total kalsium produk menurut anjuran konsumsi sehari dengan bioavailabilitas kalsium.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dan dua kali ulangan. Bentuk umum dari rancangan tersebut adalah :

Yij= µ + αi + εij Keterangan:

Yij = nilai pengamatan bioavailabilitas kalsium produk ke-i pada ulangan ke-j dari produk susu komersial tinggi kalsium rendah lemak

(18)

αi = produk susu komersial tinggi kalsium rendah lemak ke-i pada bioavailabilitas kalsium

εij = kesalahan penelitian karena pengaruh bioavailabilitas ke-i produk susu tinggi kalsium rendah lemak ulangan ke-j

i = banyaknya produk susu tinggi kalsium rendah lemak (i = A, B, C) j = banyaknya ulangan (k= 1,2)

Pengolahan dan Analisis Data

Perhitungan kadar air, kadar abu, protein, lemak, total kalsium, total fosfor, bioavailabilitas kalsium, dan total kalsium tersedia pada penelitian ini dilakukan menggunakan software Microsoft Excell for Windows. Analisis data statistik dilakukan menggunakan software SPSS versi 16 for Windows melalui uji sidik ragam dan uji lanjut Duncan. Uji sidik ragam dilakukan untuk menguji pengaruh pemrosesan berbeda terhadap kadar air, abu, protein, lemak, bioavailabilitas kalsium, dan total kalsium tersedia. Hasilnya kemudian diuji lanjut menggunakan uji Duncan untuk melihat perbedaan masing-masing produk. Selanjutnya digunakan uji korelasi menggunakan uji Correlation Pearson Bivariat untuk menganalisis hubungan zat gizi (protein, lemak, kalsium, dan fosfor) dengan bioavailabilitas kalsium susu.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Produk Susu Komersial dengan Klaim Tinggi Kalsium Rendah Lemak

Peraturan yang dikeluarkan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada tahun 2011 mengenai pengawasan klaim dalam label dan iklan pangan olahan mendefinisikan “klaim” sebagai segala bentuk uraian yang menyatakan, menyarankan, atau secara tidak langsung menyatakan perihal karakteristik tertentu suatu pangan yang berkenaan dengan asal usul, kandungan gizi, sifat, produksi, pengolahan, komposisi atau faktor mutu lainnya. Klaim ini dibagi menjadi klaim gizi, klaim kesehatan, dan klaim indeks glikemik. Klaim gizi dibagi menjadi klaim kandungan zat gizi dan klaim perbandingan zat gizi. Sementara klaim kesehatan dibagi menjadi klaim fungsi zat gizi, klaim fungsi lain, dan klaim penurunan risiko penyakit.

Klaim tinggi kalsium rendah lemak yang saat ini banyak dicantumkan pada pangan olahan, terutama produk susu dan turunannya, termasuk dalam klaim gizi pada kategori klaim kandungan zat gizi. Klaim kandungan zat gizi adalah klaim yang menggambarkan kandungan zat gizi dalam pangan (BPOM 2011). Hal tersebut mengindikasikan pangan olahan yang mencantumkan klaim merupakan pangan dengan kandungan lemak yang rendah dan tinggi kalsium.

(19)

empat lainnya diproses secara UHT. Sebagian besar produk susu bubuk merupakan produk susu yang ditujukan untuk dewasa umum (> 19 tahun) dengan pemisahan kelompok umur, yaitu kelompok 19-50 tahun dan > 50 tahun. Sementara untuk produk susu cair tidak mengelompokkan usia sasaran konsumennya.

Produk yang dipilih dalam penelitian ini merupakan produk yang tidak mengelompokkan usia konsumennya, dari pemrosesan pasteurisasi, UHT, dan evaporasi. Masing-masing jenis pemrosesan diambil sebanyak satu buah. Berikut adalah informasi produk yang diuji :

Tabel 1 Informasi produk susu komersial dengan klaim tinggi kalsium rendah lemak

30 g Susu bubuk skim, maltodekstrin, laktosa, susu bubuk (mengandung pengemulsi lesitin kedelai), mineral, vitamin, perisa susu, vanilin, pemanis buatan asesulfam K

Evapora si, bubuk Lemak 3.3 g/100 g

Pasal 9 ayat 2 pada Peraturan Kepala BPOM RI mengenai pengawasan klaim pada label dan iklan pangan olahan menyatakan bahwa klaim “rendah….(nama komponen pangan)” atau “bebas ….(nama komponen pangan)” hanya boleh digunakan pada pangan olahan yang mengalami proses tertentu sehingga kandungan zat gizi atau komponen pangan tersebut menjadi rendah atau bebas dan harus sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan. Bagi komponen lemak khususnya, klaim rendah diberikan apabila jumlah lemak tidak lebih dari 3 g/ 100 g (dalam bentuk padat) atau 1.5 g/ 100 ml (dalam bentuk cair).

Kadar lemak produk A dan B sudah memenuhi persyaratan dari BPOM ( maksimal 1.5 g/ 100 ml). Akan tetapi, kadar lemak produk C lebih tinggi 10% (3.3 g/ 100 g) dari persyaratan yang ditetapkan (maksimal 3 g/ 100 g). Berdasarkan Peraturan Perubahan Kepala BPOM tentang Pedoman Pencantuman Informasi Nilai Gizi pada Label Pangan tahun 2011, hasil analisis zat lemak untuk pangan olahan yang mencantumkan klaim tertentu tidak boleh lebih dari 120% dari nilai yang tercantum pada informasi nilai gizi. Dengan demikian, kadar lemak dari produk C masih pada batas toleransi dan memenuhi persyaratan produk dengan klaim rendah lemak.

(20)

“tinggi….(komponen bahan pangan)” untuk kalsium adalah tidak kurang dari 240 mg/ 100 g bahan pangan dalam bentuk padat atau 120 mg/ 100 ml bahan pangan dalam bentuk cair.

Produk A dan B memiliki kandungan kalsium yang sama dimana jumlahnya melebihi angka 120 mg/100 ml (128 mg/ 100 ml). Produk C yang merupakan susu bubuk memiliki kandungan kalsium yang lebih tinggi (2000 mg/ 100 g) dibandingkan standar yang diatur untuk pangan tinggi kalsium (240 mg/ 100 g). Dengan demikian, kandungan kalsium ketiganya sudah memenuhi aturan mengenai pangan tinggi kalsium.

Pasteurisasi adalah proses pemanasan makanan atau minuman pada temperatur yang cukup tinggi untuk merusak bakteri patogen dan mendestruksi enzim yang menyebabkan kebusukan. Susu dipasteurisasi pada temperatur 72oC selama 15-20 detik. Kualitas gizi susu tidak dirusak oleh proses pasteurisasi (Edelstein 2013). Hal tersebut yang menjadi alasan produk A tidak terlalu banyak mengalami perubahan rasa, warna, dan aroma dibandingkan susu segar.

Proses UHT dilakukan pada suhu 135oC selama 1 detik (Buncic 2006). Pemrosesan tersebut bertujuan untuk membunuh mikroorganisme pembusuk dan sporanya sehingga susu memiliki waktu simpan yang lebih lama (Sun 2012). Produk susu UHT yang digunakan pada penelitian memiliki warna yang relatif tidak berubah dibandingkan warna susu biasa (putih susu). Namun, jika warna susu UHT ini dibandingkan dengan susu produk A yang merupakan susu pasteurisasi, warnanya relatif lebih kekuningan.

Proses pembuatan susu bubuk melalui beberapa tahapan. Pertama, komposisi susu terlebih dahulu ditentukan agar sesuai dengan standar yang dibutuhkan, seperti kandungan protein dan lemaknya. Kemudian susu dipanaskan sesuai dengan suhu yang dibutuhkan selama proses klasifikasi panas yang diberikan terdiri dari lima tingkat : ultra low, low, medium, high, dan high heat stable. Selanjutnya susu dikonsentrasikan pada evaporator sampai 45—55 g/ 100 g. Proses ini dilakukan pada suhu 45-55oC. Bubuk susu diperoleh dengan atomisasi susu yang sudah dievaporasi pada udara yang sangat panas (180-220oC) (Tamime 2009).

Produk C yang merupakan susu bubuk memiliki warna kuning. Komposisi susu bubuk juga sudah disesuaikan dengan standar yang dibutuhkan. Produk C ditambahkan laktosa karena zat tersebut dapat meningkatkan penyerapan kalsium. Penambahan tersebut ditunjukkan pada bagian komposisi yang tertera pada informasi nilai gizi produk tersebut.

Laktosa merupakan produk karbohidrat utama dalam susu yang jumlahnya berkisar antara 4.8-5.2%. Laktosa membentuk 52% total padatan tanpa lemak, 34% konsentrat whey protein, dan 70% padatan whey (Hui 2007). Konsentrasi laktosa pada susu berbanding terbalik dengan lipid dan kasein (McSweeney dan Fox 2009).

(21)

Amadori pada susu adalah lisin laktulosil yang terikat pada protein. Pembentukan lisin laktulosil mewakili kehilangan dari ketersediaan biologi lisin (Boekel 1998).

Pemanasan suhu tinggi (di atas 100oC) yang diberikan pada proses UHT dan evaporasi diduga menjadi pemicu reaksi Maillard dan meningkatkan pigmen kecoklatan (melanoidin). Hal tersebut yang membuat warna putih kekuningan pada susu cair jenis UHT dan kuning pada susu bubuk. Warna yang lebih kuning pada produk susu bubuk diduga juga karena penambahan laktosa karena reaksi Maillard pada susu memakai laktosa sebagai reaktan utama.

Keragaan Kadar Air, Abu, Protein, Lemak, Kalsium, dan Fosfor Produk Susu Komersial dengan Klaim Tinggi Kalsium Rendah Lemak Kadar air

Air merupakan medium bagi susu dimana total padatannya terlarut. Sebagian kecil kandungan airnya terikat pada laktosa dan garam mineral. Sementara beberapa bagian air terikat pada protein. Salah satu proses pemindahan air dengan menjadikan susu bubuk dapat meningkatkan umur simpan susu (Hui 2007)

Susu cair dalam bentuk whole milk memiliki kandungan air 87% (Tamime 2009). Hasil analisis produk A dan B yang merupakan susu cair lebih tinggi dari kandungan air whole milk, yaitu di atas 90%. Hal ini diduga karena total padatan, berupa lemak yang masih terdapat dalam susu berada dalam jumlah yang lebih kecil daripada whole milk.

Kadar air maksimal yang ditentukan Badan Standardisasi Nasional (2006) untuk susu bubuk adalah 5 %. Kadar air yang tinggi pada hasil analisis produk C (10.01%) diduga akibat kemasan penyimpanan susu yang tidak kedap udara. Apabila dibandingkan dua sampel lainnya, kadar air produk C jauh lebih sedikit karena sudah mengalami proses penghilangan sebagian besar kandungan airnya. Hasil analisis kadar air untuk masing-masing produk dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Hasil analisis kadar air dan abu produk

No Produk Kadar air (%) Kadar abu (%) a bahwa susu dengan pemrosesan berbeda memiliki pengaruh nyata terhadap kadar airnya (p<0.05). Uji lanjut Duncan (Lampiran 6 a) menunjukkan bahwa masing-masing produk berbeda secara nyata dimana kadar air paling tinggi terdapat pada produk A, yaitu susu pasteurisasi. Sementara itu, kadar air paling rendah adalah produk C, yaitu susu bubuk.

Kadar abu

(22)

Tabel 2 menunjukkan kadar abu dari tiap produk yang diuji. Kadar abu tertinggi terdapat pada produk C (9.99%) yang merupakan susu bubuk sedangkan kadar abu terendah terdapat pada produk A (5.98%). Kadar abu yang tinggi pada produk C diduga akibat adanya penambahan mineral pada pembuatan susu bubuk. Tambahan tersebut yang menyebabkan kadar abu produk C lebih banyak dibandingkan dua produk lainnya. Jenis susu dengan pemrosesan berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu produk (p>0.05) (Lampiran 5).

Kadar protein

Protein pada susu sapi merupakan protein lengkap dengan kualitas yang tinggi karena mengandung jumlah yang bervariasi dari sembilan kebutuhan asam amino yang tidak dapat disintesis tubuh (Miller et al 2007). Protein pada susu sekitar 3-4% dengan kandungan utamanya berupa kasein sebanyak 80% dari protein susu (Vaclavik dan Christian 2008).

Tabel 3 Kadar protein dan lemak produk Kadar protein

No Produk Standar (%) a Hasil analisis Informasi Nilai Gizi

1 A > 27.00 b 35.53 70.40

2 B > 27.00 b 36.05 50.60

3 C > 23.00 c 25.14 40.00

Kadar lemak

No Produk Standar (%) a Hasil analisis Informasi Nilai Gizi

1 A 12.50 - 30.00 b 12.02 16.20

2 B 12.50 - 30.00 b 14.26 12.60

3 C 1.50 - 25.00 c 0.62 3.30

a berat kering ; b BPOM (2006) ; c BSN (2006)

Protein yang dihitung pada penelitian ini adalah kadar protein kasar. Tabel 3 menunjukkan bahwa hasil analisis kadar protein paling tinggi terdapat pada produk B (36.05%) sementara yang terendah terdapat pada produk C (25.14%). Apabila dibandingkan dengan standar, hasil analisis maupun informasi nilai gizi untuk kadar protein sudah memenuhi persyaratan yang ditentukan. Hasil analisis kadar protein untuk ketiga produk yang diuji lebih kecil dibandingkan yang tertera pada informasi nilai gizi.

Berdasarkan analisis sidik ragam, susu dengan pemrosesan berbeda memiliki pengaruh yang nyata terhadap kadar proteinnya (p<0.05) (Lampiran 5). Produk C merupakan produk dengan kadar protein paling kecil secara nyata dibandingkan dua sampel lainnya berdasakan uji lanjut Duncan (Lampiran 6 c). Sampel A dan B tidak berbeda nyata satu sama lain.

Kadar lemak

(23)

tekanan tinggi kemudian tekanan diturunkan terjadi pemecahan partikel lemak (Chandan et al 2008).

Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa hasil analisis dan informasi nilai gizi untuk kadar lemak pada produk A dan B sudah memenuhi persyaratan yang ditentukan. Hasil analisis kadar lemak produk C kurang dari standar yang ditentukan. Akan tetapi, kadar protein yang tertera pada informasi nilai gizi produk C sudah sesuai dengan yang disyaratkan. Apabila hasil analisis kadar lemak produk dibandingkan dengan yang tertera pada informasi nilai gizi, hasil analisis kadar lemak produk A dan C lebih kecil dibandingkan pada informasi nilai gizi. Hal tersebut berbeda dengan produk B dimana hasil analisis kadar lemaknya lebih besar dibandingkan kadar lemak yang tertera pada informasi nilai gizi. Analisis sidik ragam pada susu dengan pemrosesan berbeda tidak berpengaruh terhadap kandungan lemak ketiga produk (p>0.05) (Lampiran 5).

Produk susu rendah lemak menjadi salah satu menu dalam salah satu jenis diet, yaitu DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension). Salah satu prinsip diet tersebut ialah menghendaki pengurangan lemak jenuh dan lemak trans sehingga menganjurkan konsumsi produk susu rendah lemak (Chatam 2013). Penelitian Wang et al (2008) menemukan bahwa konsumsi produk susu rendah lemak, kalsium, dan vitamin D berhubungan terbalik dengan risiko hipertensi pada wanita paruh baya dan lebih tua.

Kadar kalsium

Mineral kalsium penting untuk beberapa fungsi biologis, seperti konduksi saraf, kontraksi otot, gaya adesif sel, mitosis, koagulasi darah, regulasi detak jantung, stimulasi sekresi hormon, membentuk dan mengatur kesehatan tulang dan gigi, serta dukungan struktur untuk tulang (Awemu et al 2009). Kalsium juga dibutuhkan untuk transmisi saraf dan regulasi otot jantung (Mahan dan Stump 2008).

Tabel 4 menunjukkan kadar kalsium masing-masing produk antara hasil analisis dengan yang tercantum pada informasi nilai gizi. Hasil analisis kalsium untuk produk A, B, dan C lebih rendah dibandingkan kandungan kalsium yang tertera pada informasi nilai gizi. Hal ini diduga akibat perbedaan standar peralatan yang digunakan antara industri dan peneliti.

Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa produk dengan pemrosesan berbeda memiliki pengaruh nyata terhadap kadar kalsiumnya (p<0.05) (Lampiran 5). Total kalsium produk A paling berbeda nyata di antara ketiga produk berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 6 e). Perbedaan yang nyata pada produk A ditunjukkan dengan nilai yang paling kecil di antara dua produk lainnya.

(24)

Tabel 4 Kadar kalsium dan fosfor produk Kadar kalsium (mg/100g) a

No Produk Hasil analisis Informasi nilai gizi

1 A 592.80 1386.80

2 B 1240.83 1344.50

3 C 1185.30 2000.00

Kadar fosfor (mg/100g) a

No Produk Hasil analisis Informasi nilai gizi

1 A 642.61 812.60

2 B 1123.83 882.40

3 C 626.64 700.00

a berat kering Kadar fosfor

Fosfor merupakan mineral kedua terbanyak setelah kalsium yang berada di jaringan tubuh (Mahan dan Stump 2008). Kalsium dan fosfor merupakan mineral yang absorpsinya saling mempengaruhi. Proporsi antara kalsium dan fosfor yang dikehendaki agar kalsium dapat diserap baik adalah 2:1 (Alpers et al 2008). Sumber makanan untuk fosfor biasanya juga merupakan sumber kalsium yang baik, seperti produk susu (Virpi et al 2010).

Berdasarkan Tabel 4, hasil analisis kadar fosfor untuk produk A dan C lebih kecil dibandingkan kadar fosfor yang tertera pada informasi nilai gizi. Hal tersebut berbeda dengan produk B dimana hasil analisis kadar fosfornya lebih besar dibandingkan dengan kadar fosfor pada informasi nilai gizi. Hasil analisis kadar fosfor produk B juga merupakan kadar fosfor tertinggi diantara dua produk lainnya.

Susu dengan pemrosesan berbeda memiliki pengaruh nyata terhadap kadar fosfor produk (p<0.05) (Lampiran 5). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kadar fosfor produk B paling berbeda nyata dibandingkan dua produk lainnya. Perbedaan nyata produk B terlihat pada kadar fosfornya yang paling tinggi (Lampiran 6 f).

Bioavailabilitas Kalsium

Bioavailabilitas kalsium didefinisikan sebagai jumlah kalsium pada makanan yang dapat diserap dan digunakan oleh tubuh untuk fungsi metabolisme normal (Tannock 2002). Bioavailabilitas kalsium dapat diukur dengan metode in vitro. Metode in vitro memiliki beberapa manfaat, di antaranya murah, cepat, dan memiliki kontrol lebih baik pada variabel eksperimen dibandingkan dengan studi pada manusia atau hewan (Sandberg 2005).

(25)

pancreatin bile lalu diinkubasi kembali untuk menentukan jumlah mineral di dialisat.

Gambar 1 menunjukkan grafik perbandingan bioavailabilitas dari ketiga produk yang diuji. Berdasarkan hasil analisis, bioavailabilitas kalsium tertinggi terdapat pada produk A (64.01%). Bioavailabilitas produk C (38.49%) memiliki

nilai yang lebih tinggi dibandingkan produk B (28.71%). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, perbedaan pemrosesan susu berpengaruh nyata terhadap bioavailabilitas kalsium (p<0.05) (Lampiran 5). Hasil tersebut diuji lanjut dengan uji Duncan dimana bioavailabilitas kalsium produk A paling tinggi secara nyata dibandingkan dua produk lainnya (Lampiran 6 g).

Produk A merupakan susu pasteurisasi yang dipanaskan pada suhu paling minimal di antara dua jenis susu lainnya. Suhu pemanasan lebih tinggi dari produk A adalah produk B dari jenis UHT. Proses evaporasi pada susu bubuk (produk C) mengalami pemanasan pada suhu yang paling tinggi dibandingkan dua produk lainnya. Pemanasan yang semakin tinggi dapat mendenaturasi protein. Penelitian Pohl dan Pruisez (2007) menunjukkan bahwa bioavailabilitas kalsium dapat berkurang karena denaturasi albumin dan hilangnya koloid kalsium

Penelitian Seiquer et al (2010) menyatakan adanya pengaruh susu yang disterilisasi dengan UHT terhadap bioavailabilitas kalsium. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa susu UHT memiliki bioavailabilitas lebih tinggi dibandingkan susu yang dipanaskan pada suhu lebih tinggi. Meskipun susu bubuk dipanaskan pada suhu yang paling tinggi dibandingkan UHT, produk C yang merupakan susu bubuk telah ditambahkan bahan lain yang dapat meningkatkan absorpsi kalsium, yaitu laktosa. Hal ini sejalan dengan pernyataan Mahan dan Stump (2008) bahwa laktosa dapat meningkatkan penyerapan kalsium.

Uji korelasi Pearson (Lampiran 7) antara bioavailabilitas kalsium dengan kadar protein, lemak, kadar kalsium, fosfor, serta pemrosesan susu yang berbeda tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan. Hal tersebut dipengaruhi banyak faktor yang tidak hanya berhubungan dengan jumlah atau kuantitas dari masing-masing zat gizi produk. Faktor lain, seperti kualitas dari tiap zat gizi serta kondisi lingkungan dan peralatan penelitian, diduga mempengaruhi jumlah hasil analisis zat gizi (protein, lemak, kalsium, dan fosfor) maupun hasil analisis bioavailabilitas kalsium.

Gambar 1 Bioavailabilitas kalsium produk

(26)

Total Kalsium Tersedia menurut Anjuran Konsumsi Sehari

Ketiga produk menyarankan konsumsi sehari sebanyak dua takaran saji. Satu takaran saji untuk produk A, B, dan C secara berturut-turut adalah 200 ml, 250 ml, dan 30 g. Jumlah kalsium tersedia menurut anjuran konsumsi sehari merupakan total kalsium yang dapat diserap setelah mengonsumsi produk susu sesuai saran konsumsi sehari. Jumlah kalsium tersebut diperoleh dari perkalian antara bioavailabilitas kalsium dengan total kalsium pada susu (Ariyanti 2012).

Berdasarkan grafik pada gambar 2 diketahui bahwa total kalsium tersedia yang diperoleh dari konsumsi produk A paling kecil (140.46 mg/ hari) dibandingkan dua produk lainnya meskipun bioavailabilitas kalsiumnya paling

tinggi (64.01%). Total kalsium tersedia tertinggi terdapat pada produk C. Hal ini dipengaruhi kadar kalsium produk C yang tinggi (1185.30 mg/ 100 g).

Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemrosesan susu yang berbeda berpengaruh nyata terhadap total kalsium tersedia masing-masing produk (p<0.05) (Lampiran 5). Berdasarkan uji lanjut Duncan, total kalsium tersedia menurut anjuran konsumsi sehari pada produk A dan C berbeda nyata. Akan tetapi, total kalsium tersedia menurut anjuran konsumsi sehari untuk produk A dan B, serta produk B dan produk C, tidak berbeda nyata (Lampiran 6 h).

Berdasarkan hasil penelitian ini, rekomendasi konsumsi susu bagi dewasa umum (> 19 tahun) sebagai pemenuhan kalsium yang terbaik adalah produk C. Hal ini mempertimbangkan jumlah total kalsium tersedia produk C yang paling tinggi dibandingkan yang lain. Produk A dan B dapat dikonsumsi sebagai alternatif dari susu cair untuk memenuhi kalsium tubuh.

Gambar 2 Total kalsium tersedia produk menurut anjuran konsumsi sehari

0 100 200 300

A B C

140.46 170.30

245.93

mg

(27)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Ketiga produk yang digunakan sudah memenuhi peraturan BPOM untuk klaim tinggi kalsium dan rendah lemak. Susu dengan pemrosesan berbeda menunjukkan pengaruh yang nyata pada kadar air, protein, kalsium, dan fosfor produk (p < 0.05). Sementara itu, pemrosesan susu yang berbeda tidak berpengaruh nyata dengan kadar abu dan lemak dari ketiga produk (p > 0.05). Urutan bioavailabilitas kalsium dari yang tertinggi adalah produk A (64.01%), C (38.79%), dan B (28.71%). Susu dengan pemrosesan berbeda memiliki pengaruh nyata terhadap bioavailabilitasnya (p < 0.05). Bioavailabilitas kalsium tidak berhubungan signifikan dengan kandungan protein, lemak, kalsium, fosfor, serta pemrosesan susu. Total kalsium tersedia per anjuran konsumsi sehari secara berurutan dari yang paling tinggi adalah produk C (245.93 mg), B (170.30 mg) , dan A (140.46 mg).

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai bioavailabilitas kalsium pada susu dari jenis pengolahan berbeda yang telah ditambahkan vitamin dan mineral atau bahan lain yang dapat meningkatkan penyerapan kalsium. Masyarakat juga perlu lebih memperhatikan asupan makanan yang beragam untuk memenuhi kebutuhan kalsium tubuh karena satu produk tidak berarti dapat mencukupi kebutuhan kalsium harian.

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC]. 1995. Official Method of Analysis of AOAC. 14th Edition. Virginia (US):

AOAC Inc.

Alpers DH, Stenson WF, Taylor BE, Bier DM. 2008. Manual of Nutritional Therapeutics : Fifth Edition. Philadelphia (US): Lippincot William & Wilkins.

Apriantono A. Fardiaz D, Puspitasari NL, Budiyanto S. 1989. Analisis Pangan. Bogor (ID) : IPB Press.

Arianti TD. 2012. Bioavailabilitas kalsium (Ca) dan zat besi (Fe) secara in vitro

pada beberapa produk komersial susu ibu hamil [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

(28)

[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2006. Surat Keputusan Kepala BPOM RI No HK.00.05.52.4040 Tentang Kategori Pangan. 9 Oktober 2006. Jakarta (ID): Badan Pengawas Obat dan Makanan.

_______________________________________. 2011. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.11.11.09909 Tahun 2011 tentang Pengawasan Klaim dalam Label dan Iklan Pangan Olahan. Jakarta (ID): Badan Pengawas Obat dan Makanan.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1998. SNI 01-2782-1998/Rev: Metoda Pengujian Susu Segar. Jakarta (ID): Dewan Standardisasi Nasional.

_________________________. 2006. Susu bubuk.Standar Nasional Indonesia SNI 01-2970-2006. Jakarta (ID): Dewan Standardisasi Nasional.

________________________SNI. 2006. Susu UHT (Ultra High Temperature).Standar Nasional Indonesia SNI 01-3950-1995. Jakarta (ID): Dewan Standardisasi Nasional.

Bendsen NS, Hother AL, Jensen SK, Lorenzen JK, Astrup A. 2008. Effect of dairy calcium on fecal fat excretion: a randomized crossover trial. International Journal of Obesity 32: 1816–1824.

Boekel van MAJS. 1998. Effect heating on Maillard reactions in milk. Food Chemistry 62: 403-412.

Bredbenner CB, Beshgetoor D, Moe G, Berning J, editor. 2007. Wardlaw’s

Perspective in Nutrition. Ed ke-8. New York (US): McGraw & Hill. Buncic S. 2006. Integrated Food Safety and Veterinary Public Health. London

(GB): CABI.

Chandan CR, Kilara A, Shah NP. 2008. Dairy Processing and Quality Assurance. Iowa (US): Wiley-Blackwell Publishing.

Chatam J. 2013. DASH Diet Cookbook. California (US): Rockridge University Press.

Choi HK, Willet WC, Stampfer MJ, Rimm E, Hu FB. 2005. Dairy consumption and risk of type 2 diabetes mellitus in men. Arch Intern Med. 165(9): 997-1003. Edelstein. 2013. Food Science : An Ecological Approach. Burlington (US): Jones

and Bartnett Learning.

Gibson R S. 2005. Principles of Nutritional Assessment : Second Edition. New York (US): Oxford University Press.

Gropper SS, Smith JL, Groff JL. 2009. Advanced Nutrition and Human Metabolism. Belmont (US): Wadsworth.

Hardinsyah, Damayanthi E, Zulianti W. 2008. Hubungan konsumsi susu dan kalsium dengan densitas tulang dan tinggi badan remaja. Jurnal Gizi dan Pangan 3 (1): 43 – 48.

Hui YH. 2007. Handbook of Food Products Manufacturing : Health, Meat, Milk, Poultry, Seafood, and Vegetables. New Jersey (US): John Wiley & Sons, Inc.

Liese ED, Nichols M, Sun X, D’Agostino RB, Haffner SM. 2009. Adherence to the dash diet is inversely associated with incidence of type 2 diabetes : the insulin resistance atherosclerosis study. Diabetes Care 32: 1434–1436. Mahan KL, Stump SE. 2008. Krause’s Food and Nutrition Therapy. Missouri (US):

(29)

Malik VS, Sun Q, van Dam RM, Rimm EB, Willet WC, Rosner B, Hu FB. 2011. Adolescent dairy product consumption and risk of type 2 diabetes in middle-aged women. Am J Clin Nutr 94: 854–61.

McGee Harold. 2004. On Food Cooking : The Science and Lore of The Kitchen. New York (US): Scribner.

McGuire MK, Beerman KA. 2012. Nutr : Student Edition. Missouri (US): Wadsworth.

McSweeney PLH, Fox PF. 2009. Advanced Dairy Chemistry Vol.3 : Lactose, Water, Salts, and Minor Constituents. New York (US): Springer Science.

Pohl P, Prusisz B. 2007. Determination of Ca, Mg, Fe, and Zn partitioning in UHT cow milks by two-column íon exchange and flame atomic absorption spectrometry detection. Talanta 71: 715–721.

Roig MJ, Alegria A, Barbera R, Farre R, Lagarda MJ. 1999. Calcium bioavailability in human milk, cow milk and infant formulas—comparison between dialysis and solubility methods. Food Chem 65: 353 – 357.

Sandberg AS. 2005. Methods and options in vitro dialyzability; benefit and limitations. Int J Vitam Nutr Res 75(6): 395-404.

Seiquer I, Andrade Delgado C, Haro A, Navarro MP. 2010. Assesing the effects of severe heat treatment of milk on calcium bioavailability : in vitro and in vivo studies. Journal of Dairy Sciences p: 5635-5643

Slette J, Meylinah S. 2012. Indonesia Dairy and Products Annual Report 2012. USDA Foreign Agricultural Service (US).

Sulaeman A, Anwar F, Rimbawan, Marliyati SA. 1994. Metode penetapan zat gizi. [diktat]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Sun DW. 2012. Thermal Food Processing , New Technologies and Quality Issues : Second Edition. Boca Raton (US): CRC Press.

Suryono, Khomsan A, Setiawan B, Martianto D, Sukandar D. 2007. Pengaruh pemberian susu terhadap indeks massa tubuh dan kepadatan tulang punggung remaja pria. Jurnal Gizi dan Pangan 2(1): 1-7

Tamime. 2009. Dairy Powders and Concentrated Products. West Sussex (GB): Blackwell Publishing.

Thompson A, Boland M, Singh H. 2009. Milk Protein: From Expression to Food. Oxford (GB): Elsevier.

Tannock GW. 2002. Probiotics and Prebiotics: Where are We Going. Norfolk(GB): Caister Academic Press.

Umesawa M, Iso H, Ishihara J, Saito I, Kokubo Y, Inoue M, Taugane S. 2008.Dietary calcium intake and risks of stroke, its subtypes, and coronary heart disease in Japanese : The JPHCN Study Cohort I. Stroke 39: 2449-2456.

Vaclavik V A, Christian E W. 2008. Essentials of Food Science : Third Edition. New York (US): Springer.

Virpi E K, Merja U M, Karkkanen, Hannu J R, Marika M L, Laaksonen, Terhi AO and Christel J E L A. 2010. Low calcium:phosphorus ratio in habitual diets affects serum parathyroid hormone concentration and calcium metabolism in healthy women with adequate calcium intake. British Journal of Nutrition

(30)
(31)

LAMPIRAN

Lampiran 1 Prosedur analisis kadar air, abu, protein, lemak, kalsium, fosfor, dan bioavailabilitas kalsium

a. Analisis kadar air (AOAC 1995)

Sampel sebanyak lima gram dikeringkan selama 15 jam dalam oven 1050C

sampai beratnya konstan. Lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang kembali. Kadar air dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Kadar Air (%) = − � %

Keterangan : A = Berat wadah dan sampel awal ; B = Berat dan sampel setelah dikeringkan ; C = Berat sampel

b. Analisis kadar abu (AOAC 1995)

Perhitungan kadar abu merupakan kelanjutan dari analisis kadar air. Cawan yang berisi sampel kering dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 550oC selama 6 jam, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (d gram). Kadar abu dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Kadar abu =

− � %

Keterangan : A = bobot cawan kosong ; B = bobot cawan dan sampel sebelum diabukan ; D = bobot cawan dan abu

c. Analisa Protein Metode Semi Mikro Kjeldahl (Sulaeman et al. 1994)

Bahan yang ditimbang kira-kira 0.5 – 1 g. Bahan tersebut dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl, ditambahkan 0.5 g selenium mix dan 7 ml H2SO4 pekat.

Sampel kemudian didestruksi sampai larutan yang berwarna jernih kehijauan dan uap SO2 hilang. Kemudian hasil destruksi ditambah akuades dan dimasukkan ke

dalam labu destilasi. NaOH 33% ditambahkan ke dalam labu destilasi dan kemudian dilakukan destilasi. Destilat ditampung dalam 20 ml larutan asam borat 3% lalu dititrasi dengan HCl standar (indikator metil merah).

Kadar Protein (%)= � � � � � �� � � �

Keterangan : N HCl = 0.015789 ; faktor konversi (fk) = 6.25

d. Analisis Lemak Metode Soxhlet (AOAC 1995) (untuk susu bubuk)

Labu lemak terlebih dahulu dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C, dan didinginkan dalam desikator serta dihitung beratnya. Contoh sebanyak 5 gram dalam bentuk kering dibungkus dalam kertas saring, kemudian dimasukkan ke dalam alat ekstrasi labu Soxhlet. Alat kondensor diletakkan di atas dan labu lemak secukupnya. Selanjutnya dilakukan reflaks selama minimal 6 jam sampai pelarut yang turun kembali ke dalam labu lemak berwarna jernih. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstrasi dikeringkan dalam oven bersuhu 1050C untuk mengeluarkan

sisa pelarut hingga mencapai berat yang konstan, kemudian didinginkan dalam desikator. Labu lemak kemudian ditimbang dan berat lemak dapat diketahui.

(32)

e. Analisis Lemak Metode Gerber (BSN 1998) (untuk susu cair)

Asam sulfat pekat sebanyak 10 ml dimasukkan ke dalam butirometer. Lalu, ditambahkan 10.75 ml contoh susu dan 1 ml amil alkohol. Butirometer disumbat sampai rapat, kemudian dikocok sehingga bagian-bagian di dalamnya tercampur rata. Setelah larutan berwarna ungu tua sampai kecoklatan (terbentuk karamel), butirometer dimasukkan ke dalam sentrifus dan disentrifusi pada 1200 rpm selama 5 menit. Selanjutnya, butirometer dimasukkan ke dalam penangas air dengan suhu 65oC selama 5 menit. Kadar lemak dapat dibaca pada skala yang tertera pada

butirometer (butyrometer for milk 0-5%).

f. Analisis kadar kalsium metode Atomic Absorbtion Spectrophotometry

(AAS) (Apriyantono et al. 1989)

Preparasi sampel untuk kadar kalsium dilakukan dengan menggunakan pengabuan basah. Sampel yang mengandung 5-10 gram padatan ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu kjedhal. Lalu ditambahkan larutan 10 mL H2SO4, 10 ml

HNO3 serta beberapa batu didih. Larutan kemudian dipanaskan sampai tidak

berwarna gelap dan ditambahkan 10 ml aquades sampai larutan tidak berwarna atau berwarna kuning, lalu panaskan kembali sampai berasap. Larutan dibiarkan sampai dingin kembali dan tambahkan 5 ml aquades, didihkan sampai berasap. Larutan disaring dengan kertas whatman 42 kemudian dibaca dengan menggunakan AAS.

Kadar Ca = − �

� Keterangan:

a = Konsentrasi Larutan Blanko (mg/ml) b = Konsentrasi Larutan Sampel (mg/ml) V = Volume Ekstrak

W = Berat Sampel

g. Analisis kadar fosfor metode spectrophotometry vanadat molibdat (Sulaeman et al 1994)

- Persiapan pereaksi Vanadat-Molibdat :

Sebanyak 20 gram ammonium molibdat dilarutkan dalam 400 mL aquades hangat kemudian didinginkan. Timbang 1 g vanadat dilarutkan ke dalam 30 mL akuades mendidih. Setelah dingin, tambahkan asam nitrat pekat sambil diaduk. Larutan molibdat dimasukkan ke dalam larutan vanadat, diaduk lalu diencerkan hingga volume 1 liter.

- Persiapan larutan fosfat standar :

Sebanyak 3.834 g potassium dihidrogen fosfat kering dilarutkan ke dalam akuades dan diencerkan hingga volume 1 liter. Sebanyak 25 mL larutan tersebut dimasukkan ke dalam labu takar 250 mL dan diencerkan sampai tanda tera (1 mL = 0.2 P2O5).

- Pembuatan kurva standar :

Larutan fosfat standar diambil sebanyak 0; 0.25; 5; 10; 20; 30; 40 dan 50 mL lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL. Masing-masing ditambahkan 25 mL pereaksi vanadat-molibdat kemudian ditera. Larutan didiamkan selama 10 menit, kemudian diukur absorbansinya dnegan spektrofotometer dengan panjang gelombang 400 nm.

(33)

Sampel yang telah dipreparasi dipipet 1 mL dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL. tambahkan 25 mL pereaksi vanadat-molibdat pada masing-masing labu takar dan diencerkan sampai tanda tera. Setelah didiamkan sampel diukur panjang absorbannya pada panjang gelombang 400 nm. Konsentrasi fosfor dapat diketahui melalui kurva standar berdasarkan absorbans yang terbaca.

Perhitungan:

Tahap 4. Analisis bioavailabilitas kalsium secara in vitro pada sampel metode dialisis (Roig et al. 1999)

- Preparasi sampel :

Semua peralatan gelas dicuci dan direndam alam larutan HNO3 10% (v/v)

selama 24 jam serta dibilas dengan air bebas ion sebelum digunakan. Selanjutnya sampel ditimbang setara dengan 2 g protein dan dicampur bersama 80 mL air bebas ion. Lalu, ditambahkan HCl 6M hingga sampel memiliki pH 2 (jumlah HCl 6 M yang ditambahkan harus dihitung). Sampel kemudian dibagi ke dalam tiga botol gelas berukuran 250 mL. Botol gelas pertama diisi dengan 40 g aliquot sampel untuk penentuan keasaman titrasi. Botol gelas kedua diisi dengan 40 g aliquot sampel untuk penentuan persen mineral kalsium yang terdialisis. Botol gelas ketiga diisi dengan 10 g aliquot sampel untuk penentuan kadar mineral kalsium total dengan menggunakan AAS

- Penetapan sampel :

Mula – mula ditambahkan 3 g larutan suspensi pepsin dan 20 mL air bebas ion pada masing-masing botol gelas. Masing-masing botol gelas kemudian ditutup dengan plastik yang telah dilubangi untuk mengeluarkan gas lalu diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 37˚C dengan kecepatan 5 (120 stroke/menit) selama 2 jam.

Botol gelas pertama ditambahkan 5 g campuran pancreatin bile lalu dititrasi dengan KOH 0.4 N sampai diperoleh pH 7.5. Jumlah KOH yang ditambahkan ekuivalen dengan jumlah NaHCO3. Selanjutnya sejumlah NaHCO3 dengan

konsentrasi yang diperoleh dari hasil titrasi sampel dengan KOH diencerkan dengan air bebas ion pada labu ukur 100 mL sampai tanda tera, lalu diambil 25 mL untuk dimasukkan ke dalam kantung dialysis.

Botol gelas kedua yang diisi dengan 40 g aliquot sampel untuk penentuan persen mineral disiapkan. Kantung dialisis dimasukkan ke dalam botol gelas kedua sedemikian rupa sehingga kantung dialisis terendam sempurna. Botol gelas kedua lalu ditutup dengan plastik dan diinkubasi selama 30 menit. Selanjutnya ditambahkan 5 g campuran pancreatin bile pada botol gelas kedua dan inkubasi dilanjutkan selama 2 jam.

(34)

isinya (dialisat) dituang ke dalam gelas ukur untuk dihitung volumenya. Kandungan (%) kalsium dan zat besi yang tersedia dapat diukur menggunakan AAS.

Botol gelas ketiga yang diisi dengan 10 g aliquot sampel untuk penentuan kadar kalsium tersedia / total dengan menggunakan AAS ditambahkan 5 mL HNO3

pekat dan H2SO4 pekat dan dipanaskan hingga larutan tidak berwarna gelap lagi.

Lalu ditambahkan 2-3 mL H2O2 30% sampai larutan tidak berwarna (jernih) dan

dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL serta diencerkan hingga tanda tera. Larutan lalu disaring dengan kertas saring whatman No.42 dan kadar kalsium tersedia diukur dengan AAS pada ƛ = 213,9 nm.

Perhitungan :

1) Berat sampel setara 2 g protein =

� �

Lampiran 2 Perhitungan kadar air dan abu produk

Tabel 5 Data analisis kadar air dan abu produk

(35)

Lampiran 3 Perhitungan kadar kalsium produk

Contoh perhitungan kadar kalsium :

Persamaan kurva standar : Y = 0.0459x + 0.0084 ; R2 = 0.9991

dimana y = puncak standar atau sampel ; a = kemiringan ; b = perpotongan

Jika absorbansi sampel seberat 1.01 gram dalam 100 ml aliquot sebesar 0.41, dengan faktor pengenceran (fp) 25, maka kadar kalsiumnya adalah :

Kadar kalsium (mg/100g) ={(absorbansi sampel – b)/a)} x fp x (aliquot/1000) (100/berat sampel)

= {(0.41 – 0.0084)/0.0459)} x 25 x (100/1000) (1000/1.01) = 1047.68 mg/100 g

Tabel 6 Data analisis kadar kalsium produk

Sampel Ulangan

Bobot

sampel (g) Absorbansi

Kadar Ca (mg/100g)

Rata -rata kadar Ca (mg/100g)

A1 1 10.28 0.21 53.75 54.87

2 10.28 0.21

A2 1 5.04 0.11 55.99

2 5.04 0.11

B1 1 8.43 0.09 110.84 118.14

2 8.43 0.09

B2 1 5.01 0.24 125.44

2 5.01 0.24

C1 1 1.00 0.20 1047.68 1066.62

2 1.00 0.20

C2 1 1.01 0.41 1085.56

2 1.01 0.41

Gambar 3 Kurva standar kalsium

y = 0.0459x + 0.0084 R² = 0.991 0

0,5 1

0 5 10 15 20

Series1

(36)

Contoh perhitungan kadar fosfor :

Persamaan kurva standar : Y = 0.1106x + 0.0021 ; R2 = 0.9945

dimana y = puncak standar atau sampel ; a = kemiringan ; b = perpotongan Jika absorbansi sampel seberat 1.01 gram dalam 100 ml aliquot sebesar 0.32, dengan faktor pengenceran (fp) 20, maka kadar fosfornya adalah :

Kadar fosfor (mg/100g) ={(absorbansi sampel – b)/a)} x fp x (aliquot/1000) (100/berat sampel)

= {(0.32 – 0.0021)/0.1106)} x 20 x (100/1000) (1000/1.01)

= 573.12 mg/100 g

Gambar 4 Kurva standar fosfor

y = 0.1106x + 0.0021 R² = 0.9945 0

0,2 0,4 0,6

0 1 2 3 4 5 6

Series1

Linear (Series1)

Lampiran 4 Perhitungan kadar fosfor produk

Tabel 7 Data analisis kadar fosfor produk Sampe

l Ulangan

Bobot

sampel (g) Absorbansi

Kadar P (mg/100g)

Rata-rata kadar P (mg/100g)

A1 1 10.28 0.34 60.14 59.48

2 10.28 0.34

A2 1 5.04 0.17 58.82

2 5.04 0.16

B1 1 8.43 0.39 105.32 107.00

2 8.43 0.40

B2 1 5.01 0.30 108.68

2 5.01 0.30

C1 1 1.00 0.31 554.69 563.90

2 1.00 0.31

C2 1 1.01 0.32 573.12

(37)

Lampiran 5 Hasil uji sidik ragam kadar air, abu, protein, lemak, kalsium, fosfor, bioavailabilitas kalsium, dan total kalsium tersedia pada produk

Tabel 8 Hasil uji sidik ragam produk Jumlah

kuadrat

df Kuadrat tengah

F hitung Sig

Air Perlakuan 8661.669 2 4330.834 1.069E6 .000

Galat .012 3 .004

Total 8661.681 5

Abu Perlakuan 37.956 2 18.978 2.649 .217

Galat 21.488 3 7.163

Total 59.444 5

Protein Perlakuan 492.163 2 246.081 82.350 .002

Galat 8.695 3 2.988

Total 501.127 5

Lemak Perlakuan .668 2 .334 1.395 .373

Galat .718 3 .239

Total 1.385 5

Kalsium Perlakuan 1289938.578 2 644969.289 2.600E3 .000

Galat 744.232 3 248.077

Total 1290682.810 5

Fosfor Perlakuan 310215.132 2 155107.566 2.633E3 .000

Galat 176.734 3 58.911

Total 310391.866 5

Bioavailabi -litas Kalsium

Perlakuan 1328.682 2 664.341 54.357 .004

Galat 36.665 3 12.222

Total 1365.347 5

Total Ca tersedia

Perlakuan 11821.931 2 5910.965 10.330 .045

Galat 1716.664 3 572.221

(38)

Tabel 10 Hasil uji lanjut Duncan untuk kadar abu Bagian dari alfa = 0.05

1

A 2 5.984

B 2 3.941

C 2 9.996

Sig. .109

Tabel 9 Hasil uji lanjut Duncan untuk kadar air Bagian alfa = 0.05

1 2 3

C 2 10.012

B 2 90.479

A 2 90.744

Sig. 1.000 1.000 1.000

Lampiran 6 Hasil uji lanjut Duncan untuk kadar air, abu, protein, lemak, kalsium, fosfor, bioavailabilitas kalsium, dan total kaslium tersedia produk

Tabel 11 Hasil uji lanjut Duncan untuk protein

Bagian dari alfa = 0.05

1 2

C 2 25.135

B 2 36.056

A 2 36.543

Sig. 1.000 .855

Tabel 12 Hasil uji lanjut Duncan untuk kadar lemak Bagian dari alfa = 0.05

1

C 2 .622

A 2 12.044

B 2 14.263

(39)

Tabel 16 Hasil uji lanjut Duncan untuk total kalsium tersedia Bagian dari alfa = 0.05

1 2

C 2 140.459

A 2 170.303 170.303

B 2 245.926

Sig. .301 .051

Tabel 14 Hasil uji lanjut Duncan untuk kadar fosfor Bagian dari alfa = 0.05

1 2

C 2 626.647

A 2 644.053

B 2 1123.902

Sig. .423 1.000

Tabel 15 Hasil uji lanjut Duncan untuk bioavailabilitas kalsium Bagian dari alfa = 0.05

1 2

B 2 28.712

C 2 38.494

A 2 64.013

Sig. .068 1.000

Tabel 13 Hasil uji lanjut Duncan untuk kadar kalsium Bagian dari alfa = 0.05

1 2

A 2 592.551

C 2 1187.497

B 2 1242.338

(40)

* Korelasi signifikan pada level 0.05

Lampiran 7 Hasil uji korelasi Pearson

(41)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Jember pada tanggal 22 Maret 1991 dari pasangan Drs.Sudarto dan Tisniwaty. Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara.

Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar di SDN Kepatihan XVII Jember pada tahun 1997-2003. Pada tahun 2003-2006, penulis melanjutkan ke tingkat sekolah menengah pertama di SMP N 12 Jember. Penulis menempuh pendidikan sekolah menengah atas di SMA N 1 Jember sejak 2006 hingga 2009. Melalui jalur USMI, penulis diterima di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, di tahun yang sama.

Selama menjadi mahasiswi, penulis aktif dalam berbagai kegiatan dan organisasi kampus maupun luar kampus. Penulis terdaftar sebagai anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia periode kepengurusan 2010-2011 dan 2010-2011-2012. Penulis juga menjabat sebagai Koordinator Badan Pengawas Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia (HMPPI) periode 2011-2013. Selain itu, penulis juga beberapa kali mengikuti kepanitian di tingkat departemen, fakultas, maupun universitas.

(42)

Gambar

Tabel 1 Informasi produk susu komersial dengan klaim tinggi kalsium rendah
Tabel 2   Hasil analisis kadar air dan abu produk
Gambar 1 menunjukkan grafik perbandingan bioavailabilitas dari ketiga
Gambar 3  Kurva standar kalsium
+4

Referensi

Dokumen terkait

Dari pasal ini dapat ditarik beberapa poin yang berkaitan dengan status orang, kelompok yang kemudian dapat dikatakan Pengungsi Internasional. Poin itu adalah karena alasan-alasan

didahului dengan hubungan layaknya suami istri padahal hubungan tersebut belum sah secara agama maupun undang-undang, akan mengakibatkan kurangnya kesiapan pada pasangan

Suhu modifikasi berpengaruh pada sifat fungsional tepung ubi jalar ungu, yaitu semakin tinggi suhu modifikasi maka nilai swelling power dan. solubility akan

Diharapkan dengan adanya Sistem Informasi untuk pengarsipan ini dapat merubah sistem kinerja di dalam akademik bagian arsip agar mempermudah dalam pengarsipan surat yang masuk

Setujukah anda untuk tidak akan menangkap ikan di daerah zona perlindungan ikan jika telah ditetapkan kawasan konservasi.. Setujukan anda untuk ikut menjaga terumbu karang,

Sherlyta Mutia Hutabarat, selaku Kepala Puskesmas Silinda yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan kepada penulis dalam rangka menyelesaikan pendidikan

Saat sebaran perjalanan menjadi variabel, model entropi maksimum dengan dua batasan berada pada tingkat pertama dari pilihan dan model logit berhirarki digunakan untuk

1 Karena tujuan dari peneliti ini adalah untuk mengetahui adakah pengaruh gaya mengajar personalisasi guru terhadap interaksi sosial siswa pada mata pelajaran