• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Letak Sambungan Terhadap Sifat Fisis Mekanis Bambu Lapis Yang Terbuat Dari Anyaman Bambu Tali (Gigantochloa Apus (J.A & J.H. Schultes) Kurz)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Letak Sambungan Terhadap Sifat Fisis Mekanis Bambu Lapis Yang Terbuat Dari Anyaman Bambu Tali (Gigantochloa Apus (J.A & J.H. Schultes) Kurz)"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

(

Gigantochloa apus

(J.A & J.H. Schultes)

Kurz

)

ERWIN PUSPANINGTYAS IRJAYANTI

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

(

Gigantochloa apus

(J.A & J.H. Schultes)

Kurz

)

ERWIN PUSPANINGTYAS IRJAYANTI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Terhadap Sifat Fisis Mekanis Bambu Lapis Yang Terbuat Dari Anyaman Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A & J.H. Schultes f.) Kurz). Di bawah bimbingan Ir. Jajang Suryana, MSc.

Penelitian mengenai anyaman bambu sebagai bahan baku bambu lapis telah banyak dilakukan, salah satunya oleh Nugraha (2006). Pada penelitiannya, Nugraha menggunakan perekat UF dan PF dengan tiga vinir anyaman bambu untuk membuat satu panil bambu lapis. Anyaman bambu yang dibuat diberi dua macam perlakuan yang berbeda, yaitu ‘dengan perebusan’ dan ‘tanpa perebusan’. Hasilnya, nilai kadar air dan besarnya keteguhan rekat untuk bambu lapis tanpa perlakuan perebusan telah memenuhi standar SNI, JAS, dan ASTM. Sementara bambu lapis yang vinirnya diberi perlakuan perebusan, nilai keteguhan rekatnya sama sekali tidak memenuhi nilai standar yang telah ada. Besarnya MOE dan MOR tidak diketahui karena dua hal tersebut tidak termasuk dalam objek penelitian yang dilakukan.

Penelitian kali ini dilakukan dengan membuat panil bambu lapis berbahan baku anyaman Bambu Tali dengan menerapkan perlakuan terbaik dari hasil penelitian Nugraha (2006) yang menunjukkan bahwa anyaman bambu yang tidak diberi perlakuan perebusan memiliki sifat keteguhan rekat yang lebih baik. Perekat yang digunakan adalah perekat berbahan dasar Isocyanate, dalam hal ini, MDI (Methylene Diphenyl Isocyanate). Pemilihan jenis perekat berbahan dasar

Isocyanate berdasarkan pada kenyataan bahwa perekat jenis ini merupakan perekat yang bebas emisi formaldehida sehingga lebih ramah terhadap lingkungan. Panil bambu lapis dibuat berukuran 35 cm x 35 cm x 0,5 cm, dan perlakuan yang diberikan adalah model ‘letak sambungan’. Terdapat lima model ‘letak sambungan’ yang nantinya akan dianalisis untuk menentukan letak sambungan mana yang terbaik untuk diaplikasikan pada kayu lapis berdasarkan hasil pengujian fisis mekanisnya.

Pengujian sifat fisis menunjukkan nilai kerapatan berkisar antara 0,875-0,897 kg/cm3, kadar air 10,404-10,554%, pengembangan tebal sebesar 4,703-15,389% dan daya serap air berkisar 28,37-34,457%. Pengujian sifat mekanis menunjukkan sebaran nilai MOE antara 4670-29911 kg/cm2, MOR 178,098-753,024 kg/cm2 dan keteguhan geser tarik antara 0,868-23,275 kg/cm2.

Hasil pengujian kadar air dan MOR telah memenuhi standar dalam SNI. Hasil pengujian keteguhan geser tarik, selain bambu lapis kontrol hanya model B, D, dan E yang memenuhi standar SNI. Pada pengujian MOE tidak ada satupun bambu lapis termasuk kontrol yang memenuhi standar SNI. Berbagai hasil pengujian menunjukkan bahwa model letak sambungan B merupakan komposisi sambungan yang terbaik.

Berdasarkan kualitas fisis mekanisnya, bambu lapis terbaik pada penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk penggunaan meja dekorasi, keranjang ayunan bayi, rak buku, lemari pakaian, lemari sepatu, dan untuk kegunaan struktural lain yang menahan beban tidak lebih dari 41,847 kg (pada ukuran 150 cm x 50 cm).

(4)

Sambungan Terhadap Sifat Fisis Mekanis Bambu Lapis yang Terbuat dari Anyaman Bmbu Tali (Gigantochloa apus (J.A & J.H. Schulttes) Kurz)” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2009

(5)

Judul Skripsi : Pengaruh Letak Sambungan Terhadap Sifat Fisis Mekanis Bambu Lapis yang Terbuat dari Anyaman Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A & J.H. Schultes) Kurz)

Nama Mahasiswa : Erwin Puspaningtyas Irjayanti NIM : E24104029

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Ir. Jajang Suryana, MSc.

NIP. 131 414 987

Mengetahui,

Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr

NIP. 131 578 788

(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. atas segala nikmat, karunia dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, sahabatnya dan kepada umatnya yang senantiasa setia sampai akhir jaman.

Penelitian mengenai pengaruh letak sambungan terhadap sifat fisis mekanis bambu lapis yang terbuat dari anyaman bambu tali (Gigantochloa apus

(J.A & J.H. Schultes) Kurz) ini dilakukan selama 5 bulan dari bulan Agustus 2008 hingga Desember 2008 di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan, Laboratorium Peningkatan Mutu Kayu, dan Laboratorium Bio-Komposit Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Bapak Ir. Jajang Suryana, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bantuan, kesempatan waktu, arahan, bimbingan, kesabaran, dan dukungan dalam penulisan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Ir. Istomo, MS selaku dosen penguji mewakili Departemen Silvikultur dan Bapak Ir. Edhi Sandra, M.Si selaku dosen penguji mewakili Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata.

3. Seluruh staf dan laboran (Bapak Supriatin, Bapak Abdullah, Mas Gunawan, Mas Irvan, Bapak Kadiman, Bapak Amin, Ibu Esti, dan mba Lastri) Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB.

4. Keluarga tercinta (Papa, Mama, Annisa dan Amalia) yang telah banyak memberikan kasih sayang, semangat, doa dan restu serta pengorbanan baik moral maupun material kepada penulis.

(7)

6. Rekan-rekan sebimbingan (Setia Kurniawan dan Yolanda Anastatica) atas bantuan dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Rekan-rekan THH 41 (Kusnan, Roni, Helmy, Ady, Tumpal, Citra, Nining, Lukman, Yolanda, Setya, Mona, Risde, Gendis, Hans, Hadi, Nyoman, Emma, Febri, Yanto, Meyta, Maya, Lilis, serta seluruh teman-teman THH 41 yang tidak bisa disebutkan satu persatu) yang selalu bersama dalam suka dan duka.

Semoga Allah SWT berikan balasan kebaikan yang setimpal. Amin.

Bogor, Januari 2009

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Klaten pada tanggal 3 November 1986 dari pasangan Ir. Erwin Sukirmanto dan Titin, SE sebagai anak ke satu dari tiga bersaudara.

Jenjang pendidikan formal yang telah dilalui penulis antara lain di SDN Bareng Lor II Klaten tahun 1992-1998, SMPN 2 Mataram tahun 1998-2001 dan SMAN 2 Mataram tahun 2001-2004. Pada tahun 2004 penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Tahun 2005 penulis mengambil Sub-Program Studi Pengolahan Hasil Hutan dan pada tahun 2006 memilih Laboratorium Bio-Komposit sebagai bidang keahlian.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengikuti organisasi kemahasiswaan, yaitu menjadi anggota Klub Sastra Tingkat Persiapan Bersama pada tahun 2004-2005, Staf Divisi Public Relation pada International Forestry Student Asosiation (IFSA) LC IPB pada tahun 2004-2006, Staf Departemen Komunikasi dan Informasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kehutanan IPB pada tahun 2005-2006, serta anggota Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan tahun 2006-2007. Penulis telah melaksanakan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di KPH Banyumas Barat, KPH Banyumas Timur, KPH Ngawi dan KPH Randublatung pada tahun 2007. Selain itu penulis juga telah melaksanakan Praktek Kerja Lapang di Perum Perhutani Unit III Jawa Barat & Banten dan di Pabrik Gondorukem dan Terpentin Sindangwangi tahun 2008.

(9)

Romance of King Sulaiman and Queen Sheba” (Mizan, 2008), fiksi berbasis sejarah berjudul “Elegi Cinta Maria” (Mizan, 2009), dan merupakan salah satu kontributor dalam proyek pemerintah untuk pengadaan buku bagi anak-anak di Sekolah Dasar. Dalam proyek pemerintah tersebut penulis menulis buku berjudul “Hati Yang Terluka” (Penebar Swadaya, 2008) dan “Sebuah Penantian” (Penebar Swadaya, 2008).

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan IPB, penulis menyusun skripsi dengan judul ”Pengaruh Letak Sambungan Terhadap Sifat Fisis Mekanis Bambu Lapis yang Terbuat dari Anyaman Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A & J.H. Schultes) Kurz)” di bawah bimbingan Ir. Jajang Suryana, MSc.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Hipotesis ... 2

1.4 Manfaat ... 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bambu ... 3

2.2 Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A. & J.H. Schultess) Kurz) ... 7

2.3 Perekat ... 8

2.4 Kayu Lapis ... 9

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 11

3.2 Bahan dan alat ... 11

3.3 Rancangan Penelitian ... 11

3.4 Analisis Data ... 14

3.5 Prosedur Penelitian 3.5.1 Pembuatan Anyaman ... 15

3.5.2 Pembuatan Bambu Lapis ... 15

3.5.3 Pengujian Bambu Lapis ... 16

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Bambu Lapis dari Anyaman Bambu Tali 4.1.1 Kerapatan ... 21

4.1.2 Kadar Air ... 23

(11)

(

Gigantochloa apus

(J.A & J.H. Schultes)

Kurz

)

ERWIN PUSPANINGTYAS IRJAYANTI

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

(

Gigantochloa apus

(J.A & J.H. Schultes)

Kurz

)

ERWIN PUSPANINGTYAS IRJAYANTI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(13)

Terhadap Sifat Fisis Mekanis Bambu Lapis Yang Terbuat Dari Anyaman Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A & J.H. Schultes f.) Kurz). Di bawah bimbingan Ir. Jajang Suryana, MSc.

Penelitian mengenai anyaman bambu sebagai bahan baku bambu lapis telah banyak dilakukan, salah satunya oleh Nugraha (2006). Pada penelitiannya, Nugraha menggunakan perekat UF dan PF dengan tiga vinir anyaman bambu untuk membuat satu panil bambu lapis. Anyaman bambu yang dibuat diberi dua macam perlakuan yang berbeda, yaitu ‘dengan perebusan’ dan ‘tanpa perebusan’. Hasilnya, nilai kadar air dan besarnya keteguhan rekat untuk bambu lapis tanpa perlakuan perebusan telah memenuhi standar SNI, JAS, dan ASTM. Sementara bambu lapis yang vinirnya diberi perlakuan perebusan, nilai keteguhan rekatnya sama sekali tidak memenuhi nilai standar yang telah ada. Besarnya MOE dan MOR tidak diketahui karena dua hal tersebut tidak termasuk dalam objek penelitian yang dilakukan.

Penelitian kali ini dilakukan dengan membuat panil bambu lapis berbahan baku anyaman Bambu Tali dengan menerapkan perlakuan terbaik dari hasil penelitian Nugraha (2006) yang menunjukkan bahwa anyaman bambu yang tidak diberi perlakuan perebusan memiliki sifat keteguhan rekat yang lebih baik. Perekat yang digunakan adalah perekat berbahan dasar Isocyanate, dalam hal ini, MDI (Methylene Diphenyl Isocyanate). Pemilihan jenis perekat berbahan dasar

Isocyanate berdasarkan pada kenyataan bahwa perekat jenis ini merupakan perekat yang bebas emisi formaldehida sehingga lebih ramah terhadap lingkungan. Panil bambu lapis dibuat berukuran 35 cm x 35 cm x 0,5 cm, dan perlakuan yang diberikan adalah model ‘letak sambungan’. Terdapat lima model ‘letak sambungan’ yang nantinya akan dianalisis untuk menentukan letak sambungan mana yang terbaik untuk diaplikasikan pada kayu lapis berdasarkan hasil pengujian fisis mekanisnya.

Pengujian sifat fisis menunjukkan nilai kerapatan berkisar antara 0,875-0,897 kg/cm3, kadar air 10,404-10,554%, pengembangan tebal sebesar 4,703-15,389% dan daya serap air berkisar 28,37-34,457%. Pengujian sifat mekanis menunjukkan sebaran nilai MOE antara 4670-29911 kg/cm2, MOR 178,098-753,024 kg/cm2 dan keteguhan geser tarik antara 0,868-23,275 kg/cm2.

Hasil pengujian kadar air dan MOR telah memenuhi standar dalam SNI. Hasil pengujian keteguhan geser tarik, selain bambu lapis kontrol hanya model B, D, dan E yang memenuhi standar SNI. Pada pengujian MOE tidak ada satupun bambu lapis termasuk kontrol yang memenuhi standar SNI. Berbagai hasil pengujian menunjukkan bahwa model letak sambungan B merupakan komposisi sambungan yang terbaik.

Berdasarkan kualitas fisis mekanisnya, bambu lapis terbaik pada penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk penggunaan meja dekorasi, keranjang ayunan bayi, rak buku, lemari pakaian, lemari sepatu, dan untuk kegunaan struktural lain yang menahan beban tidak lebih dari 41,847 kg (pada ukuran 150 cm x 50 cm).

(14)

Sambungan Terhadap Sifat Fisis Mekanis Bambu Lapis yang Terbuat dari Anyaman Bmbu Tali (Gigantochloa apus (J.A & J.H. Schulttes) Kurz)” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2009

(15)

Judul Skripsi : Pengaruh Letak Sambungan Terhadap Sifat Fisis Mekanis Bambu Lapis yang Terbuat dari Anyaman Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A & J.H. Schultes) Kurz)

Nama Mahasiswa : Erwin Puspaningtyas Irjayanti NIM : E24104029

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Ir. Jajang Suryana, MSc.

NIP. 131 414 987

Mengetahui,

Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr

NIP. 131 578 788

(16)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. atas segala nikmat, karunia dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, sahabatnya dan kepada umatnya yang senantiasa setia sampai akhir jaman.

Penelitian mengenai pengaruh letak sambungan terhadap sifat fisis mekanis bambu lapis yang terbuat dari anyaman bambu tali (Gigantochloa apus

(J.A & J.H. Schultes) Kurz) ini dilakukan selama 5 bulan dari bulan Agustus 2008 hingga Desember 2008 di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan, Laboratorium Peningkatan Mutu Kayu, dan Laboratorium Bio-Komposit Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Bapak Ir. Jajang Suryana, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bantuan, kesempatan waktu, arahan, bimbingan, kesabaran, dan dukungan dalam penulisan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Ir. Istomo, MS selaku dosen penguji mewakili Departemen Silvikultur dan Bapak Ir. Edhi Sandra, M.Si selaku dosen penguji mewakili Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata.

3. Seluruh staf dan laboran (Bapak Supriatin, Bapak Abdullah, Mas Gunawan, Mas Irvan, Bapak Kadiman, Bapak Amin, Ibu Esti, dan mba Lastri) Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB.

4. Keluarga tercinta (Papa, Mama, Annisa dan Amalia) yang telah banyak memberikan kasih sayang, semangat, doa dan restu serta pengorbanan baik moral maupun material kepada penulis.

(17)

6. Rekan-rekan sebimbingan (Setia Kurniawan dan Yolanda Anastatica) atas bantuan dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Rekan-rekan THH 41 (Kusnan, Roni, Helmy, Ady, Tumpal, Citra, Nining, Lukman, Yolanda, Setya, Mona, Risde, Gendis, Hans, Hadi, Nyoman, Emma, Febri, Yanto, Meyta, Maya, Lilis, serta seluruh teman-teman THH 41 yang tidak bisa disebutkan satu persatu) yang selalu bersama dalam suka dan duka.

Semoga Allah SWT berikan balasan kebaikan yang setimpal. Amin.

Bogor, Januari 2009

(18)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Klaten pada tanggal 3 November 1986 dari pasangan Ir. Erwin Sukirmanto dan Titin, SE sebagai anak ke satu dari tiga bersaudara.

Jenjang pendidikan formal yang telah dilalui penulis antara lain di SDN Bareng Lor II Klaten tahun 1992-1998, SMPN 2 Mataram tahun 1998-2001 dan SMAN 2 Mataram tahun 2001-2004. Pada tahun 2004 penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Tahun 2005 penulis mengambil Sub-Program Studi Pengolahan Hasil Hutan dan pada tahun 2006 memilih Laboratorium Bio-Komposit sebagai bidang keahlian.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengikuti organisasi kemahasiswaan, yaitu menjadi anggota Klub Sastra Tingkat Persiapan Bersama pada tahun 2004-2005, Staf Divisi Public Relation pada International Forestry Student Asosiation (IFSA) LC IPB pada tahun 2004-2006, Staf Departemen Komunikasi dan Informasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kehutanan IPB pada tahun 2005-2006, serta anggota Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan tahun 2006-2007. Penulis telah melaksanakan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di KPH Banyumas Barat, KPH Banyumas Timur, KPH Ngawi dan KPH Randublatung pada tahun 2007. Selain itu penulis juga telah melaksanakan Praktek Kerja Lapang di Perum Perhutani Unit III Jawa Barat & Banten dan di Pabrik Gondorukem dan Terpentin Sindangwangi tahun 2008.

(19)

Romance of King Sulaiman and Queen Sheba” (Mizan, 2008), fiksi berbasis sejarah berjudul “Elegi Cinta Maria” (Mizan, 2009), dan merupakan salah satu kontributor dalam proyek pemerintah untuk pengadaan buku bagi anak-anak di Sekolah Dasar. Dalam proyek pemerintah tersebut penulis menulis buku berjudul “Hati Yang Terluka” (Penebar Swadaya, 2008) dan “Sebuah Penantian” (Penebar Swadaya, 2008).

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan IPB, penulis menyusun skripsi dengan judul ”Pengaruh Letak Sambungan Terhadap Sifat Fisis Mekanis Bambu Lapis yang Terbuat dari Anyaman Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A & J.H. Schultes) Kurz)” di bawah bimbingan Ir. Jajang Suryana, MSc.

(20)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Hipotesis ... 2

1.4 Manfaat ... 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bambu ... 3

2.2 Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A. & J.H. Schultess) Kurz) ... 7

2.3 Perekat ... 8

2.4 Kayu Lapis ... 9

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 11

3.2 Bahan dan alat ... 11

3.3 Rancangan Penelitian ... 11

3.4 Analisis Data ... 14

3.5 Prosedur Penelitian 3.5.1 Pembuatan Anyaman ... 15

3.5.2 Pembuatan Bambu Lapis ... 15

3.5.3 Pengujian Bambu Lapis ... 16

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Bambu Lapis dari Anyaman Bambu Tali 4.1.1 Kerapatan ... 21

4.1.2 Kadar Air ... 23

(21)

4.1.4 Pengembangan Tebal ... 26

4.2 Sifat Mekanis Bambu Lapis dari Anyaman Bambu Tali 4.2.1 Modulus of Rupture (MOR) ... 27

4.2.2 Modulus of Elasticity (MOE) ... 29

4.2.3 Keteguhan Geser Tarik ... 31

4.3 Kualitas Bambu Lapis ... 33

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 35

5.2 Saran ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36

(22)

DAFTAR TABEL

(23)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

(24)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1 Rekapitulasi data hasil pengujian sifat fisis dan mekanis ... 39 2 Hasil uji lanjut Duncan untuk pengembangan tebal ... 41 3 Hasil uji lanjut Duncan untuk MOR ... 42 4 Hasil uji lanjut Duncan untuk MOE ... 43 5 Hasil uji lanjut Duncan untuk keteguhan geser tarik ... 44

(25)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penelitian mengenai penggunaan bambu sebagai alternatif bahan baku kayu lapis telah banyak dilakukan. Salah satu faktor pendorongnya adalah karena semakin berkurangnya jumlah kayu di Indonesia, sifat kekuatan bambu yang tergolong baik, dan mudahnya jenis tanaman ini untuk dibudidayakan. Dari banyaknya jenis bambu yang telah diteliti untuk dijadikan sebagai alternatif kayu lapis, salah satunya adalah jenis bambu tali. Di masyarakat luas, jenis bambu ini banyak digunakan sebagai bahan baku anyaman bambu untuk kerajinan, membuat keranjang, dan sebagai bilik untuk dinding rumah.

Pada 2006, Nugraha melakukan penelitian mengenai anyaman bambu tali sebagai bahan baku bambu lapis. Pada penelitian tersebut digunakan perekat UF dan PF dengan tiga vinir anyaman bambu untuk membuat satu panil bambu lapis. Anyaman bambu yang dibuat diberi dua macam perlakuan yang berbeda, yaitu ‘dengan perebusan’ dan ‘tanpa perebusan’. Hasilnya, nilai kadar air dan besarnya keteguhan rekat untuk bambu lapis tanpa perlakuan perebusan telah memenuhi standar SNI, JAS, dan ASTM. Sementara bambu lapis yang vinirnya diberi perlakuan perebusan, nilai keteguhan rekatnya sama sekali tidak memenuhi nilai standar yang telah ada. Besarnya MOE dan MOR tidak diketahui karena dua hal tersebut tidak termasuk dalam objek penelitian yang dilakukan.

Penelitian kali ini dilakukan dengan membuat panil bambu lapis berbahan baku anyaman bambu tali dengan menerapkan perlakuan terbaik dari hasil penelitian Nugraha (2006) yang menunjukkan bahwa anyaman bambu yang tidak diberi perlakuan perebusan memiliki sifat keteguhan rekat yang lebih baik. Perekat yang digunakan adalah perekat berbahan dasar Isocyanate, dalam hal ini, MDI (Methylene Diphenyl Isocyanate). Pemilihan jenis perekat berbahan dasar

(26)

lingkungan. Panil bambu lapis dibuat berukuran 35 cm x 35 cm x 0,5 cm, dan perlakuan yang diberikan adalah model ‘letak sambungan’. Terdapat lima model ‘letak sambungan’ yang nantinya akan dianalisis untuk menentukan letak sambungan mana yang terbaik untuk diaplikasikan pada bambu lapisberdasarkan hasil pengujian fisis mekanisnya.

1.2 Tujuan

1. Membandingkan hasil pengujian bambu lapis yang memiliki sambungan dengan kontrol (bambu lapis tanpa sambungan).

2. Mengetahui komposisi terbaik letak sambungan pada bambu lapis yang telah dihasilkan berdasarkan hasil pengujian.

3. Memberikan saran terhadap pemanfaatan bambu lapis yang memiliki kualifikasi sebagaimana bambu lapis hasil penelitian.

1.3 Hipotesis

1. Adanya sambungan pada bambu lapis akan mengakibatkan penurunan kekuatan sifat mekanis.

2. Model letak sambungan akan mempengaruhi kekuatan mekanis pada bambu lapis.

1.4 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pemanfaatan anyaman bambu dalam pengembangan bambu lapis struktural dan dapat diaplikasikan dengan mudah dalam kehidupan sehari-hari.

 

 

 

(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bambu

2.1.1 Sifat Umum Bambu

Bambu merupakan sumberdaya hutan bukan kayu dalam keluarga

Graminae, suku Bambuseae, dan sub famili Bambusoideae yang terdiri dari batang, akar rhizoma yang kompleks dan mempunyai sistem percabangan dan tangkai daun yang menyelubungi batang (Dransfield dan widjaya, 1995). Pada umumnya, tanaman bambu di Indonesia ditemukan di dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian sekitar 3000 mdpl, di tempat-tempat yang terbuka dan daerah bebas genangan air (Krisdianto et al., 2000). Menurut Widjaya (2001), jumlah bambu di Indonesia terdiri dari 143 jenis dimana sebanyak 60 jenis diantaranya tumbuh di Pulau Jawa.

Lebih lanjut Widjaya (2001) menyatakan bahwa bambu mudah sekali dibedakan dengan tumbuhan lainnya karena tumbuhnya merumpun, batangnya bulat, berlubang dan beruas-ruas, percabangannya kompleks, setiap daun bertangkai dan bunga-bunganya terdiri dari sekam, sekam kelopak, dan sekam mahkota. Menurut Dransfield dan Widjaya (1995), diameter batang bambu tergantung dari spesiesnya dan lingkungan tempatnya tumbuh dengan variasi besar diameter antara 0,5-20 cm. Berbagai metode yang digunakan untuk memperbanyak bambu antara lain perbanyakan secara generatif melalui biji, secara vegetatif dengan metode pemotongan rimpang akar, stek batang, stek cabang, stump batang dalam rumpun bambu dan kultur jaringan. Perbanyakan generatif melalui biji sangat jarang dilakukan karena biji bambu umumnya sangat sulit diperoleh di lapangan.

(28)

Selanjutnya Tamolang et al. (1980) dalam Fadli (2006) menyatakan bahwa perendaman bambu pada air laut atau air mengalir selama 2-3 bulan dapat mengurangi kadar pati yang berimplikasi pada berkurangnya serangan kumbang. Pada umur 1-2 tahun batang bambu cocok dipanen untuk tujuan produksi pulp dan barang kerajinan tangan, sedangkan batang bambu yang berumur 3 tahun cocok dipanen sebagai bahan bangunan dan furniture.

a. Sifat Fisis Bambu

¾Berat Jenis

Haygreen dan Bowyer (1989) mendefinisikan berat jenis (BJ) sebagai perbandingan antara kerapatan kayu (atas dasar berat kering tanur dan volume basah) dengan kerapatan air pada suhu 4ºC.

Menurut Tamolang et al. (1980) dalam Fadli (2006) BJ bambu cenderung naik ke arah ujung. Selanjutnya Liese (1985) menyatakan bahwa BJ bambu bevariasi dari 0,5-0,8 dengan bagian luar dari batang mempunyai BJ lebih besar dari bagian dalamnya.

¾Kadar Air

Kadar air bambu sangat penting karena dapat mempengaruhi sifat-sifat mekanis bambu. Kadar air bambu dewasa segar berkisar antara 50-99% dan pada bambu muda berkisar 80-150%, sedangkan kadar air bambu kering berkiar antara 8-12%. Kadar air batang bambu meningkat dari bawah ke atas dan dari umur 1-3 tahun, selanjutnya menurun pada bambu yang berumur lebih dari 3 tahun. Kadar air meningkat pada musim penghujan jika dibandingkan dengan musim kemarau (Dransfield dan Widjaya, 1995).

Perbedaan kadar air pada musim kemarau dapat mencapai 100%. Selama musim kemarau, bagian atas bambu hanya mengandung kira-kira 50% air (Yap, 1967).

(29)

¾Penyusutan

Tidak seperti kayu, bambu langsung menyusut setelah dipanen, tetapi tidak berlangsung seragam. Penyusutan dipengaruhi oleh tebal dinding dan diameter batang bambu (Liese, 1985 dalam Dransfield dan Widjaya, 1995). Pengeringan bambu dewasa segar hingga kadar air 20% menyebabkan penyusutan sebesar 4-14% pada tebal dinding dan 3-12% pada diameternya. Penyusutan lebih besar terjadi pada arah radial daripada arah tangensialnya (sekitar 7% berbanding 6%), tetapi penyusutan antara bagian dalam dengan bagian luar dinding batang bambu sangat besar. Penyusutan pada arah longitudinal kurang dari 0,5% (Dransfield dan Widjaya, 1995).

b. Sifat Mekanis Bambu

Haygreen dan Bowyer (1989) menyatakan kekuatan dan ketahanan terhadap perubahan suatu bahan disebut sebagai sifat mekanis. Kekuatan adalah kemampuan suatu bahan untuk memikul beban/gaya yang mengenainya. Ketahanan terhadap perubahan bentuk menentukan banyaknya bahan yang dimanfaatkan, terpuntir atau terlengkungkan oleh beban yang mengenainya.

Sifat kekuatan meningkat dengan adanya penurunan kadar air dan berhubungan erat dengan berat jenis (Dransfield dan Widjaya, 1995). Kekuatan maupun kekakuan kayu akan naik dengan semakin besarnya berat jenis (Haygreen dan Bowyer, (1989).

(30)

Selain itu, kekuatan mekanis juga dipengaruhi oleh kulit buluh yang mengandung silika, dimana kehadiran silika berimplikassi pada meningkatnya kekuatan bambu. Dransfield dan Widjaya (1985) menyatakan bahwa kandungan silika batang bambu umumnya lebih tinggi dari kayu yaitu sebesar 0,5-4%.

Disamping itu, jenis bambu yang berbeda akan memberikan sifat mekanis yang meliputi keteguhan lentur, keteuhan tarik dan keteguhan tekan yang berbeda pula. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Syafi’i (1984).

[image:30.612.135.518.309.703.2]

Sifat fisis mekanis 5 jenis bambu pernah diteliti oleh Syafi’i (1984) antara lain seperti pada Tabel 1.

Tabel 1 Sifat fisis mekanis beberapa jenis bambu di Indonesia

Sifat yang diuji

Jenis Bambu

Betung Gombong Kuning Tali Sembilang

1. BJ 0.61 0.55 0.52 0.65 0.71 2. Susut volume (%)

Basah - Kering

Udara 10.62 12.36 11.29 12.45 11.05 Kering Udara -

Kering Tanur 4.99 4.96 4.74 4.6 4.49 Susut tebal (%)

Basah - Kering

Udara 6.02 7.94 4.31 5.83 3.04 Kering Udara -

Kering Tanur 4.3 5.75 5.47 5.32 7.03 Susut lebar (%)

Basah – Kering 4.81 6.58 3.19 6.3 2.48 Kering Udara -

(31)

4. MOE (kg/cm3) 131.19 98.29 76.21 *) 143.21 5. Tekan sejajar serat

(kg/cm2) 605 521 455 *) 627 6. Tekan tegak lurus

serat (kg/cm2) 2.13 1.91 1.32 2.01 1.91 Sumber : Syafi’i (1984)

*) tidak dapat dibuat spesimen percobaan karena dinding bambu terlalu tipis Beberapa kelebihan bambu antara lain (a) pertumbuhannya cepat, dapat diolah dan ditanam di berbagai tempat sehingga dapat memberikan keuntungan secara kontinyu, (b) memiliki sifat mekanis yang baik, (c) hanya memerlukan alat yang sederhana, (d) kulit luar yang mengandung silikat dapat melindungi bambu. Sedangkan beberapa diantara kelemahannya adalah (a) keawetan bambu relatif rendah sehingga memerlukan upaya pengawetan, (b) sangat rentan terhadap resiko api, dan (c) bentuknya silinder sehingga menyulitkan proses penyambungan (Krisdianto dkk., 2000).

Selanjutnya, Krisdianto juga menyatakan bahwa dalam penggunaannya di masyarakat, bahan bambu terkadang menemui beberapa keterbatasan. Sebagai bahan bangunan, faktor yang sangat mempengaruhi bahan bambu adalah sifat fisik bambu yang membuat sukar dikerjakan secara mekanis, variasi dimensi dan ketidakseragaman panjang ruasnya serta ketidakawetan bahan bambu tersebut menjadikan bambu tidak dipilih sebagai bahan komponen konstruksi bangunan. Sering ditemui barang-barang yang berasal dari bambu yang dikuliti, khususnya dalam keadaan basah mudah diserang oleh jamur biru dan bulukan, sedangkan bambu bulat utuh dalam keadaan kering dapat diserang serangga bubuk kering dan rayap kayu kering.

2.2 Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A. & J.H. Schultes) Kurz)

Widjaya (2001) menyatakan bahwa banbu tali termasuk family Graminae

(32)

Nasional Alas Purwo dan Meru Betiri. Jenis bambu ini mmpunyai nama daerah bambu tali (Indonesia), pring tali, pring apus (Jawa), awi tali (Sunda).

[image:32.612.234.351.270.416.2]

Jenis bambu ini umumnya mempunyai rumpun yang rapat, buluhnya mencapai tinggi 10-20 meter, berwarna hijau terang sampai kekuning-kuningan, percabangannya tidak besar, cabang primer tumbuh dengan baik yang kemudian diikuti oleh cabang-cabang berikutnya seperti yang terlihat pada Gambar 1. Pada buku-bukunya tampak adanya penonjolan dan berwarna agak kuning dengan miang cokelat kehitaman yang melekat. Pelepah bulunya tidak mudah lepas dari buluhnya meskipun umur buluh sudah tua (Sastrapradja et al., 1980).

Gambar 1 Gigantochloa apus (J.A & J.H. Schultes)Kurz

Dransfield dan Widjaya (1995) mendeskripsikan bambu tali sebagai tanaman bambu simpodial, berdiri tegak, tinggi batang 8-30 meter dengan buluh 4-13 cm dan tebalnya bisa mencapai 1,5 cm. Berwarna hijau terang sampai kuning, panjang ruas 20-75 cm, buku sedikit membengkok pada bagian luar. Panjang serat sekitar 0,9-5,5 mm; diameter serat 56,3µm; tebal dinding 1-3µm. Kadar air rata-rata batang bambu segar adalah 54,3% dan batang bambu kering 15,1%. Komponen-komponen kimia dari batang bambu tali diantaranya holoselulosa 52,1-54,7%; pentosan 19,1-19,3%; lignin 24,8-25,8%; kadar abu 2,7-2,9%; silika 1,8-5,2%. Kelarutan dalam air dingin 5,2%; air panas 5,4-6,45%; dan kadar patinya berfluktuasi antara 0,24-0,71%, tergantung pada musim.

(33)

atap), keranjang tradisional dan kerajinan tangan. Di Jawa Barat telah dimanfaatkan sebagai bahan baku industri papan serat bambu (Widjaya, 2001).

2.3 Perekat

Perekat (adhesive) adalah suatu zat atau bahan yang memiliki kemampuan mengikat dua benda melalui ikatan permukaan (Blomquist et al., 1983; Forest Product Society, 1999, diacu dalam Surdiding et al., 2007).

Menurut Vick (1999), perekat adalah substansi yang memiliki kemampuan untuk mempersatukan bahan sejenis/tidak sejenis melalui ikatan permukaannya. Melekatnya dua buah benda yang direkat disebabkan adanya gaya tarik menarik antara perekat dengan bahan yang direkat (gaya adhesi) dan gaya tarik menarik (kohesi) antara perekat dengan perekat.

Dalam penggunaan perekat harus dipilih perekat yang dapat memberikan ikatan yang baik dalam jangka waktu yang panjang pada suatu struktur. Perekat yang ideal untuk kayu mempunyai persyaratan tertentu yaitu harganya murah, mempunyai waktu kadaluarsa yang panjang, cepat mengeras dan cepat matang hanya dengan temperatur rendah, mempunyai ketahanan tinggi terhadap kelembaban, tahan panas dan mikroorganisme, serta dapat digunakan untuk berbagai keperluan (Ruhendi, 1988).

Bahan kimia Isocyanate Resins adalah sejenis bahan perekat yang meningkatkan kualitas dalam menghasilkan kayu lapis yang tahan air, tahan api dan tahan terhadap serangan ulat dan serangga. Selain itu kayu lapis diharapkan memiliki tingkat pelepasan formaldehid yang rendah sesuai dengan aturan yang mengharuskan low formaldehyde emission yang selaras dengan permintaan pangsa pasar, terutama Jepang dan Eropa. Isocyanate juga dapat membantu ketahanan mekanis papan partikel dan kayu lapis (Ministry of Plantation Industries and Commodities Malaysia, 2007).

Perekat MDI (Methylene Diphenyl Isocyanate) pertama kali digunakan untuk produk komersil seperti waferboard pada tahun 1985. Sejak saat itu, penggunaan MDI terus berkembang sehingga saat ini sekitar 15-20% pasar

(34)

keuntungan menggunakan perekat isocyanate dibandingkan perekat berbahan dasar resin adalah (1) dibutuhkan dalam jumlah sedikit untuk memproduksi papan dengan kekuatan yang sama, (2) dapat menggunakan suhu kempa yang lebih rendah, (3) memungkinkan penggunaan kempa yang lebih cepat, (4) lebih toleran pada partikel maupun vinir berkadar air tinggi, (5) energi untuk pengeringan lebih sedikit dibutuhkan, (6) stabilits dimensi papan yang dihasilkan lebih stabil, (7) tidak ada emisi formaldehid.

MDI juga berpotensi memaksimalkan sifat fisis penampilan panel plywood,

mengefisienkan proses dan menguntungkan karena lebih cepat matang dan terikat kuat yang berimplikasi pada biaya produksi yang lebih rendah. Selain itu penampilan fisik papan tampak bersih (Wikimedia 2006 diacu dalam Nuryawan dan Massijaya 2006).

Kayu Lapis

Dalam penerapannya baik di dunia industri maupun penelitian ilmiah, bambu lapis umumnya diasosiasikan dengan kayu lapis. Hal ini karena bambu lapis merupakan inovasi baru yang pengerjaannya mengacu pada prosedur pengerjaan dan standar kayu lapis.

Kayu lapis adalah produk vinir-vinir kayu yang direkat bersama sehingga arah serat sejumlah vinir tegak lurus dan yang lain sejajar sumbu panjang panel. Pada kebanyakan tipe kayu lapis, setiap dua lapis sekali diletakkan vinir yang arahnya sejajar dengan lapis pertama (Haygreen dan Bowyer, 1989). Pengertian vinir menurut Dumanauw (1990) adalah lembaran kayu tipis dengan ukuran ketebalan seragam berkisar 0,24 -6 mm yang diperoleh dari penyayatan dolok kayu jenis tertentu.

(35)

paku, (c) kualitas visual permukaannya dan (d) persyarakatan khusus lainnya seperti ketahanan terhadap pembusukan dan api.

Kayu lapis memiliki kelebihan dibandingkan bahan jadi kayu lainnya, diantaranya seperti yang dikemukakan oleh Ruhendi dan Widarmana (1983) meliputi (1) stabilitas dimensinya yang tinggi karena jumlah lapisan yang ganjil dipasangkan sedemikian rupa saling tegak lurus, (2) tampak rupa kayu asli dengan ukuran lebih lebar, (3) mempunyai sifat mekanis yang lebih baik, (4) mudah dikerjakan dan (5) dapat dibuat dari hampir semua jenis kayu.

 

 

 

 

       

 

 

 

 

 

(36)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Agustus 2008 sampai bulan Desember 2008. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biokomposit, Laboratorium Peningkatan Mutu Kayu, dan Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu bambu tali (Gigantochloa apus (J.A. & J.H Schultes) Kurz) yang berumur 28 bulan yang diperoleh dari Desa Pabangbon, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor dan perekat MDI (Methane-Diphenyl-Isocyanate) yang terdiri dari resin dan hardener, serta 5 gulung perekat kertas (lakban).

Alat-alat yang digunakan adalah mesin kempa, oven, desikator, circular saw,

caliper, mikrometer, penggaris, neraca digital, universal testing machine merk

Instron serta alat-alat pendukung seperti alat tulis, kalkulator dan gunting.

3.3 Rancangan Penelitian

Hingga saat ini, anyaman bambu belum diaplikasikan dalam pembuatan bambu lapis berskala industri. Hal ini berkaitan dengan kendala yang dihadapi antara lain (a) diperlukannya anyaman bambu berukuran besar untuk memenuhi permintaan skala industri, (b) pembuatan anyaman bambu berukuran besar mengakibatkan rendahnya efisiensi bahan baku karena bahan baku berukuran kecil tidak dapat dimanfaatkan. Oleh karena itu, diperlukan suatu penjajakan untuk melihat kemungkinan dibuatnya bambu lapis berukuran besar dengan cara menyambung panil-panil bambu lapis berukuran kecil. Pemilihan lakban sebagai perekat awal antar sambungan dilatarbelakangi antara lain karena (a) mudah diperoleh, (b) murah, (c) berbahan dasar kertas dan berpori sehingga memudahkan penetrasi perekat cair pada pengerjaan perekatan tahap kedua.

(37)

menurunnya sifat mekanis bambu lapis. Untuk itu diperlukan suatu model penyusunan letak sambungan yang optimal, yaitu suatu model yang dapat meminimalkan penurunan sifat mekanis bambu lapis, atau dengan kata lain, kekuatannya paling mendekati kekuatan bambu lapis tanpa sambungan.

Berdasarkan konsep tersebut, maka dibuatlah beberapa model penyusunan letak sambungan. Terdapat 6 model penyusunan letak sambungan (1 diantaranya adalah bambu lapis tanpa sambungan yang berlaku sebagai kontrol) yang diuji sifat fisis mekanisnya untuk kemudian dianalisis secara deskriptif dengan nilai rataan dari 3 ulangan. Dengan demikian contoh uji yang digunakan berjumlah 18. Berikut adalah 6 buah model penyusunan letak sambungan yang dibuat dalam penelitian (gambar tampak samping) :

a. Kontrol (tanpa sambungan)

Perlakuan : tanpa sambungan, berlaku sebagai kontrol.

Asumsi : dengan tidak adanya sambungan maka kekuatan sifat mekanisnya paling baik

b. Model A (5 sambungan berurutan)

Perlakuan : sambungan disusun berurutan pada seluruh lapisan. Asumsi : model penyusunan sambungan seperti ini diduga

merupakan komposisi yang paling lemah sifat mekanisnya. c. Model B (2 sambungan berurutan)

(38)

Asumsi : bekerja gaya tekan pada 2 lapisan teratas dan gaya tarik pada 3 lapisan terbawah. Dengan komposisi tersebut diharapkan bambu lapis dapat mencapai kekuatan optimum. d. Model C (3 sambungan berurutan)

Perlakuan : sambungan disusun secara berurutan pada tiga lapisan teratas.

Asumsi : bekerja gaya tekan pada 3 lapisan teratas dan gaya tarik pada dua lapisan terbawah. Komposisi ini dibuat untuk dibandingkan dengan Model B. Diduga bahwa kekuatan komposisi ini lebih rendah daripada kekuatan Model B. e. Model D (3 sambungan selang-seling)

Perlakuan : sambungan disusun pada lapisan 1, 3, dan 5.

Asumsi : selama ini, teknik penyusunan batu bata (yang berselang-seling) pada bangunan terbukti dapat mengatasi bekerjanya gaya—tekan dan benturan—pada bangunan yang bersangkutan. Diharapkan teknik penyusunan sambungan serupa yang dilakukan pada bambu lapis dapat memberikan hasil yang sama memuaskannya dengan teknik yang diadaptasi.

f. Model E (2 sambungan selang-seling)

Perlakuan : sambungan disusun pada lapisan 2 dan 4.

(39)

dengan seluruh model sambungan, komposisi ini juga secara khusus untuk dibandingkan dengan Model D.

3.4 Analisis Data

Penelitian ini merupakan percobaan satu faktor dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan yang diberikan berupa model letak sambungan yag terdiri dari 6 taraf yaitu kontrol, model A, model B, model C, model D, dan model E. ulangan yang dilakukan pada masing-masig taraf sebanyak 3 sehingga jumlah total percobaan adalah 18. Pengolahan data penelitian dilakukan dengan menggunakan software SAS versi 6.12.

Adapaun model statistik linier dari rancangan percobaan ini dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut:

Yij = µ + τi + εij

Keterangan:

Yij = respon pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j.

Respon pengamatan terdiri dari kerapatan, kadar air, daya serap air 24 jam, pengembangan tebal 24 jam, MOE, MOR, dan KGT

µ = nilai rata-rata umum.

τi = pengaruh perlakuan ke-i, dimana i = kontrol, model A, B, C, D, dan E.

εij = pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j.

Untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan-perlakuan yang dicoba maka dilakukan analisis keragaman (ANOVA). Jika Fhitung > Ftabel pada selang kepercayaan 95% dan 99%, berarti faktor tersebut berpengaruh nyata atau sangat nyata terhadap sifat fisis dan mekanis bambu lapis yang diuji.

(40)

3.5 Prosedur Penelitian 3.5.1 Pembuatan Anyaman

Anyaman bambu tali dibuat dari bagian dalam bambu tali yang disayat tipis, kemudian sayatan tipis tersebut dianyam sedemikian rupa sehingga menghasilkan anyaman berukuran 35cm x 35cm dan 17.5cm x 35cm.

Selanjutnya, dilakukan penyambungan 2 lembar anyaman bambu yang berukuran 17.5cm x 35cm menjadi 1 lembar berukuran 35cm x 35cm dengan menggunakan perekat kertas (lakban) yang umum dan mudah ditemukan di tengah masyarakat.

3.5.2 Pembuatan Bambu Lapis a. Pelaburan perekat

Perekat yang digunakan adalah isocyanate dengan berat labur 250g/m2 per permukaan dan banyaknya perekat yang diperlukan untuk satu luas permukaan adalah 30.625 gram. Untuk menghindari perembesan perekat yang terlalu banyak pada bagian permukaannya maka khusus pelaburan perekat adalah setengah dari kebutuhan perekat untuk satu permukaan.

b. Pembuatan lembaran

Banyaknya vinir yang disusun untuk membuat satu lembar panil bambu lapis adalah 5 vinir anyaman bambu. Vinir-vinir tersebut disusun berdasarkan model yang telah direncanakan. Ukuran sasaran panil bambu lapis yang dibuat adalah 35cm x 35cm x 0.5cm.

c. Pengempaan

Untuk pembuatan bambu lapis dengan menggunakan perekat isocyanate

(41)

d. Pengkondisian (conditioning)

Setelah dilakukan pengempaan, bambu lapis dibiarkan di tempat terbuka selama empatbelas hari yang bertujuan menghilangkan tegangan-tegangan yang terjadi selama pengempaan.

[image:41.612.226.416.243.404.2]

3.5.3 Pengujian Bambu Lapis a. Penyiapan contoh uji

Gambar 2. Pola pemotongan sampel untuk pengujian fisis mekanis

Keterangan :

A = Contoh uji kadar air dan kerapatan (10cm x 10cm)

B = Contoh uji pengembangan tebal dan daya serap air (5cm x 5cm) C = Contoh uji keteguhan geser tarik (10cm x 2,5cm)

D = Contoh uji MOE dan MOR {(24.tebal + 5cm) x 5cm}

b. Pengujian sifat fisis ¾ Kerapatan

Contoh uji berukuran 10 cm × 10 cm × 1 cm yang dalam keadaan kering udara ditimbang beratnya dan kemudian ditentukan volume contoh uji dengan melakukan pengukuran pada empat titik di setiap sisinya (panjang, lebar, dan

               

C

 B 

(42)

tebal) yang kemudian dihitung rata-ratanya. Kerapatan papan dihitung menggunakan rumus:

Kerapatan (g/cm3)

) ( ) ( 3 cm Volume g Berat =

¾ Kadar air

Contoh uji berukuran 10 cm × 10 cm × 1 cm ditimbang untuk mendapatkan berat awal (BA), kemudian dioven pada suhu 103±2˚C selama 24 jam kemudian dimasukkan ke dalam desikator sampai mencapai suhu kamar dan ditimbang. Selanjutnya dimasukkan ke dalam oven kembali selama ± 3 jam, kemudian dimasukkan ke dalam desikator sampai mencapai suhu kamar dan ditimbang. Tahap ini dilakukan sampai mencapai berat konstan, yaitu perbedaan hasil penimbangan terakhir dan sebelumnya maksimum 1%. Nilai kadar air dihitung menggunakan rumus:

Kadar air (%) = − ×100

BKO BKO BA

Keterangan :

BA = berat awal (kering udara) BKO = berat kering oven

¾ Daya serap air

Contoh uji berukuran 5 cm x 5 cm ditimbang berat awalnya (B1) kemudian direndam dalam air dingin selama 24 jam, setelah itu ditimbang beratnya (B2). Nilai daya serap air dapat dihitung menggunakan rumus :

Daya serap air (%) 100 1

1 2− × =

B B B

Keterangan :

B1 = berat contoh uji sebelum perendaman (g)

(43)

¾ Pengembangan tebal

Contoh uji berukuran 5 cm × 5 cm × 1 cm dalam keadaan kering udara diukur dimensi tebalnya dan diukur pada tiap sudut kemudian dihitung rata-ratanya (D1). Selanjutnya contoh uji direndam dalam air dingin selama 24 jam

dan dilakukan pengukuran dimensinya setelah perendaman (D2). Nilai

pengembangan tebal dihitung menggunakan rumus:

Pengembangan tebal (%) 100 1

1 2 − × =

D D D

Keterangan :

D1 = dimensi awal (cm)

D2 = dimensi setelah perendaman (cm) c. Pengujian sifat mekanis

¾ Modulus of Elasticity (MOE)

Pengujian dilakukan dengan menggunakan Universal Testing Machine

(UTM) merk Instron. Contoh uji berukuran 5cm × 20cm pada kondisi kering udara dibentangkan dengan jarak sangga 12 cm. Pembebanan dilakukan di tengah-tengah jarak sangga dengan kecepatan pembebanan sebesar 10 mm/menit. Kemudian ukur besarnya beban yang mampu ditahan oleh contoh uji tersebut sampai batas proporsi. Nilai MOE dihitung menggunakan rumus:

3 3 4 ybh PL MOE Δ Δ = Keterangan :

MOE = Modulus of Elasticity (Kg/cm2)

∆P = perubahan beban yang digunakan (kg) L = jarak sangga (cm)

∆y = perubahan defleksi setiap perubahan beban (cm) b = lebar contoh uji (cm)

(44)

Keteran gan : P = Beban

L = Panjang bentang  ¾ Modulus of Rupture (MOR)

Pengujian dilakukan dengan menggunakan Universal Testing Machine

(UTM) merk Instron. Contoh uji berukuran 5cm × 17cm pada kondisi kering udara dibentangkan dengan jarak sangga 12 cm seperti terlihat pada Gambar 3. Pembebanan dilakukan di tengah-tengah jarak sangga dengan kecepatan pembebanan sebesar 10 mm/menit. Pada pengujian ini, pembebanan pada pengujian MOE dilanjutkan sampai contoh uji mengalami kerusakan (patah). Nilai MOR dihitung menggunakan rumus:

3 2

3

bh PL MOR=

Keterangan :

MOR = Modulus of Rupture (Kg/cm2) P = berat beban sampai patah (kg) L = jarak sangga (cm)

b = lebar contoh uji (cm) h = tebal contoh uji (cm)

[image:44.612.164.444.280.641.2]

Gambar 3. Pengujian MOE dan MOR Contoh Uji 

L/2  L/2 

(45)

¾ Keteguhan Geser Tarik

Penentuan keteguhan geser tarik panil bambu lapis berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-2704-1992) mengenai Kayu Lapis Penggunaan Umum. Contoh uji dengan perekat MDI merupakan tipe eksterior sehingga pada pengujiannya sampel direndam dalam air panas pada suhu 100±3°C selama 4 jam, kemudian dicelupkan ke dalam air dingin sampai suhu mencapai suhu kamar. Selanjutnya contoh uji tersebut diuji dengan alat geser tarik pada waktu masih basah. Beban maksimum yang dapat dicapai dicatat pada saat contoh uji putus atau rusak. Bentuk sampel dari keteguhan rekat ini dapat dilihat pada Gambar 4.

100 mm

[image:45.612.149.506.284.457.2]

34.4mm 3.1mm 25mm 3.1mm 34.4mm

Gambar 4. Pembuatan Potongan Uji Keteguhan Geser Tarik

Nilai keteguhan geser tarik diperoleh dengan persamaan:

Keterangan :

KGT = nilai keteguhan geser tarik (kg/cm2) B = beban tarik (kg)

P = panjang bidang geser (cm) L = lebar bidang geser (cm)

KGT = PxL

(46)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sifat Fisis Bambu Lapis dari Anyaman Bambu Tali 4.1.1 Kerapatan

[image:46.612.163.504.360.573.2]

Kerapatan (density) adalah perbandingan antara massa kayu dengan volumenya. Kerapatan yang dimaksud adalah kerapatan pada saat kering udara (Haygreen dan Bowyer 1993). Hasil penelitian menunjukkan nilai kerapatan bambu lapis yang cenderung seragam dimana nilai kerapatan terendah terdapat pada bambu lapis Model Sambungan C sebesar 0,875 g/cm³ dan tertinggi pada bambu lapis Model Sambungan F sebesar 0,897 g/cm³. Nilai tersebut tidak jauh berbeda dengan besarnya kerapatan bambu lapis kontrol yaitu 0,924 kg/cm2 seperti dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Histogram hubungan antara kerapatan dengan model letak sambungan.

(47)

lapis masih belum ada batasan yang jelas tentang besarnya kerapatan yang baik sehingga tidak ada batasan yang jelas untuk nilai kerapatan bambu lapis agar dapat menghasilkan bambu lapis yang berkualitas baik.

Menurut Sulastiningsih (2005) kerapatan dipengaruhi oleh kerapatan bahan, berat labur perekat dan besarnya tekanan kempa selama proses pengempaan. Pada penelitian ini digunakan bahan baku berupa anyaman bambu lapis berkerapatan 0,37 g/cm³, berat labur perekat 250 g/cm2, dan besarnya tekanan kempa adalah 30 kg/cm2 selama 5 menit pada suhu ± 130ºC.

Menurut Fadli (2006), semakin tinggi nilai kerapatan akan menghasilkan sifat mekanis yang lebih baik. Bambu lapis kontrol memiliki kerapatan yang paling tinggi. Hal ini diduga karena pada bambu lapis kontrol tidak terdapat adanya sambungan, tidak terdapat perekat kertas berupa lakban diantara lapisan-lapisan vinir, sehingga perekat isocyanate dapat menyebar dan berpenetrasi lebih merata dan lebih dalam, yang semua itu akan berimplikasi pada terjadinya proses pemadatan yang lebih baik pada saat pengempaan. Dugaan ini selaras dengan pernyataan Surdiding et al. (2007) yang menyatakan bahwa jenis, kekentalan, dan cara pengaplikasian perekat mempengaruhi penyebaran dan penetrasi dari perekat itu sendiri. Sulastiningsih (2005) menyatakan bahwa nilai kerapatan panil bambu lapis akan meningkat seiring dengan semakin baiknya kualitas lapisan perekat dan pemadatan selama pengempaan.

Untuk mengetahui pengaruh model letak sambungan terhadap kerapatan bambu lapis, dilakukan analisis sidik ragam. Hasil analisis sidik ragam disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Analisis sidik ragam kerapatan bambu lapis Sumber

DB JK KT F hit. Pr > F F tabel

Keragaman 0,05 0,01

Model letak

5 0.0045 0.0009 0.75 0.6018tn 3.106 5.064 sambungan

Keterangan :

DB : Derajat Bebas JK : Jumlah Kuadarat KT : Kuadrat Tengah * : nyata ** : sangat nyata tn : tidak nyata

(48)

4.1.2 Kadar Air

[image:48.612.167.508.250.461.2]

Kadar air (moisture content)menunjukkan banyaknya air yang diikat oleh panil bambu lapis terhadap berat kering tanurnya (oven) yang dinyatakan dalam persen. Dari hasil pengujian diperoleh nilai kadar air rata-rata bambu lapis adalah 10,483% dengan nilai kadar air tertinggi terdapat pada Model Sambungan D yaitu sebesar 10,554% dan terendah pada Model Sambungan A sebesar 10,404% yang tidak terpaut jauh dengan kadar air bambu lapis kontrol sebesar 9,930%. Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai kadar air bambu lapis yang dihasilkan cenderung seragam seperti dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Histogram hubungan antara kadar air denngan model letak sambungan.

Berpedoman pada standar SNI yang menyatakan bahwa nilai maksimal kadar air pada kayu lapis struktural adalah 14% maka kadar air semua panil bambu lapis berada dibawah nilai kadar air maksimum yang telah ditentukan. Dengan demikian, panil bambu lapis yang dibuat telah memenuhi standar kadar air kayu lapis. Nilai rata-rata kadar air pada penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Nugraha (2006) yaitu 13,91%.

(49)
[image:49.612.168.507.490.670.2]

Tabel 3 Analisis sidik ragam kadar air bambu lapis Sumber

DB JK KT F hit. Pr > F F tabel

Keragaman 0,05 0,01

Model letak

5 0.000084 0.000017 1.44 0.2799tn 3.106 5.064 sambungan

Keterangan :

DB : Derajat Bebas JK : Jumlah Kuadarat KT : Kuadrat Tengah * : nyata ** : sangat nyata tn : tidak nyata

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa model letak sambungan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air bambu lapis. Hal ini berarti bahwa pada berbagai taraf model letak sambungan yang digunakan memberikan nilai kadar air yang relatif sama.

4.1.3 Daya Serap Air

Daya serap air merupakan sifat fisis yang tidak disyaratkan dalam SNI 01-5008.7-1999, namun daya serap air ini perlu diperhatikan karena merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas bambu lapis. Pengujian daya serap air dilakukan untuk mengetahui ketahanan bambu lapis terhadap air jika digunakan untuk penggunaan eksterior atau penggunaan yang sering berhubungan langsung dengan pengaruh cuaca (kelembaban dan hujan).

(50)

Gambar 7 Histogram hubungan antara daya serap air dengan model letak sambungan

Daya serap air tertinggi terdapat pada model letak sambungan D sebesar 34,457% dan terendah pada model letak sambungan E sebesar 28,370%. Sementara itu, daya serap air pada bambu lapis kontrol adalah 32,470%.

Ditilik dari segi perekat, isocyanate memiliki karakteristik tahan air, cepat mengeras dan cepat matang pada temperatur rendah dan lebih toleran terhadap partikel maupun vinir berkadar air tinggi (Marra, 1992). Sehingga masih tingginya nilai daya serap air diduga bukan karena jenis perekat yang digunakan, melainkan karena kurang meratanya distribusi perekat sehingga perekat tidak melapisi permukaan vinir dengan baik. Hal ini berimplikasi pada tingkat penyerapan air yang lebih banyak pada bagian permukaan yang tidak terlapisi oleh perekat. Fadli (2006) menyebutkan bahwa selain absorbsi bahan baku dan ketahanan perekat terhadap air, faktor yang mempengaruhi bambu lapis terhadap penyerapan air adalah (1) volume ruang kosong yang dapat menampung air diantara anyaman-anyaman bambu, (2) saluran kapiler yang menghubungkan ruang satu dengan ruang kosong yang lain, (3) luas permukaan vinir yang tidak dapat ditutup oleh perekat, dan (4) dalamnya penetrasi perekat terhadap vinir.

[image:50.612.125.513.491.560.2]

Untuk mengetahui pengaruh model letak sambungan terhadap daya serap air maka dilakukan analisis sidik ragam. Hasil analisis sidik ragam disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Analisis sidik ragam daya serap air bambu lapis Sumber

DB JK KT F

hit. Pr > F

F tabel

keragaman 0,05 0,01

Model letak

5 0.007101 0.001420 0.96 0.4799tn 3.106 5.064 sambungan

Keterangan :

DB : Derajat Bebas JK : Jumlah Kuadarat KT : Kuadrat Tengah * : nyata ** : sangat nyata tn : tidak nyata

(51)

4.1.4 Pengembangan Tebal

[image:51.612.166.508.234.425.2]

Nilai pengembangan tebal bambu lapis hasil penelitian berkisar antara 4,703% - 15,389% seperti yang terlihat pada Gambar 8. Pengembangan tebal terendah terdapat pada Model Letak Sambungan C, sedangkan pengembangan tebal bambu lapis tertinggi terdapat pada Model Letak Sambungan D. Sementara itu bambu lapis kontrol memiliki pengembangan tebal 7,888%.

Gambar 8 Histogram hubungan antara pengembangan tebal dengan model letak sambungan

Nilai rata-rata pengembangan tebal pada penelitian ini adalah 8,650%, masih lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai rata-rata pengembangan tebal pada penelitian Nugraha (2006) yang besarnya 14,61% dengan kisaran nilai pengembangan tebal terendah 5,79% dan tertinggi 23,25%.

(52)
[image:52.612.131.514.196.274.2]

Nilai pengembangan tebal yang bervariasi juga menimbulkan pendugaan bahwa model letak sambungan mempengaruhi sifat pengembangan tebal pada bambu lapis. Untuk mengetahui pengaruh model letak sambungan terhadap pengembangan tebal bambu lapis, dilakukan analisis sidik ragam dan hasilnya disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Analisis sidik ragam pengembangan tebal bambu lapis Sumber

DB JK KT F hit. Pr > F F tabel

keragaman 0,05 0,01

Model letak

5 0.020832 0.004166 3.95 0.0237* 3.106 5.064 Sambungan

Keterangan :

DB : Derajat Bebas JK : Jumlah Kuadarat KT : Kuadrat Tengah * : nyata ** : sangat nyata tn : tidak nyata

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa model letak sambungan berpengaruh nyata terhadap pengembangan tebal bambu lapis. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 2) menunjukkan bahwa pengembangan tebal yang dihasilkan pada model D berbeda nyata dengan seluruh model letak sambungan pada bambu lapis dalam penelitian ini. Dari grafik yang tersaji pada Gambar 8 juga terlihat bahwa Model D, yaitu peletakan sambungan yang disusun pada lapisan 1, 3, dan 5 memiliki nilai pengembangan tebal yang paling tinggi. Sementara Model C, yaitu peletakan sambungan yang disusun secara berurutan pada tiga lapisan teratas, memiliki nilai pengembangan tebal yang paling rendah. Sehingga dapat disarankan penggunaan model letak sambungan C untuk mendapatkan nilai pengembangan tebal yang paling baik yaitu pengembangan tebal bambu lapis yang sekecil mungkin.

4.2 Sifat Mekanis Bambu Lapis dari Anyaman Bambu Tali 4.2.1 Keteguhan Patah (Modulus of Rupture/MOR)

(53)
[image:53.612.173.503.137.318.2]

Nilai keteguhan patah bambu lapis dalam penelitian ini berkisar antara 178,098 kg/cm² sampai dengan 753,204 kg/cm² seperti yang terlihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Histogram hubungan antara keteguhan patah dengan model letak sambungan.

Nilai keteguhan patah terendah terdapat pada Model Letak Sambungan A, dimana pada model ini sambungan disusun berurutan pada seluruh lapisan vinir dengan pendugaan bahwa komposisi ini paling lemah sifat mekanisnya. Hasil pengujian keteguhan patah membuktikan bahwa pendugaan tersebut adalah benar. Nilai keteguhan patah tertinggi terdapat pada Model Letak Sambungan B dimana pada model ini sambungan disusun secara berurutan pada dua lapisan teratas dengan asumsi bahwa bekerja gaya tekan pada 2 lapisan teratas dan gaya tarik pada 3 lapisan terbawah, yang, dengan komposisi tersebut diharapkan bambu lapis dapat mencapai kekuatan optimum. Hasil pengujian keteguhan patah menunjukkan bahwa komposisi ini adalah komposisi yang terbaik dipandang dari sifat mekanis keteguhan patahnya. Mekipun demikian, nilai MOR pada Model B masih tertinggal jauh bila dibandingkan dengan nilai MOR bambu lapis kontrol yang sebesar 1475,506 kg/cm2.

(54)
[image:54.612.133.518.176.239.2]

Untuk mengetahui pengaruh model letak sambungan terhadap keteguhan patah bambu lapis, dilakukan analisis sidik ragam dan hasilnya disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Analisis sidik ragam keteguhan patah bambu lapis Sumber

DB JK KT F hit. Pr > F F tabel

keragaman 0,05 0,01

Model letak

5 3297007.52 659401.50 47.43 0.0001** 3.106 5.064

sambungan Keterangan :

DB : Derajat Bebas JK : Jumlah Kuadarat KT : Kuadrat Tengah * : nyata ** : sangat nyata tn : tidak nyata

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa model letak sambungan berpengaruh sangat nyata terhadap keteguhan patah bambu lapis. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 3) menunjukkan bahwa keteguhan patah bambu lapis pada model B berbeda nyata dengan bambu lapis kontrol dimana bambu lapis kontrol adalah yang terbaik; tidak berbeda nyata dengan model D dan E dimana meski tidak berbeda nyata namun nilai keteguhan patah model B adalah yang terbaik bila dibandingkan dengan model D dan E; dan berbeda nyata dengan model C dan A yang nilai keteguhan patahnya menempati urutan dua terbawah. Sehingga untuk mendapatkan bambu lapis dengan nilai keteguhan patah paling mendekati keteguhan patah bambu lapis kontrol, maka disarankan penggunaan model letak sambungan B.

4.2.2 Keteguhan Lentur (Modulus of Elasticity/MOE)

(55)
[image:55.612.166.467.78.243.2]

Gambar 10 Histogram hubungan antara keteguhan lentur dengan model letak sambungan.

Nilai keteguhan lentur terendah terdapat pada Model Letak Sambungan C, dimana peletakan sambungan disusun secara berurutan pada tiga lapisan teratas. Hasil pengujian menunjukkan bahwa bekerjanya gaya tarik pada tiga lapisan teratas dan gaya tekan pada dua lapisan terbawah merupakan komposisi letak sambungan yang paling lemah nilai keteguhn lenturnya. Sementara itu, nilai keteguhan lentur tertinggi terdapat pada Model Letak Sambungan D, dimana peletakan sambungan disusun secara berselang-seling pada lapisan 1, 3, dan 5 yang merupakan adaptasi dari teknik peletakan batu-bata untuk konstruksi bangunan. Hasil pengujian sifat keteguhan lentur ini menunjukkan bahwa komposisi Model D adalah yang terbaik. Meski demikian, nilai MOE pada Model D ini masih tertinggal jauh bila dibandingkan dengan nilai MOE bambu lapis kontrol yang besarnya 68.329 kg/cm².

[image:55.612.127.519.607.674.2]

Untuk mengetahui pengaruh model letak sambungan terhadap keteguhan lentur bambu lapis, dilakukan analisis sidik ragam dan hasilnya disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Analisis sidik ragam keteguhan lentur bambu lapis Sumber

DB JK KT F hit. Pr > F F tabel

keragaman 0,05 0,01

Model letak

5 6711415488 1342283098 8.42 0.0013** 3.106 5.064 sambungan

Keterangan :

(56)

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa model letak sambungan berpengaruh sangat nyata terhadap keteguhan lentur bambu lapis. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 4) menunjukkan bahwa keteguhan lentur yang dihasilkan model D tidak berbeda nyata dengan model B, namun berbeda nyata dengan nilai keteguhan patah bambu lapis kontrol.

Menurut standard SNI, nilai minimum MOE untuk ketebalan bahan kurang dari 6,0 mm adalah 85.000 kg/cm2. Dengan demikian, seluruh nilai MOE pada hasil penelitian ini tidak memenuhi standar yang ada.

4.2.3 Keteguhan Geser Tarik

[image:56.612.167.508.401.602.2]

Keteguhan geser tarik menggambarkan kekuatan daya rekat perekat terhadap bahan yang direkatnya. Rata-rata keteguhan geser tarik bambu lapis pada penelitian ini adalah 11,875 kg/cm2, masih lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Nugraha (2006) yang sebesar 14,800 kg/cm2. Berdasarkan hasil pengujian, nilai keteguhan tarik berkisar antara 0,868 kg/cm² sampai dengan 23,275 kg/cm² seperti dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Histogram hubungan antara keteguhan geser tarik dengan model letak sambungan.

(57)

seluruh lapisan dan telah diduga bahwa komposisi inilah yang kekuatan sifat mekanisnya paling lemah. Keteguhan geser tarik tertinggi terdapat pada Model Letak Sambungan B, dimana peletakan sambungan disusun secara berurutan pada 2 lapisan teratas yang dengan komposisi ini diharapkan bambu lapis dapat mencapai kekuatan optimum. Hasil pengujian keteguhan geser tarik menunjukkan bahwa bekerjanya gaya tarik pada dua lapisan teratas dan gaya tekan pada tiga lapisan terbawah pada Model B merupakan model yang terbaik dipandang dari sifat mekanis keteguhan geser tariknya. Meski demikian, nilai tertinggi yang diperoleh pada Model B masih tertinggal dari nilai keteguhan geser tarik bambu lapis kontrol yang besarnya 34,839 kg/cm2.

Selain dipengaruhi oleh model letak sambungan, nilai keteguhan geser tarik dipengaruhi oleh suhu dan tekanan kempa. Menurut Shields (1970) dalam Nugraha (2006), suhu yang tinggi dapat menggosongkan perekat, hal ini dapat menghilangkan keteguhan rekatnya dan suhu yang rendah merapuhkan perekat sehingga keteguhan rekatnya menurun. Tekanan kempa yang terlalu tinggi akan menghasilkan keteguhan rekat kurang baik karena banyak perekat yang keluar dari garis rekat sehingga jumlah perekat pada garis rekat terlalu sedikit. Tekanan yang terlalu rendah kurang baik karena penembusan perekat kurang dalam, kontak antar permukaan yang direkat kurang rapat.

Nilai minimum keteguhan geser tarik kayu lapis struktural yang disyaratkan SNI adalah 7 kg/cm2. Model B, D, dan E telah melampaui nilai minimum yang disyaratkan, sedangkan Model A dan C tidak memenuhi nilai minimum standar tersebut.

[image:57.612.131.504.603.667.2]

Untuk mengetahui pengaruh model letak sambungan terhadap keteguhan lentur bambu lapis, dilakukan analisis sidik ragam dan hasilnya disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Analisis sidik ragam keteguhan geser tarik bambu lapis Sumber

DB JK KT F hit. Pr > F F tabel

Keragaman 0,05 0,01

Model letak

5 2708.865 541.773 11.31 0.0003** 3.106 5.064 Sambungan

Keterangan :

(58)

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa model letak sambungan berpengaruh sangat nyata terhadap keteguhan geser tarik bambu lapis. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 5) menunjukkan bahwa nilai keteguhan geser tarik model B tidak berbeda nyata dengan keteguhan geser tarik bambu lapis kontrol. Sehingga disarankan menggunakan model letak sambungan B untuk mendapatkan nilai keteguhan geser tarik yang paling baik yaitu yang paling mendekati keteguhan geser tarik bambu lapis kontrol.

4.3 Kualitas Bambu Lapis

Semua bambu lapis yang dibuat dalam penelitian ini memiliki nilai kerapatan, kadar air, dan daya serap air yang cenderung seragam dimana model letak sambungan terbukti tidak berpengaruh nyata terhadap ketiga variabel sifat fisis tersebut. Selanjutnya, penentuan model letak sambungan yang terbaik ditentukan oleh nilai pengembangan tebal, MOE, MOR, dan keteguhan geser tarik. Hal ini karena model letak sambungan terbukti berpengaruh nyata pada nilai keempat variabel tersebut.

Seluruh bambu lapis yang dihasilkan telah memenuhi standar nilai kadar air dan MOR yang disyaratkan dalam SNI; tidak memenuhi standar nilai MOE; dan selain bambu lapis kontrol hanya model B, D, dan E yang memenuhi standar minimum nilai keteguhan geser tarik. Nilai kerapatan bambu lapis hasil penelitian adalah yang tertinggi apabila dibandingkan dengan penelitian serupa yang dilakukan oleh Kliwon (1993) dalam Monalisa (2008), Nugraha (2006), Monalisa (2008), dan Kusuma (2008). Selanjutnya, nilai pengembangan tebal bambu lapis yang lebih rendah daripada pengembangan tebal bambu lapis pada penelitian Nugraha (2006) menunjukkan bahwa nilai pengembangan tebal pada penelitian ini lebih baik daripada pengembangan tebal bambu lapis pada penelitian Nugraha (2006). Daya serap air, meski tidak disyaratkan dalam SNI, hasil pengujian menunjukkan bahwa daya serap air bambu lapis dari anyaman bambu tali dengan perekat isocyanate ini cukup tinggi, meski masih dalam kisaran angka yang umum terjadi pada papan komposit lainnya.

(59)

skala industri dan untuk kepentingan komersil, mengingat bahwa masih ada variabel yang belum bisa dipenuhi nilai standar yang disyaratkan SNI, yaitu nilai MOE dan keteguhan geser tarik.

Meski demikian, hasil pengujian bambu lapis pada penelitian ini menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan hasil penelitian sebelumnya yang juga menggunakan anyaman bambu tali dengan jenis perekat UF dan MF yang dilakukan oleh Nugraha (2006).

(60)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

a. Adanya sambungan tidak mempengaruhi nilai kadar air, kerapatan, dan daya serap air bambu lapis, yang tampak dari nilai hasil pengujian yang relatif seragam antara bambu lapis kontrol dengan bambu lapis yang diberi perlakuan sambungan. Model penyusunan letak sambungan mempengaruhi pengembangan tebal, MOE, MOR, dan keteguhan geser tarik bambu lapis. Hasil pengujian sifat mekanis menunjukkan bahwa tidak satupun bambu lapis yang diberi perlakuan model letak sambungan mengungguli nilai MOE, MOR, dan keteguhan geser tarik bambu lapis kontrol.

b. Model letak sambungan terbaik berdasarkan hasil pengujian sifat fisis mekanis adalah Model B yang memiliki nilai kadar air 10,42%, kerapatan 0,875 g/cm3, daya serap air 30,633%, pengembangan tebal 5,858%, MOE 27.957 kg/cm2, MOR 753,204 kg/cm2, dan keteguhan geser tarik 23,275 kg/cm2..

c. Berdasarkan kualitas fisis mekanisnya, bambu lapis terbaik pada penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk penggunaan meja dekorasi, keranjang ayunan bayi, rak buku, lemari pakaian, lemari sepatu, dan untuk kegunaan struktural lain yang menahan beban tidak lebih dari 41,847 kg (pada bambu lapis berukuran 150 cm x 50 cm).

5.2 Saran

(61)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1977. Beberapa Jenis Bambu. Proyek Sumberdaya Ekonomi. Lembaga Biologi Nasional. Bogor.

Anonim. 2007. The Function of Isocyanate. Ministry of Plantation Industries and Commodities Malaysia.

Dransfield S and Widjaya EA. 1995. Plant Resourch of South East Asia (PROSEA) no. 7 : Bamboo, Bachuys Publisher. Leiden.

Dumanauw JF. 1990. Mengenal Kayu. Penerbit Kanisius. Semarang.

Fadli TM. 2006. Sifat Fisis dan Mekanis Bambu Lapis dari Bambu Andong (Gigantochloa verticillata (Wild.) Munro). Skripsi Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Haygreen JG, Bowyer JL. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu : Suatu Pengantar. Hadikusumo SA. Penerj

Gambar

Tabel 1  Sifat fisis mekanis beberapa jenis bambu di Indonesia
Gambar 1  Gigantochloa apus (J.A & J.H. Schultes) Kurz
Gambar 2. Pola pemotongan sampel untuk pengujian fisis mekanis
Gambar 3.  Pengujian MOE dan MOR
+7

Referensi

Dokumen terkait

Plot of energy digitizer values over time for a return FW signal: characterization of waveform by amplitude (PE) and partial integral of parts including two echoes. The

Untuk mengetahui pengaruh penggunaan ultrasound (us), transcutaneous electrical nerve stimulation (tens) dan terapi latihan pada kodisi medial meniscus tear knee

Berpakaian juga merupakan aktivitas harian yang akan di lakukan anak dan merupakan kemampuan untuk mengurus dan memenuhi kebutuhan diri sendiri yang

Abstract : Dalam persaingan perbankan syariah yang semakin ketat ,makin inovasi produk menjadi kunci penting dalam meningkatkan daya saing dan memacu pertumbuhan

Di dalam mengurai kronologis sajian gending Lengger Dariah, tidak lepas dari struktur sajian semalam suntuk melalui tahapan waktu dan gradasi suasan (karakter bagian) yang

Unsur pokok terdiri dari: sutradara, naskah, pemain (aktor/aktris) dan penonton, sedangkan unsur pendukung pertunjukan meliputi: tata pakaian, set properti, tata musik,

Sungguhpun kajian ini tidak merangkumi semua jenis sekolah di Malaysia, namun kajian ini dapat menggambarkan satu keadaan yang jelas tentang amalan kepimpinan

Aplikasi ini bertujuan untuk memberikan hiburan berupa games kepada user yang menggunakan Komputer yang disajikan dengan menggunakan Java 2 Software Development Kit, dan dapat