• Tidak ada hasil yang ditemukan

Economic and Risk Analysis of Plant Conversion of Rubber to Oil Palm Plantation in Pemayung District Batang Hari Regency Jambi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Economic and Risk Analysis of Plant Conversion of Rubber to Oil Palm Plantation in Pemayung District Batang Hari Regency Jambi"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

I

ACH. F

SEKOL INSTITUT

FIRMAN

LAH PASC T PERTA

BOGO 2014

WAHYU

CASARJA ANIAN BO

OR 4

UDI

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Ekonomi dan Risiko Konversi Tanaman Karet menjadi Kelapa Sawit di Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari Jambi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2014

Ach. Firman Wahyudi

(4)
(5)

Karet menjadi Kelapa Sawit di Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari Jambi. Dibimbing oleh YUSMAN SYAUKAT dan ARIF IMAM SUROSO.

Karet merupakan komoditas strategis hampir di seluruh kabupaten di Provinsi Jambi dan telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Jambi. Sebagai tanaman yang sudah menjadi komoditas unggulan dan sudah mengakar di masyarakat, pemerintah Provinsi Jambi terus berupaya mempertahankan dan memperluas areal perkebunan karet. Namun, belakangan ini banyak perusahaan dan petani karet di Provinsi Jambi mengkonversi lahan tanaman karetnya menjadi kelapa sawit karena dinilai lebih menguntungkan secara ekonomi. Latar belakang penurunan minat petani terhadap tanaman karet disebabkan oleh harga karet yang fluktuatif dan rendahnya produktivitas karet yang disebabkan oleh banyaknya tanaman yang sudah tua, rusak dan tidak produktif, penggunaan bibit yang bukan klon unggul serta kondisi kebun karet yang menyerupai hutan. Keadaan ini mendorong petani untuk mengkonversi lahan tanaman karetnya menjadi kelapa sawit.

Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mengestimasi perkembangan laju konversi lahan tanaman karet di Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari; (2) menghitung keuntungan usahatani karet dan kelapa sawit; (3) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi petani untuk mengkonversi tanaman karet menjadi kelapa sawit; (4) menganalisis risiko produksi dan pendapatan yang dihadapi petani dalam usahatani karet dan kelapa sawit; (5) menentukan proporsi penggunaan lahan yang optimal antara tanaman karet dan kelapa sawit berdasarkan teori risiko portofolio.

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Pemayung, Kabupaten Batang Hari, Provinsi Jambi. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive. Penelitian dilapangan dilaksanakan pada bulan Desember 2012 sampai dengan Maret 2013. Data yang digunakan adalah data time series dan cross section. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh melalui wawancara langsung menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner) dengan petani karet dan petani kelapa sawit yang awalnya adalah petani karet. Selain itu juga digunakan data sekunder yang diperoleh dari Dinas Perkebunan Kabupaten Batang Hari, Kecamatan Pemayung, Bappeda Kabupaten Batang Hari, Kantor penyuluh Pertanian dan Perkebunan, dan BPS.

(6)

Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan secara nyata adalah faktor kendala curahan waktu penyadapan karet yang tinggi, kondisi tanaman karet rusak, serangan hama karet, dan faktor coba-coba. Analisis risiko berdasarkan pendapatan, risiko usahatani spesialisasi karet lebih besar dari kelapa sawit. Selanjutnya berdasarkan analisis risiko portofolio diversifikasi karet dan kelapa sawit, untuk mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi sekaligus meminimalisir risiko pada kegiatan diversifikasi karet dan kelapa sawit, maka petani bisa melakukan kombinasi penggunaan lahan dengan perbandingan fraksi luas lahan 40 persen untuk karet dan 60 persen untuk kelapa sawit.

Perbaikan kualitas karet rakyat dapat dilakukan oleh pemerintah melalui program penyediaan bibit unggul dan insentif finansial seperti kemudahan akses terhadap kredit. Pemerintah Kabupaten Batang Hari juga dapat menyediakan program edukasi dan pelatihan bagi petani agar dapat melakukan diversifikasi karet dan kelapa sawit dengan perbandingan fraksi luas lahan 40 persen untuk karet dan 60 persen untuk kelapa sawit untuk meminimalisir risiko dan meningkatkan pendapatan.

(7)

Rubber to Oil Palm Plantation in Pemayung District Batang Hari Regency Jambi Province. Supervised by YUSMAN SYAUKAT and ARIF IMAM SUROSO.

Rubber is a strategic commodity in almost all of regencies in the province of Jambi and has become a part of culture of Jambi community. For a plant that has become a superior commodity and has been rooted in the community, the government of Jambi province continues expanding and maintaining Rubber cultivation area. However, lately many companies and rubber farmers in Jambi Province converted their rubber crop into oil palm crop as it is considered more profitable economically. The Background of the decline of the interest of the farmers to the rubber crop is caused by the fluctuating prices and low productivity of the rubber, a large amount of rubber plants that are old, damaged and unproductive, the usage of non superior clone seedlings as well as the conditions of the rubber plantation that resembles forest. These conditions encouraged farmers to convert the rubber into oil palm plantation.

Objectives of this research are: (1) to estimate the conversion rate from rubber into oil palm; (2) to evaluate whether economic benefits of oil palm is greater than that of rubber; (3) to identify some factors affecting farmers in converting their commodity; (4) to analyze the risks faced by farmers in implementing such conversion; and (5) to analyze the optimal combination of land use between rubber and oil palm based on portfolio risk theory.

The research was conducted in the District Pemayung, Batang Hari Regency, Province of Jambi. The selection of the study site is purposively. The research was conducted in December 2012 to March 2013. The data used is the time series and cross section data. The type of data used in this study is primary data obtained through interviews using a questionnaire with rubber farmers and oil palm farmers who initially were rubber farmers. It is also used secondary data obtained from Batang Hari Regency Plantation Office, District Pemayung, Bappeda Batang Hari Regency, Office of Agriculture and Plantation Extension, and BPS.

Research results showed the rate of conversion of rubber land in the District Pemayung Batang Hari regency, during period of 2003 to 2011, rubber plant conversion was quite high, achieving about 2,214 hectares (ha). However, there were also a program of new rubber plantation development amounting 1,903 ha in the same period. The net rubber land conversion was only 311 ha in the period of 2003 to 2011.This became evident that there has been a conversion of smallholder rubber in 2003-2011 in District of Pemayung Batang Hari. Based on feasibility analysis, including NPV, IRR, and Net B/C for rubber and oil palm during the period of 25 years, the value of NPV, IRR, and Net B/C oil palm plantation are significantly higher than those of rubber i.e., Rp 52.478.251, 19%, and 2,59 compared to Rp 105.982.309, 29%, and 4,48. Respectively these confirmed our hypothesis that oil palm is financially more beneficial than rubber.

(8)

larger than that of monoculture oil palm. Furthermore, based on analysis of portfolio risk of rubber and oil palm, to get the most optimal combination of land as well as to minimize the risk of the diversified activities of rubber and oil palm, the farmers can use their land for rubber with a proportion of 40 percents and 60 percents for oil palm.

Intension of the local government of Batang Hari in keeping the rubber as farmers’ traditional trees is good, but the problem is: currently it is financially inferior compared to oil palm. This replanting program actually can be justified, since there is a positive trend in the price of rubber product, and its demand is constantly increases over time. To achieve that condition, the government should provide high quality rubber clone and financial incentives, such as access to credit, for this replanting program. Government of Batanghari shall provide education and training program to the farmers to diversify rubber and oil palm farming with a proportion of 40 percents and 60 percents for oil palm to minimize risk and increase farm income.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

(10)
(11)

ACH. FIRMAN WAHYUDI

 

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

Nama : Ach. Firman Wahyudi

NIM : H353110031

Disetujui Oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Yusman Syaukat, MEc Dr Ir Arif Imam Suroso, MSc

Ketua Anggota

Diketahui Oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Ekonomi Pertanian

Dr Ir Sri Hartoyo, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(14)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Tema penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2012 sampai Maret 2013 ini adalah konversi tanaman karet menjadi kelapa sawit, dengan judul tesis Analisis Ekonomi dan Risiko Konversi Tanaman Karet menjadi Kelapa Sawit di Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari Jambi.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Bapak Dr Ir Yusman Syaukat, M.Ec dan Bapak Dr Ir Arif Imam Suroso, M.Sc selaku pembimbing, Bapak Prof Dr Ir Kuntjoro dan Bapak Dr Ir Sri Hartoyo, MS yang telah banyak memberi masukan dan saran dalam penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih penulis haturkan juga kepada istri, anak, Bapak, Ibu, Adik-adik, serta seluruh keluarga dan sahabat atas doa, dukungan, dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2014

(15)

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

1 PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 4

Tujuan Penelitian ... 6

Kegunaan Penelitian ... 7

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 7

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 8

Ekonomi Konversi Lahan ... 8

Konversi Tanaman ... 9

Pendapatan Usahatani ... 10

Kelayakan Finansial ... 10

Konsep Risiko ... 12

Teori Portofolio ... 15

Strategi Pengelolaan Risiko ... 16

Penelitian Terdahulu ... 17

Kerangka Pemikiran ... 19

3 METODE PENELITIAN ... 22

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22

Jenis dan Sumber Data ... 22

Metode Pengambilan Sampel ... 22

Metode Analisis ... 23

4 KONDISI UMUM TEMPAT PENELITIAN ... 31

Kondisi Administratif dan Geografis ... 31

Potensi Perkebunan ... 31

Keragaan Petani Responden ... 32

5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 34

Proses Konversi Tanaman Karet menjadi Kelapa Sawit ... 34

Laju Konversi Lahan Tanaman Karet menjadi Kelapa Sawit ... 35

Analisis Usahatani dan Finansial Karet dan Kelapa sawit ... 36

Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Karet ... 42

Analisis Risiko ... 49

Analisis Risiko Portofolio ... 50

5 SIMPULAN DAN SARAN ... 53

Simpulan ... 53

Saran ... 53

DAFTAR PUSTAKA ... 54

(16)

RIWAYAT HIDUP ... xv

DAFTAR TABEL

1 Pertumbuhan Dan Kontribusi PDB Sektor Pertanian (Di Luar Perikanan Dan

Kehutanan ... 1 2 Perkebunan Karet Di Negara Produsen Utama Dunia Pada Tahun 2008... 2 3 Luas Lahan Perkebunan Karet Dan Kelapa Sawit Indonesia (000 Ha)

Tahun 2000-2010 ... 3 4 Luas Areal Karet Dan Kelapa Sawit Provinsi Jambi Tahun 2005-2011 ... 4 5 Luas Lahan Karet Dan Kelapa Sawit Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi

Tahun 2000-2011 ... 5 6 Keragaan Petani Responden ... 33 7 Distribusi Tahun Konversi Karet Menjadi Kelapa Sawit di Kecamatan

Pemayung Kabupaten Batang Hari... 35 8 Luas Lahan Karet Yang Dikonversi Menjadi Kelapa Sawit di Kecamatan

Pemayung Kabupaten Batang Hari... 35 9 Laju Konversi Lahan Karet Kecamatan Pemayung Tahun 2003-2011 ... 36 10 Rata-Rata Biaya Investasi Usahatani Karet ... 37 11 Rata-Rata Penggunaan Sarana Produksi Pada Usahatani Karet Tahun Ke-1

Sampai Ke-5 Di Lokasi Penelitian Per Hektar ... 38 12 Rata-Rata Penggunaan Sarana Produksi Pada Usahatani Karet Tahun Ke-6

Sampai Tahun Ke-25 Di Lokasi Penelitian Per Hektar ... 39 13 Analisis Keuntungan Usahatani Karet Per Hektar Per Tahun ... 39 14 Rata-Rata Biaya Investasi Usahatani Kelapa Sawit ... 40 15 Rata-Rata Penggunaan Sarana Produksi Pada Usahatani Kelapa Sawit Tahun

Ke-1 Dan Ke-2 Di Lokasi Penelitian Per Hektar ... 41 16 Rata-Rata Penggunaan Sarana Produksi Pada Usahatani Kelapa Sawit Tahun

Ke-3 Sampai Ke-25 di Lokasi Penelitian Per Hektar ... 41 17 Analisis Keuntungan Usahatani Kelapa Sawit Per Hektar Per Tahun ... 42 18 Perbandingan Nilai Keuntungan Terdiskonto Usahatani Karet dan Kelapa

Sawit di Lokasi Penelitian ... 42 19 Hasil Estimasi Koefisien Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi

Lahan ... 43 20 Sebaran dan Proporsi Petani Sampel Berdasarkan Kendala Curahan Waktu

Penyadapan Karet di Lokasi Penelitian ... 44 21 Sebaran dan Proporsi Petani Sampel Berdasarkan Kondisi Tanaman Karet di

Lokasi Penelitian ... 45 22 Sebaran dan Proporsi Petani Sampel Berdasarkan Kendala Hama Tanaman

Karet di Lokasi Penelitian ... 45 23 Sebaran dan Proporsi Petani Sampel Berdasarkan Jumlah Tenaga Kerja

Keluarga di Lokasi Penelitian ... 46 24 Sebaran dan Proporsi Petani Sampel Berdasarkan Pengalaman Usahatani

Karet di Lokasi Penelitian ... 46 25 Sebaran dan Proporsi Petani Sampel Berdasarkan Luas Kepemilikan Lahan di

(17)

Penelitian ... 48 29 Risiko Spesialisasi Karet dan Kelapa Sawit Berdasarkan Pendapatan ... 49 30 Risiko Portofolio Berdasar Pendapatan Kegiatan Diversifikasi Karet dan

Kelapa Sawit ... 51

DAFTAR GAMBAR

1 Hubungan Antara Varian Income dan Expected Income ... 14 2 Kerangka Pikir Penelitian ... 21 3 Peta Lokasi Penelitian ... 22

DAFTAR LAMPIRAN

1 Analisis Cashflow Usahatani Karet dari Tahun ke-0 sampai Tahun ke-25 ... 57 2 Analisis Cashflow Usahatani Kelapa Sawit Tahun ke-0 sampai Tahun ke-25 61 3 Harga TBS Kelapa Sawit Berdasarkan Umur Tanaman per Februari Tahun

2013 ... 65 4 Potensi Produksi Tanaman Kelapa Sawit Menurut Umur Tanaman ... 66

(18)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam pembangunan perekonomian nasional. Hal ini terlihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja, dan kontribusinya terhadap perolehan devisa. Sebagai salah satu penggerak utama perekonomian, pembangunan sektor pertanian setidaknya telah mampu memecahkan masalah masalah sosial ekonomi yang mendasar, khususnya dalam memperluas lapangan kerja, memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, pemerataan pendapatan dan mempercepat pengentasan kemiskinan (Jiaravanon 2007).

Sektor pertanian terbagi ke dalam beberapa subsektor. Salah satunya adalah subsektor tanaman perkebunan. Komoditas perkebunan mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan dan banyak diperlukan oleh pasar domestik dan pasar internasional. Peranan subsektor perkebunan dalam perekonomian nasional adalah melalui kontribusi dalam pendapatan nasional, penyediaan lapangan kerja pertumbuhan ekonomi, sumber devisa, pengentasan kemiskinan, konservasi lingkungan serta penerimaan ekspor dan pajak (Direktorat Jenderal Perkebunan 2008).

Subsektor perkebunan memberikan kontribusi yang paling besar dalam pertumbuhan dan kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) Sektor pertanian (Tabel 1). Perkebunan selama ini memegang peranan yang penting sebagai sumber penerimaan devisa negara. Tahun 2010 devisa dari perkebunan mencapai USD 20 miliar yang berasal dari kelapa sawit USD 15,5 miliar, karet USD 7,8 miliar dan kopi USD1,7 miliar (Direktorat Jenderal Perkebunan 2011).

Tabel 1. Pertumbuhan dan Kontribusi PDB Sektor Pertanian (diluar Perikanan dan Kehutanan) Tahun 2009-2011

Sektor / Sub Sektor

Tahun

2009 (%) 2010 (%) 2011*(%)

Pertumbuhan PDB

- Tanaman Bahan Makanan

3,98 2,86 3,07

4,97 1,81 1,93

- Tanaman Perkebunan 1,84 2,51 6,06

- Peternakan dan Hasilhasilnya 3,45 4,06 4,23

Kontribusi terhadap PDB Nasional 11,34 11,49 11,88

Sumber : BPS, diolah Pusdatin dalam Laporan Kinerja Kementerian Pertanian 2011

(19)

Salah satu komoditas perkebunan unggulan yang dimiliki oleh Indonesia adalah tanaman karet. Karet merupakan salah komoditas ekspor unggulan Indonesia yang mampu memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan devisa negara. Hal tersebut didukung dengan data yang menyatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara penghasil karet nomor tiga di dunia setelah Thailand dan Malaysia (Tabel 2).

Tabel 2. Perkebunan Karet di Negara Produsen Utama Dunia pada Tahun 2008

Negara Luas Kebun Karet (ribu Ha) Pangsa Produksi Dunia (%) Kebun Karet Rakyat (%) Produktivitas (Kg/Ha/Tahun)

India 650,50 8,07 89,86 1.896,48

Indonesia 3.433,89 27,89 85,13 1.004,20

Malaysia 1.247,51 10,26 95,15 1.430,31

Thailand 2.675,66 30,66 95,06 1.076,46

Vietnam 619,34 6,06 49,91 1.660,89

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (2009)

Indonesia merupakan negara dengan luas kebun karet terbesar di dunia, yakni seluas 3.433.000 Ha, dengan rata-rata produktivitas sebesar 1.004 Kg/Ha/Tahun (Tabel 2). Produksi karet nasional Indonesia menempati urutan kedua setelah Thailand, yakni sebesar 27,9 persen dan luas kebun karet rakyat di Indonesia sebesar 85 persen. Berdasarkan kondisi tersebut, Indonesia berpeluang untuk menjadi negara penghasil karet terbesar di dunia karena potensi karet Indonesia lebih besar dibandingkan dengan negara lain dalam hal luas areal penanaman, yakni mencapai lebih dari tiga juta hektar. Namun demikian, pengusahaan karet di Indonesia tidak berarti tanpa masalah. Pada kondisi saat ini, perkebunan karet yang luas ini tidak diimbangi dengan produktivitas yang tinggi.

Produktivitas karet Indonesia secara keseluruhan berkisar 1.004 kilogram per hektar, jauh di bawah Malaysia yang mampu berproduksi 1.430 kilogram per hektar dan Thailand dengan produktivitas 1.076 Kilogram per Hektar (Direktorat Jenderal Perkebunan 2009). Akibat dari rendahnya produktivitas perkebunan karet, yang memiliki persentase penguasaan lahan terbesar, menyebabkan produktivitas tanaman karet Indonesia secara keseluruhan juga menjadi rendah. Hal ini menjadi salah satu penyebab Indonesia belum mampu menjadi produsen karet terbesar di dunia.

(20)

Tabel 3. Luas Lahan dan Pertumbuhan Perkebunan Karet dan Kelapa Sawit

Sumber: Buku Statistik Perkebunan, Direktorat Jenderal Perkebunan (diolah) 2011

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan utama sumber minyak nabati yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Selain sebagai sumber pendapatan bagi jutaan keluarga petani, sumber devisa negara, penyedia lapangan kerja, pemicu dari pertumbuhan sentra-sentra ekonomi baru, kelapa sawit juga berperan dalam mendorong tumbuh dan berkembangnya industri hilir berbasis minyak sawit di Indonesia.

Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit terbesar pertama di dunia sejak tahun 2006 yang sebelumnya dipimpin oleh Malaysia, sedangkan dalam ekspor Indonesia berada pada posisi kedua terbesar setelah Malaysia. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (2009), permintaan domestik terhadap komoditas minyak sawit terus meningkat dari tahun ke tahun. Hingga tahun 2010 diperkirakan kebutuhan minyak sawit mencapai lebih dari 4 juta ton per tahun. Sementara itu, di pasar dunia, dalam dua dekade terakhir kebutuhan terhadap minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya juga semakin meningkat, menggeser kedudukan minyak nabati lain, seperti minyak kedelai, minyak kelapa, dan minyak bunga matahari.

(21)

Potensi ekonomi kelapa sawit yang besar semakin mendorong petani untuk melakukan konversi lahan tanaman karetnya menjadi kelapa sawit. Daulay (2003) mengungkapkan bahwa keuntungan usahatani kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan usahatani karet. Konversi lahan merupakan suatu proses dari penggunaan tertentu dari lahan menjadi penggunaan lain yang dapat bersifat sementara maupun permanen yang dilakukan oleh manusia. Konversi lahan tersebut karena adanya sifat kompetitif hasil dari pilihan manusia. Menurut hukum ekonomi pasar, konversi lahan berlangsung dari aktivitas dengan land rent yang lebih rendah ke aktivitas-aktivitas dengan land rent yang lebih tinggi.

Hal ini sejalan dengan pemikiran Todaro (2000) yang mengungkapkan bahwa pengembangan komoditas pertanian hendaknya memperhatikan beberapa karakter penting antara lain: (1) berorientasi pada permintaan pasar, (2) berdaya saing tinggi baik di pasar domestik maupun pasar internasional, (3) mempunyai pertumbuhan yang nyata, (4) terintegrasi dengan sektor-sektor lainnya, berarti pengembangan produk primer pertanian tidak terlepas dari sektor-sektor perekonomian lainnya guna meningkatkan nilai tambah melalui kaitan ke depan yaitu sektor agroindustri, perdagangan, jasa-jasa dan kaitan ke belakang yaitu industri sebagai input pertanian. Kelapa sawit memenuhi beberapa karakter penting komoditas yang telah diungkapkan.

Rumusan Masalah

Provinsi Jambi merupakan salah satu provinsi yang cukup ekspansif dalam melakukan konversi tanaman perkebunan karet menjadi kelapa sawit. Pada awalnya, komoditas karet merupakan komoditas strategis hampir di seluruh kabupaten di Provinsi Jambi dan telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Jambi. Pemerintah terus berupaya memperluas areal perkebunan karet. Namun, belakangan ini banyak perusahaan dan petani karet di Provinsi Jambi mengkonversi lahan tanaman karetnya menjadi kelapa sawit karena dinilai lebih menguntungkan secara ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan luas areal karet di Provinsi Jambi selama tahun 2005-2011 yang cenderung menurun jika dibandingkan dengan peningkatan luas areal kelapa sawit (Tabel 4).

Tabel 4. Luas Areal Karet dan Kelapa Sawit Provinsi Jambi, tahun 2005-2011

Tahun

2006 433.739 1,06 568.751 40,96

2007 440.809 1,63 448.899 -21,07

2008 442.341 0,35 484.137 7,85

2009 440.866 -0,33 489.384 1,08

2010 555.170 25,93 488.911 -0,10

2011 445.507 -19,75 521.579 6,72

Sumber : Buku Statistik Perkebunan, Direktorat Jenderal Perkebunan (diolah) 2011

(22)

dilihat dari luas areal karet dan kelapa sawit pada tahun 2000-2005 di Kabupaten Batang Hari (Tabel 5). Pemerintah Kabupaten Batang Hari terus berupaya untuk sama-sama meningkatkan liuas areal komoditas karet dan kelapa sawit. Akan tetapi, peningkatan luas areal kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan luas areal karet. Hal ini disebabkan adanya konversi tanaman karet menjadi kelapa sawit yang banyak dilakukan oleh perusahaan dan petani.

Tabel 5. Luas Lahan Karet dan Kelapa Sawit Kabupaten Batang Hari Provinsi Jambi, tahun 2000-2011

Sumber: BPS Kabupaten Batang Hari (diolah) 2012

Latar belakang penurunan minat petani terhadap tanaman karet disebabkan oleh harga karet yang fluktuatif dan rendahnya produktivitas karet yang disebabkan oleh banyaknya tanaman yang sudah tua, rusak dan tidak produktif, penggunaan bibit yang bukan klon unggul serta kondisi kebun karet yang menyerupai hutan. Selain itu, risiko per unit pendapatan usahatani karet lebih tinggi dari kelapa sawit (Ratnawati 1995). Keadaan ini mendorong petani untuk mengkonversi lahan tanaman karetnya menjadi kelapa sawit.

Ada beberapa faktor yang menentukan konversi lahan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu faktor ekonomi, faktor sosial, dan peraturan pertanahan yang ada (Ilham et al. 2005). Berdasarkan kasus-kasus konversi lahan yang ada dapat dikatakan bahwa faktor penarik konversi adalah nilai manfaat yang lebih besar jika lahan diubah fungsinya menjadi penggunaan lain, misalnya dari komoditas karet menjadi kelapa sawit yang lebih menguntungkan dari sisi ekonomi. Hasil Penelitian Daulay (2003) bahwa keuntungan usahatani kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan usahatani karet. Hal inilah yang kemudian mendorong petani untuk mengkonversi tanaman karetnya menjadi kelapa sawit.

(23)

mencoba menanam kelapa sawit karena melihat tetangga atau petani lain yang berhasil menanam kelapa sawit. Proses terjadinya konversi lahan tanaman karet ini dimulai dari pembelian lahan petani oleh pengusaha lokal atau pengusaha luar Provinsi Jambi, kemudian lahan yang di atasnya ada tanaman karet yang sudah tidak produktif akhirnya dikonversi dengan menanam kelapa sawit. Keberhasilan para pengusaha yang menanam kelapa sawit akhirnya mendorong para petani karet mencoba mengkonversi tanaman karetnya menjadi kelapa sawit. Selain itu, adanya kebijakan Pemerintah Daerah yang menjadikan kelapa sawit sebagai komoditas unggulan selain karet, turut mendorong petani untuk menanam kelapa sawit. Hal ini dapat dilihat dari adanya bantuan bibit kelapa sawit dari pemerintah kepada petani sehingga petani semakin terdorong untuk menanam kelapa sawit.

Sebagai usaha pertanian, petani karet dan kelapa sawit dihadapkan pada risiko usahatani, baik risiko produksi maupun risiko pendapatan. Indikasi adanya risiko terlihat dari hasil produksi yang fluktuatif dan tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh petani. Dalam rangka meminimalisir risiko usahatani dan mendapatkan keuntungan yang maksimum, maka petani perlu untuk mengukur risiko yang akan dihadapi baik ketika menanam karet maupun kelapa sawit. Dengan demikian, penelitian tentang analisis ekonomi dan risiko konversi tanaman karet menjadi kelapa sawit menjadi penting dilakukan.

Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana proses dan perkembangan laju konversi lahan tanaman karet di Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari?

2. Benarkah usahatani kelapa sawit lebih menguntungkan dibanding dengan usahatani karet di Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari?

3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi petani untuk mengkonversi tanaman karet menjadi kelapa sawit?

4. Bagaimana risiko yang dihadapi petani ketika menanam tanaman karet dan kelapa sawit?

5. Bagaimana kombinasi penggunaan lahan yang optimal antara tanaman karet dan kelapa sawit berdasarkan teori portofolio?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latarbelakang dan permasalahan di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mengestimasi perkembangan laju konversi lahan tanaman karet di Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari.

2. Menganalisis usahatani karet dan kelapa sawit

3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi petani untuk mengkonversi tanaman karet menjadi kelapa sawit.

4. Menganalisis risiko yang dihadapi petani ketika menanam karet dan kelapa sawit.

(24)

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan keputusan investasi di sektor perkebunan. Selain itu, bagi Pemerintah Kabupaten Batang Hari Provinsi Jambi, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam membuat kebijakan pengelolaan perkebunan sebagai sektor yang sangat penting dan berperan besar dalam perekonomian daerah.

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Sesuai dengan latarbelakang, perumusan masalah, dan tujuan penelitian, maka ruang lingkup penelitian ini adalah analisis ekonomi dan risiko konversi tanaman karet menjadi kelapa sawit di Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari Provinsi Jambi. Tanaman yang menjadi objek penelitian di sini adalah karet dan kelapa sawit yang merupakan komoditas unggulan di Provinsi Jambi. Perhitungan laju konversi lahan tanaman karet di Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari dihitung per tahun untuk memperoleh laju rata-rata dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2011.

Harga yang dipakai dalam penelitian adalah harga komoditas di tingkat petani pada saat penelitian. Biaya tenaga kerja dalam satuan Rp per Ha, adalah jumlah tenaga kerja dalam satuan HOK dikalikan dengan upah harian yang diterima. Biaya sarana produksi dalam satuan Rp per ha, adalah jumlah seluruh sarana produksi yang dibutuhkan dikalikan dengan harganya. Analisis kelayakan karet dan kelapa sawit dihitung selama 25 tahun berdasarkan umur produktif tanaman karet dan kelapa sawit. Analisis kelayakan hanya menggunakan analisis finansial usahatani karet dan kelapa sawit. Analisis risiko usahatani dibatasi hanya pada risiko produksi tanaman karet dan kelapa sawit.

(25)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Ekonomi Konversi Lahan

Sumberdaya lahan sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena sumberdaya lahan merupakan masukan yang diperlukan untuk setiap bentuk aktifitas manusia untuk memenuhi kebutuhannya, seperti untuk pertanian, daerah industri, daerah pemukiman, jalan dan juga tempat rekreasi. Secara umum dapat dikatakan bahwa sumberdaya lahan berkontribusi besar bagi kesejahteraan suatu bangsa (Suparmoko 1997). Lahan merupakan faktor produksi yang mempunyai peranan sangat penting. Hal ini dapat dilihat dari besarnya balas jasa yang diterima dari lahan dibandingkan dengan faktor-faktor produksi lainnya. Selain itu, status penguasaan lahan juga berkaitan dengan keputusan jenis komoditas yang akan diusahakan dan juga berkaitan dengan besar kecilnya bagian yang akan diperoleh dari usahatani yang diusahakan. Lokasi dan akses jalan juga berdampak pada nilai ekonomi lahan pertanian (Mann et al. 2010)

Sebagai salah satu komoditas ekonomi lahan mengalami peningkatan nilai sejalan dengan waktu karena sifat keterbatasannya, apalagi tanah mempunyai manfaat dilihat dari berbagai sudut pandang. Lahan mempunyai nilai keindahan, nilai politik, nilai fisik, nilai sosial, dan nilai spiritual. Nilai-nilai ini dimiliki sumberdaya lahan apabila ia mempunyai manfaat/potensi untuk menghasilkan pendapatan dan kepuasan dimana jumlah yang ditawarkan lebih sedikit daripada permintaannya serta ia mudah untuk ditransfer (Cahyono 1983).

Lahan dapat diartikan sebagai suatu hamparan milik/dikuasai seseorang dan dibatasi oleh penguasaan lahan orang lain ataupun batas-batas alam lainnya seperti sungai, jalan umum, hutan, selokan dan semacamnya. Konversi lahan dapat diartikan sebagai perubahan penggunaan lahan yang dilakukan secara sengaja oleh manusia. Konversi lahan dapat bersifat permanen dan sementara, perubahan penggunaan menjadi kawasan pemukiman atau industri merupakan perubahan yang bersifat permanen, sedangkan perubahan menjadi perkebunan tebu bersifat sementara, karena pada tahun berikutnya dapat digantikan komoditas lainnya. Konversi lahan yang permanen biasanya berdampak lebih besar daripada konversi lahan sementara.

Menurut Manuwoto (1992) secara umum konversi lahan dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya: a) faktor sosial atau kependudukan yang berkaitan erat dengan peruntukan lahan bagi pemukiman, b) Kegiatan ekonomi dan pembangunan, c) perkembangan teknologi. Faktor ini dapat meningkatkan efisiensi pengelolaan lahan sehingga mempercepat proses konversi lahan, dan d) kebijakan pembangunan makro. Kebijakan yang diambil oleh suatu pemerintah akan sangat mempengaruhi seluruh jalannya sistem kehidupan masyarakat dan lingkungannya

(26)

penggunaan lahan non pertanian yang satu ke penggunaan non pertanin lainnya (Harini 2003).

Menurut Hamdan (2012), ada dua faktor yang mempengaruhi petani dalam mengkonversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit, yaitu faktor pendorong (push faktor) dan faktor penarik (pull faktor). Faktor pendorong merupakan faktor yang menjadi penyebab petani meninggalkan usahatani padi sawah, yaitu kendala irigasi, risiko usahatani padi sawah, dan jumlah tenaga kerja keluarga. Faktor penarik (pull faktor) adalah faktor yang menyebabkan petani melakukan konversi padi sawah menjadi kelapa sawit, yaitu tingkat harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, dimana semakin tinggi harga TBS, maka peluang petani melakukan konversi akan lebih besar.

Konversi Tanaman

Produktivitas suatu tanaman pada suatu saat akan mengalami penurunan yang dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah umur tanaman, kondisi tanaman, kesuburan lahan, sistem pengelolaan dan keadaan iklim. Untuk mendapatkan keuntungan maksimum dengan biaya yang seefisien mungkin, perkebunan harus mempunyai program pengelolaan tertentu (Ratnawati 1995).

Setelah mencapai satu siklus penanaman atau karena pertimbangan tertentu maka suatu areal tanaman menjadi tidak produktif lagi dan perlu diganti dengan tanaman baru. Untuk menjaga kelangsungan produksi yang dihasilkan oleh suatu tanaman, biasanya dilakukan beberapa tindakan seperti peremajaan tanaman dan konversi ke tanaman lain. Konversi tanaman perkebunan adalah suatu kegiatan proyek untuk menggantikan tanaman yang sudah rendah produktivitasnya dan tidak ekonomis lagi dengan tanaman baru. Dengan kata lain, konversi tanaman merupakan penanaman baru pada lahan yang tadinya merupakan areal penanaman areal lain.

Tanaman karet mempunyai umur ekonomis antara 25-30 tahun. Kelapa sawit umur ekonomisnya adalah 25 tahun. Apabila tanaman tersebut telah mencapai umur ekonomis maka produktivitasnya menurun dan memerlukan biaya yang tinggi sehingga semakin mengurangi marjin keuntungan, sehingga alternatif untuk melakukan konversi menjadi penting untuk dilaksanakan dalam mendukung produksi dan merupakan upaya yang tepat dalam mencapai alternatif investasi terbaik.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya konversi lahan untuk suatu komoditas, yaitu: (1) faktor ekonomi; (2) faktor sosial; dan (3) peraturan pertanahan yang ada. Faktor ekonomi yang menentukan alih fungsi lahan adalah nilai kompetitif komoditi yang dihasilkan terhadap komoditi lain yang menurun dan adanya peningkatan respon petani atau pengusaha perkebunan terhadap dinamika pasar, lingkungan dan dayasaing usahatani yang pada akhirnya akan merujuk pada tingkat biaya dan pendapatan yang dihasilkan (Ilham et al. 2005).

(27)

biaya produksi. Suatu usahatani dikatakan menguntungkan jika total penerimaan lebih besar dari total biaya produksi (Soekartawi 1995).

Dalam bidang sosial, ada 5 faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan yaitu: perubahan perilaku, hubungan pemilik dengan lahan, pemecahan lahan, pengambilan keputusan, dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat. Dua faktor terakhir berhubungan dengan system pemerintahan. Dengan asumsi pemerintah sebagai pengayom dan abdi masyarakat, seharusnya dapat bertindak sebagai pengendali terjadinya alih fungsi lahan (Ilham et al. 2005). Peraturan pertanahan yang ada berfungsi untuk mengendalikan konversi lahan pertanian ke non pertanian. Pengaturan ini bertujuan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi perkembangan perekonomian pada umumnya.

Pendapatan Usahatani

Usahatani sebagai suatu kegiatan untuk memperoleh produksi di lapangan pertanian, pada akhirnya akan dinilai dari biaya yang dikeluarkan dan penerimaan yang diperoleh. Pendapatan merupakan balas jasa dari kerjasama faktor-faktor produksi. Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya yang telah dikeluarkan (Soekartawi 1995). Besarnya pendapatan yang diterima merupakan balas jasa atas tenaga kerja, modal yang dipakai, dan pengelolaan yang dilakukan. Balas jasa yang diterima pemilik faktor produksi dihitung untuk jangka waktu tertentu misalnya satu musim tanam atau satu tahun.

Pendapatan usahatani yang diterima berbeda untuk setiap orang, perbedaan pendapatan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor ini ada yang masih dapat diubah dalam batas-batas kemampuan petani atau tidak dapat diubah sama sekali. Faktor yang tidak dapat diubah adalah iklim dan jenis tanah. Beberapa faktor yang mempengaruhi pendapatan dan dapat dilakukan perbaikan untuk meningkatkan pendapatan adalah luas lahan usaha, efisiensi kerja, dan efisiensi produksi. Luas rata-rata usahatani di Indonesia amat kecil hal ini merupakan salah satu penghambat untuk mengadakan perubahan dalam memilih jenis tanaman dan menggunakan alat mekanis.

Efisiensi kerja yang merupakan jumlah pekerjaan produktif yang berhasil diselesaikan oleh seorang pekerja. Umumnya makin tinggi efisiensi kerja makin tinggi pendapatan petani. Meningkatkan pendapatan melalui peningkatan efisiensi produksi dapat dilaksanakan dengan perbaikan cara-cara berusahatani, makin tinggi efisiensi produksi maka makin tinggi pendapatan usahatani (Soehardjo dan Patong 1973). Analisis pendapatan usahatani mempunyai kegunaan bagi petani maupun bagi pemilik faktor produksi. Ada dua tujuan utama dari analisis pendapatan usahatani, yaitu menggambarkan keadaan sekarang suatu kegiatan usahatani dan menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan. Analisis pendapatan memberikan bantuan untuk mengukur keberhasilan dari usahatani yang dilakukan.

Kelayakan Finansial

(28)

perbandingan antara pengeluaran dengan pendapatan (revenue earnings), serta waktu yang digunakan untuk mendapatkan hasil (returns). Dalam rangka mengetahui secara komprehensif tentang kinerja layak atau tidaknya suatu aktivitas usahatani karet dan kelapa sawit, maka dikembangkan berbagai kriteria, yang pada dasarnya membandingkan antara biaya dan manfaat atas dasar suatu tingkat harga umum yang menggunakan nilai sekarang (present value) yang telah didiskonto selama umur usahatani karet dan kelapa sawit tersebut. Oleh karena itu akan dipakai cara penilaian dengan mengunakan Discounted Cash Flow Analysis

(DCF) atau Analisis Aliran Kas yang didiskonto (Gittinger 1982). Analisis ini memiliki keunggulan yaitu bahwa uang mempunyai nilai waktu. Perbedaan dengan teknik lain adalah direncanakan untuk menilai harga suatu usahatani karet dan kelapa sawit dengan memperhitungkan unsur waktu kejadian dan besarnya aliran pembayaran tunai (cash flow), di mana biaya dipandang sebagai negative cash flow sedangkan pendapatan/penerimaan sebagai positive cash flow. Sedangkan faktor untuk mengkonversi nilai masa depan ke nilai sekarang disebut

discount rate sehingga discount rate terjadi di mana nilai sekarang dari biaya dan manfaat akan sama dengan IRR. Oleh karena itu dalam menilai kelayakan finansial karet dan kelapa sawit dengan menggunakan discounted cash flow analysis didasarkan atas tiga kriteria (Gittinger 1982), yaitu :

(1) Net Present Value (NPV)

NPV merupakan merupakan nilai sekarang dari suatu usahatani dikurangi dengan biaya sekarang pada tahun tertentu. Seleksi formal terhadap NPV untuk mengukur nilai suatu usahatani bila NPV usahatani bernilai positif bila didiskonto pada Social Opportunity Cost of Capital. Di mana apabila nilai NPV > nol (positif) maka usahatani tersebut diprioritaskan pelaksanaannya. Apabila besarnya NPV sama dengan nol berarti usahatani mengembalikan persis sebesar social opportunity cost of capital. Sedangkan apabila besarnya NPV < nol (negatif) maka sebaiknya usahatani ditolak.

(2) Internal Rate of Return (IRR)

IRR merupakan tingkat suku bunga yang membuat usahatani akan mengembalikan semua investasi selama umur usahatani tersebut. Suatu usahatani akan diterima bila IRR-nya lebih besar dari opportunity cost of capital atau lebih besar dari suku bunga yang didiskonto yang telah ditetapkan, dan sebaliknya usahatani akan ditolak bila nila IRR lebih kecil dari suku bunga. Jika nilai IRR lebih kecil dari nilai suku bunga (i) yang berlaku sebagai social discout rate, maka usahatani tersebut sebaiknya tidak dilaksanakan. Sementara, jika nilai IRR > dari

social discountrate maka usahatani tersebut dapat dilaksanakan. (3) Net Benefit Cost Ratio (B/C ratio)

(29)

Konsep Risiko

Suatu bisnis yang dilakukan oleh para pelaku usaha pasti dihadapkan pada risiko dalam usahanya. Selain risiko, pebisnis dalam melakukan aktivitas bisnisnya dihadapkan oleh suatu ketidakpastian. Terlebih lagi bagi pebisnis yang melakukan usaha di bidang pertanian karena sektor pertanian seringkali dihadapkan pada masalah risiko dan ketidakpastian. Oleh karena itu, para pebisnis biasanya akan menghindar dua hal tersebut. Sebagian besar orang memandang risiko dan ketidakpastian merupakan hal yang sama, namun sebenarnya secara ilmiah, risiko dan ketidakpastian merupakan dua hal yang berbeda.

Menurut Frank Knight dalam Robison dan Barry (1987), risiko adalah peluang dari suatu kejadian yang dapat diperhitungkan dan akan memberikan dampak negatif yang dapat menimbulkan kerugian, sedangkan ketidakpastian adalah peluang dari suatu kejadian yang tidak dapat diperhitungkan oleh pebisnis selaku pengambil keputusan. Harwood et al. (1999) mengartikan risiko sebagai kemungkinan kejadian yang menimbulkan kerugian. Risiko juga dapat diartikan sebagai suatu kondisi adanya kemungkinan deviasi (penyimpangan) terhadap hasil yang diinginkan atau diharapakan. Jika menggunakan bahasa statistik hal ini dapat diartikan menjadi derajat penyimpangan sesuatu nilai di sekitar posisi sentral atau disekitar titik rata-rata. Ketidakpastian memiliki keeratan hubungan dengan risiko. Risiko dapat diartikan sebagai ketidakpastian (risk is uncertainity) yang mungkin melahirkan kerugian.

Debertin (1986) mengatakan bahwa risiko merupakan kondisi dimana peluang terjadinya suatu kejadian sudah dapat diperhitungkan dengan baik oleh pembuat keputusan. Robison dan Barry (1987) menyebutkan ketidakpastian menunjukkan peluang suatu kejadian yang tidak dapat diketahui oleh pembuat keputusan. Peluang kejadian yang tidak diketahui secara kuantitatif dikarenakan tidak ada informasi atau data pendukung untuk menghitung nilai peluangnya. Sehingga selama peluang suatu kejadian tidak dapat diukur maka kejadian tersebut termasuk kedalam kategori ketidakpastian. Risiko sering dikaitkan juga dengan dampak atau akibat dari suatu kejadian yang dirasakan mengandung risiko.

Petani selalu dihadapkan dengan kondisi risiko setiap harinya. Mulai dari cuaca, serangan hama, dan harga input maupun output. Menurut Harwood et al.

(1999), sumber-sumber risiko pertanian dapat diklasifikasikan kedalam lima bagian yaitu:.

1. Risiko pasar yaitu risiko pergerakan harga yang berdampak negatif terhadap perusahaan. Risiko pasar yang lebih dikenal dengan market risk atau price risk

ini merupakan risiko yang terjadi akibat dari tidak stabilnya harga komoditi baik yang digunakan sebagai sumber daya atau input dan output sebagai hasil dari usaha. Namun selain itu risiko pasar juga dipengaruhi oleh penurunan permintaan terhadap output perusahaan, mutu produk yang tidak sesuai, persaingan antar sesama produsen, kegagalan strategi pemasaran, kelemahan daya tawar perusahaan dibandingkan dengan pembeli.

(30)

perubahan cuaca yang tidak sesuai perkiraan, serta serangan hama dan gulma yang tidak terkontrol.

3. Risiko institusi merupakan risiko yang disebabkan oleh perubahan kebijakan-kebijakan makro dan mikro oleh pemerintah atau lembaga pembuat kebijakan-kebijakan dalam bidang pertanian. Perubahan kebijakan ini dapat berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kegiatan usaha perusahaan, contohnya berupa kebijakan harga bibit tanaman, kebijakan harga jual, kebijakan penggunaan pupuk kimia maupun kebijakan ekspor dan impor. 4. Risiko finansial merupakan bentuk-bentuk risiko yang dihadapi perusahaan

terkait dengan bidang keuangan khususnya dalam hal permodalan. Jika perusahaan memiliki modal yang berasal dari pinjaman bank maka akan berhadapan dengan tingkat suku bunga kredit. Selain itu kenaikan Upah Minimum Regional (UMR), piutang hutang yang macet, aliran uang yang rendah juga merupakan faktor-faktor yang menyebabkan perusahaan dihadapkan pada risiko finansial.

5. Risiko sumber daya manusia, yaitu risiko yang dihadapi oleh perusahaan yang berkaitan dengan perilaku manusia dalam melakukan kegiatan usaha. Risiko yang disebabkan oleh sumber daya manusia ini dapat menyebabkan kerugian contohnya ketika melakukan kesalahan pencatatan data, kelalaian dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab, pencurian, rusaknya fasilitas produksi, mogok kerja ataupun meninggalnya tenaga kerja pada saat menjalankan tugas.

Perilaku setiap individu dalam menghadapi risiko berbeda-beda satu sama lain. Terdapat tiga kategori individu dalam menghadapi risiko, yaitu risk averter, risk neutral, dan risk taker. Perilaku individu dalam menghadapi risiko ini dapat dijelaskan dengan teori utilitas seperti terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1 menunjukkan hubungan antara income variance yang merupakan ukuran dari tingkat risiko yang dihadapi, dengan income yang diharapkan

(expected income) yang merupakan ukuran dari tingkat kepuasan pembuat keputusan. Perilaku pembuat keputusan dalam menghadapi risiko tersebut diklasifikan menjadi tiga kategori sebagai berikut:

1. Pembuat keputusan yang takut terhadap risiko (risk averse) yaitu perilaku individu yang takut terhadap risiko, dan cenderung akan menghindari risiko. Kurva risk averse menunjukkan adanya kenaikan income variance yang merupakan ukuran tingkat risiko akan diimbangi dengan menaikkan income

yang diharapkan.

2. Pembuat keputusan yang netral terhadap risiko (risk neutral) menunjukkan adanya kenaikan income variance yang merupakan ukuran tingkat risiko tidak akan diimbangi menaikkan income yang diharapkan. Artinya, jika variance income semakin tinggi, maka expected income akan tetap.

(31)

Gambar 1. Hubungan Antara Varian Income dan Expected Income Sumber : Debertin (1986)

Beberapa hal yang menjadi indikasi adanya risiko dalam kegiatan usaha adalah terdapat variasi, fluktuasi, atau volatilitas pada hasil yang diharapkan oleh pelaku usaha. Contoh-contoh indikasi adanya risiko dalam bisnis antara lain adanya fluktuasi harga output, fluktuasi produksi, atau fluktuasi pendapatan untuk setiap satuan yang sama. Untuk dapat mengukur risiko, maka dilakukan pengukuran terhadap nilai penyimpangan.

Pengukuran risiko menjadi sangat penting dalam tahapan analisis risiko karena tahapan ini dapat menentukan relatifitas penting atau tidaknya risiko tersebut untuk ditangani dan untuk memperoleh informasi yang akan menolong dalam menetapkan kombinasi strategi manajemen risiko. Untuk menentukan banyaknya kejadian yang dianggap berisiko dapat menggunakan konsep perhitungan peluang. Hasil dari perhitungan peluang ini akan menunjukkan seberapa sering perusahaan menghadapi periode atau hasil yang sesuai dengan harapan, melebihi harapan dan tidak sesuai dengan harapan. Pengukuran risiko juga mencakup proses penilaian risiko.

(32)

perhitungan dengan menggunakan koefisien variasi merupakan model yang paling sesuai. Koefisien variasi sudah memperhitungkan antara nilai risiko yang dihadapi sebuah perusahaan dan perbandingannya dengan setiap satu satuan penerimaan (return) yang diperoleh oleh perusahaan. Sehingga pada akhirnya pernyataan yang mengatakan high risk high return’ dapat diuji dan dilihat kebenarannya dalam kasus yang dihadapi perusahaan.

Teori Portofolio

Pelaku usaha mempunyai banyak alternatif dalam melakukan investasi. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan pelaku bisnis dalam menginvestasikan dananya dengan melakukan kombinasi dari beberapa kegiatan usaha atau aset. Kombinasi dari beberapa kegiatan usaha atau aset dinamakan dengan diversifikasi. Teori portofolio merupakan teori yang menjelaskan penyaluran modal ke dalam berbagai macam investasi dengan tujuan menekan risiko. Teori portofolio membahas portofolio yang optimum yaitu portofolio yang memberikan hasil pengembalian tertinggi pada suatu tingkatan risiko tertentu atau tingkat risiko paling rendah dengan suatu hasil tertentu.

Teori portofolio membantu petani dalam pengambilan keputusan mengenai kombinasi investasi usahatani yang paling aman dikaitkan dengan tingkat risiko yang dihadapi. Dasar teori ini adalah pada kenyataannya petani tidak menginvestasikan seluruh dana hanya untuk satu komoditas saja tetapi melakukan diversifikasi dengan tujuan menekan risiko. Fluktuasi tingkat keuntungan akan berkurang karena saling menghilangkan jika memiliki beberapa jenis investasi

Menurut Weston dan Copeland (1992), teori portofolio merupakan teori modern mengenai pengambilan keputusan dalam situasi ketidakpastian, tujuannya adalah untuk memilih kombinasi yang optimal dari usaha-usaha yang dimiliki (portofolio efisien), dalam arti memberikan hasil tertinggi yang mungkin diharapkan bagi setiap tingkat risiko, atau tingkat risiko terendah yang mungkin bagi setiap hasil yang diharapkan.

Menganalisis risiko merupakan tindakan yang penting dalam menjalankan suatu bisnis. Langkah dalam menganalisis risiko adalah menentukan dampak portofolio pada tingkat risiko keseluruhan usaha. Jika pebisnis memiliki banyak investasi lain, maka risiko portofolio merupakan ukuran risiko yang relevan dari dampak portofolio terhadap tingkat risiko keseluruhan investasi. Risiko dalam melakukan investasi selalu dikaitkan dengan tingkat variabilitas return yang dapat diperoleh dari usaha yang dijalankan, risiko portofolio yang digunakan diukur dari distribusi probabilitas tingkat return investasi yang bersangkutan.

Elton dan Gruber (1995), menyatakan bahwa risiko portofolio lebih kompleks dibandingkan dengan risiko pada aset individu, dimana diharapkan salah satu aset memiliki return yang baik ketika aset lain memiliki return yang menurun. Oleh karena itu, dilakukan analisis kombinasi dua aset atau lebih (portofolio) untuk menganalisis risiko kombinasi dari semua aset yang mungkin berisiko dibandingkan dengan individual aset.

(33)

keuntungan yang diharapkan dari masing-masing usaha yang membentuk portofolio tersebut, standar deviasi portofolio lebih kecil dari rata-rata tertimbang sejauh koefisien korelasi antar usaha yang membentuk portofolio tersebut lebih kecil dari satu. Semakin rendah koefisien korelasi, semakin efektif penurunan standar deviasi.

Strategi Pengelolaan Risiko

Petani dapat melakukan beberapa strategi untuk menangani risiko yang dihadapi serta meminimalisir kerugian usahataninya. Menurut Harwood et al.

(1999), beberapa strategi yang dapat dilakukan antara lain : 1. Diversifikasi usaha (enterprise diversification)

Diversifikasi adalah suatu strategi pengelolaan risiko yang sering digunakan yang melibatkan partisipasi lebih dari satu aktivitas. Strategi diversifikasi ini dilakukan dengan alasan bahwa apabila satu unit usaha memiliki hasil yang rendah maka unit-unit usaha yang lain mungkin akan memiliki hasil yang lebih tinggi.

2. Integrasi vertikal (vertical integration)

Integrasi vertikal merupakan salah satu strategi dalam payung koordinasi vertical yang meliputi seluruh cara yang mana output dari satu tahapan produksi dan distribusi ditransfer ke tahapan produksi lain. Dari sisi petani, keputusan untuk melakukan integrasi vertikal tergantung pada banyak faktor, antara lain perubahan keuntungan dengan adanya integrasi vertikal, risiko pada kuantitas dan kualitas pasokan input (atau output) sebelum dan sesudah integrasi vertikal, dan faktor-faktor lainnya.

3. Kontrak produksi (production contract)

Kontrak produksi ini biasanya menetapkan dengan rinci suplai input produksi oleh pembeli, kualitas dan kuantitas komoditi tertentu yang akan diproduksi, dan kompensasi yang akan dibayarkan kepada petani.

4. Kontrak pemasaran (marketing contract)

Kontrak pemasaran berisikan perjanjian, baik secara tertulis maupun lisan, antara pedagang dan produsen tentang penetapan harga dan penjualan suatu komoditi sebelum panen atau sebelum komoditi siap dipasarkan. Kepemilikan komoditi saat diproduksi adalah milik petani, termasuk keputusan manajemen, seperti menentukan varietas benih, penggunaan input dan kapan waktunya. 5. Perlindungan nilai (hedging)

Perlindungan nilai dilakukan untuk mengalihkan risiko pada pihak lain yang lebih baik dalam manajemen risikonya melalui transaksi instrumen keuangan. 6. Asuransi (insurance)

(34)

Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian tentang konversi lahan tanaman karet menjadi kelapa sawit antara lain, yaitu Herlina (2002) yang berjudul Analisis Kelayakan Finansial dan Kesempatan Kerja Proyek Konversi Tanaman karet menjadi tanaman Kelapa Sawit pada PTPN VI Kebun Rimbo Satu, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi. Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) menganalisis kelayakan investasi proyek konversi yang akan dilakukan oleh PTPN VI Kebun Rimbo Satu, (2) Membandingkan kelayakan proyek konversi tanaman karet menjadi kelapa sawit dengan proyek peremajaan karet, (3) menganalisis pengaruh proyek ini terhadap kesempatan kerja.

Hasil analisis kelayakan proyek konversi menunjukkan bahwa proyek konversi layak dilaksanakan dan lebih menguntungkan daripada melakukan proyek peremajaan tanaman karet. Hal ini dapat dilihat dari nilai kriteria kelayakan kelapa sawit yang jauh lebih besar dibandingkan dengan proyek peremajaan pada tingkat diskonto 12%, 15%, dan 19%. Nilai Net Present Value

masing-masing adalah Rp. 13.223.833, Rp. 10.054.213, dan Rp. 7.088.325. Nilai Net Benefit Cost Ratio masing-masing 4,03; 3,51; dan 2,89. Sedangkan Internal Rate of Return-nya adalah 51% dengan masa pengembalian investasi 4 tahun 2 bulan. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa proyek konversi ini lebih peka terhadap penurunan produksi dan penurunan harga output daripada kenaikan harga input. Berdasarkan penghitungan switching value diketahui bahwa proyek konversi karet-sawit layak dilaksanakan jika penurunan produksi dan harga output yang terjadi mencapai 44,64% dan kenaikan harga input mencapai 48,31%. Proyek konversi ini menyerap tenaga kerja lebih banyak dibandingkan dengan proyek peremajaan. Proyek konversi membutuhkan 1034,8 hari kerja/ha/tahun dengan nilai efisiensi tenaga kerja Rp. 80.845,8 per hari kerja. Sedangkan tanaman karet membutuhkan 957,2 hari kerja/ha/tahun dengan nilai efisiensi tenaga kerja Rp. 29.221,2. Adanya penyerapan tenaga kerja yang lebih besar ini maka kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar kebun menjadi lebih besar.

Selanjutnya penelitian tentang konversi lahan komoditi karet menjadi komoditi kelapa sawit yang dilakukan oleh Peruhuman Daulay (2003) di Desa Batu Tunggal Kabupaten Labuhan Batu menyatakan bahwa perkembangan konversi dari lahan karet menjadi kelapa sawit di Desa Batu Tunggal diketahui yaitu sebesar 66 % dari luas lahan karet dikonversi menjadi lahan kelapa sawit.

(35)

20 tahun masa tanam atau Rp 2.210.000 (dua juta dua ratus sepuluh ribu rupiah) per ha per tahun. Selanjutnya Faktor-faktor yang motivasi petani mengkonversi lahan karet ke kelapa sawit adalah 70 % didominasi oleh faktor coba-coba mengikuti orang lain, selebihnya disebabkan faktor lain.

Ratnawati (1995), menganalisis kelayakan finansial dan analisis risikoketidakpastian proyek konversi tanaman karet menjadi kelapa sawit di Kebun Bojong Datar PT Perkebunan XI Pandeglang, Jawa Barat. Adapaun tujuan penelitiannya adalah (1) untuk mengetahui kondisi kelayakan finansial proyek konversi, (2) mempelajari tingkat keuntungan dan risiko yang dihadapi perusahaan baik pada spesialisasi karet maupun kelapa sawit, (3) mempelajari tingkat keuntungan dan risiko yang dihadapi pada diversifikasi karet dan kelapa sawit, dan (4) mengetahui kombinasi optimal diversifikasi karet dan kelapa sawit berdasarkan tingkat keuntungan dan risiko yang dihadapi. Untuk menilai kondisi kelayakan proyek konversi karet menjadi kelapa sawit menggunakan alat analisis discounted criterion (NPV, IRR, dan Net B/C Ratio) dan undiscounted criterion (AP dan RRTCI). Analisis risiko-ketidakpastian dilakukan dengan menggunakan ukuran peluang kegagalan diperolehnya titik impas (BEP) dan analisis risiko yang didasarkan pada ukuran statistik rata-rata, ragam, standar deviasi, koefisien variasi dan batas bawah hasil yang paling tinggi. Sedangkan untuk tujuan mengetahui kombinasi optimal dari diversifikasi usaha yang dilakukan, perhitungan didasarkan pada proporsi penggunaan lahan.

Dari hasil penelitian, diketahui bahwa proyek konversi tanaman karet menjadi kelapa sawit layak untuk dilaksanakan dengan NPV sebesar Rp 238.723.938, IRR sebesar 16,34 persen dan net B/C ratio sebesar 1,31. Proyek peremajaan karet tidak layak untuk dilaksanakan nilai NPV negatif sebesar Rp 2.067.647.289, IRR sebesar 4,10 persen dan net B/C ratio sebesar 0,23. Sementara nilai AP untuk kelapa sawit sebesar Rp 216.178.401 per tahun, sedangkan untuk karet adalah sebesar Rp 128.006.559 per tahun. Nilai RRTCI untuk kelapa sawit adalah 25,13 persen dan karet sebesar 10,90 persen. Dilaksanakannya proyek konversi tanaman karet menjadi kelapa sawit ternyata mampu memberi tambahan manfaat terhadap perusahaan, karena nilai NPV tambahan sebesar Rp 2.306.371.710 dengan net B/C ratio sebesar 48,30.

Selanjutnya risiko diperolehnya titik impas untuk investasi pada tanaman karet adalah sebesar 39,74 persen, sedangkan pada kelapa sawit adalah sebesar 17,88 persen. Sementara ketika dihadapkan pada pilihan apakah melakukan spesialisasi karet atau kelapa sawit, maka berdasarkan perhitungan ternyata lebih baik untuk melakukan spesialisasi kelapa sawit. Selain itu, investasi pada kelapa sawit mendatangkan pendapatan bersih rata-rata per tahun sebesar 718.418 lebih besar dari karet, yakni sebesar 189.693 per tahun. Risiko per unit pendapatan karet juga lebih besar yakni sebesar 3,78 sedangkan untuk kelapa sawit adalah 1,09. Dengan demikian kelapa sawit lebih menguntungkan dari pada kelapa sawit.

(36)

Seluma berlangsung pada tahun 2005 sampai 2010 mencapai 3.934 hektar, dari luas lahan sawah 23.936 hektar tahun 2005 menjadi 20.075 hektar tahun 2007. Laju terbesar terjadi tahun 2006 seluas 2.535 hektar kemudian tahun 2007 seluas 1.326 hektar dan tahun 2010 seluas 73 hektar.

Selanjutnya hasil analisis diperoleh nilai land rent dari usahatani padi sawah dengan pola tanam Padi-Padi sebesar Rp 9.826.601/hektar/tahun dan untuk pola Padi-Padi-Palawija sebesar Rp 13.316.038/hektar/tahun. Nilai land rent rata-rata lahan sawah dari kedua pola tanam sebesar Rp 11.571.319/hektar/ tahun. Dengan demikian diperoleh PVNR land rent sebesar Rp 106.587.332/hektar/tahun untuk padi sawah. Nilai land rent komoditas kelapa sawit sebesar Rp 15.533.369/hektar/tahun, sehingga diperoleh nilah PVNR land rent sebesar Rp 118.195.250/hektar untuk kelapa sawit. Nilai PNVR land rent kelapa sawit 10,89% lebih tinggi dibandingkan padi sawah. Bardasarkan nilai land rent dari dari aktivitas usahatani kedua komoditas diperoleh indeks tingkat kesejahteraan petani sebesar 0,58 untuk usahatani padi dan 0,78 untuk kelapa sawit, artinya pengelolaan masing-masing komoditas pada luasan 1 hektar belum mampu mensejahterakan petani. Solusi untuk tujuan kesejahteraan petani adalah petani harus melakukan diversifikasi usahatani, termasuk salah satunya padi dan kelapa sawit.

Faktor pendorong (push faktor) konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit adalah kendala irigasi, Resiko usahatani padi sawah, dan jumlah tenaga kerja keluarga. Faktor kendala irigasi dan risiko usahatani padi berpengaruh positif terhadap kecenderungan konversi lahan, artinya peluang untuk mengkonversi lahan lebih besar dibandingkan tidak mengkonversi jika ada kendala irigasi dan risiko usahatani yang semakin tinggi. Variabel jumlah tenaga kerja keluarga berpengaruh negatif, artinya peluang mengkonversi lahan akan semakin kecil jika suatu keluarga memiliki tenaga kerja cukup untuk mengelola usahataninya. Pull faktor konversi lahan adalah tingkat harga tandan buah segar kelapa sawit, variabel ini berpengaruh positif pada selang kepercayaan 10% artinya kenaikkan harga TBS menyebabkan meningkatnya kecenderungan petani untuk mengkonversi lahan sawah.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah pada objek analisis. Penelitian ini menganalisis konversi tanaman karet menjadi kelapa sawit pada perkebunan rakyat sedangkan penelitian lainnya umumnya mengkaji perkebunan besar. Kajian tentang konversi umumnya berupa perubahan fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian atau dari sawah ke perkebunan, sedangkan penelitian ini mengkaji konversi komoditas pada suatu lahan tertentu. Aspek yang dibahas dalam penelitian ini selain dari laju konversi, kelayakan usahatani, dan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi, juga dibahas tentang risiko spesialisasi karet atau kelapa sawit dan risiko portofolio sehingga petani dan pemerintah bisa merencanakan pengelolaan perkebunan dilihat dari berbagai aspek dalam kerangka menjadikan perkebunan yang berkelanjutan.

Kerangka Pemikiran

(37)

perkebunan di Kabupaten Batang Hari adalah karet dan kelapa sawit. Karet sebagai komoditas unggulan yang telah ditanam secara turun temurun oleh masyarakat memiliki banyak masalah, salah satunya adalah rendahnya produktivitas. Rendahnya produktivitas tanaman karet ini disebabkan oleh banyaknya tanaman yang sudah tua, rusak dan tidak produktif, penggunaan bibit yang bukan klon unggul serta kondisi kebun karet yang menyerupai hutan sehingga menyebabkan rendahnya pendapatan petani.

Petani akan selalu berusaha untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar dari kegiatan usahataninya, salah satu usaha yang dilakukan yaitu dengan melakukan konversi tanaman karet menjadi kelapa sawit. Hal ini didasari oleh tanaman karet yang berada di Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari adalah tanaman tua, panen perdana karet lama yaitu sekitar 7-8 tahun, tanaman karet rentan terhadap serangan hama penyakit, dan frekuensi panen/ sadap harian yang ternyata cukup memberatkan petani karet.

Daya tarik kelapa sawit yang akhirnya membuat petani mengkonversi tanaman karetnya menjadi kelapa sawit adalah tanaman kelapa sawit memiliki produktivitas yang lebih tinggi, penen perdana cepat, tahan terhadap penyakit, dan frekuensi panen dua mingguan. Petani yang ingin meningkatkan pendapatannya akhirnya mengkonversi tanaman karetnya menjadi kelapa sawit.

Keputusan petani dalam melakukan konversi tanaman perkebunan karetnya menjadi kelapa sawit mengindikasikan adanya peningkatan pendapatan yang akan diperolehnya. Penilaian tersebut belum tentu benar karena pendapatan usahatani yang diperolehnya bisa saja lebih rendah dari yang diharapkan karena adanya risiko yang dihadapi oleh petani baik berupa risiko produksi, harga, dan risiko pendapatan.

Penelitian tentang Analisis Ekonomi dan Risiko Konversi Tanaman Perkebunan Karet menjadi Kelapa sawit di Kecamatan Pemayung, Kabupaten Batang Hari, Provinsi Jambi ini menggunakan kerangka analisis ekonomi konversi lahan ntuk mengestimasi laju konversi lahan karet di Kabupaten Batang Hari. Estimasi laju konversi tersebut dilakukan dengan menggunakan analisis tabulasi terhadap data perubahan penggunaan lahan yang diperoleh dari hasil wawancara dan kuisioner, maupun dari Dinas Perkebunan Kabupaten Batang Hari. Pendapatan usahatani karet dan kelapa sawit diestimasi melalui analisis usahatani dan kelayakan finansial. Melalui alat analisis tersebut dapat diketahui tingkat penerimaan dan keuntungan petani sehingga dapat menjadi salah satu acuan dalam menentukan pengelolaan perkebunan di Batang Hari Jambi.

Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi petani untuk mengkonversi lahan tanaman karet menjadi kelapa sawit dilakukan dengan analisis regresi logistik dengan respon yang bersifat kualitatif pada variabel dependen. Tujuan dari model regresi dengan respon kualitatif pada variabel dependen adalah untuk menentukan probabilitas individu dengan pendapat yang dimiliki dalam keputusan yang bersifat kualitatif. Pendekatan yang digunakan untuk mengestimasi model variabel dependen pada penelitian ini adalah model logit.

(38)

Penyimpangan dalam hal ini diartikan sebagai selisih antara target atau harapan perusahaan dengan realita yang diterima. Bentuk-bentuk alat ukur yang digunakan adalah instrumen dasar dalam ilmu statistik yaitu: ragam (variance), simpangan baku (standard deviation), dan koefisien variasi (coefficient variation). Ukuran-ukuran simpangan ini juga dibantu oleh alat ukur lainnya yaitu perhitungan peluang dan expected returnKegiatan usaha diversifikasi merupakan salah satu

upaya untuk meminimalisasi risiko yang dihadapi. Pada kenyataannya, petani tidak mengkonversi seluruh tanaman karetnya, melainkan hanya sebagian dari lahannya yang dikonversi menjadi kelapa sawit. Hal ini dilakukan oleh petani untuk meminimalisir risiko dari kegiatan usahataninya. Dalam rangka mengukur risiko portofolio dapat dilakukan dengan menghitung variance gabungan dari beberapa kegiatan usaha dalam hal ini kombinasi antara karet dan kelapa sawit.

Berdasarkan hasil analisis terhadap berbagai aspek permasalahan yang diteliti dalam konversi tanaman karet menjadi kelapa sawit di Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari Jambi ini, maka dapat disusun kebijakan pengelolaan tanaman perkebunan di Kecamatan Pemayung, Kabupaten Batang Hari, Jambi. Adapun kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.

(39)

3 METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Pemayung, Kabupaten Batang Hari, Provinsi Jambi (Gambar 3). Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive, dengan alasan Provinsi Jambi merupakan salah satu provinsi penghasil karet yang dalam beberapa tahun terakhir ini banyak terjadi konversi tanaman karet menjadi kelapa sawit. Penelitian di lapangan dilaksanakan pada bulan Desember 2012 sampai dengan Maret 2013.

Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan adalah data time series dan cross section. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh melalui wawancara langsung menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner) dengan petani karet dan petani kelapa sawit yang awalnya adalah petani karet. Selain itu juga digunakan data sekunder yang diperoleh dari Dinas Perkebunan Kabupaten Batang Hari, Kecamatan Pemayung, Bappeda Kabupaten Batang Hari, Kantor penyuluh Pertanian dan Perkebunan, dan BPS.

Metode Pengambilan Sampel

Pemilihan responden dalam penelitian ini dilakukan secara purposive

(40)

masyarakat dan petugas lapangan, sehingga diperoleh total populasi sebanyak 107 orang yang terdiri dari 67 petani kelapa sawit ditambah petani karet sebanyak 40 orang, selanjutnya seluruh populasi menjadi sampel dalam penelitian ini. Responden yang digunakan berasal dari beberapa desa di Kecamatan Pemayung, yaitu Desa/Kelurahan Jembatan mas (24 orang), Tebing Tinggi (4 orang), Simpang Kubu Kandang (6 orang), Kuap (6 orang), Awin (7 orang), Serasah (13 orang), Pulau Betung (7 orang), Ture (4 orang), Lubuk Ruso (3 orang), Teluk (13 orang), Kaos (14 orang), dan Teluk Ketapang (6 orang). Desa-desa tersebut merupakan desa yang sebagian besar penduduknya adalah petani karet yang melakukan konversi tanaman karet menjadi kelapa sawit.

Metode Analisis

Analisis data dilakukan dengan cara mengolah data yang didapat untuk mencapai tujuan yang dibangun dalam penelitian ini. Adapun analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

Analisis Laju Konversi Lahan Karet

Analisis ini menggunakan data yang bersumber dari publikasi BPS deret waktu tahun 2003-2011. Konversi lahan didefinisikan sebagai konversi lahan neto (Ilham et al. 2005 ). Secara matematika dapat ditulis sebagai berikut:

Keterangan:

Lt = Luas lahan karet tahun t ( hektar)

Ct = Pencetakan lahan karet baru (hektar)

At = Lahan karet yang dikonversi (hektar)

Lt-1= Luas lahan karet tahun sebelumnya (hektar)

Luas lahan karet tahun t akan mengalami peningkatan jika luas pencetakan karet baru lebih besar dari luas lahan karet yang dikonversi menjadi penggunaan selain karet (Ct > At) atau hanya dilakukan pencetakan lahan karet baru.

Sebaliknya jika konversi lahan karet lebih besar dari pencetakan lahan karet baru (Ct < At) atau hanya terjadi konversi lahan karet maka luas lahan karet pada tahun t akan mengalami penurunan.

Analisis Pendapatan Usahatani

Analisis pendapatan dalam kegiatan usahatani ini didukung oleh data dalam penerimaan usahatani, kemudian dianalisis tingkat pendapatan yang diperoleh dengan mempertimbangkan besaran penerimaan dan biaya. Penerimaan usahatani pada dasarnya merupakan perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual yang ada, secara matematik dapat dirumuskan sebagai berikut:

TR = Qy . Py

TC = TFC + TVC

(41)

Dimana:

TR = Penerimaan Total (Rp) Qy = Jumlah output (Kg)

Penerimaan usahatani merupakan nilai produksi yang diperoleh oleh produk total dikalikan dengan harga jual di tingkat petani. Jumlah produksi total menggambarkan hasil penjualan produk dan hasil penjualan produk sampingan. Biaya dalam usahatani dibedakan menjadi dua, yaitu biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai merupakan pengeluaran tunai yang dikeluarkan petani untuk pembelian sarana produksi. Biaya tunai dapat dikelompokkan menjadi biaya tetap dan biaya variable. Biaya tetap adalah biaya yang sifatnya tidak dipengaruhi besarnya produksi dan sifat penggunaannya tidak habis pakai dalam satu kali proses produksi. Biaya tetap terdiri dari pajak, bunga pinjaman, dan sewa lahan. Biaya variable merupakan biaya yang berhhubungan langsung dengan jumlah produksi, seperti biaya pembelian bibit, pupuk, obat-obatan, dan upah tenaga kerja. Biaya yang diperhitungkan adalah biaya yang dibebankan pada usahatani untuk penggunaan tenaga kerja dalam keluarga dan penyusutan alat-alat. Biaya ini digunakan untuk menghitung pendapatan kerja petani jika biaya modal, sewa lahan, dan nilai tenaga kerja dalam keluarga diperhitungkan.

Setelah besarnya penerimaan dan biaya di analisis, maka pada tahap selanjutnya akan di analisis tingkat pendapatan yang diperoleh. Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan dan biaya (Soekartawi 1995). Menurut Soekartawi (1995), terdapat banyak manfaat yang dapat diperoleh dari analisis usahatani, diantaranya adalah:

a) Data produktivitas dapat dipakai sebagai ukuran apakah produktivitas yang diperoleh itu sudah cukup tinggi, sedang atau masih rendah.

b) Data pendapatan usahatani dapat dipakai sebagai ukuran untuk melihat apakah usahatani itu menguntungkan atau merugikan dan sampai seberapa besar keuntungan atau kerugian tersebut.

c) Data sebaran penggunaan input dapat dipakai untuk memberikan informasi bagaimana alokasi input dan berapa besar biaya yang di alokasikan pada masing-masing input.

Analisis Kelayakan Finansial

Analisis kelayakan finansial dilakukan untuk melihat secara keseluruhan investasi yang dimiliki oleh petani dalam kegiatan usahatani karet dan kelapa sawit. Dalam analisis kelayakan finansial, dibutuhkan data arus penerimaan dan pengeluaran usahatani karet dan kelapa sawit sampai dengan berakhir periode penilaian. Data tersebut dibutuhkan untuk mengetahui pendapatan bersih pada usahatani karet dan kelapa sawit. Arus penerimaan dan pengeluaran disajikan dalam bentuk cashflow.

Gambar

Tabel 1. Pertumbuhan dan Kontribusi PDB Sektor Pertanian (diluar Perikanan dan
Tabel 3. Luas Lahan dan Pertumbuhan Perkebunan Karet dan Kelapa Sawit Indonesia Tahun 2000-2010
Tabel 4. Luas Areal Karet dan Kelapa Sawit Provinsi Jambi, tahun 2005-2011
Tabel 5. Luas Lahan Karet dan Kelapa Sawit Kabupaten Batang Hari Provinsi Jambi, tahun 2000-2011
+5

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan persentase kecacingan pada anak yang atopi di SDN Kampung Baru, Kecamatan Kusan Hilir, Kabupaten Tanah Butnbu, Kalimantan Selatan

Implementasi pengelolaan nilai-nilai karakter di SMP Negeri 1 Purwantoro:Dalam mengembangkan nilai-nilai karakter terdapat perencanaan dan pelaksanaan maka dalam hal ini

Dalam catatan sejarah, Kerajaan Majapahit dikenal sebagai kerajaan besar yang mampu menguasai hampir seluruh pulau di Nusantara, melampaui luas wilayah Negara

uang Rp,2.000 dan hukuman beres beres rumah semuanya  Mencuci pakaian dilakukan oleh masing masing dilakukan saat mandi  Pekerjaan beres beres rumah dilakukan secara bersama

Kerupuk atau krupuk adalah makanan ringan yang dibuat dari adonan tepung tapiokadicampur bahan perasa seperti udang atau ikan.. Kerupuk dibuat dengan mengukus

Secara umum dari masing-masing pengujian baik pengujian dengan bahan pencemar minyak berat ataupun oli bekas, terdapat penurunan TPH yang disebabkan aktivitas bakteri

2016.. Usulan Perbaikan..., Shuhuf, Fakultas Teknik 2016.. Fajar Surya Wisesa Tbk merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan limbah kertas menjadi barang

Penelitian ini bertuujuan dihasilkannya media pembelajaran berbasis mobile learning yang dapat membantu siswa dalam memahami materi pembelajaran mata pelajaran