• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Persepsi Terhadap Peran Ayah dengan harga diri remaja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Persepsi Terhadap Peran Ayah dengan harga diri remaja"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PERSEPSI TERHADAP PERAN AYAH

DENGAN HARGA DIRI REMAJA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

RENNY TANIA

041301084

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

1. Manfaat teoritis7 2. Manfaat praktis7 E. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II LANDASAN TEORI ... 10

A. Harga Diri ... 10

1. Definisi harga diri ... 10

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri ... 11

3. Ciri-ciri harga diri tinggi dan rendah ... 14

4. Aspek-aspek harga diri ... 17

5. Pembentukan harga diri... 17

B. Peran Ayah ... 20

1. Definisi peran ayah ... 20

(3)

3. Aspek-aspek peran ayah ... 23

4. Persepsi terhadap peran ayah ... 26

C. Remaja ... 27

1. Definisi remaja ... 27

2. Tugas perkembangan remaja... 27

3. Ciri-ciri masa remaja ... 28

D. Hubungan antara Persepsi terhadap Peran Ayah dengan Harga diri Remaja ... 29

E. Hipotesis Penelitian ... 35

BAB III METODE PENELITIAN ... 36

A. Identifikasi Variabel Penelitan ... 36

B Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 36

C. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ... 38

1. Populasi ... 38

2. Sampel teknik pengambilan sampel ... 39

D. Metode Pengambilan Data ... 40

1. Skala persepsi terhadap peran ayah... 40

2. Skala harga diri ... 42

E. Validitas, Uji Daya Beda dan Reliabilitas Alat ukur ... 43

1. Validitas alat ukur. ... 43

2. Uji daya beda ... 45

3. Uji Reliabilitas ... 46

(4)

1. Skala persepsi teradap peran ayah... 47

2. Skala Harga Diri ... 51

G. Prosedur Penelitian ... 52

1. Tahap persiapan penelitian ... 52

2. Pelaksanaan penelitian ... 54

3. Tahap pengolahan data ... 54

G. Metode analisis data ... 54

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 56

A. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 56

1. Jenis kelamin subjek penelitian ... 56

2. Usia subjek penelitian ... 57

3. Kelas subjek penelitian ... 57

B. Hasil Penelitian ... 58

1. Kategorisasi data penelitian ... 58

2. Hasil uji asumsi ... 61

3. Hasil utama penelitian ... 63

4. Hasil tambahan ... 64

C. Pembahasan ... 64

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 66

A. Kesimpulan ... 66

B. Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 69

(5)

ABSTRAK

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Desember 2008 Renny Tania : 041301084

Hubungan Persepsi Terhadap Peran Ayah dengan harga diri remaja xii + 96 halaman + 21 tabel + 2 lampiran

Bibliografi 62 (1986-2006)

Masalah kesehatan adalah masalah utama yang sering dihadapi ketika kita memasuki masa lanjut usia. Salah satu penyakit yang sering menyebabkan kematian adalah penyakit jantung koroner. Penderita Penyakit Jantung Koroner (PJK) umumnya merasa kesal (Soeharto, 2000), dan memiliki level kecemasan dan depresi yang lebih tinggi hingga sampai satu atau dua tahun kemudian (Sarafino, 2006). Oleh sebab itu, sebagai lansia yang menderita PJK, diharapkan untuk mampu meminimalisir perasaan atau emosi-emosi negatif yang dirasakan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menangani masalah ini adalah dengan meningkatkan kemampuan regulasi emosi. Menurut Krause (dalam Coon, 2005), salah satu faktor yang mempengaruhi regulasi emosi seseorang adalah religiusitas. Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak terlalu berlebihan bila dibandingkan dengan orang yang tingkat religiusitasnya lebih rendah. Religiusitas sendiri memiliki lima dimensi dan salah satunya adalah praktek agama menyangkut pelaksanaan shalat, puasa, zakat, haji, membaca Al’Quran.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara keteraturan shalat lima waktu dan regulasi emosi pada lansia penderita jantung koroner. Populasi penelitian ini adalah lansia penderita jantung koroner yang ada di Medan. Penelitian ini merupakan penelitian populasi dimana populasinya terdiri dari 50 orang lansia penderita jantung koroner. Alat ukur pada penelitian ini adalah Skala Keteraturan Shalat Lima Waktu dan Skala Regulasi Emosi yang diadaptasi oleh peneliti berdasarkan teori keteraturan shalat lima waktu oleh Adi (1994) dan teori regulasi emosi oleh Gratz & Roemer (2004), dimana masing-masing skala memiliki reliabilitas sebesar 0.947 dan 0.849. Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan data sampel dengan incidental sampling.

Hasil analisa data penelitian dengan menggunakan Pearson Product Moment

menunjukkan koefisien korelasi R = 0,387 dengan taraf signifikansi p<0.05 (p = 0.03), sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan yang signifikan antara keteraturan shalat lima waktu dengan regulasi emosi pada lansia penderita jantung koroner di kota Medan

(6)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahim, segala puji dan syukur penlis ucapkan ke hadirat Allahu Rabbi, yang tak pernah jemu melimpahkan bilangan cinta-Nya yang tak berbalas, belaian kasih sayang-Nya, atas semua karunia, kenikmatan, keistiqomahan, kesehatan, waktu dan kesempatan yang telah diberikan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana jenjang strata satu (S-1) di Fakultas Psikologi Sumatera Utara dengan judul : Hubungan Keteraturan Shalat Lima Waktu dengan Kemampuan Regulasi Emosi Pada Lansia Penderita Jantung Koroner. Shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW, semoga kesabaran beliau dapat menjadi contoh teladan dalam perjalanan skripsi ini dan kerja-kerja selanjutnya.

Terutama sekali peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtua peneliti ayahanda Azwar Mahyuzar, S.H. dan ibunda Asiah yang telah memberikan begitu banyak pengorbanan, belaian kasih sayang, motivasi, dan perhatian yang berlimpah sehingga peneliti bisa menyelesaikan skripsi ini. Tiada hal yang lebih indah selain restu dan doa dari Ayah dan Ibunda untuk selalu ada disetiap perjalanan hidup ini. Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada adik-adik peneliti: Ikhwanisita, Ihyazaina, dan Ihyasyafira yang telah memberikan semangat, dukungan yang menjadi penyegaran dan pencerahan disetiap kesunyian malam panjang yang kita lalui.

(7)

1. Bapak Prof. dr. Chaerul Yoel, Sp.A(K) selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Rhodiatul Hasanah Siregar, M.Si, psikolog, sebagai dosen pembimbing akademik, pembimbing skripsi, dan dosen penguji. Terima Kasih atas masukan, nasehat, dan ide-ide kreatif yang ibu berikan selama ini. Semoga Allah membalas segala kebaikan ibu selama ini dengan jannah-Nya.

3. Ibu Arliza J, Lubis, M.Si., psikolog dan Ibu Raras Sutatminingsih, Msi., psikolog yang telah meluangkan waktunya untuk menguji penulis ketika seminar, dan memberikan masukan yang sangat berarti dan bermanfaat untuk penelitian penulis disela-sela kesibukannya. Semoga Allah selalu melimpahkan bilangan cinta, rahmat dan kasih sayang-Nya yang tak berbalas kepada ibu.

4. Kepada dr. Zulfikri M.SpJP dan putrinya Dika, terima kasih banyak atas bantuanya untuk mencarikan sampel penelitian, semoga Allah membalas segala kebaikannya.

5. Kakanda Sutriyani, S.Psi, Dinda Septiani, S.Psi, Yenni Marito, S.psi, Inanda, S.Psi Eka Diyah Ardiati, S. Psi, Abangda Ahmad Afandi S.Psi, Sahrun Joni S.Psi, yang telah bersedia memberikan bantuan, masukan dan saran-sarannya.

(8)

7. Kepada sahabat sejatiku Anggita Zoraya Marpaung, Dhadek keswary Bangun, Cheria Pratigina, Zulaika, Afridayani Afnel, Fenny Pratiwi, Eka Novita Sari ( semoga allah melimpahkan keberkahan-Nya disetiap perjalanan persahabatan kita selama ini). Danke schoon atas segala dukungan, motivasi, nasehat, yang diberikan. Maafkan ana yang sering meninggalkan kebersamaan dengan kalian. 8. Kepada teman-teman seperjuangan, Citra Swastika, Sukmaya Izzati, Kerry Desiana, Mutia Khairani, Laila Maya, Ari Sinta, Sonya Inggit, Sonya P. Melinda, Nurhadi Nainggolan, dan semua teman-teman stambuk 04 yang tak bisa disebutkan satu persatu. Jazakumullah khairon katsiron atas masukan, dan semangatnya. Semoga Allah selalu menyatukan hati-hati kita di jalan dakwah ini,

keep hamasah, Allahu Akbar!!!!

9. Buat Murobbi (MR) yang tidak bisa kusebutkan namanya, dan teman-teman se halaqoh yang senantiasa memberikan semangat, tausiah, doa dan rangkulan sayangnya disaat peneliti merasa sedih, pesimis. Jazakumullah khairon katsiron

untuk semuanya. Semoga Allah mempertemukan kita dalam Jannah-Nya.

10. Buat Adik-adik di Formasi Al-Qalb ( Yefry, Paidi, Aslam, Hans, Ali, Juneidi, Dian, Zulvia, Retno, Rena, Afni, Putri, Fitri, Fira, Nella, Yanda, Suri, Fenny, Minda, Tisa, Dea, Irma, Fida, Noni, Sheila, Tari dan seluruh pengurus ). Buat Adik-adik Mentoring 2006 dan 2007 (Elna, Kiki, Indah, Wira, Dilla, Ina, Lila, Vita, Ririn, Masitah, Intan) Jazakumullah khairon katsiron, teruslah berjuang hingga Allah tak segan membeli jiwa-jiwa kalian dengan harumnya Syurga.

(9)

ditengah kesibukan agenda kita ana tetap bisa menyelesaikan skripsi ini. Afwan Jiddan ikhwatifillah jika ada amanah yang tidak terselesaikan dengan baik ataupun ada yang ditinggalkan (khususnya kaderisasi). Mari mantapkan hati tuk raih ridho Illahi bersama KAMMI.

12. Buat teman-teman spesial yang hadir membantu dan menyemangati peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini, sahabat baruku Nurastifa S.sos (yang menemani disela-sela gelisah), dr Eko Puji Arianto (yang menemani mencari bahan di UNPAD), Ardian Dan Devi Prasetia (yang menemani mencari bahan di UI) teman-teman SMU Negeri I Binjai, teman-teman di Rumah Zakat, teman-teman seperjuangan di PEMA USU yang terus memperjuangkan haknya, semoga Allah membantu kita Allahu Akbar!!. Jazakumullah khairon katsiron untuk semuanya. 13.Seluruh lansia yang menjadi sampel penelitian peneliti, terima kasih banyak untuk kesediaannya, semoga Allah selalu melimpahkan keberkahanya, melimpahkan rezki dan kesehatan buat kakek dan nenek. Amin.

14.Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara atas segala ilmu dan bantuannya selama masa perkuliahan.

15.Terima kasih juga penulis ucapkan pada semua pihak yang telah memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis sehingga proposal seminar ini dapat terselesaikan.

(10)

kepada Allah penulis berserah diri, semoga proposal skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Amiin.

Medan, Desember 2008

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 10

C. Manfaat Penelitian ... 10

D. Sistematika Penelitian ... 11

BAB II LANDASAN TEORI A. Shalat ... 12

1 Definisi Shalat ... 12

2 Shalat Lima Waktu ... 13

3. Hikmah Shalat ... 13

4. Manfaat Gerakan Shalat ... 17

5. Definisi Keteraturan Shalat ... 20

6. Aspek-aspek Keteraturan Shalat ... 20

7. Aspek-aspek Teraupetik Dalam Ibadah Shalat ... 21

(12)

2. Tugas Perkembangan Lanjut Usia ... 26

3. Beberapa Masalah yang Umum Dialami Oleh Para Lansia ... 28

4. Gambaran Emosi Pada Lansia ... 30

C. Emosi 1. Pengertian Emosi ... 31

2. Jenis-Jenis Emosi ... 32

3. Pengertian Regulasi Emosi ... 35

4. Ciri-Ciri Regulasi Emosi ... 37

5. Aspek-aspek Regulasi Emosi ... 38

6. Strategi Regulasi Emosi ... 39

7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Regulasi Emosi ... 42

D. Jantung Koroner 1. Definisi Jantung Koroner ... 45

2. Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner ... 45

3. Gejala- gejala Utama Penyakit Jantung Koroner ... 52

E. Hubungan Keteraturan Shalat Lima Waktu dengan Regulasi Emosi ... 53

F. kerangka Berfikir ... 56

G. Hipotesa Penelitian ... 57

BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi variabel ... 58

B. Definisi operasional variabel ... 58

(13)

2. Regulasi Emosi ... 60

C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi dan sampel ... 61

2. Metode pengambilan sampel... 62

D. Lokasi Penelitian ... 63

E. Metode Pengumpulan Data 1. Skala Keteraturan Shalat ... 64

2. Skala Regulasi Emosi ... 66

F. Uji Coba Alat Ukur 1. Validitas Alat Ukur ... 68

2. Uji Daya Beda Aitem ... 68

3. Reliabilitas Alat Ukur ... 70

G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian 1. Tahap Persiapan ... 71

2. Tahap Pelaksanaan ... 71

3. Tahap Pengolahan Data ... 72

H. Metode Analisa Data ... 72

BAB IV : ANALISA DAN INTERPRETASI DATA A. Gambaran Subjek Penelitian ... 57

1. Berdasarkan Jenis Kelamin ... 74

(14)

3. Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 75

4. Berdasarkan Lama Menderita Penyakit ... 76

5. Berdasarkan Suku ... 76

B. Hasil Utama Penelitian ... 77

1. Uji Asumsi ... 78

a. Uji Normalitas ... 78

b. Uji Linieritas ... 78

2. Uji Analisa Data ... a. Hubungan Keteraturan Shalat Lima Waktu dengan Regulasi Emosi ... 79

b.Rata-rata empirik dan rata-rata hipotetik ... 79

c. Kategori Keteraturan Shalat Lima Waktu ... 81

d. Kategori Regulasi Emosi ... 82

C. Hasil Tambahan Penelitian ... 1. Hasil Data Tambahan Perbandingan Kemampuan Regulasi Emosi Berdasarkan Jenis Kelamin ... 83

2. Hasil Data Tambahan Perbandingan Kemampuan Regulasi Emosi Berdasarkan usia ... 83

3. Hasil Data Tambahan Perbandingan Kemampuan Regulasi Emosi Berdasarkan suku ... 84

BAB V : KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN A. Kesimpulan ... 85

(15)

C. Saran ...

1. Saran Metodologis ... 90

2. Saran Praktis ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 93

(16)

ABSTRAK

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Desember 2008 Renny Tania : 041301084

Hubungan Persepsi Terhadap Peran Ayah dengan harga diri remaja xii + 96 halaman + 21 tabel + 2 lampiran

Bibliografi 62 (1986-2006)

Masalah kesehatan adalah masalah utama yang sering dihadapi ketika kita memasuki masa lanjut usia. Salah satu penyakit yang sering menyebabkan kematian adalah penyakit jantung koroner. Penderita Penyakit Jantung Koroner (PJK) umumnya merasa kesal (Soeharto, 2000), dan memiliki level kecemasan dan depresi yang lebih tinggi hingga sampai satu atau dua tahun kemudian (Sarafino, 2006). Oleh sebab itu, sebagai lansia yang menderita PJK, diharapkan untuk mampu meminimalisir perasaan atau emosi-emosi negatif yang dirasakan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menangani masalah ini adalah dengan meningkatkan kemampuan regulasi emosi. Menurut Krause (dalam Coon, 2005), salah satu faktor yang mempengaruhi regulasi emosi seseorang adalah religiusitas. Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak terlalu berlebihan bila dibandingkan dengan orang yang tingkat religiusitasnya lebih rendah. Religiusitas sendiri memiliki lima dimensi dan salah satunya adalah praktek agama menyangkut pelaksanaan shalat, puasa, zakat, haji, membaca Al’Quran.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara keteraturan shalat lima waktu dan regulasi emosi pada lansia penderita jantung koroner. Populasi penelitian ini adalah lansia penderita jantung koroner yang ada di Medan. Penelitian ini merupakan penelitian populasi dimana populasinya terdiri dari 50 orang lansia penderita jantung koroner. Alat ukur pada penelitian ini adalah Skala Keteraturan Shalat Lima Waktu dan Skala Regulasi Emosi yang diadaptasi oleh peneliti berdasarkan teori keteraturan shalat lima waktu oleh Adi (1994) dan teori regulasi emosi oleh Gratz & Roemer (2004), dimana masing-masing skala memiliki reliabilitas sebesar 0.947 dan 0.849. Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan data sampel dengan incidental sampling.

Hasil analisa data penelitian dengan menggunakan Pearson Product Moment

menunjukkan koefisien korelasi R = 0,387 dengan taraf signifikansi p<0.05 (p = 0.03), sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan yang signifikan antara keteraturan shalat lima waktu dengan regulasi emosi pada lansia penderita jantung koroner di kota Medan

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masa remaja merupakan periode kehidupan manusia yang selalu menarik untuk dibahas. Masa ini merupakan masa transisi dari masa anak ke masa dewasa, oleh karena itu juga disebut sebagai masa pancaroba yang penuh gejolak dan pemberontakan (Munandar, 1996). Masa yang penuh gejolak dan pemberontakan ini berbagai masalah dan perubahan mulai muncul dari yang bersifat fisik maupun psikis. Masa ini diakui sebagai masa yang penting dalam rentang kehidupan, suatu masa perubahan, usia bermasalah, saat dimana individu mencari identitas dan ambang dewasa. Banyak remaja mengalami kesulitan dengan diri sendiri dan juga dengan orang lain, orangtua, guru, atau orang dewasa lainnya, sering melakukan perbuatan dengan tidak memikirkan akibatnya sampai pelanggaran yang lebih berat seperti mencuri, membunuh, dan pelanggaran hukum lainnya (Papalia, 2001)

Fenomena belakangan ini menunjukkan bahwa cukup banyak remaja yang melakukan pelanggaran. Berdasarkan hasil survei (Haryadi, 2003), 54% remaja mengaku pernah berkelahi, 87% pernah berbohong, 8,9% pernah mencoba narkoba, dan 28% merasa kekerasan sebagai hal yang biasa.

(18)

Ujung Pandang menjelaskan bahwa remaja sudah mulai mengenal tempat maksiat, perilaku minum-minuman keras, merokok, dan narkoba. Haryadi (2003) menambahkan indikasi perilaku remaja bermasalah tersebut telah mengalami percepatan yaitu sudah muncul pada masa remaja awal sekitar usia 11-14 tahun.

Perilaku remaja bermasalah juga sering muncul pada berita-berita di berbagai media seperti televisi, koran, dan radio, akhir-akhir ini banyak diberitakan mengenai remaja yang mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan permasalahannya. Baru-baru ini Fifi Kusrini (14) siswi SMP 10 Bekasi. mengakhiri hidup dengan menggantung dirinya di kamar mandi rumahnya (Astuti, 2007). Kasus-kasus diatas merupakan contoh dari cara-cara tidak realistis yang dilakukan remaja dalam mengatasi persoalan hidup yang mereka hadapi.

Menurut WHO usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi kejadian-kejadian seperti diatas adalah dengan memberikan pendidikan kecakapan hidup. Salah satunya adalah dengan meningkatkan harga diri yang berguna untuk menumbuhkan rasa percaya diri remaja agar remaja yakin dengan kemampuannya, dapat mengendalikan kehidupannya, dan yakin akan kemampuannya mengerjakan apa yang diinginkan, direncanakan serta diharapkannya, sehingga remaja tersebut memiliki harapan yang realistik, dan walaupun harapan tidak tercapai remaja tetap akan positif dan menerima dirinya (Astuti, 2007).

(19)

seseorang sebagai individu. Jika individu merasa bahwa secara keseluruhan dirinya baik, maka ia akan memiliki harga diri yang tinggi (Wayne & Margaret, 2006).

Harga diri adalah evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya yang diekspresikan melalui suatu bentuk sikap dan menunjukkan tingkat dimana individu meyakini dirinya sebagai individu yang mampu, penting, dan berharga (Coopersmith, dalam Berns, 2004).

Harga diri yang tinggi akan membangkitkan rasa percaya diri, ingin tahu, mandiri, percaya pada ide-idenya, menyukai tantangan-tantangan baru dan memprakarsai aktifitas yang baru dengan penuh percaya diri, mendeskripsikan dirinya secara positif dan bangga pada hasil kerjanya, cepat menyesuaikan diri dengan baik, tidak mudah frustasi, gigih dalam mencapai tujuan, dan dapat menerima kritikan. Seseorang yang harga dirinya rendah akan menggambarkan dirinya secara negatif, tidak percaya pada ide-idennya sendiri, kurang percaya diri, kurang bangga pada hasil kerjanya, kelihatan tertekan, duduk memisahkan diri dari anak yang lain, menarik diri, cepat putus asa pada saat frustasi, dan kurang dewasa dalam menghadapi stress (Papalia, Olds & Fieldman, 2001).

(20)

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi harga diri remaja antara lain keluarga, sekolah, teman sebaya, dan masyarakat (Berns, 2004). Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi individu yaitu tempat individu belajar memahami dirinya sendiri. Orangtua sebagai pengendali keluarga, memegang peranan dalam membentuk hubungan keluarga dengan anak-anak mereka. Orangtua merupakan orang yang paling dekat dengan remaja, mengenal keadaan diri remaja, dan sebagai tempat aman bagi remaja untuk berbagi masalah, informasi, dan berbagi kasih sayang (Maharani & Andayani, 2004)

Coopersmith (dalam Berns, 2004) melakukan penelitian tentang peranan orangtua dalam perkembangan harga diri, dan menemukan empat bentuk perilaku yang dianggap penting bagi perkembangan harga diri remaja yaitu perasaan dan penerimaan yang ditunjukkan oleh orangtua, pembatasan standar perilaku yang jelas, penetapan disiplin dan kontrol melalui penjelasan dan bukan dengan cara kekerasan dan paksaan, serta sikap orangtua yang melibatkan pendapat anak dalam menentukan keputusan keluarga.

(21)

terutama di bidang-bidang seperti hubungan anak dengan teman sebaya dan prestasi akademis (Gottman & DeClaire, dalam Maharani & Andayani, 2003). Gottman dan Declaire (dalam Andayani & Koentjoro, 2004) menyebutkan bahwa ayah memanfaatkan "kelakiannya" dalam permainan yang cenderung lebih bersifat fisik dan melibatkan gerak motorik kasar. Hal ini akan memberikan pengalaman emosional yang berbeda pada anak dibandingkan ketika berinteraksi dengan ibunya yang cenderung lebih bersifat lembut dan mengeksplorasi kegiatan yang cenderung lebih intelektual.

(22)

individu, dimana ayah yang memberikan perhatian dan dukungan pada anak akan memberikan perasaan diterima, diperhatikan dan memiliki rasa percaya diri, sehingga proses perkembangan anak tersebut dapat berjalan dengan baik.

Menurut Bloir (2002) peran ayah penting bagi perkembangan pribadi anak, baik sosial, emosional, maupun intelektualnya. Pada diri anak akan tumbuh motivasi, kesadaran diri, identitas skill serta kekuatan dan kemampuan sehingga memberi peluang untuk kesuksesan belajarnya, identitas gender yang sehat, perkembangan moral dan nilai positif, serta penyesuaian diri yang positif dan sukses dalam keluarga dan kerja atau karirnya kelak.

Penelitian yang dilakukan oleh Frank (dalam Maharani & Andayani, 2003) menunjukkan bahwa remaja yang mendapatkan dukungan dan adanya komunikasi yang intensif dengan ayahnya memiliki kebebasan yang lebih besar untuk berusaha, bereksplorasi, untuk menjadi dirinya sendiri terhadap pilihan-pilihan yang dibuat, dan mempertimbangkan kemungkinannya menghadapi orang lain dalam merencanakan masa depannya.

Menurut Dubowitz (2001) remaja yang merasakan dukungan dari ayah atau merasa ayahnya makin dekat maka harga diri remaja tersebut akan makin baik, apapun jenis kelaminnya.

(23)

terlaksananya peran ayah terhadap pengasuhan dan perkembangan remaja dengan baik perlu memperhatikan persepsi dari remaja terhadap ayah tersebut.

Berdasarkan uraian diatas remaja membutuhkan peran ayah dalam proses perkembangan harga dirinya. Perasaan diterima, perasaan dihargai, dan perasaan dibutuhkan merupakan aspek-aspek yang terdapat dalam harga diri, maka peneliti tertarik untuk melihat hubungan antara persepsi terhadap peran ayah dengan harga diri remaja.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah panelitian ini adalah adakah hubungan antara persepsi terhadap peran ayah dengan harga diri remaja ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara persepsi terhadap peran ayah dengan harga diri remaja.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Menambah referensi pengetahuan dalam ruang lingkup Psikologi, khususnya psikologi perkembangan yang menyangkut permasalahan dalam hubungan peran ayah dan harga diri remaja.

2. Manfaat Praktis

(24)

b. Bagi remaja: agar remaja dapat membina hubungan yang baik dengan keluarga khususnya pada ayah yang dapat membantu meningkatkan harga dirinya.

E. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan

Berisi uraian singkat mengenai gambaran latar belakang masalah, rumusan masalah, dan tujuan penelitian serta manfaat penelitian. BAB II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan permasalahan. Teori-teori yang dimuat adalah teori tentang harga diri, teori tentang persepsi terhadap peran ayah dan teori tentang masa remaja. Dalam bab ini juga memuat tentang hipotesa penelitian.

BAB III : Metode Penelitian

(25)

BAB IV : Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini akan menjelaskan tentang gambaran subjek penelitian, laporan hasil penelitian yang meliputi kategorisasi data penelitian, hasil uji asumsi meliputi uji normalitas dan linieritas, hasil utama penelitian, dan pembahasan.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Harga Diri

1. Definisi harga diri

Harga diri adalah istilah penilaian yang mengacu pada penilaian positif, negatif, netral, dan ambigu yang merupakan bagian dari konsep diri, tetapi bukan berarti cinta diri sendiri. Individu dengan harga diri yang tinggi menghormati dirinya sendiri, mempertimbangkan dirinya berharga dan melihat dirinya sama dengan orang lain, sedangkan harga diri rendah pada umumnya merasakan penolakan, ketidakpuasan diri dan meremehkan diri sendiri (Frey & Carlock, 1987)

Harga diri merupakan penilaian yang dilakukan individu terhadap dirinya sendiri. Penilaian tersebut mencerminkan sikap penerimaan atau penolakan dan menunjukkan seberapa jauh individu percaya bahwa dirinya mampu, penting, berhasil dan berharga. Kesadaran tentang diri dan perasaan terhadap diri sendiri itu menimbulkan suatu penilaian terhadap diri sendiri baik itu positif maupun negatif (Coopersmith, dalam Berns, 2004).

(27)

potensi diri, serta menerima kekurangan yang ada. Sedangkan yang dimaksud dengan sikap negatif terhadap diri sendiri adalah sikap tidak suka atau tidak puas dengan kondisi sendiri, tidak menghargai kelebihan diri dan melihat diri sebagai sesuatu yang selalu kurang (Santrock, 1998).

Menurut Hurlock (1999) harga diri merupakan evaluasi diri yang dibuat dan dipertahankan oleh seseorang yang berasal dari interaksi sosial dalam keluarga serta penghargaan, perlakuan, dan penerimaannya dari orang lain.

Berdasarkan uraian diatas harga diri merupakan suatu penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri apakah seseorang merasa dirinya mampu, bermakna, berhasil maupun bermanfaat atau tidak serta bagaimana perasaan terhadap dirinya sendiri yang diekspresikan melalui sikap-sikapnya, menerima atau menolak dirinya.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri

Faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri yaitu: a. Socialization agent ( Berns, 2004) antara lain:

1) Keluarga

(28)

sosialnya, yaitu kebutuhan akan rasa aman, dihargai, disayangi, diterima dan kebebasan untuk menyatakan diri (Ali & Asrori, 2004).

2) Sekolah

Sekolah merupakan salah satu lingkungan tempat remaja hidup dalam kesehariannya (Ali & Asrori, 2004). Cole & Harter (dalam Berns, 2004) menemukan murid-murid dengan harga diri yang lebih tinggi lebih mungkin sukses dan berprestasi disekolah daripada murid dengan harga diri yang rendah.

3) Teman sebaya

Selama masa remaja, khususnya awal masa remaja akan mengikuti standar teman sebaya (Santrock, 1995). Sikap teman sebaya mengenai ukuran, bentuk fisik, pandangan dan kemampuan fisik "ideal" (Berns, 2004). Harter (dalam Berns, 2004) menemukan bahwa penampilan fisik berhubungan dengan harga diri dari masa kanak-kanak sampai masa dewasa.

4) Media

(29)

5) Masyarakat

Masyarakat dapat berkontribusi pada perbedaan harga diri seseorang (Berns, 2004). Menurut Siagian (dalam Ali & Asrori, 2004), masa remaja adalah masa untuk menentukan identitas dan menentukan arah, tetapi masa yang sulit ini menjadi bertambah sulit oleh adanya kontradiksi dalam masyarakat. Pada periode remaja diperlukan norma dan pegangan yang jelas dan sederhana.

b. Jenis Kelamin

(30)

c. Usia

Bachman (dalam Baron & Byrne, 1994) menyatakan bahwa harga diri meningkat pada tahun-tahun antara masa remaja ke masa dewasa. Rosenberg (dalam Dacey & Kenny, 1997) menyatakan bahwa semakin bertambah usia individu akan mempengaruhi harga diri seseorang.

d. Kelas Sosial

Kelas sosial dapat mempengaruhi harga diri seseorang dimana status dan posisi seseorang dalam masyarakat akan mempengaruhi harga diri seseorang. Kedudukan sosial pada umumnya dilihat dari pekerjaan, penghasilan dan tempat tinggal seseorang. Individu yang berada pada status sosial yang lebih tinggi akan cenderung memiliki pekerjaan yang baik, penghasilan yang tinggi dan tempat tinggal yang mewah. Individu tersebut dipandang lebih berhasil oleh masyarakat, sehingga membuatnya percaya bahwa ia lebih berharga daripada orang lain (Coopersmith dalam Berns, 2004)

3. Ciri-ciri harga diri tinggi dan rendah

Frey & Carlock (1987) mengungkapkan karakteristik-karakteristik individu dengan harga diri tinggi dan rendah yaitu :

a. Karakteristik individu dengan harga diri tinggi 1) Menghargai dirinya sendiri

2) Menganggap dirinya berharga

3) Melihat dirinya sama dengan orang lain 4) Tidak berpura-pura menjadi sempurna

(31)

b. Karakteristik individu dengan harga diri rendah 1) Secara umum mengalami perasaan ditolak

2) Memiliki perasaan tidak puas terhadap diri sendiri 3) Memiliki perasaan hina atau jijik terhadap diri sendiri 4) Memiliki perasaan remeh terhadap iri sendiri

Coopersmith (1967) mengemukakan karakteristik-karakteristik individu berdasarkan tingkat harga dirinya, yaitu:

a. Individu dengan harga diri tinggi

1) Menganggap diri sendiri sebagai orang yang berharga dan sama baiknya dengan orang lain yang sebaya dengan dirinya serta dapat menghargai orang lain pula.

2) Dapat mengontrol tindakan-tindakannya teradap dunia diluar dirinya dan dapat menerima kritik dari orang lain.

3) Menyukai tugas baru yang menantang serta tidak cepat bingung bila segala sesuatu berjalan diluar rencana.

4) Berhasil berprestasi dalam bidang akademis, aktif serta dapat mengekspresikan dirinya dengan baik.

5) Tidak menganggap diri sempurna, tahu keterbatasan diri dan mengharapkan adanya perbaikan.

(32)

7) Lebih bahagia dan efektif dalam menghadapi tuntutan dari lingkungannnyaTidak terpengaruh pada penilaian dari orang lain tentang sifat atau kepribadiannya, baik itu positif ataupun negatif.

b. Individu dengan harga diri rendah

1) Menganggap dirinya sebagai orang yang tidak berharga dan tidak disukai sehingga takut gagal dalam melakukan hubungan sosial. Hal ini seringkali menyebabkan orang yang memiliki harga diri rendah menolak dirinya sendiri, tidak puas dengan dirinya bahkan meremehkan dirinya.

2) Tidak yakin akan pendapat dan kemampuan diri sendiri sehingga kurang mampu mengekspresikan diri, serta menganggap ide-ide dan pekerjaan orang lain lebih baik dari dirinya.

3) Tidak menyukai suatu hal/tugas yang baru sehingga akan sulit bagi mereka untuk menyesuaikan diri dengan segala sesuatu yang belum jelas.

4) Merasa bahwa tidak banyak yang dapat diharapkan dari dirinya, baik yang menyangkut masa kini maupun yang menyangkut masa mendatang sehingga mereka terlihat sebagai orang yang putus asa dan depresi.

5) Merasa bahwa orang lain tidak memberikan perhatian pada dirinya (merasa diasingkan dan tidak dicintai).

(33)

4. Aspek-aspek harga diri

Menurut Frey dan Carlock (1987) harga diri memiliki dua aspek yang saling berhubungan. Aspek-aspektersebut, yaitu:

a. Merasa mampu, yaitu perasaan bahwa individu mampu mencapai tujuan yang diinginkannya. Menjadi mampu berarti individu memiliki keyakinan pikiran, perasaan, dan prilaku yang sesuai dengan realita dirinya. Apabila individu mampu atau berhasil dalam tujuannya maka harga dirinya meningkat.

b. Merasa berguna, yaitu perasaan individu bahwa ia berguna untuk hidup. Merasa berguna berarti menguatkan diri dan menghormati dirinya sendiri. Individu yang memandang dirinya tidak layak akan menurunkan harga dirinya.

5. Pembentukan harga diri

Seorang bayi tidak dilahirkan dengan harga diri. Perlahan-lahan melalui interaksinya dengan orangtua, orang lain yang mempunyai makna bagi anak, teman-teman sebayanya anak membentuk penilaian mengenai dirinya (Frey & Carlock, 1987). Hal ini sejalan dengan pandangan Coopersmith (1967) yang mengemukakan bahwa yang sangat besar peranannya dalam pembentukan harga diri seorang anak adalah orang-orang disekitar anak tersebut (significant other)

(34)

Perkembangan harga diri ini dimulai sejak bayi melalui interaksi dengan orangtuanya. Perasaan mampu, dan perasaan berguna atau berarti pada anak diperoleh melalui perhatian dan kasih sayang yang dirasakan anak pada awal kehidupannya. Seperti pada saat ia lapar dan ibunya memberi makan, saat ia menangis ayah atau ibu mendekapnya dan sebagainya. Melalui pengalaman-pengalaman ini berkembanglah perasaan bahwa ia berarti bagi orangtuanya.

Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak, dasar dari perasaan mampu dan berguna semakin meluas, berkenaan dengan orang-orang lain selain keluarganya. Anak juga harus belajar bahwa ia merupakan bagian dari kelompoknya, ia juga mulai belajar peran jenis kelaminnya. Semakin besar anak, anak mulai lebih sering berinteraksi dengan teman sebayanya, dari sini ia juga belajar kemampuannya tidak lagi hanya dinilai oleh keluarganya tetapi juga oleh teman bermainnya. Lingkungan sosialnya teman-teman sebaya dilingkungannya merupakan orang yang dapat membentuk harga diri seorang anak (Horrocks, 1976).

(35)

Konsep diri adalah kerangka kognitif yang mengorganisir bagaimana kita mengetahui diri kita dan bagaimana kita memproses informasi-informasi yang relevan dengan diri. Salah satu komponen yang lebih spesifik dari konsep diri adalah harga diri yang melibatkan unsur evaluasi atau penilaian diri (Baron & Byrne, 1994). Carl Rogers (dalam Frey dan Carlock,1987) menjelaskan bahwa konsep diri menyangkut persepsi diri yang menunjuk pada cara seseorang melihat dirinya, menilai dirinya, sedangkan harga diri mengacu pada apa yang kita rasakan tentang diri kita, merupakan penilaiaan keberhargaan yang diberikan seseorang terhadap dirinya sendiri.

Harga diri tampak jelas dari kesuksesan atau kegagalan menginternalisasikan nilai dan sikap (Berns, 2004). Singkatnya menurut Mead (dalam Berns, 2004) seseorang yang telah dibesarkan dengan berfokus pada pujian atau penerimaan akan memiliki harga diri yang tinggi, sebaliknya seseorang yang ditolak dan dikritik akan memiliki harga diri yang rendah.

(36)

B. Peran Ayah

1. Definisi peran ayah

Peran ayah dalam keluarga telah mengalami banyak perubahan (Lamb, 1986; Parke, 1995, dalam Santrock, 1999). Mulai dari jaman kolonial Amerika, dimana ayah bertanggung jawab terhadap pengajaran moral sampai dengan tahun 1970an dan sekarang dimana ayah dievaluasi berdasarkan keaktifannya dan keterlibatannya dalam mengasuh anak (Updegraff, McHale, & Crouter, 1996, dalam Santrock, 1999)

Secara singkat dapat dikatakan peran ayah dalam keluarga yang tadinya bersifat tunggal atau hanya meliputi satu dimensi saja telah mengalami metamorfosa menjadi banyak peran, baik sebagai teman, pengasuh, pasangan, pelindung, model, penunutun moral, guru ataupun sebagai pencari nafkah (Lamb, 1997)

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi peran ayah

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi peran ayah dalam menjalankan perannya adalah sebagai berikut:

a. Kontribusi orangtua

(37)

1) Sejarah perkembangan

Pengalaman masa kecil seseorang akan mempengaruhi perilaku dalam pengasuhan. Ketika mengalami disiplin yang keras sebagai anak, orangtua cenderung mengulangi pola yang sama dengan anaknya (Martin & Colbert dalam Julaikha, 2006).

2) Pengetahuan

Menurut Cooke (dalam Julaikha, 2006), orangtua memperoleh pengetahuan tentang perkembangan anak melalui program-program dalam kelas, buku, orang dewasa yang lain dan pengalamannya dengan anak. Studi menunjukkan bahwa pengetahuan yang lebih banyak maka orangtua akan lebih baik dalam mengenali dan menginterpretasikan sinyal dari anak dan bertindak tepat dalam tindakan yang membutuhkan solusi.

3) Jenis kelamin

(38)

b. Kontribusi anak 1) Jenis kelamin

Jenis kelamin berpengaruh terhadap proses pengasuhan, karena orangtua dan lingkungan memiliki harapan yang berbeda terhadap anak laki-laki dan anak perempuan (Lamb, 1997)

2) Usia

Menurut Dix (dalam Julaikha, 2006), usia merupakan hal yang penting, karena mempengaruhi tugas-tugas pengasuhan orangtua. Anak membutuhkan perlakuan sesuai usianya. Bertambah dewasa seorang anak, maka akan semakin bertambah kebutuhannya dan semakin bervariatif. c. Dukungan sosial

Menurut Belsky dkk. (dalam Julaikha, 2006) terdapat cara bagaimana dukungan sosial mempengaruhi pengasuhan, yaitu:

1) Dukungan emosional dari orang lain

(39)

2) Teman dan keluarga

Teman dan keluarga berfungsi sebagai model bagi pengasuhan, melalui informasi tentang harapan dan perkembangan anak dan teknik-teknik yang berhubungan dengan masalah-masalah tertentu dalam pengasuhan anak. Teman dan keluarga juga dapat berfungsi sebagai dukungan instrumental seperti bantuan pengasuhan anak dan nasehat atau saran (Martin & Colbert dalam Julaikha, 2006).

3. Aspek-aspek peran ayah

Aspek-aspek peran ayah adalah sebagai berikut: a. Pemberi nafkah (economic provider)

Ayah memenuhi kebutuhan finansial anak untuk biaya sekolah, membeli peralatan belajar, dan perlengkapannya sehingga anak merasa aman mengikuti pelajaran, dan dapat belajar dengan lancar di rumah (Hart, dalam Slameto, 2003)

b. Sebagai teman (Friend and playmate)

Melalui permainan, ayah dapat bergurau/humor yang sehat, dapat menjalin hubungan yang baik sehingga masalah, kesulitan, stress dapat dikeluarkan, pada akhirnya tidak mengganggu belajar dan perkembangannya (Hart, dalam Slameto, 2003).

c. Sebagai pengawas/pendisiplin (monitor and disciplinarian)

(40)

d. Pemberi perlindungan (protector)

Ayah mengontrol dan mengorganisasikan lingkungan anak sehingga anak terbebas dari kesulitan resiko/bahaya selagi ayah atau ibu tidak bersamanya (Hart, dalam Slameto, 2003). Seorang ayah adalah pelindung dan tokoh otoritas dalam keluarga, dengan sikapnya yang tegas dan penuh wibawa menanamkan pada anak sikap-sikap patuh terhadap otoritas dan disiplin. Akhirnya akan tampak bahwa disiplin dari ayah, merupakan pengalaman penting bagi timbulnya rasa aman seluruh keluarga (Gunarsa, 2004).

e. Penasehat (advocate)

Ayah siap membantu, mendampingi dan membela anak jika ada kesulitan/masalah, dengan demikian anak merasa aman, tidak sendiri, dan ada tempat untuk berkonsultasi, dan itu adalah ayah sendiri (Hart, dalam Slameto, 2003).

f. Pendidik dan sebagai teladan (teacher and role model)

(41)

Anak belajar banyak dari kehidupan orangtuanya. Anak belajar bahwa dalam kehidupannya akan mengalami banyak tantangan ataupun permasalahan yang harus dihadapi dan dipecahkan serta belajar untuk tidak melemparkan masalah kepada orang lain. Orientasi ini merupakan salah satu trait yang merupakan karakteristik laki-laki, maka dalam hal ini ayah memainkan peran penting sebagai model bagi anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan (Thevenin, 1993)

g. Pemberi perhatian (caregiver)

Ayah dapat sering melakukan stimulasi afeksi dalam berbagai bentuk sehingga membuat anak merasa nyaman dan penuh kehangatan (Hart dalam Slameto, 2003).

h. Sebagai pembimbing (problem solver)

Ayah membantu anak-anaknya memecahkan masalah-masalah serta kesulitan-kesulitan yang dialami anak disekolah dan pembuat keputusan dalam belajar/sekolah, menyangkut langkah-langkah apa saja yang ditempuh anak dalam belajar, menceknya dan mananyakan nilai yang diperoleh di sekolah (Evans, dalam Slameto, 2003).

(42)

4. Persepsi terhadap peran ayah

Persepsi merupakan proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian objektif dengan bantuan indera. Proses ini dimulai dengan perhatian, yaitu proses pengamatan selektif. Persepsi merupakan upaya mengamti dunia, mencakup pemahaman dan mengenali atau mengetahui objek-objek serta kejadian (Chaplin, 1999).

Atkinson (1987) mendefinisikan persepsi sebagai proses dimana kita mengorganisasikan dan menafsirkn pola stimulus dengan lingkungan. Menurut Martin (1989) persepsi adalah sebuah proses yang menggunakan pengetahuan kita sebelumnya untuk mengumpulkan dan mengartikan stimulus yang masuk melalui indera.

Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan proses yang dialami individu yang mencakup menerima, memilih, menyadari, dan memaknai stimulus yang terdapat di lingkungan maupun dalam diri individu dengan menggunakan informasi yang telah dikumpulkan sebelumnya.

Menurut Shaw & Contazo (dalam Deaux, Dane & Wrightsman, 1993) peran

dapat didefenisikan sebagai fungsi seseorang yang diasosiasikan dengan posisi

tertentu.

(43)

pemberi perlindungan, penasehat, pendidik dan sebagai teladan, pemberi perhatian, serta sebagai pembimbing dalam sebuah keluarga.

C. Remaja

1. Definisi remaja (adolescence)

Istilah Adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa (dalam Hurlock, 1999). Piaget (dalam Hurlock, 1999) mengatakan bahwa secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.

Hurlock (1999) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimulai saat anak secara seksual matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum. Sedangkan menurut Monks (1999) remaja adalah individu yang berusia antara 12-21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan dan 18-21 tahun masa remaja akhir.

2. Tugas perkembangan remaja

Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999), tugas perkembangan remaja meliputi :

a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita

(44)

c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab

e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya

f. Mempersiapkan karir ekonomi

g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga

h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku-mengembangkan ideologi.

3. Ciri-ciri masa remaja

Sesuai dengan pembagian usia remaja menurut Monks (1999) maka terdapat tiga tahap proses perkembangan yang dilalui remaja dalam proses menuju kedewasaan, disertai dengan karakteristiknya, yaitu :

a. Remaja awal (12-15 tahun)

Pada tahap ini, remaja masih merasa bingung dan mulai beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan tersebut. Mereka mulai mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis. Kepekaan yang berlebihan ini ditambah dengan berkurangnya pengendalian terhadap emosi dan menyebabkan remaja sulit mengerti dan dimengerti oleh orang dewasa.

b. Remaja madya (15-18 tahun)

(45)

teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Pada tahap ini remaja berada dalam kondisi kebingungan karena masih ragu harus memilih yang mana, peka atau peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis, dan sebagainya.

c. Remaja akhir (18-21 tahun)

Tahap ini adalah masa mendekati kedewasaan yang ditandai dengan pencapaian :

1) Minat yang semakin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.

2) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan mendapatkan pengalaman-pengalaman baru.

3) Terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah lagi

4) Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain. 5) Tumbuh dinding pemisah antara diri sendiri dengan masyarakat umum.

D. Hubungan antara Persepsi terhadap Peran Ayah dengan Harga Diri

Remaja

Harga diri merupakan hal yang dibutuhkan oleh remaja yang sedang berkembang (Gabarino & Benn dalam Andayani & Koentjoro, 2004). Harga diri mengacu pada penilaian secara keseluruhan seseorang sebagai individu. Jika individu merasa bahwa secara keseluruhan dirinya baik, maka ia akan memiliki harga diri yang tinggi (Wayne & Margaret, 2006).

(46)

tempat individu belajar memahami dirinya sendiri. Orangtua sebagai pengendali keluarga, memegang peranan dalam membentuk hubungan keluarga dengan anak-anak mereka. (Maharani & Andayani, 2004).

Coopersmith (dalam Berns, 2004) melakukan penelitian tentang peranan orangtua dalam perkembangan harga diri, dan menemukan empat bentuk perilaku yang dianggap penting bagi perkembangan harga diri remaja yaitu perasaan dan penerimaan yang ditunjukkan oleh orangtua, pembatasan standar perilaku yang jelas, penetapan disiplin dan kontrol melalui penjelasan dan bukan dengan cara kekerasan dan paksaan, serta sikap orangtua yang melibatkan pendapat anak dalam menentukan keputusan keluarga.

(47)

Dinamika hubungan ayah dengan remaja biasanya dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi baik pada ayah maupun remaja. Para peneliti telah memusatkan perhatian mengenai hubungan ayah dengan remaja pada lima karakteristik (Hinde, dkk, dalam Lamb, 1997) yaitu:

1. Waktu yang dihabiskan bersama

Waktu yang dihabiskan bersama telah digunakan sebagai indikator dari hubungan ayah-remaja. Faktor yang penting tidak hanya meliputi jumlah waktu aktual yang dipakai tapi juga bagaimana waktu tersebut dihabiskan dan tingkat kepuasan masing-masing dengan hal tersebut. Montemayor (dalam Lamb, 1997) menemukan bahwa remaja menghabiskan rata-rata 84 menit/hari dengan ibunya dan hanya 70 menit dengan ayah mereka. Anak laki-laki dilaporkan menghabiskan 53 menit/hari dengan ayah mereka dan anak perempuan menghabiskan 59 menit/hari dengan ibunya. Sementara itu, anak laki-laki dengan ibu mereka menghabiskan waktu 26 menit/hari dan anak perempuan hanya 17 menit dengan ayah mereka.

(48)

sesuatu yang mengandung konflik dan berisi aktivitas yang dipaksakan serta tidak diinginkan (Roll & Millen, dalam Lamb, 1997)

2. Komunikasi dan keterlibatan

Salah satu komponen komunikasi adalah frekuensi interaksi antara orangtua dan remaja. Miller & Lane (dalam Lamb, 1997) menemukan bahwa remaja laki-laki maupun perempuan lebih banyak berbicara dengan ayah dalam hal membutuhkan pemecahan masalah. Ayah juga ditemukan lebih memberikan kesempatan dan tidak menegangkan dibandingkan ibu (Hauser, dkk, dalam Lamb, 1997).

Biasanya keterlibatan ayah dengan remaja lebih selektif dan terbatas pada diskusi dan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan hal-hal seperti akademis dan pendidikan berikutnya serta perencanaan karir (Noller, dkk, dalam Lamb, 1997). Meski demikian ayah digambarkan kurang terbuka dalam mendengar masalah dan untuk membantu dalam meringankan perasaan. Selain itu, dibandingkan dengan anak perempuan biasanya anak laki-laki merasa bahwa mereka dipahami dengan lebih baik oleh ayahnya (Youniss & Ketterlinus, dalam lamb, 1997). DeLuccie & Davis (dalam Lamb, 1997) menemukan adanya penurunan yang tetap dalam keterlibatan ayah dari masa prasekolah dengan masa remaja.

3. Kedekatan

Kedekatan sering didefinisikan sebagai kehangatan, penerimaan, keterkaitan,

(49)

lebih berjarak dibandingkan hubungan ibu-remaja, terutama pada tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah. Beberapa peneliti mendefinisikan kedekatan dalam kerangka perilaku kasih sayang, seperti pujian, pengargaan, dukungan dan kasih sayang. Perbedaan jenis kelamin ternyata berpengaruh dalam kedekatan (Eberly, dkk, dalam Lamb, 1997) menemukan bahwa ayah dan anak laki-laki kurang saling menunjukkan perasaannya masing-masing dibandingkan ibu dan anak perempuannnya.

Persepsi remaja tentang orangtuanya yang hangat, dekat dan pengasih berkorelasi tinggi dengan tingkat kedekatan remaja itu sendiri (Klos, dkk, dalam Lamb, 1997). Oleh karena itu, tingkat kedekatan yang rendah dengan ayah dapat menimbulkan persepsi akan hubungan yang berjarak dan berkurangnya perasaan dekat dengan ayah selama remaja dapat dihubungkan dengan kurangnya kedekatan pada masa kanak-kanak.

4. Konflik

Montemayor (dalam lamb, 1997) mengungkapkan bahwa orangtua dan remaja mengalami konflik hampir 2 kali dalam seminggu, rata-rata yang tinggi jika dibandingkan dengan rumah tangga yang tidak mengalami banyak tekanan. Keduanya, orangtua dan remaja melaporkan bahwa remaja lebih sedikit perdebatan dengan ayah dibandingkan dengan ibu, dan konflik ibu-anak perempuan lebih sering dibandingkan konflik ibu-anak laki-laki (Hill, dkk, dalam Lamb, 1997)

(50)

memandang bahwa masa transisi pubertas anak remaja merupakan hal yang membebani (Montemayor, dalam Lamb, 1997). Efek negatif ayah ditemukan sebagai tingkat prediktor yang kuat dari kualitas komunikasi dan kemandirian psikologis (Flannery, dalam Lamb, 1997).

5. Kekuasaan

Kekuasaan sering didefinisikan sebagai seberapa besar pengaruh anggota keluarga dalam pengambilan keputusan atau dalam derajat kontrol terhadap anggota keluarga yang lain. Secara umum, remaja menilai ayah mereka kurang egaliter dibandingkan ibu (LeCroy, dkk, dalam Lamb, 1997). Salah satu alasannya adalah karena ayah cenderung untuk berusaha mengontrol dengan ketat anak remajanya, sementar ibu cenderung lebih melonggarkan kontrolnya (Steinberg, dkk, dalam Lamb, 1997). Baronowski (dalam Lamb, 1997) berpendapat bahwa ayah memiliki kebutuhan untuk dominan dibandingkan ibu, cenderung lebih mengontrol, dan kurang permisif. Ayah biasanya mendorong kemandirian dan sikap asertif pada anak remajanya, sementara ibu mendorong perilaku interpersonal yang sesuai dan keterlibatan anak dalam tugas-tugas rumah (Power & Shanks, dalam Lamb, 1997). Ditemukan juga bahwa ayah sering menggunakan hukuman fisik, sementara ibu disebutkan sering menggunakan hukuman yang sifatnya material. Gehring (dalam Lamb, 1997) menemukan bahwa ayah dari remaja yang lebih tua dipandang kurang berkuasa dibandingkan ayah dari remaja yang lebih muda.

(51)

keluarga (Goldstein, dalam Maharani & Andayani, 2004). Hal ini sejalan dengan Maharani dan Andayani (2003) menjelaskan bahwa keterlibatan ayah sangat mempengaruhi proses perkembangan individu, dimana ayah yang memberikan perhatian dan dukungan pada anaknya akan memberikan perasaan diterima, mampu, berguna, diperhatikan dan memiliki rasa percaya diri, sehingga proses perkembangan anak tersebut dapat berjalan dengan baik. Menurut Dubowitz (2001) remaja yang merasakan dukungan dari ayah atau merasa ayahnya makin dekat maka harga diri remaja tersebut akan makin baik.

Berdasarkan uraian teori diatas diperoleh kesimpulan bahwa ayah berperan dalam

perkembangan harga diri remaja Perasaan mampu dan perasaan berguna merupakan komponen-komponen yang terdapat dalam harga diri. Dapat disimpulkan sementara bahwa ada hubungan antara persepsi terhadap peran ayah dengan harga diri

remaja.

E. Hipotesa Penelitian

(52)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode korelasional. Metode penelitian korelasional adalah untuk mendeteksi sejauh mana variasi-variasi pada suatu faktor yang berkaitan dengan variasi-variasi-variasi-variasi pada satu atau lebih faktor lain berdasarkan pada koefisien korelasi (Suryabrata, 2003). Dalam hal ini peneliti ingin melihat hubungan antara persepsi terhadap peran ayah dengan harga diri remaja.

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Berikut adalah identifikasi variabel yang di gunakan dalam penelitian ini : 1. Variabel (X) : Persepsi terhadap Peran Ayah

2. Variabel (Y) : Harga diri

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi operasional variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Persepsi terhadap peran ayah

Persepsi remaja terhadap peran ayah adalah proses yang dialami seorang remaja yang mencakup menerima, memilih, menyadari, dan memaknai stimulus yang berasal dari fungsi seorang ayah sebagai orang tua laki-laki dalam sebuah keluarga.

(53)

Slameto, 2003), Evans (dalam Slameto, 2003), Thevenin (2003), yaitu peran ayah sebagai pemberi nafkah, sebagai teman, sebagai pengawas dan pendisiplin, pemberi perlindungan, penasehat, pendidik dan sebagai teladan, sebagai pengasuh dan sebagai pembimbing. Total skor yang diperoleh pada skala persepsi terhadap peran ayah menggambarkan tingkat persepsi remaja terhadap peran ayah. Semakin tinggi total skor skala persepsi terhadap peran ayah maka semakin positif persepsi remaja terhadap peran ayah. Sebaliknya, semakin rendah total skor skala persepsi terhadap peran ayah maka semakin negatif persepsi remaja terhadap peran ayah.

2. Harga diri

Harga diri merupakan suatu penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri apakah seseorang merasa dirinya mampu, bermakna, berhasil maupun bermanfaat atau tidak serta bagaimana perasaan terhadap dirinya sendiri yang diekspresikan melalui sikap-sikapnya, menerima atau menolak dirinya.

(54)

C. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan individu yang akan diselidiki dan mempunyai minimal satu sifat yang sama atau ciri–ciri yang sama dan untuk siapa kenyataan yang diperoleh dari subjek penelitian hendak digeneralisasikan (Hadi, 2000). Populasi dalam penelitian ini berjumlah 745 orang dengan karakteristik sebagai berikut:

a. Remaja awal berusia 12-15 thun

Alasan diambilnya sampel remaja adalah karena harga diri (evaluasi terhadap diri) sangat dibutuhkan ketika seseorang memasuki usia remaja, terutama karena banyak perubahan terjadi secara cepat pada masa remaja awal, baik itu sikap, perilaku dan nilai-nilai dan cenderung dianggap belum matang (Hurlock, 1999). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan rentang usia remaja menurut Monks (1999), dimana menurut Monks remaja awal adalah beruasia 12-15 tahun.

b. Tinggal bersama orangtua

Alasan diambilnya sampel yang tinggal bersama orangtua adalah untuk melihat sejauh mana ayah berperan dalam perkembangan harga diri remaja. c. Masih memiliki orangtua lengkap

d. Masih bersekolah

Alasan diambilnya sampel yang masih bersekolah karena salah satu faktor yang mempengaruhi harga diri adalah lingkungan sekolah.

(55)

2. Sampel dan teknik pengambilan sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi atau sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi dan harus memiliki paling sedikit satu sifat yang sama (Hadi, 2000). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagian dari siswa yang bersekolah di Kecamatan Medan area. Jumlah remaja yang dilibatkan sebagai sampel dalam penelitian ini sebanyak 291 orang. Pengambilan jumlah sampel mengacu pada tabel Krejcie yang melakukan perhitungan ukuran sampel yang didasarkan atas kesalahan 5% jadi sampel yang diperoleh mempunyai kepercayaan 95% (Sugiono, 2004).

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik acak klaster (cluster random sampling). Dalam teknik pengambilan sampel ini, sampel diambil secara acak terhadap kelompok, bukan terhadap subjek secara individual (Azwar, 2004). Pengambilan sampel dilakukan secara acak terhadap klaster bukan terhadap individu, melainkan dari kelompok-kelompok individu. Sampling ini dipandang ekonomis, lebih mudah dan lebih murah.

Prosedur random (undian) pertama sekali dilakukan terhadap 18 buah sekolah yang ada di Kecamatan Medan Area dengan mengambil dua buah sekolah yaitu SMP Negeri 13 Medan dan SMP Swasta Kesatria Medan. Selanjutnya dilakukan prosedur random terhadap kelas-kelas yang ada pada sekolah-sekolah yang telah terpilih. Jumlah kelas pada kedua sekolah tersebut terdiri atas 21 kelas, dilakukan

(56)

D. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala. Skala berisi kumpulan pernyataan yang diajukan kepada responden untuk diisi oleh responden. Ada dua buah skala yang digunakan yaitu skala persepsi terhadap peran ayah dan skala harga diri yang diberikan kepada remaja.

1. Skala persepsi terhadap peran ayah

Skala ini disusun berdasarkan persepsi remaja terhadap peran ayah yaitu persepsi terhadap peran sebagai pemberi nafkah, persepsi terhadap peran sebagai teman, persepsi terhadap peran sebagai pengawas dan pendisiplin, persepsi terhadap peran sebagai pemberi perlindungan, persepsi terhadap peran sebagai penasehat, persepsi terhadap peran sebagai pendidik dan sebagai teladan, persepsi terhadap peran sebagai pengasuh, dan persepsi terhadap peran sebagai pembimbing.

(57)

Tabel 1. Cetak biru skala persepsi terhadap peran ayah

No Aspek Indikator Prilaku Mendukung Tidak Jenis Aitem Jlh

Mendukung 1. Pemberi nafkah - Membeli peralatan dan

perlengkapan sekolah

(58)

Pada table 1. jumlah aitem yang akan dibuat pada skala persepsi terhadap peran ayah ini adalah sebanyak 64 aitem yang terdiri dari 32 aitem mendukung dan 32 aitem yang tidak mendukung.

2. Skala harga diri

Harga diri diukur dengan menggunakan skala harga diri yang disusun oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek harga diri yang dikemukakan oleh Frey dan Carlock (1987)

c. Merasa mampu, yaitu perasaan bahwa individu mampu mencapai tujuan yang diinginkannya. Menjadi mampu berarti individu memiliki keyakinan pikiran, perasaan, dan prilaku yang sesuai dengan realita dirinya. Apabila individu mampu atau berhasil dalam tujuannya maka harga dirinya meningkat.

d. Merasa berguna, yaitu perasaan individu bahwa ia berguna untuk hidup. Merasa berguna berarti menguatkan diri dan menghormati dirinya sendiri. Individu yang memandang dirinya tidak layak akan menurunkan harga dirinya.

(59)

Tabel 2. Cetak biru skala harga diri

No Aspek Indikator

Prilaku

Jenis Aitem

Jlh Mendukung Tidak Mendukung

1 Merasa

Pada table 2. jumlah aitem yang akan dibuat pada skala harga diri ini adalah sebanyak 50 aitem yang terdiri dari 25 aitem mendukungdan 25 aitem yang tidak mendukung.

E. Validitas, Uji Daya Beda dan Reliabilitas Alat Ukur

Salah satu masalah utama dalam kegiatan penelitian sosial khususnya Psikologi adalah cara memperoleh data yang akurat dan objektif. Hal ini menjadi sangat penting, artinya kesimpulan penelitian hanya akan dapat dipercaya apabila didasarkan pada info yang juga dapat dipercaya (Azwar, 2001). Dengan memperhatikan kondisi ini, tampak bahwa alat pengumpulan data memiliki peranan penting. Baik atau tidaknya suatu alat pengumpulan data dalam mengungkap kondisi yang ingin diukur tergantung pada validitas dan reliabilitas alat ukur yang akan digunakan.

1. Validitas alat ukur

(60)

hendak diungkap oleh tes tersebut. Hal ini berarti isi alat ukur tersebut harus komprehensif dan memuat isi yang relevan serta tidak keluar dari batasan alat ukur (Azwar, 2000). Validitas isi memiliki dua tipe yaitu validitas muka dan validitas logik.

a. Validitas muka

Validitas muka adalah tipe validitas yang paling rendah signifikansinya karena hanya didasarkan pada penilaian terhadap format penampilan tes. Apabila penampilan tes telah meyakinkan dan memberikan kesan mampu mengungkap apa yang hendak diukur maka dapat dikatakan bahwa validitas muka telah terpenuhi. Tes yang memiliki validitas muka yang tinggi akan memancing motivasi individu yang dites untuk menghadapi tes tersebut dengan sungguh-sungguh (Azwar, 2000).

b. Validitas logik

(61)

Penilaian validitas isi tergantung pada penilaian subjektif individual. Hal ini dikarenakan estimasi validitas isi tidak melibatkan perhitungan statistik apapun melainkan dengan analisis rasional dan melalui professional judgement (Azwar, 2004). Dalam penelitian ini, peneliti meminta professional judgement yaitu dosen pembimbing peneliti.

2. Uji daya beda

Sebelum melakukan pengujian reliabilitas, hendaknya terlebih dahulu melakukan prosedur seleksi aitem dengan cara menguji karakteristik masing-masing aitem yang menjadi bagian tes yang bersangkutan. Aitem-aitem yang tidak memenuhi syarat kualitas yang baik tidak boleh diikutkan menjadi bagian tes (Azwar,2000). Prinsip kerja yang dijadikan dasar untuk melakukan seleksi aitem dalam hal ini adalah memilih aitem-aitem yang fungsi ukurnya selaras atau sesuai dengan fungsi ukur skala sebagaimana dikehendaki oleh penyusunnya (Azwar, 2005).

Pengujian daya beda aitem menghendaki dilakukannya komputasi korelasi antara distribusi skor aitem dengan suatu kriteria yang relevan, yaitu distribusi skor skala itu sendiri. Komputasi ini akan menghasilkan koefisien korelasi aitem total (rit) yang dikenal dengan sebutan parameter daya beda aitem. Kriteria

pemilihan aitem berdasarkan korelasi aitem menggunakan batasan rit ≥ 0,30.

Semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,30, daya pembedanya dianggap memuaskan. Aitem yang memiliki harga rit kurang dari 0,30 dapat

(62)

Pernyataan-pernyataan pada skala diuji daya beda aitemnya dengan menghitung antara skor aitem dengan skor total skala. Teknik statistika yang digunakan adalah koefisiensi Product Moment oleh Pearson. Formulasi koefisien korelasi Product Moment dari Pearson digunakan bagi tes-tes yang setiap aitemnya diberi skor kontinyu. Semakin tinggi koefisien korelasi positif antara skor aitem dengan skor skala berarti semakin tinggi konsistensi antara aitem tersebut dengan skala secara keseluruhan yang berarti semakin tinggi daya bedanya. Bila koefisien korelasi rendah mendekati angka nol berarti fungsi aitem tersebut tidak cocok dengan fungsi ukur skala dan daya bedanya tidak baik (Azwar, 2005). Pengujian daya beda aitem ini dilakukan dengan menggunakan

SPSS 16.0 for Windows

3. Uji reliabilitas

Reliabilitas sebenarnya mengacu kepada konsistensi atau kepercayaan hasil ukur yang mengandung makna kecermatan pengukuran. Reliabilitas ini ditunjukkan oleh konsistensi skor yang diperoleh subjek dengan memakai alat yang sama (Suryabrata, 2000).

Uji reliabilitas alat ukur menggunakan pendekatan konsistensi internal dengan prosedur hanya memerlukan satu kali penggunaan tes kepada sekelompok individu sebagai subjek. Pendekatan ini dipandang ekonomis, praktis dan berefisiensi tinggi (Azwar, 2000). Teknik yang digunakan adalah teknik reliabilitas Alpha dari Cronbach.

Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas (rxx’) yang angkanya berada

(63)

mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi reliabilitasnya. Sebaliknya koefisien yang semakin rendah mendekati angka 0 berarti semakin rendahnya reliabilitas.

F. Hasil Uji Coba Alat Ukur

1. Skala persepsi terhadap peran ayah

(64)

Tabel 3. Distribusi aitem-aitem hasil uji coba skala persepsi terhadap peran ayah

No Aspek Indikator Prilaku

Jenis Aitem 1. Pemberi nafkah - Membeli peralatan dan

perlengkapan sekolah

5. Penasehat - Membantu dan mndampingi anak

7. Pemberi perhatian - Melakukan stimulasi afeksi yang membuat

(65)

diadakan lagi pemilihan aitem yang lebih mewakili dari setiap aspek. Hal ini dikarenakan pada masing-masing aspek tidak mempunyai tujuan ukur yang berbeda secara spesifik satu sama lain melainkan merupakan dimensi saja dari satu tujuan ukur yang lebih luas, maka aitem yang berdiskriminasi tinggi sebagai aitem final tanpa perlu risau mengenai komposisi jumlah aitem dalam setiap aspeknya (Azwar, 2005). Sehingga jumlah aitem yang dijadikan alat ukur penelitian adalah sejumlah 45 aitem (lihat tabel 3) dengan nilai koefisien alpha

sebesar 0,951. Koefisien korelasi aitem-aitem yang reliabel berkisar antara 0,424 hingga 0,70.

(66)

Tabel 4. Distribusi aitem-aitem skala penelitian persepsi terhadap peran ayah

No Aspek Indikator Prilaku Mendukung Tidak Jenis Aitem Jlh

Mendukung 1. Pemberi nafkah - Membeli peralatan dan

perlengkapan sekolah

(67)

2. Skala harga diri

Uji coba skala harga diri dilakukan terhadap 113 remaja awal yang masih memiliki orangtua lengkap, tinggal bersama orangtua, dan masih bersekolah yang terdiri dari perempuan dan laki-laki. Adapun distribusi aitem-aitem hasil uji coba skala harga diri ini akan dijelaskan pada Tabel 5.

Tabel 5. Distribusi aitem-aitem hasil uji coba skala harga diri

No Aspek Indikator

Prilaku

Jenis Aitem

Jlh Mendukung Tidak Mendukung

1 Merasa

Berdasarkan hasil uji coba sebanyak 50 aitem skala harga diri diperoleh 44 aitem yang memiliki koefisien korelasi aitem total yang memenuhi syarat untuk dapat digunakan dalam penelitian (rit ≥ 0.30 ), akan tetapi diadakan lagi pemilihan

(68)

Pada skala diatas akan dilakukan perubahan tata letak urutan nomor aitem-aitem. Hal ini dilakukan karena aitem yang gugur dan tidak terpilih, tidak diikutsertakan lagi dalam skala penelitian. Distribusi aitem-aitem skala yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Distribusi aitem-aitem skala penelitian harga diri

No Aspek Indikator

Prilaku

Jenis Aitem

Jlh Mendukung Tidak Mendukung

1 Merasa

G. Prosedur Penelitian

Sebelum dilaksanakan penelitian di lapangan maka peneliti perlu melakukan beberapa prosedur, yaitu: tahap persiapan penelitian, tahap pelaksanaan penelitian, dan tahap pengolahan data.

1. Tahap persiapan penelitian

a. Persiapan alat ukur

(69)

Skala persepsi terhadap peran ayah yang digunakan merupakan skala yang disusun oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Hart (dalam Slameto, 2003), Evans (dalam Slameto, 2003), Thevenin (2003). Skala harga diri yang digunakan dalam penelitian ini disusun oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek harga diri yang dikemukakan oleh Frey dan Carlock (1987).

Sebelum skala tersebut dijadikan alat ukur yang sebenarnya dalam penelitian, maka terlebih dahulu skala tersebut diujicobakan kepada remaja yang berusia 12-15 tahun. Jumlah skala yang dipersiapkan untuk disebar adalah sebanyak 125 skala. Uji coba skala persepsi terhadap peran ayah dan harga diri dilaksanakan pada tanggal 28, 29, dan 30 Oktober 2008 pada siswa dan sisiwi SMP Negeri 2 Medan.

Setelah skala diujicobakan, maka data yang diperoleh selanjutnya diuji validitas dan reliabilitasnya. Kemudian peneliti menentukan aitem-aitem mana saja yang dapat digunakan sebagai aitem dalam penelitian yang sebenarnya.

b. Perizinan

(70)

2. Tahap pelaksanaan penelitian

Pelaksanaan penelitian diadakan dengan menyebarkan skala pada remaja awal yang telah memenuhi karakteristik populasi yang telah ditentukan sebelumnya. Para remaja awal diberikan skala persepsi terhadap peran ayah dan skala harga diri. Skala disebarkan kepada siswa dan siswi SMP Swasta Kesatria Medan pada tanggal 11 November 2008 dan kepada siswa dan siswi SMP Negeri 13 Medan pada tanggal 12 dan 26 November 2008.

3. Tahap pengolahan data

Pengolahan data penelitian ini seluruhnya menggunakan bantuan program

SPSS version 16.0 for windows

H. Metode Analisis Data

Untuk mengetahui hubungan antara persepsi terhadap peran ayah dengan harga diri remaja maka digunakanlah analisis statistik korelasi pearson product moment (Cozby, 2004).

Namun sebelum menguji hipotesis dengan menggunakan statistika parametrik, maka dilakukan uji asumsi yaitu uji normalitas dan uji linieritas (Hadi, 2000) 1. Uji normalitas

Gambar

Tabel 1. Cetak biru skala persepsi terhadap peran ayah Jenis Aitem
Tabel 2. Cetak biru skala harga diri Jenis Aitem Mendukung Tidak Mendukung
Tabel 3. Distribusi aitem-aitem hasil uji coba skala persepsi terhadap peran ayah  Jenis Aitem
Tabel 5. Distribusi aitem-aitem hasil uji coba skala harga diri Indikator Jenis Aitem
+7

Referensi

Dokumen terkait

Harga diri adalah evaluasi yang dibuat oleh remaja tentang hal-hal yang berkaitan dengan dirinya yang menunjukkan sejauh mana remaja tersebut menyukai dirinya sebagai individu

a) Perasaan berharga.. Geo Doddy Ferianda Meliala : Hubungan Citra Merek Terhadap Harga Diri Pada Remaja, 2009. Perasaan berharga merupakan perasaan yang dimiliki individu yang sering

Selain itu, menyimak kembali bahasan pada alinea – alinea diatas bahwa setiap sikap dan perilaku remaja pasti tidak lepas dari bagaimana sikap dan perilaku

penelitian tentang hubungan antara persepsi lansia terhadap dukungan sosial dengan. harga

sebaya, dan lingkungan sekitar sehingga menumbuhkan rasa aman dan nyaman dalam penerimaan sosial dan harga dirinya. Bali merupakan kawasan pariwisata, yang tidak hanya

Harga diri dianggap tinggi ketika individu memiliki penilaian bahwa dirinya berharga dan dapat menerima kritik ataupun komentar dari orang lain dengan baik, serta

Saya juga tidak keberatan bahwa pihak editor akan mengubah, memodifikasi kalimat-kalimat dalam karya penelitian saya tersebut dengan tujuan untuk memperjelas dan

9 Penelitian yang dilakukan oleh Stolz menyimpulkan bahwa anak-anak yang jarang bersama ayahnya akan berkurang gairahnya dalam bergaul dengan teman sebayanya bila