• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN PARENTAL BONDING DAN SELF-ESTEEM DENGAN PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA Repository - UNAIR REPOSITORY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN PARENTAL BONDING DAN SELF-ESTEEM DENGAN PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA Repository - UNAIR REPOSITORY"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PARENTAL BONDING DAN SELF-ESTEEM DENGAN

PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA

PENELITIAN CROSS SECTIONAL

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep) pada Program Studi Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan UNAIR

Oleh :

WIWIN NUR INDAH CAHYANI NIM. 131611123068

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan bimbinganNya saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Hubungan

Parental bonding dan Self-esteem dengan Perilaku Seksual pada Remaja” tepat pada waktunya. Skripsi ini dikerjakan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana keperawatan (S.Kep) pada Program Studi Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan Universita Airlangga. Bersama ini perkenankanlah saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Elida Ulfiana, S.Kep.,Ns., M.Kep dan Bapak Setho Hadisuyatmana, S.Kep.,Ns.,M.NS (CommHlth&PC) selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan motivasi, pengarahan, dan masukan dalam penyusunan skripsi ini. Peneliti juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Nursalam, M.Nurs.,(Hons) selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya.

2. Dr. Kusnanto, S.Kp., M.Kes selaku Wakil Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya.

3. Seluruh staf dosen dan karyawan Program Studi Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya.

4. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bojonegoro yang telah memberikan izin pengambilan data penelitian untuk penyusunan skripsi ini.

(8)

Bojonegoro, SMAN 4 Bojonegoro serta SMAN DANDER yang dijadikan tempat penelitian.

7. Ibu Suti’ah, S.Pd, terimakasih tak terhingga telah memberikan ketulusan kasih sayang, doa, dukungan dan semangat kepada peneliti untuk menyusun skripsi ini. I made this specially for you moms.

8. Keluarga tercinta Bapak, kakak, om, tante dan adik yang telah memberikan kasih sayang, doa, dukungan dan semangat kepada peneliti untuk menyusun skripsi ini.

9. Para responden di lima SMAN dalam Kota Bojonegoro yang telah bersedia bekerja sama dan mau menjadi responden penelitian.

10. Teman-teman seperjuangan Program B19, Kos 53A, serta MS Production yang selalu memberikan semangat dan motivasi serta dukungan selama proses penyusunan skripsi ini.

Semoga Allah SWT membalas budi baik semua pihak yang telah memberikan kesempatan, dukungan, dan bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, tetapi penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan pengembangan ilmu keperawatan.

Surabaya, 19 Desember 2017

(9)

CORRELATION OF PARENTAL BONDING AND SELF-ESTEEM WITH

ADOLESCENT’S SEXUAL BEHAVIOR

Cross sectional Study Wiwin Nur Indah Cahyani

Introduction: Emotional parental attachment that occurs between parent and parent (self-esteem) and individual self-esteem becomes one of the possible factors in the development of adolescent sexual behavior. Lack of parental role is considered to affect the increase in the number of early pregnancies during the last 3 years in adolescents in Bojonegoro. This study was purposed to explore the correlation of parental bonding and self-esteem with adolescent’s sexual behavior . Method: this study used quantitative method with cross sectional approach. Samples were collected by using proportional random on senior high school student in the X class involved 296 respondence on the center of Bojonegoro city. Parental bonding were interpreted using modification of Parental bonding Instrument (PBI) by Parker, Tuping & Brown, esteem using Rosenberg Self-esteem Scale (RSES) by Rosenberg, while sexual behavior level were interpreted using quetioner. The correlation between variables was analized by Spearman’s Rho test (α= 0,05). Result: The result of this study have shown that theres a significant correlation between parental bonding and self-esteem with adolescent’s sexual behavior (p=0,000). Discussion: Parental bonding which is full of care but still gives space to teenagers without excessive limits, indicating better (lower) adolescent sexual behavior. Self-esteem with denial and self-displeasure makes teenagers more likely to feel useless and free to make choices as they wish to show higher levels of sexual behavior. Approaches to parents and

adolescents need to be improved, to optimize care, protection or control and sefl-esteem, so that adolescents are able to control their sexual behavior with healthy and precise.

(10)

HUBUNGAN PARENTAL BONDING DAN SELF-ESTEEM DENGAN

PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA

Penelitian cross sectional Wiwin Nur Indah Cahyani

Pendahuluan: Keterikatan orang tua secara emosional yang terjadi antara orang tua dan keturunannya (parental bonding) serta self-esteem (self-esteem) individu menjadi salah satu faktor kemungkinan dalam perkembangan perilaku seksual remaja. Kurangnya peranan orang tua dianggap mempengaruhi dalam peningkatan jumlah kehamilan diluar nikah remaja selama 3 tahun terakhir pada remaja di Bojonegoro. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi hubungan parental bonding dan self-esteem dengan perilaku seksual pada remaja. Metode: penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Besar sampel didapat dengan teknik proportional random sampling pada murid kelas X Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) dalam kota di Kabupaten Bojonegoro sejumlah 296 responden. Parental bonding diinterprestasikan menggunakan Parental bonding Instrument (PBI) dari Parker, Tuping & Brown, Self-esteem menggunakan Rosenberg Self-esteem Scale (RSES) dari Rosenberg, serta perilaku seksual dinilai dari kuisioner. Hubungan antara variabel dianalisis menggunakan uji statistic Spearman Rho (α= 0,05). Hasil: Penelitian menunjukkan parental bonding memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku seksual remaja (p=0,000), dan self-esteem memiliki hubungan yang signifikan pula dengan perilaku seksual pada remaja (p=0,000). Diskusi: Ikatan dari orang tua (parental bonding) yang penuh kepedulian namun tetap memberikan ruang kepada remaja tanpa membatasi secara berlebih, menunjukkan tingkat perilaku seksual remaja yang lebih baik (rendah). Penghargaan diri (self-esteem) dengan adanya penolakan terhadap diri dan perasaan tidak senang terhadap diri sendiri, membuat remaja cenderung merasa tidak berguna serta bebas menentukan pilihan sesuai keiinginan mereka menunjukkan tingkat perilaku seksual yang lebih tinggi. Pendekatan kepada orang tua serta remaja perlu ditingkatkan, untuk mengoptimalkan care, protection atau control dan sefl-esteem agar remaja mampu untuk mengontrol perilaku seksual mereka dengan sehat dan tepat. .

(11)

COVER ... i

SURAT PERNYATAAN... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN... iv

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... v

MOTTO ... vi

UCAPAN TERIMA KASIH ... vii

ABSTRACT ... ix

2.1 Konsep Parental bonding ... 6

2.1.1Parental bonding ... 6

2.1.2Dimensi Parental bonding ... 6

2.1.3Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Parental Bonding ... 8

2.1.4Jenis Parental bonding ... 9

2.2 Konsep Self-esteem ... 10

2.3.1Self-esteem... 10

2.3.2Hal-hal yang Mempengaruhi Self-esteem ... 11

2.3.3Aspek Self-esteem ... 14

2.3.4Tipe dan Tingkatan Self-esteem ... 17

2.3.5Perkembangan Self-esteem Remaja ... 20

2.3 Konsep Perilaku Seksual ... 22

2.3.1Perilaku Seksual ... 22

2.3.2Bentuk Perilaku Seksual ... 23

2.3.3Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku ... 29

2.3.4Dampak Perilaku Seksual ... 31

2.4 Konsep Remaja ... 32

(12)

2.5 Konsep Dasar Teori ... 40

2.5.1Konsep Teori Kathryn E. Barnard ... 40

2.5.1Konsep Teori Stimulus Organisme (SOR) ... 41

2.6 Keaslian Penelitian ... 44

BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN .... 49

3.1 Kerangka Konseptual ... 49

3.2 Hipotesis Penelitian ... 50

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 51

4.1 Desain Penelitian ... 51

4.2 Populasi, Sampel dan Sampling ... 51

4.2.1Populasi ... 51

4.2.2Sampel ... 52

4.2.3Teknik Sampling ... 52

4.3 Variabel Penelitian dan Defini Operasional Variabel ... 53

4.3.1Variabel Penelitian ... 54

4.3.2Definisi Operasional ... 55

4.4 Instrumen Penelitian ... 58

4.4.1Instrumen Pengukuran Parental bonding ... 58

4.4.2Instrumen Pengukuran Self-esteem ... 59

4.4.3Instrumen Pengukuran Perilaku Seksual ... 60

4.5 Uji Validitas dan Reabilitas ... 60

4.6 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 62

4.7 Teknik Pengumpulan Data ... 62

4.8 Analisis Data ... 63

4.9 Kerangka Operasional ... 65

4.10Etik Penelitian ... 66

4.11Keterbatasan Penelitian ... 67

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 68

(13)
(14)

Tabel 2.1 Keyword Development Hubungan Parental bonding dan Self-esteem

dengan Perilaku Seksual Remaja ... 44

Tabel 2.2 Keaslian Penelitian Hubungan Parental Bonding dan Self-esteem dengan Perilaku Seksual Remaja ... 45

Tabel 4.1 Hasil analisis besar sampel menggunakan aplikasi OpenEpi v. 3.01………..…52

Tabel 4.2 Sebaran Jumlah Sampel Penelitian ... 53

Tabel 4.3 Definisi Operasional Hubungan Parental bonding dan Self-esteem dengan Perilaku Seksual pada Remaja Sekolah Menengah Atas Kota Bojonegoro ... 55

Tabel 4.4 Nilai Penyataan Parental bonding ... 58

Tabel 4.5 Blueprint Skala Parental bonding ... 59

Tabel 4.6 Blueprint Skala Self-esteem ... 59

Tabel 4.7 Penilaian Skala Self-esteem ... 60

Tabel 4.8 Tabulasi Validitas Kuesioner Perilaku Seksual ... 61

Tabel 4.9 Derajat kekuatan hubungan (koefisien korelasi) (Arikunto, 2006) ... 65

Tabel 5.1 Distribusi responden menurut jenis kelamin, usia, dan tempat………69

Tabel 5 2 Distribusi responden berdasarkan parental bonding ... 70

Tabel 5 3 Distribusi responden berdasarkan self-esteem ... 70

Tabel 5.4 Distribusi responden berdasarkan tingkat perilaku seksual ... 71

Tabel 5.5 Hubungan parental bonding dengan perilaku seksual... 72

(15)

Lampiran 1 Surat Ijin Pengambilan Data Awal ... 93

Lampiran 2 Surat Ijin Pengambilan Data Penelitian ... 94

Lampiran 3 Surat Keterangan Lolos Uji etik ... 95

Lampiran 4 Surat Ijin pengambilan Data penelitian dari Dinas Terkait ... 98

Lampiran 5 Surat Balasan Penelitian ... 99

Lampiran 6 Penjelasan Penelitian Bagi Responden ... 104

Lampiran 7 Lembar Persetujuan Menjadi Responden Penelitian ... 107

Lampiran 8 Kuisioner ... 108

Lampiran 9 Distribusi dan Tabulasi Jawaban Kuisioner ... 113

Lampiran 10 Uji Validitas dan Realibilitas ... 114

(16)

BKKBN : Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

HIV/AIDS : Human Immuno Deficiency Virus/Acquired Immuno Deficiency Syndrome

KTD : Kehamilan Tidak Diinginkan

KPAI : Komisi Perlindungan Anak Indonesia LSL : Laki-laki Suka Laki-laki

PKBI : Persatuan Keluarga Berencana Indonesia PMS : Penyakit Menular Seksual

PBI : Parental bonding Instrumen SMA : Sekolah Menengah Atas

SMAN : Sekolah Menengah Atas Negeri VCD : Video Compact Disc

(17)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Remaja adalah fase individu mengalami masa peralihan, salah satunya dalam mencapai kematangan seksual. Perkembangan identitas seksual yang baik pada remaja, ditandai dengan kemampuan mereka untuk belajar menguasai perasaan seksual dan tingkah laku seksual secara benar (Santrock, 2011). Namun, seringkali remaja terjebak pada perilaku seksual yang tinggi (Hayyu, 2017). Fenomena tersebut terjadi salah satunya karena remaja kurang mampu menghargai diri sendiri, (Mayasari and Hadjam, 2000). Hal ini juga dapat terjadi karena lemahnya keterikatan remaja dengan orang tuanya (Puspitadesi et al, 2013).

Tustikarana (2016) berpendapat kedekatan orang tua secara emosinal (parental bonding) yang baik dipercaya memberikan pengaruh terhadap remaja, khususnya self-esteem dan kemampuan berperilaku secara seksual dengan baik. Namun, hubungan parental bonding dan self-esteem dengan perilaku seksual pada remaja, hingga saat ini di Indonesia belum pernah dijelaskan.

(18)

(Andarmoyo, 2014).

(19)

beranjak dewasa (Lind et al., 2017). Parental bonding memiliki peranan penting dalam aspek berperilaku dan perkembangan anak terutama selama 16 tahun pertama usia mereka (Karim and Begum, 2017). Parental bonding yang baik membuat remaja menjadi lebih percaya diri, mandiri, merasa memiliki kompeten, berprestasi di sekolah, self-esteem yang di miliki terhitung tinggi, serta remaja menjadi jarang untuk menunjukkan perilaku yang bermasalah (Rice&Dolgin, 2008 dalam Tustikarana, 2016). Sebaliknya, perilaku pengasuhan yang di tandai oleh permusuhan, penolakan, dan kontrol mengakibatkan kejiwaan yang negatif sepanjang hidup (Lind et al., 2017). Hal ini dipercaya menyebabkan anak terjerumus pada perilaku seksual berisiko semasa remaja (Shin et al., 2016).

Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini bermaksud untuk mengeksplorasi parental bonding dalam keluarga dan self esteem pada remaja, khususnya di kota Bojonegoro. Penelitian ini menggunakan kerangka teori oleh Kathryn E. Barnard (1994), child health assesment model. Kerangka ini dipilih karena kemampuannya mengkaji perilaku melalui sudut pandang interaksi orang tua dengan anak (Alligood, Ann Marriner Tomey, 2010). Kerangka teori dari Teori Skinner (1938) “S-O-R” (Stimulus-Organisme-Respons) juga digunakan sebagai lensa untuk membahas temuan dalam penelitian ini .

1.2 Rumusan Masalah

(20)

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara parental bonding dan self esteem dengan perilaku seksual pada remaja.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi parental bonding dari orang tua terhadap remaja 2. Mengidentifikasi self esteem pada remaja

3. Mengidentifikasi perilaku seksual yang pernah dilakukan oleh remaja 4. Menganalisis hubungan parental bonding dengan perilaku seksual remaja 5. Menganalisis hubungan self esteem remaja dengan perilaku seksual remaja.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan pendekatan asuhan keperawatan keluarga, khususnya pada tahap Keluarga dengan Remaja.

1.4.2 Manfaat Praktis 1. Dinas Kesehatan

Hasil penelitian ini akan disampaikan kepada Dinas Kesehatan Kota Bojonegoro dalam bentuk laporan sebagai pertimbangan kebijakan lokal untuk mengurangi dampak perilaku seksual berisiko serta sebagai bahan acuan pengembangan program kesehatan reproduksi remaja.

2. Remaja sebagai responden

(21)

Pembina UKS sebagai bahan untuk disosialisasikan kepada siswa sekolah setempat.

3. Bagi peneliti selanjutnya

(22)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Parental bonding

2.1.1 Parental bonding

Bonding merupakan hubungan dengan orang lain berupa kedekatan yang terjalin antara orang tua dengan anak, parental bonding ialah pembentukan timbal balik kedekatan emosional dan psikologis antara orang tua (pengasuh utama) dengan anak mereka yang baru lahir bahkan sampai hari setelah mereka lahir (Perry, 2001).

Parental bonding merupakan cerminan hubungan interpersonal anak dengan orang tua sepanjang masa hidup mereka (Shin et al., 2016). Parental bonding mengacu pada keterikatan emosional dan fisik yang terjadi antara figur orang tua, terutama ibu, dan keturunannya yang dimulai sejak bayi lahir (Luanpreda, 2015). Parental bonding juga memiliki peranan penting dalam aspek berperilaku dan perkembangan anak terutama selama 16 tahun pertama usia mereka (Karim and Begum, 2017).

2.1.2 Dimensi Parental bonding

Dimensi yang digunakan untuk parental bonding, yang dikembangkan oleh Tupling& Brown dalam Parker 1983 meliputi dua dimensi, yaitu :

1. Care

(23)

akan dikatakan rendah apabila menunjukkan sikap yang membuat anak merasa tidak diinginkan atau merasa ditolak. Pada dimensi ini hal-hal yang tidak ditunjukkan adalah ketidakpedulian dan penolakan (Luanpreda, 2015). Karakteristik pada dimensi ini adalah adanya rasa kepercayaan, merasa fleksibilitas yang dipunya antara remaja dengan orang tua bagus, mau berbagi sikap optimis, kemandirian dan kasih sayang.

2. Protection

Protection yang tinggi akan ditunjukkan dengan sikap dan perilaku orang tua yang mengendalikan semua yang dilakukan anak, melanggar atau memasuki ruang privasi anak, dan mengurangi semua yang terkait dengan anak. Sedangkan protection yang rendah akan menunjukkan sikap memberikan kebebasan sesuai dengan yang diinginkan anak serta sikap lainnya yang berbanding terbalik dengan protection yang tinggi. Sedangkan pada dimensi ini merupakan hal-hal uang berlawanan dengan semua yang berbau otonom dan kebebasan (Luanpreda, 2015)

(24)

mengayun). Tidak mengherankan jika menahan, menahan, tersenyum, berciuman, bernyanyi, dan tertawa menyebabkan aktivitas neurokimia tertentu di otak. Aktivitas neurokimia ini menyebabkan organisasi normal dalam sistem otak yang bertanggung jawab atas attaachment

2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Parental Bonding

1. Kepribadian anak atau temperamen mempengaruhi ikatan. Pada anak usia dini cenderung tidak responsif dibandingkan dengan anak yang tenang dan menenangkan diri, ia akan memiliki lebih banyak kesulitan untuk mengembangkan keterikatan yang aman. Kemampuan bayi untuk berpartisipasi dalam interaksi ibu-bayi dapat dikompromikan menggunakan kondisi medis seperti pra-jatuh tempo, cacat lahir, atau penyakit.

2. Caregiver : Perilaku pengasuh bisa mengganggu ikatan. Orang tua yang kritis, menolak, dan mengganggu cenderung memiliki anak yang menghindari keintiman emosional. Orang tua yang kasar cenderung memiliki anak yang merasa tidak nyaman dengan keintiman dan penarikan diri. Ibu anak mungkin tidak responsif terhadap anak karena depresi ibu, penyalahgunaan subtansi, masalah pribadi yang luar biasa, atau faktor lain yang mengganggu kemampuannya untuk konsisten mengasuh anak.

(25)

rumah tangga, pengungsi, kekerasan masyarakat atau lingkungan zona perang rentan terhadap pengembangan masalah keterikatan.

4. Fit : "fit" antara temperamen dan kemampuan bayi dan ibu sangat penting. beberapa pengasuh bisa baik-baik saja dengan bayi yang tenang namun terbebani dengan bayi yang mudah tersinggung. Proses untuk memperhatikan, membaca isyarat non-verbal satu sama lain dan merespons dengan tepat sangat penting untuk mempertahankan pengalaman ikatan yang terbentuk dalam keterikatan yang sehat. Terkadang gaya komunikasi dan respons yang akrab bagi seorang ibu dari salah satu anaknya yang lain mungkin tidak sesuai dengan bayinya saat ini. Rasa frustrasi bersama karena "tidak sinkron" bisa mengganggu ikatan

2.1.4 Jenis Parental bonding

Rentang jenis parental bonding dalam Karim and Begum, (2017) ialah sebagai berikut:

1. Optimal Parenting (Care Tinggi dan Protection Rendah)

Pola ini menunjukkan sikap orang tua yang peduli dengan remaja, tetapi tetap memberikan ruang kepada remaja tanpa membatasi secara berlebihan. 2. Affectionate Constrait (Care Tinggi dan Protection Tinggi)

Pola ini menunjukkan sikap orang tua yang paling kaku dalam mengendalikan atau mengontrol remaja.

3. Affectionate Control (Care Rendah dan Protection Tinggi)

(26)

4. Neglectful Parenting (Care Rendah dan Protection Rendah)

Pola ini menunjukkan sikap orang tua yang tidak peduli dengan remaja dan membebaskan remaja untuk berlaku sesuka hati mereka.

Beberapa penelitian mengemukakan bahwa perilaku pengasuhan yang di tandai oleh permusuhan, penolakan, dan kontrol mengakibatkan kenegatifan kejiwaan sepanjang hidup (Lind et al., 2017) ikatan orang tua yang tidak tepat dapat mengancam self-esteem anak sehingga merasa tidak berdaya dan terpukul (Shin et al., 2016). Penelitian oleh Hikmiya et al., (2014) didapatkan dari 196 responden, 35 % yang mengalami ikatan dari orang tua dalam bentuk lalai, menunjukkan perilaku distructive lebih tinggi dibandingkan jenis ikatan yang lain.

2.2 Konsep Self-esteem

2.3.1 Self-esteem

Self-esteem adalah evaluasi diri yang bersifat global untuk menjelaskan image atau penilaian positif seseorang untuk dirinya (Santrock, 2011).

Self-esteem (self-esteem) merupakan penilaian sesorang atas kelayakan diri,tentang bagaimana standart dan penampilan sesorang itu dibandingkan dengan orang lain dan ideal diri seseorang (Audrey Berman, Barbara Kozier, 2010). Self-esteem merupakan salah satu predictor utama kesejahteraan psikologis (Valkenburg, Koutamanis and Vossen, 2017).

(27)

2.3.2 Hal-hal yang Mempengaruhi Self-esteem

Pada remaja menurut Kreitner dan Kinicki dalam (Suhron, 2016) terdapat enam faktor yang dapat mendukung self-esteem, yang biasanya disingkat dengan G-R-O-W-T-H, yaitu :

a. Goal setting (merencanakan tujuan)

Pada masa remaja dalam menentukan tujuan hidup yang ingin dicapai dibutuhkan usaha dan keinginan yang kuat (ambisi) untuk mencapainya khususnya dalam belajar dan meraih prestasi.

b. Risk taking (mengambil resiko)

Berani untuk mengambil risiko untuk memenuhi dan mencapai tujuannya karena remaja tidak akan pernah mengetahui kemauan diri sendiri jika tidak mau mengambil risiko.

c. Opening up (membuka diri)

Jika remaja mau membuka diri dan berbagi rasa dengan orang lain maka akan mudah baginya untuk mengenali dirinya sendiri.

d. Wisechoice making (membuat keputusan yang bijaksana)

Jika remaja biasa membuat keputusan yang benar maka akan meningkatkan self confiedence dan self-esteem,

e. Time sharing (berjalan sesuai dengan waktu)

(28)

f. Healing (penyembuhan)

Penyembuhan dalam arti fisik dan mental dan hal itu bisa dilakukan dengan cara membuat komitmen dan bersyukur. Dalam hal ini remaja bersyukur dan memahami potensi yang dimiliki untuk menunjang prestasi belajarnya meskipun dalam meraih cita-citanya tidak mudah untuk mencapainya.

Menurut McLoed & Owens, Powell, (2014) dalam (Suhron, 2016) faktor-faktor yang mempengaruhi self-esteem antara lain :

a. Usia

Perkembangan self-esteem ketika seseorang memasuki masa anak-anak dan remaja akan memperoleh harga diri mereka dari teman, orang tua dan guru pada saat mereka bersekolah.

b. Ras

Keanekaragaman budaya serta ras tertentu dapat mempengaruhi self-esteem nya untuk menjunjung tinggi rasnya.

c. Suku

Dalam kehidupan sosial dan bermasyarakat terdapat suku tertentu yang menilai bahwa sukunya lebih tinggi derajatnya sehingga dapat mempengaruhi self-esteem seseorang.

d. Pubertas

(29)

yang dapat menimbulkan perasaan menarik sehingga mempengaruhi self-esteem.

e. Berat Badan

Rangkaian perubahan berat badan yang paling jelas yang tampak pada masa remaja adalah perubahan fisik. Hormon-hormon baru diproduksi oleh kelenjar endokrin, dan membawa perubahan dalam ciri-ciri seks primer dan munculkan ciri-ciri seks sekunder. Individu mulai terlihat berbeda, sebagai konsekuensi dari hormon yang baru dalam penambahan atau penurunan berat badan, dia sendiri mulai merasa adanya perbedaan.

f. Jenis Kelamin

Remaja pria akan menjaga self-esteemnya untuk bersaing dan berkeinginan untuk menjadi lebih baik dari remaja putri dalam mencapai prestasi belajar Hal ini dapat mempengaruhi self-esteem. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa remaja putrimudah mengalami gangguan citra diri. Secara khusus, self-esteem remaja putri rendah, tingkat kesadaran diri mereka tinggi dan citra diri mereka mudah terganggu dibandingkan remaja putra (Rosenberg& Simmons dalam Steinberg, 1999).

Faktor lain yang turut mempengaruhi self-esteem menurut Coopersmith dalam Burns, (1993) :

1. Pengalaman

(30)

2. Pola Asuh

Self-esteem dipengaruhi sikap orangtua ketika berinteraksi dengan anaknya, seperti memberikan aturan, hadiah ataupun hukuman, dan termasuk bagaimana orang tua memberikan afeksi dan perhatian kepada anaknya. 3. Lingkungan

Pengaruh terbesar dating dari orang tua atau keluarga, teman sebaya, dan lingkungan sekitar, meliputi perasaan aman dan nyaman, serta merasa diterima secara sosial.

4. Sosial ekonomi

Status sosial ekonomi individu yang mempengaruhi cara dan sikap individu dalam memenuhi kebutuhan sosialnya, beserta kemampuan dukungan finansial pada kehidupan sehari-hari.

2.3.3 Aspek Self-esteem

Menurut Coopersmith (1967) dalam (Machini et al., 2015) aspek-aspek yang terkandung dalam self-esteem ada empat yaitu :

a. Kekuasaan (Power)

Kemampuan untuk mengontrol dan mengatur tingkah laku diri sendiri dan orang lain.

b. Keberartian (Significance)

(31)

c. Kebajikan (Virtue)

Kegiatan mengikuti kode moral, etika dan prinsip-prinsip keagamaan yang ditandai oleh ketaatan untuk menjauhi tingkah laku yang dilarang dan melakukan tingkah laku yang diperolehkan oleh moral, etika, dan agama. d. Kemampuan (Competence)

Sukses memenuhi tuntutan prestasi yang di tandai oleh leberhasilan individu dalam mengerjakan berbagai tugas atau pekerjaan dengan baik dari level yang tinggi dan usia yang berbeda.

Menurut Rosenberg, (1995) self-esteem secara globlal menjadi lebih relevan untuk kesejahteraan psikologis, dan spesifik self-esteem ynag menjadi lebih relevan untuk perilaku. Self-esteem secara global lebih kuat berkaitan dengan langkah-langkah kesejahteraan psikologis, sedangkan spesifik self-esteem yang berkaitan dengan akademik, sebagai predictor kemampuan dalam belajar. Rosenberg menyatakan bahwa self-esteem memiliki dua aspek, yaitu penerimaan diri dan penghormatan diri. Kedua aspek tersebut memiliki lima dimensi yaitu: 1. Dimensi akademik mengacu pada persepsi individu terhadap kualitas

pendidikan individu.

2. Dimensi sosial mengacu pada persepsi individu terhadap hubungan sosial individu

3. Dimensi emosional merupakan hubungan keterlibatan individu terhadap emosi invidu.

(32)

5. Dimensi fisik yang mengacu pada presepsi individu terhadap kondisi fisik individu.

Terdapat komponen positif dan negatif terhadap perasaan penghargaan pada individu :

1. Positif sebagai aspek kepercayaan diri (self confidence)

Individu memiliki perasaan positif dalam menghargai diri ketika ia menganggap diri sendiri sebagai orang yang berharga dan sama baiknya dengan orang lain yang sebaya dengan dirinya san menghargai orang lain, dapat mengontrol tindakannya terhadap dunia luar dirinya dan dapat menerima kritik dengan baik, menyukai tugas dan menantang serta tidak cepat bingung bila sesuatu berjalan diluar rencana, berhasil atas prestasi dibidang akademik, aktif dan dapat mengekspresikan dirinya dengan baik, tidak menganggap dirinya sempurna, tetapi tahu keterbatasan diri dan mengharapkan adanya pertumbuhan dalam diri, mimiliki nilai-nilai dan sikap yang demokratis serta orientasi yang realistis. Individu dengan perasaan positif lebih bahagia dan efektif menghadapi tuntutan dari lingkungan.

2. Negatif sebagai aspek penurunan kepercayaan diri (self depreciation)

(33)

hal atau tugas yang baru, sehingga akan sulit baginya untuk menyesuaikan diri dengan segala sesuatu yang belum jelas baginya. Ketidak yakinan akan pendapat dan kemampuan diri sendiri sehingga kurangberhasil dalam prestasi, menganggap dirinya kurang sempurna, kurang memiliki nilai dan sikap yang yang demokratis serta orientasi yang kurang realistis dan selalu merasa khawatir dan ragu-ragu dalam menghadapi tuntutan dari lingkungan

2.3.4 Tipe dan Tingkatan Self-esteem

Berikut ini adalah tipe-tipe self-esteem dalam tingkatannya menurut Mruk (2006) dalam (Anandari, 2013) :

1. Worthiness-Based Self-esteem

Individu dengan tipe ini cenderung tidak stabil atau memiliki karakteristik self-esteem yang rapuh. Mereka memiliki kompetensi rendah namun terlalu focus pada kemampuannya.

a) Approvesl seeking. Pada level ini, individu akan bergantung pada penerimaan orang lain, sensitif pada kritik, dan penolakan.

b) Narsistik. Pada level ini, individu akan melebih-lebihkan kemampuannya tanpa menghiraukan kompetensinya dan kritik untuknya. Cenderung untuk terlalu membela diri sendiri.

2. Highh Self-esteem

(34)

a) Medium. Pada level ini, individu memiliki kestabilan yang cukup dalam kompetensi dan kemampuan.

b) Authentic. Pada level ini, individu memiliki kompetensi yang realistic, kemapuan yang kuat, aktif untuk hidup secara positif, dan memiliki nilai instrinsik.

3. Low Self-esteem

Berkurangnya level dari self-esteem yang memiliki kecenderungan karakter untuk menghindar dan hilangnya kompetensi atau kemampuan yang dimiliki.

a) Negativistic. Pada level ini, individu cenderung lebih berhati-hati dan lebih berfokus pada menjaga self-esteem yang dia miliki daripada kehilangannya.

b) Klasikal. Pada level ini, individu akan merasa bahwa kemampuan yang dia miliki rendah, memiliki kecenderungan untuk depresi, dan cepat menyerah.

4. Competence-Based Self-esteem

Individu dengan tipe ini cenderung tidak stabil atau memiliki karakteristi self-esteem yang rapuh. Mereka memiliki kemampuan yang rendah namun terlalu fokus pada kompetensinya.

(35)

b) Anti sosial. Pada level ini, individu akan berlebihan untuk sukses dan memiliki power. Sangat mudak untuk bertindak agresif.

Rosenberg membagi tingkatan self-esteem menjadi tiga, terdiri dari:

a. Individu dengan self-esteem yang tinggi

Rosenberg menyatakan bahwa individu terbilang memiliki self-esteem tinggi pabila individu menghargai dan merasa dirinya berharga dan dengan tidak merasa superior atas orang lain. Mampu mengakui keterbatasan diri tapi tetap memiliki harapan untuk terus mengembangkan diri.

Damian and Robins, (2011) menyatakan orang yang memiliki self-esteem tinggi cenderung mencari hal yang bisa membuat dirinya berkembang dan melihat segala sesuatu, baik itu positif atau negatif sebagai proses berkembang. b. Individu dengan self-esteem yang sedang

(36)

c. Individu dengan self-esteem yang rendah

Individu yang memiliki self-esteem rendah ditunjukkan dengan adanya penolakan terhadap dirinya dan perasaan tidak senang terhadap dirinya sendiri.

2.3.5 Perkembangan Self-esteem Remaja

(37)

self-esteem individu. Dubois dan Tevendale, (1999) mengungkapkan bahwa masa remaja merupakan masa kritis dalam perkembangan self-esteem karena self-esteem dapat membantu menghadapi tugas perkembangan remaja (Suhron, 2016).

.Pada masa remaja self-esteem tumbuh dan perlahan meningkat hingga dewasa. Ada factor yang membedakan dalam perkembangan self-esteem berdasarkan jenis kelamin, dimana pada laki-laki mereka lebih berfokus pada kemampuan mereka sendiri, sedangkan wanta cenderung berfaktor ke emosionalnya seperti pentingnya berhubungan dengan hal yang lain (Passanisi, Gensabella and Pirrone, 2015). Penelitian yang melibatkan 1000 anak menunjukkan anak dengan self-esteem rendah lebih mudah mengalami depresi daripada anak yang memiliki self-esteem tinggi. Selain itu self-esteem yang tidak stabil erat kaitannya dengan respon afektif dan perilaku yang maladaptif (Passanisi, Gensabella and Pirrone, 2015). Perkembangan remaja yang perlu dilakukan adalah mengembangkan rasa koheren diri (pandangan tentang siapa mereka dan siapa yang mereka inginkan) serta persaan tentang self-esteem (self esteem), karena self-esteem salah satu predictor utama kesejahteraan psikologis (Valkenburg, Koutamanis and Vossen, 2017).

(38)

2.3 Konsep Perilaku Seksual

2.3.1 Perilaku Seksual

Perilaku seksual menurut Sarwono (2010) adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis, objek seksual bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri. Secara lebih luas perilaku seksual yakni interaksi dan hubungan dengan individu dari jenis kelamin yang berbeda dan atau sama dan mencakup pikiran, pengalaman, pelajaran, ideal, nilai, fantasi, emosi serta bagaimana sesorang mengkomunikasikan perasaan tersebut kepada orang lain melalui tindakan yang dilakukan (Andarmoyo, 2014).

Andarmoyo, (2014) menuliskan para ahli dalam bidang seksualitas tidak setuju tentang jenis perilaku seksual normal, suatu hal yang mungkin untuk menijau ekspresi seksualitas dalam suatu rentang yang berkisar dari adaptif hingga maladaptive.

Respons seksual yang paling adaptif terlihat pada perilaku yang memenuhi kriteria sebagai berikut :

1. Antara dua orang dewasa

2. Saling memuaskan individu yang terlibat

3. Secara fisik dan psikologik tidak berbahaya bagi kedua pihak. 4. Tidak terdapat paksaana tau kekerasan

5. Dilakukan di tempat tertutup

(39)

Rentang Respon Seksual

Respon adaptif Respo Maladaptif

Gambar 2.1 Rentang respon seksual

Menurut Berman & Kozier, (2010) tahap-tahap perilaku seksual dimulai dari adannya stimulasi psikologi meliputi, bau, rasa, pendengaran, sight, fantasi atau khayalan dan odor.

2.3.2 Bentuk Perilaku Seksual

PKBI, (2017) menyebutkan perilaku seksual adalah perilaku yang muncul karena adanya dorongan seksual dengan cara-cara yang biasa dilakukan orang untuk menyalurkan dorongan seksual, antara lain :

1. Bergaul dengan ;awan jenis atau sesame jenis 2. Berdandan untuk menarik perhatian

(40)

8. Melakukan hubungan seksual non penetrasi (berpegangan tangan, berpelukan, cium, pipi, cium, bibir, cumbuan berat, petting)

9. Melakukan aktivitas penetrasi (intercourse)

10.Menahan diri dengan berbagai cara atau menyibukan diri dengan berbagai aktifitas misalnya olahraga.

Menurut Sarwono (2011) , beberapa tahapan perilaku seksual antara lain : 1. Awakening and Ekxploration

Perilaku yang berkaitan dengan keinginan untuk menimbulkan rangsangan terhadap diri sendiri dengan cara berfantasi, menonton film, melihat maupun membaca gambar juga buku-buku porno.

2. Autosexuality

Perilaku seskual berupa merangsang diri sendiri dengan melakukan maturbasi untuk mendapatkan kepuasan seksual.

3. Heterosexuality : Necking and Petting

Perilaku saling merangsang dengan pasangannya tetapi tidak mengarah ke daerah sensitive pasangannya, hanya sebatas mencium bibir dan leher pasangannya. Aspek ini mencakup pendekatan jasamani yang dilakukan seperti saling memegang ( berpegangan tangan), berciuman (kening, pipi, bibir), berangkulan dan berpelukan.

4. Heterosexuality : Heavy Petting

(41)

kelamin, mencium daerah erogen, saling tempel alat kelamin tetapi tidak sampai senggama. Tahap ini merupakan awal terjadinya hubungan seksual. 5. Heterosexuality : Copulation

Perilaku melakukan hubungan seksual dengan melibatkan organ seksual masing-masing.

Nugraha, (2010) mengemukakan, aktivitas seksual dapat dilakukan sendiri dimana objek seksualnya adalah diri sendiri, dan juga dilakukan dengan orang lain sebagai objeknya.

1. Bentuk perilaku seksual yang objeknya diri sendiri a. Menonton video porno

Menonton video porno adalah satu bentuk pendidikan seks tetapi pendidikan seks yang buruk. Karena apa yang dipertontonkan didalamnya tidak semua benar. Pada remaja dapat berdampak negatif karena bisa mengakibatkan ketagihan sehingga sulit berkonsentrasi dan menimbulkan dorongan untuk menyalurkan dorongan seksual setelah menontonnya. b. Menghayal tentang seks

(42)

c. Masturbasi

Masturbasi adalah stimulus organ genital (seks), biasanya dengan tangan, tanpa melakukan hubungan intim. Bagi laki-laki masturbasi adalah merangsang penis dengan mengusap atau menggosok-gosoknya. Sedangkan bagi perempuan, masturbasi biasanya termasuk mengusap-ngusap dan menggesek-gesek daerah kemaluan, terutama klitoris dan vagina. Masturbasi digolongkan kedalam kegiatan memuaskan diri sendiri, tetapi dapat pula terjadi pada satu pasangan yang merangsang alat kelamin lawan jenisnya untuk mencapai orgasme.

2. Bentuk perilaku seksual yang objeknya orang lain a. Berpegangan tangan

Remaja sering melakukan aktivitas seksual berpegangan tangan dengan lawan jenis. Perilaku tersebut mungkin disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya berpegangan merupakan ekspresi perasaan sayang yang dapat menimbulkan perasaan aman dan nyaman.

b. Berpelukan c. Berciuman d. Necking

(43)

e. Petting

Petting adalah langkah yang lebih mendalam dari necking. Ini termasuk merasakan dan mengusap-ngusap tubuh pasangan, termasuk lengan, buah dada, kaki dan kadang-kadang daerah kemaluan, entah dari luar atau dalam pakaian. Baik necking maupun petting sama-sama membahayakan. Sebab, persis ketika dua orang begitu terangsang secara seksual, mereka cenderung tidak mampu mencegah untuk tidak melakukan hubungan intim, atau tidak menggunakan alat pencegah kehamilan.

f. Oral seks

(44)

g. Anal seks

Anal seks atau hubungan seksual dengan menggunakan lubang anus pada umumnya dilakukan oeh kaum gay. Karena bakteri menumpuk dalam dubur manusia maka anal seks berbahaya. Perilaku membahayakan karena penularan bakteri dari dubur ke vagina. Anal seks bukan termasuk kedalam perilaku seksual yang biasa dilakukan remaja.

h. Hubungan seksual

Hubungan seksual merupakan kegiatan seksual bertemunya alat kelamin laki-laki dan perempuan. Bersatunya dua orang dewasa secara seksual yang dilakukan setelah pasangan pria dan wanita menikah.

Adapun berdasarkan skala study of value karya All Port dan Vernam dalam (Sumantri, 2012), perilaku seksual dikategorikan menjadi 4 jenis, yaitu :

a. Rendah, yaitu apabila saling memandang, berbicara mesra, melakukan pegangan tangan , saling memandang,berkhayal, serta berpelukan.

b. Sedang, yaitu apabila berciuman, bermesraan dan juga mengeksplorasi daerah genital dan melakukan perabaan antara lain di daerah leher payudara maupun alat kelamin

c. Tinggi, yaitu apabila melakukan ciuman, bermesraan, mengeksplorasi daerah genital dan juga melakukan onani atau masturbasi yang berlebihan.

d. Sangat tinggi, yaitu apabila melakukan ciuman, bermesraan, mengeksplorasi daerah genital juga petting sampai dengan sexual intercourse.

(45)

maka harus dilakukan usaha untuk memberi pengertian dan pengetahuna mengenai hal tersebut. (Sarwono S, 2010). Perilaku seksual yang berisiko biasanya muncul serta memuncak selama masa remaja berlangsung hingga dewasa awal (Kahn et al., 2015)

Pardun, L’Engle and Brown, (2005) mengatakan bahwa perilaku seksual ringan mencakup : menaksir, pergi berkencan, menghayal, berpegangan tangan, berciuman ringan (kening, pipi), saling memeluk, sedangkan yang termasuk kategori berat adalah : berciuman bibir/mulut dan lidah, meraba dan mencium bagian-bagian sensitive seperti payudara, alat kelamin, menempelkan alat kelamin, oral seks, berhubungan seksual (senggama).

2.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku

Munculnya perilaku seksual dini pada remaja di perngaruhi oleh multi factor mulai dalam sistem individu, keluarga dan diluar dari keluarga, dalam individu faktor biologis seperti usia dan jenis kelamin juga dinilai mempengaruhi inisiasi seksual (Markham et al., 2015). Peran orang tua juga dinilai memiliki efek abadi terhadap munculnya perilaku nakal remaja (Bao et al., 2015)

Lebih lanjut, (Suryoputro et al ,2006) mengklasifikasikan faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja menjadi faktor personal dan faktor lingkungan.

1. Faktor Personal

(46)

2. Faktor Lingkungan

Beberapa variable yang termasuk dalam faktor lingkungan adalah akses dengan sumber informasi, sosial budaya, tempat, nilai, dan norma sebagai pendukung sosial untuk perilaku tertentu.

Menurut Sarwono S (2010) perilaku seksual pada remaja dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut :

1. Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual remaja. Peningkatan hormon ini menyebabkan remaja membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku tertentu.

2. Penyaluran tersebut tidak dapat segera dilakukan karena adanya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum oleh karena adanya undang-undang tentang perkawinan, maupun karena norma sosial yang semakin meningkat untuk perkawinan (Pendidikan, pekerjaan, persiapan mental dan lain-lain) 3. Norma-norma agama yang berlaku dimana seseorang dilarang untuk

melakukan hubungan seksual sebelum menikah.

4. Kecenderungan pelanggaran makin meningkat karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan melalui media massa yang dengan teknologi yang canggih (VCD, majalah, internet, dan lain-lain) menjadi tidak terbendung lagi. 5. Orang tua sendiri, baik karena ketidaktahuan maupun karena sikapnya yang

mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak, bahkan cenderung menjaga jarak dengan anak dalam masalah ini.

(47)

berkencan yang kurang ditunjukkan lebih dari seperempat (26,5%) memulai aktivitas seksual pada akhir kelas sembilan, dan atambahan 18,9% memulai aktivitas seksual pada akhir kelas 10. Sebaliknya orang tua yang memiliki kontrol orang tua (dalam hal ini aturan keluarga tentang berkencan) yang tinggi lebih menonjol dalam mencegah secara langsung perilaku berisiko pada remaja.

6. Teman, pengaruh teman sebaya memberikan konstribusi dalam perilaku seksual remaja terutama teman lawan jenis. Kebebasan pergaulan antar jenis kelamin pada remaja dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.

Penelitian yang dilakukan oleh Hensel, Nance & Fortenberry, (2016) menyebutkan faktor lain yang mempengaruhi perilaku seksual pada remaja yakni penggunaan nikotin dan minum minuman beralkohol, didapat 34% dari remaja tersebut telah melakukan vaginal seks.

2.3.4 Dampak Perilaku Seksual

Perilaku seksual yang berisiko pada remaja akhirnya dapat menyebabkan berbagai dampak yang merugikan pada remaja itu sendiri, berikut beberapa dampak perilaku seksual berisiko menurut (Lubis, 2013) :

1. Dampak psikologis

Dampak psikologis dari perilaku seks bebas pada remaja diantaranya perasaan marah, takut cemas depresi, rendah dirim bersalah dan berdosa. 2. Dampak fisiologis

(48)

3. Dampak sosial

Dampak sosial yang timbul akibat perilaku seksual yang dilakukan sebelum saatnya antara lain dikucilkan, putus sekolah pada remaja perempuan yang hamil, dan perubahan peran menjadi ibu. Belum lagi tekanan dari masyarakat yang mencela dan menolak keadaan tersebut.

4. Dampak fisik

Dampak fisik lainnya sendiri adalah berkembangnya penyakit menular seksual (PMS) di kalangan remaja, dengan frekuensi penderita PMS yang tertinggi antara usia 15-24 tahun, infeksi penyakit menular seksual dapat menyebabkan kemandulan dan rasa sakit kronis serta meningkatkan resiko terkena PMS dan HIV/AIDS.

2.4 Konsep Remaja

2.4.1 Remaja

Remaja (adolescence) biasanya di definisikan sebagai periode antara usia 10-19 tahun, yang mengalami masa transisi dari anak-anak ke dewasa (WHO, 2017). BKKBN, (2014) menyebutkan rentang usia remaja mulai dari 10-24 tahun dan belum menikah.

(49)

Dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan individu dalam masa transisi dari anak-anak menuju dewasa dimana pada masa ini terdapat perubahan yang sekuensial baik dari segi fisik maupun psikis, individu mulai mengambangkan ciri abstrak dan konsep diri. Hal ini menyebabkan seorang remaja relatif bergejolak dibandingkan dengan masa lainnya, sehingga masa remaja sangat penting untuk diperhatikan.

2.4.2 Ciri Remaja

Masa remaja adalah suatu masa perubahan. Pada masa remaja trjadi perubahan yang cepat, baik secara fisik, maupun psikologis. Perubahan-perubahan yang terjadi menimbulkan ciri-ciri yang khas pada remaja, Episentrum, 2010 dalam (Lubis, 2013):

1. Peningkatan emosional yang tejadi secara cepat pada masa remaja awal yang dikenal dengan masa badai dan stress. Peningkatan emosional ini merupakan hasil dari perubahan fisik terutama hormone yang terjadi pada masa remaja. Dari segi kondisi sosial, peningkatan emosi ini merupakan tanda bahwa remaja berada dalam kondisi baru yang bebeda dari masa sebelumnya. Pada masa ini banyak tuntutan dan tekanan yang ditunjukkan pada remaja, missalnya mereka diharapkan untuk tidak lagi bertindak seperti anak-anak, mereka harus lebih mandiri dan bertanggung jawab. Kemandirian dan tanggung jawab ini akan terbentuk seiring berjalannya waktu, dan akan tampak jelas pada remaja akhir yang duduk di awal-awal masa kuliah.

(50)

kemampuan mereka sendiri. Perubahan fisik yang terjadai secara cepat, baik perubahan internal seperti sistem sirkulasi, pencernaan, dan system respirasi maupun perubahan eksternal seperti tinggi badan, berat badan, dan proporsi tubuh sangat berpengaruh terhadap konsep diri remaja.

3. Perubahan dalam hal yang menarik bagi dirinya dan hubungan dengan orang lain. Remaja tidak lagi berhubungan hanya dengan individu ari jenis kelamin yang sama, tetapi juga dengan lawan jenis dan dengan orang dewasa.

4. Perubahan nilai, dimana apa yang mereka anggap penting pada masa kanak-kanak menjadi kurang penting karena sudah mendekati dewasa.

5. Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan yang terjadi. Disatu sisi mereka menginginkan kebebasan, tetapi sisi lain mereka takut akan tanggung jawab yang menyertai kebiasaan tersebut, serta meragukan kemampuan mereka sendiri untuk memikul tanggung jawab tersebut.

Sedangkan, lebih spesifik ciri-ciri remaja menurut Havigurst dalam Hidayah, (2009) meliputi :

1. Pertumbuhan fisik

Pertumbuhan fisik pada remaja terlihat pada tungkai dan tangan, tulang kaki dan tangan, otot-otot tubuh berkembang pesat, sehingga anak kelihatan bertubuh tinggi, tetapi kepalanya masih mirip denga anak-anak.

2. Perkembangan seksual

(51)

Sedangkan pada perempuan, rahimnya sudah bisa dibuahi karena sudah mendapatkan menstruasi.

3. Cara berpikir

Remaja sudah mulai berpikir kritis sehingga mereka akan melawan bila orang tua, guru, lingkungan, masih mengangggapnya anak kecil. Remaja akan menanyakan kenapa hal itu dilarang.

4. Emosi

Keadaan emosi remaja masih labil. Manifestasi emosi yang sering muncul pada remaja antara lain heightened emotionality (meningkatnya emosi) yaitu kondisi emosinya berbeda dengan keadaan sebelumnya.

5. Kehidupan sosial remaja, mereka mulai tertarik kepada lawan jenisnya. 6. Menarik perhatian lingkungan

Terikat dengan kelompok. Remaja dalam kehidupan sosial sangat tertarik kepada kelompok sebayanya.

2.4.3 Perkembangan Remaja

1. Tahap Perkembangan Remaja

Menurut Sarwono (2010) terdapat 3 (tiga) tahap perkembangan ynga dilalui remaja dalam proses menuju kedewasaan, disertai dengan karakteristiknya, yaitu:

1) Remaja Awal (Early Adolescene)

(52)

mudah terangsang secara erotis. Tingkat egosentris serta kepekaan yang berlebihan ini ditambah dengan berkurangnya pengendalian terhadap emosi dam menyebabkan remaja sulit mengerti dan dimengerti oleh orang dewasa. Rentang usia remaja awal antara 13-14 tahun.

2) Remaja menengah/madya (Middle Adolescence)

Ketika berada ditahap ini, remaja sangat membutuhkan teman-teman. Ada kecenderungan narsistik yaitu mencintai dirinya sendiri, dengan cara menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Emosional yang masih labil membuat remaja berada dalam kondisi kebingungan karena masih ragu harus memilih yang mana, seperti peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis, idealis atau materialisdan sebagainya. Remaja madya terjadi pada usia 15-17 tahun.

3) Remaja Akhir (Late Adolescence)

Pada tahap ini berlangsung pada usia 18-21 tahun, merupakan masa konsolidasi menuju periode dewasa, yang ditandai dengan pencapaian :

(1) Minat yang semakin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek

(2) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan mendapatkan pengalaman-pengalaman baru

(53)

(4) Egosentrisme ( terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain.

(5) Tumbuh dinding pemisah antara diri sendiri dengan masyarakat umum

2. Tugas perkembangan remaja

Menurut Havigurst dalam (Hidayah, 2009) remaja usia 12-21 tahun, memiliki tugas perkembangan sebagai berikut :

1) Membina hubungan yang lebih matang baik pada pria maupun pada wanita

2) Mampu mengekspresikan dan menngembangkan peran jenis secara sehat. 3) Memahami kondisi fisiknya dan memanfaatkan secara efektif.

4) Mengurangi ketergantungan emosional kepada orang tua atau orang dewasa lain.

5) Mengurang ketergantungan ekonomi kepada orang tua atau orang dewasa lain.

6) Menyeleksi dan menyiapkan diri untuk suatu pekerjaan di masa depan 7) Mempersiapkam untuk membina rumahtangga

8) Mengembangkan intelektua dan ketrampilan kemasyarakat

9) Menyesuaikan perilau dan etika yang berlaku sehingga dapat memiliki pedoman untuk bertindak

(54)

Beberapa tugas perkembangan yang seharusnya bisa dilakukan oleh remaja menurut Hurlock (1980) adalah sebagai berikut :

1. Menerima keadaan fisik

2. Menerima peran seks dewasa yang diakui masyarakat 3. Mempelajari hubungan baru dengan lawan jenis

4. Mengembangkan perilaku sosial yang bertanggung jawab 5. Persiapan perkawinan.

3. Fase Perkembangan Seksualitas pada Remaja

Pada proses kematangan seks, sama halnya dengan aspek perkembangan lainnya maka akan terlihat adanya perbedaan-perbedaan individu dalam hal saat permulaan mualinya perubahan dan lamanya proses. Walaupun ada pengaruh-pengaruh individu individu itu , akan teteapi prosesnya sama saja seperti perkembangan fisik dimana remaja perempuan rata-rata 2 tahun lebih dahulu dibandingkan remaja laki-laki. Perubahan yang terjadi pada tubuh remaja merupakan akibat dari berfungsinya kelenjar-kelenjar seks dalam tubuh yang disertai kematangan organ reproduksi. Remaja menyadari diri mereka sebagai manusia yang berjenis kelamin dengan seksualitas yang specific bahkan sejak awal masa remaja (Richards & Buyers, 2016).

Menurut Audrey Berman & Barbara Kozier, (2010) menjelaskan bahwa perkembangan seks pada remaja meliputi :

1. Remaja Perempuan

(55)

payudara dan daerah pinggul. Kemudian baru mulai tumbuh rambut pada daerah kemaluan bagian luar dan pada ketiak. Suaranya berubah lebih nyaring, kulit bertambah halus, serta kadar hormon estrogen meningkat mempengaruhi pertumbuhan organ reproduksi. Uterus mulai membesar dan terjadi peningkatan lubrikasi vaginal. Remaja perempuan akan mengalami menarche atau datangnya haid pertama. Usia tercapainya menarche tidak sama antara remaja satu dengan remaja yang lain, tetapi rata-rata remaja perempuan mengalami menarche pada usia 8 tahun sampai 15 tahun atau bahkan lebih. Akan tetapi dengan adanya menarche belum berarti bahwa kematangan organ reproduksi telah sempurna.

2. Remaja Laki-laki

(56)

2.5 Konsep Dasar Teori

2.5.1 Konsep Teori Kathryn E. Barnard

Fokus teori Barnard adalah perkembangan alat pengkajian untuk mengevaluasi kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan anak disamping memandang orangtua dan anak sebagai sebuah sistem interaktif. Sistem orangtua-anak dipengaruhi oleh karakteristik individu setiap anggota dan karakteristik individu tersebut yang dimodifikasi untuk memenuhi kebutuhan sistem dan Barnard mendefinisikan modifikasi sebagai perilaku adaptif yang terlihat pada gambar berikut,

(57)

Model Barnard tersebut selanjutnya berkembang menjadi dasar teori interaksi pengkajian kesehatan anak (Child Health Assesment Interaction Theory). Konsep utama/asumsi dari teori ini adalah: anak (child), ibu atau pengasuh (mother/caregiver), dan lingkungan (environment) ( Tomey & Alligood, 1998) : 1. Anak (Child)

Barnard menggambarkan anak dengan karakteristik berikut : perilaku bayi baru lahir, pola makan dan tidur, tampilan fisik, temperamen dan kemampuan anak beradaptasi terhadap lingkungan dan petugas kesehatan.

2. Ibu/ pengasuh (Mother/ care giver)

Karakteristik ibu yang digambarkan Barnard meliputi: aspek psikososial, perhatian terhadap anak, kesehatan ibu sendiri, pengalaman ibu yang mengubah kehidupannya, harapan ibu terhadap anaknya, dan yang paling penting adalah pola hubungan orang tua- anak dan kemampuan adaptasinya. 3. Lingkungan (Environment)

Karakteristik lingkungan aspek lingkungan fisik dan keluarga, keterlibatan ayah, dan derajat hubungan orang tua untuk menghormati anaknya.

Tiga faktor tersebut diatas senada dengan faktor-faktor terbentuknya parental bonding yang dijelaskan dalam Perry, (2001)

2.5.1 Konsep Teori Stimulus Organisme (SOR)

(58)

tidak dapat diamati orang lain (dari luar) misalnya: berfantasi, berpikir, bersikap, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2014).

Menurut Skinner (1938), seperti yang dikutip oleh (Notoatmodjo, 2014), Skinner merupakan seorang ahli psikologi yang merumuskan perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena itu perilaku manusia terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, sehingga teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” (Stimulus-Organisme-Respons).

Berdasarkan teori “S-O-R” dilihat dari respons terhadap stimulus, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni:

1. Perilaku tertutup (covert behavior)

Respons seseorang terhadap stimulus masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respons seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk “unobservable behavior” atau “covert behavior” yang dapat diukur adalah pengetahuan dan sikap.

2. Perilaku terbuka (overt behavior)

(59)

Gambar 2.2 Teori Skinner (1938) “S-O-R” (Stimulus-Organisme-Respons) Sumber: (Notoatmodjo, 2014) Ilmu Perilaku Kesehatan

Hosland, et al. (1953) mengatakan bahwa perubahan perilaku pada hakikatnya adalah sama dengan proses belajar. Teori ini berdasarkan pada asumsi bahawa penyebab terjadinya perubahan perilaku tergantung kepada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi dengan organisme. Artinya, kualitas dari sumber komunikasi (sources) misalnya kredibilitas kepemimpinan, dan gaya berbicara sangat menentukan keberhasilan perubahan perilaku seseorang, kelompok, atau masyarakat.Proses perubahan perilaku tersebut menggambarkan proses belajar pada individu yang terdiri dari :

1. Stimulus (rangsang) yang diberikan kepada organisme dapat diterima atau ditolak. Apabila stimulus tersebut tidak diterima atau ditolak berarti stimulus itu tidak efektif dalam mempengaruhi perhatian individu, dan berhenti di sini. Tetapi bila stimulus telah diterima oleh organisme berarti ada perhatian dari individu dan stimulus tersebut efektif.

2. Apabila stimulus telah mendapatkan perhatian dari organisme ( diterima) maka ia mengerti stimulus ini dan dilanjutkan kepada proses berikutnya.

Teori S-O-R

RESPON TERTUTUP Pengetahuan

Sikap

(COVERT BEHAVIOR)

ORGANISME STIMULUS

RESPON TERBUKA Praktik/Tindakan

(60)

3. Setelah itu organisme mengolah stimulus tersebut sehingga terjadi kesediaan untuk bertindak demi stimulus yang telah diterimanya (bersikap)

4. Akhirnya dengan dukungan fasilitas serta dorongan dari lingkungan maka stimulus tersebut mempunyai efek tindakan dari individu tersebut (perubahan perilaku)

Selanjutnya teori ini mengatakan bahwa perilaku dapat berubah hanya apabila stimulus (rangsang) yang diberikan benar-benar melebihi dari stimulus semula,. Stimulus yang dapat melebihi stimulus semula ini berarti stimulus yang diberikan harus dapat meyakinkan organisme. Dalam menyakinkan organisme faktor reinforcement memegang peranan penting.

2.6 Keaslian Penelitian

(61)

memasukkan kata kunci dan memilih pilihan boolean/phrase, full text dan publication date lima tahun terakhir. Pada Scopus di dapatkan 469 judul, namun hanya 10 judul yang kemudian dianggap memiliki kemiripan dengan penelitian ini. Demikian juga pada database Scientdirect didapatkan 640 judul artikel, namun hanya 28 judul yang dianggap sesuai. Pencarian menggunakan Google scholar didapatkan 122 judul, namun hanya 7 jurnal yang dianggap memiliki kemiripan dengan penelitian ini. Pencarian menggunakan Repository unair hanya 7 jurnal yang dianggap memiliki kemiripan dengan penelitian ini. Berdasarkan hasil pencarian tersebut didapat 13 jurnal yang digunakan, dan didapatkan keaslian penulisan pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.2 Keaslian Penelitian Hubungan Parental Bonding dan Self-esteem dengan Perilaku Seksual Remaja

(62)

2. Parental

pemantauan orang tua semakin besar perilaku seksual dilakukan perempuan, namun tidak demikian pada laki-laki rendah tingginya monitoring and initiation of sexual activity

Instrument: Kuesioner Analisis: chi-square

Pemberian aturan kencan dan pengetahuan dari orang tua menunjukkan hasil yang signifikan dalam initiasi seksual pada .siswa sekolah antara lain pengalaman, lingkungan sosial seperti teman dan media sosial. Sedangkan faktor pola asuh dan ekonomi tidak berpengaruh. Selain itu informan utama menjadi remaja LSL saat berusia menunjukkan pola asuh

dan lingkungan

(63)

usia 14-21 tahun Analisis: Uji Spearman’s Rho Correlation

sebagai faktor perilaku seksual pada remaja. Analisis: Uji Spearman’s Rho Correlation subjek yang mempunyai figur kelekatan yang sedang mempunyai yakni eksposur media sosial.

(64)

9. The relationship

Sampel: 800 responden (pupossive sampling)

(65)

Keterangan

Diukur Tidak diukur

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

Gambar 3.1 Kerangka konseptual Hubungan Parental bonding dan self-esteem dengan Perilaku Seksual pada Remaja Berdasarkan Teori Child Health Assesment oleh Kathryn E. Barnard (1994) dan Teori Stimulus Organisme (SOR) oleh Skinner (1938).

Care Giver

(66)

model Kathryn E. Barnard dan Teori Stimulus Organisme (SOR) oleh Skinner. Faktor A meliputi orang tua sebagai caregiver dan lingkungan di kehidupan anak yang saling berhubungan membentuk interaksi sehingga terjalinnya ikatan antara orang tua dengan anak dalam bentuk care dan protection. Self-esteem (Faktor B) merupakan kebutuhan dasar manusia dalam menilai mengenai kerberhargaan dari dirinya. Faktor A dan B dinilai sebagai stimulus yang diterima melalui perhatian, pengertian serta penerimaan oleh remaja dalam proses reaksi atau perubahan sikap sehingga menjadikan perilaku seksual terjadi, yang diringi atau dipengaruhi beberapa faktor personal dan faktor lingkungan sebagai faktor C. Faktor C disini tidak diteliti

3.2 Hipotesis Penelitian

H1a : Ada hubungan parental bonding dengan perilaku seksual pada remaja

(67)

METODE PENELITIAN

Dalam bab ini akan diuraikan tentang desain penelitian, poluasi, besar sampel, dan Teknik sampling: variable dan definisi operasioanal; instrument penelitian; lokasi dan waktu penelitian; prosedur pengumpulan data; kerangka operasional; analisa data; dan etika penelitian.

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian korelasional dengan pedekatan cross sectional, yakni penelitian yang hanya menggunakan satu waktu untuk menentukan faktor apa yang terjadi sebelum atau bersama-sama tanpa adanya suatu intervensi (Nursalam, 2016). Peneliti mengukur variable independen dan dependen secara simultan pada satu waktu tanpa adanya tindak lanjut. Pada penelitian ini tidak menutup kemugkinan kedua variable diukur dalam waktu atau hari yang berbeda, namun setiap variable hanya diukur satu kali saja. Studi dalam penelitian ini akan menjelaskan hubungan parental bonding dan self-esteem dengan perilaku seksual pada remaja.

4.2 Populasi, Sampel dan Sampling

4.2.1 Populasi

(68)

merata.

4.2.2 Sampel

Power analysis menggunakan bantuan aplikasi Open Source Epidemiologic Statistics for Public Health diakses untuk menentukan besar sampel dalam penelitian. Nilai kepercayaan 95% dipilih oleh peneliti dan didapatkan besar sampel 296 responden (Tabel 4.1).

Tabel 4.1 Hasil analisis besar sampel menggunakan aplikasi OpenEpi v. 3.01

4.2.3 Teknik Sampling

Teknik sampling dalam penelitian ini menggunakan teknik Proportional Random Sampling. Pengambilan sampel secara proporsi dilakukan dengan mengambil subyek dari setiap kelompok ditentukan seimbang dengan banyaknya subyek dalam masing-masing kelompok (Arikunto, 2008). Adapun besar atau

Sample Size for Frequency in a Population

Population size(for finite population correction factor or fpc)(N): 1282 Hypothesized % frequency of outcome factor in the population (p): 50%+/-5 Confidence limits as % of 100(absolute +/- %)(d): 5%

Design effect (for cluster surveys-DEFF): 1 Sample Size(n) for Various Confidence Levels

Confidence Level(%) Sample Size

95% 296

80% 146

90% 224

97% 345

99% 438

99.9% 588

99.99% 695

(69)

rumus menurut (Sugiyono, 2013) X

N keterangan:

N :Jumlah seluruh populasi

n :Jumlah sampel yang diinginkan setiap strata N1 :Sampel

X :Jumlah populasi pada setiap strata Didapat hasil sebagai berikut :

Tabel 4 2 Sebaran Jumlah Sampel Penelitian

Adapun cara pengambilan sampel dalam setiap SMA dilakukan secara acak sederhana, dengan menggunakan tabel bilangan atau angka acak (random number). Kemudian agar analisa kedua gender dapat dipisahkan dan di analisa dengan baik, sampel siswa laki-laki dan perempuan dibagi secara seimbang pada tiap SMA, serta dengan kriteria sampel yang masih memiliki orangtua.

4.3 Variabel Penelitian dan Defini Operasional Variabel

Variabel merupakan sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh suatu penelitian tentang suatu konsep pengertian tertentu. Berdasarkan hubungan fungsional anatara variable satu

NO SMA JUMLAH SISWA JUMLAH SAMPEL

1. SMA B 288 66

2. SMA C 286 66

3. SMA D 258 60

4. SMA E 285 66

5. SMA F 165 38

Total 296

(70)

dan variable independen (Nursalam, 2016).

4.3.1 Variabel Penelitian

Variabel independen (bebas) adalah variable yang mempengaruhi atau nilainya menentukan variable lain. Pada penelitian ini variabel independen (bebas) mencakup parental bonding dan self-esteem.

(71)

4.3.2 Definisi Operasional

Tabel 4 3 Definisi Operasional Hubungan Parental bonding dan Self-esteem dengan Perilaku Seksual pada Remaja Sekolah Menengah Atas Kota Bojonegoro

No Variabel Definisi

Opearasional Parameter Alat Ukur Skala Skor

1. Independen

Dimensi parental bonding dalam bentuk :

Ordinal Pernyataan positif skor SS= 3, S=2, TS=1, STS=0

Pernyataan negatif SS=0 S=1, TS=2 , STS=3

(72)

(sama tinggi)

- Neglecful parenting Skor Care&Protection (sama rendah)

2. Self-esteem Pendapat personal akan keberhargaan

Aspek Global Self-esteem :

1. Kepercayaan diri (self confidence)

2. Penurunan

kepercayaan diri (self depreciation)

Ordinal Pernyataan Positif skor SS=3, S=2, TS=1, STS=0 Untuk pernyataan negatif memiliki skor yang

seksual Tindakan berhubungan yang dengan cara mengekspresikan dan melepaskan dorongan seksual baik dengan lawan

Perilaku seksual yang dilakukan meliputi :

Kuisioner Ordinal Kriteria penilaian Rendah : ≥1 jawaban pernah (soal 1-10)

Sedang : ≥1 jawaban pernah (soal 1-14)

(73)

jenis maupun tertarik dengan lawan jenis erogen, saling tempel anggota badan yang

(74)

Pada penelitian ini instrument yang digunakan adalah kuisioner. Kuisioner yang digunakan pada penelitian terdiri dari :

4.4.1 Instrumen Pengukuran Parental bonding

Pada penelitian ini variabel parental bonding diukur demgan menggunakan alat ukur yang telah disusun oleh Parker, Tuping, dan Brown (1979). Pada alat ukur yang disusun oleh Parker dkk (1979), PBI menggunakan dua dimensi, yaitu care dan protection serta memiliki 25 aitem dengan menggunakan skala likert yang memiliki kontinum 0 hingga 3 untuk mengukur variable yang diteliti. Penentuan tinggi atau rendah dimensi care adalah berdasarkan nilai cut-off (titik tengah) skor, untuk dimensi care skor 25,5 dan protection 13.

Penelitian lain yang menggunakan alat ukur PBI menggunakan subyek yang terdiri 180 siswa sekolah menengah di Thailand yang memiliki rentang usia 11-15 tahun serta berjenis kelamin laki-laki atau perempuan (Luanpreda, 2015). Terdapat 4 respon yang dapat dipilih oleh responden, diantaranya adalah sangat sesuai (SS), sesuai(S),tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS).

Berikut adalah nilai pernyataan dari skala parental bonding. Tabel 4.4 Nilai Penyataan Parental bonding

Gambar

Gambar 2.1 Rentang respon seksual
Gambar 2.1 Model interaksi pengkajian kesehatan anak menurut Kathryn    E.Barnad (1994) dalam Alligood, Ann Marriner Tomey, (2010)
Gambar 2.2 Teori Skinner (1938) “S-O-R” (Stimulus-Organisme-Respons) Sumber: (Notoatmodjo, 2014) Ilmu Perilaku Kesehatan
Tabel 2.1 Keyword Development Hubungan Parental bonding dan Self-esteem dengan Perilaku Seksual Remaja
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pertama, seseorang yang memiliki self esteem yang tinggi, ia akan memiliki ciri-ciri seperti; dapat menerima dan mengapresiasikan dirinya sendiri dalam kondisi apapun,

menyimpulkan bahwa remaja adalah individu yang menjadi lebih dewasa. dengan perubahan fisik, sosial, psikologis

Hal tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Maryam dkk (2013) yang menuliskan bahwa harga diri adalah perasaan, perilaku dan mengetahui bahwa

Self-Esteem ( mengacu pada perasaan seseorang terhadap dirinya sendiri, sejauh mana seseorang menghargai dan menilai dirinya sendiri) , Self-Efficacy (mengacu pada keyakinan

Sehingga Apabila remaja memiliki konsep diri negatif yang ditunjukkan dengan penilaian negatif terhadap diri dengan menganggap dirinya kurang dapat diterima oleh individu lain, maka

tidak disukai sehingga seringkali takut mengalami kegagalan dalam melakukan hubungan sosial. Oleh karena itu, individu ini sering menolak sendiri, merasa tidak

ABSTRAK Penggunaan internet yang semakin berkembang dan mudah diakses akan menimbulkan maraknya pengguna internet yang melakukan aktivitas cybersex, terutama pada kalangan remaja..