• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERTANGGUNG JAWABAN ORANG TUA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK (Studi Kasus Perkara Nomor : 841/PID.SUS/2014/PN,TJK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PERTANGGUNG JAWABAN ORANG TUA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK (Studi Kasus Perkara Nomor : 841/PID.SUS/2014/PN,TJK)"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PERTANGGUNG JAWABAN ORANG TUA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK

(Studi Kasus Perkara Nomor : 841/PID.SUS/2014/PN,TJK)

Akbar Agam Parmato

Kekerasan dalam Rumah Tangga merupakan fenomena yang sering terjadi dalam sebuah komunitas sosial. Kekerasan dalam Rumah Tangga oleh sebagian masyarakat kita tidak dianggap sebagai kejahatan.Peranan Pemerintah seharusnya berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusian serta bentuk diskriminasi: 1) Bagaimanakah pertanggung jawaban pidana terhadap orangtua sebagai pelaku tindak pidana kekerasan terhadap anak, dan 2) Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim terhadap orang tua sebagai pelaku tindak pidana kekerasan terhadap anak

Penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan masalah berupa pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Oleh karena itu data yang digunakan berupa data sekunder yang berasal dari penelitian kepustakaan dan data primer yang didapat dari penelitian lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan berdasarkan hasil penelitian dengan menguraikan secara sistematis. Selanjutnya diinterpretasikan secara sistematis dengan permasalahan yang ada. Setelah data dianalisis, dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara induktif, yaitu suatu cara berpikir yang didasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus yang kemudian diambil kesimpulan secara umum, selanjutnya dari berbagai kesimpulan tersebut dapat diajukan saran-saran.

(2)

AKBAR AGAM PARMATO

Adapun saran yang diajukan adalah: 1) Perlu diadakan lebih banyak penyuluhan bahkan inovasi dalam pemberian informasi tentang kekerasan dalam rumah tangga agar meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dan merubah kebudayaan masyarakat yang kurang benar dan 2) Hakim dalam memutus suatu perkara yang ditanganinya harus lebih berani untuk menghukum terdakwa jauh lebih ringan atau lebih berat sesuai dengan perbuatan yang dilakukan agar tidak terjadi kekeliruan dikemudian hari atas putusannya tersebut

(3)

ANALISIS PERTANGGUNG JAWABAN ORANG TUA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK

(Studi Kasus Perkara Nomor : 841/PID.SUS/2014/PN,TJK)

Oleh

AKBAR AGAM PARMATO

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

ANALISIS PERTANGGUNG JAWABAN ORANG TUA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK

(Studi Kasus Perkara Nomor : 841/PID.SUS/2014/PN,TJK

(Skripsi)

Oleh

AKBAR AGAM PARMATO

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUANHalaman

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 15

II. TINJAUAN PUSTAKA A Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 17

B. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana. ... 19

C. Kekerasaan Dalam Rumah Tangga ... 22

D. Pengertian Anak ... 24

E. Dasar Pertimbangan Hakim ... 26

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 31

B. Jenis dan Sumber Data ... 32

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 33

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolaan Data... 34

(6)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Narasumber ... 37

B. Gambaran Umum Perkara Nomor 841/Pid.Sus/2014/PN Tjk ... 38

C. Pertanggung Jawaban Orang Tua sebagai pelaku Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga Terhadap Anak... 41 D. Dasar Pertimbangan Hakim terhadap Orang Tua sebagai pelaku Tindak Pidana

Kekerasan dalam Rumah Tangga Terhadap Anak... 47

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 54

B. Saran ... 55

.

(7)

MOTO

“Kerendahan Hati Menuntun Pada Kekuatan Bukan Kelemahan.

Mengakui Kesalahan dan Melakukan Perubahan Atas Kesalahan Adalah Bentuk Tertinggi Dari

Penghormatan Terhadap Diri Sendiri”

(John Mccloy)

“Always Be Yourself and Never Be Anyone Else Even If They Look Better Than You”

(Penulis)

“Kesuksesan Tidak Sekedar Jatuh Dari Langit Maupun Orang Tua, Tetapi Lahir Dari Doa dan Kerja Keras”

(8)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, atas rahmat dan hidayatnya maka dengan

ketulusan dan kerendahan hati serta setiap perjuangan dan jerih payahku aku persembahkan

sebuah karya ini kepada:

Bapak(Alm) dan ibu(Alm) yang kuhormati, kusayangi dan kucintai. Terima kasih untuk semua

pengorbanan, kesabaran, kasih sayang yang tulus serta do’anya demi keberhasilan dan

kesuksesanku.

Kakak dan Adikku Akbar Anggun Parmato, S.T. Fathiya Nandhiaty Putri yang selalu

mendukung dan senantiasa menemaniku dengan kecerian dan kasih sayang.

Almamaterku Tercinta

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Akbar Agam Parmato yang dilahirkan di Kota Bandar

Lampung, pada tanggal 26 Juli 1992 dan merupakan anak kedua dari 3

(tiga) bersaudara dari pasangan Bapak Maizar syafar (Alm) dan Verita

Yudi (Alm).

Pendidikan yang telah diselesaikan adalah Taman Kanak-kanak Al-Kautsar Bandar Lampung

diselesaikan pada tahun 1997. Sekolah Dasar Al-Kautsar Bandar Lampung lulus pada tahun

2004. Sekolah Menengah Pertama Al-Kautsar Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun

2007, lalu peneliti melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Al-Kautsar Bandar Lampung yang

lulus pada tahun 2010.

Pada tahun 2010 peneliti terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung

melalui jalur Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Peneliti

Mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Negeri Katon Kecamatan Margatiga Kabupaten

Lampung Timur, Propinsi Lampung pada 17 Januari 26 Februari tahun 2014. Selanjutnya

peneliti melakukan penelitian pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang Bandar Lampung dan

(10)

SANWACANA

Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarrakatu

Alhamdulillahirobbil’alamiin, segala puji syukur hanyalah milik Allah SWT, Rabb seluruh alam yang telah memberikan Rahmat dan Taufik serta Hidayah-Nya sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Lampung. Tanpa adanya kemudahan yang diberikan

takkan mungkin dapat terlaksana, oleh karenanya hamba senantiasa bersyukur atas segala

yang diberikan. Sholawat serta salam semoga Allah limpahkan kepada sebaik-baik contoh

dan tauladan Nabi paling Agung Nabi Muhammad SAW, Beliau yang telah memberikan

perubahan kepada dunia dari zaman kebodohan kepada zaman yang penuh pencerahan.

Dalam penulisan ini tidak terlepas dari adanya bantuan,partisipasi dari berbagai pihak baik

secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis mengucapkan

terimakasih yang setulusnya kepada:

1. Ibu Firganefi, S.H., M.H. selaku pembimbing I, yang telah banyak memberi bimbingan

dan arahan dengan penuh sabar dan ikhlas kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini.

2. Bapak A. Irzal Fardiansyah, S.H., M.H. selaku pembimbing II yang telah memberikan

(11)

3. Ibu Dr Erna Dewi, S.H., M.H. selaku pembahas I yang telah banyak memberikan

kritikan dan saran yang sangat berharga kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini.

4. Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H. selaku pembahas II yang telah banyak memberikan

kritikan dan saran yang sangat membangun semangat kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Lampung.

6. Bapak A. Irzal Fardiansyah, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik.

7. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H. selaku ketua Bagian Hukum Pidana.

8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak bisa disebutkan satu

persatu namanya, terimakasih atas ilmu yang telah diberikan dan diajarkan dengan

ikhlas.

9. Seluruh staf baik di bagian Hukum Pidana Mba Sri, Mba Yanti, Babe. Maupun di

bagian Akademik dan Kemahasiswaan yang tidak kalah pentingnya dalam membantu

menyelesaikan skripsi ini.

10. Guru-guru ku selama menduduki bangku Taman kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah

Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Penulis ucapkan terimakasih atas

(12)

11. Pihak dari Pengadilan Negerti Tanjung Karang dan LSM DAMAR Bandar Lampung

yang telah memberikan informasi dan bantuannya selama penulis melakukan riset

dalam penulisan skripsi ini.

12. Orang tua terhormat, almarhum ayahanda Maizar Syafar, Phd (Alm) dan Almarhum

ibunda Verita Yudi, S.Sc M.Sc.. yang telah banyak berkorban demi anaknya

menuntut ilmu, yang telah memberikan kasih sayang, nasihat dan doanya. semoga

Allah membalas pengorbanan itu dengan nikmat yang tak terhingga.

13. Saudara-saudari ku, Akbar Anggun Parmato, S.T, kakak yang selalu memberikan

nasehat yang sangat menyentuh. Fathiya Nandhiaty putri, yang selalu mendukung

dalam membantu skripsi.

14. Teman-teman sekaligus keluarga baru, pengalaman baru di Kuliah Kerja Nyata (KKN)

Yanto, Rian, Awari, Arenda, Olga, Aris, Ntis, Siti, Sri, Ade, Bapak Takim selaku

Kepala Desa Negeri Katon beserta istri dan keluarga.

15. Sahabat Agam, Agung, Obaw, Aryo, David, Danji Angga, Wahyu, Dimas, Dino yang

tiada duanya yang banyak membantu, mengajari, mengingatkan, menasehati.

16. Teman-teman seangkatan yang selalu hadir, selalu memberi cerita menyenangkan dan

moment tak terlupakan selama perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Lampung:

Rian, Agung, Obaw, Aryo, Fikram, Danji, Antoni, fadil, david, Angga, erwin,

Wahyu, adit, romi, tomson, andrew, alif, aji, julio, diko, jonathan, indra, riski, erik,

dodi, serta yang tidak bisa disebutkan satu persatu namanya penulis ucapkan

(13)

17. Semua pihak-pihak yang belum tertulis namanya yang saya yakin telah banyak

membatu dan berpartisipasi dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat

berguna dan bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa, dan negara, para

mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi

penulis. Saran dan kritik yang bersifat membangun akan selalu diharapkan. Akhir

kata penulis ucapkan terimakasih semoga Allah SWT memberikan perlindungan dan

kebaikan bagi kita semua serta semoga tali silahtuhrahmi diantara kita tetap erat dan

kita dipertemukan kembali dalam keridhoan-Nya. Aamiin Allahuma Ya

Rabbil’alamin.

Bandar Lampung, Oktober 2015

Penulis

(14)
(15)
(16)

MOTO

“Kerendahan Hati Menuntun Pada Kekuatan Bukan Kelemahan.

Mengakui Kesalahan dan Melakukan Perubahan Atas Kesalahan Adalah Bentuk Tertinggi Dari

Penghormatan Terhadap Diri Sendiri”

(John Mccloy)

“Always Be Yourself and Never Be Anyone Else Even If They Look Better Than You”

(Penulis)

“Kesuksesan Tidak Sekedar Jatuh Dari Langit Maupun Orang Tua, Tetapi Lahir Dari Doa dan Kerja Keras”

(17)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, atas rahmat dan hidayatnya maka dengan

ketulusan dan kerendahan hati serta setiap perjuangan dan jerih payahku aku persembahkan

sebuah karya ini kepada:

Bapak(Alm) dan ibu(Alm) yang kuhormati, kusayangi dan kucintai. Terima kasih untuk semua

pengorbanan, kesabaran, kasih sayang yang tulus serta do’anya demi keberhasilan dan

kesuksesanku.

Kakak dan Adikku Akbar Anggun Parmato, S.T. Fathiya Nandhiaty Putri yang selalu

mendukung dan senantiasa menemaniku dengan kecerian dan kasih sayang.

Almamaterku Tercinta

(18)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Akbar Agam Parmato yang dilahirkan di Kota Bandar

Lampung, pada tanggal 26 Juli 1992 dan merupakan anak kedua dari 3

(tiga) bersaudara dari pasangan Bapak Maizar syafar (Alm) dan Verita

Yudi (Alm).

Pendidikan yang telah diselesaikan adalah Taman Kanak-kanak Al-Kautsar Bandar Lampung

diselesaikan pada tahun 1997. Sekolah Dasar Al-Kautsar Bandar Lampung lulus pada tahun

2004. Sekolah Menengah Pertama Al-Kautsar Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun

2007, lalu peneliti melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Al-Kautsar Bandar Lampung yang

lulus pada tahun 2010.

Pada tahun 2010 peneliti terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung

melalui jalur Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Peneliti

Mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Negeri Katon Kecamatan Margatiga Kabupaten

Lampung Timur, Propinsi Lampung pada 17 Januari 26 Februari tahun 2014. Selanjutnya

peneliti melakukan penelitian pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang Bandar Lampung dan

(19)

SANWACANA

Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarrakatu

Alhamdulillahirobbil’alamiin, segala puji syukur hanyalah milik Allah SWT, Rabb seluruh alam yang telah memberikan Rahmat dan Taufik serta Hidayah-Nya sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Lampung. Tanpa adanya kemudahan yang diberikan

takkan mungkin dapat terlaksana, oleh karenanya hamba senantiasa bersyukur atas segala

yang diberikan. Sholawat serta salam semoga Allah limpahkan kepada sebaik-baik contoh

dan tauladan Nabi paling Agung Nabi Muhammad SAW, Beliau yang telah memberikan

perubahan kepada dunia dari zaman kebodohan kepada zaman yang penuh pencerahan.

Dalam penulisan ini tidak terlepas dari adanya bantuan,partisipasi dari berbagai pihak baik

secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis mengucapkan

terimakasih yang setulusnya kepada:

1. Ibu Firganefi, S.H., M.H. selaku pembimbing I, yang telah banyak memberi bimbingan

dan arahan dengan penuh sabar dan ikhlas kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini.

2. Bapak A. Irzal Fardiansyah, S.H., M.H. selaku pembimbing II yang telah memberikan

(20)

3. Ibu Dr Erna Dewi, S.H., M.H. selaku pembahas I yang telah banyak memberikan

kritikan dan saran yang sangat berharga kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini.

4. Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H. selaku pembahas II yang telah banyak memberikan

kritikan dan saran yang sangat membangun semangat kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Lampung.

6. Bapak A. Irzal Fardiansyah, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik.

7. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H. selaku ketua Bagian Hukum Pidana.

8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak bisa disebutkan satu

persatu namanya, terimakasih atas ilmu yang telah diberikan dan diajarkan dengan

ikhlas.

9. Seluruh staf baik di bagian Hukum Pidana Mba Sri, Mba Yanti, Babe. Maupun di

bagian Akademik dan Kemahasiswaan yang tidak kalah pentingnya dalam membantu

menyelesaikan skripsi ini.

10. Guru-guru ku selama menduduki bangku Taman kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah

Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Penulis ucapkan terimakasih atas

(21)

11. Pihak dari Pengadilan Negerti Tanjung Karang dan LSM DAMAR Bandar Lampung

yang telah memberikan informasi dan bantuannya selama penulis melakukan riset

dalam penulisan skripsi ini.

12. Orang tua terhormat, almarhum ayahanda Maizar Syafar, Phd (Alm) dan Almarhum

ibunda Verita Yudi, S.Sc M.Sc.. yang telah banyak berkorban demi anaknya

menuntut ilmu, yang telah memberikan kasih sayang, nasihat dan doanya. semoga

Allah membalas pengorbanan itu dengan nikmat yang tak terhingga.

13. Saudara-saudari ku, Akbar Anggun Parmato, S.T, kakak yang selalu memberikan

nasehat yang sangat menyentuh. Fathiya Nandhiaty putri, yang selalu mendukung

dalam membantu skripsi.

14. Teman-teman sekaligus keluarga baru, pengalaman baru di Kuliah Kerja Nyata (KKN)

Yanto, Rian, Awari, Arenda, Olga, Aris, Ntis, Siti, Sri, Ade, Bapak Takim selaku

Kepala Desa Negeri Katon beserta istri dan keluarga.

15. Sahabat Agam, Agung, Obaw, Aryo, David, Danji Angga, Wahyu, Dimas, Dino yang

tiada duanya yang banyak membantu, mengajari, mengingatkan, menasehati.

16. Teman-teman seangkatan yang selalu hadir, selalu memberi cerita menyenangkan dan

moment tak terlupakan selama perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Lampung:

Rian, Agung, Obaw, Aryo, Fikram, Danji, Antoni, fadil, david, Angga, erwin,

Wahyu, adit, romi, tomson, andrew, alif, aji, julio, diko, jonathan, indra, riski, erik,

dodi, serta yang tidak bisa disebutkan satu persatu namanya penulis ucapkan

(22)

17. Semua pihak-pihak yang belum tertulis namanya yang saya yakin telah banyak

membatu dan berpartisipasi dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat

berguna dan bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa, dan negara, para

mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi

penulis. Saran dan kritik yang bersifat membangun akan selalu diharapkan. Akhir

kata penulis ucapkan terimakasih semoga Allah SWT memberikan perlindungan dan

kebaikan bagi kita semua serta semoga tali silahtuhrahmi diantara kita tetap erat dan

kita dipertemukan kembali dalam keridhoan-Nya. Aamiin Allahuma Ya

Rabbil’alamin.

Bandar Lampung, Oktober 2015

Penulis

(23)

I. PENDAHULUAN

A.Latar belakang masalah

Kekerasan dalam Rumah Tangga merupakan fenomena yang sering terjadi dalam

sebuah komunitas sosial. Kekerasan dalam Rumah Tangga oleh sebagian

masyarakat kita tidak dianggap sebagai kejahatan. Situasi ini semakin diperparah

dengan ideologi jaga praja atau menjaga ketat ideologi keluarga, khususnya dalam

budaya Jawa “membuka aib keluarga berarti membuka aib sendiri”, situasi

demikian menurut Harkristuti Harkrisnowo dalam berbagai kesempatan

menyebabkan tingginya the “dark number” karena tidak dilaporkan.1

Penyebab terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga dapat digolongkan menjadi

dua (dua) faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal

menyangkut kpribadian dari pelaku kekerasan yang menyebabkan ia mudah sekali

melakukan tindak kekerasan bila menghadapi situasi yang menimbulkan

kemarahan atau frustasi. Kepribadian yang agresif biasanya dibentuk melalui

interaksi dalam keluarga atau dengan lingkungan sosial di masa kanak-kanak.

Tidaklah mengherankan bila kekerasan biasanya bersifat turun temurun, sebab

anak-anak akan belajar tentang bagaimana akan berhadapan dengan lingkungan

1

(24)

2

dari orang tuanya. Apabila tindak kekerasan mewarnai kehidupan sebuah

keluarga, kemungkinan besar anak-anak mereka akna mengalami Hal yang sama

setelah mereka menikah nanti. Hal ini disebabkan mereka menganggap bahwa

kekerasan merupakan Hal yang wajar atau mereka dianggap gagal kalau tidak

mengulang pola kekerasan tersebut. Perasaan kesal dan marah terhadap orang tua

yang selama ini berusaha ditahan, akhirnya akan muncul menjadi tindak

kekerasan kepada istri, suami atau anak-anak.2

Faktor eksternal adalah faktor-faktor diluar diri si pelaku kekerasan. Mereka yang

tidak tergolong memiliki tingkah laku agresif dapat melakukan tindak kekerasan

bila berhadapan dengan situasi yang menimbulkan frustasi misalnya kesulitan

ekonomi yang berkepanjangan.penyelewengan suami atau istri, keterlibatan anak

dalam kenakalan remaja atau penyalahgunaan obat terlarang dan sebagainya.

Faktor lingkungan lain seperti stereotipe bahwa laki-laki adalah tokoh yang

dominan, tegar dan agresif. Adapun perempuan harus bertindak pasif, lemah

lembut dan mengalah. Hal ini menyebabkan banyaknya kasus tindak kekerasan

yang dilakukan oleh suami. Kebanyakan istri berusaha menyembunyikan masalah

kekerasan dalam keluarganya karena merasa malu pada lingkungan sosial dan

tidak ingin dianggap gagal dalam berumah tangga.3

Kekerasan dalam Rumah Tangga dapat menimpa siapa saja, ibu, bapak, suami,

istri, anak, bahkan pembantu rumah tangga, akan tetapi korban Kekerasan dalam

Rumah Tangga sebagian besar adalah kekerasan terhadap perempuan dan anak,

Hal ini terjadi karena hubungan antara korban dan pelaku tidak setara. Lazimnya

2

Moerti Hadiati Soeroso,Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 76.

(25)

3

pelaku kekerasan memiliki status kekuasaan yang lebih besar, baik dari segi

ekonomi, kekuasaan fisik, maupun status sosial dalam keluarga. Posisi khusus

yang dimiliknya tersebut, maka pelaku kerap memaksakan kehendaknya untuk

diikuti oleh orang lain. Demi mencapai keinginannya tersebut, pelaku kekerasan

akan menggunakan segala cara bahkan tidak segan-segan untuk melukai korban.

Kekerasan dalam Rumah Tangga terhadap anak hanya dilaporkan atau dianggap

sebagai masalah jika berakibat cedera parah atau meninggal. Hanya kasus

dramatis dan berdarah-darah baru dinilai kejahatan. Luka memar kena bogem

ayah atau anak berkepribadian pemalu karena di rumah selalu menghadapi

tekanan orang tua tidak dianggap kejahatan. Masih banyak yang menilai

kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa anak sebagai persoalan individu

per individu atau melokalisir tempat kejadian. Karena bapaknya tidak kerja,

ibunya stress karena ditinggal suami, karena bapaknya ini itu dan beragam alasan

pembenaran yang sesungguhnya secara hukum tidak bisa dibenarkan. Kondisi dan

situasi bagaimanapun anak tetap harus dilindungi, anak harus tetap disayangi,

anak harus tetap dibina dalam nilai-nilai yang bijaksana.

Kepentingan yang terbaik bagi anak, haruslah menjadi pertimbangan dan

perhatian kita dalam setiap tindakan kepada anak. Terlebih lagi, kita sering tidak

mempercayai anak. Laporan anak tidak ditanggapi, keluhan anak diabaikan, anak

sebelum berbicara malah sudah disuruh diam dengan bentakan atau pukulan.

Apalagi jika pelaku kekerasan itu orang tuanya, kita yang mendengar sering

(26)

4

kamu nurut sama orang tua. Jarang kita bertanya, mengapa dia diperlakukan

seperti itu, apalagi memberikan jalan keluar. Inilah masalah sosial kita.

Anak yang hidup dalam keluarga yang diwarnai kekerasan adalah anak yang

rentan sehingga anak-anak dari keluarga yang diwarnai kekerasan dapat

mengembangkan pemikiran bahwa:

a. Seorang suami boleh memukul istrinya.

b. Kekerasan merupakan cara untuk menenangkan perbedaan pendapat.

c. Perempuan adalah lemah, memiliki posisi lebih rendah, tidak mampu menjaga

dirinya sendiri dan tidak mampu menjaga anak-anaknya.

d. Laki-laki dewasa adalah pengganggu dan berbahaya.

Anak-anak dari keluarga demikian akan cenderung kurang mampu menyatakan

perasaan-perasaannya secara verbal dan lebih terbiasa menunjukkan kegelisahan,

ketakutan dan kemarahan melalui perilakunya. Apabila sikap diam karena takut

adalah Hal lumrah pada keluarga yang diwarnai kekerasan dapat dimengerti

bahwa cara adaptasi seperti ini juga dipelajari oleh anak, anak akan menekan

perasaan-perasaannya sendiri. Emosi-emosi negatif yang tidak dapat diberinya

nama dirasakan campur aduk; takut, marah, bingung, merasa bersalah, sedih,

khawatir, kecewa dan lainnya.

Langkah solusi antisipatif agar anak tidak menjadi korban adalah dengan terlebih

dahulu menganggap permasalahan ini adalah suatu tindak pidana dan merupakan

kejahatan yang serius, tentunya apabila Hal itu sudah ada dalam pola pikir

(27)

5

Ini yang perlu mendapat langkah aktif dan berusaha menyingkap kejahatan ini

sampai tuntas agar efek jera bagi pelaku itu ada dan menjadi preseden bagi oknum

yang akan menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak untuk

memikirkan perbuatan itu. Adapun Hal yang harus dipahami lagi untuk mencegah

kekerasan terhadap anak ialah prinsip perlindungan terhadap anak. Prinsip

nondiskriminasi, prinsip yang terbaik bagi anak (the best interest of the child),

prinsip hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak, dan prinsip

menghargai pandangan anak.4

Pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu peran masyarakat, baik

melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya

masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media

massa, atau lembaga pendidikan.

Mengatasi persoalan kekerasan terhadap anak memang diperlukan berbagai

tindakan sekaligus. Penanggulangan dan pencegahan Kekerasan dalam Rumah

Tangga terhadap anak ini seharusnya menjadi perhatian khusus oleh pemerintah,

aparat penegak hukum maupun masyarakat sekitar. Penanggulangan dan

pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga terhadap anak harus berdasarkan

tujuan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan

Undang-Undang Perlindungan Anak, tapi di Indonesia dalam realitanya masih

terlihat kurang maksimal, kita mempunyai pihak-pihak yang dianggap berwenang

dan berkompeten dalam menangani kasus-kasus kekerasaan seperti tokoh

4

(28)

6

masyarakat, pejabat pemerintahan sampai pada tingkat kelurahan, kepolisian,

pekerja sosial masyarakat, pendidik, dan profesi kesehatan.

Peranan mereka tidak diatur dalam sebuah sistem yang memungkinkan mereka

saling bekerja sama dan tidak ada kebijakan pemerintah yang membebaskan biaya

terhadap tindakan yang diambil untuk meyelamatkan anak. Negara seharusnya

berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah

tangga adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat

kemanusian serta bentuk diskriminasi. Hal lain yang perlu dipikirkan adalah apa

yang harus dilakukan terhadap pelaku kekerasaan.

Terdapat putusan dengan nomor putusan: 841/Pid.Sus/2014/PN Tjk, yang

dilakukan Andi Wijaya alias Lim Lim. Ayah kandung Siaoping ini dituntut lima

tahun penjara dan denda Rp 800 juta subsidier enam bulan penjara. Terdakwa

bersalah melanggar Pasal 44 Ayat 2 UU No. 23/2004 tentang Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah Tangga. Kemudian pada dakwaan kedua dan ketiga

dinyatakan terbukti melanggar Pasal 77 huruf b UU No. 23/2002 tentang

Perlindungan Anak. Dalam dakwaannya, JPU Venny Prihandini menerangkan

bahwa pemukulan itu dilakukan Andi dan istrinya, ME (DPO), sejak Maret 2013

hingga April 2014.5

Berdasarkan uraian di atas penulis melihat bahwa putusan yang di jatuhkan

kepada yang terdakwa bahwa adanya ke tidak sesuaian terhadap putusan yang di

jatuhakan kepada terdakwa, oleh karena itu penulis menggangap perlunya

mengetahui bagaimana penegakan hukum terhadap perkara dan apa yang menjadi

dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara.

5

(29)

7

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, rumusan masalah yang akan diteliti

dalam penelitian ini adalah mencoba menggambarkan upaya penanggulangan

hukum pidana dalam tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga yang dilakukan

orang tua terhadap anak kandung. Maka masalah yang akan diangkat dalam

penelitian kali ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pertanggung jawaban pidana terhadap orangtua sebagai pelaku

tindak pidana kekerasan terhadap anak?

2. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim terhadap orang tua sebagai

pelaku tindak pidana kekerasan terhadap anak?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah hukum pidana dengan kajian mengenai

Analsis pertanggung jawaban pidana terhadap orang tua sebagai pelaku tindak

pidana kekerasan terhadap anak studi putsan nomor 841/Pid.Sus/2014/PN TJK.

Ruang lingkup lokasi penelitian adalah pada Pengadilan Negeri kelas 1 A 2014

Tanjung Karang kota Bandar Lampung serta pihak yang dianggap bisa membantu

(30)

8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Sesuai dengan disipilin ilmu peneliti maka penelitian akan dilaksanakan

berdasarkan atas bidang ilmu hukum pidana dan terkhusus membahas masalah

pertanggung jawaban pidana terhadap orangtua sebagai pelaku tindak pidana

kekerasan terhadap anak nya. Adapun Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Untuk mengetahui upaya pertanggung jawaban pidana terhadap orangtua

sebagai pelaku tindak pidana kekerasan terhadap anak nya.

2. Untuk mengetahui yang menjadi dasar pertimbangan hakim terhadap orang tua

sebagai pelaku tindak pidana kekerasan terhadap anak nya.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini dibedakan ke dalam dua bentuk, yaitu:

a. Kegunaan Teoritis

Keilmuan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka

pengembangan khususnya hukum pidana yang berhubungan dengan tindak pidana

kekerasaan dalam rumah tangga.

b. Kegunaan Praktis

Penelitian ini dapat diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada

Praktisi Hukum khususnya kepada pemerintah, serta kepada masyarakat

umumnya untuk mengetahui dan turut serta dalam penanggulangan orang tua

(31)

9

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah kerangka acuan atau konsep-konsep yang merupakan

abstraksi dan hasil pemikiran yang pada dasarnya bertujuan untuk

mengidentifikasikan terhadap dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.6

Teori yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian yaitu

berupa pendapat ahli hukum tentang pertanggungjawaban pidana anak yang

membantu pencurian kendaraan bermotor, yang dapat digunakan penulis sebagai

acuan dalam menganalisis permasalahan yang ada.

Moeljatno menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan

dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi di samping itu harus ada

kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela, ternyata dalam asas hukum yang

tidak tertulis tidak dipidana jika tidak ada kesalahan gren straf zonder schuld,

ohne schuld keine straaf.7 Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus

dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan, yaitu perbuatan

tercela oleh masyarakat dan dipertanggungjawabkan oleh si pembuatnya dengan

kata lain kesadaran jiwa orang yang dapat menilai, menentukan kehendaknya

tentang perbuatan tindak pidana yang dilakukan berdasarkan putusan yang

berkekuatan hukum tetap. Untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas

terlebih dahulu yang dinyatakan sebagai pembuat untuk suatu tindak pidana.8

6

Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press,Jakarta, 1986, hlm. 125.

7

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana,BinaAksara, Jakarta, 1984, hlm. 71.

8

(32)

10

Adapun unsur- unsur pertanggungjawaban pidana yang harus memenuhi sayarat

yaitu:

1) Kemampuan bertanggung jawab

Kemampuan bertanggung jawab harus ada kemam puan untuk

membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan buruk sesuai dengan hukum dan

yang melawan hukum, dan kemampuan untuk menetukan kehandak nya

menrut keinsyafan tentang baik dan buruk perbuatan.9

2) Kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa)

a. Kesengajaan (dolus)

Kesengajaan menurut teori menjadi dua yauti teori kehendak, sengaja

adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unusur delik dalam rumusan

undang-undang dan teori pengetahuan, apabila suatu akibat yang

ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan

itu dan karena suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu

dan karena itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan

bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat.

b. Kealpaan (culpa)

Yang dimakud dengan kealpaan adalah terdakwa tidak bermaksud

melanggar larangan undang-undang itu, ia alpa atau lalai dalam

melakukan perbuatan tersebut, dalam kealpaan terdakwa kurang

mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan

sesuatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang

dilarang adapun syarat dinyatakan kealpaan yaitu tidak mengadakan

9

(33)

11

penduga-penduga sebagaimana diharuskan oleh hukum dan tidak

mengadakn penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.10

3) Alasan pengahpusan pidana

Ilmu pengetahuan hukum pidana mengadakan pembedaan terhadap

alasan penghapusan pidana dapat menyakut pebuatan atau pembuatnya

maka dibedakan menjadi dua jenis yaitu

Alasan pembenaran mengahapuskan sifat melawan hukum nya

perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik dalam

undang-undang.

Alasan pemaafan menyakut peribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang

tidak dapat dicela atau tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggung

jawabkan, meskipun perbuatan nya melawan hukum.11

Kebebasan Hakim atau pengadilan adalah “gebonden vrijheid”, yaitu kebebasan

terkait atau terbatas karena diberi batas oleh undang-undang yang berlaku dalam

batas tertentu. Hakim memiliki kebebasan dalam menetapkan menentukan jenis

pidana (strafsoort), ukuran pidana atau berat ringannya pidana (strafmaat), cara

pelaksanaan pidana (strafmodus) dan kebebasan untuk menemukan hukum

(rechtvinding).

10

Ibid. hlm 174 11

(34)

12

Dasar Pertimbangan Hakim dalam Penjatuhan Pidana Menurut Mackenzei, ada

beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam

mempertimbangkan penjatuhan pidana dalam suatu perkara, yaitu:12

a) Teori keseimbangan

Hakim melihat pada keseimbangan syarat-syarat yang berkaitan dengan

masyarakat, kepentingan terdakwa, dan kepentingan korban yang berkaitan

dengan perkara.

b) Teori pendekatan seni dan intuisi

Hakim melihat keadaan pidana yang wajar bagi pelaku tindak pidana,

pendekatan seni dalam penjatuhan putusan lebih oleh intuisi dari

pengetahuan hakim.

c) Teori pendekatan keilmuan

Hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi semata, tetapi hakim harus

memiliki wawasan keilmuan yang cukup untuk memutuskan suatu perkara.

d) Teori Pendekatan Pengalaman

Hakim menggunakan pengalamannya untuk mengetahui dampak dari

putusan yang dijatuhkannya berkaitan dengan pelaku, korban maupun

masyarakat.

e) TeoriRatio Decidendi

Hakim dalam memutus perkara harus mencari peraturan

perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai

dasar hukum dalam penjatuhan hukuman.

12

(35)

13

Secara asumtif peranan hakim sebagai pihak yang memberikan pemidanaan tidak

mengabaikan hukum atau norma serta peraturan yang hidup dalam masyarakat,

sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Jo.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang

menyatakan “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,

mengikuti memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.

Hakim dalam menjatuhkan putusan harus berdasarkan alat bukti yang sah, Hal ini

dijelaskan dalam Pasal 183 KUHAP, bahwa “ Hakim tidak boleh menjatuhkan

pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti

yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi

dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Selanjutnya, alat bukti

sebagaimana dimaksud pada Pasal 183 KUHAP diatur pada ketentuan Pasal 184

KUHAP yang menyatakan alat bukti adalah sebagai berikut:

a. Alat bukti yang sah ialah:

1) keterangan saksi; 2) keterangan ahli; 3) surat;

4) petunjuk;

5) keterangan terdakwa.

b. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Penjelasan Pasal 184 KUHAP disebutkan bahwa: “Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah”. Artinya kecuali

pemeriksaan cepat, untuk mendukung keyakinan hakim diperlukan alat bukti lebih

dari satu atau sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Setelah alat bukti

(36)

14

penanggulangan tindak pidana dilakukan jauh setelah peristiwa itu terjadi

sehingga mengakibatkan alat bukti menjadi hilang.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang digunakan untuk menggambarkan antara

konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan

dengan istilah yang diartikan atau diteliti baik dalam penelitian normatif maupun

empiris.13

a) Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang harus

dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan

tindak pidana.14

b) Tindak pidana adalah kelakuan/Handeling yang diancam dengan pidana, yang

bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan berhungan

oleh orang yang mampu bertanggungjawab.

c) Kekerasan adalah ekspresi perbuatan yang dilakukan secara fisik maupun

verbal yang mencerminkan pada tindakan agresi dan penyerangan pada

kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan perorangan atau

sekelompok orang.

d) Anak dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang

masih dalam kandungan.

13

Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press,Jakarta, 1986, hlm. 132.

14

(37)

15

e) Kekerasan dalam rumah tangga dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2004 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama

perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara

fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk

ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan

kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

E. Sistematika Penulisan

Guna memudahkan pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan, maka

disajikan sistematika penulisan sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Pada bab ini akan diuraikan latar belakang dari penulisan. Permasalahan dan

ruang lingkup untuk mencapai tujuan dan kegunaan penelitian selanjutnya

diuraikan mengenai kerangka teoritis dan konseptual yang diakhiri dengan

sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar pemahaman terhadap pengertian-pengertian umum

tentang pokok-pokok bahasan mengenai pengertian penanggulangan hukum

pidana, pengertian tindak pidana, pengertian kekerasan, pengertian anak,

(38)

16

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini menguraikan mengenai metode penulisan, yaitu pendekatan masalah,

sumber data, penentuan narasumber dan pengolahan data, serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Merupakan bab yang menjelaskan tentang pokok masalah yang akan dibahas yaitu

upaya penanggulangan dan faktor penghambat penanggulangan pada kasus

Kekerasan dalam Rumah Tangga yang dilakukan orang tua terhadap anak

kandung di kota Bandar Lampung.

V. PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan yang dapat diambil penulis dan saran-saran yang

(39)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana

Belanda yaitu “stafbaar feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam Wvs Belanda

dengan demikian juga Wvs Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan

resmi tentang apa yang dimaksud dengan stafbaar feit itu. Karena itu para ahli

hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu.1

Marshall mengatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan atau omisi yang

dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakat dan dapat dipidana

berdasarkan prosedur hukum yang berlaku.2Dalam konsep RUU KUHP tahun

2005 tindak pidana diartikan sebagai perbuatan melakukan (aktif) maupun tidak

melakukan perbuatan tertentu (pasif) yang oleh ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam

dengan pidana. Dalam konsep juga dikemukakan bahwa untuk dinyatakan sebagai

tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh

1

Adami Chazawi,Pelajaran Hukum PidanaBagian 1, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 67.

2

(40)

8

peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau

bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Setiap tindak pidana selalu

dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.

2.Unsur-Unsur Tindak Pidana

Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan setidak-tidaknya dari 2 (dua) sudut

pandang, yakni: (1) dari sudut teoritis; dan (2) dari sudut undang-undang. Teoritis

artinya berdasarkan pendapat para ahli yang tercermin pada bunyi rumusannya.

Sementara itu, sudut undang-undang adalah bagaimana kenyataan tindak pidana

itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam Pasal-Pasal peraturan

perundang-undangan yang ada.

Contoh dari sudut pandang teoritis yang diambil menurut Moeljatno, unsur tindak

pidana adalah:

a. Perbuatan;

b. yang dilarang (oleh peraturan hukum);

c. ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).3

Pendapat lainnya R. Tresna mengemukakan, tindak pidana terdiri dari

unsur-unsur, yakni:

a. Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia);

b. yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

c. diadakan tindakan penghukuman.4

3

Adami Chazawi,Op.Cit.,hlm. 79. 4Ibid

(41)

19

Terdapat unsur yang selalu disebutkan dalam setiap rumusan-rumusan Buku II

KUHP tentang pengelompokan kejahatan dan Buku III KUHP memuat

pelanggaran, ialah mengenai tingkah laku/perbuatan. Unsur kesalahan dan

melawan hukum kadang-kadang dicantumkan dan sering kali juga tidak

dicantumkan, yang sama sekali tidak dicantumkan adalah mengenai unsur

kemampuan bertanggung jawab.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merumuskan 11 (sebelas) unsur

tindak pidana yaitu:

f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana i. Unsur objek hukum tindak pidana

j. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana

k. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.5

B. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Van Hammel menyatakan bahwa pertanggungjawaban yaitu suatu keadaan

normal dan kematangan psikis yang membawa 3 (tiga) macam kemampuan untuk:

a. Memahai arti dan akibat perbuatannya sendiri.

b. Memahami bahwa perbuatannya itu tidak dibenarkan atau dilarang oleh

masyarakat.

(42)

20

c. Menetapkan kemampuan terhadap perbuatan-perbuatan itu sehingga

dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban (teorekensvatbaarhee)

mengandung pengertian kemampuan atau kecakapan.6

Moeljatno menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan

dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi di samping itu harus ada

kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela, tenyata pula dalam asas hukum

yang tidak tertulis tidak dipidana jika tidak ada kesalahan gren straf zonder

schuld, ohne schuld keine strafe.7

Pertanggungjawaban adalah sebagai suatu keadaan psychish sedemikian, yang

membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari

sudut umum maupun dari orangnya.8

Selanjutnya, dalam hukum pidana tidak semua orang yang telah melakukan tindak

pidana dapat dipidana, hal ini terkait dengan alasan pemaaf dan alasan pembenar.

Alasan pemaaf yaitu suatu alasan tidak dapat dipidananya seseorang dikarenakan

keadaan orang tersebut secara hukum dimaafkan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal

44, Pasal 48 dan Pasal 49 Ayat (2) KUHP.

Selain di atas, juga alasan pembenar yaitu tidak dapat dipidananya seseorang yang

telah melakukan tindak pidana dikarenakan ada undang-undang yang mengatur

bahwa perbuatan tersebut dibenarkan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 48, Pasal

49 Ayat (1), Pasal 50 dan Pasal 51 KUHP.

6

Andi Hamzah.Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. GHalia Indonesia, Jakarta, 1985 hlm.108.

7

Moeljatno,Asas-Asas Hukum Pidana. Bina Aksara, Jakarta, 1984. hlm.37. 8

(43)

21

Pasal 44 KUHP:

(1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

(2) Jika ternyata perbuatannya itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat meerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

(3) Ketentuan dalam Ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.

Pasal 48 KUHP:

Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.

Pasal 49 KUHP:

(1) Tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.

(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan ancaman serangan itu, tidak dipidana.

Pasal 50 KUHP:

Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan

undang-undang, tidak dipidana.

Pasal 51 KUHP:

(1) Barangsipa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.

(44)

22

Tindakan kesengajaan sudah pasti harus dipertanggungjawabkan oleh pelaku

karena pelaku telah melakukan kesalahan yang menurut aturan dasar hukum

pidana “tidak ada pidana tanpa kesalahan”.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa untuk dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana, tidak ada alasan pemaaf sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 48 dan Pasal 49(2) KUHP dan tidak ada alasan

pembenaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 48, Pasal 49 (1), Pasal 50, dan

Pasal 51 KUHP. Penegasan tentang pertanggungjawaban adalah suatu hubungan

antara kenyataan-kenyataan yang menjadi syarat dan akibat hukum yang

diisyaratkan. Sehingga hubungan keduanya diadakan oleh aturan hukum, jadi

pertanggungjawaban tersebut adalah pernyataan dari suatu keputusan hukum.

C. Kekerasan dalam Rumah Tangga

1.Pengertian Kekerasaan dalam Rumah Tangga

Presiden Megawati pada tanggal 22 September 2004 telah mengesahkan dan

mengundangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah Tangga. Sesuai dengan namanya maka penghapusan

kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk

mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan

dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.

Pengertian kekerasan dalam rumah tangga menurut Pasal 1 Undang-Undang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap

(45)

23

penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga

termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan

kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

2.Bentuk-Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga, menurut Pasal 5 Undang-Undang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga meliputi: kekerasan fisik,

kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Kekerasan

fisik menurut Pasal 6 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah

Tangga adalah "perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka

berat."

Kekerasan psikis menurut Pasal 7 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan

dalam Rumah Tangga adalah "perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,

hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak

berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang."

Selanjutnya, yang dimaksud dengan kekerasan seksual menurut Pasal 8

Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah:

a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap

dalam lingkup rumah tangga tersebut.

b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah

tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Penelantaran rumah tangga menurut Pasal 9 Undang-Undang Penghapusan

(46)

24

(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah

tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena

persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan,

atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) juga berlaku bagi

setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara

membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau

di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Berdasarkan definisi bentuk-bentuk kekerasan tersebut di atas terlihat bahwa

Undang-Undang Penghapusan kekerasan dalam Rumah tangga berusaha untuk

melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. Dalam Undang-Undang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga ini hak-hak korban mendapat

pengakuan dan diatur, sementara dalam KUHP hak-hak korban tidak diatur

karena sejak awal ditujukan untuk menangani terdakwa atau pelaku

kekerasan/kejahatan sehingga ketentuannya pun menitikberatkan pada

kepentingan terdakwa.

D. Pengertian Anak

Anak dalam kasus ini merupakan korban, jadi yang dijadikan dasar teori

konseptual adalah pengertian anak menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu seseorang yang belum

berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Dalam Pasal 1 Konvensi Hak-Hak Anak (Convention On The Rights of The Child)

(47)

25

manusia yang berusia dibawah delapan belas tahun, kecuali berdasarkan

undang-undang yang berlaku untuk anak-anak, kedewasaan telah dicapai lebih cepat.

1. Dampak Kekerasan Fisik terhadap Anak

Pendidikan masa kecil seorang anak akan mempengaruhi perkembangan sikap

dan kepribadiannya di masa depan. Anak adalah peniru yang sangat besar.

Kekerasan terhadap anak dalam keluarga bukan saja salah, dilihat dari sudut hak

asasi anak tapi juga menimbulkan dampak sangat buruk terhadap masa depan

anak. Moore menyebutkan bahwa efek tindakan dari korban penganiayaan fisik

dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori.

Terdapat anak yang menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi; ada yang

menjadi sangat pasif dan apatis; ada yang tidak mempunyai kepibadian sendiri;

ada yang sulit menjalin relasi dengan individu lain dan ada pula yang timbul rasa

benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri. Selain itu Moore juga menemukan

adanya kerusakan fisik, seperti perkembangan tubuh kurang normal juga rusaknya

sistem syaraf dan kekerasan fisik yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka

waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap anak, meninggalkan bekas

luka secara fisik hingga menyebabkan korban meninggal dunia..9

2. Perlindungan Anak

Begitu banyaknya fenomena kekerasan dan tindak pidana terhadap anak menjadi

suatu sorotan keras dari berbagai kalangan. Hal ini dianggap sebagai suatu

indikator buruknya instrumen hukum dan perlindungan anak. Berdasarkan

9

(48)

26

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 20 tentang Perlindungan Anak,

bahwa yang berkewajiban dan bertanggung-jawab terhadap penyelenggaraan

perlindungan anak adalah negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang

tua. Pasal 21 dan 25 dalam UU ini juga mengatur lebih jauh terkait perlindungan

dan tanggung jawab terhadap anak.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

dalam Rumah Tangga pada Pasal 2 terkait ruang lingkup pada pasal ini juga

mencakup keberadaan anak untuk dilindungi dari kekerasan dalam rumah tangga.

Instrumen-instrumen hukum ini menjadi bukti bahwa hukum di Indonesia

memberi perhatian terhadap keberadaan anak. Adapun hal yang harus dilakukan

untuk mencegah kekerasan terhadap anak ialah pentingnya pemahaman dan

implementasi atas hak-hak terhadap anak, seperti dalam Pasal 4 Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu setiap anak berhak untuk

dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar.

E. Dasar Pertimbangan Hakim

Hakim sebagai pejabat yang diberikan wewenang untuk memeriksa serta

memutuskan suatu perkara mempunyai kedudukan yang istemewa, karena hakim

selain sebagai pegawai negeri, diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Hakim

sebagai pegawai negeri digaji oleh pemerintah, akan tetapi ia tidak menjalankan

perintah dari pemerintah, bahkan hakim dapat menghukum pemerintah apabila

pemerintah melakukan perbuatan yang melanggar hukum.10

10

(49)

27

Hakim dalam menjatuhkan putusan harus berdasarkan alat bukti yang sah, Hal ini

dijelaskan dalam Pasal 183 KUHAP, bahwa “ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti

yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi

dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Selanjutnya, alat bukti sebagaimana dimaksud pada Pasal 183 KUHAP diatur pada ketentuan Pasal 184

KUHAP yang menyatakan alat bukti adalah sebagai berikut:

a. Alat bukti yang sah ialah:

1) keterangan saksi; 2) keterangan ahli; 3) surat;

4) petunjuk;

5) keterangan terdakwa.

Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan

kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan-putusannya.

Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman,

menyebutkan:

Ketentuan Pasal 4 menyebutkan bahwa:

(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.

(2) Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dari rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Ketentuan Pasal 6 menjelaskan bahwa:

(1) Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan, kecuali undang-undang menentukan lain.

(50)

28

keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.

Ketentuan Pasal 7 menjelaskan bahwa:

“Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan,

dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.”

Ketentuan Pasal 8 menjelaskan bahwa:

(1) Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.

Menurut Al. Wisnubroto, ada beberapa faktor internal yang mempengaruhi hakim

dalam mengambil keputusan, adapun beberapa faktor yang mempengaruhi hakim

dalam mempertimbangkan suatu keputusan adalah11:

1. Faktor Subyektif, yaitu:

a. Sikap Perilaku Apriori

Hakim sering kali dalam mengadili suatu perkara sejak awal dihinggapi suatu

prasangka atau dugaan bahwa terdakwa atau tergugat bersalah, sehingga harus

dihukum atau dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Sikap ini jelas bertentangan

dengan asas yang dijunjung tinggi dalam peradilan modern, yakni asas praduga

tak bersalah (presumtion of innocence), terutama dalam perkara pidana. Sikap

yang bersifat memihak salah satu pihak (biasanya adalah penuntut umum atau

penggugat) dan tidak adil ini bisa saja terjadikarena hakim terjebak oleh rutinitas

11

(51)

29

penanganan perkara yang menumpuk dan target penyelesaian yang tidak

seimbang.

b. Sikap Perilaku Emosional

Perilaku hakim yang mudah tersinggung, pendendam dan pemarah akan berbeda

dengan perilaku hakim yang penuh pengertian, sabar dan teliti dalam menangani

suatu perkara. Hal ini jelas sangat berpengaruh pada hasil putusannya.

c. Sikap Arogan (arrogance power)

Hakim yang memiliki sikap arogan, merasa dirinya berkuasa dan pintar melebihi

orang lain seperti jaksa, penasihat hukum apalagi terdakwa atau pihak-pihak yang

bersengketa lainnya, sering kali dapat mempengaruhi keputusannya.

d. Moral

Faktor ini merupakan landasan yang sangat vital bagi insan penegak keadilan,

terutama hakim. Faktor ini berfungsi membentengi tindakan hakim terhadap

cobaan-cobaan yang mengarah pada penyimpangan, penyelewengan dan sikap

tidak adil lainnya.

2. Faktor Obyektif, yaitu:

a. Latar belakang sosial budaya

Latar belakang sosial hakim mempengaruhi sikap perilaku hakim. Hakim dalam

beberapa kajian sosiologis menunjukkan bahwa hakim yang berasal dari status

sosial tinggi berbeda cara memandang suatu permasalahan yangada dalam

masyarakat dengan hakim yang berasal dari lingkungan status sosial menengah

(52)

30

b. Profesionalisme

Profesionalisme yang meliputi knowledge (pengetahuan, wawasan) dan skills

(keahlian, keterampilan) yang ditunjang dengan ketekunan dan ketelitian

merupakan faktor yang mempengaruhi cara hakim mengambil keputusan masalah

profesionalisme ini juga sering dikaitkan dengan kode etik di lingkungan

peradilan, oleh sebab itu hakim yang menangani suatu perkara dengan berpegang

teguh pada etika profesi tentu akan menghasilkan putusan yang lebih dapat

dipertanggungjawabkan.

Keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan telah

dilaksanakan, dijadikan sebagai dokumen yang dinamakan yurisprudensi.

Dokumen ini banyak mengandung nilai-nilai hukum yang telah diperlukan dan

bahkan tidak sedikit yang berlandaskan pada pertimbangan-pertimbangan

(53)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini berdasarkan pokok permasalahan

dilakukan dengan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris.

Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari, melihat dan

menelaah mengenai beberapa hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas

hukum, konsepsi, pandangan, doktrin-doktrin hukum, peraturan hukum dan sistem

hukum yang berkenaan dengan permasalahan yaitu upaya pertanggung jawaban

pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga yang dilakukan orang tua terhadap anak

kandung.

Pendekatan masalah secara yuridis normatif dimaksudkan untuk memperoleh

pemahaman tentang pokok bahasan yang jelas mengenai gejala dan objek yang

sedang diteliti yang bersifat teoritis berdasarkan atas kepustakaan dan literatur

yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Penelitian ini bukanlah

memperoleh hasil yang dapat diuji melalui statistik, tetapi penelitian ini

merupakan penafsiran subjektif yang merupakan pengembangan teori-teori dalam

kerangka penemuan-penemuan ilmiah.1 Pendekatan yuridis empiris dilakukan

untuk mempelajari hukum dalam kenyataan atau berdasarkan fakta yang didapat

1

(54)

32

secara objektif di lapangan, baik berupa pendapat, sikap dan perilaku hukum yang

didasarkan pada identifikasi hukum dan efektifitas hukum.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data adalah tempat dari mana data tersebut diperoleh. Dalam penelitian

ini data yang diperoleh berdasarkan data lapangan dan data pustaka. Jenis data

pada penulisan ini menggunakan dua jenis data yaitu:

1. Data primer

Data primer adalah data yang didapat secara langsung dari sumber pertama.2Data

primer ini didapatkan dengan cara melakukan wawancara dengan pihak yang

berkaitan dengan upaya pertanggung jawaban Kekerasan dalam Rumah Tangga

yang dilakukan orang tua terhadap anak kandung, yaitu penyidik pada Unit

Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Bandar Lampung, jaksa

Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang,,

aktivis Lembaga Advokasi Anak Bandar Lampung dan dosen Bagian Hukum

Pidana Universitas Lampung.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan

dengan melakukan studi dokumen, arsip dan literatur-literatur dengan

mempelajari hal-hal yang bersifat teoritis, konsep-konsep dan

pandangan-2

(55)

33

pandangan, doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok penulisan,

yaitu pertanggung jawaban pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga yang

dilakukan orang tua terhadap anak kandung.

Jenis data sekunder dalam penulisan skripsi ini terdiri dari bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat terdiri dari:

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73

Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP)

2) Undang-Undang no. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara pidana (KUHAP)

3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak.

4) Undang-Undang Replublik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

5) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa bahan hukum yang meliputi peraturan

pelaksana, Kepres dan Peraturan Pemerintah.

c. Bahan hukum tersier, yaitu hasil karya ilmiah, hasil-hasil penelitian, kamus,

(56)

34

C. Penentuan Narasumber

Narasumber adalah orang yang memberikan informasi/keterangan secara jelas

atau menjadi sumber informasi.3 Keterangan atau jawaban tersebut dapat

disampaikan dalam bentuk tulisan atau lisan ketika menjawab wawancara.

Narasumber dalam penelitian adalah polisi yang bekerja di Polresta Bandar

Lampung, jaksa yang bekerja di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, hakim pada

Pengadilan Negeri Tanjung Karang Bandar Lampung, aktivis yang bekerja di

Lembaga Advokasi Anak Bandar Lampung dan dosen Fakultas Hukum Unila.

Berdasarkan sampel di atas maka yang menjadi responden dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

a. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang = 1 orang

b. Aktivis pada LSM Damar = 1 orang

c. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung = 1 orang

= 3 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder, yaitu

melakukan serangkaian kegiatan studi dokumentasi, dengan cara membaca,

mencatat dan mengutip buku-buku atau referensi yang berhubungan dengan

3

(57)

35

pertanggung jawaban pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga yang dilakukan

orang tua terhadap anak kandung.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer, adapun cara

mengumpulkan data primer dilakukan dengan metode wawancara terpimpin,

yaitu dengan mengajukan pertanyaan yang telah disiapkan terlebih dahulu dan

dilakukan secara langsung dengan responden.

2. Cara Pengolahan Data

Pelaksanaan pengolahan data yang telah diperoleh dilakukan dengan cara sebagai

berikut:

a. Identifikasi, yaitu mencari dan menetapkan data yang berhubungan dengan

upaya pertanggung jawaban pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga yang

dilakukan orang tua terhadap anak kandung.

b. Editing, yaitu data yang diperoleh dari penelitian diperiksa dan diteliti kembali

mengenai kelengkapan, dan kebenarannya sehingga terhindar dari kekurangan

dan kesalahan.

c. Klasifikasi, yaitu menyusun data yang diperoleh menurut kelompok yang telah

ditentukan secara sistematis sehingga data tersebut siap dianalisis.

d. Sistematisasi, yaitu melakukan penyusunan data secara sistematis sesuai

(58)

36

E. Analisis Data

Analisis akan dilakukan secara kualitatif, yaitu menggambarkan

kenyataan-kenyataan yang ada berdasarkan hasil penelitian dengan menguraikan secara

sistematis untuk memperoleh kejelasan dan memudahkan pembahasan.

Selanjutnya diinterpretasikan secara sistematis dengan permasalahan yang ada,

terutama berkaitan dengan pertanggung jawaban pidana Kekerasan dalam Rumah

Tangga yang dilakukan orang tua terhadap anak kandung sehingga menemukan

titik temu yang kemudian untuk dapat ditarik suatu kesimpulan. Metode yang

digunakan untuk menarik suatu kesimpulan ialah metode induktif yaitu suatu cara

mengambil suatu kesimpulan dari hal-hal bersifat khusus dan kemudian diambil

Referensi

Dokumen terkait

Untuk seluruh teman-teman terbaik selama di Fakultas Hukum USU yang tidak. bias disebutkan satu

penjara paling lama 20 tahun sebagai pengganti pidana denda yang tidak

C.S.T.Kansil, Christine.S.T.Kansil, Latihan Ujian Hukum Pidana , Jakarta, Sinar Dirdjosisworo, Soedjono, Hukum Narkotika Indonesia , Jakarta, Alumni, 1986 Dirdjosisworo, Soedjono,

Dalam bab ini menguraikan tentang bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang

Bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang paling dominan adalah kekerasan fisik 80%, kekerasan psikis 8,5%, penelantaran dalam rumah tangga 4,5% dan kekerasan seksual

2 Penyelesaian tindak pidana kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kabupaten Bener Meriah tidak lagi dilakukan melalui lembaga peradilan secara hukum positif, karena jika

8 Denpasar atau setidak-tidaknya pada suatu tempat tertentu yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Denpasar, telah melakukan perbuatan kekerasan fisik

Kekerasan Dalam Rumah Tangga KDRT Kekeralsaln Dallalm Rumalh Talnggal KDRT menurut Palsall 1 Undalng-Undalng Penghalpusaln Dallalm Rumalh Talnggal: “Setialp perbualtaln terhaldalp