• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan pendistribusian pasukan militer Amerika Serikat dari Okinawa ke Guam, Hawai, dan Darwin 2006-2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebijakan pendistribusian pasukan militer Amerika Serikat dari Okinawa ke Guam, Hawai, dan Darwin 2006-2014"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

DAN DARWIN 2006-2014

Skripsi

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh

Ardhiana Fitriyanie 1110083000004

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

1945, dan disaat yang bersamaan Jepang dilarang memiliki kekuatan militer skala besar sehingga, wilayah Jepang dijaga oleh AS dan tentara Sekutu lainnya selaku pemenang Perang Dunia II. Pada tahun 1960 dengan menandatangani perjanjian aliansi Treaty of Mutual Cooperation and Security, AS kemudian secara legal mendirikan pangkalan militernya di seluruh daratan Jepang sebagai komitmen AS menjaga teritori Jepang dari ancaman eksternal serta menjaga stabilitas Kawasan Timur Jauh. Tetapi pembangunan dan penempatan pasukan militer AS di Jepang khususnya di Okinawa mendapatkan reaksi penolakan dari penduduk lokal Okinawa dan meminta pemerintah Jepang untuk menutup pangkalan militer AS dari wilayah mereka.

Selama bertahun-tahun Pemerintah Jepang telah berupaya untuk membujuk AS mengenai pemindahan pangkalan militernya dari Okinawa hingga pada tahun 2006, respon AS cukup mengejutkan yaitu mengeluarkan kebijakan luar negeri berupa pendistribusian pasukan militer sebanyak 9000 personil dan memindahkannya ke tiga lokasi yakni Guam, Hawai, dan Darwin yang tertuang dalam U.S.-Japan Alliance: Transformation and Realignment for the Future.

Persetujuan AS untuk memindahkan pasukan militernya dari Okinawa sebanyak 9000 bukanlah tanpa alasan, dimana dalam penelitian ini ditemukan bahwa alasan terbesar AS mendistribusikan pasukan milliternya dari Okinawa adalah karena kekhawatiran AS akan peningkatan kekuatan militer Cina di Kawasan Asia Pasifik. Penelitian ini juga berhasil melihat dengan kekhawatiran AS tersebut, akhirnya mengarahkan AS untuk menggunakan strategi baru yaitu Hedging. Hedging bukan saja balancing

atau engagement melainkan memadukan kedua strategi tersebut secara bersamaan.

Selain itu penelitian ini juga menemukan alasan AS memilih Guam, Hawai dan Darwin yaitu AS dapat mendirikan banyak akses “lily pads” di Kawasan Asia Pasifik untuk memperkuat “Hub and Spoke” dengan negara-negara aliansi AS maupun non-aliansi. Sehingga hegemoni AS di kawasan Asia Pasifik tidak tergeser oleh kehadiran Cina. Kepentingan AS di kawasan merupakan faktor utama AS yang pada akhirnya mau mendistribusikan pasukan militernya dari Okinawa tahun 2006.

(6)

v

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena hanya berkat rahmat-Nyalah peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kebijakan

Pendistribusian Pasukan Militer Amerika Serikat dari Okinawa ke Guam, Hawai, dan Darwin (2006-2014)”. Peneliti sangat menyadari hanya karena Dialah peneliti mampu menyusun dan menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Peneliti menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Orang tua tercinta Ayahanda Sukardi dan Ibunda Sri Suratmi yang telah memberikan dukungan baik moral maupun materil kepada peneliti serta tidak pernah lelah memberikan semangat dan doa agar peneliti mampu menyelesaikan skripsi ini.

2. Kakak peneliti yaitu Ardhiana Sitarusmi yang selalu ada untuk peneliti sebagai patner bertukar pikiran dalam semua bidang baik akademik maupun non akademik.

3. Debby Affianty, M.Si selaku Ketua Jurusan Hubungan Internasional dan Agus Nilmada Azmi, M.Si selaku Sekertaris Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(7)

vi

menjalankan perkuliahan di FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Para dosen dan staff FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya

jajaran dosen jurusan Hubungan Internasional atas ilmu yang diberikan selama peneliti menjalankan kegiatan perkuliahan dan bantuan dalam urusan administrasi selama masa kuliah.

7. Narasumber yang telah menyediakan waktu untuk memberikan kesempatan peneliti untuk bertanya mengenai berbagai hal terkait isu yang peneliti ambil dalam materi skripsi yaitu Jonathan Berkshire Miller dari Pacific Forum Centre for Strategic and International Studies

(CSIS), John Hemmings dari London School of Economics (LSE), Iis Gindarsah dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, David Vine dari American University, dan Terence Roehrig, PhD dari US Naval War College.

8. Teman-teman terbaik peneliti yaitu Mentari Rika Noviandri, Putu Ayu Widyantini, Prasetyo Dharma, M.Khusni Mubarak yang telah memberikan semangat serta dorongan moril agar peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini.

(8)

vii

ketua kelas abadi bersama Ramadhani Eko. Empat tahun perkuliahan terasa singkat jika bersama kalian. Terima Kasih telah berjuang bersama dan menjadi kelas terbaik.

11.Teman-teman International Studies Club (ISC) yang telah banyak memberikan pengalaman berorganisasi yaitu Ka Andri, Ka Amar, Ka Adit, Andre, Bayu, Fahmi, Fikri, Desica, Aptiani, Acit, Dzikri, Tara, Annisa, Mahar, dan anggota ISC lainnya.

12.Semua pihak yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Terimakasih Semuanya.

Jakarta, 9 Desember 2014

(9)

viii

ANZUZ The Australia, New Zealand, United States Security Treaty

AUSMIN United States and Australia held Ministerial Consultations

ARF ASEAN Regional Forum

ASCM Anti-Ship Cruise Missile

ASDF Air Self Defense Force

AS Amerika Serikat

CFAY Commander Fleet Activities Yokosuka

CLCS Commission on the Limits of the Continental Shelf

COMLOG WESTPAC Commander, Logistic Group, Western Pacific

CSD Collective Security Defense

CSL Cooperative Security Location

DOC Declaration on the Conduct of Parties in the South

China Sea

DPJ Democratic Party of Japan

DPRI Defense Policy Review Initiative

GSDF Ground Self Defense Force

ICBM Intercontinental Ballistic Missile IRBM Intermediate Range Ballistic Missile

JSDF Japan Self Defense Force

(10)

ix

MSDF Maritime Self Defense Force

NATO North Atlantic Treaty Organization

OTH Over-The-Horizon

PCB Polychlorinated Biphenyl

PLA The People’s Liberation Army

PLAN People’s Liberation Army Navy

PPM Part Per Million

PVA People’s Volunteer Army

RVN Republic of Vietnam Navy

SACO Special Action Committee on Okinawa

SCC Security Consultative Committee

SDP Social Democratic Party

SFPT San Francisco Peace Treaty

SOFA Status of Forces Agreement

SSBN Ballistic Missile Submarines, Nuclear

UNC United Nations Command

UNCLOS United Nations Convention on the Law of the Sea

UNTAC United Nations Transitional Authority in Cambodia USCAR United States Civil Administration in the Ryukyus

USPACOM United States Pacific Command

(11)

x

Tabel III.C.2 Penempatan Kapal Angkatan Udara PLA Cina………. 71

DAFTAR GRAFIK

Grafik II.C Persentase Lahan Pangkalan Militer AS... 41 Grafik III.A Jumlah Pasukan Militer AS di Kawasan Asia Pasifik Sampai

2012……….………... 52

Grafik III.C.1 Nilai Gross Domisetic Product Cina (1990-2010)………...…… 66

Grafik III.C.2 Anggaran Belanja Militer AS (2002-2010)………... 67

(12)

xi

Gambar II.C.1 Peta Penyebaran Fasilitas Pangkalan Militer AS di Prefektur Okinawa……….………

37

Gambar II.C.2 Peta Lokasi Strategis Okinawa………..……… 39

Gambar III.A Penempatan Pasukan Militer AS di Asia Pasifik………... 51

Gambar III.B.1 Peta Jangkauan Balistik Misil Korea Utara……….………...…... 58

Gambar III.B.2.1 Peta Laut Cina Selatan... 61

Gambar III.B.2.2 Peta Sengketa Laut Cina Timur……….……… 64

(13)

xii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI………... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI……… iii

ABSTRAK……… iv

KATA PENGANTAR……….. v

DAFTAR SINGKATAN... viii

DAFTAR TABEL DAN GRAFIK……... x

DAFTAR GAMBAR……….... xi

DAFTAR ISI………..……….………... xii

BAB I PENDAHULUAN………..………... 1

A. Pernyataan Masalah...…………... 1

B. Pertanyaan Penelitian………... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……...……….………. 6

D. Tinjauan Pustaka……….………... 7

E. Kerangka Pemikiran………..………... 12

F. Metode Penelitian………...………... 21

G. Sistematika Penulisan…………..………... 22

BAB II HUBUNGAN ALIANSI AMERIKA SERIKAT-JEPANG ………... 24

A. Sejarah Hubungan Aliansi Militer AS dan Jepang Paska Perang Dunia II 1945... 24

B. Penempatan Pasukan Militer Amerika Serikat di Jepang………... 30

C. Kepentingan Penempatan Pasukan Militer Amerika Serikat di Okinawa……….. 35

C.1Fasilitas Pangkalan Militer Amerika Serikat di Okinawa………. 41

(14)

xiii

A. Keterlibatan Amerika Serikat di Kawasan Asia Pasifik………... 48

B. Konflik Regional Asia Pasifik…...………... 53

B.1 Konflik Semenanjung Korea………... 53

B.2 Sengketa Maritim………... 58

B.2.a Laut Cina Selatan………..………... 58

B.2.b Laut Cina Timur………... 64

C. Peningkatan Kekuatan Militer Cina………... 66

C.1 Angkatan Laut………... 69

C.2 Angkatan Darat………..………... 70

C.3 Angkatan Udara……….……….…... 70

C.4 Kemampuan Space,Counterspace, dan Cyberwarfare...……… 72

BAB IV ANALISA KEBIJAKAN PENDISTRIBUSIAN PASUKAN MILITER AMERIKA SERIKAT DARI OKINAWA (2006-2014)………..………… 74 A. Faktor Pemicu Pendistribusian Pasukan Militer Amerika Serikat dari Okinawa tahun 2006……….…………..………..…..………. 74 B. Relokasi Pasukan Militer Amerika Serikat dari Okinawa ke Guam, Hawai, dan Darwin………...………... 81 BAB V KESIMPULAN……….…………... 102

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Skripsi ini akan membahas mengenai kebijakan pendistribusian pasukan militer Amerika Serikat dari Okinawa ke beberapa wilayah di Asia Pasifik seperti Guam, Hawai, dan Darwin dari tahun 2006 sampai 2014.

Pada tahun 2006 Amerika Serikat (AS) dan Jepang melakukan pertemuan untuk membahas penyusunan kembali (Realignment) aliansi militer terkait Pangkalan Militer AS yang berada di Okinawa sejak tahun 1952. Hasil dari

Realignment tersebut Pemerintah AS akan menarik pasukan militernya dari Okinawa sebanyak sekitar 9.000 personil dan memindahkannya ke beberapa tempat di Kawasan Asia Pasifik seperti Guam, Hawai dan Australia (The Wall Street Journal 2013).

(16)

Keinginan untuk mendistribusikan Pasukan Militer AS dari Okinawa merupakan salah satu agenda utama Jepang untuk memenuhi tuntutan rakyat Okinawa yang menginginkan semua pangkalan militer AS dipindahkan dari wilayah Prefektur Okinawa sehingga untuk memenuhi tuntutan ini, Jepang berupaya bernegosiasi dengan AS terkait isu ini diberbagai pertemuan bilateral kedua negara (Brooks 2010:41).

Salah satu upaya perundingan bilateral yang dilakukan kedua negara sejak tahun 1997 adalah Security Consultative Committee (SCC) atau yang lebih

dikenal dengan “aliansi 2+2”. SCC adalah sebuah forum bilateral yang membahas

tentang hubungan keamanan bilateral kedua negara, dan pada tahun 2002 di dalam pertemuan SCC, AS-Jepang membahas mengenai transformasi aliansi kedua negara untuk menghadapi tantangan keamanan bersama atau yang dikenal dengan

Defense Policy Review Initiative (DPRI) (Brooks 2010:42).

Pembahasan DPRI antara lain yaitu menyangkut ambisi AS untuk melawan terorisme dan mentransformasi aliansi AS-Jepang dengan pembahasan merujuk pada kesepakatan AS akan memindahkan pasukan militernya dari Okinawa pada tahun 2006 dan memindahkannya ke Guam. Selain itu, kedua negara juga menyetujui untuk melakukan penggabungan dan pengintegrasian Pangkalan Militer AS di Okinawa dengan Pangkalan Militer AS di daratan Jepang lainnya serta melakukan renovasi fasilitas Pangkalan Udara Iwakuni di Prefektur Yamaguchi dan Barak Zama di Prefektur Kanagawa (Brooks 2010:44).

(17)

pemerkosaan terhadap gadis berumur 12 tahun pada tahun 1995 oleh personil militer AS dan tekanan dari partai politik di Pemerintahan Jepang (Japan Communist Party 2000).

Partai yang ikut serta menolak kehadiran Pangkalan Militer AS di Okinawa salah satunya adalah Democratic Party of Japan (DPJ) dan Social Democratic Party (SDP) yang menekan pemerintah Jepang untuk segera memindahkan pangkalan militer AS dari Okinawa dan merevisi ulang Status of Forces Agreement (SOFA) mengenai ekstra teritori yang dimiliki oleh pasukan militer AS (Brooks 2010:12).

Selain itu, keinginan untuk memindahkan pasukan militer AS dari Okinawa bukan hanya dilihat dari alasan kejahatan saja, melainkan pemerintah Jepang terlalu banyak menghabiskan dana APBN untuk membiayai operasional militer AS di Jepang. Pemerintah Jepang harus membayar tagihan listrik dan uang saku serta uang 100.000 dolar AS (sekitar satu milyar rupiah) bagi setiap personil AS per tahun sehingga, hampir 65% biaya pangkalan militer AS ditanggung oleh pemerintah Jepang (Smith 2001:2).

(18)

II tahun 1945, Jepang dilarang untuk memiliki kekuatan skala besar sehingga pertahanan teritori Jepang bergantung kepada tentara pertahanan Jepang yang dikenal dengan Japan Security Defense Force (JSDF) dan Pasukan Militer AS di Jepang (O.Hague 2007:61)

Menghadapi situasi ini upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Jepang adalah terus bernegosiasi dengan AS terkait pemindahan pasukan militer AS dari Okinawa dan kemudian upaya ini membuahkan hasil yaitu akhirnya AS merubah keputusannya dengan menyetujui pemindahan pasukan militernya dari Okinawa sebanyak 9.000 personil dan merelokasinya ke tiga tempat yaitu Guam, Hawai, dan Darwin (Vaughn 2007:2).

Alasan lain dari pemindahan pasukan militer AS dari Okinawa selain sebagai respon pemerintah Jepang, ini juga merupakan bentuk strategi AS dalam menghadapi tantangan dan ancaman negara lain yang dapat mengancam kepentingan AS di kawasan Asia-Pasifik seperti konflik Laut Cina Selatan dan klaim kepemilikan Kepulauan Spratly serta klaim atas kepemilikian Pulau Paracel oleh Cina dan beberapa negara di Asia Tenggara seperti Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam dan Malaysia (Vaughn 2007:2).

(19)

senjata misil balistik kepada AS dan Korea Selatan di tahun 2006 dan 2009 (Fravel 2012:40).

Fokus Pemerintah AS terhadap penguatan kerjasama lebih ditekankan pada kerjasama di bidang pertahanan hal ini seperti yang disampaikan oleh Mantan Ketua The House Subcomittee Asia dan Pasifik, Jim Leach bahwa AS akan menghadapi tantangan geopolitik terbesarnya di Asia pada tahun-tahun mendatang (Vaughn 2007:4). Jim Leach juga mengatakan bahwa mempertahankan kehadiran kekuatan militer AS di luar negeri menjadi elemen kunci dalam mengeluarkan kebijakan keamanan nasional AS di Asia Pasifik selain itu, kehadiran militer AS ini akan mempromosikan stabilitas regional bersama dengan negara aliansi dan mitra lainnya serta menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi di kawasan Asia Pasifik (Vaughn 2007:5).

Dari beberapa penjelasan ini, peneliti merasa perlu untuk membahas lebih lanjut tentang pendistribusian pasukan militer AS dari Okinawa di tahun 2006 dan melihat berapa pentingnya kawasan Asia Pasifik bagi AS sampai tahun 2014. B. Pertanyaan Penelitian

(20)

keinginan AS untuk melindungi kepentingannya di kawasan Asia Pasifik dari ancaman yang mungkin datang.

Melihat gambaran isu di atas, peneliti merasa tertarik untuk membahas kebijakan luar negeri AS di bidang militer lebih lanjut, sehingga penulis mengangkat pertanyaan penelitiannya adalah:

Mengapa Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan luar negeri

berupa pendistribusian Pasukan Militer AS dari Okinawa tahun 2006?” C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dan manfaat dari penelitian berjudul Kebijakan Pendistribusian Pasukan Militer AS dari Okinawa ke Guam, Hawai, dan Darwin

2006-2014 adalah untuk menjawab pertanyaan yang menjadi permasalahan yang telah diajukan oleh peneliti. Oleh sebab itu, tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisa alasan dan faktor yang mempengaruhi Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan luar negeri berupa pendistribusian pasukan militernya dari Okinawa, Jepang.

2. Memberikan gambaran umum mengenai orientasi dari kebijakan Amerika Serikat terhadap negara-negara di Asia Pasifik dan hubungannya dengan penarikan pasukan militer AS dari Okinawa, Jepang.

(21)

1. Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan ilmu hubungan internasional baik di lingkup universitas maupun lingkup nasional dan internasional.

2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian berikutnya untuk membahas tentang pendistribusian pasukan militer AS tidak hanya di Okinawa, Jepang namun juga bisa penarikan pasukan militer AS di Irak, Afghanistan, dan negara lainnya.

3. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi acuan bagi penelitian berikutnya untuk membahas hubungan aliansi AS-Jepang pasca keputusan penarikan pasukan militer AS dari Okinawa yang dilakukan oleh Pemerintah AS. D. Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai Kebijakan Pendistribusian Pasukan Militer AS dari Okinawa ke Guam, Hawai dan Darwin tahun 2006-2014 ini bertujuan untuk memperdalam pengetahuan mengenai alasan AS menarik pasukannya dari Okinawa. Oleh karena itu, ada baiknya jika menelaah penelitian-penelitian lain mengenai penarikan pasukan militer AS ataupun yang berkaitan dengan pasukan militer AS yang telah ada sebelumnya sebagai pembanding dan pelengkap penelitian. Pada bagian ini peneliti akan meninjau beberapa penelitian yang berkaitan dengan pasukan militer AS.

Penelitian pertama terkait dengan judul peneliti adalah penelitian yang dilakukan oleh Syarifuddin dari Universitas Indonesia tahun 1983 yang berjudul

Kebijaksanaan Politik Luar Negeri Amerika Serikat Terhadap Korea Selatan

Antara Tahun 1976-1979 : Penarikan Pasukan Militer Amerika Serikat Dari

(22)

Di dalam penelitiannya, Syarifudin membahas tentang alasan dan faktor yang mempengaruhi AS memilih menarik pasukan militernya dari Korea Selatan di tahun 1976-1979. Faktor yang mempengaruhi penarikan ini antara lain yaitu faktor konflik antara Sino-Uni Soviet, hubungan RRC-AS, dan ketiga peranan optimal Beijing serta Jepang dalam menangkal perluasan pengaruh AS di Asia. Berdasarkan ketiga faktor tersebut, Syarifuddin melihat bahwa penarikan pasukan militer AS dipengaruhi oleh pola hubungan antara negara-negara besar dan juga negara-negara kecil sehingga, hubungan antar negara tersebut dapat memicu adanya persaingan yang cukup besar antar negara.

Persaingan antara negara-negara besar seperti Cina-Uni Soviet juga telah mengurangi kebutuhan AS untuk menempatkan pasukan militernya secara besar-besaran. Hal ini disebabkan jika AS terlalu agresif justru akan membuat posisi AS menjadi sulit. Sehingga pada masa Presiden Carter, ia mengeluarkan kebijakan luar negeri berupa penarikan 33 ribu tentara AS secara bertahap dari Korea Selatan tahun 1976-1979.

Penelitian yang dilakukan oleh Syarifuddin menggunakan teori pentautan atau linkage theory dimana teori pentautan memiliki makna bahwa dalam sistem hubungan antar negara, negara kecil memiliki ikatan dengan negara-negara besar, sedangkan untuk metode penelitiannya Syarifuddin menggunakan metode deskriptif dengan sumber data sekunder berupa data perpustakaan, wawancara, dan sumber lainnya.

(23)

sekitar Kawasan Asia Pasifik, serta metode penulisan yang digunakan oleh peneliti juga menggunakan kualitatif yang bersifat deskriptif dengan sumber data sekunder. Perbedaan penelitian Syarifuddin dengan peneliti adalah objek penelitian dimana dalam penelitian Syariduddin objek penarikan pasukan miiter AS adalah Korea Selatan, sedangkan peneliti menggunakan objek Okinawa, Jepang, selain itu pembahasan peneliti juga mencangkup penjelasan pemilihan lokasi Guam, Hawai dan Darwin sebagai lokasi pemindahan pasukan militer AS dari Okinawa.

Penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan judul penelitian peneliti yaitu Faris Bimantara dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul Pengaruh Pangkalan Militer AS di Okinawa (Jepang) Terhadap Kerjasama Bilateral AS-Jepang Dalam Bidang Pertahanan dan Keamanan

Periode 2001-2006.

Pokok permasalahan dari penelitian Bimantara adalah latar belakang apa yang mempengaruhi penempatan Pangkalan Militer AS di Okinawa, Jepang dan bagaimana pengaruh penempatan Pangkalan Militer AS di Okinawa terhadap kerjasama pertahanan dan keamanan AS-Jepang periode 2001-2006. Di dalam penelitiannya, Faris Bimantara menjelaskan bahwa alasan AS memilih Okinawa sebagai pangkalan militernya karena lokasi Okinawa memiliki nilai yang strategis dari sisi lokasi di mana letak Okinawa dekat dengan negara-negara penting AS di kawasan Asia Timur.

(24)

ancaman, serta kepentingan AS di kawasan pun menjadi lebih mudah terutama dalam menghadapi serangan musuh AS memiliki Jepang sebagai aliansi utamanya di Kawasan Asia Timur.

Berdasarkan isu yang diangkat oleh Faris Bimantara, maka teori yang digunakan Faris adalah Grand Theory yaitu Neorealisme serta beberapa konsep pendukung lainnya seperti kepentingan nasional, power, dan konsep aliansi, sedangkan untuk metode penelitian, ia menggunakan metode kualitatif.

Kesamaan penelitian Faris Bimantara dengan penelitian yang peneliti ambil adalah dari segi objek penelitian yaitu Amerika Serikat dan Okinawa, Jepang, kemudian metode yang digunakan juga sama yaitu kualitatif. Namun perbedaan penelitian Faris dan penelitian peneliti adalah dari segi tahun penelitian, Faris memfokuskan penelitian tahun 2001-2006, sedangkan peneliti 2006-2014. Selain itu peneliti lebih berfokus kepada alasan AS mengeluarkan kebijakan pendistribusian pasukan militer AS dari Okinawa, dan merelokasinya ke Guam, Hawai, serta Darwin. Perbedaan berikutnya adalah peneliti mencoba menggunakan konsep baru yaitu hedging dimana dalam konsep ini terdapat dua bentuk aksi kebijakan yaitu balancing dan engagement sehingga peneliti mencoba melihat sisi lain dari aksi AS mengeluarkan kebijakan ini.

(25)

Penjelasan artikel ini adalah AS telah mengagendakan penarikan pasukan militer AS dari Irak sejak masa pemerintahan George W. Bush, tetapi hal tersebut dapat dilakukan jika Irak telah dianggap kuat dalam berdemokrasi dan stabil dalam pemerintahan serta mampu untuk memberantas terorisme. Namun, komitmen tersebut tidak pernah diwujudkan oleh Presiden George W. Bush karena dibalik tertundanya kesepakatan itu AS memliki rencana lain yaitu ingin menata dunia Islam sesuai dengan kepentingan nasional AS, dan tujuan invasi Irak adalah menduduki Irak secara permanen dan membangun pangkalan militer abadi untuk proyeksi kekuatan regional AS.

Meskipun selama masa Presiden George W Bush, komitmen tersebut tidak pernah terlaksana, tetapi ketika masa Presiden Barack Obama, AS mau menarik pasukan militernya dari Irak pada tahun 2009, dan direncanakan penarikan pasukan akan selesai dalam kurun waktu 16 bulan. Kesimpulan dari artikel tersebut ialah penarikan pasukan yang dilakukan oleh AS akan membawa keuntungan bagi kedua belah pihak, selain itu menurut John Riordan semakin cepat AS menarik pasukannya dari Irak akan semakin baik karena Irak akan semakin mandiri, serta rekonstruksi Irak juga akan mulai kembali pulih.

(26)

Dapat dilihat dari hasil ketiga tinjauan pustaka diatas, maka penelitian peneliti yang berjudul Kebijakan Pendistribusian Pasukan Militer Amerika Serikat dari Okinawa ke Guam, Hawai, dan Darwin 2006-2014 memberikan gambaran berbeda dari kebijakan luar negeri AS di bidang militer terhadap negara lain. Selain itu, perbedaan peneliti dengan penelitian-penelitian serupa salah satunya adalah konsep yang digunakan peneliti sebagai alat analisa topik ini yaitu menggunakan konsep hedging dimana peneliti melihat bahwa penggunaan konsep

hedging lebih tepat dalam menganalisa alasan AS yang pada akhirnya mau mendistribusikan pasukan militernya dari Okinawa setelah bertahun-tahun AS tidak ingin memindahkannya. Hal ini disebabkan bahwa konsep hedging

menggunakan dua pendekatan aksi yakni balancing dan engagement sehingga, suatu negara ketika berhadapan dengan negara lain yang dianggap sebagai ancaman akan menggunakan kedua aksi ini untuk tetap mempertahankan kepentingan nasionalnya.

E. Kerangka Pemikiran

Dalam upaya menganalisa Kebijakan Pendistribusian Pasukan Militer Amerika Serikat dari Okinawa ke Guam, Hawai, dan Darwin tahun 2006-2014, maka peneliti akan menggunakan beberapa konsep pendukung penelitian untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah diajukan sebelumnya yaitu konsep

hedging, konsep kebijakan luar negeri, dan aliansi. 1.1 Konsep Hedging

(27)

berubah sehingga suatu hari akan muncul negara-negara raising power sebagai pengganti sistem yang unipolar (McDougall 1997:6).

Pada studi keamanan, negara merupakan aktor utama dalam sistem internasional sehingga negara akan bertindak sesuai dengan kepentingan nasionalnya. Didalam teori hubungan internasional terdapat beberapa konsep yang dapat menjelaskan cara-cara sebuah negara menghadapi ancaman suatu

negara yaitu: Pertama “balancer”, negara dengan konsep ini percaya bahwa

negara yang memiliki kekuatan besar di dalam sistem internasional tidak akan selamanya dapat berkuasa karena akan muncul negara penyeimbang yang sama-sama memiliki kekuatan besar. Sehingga keadaan akan menjadi seimbang selain itu, menurut Kenneth Waltz balancing memiliki dua bentuk yaitu balancing

internal dan eksternal (Waltz 1979:118).

Balancing internal berarti sebuah negara akan berusaha untuk meningkatkan kekuatan militer, kemampuan ekonomi, dan meningkatk;an kecerdasan strategi demi mengurangi kesenjangan kekuatan dengan negara yang dianggap sebagai ancaman. Sedangkan balancing eksternal adalah suatu negara akan bergabung atau membangun suatu aliansi tertentu untuk menambah kekuatan sehingga kekuatan negara lawan dapat di minimalisir (Waltz 1979:118).

Kedua “banwagoners’, negara yang menggunakan konsep ini percaya

(28)

Ketiga adalah hedging, hedging merupakan strategi alternatif dari

balancing atau banwagoning yang dapat digunakan oleh suatu negara dalam menghadapi ancaman dari negara lain. Sebelum konsep hedging diaplikasikan kedalam ilmu hubungan internasional, konsep ini sudah lebih dulu dikenal dalam ilmu ekonomi keuangan yaitu hedging berarti menunjukkan posisi sebuah investasi satu dan lainnya dengan tujuan untuk mengimbangi potensi kerugian atau keuntungan yang mungkin ditimbulkan oleh investasi dari rekan yang lain (Sieberg 2011:24).

Menurut kamus ekonomi, “hedge” didefinisikan sebagai “hedge involves deliberately taking on new risk that offset an existing one” atau dapat dikatakan

hedging digunakan untuk mengurangi resiko dari kemungkinan pergeseran harga investasi aset yang tidak pasti dengan mengambil keputusan yang lain (Sieberg 2011:25). Hedging pada ilmu ekonomi keuangan dan hubungan internasional memiliki kesamaan yaitu keduanya sama-sama berada pada situasi yang tidak pasti sehingga implikasi dari probabilitas adalah keputusan yang diambil harus diperhitungkan dan dipertimbangkan berapa besar kerugian yang akan didapatkan jika mengambil keputusan yang lain (Sieberg 2011:26).

Di dalam hubungan internasional, sistem internasional selalu mengalami perubahan sehingga setiap negara akan khawatir atas perubahan sistem internasional tersebut. Akibatnya setiap negara akan merasa tidak aman dengan munculnya negara raising power. Ancaman yang ditimbulkan akibat adanya perubahan sistem internasional tidaklah pasti, karena negara raising power yang

dianggap sebagai ancaman potensial masih terus berkembang sehingga “ketidak

(29)

untuk diambil ketika berhubungan dengan negara raising power meskipun kebijakan tersebut memiliki resiko (Tessman 2012:195).

Menurut John Hemmings, hedging di dalam hubungan internasional berarti suatu negara akan mengambil resiko dengan menggunakan dua kebijakan yang saling berlawanan terhadap negara lain yaitu balancing dan engagement

(Hemmings 2013). Sedangkan menurut Tessman, hedging merupakan sebuah perilaku yang kurang konfrontatif dari balancing, kurang kooperatif daripada

bandwagoning (Tessman 2012:193).

Menurut Tessman dan Wolfe dalam tulisannya yaitu Great Powers and Strategic Hedging: The Case of Chinese Energy Security Strategy tahun 2011, ada empat cara sebuah negara melakukan strategi hedging yaitu pertama, perilaku negara yang meningkatkan kemampuan militernya untuk menghadapi potensial konflik di masa depan dengan negara yang menjadi potensi ancaman, cara

hedging seperti ini dikenal dengan tipe hedging A, dan/atau meningkatkan strategi cadangan sumber daya untuk melepaskan bantuan yang diberikan oleh pemimpin sistem (hedging tipe B).

Strategi kedua, suatu negara akan menghindari provokasi atau konfrontasi langsung dari negara yang dianggap potensial sebagai ancaman dengan cara bergabung dengan aliansi militer untuk melawan negara potensial ancaman tersebut (external balancing) atau meningkatkan kekuatan militernya (internal balancing).

(30)

negara sehingga pembahasan kebijakan yang tepat dikoordinasikan dengan seluruh organ pemerintah yang bertanggung jawab. Strategi keempat adalah negara harus siap menanggung biaya yang dikeluarkan domestik maupun biaya internasional dalam penggunaan strategi hedging jangka pendek.

Jadi dapat disimpulkan bahwa strategi hedging membuat suatu negara menghindari kemungkinan terburuk dalam berhubungan dengan negara raising power dengan cara menggabungkan strategi balancing dan engagement dalam satu waktu sehingga konflik secara langsung dapat diminimalisir. Hasil kebijakan yang dikeluarkan dari perilaku hedging hanya dapat bertahan dalam jangka pendek sehingga sebuah negara harus terus memperhitungkan pilihan-pilihan lain dalam membuat sebuah kebijakan lainnya.

1.2 Kebijakan Luar Negeri

Setelah melihat konsep Hedging diatas maka selanjutnya peneliti ingin menjelaskan mengenai beberapa konsep lain yang mendukung penggunaan konsep hedging salah satunya adalah kebijakan luar negeri.

Kebijakan Luar Negeri menurut James N. Rosenau memiliki tiga konsep yang berbeda yaitu sekumpulan orientasi (a cluster of orientations), seperangkat komitmen dan rencana untuk bertindak (a set of commitments to and plans for action) dan bentuk perilaku atau aksi (a form of behaviour) (Rosenau 1972:16):

(31)

Biasanya konsep kebijakan luar negeri berdasarkan sekumpulan orientasi berakar dari tradisi dan aspirasi lingkungan sosial negara itu sendiri, sehingga negara akan mengacu pada orientasi dalam negerinya saat membuat suatu kebijakan luar negeri (Rosenau 1972:16).

Kedua, kebijakan luar negeri sebagai seperangkat komitmen dan rencana diartikan sebagai tindakan negara berupa sebuah strategi, kebijakan, atau keputusan ketika mereka berhubungan dengan lingkungan eksternal dalam sistem internasional dimana negara diharuskan membuat kebijakan sesuai dengan dasar orientasi negaranya serta mengacu pada tujuan dan cara mendapatkan kepentingan tersebut. Negara akan mengeluaran kebijakan berdasarkan konsep komitmen dan rencana ketika isu yang dihadapi negara lebih nyata dan konkrit dan harus diputuskan segera seperti kebijakan antar negara, kawasan, atau kebijakan mengenai suatu isu yang spesifik. Rencana dalam pembuatan kebijakan luar negeri biasanya dapat dilihat melalui komunikasi diplomatik, penyataan resmi negara, ataupun konferensi pers (Rosenau 1972:17).

(32)

Jadi, dari ketiga bentuk kebijakan luar negeri tersebut akan digunakan oleh negara sesuai dengan kebutuhan dan situasi yang dihadapi oleh negara tersebut, dimana negara dapat menentukan kebijakan luar negerinya dengan melihat prioritas kepentingan nasionalnya serta para pembuat kebijakan akan dapat menentukan kebijakan luar negeri berdasarkan konsep sekumpulan orientasi, komitmen dan rencana, atau tindakan dan bentuk perilaku.

Menurut Charles W.Kegley, Jr dan Eugene R. Wittkopf dalam bukunya yang berjudul World Politics Trend and Transformation, mengatakan bahwa beberapa varibel yang dapat mempengaruhi pilihan kebijakan luar negeri suatu negara diantaranya adalah Geostrategic, kapabiitas militer, kemampuan ekonomi, dan sistem pemerintahan. Kegley dan Wittkopf juga mengatakan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara perlu untuk memisahkan dua faktor utama yaitu faktor internasional dan faktor domestik (Wittkopf 1997:40).

(33)

contohnya ialah geopolitik, kapabilitas militer, pembangunan ekonomi, dan tipe pemerintahan (Wittkopf 1997:42).

Melihat pengertian faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan luar negeri adalah suatu proses yang dilakukan oleh negara dimana sebelum menentukan kebijakan yang akan dikeluarkan, negara harus melihat faktor apa saja yang mempengaruhinya, seberapa penting kebijakan ini dan bagaimana dampak atau efek yang timbul setelah kebijakan luar negeri diputuskan.

1.3 Konsep Aliansi

Menurut Alex Mintz dalam bukunya Understanding Foreign Policy Decision Making, mengatakan aliansi merupakan bentuk umum dalam sebuah interaksi antar negara terutama dalam hal kapabilitas militer. Negara yang tergabung dalam aliansi berarti telah menandatangani perjanjian militer dimana dalam aliansi milliter jika salah satu negara diserang oleh pihak luar maka negara lain akan membantu menghadapi musuh tersebut (DeRouen 2010:126)

Terbentuknya aliansi juga menjadi salah satu upaya dalam menghadapi dilema keamanan (security dilemma) yang terjadi pada suatu negara. Dengan adanya aliansi militer terdapat beberapa keuntungan misalnya adanya stabilitas keamanan sebuah negara dan kawasan karena ada kekuatan lain yang menopang. Aliansi juga dianggap sebagai suatu cara untuk mengurangi kesalahpahaman, dan ketidakpastian yang dapat memicu perang (DeRouen 2010:126).

(34)

aliansi militer justru memicu negara lain yang tidak tergabung dalam aliansi tersebut untuk membuat tandingan aliansi baru dengan kekuatan yang jauh lebih besar sehingga keadaaan ini dapat menimbulkan peperangan (DeRouen 2010:127).

Masih dalam buku Understanding Foreign Policy Decision Making Bruce Bueno de Mesquita mengatakan bahwa terdapat tiga jenis aliansi yaitu netralitas atau pakta non-agresi adalah perjanjian penandatangan dimana masing-masing negara tidak akan menyerang wilayah lain. Bentuk berikutnya, ententes, melibatkan lebih dari sebuah komitmen dimana setiap negara yang melakukan perjanjian antara satu sama lain memiliki komitmen yang harus dipatuhi oleh semua anggota (DeRouen 2010:127)

Ketiga adalah pakta pertahanan, dimana pakta pertahanan mengandung arti yaitu menentukan bagaimana masing-masing negara dapat membantu setiap negara anggota lain saat mereka dalam keadaan diserang oleh musuh. Pembentukan aliansi merupakan bentuk perpanjangan dari kebijakan luar negeri, sehingga hal itu mempengaruhi suatu negara dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan urusan luar negeri. (DeRouen 2010:127)

(35)

F. Metode Penelitian

Penelitian yang berjudul Kebijakan Pendistribusian Pasukan Militer Amerika Serikat dari Okinawa ke Guam, Hawai, dan Darwin tahun 2006-2014 akan menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut Neuman dalam melakukan penelitian yang bersifat kualitatif, teknik pengumpulan data didasarkan kepada analisis, interpretasi, persentasi dari informasi naratif (Neuman 1997:139). Bentuk jawaban penelitian yang menggunakan metode kualitatif adalah penjelasan narasi. Teknik data analisis kualitatif adalah analisis data naratif yang menggunakan cara induktif dan teknik yang berulang termasuk didalamnya ada strategi kategori dan mengkontekstualisasikan strategi (Neuman 1997:139). Sehingga dalam menjelakan penelitian ini, peneliti akan mengambil berbagai sumber data dan mengolahnya menjadi narasi analitis sesuai dengan fakta data yang didapatkan selama penelitian.

Sehubungan dengan penjelasan diatas maka peneliti akan menggunakan teknik pengumpulan data dengan metode kualitatif adalah salah satunya dengan menggunakan data primer, data sekunder dan studi pustaka. Penulis mendapatkan data primer melalui wawancara melalui surel dengan peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Pacific Forum yaitu Jonathan Berkshire Miller dan Doktor John Hemmings dari London School of Economics

(36)

Politik UIN Jakarta, Perpustakaan Universitas Indonesia, Perpustakaan CSIS Indonesia, dan sumber lain seperti jurnal, artikel, website dan lain-lain.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini terbagi menjadi lima bab. Kelima bab tersebut akan diuraikan melalui sistematika berikut ini:

BAB I Pendahuluan

Pada bagian ini peneliti menjelaskan pentingnya masalah yang menjadi tema penelitian. Selain itu, peneliti juga menjelaskan permasalahan, tujuan dan manfaat, metode, konsep teori yang digunakan sebagai alat analisa penelitian ini, serta menjabarkan sejumlah hasil penelitian sejenis yang menjadi rujukan bagi penelitian ini.

BAB II Hubungan Aliansi Militer Amerika Serikat Dengan Jepang Pada bagian ini memaparkan penjelasan mengenai awal hubungan aliansi militer AS dengan Jepang setelah berakhirnya Perang Dunia II, kepentingan AS menempatkan pasukan militernya di Jepang, penempatan pasukan AS di seluruh wilayah Jepang, dan gambaran umum mengenai fasilitas serta kondisi pangkalan militer AS di Okinawa, Jepang.

BAB III Pertimbangan Keamanan Strategis Amerika Serikat di Kawasan Asia Pasifik

(37)

di kawasan ini seperti peningkatan kekuatan militer Cina, konflik Semenanjung Korea, serta konflik sengketa maritim yaitu Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur.

BAB IV Analisa Kebijakan Pendistribusian Pasukan Militer Amerika Serikat dari Okinawa tahun 2006-2014

Bab ini akan menganalisa alasan AS mendistribusikan pasukan militernya dari Okinawa pada tahun 2006 dan melihat perubahannya hingga tahun 2014. Analisa pertama yaitu dilihat dari faktor pemicu yang membuat AS mengeluarkan kebijakan pendistribusian pasukan militernya dari Okinawa, kemudian setelah kebijakan pendistribusian dikeluarkan bab ini melanjutkan pada analisa alasan AS memilih Guam, Hawai, dan Darwin sebagai lokasi pemindahan pasukan militernya dari Okinawa.

BAB V Kesimpulan

(38)

BAB II

HUBUNGAN ALIANSI MILITER AMERIKA SERIKAT- JEPANG A. Sejarah Hubungan Aliansi Militer AS dan Jepang Paska Perang Dunia

II 1945

Perang Dunia II berakhir ditandainya dengan Jepang menyerah pada Sekutu tanggal 15 Agustus 1945 ketika dua kota di Jepang yaitu Kota Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh tentara Sekutu. Pengakuan kekalahan Jepang secara formal diwakili oleh Mamoru Shigemitsu dan Gen Yoshijiro Umezu yang dilakukan di atas kapal USS Missouri, Teluk Tokyo pada 2 September 1945 dengan mendatangani Deklarasi Potsdam (Record 2009:12).

(39)

We, acting by command of and in behalf of the Emperor of Japan, the Japanese Government and the Japanese Imperial General Headquarters, ... We hereby proclaim the unconditional surrender to the Allied Powers of the Japanese Imperial General Headquarters and of all Japanese armed forces and all armed forces under Japanese control wherever situated...” (U.S National Archives & Records Administration 1995) (Kami bertindak atas nama dan perintah kekaisaran Jepang, Pemerintah Jepang, dan Markas Besar Jepang...Kami dengan ini menyatakan menyerah tanpa syarat kepada kekuatan sekutu dari Markas Besar Jepang dan semua atribut militer di bawah kontrol Jepang) (Terjemahan penulis)

Dalam dokumen yang diterbitkan oleh U.S National Archives & Records Administration, juga menyebutkan bahwa Perjanjian Potsdam terdiri dari 13 poin yang menjadi acuan pernyataan kekalahan Jepang kepada Sekutu. Lima diantaranya yang menyebutkan kekalahan Jepang adalah poin ke- 7, 8, 9, dan 13 yaitu pertama, sebelum ada tatanan baru dalam pemerintahan Jepang, dan sebelum adanya bukti bahwa peperangan yang dibuat oleh Jepang sudah dihapuskan, maka sebagian wilayah Jepang akan ditunjuk oleh Sekutu untuk diamankan dan diduduki oleh tentara Sekutu.

Kedua, Jepang harus mengikuti persyaratan yang tertera dalam Deklarasi Kairo1 serta wilayah kedaulatan Jepang akan dibatasi pada pulau-pulau tertentu, yakni Pulau Honshu, Hokkaido, Kyushu, Shikoku, dan pulau-pulau kecil lainnya akan ditentukan oleh Sekutu. Ketiga, Pasukan Militer Jepang akan dilucuti serta mereka diizinkan kembali ke rumah masing-masing untuk memulai kehidupan

1

Deklarasi Kairo merupakan hasil dari Konferensi Kairo yang diadakan pada 27 November 2947 di Kairo, Mesir. Deklarasi Kairo ini di tandatangani oleh tiga pemimpin besar dunia Presiden AS, Franklin D. Roosevelt, PM Winston Churchill, dan Kepala Negara Cina, Chiang Kai-Shek. Deklarasi ini diumumkan ke publik pada 1 Desember 1943. Isi dari Deklarsi ini dikembangkan dari ide Atlantic Charter tahun 1941 yang diterbitkan oleh Sekutu pada Perang Dunia II untuk menetapkan tujuan yang ingin dicapai setelah Perang selesai. Di dalam isi Deklarasi Kairo disebutkan bahwa tujuan Sekutu adalah untuk mengalahkan Jepang dan ingin mendapatkan keuntungan untuk mereka sendiri tanpa adanya pemikiran ekspansi territorial ke wilayah lain. Sekutu juga menginginkan tentara Jepang dilucuti dari semua pulau-pulau kecil di Pasifik, dan wilayah Cina yang telah dicuri oleh Jepang yaitu Manchuria, Formosa, dan Pecadores harus dikembalikan kepada Cina, serta wilayah Korea akan dibebaskan dari perbudakan Jepang. Deklarasi Kairo ini di tandatangani oleh tiga pemimpin besar dunia Presiden AS, Franklin D. Roosevelt, PM Winston Churchill, dan Kepala Negara Cina, Chiang Kai-Shek.

(40)

baru sebagai warga sipil. Keempat, Sekutu mengatakan kepada pemerintah Jepang untuk memberitakan pernyataan kekalahan Jepang tanpa syarat kepada Sekutu ke seluruh dunia dan Jepang harus menjamin tindakan ini dapat terlaksana dengan aman, jika Jepang menolak untuk menyerah maka Sekutu akan terus melancarkan serangan hingga Jepang hancur (The National Archives and Records Administration 1995).

Perjanjian lain yang ditandatangi oleh Jepang ialah San Francisco Peace Treaty (SFPT). Perjanjian damai ini ditandatangani Jepang bersama 48 negara lainnya pada 8 September 1951 di San Francisco, AS untuk membahas mengenai hubungan antara Jepang dan Sekutu dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Dalam San Francisco Peace Treaty (SFPT) juga membicarakan bahwa Jepang mengakui kemerdekaan Korea dan melepaskan wilayah jajahannya yang lain yakni Formosa (Taiwan), Pescadores, Sakhalin, Kuril, dan beberapa pulau kecil di pasifik seperti Pulau Spratly dan Paracel (The Open University 1998).

(41)

Meskipun Jepang telah mendapatkan kemerdekaan pada 8 September 1951 sesuai pasal 1 dalam San Francisco Peace Treaty yang menyatakan bahwa Sekutu menjamin kedaulatan wilayah Jepang, namun pada poin 9 Deklarasi Potsdam dinyatakan bahwa angkatan bersenjata Jepang akan dilucuti (dihapuskan), dan industri militer Jepang dihilangkan, sehingga Jepang menjadi negara demiliterisasi yang tidak memiliki status kepemilikan militer nasional skala besar (Mueller 2007). Pernyataan yang sama mengenai Jepang tidak memiliki militer skala besar juga tertera dalam pasal 9 Konstitusi Jepang yang dinyatakan oleh Ministry of Defense sebagai berikut:

“Aspiring sincerely to an international peace based on justice and order, the Japanese

people forever renounce war as a sovereign right of the nation and the threat or use of force as means of settling international disputes. In order to accomplish the aim of the preceding paragraph, land, sea, and air forces, as well as other war potential, will never

maintained. The right of belligerency of the state will not be recognized” (Ministry of Defense 2004)

(Demi menciptakan sebuah perdamaian internasional berdasarkan asas keadilan dan ketertiban, sebagai negara yang berdaulat, rakyat Jepang menyatakan akan meninggalkan cara kekerasan (perang) dalam menghadapi permasalahan internasional. Dalam rangka mewujudkan pernyataan diatas maka angkatan darat, laut dan udara tidak akan ikut terlibat dalam potensi perang mendatang. Hak untuk terlibat perang tidak akan diakui) (Terjemahan penulis)

Berdasarkan Pasal 9 Konstitusi Jepang diatas disebutkan bahwa pasukan militer Jepang dilarang bersikap agresif dalam menyelesaikan perselisihan internasional, sebaliknya Jepang harus bersikap netral dan damai ketika menemui masalah internasional, sehingga kebijakan pertahanan ini dinamakan Kebijakan Pasif (Cai 2008). Meskipun kebijakan pasif telah digunakan Jepang sebagai bentuk kebijakan luar negerinya dan Jepang dilarang untuk memiliki angkatan bersenjata militer, namun berdasarkan perjanjian keamanan dengan AS yaitu

(42)

pertahanan nasional dikenal dengan Japanese Self-Defense Forces (JSDF) yang dibentuk pada tahun 1954 (O.Hague 2007:61).

Sebelum Treaty of Mutual Cooperation and Security direvisi pada 19 Januari tahun 1960, landasan kerjasama aliansi militer antara Jepang dan AS adalah San Francisco Treaty yang menandai berakhirnya penempatan tentara Sekutu di Jepang serta menjadi awal hubungan aliansi militer AS dengan Jepang. Di dalam Perjanjian San Francisco, AS menyatakan kepentingannya dalam menjaga perdamaian dan keamanan kawasan Asia Timur, sehingga AS akan mempertahankan militernya di wilayah Jepang dan AS berperan sebagai pelindung keamanan Jepang dan juga Timur Jauh. Kegunaan utama dari JSDF adalah menjaga pertahanan teritori negara dari dalam (The Shield) sedangkan adanya pasukan militer AS di Jepang adalah sebagai penjaga garis depan wilayah Jepang (The Spear) (O.Hague 2007:61).

Japan Self Defense Force (JSDF) atau yang sering dikenal dengan Self Defense Force (SDF) telah resmi bekerja pasca Perang Dunia II dan bertugas untuk menjaga pulau-pulau Jepang dari ancaman eksternal dan tidak diizinkan digunakan ke luar negeri serta SDF dilarang memiliki senjata nuklir atau senjata apapun yang bersifat ofensif (Reed 1983:28). Menurut data yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertahanan Jepang melalui website resminya, mengatakan bahwa

Japan Self Defense Force dibagi menjadi tiga unit yaitu Ground Self Defense Force (GSDF), Maritime Self Defense Force (MSDF), dan Air Self Defense Force

(43)

Meskipun Japan Self Defense Force tidak diizinkan digunakan di luar negeri berdasarkan konstitusi Jepang, namun setelah beberapa tahun Japan Self Defense Force dibentuk, mereka diizinkan untuk dikirim ke luar negeri dengan tujuan sebagai pasukan penjaga perdamaian bersama AS dan PBB. Beberapa misi perdamaian yang pernah dilakukan oleh Self Defense Force adalah SDF pernah

mengirimkan kapal “penyapu” ranjau pada 26 April 1991 ke Teluk Persia,

tujuannya adalah untuk membersihkan ranjau-ranjau yang masih aktif maupun tidak selama Perang Teluk terjadi (Muneo 2014:2).

Misi kedua SDF adalah ditugaskan sebagai pasukan perdamaian dibawah

United Nations Transitional Authority in Cambodia (UNTAC) pada 19 Agustus 1992 dan membantu pembangunan jalan, jembatan bagi warga Kamboja. Ketiga, misi bagi SDF adalah mengirimkan kapal maritim SDF ke Afganistan pada 9 November 2001 bersama dengan militer AS dan NATO, SDF bertugas untuk menginvasi Afganistan setelah kejadian pengeboman 9 September 2001. Selain itu, PM Koizumi dan kabinetnya juga mengizinkan SDF mengirimkan kapal maritimnya ke Samudera Hindia berdasarkan UU Khusus Anti-Terorisme tahun 2001 sebagai bentuk dukungan aliansi Jepang kepada AS dalam melawan terorisme dunia (Muneo 2014:3).

(44)

Pernyataan bahwa pasukan militer AS adalah sebagai pelindung Jepang tertera dalam pasal 6 Treaty of Mutual Cooperation and Security sebagai berikut:

“For the purpose of contributing to the security of Japan and the maintenance of international peace and security in the Far East, the United States of America is granted

the use by its land, air and naval forces of facilities and areas in Japan…” (Institute of Oriental Culture, University of Tokyo 1960)

(Sebagai tujuan bentuk kontribusi dalam menjaga keamanan Jepang dan pemeliharaan perdamaian internasional di Timur Jauh, maka AS diizinkan untuk menggunakan fasilitas angkatan darat, laut dan udaranya di wilayah Jepang) (Terjemahan penulis)

Berdasarkan pernyataan tersebut maka, aliansi kedua negera ini memiliki

mutual interest yaitu dari sisi Jepang, mereka lebih merasa aman karena pertahanan negera dapat dijaga oleh AS sehingga dapat meminimalkan ancaman serangan eksternal, serta Jepang tetap dapat mempertahankan isi pasal 9 dalam UU konstitusinya (O.Hague 2007:63). Sedangkan keuntungan jangka panjang bagi AS adalah kepentingan AS dalam menghadang perluasan ideologi komunis dari Uni Soviet dan Cina di kawasan Asia Pasifik pada masa perang dingin dapat terlaksana karena pusat militer AS di Asia berada di wilayah Jepang, yang dianggap strategis (McDougall 1997:20).

B. Penempatan Pasukan Militer AS di Jepang

Berdasarkan Treaty of Mutual Cooperation and Security pasal 6 tahun 1960 yang telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya, secara legal AS dapat menempatkan pangkalan militernya di wilayah Jepang. Pangkalan militer AS ini kemudian digunakan sebagai garda depan saat Perang Dingin dan Perang Korea tahun 1950-1953 berlangsung, bahkan Jepang disebut sebagai “rare base” oleh

(45)

Pangkalan Militer AS di Jepang memiliki sekitar 135 fasilitas militer yang tersebar di beberapa prefektur Jepang yaitu Okinawa, Kanagawa, Nagasaki, dan Tokyo. (Terlihat pada gambar II.B) Jumlah personil militer AS yang ditempatkan di Jepang adalah sekitar 52.000 personil dengan penempatan 26.000 personil tersebar di daratan Jepang dan 25.000 personil lainya di tempatkan di Prefektur Okinawa (Muto 2004).

Gambar II.B Peta Penyebaran Fasilitas Pangkalan Militer AS di Jepang

Sumber: http://www.tokyoprogressive.org/content/us-bases-japanampo diakses pada 2

September 2014

Berikut adalah beberapa pusat pangkalan militer AS di darataan Jepang: 1. Pangkalan Udara Misawa

(46)

di Prefektur Aomori adalah sekitar 42.000 jiwa termasuk jumlah pasukan militer AS sekitar 3.800 personil, 700 pekerja sipil AS, dan 1.100 pasukan angkatan udara Jepang (JASDF). Unit militer AS yang ada di Pangkalan Udara Misawa adalah 35th Fighter Wing sebagai pasukan penerbang yang mengendarai pesawat tempur F-16 dan dibagi menjadi empat kelompok, 2 skuadron, 27 unit pendukung skuadron (CNIC, Naval Air Facility Misawa 2008).

Pada saat Perang Dunia II terjadi, Pangkalan Udara Misawa dijadikan sebagai lokasi latihan tempur bagi angkatan bersenjata Jepang yang akan dikirim untuk menyerang Pearl Harbour, karena lokasi ini dikelilingi oleh perairan yang mirip dengan lokasi Pearl Harbour. Saat pasukan Sekutu menyerang daratan Jepang, Pangkalan Udara Misawa ikut hancur dengan total kerusakan mencapai 90%, kemudian pangkalan ini dibangun kembali saat AS menghadapi Perang Korea, Perang Vietnam, serta menjadi lokasi yang strategis untuk misi pengintaian Uni Soviet dan Cina pada tahun 1950an. Pasukan Bela Diri Jepang (JASDF) pertama kali bergabung bersama angkatan udara AS adalah saat JSDF terbentuk pada tahun 1954 (CNIC, Naval Air Facility Misawa 2008).

2. Pangkalan Udara Yokota

(47)

ditugaskan beroperasi di seluruh kawasan Asia Timur dengan dibagi menjadi empat kelompok yaitu kelompok operasi, kelompok pendukung pasukan khusus, kelompok pemelihara peralatan, dan kelompok medis. Misi dari 374 Airlift Wing adalah memberikan komando supply untuk pelaksanaan pemberian pasokan logistik, kargo, peralatan militer, dan sebagai pasukan evakuasi. Nama Pangkalan Udara Yokota sebelumnya adalah Lapangan Udara Tama yang dibangun oleh Kerajaan Jepang pada 1940 sebagai salah satu kekuatan utama militer Jepang. Lapangan Udara Tama digunakan sebagai lokasi pengujian dan pelatihan bagi tentara Jepang saat Perang Dunia II berlangsung, serta dijadikan sebagai tempat bertemunya Jepang dan Italia ketika mendiskusikan strategi perang (Patrick M. Cronin 2012).

Ketika Jepang menyerah pada Sekutu tahun 1945, Lapangan Udara Tama kemudian diduduki oleh tentara kavaleri AS dan diganti dengan nama Fussa Army Airfield, setelah itu AS kembali memutuskan mengganti nama Fussa Army Airfiled menjadi Yokota Air Base serta pada tahun 2005, Pangkalan Udara Yokota dijadikan sebagai markas besar bagi JASDF (Patrick M. Cronin 2012:10).

3. Pangkalan Udara Angkatan Marinir Iwakuni

(48)

pekerja nasional Jepang. MCAS adalah pangkalan udara pendukung pesawat marinir yang memiliki 3 unit pelayanan pemeliharaan pesawat, 31 armada pesawat JMSDF, 12 skuadron logistik, dan 171 skuadron pesawat pendukung selain itu, MCAS juga digunakan sebagai tempat pelatihan para angkatan marinir (Marine Corps Air Station Iwakuni 2006).

Pada saat Perang Dunia II terjadi, Jepang menggunakan Pangkalan Udara Iwakuni sebagai tempat pelatihan dan pertahanan tentara Jepang namun, saat Jepang kalah oleh Sekutu, pangkalan udara Iwakuni diduduki oleh tentara Inggris, Australia, Selandia Baru, dan AS. Pangkalan udara ini kemudian rekonstruksi ulang dan dijadikan pangkalan militer oleh Tentara Kerajaan Australia (Royal Australian Air Force) tahun 1948, kemudian pada tahun 1950 pangkalan udara Iwakuni berpindah menjadi pangkalan udara milik AS dan digunakan sebagai Springboard saat Perang Korea terjadi tahun 1950-1953 (Marine Corps Air Station Iwakuni 2006).

4. Pangkalan Angkatan Laut Yokosuka

Pangkalan Angkatan Laut AS atau yang dikenal dengan

(49)

seluruh unit angkatan laut AS yang ditempatkan di negara aliansi AS, serta beroperasi di sekitar Pasifik Barat atau yang dikenal dengan

Commander, Logistic Group, Western Pacific (COMLOG WESTPAC) (Commander U.S 7th Fleet 2010). Pangkalan Laut AS memiliki 60-70 armada kapal laut yang tersebar di negara aliansi AS lainnya, dan menempatkan 23 kapalnya di Jepang di bawah otoritas CFAY seperti kapal induk tenaga nuklir, USS George Wahington, USS Ronald Reagan, Kapal komando USS Blue Ridge, dan kapal perusak USS Fitzgerald (CNIC Commander Fleet Activities Yokosuka 2009). Jumlah personil militer AS di CFAY adalah sekitar 3.700 persnil dan 4.300 personil SDF, selain itu CFAY merupakan pangkalan laut terbesar bagi angkatan laut AS di dunia karena pangkalan laut Yokosuka memiliki lokasi yang strategis untuk operasional Angkatan Laut AS di Perairan Pasifik (Muto 2004)

C. Kepentingan Penempatan Pasukan Militer AS di Okinawa

Berdasarkan San Francisco Peace Treaty pada 8 September 1951 dimana perjanjian ini mulai efektif dilaksanakan pada 28 April 1952, Jepang menyetujui

Trussteeship System yang menempatkan beberapa pulau di Jepang berada di bawah otoritas AS, hal ini ditunjukkan dalam pasal 3 yang berbunyi:

(50)

(Jepang menyetujui usulan mengenai penempatan wilayah dibawah sistem perwalian dari PBB yang menjadikan AS sebagai pemegang hak perwalian tersebut dan wilayah yang menjadi otoritas administrasi AS adalah wilayah yang terletak pada 29 derajat Lintang utara Nansei Shoto (termasuk Kepulauan Ryukyu dan Kepulauan Daito), wilayah yang terletak pada Nampo Shoto selatan dari Sofu Gan (termasuk Kepulauan Bonin, Kepulauan Rosario, dan Kepulauan Volcano) dan Parece Vela, serta Pulau Marcus. Sambil menunggu pembuatan proposal dan tindakan lebih lanjut, AS memiliki hak untuk melaksanakan kegiatan adminitrasi, legislasi, dan yuridiksi atas wilayah-wilayah tersebut termasuk masyarakat, serta wilayah-wilayah perairan mereka) (Terjemahan penulis)

(51)

Gambar II.C.1 Peta Penyebaran Fasilitas Militer AS di Prefektur Okinawa

Sumber: http://okinawa-institute.com/en/node/32 diakses pada 19 Juli 2014

Dalam artikel jurnal berjudul Understanding Okinawa’s Role in the U.S. -Japan Security Agreement yang ditulis Jacques Fuqua dan diterbitkan oleh

National Clearing house for United States-Japan Studies tahun 2001, mengatakan bahwa Okinawa merupakan wilayah prefektur Jepang yang dihuni oleh sekitar 1,5 juta penduduk dan merupakan wilayah selatan Jepang. Okinawa memiliki luas wilayah sekitar1.201,03 km2 atau 0,6% dari total daratan Jepang dan sebelum menjadi prefektur di Jepang, Okinawa merupakan sebuah kerajaan merdeka yang dikenal dengan nama Kerajaan Ryukyu.

(52)

tahun 1879. Meskipun secara status Ryukyu merupakan prefektur di Jepang, namun sebenarnya pergantian status ini masih menimbulkan kontroversi, terutama bagi Cina yang merasa Ryukyu adalah bagian dari Kerajaan Cina serta dari pihak Kerajaan Ryukyu sendiri juga menganggap bahwa mereka bukan bagian dari Kerajaan Jepang. Akibat dari klaim satu sama lain tersebut, Cina dan Jepang akhirnya berperang memperebutkan Kerajaan Ryukyu pada tahun 1894-1895, dan hasil dari peperangan tersebut adalah Cina kalah serta Kerajaan Ryukyu sepenuhnya kembali menjadi Prefektur Okinawa milik Jepang (Watanabe 1970:58).

Kerajaan Jepang melihat Kerajaan Ryukyu sebagai wilayah strategis untuk jalur perdagangan selain itu, ketika Ryukyu diambil alih Jepang, Ryukyu dijadikan sebagai benteng oleh Jepang untuk menghindari serangan bangsa Spanyol dari arah Filipina dan juga saat Perang Dunia II Ryukyu menjadi benteng pertahanan darat tentara Jepang dari serangan tentara Sekutu (Fuqua 2001:2) .

Keberhasilan Okinawa sebagai basis pertahanan tentara Jepang dalam menghalau serangan darat tentara Sekutu, membuat AS melihat Okinawa sebagai lokasi ideal untuk melakukan serangan balik ke Jepang melalui jalur udara yaitu dengan target serangan ke Kota Hiroshima dan Nagasaki yang bertujuan untuk melumpuhkan Jepang. Akibat perang tersebut, tercatat hampir 220,000 warga Okinawa tewas, dan sekitar 14.000 tentara AS tewas (Bandow 1998:6).

(53)

menandakan wilayah Okinawa cenderung lebih dekat dengan negara-negara tersebut daripada ke wilayah daratan Jepang (Watanabe 1970:5).

Pergerakan militer AS yang lebih mudah ke beberapa negara di kawasan Asia Pasifik juga dilihat saat terjadi perang Korea tahun 1950 dan Perang Vietnam tahun 1965. Jika ditinjau dari jalur udara, Okinawa hanya membutuhkan 2 jam waktu tempuh pesawat menuju Semenanjung Korea dan ke Taiwan. Waktu tempuh ini lebih singkat jika dibandingkan dengan waktu tempuh 5 jam dari

Guam dan 11 jam dari Hawai’i yang harus militer AS ambil jika melakukan

penerbangan ke Semenanjung Korea dan Taiwan, jarak Okinawa dengan wilayah sekitarnya dapat dilihat pada Gambar II.C.2 dibawah ini (Watanabe 1970:60).

Gambar II.C.2 Peta Lokasi Strategis Okinawa

Sumber:

(54)

Melihat letak Okinawa yang strategis tersebut maka Okinawa dijuluki

sebagai “kunci utama Jalur Pasifik” karena akses yang mudah dijangkau dan dekat

dengan Semenanjung Korea, Taiwan serta wilayah teritori lain yang rawan konflik di Kawasan Asia Pasifik (Fukumura 2007:7). Selain itu, salah satu media cetak Jepang yaitu Ryukyu Shimpo mengatakan bahwa bagi AS, Okinawa seperti sebuah hadiah dari kemenangan Perang Dunia II (Bandow 1998:4).

Posisi Okinawa semakin penting bagi AS pada masa Perang Dingin tahun 1945-1991, hal ini terlihat ketika AS banyak mendirikan fasilitas militer di Okinawa dengan mengeluarkan biaya pembangunan sekitar 50 juta dolar AS atau setara dengan 589 milyar rupiah sebagai antisipasi kemenangan partai komunis di Cina tahun 1950. Selain itu, dengan hak otoritas (U.S Trussteeship) yang dimiliki AS atas Okinawa, AS mendirikan pemerintahan administrasi yang disebut dengan

United States Civil Administration in the Ryukyus (USCAR) dibawah komando Jendral Douglas MacArthur tahun 1950 (The National Archives and Records Administration 1995).

(55)

Area Barak

telah ditandatangani pada 17 Juni 1971 di Tokyo, Jepang (The National Archives and Records Administration 1995).

1. Fasilitas Pangkalan Militer Amerika Serikat di Okinawa

Sejak Okinawa menjadi wilayah otoritas AS (U.S Trusteeship), AS berhak mendirikan pangkalan militer di Okinawa dan tercatat dari total wilayah Okinawa yaitu sekitar 1.201,03 km2, lahan yang digunakan sebagai pangkalan militer adalah seluas sekitar 229, 2 km2 serta total pangkalan militer AS di seluruh Jepang adalah 310.1 km2 (Shimoji 2011:4). Berdasarkan jumlah luas wilayah tersebut menandakan bahwa hampir ¾ total wilayah Okinawa digunakan sebagai basis pangkalan militer AS yang dapat dilihat pada Grafik II.C

Grafik II.C Persentase Lahan Pangkalan Militer AS

Sumber: Yoshio Shimoji, Futenma: Tip of the Iceberg in Okinawa’s Agony, The Asia-Pacific Journal: Japan Focus, 2011

(56)

a. Pangkalan Udara

Pangkalan udara yang ada di Okinawa adalah Futenma, Kadena dan Iejima Auxiliary ketiganya memiliki luas lahan 8 km2, 19,9 km2 dan 4,8 km2, sehingga lahan yang digunakan untuk pangkalan udara adalah seluas 34,6 km2 (Shimoji 2011:1).

Pangkalan Udara Futenma merupakan pusat dari seluruh kegiatan Angkatan Udara AS dan merupakan salah satu pangkalan udara terbesar di Jepang yang terletak di pusat Kota Ginowan bersama dengan Pangkalan Udara Iwakuni yang berada di Prefektur Yamaguchi (Shimoji 2010:5).

Fungsi dari pangkalan udara Futenma adalah sebagai landasan pacu pesawat sebesar 2.800 m, kemudian sebagai hangar, fasilitas komuniasi, sebagai pemeliharaan dan perbaikan pesawat tempur, dan sebagai tempat penyimpanan amunisi. (Yukie Yoshikawa Research 2011).

b. Area Barak

(57)

Barak Schwab, Hansen dan Zukeran merupakan barak yang paling luas diantara fasilitas barak lainnya. Barak Schwab merupakan kawasan pelatihan militer yang berlokasi di Kota Nago, serta ada pula barak yang terletak di pantai Henoko. (Shimoji 2011:5)

Barak Hansen merupakan tempat latihan tembak dan pengecekan amunisi terbesar, dan memiliki fasilitas klinik, bank, daerah hiburan dan rekreasi. Sedangkan Barak Zukeran dan Barak Courtney merupakan basis komando marinir AS di Okinawa yang memiliki beberapa fasilitas, seperti perawatan untuk senjata, perumahan personil marinir, dan sekolah. Barak Zukeran juga merupakan area barak terbesar yang terletak di pusat pulau Okinawa seperti di Kota Okinawa, Ginowan, Uruma, Chatan dan Desa Kitanakagusuku. (Yukie Yoshikawa Research 2011)

Barak Zukeran dibagi menjadi empat distrik yaitu: Butler District

sebagai markas komando pangkalan marinir, Buckner District sebagai markas Batalyon ke-58 marinir, Plaza District sebagai perumahan militer dan Foster District sebagai tempat pemeliharaan senjata dan penyimpanan peralatan militer. (Yukie Yoshikawa Research 2011)

c. Area Pelatihan

(58)

pengelolaan komando marinir, angkatan darat, angakatan laut dan angkatan udara AS (Shimoji 2011:4).

Daerah sekitar area pelatihan ini merupakan aset penting bagi pemerintah daerah Okinawa karena daerah sekitar pelatihan berguna sebagai penyedia sumber air dari hutan yang dilindungi di pulau utama Okinawa untuk disalurkan ke penduduk Okinawa. (Yukie Yoshikawa Research 2011)

d. Pusat Pelayanan, Informasi dan Penyimpanan.

Pusat Pelayanan, Informasi dan Penyimpanan yang ada di Okinawa diantaranya adalah Kadena Ammunition Storage Area seluas 26.6 km2, kemudian Makiminato Service Area seluas 2.7 km2, dan Army Fuel Storage Facility seluas 1.6 km2 (Shimoji 2011:3).

Kadena Ammunition Storage Area merupakan area terbesar ketiga setelah Northern Training Area, area ini berada di dekat Pangkalan Udara Kadena, fungsinya adalah sebagai pusat pelayanan, penyimpan dan pemeliharaan amunisi konvensional bagi empat divisi angkatan bersenjata AS (Marinir, AD, AL, dan AU) (Yukie Yoshikawa Research 2011).

2. Kondisi Pangkalan Militer AS di Okinawa

(59)

Berdasarkan laporan yang di rilis oleh pemerintah Prefektur Okinawa tahun 2011 melalui situs resminya menyatakan bahwa terdapat 20 titik area udara dan 28 area perairan yang mengelilingi Okinawa, diperuntukkan khusus bagi pelatihan militer AS sehingga kegiatan memancing, dan penerbangan komersial di area tersebut dilarang digunakan untuk kepentingan umum.

Aktivitas pangkalan militer yang ada di Okinawa mengakibatkan timbulnya polusi yang meresahkan rakyat Okinawa. Beberapa kasus polusi yang terjadi akibat aktivitas pangkalan militer adalah pencemaran yang terjadi di daerah Iheya, dimana pencemaran ini menyebabkan 8 orang meninggal akibat keracunan zat arsenic, selain itu pencemaran lain juga pernah terjadi pada tahun 1972 yaitu ketika terdapat insiden tumpahan minyak bumi yang menyebabkan kerusakan struktur tanah dan air untuk lahan Okinawa (Hayashi Kiminori 2009:2).

Gambar

Tabel III.C.2
Gambar II.B
Gambar II.B Peta Penyebaran Fasilitas Pangkalan Militer AS di Jepang
Gambar II.C.1 Peta Penyebaran Fasilitas Militer AS di Prefektur Okinawa
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal inilah yang memicu sejumlah keritikan karena praktek mur ā ba ḥ ah tak ubahnya bunga dalam perbankan konvensional yang keuntungannya bersifat pasti, yang berbeda

H G X D E D K Z D W L Q G D N D Q P R U D O VHVHRUDQJ VXGDK OHELK UDVLRQDO ZDODXSXQ PDVLK NHNDQDNNDQDNDQ 0RWLYDVL GDODP WLQGDNDQ PRUDO DGDODK XQWXN PHQFDSDL

 Menyedari pelbagai peranan wanita dalam keluarga, masyarakat, ekonomi dan politik negara, kerajaan mengakui bahawa strategi- strategi yang khusus perlu dibentuk bagi

Penelitian ini Menggunakan Metode Biaya Perjalanan dan bertujuan untuk Mengetahui karakteristik sosial- ekonomi pengunjung, Mengetahui pengaruh biaya perjalanan,

Orang yang membeli ditempat saya tidak hanya pendaki saja, banyak para warga yang juga membeli karena lokasi tempat jualan saya juga dipinggir jalan dan di

Skripsi Saudara : SUKARDI dengan Nomor Induk Mahasiswa: 11408030 yang berjudul: PENGARUH PERSEPSI GURU TENTANG KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH TERHADAP SIKAP

Namun dinamika tersebut tidak mengubah prosesi upacara Ngoa Ngi’i, hanya mengubah beberapa sarana dalam prosesi sebagai contoh, pada zaman dahulu ketika

Dalam analisis kualitas website infobdg penulis menggunakan metode webqual karena metode ini mengukur kualitas website berdasarkan presepsi pengguna, metode ini