• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman Floristik dan Pemanfaatannya Sebagai Tumbuhan Obat di Kawasan Konservasi II Taman Nasional Bogani Nani Wartabone ( Kabupaten Bolaang Mongondow Sulawesi utara ) Provinsi Sulawesi Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keanekaragaman Floristik dan Pemanfaatannya Sebagai Tumbuhan Obat di Kawasan Konservasi II Taman Nasional Bogani Nani Wartabone ( Kabupaten Bolaang Mongondow Sulawesi utara ) Provinsi Sulawesi Utara"

Copied!
575
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia terletak di daerah katulistiwa yang mempunyai tipe hutan hujan tropika yang dikenal cukup unik dan merupakan salah satu komunitas yang kaya akan keanekaragaman jenis tumbuhan di dunia. Indonesia memiliki ± 30.000 jenis tumbuhan dan ± 7000 jenis berkhasiat obat ( 90 % jenis tumbuhan obat di kawasan Asia)( Rosoedarso et al,1990). Selain itu, Indonesia juga diakui sebagai salah satu bagian dunia yang masih menyisakan kehidupan liar sebagai gudang keanekaragaman plasma nutfah untuk memenuhi kebutuhan manusia masa kini maupun masa yang akan datang (Zuhud,1994).

Kekayaan keanekaragaman jenis tumbuhan yang dimiliki Indonesia merupakan potensi kandungan bahan-bahan kimia dan sumberdaya genetika. Potensi ini merupakan keunggulan komparatif, karena pada saat ini terjadi peningkatan industri terhadap sumber-sumber bahan kimia untuk memproduksi obat-obatan, agrokimia, kosmetika, zat pewarna, bahan pengawet, dan lain-lain (Sumardja 1998). Potensi tersebut didukung oleh pengetahuan tradisional masyarakat tentang khasiatnya, menyebabkan Indonesia sebagai salah satu negara tujuan bagi pelaku bioprospeksi.

Perlombaan pencarian obat baru seiring dengan munculnya penyakit-penyakit baru semakin menarik untuk dikaji. Semakin tingginya perubahan pola hidup manusia telah menyebabkan berkembangnya penyakit-penyakit baru seperti stress, stroke, darah tinggi, HIV, flu burung dan penyakit lain yang jarang dialami oleh orang-orang pada masa terdahulu.

Sekarang ini dunia industri farmasi berlomba-lomba menemukan obat alternatif untuk memenuhi kebutuhan manusia akan obat-obatan untuk menyembuhkan penyakit baru tersebut di atas. Berbagai hasil kajian tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai obat di daerah tropis khususnya Indonesia menjadi incaran. Kegiatan bioprospeksi terhadap tumbuhan asli Indonesia semakin meningkat dan bahkan menjadi bidang bisnis yang diprediksi akan meledak karena bioteknologi mempengaruhinya. Pengetahuan ini telah menghasilkan berbagai metoda penapisan akan sumberdaya alam hayati terhadap kemungkinannya ditemukan obat baru.

(2)

tradisional untuk mendapatkan materi genetik dan sumber biokimia yang bernilai ekonomi tinggi (Reid et al.1993; Posey 1997). Kegiatan ini penting untuk mendokumentasi sumberdaya genetik keanekaragaman hayati sebelum ada pihak lain yang tidak bertanggung jawab mengeksploitasi habis kekayaan tersebut, sekaligus mencari sumber bagi keuntungan ekonomi di masa depan

Kegiatan bioprospeksi telah dilakukan oleh negara jauh sebelum Indonesia sebagai pemilik keanekaragaman hayati menyadari betapa berharganya kekayaan hayati yang ada di wilayahnya. Indonesia menyimpan tidak kurang dari 17 % dari total jenis dunia. Sebagaian besar masyarakatnya terdiri atas komunitas-komunitas adat yang menyimpan rahasia ilmu-ilmu warisan leluhur untuk menyembuhkan penyakit dan memelihara kesehatan (Kehati 2001)

Masyarakat adat yang banyak menyimpan pengetahuan tradisional akan manfaat berbagai jenis tumbuhan namun umumnya tidak berorientasi pada pemenuhan materi, tidak menyadari betapa mahal dan bernilai ekonomi tinggi pengetahuan-pengetahuan tradisional yang mereka kuasai tersebut dan merupakan modal di masa depan.

Sampurno (2003), mengemukakan bahwa di negara barat, dari 300 jenis obat-obatan yang dibuat, 40 jenis bahannya berasal dari tumbuhan. Sedangkan 45 macam obat penting di Amerika Serikat berasal dari tumbuhan tropika, 14 jenis di antaranya berasal dari Indonesia. Dalam hal ini perlu dicatat beberapa temuan senyawa bioaktif dari tanaman antara lain Catharanthus roseus G.Don (Apocynaceae), yang kemudian dikembangkan menjadi komersil untuk mengobati penyakit kanker. Selanjutnya, penemuan tumbuhan Taxus brevifolia

Nutt.(Taxaceae) yang diperdagangkan sebagai obat kanker payudara dan kanker kandungan (Endang,2002).

Seiring dengan berkembangnya trend kembali ke alam atau “back to nature” penggunaan obat tradisional terutama yang berasal dari tumbuh-tumbuhan juga terus meningkat. Pada dasarnya pemanfaatan obat tradisional mempunyai tujuan untuk menjaga kondisi tubuh (promotif), mencegah penyakit (preventif), maupun untuk menyembuhkan suatu penyakit (usaha kuratif) dan untuk memulihkan kondisi tubuh (usaha rehabilitasi) (Depkes, 2000).

(3)

pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat tradisional sejak lama telah dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya, namun sebagaian besar pemanfaatan tersebut hanya bersifat empiris berdasarkan tradisi dan kepercayaan.

Kearifan tradisional masyarakat adat menyimpan kekuatan upaya konservasi sumberdaya hayati. Salah satu faktor penghambat usaha perlindungan keanekaragaman hayati adalah miskinnya data tentang sumberdaya hayati Indonesia. Bagi Indonesia, sumberdaya dan keanekaragaman hayati sangat penting dan strategis artinya bagi keberlangsungan hidupnya sebagai bangsa. Bukan hanya karena posisinya sebagai negara pemilik keanekaragaman hayati terbesar di dunia (mega

biodiversity) tetapi juga karena keterkaitannya yang erat dengan keanekaragaman budaya lokal yang telah lama berkembang di negeri ini. Masyarakat perlu dibuka wawasannya tentang bioprospeksi, kewaspadaan terhadap kemungkinan perambahan hayati (biopirasi), juga dimotivasi untuk melakukan upaya-upaya pelestarian kenekaragaman hayati

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akhir-akhir ini generasi muda sekarang mulai meninggalkan seni dan pengetahuan penggunaan pengobatan tradisional ini karena mereka menganggap itu sudah kuno. Akibatnya sulit mendapatkan pewaris pengobat tradisional yang professional. Hal ini akan sangat memprihatinkan sebab kalau tidak segera dicatat dan didokumentasikan, seni dan pengetahuan pemanfaatan tumbuhan hutan untuk memelihara kesehatan akan lenyap. Sementara itu keberadaan dan penyusutan keanekaragaman genetik, terutama jenis liar belum sempat terdata, padahal sumberdaya genetik, terutama jenis liar yang ada di TNBNW tersebut belum dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat .

Adanya kepercayaan masyarakat bahwa obat tradisional yang dibuat dari tumbuhan relatif aman, walaupun data-data ilmiah belum lengkap, hal ini karena khasiat yang diberikan oleh obat tradisional merupakan resultant dari berbagai campuran kompleks zat kimia alami didalamnya, bahan aktif yang satu dapat bekerja sinergis dengan yang lain, namun ada pula yang bersifat antagonis yang menyeimbangkannya, sehingga relatif tidak akan menimbulkan efek samping yang besar dibandingkan obat-obat modern.

(4)

anjuran (2) Efektif untuk penyembuhan penyakit tertentu yang sulit disembuhkan dengan obat-obat kimia seperti kanker, tumor, darah tinggi, diabetes, dan lain-lain (3) Murah, karena umumnya dapat diperoleh di pekarangan atau tumbuh liar di kebun di sekitar kita (4) Pengobatan umumnya dapat dilakukan oleh anggota keluarga. Obat tradisional yang merupakan warisan budaya telah menjadi bagian integral dari kehidupan bangsa Indonesia, sehingga diharapkan untuk dipakai dalam sistem pelayanan kesehatan. Untuk itu harus sesuai dengan kaidah pelayanan kesehatan yaitu secara medis dapat dipertanggung jawabkan. Guna mencapai hal itu perlu dilakukan pengujian ilmiah tentang khasiat dan keamanannya (Depkes, 2000).

Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) merupakan salah satu kawasan konservasi di Sulawesi yang memiliki kekayaan keragaman hayati fauna dan floranya yang unik sebagai ciri khas daerah garis Wallacea yang tidak ditemukan di tempat lainnya di dunia ( Whitten et al.1987).

Penelitian di kawasan ini telah banyak dilakukan namun lebih banyak terfokus pada fauna dibanding floranya, sehingga data mengenai floranya masih terbatas. Padahal menurut Whitmore (1990) di kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone terdapat sekitar 27 suku, 40 marga dan 76 jenis pohon endemik. Sedangkan dalam Kinnaird (1997) dikatakan bahwa di kawasan ini juga terdapat 5000 jenis tumbuhan yang belum diketahui secara pasti penyebaran dan kelimpahannya.

Penelitian tumbuhan obat di TNBNW masih sangat terbatas. Hasil inventarisasi Pangemanan(1992), tercatat 169 jenis tumbuhan obat, 20 % di antaranya berasal dari kawasan TNBNW. Selanjutnya Zuhud (1994) mencatat terdapat 99 jenis tumbuhan obat yang dimafaatkan sebagai obat, 11 jenis berasal dari hutan TNBNW. Setahun kemudian Nasution (1995) menginventarisasi 51 jenis tumbuhan obat di Kotamobagu yang terletak di sebelah Timur kawasan TNBNW. Dari hasil penelitian terdahulu, terlihat bahwa kajian aspek ekologi maupun etnobotani di kawasan TNBNW masih sangat terbatas bahkan belum ada yang mengungkapkan kajian dari dua sudut pandang secara bersamaan.

(5)

fitokimia. Kombinasi data ekologi, dan etnobotani jenis tumbuhan yang digunakan dalam pengobatan tradisional merupakan petunjuk bagi penemuan senyawa aktif farmakologis. Pengumpulan data aspek ekologi jenis tumbuhan obat merupakan data pendukung yang mampu mengungkapkan keberadaan dari jenis-jenis tumbuhan obat yang diamati di habitatnya. Pengetahuan ini sangat penting untuk kepentingan ekonomi dan konservasi. Tersedianya data ekologi (populasi, tempat tumbuh, aspek biologi, dan lain-lain) dapat membantu pengembangan selanjutnya apabila jenis tumbuhan tersebut terbukti mempunyai potensi dan terbukti berkhasiat sebagai bahan ramuan obat dan terbukti mengandung senyawa aktif bahan pembuat obat modern. Sedangkan kaitannya dengan aspek konservasi dapat diketahui tingkah laku hidup dan status jenis-jenis tumbuhan obat tersebut, sehingga memudahkan upaya pengelolaannya.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulis mencoba melakukan pengkajian terhadap berbagai aspek sekaligus yaitu aspek ekologi, etnobotani, dan bioprospeksi terhadap tumbuhan hutan di kawasan TNBNW agar diketahui potensi kekayaan kenekaragaman hayatinya. Hal tersebut sangat penting sebagai upaya Indonesia untuk memanfaatkan sumber daya alam sendiri sekaligus untuk kepentingan ekonomi. Pengkajian terhadap keanekaragaman floristik dalam hubungannya dengan pemafaatan oleh masyarakat di TNBNW dilakukan dengan metode penelitian pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Penggabungan kedua metode ini diharapkan akan lebih menjawab permasalahan yang dihadapi yaitu hubungan masyarakat dengan keanekaragaman jenis tumbuhan dan lingkungannya. Selain itu penggunaan kedua metode pendekatan ini, dapat mengembangkan hipotesa yang lebih tajam untuk menjawab persoalan yang dihadapi dengan analisis yang lebih dapat dipertanggung jawabkan sesuai kerangka ilmiah.

(6)

TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama mendapatkan informasi tentang pemanfaatan tumbuhan untuk penyembuhan penyakit oleh masyarakat di sekitar kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Tujuan lain yang ingin dicapai adalah :

1. Menginventarisasi keanekaragaman flora di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

2. Mempelajari pengetahuan tradisional masyarakat dalam pemanfaatan dan pelestarian tumbuhan obat

3. Mempelajari etnobotani tumbuhan obat yang paling berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut.

MANFAAT PENELITIAN

Informasi penelitian ini merupakan masukan kepada Pemerintah Daerah (PEMDA) setempat dalam penyusunan program pengelolaan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.

Melalui studi ini diharapkan dapat diketahui jumlah, jenis, dan kegunaan tumbuhan obat di sekitar Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Berdasarkan hasil studi ini diharapkan akan diperoleh informasi tentang potensi jenis tumbuhan obat yang ada untuk dikembangkan lebih lanjut. Demikian pula kearifan lokal masyarakat dalam berperan melestarikan jenis tumbuhan obat yang ada di sekitar kawasan TNBNW, juga sebagai masukan dalam proses pengambilan keputusan dalam kegiatan konservasi, perlindungan, dan pemanfaatan tumbuhan obat oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.

(7)

Gambar 1. Kerangka Studi Keanekaragaman Floristik dan Pemanfaatannya Sebagai Tumbuhan Obat di Kawasan Konservasi II Taman

Nasional Bogani Nani Wartabone. Data Tumbuhan

(Metode Analisis vegetasi)

Pengetahuan Masyarakat (Metode Survey dan ICS)

Biodiversitas Tumbuhan

Pemanfaatan Tumbuhan Obat

Jenis Tumbuhan Obat

Keanekaragaman Flora

Metode Perbandingan Eksponensial Tumbuhan Obat (MPE)

Tumbuhan Obat paling berpotensi

Ekologi Etnobotani • Uji Fitokimia

(8)

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Status dan Luas Kawasan

Secara geografis letak kawasan Taman nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) pada posisi antara kawasan Zoogoegrafis Asia dan Zoogeografis Australia. TNBNW terletak pada garis lintang antara 0o.20’ – 0o.51’ Lintang Utara(LU) dan 123 o.06’ – 124 o.18’ Bujur Timur (BT).

Secara administratif kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone berada pada dua wilayah provinsi dan dua wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Bolaang Mongondow Provinsi Sulawesi Utara dan Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo (Gambar 2) sedangkan peta zonasi TNBNW dapat dilihat pada Gambar 3.

Skala 1 : 2.500.000

http://www.dephut.go.id/INFORMASI/TN%20INDO-ENGLISH/tn_Bogani.htm

Gambar 2. Lokasi Penelitian di Sulawesi Utara

(9)

Provinsi Gorontalo; sebelah Timur berbatasan dengan Kec. Dumoga dan Lolayan (Kab.Bol.Mongondow); sebelah Selatan berbatasan dengan Kec. Pinolosian dan Bolaang Uki (Kabupaten Bolaang Mongondow Provinsi Sulawesi Utara); sebelah Barat berbatasan dengan Kec.Tibawa, Suwawa, Tapa, dan Kabila Provinsi Gorontalo.

PETA ZONASI TAMAN NASI ONAL BOGANI NANI WARTABONE

PETA ZONASI TAMAN NASI ONAL BOGANI NANI WARTABONE

Zona

ZonaI ntiI nti : 188.927 Ha: 188.927 Ha Zona

ZonaRimbaRimba : 77.250 Ha : 77.250 Ha Zona

ZonaPemanfaatanPemanfaatan: 20.678 Ha : 20.678 Ha Zona

ZonaPemanfaatanPemanfaatan: Tradisional: Tradisional260 Ha260 Ha

C A

E

B

D

Gambar 3. Peta Zonasi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Skala 1 : 2.500.000

(10)

(PHPA) nomor 191/Kpts/Dj-VI/197 tanggal 24 Desember 1997, luas kawasan tersebut adalah sebagai berikut :

Zona inti 188,927 hektar (65,80 %)

Zona rimba 77,250 hektar (26,91 %)

Zona pemanfaatan 20.678 hektar (7,20%) Zona pemanfaatan Tradisional 260 hektar (0,90 %)

Topografi dan Iklim

Keadaan topografi di kawasan Taman nasional Bogani Nani Wartabone sangat beragam mulai dari datar, bergelombang ringan sampai berat maupun berbukit terjal dengan ketinggian berkisar antara 50 sampai dengan 1.970 meter di atas permukaan laut (dpl). Bentang alam kawasan Taman nasional Bogani Nani Wartabone mulai dari dataran hingga pegunungan memiliki klasifikasi sebagai berikut :

• Bentang alam datar, dengan kemiringan lereng 0 – 8 %, terdapat di beberapa tempat yaitu di sekitar hutan Sampaka, kemudian membentang ke arah Selatan kawasan hutan Matayangan, di sekitar hutan Pinogu, di sekitar G.Kabila dan G.Tawango.

• Bentang alam berombak, kemiringan 8 – 15 %, terdapat di beberapa tempat yaitu di sekitar hulu Sungai Kosinggolan, S. Toraut, S. Ilanga, di sebelah barat hutan enclave Pinogu dan hutan Tulabolo, dan sepanjang S. Bone.

• Bentang bergelombang, kemiringan 15 – 25 %, terdapat di beberapa tempat yaitu di hulu S. Mauk membentang ke arah barat hingga di hulu S.Tumpa dan di sebelah utara hulu S. Lolak dan ke arah barat hulu S. Ayong kemudian di sebelah selatan G. Ali yaitu di sekitar S.Tombolilato. • Bentang alam berbukit, kemiringan 25 – 45 %, terdapat di sekitar G.

Mogogonipa,dan di sekitar enclave G. Pinogu menuju arah timur laut. • Bentang alam bergunung, kemiringan > 45 % terdapat pada beberapa

(11)

Sula, pegunungan Bone dengan puncak G. Pinolobatu. Pegunungan Parantanaan yaitu di sebelah barat G. Ponimposa membujur ke arah barat dengan melintasi G. Gambuta dengan Pau-pau. Pegunungan Tilong Kabila yaitu terletak di sebelah utara Tilamuta membujur ke arah barat

Kondisi topografi kawasan berhutan yang bergelombang yaitu berbukit berlembah serta memiliki kelerdengan lebih dari 45 % menjadikan fungsi kawasan taman nasional sebagai daerah pengatur tata air (fungsi hidrologis) serta menjadi sumber air lahan pertanian seluas ± 10.815 ha di sekitarnya dan sebagai penahan terjadinya bencana banjir pada daerah hilir.

Di bagian tengah kawasan ini terletak Gunung Sinombayuga yang merupakan puncak tertinggi (± 1.970 m) membujur dari arah utara – selatan yang sekaligus membelah jaringan Daerah aliran sungai (DAS) Bone dan Dumoga. Gunung-gunung yang lain adalah G.Pau-Pau (± 1.921 m) dan G.Gambuta (± 1.954 m) dan G.Sulo (± 1.750 m) membelah jaringan wilayah Bone dan Sangkup serta G.Ali (± 1.495 m) antara Bone dan Bone Pantai. Beberapa gunung yang lerengnya mengarah ke Sungai Kosinggolan di Kabupaten Bolaang Mongondow yaitu G.Sinombayuga (± 1.970 m), G.Poniki (± 1.817 m), G.Padang (± 1.370 m). bagian kawasan yang terendah pada Taman Nasional Bogani Nani Wartabone terdapat di wilayah Lolak dengan ketinggian ± 50 meter di atas permukaan laut.

Keadaan iklim di wilayah kawasan Taman nasional Bogani Nani Wartabone menurut Schmidt dan Verguson termasuk dalam tipe A, B, dan C. Curah hujan umumnya tersebar merata sepanjang tahun dengan periode relatif basah antara bulan November – Januari dan Maret – Mei. Masa kering bulan Agustus – September (Tabel 1). Arah angin dan topografi yang bergunung di wilayah ini sering mempengaruhi curah hujan lokal terutama jumlah total hujan meskipun dalam jarak dekat. Sebagai contoh di wilayah bagian tengah dan utara (Dumara dan Toraut) curah hujannya tinggi karena pengaruh angin timur laut sedangkan di wilayah Doloduo dan Kosinggolan relatif lebih kering karena pengaruh angin barat daya. Secara umum di lembah Dumoga curah hujan rata antara 1.700 – 2.200 mm per tahun, sedangkan di wilayah Gorontalo rata-rata 1.200 mm per tahun. Adapun suhu udara rata-rata-rata-rata 20 o – 28 C o.

(12)

DAS Ongkag – Dumoga dan DAS Mongondow yang sebagaian besar wilayahnya terdapat di Kabupaten Bolaang Mongondow. Sungai-sungai yang mengalir ke arah timur yaitu : S.Toraut, S. Tumpa, S. Kosinggolan dan S. Binuanga di wilayah Bolaang Mongondow. Sungai-sungai yang mengalir ke arah selatan yaitu: S.Pinolosian, S. Sulango, S.Toludaa di wilayah Bolaang Mongondow serta S. Tombolilato, S. Bilunggala di wilayah Gorontalo. Sungai-sungai yang mengalir ke arah barat yaitu : S. Bone, S. Palanggua, dan S. Lolio di wilayah Gorontalo.

Tabel 1. Rata-rata Curah Hujan Bulanan di sekitar TNBNW (Tahun 1996 -2003)

Tahun (mm) Bulan

1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Januari

Sumber : Bolaang Mongondow dalam angka 2003

(13)

Keadaan Tanah

Tanah dalam kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone berasal dari bahan vulkanis seperti dijumpai di bagian timur dan tengah dan sebagaian asam seperti di daerah Bone. Tanah berasal dari bahan sedimen dijumpai di bagian utara dan selatan Dumoga. Formasi kaolin yang merupakan bahan keramik dapat dijumpai di daerah Molibagu. Jenis tanah yang terdapat di kawasan ini antara lain latosol, podsolik, renzina, alluvial dan andosol. Formasi batuan vulkanis terdapat di sebelah timur dan selatan lembah Dumoga membentuk rangkaian pegunungan ke pantai utara di Labuan Uki. Sedang di bagian selatan di Gunung Mogogonipa membentuk gunung-gunung kecil yang terdiri dari batuan lava, konglomerat dan breccia.

Potensi Kawasan TNBNW

Kawasan TNBNW memiliki keanekaragaman ekosistem yang menarik dan mempunyai tingkat keendemikan flora dan fauna yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh kisaran ketinggian tempat yang beragam mulai dari 50 – 1970 m dpl. Hampir seluruh kawasan TNBNW ditutupi oleh hutan dataran rendah dan hutan pegunungan bawah, namun dengan tingkat kelerengan yang tinggi ditunjang dengan kondisi tanah subur yang tipis, membuat kanopi atau tegakan tampak rendah dan sedikit terbuka.Pada kawasan TNBNW ditemukan 4(empat) tipe ekosistem yang utama, yaitu hutan sekunder, hutan hujan dataran rendah (hutan pamah), hutan hujan pegunungan rendah, dan hutan lumut.

Kondisi Sosial Budaya Masyarakat

(14)

ANALISIS VEGETASI DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTABONE

ABSTRAK

Sebagai salah satu bentuk kawasan pelestarian alam, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone yang ditetapkan pada tahun 1991 dengan luas 287.115 hektar mempunyai tiga fungsi utama, yaitu fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, fungsi pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan alam dan satwa liar, serta fungsi pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Tujuan penelitianuntuk mengetahui struktur vegetasi, komposisi dan keanekaragaman floristik di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Manfaat penelitian, sebagai bahan masukan bagi pemerintah, khususnya Departemen Kehutanan dan Pemerintah Daerah (PEMDA) setempat dalam penyusunan pengelolaan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, dan dalam kegiatan konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia. Berdasarkan inventarisasi pada petak-petak di 5 lokasi TNBNW tercatat sebanyak 307 jenis flora yang tergolong kedalam 288 marga dan 165 suku. Komposisi floristik hutan Doloduo, G.Kabila, Torout, Matayangan dan Tumokang di TNBNW menunjukkan banyak kesamaan, dengan keanekaragaman yang cukup tinggi. Lokasi Gunung Kabila mempunyai indeks keanekaragaman tertinggi (3,98) untuk tingkat semai atau tumbuhan bawah, dan tingkat sapihan (3,82) sedangkan untuk tingkat tiang dan flora tingkat pohon, lokasi hutan Tumokang mempunyai indeks keanekaragaman tertinggi yaitu (3,73) dan (3,81).

ABSTRACT

As one of natural conservation area, Bogani Nani Wartabone National Park that established in 1991, is 287.115 hectare in width and has three major functions that are living buffer sistem protection, diversity preservation for plant and wild animal, and sustainable use of natural resources and the ecosistem. The objectives of research are to study vegetation structure, composition and floristik diversity in Bogani Nani Wartabone National Park. The research was expected useful as input for the government, particularly Forestry Departemen and lokal government in order to make a management plan for Bogani Nani Wartabone National Park, and for biodiversity conservation activities in Indonesia. According to stocktaking on plots for 5 locations, TNBNW has 307 kind of flora that classified into 288 genus and 165 families. Forest floristik composition for Doloduo,M. Kabila, Torout, Matayangan and Tumokang in TNBNW high degree of similarities, with sufficient high of diversity. Kabila mountain shows the highest diversity index (3,98) for seedling level or low plant, and sapling level (3,82) while for pole level and tree level, Tumokang forest has the highest diversity index namely 3,73 and 3,81.

(15)

PENDAHULUAN

Indonesia dengan kekayaan sumberdaya alamnya yang melimpah termasuk keanekaragaman jenis flora dan faunanya sudah selayaknya disebut sebagai negara “Mega biodiversity” .Keanekaragaman hayatinya terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Colombia (McNeely,1990). Satari (1994) mengemukakan bahwa Indonesia memiliki hutan tropik seluas 120 juta hektar yang dikenal sebagai komunitas yang paling kaya akan keanekaragaman flora dan fauna serta merupakan gudang plasma nutfah endemik yang dapat dimanfaatkan untuk masa kini dan masa yang akan datang.

Zuhud (1994), mengatakan bahwa di dalam hutan Indonesia terdapat 25.000 jenis tumbuhan, dan dari jumlah tersebut baru 20 % atau 5000 jenis yang sudah dimanfaatkan dalam berbagai pemanfaatan termasuk 1260 jenis yang dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat. Selanjutnya Direktorat Tanaman Sayuran, Hias, Aneka Tanaman (2002) mengemukakan bahwa hutan tropika Indonesia memiliki kekayaan jenis palem (Arecaceaee) terbesar di dunia, memiliki 400 spsies anggota famili Dipterocarpaceae, primadona kayu tropika. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa hutan tropis Indonesia merupakan sumberdaya alam bahan kimia yang masih menunggu untuk dievaluasi guna menemukan bahan-bahan kimia baru yang potensial untuk bio-industri farmasi, pertanian, dan sebagainya.

Sebagai konsekwensinya, Indonesia mendapat tantanggan yang sangat berat untuk memelihara kekayaan sumberdaya hayati tersebut dan mengembangkan peranannya bagi pembangunan. Sampai saat ini untuk keperluan pembangunan, Indonesia masih bertumpu kepada pemanfaatan sumberdaya alam yang ada.

Untuk mengelola keanekaragaman hayati secara optimal, diperlukan strategi yang disusun berdasarkan pada potensi keanekaragaman hayati dan permasalahan yang dihadapinya. Strategi yang dapat dikembangkan mencakup tiga aspek yang saling berhubungan, yaitu : mengamankan (save it), mempelajari (study it) dan memanfaatkan (use it) (Alikodra,1992).

(16)

kekhasan flora dan faunanya karena kawasan tersebut merupakan peralihan antara Zona Malaysia dan Australia yang dikenal dengan "Wallacceae Area".

Sebagai salah satu bentuk kawasan pelestarian alam, Taman nasional Bogani Nani Wartabone yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.1068/Kpts-II/1992 tanggal 18 november 1992 dengan luas kawasan 287.115 hektar. Secara geografis terletak antara 0025’ – 0044’ LU dan 16024’ – 16040’ BT. Sedangkan secara administrative pemerintahan terletak di dua wilayah yaitu Kabupaten Bolaang Mongondow dan Provinsi Gorontalo.

Taman Nasional Bogani Nani Wartabone mempunyai tiga fungsi utama, yaitu fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, fungsi pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan alam dan satwa liar, serta fungsi pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone merupakan habitat dari 127 jenis mamalia Sulawesi, 79 (62%) di antaranya merupakan jenis endemik, juga terdapat 235 jenis burung darat, 84 jenis (36%) di antaranya unik; dan dari 104 jenis reptilia, 29 (28%) di antaranya endemik Sulawesi; 17 dari 38 (45%) jenis tikus asli; 20 dari 24 (83%) jenis kelelawar buah. Inilah yang membuat kawasan ini merupakan salah satu kawasan konservasi terpenting di dunia secara umum dan khusus Sulawesi bagi keanekaragaman biologi atau keanekaragaman hayati (Lee R.J. et al. 2001 ).

Penelitian di kawasan ini telah banyak dilakukan namun lebih banyak terfokus pada fauna dibanding floranya, sehingga data mengenai floranya masih terbatas. Padahal menurut Whitmore (1989) di kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone terdapat sekitar 27 suku,40 marga dan 76 jenis pohon endemik. Sedangkan dalam Kinnaird(1995) dikatakan bahwa di kawasan ini juga terdapat 5000 jenis tumbuhan yang belum diketahui secara pasti penyebaran dan kelimpahannya.

Melihat kekayaan dan potensi yang tersimpan di dalam kawasan TNBNW, sudah seharusnya dilakukan upaya bioprospeksi. Bioprospeksi pada prinsipnya adalah upaya pencarian, penelitian, pengumpulan, ekstraksi, dan pemilihan sumberdaya hayati dan pengetahuan tradisional untuk mendapatkan materi genetik dan sumber biokimia yang bernilai ekonomi tinggi.

(17)

keuntungan ekonomi di masa depan. Oleh karena itu keanekaragaman, struktur dan komposisi vegetasi sebagai komponen utama habitat perlu dikaji dan dianalisa.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dilakukan penelitian untuk mengetahui struktur vegetasi, komposisi dan keanekaragaman flora dI sekitar kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari struktur vegetasi, komposisi dan keanekaragaman floristik guna pengelolaan tingkat ekosistem, spesies dan gen di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone .

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi pemerintah, khususnya Departemen Kehutanan dan Pemerintah Daerah (PEMDA) setempat dalam penyusunan pengelolaan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone,dan dalam kegiatan konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia.

Hipotesis

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Flora merupakan kumpulan jenis tumbuhan yang terdapat dalam suatu daerah tertentu, sedangkan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang terdiri atas individu-individu jenis atau kumpulan populasi jenis disebut vegetasi (Samingan 1989). Menurut Kusmana (1989), bentuk suatu vegetasi merupakan pencerminan dari iklim, tanah, topografi, dan ketinggian yang saling berinteraksi. Setiap jenis tumbuhan membutuhkan kondisi lingkungan yang spesifik untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Perubahan dan variasi kondisi lingkungan tertentu akan memberikan dampak bagi struktur dan komposisi jenis tumbuhan terutama dari segi kelimpahan, pola penyebaran, asosiasi dengan jenis lain serta kondisi pertumbuhan yang berbeda dengan jenis lainnya. Interaksi dari faktor-faktor lingkungan tersebut dapat digunakan sebagai indikator penduga sifat lingkungan yang bersangkutan (Setiadi et al., 2001).

(19)

(Mueller-Dombois dan Ellenberg ,1974). Lebih lanjut Kershaw (1964) membedakan tiga komponen struktur vegetasi yaitu : (1) struktur vertikal (stratifikasi ke dalam lapisan-lapisan menurut ketinggian), (2) struktur horizontal yaitu distribusi ruang areal populasi dan masing-masing individu, (3) jumlah struktur yaitu kelimpahan masing-masing jenis dalam komunitasnya.

Secara umum hutan hujan tropika memiliki ciri yang hampir sama yaitu : (1) iklimnya selalu basah, (2) tanahnya kering dengan berbagai jenis tanah (3) berlokasi di daerah pedalaman dataran rendah atau berbukit ( <1000 m dpl) atau pada dataran tinggi sampai dengan 4000 m dpl, (4) secara umum dapat dibedakan menjadi tiga zona menurut ketinggian tempatnya yaitu : hutan hujan bawah (2 – 1000 m dpl) ; hutan hujan tengah (1000 – 3000 m dpl) dan hutan hujan atas (3000 – 4000 m dpl), (5) Pada hutan hujan bawah, jenis yang dominan adalah yang tergolong marga shorea, Hopea, Dipterocarpus , Vatica, Dryobalanops, Agathis, Altingia, Dialicum, Duabanga, Dyera, Goosampium,

Kooompassia, dan Octomeles. Pada hutan hujan tengah, jenis pohon yang umum ditemukan adalah anggota suku Lauraceae, Fagaceae, Magnoliaceae, Hammalidaceae, Ericaceae dan sebagainya. Khusus untuk hutan hujan atas, keragaman jenisnya rendah tetapi kerapatan jenisnya makin tinggi dan pertumbuhannya terhambat sehingga menjadi kerdil.

Tipe hutan hujan dataran Taman Nasional Bogani Nani Wartabone ditemukan pada ketinggian mulai dari 300 – 1000 m dpl, dan umumnya terdapat batuan vulkanis. Keragaman vegetasi sangat tinggi sehingga sulit ditemukan jenis-jenis yang dominan. Jenis tumbuhan berkayu yang menonjol dalam kawasan yaitu, kayu hitam (Diospyros celebica), kayu batu (Koordersidendron pinatum), kayu Linggua (Pterocarpus indicus), dan kayu cempaka (Elmerillia ovalis). Jenis tumbuhan bawah yang menutupi permukaan tanah antara lain jenis pandan, palma, rotan, dan jenis-jenis tumbuhan merambat dan pemanjat lainnya. Pada vegetasi hutan hujan dataran rendah ini juga ditemukan tumbuhan dari suku Lauraceae (seperti Garcinus sp), anggota suku Myristicaceae, suku Anacardiaceae (seperti Dracontomelon dao, Swintonia sp, Spondias sp), suku Sapotaceae (misalnya, jenis Palagium sp), serta suku Sterculiaceae (seperti

Scepium sp., Pterospermum sp, dan Heritria sp. (Lee, 2001).

(20)

(Pigafeta ciliaris). Khusus vegetasi bawah banyak ditumbuhi oleh berbagai jenis tumbuhan lainnya seperti jenis rotan, pandan, dan paku-pakuan. Sedangkan hutan lumut umumnya ditemukan pada ketinggian di atas 1600 m dpl, dan terletak di daerah pegunungan. Penyebarannya merata, hampir terdapat di semua pegunungan tinggi yang ada dalam kawasan TNBNW.

(21)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian :

Penelitian dilaksanakan pada lima lokasi (Gambar 4) yang dipilih berdasarkan observasi lapangan dengan pertimbangan tertentu yaitu lokasi yang berada dalam kawasan TNBNW. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli 2005 sampai dengan Agustus 2006.

Gambar 4. Lokasi Pengambilan Sampel di TNBNW

Bahan Penelitian

Peralatan yang digunakan yaitu (1) untuk inventarisasi,seperti : kompas, teropong, pita ukur, alat pengukur tinggi pohon (haga meter). Altimeter, clinometer, parang dan tali; (2) Peralatan pembuatan herbarium jenis flora , seperti : alkohol, kantong plastik, label, sasak bambu dan kertas karton. (3) Daftar questioner responden; (4) Peralatan dokumentasi, seperti : kamera dan negatif film; (5) Alat Tulis Kantor (ATK)

Pengumpulan Data Komposisi Flora

Data flora diperoleh dengan cara analisis vegetasi dengan metode analisis strip sampling (jalur berpetak) dengan skema pada Gambar 5.

C A D B

E

(22)

C

B dst

B C

Gambar 5. Jalur dan petak ukur

Dalam setiap petak dilakukan identifikasi flora tingkat semai atau tumbuhan bawah, sapling, tiang dan pohon dengan menggunakan kategori pengelompokan yang disarankan Wyatt dan Smith (1963) yaitu :

a. Petak ukur 20 m x 20 m untuk tumbuhan tingkat pohon, liana dan epifit. b. Petak ukur 10 m x 10 m untuk tingkat tiang.

c. Petak ukur 5 m x 5 m untuk tumbuhan tingkat pancang dan semak. d. Petak ukur 2 m x 2 m untuk tumbuhan tingkat semai dan herba.

Pohon adalah tumbuhan berkayu yang berdiameter setinggi dada(dbh CФ) >35 cm, tiang berdiameter 10 – 35 cm, sapihan berdiameter < 10 cm dan tingginya >1,50 m, sedangkan semai atau tumbuhan bawah tingginya <1,50 m (Wyatt dan Smith, 1963). Tingkat sapihan, tiang, dan pohon dihitung jumlah, kerapatan, frekwensi, tingginya dan diameter. Sedangkan untuk tingkat semai atau tumbuhan bawah dicatat jenis dan jumlahnya. Identifikasi jenis flora yang tidak diketahui nama ilmiahnya, dilakukan pembuatan herbarium dan selanjutnya dilakukan identifikasi di Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi LIPI Bogor.

Analisis Data

Parameter ekologi yang diukur pada lokasi penelitian antara lain kerapatan, frekwensi, dominansi dan indeks nilai penting pada masing-masing tumbuhan, indeks diversitas dan indeks kemerataan.

Pengukuran kerapatan mutlak dilakukan. Nilai kerapatan mutlak dan kerapatan relatif masing-masing jenis ditentukan dengan menggunakan rumus :

A

(23)

phn/ha)

Pengukuran nilai frekwensi mutlak dan frekwensi relatif masing-masing jenis ditentukan dengan menggunakan rumus :

Pengukuran nilai dominansi mutlak dan dominansi relatif masing-masing jenis ditentukan dengan menggunakan rumus :

100% Menghitung INP masing-masing jenis dengan cara menjumlahkan nilai kerapatan relatif,

frekwensi relatif dan dominansi relatif masing-masing jenis. Rumus yang digunakan adalah :

INPa = KRa + FRa + DRa Dimana :

INP = Indeks Nilai Penting jenis tertentu KR = Nilai kerapatan relatif jenis tertentu FR = Nilai frekwensi relatif jenis tertentu DR = Nilai dominansi relatif jenis tertentu

Perhitungan indeks diversitas dilakukan dengan menggunakan persamaan untuk menentukan indeks Shannon – Wienner sebagai berikut :

pi

H’ = nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener pi = proporsi anatara individu jenis

Loge = logaritme alami pi

(24)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Komposisi floristik

Berdasarkan inventarisasi pada petak-petak di lima wilayah Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, tercatat 301 jenis flora yang tergolong kedalam 46 suku dan 114 marga. Vegetasi berhabitus semai 142 jenis, sapihan 144 jenis, tiang 110 jenis dan pohon 131 jenis. Rincian komposisi floristik dapat dilihat pada Tabel Lampiran 1.

Komposisi jenis flora pada setiap lokasi cukup bervariasi. Tingkat semai dan tumbuhan bawah, kekayaan jenis tertinggi adalah hutan Tumokang dan terendah adalah hutan Torout. Tingkat sapihan, kekayaan jenis tertinggi adalah Di hutan Tumokang dan terendah adalah hutan Doloduo. Sedangkan untuk tingkat tiang, kekayaan jenis tertinggi adalah hutan Doloduo dan terendah adalah hutan G.Kabila. Tingkat pohon, kekayaan jenis tertinggi adalah hutan Tumokang dan terendah adalah hutan Doloduo. Hutan Doloduo merupakan wilayah yang memiliki kekayaan jenis terendah. Komposisi dan struktur tumbuhan nilainya bervariasi pada setiap jenis karena adanya perbedaan karakter masing-masing pohon. Kimmins (1987) mengemukakan bahwa variasi struktur dan komposisi tumbuhan dalam suatu komunitas dipengaruhi antara lain oleh fenologi tumbuhan, dispersal dan natalitas. Selanjutnya dikemukakan bahwa keberhasilan menjadi individu baru dipengaruhi oleh fertilitas yang berbeda dari setiap spesies sehingga terdapat perbedaan struktur dan komposisi masing-masing spesies . Adapun rincian komposisi jenis menurut tingkatan flora dapat dilihat pada Tabel Lampiran 2 - 21.

(25)

Menurut Whitmore (1986) stratifikasi hutan terdiri atas lima strata, yaitu Stratum A yang ditempati oleh jenis pohon besar dengan tajuk yang mencuat (emergence), stratum B ditempati oleh pohon-pohon dengan tajuk yang lebih rendah, stratum D ditempati oleh anakan pohon, dan stratum E ditempati oleh tumbuhan herba dan semai yang menutupi lantai hutan. Loveles (1989) menyatakan vegetasi yang paling lebat hanya akan ditemukan di tempat-tempat yang kelembaan tanahnya tinggi dengan drainase yang cukup baik. Penyederhanaan dalam struktur komunitas akan mulai tampak dalam vegetasi, bila kelembaban tidak memadai untuk pertumbuhan optimal sepanjang tahun. Lebih lanjut Richards (1964) mengemukakan bahwa secara umum komposisi jenis hutan tropik adalah campuran, dengan asosiasi tanpa dominansi tunggal. Jumlah populasi dominan berkisar antara satu sampai enam jenis. Jumlah ini berbeda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya.

(26)

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Doloduo G.Kabila Torout Matayangan Tumokang

Pohon Tiang Sapihan Semai

dengan dataran rendah (Barry dan Chorley 1976). Perbedaan komponen-komponen iklim tersebut yang menyebabkan terjadi perbedaan jumlahjenis tumbuhan pada setiap tipe iklim ekosistem yang diamati.

Keanekaragaman jenis yang tinggi merupakan indikator dari kemantapan atau kestabilan dari suatu lingkungan pertumbuhan. Menurut Odum (1993) Kestabilan yang tinggi menunjukkan tingkat kompleksitas yang tinggi, hal ini disebabkan terjadinya interaksi yang tinggi pula sehingga akan mempunyai kemampuan lebih tinggi dalam menghadapi gangguan terhadap komponen-komponennya. Selanjutnya Walter (1971) menyatakan bahwa di dalam lingkungan yang tidak menunjukkan adanya faktor khusus, maka komunitas yang menduduki lingkungan yang bersangkutan akan menunjukkan tingkat keanekaragaman jenis yang tinggi.

Berdasarkan hasil pengamatan pada ke lima lokasi penelitian, analisis terhadap jumlah jenis yang ada dalam berbagai tingkat flora, terlihat bahwa secara umum jumlah jenis tingkat semai dan tumbuhan bawah di kelima wilayah mempunyai jumlah jenis yang paling tinggi, selanjutnya jumlah jenis tersebut berkurang untuk tingkat sapihan, tiang dan tingkat pohon. Keadaan tersebut terlihat pada Gambar 6. Hal ini menunjukkan pola umum vegetasi hutan tropik yang senantiasa mengalami proses dinamika. Hal ini memunjukkan bahwa flora TNBNW masih mencerminkan struktur hutan tropik, seperti yang diungkapkan (Ogawa et al., 1965; Yamada, 1975).

(27)

Hasil tersebut sejalan pandangan Ludwig dan Reynold (1988) bahwa pola penyebaran tumbuhan dalam suatu komunitas bervariasi dan disebabkan karena beberapa faktor yang saling berinteraksi anatara lain: (1) faktor vektorial (intrinsic) yaitu faktor lingkungan internal seperti angin, ketersediaan air, dan intensitas cahaya, (2) faktor kemampuan reproduksi, (3) faktor sosial yang menyangkut fenologi tumbuhan, (4) faktor koaktif yang merupakan dampak interaksi intrasoesifik dan (5) faktor stokhastik yang merupkan hasil variasi random beberapa faktor yang berpengaruh.

Penyebaran tumbuhan di kawasan TNBNW untuk tingkat pertumbuhan bawah dan pohon relatif kurang merata dibandingkan dengan tingkat sapihan dan tingkat tiang. Hal ini disebabkan karena tumbuhan tingkat bawah jenis tertentu penyebarannya lebih terkonsentrasi pada tempat (ekosistem) tertentu saja. Sedangkan untuk tingkat pohon lebih dipengaruhi oleh tingkat kerusakan akibat penebangan oleh masyarakat di sekitar kawasan. Kawasan hutan yang letaknya berdekatan dengan pemukiman seperti Doloduo, Torout, dan Matayangan tingkat kerusakan akibat penebangan pohon lebih tinggi dibadingkan daerah lain. Tumbuhan tingkat sapihan dan tingkat tiang penyebarannya relatif merata karena pemanfaatan tumbuhan pada fase ini jaran terjadi. Menurut Barbour et al. (1987), agihan individu setiap jenis disebut dengan kemerataan jenis atau ekuibilitas jenis. Kemerataan menjadi maksimum bila suatu jenis mempunyai jumlah individu yang sama. Kemerataan dan kekayaan jenis merupakan hal yang berbeda, meskipun keduanya sering berkorelasi positif. Namun gradient lingkungan dapat menurunkan kekayaan jenis disertai peningkatan keanekaragaman.

(28)

Nilai kerapatan setiap jenis pada setiap lokasi penelitian (Tabel 2) menunjukkan variasi yang mencolok. Nilai kerapatan merupakan gambaran jumlah individu spesies bersangkutan pada satuan luas tertentu. Meskipun demikian nilai kerapatan belum dapat menggambarkan tentang bagaimana distribusi dan pola penyebaran tumbuhan yang bersangkutan pada lokasi penelitian. Gambaran distribusi individu pada pada suatu jenis tertentu dapat dilihat pada nilai frekwensinya sedangkan pola penyebaran dapat ditentukan dengan membandingkan nilai tengah spesies tertentu dengan variasi populasi secara keseluruhan. Nilai besaran yang menyatakan derajat penyebaran jenis di dalam komuniasnya disebut frekwensi. Nilai frekwensi diperoleh dengan melihat perbandingan jumlah dari petak-petak yang diduduki suatu jenis terhadap keseluruhan petak yang diambil sebagai petak contoh dalam analisis vegetasi. Nilai kerapatan, frekwensi, dan dominansi untuk jenis-jenis tertentu diekspresikan mutlak atau relatif yang menunjukkan persentase bahwa nilai jenis individu merupakan total untuk semua jenis (Tabel 3).

Nilai kerapatan relatif (KR) dan frekwensi relatif (FR) penting artinya dalam analisis vegetasi karena saling terkait satu dengan yang lainnya. Nilai frekwensi suatu jenis dipengaruhi secara langsung oleh densitas dan pola distribusinya. Walaupun memberikan informasi yang penting, nilai distribusi hanya dapat memberikan informasi tentang kehadiran tumbuhan tertentu dalam suatu plot dan belum dapat memberikan gambaran tentang jumlah individu pada masing-masing plot (Greig-Smith,1983).

Tabel 2. Perbandingan Nilai Kerapatan Relatif (KR) Jenis Tumbuhan di TNBNW

Lokasi Jenis Kerapatan Relatif (%)

Tinggi Rendah Doloduo Eboni / Diospyros celebica

Rengas / Gluta renghas

18,08

1,06 Torout Maumar / Nauclea celebica

Lewo / Talauma ovalis

10,28

0,93 Tumokang Cempaka / Elmerrillia ovalis

Mawiyau / Hermandi ovigera

6,43

0,42 Matayangan Pala hutan / Knema celebica

Marengis / Homalium celebicum

12,00

0,67 G. Kabila Rao / Dracontomelon dao

Kayu torout / Vitex glabrata

8,81

(29)

Tabel 3. Perbandingan Nilai Frekwesi Relatif Jenis Tumbuhan di TNBNW

Lokasi Jenis Frekwensi Relatif (%)

Tinggi Rendah Doloduo Eboni / Diospyros celebica

Rengas / Gluta renghas

17,04

1,14 Torout Maumar / Nauclea celebica

Lewo / Talauma ovalis

10,30

1,03 Tumokang Sumeding / Pangium edule

Kedondong/Chrysophyllum lanceolatum

8,65

0,40 Matayangan Pala hutan / Knema celebica

Marengis / Homalium celebicum

9,60

0,82 G. Kabila Kayu batu / Maranthes corymbosa

Kayu torout / Vitex glabrata

11,02

0,85

Berdasarkan hasil yang diperoleh, terdapat 3 lokasi (Doloduo, Torout, Matayangan) yang memiliki jenis tumbuhan tertentu dengan nilai kerapatan relatif dan frekwensi relatif tertinggi. Hal ini berarti jenis-jenis tersebut dianggap sebagai jenis yang rapat serta tersebar luas pada hampir seluruh wilayah ke 3 lokasi yang diteliti (Tabel 4). Pada lokasi hutan Tumokang dan G.Kabila, frekwensi relatif tertinggi terdapat pada Cempaka /Elmerrillia ovalis (8,65) dan Maranthes corymbosa (11,02).

Doloduo Eboni / Diospyros celebica 18,08 17,04

Torout Maumar / Nauclea celebica 10,28 10,3

Tumokang Cempaka /Elmerrillia ovalis 6,43 1,62 Matayangan Pala hutan / Knema

celebica

12,00 9,60

G. Kabila Rao / Dracontomelon dao 8,81 5,93

(30)

fisik (temperatur, cahaya, struktur tanah, kelembaban, dan sebagainya, faktor biotik (interaksi antar spesies, kompetisi, parasitisme, dan sebagainya, dan faktor kimia yang meliputi ketersediaan air, oksigen, pH, nutrisi dalam tanah dan sebagainya yang saling berinteraksi

Berdasarkan indeks nilai penting (INP) seluruh jenis selanjutnya dihitung indeks diversitas (H’) Shannon-Wiener. Indeks keanekaragaman flora untuk masing-masing lokasi beragam, berkisar antara 3,28 – 3,98 (Tabel 5). Gunung Kabila mempunyai indeks keanekaragaman tertinggi (3,98) untuk flora tingkat semai atau tumbuhan bawah dan flora tingkat sapihan (3,82). Sedangkan untuk Indeks keanekaragaman tertinggi flora tingkat tiang (3,73) dan flora tingkat pohon (3,81) terdapat pada lokasi hutan Tumokang. Keanekaragaman yang tinggi tersebut tercermin dari kelimpahan dan persebaran frekwensi masing-masing jenis yang umumnya relatif rendah. Keadaan ini menunjukkan tipe vegetasi hutan tropik yang ditandai oleh tidak pernah dijumpai jenis tunggal dengan frekwensi tinggi dan merajai dalam suatu wilayah hutan (Kartawinata et al., 1983). Jika menggunakan kriteria Barbour et al. (1987) maka indeks diversiats jenis sebesar 3,37 – 3,98 tersebut termasuk dalam kategori tinggi. Nilai indeks diversitas tersebut menggambarkan kekayaan jenis pohon yang berada pada daerah penelitian. Kondisi seperti ini menggambarkan bahwa ekosistem di lokasi penelitian merupakan ekosistem yang stabil dan mendekati klimaks.

Tabel 5. Indeks Keanekaragaman Flora TNBNW Tingkatan Flora Lokasi

Semai Sapihan Tiang Pohon

Hutan Doloduo 3,76 3,43 3.59 3.28

Hutan Gunung Kabila 3,98 3.82 3,69 3,37

Hutan Matayangan 3,46 3,79 3,54 3,42

Hutan Torout 3,42 3,48 3,41 3,49

Hutan Tumokang 3,99 3,85 3,56 3,76

(31)

untuk masing-masing lokasi berbeda-beda. Untuk lokasi hutan Doloduo, nilai kemerataannya sebesar 0,92 hutan Torout 0,91 hutan Tumokang 0,94 hutan Matayangan 0,96 dan G.Kabila 0,95. Perbedaan nilai kemerataan tersebut disebabkan karena nilai INP masing-masing jenis pada kelima lokasi juga bervariasi. Nilai kemerataan suatu jenis ditentukan oleh distribusi setiap jenis pada masing-masing plot secara merata. Makin merata suatu jenis dalam seluruh lokasi penelitian, maka makin tinggi nilai kemerataannya. Demikian juga sebaliknya jika beberapa jenis tertentu dominan sementara jenis lainnya tidak dominan atau densitasnya lebih rendah, maka nilai kemerataan komunitas yang bersangkutan akan lebih rendah. Nilai kemerataan pada masing-masing lokasi berbeda-beda. Perbedaan nilai kemerataan tersebut disebabkan karena nilai INP masing-masing jenis disetiap lokasi juga bervariasi seperti tersebut pada lampiran.

Walaupun terjadi variasi dalam keanekaragaman, tetapi jika dilihat indeks kesamaannya, ke lima wilayah tersebut dapat dikatakan merupakan suatu komunitas yang sama. Untuk memperjelas kesamaan komunitas tersebut terlihat dari dendrogram untuk masing-masing tingkat flora pada Gambar 7.

Matayangan

Tumokang Torout

G.Kabila

Doloduo 0.30

0.35 0.40 0.45 0.50 0.55 0.60 0.65

Jarak hubungan

Gambar 7. Dendrogram Kesamaan Komunitas Flora TNBNW

(32)

untuk Gunung Kabila memiliki kesamaan yang tinggi dengan komunitas Doloduo. Matayangan, memiliki kesamaan yang tinggi dengan Tumokang. Komunitas flora tingkat tiang untuk Gunung Kabila memiliki kesamaan yang tinggi dengan komunitas Doloduo. Selanjutnya Matayangan, memiliki kesamaan yang tinggi dengan Tumokang. Komunitas flora tingkat pohon untuk Gunung Kabila memiliki kesamaan yang tinggi dengan komunitas Doloduo. Selanjutnya Matayangan, memiliki kesamaan yang tinggi dengan Tumokang. Kekayaan jenis adalah jumlah jenis dari suatu komunias. Setiap jenis tidak mungkin mempunyai jumlah individu yang sama (Kebs 1978). Perbedaan jumlah jenis pada setiap tipe ekosistem pada dasarnya disebabkan oleh dua hal utama, yaitu akibat dari adanya pengaruh faktor cahaya dan ketinggian tempat dari permukaan laut.

Uraian komposisi floristik untuk masing-masing wilayah di lima lokasi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone adalah sebagai berikut :

Komposisi Flora di Hutan Doloduo

Hasil inventarisasi flora untuk semua tingkatan di lokasi penelitian hutan Doloduo secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kekayaan Jenis, Marga dan Suku Hutan Doloduo Jumlah

Tingkat semai didominasi oleh lima jenis yaitu Koodersiodendron pinnatum (INP=11,73), Knema celebica (INP=11.32%), Tingkat sapihan didominasi oleh Koodersiodendron pinnatum (INP=37,41), Knema celebica

(INP=13,24%), Crateva religiosa (INP=12,40%), Celtis philippensis

(INP=11,78%), Tingkat tiang didominasi oleh Knema celebica (INP=32,85),

(33)

(INP=12,05). Tingkat Pohon Diospyros celebica (INP=52,45), Cassia fistula

(INP=29,41), Elmerrillia ovalis (INP=21,23), Ochrosia acuminata (INP=12,69 ),Mimusops sp (INP=11,77), Calophyllum sp. (INP=11,08), Cynometra ramiflora

(INP=10,8) .

Hasil penelitian menunjukkan bahwa di lokasi ini terdapat 39 jenis pohon. Jenis-jenis flora yang ditemukan di kompleks hutan Doloduo, kerapatan relatif, frekwensi relatif, dominansi relatif dan indeks nilai penting flora pada Lampiran 2-5. Nilai kerapatan relatif tertinggi 18,08 % pada jenis Diospyros celebica

sedangkan kerapatan relatif terendah 1,06 % pada jenis Rengas (Gluta renghas). Jenis kayu eboni (Diospyros celebica) merupakan jenis tumbuhan yang memiliki nilai kerapatan relatif dan frekwensi relatif tertinggi artinya jenis ini dianggap sebagai jenis yang rapat serta tersebar luas pada hampir seluruh lokasi hutan Doloduo. Jenis lain yang juga memiliki nilai kerapatan relatif dan frekwensi relatif yang tinggi adalah jenis kayu raja (Cassia fistula) dengan nilai KR=11,7 %

dan FR=10,23 %.

Nilai dominansi relatif masing-masing jenis juga bervariasi dari yang terendah sebesar 0,5 % untuk jenis Gluta renghas sampai dengan dominansi relatif tertinggi Diospyros celebica dengan nilai 17,32 %. Nilai dominansi jenis dihitung berdasarkan besarnya nilai diameter batang setinggi dada sehingga besarnya nilai dominansi ditentukan oleh kerapatan jenis dan ukuran rata-rata diameter batang. Jenis Eboni memiliki nilai dominansi tertinggi karena nilai kerapatannya paling tinggi dan ukuran batangnya cukup besar. Jenis kayu raja (Cassia fistula) juga memiliki nilai dominansi yang tertinggi kedua karena nilai kerapatannya lebih rendah dari Eboni, walaupun rata-rata diameter batang setinggi dada jenis Kayu raja lebih besar dibanding dengan Eboni.

Indeks nilai penting merupakan hasil penjumlahan dari ketiga parameter (kerapatan, frekwensi, dominansi) yang telah diukur sebelumnya, sehingga nilainya juga bervariasi. Lokasi Doloduo, Nilai INP tertinggi ditemukan pada jenis

Diospyros celebica (INP=52,45). Selain jenis eboni, beberapa jenis yang memiliki nilai INP tertinggi lainnya yang memiliki INP yang tinggi yaitu lebih dari 10 % adalah jenis kayu raja (Cassia fistula) INP=29,41; cempaka (Emerrellia ovalis) INP=21,23; Sangkongan (Ochrosia acuminata) dengan INP=12.69; tanjung (Mimusops sp) dengan INP=11.77; Kapuraca (Callophyllum inophyllum)

(34)

2. Hutan Torout

Hasil inventarisasi flora di hutan Torout untuk semua tingkatan pertumbuhan secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 7. Sedangkan hasil kerapatan, frekwensi, dominansi, dan indeks nilai penting tingkat pohon Jenis-jenis flora yang ditemukan di kompleks hutan Torout, kerapatan relatif, frekwensi relatif, dominasi relatif dan indeks nilai penting terdapat pada Lampiran 6-9.

Tingkat semai didominasi oleh Diospyros ebenum (INP=22,12),

Koorsidendron pinnatum (INP=17,57), Livistonya rotundifolia (INP=13,75),

Calamus sp. (INP=13,67). Tingkat sapihan didominasi oleh Planchonia valida(INP=39,73),Garcinia sp.(INP=16.04), Palaquium obtusifolium (INP=14,34),

Nephelium lappaceum(INP=12,92), Celtis philippensis(INP=12,53). Tingkat tiang didominasi oleh Cryptocarya sp.,(INP=18,45), Eugenia aquea (INP=16,17),

Gosampinus heptaphylla (INP=14,51), Ficus variegata (INP=13,33), Ficus rostata

(INP=12,47), Psychotroya malayana (INP=12,17). Tingkat Pohon Nauclea celebica (INP=32,54), Ficus benjamina (INP=26,92), Cedrela celebica

(INP=14,34), Octomeles sumatrana (INP=13,78), Celtis philippensis,(INP=12,19). Tabel 7. Kekayaan Jenis, Marga dan Suku Hutan Torout

Jumlah

(35)

Besarnya nilai dominansi ditentukan oleh kerapatan jenis dan ukuran rata-rata diameter batang. Nilai dominansi relatif masing-masing jenis bervariasi dari yang terendah sebesar 0,30 % untuk jenis Fragrea truncate sampai dengan dominansi relatif tertinggi Ficus benjamina dengan nilai 17,10 %. Jenis Ficus benjamina memiliki nilai dominansi tertinggi karena ukuran batangnya cukup besar dibanding maumar.

Jenis Nauclea celebica/maumar merupakan jenis yang memiliki indeks nilai penting tertinggi (32,54). Selain jenis maumar, beberapa jenis yang memiliki nilai INP tertinggi lainnya (lebih dari 10 %) adalah jenis Ficus benjamina/beringin dengan INP=26,93, Cedrela celebica/dolipoga dengan INP=14.34, Octomeles sumatrana/binuang dengan INP=13.79, Celtis philippensis dengan INP=12.20,Diospyros ebenum/buniok dengan INP=10.97.

Jenis maumar dan beringin merupakan dua jenis yang mendominansi lokasi hutan Torout karena memiliki nilai INP tertinggi. Besarnya indeks nilai penting menunjukkan peranan jenis yang bersangkutan dalam komunitasnya. Kemampuan kedua jenis tersebut dalam menempati sebagaian besar hutan Torout menunjukkan bahwa keduanya memiliki kemampuan untuk beradatasi dengan kondisi lingkungan setempat.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa indeks diversitas jenis pada hutan Torout adalah 3,49. Jika menggunakan kriteria Barbour et al. (1987) maka indeks diversiats jenis sebesar 3,49 tersebut termasuk dalam kategori tinggi. Nilai indeks diversitas tersebut menggambarkan kekayaan jenis pohon yang berada pada daerah hutan Torout.

(36)

3. Hutan Tumokang

Hasil inventarisasi flora untuk semua tingkatan secara lengkap pada petak penelitian di hutan Tumokang dapat dilihat pada Tabel 8. Jenis-jenis flora yang ditemukan di kompleks hutan Tumokang, kerapatan relatif,frekwensi relatif,dominansi relatif dan indeks nilai penting flora pada berbagai tingkatan dapat dilihat pada Lampiran 10 – 13. Tingkat semai didominasi oleh Areca vestiaria (INP=11.26), Canarium hirtusum(INP=10.05), Knema sp.(INP=8.74),

Dysoxylum amooroides(INP=7.84).Tingkat sapihan didominasi oleh Areca vestiaria ( INP=23.86), Livistonya rotundifolia (INP=16.07). Pometia pinnata( INP =15.84), Mimusop elengi (INP=13.43), Ochrosia acuminata(INP=13.14).

Tingkat tiang didominasi Gosampinus heptaphylla (INP=24.64), Diospyros ebenum(INP=22.16), Palaquium obovatum(INP=20.52), Koordersidendron pinnatum (INP=18.45), (INP =16.1 Xylopia sp), Gluta renghas (INP=15). Tingkat Pohon Pangium edule (INP=14.69), Nephelium lappaceum (INP=14.30), Baccaurea javanica (INP=13.70), Macaranga sp, (INP=13.15) Caryota sp,(INP= 12.93).

Tabel 8. Kekayaan Jenis, Marga dan Suku Hutan Tumokang Jumlah Tingkatan Flora

Jenis Marga Suku Semai dan Tumbuhan Bawah

Sapihan Tiang Pohon

73 61 50 51

51 42 48 43

35 30 32 29

(37)

jenis Hernandia ovigera. Cempaka/Elmerrillia ovalis merupakan jenis tumbuhan yang memiliki nilai kerapatan relatif tertinggi artinya jenis ini dianggap sebagai jenis yang rapat pada lokasi hutan Tumokang. Jenis lain yang juga memiliki nilai kerapatan yang tinggi adalah jenis Caryota sp./tanoyandengan nilai KR=5,46 %.

Frekwensi merupakan nilai besaran yang menyatakan derajat penyebaran jenis di dalam komuniasnya. Angka frekwensi diperoleh dengan melihat perbandingan jumlah dari petak-petak yang diduduki suatu jenis terhadap keseluruhan petak yang diambil sebagai petak contoh dalam melakukan analisis vegetasi. Jenis sumeding/Pangium edule merupakan jenis dengan nilai frekwensi tertinggi di hutan Tumokang (8,65%), sedangkan frekwensi terendah pada jenis kayu toraut / Vitex celebica.

Dominasi merupakan besaran yang digunakan untk menyatakan derajat penguasaan ruang atau tempat tumbuh, berapa luas area yang ditumbuhi oleh sejenis tumbuhan atau kemampuan suatu jenis tumbuhan untuk bersaing terhadap jenis lainnya. Nilai dominasi diekspresikan mutlak atau relatif yang menunjukkan persentase bahwa nilai spesies individu merupakan total untuk semua spesies. Nilai dominansi relatif masing-masing jenis di hutan Tumokang bervariasi dari yang terendah sebesar 0,23 % untuk jenis kedondong /

Chrysophyllum lanceolatum sampai dengan dominansi relatif tertinggi pada jenis

Macaranga sp. dengan nilai 8,51 %. Nilai dominansi jenis dihitung berdasarkan besarnya nilai diameter batang setinggi dada sehingga besarnya nilai dominansi ditentukan oleh kerapatan jenis dan ukuran rata-rata diameter batang. Jenis

Macaranga memiliki nilai dominansi tertinggi karena ukuran batangnya cukup besar.

(38)

dalam menempati sebagaian besar hutan Tumokang menunjukkan bahwa keduanya memiliki kemampuan untuk beradatasi dengan kondisi lingkungan setempat. Jenis sumeding yang memiliki diameter yang lebih besar diperkirakan lebih dahulu tumbuh pada lokasi ini. Berdasarkan INP seluruh jenis selanjutnya dihitung indeks diversitas (H’) Shannon-Wiener.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa indeks diversitas jenis adalah 3,76. Nilai indeks diversitas tersebut menggambarkan kekayaan jenis pohon yang berada pada daerah hutan Tumokang. Berdasarkan nilai keanekaragaman jenis tersebut, selanjutnya dapat ditentukan nilai kemerataan jenis dalam komunitas tersebut.

Nilai kemerataan pada masing-masing lokasi berbeda-beda. Perbedaan nilai kemerataan tersebut disebabkan karena nilai INP masing-masing jenis disetiap lokasi juga bervariasi. Hasil perhitungan kemerataan menunjukkan nilai 0,96. Nilai kemerataan suatu jenis ditentukan oleh distribusi setiap jenis pada masing-masing plot secara merata. Makin merata suatu jenis dalam seluruh lokasi penelitian, maka makin tinggi nilai kemerataannya. Demikian juga sebaliknya jika beberapa jenis tertentu dominan sementara jenis lainnya tidak dominan atau densitasnya lebih rendah, maka nilai kemerataan komunitas yang bersangkutan akan lebih rendah.

4. Hutan Matayangan

Hasil inventarisasi flora untuk semua tingkatan secara lengkap pada petak penelitian di hutan Matayangan dapat dilihat pada Tabel 9. Jenis-jenis flora yang ditemukan di kompleks hutan Matayangan, kerapatan relatif, frekwensi relatif, dominansi relatif dan indeks nilai penting flora pada berbagai tingkatan dapat dilihat pada Lampiran 14 – 17. Tingkat semai didominasi oleh Diospyros ebenum (INP=22,12); Areca vestiaria (INP=17,57), Knema celebica

(INP=14,70); Livistonya rotundifolia (INP=13,75); Calamus sp. (INP=13,67). Tingkat sapihan didominasi oleh Homalium celebicum (INP=13,43), Dacryodes rostata (INP=19,11), Areca vestiaria (INP=17,17), Canarium hirtusum

(INP=14,13); Celtis philippensis (INP=13,80); Knema tomentela (INP=13,03),

Palaquium obovatum (INP=11,69), Gnetum gnemon (INP=11,10),

(39)

celebica (INP=36,28), Celtis philippensis (INP=27,86), Ficus benjamina

(INP=20,41), Pterocarpus indica (INP =12,12), Ochrosia acuminnata (INP =10,70), Pometia sp. (INP =10,64), Tingkat Pohon Canarium hirtusum

(INP=32,06); Canarium balsamiferum (INP=25,01), Celtis philippensis

(INP=16,78); Palaquium obtusifolium (INP=14,82), Diospyros celebica

(INP=13,21), Garcinia sp. (INP=12,28), Dacryodes rostata (INP=11,01). Tabel 9. Kekayaan Jenis, Marga dan Suku Hutan Matayangan

Jumlah

Jenis-jenis flora tingkat pohon yang ditemukan di komplek hutan Matayangan, kerapatan relatif, frekwensi relatif, dominansi relatif dan indeks nilai penting flora pada Lampiran 13-16. Nilai kerapatan relatif tertinggi 12,00 % pada jenis pala hutan (Knema celebica ) sedangkan kerapatan relatif terendah 0,67 % pada jenis karengis (Homalium celebicum). Pala hutan (Knema celebica ) merupakan jenis tumbuhan yang memiliki nilai kerapatan relatif dan frekwensi relatif tertinggi artinya jenis ini dianggap sebagai jenis yang rapat serta tersebar luas pada hampir seluruh lokasi hutan Matayangan. Jenis lain yang juga memiliki nilai kerapatan relatif dan frekwensi relatif yang tinggi adalah jenis Canarium hirtusum / papako dengan nilai KR= 10,67 % dan FR = 8,59 %. Kedua nilai ini penting artinya dalam analisis vegetasi karena saling terkait satu dengan yang lainnya. Bahkan menurut Greig-Smith (1983) nilai frekwensi suatu jenis dipengaruhi secara langsung oleh densitas dan pola distribusinya. Meskipun memberikan informasi yang penting, nilai distribusi hanya dapat memberikan informasi tentang kehadiran tumbuhan tertentu dalam suatu plot dan belum dapat memberikan gambaran tentang jumlah individu pada masing-masing plot.

(40)

komunitas tertentu besarnya ditentukan oleh metode sampling, ukuran kuadrat, ukuran tumbuhan dan distribusinya.

Nilai dominansi jenis dihitung berdasarkan besarnya nilai diameter batang setinggi dada sehingga besarnya nilai dominansi ditentukan oleh kerapatan jenis dan ukuran rata-rata diameter batang. Nilai dominansi relatif masing-masing jenis bervariasi dari yang terendah sebesar 2,51 % untuk jenis karengis (Homalium celebicum) sampai dengan dominansi relatif tertinggi yaitu Knema celebica / pala hutan dengan nilai 11,47 %. Jenis pala hutan memiliki nilai dominansi tertinggi karena nilai kerapatannya paling tinggi dan ukuran batangnya cukup besar. Jenis papako Canarium hirtusum juga memiliki nilai dominansi yang tertinggi kedua (8,87%) karena nilai kerapatannya lebih rendah dari pala hutan, walaupun rata-rata diameter batang setinggi dada jenis kayu papako lebih besar dibanding dengan pala hutan

Indeks nilai penting merupakan hasil penjumlahan dari ketiga parameter (kerapatan, frekwensi, dominansi) yang telah diukur sebelumnya, sehingga nilainya juga bervariasi. Nilai INP tertinggi di hutan Matayangan ditemukan pada jenis pala hutan Knema celebica (INP = 33,07). Selain jenis pala hutan , beberapa jenis yang memiliki nilai INP tertinggi lainnya yang memiliki INP yang tinggi yaitu lebih dari 10 % adalah jenis Canarium hirtusum / papakoINP=28,13;

C. balsamiferum/ Ta’re INP=16,95, Celtis phillipinensis dengan NP=15.67, Palaquium obtusifolium/Nantu dengan INP=12.23 ; Dyospyros hiernii /kayu eboni hitam(INP = 12,06).

Besarnya indeks nilai penting menunjukkan peranan jenis yang bersangkutan dalam komunitasnya . Jenis pala hutan dan papako merupakan dua jenis yang mendominansi lokasi hutan Matayangan karena memiliki nilai INP tertinggi. Kemampuan kedua jenis tersebut dalam menempati sebagaian besar hutan Matayangan menunjukkan bahwa keduanya memiliki kemampuan untuk beradatasi dengan kondisi lingkungan setempat.Jenis cempaka yang memiliki diameter yang lebih besar diperkirakan lebih dahulu tumbuh pada lokasi ini.

(41)

lokasi lainnya. Perbedaan nilai kemerataan tersebut disebabkan karena nilai INP masing-masing jenis disetiap lokasi juga bervariasi.

5. Hutan Gunung Kabila

Komposisi dan struktur tumbuhan bervariasi pada setiap jenis karena adanya perbedaan karakter masing-masing pohon. Hasil inventarisasi flora untuk semua tingkatan secara lengkap pada petak penelitian di hutan Gunung Kabila dapat dilihat pada Tabel 10. Jenis-jenis flora yang ditemukan di kompleks hutan G.Kabila, kerapatan relatif, frekwensi relatif, dominansi relatif dan indeks nilai penting flora pada berbagai tingkatan dapat dilihat pada Lampiran 18 – 21.

Tingkat semai dan tumbuhan bawah hutan G. Kabila didominasi oleh

Areca vestiaria (INP=11,18), Palaquium obovatum (INP=7,72), Eugenia sp. (INP =7,50), Dysoxylum euphlebium (INP=7,22), Cassia fistula (INP=7,06). Tingkat sapihan didominasi oleh Maranthes corymbosa ( INP=19,76) Areca vestiaria ( INP=16,32), Palaquium obstusifolium (INP=12.69). Heritiera sp. ( INP=12,26),

Pinanga caesia (INP=12,14), Dracontomelon dao(INP=10,54). Tingkat tiang didominasi oleh Pangium edule (INP=19,48), Sysygium sp.(INP=15,07),

Koorsidendron pinnatum (INP=14,29), Palaquium obovatum(INP =13,31),

Maranthes corymbosa (INP=12,14), Canarium acutifolium (INP=11,93), Pinanga caesia (INP=11,03). Tingkat Pohon Dracontomelon dao (INP=27,81), Maranthes corymbosa (INP=20,00), Palaquium obtusifolium (INP=19,37), Elmerrillia ovalis

(INP=15,94), Polialthia rumphii (INP=12,82), Dyospyros hiernii (INP=12,66), Elmerrillia celebica (INP=12,65), Pterospermum celebicum (INP=12,17), Knema celebica (INP=11,36).

Tabel 10. Kekayaan Jenis, Marga dan Suku Hutan Gunung Kabila Jumlah

(42)

penting flora pada Lampiran 18-21. Nilai kerapatan relatif tertinggi 8,81 % pada jenis rao (Dracontomelon dao) sedangkan kerapatan relatif terendah 0,64 % pada jenis kayu torout (Vitex glabrata). Rao (Dracontomelon dao) merupakan jenis tumbuhan yang memiliki nilai kerapatan relatif dan frekwensi relatif tertinggi artinya jenis ini dianggap sebagai jenis yang rapat serta tersebar luas pada hampir seluruh lokasi hutan G. Kabila. Jenis lain yang juga memiliki nilai kerapatan relatif yang tinggi adalah jenis nantu Palaquium obtusum dengan nilai KR= 7,64 %.

Nilai frekwensi relatif bervariasi dari yang tertinggi pada jenis kayu batu (Maranthes corymbosa) dengan nilai FR = 11,02 %, dan terendah pada jenis kayu torout (Vitex glabrata) dengan nilai FR = 0,85. Berkaitan dengan nilai frekwensi suatu jenis, Kershaw (1979) dan Crawley (1986) mengemukakan bahwa frekwensi suatu jenis dalam komunitas tertentu besarnya ditentukan oleh metode sampling, ukuran kuadrat, ukuran tumbuhan dan distribusinya. Nilai kerapatan dan frekwensi penting artinya dalam analisis vegetasi karena saling terkait satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu jenis yang memiliki nilai kerapatan dan frekwensi tertinggi (jenis rao, kayu batu dan nantu) termasuk kategori jenis yang memiliki kemampuan adatasi yang baik terhadap kondisi lingkungan.

Distribusi tumbuhan pada suatu komunitas tertentu dibatasi oleh kondisi lingkungan. Keberhasilan setiap jenis dipengaruhi oleh kemampuannya beradaptasi secara optimal terhadap seluruh faktor lingkungan fisik ( temperatur, cahaya, struktur tanah, kelembaban, dan sebagainya, faktor biotik (interaksi antar jenis, kompetisi, parasitisme, dan sebagainya, dan faktor kimia yang meliputi ketersediaan air, oksigen, pH, nutrisi dalam tanah dan sebagainya yang saling berinteraksi (Balakhrisnan 1994; Krebs, 1994).

(43)

kedua (6,76%) karena nilai kerapatannya lebih rendah dari jenis rao, walaupun rata-rata diameter batang setinggi dada jenis kayu cempaka lebih besar dibanding dengan jenis rao.

Indeks nilai penting merupakan hasil penjumlahan dari ketiga parameter (kerapatan, frekwensi, dominansi) yang telah diukur sebelumnya, sehingga nilainya juga bervariasi. Nilai INP tertinggi ditemukan pada jenis Dracontomelon dao/Rao (INP = 33,07). Selain jenis kayu rao , beberapa jenis yang memiliki nilai INP tertinggi lainnya yang memiliki INP lebih dari 10 % adalah jenis kayu batu (Maranthes corymbosa) INP=20,00; kayu nantu Palaquium obtusifolium

INP=19,37, jenis cempaka Elmerillia ovalis dengan INP=15.94, Nauclea celebica/ maumar dengan INP=13.27; Pomosion Polyalthia rumphii dengan INP=12,82,

Dyospyros hiernii/kayu eboni hitam(INP=12,66), kayu wasian/Elmerillia celebica

dengan INP=12,65, Nunuk Ficus benjamina dengan INP=12,17, pala/Knema tomentela dengan INP=11,36, kayu aliwowos/Homalium foetidum dengan INP=10,61.

Jenis rao dan kayu batu merupakan dua jenis yang mendominansi lokasi hutan G. Kabila karena memiliki nilai INP tertinggi. Kemampuan kedua jenis tersebut dalam menempati sebagaian besar hutan G.Kabila menunjukkan bahwa keduanya memiliki kemampuan untuk beradatasi dengan kondisi lingkungan setempat. Jenis kayu batu yang memiliki diameter yang lebih besar diperkirakan lebih dahulu tumbuh pada lokasi ini.

(44)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Berdasarkan inventarisasi pada petak-petak di 5 lokasi TNBNW tercatat sebanyak 301 jenis flora yang tergolong kedalam 114 marga dan 45 suku. 2. Vegetasi yang berhabitus semai 142 jenis, sapihan 144 jenis, tiang 110 jenis

dan pohon 131 jenis

3. Vegetasi yang berhabitus pohon lokasi Doloduo terdiri dari 39 jenis dengan jenis dominan eboni (Diospyros celebica) INP = 32,85 dan kayu raja (Cassia fistula). Indeks diversitas jenis pohon sebesar 3,59 sedangkan indeks kemerataan sebesar 0,92.

4. Hutan Torout ditemukan 39 jenis pohon dengan jenis dominan Nauclea celebica (INP = 32,54). Indeks diversitas jenis pohon sebesar 3,49 sedangkan indeks kemerataan sebesar 0,91.

5. Hutan Tumokang ditemukan 50 jenis pohon dengan jenis dominan Pangium edule (INP =14.69), Nephelium lappaceum (INP =14.30). Indeks diversitas jenis pohon sebesar 3,99 sedangkan indeks kemerataan sebesar 0,96. 6. Hutan Matayangan ditemukan 39 jenis pohon dengan jenis dominan

Canarium hirtusum (INP=32,06). Indeks diversitas jenis pohon sebesar 3,99 sedangkan indeks kemerataan sebesar 0,96.

7. Lokasi Gunung Kabila terdiri dari 35 jenis pohon dengan jenis dominan

Dracontomelon dao (INP = 27,81). Indeks diversitas jenis pohon sebesar 3,98 sedangkan indeks kemerataan sebesar 0,95.

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian unit-unit sampling di lokasi lain (kawasan konservasi I) meliputi struktur dan penyebaran tumbuhan di TNBNW.

Gambar

Gambar  7.   Dendrogram Kesamaan Komunitas Flora TNBNW
Tabel 11.  Nilai Kualitas Suatu Jenis Tumbuhan Obat menurut kategori
Tabel 12.  Kategori yang menggambarkan tentang intensitas penggunaan
Gambar 8. Jumlah jenis tumbuhan obat berdasarkan habitusnya
+7

Referensi

Dokumen terkait

Transformator distribusi adalah peralatan tenaga listrikyang berfungsi untuk menurunkan tegangan tinggi ke tegangan rendah, agar tegangan yang dipakai sesuai dengan

Berbeda dengan penelitian ini, layanan penguasaan konten diberikan untuk meningkatkan kecerdasan interpersonal siswa di mana tidak hanya keterampilan komunikasi saja

Masalah – masalah tersebut di atas juga dibuktikan dengan kajian hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Pautina (2012) yang menjelaskan bahwa siswa yang

Access juga dapat digunakan sebagai sebuah basis data untuk aplikasi Web dasar yang disimpan di dalam server yang menjalankan Microsoft Internet Information Services (IIS)

Sebagai bagian integral dari manajemen mutu sekolah, manajemen pembelajaran berbasis mutu menjadi satu bagian penting yang harus didorong untuk tetap terukur dan

Orang yang berstatus lajang lebih mampu bersosialisasi dengan baik terhadap teman, tetangga, orangtua, dan saudara kandung ketimbang orang seusianya yang telah

Prinsip-prinsip yang akan digunakan dalam kegiatan pengembangan kurikulum pada dasarnya merupakan kaidah-kaidah atau hukum yang akan menjiwai

Sosialiasi yang dilakukan oleh pihak Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surabaya Gubeng semata-mata dilakukan untuk mengenalkan Faktur Pajak Elektronik kepada Pengusaha