• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA PROSES PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA PROSES PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA PROSES PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh : Ryan Archie

Tindak pidana korupsi semakin merajalela terjadi yang disertai dengan tidak adanya lagi rasa malu untuk melakukan perbuatan tersebut dikalangan pegawai negeri dan penyelenggara negara, serta semakin tersistematis dan canggihnya perbuatan tersebut Penerapan pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi memang di satu pihak akan merugikan terdakwa, karena hak-haknya kurang terlindungi, tetapi di lain pihak hal ini akan membawa kebahagiaan atau kemanfaatan bagi banyak orang, karena dapat mengurangi tindak pidana korupsi yang telah begitu banyak merugikan negara. Permasalahan dalam penelitian ini adalahah bagaimanakah pengaturan sistem pembuktian terbalik di Indonesia dalam perkara tindak pidana korupsi dan bagaimanakah penerapan sistem pembuktian terbalik pada proses perkara tindak pidana korupsi.

(2)

Ryan Archie

dan Pasal 37 UU No. 20 Tahun 2001. Kemudian terhadap kepemilikan harta kekayaan pelaku yang diduga keras merupakan hasil tindak pidana korupsi diatur dalam ketentuan Pasal 37A dan Pasal 38B ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001. Penerapan sistem pembuktian terbalik pada proses perkara tindak pidana korupsi sifatnya terbatas. Terbatas disini maksudnya adalah bahwa yang wajib dibuktikan oleh terdakwa hanyalah terbatas pada asal-usul harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana. Untuk unsur-unsur lainnya dari tindak pidana tersebut beban pembuktiannya berada di Jaksa Penuntut Umum. Pada prakteknya sistem pembuktian terbalik yang ditetapkan tidak menggunakan asas praduga bersalah secara mutlak, tetapi secara terbatas dan berimbang dimana di satu sisi terdakwa harus membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana dan Jaksa Penuntut Umum juga harus membuktikan tuntutannya.

Disarankan adanya perubahan terhadap ketentuan hukum acara pidana di Indonesia karena tampaknya sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang terjadi saat ini, dimana secara gamblang dapat kita lihat khususnya mengenai pengaturan mengenai beban pembuktian belum diatur mengenai pembuktian terbalik di dalam ketentuan tersebut sehingga menimbulkan kebingungan dari aparat penegak hukum dalam menerapkan sistem pembuktian terbalik.

(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi sebenarnya bukanlah masalah baru di Indonesia, karena telah ada sejak era tahun 1950-an. Bahkan berbagai kalangan menilai bahwa korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan, menjadi suatu sistem dan menyatu dengan penyelenggaraan peme-rintahan negara. Kasus-kasus korupsi yang sarat muatan politis makin meningkat setelah krisis moneter terjadi di Indonesia.1 Dalam hal ini gejala yang obvious, yaitu kerusuhan sosial dan krisis moneter, dianggap bersumber pada se-suatu yang sama sekali berbeda, remang-remang dan bersifat politik. 2

Penanggulangan korupsi di era tersebut maupun dengan menggunakan perangkat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi banyak menemui kegagalan. Kegagalan tersebut antara lain disebabkan karena berbagai institusi yang dibentuk untuk pemberantasan korupsi tidak menjalankan fungsinya dengan efektif, pe-rangkat hukum yang lemah, ditambah dengan aparat penegak hukum yang tidak sungguh-sungguh menyadari akibat serius dari tindakan korupsi. Lebih lanjut, Baharudin Lopa menya-takan bahwa

1 Otto Cornelis Caligis, “Korupsi Sebagai Tndakan Kriminal yang Harus Diberantas:

Karakter dan Prakek Hukum di Indonesia”.Jurnal Equality, Volume.11, No.02,2006, hlm. 152. 2Ibid,

(4)

2

terdapat 11 (sebelas) faktor penyebab terjadinya korupsi di Indonesia, yaitu:Kerusakan moral, Kelemahan sistem, Kerawanan sosial ekonomi, Tindakan hukum yang belum tegas, Seringnya pejabat minta sumbangan, Pungli, Kurangnya pengertian tentang tindak pidana korupsi, Penyeleng-garaan pemerintahan dan pembangunan yang serba tertutup, Lemahnya kontrol DPR, Lemahnya perundang-undangandan gabungan dari sejumlah faktor yang menyebabkan ter-jadinya korupsi.3

Korupsi pada umumnya dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan dalam suatu jabatan, sehingga karakteristik kejahatan korupsi selalu berkaitan dengan penyalah-gunaan kekuasaan, dalam perspektif kejahatan yang terorganisir, korupsi pada akhirnya di-jadikan sebagai modus operandi untuk mem-bangun diri sebagai kekuatan besar dari kejahatan terorganisir, sebagaimana dinyata-kan oleh Syed Hussain Alatas bahwa korupsi adalah senjata utama kejahatan utama yang terorganisir untuk memantapkan kekuasaan dan kebebasan untuk berbuat. Korupsi yang terjadi dalam lingkungan kekuasaan tergambar dalam adagium yang diungkapkan oleh Lord Acton, yakni kekuasan cenderung korup dan kekuasaan mutlak korup secara mutlak.

Menunjuk pada pendapat Daniel. P. Huntington bahwa modernisasi me-ngembangbiakkan korupsi karena membuka sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan baru, melipat gandakan kegiatan-kegiatan yang diatur oleh peraturan pemerintah. Ruang lingkup terjadinya korupsi adalah berada dalam lingkungan kekuasaan atau wewenang atau kedudukan. Pemegang kekuasaan merupakan

3

(5)

orang-orang yang memiliki pribadi dan intelektualitas tinggi, sehingga mempunyai banyak akal untuk mempermudah perbuatan-nya yang koruptif. Pada tahun 2004 Trans-perancy Internasional mengumumkan kembali Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang menyebutkan bahwa posisi Indonesia berada di urutan kelima negara terkorup di dunia dari 146 yang diteliti.4

Sistem Hukum Pidana Formil Indonesia, khususnya KUHAP, sudah dimaklumi bahwa beban pembuktian ada atau tidaknya pidana yang dilakukan terletak pada Jaksa Penuntut Umum. Pasal 137 KUHAP menyebutkan :

“Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun

yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang

mengadilinya.”

Apabila ketentuan ini dihubungkan dengan Pasal 183 KUHAP maka penuntutan suatu perkara pidana tetap memiliki limitasi minimum dua alat bukti untuk menentukan apakah seorang terdakwa ini bersalah atau tidak bersalah. Jadi sebagai suatu lex generalis, sistem beban pembuktian (umum) dalam perkara tindak pidana diletakan pada beban Jaksa Penuntut Umum.

Sistem Beban Pembuktian Khusus pada kasus Korupsi sebelumnya kita telah mengetahui bahwa lex generalis, sistem beban pembuktian (umum) dalam perkara tindak pidana diletakan pada beban Jaksa Penuntut Umum. Bagaimana dengan kasus Tindak Pidana Korupsi (TPK). TPK merupakan pengecualian dan memiliki sifat khusus yang berkaitan dengan Hakim Pidana Materiil maupun Formil. Masalah beban pembuktian, sebagai bahagian dari hukum pidana formil

4

A Djoko Sumaryanto,”Rancangan Model Penyidikan Tindak Pidana di

(6)

4

mengalami perubahaan paradigma sejak diberlakukan Undang-undang No. 3 tahun 1971 dan Undang-undang No 31 tahun 1999.

Pasal 17 Undang-Undang No. 3 tahun 1971 ayat 1,2,3,4 menunjukkan beban pembuktian dalam perkara TPK mengalami perubahan paradigma baru. Di sini terjadi pergeseran beban pembuktian belum mengarah pada pembalikan beban pembuktian sebagaimana anggapan masyarakat hukum pidana terdahulu.5 Memang terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana setelah diperkenankan hakim, namun hal ini tidak bersifat imperatif artinya apabila terdakwa tidak mempergunakan kesempatan ini justru memperkuat dugaan jaksa penuntut umum.

Undang-undang No. 31 tahun 1999 aturan tentang beban pembuktian terdapat pada Pasal 37. Sistem pembalikan beban pembuktian dalam kedua undang-undang ini masih terbatas karena masih menunjuk peran Jaksa penuntut umum memiliki kewajiban membuktikan kesalahannya.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji kembali mengenai sistem pembuktian terbalik, oleh karena itu peneliti ingin menuangkan hasil penelitian tersebut dalam penulisan hukum yang berjudul “Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik Pada Proses Perkara Tindak Pidana Korupsi”.

5

(7)

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Rumusan Masalah

Untuk mempermudah dalam pembahasan permasalahan yang akan diteliti maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pengaturan sistem pembuktian terbalik di Indonesia dalam perkara tindak pidana korupsi?

b. Bagaimanakah penerapan sistem pembuktian terbalik pada proses perkara tindak pidana korupsi?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun yang menjadi ruang lingkup pembahasan dalam penelitian ini hanya terbatas pada pengaturan sistem pembuktian terbalik di Indonesia dalam perkara tindak pidana korupsi dan penerapan sistem pembuktian terbalik pada proses perkara tindak pidana korupsi. Sedangkan dalam lingkup bidang ilmu adalah bidang hukum acara pidana khususnya sistem pembuktian terbalik dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

(8)

6

a. Untuk mengetahui pengaturan sistem pembuktian terbalik di Indonesia dalam perkara tindak pidana korupsi.

b. Untuk mengetahui penerapan sistem pembuktian terbalik pada proses perkara tindak pidana korupsi.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain: a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum pidana yang menyangkut pengaturan sistem pembuktian terbalik di Indonesia dalam perkara tindak pidana korupsi.

b. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada Praktisi Hukum dan masyarakat mengenai pengaturan sistem pembuktian terbalik di Indonesia dalam perkara tindak pidana korupsi.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi social yang dianggap relevan oleh peneliti.6

6

(9)

Pembuktian menurut Yahya Harahap adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.7

Menurut Bambang Poernomo pembuktian adalah keseluruhan aturan hukum atau aturan undang-undang mengenai kegunaan untuk merekonstruksi suatu kenyataan yang benar dari setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang lain yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana.8

Berdasarkan pengertian pengertian di atas dapat dikatakan bahwa inti dari hukum pembuktian adalah :

1) Hukum pembuktian merupakan ketentuan-ketentuan yang memberikan pedoman mengenai cara-cara untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa yang dibenarkan oleh undang-undang

2) Hukum pembuktian mengatur mengenai jenis-jenis alat bukti yang boleh digunakan hakim dan diakui undang-undang yang digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa

3) Hukum pembuktian merupakan ketentuan yang mengatur cara menggunakan maupun menilai kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti.

7

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan edisi kedua. Sinar Grafika, Jakarta 2009, hlm.36

8

(10)

8

Secara teoritis teori tentang pembuktian ada 4 (empat) macam, yaitu :

1) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijke bewijs theorie).

2) Sistem atau teori Pembuktian Negatif. 3) Sistem atau teori Pembuktian Bebas.

4) Sistem atau teori pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (La Confiction Raisonnee)

Sistem pembuktian terbalik, dalam hal ini tersangka atau terdakwa harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atas apa yang disangkakan atau dituduhkan kepadanya. Oleh karena itu pembuktian terbalik ini merupakan pengingkaran, penyimpangan, pengecualian terhadap "presumption of innocence" dan "non self incrimination" dan ataupun bertentangan dengan asas yang berlaku. Dalam delik korupsi di Indonesia diterapkan dua sistem sekaligus, yakni Sistem Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan sekaligus dengan sistem KUHAP. Kedua teori itu ialah penerapan hukum pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, dan yang mengunakan sistem pembuktian negatif menurut undang-undang. Jadi tidak menerapkan teori pembuktian terbalik murni, (zuivere omskering bewijstlast), tetapi teori pembuktian terbalik terbatas dan berimbang.

Penjelasan atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999 dikatakan pengertian

“pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang”, yakni terdakwa

(11)

harta benda istrinya atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan Penuntut Umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaaannya. Kata-kata

“bersifat terbatas” di dalam memori atas Pasal 37 dikatakan, bahwa apabila

terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa “terdakwa tidak melakukan tindak

pidana korpsi”, Hal itu tidak berarti terdakwa tidak terbukti melakukan korupsi

sebab Penuntut Umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaaanya.9

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti (Soerjono Soekanto,1986; 132). Agar tidak terjadi kesalahpahaman pada pokok permasalahan, maka dibawah ini penulis memberikan beberapa konsep yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami tulisan ini. Berdasarkan judul akan diuraikan berbagai istilah sebagai berikut :

a. Penerapan adalah perbuatan menerapkan,menurut beberapa ahli berpendapat bahwa, penerapan adalahsuatu perbuatan mempraktekkan suatu teori, metode, dan hal lain untuk mencapai tujuan tertentu dan untuk suatu kepentingan yang diinginkan oleh suatu kelompok atau golongan yang telah terencana dan tersusun sebelumnya.10

9

Martiman Prodjomidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Kasus Korupsi, Mandar Maju, Bandung. 2001, hlm 107.

10

(12)

10

b. Sistem pembuktian terbalik adalah pembuktian yang mana tesangka atau terdakwa harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atas apa yang disangkakan atau dituduhkan kepadanya.11

c. Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 UU PTPK).

E. Sistematika Penelitian Hukum

Untuk mempermudah pemahaman mengenai pembahasan dan memberikan gambaran mengenai sistematika penelitian hukum yang sesuai dengan aturan dalam penelitian hukum, maka penulis menjabarkannya dalam bentuk sistematika penelitian hukum yang terdiri dari 5 (lima) bab. Adapun penulis menyususn sistematika penelitian hukum sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Pada bab ini diuraikan mengenai pendahuluan yang terdiri dari : Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan Hukum.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini diuraikan mengenai tinjauan pustaka yang terdiri dari kerangka teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori berisi tentang tinjauan umum tentang tindak pidana korupsi, tinjauan umum tentang pembuktian, tinjauan umum tentang asas pembuktian terbalik.

11

(13)

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini memuat metode yang digunakan dalam penulisan yang menjelaskan mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah, yaitu dalam memperoleh dan megklasifikasikan sumber dan jenis data, serta prosedur pengumpulan data dan pengolahan data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan penjelasan dari hasil penelitian dan pembahasan mengenai penerapan sistem pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi penerapan sistem pembuktian terbalik pada proses perkara tindak pidana korupsi.

V. PENUTUP

(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana

1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana

Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, barangsiapa melanggar larangan tersebut.12 Adapun beberapa tokoh yang memiliki perbedaan pendapat tentang peristilahan

strafbaarfeit” atau tindak pidana, antara lain :

1) Simons

Tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.13

2) Wirjono Prodjodikoro

Tindak pidana merupakan pelanggaran norma-norma dalam 3 (tiga) bidang hukum lain, yaitu hukum perdata, hukum ketatanegaraan, dan hukum tata usaha

12

Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2002, hlm. 71.

13

(15)

pemerintah, yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukum pidana.14

3) Pompe

Tindak pidana adalah suatu pelanggaran terhadap norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.15

Beberapa peristilahan dan definisi diatas, menurut pendapat penulis yang dirasa

paling tepat digunakan adalah “Tindak Pidana dan Perbuatan Pidana”, dengan

alasan selain mengandung pengertian yang tepat dan jelas, sebagai istilah hukum juga sangat praktis diucapkan dan sudah dikenal oleh masyarakat pada umumnya. Menurut Moeljatno, Perbuatan Pidana didefinisikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.16 Menurut Moeljatno, yang dikutib oleh Adam Chazawi perbuatan pidana lebih tepat digunakan dengan alasan sebagai berikut :

1) Perbuatan yang dilarang adalah perbuatannya (perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya. Sementara itu, ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya.

2) Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang ditujukan pada orangnya), ada hubungan yang erat. Oleh karena itu,

14

Wiryono Prodjodikoro, Op, Cit, hlm. 01 15

PAF Lamintang, Op, Cit, hlm. 182. 16

(16)

14

perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula.

3) Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah, maka lebih tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan konkret yaitu pertama, adanya kejadian tertentu (perbuatan), dan kedua, adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu.17

Sudradjat Bassar menyimpulkan pengertian perbuatan pidana yang didefinisikan oleh Moeljatno bahwa suatu perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana apabila perbuatan tersebut :

1) melawan hukum, 2) merugikan masyarakat, 3) dilarang oleh aturan pidana,

4) pelakunya diancam dengan pidana. 18

Butir 1) dan 2) menunjukkan sifat perbuatan, sedangkan butir 3) dan 4) merupakan pemastian dalam suatu tindak pidana. Menurut Roeslan Saleh, perbuatan pidana didefinisikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum.19 Beliau membedakan istilah perbuatan pidana dengan strafbaarfeit. Ini dikarenakan perbuatan pidana hanya menunjuk pada sifat perbuatan yang terlarang oleh peraturan perundang-undangan. Soedarto memakai istiah tindak pidana sebagai pengganti dari pada

(17)

strafbaarfeit, adapaun alasan beliau karena tindak pidana sudah dapat diterima oleh masyarakat.

Terdapat kelompok sarjana yang berpandangan monistis dan dualistis dalam kaitannya dengan tindak pidana. Pandangan monistis berpendapat bahwa semua unsur dari suatu tindak pidana yaitu unsure perbuatan, unsur memenuhi ketentuan undang-undang, unsur sifat melawan hukum, unsur kesalahan dan unsur bertanggungjawab digunakan sebagai satu kesatuan yang utuh, sehingga memungkinkan untuk dijatuhkan pidana kepada pelakunya. Mereka yang berpandangan dualistis, memisahkan perbuatan dengan pertanggungajawaban pidana dalam pengertian jika perbuatan tersebut telah memenuhi unsur yang terdapat dalam rumusan undang-undang, maka perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana. Mengenai pelaku tersebut, dalam hal pertanggungjawaban pidana, masih harus ditinjau secara tersendiri, apakah pelaku tersebut mempunyai kualifikasi tertentu sehingga ia dapat dijatuhi pidana. Sebagai contoh apabila pelaku mengalami gangguan jiwa maka ia tidak dapat dipidana.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

(18)

16

a. Unsur Subyektif

Yaitu hal-hal yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan dengan si pelaku, yang terpenting adalah yang bersangkutan dengan batinnya. Unsur subyektif tindak pidana meliputi :

a) Kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa); b) Niat atau maksud dengan segala bentuknya; c) Ada atau tidaknya perencanaan;

b. Unsur Obyektif

Merupakan hal-hal yang berhubungan dengan keadaan lahiriah yaitu dalam keadaan mana tindak pidana itu dilakukan dan berada diluar batin si pelaku.

a) Memenuhi rumusan undang-undang b) Sifat melawan hukum;

c) Kualitas si pelaku;

d) Kausalitas, yaitu yang berhubungan antara penyebab tindakan dengan akibatnya.

Pada dasarnya unsur tindak pidana tidak terlepas dari dua faktor yaitu faktor yang ada dalam diri si pelaku itu sendiri dan faktor yang timbul dari luar diri si pelaku atau faktor lingkungan.

3. Jenis Tindak Pidana

(19)

undang-undang adalah perbuatan yang oleh masyarakat baru dirasa sebagai tindak pidana karena ada peraturan perundangundangan yang mengaturnya. Menurut M.v.T (Memorie van Toelichting) yang dikutib oleh Moeljatno, bahwa kejahatan

adalah “rechtsdelicten” yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak

ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagi perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Sedangkan pelanggaran

adalah “wetsdelicten” yaitu perbuatan-perbuatan yang sifatnya melawan

hukumnya baru dapat diketahui setelah ada ketentuan yang menentukan demikian.20

Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pembagian atas kejahatan dan pelanggaran didasarkan pada berat ringannya pidana. Kejahatan terdapat dalam Buku II, dan Pelanggaran diatur dalam Buku III. Ancaman pidana dalam kejahatan relatif lebih berat daripada pelanggaran. Beberapa perbedaan tersebut dapat dilihat dari : a) Dalam hal percobaan, hanya kejahatan yang dapat dipidana, sedangkan

percobaan dalam pelanggaran tidak dipidana.

b) Hal pembantuan, pembantuan dalam hal melakukan tindak pidana kejahatan dapat dipidana, dalam hal pembantuan melakukan tindak pidana pelanggaran tidak dipidana.

c) Dalam hal penyertaan yang dilakukan terhadap tindak pidana menggunakan alat percetakan hanya berlaku bagi kejahatan, sedangkan dalam pelanggaran tidak berlaku.

20

(20)

18

d) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia hanya diberlakukan bagi setiap pegawai negeri yang di luar wilayah hukum Indonesia melakukan kejahatan jabatan, dan bukan pelanggaran jabatan.

e) Tenggang daluwarsa, baik untuk hak menentukan maupun hak penjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek daripada kejahatan.

f) Dalam hal perbarengan perbuatan (concursus), system penjatuhan pidana dalam concursus kejahatan menggunakan sistem absorbsi yang diperberat, sedangkan dalam concursus pelanggaran menggunakan sistem kumulasi murni.

Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang. Jika seseorang telah berbuat sesuai dengan rumusan delik maka orang itu telah melakukan tindak pidana (delik), tidak dipermasalahkan bagaimana akibat dari perbuatan itu. Contoh : Pasal 362 KUHP tentang Pencurian, yang dirumuskan sebagai perbuatan yang berwujud

„mengambil barang’ tanpa mempersoalkan akibat tertent dari pengambilan barang

tersebut.

Sedangkan tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan menitikberatkan pada akibat yang dilarang atau tidak dikehendaki. Tindak pidana ini baru selesai jika akibatnya sudah terjadi sedangkan cara melakukan perbuatan itu tidak dipermasalahkan. Contoh : Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan, yang

dirumuskan sebagai perbuatan yang „mengakibatkan matinya’ orang lain.

(21)

yaitu memakai nama palsu/peri keadaan yang palsu juga menitikberatkan pada akibat untuk menghapuskan piutang atau membuat hutang yang merupakan akibat yang dilarang.

B. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi

Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap Negara dihadapkan pada masalah korupsi. Tidak berlebihan jika pengertian korupsi selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan zaman. Istilah korupsi berasal dari bahasa latin Corruptie atau Corruptus. Selanjutnya, disebutkan bahwa Corruptio itu berasal dari kata Corrumpore, suatu kata latin kuno. Dari bahasa latin inilah, istilah Corruptio turun kebanyak bahasa Eropa, seperti inggris: Corruption, Corrupt; Prancis: Corruption; dan Belanda: Corruptie.21

Arti harfiah dari kata Corrupt ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah,22 sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.23

Andi Hamzah menyebutkan ada beberapa faktor yang menyebabkan tumbuh suburnya korupsi:

1) Kurangnya gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) jika dibandingkan dengan kebutuhan sehari hari yang semakin meningkat.

21

Lilik Mulyadi:Tindak pidana korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 16. 22

Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1984, hlm. 9. 23

(22)

20

2) Kultur kebudayaan Indonesia yang merupakan sumber meluasnya korupsi. 3) Manajemen yang kurang baik serta komunikasi yang tidak efektif dan efisien. 4) Modernisasi.24

Tindak pidana Korupsi merupakan salah satu satu bagian dari hukum pidana khusus disamping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti adanya penyimpangan pada hukum acara serta apabila ditinjau dari materi yang diatur maka secara langsung atau tidak langsung dimaksudkan untuk menekan seminimal mungkin kebocoran dan penyimpangan keuangan dan perekonomian negara. Dengan diantisipasi sedini mungkin penyimpangan tersebut, diharapkan roda perekonomian dan pembangunan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, sehingga lambat laun akan membawa dampak adanya peningkatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.

Secara Yuridis Formal pengertian Tindak Pidana Korupsi terdapat dalam Bab II tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 sampai dengan Pasal 20 serta Bab III tentang Tindak Pidana Lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi Pasal 21 sampai dengan 24 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Suatu perbuatan atau tindakan untuk dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana mempunyai unsur-unsur tindak pidana yang harus dipenuhi. Demikian halnya suatu tindak pidana untuk dikatakan sebagai suatu tindak pidana korupsi terdapat unsur-unsur yang harus dipenuhi.

24

(23)

Berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah:

1) Pasal 2 ayat (1) :

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya

diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara.”

2) Pasal 3 :

“Setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain

atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”

Mengacu kepada definisi dari masing-masing Pasal maka dapat diuraikan unsur-unsur dari Tindak Pidana Korupsi, yaitu:

1) Setiap orang termasuk pegawai negeri, orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Selain pengertian sebagaimana tersebut di atas termasuk setiap orang adalah orang perorangan atau termasuk korporasi.

(24)

22

ketentuan dalam sebuah instansi, perusahaan yang telah ditetapkan oleh yang berkompeten dalam organisasi tersebut.

3) Melakukan perbuatan adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 15 Undang-undang No. 31 tahun 1999, yaitu berupa upaya percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi. Jadi walaupun belum terbukti telah melakukan suatu tindakan pidana korupsi, namun jika dapat dibuktikan telah ada upaya percobaan, maka juga telah memenuhi unsur dari melakukan perbuatan.

4) Memperkaya diri, atau orang lain atau suatu korporasi adalah memberikan manfaat kepada pelaku tindak pidana korupsi, baik berupa pribadi, atau orang lain atau suatu korporasi. Bentuk manfaat yang diperoleh karena meperkaya diri adalah, terutama berupa uang atau bentuk-bentuk harta lainnya seperti surat-surat berharga atau bentuk-bentuk asset berharga lainnya, termasuk di dalamnya memberikan keuntungan kepada suatu korporasi yang diperoleh dengan cara melawan hukum. Dalam hal yang berkaitan dengan korporasi, juga termasuk memperkaya diri dari pengurus-pengurus atau orang-orang yang memiliki hubungan kerja atau hubungan-hubungan lainnya.

(25)

C. Tinjauan Umum tentang Pembuktian

Pemeriksaan perkara pidana di pengadilan tugas hakim adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran yaitu bahwa tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa benar-benar telah terjadi dan ia dapat dipersalahkan melakukan perbuatan itu. Oleh karena itu di depan persidangan hakim berupaya merekonstruksi kebenaran peristiwa yang ada. Merekonstruksi peristiwa adalah membuktikan kebenaran peristiwa tersebut. Masalah pembuktian ini merupakan masalah yang pelik (ingewikkeld) dan justru masalah pembuktian menempati titik sentral dalam hukum acara pidana.

Pembuktian menurut Yahya Harahap adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.25 Menurut Bambang Poernomo pembuktian adalah keseluruhan aturan hukum atau aturan undang-undang mengenai kegunaan untuk merekonstruksi suatu kenyataan yang benar dari setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang lain yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana.26

Dari pengertian-pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan inti dari hukum pembuktian adalah :

25

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan edisi kedua. Sinar Grafika, Jakarta, 1986, hlm. 36.

26

(26)

24

1) Hukum pembuktian merupakan ketentuan-ketentuan yang memberikan pedoman mengenai cara-cara untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa yang dibenarkan oleh undang-undang

2) Hukum pembuktian mengatur mengenai jenis-jenis alat bukti yang boleh digunakan hakim dan diakui undang-undang yang digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa

3) Hukum pembuktian merupakan ketentuan yang mengatur cara menggunakan maupun menilai kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti.

Secara teoritis teori tentang pembuktian ada 4 (empat) macam, yaitu :

3) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijke bewijs theorie).

Dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif. Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada undang-undang. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formele bewijstheori).

Menurut D. Simons sebagaimana dikutip Andi hamzah, bahwa system atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (positief wettelijke) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan pembuktian yang keras.27

27

(27)

4) Sistem atau teori Pembuktian Negatif.

Dalam sistem ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah yang berdasarkan pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang sehingga hakim memperoleh keyakinan akan hal itu.28 Perkataan negatif dipakai untuk menunjukkan bahwa adanya bukti bukti yang disebutkan dalam undang-undang yang dengan cara mempergunakannya yang disebut juga dalam undang-undang itu, belum berarti hakim harus menjatuhkan hukuman. Hal tersebut masih tergantung dengan keyakinan hakim atas kebenarannya.

5) Sistem atau teori Pembuktian Bebas.

Menurut sistem ini, hakim tidak terikat pada alat-alat bukti yang sah dimana bila ada keyakinan pada hakim tentang kesalahan terdakwa yang didasarkan pada alasan yang dapat dimengerti dan dibenarkan oleh pengalaman. Teori yang disebut juga Confiction intime ini merupakan suatu pembuktian yang walaupun tidak cukup bukti, asalkan hakim yakin maka hakim dapat menjalankan dan memidana terdakwa.

6) Sistem atau teori pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (La Confiction Raisonnee)

Menurut teori ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah atas dasar keyakinannya. Yang mana keyakinan itu harus berpijak pada dasar-dasar pembuktian disertai suatu kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertulis tertentu. Sistem atau teori pembuktian jalan tengah atau yang berdasar pada keyakinan hakim sampai batas tertentu ini

28

(28)

26

terpecah ke dua jurusan. Yang pertama tersebut diatas yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (Confiction Raisonnee) dan yang kedua ialah teori pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie).

Persamaan diantara keduanya ialah keduanya berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah. Perbedaannya ialah bahwa yang tersebut pertama berpangkal tolak pada keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan pada suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan kepada undang-undang tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia pergunakan. Sedangkan yang kedua berpangkal tolak pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim.29

D. Sistem Pembuktian yang Dianut KUHAP

Berdasarkan teori dan alat bukti menurut Hukum Pidana Formal diatur pada Bab XVI bagian keempat Pasal 183 sampai Pasal 232 KUHAP. Pada KUHAP, sistem pembuktian hukum pidana menganut pendekatan Pembuktian Negatif berdasarkan Undang-Undang atau Negatief Wettelijk Overtuiging. Dengan dasar teori Negatief Wettelijk Overtuiging ini, hakim dapat menjatuhkan suatu pidana kepada terdakwa berdasarkan keyakinan (Hakim) dengan alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang dengan didasari minimum 2 (dua) alat bukti sebagaimana

29

(29)

disebutkan dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu :“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila ia dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.30

Sedang yang dimaksud dengan 2 (dua) alat bukti yang sah haruslah memperhatikan tata urutan alat bukti menurut Pasal 184 KUHAP, yaitu :

a) Keterangan saksi b) Keterangan ahli c) Surat

d) Petunjuk

e) Keterangan terdakwa

Sistem Hukum Pidana Formil Indonesia, khususnya KUHAP, sudah dimaklumi bahwa beban pembuktian ada atau tidaknya pidana yang dilakukan terletak pada Jaksa Penuntut Umum. Pasal 137 KUHAP menyebutkan : “Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke

pengadilan yang berwenang mengadilinya.”

Apabila ketentuan ini dihubungkan dengan Pasal 183 KUHAP maka penuntutan suatu perkara pidana tetap memiliki limitasi minimum dua alat bukti untuk menentukan apakah seorang terdakwa ini bersalah atau tidak bersalah. Jadi sebagai suatu lex generalis, sistem beban pembuktian (umum) dalam perkara tindak pidana diletakan pada beban Jaksa Penuntut Umum.

30

(30)

28

E. Tinjauan tentang Asas Pembuktian Terbalik

Sistem pembuktian terbalik, tersangka atau terdakwa harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atas apa yang disangkakan atau dituduhkan kepadanya. Oleh karena itu pembuktian terbalik ini merupakan pengingkaran, penyimpangan, pengecualian terhadap "presumption of innocence" dan "non self incrimination" dan ataupun bertentangan dengan asas yang berlaku. Dalam delik korupsi di Indonesia diterapkan dua sistem sekaligus, yakni Sistem Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan sekaligus dengan sistem KUHAP. Kedua teori itu ialah penerapan hukum pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, dan yang mengunakan sistem pembuktian negatif menurut undang-undang. Jadi tidak menerapkan teori pembuktian terbalik murni, (zuivere omskering bewijstlast), tetapi teori pembuktian terbalik terbatas dan berimbang.

Penjelasan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dikatakan pengertian

“pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang”, yakni terdakwa

mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istrinya atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan Penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaaannya. Kata-kata

“bersifat terbatas” di dalam memori atas Pasal 37 dikatakan, bahwa apabila

terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa “terdakwa tidak melakukan tindak

(31)

sebab Penuntut Umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaaanya.31

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa secara teoitis Ilmu Pengetahuan Hukum Acara Pidana asasnya mengenal 4 (empat) teori hukum pembuktian,yaitu: Pertama, Teori Hukum Pembuktian menurut Undang-Undang secara Positif. Kedua, Teori hukum pembuktian menurut Undang-undang secara negative. Ketiga,Teori system atau pembuktian bebas. Keempat, Teori hukum pembuktian menurut keyakinan hakim. Konsekuensi logis teori hukum pembuktian tersebut berkorelasi dengan eksistensi terhadap asas beban pembuktian. Dikaji dari perspektif ilmu pengetahuan hukum pidana dikenal ada 3 (tiga) teori tentang beban pembuktian, yaitu :

1) Beban Pembuktian pada Penuntut Umum

Konsekuensi logis teori beban pembuktian ini, bahwa Penuntut Umum harus mempersiapkan alat-alat bukti dan barang bukti secara akurat, sebab jikalau tidak demikian akan susah meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa. Konsekuensi logis beban pembuktian ada pada penuntut umum ini berkorelasi asas praduga tak bersalah dan aktualisasi asas tidak mempersalahkan diri sendiri (non self incrimination). Pasal 66 KUHAP dengan tegas menyebutkan bahwa

“tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Pembuktian

seperti ini merupakan pembuktian biasa atau konvensional.

31

(32)

30

2) Beban Pembuktian pada Terdakwa

Dalam konteks ini , terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana. Oleh karena itu terdakwalah di depan sidang pengadilan yang akan menyiapkan segala beban pembuktian dan bila tidak dapat membuktikan maka terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Pada

dasarnya teori pembuktian jenis ini dinamakan teori “pembalikan beban

pembuktian” (Omkering van het Bewijslast atau reversal of Burden of Proof).

Dikaji dari prespektif teoritik dan praktik teori beban pembuktian ini dapat diklasifikasikan lagi menjadi pembalikan beban pembuktian yang bersifat murni.

3) Beban Pembuktian Terbatas dan Berimbang

Konkretisasi asas ini baik Penuntut Umum maupun terdakwa dan/atau Penasehat hukumnya saling membuktikan di depan persidangan. Lazimnya Penuntut Umum akan membuktikan kesalahan terdakwa sebaliknya terdakwa beserta Penasehat Hukumnya akan membuktikan sebaliknya bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang di dakwakan.32

Polemik penerapan pembuktian terbalik yang sudah lama terjadi dan argumentasi hukum yang diungkapkan para pakar hukum di negeri ini tidak dapat dijadikan alasan penghambat penerapan pembuktian terbalik diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Pemikiran-pemikiran yang hanya disandarkan pada pandangan positivisme hukum tidak bisa dijadikan sebagai tameng penghambat pengaturan asas pembuktian terbalik dituangkan dalam UU yang baru. Apalagi menjustifikasi (membenarkan) pembuktian terbalik dianggap bertentangan dengan

32

(33)

asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), dan asas non self incrimination (sesuatu hal yang tidak diperbolehkan dilakukan dalam suatu proses peradilan pidana).

Asas pembuktian terbalik terbatas, meski tidak secara utuh, namun ruang permberlakuan asas tersebut cukup jelas disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tidak secara utuh disini, dimaksudkan bahwa, meski seseorang telah gagal membuktikan asal-usul harta kekayaannya yang patut dicurigai dari hasil tindak pidana, jaksa sebagai penuntut umum tetap memiliki kewajiban untuk membuktikan dakwaannya diproses pengadilan.

Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 37 ayat (1), dikatakan bahwa:

“terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan

tindak pidana korupsi”.

Terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Pada Pasal 37A ayat (1) dan (2), lebih menguatkan posisi beban pembuktian terbalik tersebut, dengan menegaskan bahwa:

“Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya

dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang

(34)

32

Terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

Meski memiliki ruang dalam memberlakukan beban pembuktian terbalik, namun ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut, tetap dibatasi ketentuan lain di dalamnya. Beban pembuktian terbalik tetap membebankan pembuktian kepada jaksa penuntut umum, meski si terdakwa gagal membuktikan asal-usul kekayaannya. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 37A ayat (3), yang menyebutkan bahwa:

“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikann dakwaannya”.

(35)

membuktikan dugaan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan

(36)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.24 Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian dibandingkan dan ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang akan diteliti.

B. Jenis Dan Sumber Data

Penelitian ini penulis pertama-tama memerlukan data-data atau keterangan-keterangan yang terkait dengan permasalahan pada penelitian. Sedangkan data yang dipergunakan penelitian ini berasal dari :

a. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (Library Research). Data ini diperoleh dengan cara mempelari, membaca, mengutif, literatur-literatur, atau peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

24

(37)

pokok permasalahan penelitian ini. Data sekunder terdiri dari 3 (tiga) Bahan Hukum , yaitu :

1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dalam hal ini bahan hukum primer ini terdiri dari : a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

c) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku literatur dan karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti Kamus Bahasa Inggris, Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Majalah, surat kabar, media cetak, dan media elektronik.

b. Data Primer

(38)

35

cara observasi dan wawancara secara langsung mengenai permasalahan dalam penelitian ini.

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Untuk melengkapi data guna pengujian hasil penelitian ini, digunakan prosedur pengumpulan data yang terdiri :

1) Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengadakan studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan dimaksudkan untuk memproleh arah pemikirin dan tujuan penelitian dilakukan dengan cara membaca, mengutip dan menelaah literatur yang menunjang, peraturan perundang-perundang serta bahan bacaan ilmiah lainnya yang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang akan dibahas.

2) Data Primer

Pengumpulan data primer dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu : a) Pengamatan (Observation)

Pengamatan (Observation) yaitu pengumpulan data secara langsung terhadap objek penelitian untuk memproleh data yang valid dengan melakukan pengamatan langsung di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang.

b) Wawancara (Interview)

(39)

pertanyaan yang bersifat terbuka, terhadap responden/ narasumber yang berkaitan dengan permasalahan, yaitu :

1) Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang : 2 Orang 2) Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 Orang

Jumlah : 3 Orang

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, baik studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali kelengkapan, kejelasan, dan relevansi dengan penelitian.

b. Klasifikasi data yaitu mengklasifikasi/mengelompokan data yang diperoleh menurut jenisnya untuk memudahkan dalam menganalisis data.

c. Sistematisasi data, yaitu malakukan penyusunan dan penempatan data pada setiap pokok secara sistematis sehingga mempermudah interpretasi data dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.

D. Analisis Data

(40)

37

deskriptif-analisis yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilaku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.25

25

(41)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tersebut diatas, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:

(42)

54

Tegasnya, politik hukum kebijakan legislasi terhadap delik korupsi ditujukan terhadap kesalahan pelaku maupun terhadap harta benda pelaku yang diduga berasal dari korupsi.

2. Penerapan sistem pembuktian terbalik pada proses perkara tindak pidana korupsi sifatnya terbatas. Terbatas disini maksudnya adalah bahwa yang wajib dibuktikan oleh terdakwa hanyalah terbatas pada asal-usul harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana. Untuk unsur-unsur lainnya dari tindak pidana tersebut beban pembuktiannya berada di Jaksa Penuntut Umum. Pada prakteknya sistem pembuktian terbalik yang ditetapkan tidak menggunakan asas praduga bersalah secara mutlak, tetapi secara terbatas dan berimbang dimana di satu sisi terdakwa harus membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana dan Jaksa Penuntut Umum juga harus membuktikan tuntutannya. Jadi dalam pelaksanaannya sistem pembuktian terbalik tidak dijalankan secara murni dengan menggunakan asas praduga bersalah secara mutlak yang mengharuskan si tersangka atau terdakwa yang diwajibkan untuk melakukan pembuktian bahwa ia tidak bersalah namun hanya terbatas pada asal usul Harta Kekayaan yang dicurigai merupakan hasil dari tindak pidana.

B. Saran

(43)

1. Diperlukan adanya perubahan terhadap ketentuan hukum acara pidana di Indonesia karena tampaknya sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang terjadi saat ini, dimana secara gamblang dapat kita lihat khususnya mengenai pengaturan mengenai beban pembuktian belum diatur mengenai pembuktian terbalik di dalam ketentuan tersebut sehingga menimbulkan kebingungan dari aparat penegak hukum dalam menerapkan sistem pembuktian terbalik padahal ketentuan mengenai pembuktian terbalik telah diatur di dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku walaupun sifatnya saat ini masih terbatas.

(44)

PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA PROSES PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh Ryan Archie

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(45)

PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA PROSES PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

(Skripsi)

Oleh : Ryan Archie

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(46)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ……… 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ………. 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ………. 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ………. 7

E. Sistematika Penulisan ………. 10

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana ……… 12

B. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi ……….. 19

C. Tinjauan Umum tentang Pembuktian ………... 23

D. Sistem Pembuktian yang dianut KUHAP ………..…….. 26

E. Tinjauan tentang Asas Pembuktian Terbalik ……… 28

III.METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ……….…………..……….. 33

B. Sumber dan Jenis Data ……….…………..……….. 33

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ….…....…..……….. 35

(47)

B. Pengaturan Sistem Pembuktian Terbalik Di Indonesia Dalam

Perkara Tindak Pidana Korupsi ………... 39 C. Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik Pada Proses Perkara

Tindak Pidana Korupsi ……….... 45

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ………..………. 53

B. Saran ………. 54

(48)

DAFTAR PUSTAKA

Adji, Indriyanto Seno, 2006, Korupsi dan Pembalikan beban pembuktian. Jakarta.

Caligis, Otto Cornelis, 2006, “Korupsi Sebagai Tndakan Kriminal yang Harus

Diberantas: Karakter dan Prakek Hukum di Indonesia”.Jurnal Equality, Volume.11, No.02, Jakarta.

Hamzah, Andi, 1991. Korupsi di Indonesia, Gramedia, Jakarta.

____________, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. ____________, 2005, Perkembangan Hukum Pidana Khusus,. Rineka Cipta, Jakarta. Harahap, M. Yahya. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

Penyidikan dan Penuntutan edisi kedua. Sinar Grafika, Jakarta.

Marsono, 2007, “Pemberantasan Korupsi di Indonesia dari Perspektif Penegakan

Hukum”, Jurnal Menejemen Pembangunan, No.58, Jakarta.

Mulyadi, Lilik, 2000, Tindak pidana korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Poernomo, Bambang, 1985, Pokok-Pokok Tata Acara Peradilan Pidana Indonesia Dalam. Undang-Undang R.I. No. 8 Tahun 1981, Prenada Media, Yogyakarta.

Prodjohamidjojo, Martiman, 2001, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Kasus Korupsi, Mandar Maju, Bandung.

Sanusi, M. Arsyad. 2009. Relasi Antara Korupsi Dan Kekuasaan. Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 2.

Soekanto, Soerjono, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta.

Sumaryanto, Djoko, 2009, Pembalikan beban Pembuktian, Prestasi Pustaka,. Jakarta.

________________, ”Rancangan Model Penyidikan Tindak Pidana di

(49)

Universitas Lampung, 2008, Format Penulisan Karya Ilmiah, Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

(50)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Diah Gustiniati M S.H.,M.H ………

Sekretaris/Anggota : Rini Fathonah S.H.,M.H ………

Penguji Utama : Tri Andrisman S.H.,M.H ………

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S. H., M. S. NIP 19621109 198703 1 003

(51)

Nama Mahasiswa : Ryan Archie Nomor Pokok Mahasiswa : 0852011200 Bagian : Hukum Pidana Fakultas : Hukum

Menyetujui I.Komisi Pembimbing

Diah Gustiniati M,S.H.,M.H. Rini fathonah. S.H.,M.H NIP. 196208171987032003 NIP. 197907112008122001

Disetujui/ Tidak Disetujui Ketua/Sekretaris Bagian Hukum Pidana

(52)

MOTTO

”Sedikit bicara banyak berkerja”

Belajarlah dari pengalaman hari kemarin agar hari

ini lebih baik dari hari kemarin

Belajarlah dari pengalaman hari ini agar hari esok

lebih baik dari hari ini

Ketika kehidupan merobohkan sampai ke lutut,

ingatlah bahwa itu adalah posisi sempurna untuk

(53)

PERSEMBAHAN

Puji syukur ku ucapkan ke hadirat Allah SWT, serta shalawat dan salam tak hentinya kita sampaikan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW.

Penulis persembahkan karya skripsi ini untuk:

Ayah dan Ibu tercinta yang dengan penuh pengorbanan memberikan dorongan moril dan kasih sayang, serta adikku Nico Archie dan Nicky oktoberi, serta kakekku Rustam effendi dan Nenekku Zuraida yang selalu memberikan semangat, sehingga penulis berhasil menyelesaikan

perkuliahan ini.

Teman-teman seperjuangan selama masa kuliah yang telah banyak membantu, baik dalam suka maupun duka.

Para dosen pembimbing dan pengajar, terima kasih untuk bantuan dan dukungannya dalam pembuatan skripsi ini.

(54)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 26 April 1990, yang merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari Bapak Drs.Hi.Refzon dan Ibu Marwiyah. Penulis menyelesaikan studi di SD Al–Kautsar Bandar Lampung lulus pada tahun 2002.

Penulis melanjutkan studi di SMP Al-Kautsar Bandar Lampung lulus pada tahun 2005, kemudian SMA Al-Kautsar Bandar Lampung lulus pada tahun 2008.

(55)

SANWACANA

Alhamdulillahirobbil’alamien. Segala puji syukur hanyalah milik Allah SWT,

Rabb seluruh Alam yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyeleasaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dengan judul : PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK PADA PROSES PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI.

Penulis menyadari selesainya skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi, bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Pj. Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., Selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

(56)

4. Ibu Rini Fathonah,S.H.,M.H. Selaku Dosen Pembimbing kedua, yang telah meluangkan waktu untuk memberikan dukungan, pengarah, motivasi, dan sumbangan pemikiran, sehingga penulis dapat menyelesaikan skeripsi. 5. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. sebagai Pembahas Pertama yang telah

banyak memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Ibu Dona Raisa M, S.H., M.H. Sebagai Pembahas Kedua yang telah banyak memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini. 7. Ibu Amnawati, S.H.,M.H. selaku Pembimbing Akademik selama penulis

menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

8. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tak bisa disebutkan satu persatu, atas bimbingan dan pengajarannya selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

9. Seluruh staf dan karayawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah membantu penulis dalam proses akademis dan kemahasiswaan atas bantuannya selama penyusunan skripsi.

10. Ayah dan Ibu tercinta atas kasih sayang, pengorbanan serta doa tulus dari setiap sujudmu yang selalu mengiringi setiap langkahku dan menanti keberhasilanku.

11. Adik-adikku Nico Archie dan Nicky Oktoberi beserta seluruh keluarga

besarku terimakasih atas dukungan dan do’a yang selam ini telah diberikan.

(57)

memberi doa dan dukungannya selama ini.

14. Buat sahabat seperjuangan, akhmad sofyan kamal, Dilly yandri, Edy saputra, Mohammad yusfaneri S.H, Richi andrean,Hengki kurniawan, Septa Hans

Dinamika, Tommy Krenz, terima kasih atas do’a dan dukungannya.

15. Semua teman-temanku Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung Angkatan 2008 yang terhormat dan seluruh teman fakultas hukum yang tidak dapat disebutkan satu persatu terimakasi atas do’a dan dukunganya.

16. Terima kasih juga buat teman-teman semasa KKN

17. Almamaterku tercinta yang sudah memberi banyak wawasan dan pengalaman berharga.

Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa dan negara, para mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi penulis. Saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 21 Februari 2013 Penulis

Referensi

Dokumen terkait

• Umumnya berupa lapisan tunggal yang cukup tebal (kecuali pada akar udara, mis. pada anggrek yang terdiri atas beberapa lapisan sel dinamakan velamen , dan pada beberapa daun

Dengan melihat persamaan regresi yang dibuat berdasarkan analisis regresi berganda tersebut, dapat dikatakan bahwa penelitian ini menerima hipotesis kedua yang berarti bahwa

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat konsumsi konsumen, menganalisis preferensi konsumen serta untuk menganalisis kombinasi atribut yang paling disukai konsumen

Untuk dapat lebih mengerti dan mendalami tingkat penguasaan peserta didik, materi yang dilombakan dan juga dalam membantu pendidik memutuskan akan mutu peserta didik yang dapat

Iwan Hermawan, 52 tahun, juru kampanye Partai Keadilan Sejahtera dalam pemilihan walikota dan wakil walikota Bandung tahun 2013. Dokumen pribadi yang diambil

Akan tetapi prinsip belajar yang nampak jelas dalam ​ Discovery Learning adalah materi atau bahan pelajaran yang akan disampaikan tidak disampaikan dalam bentuk final akan tetapi

Satoe Snel dan doea trappers Tweedehandsch jang masi baek.

Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata