• Tidak ada hasil yang ditemukan

OPTIMALISASI POLA TANAM PADI SAWAH DI DAERAH IRIGASI WAY KETIBUNG KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "OPTIMALISASI POLA TANAM PADI SAWAH DI DAERAH IRIGASI WAY KETIBUNG KABUPATEN LAMPUNG SELATAN"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

OPTIMIZATION OF RICE FIELD CROPPING PATTERN IN WAY KETIBUNG IRRIGATION AREA AT SOUTH LAMPUNG DISTRICT

By Wayan Susana

Engineering Faculty of Lampung University

Land use changing in Way Ketibung Irrigation Area from rice field cropping to rubber and palm oil planting were one of causes to decline rice field production at its irrigation area. The changing of land use were caused by lack of water availability . Therefore, it is necessary efforts to optimize irrigation area in order to increase rice production. pattern which based on its cropping schedule that the farmers have done was not suitable, because only a few one could apply the schedule to crop rice field. It is due to the water availability could not serve the amount of water to its cropping pattern.

Field observation and hydrologic analysis using suitable approach methods produced the optimized cropping pattern that approximated by reliable discharge has 80 % probability in occurs (Q80) and Net Farm Requirement (NFR). The optimized cropping pattern of Way Ketibung Irrigation Area defines the cropping season. The 1st class of rainy cropping season begins on 2nd December and 2nd April to 1st class of dry cropping season. Whereas, The 2nd class of rainy cropping season begins on 1st January and 1st May to 2st class of dry cropping season. Water balance analysis describe surplus and deficit of water, therefore could be generated cropping pattern rotation as; The rainy cropping season (MT I) : 1st class begin on 2nd week of December with 821 hectares (100 %), 2nd class begin on 1st week of January with 612 hectares (100 %). The dry cropping season (MT II) : 1st class begin on 2nd week of April with 50 % of 821 hectares, 2nd class begin on 1st week of May with 50 % of 612 hectares.

(2)

ABSTRAK

OPTIMALISASI POLA TANAM PADI SAWAH DI DAERAH IRIGASI WAY KETIBUNG

KABUPATEN LAMPUNG SELATAN Oleh

Wayan Susana

Fakultas Teknik Universitas Lampung

Perubahan penggunaan lahan di Daerah Irigasi Way Ketibung dari sawah untuk tanaman padi menjadi tanaman perkebunan karet dan sawit merupakan salah satu penyebab menurunnya produksi padi di Daerah Irigasi Way Ketibung. Adanya perubahan penggunaan lahan tersebut disebabkan oleh kurang tersedianya air irigasi di sawah. Karena itu perlu dilakukan upaya untuk mengoptimalkan sawah dalam upaya meningkatkan produksi padi.

Jadwal tanam yang digunakan selama ini oleh masyarakat di daerah Irigasi Way Ketibung , untuk golongan I musim tanam rendeng (MT.1) pada Bulan September minggu kesatu dan musim tanam gadu (MT.2) dimulai pada bulan Januari minggu kesatu dan untuk golongan II musim tanam rendeng yang dimulai pada Bulan September minggu kedua dan musim tanam gadu dimulai pada bulan Januari minggu kedua. Pola tanam yang dilakukan selama ini oleh masyarakat di Daerah Irigasi Way Ketibung kurang sesuai, karena hanya sedikit masyarakat yang dapat menanam padi. Hal ini disebabkan oleh karena air yang tersedia tidak maksimal untuk pola tanam tersebut.

Berdasarkan observasi lapangan dan analisis data curah hujan dapat disusun pola tanam yang optimal berdasarkan hasil perhitungan neraca air dengan menggunakan pendekatan debit andalan Q80 serta kebutuhan air irigasi padi sawah di Daerah Irigasi Way Ketibung adalah untuk Golongan I, musim rendeng (MT.1) dimulai pada Bulan Desember 2, Musim Gadu (MT.2) dimulai pada Bulan April 2 . Sedangkan untuk Golongan II, masa tanam padi dimulai pada Bulan Januari 1, Gadu (MT.2) dimulai pada Bulan Mei 1. Hasil perhitungan neraca air dengan menggunakan pendekatan debit andalan Q80 maka pergiliran pola tanam yang dihasilkan sebagai berikut, Musim tanam 1: Golongan I : luas 821 Ha100% (mulai tanam Bulan Desember minggu kedua), Golongan II : luas 612 Ha 100 % (mulai tanam Bulan Januari minggu kesatu), Musim Gadu : Golongan I : luas 821 Ha 50 % (mulai tanam Bulan April minggu kedua), Golongan II :luas 612 Ha 50 % (mulai tanam Bulan Mei minggu kesatu)

(3)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan negara yang mempunyai kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Hal ini terbukti dengan keadaan tanah Indonesia yang sangat subur. Negara Indonesia memiliki peran penting sebagai produsen bahan pangan di mata dunia. Meski menduduki posisi ketiga sebagai negara penghasil pangan di dunia setelah China dan India, hampir setiap tahun Indonesia selalu menghadapi persoalan berulang dengan produksi pangan terutama beras. Indonesia termasuk kedalam 4 negara pengimpor beras terbesar di dunia. Produksi beras Indonesia yang begitu tinggi belum bisa mencukupi kebutuhan penduduknya, akibatnya Indonesia masih harus mengimpor beras dari Negara penghasil pangan lain seperti Thailand. (Mabruri, 2012)

(4)

2 Setelah tahun itu Indonesia menjadi pengimpor beras kembali hingga tahun 2007. Pada tahun 2008 Indonesia berhasil menjadi swasembada beras kembali. (Rosadi, 2010)

Swasembada beras adalah salah satu upaya pengembangan sektor pertanian yang coba dilakukan oleh pemerintah. Swasembada beras yang berorientasi pada empowering potensi pertanian perlu dikuatkan juga bahwa landasan epistemis yang digunakan adalah untuk penguatan kembali pertanian sebagai way of life, sebagai sebuah bagian dari budaya masyarakat. (Ardhiyani, 2008)

Jika swasembada beras hanya sekedar target untuk pencapaian ekonomi semata, maka pengembangan yang dilakukan hanya akan ditingkatan pasar saja, hak-hak petani tidak mendapatkan perhatian yang cukup. Lebih dari 24 tahun menunggu, akhirnya swasembada beras tercapai juga. Swasembada tahun 2008 ini berbeda dibandingkan tahun 1984 karena swasembada kali ini tanpa sedikit pun dibarengi impor beras. Swasembada beras pada tahun 1984 masih dibarengi dengan impor beras 414.300 ton (lihat Tabel 1, dan Gambar 1). Mengapa kita bisa swasembada beras?

Pertanyaan ini penting diajukan sebagai refleksi sekaligus pijakan dalam upaya mempertahankan swasembada beras 2009 dan pada tahun-tahun yang akan datang.

(5)

3 Sejak itu, impor beras terus meningkat dan puncaknya tahun 1999, di mana impor beras mencapai 4,7 juta ton atau tertinggi sepanjang sejarah Indonesia. Melalui UU itu pula, era ”liberalisasi” budidaya pertanian dimulai karena tidak ada

kendali pemerintah atas usaha tani. Satu-satunya faktor yang menjadi acuan petani memilih komoditas yang akan mereka tanam adalah faktor keuntungan. (Pujiatmoko, 2008)

Tabel 1. Produksi beras indonesia (dalam ribuan ton)

Tahun Produksi

§Dengan asumsi produksi GKG 58.5 juta ton yang setara dengan 36,9 juta ton beras

#Perkiraan BPS Maret 2009

*surplus 3 juta ton dan asumsi bahwa 63.83 juta ton GKG setara dengan 40.34 juta ton beras

**67.15 juta ton GKG diasumsikan setara dengan 42.43 juta ton beras Produksi beras diprediksi sebagai 63,2% dari produksi Gabah Kering Giling (GKG).

(6)

4 Gambar 1. Tahun produksi dan impor beras tahun 1968 – 2006

(Sources: Handoko et.al., 2007. Dalam Rosadi, 2010)

Perubahan penggunaan lahan di Daerah Irigasi Way Ketibung dari sawah untuk tanaman padi menjadi tanaman perkebunan karet dan sawit merupakan salah satu penyebab menurunnya produksi padi di Daerah Irigasi Way Ketibung.

Adanya perubahan penggunaan lahan tersebut disebabkan oleh kurang tersedianya air irigasi di sawah. Karena itu perlu dilakukan upaya untuk mengoptimalkan sawah dalam upaya meningkatkan produksi padi.

(7)

5 1.2 Identifikasi Masalah

Daerah Irigasi Way Ketibung memiliki lahan yang dimanfaatkan untuk tanah pertanian. Tanah pertanian yang akan dibahas disini yaitu tanah persawahan yang biasa digunakan untuk menanam padi. Ketersediaan air di Daerah Irigasi Way Ketibung sangat tergantung dari keberadaan hujannya. Oleh karena itu, di dalam penelitian ini akan dibahas penentuan pola tanam pada budidaya tanaman padi sawah.

Dari uraian pada latar belakang ada beberapa permasalahan yang akan diteliti didalam tulisan ini yaitu :

1. Bagaimana ketersediaan air di Daerah Irigasi Way Ketibung ?

2. Bagaimana pembuatan pola tanam padi sawah yang optimal di Daerah Irigasi Way Ketibung ?

1.3 Batasan Masalah Penelitian

1. Wilayah Studi

Irigasi Way Ketibung dengan luas 32.061 ha (320,61 km2) merupakan bagian dari DPS Way Sekampung dengan sebaran Sub sub Irigasi -nya berada pada wilayah administrative Kabupaten Lampung Selatan.

(8)

6 Peta administrasi Irigasi Way Ketibung dapat dilihat pada Lampiran 62. Wilayah Irigasi Way Ketibung dibatasi oleh wilayah-wilayah, yaitu :

a. Sebelah utara oleh Irigasi Way Sulan

b. Sebelah timur oleh Irigasi Way Pisang

c. Sebelah selatan oleh Irigasi DPS Rajabasa

d. Sebelah barat oleh Irigasi Way Sulan dan DPS Rajabasa

Secara administratif pemerintahan, Daerah Irigasi Way Ketibung termasuk di dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Lampung Selatan yang meliputi 5 kecamatan, yaitu Kecamatan Candipuro, Ketibung, dan Sidomulyo, Way Sulan, dan Way Panji.

Daerah penelitian di pilih Daerah Irigasi Way Ketibung karena mampertimbangkan beberapa hal, yaitu :

a. Di daerah ini masih banyak terdapat pertanian sawah yaitu meliputi 100 % sawah di Daerah Irigasi Way Ketibung.

(9)

7 2. Batasan Studi

Sesuai dengan latar belakang dan permasalahan yang telah dikemukakan terdahulu, maka didalam penelitian ini digunakan beberapa batasan, yaitu :

a. Yang akan dilihat dan dianalisis dalam hal ini adalah distribusi curah hujan, dan kegiatan budidaya tanaman padi sawah.

b. Didalam membahas jadwal tanam padi sawah, digunakan data curah hujan dan ketersediaan air di Daerah Irigasi Way Ketibung. c. Faktor – faktor yang mempengaruhi produktifitas padi, selain curah

hujan, dianggap konstan. Faktor – faktor tersebut adalah teknik pengelolaan sawah (pengolahan tanah, pemupukan dan pemberantasan hama), Varietas, jenis tanah, penyinaran matahari, dan ketinggian

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui neraca air di Daerah Irigasi Way Ketibung

(10)

8 1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui karakteristik curah hujan di wilayah Daerah Irigasi Way Ketibung, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu parameter yang harus diperhatikan dalam budidaya padi sawah.

(11)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Curah Hujan

Data Hujan merupakan masukan utama dari sistem sungai dan aliran sungai. Oleh karena itu untuk mengetahui semua karakteristik aliran, harus diketahui informasi mengenai besaran curah hujan yang terjadi di lokasi yang sama atau disekitarnya. Hampir semua kegiatan pengembangan sumber daya air memerlukan informasi hidrologi untuk dasar perencanaan dan perancangan, salah satu informasi hidrologi yang penting adalah data hujan. Data hujan ini dapat terdiri dari data hujan harian, bulanan dan tahunan. Pengumpulan dan pengolahan data hujan ini diharapkan dapat menyajikan data hujan yang akurat, menerus dan berkelanjutan sesuai dengan kondisi lapangan, tersusun dalam sistem database, data menyediakan data/informasi hidrologi yang tepat sesuai dengan kebutuhan.

(12)

10 2.2 Hujan Wilayah

Hujan merupakan komponen masukan yang paling penting dalam proses hidrologi, karena jumlah kedalaman hujan (rainfall dept) ini yang dialihragamkan menjadi aliran, baik melalui limpasan permukaan maupun sebagai aliran tanah (groundwater flow) (Harto, 1993).

Mengingat hujan sangat bervariasi terhadap tempat, maka untuk kawasan yang luas, satu alat penakar hujan belum tentu dapat menggambarkan hujan di wilayah tersebut. Dalam hal ini diperlukan hujan kawasan atau hujan wilayah yang diperoleh dari harga rata-rata curah hujan beberapa stasiun penakar hujan

yang ada di dalam dan/atau di sekitar kawasan tersebut. Menurut Indarto (2012) ada tiga macam cara yang umum digunakan dalam menghitung hujan

rata-rata kawasan yaitu : 1. Rata-rata Aritmetik

Nilai curah hujan wilayah dapat ditentukan dari beberapa data curah hujan stasiun

penakar/klimatologi dengan menggunakan nilai rata-rata curah hujan stasiun yang

terdapat di dalam DAS.

�̅ = � + � +⋯+ ��

� ……….……… ( 1 )

Keterangan:

�̅ = Curah hujan rata-rata wilayah

Rn = Curah hujan pada stasiun n

(13)

11 2. Metode Polygon Thiessen

Metode Polygon Thiessen adalah cara penentuan hujan wilayah dengan rata-rata

tertimbang. Masing-masing pos penakar hujan mempunyai daerah pengaruh

sendiri-sendiri . Nilai curah hujan wilayah dapat ditentukan dengan menggunakan rumus:

�̅ = � � +� � +⋯+����

� +� +⋯+�� ………….……… ( 2 )

Dimana :

�̅ = curah hujan rata-rata (mm)

A1,A2,.An = luas daerah polygon 1,2,…,n (km2)

R1,R2,.Rn = curah hujan maksimum pada stasiun 1,2,…,n (mm) 3. Metode Isohyet

Metode Isohyet adalah metode penentuan curah hujan wilayah berdasarkan kontur

curah hujan berdasarkan data curah hujan yang ada di dalam DAS dan di sekitar

wilayah.

(14)

12 bahwa sembarang pos dianggap dapat mewakili kawasan terdekat. Hasil metode Polygon Thiessen lebih akurat dibandingkan dengan metode aljabar. Cara ini cocok untuk daerah dengan luas 500-5000 km2, dan jumlah pos penakar hujan terbatas dibandingkan luasnya (Suripin, 2003).

2.3 Irigasi

Irigasi merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk mengairi lahan pertanian. Dalam dunia modern, saat ini sudah banyak model irigasi yang dapat dilakukan manusia. Pada zaman dahulu, jika persediaan air melimpah karena tempat yang dekat dengan sungai atau sumber mata air, maka irigasi dilakukan dengan mengalirkan air tersebut ke lahan pertanian. Namun demikian, irigasi juga biasa dilakukan dengan membawa air dengan menggunakan wadah kemudian menuangkan pada tanaman satu per satu. Untuk irigasi dengan model seperti ini di Indonesia biasa disebut menyiram.Sebagaimana telah diungkapkan, dalam dunia modern ini sudah banyak cara yang dapat dilakukan untuk melakukan irigasi dan ini sudah berlangsung sejak Mesir Kuno. (Wikipedia, 2010)

2.3.1 Fungsi irigasi

Untuk mencapai fungsi utamanya untuk memberikan suplai air kepada tanaman, menurut Gany (2011) irigasi perlu mencapai beberapa fungsi spesifik yaitu:

1. mengambil air dari sumber (diverting)

(15)

13 3. mendistribusikan air kepada tanaman (distributing)

4. mengatur dan mengukur aliran air (regulating and measuring).

Disamping fungsi pokoknya untuk memenuhi kebutuhan air tanaman, irigasi juga mempunyai fungsi tambahan seperti:

1. mendinginkan tanah dan tanaman

2. mencuci garam-garaman dari permukaan tanah 3. melunakkan tanah

4. mengaplikasikan bahan-bahan kimia, seperti pupuk, pestisida, dan herbisida.

2.3.2 Macam-macam sistem irigasi

Sistem irigasi yang ada sangat bervariasi bergantung pada jenis tanaman, kondisi lahan dan air, cuaca, ekonomi, dan faktor budaya. Menurut Rai and Mauria (2006) ada beberapa jenis irigasi yang biasa dipakai antara lain :

1. Irigasi Permukaan

(16)

14 2. Irigasi Lokal

Sistem ini air distribusikan dengan cara pipanisasi. Di sini juga berlaku gravitasi, di mana lahan yang tinggi mendapat air lebih dahulu. Namun air yang disebar hanya terbatas sekali atau secara lokal.

3. Irigasi dengan Penyemprotan

Penyemprotan biasanya dipakai penyemprot air atau sprinkle. Air yang disemprot akan seperti kabut, sehingga tanaman mendapat air dari atas, daun akan basah lebih dahulu, kemudian menetes ke akar.

4. Irigasi Tradisional dengan Ember

Di sini diperlukan tenaga kerja secara perorangan yang banyak sekali. Di samping itu juga pemborosan tenaga kerja yang harus menenteng ember.

5. Irigasi Pompa Air

Air diambil dari sumur dalam dan dinaikkan melalui pompa air, kemudian dialirkan dengan berbagai cara, misalnya dengan pipa atau saluran. Pada musim kemarau irigasi ini dapat terus mengairi sawah.

6. Irigasi Tanah Kering

Di Afrika yang kering dipakai sistem ini, terasisasi dipakai untuk distribusi air. Ada beberapa sistem irigasi untuk tanah kering, yaitu:

(17)

15 (c) irigasi saluran terbuka (open ditch irrigation), dan

(d) irigasi bawah permukaan (subsurface irrigation).

Irigasi sangat diperlukan di dunia pertanian dan perkebunan untuk meningkatkan hasil pertanian dan hasil perkebunan, karena tanaman tidak akan berproduksi dengan baik jika tanaman kekurangan air . Begitu banyak system Irigasi yang ada, kita dapat memilih salah satu system irigasi yang tentunya disesuaikan dengan daerah pertanian dan perkebunan yang akan dialiri air. Sehingga kebutuhan akan air didaerah pertanian dan perkebunan tersebut dapat terpenuhi dengan baik. Ada berbagai pengalaman tentang cara pemanfaatan system irigasi seperti Sistem Irigasi Subak di Bali yang dapat kita contoh dalam pemakaian air irigasi, disini diajarkan pentingnya arti air bagi seluruh petani sehingga pemakaiannya dilakukan secara merata tanpa membedakan status sosialnya. (Putra, 2009)

2.4 Budidaya Tanaman Padi

(18)

16 budidaya, padi juga digunakan untuk mengacu pada beberapa jenis dari marga (genus) yang sama, yang biasa disebut sebagai padi liar.

Padi diduga berasal dari India atau Indocina dan masuk ke Indonesia dibawa oleh nenek moyang yang migrasi dari daratan Asia sekitar 1500 SM. Produksi padi dunia menempati urutan ketiga dari semua serealia, setelah jagung dan gandum. Namun demikian, padi merupakan sumber karbohidrat utama bagi mayoritas penduduk dunia. Teknik budidaya padi telah dikenal oleh manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Sejumlah sistem budidaya diterapkan untuk padi.

Budidaya padi sawah diduga dimulai dari daerah lembah Sungai Yangtse di Tiongkok. Budidaya padi lahan kering, dikenal manusia lebih dahulu daripada budidaya padi sawah. Budidaya padi lahan rawa, dilakukan di beberapa tempat di Pulau Kalimantan. Bercocok tanam padi mencakup persemaian, pemindahan atau penanaman, pemeliharaan (termasuk pengairan, penyiangan, perlindungan tanaman, serta pemupukan), dan panen. Aspek lain yang penting namun bukan termasuk dalam rangkaian bercocok tanam padi adalah pemilihan kultivar, pemrosesan biji dan penyimpanan biji.

(Wikipedia,2010)

2.5 Padi Sawah

(19)

17 padi yang mengandalkan keberadaan air dari turunnya hujan atau biasa dikenal dengan istilah sawah tadah hujan.

Air merupakan syarat mutlak bagi pertumbuhan tanaman padi sawah. Masalah pengairan bagi tanaman padi sawah merupakan salah satu faktor penting yang harus mendapat perhatian penuh demi mendapat hasil panen yang akan datang. (Wikipedia, 2011)

Menurut Anwar (2013) dalam rangka upaya peningkatan produksi tanaman padi sawah melalui cara dan dikerjakan dengan cara sebaik - baiknya dan agar supaya dapat meningkatkan mutu tanaman padi sawah dan agar dapat tumbuh dan perkembangan tanaman yang baik dan memperoleh hasil yang tinggi kita harus memperhatikan hal - hal berikut ini .

1. Memilih Varitas Atau Padi Unggul

Diusahakan kita memilih bibit padi yang bersertifikat atau sudah resmi dari pemerintah dan setelah padi di dapat lebih baik direndam selama satu sampai lima hari dan air rendaman diganti sati hari sekali .

2. Persemaian

Pembuatan persemaian harus di pilih lokasi yang aman dari serangan tikus dan mudah kita kontrol setiap hari . luas persemaian 4% dari luas areal yang akan ditanami . tanaman padi yang akan di buat persemaian kira-kira umur 23 sampai 26 hari dan sudah bisa ditanam dilahan sawah.

(20)

18 3. Pengolahan Tanah

Pengolahan tanah harus sempurna, sebelum di bajak tirlebih dahulu di genangi air sesudah di genangi air lalu di bajak dengan menggunakan mesin pembajak sawah atau bisa juga dengan kerbau .

4. Penanaman Padi

Jarak tanaman diatur garis lurus dengan jarak 20 kali 20 . tiap lubang ditanami 2 sampai 3 saja .

5. Pemupukan

Pemupukan bertujuan untuk menambah zat-zat dan unsur-unsur makanan yang dibutuhkan oleh tanaman di dalam tanah.

6. Pemberian Air

Pemberian air tanaman harus umur 0 sampai 10 hari dan minimal padi setinggi 5cm (genangan air), umur 10 sampai 35 hari setinggi 10cm ,umur 40 sampai 100 hari setinggi 10cm . Tanaman padi pada umur 110 hari air dibuang atau di keringkan .

7. Pengendalian Hama Dan Penyakit

(21)

19 8. Panen

Panen di lakukan pada saat tanaman padi sudah umur 130 hari atau sudah 90% menguning, cara memanen dengan alat sabit kemudian alas untuk memotong batang padi dan kemudian di tumpuk setelah di tumpuk padi di rontokan dengan alat perontok yang namanya doser alau sudah di rontokan di bawapulang dan di jemur di bawah terik matahari kalau sudah menguning dikemas dalam karung dan terus dijual di pengepul .

2.6 Pola Tanam Padi Sawah

Sumber daya air yang ada di sungai-sungai yang memiliki daerah irigasi harus dimanfaatkan sedemikian sehingga semua kepentingan penggunaan air dari sungai tersebut dapat berjalan tanpa adanya konflik pemanfaatan antara kepentingan yang satu dengan yang lainnya.

(22)

20 Berdasarkan uraian tersebut, Rencana Pola Tanam merupakan salah satu dari kegiatan operasi jaringan irigasi yang harus dibuat untuk setiap musim tanam guna pemanfaatan air irigasi secara efektif, efisien, dan berkesinambungan tanpa konflik pemanfaatan air.

Untuk menentukan Pola Tanam perlu dilakukan Perhitunngan Neraca Air, Kebutuhan Air Untuk Irigasi, Kebutuhan Air Untuk Penyiapan Lahan, dan Kebutuhan Air Untuk Pertumbuhan Tanaman Padi . (Ditjen Pengairan, 1982)

2.6.1 Perhitungan Neraca Air

Menurut Direktorat Jendral Pengairan Departemen Pekerjaan Umum (1982) Neraca Air merupakan perbandingan antara debit air yang tersedia dengan debit air yang dibutuhkan untuk keperluan irigasi. Dalam perhitungan neraca air, kebutuhan pengambilan yang dihasilkan untuk pola tanam yang digunakan akan dibandingkan dengan debit andalan untuk tiap setengah bulan dan luas daerah yang bisa diairi. Apabila debit sungai melimpah, maka luas daerah proyek irigasi adalah tetap karena luas maksinum daerah layanan (command area) dan proyek akan direncanakan sesuai dengan pola tanam yang dipakai. Bila debit sungai kurang maka ada tiga pilihan yang bisa dipertimbangkan yaitu : luas daerah irigasi dikurangi, melakukan modifikasi pola tanam atau pemberian air secara rotasi/giliran.

(23)

21 Perhitungan neraca air ini menjadi dasar untuk menentukan jadwal tanam pada Daerah Irigasi Way Ketibung. (Dinas PU KP-01,1986).

Ada dua unsur pokok dalam perhitungan neraca air untuk tanaman padi yaitu: 1. Kebutuhan Air Untuk Irigasi

2. Tersedianya Air Irigasi

Untuk menghitung neraca air digunakan berbagai parameter yang dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut :

Tabel 2.1 Parameter Neraca Air

Bidang Parameter yang

Tofografi Daerah Layanan Debit Andalan

Hidrolodi Debit Analan

2.6.2 Kebutuhan Air Untuk Irigasi

(24)

22 1. Kebutuhan air bagi tanaman (penggunaan konsumtif), yaitu banyaknya

air yang dibutuhkan tanaman untuk membuat jaring tanaman (batang dan daun) dan untuk diuapkan (evapotranspirasi), perkolasi, curah hujan, pengolahan lahan dan pertumbuhan tanaman.

Rumus yang digunakan :

Ir = E + T + ( P + B ) + W – Re ………. ( 3 ) Dimana :

Ir = Kebutuhan air B = Infiltrasi

E = Evaporasi W = Tinggi genangan T = Transpirasi Re = Hujan efektif P = Perkolasi

2. Kebutuhan air untuk irigasi, yaitu kebutuhan air yang digunakan untuk pengairan pada saluran irigasi sehingga didapat kebutuhan air untuk masing-masing jaringan.

Kebutuhun air irigasi (IR) untuk suatu tanaman adalah sejumlah air dibutuhkan pada bangunan pembawa air untuk mengairi sebidang areal, dimulai dari pengolahan tanah sampai dengan panen. Kebutuhan air irigasi adalah sama dengan kebutuhan air di sawah ditambah dengan kehilangan (Dinas PU KP-01,1986).

Kebutuhan air irigasi untuk padi sawah terdiri dari :

(25)

23 (2) Kebutuhan Air untuk Pertumbuhan Tanaman yang meliputi : Penggunaan Konsumtif, Perkolasi (peresapan), Penggantian lapisan air , dan dikurangi Curah hujan efektif.

2.6.3 Kebutuhan Air untuk Penyiapan Lahan

Kebutuhan air selama penyiapan lahan dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut (Dinas PU KP-01,1986) :

NFRp = LP – Re ………. ( 4 ) Dimana :

NFRp = Net Farm Requirement for Land Preparation , Kebutuhan bersih air untuk penyiapan lahan (mm/hari)

LP = Land Preparation, Kebutuhan air untuk penyiapan lahan (mm/hari) Re = Curah hujan efektif (mm/hari)

Perkiraan kebutuhan air selama penyiapan lahan didasarkan pada kedalaman serta porositas tanah di sawah dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Dinas PU KP-01,1986) :

PWR = Puddling Water Requirement, Kebutuhan air untuk penyiapan lahan ( mm )

(26)

24 Sb = Derajat kejenuhan tanah sebelum penyiapan lahan dimulai ( % volume ) N = Porositas tanah rata-rata untuk kedalaman olah tanam ( % )

d = Kedalaman olah tanah ( mm )

FL = Farm Losses, Kehilangan air di sawah dalam satu hari ( mm ) Pd = Kedalaman genangan setelah pekerjaan penyiapan lahan ( mm )

Selain rumus empiris diatas, untuk menentukan kebutuhan air irigasi yang diperlukan selama penyiapan lahan dikaitkan dengan jangka waktu yang tersedia untuk pengolahan tanah, dapat pula digunakan metode yang dikembangkan oleh Van De Goor dan Zijlstra (1968) dalam Dinas PU KP-01 (1986). Metode ini didasarkan pada laju air konstan dalam lt/dt selama periode penyiapan lahan dan menghasilkan persamaan sebagai berikut :

M ek

LP = …….…….…..………... ( 6 ) ek– 1

M = E0 + P …..……….………... ( 7) K = ( M . T ) / S ……….. ( 8 ) Dimana :

LP = Kebutuhan air untuk irigasi dalam penyiapan lahan ( mm/hari ) M = Kebutuhan air untuk mengganti kehilangan air akibat evaporasi dan

(27)

25 E0 = Evaporasi air terbuka yang diambil 1,1 ET0 selama penyiapan

lahan ( mm/hari ) P = Perkolasi

T = Jangka waktu penyiapan lahan ( hari )

S = Kebutuhan air untuk penjenuhan ( 250 mm ) ditambah dengan lapisan air ( 50 mm )

e = Log alam ( 2,7183 )

Tabel 2.2 Koefisien Kebutuhan Air Selama Penyiapan Lahan.

(28)

26 2.6.4 Kebutuhan Air untuk Pertumbuhan Tanaman Padi

Kebutuhan air sawah untuk padi ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut: penyiapan lahan, penggunaan konsumtif, perkolasi dan rembesan, pergantian lapisan air dan curah hujan efektif. Pemberian air secara golongan adalah untuk efisiensi, memperkecil kapasitas saluran pembawa, dan seringkali untuk menyesuaikan pelayanan irigasi menurut variasi debit yang tersedia pada tempat penangkap air, misalnya bendung pada sungai (Sudjarwadi, 1979).

Persamaan untuk menghitung kebutuhan bersih air di sawah untuk padi (NFR) selama pertumbuhan adalah sebagai berikut (Dinas PU KP-01,1986) :

NFR = ETc + P + LP – Re ………... ( 9 )

Di mana :

NFR = Kebutuhan bersih air di petak sawah ( mm/hari ) ETc = Kebutuhan konsumtif tanaman ( mm/hari ) P = Perkolasi ( mm/hari )

LP = Kebutuhan air untuk untuk penyiapan lahan ( mm/hari ) Re = Curah hujan efektif ( mm/hari )

(29)

27 dari mulut bendung sampai petak sawah. Kehilangan air tersebut disebabkan karena penguapan, perkolasi, kebocoran dan sadap liar.

a. Evapotranspirasi Tanaman (ETc)

Evapotranspirasi adalah perpaduan dua istilah yakni evaporasi dan transpirasi. Evaporasi yaitu penguapan di atas permukaan tanah, sedangkan transpirasi yaitu penguapaan melalui permukaan dari air yang semula diserapa oleh tanaman. Atau dengan kata lain, evapotranspirasi adalah banyaknya air yang menguap dari lahan dan tanamn dalam suatu petakan karena panas matahari (Asdak, 1995 dalam sigit 2001).

Besarnya evapotranspirasi tanaman atau penggunaan konsumtif tanaman merupakan besarnya kebutuhan air untuk tanaman.

Kemudian untuk menduga besarnya nilai kebutuhan air tanaman menggunakan rumus (Dinas PU KP-01,1986) :

ETc = ET0 . Kc………... (10)

Keterangan:

ETc = evapotranspirasi tanaman (mm/hari)

Kc = koefisien tanaman sesuai jenis dan pertumbuhan vegetasinya

(30)

28 b. Evapotranspirasi (ETo)

Evapotranspirasi (ETo) adalah proses dimana air berpindah dari permukaan bumi ke atmosfer termasuk evaporasi air dari tanah dan transpirasi dari tanaman melalui jaringan tanaman melalui transfer panas laten persatuan area (Hillel, 1983).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi evapotranspirasi yaitu faktor iklim mikro, mencakup radiasi netto, suhu, kelembaban dan angin, faktor tanaman, mencakup jenis tanaman, derajat penutupannya, struktur tanaman, stadia perkembangan sampai masak, keteraturan dan banyaknya stomata, menutup dan membukanya stomata, faktor tanah, mencakup kondisi tanah, aerasi tanah, potensial air tanah dan kecepatan air tanah bergerak ke akar tanaman (Linsley dan Joseph,1985).

Salah satu metode yang digunakan untuk menghitung Evapotranspirasi adalah dengan metode Penmann. Metode ini memerlukan input data meteorologi berupa : temperatur, kelembapan udara, radiasi matahari dan kecepatan angin.

Adapun rumus yang digunakan untu menghitung Eto dengaan metode Penmann adalah sebagai berikut :

Eto = C.[W.Rn+(1-W)(f(u)(ea-ed)] ………..…….……….. (11) Dimana :

Eto = evapotranspirasi (mm/hari)

W = faktor yang mempengaruhi penyinaran matahari

C = faktor penyesuaian kondisi cuaca akibat siang dan malam (1-W) = faktor berat sebagai pengaruh angin dan kelembab

(31)

29 f(u) = faktor yang tergantung dari kecepatan angin / fungsi relatif

angin

ea = tekanan uap jenuh (mbar) ed = tekanan uap nyata (mbar)

(ea-ed) = perbedaan antara tekanan uap jenuh pada suhu rata-rata dan tekanan uap rata-rata actual (mbar)

Besarnya evapotranspirasi tanaman ada beberapa tahap harus dilakukan, yaitu menduga evapotranspirasi acuan; menentukan koefisien tanaman kemudian memperhatikan kondisi lingkungan setempat; seperti variasi iklim setiap saat, ketinggian tempat, luas lahan, air tanah tersedia, salinitas, metode irigasi, dan budidaya pertanian. Menurut Doorenbos dan Pruitt, (1977) dalam Rosadi (2012) ada beberapa metode pendugaan evapotranspirasi acuan :

a. Metode Blaney – Cridle

ETo = c [P ( 0,46 T + 8)] ….……….……… (12) Keterangan:

c = Koefisien Tanaman Bulanan

p = Presentase Bulanan jam-jam Hari Terang dalam Tahun T = Rata – rata Suhu Udara (0C)

b. Metode Radiasi

ETo = c ( W .Rs ) mm/hari ..….……….. (13) Keterangan:

(32)

30 W = Faktor pemberat (weighting factor) tergantung pada suhu dan

elevasi .

C = Faktor penyesuian yang tergantung pada RH rata-rata dan kondisi angin pada siang hari .

c. Metode Pan Evaporasi

ETo = Kp × Ep ………. (14) Keterangan:

Kp = Koefisien Panci

Ep = Evaporasi Panci (mm/hari) d. Metode Penman

ETo = c (W Rn + (1 – W) f(u) (ea – ed) ) ... (15) Metode Penman modifikasi (FAO) digunakan untuk luasan lahan dengan data pengukuran temperatur, kelembaban, kecepatan angin dan lama matahari bersinar. Cara Penman menurut Doorenbos dan Pruitt, (1977) dalam Sigit, (2001), yang diubahsuai nilai ET0 untuk iklim dan tempat tertentu dihitung dengan rumus :

ET0 = W x Rn + (1 – W) x f(u) x (es - e) ………… (16) ET0 = uap peluhan tanaman acuan yang tak tersesuaikan, mm/hari W = factor bobotan terkait suhu

R = sinaran bersih dalam tara uapan, mm/hari F(u) = fungsi terkait angin

(33)

31 ET0 kemudian ditemukan dari ET0 lewat penyesuaian untuk keadaan cuaca siang dalam hari. Nasabannya disajikan secara grafik untuk berbagai keadaan angin dan kelembapan yang berbeda-beda.

Setelah ditentukan sebuah nilai ET0 kebutuhan air untuk tanaman ET(tan) ditemukan dari :

ET(tan) = kc x ET0 ……… (17) Disini kc adalah koefisien tanaman, menggambarkan hasil penguappeluhan tanaman tertentu yang tumbuh dalam keadaan optimum (bagi iklim dan letaknya) dan memberi hasil optimum.

Metode Penman Modifikasi memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan metode-metode yang lain. Sedang metode Panci Evaporasi lebih banyak digunakan karena mudah dilakukan di tingkat sawah. (Wilson, 1993)

Perhitungan ET0 dengan menggunakan persamaan Penman Modifikasi, dilakukan dengan menyelesaikan persamaan sebagai berikut (Dinas PU KP-01,1986) :

ET0 = c{W . Rn + (1 – W ) . f(u) . ( ea – ed )} …………. ( 18 )

Rn = Rns – Rn1 ………... ( 19 )

(34)

32 f(u) = 0,27 { 1 + (u/100)} ……….. ( 24 )

Dimana :

ET0 = Evapotranspirasi potensial (mm/hari) Ra = Radiasi matahari (mm/hari)

n = Rata-rata lama cahaya matahari yang sebenarnya (jam/hari) N = Lama matahari maksimum yang mungkin

n/N = Presentasi penyinaran matahari (%) f(u) = Faktor kecepatan angin

W = Faktor temperatur f(T) = Pengaruh temperatur Rn = Kelembaban relatif (%)

ed = Tekanan uap udara dalam keadaan jenuh (mm/Hg) ea = Tekanan uap udara pada temperatur rata-rata (mm/Hg).

c. Koefisien Tanaman (Kc)

Saat pertunasan nilai Kc didasarkan pada kondisi rata-rata RH minimum dalam kategori sub-humid dan kondisi kecepatan angin pada ketinggian dua meter dalam kategori light, sehingga nilai Kc pertunasan bernilai 1.05 berdasarkan FAO (1998). Evaporasi tanah berfluktuasi setiap hari karena hujan atau irigasi, Singgle crop coefficient (Kc) hanya

(35)

33 (inisial stage, Kc ini), fase pertengahan (mod-season stage, Kc mid ), dan fase akhir musim (late season stage, Kc end ) . Besarnya Kc untuk tanaman padi ditentukan dengan nilai Kc ini = 1.05, Kc mid = 1.20, Kc end = 0.90 – 0.60 dengan tinggi maksimum tanaman 1 meter. (Rosadi, 2012)

Harga Kc ini diperlukan untuk menghitung kebutuhan air tanaman (consumtive use) setiap setengah bulan selama masa tanam, dan digunakan harga-harga koefisien tanaman menurut Standar Perencanan Irigasi Dinas PU KP-01 Tahun 1986.

Harga – harga koefisien tanaman yang digunakan berdasarkan Standar Perencanan Irigasi Dinas PU KP-01 Tahun 1986 seperti yang disajikan pada tabel berikut :

Tabel 2.3 Koefisien Tanaman Setengah Bulanan (Kc)

PERIODE Kc

1 0.00

2 0.00

3 1.10

4 1.10

5 1.05

6 1.05

7 0.95

8 0.00

(36)

34 d. Perkolasi (P)

Perkolasi adalah gerakan air ke bawah dari zona air tidak jenuh, yang tertekan di antara permukaan tanah sampai ke permukaan air tanah (zona jenuh). Daya perkolasi (P) adalah laju perkolasi maksimum yang dimungkinkan, yang besarnya dipengaruhi oleh kondisi tanah dalam zona tidak jenuh yang terletak antara permukaan tanah dengan permukaan air tanah (Soemarto, 1987).

Kehilangan air akibat perkolasi dapat diukur dengan menggunakan lisimeter tanpa alas yang tidak ditanami dan diletakkan di petak sawah. Pada tanah lempung dengan karakteristik pengolahan yang baik laju perkolasi dapat mencapai 1 – 3 mm/hari, sedangkan pada tanah ringan laju perkolasi bisa lebih tinggi ( Dinas PU KP-01, 1986 ).

Koefisien perkolasi adalah sebagai berikut :

a. Berdasarkan kemiringan : - lahan datar = 1 mm/hari

- lahan miring > 5% = 2 – 5 mm/hari b. Berdasarkan tekstur :

- berat (lempung) = 1 – 2 mm/hari

(37)

35 e. Kebutuhan Air Untuk Penyiapan Lahan (LP)

Kebutuhan air untuk penyiapan lahan adalah air yang diperlukan pada saat pengolahan tanah yang akan ditanam padi sampai dengan selesai menanam bibit padi. Biasanya air ini diperlukan pada minggu pertama sampai dengan minggu kedua.

f. Curah Hujan Efektif (Re)

Hujan yang diharapkan terjadi selama satu musim tanam

berlangsung disebut curah hujan efektif. Masa hujan efektif untuk suatu lahan persawahan dimulai dari pengolahan tanah sampai tanaman dipanen, tidak hanya selama masa pertumbuhan (Subramanya, 2005).

Curah hujan efektif untuk tanaman lahan tergenang berbeda dengan curah hujan efektif untuk tanaman pada lahan kering dengan memperhatikan pola periode musim hujan dan musim kemarau. Perhitungan curah hujan efektif dilakukan atas dasar prinsip hubungan antara keadaan tanah, cara pemberian air dan jenis tanaman (Sosrodarsono, 1983).

Besarnya curah hujan efektif diperoleh dari pengolahan data curah hujan harian hasil pengamatan pada stasiun curah hujan yang ada di daerah irigasi/daerah sekitarnya dimana sebelum menentukan curah hujan efektif terlebih dahulu ditentukan nilai curah hujan andalan yakni curah hujan rata-rata setengah bulanan (mm/15 hari) dengan kemungkinan terpenuhi 80% dan kemungkinan tak terpenuhi 20% dengan menggunakan rumus analisis (Chow, 1994 dalam Subramanya, 2005) :

(38)

36 Re = 0,7 x R80 ……….……… ( 26 ) Dimana : R80 = Curah hujan andalan tengah bulan (mm/hari) Re = Curah hujan efektif (mm/hari) n = Jumlah tahun pengamatan curah hujan. Curah hujan efektif dapat juga dihitung dengan rumus:

Re = Rtot (125 – 0,2 Rtot)/125 ; Rtot < 250 mm ……..……… ( 27 ) Re = 125 + 0,1 Rtot ; Rtot > 250 mm ………... ( 28 ) Dimana : Rtot adalah jumlah curah hujan bulanan (mm/hari)

Curah hujan efektif adalah bagian dari curah hujan total yang digunakan oleh akar-akar tanaman selama masa pertumbuhan. Besarnya curah hujan efektif dipengaruhi oleh :

1. Cara pemberian air irigasi (rotasi, menerus atau berselang).

2. Laju pengurangan air genangan di sawah yang harus ditanggulangi 3. Kedalaman lapisan air yang harus dipertahankan di sawah

4. Cara pemberian air di petak

5. Jenis tanaman dan tingkat ketahanan tanaman terhadap kekurangan air

Curah hujan efektif (R80) dihitung dari data curah hujan rata-rata setengah bulanan yang selanjutnya diurutkan dari data terkecil hingga terbesar. Atau dengan Rumus (Dinas PU KP-01,1986) :

R80 = R - 0,842.Sd ……….. ( 29 ) Dimana :

R80 = curah hujan efektif:

(39)

37 Curah hujan efektif dalam budidaya padi adalah hujan yang jatuh di petak sawah dan dimanfaatkan oleh tanaman selama pertumbuhannya untuk mempertahankan tinggi genangan yang diinginkan, mengganti kehilangan air yang disebabkan oleh evaporasi, transpirasi, perkolasi dan rembesan mulai saat pengolahan tanah sampai saat panen.

Penentuan curah hujan efektif digunakan rumus empiris yang menyatakan bahwa 70% dari curah hujan minimum tengah bulanan dengan periode ulang 5 tahun (Dinas PU KP-01,1986).

Dengan persamaan sebagai berikut :

Re = 0,7 . (1/15) . R ( tengah bulanan )5 ……….……… ( 30 )

Dimana :

Re = Curah hujan efektif ( mm/hari )

R ( tengah bulanan )5 = Curah hujan minimum tengah bulanan dengan periode ulang 5 tahun (mm)

g. Tersedianya Air Irigasi

(40)

38 Jika air sungai ini digunakan untuk pembangkitan listrik tenaga air maka diperlukan reabilitas yang sangat tinggi, yaitu antara 95% sampai dengan 99%. Dalam perencanaan ini perhitungan debit andalan menggunakan metoda neraca air (water balance). Perhitungan debit andalan (dependable flow) dengan metoda neraca air dikembangkan oleh F.J. Mock. Metoda Mock dikembangkan oleh Dr. F. J. Mock (Mock 1973) berdasarkan atas daur hidrologi. Metoda Mock merupakan salah satu dari sekian banyak metoda yang menjelaskan hubungan rainfall-runoff.

(41)

39 Metoda Mock dikembangkan untuk menghitung debit bulanan rata-rata. Metoda Mock ini lebih jauh lagi bisa memprediksi besarnya debit. Data-data yang dibutuhkan dalam perhitungan debit dengan metoda Mock ini adalah:

a. Data rainfall atau presipitasi.

Data curah hujan yang dipakai dalam perhitungan debit andalan adalah curah hujan titik yang sudah dirubah menjadi curah hujan wilayah yang datanya bisa dilihat pada pembahasan mengenai curah hujan wilayah pada bab sebelumnya.

Perhitungan

Base Flow, Direct Run Off dan Storm Run Off

Perhitungan Evapotranspirasi

Potensial (Metoda Penman)

Perhitungan Evapotranspirasi

Aktual

Perhitungan Water Surplus

(42)

40 b. Data klimatologi: temperatur, penyinaran matahari, kelembaban relatif

dan kecepatan angin. Data klimatologi yang telah terkumpul dianalisa dengan menggunakan metode kombinasi Penmann-Mock untuk mendapatkan nilai evapotranspirasi yang merupakan variabel penting dalam memprediksi debit andalan.

c. Data catchment area.

Catchment area atau daerah tangkapan hujan. Data yang berhasil dikumpulkan tersebut kemudian dirumuskan melalui formula-formula F.J. Mock dan hasil perhitungan Debit andalan.

Adapun perhitungan debit andalan dengan metode Water Balance F.J. Mock menggunakan rumus sebagai berikut :

Q = R0 . A ... ( 31 )

R0 = DR0 + BF ... ( 32 )

ET = dari perhitungan Penman DR = I-(Vn - V(n-1)) ... ( 33 )

BF = WS - 1 ... ( 34 )

WS = R - EI ... ( 35 )

Δ E = ET x (m/20)(18-n) ... ( 36 )

EI = ET –Δ E ... ( 37)

Vn = k(Vn-1)+0,5(1+k)I ... ( 38 )

Dimana :

(43)

41 Ro = aliran permukaan langsung, mm/bln

DRo = limpasan langsung, mm R = hujan bulanan, mm P = bentuk jatuhan air, mm I = Inflitrasi, mm/bl E = Evapotranspirasi, mm A = Luas DAS, km2 BF = aliran dasar, mm

ET = Evaporasi Potensial dari Penman , mm

m = prosentase lahan yang tidak tertutup tanaman, ditaksir n = jumlah hari hujan

Vn = volume air tanah bulan ke n V(n1) = volume air tanah bulan ke n-1 k = faktor resesi aliran tanah WS = Air lebih , mm

Perhitungan Debit Andalan 80% pada wilayah daerah pengaliran sungai dengan tahapan-tahapan berikut :

1 Analisa Metoda Penman Modifikasi 2 Analisa Curah Hujan 15 Harian

(44)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Prosedur pelaksanaan penelitian merupakan penjabaran terhadap Ruang Lingkup Penelitian yang terdiri dari tahap-tahap pelaksanaan sebagai berikut :

1. Kegiatan Persiapan dan Pengumpulan Data 2. Kegiatan Observasi Lapangan

3. Kegiatan Analisis Data

3.1.1 Kegiatan Persiapan dan Pengumpulan Data

Kegiatan persiapan dan pengumpulan data terdiri dari beberapa sub kegiatan sebagai berikut :

a. Pengumpulan Data-data Sekunder

(45)

43 Keberadaan data-data sekunder ini cukup penting bagi peneliti terutama untuk mengetahui kondisi eksisting lokasi penelitian. Dalam pengumpulan data-data sekunder ini peneliti menghubungi dan bekerjasama dengan beberapa pihak yang terkait diantaranya :

1. Pemerintah Propinsi Lampung

2. Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan 3. Dinas PU Pengairan Propinsi Lampung

4. Dinas PU Pengairan Kabupaten Lampung Selatan serta UPTD Dinas PU Kecamatan Sidomulyo.

5. Instansi-instansi lain yang terkait.

Adapun data-data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi :

Data-data hidroklimatologi

(46)

44 b. Pengumpulan Data-data Primer

Data-data primer adalah data yang didapat oleh peneliti dengan cara survey langsung kelapangan. Data-data primer dibutuhkan untuk menyempurnakan data-data sekunder yang telah didapat.

3.1.2 Kegiatan Observasi Lapangan

Kegiatan Observasi Lapangan adalah kegiatan yang dilakukan langsung kelapangan untuk mendapatkan data – data sekunder dan primer yang diperlukan untuk penelitian ini. Kegiatan Observasi lapangan dilakukan di Daerah Irigasi Way Ketibung dan daerah - daerah pendukung Daerah Irigasi Way Ketibung untuk mendapatkan data – data yang akan digunakan untuk penelitian ini.

3.1.3 Kegiatan Analisis data

Kegiatan analisis data dilakukan berdasarkan data-data yang diperoleh, meliputi :

1. Analisis Kebutuhan Air Irigasi, Kebutuhan Air Untuk Penyiapan Lahan, Kebutuhan Air Untuk Pertumbuhan Tanaman, Evapotranspirasi Tanaman, Perkolasi, Curah Hujan Efektif, Tersedianya Air Irigasi di Daerah Irigasi Way Ketibung

(47)

45 Secara bagan alir kegiatan penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

Gambar 3.1 Bagan Alir Penelitian Persiapan dan Pengumpulan Data

(Data Hujan dan Pola Tanam Tahun Sebelumnya)

Kegiatan Observasi Lapangan

Hasil Analisis Data

Neraca Air, Kebutuhan Air Irigasi, Kebutuhan Air Untuk Penyiapan Lahan, Kebutuhan Air Untuk Pertumbuhan Tanaman, Evapotranspirasi Tanaman,

Perkolasi, Curah Hujan Efektif, Tersedianya Air Irigasi

Penyusunan Pola Tanam

Pada Sawah Daerah Irigasi Way Ketibung

Selesai

Mulai

Data Curah Hujan

( Data Curah Hujan Tahun 1992 sampai Tahun 2006)

Analisis Data

(48)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang dilakukan, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

Jadwal tanam yang digunakan selama ini oleh masyarakat di daerah Irigasi Way Ketibung , untuk golongan I musim tanam rendeng (MT.1) pada Bulan September minggu kesatu dan musim tanam gadu (MT.2) dimulai pada bulan Januari minggu kesatu dan untuk golongan II musim tanam rendeng yang dimulai pada Bulan September minggu kedua dan musim tanam gadu dimulai pada bulan Januari minggu kedua. Pola tanam yang dilakukan selama ini oleh masyarakat di Daerah Irigasi Way Ketibung kurang sesuai, karena hanya sedikit masyarakat yang dapat menanam padi. Hal ini disebabkan oleh karena air yang tersedia tidak maksimal untuk pola tanam tersebut.

(49)

71 pada Bulan April 2 . Sedangkan untuk Golongan II, masa tanam padi dimulai pada Bulan Januari 1, Gadu (MT.2) dimulai pada Bulan Mei 1.

Hasil perhitungan neraca air dengan menggunakan pendekatan debit andalan Q80 maka pergiliran pola tanam yang dihasilkan sebagai berikut.

- Musim tanam 1 : Gol I : luas 821 Ha100% (mulai tanam Desember 2)

Gol II : luas 612 Ha 100 % (mulai tanam Januari 1)

- Musim Gadu : Gol I : luas 821 Ha 50 % (mulai tanam April 2)

Gol II :luas 612 Ha 50 % (mulai tanam Mei 1)

5.2 SARAN

Jadwal tanam yang digunakan sebaiknya mengikuti jadwal tanam dari hasil perhitungan dengan menggunakan pendekatan debit andalan Q80 pada pergiliran pola tanam yaitu

- Musim tanam 1 : Gol I : luas 821 Ha100% (mulai tanam Desember 2)

Gol II : luas 612 Ha 100 % (mulai tanam Januari 1)

- Musim Gadu : Gol I : luas 821 Ha 50 % (mulai tanam April 2)

(50)

OPTIMALISASI POLA TANAM PADI SAWAH

DI DAERAH IRIGASI WAY KETIBUNG

KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

(TESIS)

Oleh

WAYAN SUSANA

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER TEKNIK SIPIL

Pada

Program Pascasarjana Magister Teknik Fakultas Teknik Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG

(51)

OPTIMALISASI POLA TANAM PADI SAWAH

DI DAERAH IRIGASI WAY KETIBUNG

KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

(TESIS)

Oleh

WAYAN SUSANA

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG

(52)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1 Tahun Produksi dan Impor Beras Tahun 1968 – 2006

………....………... 4

Gambar 2.1 Bagan Alir Perhitungan Debit dalam Metode Mock

………...……..……….. 39

Gambar 3.1 Bagan Alir Penelitian ………...….. 45 Gambar 4.1 Grafik Debit Andalan 80 % Pada DPS Way Ketibung

..………. 59

(53)
(54)

ii III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Prosedur Pelaksanaan Penelitian ……….. 42

3.1.1 Kegiatan Persiapan dan Pengumpulan Data ………… 42

3.1.2 Kegiatan Observasi Lapangan ………. 44

3.1.3 Kegiatan Analisis Data ……… 44

IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Daerah Aliran Irigasi Way Ketibung ………. 46

4.2 Curah Hujan ………...………... 48

4.3 Perhitungan Neraca Air ………...………. 49

4.3.1 Kebutuhan Air Untuk Pengolahan Tanah .………….. 49

4.3.2 Kebutuhan Air Bersih Untuk Penyiapan Lahan ……... 50

4.3.3 Kebutuhan Air Untuk Pertumbuhan Tanaman …….... 52

4.3.4 Debit Andalan ……….……. 56

4.4 Neraca Air Untuk Penetapan Pola Tanam ………. 60

4.4.1 Pola Tanam Eksisting ……….. 60

4.4.2 Jadwal Tanam Eksisting ………. 60

4.4.3 Neraca Air ………... 61

V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ………... 70

5.2 Saran ……… 71 DAFTAR PUSTAKA

(55)

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, T. 2013. Budidaya Tanaman Pembibitan dan Perawatan Padi.

http://bestbudidayatanaman.blogspot.com/2013/01/Panduan-Budidaya-Padi-dan-Cara-Menanam-Padi-yang-Baik-dan-Benar.html

Ardhiyani, S. 2008. Swasembada Beras 2009 : Penguatan Paradigma Agrikultur Indonesia.

http://shinta.blogspot.com/2008/03/swasembada.html

Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah Dan Air. Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor.

Dinas Pekerjaan Umum, KP-01. 1986. Standar Perencanaan Irigasi. Jakarta Direktorat Jenderal Pengairan. 1982. Direktorat Bina Program. Departemen

Pekerjaan Umum. Studi Perencanaan dan Pengembangan Sumber – sumber Air Wilayah Sungai Way Pisang. Laporan Akhir. Laporan Utama. Halaman 8-16.

Gany, A.H. 2011. Prospek Pengembangan Irigasi Mikro Pada Lahan Kering Berbasis Kearifan Lokal Untuk Menjaga Ketahanan Pangan. http://gany@hafied.org/2011/02/irigasi mikro html

Harto, B.S. 1993. Analisis Hidrologi. Gramedia. Jakarta.

Hillel, D. 1983. Fundamental of Soil Physics. Academic Press Inc. New York. Alih Bahasa Susanto, R.H dan Rahmad H.P.1996. Fakultas Pertanian. Universitas Sriwijaya.

Indarto. 2012. Hidrologi. Bumi Aksara. Jakarta.

Istanto, K. 2007. Studi Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu Wilayah Sungai Pemali Comal Propinsi Jawa Tengah. Program Pasca Sarjana Universitas Diponogoro. Semarang.

(56)

Mabruri, I.R. 2012. Polemik Impor Beras Indonesia.

http://rohmatulah.blogspot.com/2012/01/impor beras.html

Mock, F. J. 1973. Metode – Metode Hidrologi. Gramedia. Jakarta.

Pudjiatmoko. 2008. Jurnal Atani Tokyo “Tahun 2008 Indonesia Swasembada Beras. http://jurnal atani tokyo.com/2008/swasembada beras.html Putra, R.S. 2009. Sejarah Irigasi . http://mitra-pelajar-computer.blogspot.com Rai, M. and Mauria, S. 2006. Handbook of Agriculture. Indian Council of

Agricultural Research. New Delhi.

Rosadi, R.A.B. 2010. The Role Of Irigation System In Rice Production Toward Food Security In Indonesia. Presented at the 2nd International Symposium of Rearing Program for Basin Water Environmental Leader. Gifu University. Gifu. Japan.

Rosadi, R.A.B. 2012. Irigasi Defisit. Lembaga Penelitian Universitas Lampung. Lampung.

Sigit, A. 2001. Studi Pengembangan Sumber Daya Air Terpadu Satuan Wilayah Sungai Pedegolan Propinsi Jawa Tengah. Tesis ITB. Bandung. Soemarto, C.D. 1987. Hidrologi Teknik. Usaha Nasional. Surabaya.

Sosrodarsono, S. dan Kensaku T. 1983. Hidrologi untuk Pengairan. Pradnya Paramita. Bandung.

Subramanya, K. 2005. Engineering Hydrology. Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited. New Delhi.

Sudjarwadi, 1979. Pengantar Teknik Irigasi. Fakultas Teknik UGM. Yogyakarta.

Susiloputri, S. dan Farida, S.N. 2011. Pemanfaatan Air Tanah Untuk memenuhi Air Irigasi Di Kabupaten Kudus. Laporan Tugas Akhir Universitas Veteran Djogjakarta. Jawa Tengah.

(57)
(58)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 Produksi Beras Indonesia .……….. 3 Tabel 2.1 Parameter Neraca Air ……….……. 21 Tabel 2.2 Koefisien Kebutuhan Air Selama Penyiapan Lahan ….….. 25 Tabel 2.3 Koefisien Tanaman Setengah Bulanan ..……….... 33 Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Kebutuhan Air Pengolahan Tanah ……. 51 Tabel 4.2 Hasil Perhitungan ET0 Metode Penman ……….… 54 Tabel 4.3 Hasil Perhitungan Curah Hujan Efektif DPS Way Ketibung

……….……. 55

Tabel 4.4 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Curah Hujan Dengan

Keandalan 80 % ……….... 57 Tabel 4.5 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Debit Andalan Dengan

(59)
(60)
(61)

Gambar

Tabel 1.  Produksi beras indonesia (dalam ribuan ton)
Gambar 1.  Tahun produksi dan impor beras tahun 1968 – 2006
Tabel 2.1  Parameter Neraca Air
Tabel 2.2  Koefisien Kebutuhan Air Selama Penyiapan Lahan.
+3

Referensi

Dokumen terkait

Analisa kebutuhan air irigasi dilakukan dengan membuat 24 alternatif awal masa tanam dalam satu tahun, agar dapat ditentukan awal masa tanam yang paling optimal.. Berdasarkan

Nilai curah hujan efektif dan evapotranpirasi dipakai untuk perhitungan kebutuhan air irigasi dan perencanaan pola tanam. Analisa kebutuhan air irigasi dilakukan dengan membuat

Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan pola tanam dan jadwal tanam yang sesuai dengan memanfaatkan debit yang ada pada saluran sekunder Lumbung Kerep guna

Karena curah hujan rencana itu tidak semuanya akan digunakan untuk pertumbuhan oleh tanaman, maka curah hujan yang di perhitungkan disini atau yang digunakan adalah curah

Curah hujan efektif merupakan curah hujan yang jatuh pada suatu daerah dan dapat digunakan tanaman untuk memenuhi kehilangan air akibat evapotranspirasi tanaman, perkolasi

Dalam perhitungan neraca air, kebutuhan air irigasi yang dihasilkan untuk pola tata tanam yang dipakai akan dibandingkan dengan debit air yang tersedia.. Bila debit yang

Selanjutnya berdasarkan analisis menggunakan metode program linier didapat pola tata tanam optimal pada PTT 4 awal masa tanam bulan Desember periode 2 dengan pola

 Curah hujan efektif, yaitu jumlah air hujan yang jatuh pada suatu daerah atau petak sawah semasa pertumbuhan tanaman dan dapat dipakai untuk memenuhi