• Tidak ada hasil yang ditemukan

Representasi Kehidupan Sosial Masyarakat Indonesia dalam Lirik Lagu Iwan Fals (Analisis Semiotika Lirik Lagu Iwan Fals yang Berjudul ‘Ujung Aspal Pondok Gede’)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Representasi Kehidupan Sosial Masyarakat Indonesia dalam Lirik Lagu Iwan Fals (Analisis Semiotika Lirik Lagu Iwan Fals yang Berjudul ‘Ujung Aspal Pondok Gede’)"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

REPRESENTASI KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT

INDONESIA DALAM LIRIK LAGU IWAN FALS

(Analisis Semiotika Lirik Lagu Iwan Fals yang

Berjudul ‘Ujung Aspal Pondok Gede’ )

SKRIPSI

JUSIA SEMBIRING

110922027

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI EKSTENSI

(2)

REPRESENTASI KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT

INDONESIA DALAM LIRIK LAGU IWAN FALS

(Analisis Semiotika Lirik Lagu Iwan Fals yang

Berjudul ‘Ujung Aspal Pondok Gede’ )

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

JUSIA SEMBIRING

110922027

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI EKSTENSI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika di kemudian hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya

bersedia diperoses sesuai dengan hukum yang berlaku.

(4)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh :

Nama : Jusia Sembiring

NIM : 110922027

Departemen : Ilmu Komunikasi Ekstensi

Judul Skripsi : Representasi Kehidupan Sosial Masyarakat Indonesia

dalam Lirik Lagu Iwan Fals (Analisis Semiotika Lirik

Lagu Iwan Fals yang Berjudul ‘Ujung Aspal Pondok

Gede’)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Majelis Penguji

Ketua Penguji :... (...) Penguji :... (...) Penguji Utama :... (...)

Ditetapkan di :...

(5)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI EKSTENSI

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh :

Nama : Jusia Sembiring

NIM : 110922027

Departemen : Ilmu Komunikasi Ekstensi

Judul : Representasi Kehidupan Sosial Masyarakat Indonesia dalam Lirik

Lagu Iwan Fals (Analisis Semiotika Lirik Lagu Iwan Fals yang

Berjudul ‘Ujung Aspal Pondok Gede’)

Medan, 22 Agustus 2013

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

(Haris Wijaya, S.Sos M.Comm)

NIP : 197711062005011001 NIP : 196208281987012001 (Dra. Fatma Wardy Lubis, MA)

Dekan FISIP USU

(6)

ABSTRAK

Penelitian ini menggunakan studi analisis semiotika, dengan judul “Representasi Kehidupan Masyarakat Indonesia Dalam Lagu Iwan Fals Yang Berjudul Ujung Aspal Pondok Gede”. Rpepresentasi kehidupan masyrakat Indonesia itu dapat ditemukan pada lirik sebuah lagu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui makna konotasi dan makna denotasi yang terkandung pada lirik lagu Ujung Aspal Pondok Gede sebagai representasi kehidupan masyarakat Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, peneliti memakai beberapa teori yang dianggap relevan, seperti: Teori Komunikasi, Bahasa dan Lirik Lagu, Semiotika, Semiologi Roland Barthes, Makna dan Representasi.

Untuk memahami lirik lagu sebagai produksi tanda dan pembangunan mitos, maka peneliti menggunakan analisis Roland Barthes yang berfokus pada penggalian makna menggunakan signifikasi dua tahap, pada tahap signifikasi pertama menggunakan denotasi, dan pada tahap kedua menggunakan konotasi dan mitos. Peneliti menggunakan data primer dan data skunder ataupu data yang telah ada sebelumnya dalam menganalisis lagu Ujung Aspal Pondok Gede. Pengambilan data dan informasi juga dilakukan peneliti melalui buku, jurnal, maupun internet.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, yang telah

memberi berkat dan karunia terhadap penulis sehingga skripsi ini selesai tepat

waktunya. Kepada kedua orangtua tercinta K.Sembiring dan R. br. karo yang

selalu mendukung dan memberi motivasi penulis dalam penulisan skripsi ini.

Skripsi yang berjudul Representasi “Kehidupan Sosial Masyarakat

Indonesia Dalam Lirik Lagu Iwan Fals” (Analisis Semiotika Lirik Lagu Iwan Fals

yang berjudul ‘Ujung Aspal Pondok Gede’) ini disusun untuk melengkapi seluruh

kegiatan akademik sekaligus sebagai persyaratan yang harus dipenuhi untuk

memproleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di

Universitas Sumaetra Utara. Dalam penelitian ini, penulis mendapatkan banyak

bimbingan, nasihat, serta dukungan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan

ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, Msi selaku Dekan FISIP USU

2. Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, MA selaku Ketua Departemen Ilmu

Komunikasi

3. Ibu Dra. Dayana Manurung, selaku Sekretaris Departmen Ilmu

Komunikasi

4. Bapak/Abang Haris Wijaya,M.Comm selaku dosen pembimbing penulis

yang telah banyak membantu dan membimbing penulis dalam

penyelesaian tulisan ini. Terima kasih telah banyak meluangkan waktu

terhadap penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan tulisan ini tepat

waktu.

5. Ibu Jovita Sabarina Sitepu selaku dosen pembimbing akademik penulis,

saya ucapkan terima kasih banyak karena telah banyak membimbing

penulis sewaktu di perkuliahan.

6. Seluruh dosen Ilmu Komunikasi yang telah banyak memberi ilmu

pelajaran kepada penulis selama perkuliahan di Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

(8)

8. Teman-temanwarung kopi pasar dua yang telah banyak member

pencerahan dan gambaran tentang skripsi selama ini.

Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna,

oleh karena itu penulis juga akan menerima saran dan kritik dari pembaca, agar

kedepannya skripsi ini menjadi lebih sempurna. Atas perhatiannya saya ucapkan

terima kasih.

Hormat saya,

(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

LEMBAR PENGESAHAN... ii

KATA PENGANTAR... iii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... iv

ABSTRAK... v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR... viii

DAFTAR LAMPIRAN... ix

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang Masalah... 1

1.2. Perumusan Masalah... 5

1.3. Pembatasan Masalah... 6

1.4. Tujuan Penelitian... 6

1.5. Manfaat Penelitian... 6

BAB II URAIAN TEORITIS... 15

2.1. Pengertian Komunikasi... 15

2.1.1. Karakteristik Komunikasi... 16

2.2. Bahasa dan Lirik Lagu... 17

2.2.1 Bahasa Sebagai Alat Komunikasi... 18

2.3 Semiotika... 19

2.3.1. Semiotika Charles Pierce ... 22

2.3.2. Semiotika Ferdinand de Saussure... 24

2.3.3. Semiotika Roland Barthes... 25

2.4. Representasi... 30

2.5. Makna... 32

2.5.1 Makna Denotasi... 32

2.5.2 Makna Konotasi... 33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 35

3.1. Tipe Penelitian... 35

3.2. Deskripsi Subjek Penelitian... 36

3.3 Unit Analisis Level... 37

3.4. Metode Pengumpulan Data... 38

3.5. Teknik Analisis Data... 39

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN... 40

4.1. Analisis Refrain... 41

4.2 Analisis Paragraf pertama ... 42

4.2.1. Analisis Baris Pertama... 44

4.2.2. Analisis Baris Kedua... 45

(10)

4.3.1. Analisis Baris Pertama... 49

4.3.2. Analisis Baris Kedua... 50

4.3.3. Analisis Baris Ketiga... 50

4.4 Analisis Paragraf Ketiga... 52

4.4.1. Analisis Baris Pertama... 53

4.4.2 Analisis Baris Kedua... 54

4.4.3. Analisis Baris Ketiga... 55

4.4.4. Analisis Baris Keempat... 56

4.5.Analisis Paragraf Keempat... 57

4.5.1. Analisis Baris Pertama... 59

4.5.2. Analisis Baris Kedua... 59

4.5.3. Analisis Baris Ketiga... 60

4.5.4. Analisis Baris Keempat... 61

4.6. Analisis Paragraf Kelima... 62

4.6.1. Analisis Baris Pertama... 64

4.6.2. Analisis Baris Kedua ... ... 65

4.6.3 Analisis Baris ketiga... 66

4.6.4. Analisis Baris Keempat... 67

4.7 Pembahasan... 69

BAB V PENUTUP... 73

5.1 Kesimpulan... 73

5.2 Saran... 74

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1... 38

Tabel 4.2.1... 44

Tabel 4.2.2 ...45

Tabel 4.2.3 ...46

Tabel 4.3.1...49

Tabel 4.3.2...50

Tabel 4.3.3... 50

Tabel 4.4.1... 53

Tabel 4.4.2... 54

Tabel 4.4.3... 55

Tabel 4.4.4... 56

Tabel 4.5.1... 59

Tabel 4.5.2... 59

Tabel 4.5.3... 60

Tabel 4.5.4 ...61

Tabel 4.6.1...64

Tabel 4.6.2...65

Tabel 4.6.3...66

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Segitiga Makna... 23

Gambar 2.2 Peta Tanda Roland Barthes...26

Gambar 4.1...43

Gambar 4.2...47

Gambar 4.3...52

Gambar 4.4...58

(13)

ABSTRAK

Penelitian ini menggunakan studi analisis semiotika, dengan judul “Representasi Kehidupan Masyarakat Indonesia Dalam Lagu Iwan Fals Yang Berjudul Ujung Aspal Pondok Gede”. Rpepresentasi kehidupan masyrakat Indonesia itu dapat ditemukan pada lirik sebuah lagu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui makna konotasi dan makna denotasi yang terkandung pada lirik lagu Ujung Aspal Pondok Gede sebagai representasi kehidupan masyarakat Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, peneliti memakai beberapa teori yang dianggap relevan, seperti: Teori Komunikasi, Bahasa dan Lirik Lagu, Semiotika, Semiologi Roland Barthes, Makna dan Representasi.

Untuk memahami lirik lagu sebagai produksi tanda dan pembangunan mitos, maka peneliti menggunakan analisis Roland Barthes yang berfokus pada penggalian makna menggunakan signifikasi dua tahap, pada tahap signifikasi pertama menggunakan denotasi, dan pada tahap kedua menggunakan konotasi dan mitos. Peneliti menggunakan data primer dan data skunder ataupu data yang telah ada sebelumnya dalam menganalisis lagu Ujung Aspal Pondok Gede. Pengambilan data dan informasi juga dilakukan peneliti melalui buku, jurnal, maupun internet.

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Konteks Masalah

Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan, yang terdiri dari

pulau-pulau yang terpampang dari Sabang sampai Merauke. Dengan banyaknya pulau-pulau

yang tersebar di Indonesia maka Indonesia juga memiliki berbagai kebudayaan.

Setiap kebudayaan memunculkan bahasa yang berbeda, dimana bahasa tersebut

digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi dalam suatu kebudayaan. Menurut

Badan pusat statistik (BPS) pada tahun 2012 jumlah penduduk Indonesia ±

273.775.796 juta jiwa, sehingga bahasa yang ada di Indonesia juga beragam

sesuai dengan adat-istiadat dari masing-masing daerah. Dengan banyaknya bahasa

yang ada maka dibuat bahasa pemersatu (lingua franca) antar suatu suku dengan

suku yang lainnya, agar komunikasi dapat berlangsung secara efektif. Bahasa

pemersatu tersebut adalah bahasa Indonesia atau yang dikenal sebagai bahasa

nasional.

Negara Indonesia juga kita kenal sebagai negara agraris, dimana jumlah

penduduknya mayoritas bermata pencaharian dari hasil pertanian dan berlatar

belakang pendidikan rendah. Rendahnya pendidikan di kalangan masyarakat pada

umumnya banyak dimanfaatkan politikus-politikus yang mengklarifikasi tanah

mereka adalah tanah sengketa, sehingga para mafia tanah menyarankan tanah

mereka lebih baik dijual daripada dipertahankan. Dengan kata lain mereka digusur

dari tanah nenek moyang mereka sendiri.

Setiap manusia membutuhkan komunikasi di dalam kehidupannya

sehari-hari. Kebutuhan itu bukan sekedar berbentuk material, tetapi juga kebutuhan yang

bersifat non material. Salah satunya musik atau lagu. Kadang manusia membuat

atau menyanyikan lagu untuk menyampaikan pesan ungkapan kasih sayang, sakit

hati, kritikan, dukungan dan lain-lain. Lagu tersebut dinyanyikan atau

disampaikan tanpa harus berkomunikasi secara langsung terhadap orang yang

dituju.

Sebuah lagu merupakan sebuah alat komunikasi verbal yang memiliki

(15)

yang disampaikan mengandung sebuah keyakinan, nilai-nilai, bahkan prasangka

tertentu. Pesan yang disampaikan dalam lagu bukan hanya berasal dari suatu

peristiwa yang dirasakan langsung oleh pencipta, tetapi bisa juga yang dirasakan

orang lain ataupun suatu peristiwa bertema kealaman, manusiawi, politik, dan rasa

untuk penyampaian kasih sayang. Pola pemikirannya terbentuk dari interaksinya

dengan lingkungan sosial sekitar.

Berkomunikasi dengan orang lain bukan hanya merupakan berkomunikasi

langsung dengan orang tersebut, tetapi penyampaian pesannya dapat dilakukan

dengan cara membuat lagu, puisi, soneta, gurindam dan yang lainnya. Umumnya

orang-orang menggunakan musik dan lagu untuk menyampaikan hal-hal tertentu

yang tercipta karena didorong oleh kondisi sosial, politik dan ekonomi masyarakat

serta perilaku-perilaku umum yang dilakukan pejabat dan masyarakat.

Pesan yang terdapat dalam sebuah lirik lagu merupakan representasi dari

pemikiran dan perasaan dari orang yang menciptakan lagu untuk menyampaikan

pesan yang ingin dia sampaikan kepada khalayak banyak. Konsep dari pesan yang

ingin disampaikan dapat berupa perasaan senang, marah, kritikan, pendapat, sedih

bahkan pujian atas sesuatu hal yang yang dirasakan pencipta lagu tersebut. Ketika

pendengar mengerti atas suatu lirik lagu yang diperdengarkan dan dapat

memaknai isi liriknya, maka hal ini disebut sebuah proses komunikasi. Lagu

merupakan sebuah kebudayaan yang menarik dalam kehidupan masyarakat karena

dapat mempersatu manusia walaupun dari suku yang berbeda. Lagu identik

dengan musik, karena musik mempunyai hubungan yang erat dengan lagu dalam

penyampaian lirik dalam lagu.

Musik adalah perpaduan dari beberapa jenis alat musik yang

dikombinasikan menjadi satu sehingga menimbulkan bunyi yang harmonis dan

menarik untuk didengar. Dengan kata lain musik mewakili nada, ritme yang

mengalun secara teratur. Terciptanya musik dapat terjadi karena faktor dorongan

dari politik, kondisi sosial masyarakat, menunjukkan rasa bersyukur dan

perekonomian masyarakat. Sehingga musik dan masyarakat adalah elemen yang

sulit untuk dipisahkan, sebab masyarakat membutuhkan musik sedangkan musik

(16)

Penggunaan bahasa sangat penting dalam proses penyampaian pesan

kepada masyarakat. Secara fungsional, bahasa diartikan sebagai alat yang dimiliki

bersama untuk mengungkapkan gagasan. Secara formal, bahasa diartikan sebagai

semua kalimat yang bisa diimajinasikan, yang dapat dibuat menurut peraturan tata

bahasa. Lirik dalam lagu menggunakan bahasa dengan tujuan agar lagu tersebut

bisa diterima dan dimaknai oleh pendengar.

Lagu diaransemen sedemikian rupa agar lebih menarik dan proses

penyampaian pesannya dapat menjadi lebih efektif, maka ditambahkan cuplikan

video klip lagu tersebut yang telah disesuaikan dengan lirik lagu. Hal ini agar

masyarakat dapat lebih terbantu memaknai pesan yang ingin disampaikan oleh

pencipta lagu setelah adanya video klip dalam lirik lagu yang dilantunkan

tersebut.

Belakangan ini, banyak konflik yang terjadi antara masyarakat dengan

para politikus maupun mafia tanah diangkat ke media. Baik dari sengketa lahan

garapan ataupun penggusuran yang dialami masyarakat kecil. Hal tersebut yang

membuat masyarakat merasa tidak terlindungi karena masyaraka yang telah lama

mendiami wilayah tersebut tiba-tiba saja tanah mereka diklaim oleh para politikus

untuk kepentingan pribadi para politikus tersebut. Kasus tersebut sebenarnya

sudah lama terjadi jauh sebelumnya ketika para penjajah seperti Portugis,

Belanda, Jepang datang ke Indonesia untuk mengklaim dan ingin menguasai

tanah air kita.

Di Indonesia banyak lagu yang dilantunkan bersifat kritikan pada akhir

Orde Baru. Pada dasarnya karena banyak kasus dalam hal mengklaim tanah

masyarakat yang dilakukan para politikus pemerintahan dan mafia tanah. Sedikit

menyinggung masalah hak pribumi yang pernah terjadi sepanjang masa, sengketa

tanah menjadi perbincangan hangat dikedai-kedai warung kopi. Sayang ketika

lagu itu menjadi hits dikalangan para pemuda, mereka belum siap dengan segala

bentuk permasalahan sehingga mereka hanya terbuai oleh lantunan keindahan

sebuah syair. Keluguan para penghuni masih menyimpan potret kepasrahan

sebagai ketidakberdayaan, maklum waktu itu segala bentuk penghambat

pembangunan sangat ditakuti

(17)

Salah satu penyanyi yang telah banyak mengkritik lewat lagunya adalah

Iwan Fals. Iwan Fals yang bernama lengkap Virgiawan Listanto (lahir d

menjadi salah satu legenda hidup di Indonesia. Lewat lagu-lagunya, ia 'memotret'

suasana sosial kehidupan Indonesia pada akhir tahun 1970-an hingga sekarang,

kehidupan dunia pada umumnya, dan dari segi kondisi kehidupan sosial itu pula

dia mengkr itik perilaku sekelompok orang yang dianggap tidak bertanggung

jawab lewat lagu“Ujung Aspal Pondok Gede” salah satunya.

Ujung Aspal Pondok Gede atau nama lainnya yang tidak asing bagi

masyarakat setempat adalah dengan sebutan nama Keranggan karena memang

lokasinya sama. Sebelah Selatan Kota Bekasi dan juga perbatasan dengan

Cilengsi Bogor, itulah Kampung Keranggan. Masyarakat disana masih mengenal

kepercayaan nenek moyang, meskipun ajaran Islam sudah lama berkembang.

Memang tradisi sangat sulit untuk dihilangkan, disudut-sudut jalan ataupun

pertigaan jalan masih sering kita temui sebuah suguhan ancak (berbagai macam

suguhan untuk para leluhur).

Lagu Iwan Fals yang berjudul “Ujung Aspal Pondok Gede” sering

dijadikan sebagai sound track ketika ada berita tentang penggusuran masyarakat ataupun tanah masyarakat yang diklaim oleh para politikus maupun mafia tanah.

Sebab lagu ini mencerminkan kehidupan masyarakat yang tergusur dari tanah

yang sudah ditempati oleh nenek moyang mereka sendiri akibat ulah mafia tanah

untuk kepentingan bisnis mereka. Itu disebabkan karena dulu awalnya minim ilmu

pengetahuan masyarakat pada saat itu, serta masyarakat Ujung Aspal Pondok

Gede yang nasibnya diangkat oleh Iwan Fals ke dalam lagu terkenal ramah,

sehingga kesempatan itu dimanfaatkan mafia tanah dan politikus-politikus untuk

menggusur mereka dari tanah mereka.

Peneliti merasa tertarik dan ingin mengetahui makna atau pesan yang

terkandung di dalam sebuah lagu yang berjudul “Ujung Aspal Pondok Gede”, di

mana kasus yang serupa juga pernah menimpa salah satu dari kerabat peneliti di

wilayah jalan Ngumban Surbakti Medan pada tahun 2010 yang mengakibatkan

(18)

ini baik untuk diteliti karena sampai sekarang belum ada orang yang tertarik untuk

menelitinya dan memaparkan pesan yang disampaikan. Penelitian ini terfokus

pada pemaknaan dan pesan dalam lirik lagu dan terbatas dalam lingkup

keberagaman yang dituangkan dalam lagu Ujung Aspal Pondok Gede. Dan

didukung oleh gambar serta unsur lain yang membantu peneliti dalam memaknai

lirik lagu “Ujung Aspal Pondok Gede”.

Dengan adanya penelitian ini, peneilti berharap dapat menyumbang ide

dalam rangka membantu konflik yaitu dalam konflik komunikasi yang terjadi

antara masyarakat dengan para politikus. oleh sebab itu peneliti tertarik meneliti

lirik lagu Ujung Aspal Pondok Gede seperti peneliti uraikan di atas. Penelitian ini

menggunakan analisis semiotika yang mempelajari hakikat tentang keberadaan

suatu tanda. Semiotika sebagai ilmu tanda (sign)dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka

yang menggunakannya (Sobur, 2004: 19)

Dalam penelitian ini, peneliti befokus pada perangkat analisis Semiologi

Roland Barthes, yang menggunakan pemaknaan terhadap tanda (sign)yang terdapat dalam lirik lagu dan gambar secara signifikasi dua tahap (two order signification)yaitu tahap denotasi dan konotasi. Dengan meneliti makna konotasi dari setiap tanda dalam lagu ini, peneliti juga berupaya mengetahui ideologi yang

dibangun dalam lagu ini.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk

melakukan analisis semiotika lirik lagu “Ujung Aspal Pondok Gede” yang

dipopulerkan oleh Iwan Fals.

1.2. Fokus Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas maka

dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut:

“Bagaimanakah representasi kehidupan masyarakat Indonesia dalam lirik lagu

Iwan Fals yang berjudul “Ujung Aspal Pondok Gede”?

1.3. Pembatasan masalah

Untuk menghindari ruang lingkup yang terlalu luas, maka peneliti merasa

perlu untuk melakukan pembatasan masalah agar menjadi lebih jelas dan terarah.

(19)

1. Penelitian ini bersifat kualitatif yaitu penelitian yang tidak terpaku pada

jumlah namun lebih berfokus pada pengembangan proses mental yang

terjadi antara peneliti dan objek penelitian

2. Subjek penelitian ini adalah lirik lagu Iwan Fals yang berjudul “Ujung

Aspal Pondok Gede”.

3. Penelitian ini menggunakan perangkat analisis Semiologi Roland Barthes.

1.4. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

Untuk mengetahui representasi kehidupan masyarakat Indonesia dalam

lirik lagu Iwan Fals yang berjudul “Ujung Aspal Pondok Gede”.

1.5. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu

pengetahuan di bidang Ilmu Komunikasi khususnya studi analisis

semiotika.

2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperluas cakrawala

pengetahuan peneliti serta mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU.

3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi konflik

serta mempresentasikan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dan

(20)

BAB II

URAIAN TEORITIS

Setiap penelitian sosial membutuhkan teori karena salah satu unsur yang

paling besar peranannya dalam suatu penelitian adalah teori. Landasan teori berfungsi sebagai dasar strategi dalam pelaksanaan penelitian dan sebagai tuntutan

dalam memecahkan masalah penelitian (Kaelan,2005:240). Dengan adanya

kerangka teori, maka akan mempunyai landasan untuk menentukan tujuan dan

arah penelitian, serta sebagai dasar penelitian agar langkah yang ditempuh

selanjutnya dapat jelas dan konsisten.

2.1. Pengertian Komunikasi

Komunikasi adalah suatu proses, suatu kegiatan yang berlangsung kontinu.

Joseph A. Devito mengemukakan komunikasi adalah transaksi. Dengan transaksi

dimaksudkan bahwa komunikasi merupakan suatu proses di mana

komponen-komponennya saling terkait, dan bahwa komunikatornya beraksi dan bereaksi

sebagai suatu kesatuan dan keseluruhan (Effendy, 2003:5).

Menurut Carl I Hovland (Mulyana,2002:62) menyebutkan bahwa

komunikasi adalah proses yang memungkinkan seseorang (komunikator)

menyampaikan rangsangan (biasanya lambang-lambang verbal untuk mengubah

prilaku orang lain (komunikan). Sedangkan Louis Forsdale (Muhammad, 2007: 2)

menyatakan, “communication is the process by which a system is established, maintianed, and altered by means of shared signals that operate according to rules”. Komunikasi adalah suatu proses memberikan signal menurut aturan tertentu, sehingga dengan cara ini suatu sistem dapat didirikan, dipelihara dan

diubah.

Menurut Harold Lasswell (Effendy, 2003: 253), komunikasi meliputi 5 (lima)

unsur yaitu:

1. Komunikator (source, sender)

2. Pesan (message)

3. Saluran (channel, media)

4. Komunikan (communicate, receiver,recipent)

(21)

Komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk

atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada

gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam (Cangara, 2005: 19).

Dalam pengertian paradigmatis, komunikasi memiliki tujuan tertentu, ada

yang dilakukan secara lisan, secara tatap muka atau melalui media, baik media

massa maupun media lainnya. Komunikasi dalam pradigmatis bersifat intensional,

mengandung tujuan, dan dilakukan dengan perencanaan. Dari beberapa pengertian

komunikasi yang telah diucapkan oleh para ahli, dapat ditarik kesimpulan bahwa

komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain

untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap, pendapat atau perilaku, baik

langsung secara lisan, maupun tak langsung melalui media (Effendy, 2004: 5).

2.1.1. Karakteristik Komunikasi

Adapun karakteristik dari komunikasi (Wiryanto, 2005: 22) adalah sebagai

berikut:

1. Komunikasi suatu proses. Komunikasi sebagai suatu proses artinya bahwa

komunikasi merupakan serangkaian tindakan atau peristiwa yang terjadi

secara berurutan serta berkaitan satu sama lainnya dalam kurun waktu

tertentu. Proses komunikasi melibatkan banyak faktor atau unsur, antara lain

mencakup pelaku atau peserta, pesan (meliputi bentuk, isi dan cara

penyampaiannya), saluran atau alat yang digunakan menyampaikan pesan,

waktu, tempat, hasil atau akibat yang terjadi.

2. Komunikasi adalah upaya yang disengaja serta mempunyai tujuan.

Komunikasi adalah kegiatan yang dilakukan secara sadar, disengaja serta

sesuai dengan tujuan atau keinginan dari pelakunya.

3. Komunikasi menurut adanya partisipasi dan kerja sama dari para pelaku yang

terlibat.

4. Komunikasi bersifat simbolis, komunikasi pada dasarnya menggunakan

lambang-lambang, misalnya bahasa.

5. Komunikasi bersifat transaksional, yaitu melibatkan dua tindakan, memberi

(22)

6. Komunikasi menembus faktor ruang dan waktu, komunikasi menembus

ruang dan waktu maksudnya bahwa para peserta atau pelaku yang terlibat

dalam komunikasi tidak harus hadir pada waktu serta tempat yang sama.

2.2.Bahasa dan Lirik Lagu

Menurut Ensiklopedia Indonesia, bahasa berarti alat untuk melukiskan

suatu pikiran, perasaan atau pengalaman, alat ini terdiri dari kata-kata. Sedangkan

menurut Wibowo, dalam wacana linguistik, bahasa diartikan sebagai suatu simbol

bunyi bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap), yang bersifat arbiter

dan konvensional, yang dipakai sebagai alat komunikasi oleh sekelompok

manusia untuk melahirkan perasaan dan pemikiran (Sobur, 2004: 274).

Dalam arti luas, bahasa dapat ditafsirkan sebagai suatu penukaran

(komunikasi) tanda-tanda (dan berlaku baik bagi bahasa dalam arti sempit: bahasa

kata-kata, maupun mengenai semua tanda lainnya). Ilmu yang mempelajari

komunikasi melalui tanda-tanda disebut dengan semiotika (Sobur, 2004: 275).

Menurut Anderson, (Sobur, 2004: 276), bahasa memiliki delapan prinsip dasar,

yaitu:

1. Bahasa adalah suatu sistem

2. Bahasa adalah vocal (bunyi ujaran)

3. Bahasa tersusun dari lambang-lambang mana suka (arbitary symbol)

4. Setiap bahasa bersifat unik, bersifat khas

5. Bahasa dibangun dari kebiasaan-kebiasaan

6. Bahasa adalah alat komunikasi

7. Bahasa berhubungan erat dengan budaya tempat bahasa itu berada

8. Bahasa itu berubah-ubah

Dari semua poin-poin di atas, hakikat terpenting dari bahasa adalah,

bahasa merupakan alat komunikasi dan interaksi yang diciptakan oleh manusia

sendiri, agar proses berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari dapat

berlangsung secara efektif dan tepat guna.

Bahasa dalam pemakaiannya bersifat bidimensional. Disebut demikian,

karena keberadaan makna selain ditentukan oleh kehadiran dan hubungan

antar-lambang kebahasaan itu sendiri, juga ditentukan oleh pemeran serta konteks sosial

(23)

bahasa memiliki fungsi eksternal juga fungsi internal. Oleh sebab itu selain dapat

digunakan untuk menyampaikan informasi dan menciptakan komunikasi, juga

untuk mengolah informasi dan dialog antar-diri sendiri. Kajian bahasa sebagai

suatu kode dalam pemakaian berfokus pada karakteristik hubungan antara

bentuk, lambang atau kata satu dengan kata lainnya, hubungan antar bentuk

kebahasaan dengan dunia luar yang diacunya, dan hubungan antara kode dengan

pemakainya (Sartini, 2009: 7).

Lirik lagu adalah sebuah proses komunikasi, karena terdapat informasi

atau pesan yang terkandung dalam simbol lirik lagu yang diciptakan oleh

penciptanya. Agar komunikan dapat mengerti pesan yang ingin disampaikan

komunikator, maka dalam lirik lagu tersebut digunakan bahasa dengan makna

sebenarnya. Dalam hal ini bahasa yang digunakan adalah bahasa verbal yang bisa

berupa kata-kata dalam teks lirik lagu yang merupakan suatu bentuk komunikasi

verbal.

Bila dikaitkan dengan perilaku media massa kadang konsep ‘kebenaran’

yang dianut oleh media massa bukanlah kebenaran sejati tetapi sesuatu yang

dianggap masyarakat sebagai suatu kebenaran. Seperti itulah bahasa yang

disampaikan oleh seseorang kepada orang lain. Tanpa memahami konteksnya kata

kebenaran kadang bermakna semu. Padahal bisa saja kebenaran itu subyektif atau

paling tidak dianggap benar oleh wartawan (Wibowo, 2011: 7).

Hakikat bahasa adalah bahasa tutur, bahasa membahasa dalam bahasa

tutur, tidak dalam bahasa tulis (didengar dan tidak dilihat). Bahasa terlepas dari

proses pelaksanannya begitu dibahasatuliskan. Bahasa tulis kehilangan daya

ekspresif ketimbang bahasa yang diucapkan. Dengan ditulis, bahasa memang

dilestarikan, tetapi bahasa pun menjadi lemah. Dalam hal ini Gadamer mengutip

Plato, yang dalam berbagai karyanya menandaskan kelemahan dan tidak

berdayanya bahasa tulis (to asthenes toon logoon)(Sobur, 2004: 273).

Lirik lagu diciptakan oleh pencipta lagu untuk menyampaikan perasaan

mereka. Pencipta lagu sering menggunakan makna kias agar lirik lagu tersebut

lebih indah. Lagu merupakan salah satu karya sastra yang menarik, dapat

(24)

Menurut Kurniawan, teks merupakan seperangkat tanda yang

ditransmisikan dari seorang pengirim kepada seorang penerima melalui medium

tertentu dan kode-kode tertentu. Pihak penerima yang menerima tanda-tanda

tersebut sebagai teks segera mencoba menafsirkannya berdasarkan kode-kode

yang tepat dan telah tersedia (Purwasito, 2003: 240).

2.2.1. Bahasa Sebagai Alat Komunikasi

Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan suatu

kebutuhan yang vital dalam berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Manusia

adalah makhluk sosial, dimana makhluk sosial memerlukan bahasa untuk

memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan cara berkomunikasi, baik itu kebutuhan

moral dan non moral. Sebab dengan adanya bahasa tersebut hubungan komunikasi

antara individu dengan individu, individu dengan kelompok atau sebaliknya akan

berjalan lancar.

Robert ( 1975:18) says that language is the system of speech sound by which human beings, communicate with one another. Language is an important thing which is very close to human life since language is used by human to communicate in their daily activities. On the other words, language can not be separated from the life of human being. As we use language to express our desire, option, emotion, intentions, and ideas to the other people.

Menurut Robert bahasa adalah sistem bahasa yang digunakan seseorang

untuk berkomunikasi dengan orang lain. Bahasa merupakan sesuatu hal yang

penting yang erat kaitannya dengan kehidupan manusia, selagi bahasa digunakan

oleh manusia untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari.Dengan kata lain,

bahasa tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Seperti halnya kita

menggunakan bahasa untuk mengungkapkan keinginan, pilihan, emosi, perhatian,

dan ide kepada orang lain.

Menurut Gorys Keraf (Sobur, 2004: 303) komunikasi adalah kunci

terakhir untuk membuka hakikat bahasa. Keraf berjasa dalam perkembangan

linguistik modern, yang dimulai dari awal tahun tujuh puluhan. Menurutnya,

fungsi terpenting dari bahasa adalah alat komunikasi dan interaksi. Bahasa

berfungsi sebagai lem perekat dalam menyatupadukan keluarga, masyarakat dan

(25)

adalah bersifat umum dan universal. Bila sifat itu dilihat dari fungsinya, maka

bahasa mempunyai fungsi sebagai berikut:

1. Untuk tujuan praktis, yaitu komunikasi antar manusia dalam pergaulan.

2. Untuk tujuan artistik, yaitu tatkala manusia mengolah bahasa untuk

menghasilkan ungkapan yang seindah-indahnya, seperti dalam cerita,

kisah, syair, puisi, gambar, lukisan, musik dan pahat-pahatan.

3. Untuk tujuan filologis, yakni tatkala kita mempelajari naskah-naskah

kuno, latar belakang sejarah, kebudayaan, adat-istiadat manusia, serta

perkembangan bahasa.

4. Untuk menjadi kunci dalam mempelajari pengetahuan-pengetahuan

lainnya.

Musik, dalam hal ini lirik lagu pada dasarnya adalah pesan yang nantinya

akan disampaikan pada khalayak melalui media tertentu. Musik dapat dimasukkan

ke dalam komunikasi massa karena beberapa unsur karakter dan fungsinya sama

dengan komunikasi massa. Komunikasi massa merrupakan penyampaian pesan

dari komunikator terhadap komunikan melalui media massa. Sedangkan dari

karakteristiknya, terdapat karakter komunikasi massa, yaitu: komunikatornya

terlembaga, pesan bersifat umum, komunikan anonim dan heterogen,

menimbulkan keserempakan, mengutamakan isi, linier dan bersifat sekilas

(Ardianto, 2004: 7).

Musik merupakan salah satu bentuk komunikasi massa, mempunyai

karakter yang sama, yaitu pesannya bersifat liniear dimana hubungan

komunikasinya searah dari komunikator pada komunikan. Dalam hal ini seorang

penyanyi yang menjadi komunikator untuk menyampaikan pesan kepada

komunikan (pendengar). kemudian komunikan anonim dan heterogen, yang

artinya dimana komunikator atau penyanyi tidak mengenal komunikannya yang

mana komunikan itu terdiri dari lapisan-lapisan masyarakat yang berbeda.

Komunikatornya terlembaga yaitu pesan yang sampai ke komunikan melalui

proses yang memerlukan banyak pihak yang telibat. Artinya, si penyanyi memiliki

struktur dalam menyampaikan pesan. Baik itu pesannya dalam bentuk rekaman

(26)

Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani semion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar

konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu

yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai suatu hal yang menunjuk adanya

hal lain. Contohnya asap menandai api, sirene mobil yang keras meraung-raung

menandai adanya kebakaran di sudut kota. Lebih jelas lagi, kita banyak mengenal

tanda-tanda dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Misalnya, bila di

sekitar rumah kita ada tetangga yang memasang janur maka itu petanda ada

hajatan perkawinan, tetapi bila terpasang bendera warna kuning di depan rumah

dan sudut jalan maka itu petanda ada kematian (Wibowo, 2011: 5).

Umberto Eco mendefenisikan semiotika adalah sebagai displin yang

mempelajari segala sesuatu yang bisa dipakai untuk berbohong, karena jika

sesuatu tidak bisa dipakai untuk berbohong, sebaliknya itu tidak bisa dipakai

untuk apapun juga (Danesi, 2010: 33).

Teori mengenai apa yang disebut ‘semiotika signifikasi’ tidak dapat

dilepas dari dasar-dasar ‘semiotika struktural’ yang dikembangkan oleh Ferdinand

de Saussure. Saussure mendefinisikan ‘semiotika’ (semiotics) di dalam Course in General Linguistics, sebagai “ilmu yang mengkaji tentang peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial”. Implisit dalam definisi tersebut adalah sebuah

relasi, bahwa bila tanda merupakan bagian dari aturan-aturan sosial yang berlaku.

Ada sistem tanda (sign system) dan ada sistem sosial (social system), yang keduanya saling berkaitan. Dalam hal ini, Saussure berbicara mengenai konvensi

sosial (social convention) yang mengatur penggunaan tanda secara sosial, yaitu pemilihan, pengkombinasian dan penggunaan tanda-tanda dengan cara tertentu,

sehingga ia mempunyai makna dan nilai sosial (Sobur, 2004: 159).

Semiotika adalah studi mengenai tanda (signs) dan simbol yang merupakan tradisi penting dalam pemikiran tradisi komunikasi. Tradisi semiotika

mencakup teori utama mengenai bagaimana tanda mewakili objek, ide, situasi,

keadaan, perasaan, dan sebagainya yang berada di luar diri (Morissan, 2009: 27).

Tanda menurut pandangan Pierce (Sobur, 2004: 17), adalah sesuatu yang

(27)

yang dapat diperkirakan dalam istilah semiotika sebagai suatu hubungan antara

lima istilah:

S (s,i,e,r,c)

S adalah adalah untuk semiotic relation(hubungan semiotik); s untuk sign

(tanda); i untuk interpreter (penafsiran); e untuk effect (pengaruh); r untuk

refrence (referensi); c untuk context (konteks) atau condition (kondisi)

Semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda yang

salah satu di antaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi

yaitu pengirim, penerima, kode atau sistem tanda, pesan, saluran komunikasi dan

acuan yang dibicarakan. Sementara, semiotika signifikasi tidak ‘mempersoalkan’

adanya tujuan berkomunikasi. Pada jenis yang kedua, yang lebih diutamakan

adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya pada penerima

tanda lebih diperhatikan ketimbang prosesnya (Wibowo, 2011: 6-7).

Menurut Morissan (2009: 47), semiotika dibagi atas tiga wilayah, yaitu:

1. Semantik membahas tentang bagaimana tanda berhubungan dengan

referennya, atau apa yang diwakili suatu tanda. Semiotika menggunakan

dua dunia, yaitu dunia benda dan dunia tanda, dan menjelaskan hubungan

keduanya. Semiotika semantik menguraikan tentang pengertian suatu

tanda sesuai dengan ‘arti’ yang disampaikan. Perwujudan makna suatu

rancangan dapat dikatakan berhasil jika makna atau ‘arti’ yang ingin

disampaikan oleh perancang melalui rancangannya dapat dipahami dan

diterima secara tepat oleh pengamatnya, jika ekspresi yang ingin

disampaikan perancangnya sama dengan persepsi pengamatnya.

2. Sintaktik dalam studi semiotika adalah studi mengenai hubungan di antara

tanda. Sintaktik menguraikan tentang kombinasi tanda tanpa

memperhatikan ‘makna’nya ataupun hubungannya terhadap prilaku

subyek. Semiotika sintaktik ini mengabaikan pengaruh akibat bagi subyek

yang menginterpretasikan.

(28)

mempelajari penggunaan tanda serta efek yang dihasilkan. Pragmatik

menguraikan tentang asal-usul tanda, kegunaan tanda oleh yang

menerapkannya, dan efek tanda bagi yang menginterpretasikan dalam

batas perilaku subyek.

2.3.1. Semiotik Charles Pierce

Pierce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang

terdiri dari tiga elemen utama yakni, tanda, objek dan makna. Tanda menurut

pandangan Pierce (Sobur, 2004: 40), adalah sesuatu yang hidup dan dihidupi

(cultivated). Tanda menurut Pierce terdiri dari simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan indeks (tanda

yang muncul dari hubungan sebab akibat). Ia hadir dalam proses interpretasi

(semiosis) yang mengalir.

Tanda adalah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam

batas-batas tertentu. Tanda akan selalu mengacu kepada suatu yang lain, oleh Pierce

disebut objek. Mengacu berarti mewakili atau menggantikan tanda baru, yang

dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui

interpretant. Interpretant adalah pemahaman makna yang muncul dalam diri

penerima tanda, artinya konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda

dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak

seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.

Misalnya jika kita mendengar kata “hamster”, maka di dalam pikiran kita

akan muncul sebuah asosiasi dengan kata hewan tertentu. Kata “hamster”itu

sendiri bukanlah hewan, namun asosiasi yang kita buatlah (interpretant) yang

menghubungkan keduanya. Ketiga elemen tersebut yakni sebagai berikut:

1. Tanda, yakni seperti kata “hamster” terdiri dari beberapa huruf hingga

tercipta kata “hamster”, adalah wakil dari tanda.

2. Referen, yakni objek yang tergambarkan oleh kata “hamster” yang

terbentu di dalam pikiran, yakni hewan berkaki empat.

3. Makna, yaitu gabungan tanda dan referen yang terbentuk di dalam pikiran.

Makna “hamster” bagi mereka yang menyukai “hamster” adalah hewan

yang menyenangkan dan lucu. Sebaliknya makna “hamster” bagi mereka

(29)

pikiran mereka hamster sebangsa dengan tikus yang ada di got. Tanda dan

referen harus saling bekerja sama agar suatu tanda dapat berfungsi.

Hubungan ketiga bagian ini dijelaskan dalam model yang dibuat oleh C.K

ogden dan I.A Richard pada skema berikut (Morissan, 2009: 45) :

Gambar 2.1 Segitiga Makna

Sumber: Morissan, 2009: 45, Teori Komunikasi: Tentang Komunikator, Pesan, Percakapan dan Hubungan.

Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna

muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan saat berkomunikasi. Pada

dasarnya, semiosis data dipandang sebagai suatu proses tanda yang dapat

diberikan dalam istilah semiotika sebagai suatu hubungan antara lima istilah

sebagai berikut:

S (s,i,e,r,c)

S adalah adalah untuk semiotic relation(hubungan semiotik); s untuk sign (tanda);

i untuk interpreter (penafsiran); e untuk effect (pengaruh); r untuk refrence

(refrensi); c untuk context (konteks) atau condition (kondisi).

2.3.2. Semiotik Ferdinand De Saussure

Saussure mendefinisikan semiotika sebagai “ilmu yang mengkaji tentang

tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial” (Trabaut, 1996: 22). Menurut

“hamster”

Kata (Simbol)

(30)

1. Bunyi-bunyi dan gambar (sounds and images), disebut signifier

2. Konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar disebut signified

Model semiotika dari Saussure terdiri dari Sign (tanda), Composed of

(terdiri dari), Signifer Signifed Referent (external reality)

Tanda (sign) adalah sesuatu yang berbentuk fisik (any sound-image) dapat dilihat dan didengar yang biasanya merujuk kepada sebuah objek atau aspek dari

realitas yang ingin dikomunikasikan. Objek tersebut dikenal dengan referent.

Dalam komunikasi seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang

objek dan orang lain menginterpretasikan tanda tersebut. Syaratnya komunikator

dan komunikan harus mempunyai bahasa atau pengetahuan yang sama terhadap

sistem tanda.

Sebuah tanda terdiri dari penanda (signifier)yang adalah gambaran fisik nyata dari tanda ketika kita menerimanya dan petanda (signified)yang adalah konsep mental yang mengacu pada gambaran fisik nyata dari tanda. Konsep

mental dikenali secara luas oleh anggota dari suatu budaya yang memiliki bahasa

yang sama (Fiske, 2012: 73).

Saussure menegaskan bahwa petanda adalah sesuatu yang bersangkut-paut

dengan aktivitas mental seseorang yang menerima sebuah penanda. Menurut

Saussure, tanda mengekspresikan ide-ide dan menanadaskan bahwa dia tidak

sepakat dengan interpretasi Platonis atau istilah ide yaitu ide sebagai

peristiwa-peristiwa mental yang jadi sasaran pikiran manusia. Dengan demikian, tanda

secara implisit dipandang sebagai sarana komunikatif yang bertempat diantara dua

orang manusia yang bermaksud melakukan komunikasi atau mengekspresikan

sesuatu satu sama lain (Eco, 2009: 20).

2.3.3. Semiologi Roland Barthes

Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Roland Barthes

meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan

pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam

teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan

ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman

(31)

Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah

penanda-petanda yang diusung Saussure (Sobur, 2004: 58).

Dalam semiologi Roland Barthes, bahasa diartikan sebagai sebuah sistem

tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam

waktu tertentu. Dalam hal ini, denotasi lebih diasosiasikan dengan ketertutupan

makna. Dan konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai

‘mitos’ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberi pembenaran bagi

nilai-nilai dominan yang berlaku dalam periode tertentu (Sobur, 2004: 70).

Menurut Barthes, ekspresi dapat berkembang dan membentuk tanda baru,

sehingga ada lebih dari satu dengan isi yang sama. Pengembangan ini disebut

sebagai gejala metabahasa dan membentuk apa yang disebut dengan kesinoniman

(synonymy). Setiap tanda selalu memperoleh pemaknaan awal yang dikenal dengan istilah denotasi oleh Barthes disebut sistem primer, kemudian

pengembangannya disebut skunder. Konsep konotasi ini tentunya didasari tidak

hanya oleh paham kognisi, melainkan juga oleh paham pragmatik yakni pemakai

tanda dan situasi pemahamannya (Wibowo, 2011: 17).

Aliran semiotik yang diusung oleh Barthes adalah aliran semiotika

konotasi. Para ahli semiotika aliran konotasi pada waktu menelaah tanda tidak

bepegang pada makna primer, tetapi mereka berusaha mendapatkannya melalui

konotasi (Pateda, 2001: 53).

Fokus perhatian Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua

tahap (two order of significations). Signifikasi tahap pertama merupakan gabungan antara penanda dan petanda (makna denotasi). Pada tatanan ini

menggambarkan relasi antara penanda (objek) dan petanda (makna) di dalam

tanda, dan antara tanda dengan referannya dalam realitasnya eksternal. Hal ini

mengacu pada makna sebenarnya (nyata) dari penanda (objek). Dan signifikasi

tahap kedua adalah interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu (makna konotasi).

Dalam istilah yang digunakan Barthes, konotasi dipakai untuk

menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda (konotasi, mitos dan simbol)

dalam tatanan pertanda kedua (signifikasi tahap kedua). Konotasi

(32)

dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama dalam peta Roland

Barthes.

Gambar 2.2 Peta tanda Roland Barthes

1. signifier

(penanda)

2. signified

(petanda)

3. denotative sign (tanda denotatif)

4. connotative signifier

(penanda konotatif)

5. connotative signified

(petanda konotatif)

6. connotative sign (tanda konotatif)

Sumber: Sobur, Alex, 2004: 69, Semiotika Komunikasi

Dari tabel Barthes diatas, akan terlihat tanda denotatif (3) yang terdiri dari

penanda (1) dan petanda (2). Pada bersamaan juga, denotatif adalah penanda

konotatif (4). Jadi menurut konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki

makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang

melandasi keberadaannya.

Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci

dari analisisnya, Barthes menggunakan versi yang jauh lebih sederhana membahas

model ‘glossematic sign’(tanda-tanda glossemetic). Mengabaikan dimensi dari bentuk dan substansi, dan fokus pada makna konotasi. Konotasi adalah istilah

yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Pada level

ini, keseluruhan tanda yang diciptakan dalam denotasi menjadi penanda bagi

babak kedua pemunculan makna. Petanda pada level ini adalah konteks, baik

personal maupun budaya, yang didalamnya pembaca pendengar, atau pengamat

tanda memahami dan menafsirkannya (Barton, 2010: 108). hal ini

menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau

emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaan.

Selain itu, Roland Barthes juga melihat makna yang lebih dalam

tingkatannya, tetapi lebih bersifat konvensional, yaitu makna-makna yang

berkaitan dengan mitos. Mitos dalam pemahaman semiotika Barthes adalah

pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbiter atau konotatif)

(33)

Mitos merupakan perkembangan dari konotasi. Konotasi yang menetap

pada suatu komunitas berakhir menjadi mitos. Pemaknaan tersebut terbentuk oleh

kekuatan mayoritas yang memberi konotasi tertentu kepada suatu hal secara tetap

sehingga lama-kelamaan menjadi mitos: makna yang membudaya. Barthes

membuktikannya dengan melakukan pembongkaran makna (Barthes, 2007: 82).

Sedangkan Van Zoest menegaskan, siapapun bisa menemukan ideologi dalam

teks dengan jalan meneliti konotasi-konotasi yang terdapat didalamnya.

Dalam perspektif semiotika, mitos dapat dikaji atau ditemukan jejaknya

dengan mencari indikasi fiksional dalam teks, yang secara keseluruhan disajikan

sebagai nonfiksional (melalui indikasi nonfiksional dengan sifat ferensial:

nama-nama orang yang kita kenal secara nonfiktif). Kelompok indikasi nonfiksional

yang paling penting mungkin ialah indikasi peristiwa. Peristiwa yang terjadi boleh

jadi sedemikian klise atau begitu tak bisa dipercaya sehingga dunia yang

digambarkan, yang pada dasarnya nyata, memperlihatkan tanda-tanda dunia fiktif

seperti yang kita kenal dalam dongeng dan sebagainya (Sobur, 2004: 210).

Ciri-ciri mitos menurut Barthes dalam buku Adhithia (2010: 38)

1. Deformatif

Barthes menerapkan unsur-unsur Saussure menjadi form (signifier), concept (signified). Ia menambahkan sigification yang merupakan hasil dari hubungan kedua unsur tadi. Significationinilah yang menjadi mitos yang mendistorsi makna sehingga tidak lagi mengacu pada realita yang

sebenarnya: The relation which unites the concept of the myth to its meaning is essentially a relation of deformation. Pada mitos, formdan

concept harus dinyatakan. Mitos tidak disembunyikan, mitos berfungsi mendistorsi, bukan untuk menghilangkan. Dengan demikian,

formdikembangkan melalui konteks linear (pada bahasa) atau multidimensi (pada gambar). Distorsi hanya mungkin terjadi apabila

makna mitos sudah terkandung di dalam form.

2. Intensional

Mitos merupakan salah satu jenis wacana yang dinyatakan secara

(34)

melihat kesamaan arsitektur rumah-rumah di sana dan ia mengenali

arsitektur itu sebagai produk etnik: gaya basque. Secara pribadi, ia tidak merasa terdorong untuk menyebutnya dengan sebuah istilah. Namun,

ketika ia berjalan-jalan di Paris dan ia melihat sebuah rumah yang berbeda

dengan sekitarnya, berbentuk villa kecil, rapi bergenting merah,

berdinding setengah kayu berwarna coklat tua, beratap asimetris, secara

spontan, ia menyebutnya sebagai villa bergaya basque.

3. Motivasi

Bahasa bersifat arbiter, tetapi kearbiteran itu mempunyai batas. Misalnya

melalui afiksasi, terbentuklah kata-kata turunan: baca-membaca-dibaca-terbaca-pembacaan. Sebaliknya, makna mitos tidak arbiter, selalu ada motivasi dan analogi. Penafsir dapat menyeleksi motivasi dari beberapa

kemungkinan motivasi. Mitos bermain atas analogi antara makna dan

bentuk. Analogi ini bukan sesuatu yang alami, tetapi berrsifat historis.

Minuman anggur adalah salah satu contoh penerapan mitos. Denotasi dari

minuman anggur adalah minuman beralkohol yang bisa memabukkan, namun

Barthes mengamatinya lebih dalam. Orang sangat menikmati anggur yang

diminumnya bukan sekedar untuk mabuk-mabukan, hal itu ditunjukkan pula

dengan adanya pelabelan tahun pada minuman tersebut. Anggur dengan merk

tertentu dengan usia yang semakin tua semakin mahal harganya. Di dalam menu

makan anggur mengambil bagian sintagmatik, yaitu anggur putih menyertai

makanan dengan ikan, anggur merah dengan daging, dan sebagainya. Dengan

demikian, konotasi anggur, yaitu kenikmatan tertanam di dalam praktik kehidupan

sehari-hari, memegang peranan dalam menu dan pada akhirnya menjadi mitos.

Sebuah teks, Aart van Zoest tidak pernah lepas dari ideologi dan memiliki

kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi. Sedangkan

Eriyanto (2001: 146) menempatkan ideologi sebagai konsep sentral dalam analisis

wacana yang bersifat kritis. Hal ini menurutnya karena teks, perckapan dan

lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi

tertentu. Secara etimologis ideologi berasal dari bahasa Greek, terdiri atas kata

(35)

logia berasal dari kata logosyang berarti kata-kata, dan arti kata logiaberarti

science(pengetahuan) atau teori.

Kita bisa menemukan ideologi dalam teks dengan cara meneliti pelbagai

konotasi di dalamnya. Salah satu cara adalah mencari mitologi dalam teks.

Ideologi adalah sesuatu yang abstrak, sementara mitologi (kesatuan-kesatuan

mitos yang koheren) adalah makna-makna yang memiliki wadah dalam ideologi.

Ideologi harus dapat diceritakan. Dan cerita itu adalah mitos. Setiap

bangsa memiliki cerita-cerita kunonya dan cerita turun-temurun yang disebut

mitos mengenai bangsanya. Mitos adalah uraian naratif ataupun penuturan sesuatu

yang suci, yaitu kejadian-kejadian luar biasa, di luar pengalaman manusia

sehari-hari (Sobur, 2004: 209).

Misalnya: Rumah yang tua dan tidak dipakai lagi menimbulkan konotasi

“angker” karena dianggap sebagai hunian makhluk halus. Konotasi “angker” ini

kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol rumah

tua, sehingga rumah tua yang angker bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi

berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini “rumah

tua yang angker” akhirnya dianggap sebagai sebuah mitos.

2.4 Representasi

Menurut Eriyanto (2001: 113), istilah representasi itu menunjuk pada

bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan.

Representasi ini penting dalam dua hal. Pertama, apakah seseorang, kelompok

atau gagasan tersebut ditampilkan semestinya. Kedua, bagaimana representasi

tersebut ditampilkan.

Menurut David Croteau dan William Hoynes (2000: 194) representasi

merupakan hasil dari suatu proses penyeleksian yang menggarisbawahi hal-hal

tertentu dan hal lain diabaikan. Dalam representasi media, tanda yang akan

digunakan untuk melakukan representasi tentang sesuatu mengalami proses

seleksi. Mana yang sesuai dengan kepentingan-kepentingan dan pencapaian

tujuan-tujuan komunikasi ideologisnya itu yang digunakan sementara tanda-tanda

lain diabaikan.

(36)

atau suatu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam

pemberitaan. Isi media bukan hanya pemberitaan tetapi juga iklan dan hal-hal lain

di luar pemberitaan. Intinya bahwa sama dengan berita (Wibowo, 2011: 122-123).

Representasi merupakan kegunaan dari tanda. Marcel Danesi

mendefinisikannya sebagai berikut: proses merekam ide, pengetahuan atau pesan

dalam beberapa cara fisik disebut representasi. Ini dapat didefinisikan lebih tepat

sebagai kegunaan dari tanda yaitu untuk menyambungkan, melukiskan, meniru

sesuatu yang dirasa, dimengerti, diimajinasikan atau dirasakan dalam beberapa

bentuk fisik. Di dalam semiotika dinyatakan bahwa bentuk fisik sebuah

representasi, yaitu X, pada umumnya disebut sebagai penanda. Makna yang dibangkitkan (baik jelas maupun tidak), yaitu Y, pada umumnya dinamakan

petanda; dan makna secara potensial bisa diambil dari representasi ini (X = Y) dalam sebuah lingkungan budaya tertentu, disebut sebagai signifikasi (sistem

penanadaan).

Hal ini bisa dicirikan sebagai proses membangun suatu bentuk X dalam

rangka mengarahkan perhatian sesuatu, Y, yang ada dalam bentuk material

maupun konseptual, dengan cara tertentu, yaitu X = Y. Meskipun demikian, upaya

menggambarkan arti X = Y bukan suatu hal yang mudah. Maksud dari

pembuatbentuk, konteks historis dan sosial yang terkait dengan terbuatnya bentuk

ini, tujuan pembuatnya, dan seterusnya merupakan faktor-faktor kompleks, yang

memasuki gambaran tersebut. Agar tugas ini bisa dilakukan secara sistematis,

terbentuklah disini suatu terminologi yang khas (Danesi, 2010: 3-4).

Menurut Stuart Hall ada dua proses representasi. Pertama, representasi

mental, yaitu konsep tentang ‘sesuatu’ yang ada di kepala kita masing-masing

(peta konseptual), representasi mental masih merupakan sesuatu yang abstrak.

Kedua, ‘bahasa,’ yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep

abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam ‘bahasa’ yang

lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu

dengan tanda dari simbol-simbol tertentu. Media sebagai suatu teks banyak

menebarkan bentuk-bentuk representasi pada isinya. Representasi dalam media

menunjukkan bagaimana seseorang atau suatu kelompok, gagasan atau pendapat

(37)

Representasi bekerja pada hubungan tanda dan makna. Konsep

resepresentasi sendiri bisa berubah-ubah, selalu ada pemaknaan baru.

Representasi berubah-ubah akibat makna yang juga berubah-ubah. Setiap waktu

terjadi proses sebagai negosisasi dalam pemaknaan. Jadi representasi bukanlah

suatu kegiatan atau proses statis, tetapi merupakan proses dinamis yang terus

berkembang seiring dengan kemampuan intelektual dan kebutuhan para pengguna

tanda, yaitu manusia sendiri yang terus bergerak dan berubah. Representasi

merupakan suatu proses usaha konstruksi. Karena pandangan-pandangan baru

menghasilkan pemaknaan baru, yang merupakan hasil pertumbuhan konstruksi

pemikiran manusia, melalui representasi makna diproduksi dan dikonstruksi. Ini

menjadi proses penandaan, praktik yang membuat suatu hal bermakna sesuatu.

2.5 Makna

Para ahli mengakui, istilah makna (meaning) memang merupakan kata dan

istilah yang membingungkan (Sobur, 2004: 255). Orang-orang sering

menggunakan istilah pesan dan makna secara bergantian akan tetapi, ‘pesan’ itu

tidak sama dengan ‘makna’, pesan bisa memiliki lebih dari satu makna, dan

beberapa pesan bisa memiliki satu makna.

Menurut Blumer, tiga premis utama dalam proses penafsiran makna adalah

sebagai berikut: (1) individu memberi tanggapan terhadap sesuatu secara simbolik

sesuai batasan yang mereka berikan terhadap situasi yang dihadapinya, (2) makna

adalah hasil interaksi sosial yang dinegosiasi melalui bahasa, dan (3) makna yang

ditafsirkan individu dapat berubah dari waktu ke waktu sejalan dengan perubahan

konteks situasi (Bustan, 2008: 5).

Makna muncul dari hubungan khusus antara kata (sebagai simbol verbal)

dan manusia. makna tidak melekat pada kata-kata, namun kata-kata

membangkitkan makna dalam pikiran orang, Jadi tidak ada hubungan langsung

antara objek dan simbol yang digunakan untuk mempresentasikannya. Ketika kita

mengatakan “saya sakit kepala” pengalaman itu nyata bagi kita, namun pada saat

itu tak seorang pun yang dapat merasakan sakit kita. Jadi hubungan itu diciptakan

dalam pikiran si pembicara. Seperti yang telah dikemukakan oleh C.K Ogden dan

(38)

langsung atau ilmiah antara kedua hal itu (Mulyana, 2007: 84). Makna sendiri

dapat digolongkan ke dalam makna denotasi dan makna konotasi.

2.5.1. Makna Denotasi

Makna denotatif adalah makna sebenarnya (factual), seperti yang ditemukan di dalam kamus. Karena itu makna denotatif lebih umum. Sejumlah

kata bermakna denotatif, namun banyak juga yang bermakna konotatif, lebih

bersifat pribadi, yakni makna diluar rujukan objektifnya. Dengan kata lain, makna

konotatif lebih subjektif dan emosional daripada makna denotatif.

Spradley menjabarkan makna denotatif meliputi hal-hal yang dirujuk oleh

kata-kata (makna refrensial). Sedangkan menurut Pierce, tahap denotatif, yaitu

mencatat semua tanda visual yang ada. Misalnya, ada gambar manusia, binatang,

pohon, rumah. Warnanya juga dicatat, seperti merah, kuning, hijau, biru dan

sebaginya. Pada tahapan ini hanya informasi data yang disampaikan. Sementara

Saussure mengidentifikasikan makna denotatif sebagai makna-makna yang dapat

dipelajari pada fisik benda-benda (prinsip anatomis, material, fungsional)

(Tinarbuko, 2003: 37).

Menurut Lyons, denotasi merupakan makna objektif dan tetap, sedangkan

konotasi sebagai makna yang subjektif dan bervariasi. Meskipun berbeda, kedua

makna tersebut ditentukan oleh konteks. denotasi adalah hubungan yang

digunakan dalam tingkat pertama sebuah kata yang secara bebas memegang

peranan penting dalam ujaran. Makna denotasi bersifat langsung, yaitu makna

khusus yang terdapat dalam sebuah tanda. Harimurti Kirdalaksana mendefinisikan

denotasi sebagai “makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas

penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas

konvensi tertentu, sifatnya objektif” (Sobur, 2004: 263).

2.5.2. Makna Konotatif

Menurt Pateda, konotasi diartikan sebagai “aspek makna” sebuah atau

kelompok kata yang didasarkan pada perasaan atau pikiran yang timbul atau

ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca). Dengan kata

lain, makna konotatif merupakan makna leksikal. Kata amplop bermakna sampul

yang berfungsi tempat surat yang akan disampaikan kepada orang lain atau

(39)

kalimat “Berilah ia amplop agar urusanmu semua beres”, maka kata amplop sudah

bermakna konotatif, yaitu berilah ia uang. Kata amplop dan uang masih ada

hubungan, karena amplop bisa diisi dengan uang. Dengan kata lain, kata amplop

mengacu pada uang, dan lebih khusus lagi uang pelancar, uang pelicin ataupun

uang sogok (Sobur, 2004: 263).

Makna konotatif meliputi semua signifikasi sugestif dari simbol yang lebih

daripada arti referensialnya. Menurut Pierce, dalam tahapan konotatif, kita

membaca yang tersirat. Contohnya, gambar wajah orang tersenyum, dapat

diartikan sebagai suatu keramahan, kebahagian. Tetapi sebaliknya, bisa saja

tersenyum diartikan sebagai ekspresi penghinaan terhadap seseorang. untuk

memahami makna konotatif, maka unsur-unsur yang lain harus dipahami pula.

Sedangkan catatan Saussure menyebutkan bahwa makna konotatif adalah

makna-makna lebih dalam (ideologis, mitologis, teologis) yang melatari bentuk-bentuk

(40)

BAB III METODOLOGI

3.1. Tipe Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif yaitu penelitian yang tidak terpaku pada

jumlah namun lebih berfokus pada pengembangan proses mental yang terjadi

antara penelitian dan objek penelitian. Pendekatan kualitatif memandang bahwa

makna adalah bagian yang tak terpisahkan dari pengalaman seseorang dalam

kehidupan sosialnya bersama orang lain. Makna bukan sesuatu yang lahir di luar

pengalaman objek penelitian atau peneliti, akan tetapi menjadi bagian terbesar

dari kehidupan penelitian ataupun objek penelitian. Penelitian kualitatif memberi

otonomi yang sebesar-besarnya kepada peneliti dalam mengembangkan proses

mental yang terjadi antara peneliti dan objek penelitian. Fenomena yang terjadi

dalam penelitian membutuhkan proses-proses mental peneliti untuk memaknainya

(Bungin, 2010: 5).

Semiotika adalah salah satu bagian dari bentuk analisis isi kualitatif yang

amat berbeda dengan penelitian isi kuantitatif. Penelitian ini menggunakan

analisis semiotika untuk menganalisis makna yang terkandung dalam suatu teks.

Melalui analisis semiotika ini dapat digunakan untuk menganalis sejumlah besar

sistem tanda yang dapat dimanfaatkan pada kajian media dan kajian kultural

lainnya. Semiotika menjadi suatu pendekatan terbaik dalam mengkaji suatu

makna, khususnya yang berhubungan dengan lirik lagu.

Metode semiotika menjadi salah satu metode yang paling intepretatif

dalam menganalisis teks, dan keberhasilan maupun kegagalan sebagai sebuah

metode bersandar pada seberapa baik peneliti maupun mengartikulasikan lirik

dalam lagu. Ini bisa terjadi karena proses semiosis selalu melibatkan dan

menuntut daya pikir, pengalaman, budaya dan emosi tiap manusia dalam

perjumpaannya dengan suatu tanda.

Peneliti menggunakan analisis semiotika untuk menggali nilai-nilai dan

makna yang terdapat di balik tanda-tanda. Semiotika membantu peneliti dalam

memaknai bagaimana pesan berubah menjadi makna. Dengan pendekatan ini,

(41)

tanda. Semiotika dikategorikan kedalam penelitian interpetatif dan subjektif

karena sangat mengandalkan kemampuan peneliti dalam menafsirkan teks

ataupun tanda yang dikaitkan dengan nilai-nilai ideologi, budaya, moral dan

spiritual (Morissan, 2009: 49).

Selanjutnya peneliti akan menggunakan analisis semiologi Roland Barthes

untuk membedah lirik lagu Iwan Fals yang berjudul ‘Ujung Aspal Pondok Gede’.

Pada penelitian ini menggunakan signifikasi dua tahap, pada signifikasi pertama

menggunakan makna denotasi, pada tahap kedua menggunakan konotasi dan

mitos. Tahap pertama merupakan hubungan antara penanda dan petanda dalam

sebuah tanda dalam realitas eksternal yang disebut denotasi. Sedangkan tahap

kedua, konotasi merupakan gambaran interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu

dengan perasaan dan emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayanya.

3.2. Deskripsi Subjek Penelitian

Subjek yang diteliti peneliti adalah lagu Iwan Fals yang berjudul “Ujung

Aspal Pondok Gede”. Lagu ini dibuat pada akhir Orde Baru tahun 1998 yang

berisi tentang sengketa tanah yang berakibat penggusuran masyarakat kecil. Klip

ini telah menjadi hits di kalangan pemuda, klip ini juga bertujuan untuk

menyadarkan mafia tanah serta politikus agar tidak menindas yang lemah karena

memang klip ini ditujukan kepada mereka. Dengan klip yang berdurasi lima menit

sepuluh detik, klip ini menceritakan tentang keasrian dusun, keluguan serta

ketertindasan dan kesengsaraan masyarakat dusun yang diangkat dari lagu Iwan

Fals.

Iwan Fals yang bernama lengkap Vigiawan Listanto adalah penyanyi

beraliran balada dan country yang sering mengkritik pemerintahan. Sehingga

dibelakang nama kecilnya Iwan ditambah dengan kata “Fals”, yang berarti

salah/kritikan. Karena memang dia sering mengkritik pemerintahan yang baginya

menyimpang. Hal ini terbukti karena Iwan Fals pernah ditahan pihak kepolisian

akibat dari makna lagunya.

Salah satu lagunya yang diteliti oleh peneliti adalah lagu yang berjudul

“Ujung Aspal Pondok Gede”. Lagu ini terdiri dari tiga paragraf selain refrain.

(42)

ab ab. Suatu lirik bisa dikatakan pantun bila terdiri dari empat baris per paragraf,

dan memiliki sampiran dan isi. Sedangkan lirik lagu “Ujung Aspal Pondok Gede”

setelah dipilah terdiri dari empat sampai delapan baris per paragrafnya, dan tidak

bersajak aa aa, ataupun ab ab. Maka lirik lagu Ujung Aspal Pondok Gede

bukanlah puisi karena setiap paragraf tidak terdapat isi dan sampiran. Setiap

barisnya merupakan isi.

Lagu “Ujung Aspal Pondok Gede” mengangkat konsep budaya Indonesia,

lagu yang diciptakan Iwan Fals yang ditujukan terhadap mafia tanah dan politikus

mengajak, memohon petinggi negeri ini agar tidak berbuat sewenang ataupun

bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) adalah salah satu yang telah menjadi

budaya buruk para petinggi. Pendengar juga diajak agar lebih berwaspada

terhadap harta milik masyarakat agar nantinya tidak ada mafia yang mengklaim

hak masyarakat sebagai hak mereka agar tidak ada yang katanya penggusuran dari

tanah nenek moyang. Budaya buruk masyarakat Indonesia inilah yang menjadi

konsep dasar Iwan Fals menciptakan lagu kritikan, karena budaya tersebut

dianggap menyiksa dan tidak berpihak terhadap masyarakat kecil. Iwan Fals

berusaha untuk menyadarkan masyarakat di Indonesia ini pada umumnya lewat

lagunya, sehingga negara ini bebas dari unsur KKN, dan kelak dapat

menyejahterakan masyarakat kecil nantinya. 3.3. Unit Analisis Level

Penelitian ini mengambil unit analisis berupa lirik lagu dalam klip lagu

Iwan Fals yang berjudul “Ujung Aspal Pondok Gede”. Lirik lagu yang ada di

dalam lagu “Ujung Aspal Pondok Gede” sebanyak tiga paragraf selain refrain,

yang menceritakan keserakahan politikus, aktivitas dan ketertindasan masyarakat

kecil pada saat itu.

Untuk mempermudah peneliti dalam hal memaknai lagu ini, maka peneliti

akan memaknai lagu ini baris demi baris agar hasi penelitian ini lebih tepat

sasaran. Hal yang dilakukan selanjutnya dengan meneliti lirik lagu “Ujung Aspal

Pondok Gede” dengan menggunakan pendekatan semiologi Roland Barthes dalam

level tanda, denotasi, konotasi dan mitos. Hal ini dilakukan untuk melihat

representasi kehidupan masyarakat Indonesia di dalam lirik lagu Iwan Fals yang

Gambar

Gambar 2.1 Segitiga Makna
Gambar 2.2 Peta tanda Roland Barthes
Tabel 3 Unit dan Level Analisis
Gambar 4.1
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujun yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui makna denotasi, konotasi, mitos dan ideologi yang muncul dalam lirik lagu Di Udara karya Efek Rumah

adalah makna yang terkandung dalam kata, frase, kalimat dalam lirik lagu “Belanja Terus Sampai Mati” oleh Efek Rumah Kaca. Pemaknaan lirik lagu “Belanja Terus Sampai

Tujuan penelitian yang berjudul representasi penyalahgunaan narkoba dalam lirik lagu “Tubuhmu Membiru Tragis” karya Efek Rumah Kaca adalah ingin mengetahui makna lagu “Tubuhmu

Penelitian ini bertujuan untuk mencari makna denotasi, konotasi dan mitos yang terdapat pada kedua lagu tersebut dan mengetahui relevansi lagu ini dalam realitas di

Hasil penelitian menunjukkan, dalam lirik lagu kesenian Rodad terdapat relasi makna leksikal berupa, antonimi 12 data, sinonimi 32 data makna denotasi sebanyak 72 data dan konotasi

Kesimpulan dari hasil analisis dan interpretasi terhadap representasi nasionalisme kebangsaan yang terkandung dalam lirik lagu “Dari Mata Sang Garuda” adalah adanya ungkapan

Kesimpulan dari hasil analisis dan interpretasi terhadap representasi nasionalisme kebangsaan yang terkandung dalam lirik lagu “Dari Mata Sang Garuda” adalah adanya ungkapan

Industri musik merupakan industri yang dapat digunakan sebagai alat untuk menyampaikan sesuatu pesan atau sesuatu hal yang ingin disampaikan oleh si pencipta lagu dan