• Tidak ada hasil yang ditemukan

Inventarisasi Jamur Makroskopis Di Kawasan Ekowisata Bukit Lawang Kabupaten Langkat Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Inventarisasi Jamur Makroskopis Di Kawasan Ekowisata Bukit Lawang Kabupaten Langkat Sumatera Utara"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

INVENTARISASI JAMUR MAKROSKOPIS DI KAWASAN

EKOWISATA BUKIT LAWANG KABUPATEN LANGKAT

SUMATERA UTARA

TESIS

OLEH

JASMEN TAMPUBOLON

087030011

PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

INVENTARISASI JAMUR MAKROSKOPIS DI KAWASAN

EKOWISATA BUKIT LAWANG KABUPATEN LANGKAT

SUMATERA UTARA

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains dalam program studi Biologi

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

OLEH

JASMEN TAMPUBOLON

087030011

PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DANILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

JUDUL : INVENTARISASI JAMUR MAKROSKOPIS DI

KAWASAN EKOWISATA BUKIT LAWANG

LANGKAT SUMATERA UTARA

NAMA MAHASISWA : JASMEN TAMPUBOLON

NO.POKOK : 087030011

PROGRAM STUDI : BIOLOGI

Menyetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Delvian, SP,MP Prof. Dr. Retno Widhiastuti,MS

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan,

Prof.Dr. Dwi Suryanto,M.Sc Dr. Sutarman, M.Sc

(4)

Tanggal Lulus : 18 Agustus 2010

Telah diuji pada

Tanggal : 18 Agustus 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Delvian, SP,MP

(5)

PERNYATAAN

INVENTARISASI JAMUR MAKROSKOPIS DI KAWASAN

EKOWISATA BUKIT LAWANG KABUPATEN LANGKAT

SUMATERA UTARA

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Agustus 2010

(6)

ABSTRAK

Penelitian Inventarisasi jamur makroskopis di Kawasan Ekowisata Bukit Lawang Kabupaten Langkat Sumatera Utara, telah dilaksanakan pada bulan Februari 2010 sampai April 2010. Survei pendahuluan di lokasi penelitian ditemukan berbagai jamur makroskopis, namun data mengenai keberadaan jamur makroskopis belum dilaporkan.

Penelitian bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis jamur makroskopis yang terdapat di kawasan penelitian dan untuk mengetahui hubungan faktor fisik-kimia (cahaya, kelembaban, suhu, pH) terhadap keanekaragaman jamur makroskopis di kawasan penelitian. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive sampling. Pengamatan dan pengambilan data dilakukan dengan metode petak. Penelitian dilakukan pada 5 trail dari 11 trail yang ada. Pada setiap trail penelitian dibuat petak 20x100m, pengamatan data secara eksploratif. Areal pengamatan seluas 10.000m, berada pada ketinggian 280-360m dpl. Dari hasil penelitian diperoleh 83 jenis jamur makroskopis yang terdiri dari 19 famili. Spesies yang dominan pada trail 1 adalah

Ganoderma applanatum, pada trail 2 Hypoxylon fragiformae, pada trail 4 Fomitopsis pinicola, pada trail 11 Fomitopsis pinicola, dan pada trail 1-2 Auricularia polytricia. Spesies jamur makroskopis yang dominan pada kawasan penelitian adalah

Ganoderma applanatum.

Indeks keanekaragaman jamur makroskopis pada lokasi penelitian 3,645 dan Indeks kemerataan 0,825. Indeks kesamaan jamur makroskopis antar lokasi berkisar 9,53% - 29,20%. Faktor fisik-kimia menunjukkan bahwa kelembaban, berkorelasi positif (searah) dengan nilai indeks keanekaragaman sedangkan suhu udara, intensitas cahaya dan pH tanah/ substrat berkorelasi negatif dengan nilai indeks keanekaragaman.

(7)

ABSTRACT

Inventory research in the area of macroscopic fungi Ecotourism Langkat Bukit Lawang, North Sumatra, had been conducted in February 2010 until April 2010. Preliminary survey on the location of the research found a variety of macroscopic fungi, but data about the presence of macroscopic fungi have not been reported.

The study aims to determine the types of macroscopic fungi contained in the research area and to identify the relationship of physical-chemical factors (light, humidity, temperature, pH) for the diversity of macroscopic fungi in the area of research. The research location is determined by purposive sampling. Observations and data collection was done by plot method. The study was conducted on five trail of 11 existing trail. In each plot 20x100m trail made research, explorative observational data. 10,000 square observation area, located at an altitude of 280-360m above sea level. The results were obtained 83 kinds of macroscopic fungi consisting of 19 families. The dominant species on the trail one is Ganoderma applanatum, the second trail Hypoxylon fragiformae, on the trail four Fomitopsis pinicola, Fomitopsis pinicola on trail 11, and on the trail 1-2 Auricularia polytricia. The dominant species of macroscopic fungi in the study area is Ganoderma applanatum.

Macroscopic fungal diversity index on the location of research 3.645 and Evenness Index 0.825. Similarity index between the location of macroscopic fungi ranged 9.53% - 29.20%. Physical-chemical factors indicate that the humidity, positive correlation (DC) with the value of diversity index, while air temperature, light intensity and pH of the soil/ substrate negatively correlated with the value of diversity index.

(8)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang

senantiasa memberi karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian

yang berjudul “Inventarisasi Jamur Makroskopis di Kawasan Ekowisata Bukit

Lawang Kabupaten Langkat Sumatera Utara”. Penelitian ini disusun sebagai salah

satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Studi Magister Biologi Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Delvian, SP,MP selaku Dosen

Pembimbing I dan Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS selaku Dosen Pembimbing II

yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penulis melaksanakan sampai

selesainya penyusunan hasil penelitian ini.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Budi Utomo, SP, MP dan Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc., sebagai Dosen

Penguji yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penyempurnaan

penyusunan hasil penelitian ini.

2. Drs. Kikinurtjahja M.Sc yang memberikan bantuan dan pemikiran mulai dari

awal survei sampai penulis menyelesaikan hasil penelitian.

3. Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc., sebagai Ketua Program Studi Magister Biologi.

4. Gubernur Provinsi Sumatera Utara yang telah memberikan beasiswa S-2 kepada

(9)

5. Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser yang telah memberikan izin

lokasi penelitian.

6. Kepala SMAN.11 Medan (Drs. Ramli) yang telah memberikan izin dinas,

dukungan bagi penlis untuk dapat mengikuti studi S-2.

7. Isteri (Marisi Panjaitan), dan anak-anak tercinta (Orchida SP, Zanthorrhiza,

Grace, Christina, Jason), adikku K.M Tampubolon, SH, orangtuaku (Bahonan

Tampubolon, dan Maria Simanjuntak), yang selalu memberikan doa dan

dukungannya.

8. Teman-teman tim penelitian dan adik-adik mahasiswa yang telah meluangkan

waktunya menemani penulis sejak awal sampai saat penelitian, khususnya

Nurmaini, S.Si, Taripar S.Si, Seneng S.Si, Mahya S.Si, Barita S.Si, Juventus dan

Ria.

Akhir kata semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu memberi rahmat-Nya dan

semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi kita semua.

Terima Kasih.

Medan, Agustus 2010

Penulis

(10)

RIWAYAT HIDUP

JASMEN TAMPUBOLON lahir pada tanggal 6 April 1959 di P. Siantar

Provinsi Sumatera Utara. Anak dari pasangan ayah Bahonan Tampubolon dan Ibu

Maria Simanjuntak sebagai anak kelima dari sebelas bersaudara.

Tahun 1972 lulus dari SD Negeri Baris P. Siantar, tahun 1979 lulus dari SMP

Negeri 1 P.Siantar, tahun 1977 lulus dari SMA Negeri 1 P.Siantar. Pada tahun 1978

melanjutkan pendidikan di Fakultas Keguruan Ilmu Eksakta Institut Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Medan Jurusan Biologi dan lulus sarjana muda tahun 1980, tahun

1981 melanjutkan pendidikan ke tingkat sarjana dan lulus tahun 1983. Pada Maret

1989 diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil di SMAN P. Susu Kabupaten Langkat

Provinsi Sumatera Utara. Tahun 1990 pindah tugas ke SMA.N 11 Medan hingga saat

ini. Tahun 2008 mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan Program Magister

Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera

Utara dengan beasiswa dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.

Menikah pada Januari tahun 1986 dengan Marisi Panjaitan anak dari pasangan

mertua Bapak Waldemar Panjaitan (Alm) dan Ibu Emma Siagian (Alm). Telah

dikaruniai 5 orang anak, 4 putri dan 1 putra yaitu :

1. Orchida Indahwaty Tampubolon. SP

2. Zanthorrhiza Tampubolon

3. Grace Tampubolon

4. Desy Christina Tampubolon

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... v

DAFTAR ISI………... vi

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR……….. ix

DAFTAR LAMPIRAN………... x

BAB I : PENDAHULUAN………... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Permasalahan... 3

1.3. Tujuan Penelitian... 3

1.4. Manfaat Penelitian... 3

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA... 4

2.1. Deskripsi Fungi... 4

2.2. Klasifikasi Fungi... 7

2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Fungi... 14

2.3.1. Substrat... 14

2.3.2. Cahaya... 15

2.3.3. Kelembaban... 16

2.3.4. Suhu... 16

2.3.5. Derajat Keasaman Lingkungan (pH)... 16

2.4. Jamur Makroskopis dan Edibilitas Jamur... 17

2.4.1. Spesies Basidiomycetes yang dapat dimakan... 17

2.4.2. Spesies Basidiomycetes untuk Bahan Obat... 19

2.4.3. Jamur Makro yang Beracun………. 21

BAB III : BAHAN DAN METODE...………... 24

3.1. Deskripsi Area………... 24

3.1.1. Letak dan Luas Area……… 24

3.1.2. Topografi……….. 25

(12)

3.1.4. Vegetasi………... 25

3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian………. 26

3.3. Alat dan Bahan……….. 26

3.3.1. Alat……….. 26

3.3.2. Bahan……….. 26

3.4. Pelaksanaan Penelitian di Lapangan………. 27

3.4.1. Penelitian di Lapangan……… 27

3.4.2. Penelitian di Laboratorium………... 27

3.5. Analisis Data………... 28

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN……….. 31

4.1. Jenis Jamur Makroskopis di Kawasan Ekowisata Bukit Lawang………..……….. 31

4.2. Indeks Nilai Penting……….. 36

4.3. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Kemerataan (E)... 44

4.4. Indeks Similaritas (IS)... 46

4.5. Tempat Hidup Jamur Makroskopis... 48

4.6. Analisis Korelasi antara Faktor Fisik dan Keanekaragaman Jenis... 52

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN... 54

5.1. Kesimpulan... 54

5.2. Saran... 55

(13)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

2.1. Pengelompokan Jamur dan Ciri-Ciri Umum... 7

2.2. Nilai Gizi Beberapa Jenis Jamur Edibel Dibanding Dengan Bahan Lain Dalam Berat Segar... 18

2.3. Nilai Gizi Beberapa Jamur yang Edibel... 19

4.1. Jenis Jamur Makroskopis di Ekowisata Bukit Lawang... 32

4.2. Indeks Nilai Penting Pada Setiap Trail dan INP Total... 37

4.3. Faktor Fisik dam Kimia Lingkungan di Ekowisata Bukit Lawang... 43

4.4. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Kemerataan (E)... 45

4.5. Nilai Indeks Similaritas... 46

4.6. Ketebalan Serasah Pada Setiap Trail... 48

4.7. Tempat Hidup Jamur Makroskopis... 49

(14)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1. Siklus Hidup Saprolegnia... 8

2.2. Siklus Hidup Mucor mucedo dari Kelompok Zygomycetes... 9

2.3. Siklus Hidup Ascomycetes... 11

2.4. Skematik dari Jamur Amanita... 13

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Deskripsi Jamur Makroskopis (Macrofungi)... 61

2. Peta Lokasi Penelitian... 82

3. Foto Pengambilan Data Jamur dan Pengukuran Faktor Fisik Lingkungan.... 84

4. Tabel Pengamatan Jamur Makroskopis di Kawasan Ekowisata Bukit Lawang pada setiap Trail... 88

5. Hasil Analisis Vegetasi Pada Kawasan Ekowisata Bukit Lawang... 93

6. Perhitungan INP Total... 100

7. Contoh Perhitungan K, KR, F, FR, INP, H’, dan IS... 105

8. Analisa Korelasi Pearson dengan Metode Komputerisasi SPSS Ver.16.00... 108

9. Indeks Kesamaan... 109

10.Faktor Fisik... 110

(16)

ABSTRAK

Penelitian Inventarisasi jamur makroskopis di Kawasan Ekowisata Bukit Lawang Kabupaten Langkat Sumatera Utara, telah dilaksanakan pada bulan Februari 2010 sampai April 2010. Survei pendahuluan di lokasi penelitian ditemukan berbagai jamur makroskopis, namun data mengenai keberadaan jamur makroskopis belum dilaporkan.

Penelitian bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis jamur makroskopis yang terdapat di kawasan penelitian dan untuk mengetahui hubungan faktor fisik-kimia (cahaya, kelembaban, suhu, pH) terhadap keanekaragaman jamur makroskopis di kawasan penelitian. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive sampling. Pengamatan dan pengambilan data dilakukan dengan metode petak. Penelitian dilakukan pada 5 trail dari 11 trail yang ada. Pada setiap trail penelitian dibuat petak 20x100m, pengamatan data secara eksploratif. Areal pengamatan seluas 10.000m, berada pada ketinggian 280-360m dpl. Dari hasil penelitian diperoleh 83 jenis jamur makroskopis yang terdiri dari 19 famili. Spesies yang dominan pada trail 1 adalah

Ganoderma applanatum, pada trail 2 Hypoxylon fragiformae, pada trail 4 Fomitopsis pinicola, pada trail 11 Fomitopsis pinicola, dan pada trail 1-2 Auricularia polytricia. Spesies jamur makroskopis yang dominan pada kawasan penelitian adalah

Ganoderma applanatum.

Indeks keanekaragaman jamur makroskopis pada lokasi penelitian 3,645 dan Indeks kemerataan 0,825. Indeks kesamaan jamur makroskopis antar lokasi berkisar 9,53% - 29,20%. Faktor fisik-kimia menunjukkan bahwa kelembaban, berkorelasi positif (searah) dengan nilai indeks keanekaragaman sedangkan suhu udara, intensitas cahaya dan pH tanah/ substrat berkorelasi negatif dengan nilai indeks keanekaragaman.

(17)

ABSTRACT

Inventory research in the area of macroscopic fungi Ecotourism Langkat Bukit Lawang, North Sumatra, had been conducted in February 2010 until April 2010. Preliminary survey on the location of the research found a variety of macroscopic fungi, but data about the presence of macroscopic fungi have not been reported.

The study aims to determine the types of macroscopic fungi contained in the research area and to identify the relationship of physical-chemical factors (light, humidity, temperature, pH) for the diversity of macroscopic fungi in the area of research. The research location is determined by purposive sampling. Observations and data collection was done by plot method. The study was conducted on five trail of 11 existing trail. In each plot 20x100m trail made research, explorative observational data. 10,000 square observation area, located at an altitude of 280-360m above sea level. The results were obtained 83 kinds of macroscopic fungi consisting of 19 families. The dominant species on the trail one is Ganoderma applanatum, the second trail Hypoxylon fragiformae, on the trail four Fomitopsis pinicola, Fomitopsis pinicola on trail 11, and on the trail 1-2 Auricularia polytricia. The dominant species of macroscopic fungi in the study area is Ganoderma applanatum.

Macroscopic fungal diversity index on the location of research 3.645 and Evenness Index 0.825. Similarity index between the location of macroscopic fungi ranged 9.53% - 29.20%. Physical-chemical factors indicate that the humidity, positive correlation (DC) with the value of diversity index, while air temperature, light intensity and pH of the soil/ substrate negatively correlated with the value of diversity index.

(18)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Taman Nasional Gunung Leuser merupakan salah satu diantara kawasan

pelestarian yang terdapat di dua Propinsi yaitu Sumatera Utara dan Daerah Istimewa

Aceh. Luas Taman Nasional ini mencakup 792.675 hektar (Arief, 2001). Taman

Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan

dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian,

ilmu pengetahuan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi (Departemen

Kehutanan, 1999).

Salah satu bagian dari Kawasan Suaka Margasatwa Langkat Selatan yang

menjadi tujuan wisata adalah Bohorok - Bukit Lawang. Objek wisata yang dapat

dinikmati antara lain keindahan alam, hutan, pegunungan, sungai, dan rehabilitasi

orang utan yang menjadi ciri khas. Kawasan ekowisata Pusat Rehabilitasi Orang Utan

Bohorok mempunyai luas + 200 hektar pada ketinggian 280 - 360 m dpl.

Jamur (fungi) berperan sebagai dekomposer yang membantu proses

dekomposisi bahan organik untuk membantu siklus materi dalam ekosistem hutan.

Jamur kayu atau fungi kayu (wood fungi) adalah sejumlah besar fungi yang dapat ditemui pada kayu dan menyebabkan pelapukan kayu. Jamur (fungi) tersebut

mempunyai aktifitas selulolitik yang sangat kuat, bisa pada kayu dan pohon masih

(19)

basidiomycota antara lain, Volvariella volvaceae, Pleurotus, Habelatus, Lentinus edodus, Agaricus sp., dan Auricularia sp. (Alexopoulus,et al., 1996) dalam

(Gandjar,et al., 2006).

Penggunaan jamur di negara Asia Timur sebagai obat sudah dikenal beribu

tahun lalu, antara lain Lentinus edodus dan Ganoderma lucidium (Hudler, 1998). Ganoderma adalah jamur yang mudah ditemukan pada batang-batang kayu tubuh

buah yang keras diekstrak yang menghasilkan senyawa berkhasiat obat. Liu (1993)

melaporkan bahwa ganoderma sudah lebih dari 2000 tahun di pakai di China sebagai

obat non toksik, bahkan di masyarakat China disebut menyembuhkan segala macam

penyakit. Dilaporkan bahwa ekstrak miselium Ganoderma yang anti tumor juga dapat menghambat infeksi HIV pada sel-sel manusia yang dibiakkan. Penggunaan Lentinus edodus di China untuk pengobatan sudah lama diketahui, kira-kira 2000 tahun sebelum masehi (Hudler, 1998) dalam ( Gandjar,et al., 2006).

Survei pendahuluan yang dilakukan penulis di kawasan wisata Pusat

Rehabilitasi Orang Utan Bohorok ditemukan berbagai spesies jamur makroskopis

yang tumbuh dengan subur. Hal ini sangat dimungkinkan karena kawasan ini bagian

hujan tropis dengan curah hujan yang tinggi dan pada lantai hutan terdapat banyak

serasah, pohon busuk sebagai media yang sesuai untuk tumbuhnya jamur, namun

sejauh ini data mengenai keberadaan jenis jamur makroskopis belum dilaporkan,

maka berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian tentang inventarisasi jamur

(20)

1.2 Permasalahan

Survei pendahuluan yang dilakukan di Kawasan Ekowisata Pusat Rehabilitasi

Orang Utan Bohorok ditemukan banyak jenis jamur makroskopis, namun belum ada

informasi bagaimana keberadaan jenis jamur makroskopis di kawasan ini.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

a. Mengetahui jenis-jenis jamur makroskopis yang terdapat di Kawasan Hutan

Ekowisata Pusat Rehabilitasi Orang Utan Bohorok Langkat Sumatera Utara.

b. Untuk mengetahui hubungan faktor fisik-kimia (cahaya, kelembaban, suhu,

pH) terhadap keanekaragaman jamur makroskopis di Kawasan Ekowisata

Pusat Rehabilitasi Orangutan Bahorok Langkat Sumatera Utara.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang

keanekaragaman jamur makroskopis di kawasan Ekowisata Pusat Rehabilitasi Orang

Utan Bohorok Bukit Lawang. Sebagai pelengkap dari penelitian-penelitian ekologi

hutan sebelumnya, maupun sebagai data pendukung yang diharapkan bermanfaat bagi

(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Deskripsi Fungi

Mikologi adalah ilmu mengenai jamur berasal dari bahasa Yunani yakni :

mykes = jamur, logos = ilmu. Fungi dalam bahasa latin juga berarti jamur. Fungi sudah lama sekali dikenal manusia karena dalam kehidupan sehari-hari ia ada

hubungan dengan jamur. Makanan yang disimpan dapat ditumbuhi jamur, pakaian

dapat berjamur, perabot rumah tangga dapat termakan oleh jamur, dan sebagainya.

Perintis ilmu jamur ialah Pier Antonio Micheli, seorang ahli tumbuhan berbangsa

Italia dan ia membicarakan jamur dalam bukunya Nova plantarum genera tahun 1729. Bentuk dan ukuran jamur mencakup yang kecil dan besar yang biasa disebut

kulat, kapang, lapuk, cendawan, dan lain-lain (Dwidjoseputro, 1978).

Menurut Gandjar,et al., (2006), jamur atau fungi adalah sel eukariotik tidak memiliki klorofil, tumbuh sebagai hifa, memiliki dinding sel yang mengandung kitin,

bersifat heterotrof, menyerap nutrien melalui dinding selnya, dan mengekskresikan

enzym-enzym ekstraselular ke lingkungan melalui spora, melakukan reproduksi

seksual dan aseksual. Fungi makroskopik yang memiliki tubuh buah besar, dikenal

sebagai makrofungi. Penemuan mikroskop telah mengungkap lebih banyak dari

bagian-bagian yang semula tidak terlihat sama sekali, akan tetapi merupakan bagian

(22)

Menurut Zoberi (1972) macrofungi (jamur makroskopis) adalah mencakup

banyak jamur yang berukuran besar, makroskopik dengan tubuh buah yang

kompleks. Sebagian besar spesies habitat terestrial dan terdiri dari Ascomyetes dan

Basidiomycetes.

Jamur ada yang berguna, ada yang tidak berguna. Jamur tidak memiliki

klorofil maka hidupnya bergantung pada zat-zat yang sudah jadi yang dibuat oleh

organisme lain disebut organisme heterotrof. Kalau zat organik yang diperlukan

jamur itu zat yang sudah tidak diperlukan pemiliknya lagi maka jamur seperti itu

disebut saproba. Disamping jamur saproba dikenal juga jamur parasit dan jamur

patogen. Banyak jamur pada tumbuhan, hewan, dan manusia. Fitopatologi (ilmu

penyakit tumbuhan) khusus membicarakan penyakit tumbuhan yang disebabkan oleh

jamur. Mikosis adalah istilah umum untuk penyakit yang disebabkan jamur.

Sebaliknya jamur yang menguntungkan banyak juga, jamur yang enak dimakan jamur

merang, jamur kuping, jamur padi. Tanpa jamur orang tidak dapat membuat roti,

minuman berakhohol seperti anggur, tape, tempe, oncom, tauco dan berbagai asam

organik. Antibiotik pertama penisilin berasal dari jamur Penicillium. Dari genus

Aspergillus diperoleh antibiotik seperti Fumigatin, Aspergilin, dari genus Fusarium

diperoleh Fusanin, Javasinin (Dwidjoseputro, 1978).

Bagian penting tubuh fungi adalah yaitu suatu struktur fungus berbentuk

tabung menyerupai seuntai benang panjang, ada yang tidak bersekat, dan ada yang

bersekat. Hifa dapat tumbuh bercabang-cabang sehingga merupakan jaring-jaring,

(23)

ada hifa yang menegak. Biasanya hifa yang menegak ini menghasilkan alat-alat

pembiak yang disebut spora, sedang hifa yang menjalar berfungsi untuk menyerap

nutrien dari substrat dan menyangga alat-alat reproduksi. Hifa yang menjalar disebut

hifa vegetatif dan hifa yang tegak disebut hifa fertil. Pertumbuhan hifa berlangsung

terus-menerus di bagian apikal, sehingga panjangnya tidak dapat ditentukan secara

pasti. Diameter hifa umumnya berkisar 3-30 milimikron. Spesies berbeda memiliki

diameter berbeda pula dan ukuran diameter itu dapat dipengaruhi oleh keadaan

lingkungan (Carlile dan Watkinson, 1994).

Jamur sederhana dapat berupa sel tunggal saja atau berupa benang-benang

hifa saja, tetapi pada jamur tingkat tinggi terdiri atas anyaman hifa yang disebut

prosenkim dan pseudoperenkim. Prosenkim ialah anyaman hifa yang kendor,

sedangkan pseudoparenkim ialah jalinan hifa yang lebih padat dan seragam.

Seringkali ada anyaman hifa yang padat sekali dan berguna untuk mengatasi keadaan

buruk disebut rizomorf. Suatu anyaman hifa yang lain berupa jalinan hifa cukup padat

dan berfungsi sebagai bantalan tempat tumbuhnya bagian lain disebut stroma

(Dwidjoseputro, 1978).

Jumlah spesies fungi yang sudah diketahui hingga kini adalah kurang lebih

69.000 dari perkiraan 1.500.000 spesies yang ada di dunia (Zedan 1992, Hawksworth

1991) dan menurut Rifai (1995) di Indonesia terdapat kurang lebih 200.000 spesies.

Dapat dipastikan bahwa Indonesia yang kaya akan diversitas tumbuhan dan hewan

juga memiliki diversitas fungi yang sangat tinggi mengingat lingkungannya yang

(24)

2.2. Klasifikasi Fungi

Mc. Kane (1996) mengatakan setiap fungi tercakup di dalam satu kategori

taksonomi, dibedakan atas tipe spora, morfologi hifa, dan siklus seksualnya.

Kelompok-kelompok ini adalah : Oomycetes, Zygomycetes, Ascomycetes,

Basidiomycetes, dan Deuteromycetes. Kecuali Deuteromycetes semua fungi

menghasilkan spora seksual. Berikut tabel untuk membedakan lima kelompok fungi.

Tabel 2.1. Pengelompokan Jamur dan Ciri-ciri Umum

Kelompok Hifa Spora Seksual

Spora aseksual yang umum diamati Beberapa genera yang penting

Oomycetes Nonseptate Oospora Zoospora

Plasmopora Sclerospora Phytophfora

Zygomycetes Nonseptate Zygospora Sporangiospora Mucor Rhizopus

Ascomycetes Septate Ascospora

Conidia Arthospora Blastophora

Aspergillus Peniccilium

Basidiomycetes Septate Basidiospora Tidak ada karakteristik khusus

Cryptococcus Amanita

Deuteromycetes Septate Tidak ada

Conidia Arthospora Blastophora Chlamydospora Candida Sporotrix

Sumber : Mc. Kane 1996

a. Oomycetes

Sebagian besar anggotanya hidup di air atau dekat badan air. Miselium terdiri

atas hifa tidak bersekat, bercabang dan banyak mengandung inti. Hidup sebagai

saprofit dan ada juga yang parasit. Pembiakan aseksual dengan zoospora, pembiakan

(25)

Gambar 2.1. Siklus Hidup Saprolegnia

A. Hifa somatic; B. Zoosporangia; C. Zoospor primer; D. Sista; E. Germinasi; F. Zoospor sekunder;

G. Sista; H. Germinasi; I. Gametangia; J. Gametangia hasil meiosis; K. Diferensiasi oospor;

(26)

b. Zygomycetes

Memiliki hifa yang tidak bersekat dan memiliki banyak inti disebut hifa

senositik (dari bahasa latin coenocytic). Kebanyakan kelompok ini saprofit. Berkembang biak secara aseksual dengan spora, secara seksual dengan zigospora.

Ketika sporangium pecah, sporangiospora tersebar, dan jika jatuh pada medium yang

cocok akan tumbuh menjadi individu baru. Hifa yang senositik akan berkonjugasi

dengan hifa lain membentuk zigospora. Gambar berikut menunjukkan Siklus hidup

Zygomycetes menurut Landecker (1982).

(27)

c. Ascomycetes

Golongan jamur ini memiliki ciri dengan spora yang terdapat di dalam

kantung yang disebut askus. Askus adalah sel yang membesar yang di dalamnya

terdapat spora yang disebut akospora. Setiap askus biasanya memiliki 2-8 askospora.

Kelompok ini memiliki 2 stadium perkembangbiakan yaitu stadium konidium atau

stadium seksual dan stadium askus atau stadium aseksual. Kebanyakan ascomycetes

bersifat mikroskopis, sebagian kecil bersifat makroskopis yang memiliki tubuh buah.

(28)

Gambar 2.3.Siklus Hidup dari

(a) Saccharomyces cereviseae

(b) Saccharomyces ludwigii

(c) Dipodases aggregatus

d. Basidiomycetes

Basidiomycetes memiliki spora yang disebut basidiospora. Sebagian besar

(29)

Kebanyakan anggota basidiomycetes adalah cendawan, jamur payung, dan cendawan

berbentuk bola yang disebut juga jamur berdaging. Basidiospors yang dilepas dari

cendawan menyebar dan berkecambah menjadi hifa vegetatif yang haploid disebut

miselium primer. Pada banyak spesies miselium ini pada mulanya berinti banyak,

kemudian terjadi persekatan sehingga miselium berinti satu yang haploid. Selanjutnya

terjadi plasmogami antara dua hifa yang kompatibel membentuk miselium sekunder

yang berinti dua yang masing-masing haploid. Miselium sekunder berbiak dengan

cara khusus. Tiap inti membelah diri dan belahan berkumpul lagi tanpa mengadakan

karyogami, sehingga miselium sekunder tetap berinti dua. Miselium sekunder yang

telah terhimpun banyak membentuk jaringan teratur membentuk basidiokarp dan

basidiofor disebut miselium tersier. Pada gills (lamella) di bagian ujung hifa berinti

dua terbentuk probasidium setelah terjadi karyogami, selanjutnya inti probasidium

mengalami meiosis dan menghasilkan Basidiospora. Basidiospora dapat

bertangkaikan sterigma atau langsung duduk pada Basidium/epibasidum

(Dwidjoseputro, 1978). Gambar berikut menunjukkan tubuh buah basidiomycetes dan

(30)
[image:30.612.203.435.82.303.2]

Gambar 2.4. Skematik dari jamur Amanita

A. Stadium kancing, B. Jamur Dewasa

[image:30.612.167.473.391.631.2]
(31)

e. Deuteromycetes

Jamur yang hifanya bersekat menghasilkan konidia namun jamur ini tidak

atau belum diketahui cara pembiakan generatifnya. (Dwidjoseputro, 1978).

Deuteromycetes disebut juga Fungi Imperfecti (jamur tidak sempurna). Penamaan

atau pengelompokan itu bersifat sementara. Karena segera setelah diketahui cara

reproduksi generatifnya (pembentukan askus) dikelompokkan ke Ascomycetes.

Deuteromycetes secara filogenitik bukan merupakan suatu kelompok taksonomi

(Gandjar,et al., 2006).

2.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan fungi

Pada umumnya, pertumbuhan fungi (jamur) dipengaruhi oleh faktor substrat,

cahaya, kelembaban, suhu, derajat keasaman substrat (pH) dan senyawa-senyawa

kimia di lingkungannya ( Gandjar,et al., 2006).

2.3.1 Substrat

Substrat merupakan sumber nutrien utama bagi jamur. Nutrien-nutrien baru

dapat dimanfaatkan sesudah jamur mengeksresi enzim-enzim ekstra seluler yang

dapat mengurai senyawa kompleks dari substrat tersebut menjadi

senyawa-senyawa yang lebih sederhana, banyak jamur memiliki kemampuan mengeksresikan

beberapa jenis enzim ke lingkungan yang menguraikan karbohidrat kompleks, antara

lain cellulase, amilase, pectinase, chitinase, dextranase, xylanase. Sebab selulosa

adalah polisakarida utama di dalam jaringan tumbuhan yang menjadi sumber karbon

(32)

2.3.2 Cahaya

Spektrum cahaya dengan panjang gelombang 380-720 nm relatif berpengaruh

terhadap pertumbuhan jamur, juga berpengaruh terhadap sporulasi (Deacon, 1988).

Pengaruh cahaya terhadap reproduksi jamur cukup kompleks. Tingkat perkembangan

yang berbeda membutuhkan sinar yang berbeda. Intensitas, durasi, kualitas cahaya

menentukan besarnya pengaruh cahaya terhadap jamur. Umumnya cahaya

menstimulasi atau menjadi faktor penghambat terhadap pembentukan struktur

alat-alat reproduksi dan spora pada jamur. Walaupun proses reproduksi memerlukan

cahaya, hanya fase tertentu saja yang memerlukan cahaya, atau secara bergantian

struktur berbeda di dalam sporokarp dapat memberi respon berbeda terhadap cahaya.

Contoh spesies Discomycetes Sclerotina sclerotiorum akan terbentuk dalam kondisi gelap, namun memerlukan cahaya untuk pembentukan pileusnya (Purdy, 1956).

Cahaya hanya diperlukan untuk pembentukan pileus dari spesies Basidiomycetes

Lentinus tuber-regium (Galleymore, 1949).

Menurut Landecker (1982) jamur dapat dibagi menjadi 5 (lima) kelompok

didasarkan atas respon terhadap cahaya, yaitu : (1) kelompok yang nyata tidak

terpengaruh oleh cahaya; (2) kelompok yang sporulasinya mengalami penurunan atau

terhalang oleh paparan cahaya; (3) kelompok yang memerlukan cahaya secara

bergantian antara terang dan gelap untuk proses sporulasi; (4) kelompok yang dapat

memproduksi spora fertil pada kondisi tanpa sinar tapi sporulasinya akan aktif pada

kondisi banyak sinar; (5) kelompok yang memerlukan sinar yang cukup untuk

(33)

2.3.3 Kelembaban

Pada umumnya jamur tingkat rendah memerlukan kelembaban nisbi 90 %,

dan dari jenis hyphomycetes dapat hidup pada kelembaban yang lebih rendah yaitu

80 %. Pada fungi xerotilik dapat hidup pada kelembaban pada 70%, misalnya

Wallenia sedi, Aspergillus, Glaucus, A. flafus (Santoso,et al., 1999). Menurut Deacon (1984) pertumbuhan jamur dapat berlangsung dengan kelembaban minimal 70%,

walaupun beberapa jamur dapat tumbuh dengan sangat lambat pada kelembaban

65%.

2.3.4 Suhu

Berdasarkan kisaran suhu lingkungan yang baik, untuk pertumbuhan, jamur

dikelompokkan sebagai jamur psicrofil, mesofil dan termofil (Gandjar,et al., 2006). Jamur makro memerlukan suhu di atas 200 C (Garraway dan Evans, 1984). Menurut

Deacon (1984) sebagian besar fungi atau jamur bersifat mesofilik, tumbuh pada

temperatur sedang pada rentang 10 – 400 C, optimum pada suhu 25 – 350 C.

2.3.5 Derajat Keasaman Lingkungan (pH)

Derajat keasaman substrat sangat penting untuk pertumbuhan fungi, karena

enzim-enzim tertentu hanya akan mengurai suatu substrat sesuai dengan aktivitasnya

pada pH tertentu. Umumnya menyenangi pH dibawah 7,0. Jenis-jenis Khamir tertentu

bahkan tumbuh pada pH cukup rendah yaitu pH 4,5 – 5,5 (Gandjar,et al., 2006). Menurut Deacon (1984) dalam pengamatan di laboratorium jamur tumbuh pada

(34)

2.4. Jamur Makroskopis dan Edibilitas Jamur

Jamur makroskopis atau cendawan adalah jamur yang tubuh buahnya besar

(berukuran 0,6 cm dan lebih besar) yang membentuk struktur reproduksi untuk

menghasilkan dan menyebarkan sporanya. Bisa dijumpai di hutan, tanah lapang,

padang rumput atau mungkin di halaman belakang rumah (Kibby, 1992) dalam

Nugroho (2004). Fungi makroskopik yang mempunyai tubuh buah besar dikenal

sebagai makrofungi. Sebagian besar makrofungi yang dikenal adalah Basidiomycota

dan sebagian kecil termasuk pada Ascomycota (Gandjar, et al., 2006). Beberapa jenis jamur dapat dimakan dan beberapa lainnya beracun (Toadstools).

2.4.1. Spesies Basidiomycetes yang dapat dimakan

Beberapa spesies basidiomycetes yang edibel memiliki rasa yang eksotik, baik

secara manunggal maupun dalam kombinasi dengan makanan lain, juga mengandung

banyak nutrisi yang penting artinya bagi manusia antara lain :

1. Volvariella volvaceae 2. Agaricus

3. Boletus edulis 4. Loctarius deliosus 5. Cantarellus cibarius 6. Auricularia

Kandungan proteinnya lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan protein

(35)

hewani. Konsumsi jamur bagi masyarakat pinggiran hutan, pedesaan, di negara

sedang berkembang akan menambah persediaan protein bagi tubuh. Tabel berikut

[image:35.612.110.535.208.417.2]

membandingkan nilai gizi beberapa jenis jamur edibel dengan bahan makanan lain.

Tabel 2.2. Nilai Gizi Beberapa Jenis Jamur Edibel Dibanding Dengan Bahan Lain Dalam Berat Segar

Jenis Makanan Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%)

Agaricus sp. Boletus edulis Loctarius delious Cantarellus cibarius Bayam Kentang Kubis Daging sapi Volvariella volvaceae 4,8 5,4 3,0 2,6 2,2 2,0 1,5 21,0 1,8 0.2 0,4 0,8 0,4 0,3 0,1 0,1 5,5 0,3 3,5 5,2 3,0 3,8 1,7 20,9 4,2 0,5 12-48

Sumber : Sinaga, 2006

Jamur juga mengandung bermacam-macam vitamin, walaupun tidak

mengandung vitamin A, demikian juga kandungan riboflavin, tiamin, niasin, mineral,

fosfor, dan kalsium, sedangkan kalori dan kolesterol rendah, sehingga sering kali

jamur dikatakan sebagai makanan pelangsing. Tabel berikut menunjukkan nilai gizi

(36)
[image:36.612.110.534.111.378.2]

Tabel 2.3. Nilai Gizi Beberapa Jamur yang Edibel

Komposisi Berat segar / 100 gr Kandungan

V. volvaceae A. bisporus

Komposisi Berat Kering / kg Auricularia sp.

Air 93,3 % - 15 %

Lemak 0,3 % - 0,5 mg

Protein 1,8 % - 8,4 mg

Abu 1,2 % - 4,1 mg

Kalsium 30 mg/g - 315 mg

Kalium - - 264 mg

Posfat 37 mg/g - -

Zat Besi 0,9 mg/g 0,12 mg/g 36,0 mg

Tiamin 0,03 mg/g 0,12 mg/g 0,08 mg

Riboflavin 0,01 mg/g 0,52 mg/g 0,19 mg

Niasin 1,7 mg/g 5,58 mg/g 4,0 mg

Vitamin C 1,7 mg/g - -

Kalori 24 - 324 mg

Vitamin A 0 - -

Vitamin D dan E - 0 -

Panthotenic Acid - 2,38 mg/g -

Karbohidrat - - 71,6 mg

Keterangan : - = tidak ada data

Sumber : Sinaga, 2006

2.4.2 Spesies Basidiomycetes untuk Bahan Obat

Salah satu spesies yang populer adalah jamur Ling Zhi (Ganoderma lusidium), mudah ditemukan pada batang kayu busuk dan sudah dikenal luas di berbagai negara produsen dan konsumen obat tradisional atau obat herbal seperti

Cina, Jepang, dan Korea. Menurut buku Pengobatan Herbal Tiongkok Ling Zhi

(Ganoderma lusidium) tercantum sebagai obat nomor satu dari 365 bahan obat lainnya, hingga Ling Zhi dijuluki sebagai jamur ajaib, jamur seribu khasiat, jamur

abadi, raja herbal ajaib. Penelitian terhadap jamur Ling Zhi, pengaruh dan uji manfaat

(37)

Farmakologi Taipe, Jepang dan menyatakan Ling Zhi mampu menghambat sel kanker

payudara, memperbaiki fungsi hati, dan mengatur sistim kekebalan tubuh. Menurut

Yohannes pakar herbal Tionghoa di Surabaya, khasiat jamur ling zhi enam kali lipat

dibanding dengan khasiat ginseng (Jin,2000).

Jamur Ling Zhi mengandung senyawa aktif yang sangat penting untuk

kesehatan tubuh. Berikut ini manfaat zat aktif di dalam Ling Zhi (Jin, 2000) .

a. Polisakarida berfungsi untuk :

1. Memperkuat kemampuan tubuh untuk proses penyembuhan alami

2. Mengaktifkan sistem kekebalan tubuh

3. Mencegah pertumbuhan sel yang abnormal

4. Membantu mengurangi kadar gula darah, memelihara pankreas

5. Menguatkan membran sel

6. Mencegah kerusakan organ dalam tubuh

7. Membersihkan racun

8. Meningkatkan jumlah oksigen yang dapat dibawa darah

b. Adenosin berfungsi untuk :

1. Menurunkan kadar kolesterol dan lemak dalam darah

2. Mencegah Trombogenesis

3. Memperbaiki fungsi kelenjar adrenalin untuk keseimbangan endokrin

4. Menyeimbangkan metabolisme

c. Triterpenoid berfungsi untuk :

(38)

2. Mencegah alergi oleh antigen

3. Mengurangi kolesterol

4. Memelihara sel darah

d. Sari Genoderik berfungsi untuk :

1. Memulihkan penyakit pada kulit

2. Menghentikan pendarahan

3. Menurunkan kadar gula darah

2.4.3 Jamur Makro yang Beracun

Hasil metabolisme jamur yang bersifat racun disebut Mikotoksin. Gejala

keracunannya disebut mikotoksikosis. Menurut Hudler (1998) diantara cendawan

yang menyebabkan halusinasi (mengkhayal) antara lain dari Genus Psilocybe, P. Mexicana, P. Caerulescens, P. Cubeasis (Stropharia cubeasis) yang terdapat di Mexico Psilocyb Sp. menghasilkan racun/toksin Psilocybin (Landecker, 1996). Cendawan lain yang menyebabkan halusinasi adalah Amanita muskaria yang berwarna merah atau kuning, lebih dikenal sebagai “ The Fly Agaric” sebab bila lalat hinggap pada jamur ini akan mati. Manusia yang makan jamur ini setelah enam jam

menunjukkan gejala air liur berlebih, mual, muntah-muntah, sakit di bagian perut,

rasa haus sekali, feses berlendir serta berdarah. Senyawa yang terdapat pada

(39)

disebut ” The Death Angel” karena selalu menyebabkan kematian bila dikonsumsi meskipun dalam jumlah sedikit (Landecker, 1996).

Menurut Alexopoulos (1979) beberapa tipe jamur beracun dan efek racunnya

terhadap tubuh sebagai berikut : Ciri utama dari keracunan jamur, mencakup toksin,

efek fisik dari racun, dan waktu yang diperlukan dari saat dikonsumsi sampai

pemunculan gejala keracunan.

a) Toksin yang menyebabkan kerusakan hati dan ginjal dan kematian, mulai dari

awal penyerapan sampai terjadinya gejala, berkisar 6-10 jam.

Group I : Racun cyclopeptide (amanitin) yang mematikan meliputi genus

Amanita dan Galerina.

Group II : Racun monomethylhydrazine (Gyromitrin) yang mematikan, meliputi genus Gyromitra (helvella).

b) Toksin yang mempengaruhi system saraf otonom : menunjukkan gejala,

berkisar 20 menit-2 jam.

Group III : Racun coprine meliputi genus coprinus.

Group IV : Racun muscarine (berkeringat) meliputi genus Clytocibe dan

inocybe.

c) Toksin yang mempengaruhi saraf sentral : menunjukkan gejala berkisar 20

menit - 2 jam.

Group V : Racun asam ibonetic-muscimol (mabuk, mengigau), meliputi

(40)

Group VI : Racun psilocybin-psilocin (halusinogenik), meliputi genus psilocybe dan panaeolus.

d) Toksin yang menyebabkan peradangan saluran pencernaan : menunjukkan

gejala berkisar 30 menit-3 jam.

(41)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Deskripsi Area

3.1.1 Letak dan Luas Area

Taman Nasional Gunung Leuser secara administratif terletak di Provinsi

Sumatera Utara dan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, secara geografis terletak antara

2° 50’ - 4° 10’ LU dan 96° 35’ - 98° 30’ BT dan dengan ketinggian sampai 3381 m

dpl. Luas Taman nasional Gunung Leuser menurut pengumuman Menteri Pertanian

tanggal 6 Maret 1980, seluas 792.675 hektar. Taman Nasional tersebut merupakan

gabungan dari suaka-suaka margasatwa Langkat, Sekundur, Kappi, Gunung Leuser,

dan Kluet (Departemen Kehutanan,1999).

Daerah Ekowisata Pusat Rehabilitasi Orang Utan Bohorok termasuk ke dalam

Wilayah Desa Bukit Lawang, Kecamatan Bohorok, Kabupaten Langkat Sumatera

Utara. Lokasi stasiun ini termasuk Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Secara

geografis terletak pada 3° 30’ - 3° 45’ LU dan 98° 0’BT - 98° 7’BT, pada ketinggian

280 - 360 m dpl, dengan luas ± 200 hektar. Batas-batas areal stasiun ini di sebelah

Utara dan Timur dibatasi sungai Bohorok yang merupakan batas alam, sedang di

bagian lain berbatasan dengan Kawasan Taman Nasional (WWF.Visitor Center,

(42)

3.1.2 Topografi

Daerah Ekowisata Pusat Rehabilitasi Orang Utan Bohorok berbukit-bukit

hingga curam, sedangkan daerah datar dapat dikatakan tidak ada. Berdasarkan Peta

Taman Nasional Gunung Leuser dan sekitarnya, Direktorat PPA tahun 1981, keadaan

tanah di kawasan stasiun Rehabilitasi Orang Utan Bohorok terdiri dari satuan tanah

kompleks podsolik merah kuning, latosol dan litosol, sedang bahan induknya berasal

dari batuan beku endapan metamorf.

3.1.3 Keadaan Iklim

Berdasarkan sistem Klasifikasi Sehmid dan Fergusson tergolong dalam tipe A

dengan rata-rata curah hujan pertahun sebesar 1300 – 4600 mm, rata-rata curah hujan

207 hari yang merata sepanjang tahun. Rata-rata curah hujannya setiap bulannya

lebih dari 100 mm, sehingga dapat digolongkan beriklim selalu basah sepanjang

tahun. Suhu udara rata-rata 24° C dengan kisaran 21,1°- 27,5° C. Kelembaban udara

nisbi berkisar antara 72% - 94% (WWF. Visitor Centre,1989).

3.1.4 Vegetasi

Pada Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser terdapat banyak spesies dari

Dipterocarpaceae (misalnya Meranti, Keruing, Dryobalanops) Salah satu jenis yang

(43)

(Nephelium lappaceum). Flora langka yang khas di Taman Nasional Gunung Leuser adalah Raflesia atiehensis dan Johanesteismania altifrons.

3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai April 2010, di kawasan

ekowisata pusat rehabilitasi orang utan Bohorok Kabupaten Langkat Penelitian

dilakukan di lima (5) trail, yakni trail 1, 2, 4, 11, dan 1-2 (Lampiran 2) pusat

rehabilitasi orang utan Bohorok. Identifikasi jamur makroskopis dilakukan di

Laboratorium Ekologi Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Medan.

3.3Alat dan Bahan

3.3.1 Alat

Beberapa alat yang digunakan dalam penelitian ini : GPS, Peta Lokasi,

Keranjang Plastik, Parang, Pisau, Label, Sekop Tangan, Sarung Tangan, Kamera

Digital, Lup, Rol/Skala Pengukuran. Alat-alat pengukur faktor fisik kimia seperti :

Termometer udara, Termometer Tanah, Higrometer, Lux meter, Soil tester, Humidy

tester, dan buku-buku identifikasi jamur : Paccioni (1981); Alexopoulos (1979);

Zoberi (1972); Arora (1986); Nurtjahya dan Widhiastuti (2009).

3.3.2 Bahan

Bahan yang digunakan : Kertas koran, Karet pengikat, Isolasi, Kertas label,

(44)

3.4 Pelaksanaan Penelitian di Lapangan

3.4.1 Penelitian di Lapangan

Penentuan plot dengan purpossive sampling pada lima (5) trail di kawasan ekowisata pusat rehabilitasi orang utan Bohorok, pengamatan data secara eksploratif.

Pengamatan dan pengambilan koleksi jamur menggunakan metode petak. Pada setiap

trail dibuat petak 20 x 100 meter, untuk pengamatan dan pengkoleksian jamur

makroskopik. Pengamatan dilakukan ulangan sebanyak 3 (tiga) kali. Jamur

makroskopis yang ditemui di lokasi pertama sekali di lakukan pemotretan dengan

disertai skala pengukur selanjutnya dicatat data jamur dari penampakan fisik secara

mendetail. Data faktor fisik selama penelitian juga diukur meliputi suhu udara,

kelembaban, penetrasi cahaya, suhu tanah, pH tanah/media untuk setiap spesies jamur

yang didapat. Bila memungkinkan, objek langsung diidentifikasi di lapangan, dan jika

tidak maka objek harus dikoleksi. Dalam proses pengkoleksian, jamur diambil

dengan hati-hati terutama yang mempunyai tubuh buah lunak, agar didapat tubuh

buah yang utuh, kemudian dibungkus dengan kertas koran, diberi label, dan

diletakkan di dalam keranjang dengan susunan jamur yang keras dan berat pada

posisi bagian bawah. Selanjutnya sample dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi,

memakai buku acuan identifikasi jamur makroskopis.

3.4.2 Penelitian di Laboratorium

Spesimen yang tidak teridentifikasi di lapangan disimpan dalam lemari

pendingin untuk mencegah kerusakan spesimen. Selanjutnya diamati karakteristik

(45)

buah. Ciri mikroskopik dilakukan pada spora dengan mikroskop meliputi warna dan

bentuk. Untuk spesimen awetan dilakukan pengeringan yang diletakkan di atas kawat

kasa yang dibawahnya diberi pemanas berupa bola lampu bohlam 60 atau 100 watt

sampai spesimen benar-benar kering dan selanjutnya disimpan di dalam plastik kedap

udara.

3.5 Analisis Data

Dari data yang diperoleh, jamur dikelompokkan pada setiap ordo, dihitung

kerapatan, kerapatan relatif, frekuensi, frekuensi relatif, indeks nilai penting indeks

keanekaragaman, indeks kemerataan, dan indeks kesamaan, dan tempat hidup jamur,

dan analisis korelasi keanekaragaman jenis dengan faktor fisik-kimia lingkungan.

a. Kerapatan suatu jenis (K)

% 100 x contoh petak Luas jenis suatu Individu K

=

b. Kerapatan relatif suatu jenis (KR)

% 100 x jenis seluruh K jenis suatu K KR

=

c. Frekuensi (F)

(46)

d. Frekuensi Relatif (FR) % 100 . . Re x jenis Seluruh F jenis Suatu F latif Frekuensi =

e. Indeks Nilai Penting (INP)

INP = KR + FR

f. Indeks Keanekaragaman (H’)

= − = 5 1 ln ' i pi pi H Keterangan :

H’ : Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner

Pi : ni/N

ni : Jumlah individu satu jenis

N : Jumlah total individu

S : Jumlah jenis

g. Indeks Kemerataan (E)

Max H H E . ' = Keterangan :

H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener

H.Max = ln S ; S = Jumlah jenis

Menurut Krebs (1985) bahwa Indeks Kemerataan rendah 0 < E < 0,5 dan

(47)

h. Indeks Kesamaan

Menurut Odum (1993) untuk mengetahui besarnya indeks kesamaan dapat

dipergunakan rumus sebagai berikut :

B A

C IS

+

= 2

Keterangan :

IS : Indeks Kesamaan

C : Jumlah jenis yang sama pada kedua lokasi yang dibandingkan.

A : Jumlah jenis yang ada pada lokasi A.

B : Jumlah jenis yang ada pada lokasi B.

Menurut Suin (2002) jika IS ≤ 25% berarti sangat tidak mirip, jika IS 25-50% berarti tidak mirip, jika IS 50-75% berarti mirip dan jika IS ≥ 75 % berarti sangat mirip.

i. Tempat Hidup Jamur

Dikelompokan berdasarkan data yang ditemui di lapangan.

j. Analisis Korelasi Menggunakan Analisis Korelasi Keanekaragaman Jenis

(48)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Jenis Jamur Makroskopis Di Kawasan Ekowisata Bukit Lawang

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di kawasan ekowisata Bukit

Lawang, diperoleh 83 jenis. Jenis-jenis tersebut termasuk dalam 19 Famili dari 8

Ordo dan 2 Kelas yaitu Ascomycetes dan Basidiomycetes. Jamur makroskopis ini

tersebar pada 5 lokasi penelitian.

Dari Tabel 4.1. dapat dilihat jumlah jenis dari tumbuhan yang diamati pada 5

lokasi penelitian. Dari 19 famili yang diperoleh, Polyporaceae merupakan famili

terbesar yang terdiri dari 25 jenis, diikuti oleh Tricholomataceae dengan 21 jenis.

Famili lainnya adalah Pezizaceae, Xylariaceae, Boletaceae, Cortinaceae,

Entolomataceae, Hydnellaceae, Hygroporaceae, Lepiotaceae, Rusullaceae,

Strophariaceae, Cantharellaceae, Clavariaceae, Stereaceae, Auriculariaceae,

Lycoperdaceae, Dacrymycetaceae dan Tulostomataceae.

Dapat kita lihat dari Tabel 4.1. bahwa trail 1.2 memiliki kekayaan jenis yang

paling tinggi yaitu 35 jenis dan 14 famili. Hal ini mungkin dikarenakan kondisi

daerahnya yang dekat dengan alur air, sehingga kelembaban tinggi dan sangat sesuai

(49)
[image:49.612.100.554.112.673.2]

Tabel 4.1. Jenis jamur makroskopis di Ekowisata Bukit Lawang

Lokasi/Trail

No Kelas Ordo Famili Jenis

1 2 4 11 1-2

1. Ascomycotes 1. Pezizales 1. Pezizaceae 1. Peziza sp. - - - - +

2. Xylariales 2. Xylariaceae 2. Daldinia grandis + - - - -

3. Hypoxylon fragiformae - + - - -

4. Xylaria polymorpha - - - - +

5. Xylaria sp. - - - - +

2. Basidiomycotes 3. Agaricales 3. Boletaceae 6. Suillus lakei - - + - -

7. Suillus sp. - - - - +

4. Cortinaceae 8. Crepidotus herbarum + - - - +

9. Crepidotus variabilis - + - - +

10. Hebeloma sp. - + - - -

5. Entolomataceae 11. Entoloma sinuatum + - - - -

6. Hydnellaceae 12. Hydnellum sp. + - - + -

13.Hydnellum scrobilatum - + - - -

7. Hygroporaceae 14. Hygrocybe acutoconia - - + + -

15. Hygrocybe miniata - - + - -

8. Lepiotaceae 16. Lepiota procera + - - - -

17. Lepiota atrodisca - - + - -

18. Lepiota flammeatincta - - + - -

19. Lepiota naucina - - - + -

20. Lepiota cristata - - - - +

9. Rusullaceae 21. Lactarius pubescens - - - - +

22. Russula mairei - - + - -

23. Russula sp. - - + - -

24. Russula subnigricans + - - - -

10. Strophariaceae 25. Pholiota squarrosoides + - - - -

26. Pholiota mutabilis - + - - -

11.Tricholomataceae 27. Calocybe ionides + - - - -

28. Clytocybe sp. - - - + -

29. Collybia acervata - - + - -

30. Collybia butyracea - - - + -

31. Collybia cirrhata - - - - +

32. Collybia confluens - + - - -

33. Marasmiellus candidus + - - - -

34. Marasmiellus foetidus - - - - +

(50)

Lokasi/Trail

No Kelas Ordo Famili Jenis

1 2 4 11 1-2

36. Marasmius copelandi + - + - -

37.Marasmius haematocephalus - - - - +

38. Marasmius ramealis + - - - -

39. Marasmius sp. - + - - -

40. Mycena acicula - + - + -

41. Mycena clavularis - - - - +

42. Mycena lilacifolia - - - - +

43. Mycena sp. + - - - +

44. Mycena strobilinoides - - - + -

45. Panus sp. - - - - +

46. Tricholoma sp. + - - + -

47. Xeromphalina campanella - - - - +

4. Aphylloporales 12.Cantharellaceae 48. Cantharella cornucopioides - + - - -

13. Clavariaceae 49. Clavulina cristata - - - - +

50. Sparassis radicata - + - - -

14. Polyporaceae 51. Coltricia cinnamomea + - + - +

52. Coltricia perennis - - - + -

53. Coriolopsis occidentalis + - - - -

54. Daedalea quercina + - - - -

55. Daedalopsis confragosa - + - - -

56. Daedinella sp. - + - - -

57. Fomes fomentarius + - - + +

58. Fomes lignosus + - + + +

59. Fomitopsis cajanderi + - - - -

60. Fomitopsis pinicola + + + + +

61. Ganoderma applanatum + + + + +

62. Ganoderma sp. - + - - -

63. Heterobasidion annosum - - - - +

64. Microporellus dealbatus - - + - -

65. Piptoporus betulinus - - - - +

66. Polyporus arcularius + - - + -

67. Polyporus badius - - - - +

68. Polyporus dermoporus - + - - -

69. Polyporus sp. + + - - -

70. Polyporus varius + - - - +

71. Pycnoporus cinnabarius - - + - -

(51)

Lokasi/Trail

No Kelas Ordo Famili Jenis

1 2 4 11 1-2

73. Trametes hirsute + - + - -

74. Trametes versicolor + - - + +

75. Tyromyces amarus + - - - +

15. Stereaceae 76. Stereum hirsutum + - - - -

77. Stereum sp. - - + - +

78. Stereum ostreum - - - + -

5. Auriculariales 16. Auriculariaceae 79. Auricularia polytrica - + + - +

80. Auricularia auricular - - - + +

6. Dacrymycetales 17. Dacrymycetaceae 81. Calocera cornea - - - - +

7. Lycoperdales 18. Lycoperdaceae 82. Lycoperdon sp. - - - - +

8. Tulostomatales 19. Tulostomataceae 83. Tulostoma sp. - - - - +

Jumlah Jenis 28 19 20 18 35

Keterangan: ( - ) = tidak ditemukan; ( + ) = ditemukan.

Menurut Nurtjahja dan Widhiastuti (2009), bahwa miselium jamur hanya

dapat tumbuh jika kondisi lingkungan sesuai untuk pertumbuhannya, dalam kondisi

ini miselium akan membentuk tubuh buah. Ditambahkan Irwan (1992), bahwa

kehadiran organisme tergantung kepada lengkapnya kebutuhan yang diperlukan,

termasuk unsur-unsur lingkungan yang kompleks (suhu, kelembaban, cahaya).

Dari hasil penelitian, Ordo terbesar adalah Agaricales yang memiliki 9 famili

yaitu Boletaceae, Cortinaceae, Entolomataceae, Hydnellaceae, Hygroporaceae,

Lepiotaceae, Rusullaceae, Strophariaceae dan Tricholomataceae. Menurut Arora

(1996), Ordo Agaricales adalah kelompok jamur yang paling familiar dengan bentuk

seperti payung. Bagian bawah payung terdiri atas bilah-bilah atau gill yang tersusun

radial. Ditambahkan oleh Alexopoulus & Mimms (1979), anggota ordo Agaricales

(52)

yang membentuk spora disebut sporofor tempat terdapatnya basidia pada bilah-bilah

atau gill dan bisa juga berupa lubang-lubang kecil (pores) seperti pada famili Boletaceae.

Famili dengan jumlah jenis terbanyak adalah Polyporaceae dengan jumlah

jenis terbesar, yaitu 25 spesies. Famili Polyporaceae ciri umumnya adalah bentuk

braket atau kipas dengan himenium berupa lubang-lubang kecil yang disebut pores

atau modifikasinya. Menurut Arora (1996), Polyporaceae merupakan salah satu

kelompok terbesar yang memiliki banyak warna, bentuk dan ukuran. Polypores

kebanyakan tumbuh pada kayu. Tubuh buahnya berkayu, tebal dan kasar.

Selain Polyporaceae, Tricholomataceae juga merupakan famili dengan jumlah

jenis terbanyak yaitu 21 spesies. Menurut Brundett,et al., (1996), Tricholomataceae merupakan famili terbesar dengan jenis-jenis yang sangat berbeda satu dengan yang

lain. Ditambahkan oleh Arora (1996), famili ini merupakan salah satu famili dengan

jumlah jenis terbesar dari ordo Agaricales. Sebagian besar merupakan jenis

teresterial, dan sebagian kecil menempel di kayu.

Bila dibandingkan dengan kekayaan jenis jamur makroskopis di kawasan

hutan Taman Wisata Alam Sibolangit hasil penelitian Nugroho (2004), kekayaan

jenis jamur makroskopis di kawasan Ekowisata Bukit Lawang Bahorok sedikit lebih

rendah. Perbandingan pada kedua tempat sebagai berikut : kelas Ascomycetes di

kawasan hutan Taman Wisata Alam Sibolangit ada 3 ordo, 3 famili, dan 7 spesies,

sedangkan di daerah Ekowisata Bukit Lawang ada 2 ordo, 2 famili, dan 5 spesies.

(53)

18 famili, dan 90 spesies, sedangkan di daerah Ekowisata Bukit Lawang ada 6 ordo,

17 famili, dan 78 spesies.

4.2. Indeks Nilai Penting

Indeks nilai penting menyatakan keunggulan jumlah jamur makroskopis pada

luasan tertentu. Menurut Kusmana dan Istomo (1995) indeks nilai penting untuk

tumbuhan bawah didapat dari hasil penjumlahan kerapatan relatif (KR) dan frekuensi

relatif (FR). Dari kelima lokasi mempunyai indeks nilai penting yang beragam dan

jenis yang berbeda. Indeks nilai penting tersebut dapat di lihat pada tabel 4.2.

Pada Tabel 4.2. dapat dilihat bahwa nilai INP pada trail 1 adalah antara 22,06

– 3,07 %. Jenis dengan nilai INP tertinggi adalah Ganoderma applanatum, sedangkan jenis dengan nilai INP terendah adalah Fomitopsis pinicola dan Russula subnigricans. Hal ini menunjukkan bahwa Ganoderma applanatum merupakan jenis yang dominan pada trail 1. Menurut Setiadi (1989) dalam Sofyan (1991), jenis yang mempunyai

indeks nilai penting tertinggi diantara jenis yang lain disebut jenis yang dominan. Hal

ini mencerminkan tingginya kemampuan jenis tersebut dalam menyesuaikan diri

(54)
[image:54.612.112.546.123.673.2]

Tabel 4.2. Indeks Nilai Penting Pada Setiap Trail dan INP Total

INP

No Nama Jenis

1 2 4 11 1-2

INP Seluruh Lokasi

1. Auricularia auricular 6.76 2.92 2,22

2. Auricularia polytricha 4.35 12.45 15.76 5,70

3. Calocera cornea 3.77 1,04

4. Calocybe ionides 4.55 1,25

5. Cantharella cornucopioides 9.64 1,88

6. Clytocybe sp. 14.69 1,53

7. Clavulina cristata 6.72 2,92

8. Collybia acervata 30.05 5,18

9. Collybia butyracea 5.90 1,15

10. Collybia cirrhata 2.92 0,90

11. Collybia confluens 4.71 0,94

12. Coltricia cinnamomea 7.22 10.40 3.55 3,37

13. Coltricia perennis 4.69 0,90

14. Coriolopsis occidentalis 14.71 2,36

15. Crepidotus herbarum 3.34 3.55 1,94

16. Crepidotus variabilis 6.72 2.92 2,22

17. Daedalea quercina 15.24 3,27

18. Daedalopsis confragosa 20.04 3,86

19. Daedinella sp. 11.28 2,19

20. Daldinia grandis 9.09 2,43

21. Entoloma sinuatum 4.01 1,11

22. Fomes fomentarius 6.28 17.32 7.77 5,98

23. Fomes lignosus 10.83 19.72 9.90 4.19 7,82

24. Fomitopsis cajanderi 4.28 1,18

25. Fomitopsis pinicola 3.07 4.71 30.93 28.56 10.27 11,40 26. Ganoderma applanatum 22.06 21.99 5.20 12.49 7.95 11,61

27. Ganoderma sp. 4.35 0,87

28. Hebeloma sp. 5.99 1,18

29. Heterobasidion annosum 2.71 0,87

(55)

INP

No Nama Jenis

1 2 4 11 1-2

INP Seluruh Lokasi

31. Hydnellum scrobilatum 16.91 3,20

32. Hygrocybe acutoconia 4.37 4.52 1,74

33. Hygrocybe miniata 6.44 1,22

34. Hypoxylon fragiformae 46.11 8,03

35. Lactarius pubescens 2.71 0,87

36. Lepiota procera 3.48 0,87

37. Lepiota atrodisca 4.37 2,71

38. Lepiota flammeatincta 5.41 1,04

39. Lepiota naucina 5.90 1,15

40. Lepiota cristata 13.89 0,97

41. Lycoperdon pyriforme 2.92 0,90

42. Marasmiellus candidus 6.02 1,63

43. Marasmius foetidus 7.56 1,67

44. Marasmius candidus 5.63 4.79 11.24 6.69 5,39

45. Marasmius copelandi 3.21 16.17 3,75

46. Marasmius haematocephalus 2.71 0,87

47. Marasmius ramealis 6.68 1,81

48. Marasmius sp. 4.35 0,87

49. Microporellus dealbatus 4.58 0,90

50. Mycena acicula 4.53 5.04 1,88

51. Mycena clavularis 3.13 0,94

52. Mycena lilacifolia 2.71 0,87

53. Mycena sp. 3.34 2.71 1,81

54. Mycena strobilinoides 4.69 0,90

55. Panus sp. 2.92 0,90

56. Peziza sp. 3.55 1,01

57. Pholiota squarrosoides 3.21 0,87

58. Pholiota mutabilis 4.35 0,90

59. Piptoporus betulinus 13.68 2,68

60. Polyporus arcularius 5.61 16.42 4,80

61. Polyporus badius 2.71 0,87

(56)

INP

No Nama Jenis

1 2 4 11 1-2

INP Seluruh Lokasi

63. Polyporus sp. 4.55 9.28 3,06

64. Polyporus varius 3.21 2.92 1,81

65. Pycnoporus cinnabarius 5.41 1,04

66. Russula mairei 4.37 0,87

67. Russula sp. 4.37 0,87

68. Russula subnigricans 3.07 0,87

69. Sparassis radicata 4.35 0,87

70. Stereum hirsutum 17.65 4,66

71. Stereum sp. 8.10 3.55 5,49

72. Stereum ostreum 27.45 2,50

73. Suillus lakei 4.58 0,90

74. Suillus sp. 3.13 0,94

75. Trametes corrugata 10.38 1,88

76. Trametes hirsuta 6.95 7.89 3,34

77. Trametes versicolor 15.24 11.42 7.77 7,23

78. Tricholoma sp. 3.74 4.87 3,58

79. Tulostoma sp. 12.20 2,43

80. Tyromyces amarus 3.48 2.92 1,74

81. Xeromphalina campanella 9.43 1,56

82. Xylaria polymorpha 12.20 2,43

83. Xylaria Sp. 2.92 0,90

Ganoderma applanatum memiliki tubuh buah yang keras dan merupakan parasit pada pohon inangnya dan akan menjadi saprofit saat inangnya mati. Menurut

Nurtjahya & Widhiastuti (2009), Ganoderma applanatum sessil tidak bertangkai atau bertangkai berbentuk seperti kipas, bergaris-garis konsentris, saat masih muda

berwarna putih namun segera tertutup oleh warna kekuningan seperti karat atau

mengkilap. Bagian tepi tubuh buah berwarna putih atau abu-abu. Bagian bawah tubuh

(57)

oleh tangan. Spora berwarna coklat karat, berbentuk elips, permukaannya

berbintil-bintil, berukuran 9–13 x 6–9 mikron. Habitat parasit pada tanaman berkayu dan

kemudian hidup saprofit saat pohon inangnya mati.

Nilai INP tertinggi pada trail 2 adalah Hypoxylon fragiformae dengan nilai 46,11%, sedangkan jenis dengan nilai INP terendah adalah Auricularia polytrica, Ganoderma sp., Marasmius sp., Mycena acicula, Pholiota mutabilis dan Sparassis radicata dengan nilai 4,35%. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan sangat sesuai dengan pertumbuhan Hypoxylon fragiformae. Ewusie (1990), menyatakan bahwa cahaya, temperatur dan air secara ekologis merupakan faktor lingkungan yang

penting. Suin (2002), juga menyatakan faktor lingkungan sangat menentukan

penyebaran dan pertumbuhan suatu organisme dan tiap jenis hanya dapat hidup pada

kondisi abiotik tertentu yang berada dalam kisaran toleransi tertentu yang cocok bagi

organisme tersebut.

Nilai INP pada trail 4 adalah antara 30,93 – 4,37 %. Jenis dengan nilai INP

tertinggi adalah Fomitopsis pinicola. Tingginya INP dari jenis Fomitopsis pinicola

dikarenakan jenis ini banyak dijumpai di trail 4 sehingga jenis ini dapat mendominasi,

dan hal ini juga menandakan kemampuan jenis ini mampu mempertahankan diri pada

lokasi lingkungan. Menurut Mounce (1929) dalam Hogberg,et al., (1999), Fomitopsis pinicola memiliki kemampuan reproduksi yang baik dan penyebaran yang baik dengan membentuk banyak spora, serta tubuh yang perennial. Menurut Rivarden dan

(58)

jenis-jenis yang memiliki nilai tertinggi merupakan kelompok jenis yang mempunyai

frekuensi dan kerapatan yang tinggi pada lokasi tersebut. Hal ini sesuai dengan Ihsan

(2008), yang menyatakan bahwa keberhasilan suatu jenis untuk tumbuh dan

bertambah banyak tidak lepas dari daya mempertahankan diri pada suatu kondisi

lingkungan tertentu, sedangkan jenis dengan nilai INP terendah pada trail 4 adalah

Hygrocybe acutoconia, Lepiota atrodisca, Russula mairei dan Russula sp. dengan 4,37%. Hal ini menandakan bahwa jumlah jenis ini jarang ditemukan pada lokasi

penelitian karena kedaaan lingkungan yang tidak sesuai untuk pertumbuhannya.

Menurut Resosoedarmo,et al., (1989), jenis-jenis yang sedikit didapatkan diduga karena faktor lingkungan yang kurang cocok dengan syarat tumbuh dari jenis

tersebut.

Fomitopsis pinicola memiliki nilai INP tertinggi pada trail 11 adalah 28,56%. Keadaan ini sama dengan keadaan pada trail 4. Hal ini kemungkinan karena keadaan

lingkungan yang hampir sama, baik untuk suhu udara, suhu tanah, kelembaban,

intensitas cahaya dan ketinggian lokasinya. Hygrocybe acutoconia memiliki nilai INP terendah pada trail 11 dengan 4,52%. Menurut Pramono (1992), pertumbuhan selain

dipengaruhi oleh faktor genetik juga dipengaruhi oleh interaksinya dengan

lingkungan. Pengaruh lingkungan terdiri dari faktor tanah, iklim, mikroorganisme,

kompetisi dengan organisme lain. Lebih lanjut Daniel,et al., (1992), menambahkan bahwa pertumbuhan juga dipengaruhi oleh zat-zat organik yang tersedia, kelembaban,

(59)

Auricularia polytrica memiliki nilai INP yang tertinggi pada trail 1-2 dengan nilai 15,76%, sedangkan jenis dengan nilai INP yang terendah adalah Heterobasidion annosum, Lactarius pubescens, Marasmius hematocephalus, Mycena lilacifolia, Mycena sp. dan Poliporus badius dengan 2,71%. Hal ini menandakan bahwa jenis

Auricularia polytrica memiliki toleransi yang tinggi terhadap faktor pembatas tertentu terhadap lingkungan. Menurut Jonathan, et al., (2009)., bahwa Auricularia polytricha tersebar luas di belahan bumi daerah tropis dan sub tropis, tumbuh subur saat musim hujan dan tumbuh di kayu lapuk. Curah hujan yang relatif tinggi dan

merata sepanjang tahun di lokasi penelitian membuat spesies ini tumbuh cukup baik

dan dominan di trail 1-2. Irwan (1992), menyatakan bahwa faktor yang mula-mula

menghentikan pertumbuhan dan penyebaran dari organisme disebut faktor pembatas.

Untuk dapat bertahan hidup dalam keadaan terte

Gambar

Tabel  2.1. Pengelompokan Jamur dan Ciri-ciri Umum
Gambar 2.1. Siklus Hidup Saprolegnia
Gambar 2.2. Siklus Hidup Mucor mucedo dari kelompok Zygomycetes
Gambar 2.3.Siklus Hidup dari
+7

Referensi

Dokumen terkait

Anggrek tanah yang merupakan anggrek yang hidup di permukaan tanah dan nutrisinya diperoleh dari dalam tanah (Soeryowinoto, 1984), maka keadaan tanah yang banyak mengandung unsur

Daun : berbentuk lanset, warna hijau dengan bintik-bintik kuning, terdiri dari ±8 daun, panjang ±4,5 cm dan lebar ±2 cm, permukaan licin, tepi rata, tipis, ujung runcing dan

Diameter 7.5 cm, tebal 0.5-1 cm, bentuk semi sirkuler, tidak terlalu keras (rapuh), berwarna coklat kemerahan dengan tepi putih kekuningan, membentuk zona konsentris.. Licin

Secara keseluruhan, jumlah jenis kupu-kupu yang berhasil ditemukan pada dua lokasi (hutan dan tepi sungai) di PPOS Bukit Lawang sebanyak 76 spesies yang terdiri dari

Herba, teresterial, tinggi 70-100 cm; Akar kaku, hitam; Rhizome menjalar, bentuk bulat, permukaan bersisik warna cokelat; Stipe 40-70 cm, bentuk bulat,

Survey geolistrik untuk mengetahui resistivitas bawah permukaan bumi dengan melakukan pengukuran di permukaan bumi dengan menggunakan dua elektroda potensial dan dua elektroda

Herba, epifit, tinggi 12-22 cm;Akar kaku, hitam; Rhizome melingkar, permukaan ditutupi sisik, hitam; Stipe3-12 cm berbentuk bulat, permukaan licin, hijau tua; Enthal

23 (a) Bentuk tubuh buah setengah lingkaran, tekstur seperti gelatin, bentuk tudung melebar, berdiameter 2 cm, berwarna coklat, permukaan dan tepi tudung berlekuk,