• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komposisi Karkas dan Sifat Fisik Daging Kelinci Lokal Jantan Muda dengan Pemberian Pakan Mengandung Limbah Tauge

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komposisi Karkas dan Sifat Fisik Daging Kelinci Lokal Jantan Muda dengan Pemberian Pakan Mengandung Limbah Tauge"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

RINGKASAN

YOGI MUJI KURNIAWAN. D14080074. 2013. Komposisi Karkas dan Sifat FisikDaging Kelinci Lokal Jantan Muda dengan Pemberian Pakan Mengandung Limbah Tauge. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Petrnakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Sri Rahayu M.Si.

Pembimbing Anggota : Muhamad Baihaqi, S.Pt, M.Sc.

Kelinci merupakan hewan mamalia yang memiliki beberapa keunggulan dibanding ternak lainnya diantaranya kelinci mampu menghasilkan anak dalam jumlah yang banyak (prolific), menghasilkan daging dengan kadar asam lemak tak jenuh dan kolesterol yang rendah. Penelitian ini bertujuan untuk menguji karakteristik, komposisi karkas dan sifat fisik daging kelinci lokal jantan muda yang digemukkan dengan pakan mengandung limbah tauge sebagai dasar pengembangan potensi kelinci sebagai alternatif sumber protein hewani.

Kelinci yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelinci lokal yang berumur 12 minggu yang digemukkan selama 6 minggu. Pakan yang digunakan berupa campuran antara limbah tauge dengan konsentrat dalam bentuk pelet. Pemberian pakan dibagi menjadi empat perlakuan yaitu 100% konsentrat (P1), 85% konsentrat+15% limbah tauge (P2), 70% konsentrat + 30% limbah tauge (P3), 55% konsentrat + 45% limbah tauge (P4). Peubah yang diamati diantaranya adalah karakteristik karkas (bobot potong, bobot karkas, bobot tubuh kosong, persentase karkas panas) komposisi karkas (otot, tulang, lemak), bobot dan persentase potongan komersial, distribusi komposisi karkas pada potongan komersial, bobot danpersentase non-karkas, dan sifat fisik daging kelinci yang meliputi pH, susut masak, daya mengikat air (DMA), dan keempukan. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap. Data untuk karakteristik karkas, komposisi karkas,bobot, persentase dan distribusi komposisi potongan komersial serta bobot dan persentase non-karkas diolah dengan Analysis of Covariance atau ANCOVA, sedangkan data sifat fisik daging kelinci diolah dengan Analysis of Varianceatau ANOVA.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan pemberian limbah tauge tidak berpengaruh nyata terhadap karakteristik karkas (P>0,05). Hasil pada pengujian komposisi karkas juga tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P>0,05). Bobot dan persentase potongan komersial kelinci tidak berbeda nyata (P>0,05) pada semua potongan (foreleg, rack, loin, dan hindleg). Distribusi komposisi karkas (otot, lemak dan tulang) tidak berbeda nyata (P>0,05) pada potongan komersial.Bobot dan persentase non-karkas menunjukkan respon yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Rataan nilai pH, DMA, keempukan dan susut masak berturut-turut adalah 5,92, 115,1 mg, 7.933,59 gf, 33,82%. Hasil penelitian pada daging kelinci menunjukkan bahwa perlakuan 0, 15, 30 dan 45 % limbah tauge pada pakan hanya berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pH daging. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat dikatakan bahwa limbah tauge dapat menggantikan pelet komersil tanpa menurunkan kualitas daging kelinci yang dihasilkan.

(2)

ABSTRACT

Carcass Composition and Meat Physical Characteristic of Young Local Male Rabbit Fattened With Feed Containing of Sprout Waste

Kurniawan, Y. M., S. Rahayu and M. Baihaqi

(3)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan hidup manusia tidak pernah lepas dari pangan baik yang berasal dari hewan maupun tumbuhan. Pangan asal hewan seperti daging, susu dan telur merupakan salah satu sumber protein bagi manusia. Protein sangat penting manfaatnya, diantaranya untuk menggantikan sel-sel tubuh yang rusak dan membentuk jaringan tubuh.

Kelinci merupakan hewan mamalia dari family Leporidae yangpenyebarannya cukup luas dari daerah temperate hingga daerah tropis, kelincimemiliki beberapa keunggulan dibanding ternak lainnya diantaranyamampu menghasilkan anak dalam jumlah yang banyak (prolific), menghasilkan daging yang rendah asam lemak tak jenuh dan rendah kolesterol. Kelinci mempunyai potensi yang besar untuk dipilihmasyarakat karena mempunyai resiko yang kecil untuk menimbulkan penyakit seperti kolesterol. Kelinci adalah salah satu ternak penghasil daging sehat yang dapat dijadikan sumber protein alternatif di negara berkembang (Khotijah, 2006). Hingga saat ini pemeliharaan kelinci lebih banyak digunakan sebagai hewan kesayangan atau hewan percobaan di laboratorium daripada sebagai ternak penghasil daging. Kelinci yang umum dipelihara oleh peternak sebagai penghasil daging adalah kelinci lokal yang dipelihara secara tradisional.

Daging merupakan salah satu bagian penyusun karkas, sementara karkas yang ideal harus mengandung sejumlah maksimal otot, kandungan lemak yang optimal serta tulang yang minimum (Lovett, 1986). oleh karena itu untuk menentukan besarnya produksi daging dapat dilihat dari besarnya produksi karkas yang dihasilkan. Untuk memperoleh karkas yang berkualitas, diperlukan bahan pakan yang mempunyai kandungan energi yang tinggi untuk penggemukan serta protein diperlukan untuk pertumbuhan dan pembentukan jaringan otot.

(4)

kulit kacang hijau dan pecahan-pecahan tauge yang tidakdikonsumsi oleh manusia. Masyarakat Indonesia umumnya mengkonsumsi tauge sebagai bahan pangan hampir di setiap daerah, sehingga potensi limbah yang dihasilkan tauge itu sendiri sangat besar. Hasil survey Rahayu et al.(2010) menginformasikan bahwa total produksi tauge di daerah Bogor sekitar 6,5 ton/hari dan berpeluang menghasilkan limbah tauge sebesar 1,5 ton/hari. Potensi yang dihasilkan dari limbah tauge memungkinkan limbah tauge dapat dijadikan sebagai pakan ternak.

Tujuan

(5)

TINJAUAN PUSTAKA Kelinci

Kelinci merupakan hewan yang mempunyai potensi sebagai penghasil daging yang baik. Hewan ini merupakan herbivore non ruminansia yang mempunyai system lambung sederhana (tunggal) dengan perkembangan sekum seperti alat pencernaan ruminansia, sehingga hewan ini dapat disebut ruminansia semu (pseudoruminant).

Damron, (2003) mengklasifikasikan kelinci termasuk dalam Kingdom Animalia (hewan), Phylum Chordata (mempunyai notochord), Subphylum Vertebrata (bertulang belakang), Class Mammalia (memiliki kelenjar air susu), Ordo Lagomorpha (memiliki 2 pasang gigi seri di rahang atas), Family Leporidae (rumus gigi 8 pasang di atas dan 6 pasang di bawah), GenusOryctolagus (morfologi yang sama) dan Speciescuniculus forma domestica(nama spesies)

Hewan ini dapat mencerna serat kasar, terutama selulosa, dengan bantuan bakteri yang hidup dalam sekumnya (Farrrel dan Rahardjo, 1984). Kelinci banyak digunakan sebagai hewan peliharaan, penghasil kulit bulu (fur) dan penghasil daging (fryer). Kelinci mampu mengubah hijaun berprotein rendah, yang berasal dari bahan makanan yang tidak dimanfaatkan oleh manusia sebaggai bahan makanan, menjadi protein hewani yang bernilai tinggi. Hewan ini mengembalikan 20% protein yang dikonsumsinya menjadi daging (Lebas et al., 1986). Farrel dan Rahardjo (1984) menyatakan bahwa secara teori seekor induk kelinci dengan bobot tiga hingga empat kilogram, dapat menghasilkan 80 kg karkas per tahun.

Kelinci Lokal

Bangsa kelinci lokal di Indonesia merupakan persilangan dari berbagai jenis kelinci yang tidak terdata, tetapi sebagian besar berasal dari persilangan jenis New Zealand White. Kelinci lokal yang berada di Indonesia mempunyai tubuh yang lebih kecil dari kelinci impor. Kelinci-kelinci lokal ini memiliki laju pertumbuhan yang lambat, sehingga sering dilakukan persilangan bangsa kelinci lokal ini dengan bangsa lain untuk mengembangkan kelinci yang tahan penyakit dan mempunyai toleransi terhadap panas serta berbadan besar (Farrel dan Rahardjo, 1984).

(6)

beradaptasi di daerah tropis sehingga lebih tahan terhadap lingkungan panas dibandingkan kelinci impor yang berasal dari daerah iklim sedang. Kelinci lokal diternakkan dengan tujuan sebagai penghasil daging. Daging yang dihasilkan juga mempunyai kualitas yang cukup baik.

Pakan Kelinci

Kelinci termasuk jenis ternak pseudo-ruminant, yaitu herbivora yang tidak dapat mencerna serat-serat kasar secara baik. Kelinci memfermentasi pakan di caecum, yang besarnya 50% dari seluruh kapasitas saluran pencernaannya. Walaupun memiliki caecum yang cukup besar, kelinci ternyata tidak mampu mencerna bahan-bahan organik dan serat kasar dari hijauan sebanyak yang dapat dicerna oleh ternak ruminansia murni. De Blass dan Wiseman (1998) menyatakan jumlah pemberian ransum kelinci adalah 8% dari bobot badan kelinci. Kelinci kurang efisien dalam mencerna serat kasar hijauan, karena gerak laju pakan yang cepat pada caecum,sehingga tidak mengalami penyerapan nutrien yang sempurna dan akan terus menuju anus dan keluar dalam bentuk lunak. Kotoran yang lunak ini akan dimakan dan dimanfaatkan kembali (coprophagy).

Pakan yang dikonsumsi oleh ternak digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, yaitu menunjang proses dalam tubuh yang harus dilaksanakan walaupun tidak ada proses produksi ataupun pembentukan jaringan baru. Apabila jumlah pakan yang dikonsumsi melebihi kebutuhan tersebut di atas maka kelebihan nutrien yang ada digunakan untuk keperluan pertumbuhan, penggemukan atau keperluan produksi lainnya (Tillmanet al., 1991).

(7)

Konsentrat

Konsentrat merupakan bahan pakan ternak yang mengandung energi relatif tinggi, serat kasar rendah, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) tinggi dan mudah dicerna oleh ternak (Tillman etal., 1991). Konsentrat dalam ransum kelinci berfungsi untuk meningkatkan nilai nutrien agar sesuai dengan kebutuhan pokok hidup kelinci dan disesuaikan dengan tujuan produksi yang diharapkan serta menjaga daya tahan tubuh terhadap lingkungan (Templeton dan Kellog, 1961). Konsentrat terdiri dari biji-bijian dan limbah hasil proses industri bahan pangan seperti jagung giling, tepung kedelai, menir, dedak, bekatul, bungkil kelapa, tetes dan umbi. Harris et al. (1983) menyatakan bahwa kelinci lebih menyukai ransum dalam bentuk pelet daripada dalam bentuk tepung atau butiran.Pemberian pakan bentuk pelet dapat meningkatkan performa dan konversi pakan ternak bila dibandingkan dengan pakan bentukmash(Behnke, 2001).

Limbah Tauge

Limbah tauge adalah sisa dari produksi tauge yang terdiri dari kulit kacang hijau dan pecahan-pecahan tauge hasil pengayakan untuk dikonsumsi. Limbah tauge biasanya dibuang begitu saja di pasar atau oleh para pedagang tauge, sehingga berpeluang untuk mencemari lingkungan. Potensi limbah tauge dalam sehari sangat banyak dilihat dari produksi tauge yang tidak mengenal musim terutama untuk petani tauge di daerah Bogor. Hasil survei Rahayuet al. (2010) menginformasikan bahwa total produksi tauge di daerah Bogor sekitar 6,5 ton/hari dan berpeluang menghasilkan limbah tauge sebesar 1,5 ton/hari. Limbah tauge juga memiliki nilai nutrisi yang cukup baik, yaitu kandungan air 63,35%, abu 7,35%, lemak 1,17%, protein 13,62%, serat kasar 49,44% dan kandungan TDN 64,65%.

Karkas dan Komposisi Karkas Kelinci

(8)

kerangkan dan lemak terakhir pada saat mendekati kemasakan tubuh (Mc Nitt dan Lukefahr, 1996). Karkas yang ideal harus mengandung sejumlah maksimal otot, kandungan lemak yang optimal serta tulang yang minimum (Lovett, 1986).

Herman (1989) meyatakan bahwa kelinci yang dipelihara di daerah tropis mampu menghasilkan karkas sebesar 47,96% dari bobot hidup 1 – 2.1 kg. Bobot tulang karkas kelinci sekitar 15% dan 82%– 85% dari karkasnya dapat dikonsumsi. Mutu produksi daging dipengaruhi oleh umur (Soeparno, 1992). Daging kelinci muda, berwarna putih, seratnya halus dan rasanya lebih enak dari daging ayam. Kelinci dewasa, dagingnya padat, kasar, berwarna merah tua dan kurang empuk (Herman, 1989). Soeparno (1992) menyatakan kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor yang menentukan adalah bobot karkas, jumlah daging yang dihasilkan dan kualitas daging dari karkas yang bersangkutan.

Pemotongan bagian karkas kelinci berdasarkan pada irisan komersial. Irisan komersial karkas kelinci terdiri atas empat potongan irisan. Irisan tersebut adalah potongan irisan paha depan (foreleg), potongan irisan dada (rack), potongan irisan piggang (loin), dan potongan irisan paha belakang (hindleg) (De Blasset al., 1977 ). Herman (1989) menyatakan bahwa hasil pengirisan menunjukkan proporsi yang konsisten dengan koefisien keragaman yang rendah. Proporsi irisan terhadap bobot tubuh secara terinci yaitu irisan kaki belakang 40%, pinggang 22,10%, dada 11,68%, dan kaki depan 29%.

(9)

Otot

Otot merupakan komponen utama karkas sebagai penentu kualitas yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Otot mengandung 72% -73% air, 18% protein, 1%-20% lemak, 1% abu dan 1% karbohidrat yang merupakan sistem koloida (Zoborisky, 1969).

Basukiet al. (1981) menyatakan bahwa kelinci lokal mempunyai persentase otot sebesar 35,2 ± 5,25% untuk kelinci betina berbobot badan 0,55-3,3 Kg dan untuk kelinci jantan dengan bobot badan 0,6-3,3 kg. Bobot badan kelinci yang diharapkan pada peternakan komersial adalah 1,8-2,7 kg dengan produksi daging karkas 0,9-1,4 kg yang persentase karkasnya sebesar 55% dan rasio otot dan tulang adalah 5:1.

Persentase otot akan meningkat dengan meningkatnya bobot potong kaki belakang (hindleg) dan punggung (loin), sedangkan otot pada bagian kaki depan (foreleg) konstan (Eviaty, 1982). Djoenaedi (1972) menyatakan bahwa pada rataan bobot hidup sebesar 990 gr diperoleh rataan otot sebesar 36,7%.

Tulang

Tulang merupakan jaringan yang pasif atau inert. Perbedaan tulang dengan dengan jaringan yang lainnya adalah tulang merupakan jaringan padat yang keras dan mengandung 45% air, 25% abu, 20% protein, 10% lemak dan 99% kalsium serta 80% phosphor dalam tubuh yang umumnya terdapat di dalam tulang (Zoborsky, 1969).

Tulang merupakan bentuk kerangka yang berfungsi sebagai pelindung jaringan lunak dan organ-organ vital serta sebagai pengungkit aktivitas otot. Tulang mempunyai arti penting dalam pertumbuhan ternak, karena perkembangan tulang akan menentukan ukuran dan bersama otot maupun lemak menentukan konformasi tubuh. Tulang dapat mencerminkan produksi daging suatu ternak dan diharapkan mempunyai proporsi yang sekecil mungkin (Berg dan Butterfield, 1976).

(10)

Lemak

Perletakan dan distribusi lemak mempunyai arti ekonomi yang penting dalam produksi daging. Lemak menambah bobot daging karkas dan penyebarannya turut menentukan mutu daging. Depot lemak merupakan komponen karkas yang masak lambat. Persentase depot lemak akan meningkat seiring dengan bertambahnya bobot hidup. Depot lemak merupakan proses fisiologis ternak, dengan fungsinya yaitu sebagai cadangan untuk menjaga panas homeosasis tubuh (De Blasset al.,1977).

Distribusi lemak sangat mempengaruhi proporsi jaringan otot karkas, sebab proporsi daging dan tulang akan berkurang sedangkan komponen lemak bertambah dengan meningkatnya bobot karkas (Seebeck dan Tulloh, 1968). Pertumbuhan lemak pada kelinci berlangsung bila berumur lebih dari dua bulan yaitu pada bobot sekitar 1,5–2,0 kg, tetapi lemak yang dikandungnya tetap lebih kecil bila dibandingkan ternak lainnya. Perletakan lemak pada tubuh kelinci terjadi di sekitar rusuk, sepanjang tulang belakang, daerah paha, sekitar leher, ginjal dan jantung (Bogart, 1981).

Sifat Fisik Daging Daya Mengikat Air (DMA) Daging

Daya mengikat air (DMA) oleh protein daging atau water-holding capacity atau water binding capacity (WHC dan WBC) adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan (Soeparno, 1992). Kapasitas mengikat air sangat mempengaruhi penampilan daging sebelum dimasak,sifat-sifatnya selama dimasak dan juiceness-nya pada saat dikunyah (Lawrie, 2003).

(11)

kelembaban yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan daging yang berlemak (Soeparno, 1992).

Air yang terikat di dalam otot dapat dibagi menjadi tiga kompartemen air, yaitu air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebesar 4%-5% sebagai lapisan monomolekuler pertama; air terikat agak lemah sebagai lapisan kedua dari molekul air terhadap grup hidrofilik, sebesar 4% dan lapisan kedua ini akan terikat oleh protein bila tekanan uap air meningkat. Lapisan ketiga adalah molekul-molekul air bebas diantara molekul protein, berjumlah kira-kira 10%. Jumlah air terikat (lapisan pertama dan kedua) adalah bebas dari perubahan molekul yang disebabkan oleh denaturasi protein daging, sedangkan lapisan ketiga akan menurun apabila protein daging mengalamidenaturasi(Soeparno, 1992).

Periode pembentukan asam laktat yang menyebabkan penurunan pH otot postmortem, menurunkan DMA daging dan banyak air yang berasosiasi dengan protein otot akan bebas meninggalkan serabut otot. Pada titik isoelktrik (5,0-5,1) protein myofibril, filament myosin dan filament aktin akan saling mendekat sehingga ruang diantara filament-filamen ini akan menjadi lebih kecil. Pemecahan dan habisnya ATP (adipose Triphospat) serta pembentukan ikatan dianyara filament pada saat rigormortis menyebabkan penurunan daya mengikat air. Dua pertiga dari penurunan DMA otot sapi adalah karena pembenukan aktamiosin dan menjadi habisnya ATP pada saat rigor dan sepertiga lainnya disebabkan oleh penurunan pH (Soeparno, 1992).

Keempukan Daging

(12)

Penyebab utama kealotan daging adalah pemendekan otot postmortem (Lawrie,2003). Jadi, pemendekan otot ini dapat dicegah dengan cara penggantungan karkas pre-rigor pada pelvic atau dengan cara pelayuan karkas, misalnya pada temperatur 10-20˚C (Bouton et al.,1978). Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa pengaturan ransum sebelum ternak dipotong mempengaruhi secara langsung variasi sifat urat daging setelah pemotongan dan ternak-ternak yang digemukkan di dalam kandang akan menghasilkan daging yang lebih empuk dibandingkan dengan ternak yang digembalakan.

Bouton et al.(1978) menyatakan bahwa umur dalam kondisi tertentu tidak mempengaruhi keempukan daging yang dihasilkan. Ternak yang lebih tua namun mendapatkan ransum dengan nutrisi dan penanganan yang baik dapat menghasilkan daging yang lebih empuk dibandingkan dengan daging yang dihasilkan dari ternak muda namun mendapatkan nutrisi ransum dan penanganan yang kurang baik. Otot dapat tumbuh dan berkembang dengan baik jika mendapatkan nutrisi dan penanganan yang baik. Otot yang baik mempunyai jumlah kolagen per satuan luas otot yang lebih kecil dibandingkan dengan otot dari ternak yang mendapat nutrisi dan penanganan yang kurang baik, dengan demikian daging yang dihasilkan akan lebih empuk.

Susut Masak Daging

Susut Masak Daging ialah perbedaan antara bobot daging sebelum dan sesudah dimasak dan dinyatakan dalam persentase. Susut masak merupakan fungsi dari temperature dan lama dari pemasakan. Susut masakdapat dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi myofibril, ukuran dan berat sampel daging serta penampang lintang daging. Susut masak dapat meningkat dengan panjang serabut otot yang lebih pendek. Pemasakan yang relative lama akan menurunkan pengaruh panjang serabut otot terhadap susut masak.

(13)

perbedaan deposisi lemak intramuskuler. Konsumsi pakan dapat juga mempengaruhi besarnya susut masak (Soeparno, 1992)

Nilai pH Daging

Perubahan pH sesudah ternak mati pada dasarnya ditentukan oleh kandungan asam laktat yang tertimbun dalam otot, selanjutnya oleh kandungan glikogen dan penanganan sebelum penyembelihan (Buckle et al., 1987). Otot yang mengalami penurunan pH sangat cepat akan menjadi pucat, daya ikat protein daging terhadap cairannya menjadi rendah dan permukaannya tampak sangat basah. Disisi lain, otot yang mempunyai pH tinggi selama proses konversi otot menjadi daging dapat menjadi sangat gelap warnanya dan sangat kering di permukaan potongan yang tampak (Aberleet al., 2001).

Penurunan pH otot postmortem banyak ditentukan oleh laju glikolisis postmortem serta cadangan glikogen otot dan pH daging ultimat, normalnya adalah 5,4 sampai 5,8. Stress sebelum pemotongan, pemberian suntikan hormon atau obat-obatan tertentu, species, individu ternak, macam otot stimulasi listrik dan aktivitas enzim yang mempengaruhi glikolisis adalah faktor-faktor yang dapat menghasilkan variasi pH daging. Penurunan pH karkas postmortem mempunyai hubungan yang erat dengan temperatur lingkungan (penyimpanan). Temperatur tinggi akan meningkatkan laju penurunan pH, sedangkan temperatur rendah menghambat laju penurunan pH. Pengaruh temperatur terhadap perubahan pH postmortem ini adalah sebagai akibat pengaruh langsung dari temperatur terhadap laju glikolisispostmortem (Soeparno, 1992).

(14)

MATERI METODE

Lokasi dan Waktu

Pemeliharaan dan pemotongan bertempat di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Lokasi pengujian sifat fisik dilakukan di Laboratorium Ruminansia Besar Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai bulan April 2012.

Materi Kelinci

Kelinci yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 12 ekor kelinci jantan lokal berumur 12 minggudengan bobot badan awal rata-rata 972,08 ± 156,10 gram dengan koefisien keragaman 16,06%. Kelinci penelitian diperoleh dari peternak kelinci di wilayah Cibanteng, Bogor. Kelinci-kelinci ini dipelihara sesuai dengan perlakuan yang diberikan selama delapan minggu, terdiri dari dua minggu masa adaptasi dan enam minggu masa pengamatan. Kelinci akan dipotong pada umur 5 bulan.

Kandang dan Peralatan

Kandang yang digunakan adalah kandang individu berbentuk panggung yang terbuat dari bambu dan kayu dengan alas kandang yang terbuat dari bambu. Kandang yang dipakai sebanyak 12 buah dengan ukuran 50 cm x 50 cm x 50 cm. Setiap kandang terdapat tempat pakan dan air minum. Peralatan lain yang digunakan adalah timbangan untuk mengukur bobot badan kelinci dan pakan, alat kebersihan, thermo-hygrometer, kamera digital dan label.

(15)

Pakan

Pakan yang diberikan yaitu 100% pellet ransum komplit dengan taraf perlakuan limbah tauge yang berbeda dan pellet komersil buatan pabrik untuk kelinci kontrol.Pemberian pakan dan air minum diberikan secara ad libitum. Kandungan nutrien ransum yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Nutrien Ransum Penelitian dan Limbah Tauge dalam 100% Bahan Kering

Bahan Makanan Komposisi

BK Abu PK SK LK Beta-N

---%---Limbah Tauge 22,91 3,09 14,73 42,27 0,11 39,80

P1 88,12 9,66 19,13 20,09 3,37 47,75

P2 85,82 9,02 17,94 25,08 2,71 45,25

P3 85,83 7,92 16,54 26,89 2,81 45,84

P4 84,76 7,03 15,95 30,49 1,13 45,40

Sumber : Hasil Analisa Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (2012)

Keterangan: P0 = 100% ransum komplit komersil (kontrol) ; P1 = 85% ransum komplit komersil + 15% limbah tauge kering udara ; P2 = 70% ransum komplit komersil + 30% limbah tauge kering udara ; P3 = 55% ransum komplit komersil + 45% limbah tauge kering udara; BK = bahan kering ; SK = serat kasar ; PK = protein kasar ; LK = lemak kasar ; Beta-N = bahan ekstrak tanpa nitrogen.

Ransum komplit komersil berasal dari PT Indofeed Bogor, sedangkan limbah tauge berasal dari Pasar Bogor. Limbah tauge dijemur hingga kering, kemudian digiling sampai halus di PT Indofeed Bogor. Ransum komplit komersil dan limbah tauge dicampur dan dicetak menjadi pelet dengan perbandingan yang telah ditentukan.

Prosedur

(16)

penelitian. Setelah mencapai bobot potong, kelinci-kelinci tersebut dipotong untuk dilihat komposisi karkas dan sifat fisik dagingnya. Data yang diambil mencakup bobot potong, bobot karkas, bobot potong komersial, bobot non-karkas, bobot komposisi karkas, proporsi karkas dan sifat fisik daging.

Persiapan Bahan Pakan

Limbah tauge didapatkan dari pedagang-pedagang di pasar tradisional Bogor yang telah dikeringkan sebelumnya. Limbah tauge yang digunakan adalah sisa dari hasil pengayakan tauge. Limbah tauge selanjutnya dijemur di bawah sinar matahari selama satu sampai tiga hari, sehingga benar-benar kering dan dapat dipisahkan antara bagian kulit kacang hijau dengan akar tauge. Limbah tauge yang telah kering akan mempermudah dalam proses pembuatan pelet.

Pemeliharaan

Kelinci diberi pakan dua kali sehari yaitu pada pagi hari jam 06.00-07.00 WIB dan sore hari jam 17.00-18.00 WIB. Pemberian pakan diberikan dalam tempat pakan yang terbuat dari semen dan tempat minum terbuat dari semen juga. Pemberian pakan pada perlakuan pertama adalah pemberian pakan 100% pellet komersil buatan pabrik yang berfungsi sebagai kontrol. Perlakuan kedua adalah pemberian pakan 85% konsentrat ditambah 15% limbah tauge. Perlakuan ketiga pemberian pakan 70% konsentrat ditambah 30% limbah tauge. Perlakuan keempat pemberian pakan 55% konsentrat ditambah 45% limbah tauge. Air minum diberikan secaraad libitum.

Pemuasaan

Sebelum dipotong, kelinci terlebih dahulu dipuasakan selama 7 jam. Menurut Herman (1989), pemuasaan dilakukan selama 6-10 jam yang bertujuan untuk mengosongkan isi perut (usus) sehingga kulit dan otot-ototnya menjadi lemas karena peningkatan kandungan glikogen. Disamping itu, perlakuan ini akan meningkatkan proporsi daging terhadap bobot hidupnya (persentase karkas).

Pemotongan

(17)

jugularis,arteri carotis dan esophagus. Setelah dipotong, kelinci digantung pada kedua kaki belakang, dengan membuat irisan pada kulit antara tulang dan tendon sendi kaki belakang. Kepala dipisahkan pada sendioccipito atlantis. Kemudian kaki depan bagian bawah dan kaki belakang bagian bawah dipotong pada sendi sikunya,ekor dilepaskan dari pangkalnya, lalu ditimbang. Setelah selesai dikuliti, semua isi rongga perut dan dada dikeluarkan dan ditimbang tiap bagian-bagiannya. Karkas kemudian ditimbang. Setelah itu, karkas dipotong menjadi 4 potongan komersial, yaitu foreleg, rack, loindan hindleg dan ditimbang (Herman, 1989). Potongan-potongan komersial kecuali hindleg dibungkus dengan plastik lalu disimpan di dalam alat pendingin. Hindlegdibawa ke laboratorium untuk digunakan sebagai bahan untuk uji fisik daging.

Uji Fisik Nilai pH

Nilai pH diukur dengan menggunakan pH meter. pH meter dikalibrasi terlebih dahulu pada pH 4 dan 7. pH meter ditusukkan kedalam daging hingga sensor pHnya tertutupi semua. Nilai pH didapatkan setelah angka yang tertera di pH meter konstan.

Susut Masak

Susut masak daging adalah perbedaan berat daging sebelum dan sesudah dimasak dan dinyatakan dalam persentase (%). Sampel daging seberat 100 gram dengan panjang 7 cm ditusukkan dengan thermometer bimetal sampai menembus bagian dalam daging, lalu direbus dengan air hingga mencapai suhu 80-82˚C.

setelah itu, sampel daging diangkat dan didinginkan kemudian ditimbang. Selisih antara berat segar dan berat masak merupakan nilai susut masak yang dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut

% Susut Masak = Bobot sampel awal–bobot sampel akhir x 100% Bobot sampel awal

Keempukan Daging

(18)

lalu direbus dengan air hingga mencapai suhu 80-82 ºC. Setelah itu daging diangkat dan didinginkan. Daging yang telah dingin kemudian dilakukan uji keempukan dengan menggunakan alat Texture Analyzer di Laboratorium Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Daging dipotong secara melintang pada alatTexture Analyzer dan hasil pengukuran keempukan dapat langsung dilihat pada puncak grafik yang dihasilkan dari pemotongan.

Daya Mengikat Air (DMA)

Daya mengikat air (DMA) dihitung dengan cara menghitung jumlah mg H2O

pada daging. Kandungan mg H2O yang tinggi pada daging yang akan menyebabkan

DMA yang semakin rendah dan sebaliknya. Daging segar dipotong dangan berat 0,3 g, kemudian disimpan diantara dua kertas saring Whatman 41 yang berdiameter 9 mm. Selanjutnya sampel daging tersebut dipres dengan menggunakan carver press dengan tekanan 35 kg/cm2selama 5 menit. Luas area basah yang tertera pada kertas saring diukur dengan menggunakan planimeter. Besarnya daya mengikat air ditentukan dengan cara menggunakan rumus Hamm (1972) dalam Soeparno (1992) adalah

mg H2O = { luas area basah (cm2) / 0,0948}–8,0

Kemudian mg H2O dikonversi dalam persen dengan rumus sebagai berikut

% H2O = { mg H2O / berat sampel (mg) } X 100%

Rancangan dan Analisis Data

Penelitian ini menggunakan empat perlakuan pemberian pakan yang berbeda dengan empat ulangan yaitu:

• P1 = 100% konsentrat komersil (berupa pelet) sebagai kontrol

• P2 = 85% konsentrat + 15% limbah tauge

• P3 = 70% konsentrat + 30% limbah tauge

• P4 = 55% konsentrat + 45% limbah tauge

Rancangan

(19)

proporsi karkas dan sifat fisik daging dari keempat perlakuan yang diberikan. Masing-masing taraf perlakuan terdiri atas empat kali ulangan. Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Adapun model matematika dari RAL, yaitu (Steel dan Torrie, 1993) :

Yij= µ + Pi+ εij

Keterangan :

Yij = nilai pengamatan dari perlakuan jumlah pemberian pakan yang berbeda

µ = rataan umum

Pi = pengaruh perlakuan jumlah pemberian pakan yang berbeda (P1, P2, P3, P4)

εij = pengaruh galat percobaan perlakuan ke-i pada ulangan ke-j

i = perlakuan ke-i j = ulangan ke-j

Data sifat fisik diolah dengan Analysis of Variance atau ANOVAkemudian jika diperoleh hasil yang berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji Tukey. Data karakteristik dan komposisi karkas diolah dengan Analysis of Covariance(ANCOVA) dengan covarian bobot awal, bobot potong dan karkas dingin menggunakan program SAS 9.1.3.

Peubah

1. Bobot potong

Bobot potong kelinci ditimbang pada saat kelinci sebelum dipotong (g). 2. Bobot karkas

Bobot karkas ditimbang setelah kelinci dipotong, dikuliti lalu dikurangi darah, kepala, hati, ekor, saluran pencernaan dan isi rongga dada kecuali ginjal (g) (Raoet al., 1977).

3. Bobot potong komersial

Bobot potongan komersial didapat dengan cara memotong karkas kelinci menjadi potongan komersialnya yang meliputiforeleg, rack, loindanhindleg (Blascoet al., 1992) lalu ditimbang dengan alat timbangan.

4. Bobot non-karkas (kulit, kepala, kaki danoffal)

(20)

5. Bobot komposisi karkas meliputi bobot daging, lemak dan tulang (g)

Bobot komposisi karkas ditimbang dengan cara memisahkan masing-masing komposisi karkas terlebih dahulu lalu bobotnya ditimbang dengan alat timbangan.

6. Proporsi karkas dan potongan komersial (%)

Proporsi karkas dihitung dengan cara bobot karkas yang ditimbang sebelumnya dibagi dengan bobot potongnya lalu dikalikan dengan 100%. Proporsi potongan komersial dihitung dengan cara bobot masing-masing potongan komersial dibagi dengan bobot karkas lalu dikalikan dengan 100%. 7. Bobot dan persentase bagian non-karkas

Bobot dan persentase bagian non-karkas didapatkan setelah pemotongan. Bagian non-karkas diuraikan per bagian kemudian ditimbang.

(21)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan dengan lama pemeliharaan 6 minggu dan masa adaptasi 3 minggu. Penelitian ini dimulai pada akhir bulan Februari yang masih dalam musim hujan hingga bulan April. Kelinci yang digunakan berasal dari Cibanteng kemudian dimasukkan kandang dalam keadaan sehat. Masa adaptasi dilakukan selama 2 minggu karena perbedaan pakan yang diberikan yang telah mengakibatkan turunnya nafsu makan pada ternak. Menurunnya nafsu makan ini dikarenakan perbedaan makanan yang diberikan pada kelinci yang sebelumnya hanya diberi pakan hijauan.Gambar kandang pemeliharaan kelinci dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.

(1). Pemeliharaan Ternak (2). Kandang Pemeliharaan Gambar 1. Pemeliharaan Ternak.Gambar 2. Kandang Pemeliharaan

Rataan temperatur dan kelembaban relatif kandang selama penelitian disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan Temperatur dan Kelembaban Relatif Kandang

Parameter Pagi Siang Sore Malam

Temperatur (ºC) 25,2±0,89 30,98±2,74 28,17±1,71 26,2±0,17 Kelembaban Relatif (%) 98,2±2,53 74,1±10,58 80,1±13,97 92,67±5,51

(22)

terdapat saat siang hari. Berdasarkan Food and Agriculture Organization (1997), thermoneutral zone untuk kelinci berada pada suhu lingkungan 15-25°C. thermoneutral Zone (TNZ) adalah daerah kisaran suhu yang paling nyaman bagi ternak. Suhu yang mencapai di bawah 10° C akan membuat kelinci melingkarkan badannya untuk meminimalkan kehilangan panas dan jika suhu tinggi (25-30°C) maka kelinci akan meregangkan badan mereka sehingga dapat mengeluarkan panas sebanyak mungkin melalui radiasi dan konveksi. Iklim dan suhu lingkungan dapat mempengaruhi tingkat nafsu makan dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh ternak. Suhu kandang di pagi hari masih relatif nyaman bagi kehidupan kelinci, namun untuk sore hari suhu kandang mencapai 28°C yang berarti cukup jauh dari zona nyaman kehidupan kelinci. Hal ini dapat menjadi penyebab turunnya nafsu makan kelinci yang berakibat pada pertumbuhan kelinci yang kurang optimal.

Kelinci sebenarnya sangat sensitif terhadap kelembaban yang rendah (di bawah 55%) namun juga tidak terlalu tinggi. Berdasarkan Food and Agriculture Organization (1997), peternak kelinci di Perancis mengemukakan bahwa pada kelembaban 60% – 65% akan menghasilkan produksi yang optimal.Kelembaban yang didapatkan pada penelitian ini pada pagi hari yaitu 94,53% dan pada sore hari yaitu 77,52%. Kelembaban ini berbeda cukup jauh dari literatur yang ada. Kelembaban yang tinggi ini dikarenakan hujan yang sering turun pada malam hari sehingga pada pagi hari masih lembab dan dapat menyebabkan turunnya nafsu makan pada kelinci karena kelinci merasa tidak nyaman. Saat temperatur dan kelembaban tinggi, tidak banyak panas dalam tubuh yang dapat dikeluarkan sebagai uap air melalui proses evaporasi. Hal ini akan menyebabkan ketidaknyamanan yang diikuti dengan kelemahan pada kelinci. Musim yang sangat panas dengan kelembaban yang tinggidapat menyebabkan masalah yang serius, hanya saja hal tersebut biasanya terjadi pada daerah beriklim tropis selama musim hujan (Food and Agriculture Organization, 1997).

Karakteristik Karkas

(23)

bobot karkas, bobot tubuh kosong, persentase karkas panas terhadap bobot potong, persentase karkas dingin terhadap bobot potong, karkas panas tehadap tubuh kosong, karkas segar, karkas dingin dan non-karkas dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Karakteristik Karkas Kelinci Lokal pada Setiap Perlakuan*

Variabel Perlakuan Rata-rata

Bobot tubuh kosong (g) 1.401,20 ± 74,54

Keterangan : * = Data dikoreksi berdasarkan bobot badan awal rata-rata 1.058,42 g.

Bobot Potong

(24)

tepung daun kelapa sawit yang difermentasi Aspergillus niger dengan hasil rataan tertinggi sebesar 1.934 g/ekor dan terendah sebesar 1.756 g/ekor, namun hasil penelitian ini masih lebih tinggi dibanding hasil Sitepu (2001) yang meneliti pemberian tepung kulit pisang raja dangan hasil rataan tertinggi sebesar 1.620 g/ekor dan terendah sebesar 975 g/ekor. Hasil analisis peragam menggunakan covariabel bobot badan awal menunjukkan bahwa kelinci yang dipelihara dengan ransum yang berbeda memilki respon yang relatif sama (P > 0,05) terhadap bobot potong.

Bobot Tubuh Kosong

Bobot tubuh kosong didapatkan dari selisih antara bobot potong dengan bobot isi rongga perut dan isi saluran pencernaan. Hasil analisis peragam dengan menggunakan covariabel bobot badan awal menunjukkan bahwa kelinci lokal yang dipelihara dengan pemberian pakan yang berbeda (P1, P2, P3 dan P4) memberikan respon yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap bobot tubuh kosong kelinci. Terdapat kecenderungan bobot tubuh kosong meningkat dengan peningkatan bobot potong. Hal ini juga dimungkinkan karena bobot potong kelinci yang tidak berbeda nyata, sehingga mengakibatkan bobot tubuh kosong yang tidak berbeda nyata.

Hasil dari bobot potongdan bobot tubuh kosong yang tidak nyata juga dapat diakibatkan oleh pertumbuhan bobot hidup dari kelinci yang tidak berbeda nyata. Rataan pertumbuhan bobot hidup kelinci dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan Pertambahan Bobot Badan Harian Kelinci pada Setiap Perlakuan

Perlakuan PBBH (g/ekor/hari)

P1 17,14 ± 1,45

P2 12,14 ± 5,16

P3 17,40 ± 0,70

P4 14,21± 4,62

Rataan total 15,22 ± 2,51

Keterangan : P0 = 100% ransum komplit komersil (kontrol); P1 = 85% ransum komplit komersil + 15% limbah tauge kering udara; P2 = 70% ransum komplit komersil + 30% limbah tauge kering udara; P3 = 55% ransum komplit komersil + 45% limbah tauge kering udara.

(25)

pertambahan bobot badan harian kelinci pada penelitian ini.Hal ini berarti bahwa ransum yang ditambah limbah tauge 15%, 30% dan 45% menghasilkan pertambahan bobot badan harian kelinci yang sama dengan ransum komplit komersil.

Bobot Karkas Panas dan Dingin

Bobot karkas menjadi salah satu hal yang menarik dalam karakteristik karkas, ini dikarenakan nilai ekonomis yaitu jumlah karkas yang dihasilkan akan menentukan harga dari karkas tersebut. Bobot karkas panas didapatkan dari penimbangan karkas sebelum proses chilling, sedangkan bobot karkas dingin didapatkan dari penimbangan karkas setelah proseschilling.

Pemberian pakan yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap bobot karkas panas dan dingin (P>0,05).Rataan bobot karkas panas dan dingin yang didapatkan dalam penelitian ini masing-masing adalah 837,58 g dan 811,05 g. Bobot karkas dingin lebih rendah dibandingkan bobot karkas panas karena adanya penyusutan saat pendinginan dalan cooler. Hasil ini masih lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Hutajulu dan Yunilas (2007) yang menghasilkan rataan bobot karkas panas sebesar 935,32 g. Pengaruh yang tidak nyata pada penelitian ini disebabkan karena rataan bobot potong yang juga tidak bebeda nyata sehingga bobot karkas yang dihasilkan tidak berbeda nyata pula. Produksi karkas berhubungan dengan bobot badan karena peningkatan bobot badan akan diikuti dengan peningkatan bobot potong dan bobot karkas. Soeparno (2005) menyatakan bahwa bobot karkas dipengaruhi oleh bobot potong. Meningkatnya bobot potong sejalan dengan meningkatnya bobot karkas pula, sehingga diharapkan bagian dari karkas yang berupa daging menjadi lebih besar.

Persentase Karkas

(26)

P3 dan P4) memberikan respon yang tidak berbeda nyata (P>0,05) pada persentase karkas baik terhadap bobot potong maupun terhadap bobot tubuh kosong. Persentase karkas dipengaruhi oleh bobot karkas, bobot dan kondisi ternak, bangsa, proporsi bagian non-karkas, ransum, umur, jenis kelamin dan pengebirian (Davendra, 1977). Data rataan persentase karkas terhadap bobot potong yang didapatkan dalam penelitian ini adalah sebesar 48,30%, sedangkan rataan persentase karkas terhadap bobot tubuh kosong yang didapatkan dalam penelitian ini adalah sebesar 57,80%.

Hasil penelitian ini sesuai dengan laporan Farell dan Rahardjo (1984) yang menyatakan bahwa rataan persentase bobot karkas yang diperoleh berkisar antara 43%-52%. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Sitepu (2001) yang mendapatkan rataan persentase karkas sebesar 40,80% selain itu persentase karkas ini juga lebih tinggi dari hasil yang didapatkan oleh Laconi (1984) yang memperoleh hasil sebesar 56,88% dengan perlakuan pakan tepung daun singkong. Persentase karkas yang tidak berbeda nyata ini disebabkan oleh bobot karkas dan juga bobot potong pada tiap-tiap perlakuan yang juga tidak berbeda nyata, sehingga didapatkan persentase karkas yang tidak berbeda nyata pula. Persentase karkas dipengaruhi oleh bobot potong, sesuai dengan pendapat Eviaty (1982) yang menyatakan bahwa persentase karkas kelinci lokal akan bertambah seiring dengan peningkatan bobot potong. Karakteristik karkas yang tidak berbeda nyata ini menunjukkan bahwa dengan penggantian limbah tauge pada pakan tidak menurunkan kualitas karkas karena menunjukkan hasil yang relatif sama dengan pakan komersil.

Bobot Non-karkas

(27)

berhubungan dengan digesti dan metabolisme menunjukkan perubahan berat yang besar sesuai dengan status nutrisional dan fisiologis ternak. Bobot non-karkas yang tidak berbeda nyata ini juga dapat disebabkan karena bobot potong yang juga tidak berbeda nyata.

Komposisi Karkas

Karkas dan potongan karkas dapat diuraikan secara fisik menjadi komposisi jaringan daging, lemak, tulang dan jaringan ikat (Devandra dan Mcleroy, 1992). Hasil analisis peragam dengan menggunakan covariabel bobot badan awal menunjukkan bahwa kelinci lokal yang dipelihara dengan pemberian pakan yang berbeda (P1, P2, P3 dan P4) memberikan respon yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap komposisi karkas. Data komposisikarkas dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Komposisi Karkas Kelinci pada Setiap Perlakuan

Variabel Perlakuan Rata-rata

P1 P2 P3 P4

---g---Otot 545,83±14,16 578,70±14,38 554,41±15,85 512,77±14,01 562,93±14,60 Lemak 44,01 ± 12,40 35,75 ± 12,59 39,62 ± 13,88 36,44± 12,28 38,95 ± 12,79 Tulang 163,57±10,74 153,30±10,90 148,68±12,02 173,70±10,63 159,08±11,07

---%---Otot 67,44 ± 1,60 71,47 ± 1,63 68,41 ± 1,80 70,61 ±1,59 69,48 ± 1,66 Lemak 4,85 ± 1,41 4,39 ± 1,43 4,55 ± 1,58 4,53 ± 1,40 4,58 ± 1,46 Tulang 20,58 ± 1,36 18,47 ± 1,38 18,82 ± 1,53 21,60 ± 1,35 19,87 ± 1,41

(28)

karena itu bobot daging, lemak dan tulang tidak berbeda nyata.Dari Tabel di atas dapat dilihat bahwa komposisi penyusun karkas terbesar adalah otot (69,48%) kemudian tulang (19,87%) dan lemak (4,58%). Tabel 5 juga menerangkan bahwa kelinci yang diberi pakan dengan persentase penambahan limbah tauge cenderung menghasilkan otot yang lebih banyak dan lemak yang lebih sedikit. Proporsi salah satu variabel yang lebih tinggi, maka proporsi salah satu atau kedua variabel lainnya lebih randah (Soeparno, 2005).

Eviaty (1982) menyatakan bahwa jaringan tulang dari semua potongan karkas mengalami pertumbuhan relatif dini dan persentase bobot jaringan tulang akan berkurang dengan bertambahnya bobot masing-masing potongan karkas. Genetik, iklim, makanan, penyakit dan lingkungan sosial ternak merupakan faktor yang cukup berpengaruh terhadap persentase daging, tulang dan lemak (Berg dan Butterfield, 1976). Parakkasi (1999) menyatakan bahwa pertambahan bobot karkas segera setelah lahir mengandung proporsi daging yang tinggi, relatif banyak mengandung tulang dan rendah kadar lemak. Ternak yang akan mencapai bobot badan dewasa, komposisi urat daging dalam pertambahan bobot badan sedikit menurun, komposisi tulang dari pertambahan bobot badan tidak bertambah sedangkan proporsi lemak dalam pertambahan bobot badan akan terus meningkat

Potongan Komersial Bobot Potongan Komersial

(29)

Tabel 6. Bobot dan Persentase Potongan Komersial Kelinci

Variable Perlakuan Rata-rata

P1 P2 P3 P4

---g---Foreleg 141,86±6,40 139,35±6,49 156,90±7,16 137,64±6,33 143,94±6,60 Rack 160,08±10,72 171,42±10,88 168,10±11,99 170,94±10,61 167,64±11,05 Loin 224,58±10,55 225,72±9,58 206,37±10,55 219,47±9,33 219,04±7,75 Hindleg 279,71±11,39 273,93±11,56 278,91±12,74 282,82±11,27 278,85±11,74

(30)

Distribusi Komposisi Karkas Pada Potongan Komersial

Distribusi komposisi karkas pada potongan komersial dapat dilihat dari 3 komponen utama yaitu otot, lemak, dan tulang. Data distribusi komposisi karkas pada potongan komersial karkas dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Distribusi Komposisi Karkas pada Potongan Komersial

Variabel Perlakuan Rata-rata

P1 P2 P3 P4

---g---Foreleg Otot 88,11±5,64 89,95±5,73 95,07±6,31 90,28±5,58 90,85±5,81

Lemak 25,73±10,64 21,03±10,80 19,73±11,91 17,25±10,53 20,94±10,97

Tulang 20,19±2,52 20,06±2,56 21,62±2,82 25,21±2,50 21,77±2,60

Rack Otot 96,39±8,35 108,38±8,48 98,77±9,34 104,38±8,26 101,98±8,60

Lemak 6,47±3,59 7,55±4,02 3,16±4,02 12,66±3,56 7,46±3,79

Tulang 44,37±2,75 45,82±2,79 44,15±3,08 51,34±2,72 46,42±2,83

Loin Otot 163,79±5,69 173,64±5,78 150,12±6,37 161,46±5,63 162,25±5,86

Lemak 9,68±2,55 8,98±2,59 8,83±2,85 6,79±2,52 8,57±2,62

Tulang 29,03±2,16 25,89±2,19 29,63±2,42 29,92±2,14 28,62±2,22

Hindleg Otot 197,47±8,40 206,60±8,53 203,17±9,40 208,48±8,31 203,88±8,66

Lemak 5,37±1,30 2,11±1,32 2,98±1,46 2,35±1,29 3,20±1,34

Tulang 69,38±5,45 57,73±5,53 68,37±6,10 66,86±5,39 65,59±5,61

(31)

Hasil yang tidak berbeda nyata ini dimungkinkan karena ternak berasal dari spesies, bangsa, umur dan jenis kelamin yang sama, hanya perlakuan pakan yang berbeda. Berdasarkan Tabel 7dapat dilihat bahwa proporsi yang paling sedikit adalah lemak dan deposisi otot yang paling banyak terdapat pada daerah hindleg. Bagian foreleg merupakan bagian yang paling banyak memiliki deposisi lemak. Aktivitas dapat mempengaruhi jumlah energi yang dikeluarkan oleh kelinci. Deposisi energi yang tinggi akan digunakan tubuh untuk mempercepat laju metabolisme dan apabila berlebih akan dibentuk menjadi lemak.

Tabel 7 juga menunjukkan bahwa pada potongan foreleg, hindleg, loin, dan rackkomposisi jaringan terbesarnya adalah otot, kemudian tulang dan komposisi yang terkecil adalah lemak. Hal ini berarti komposisi jaringan seperti otot, tulang dan lemak pada potongan komersial sesuai dengan komposisi jaringan yang terdapat pada karkas utuh. Komposisi karkas (otot, tulang dan lemak) baik secara keseluruhan karkas maupun pada setiap potongan komersil yang tidak berbeda nyata ini menunjukkan bahwa dengan penggantian limbah tauge pada pakan tidak menurunkan kualitas karkas karena menunjukkan hasil yang relatif sama dengan pakan komersil.

Bagian Non-Karkas Bobot dan Bagian Non-karkas Kelinci Lokal

Bagian non-karkas merupakan bagian-bagian tubuh yang tidak termasuk dalam karkas seperti kulit, kepala, keempat kaki, darah, isi rongga perut, isi rongga dada, saluran pencernaan dan ekor. Bagian non-karkas pada ternak yang lebih besar mempunyai nilai komersial yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ternak kecil.Salah satu faktor yang mempengaruhi bobot non-karkas adalah nutrisi dari pakan. Data rataan persentase bagian non-karkas dapat dilihat pada Tabel 8.

(32)

bahwa bobot hati, ginjal dan saluran pencernaan semakin meningkat dengan meningkatnya protein ransum.

Tabel 8. Rataan BobotNon-Karkas Kelinci Lokal pada Setiap Perlakuan

Variabel Perlakuan Rata-rata

P1 P2 P3 P4

---g---Hati 69,24±10,87 50,49±11,80 59,50±12,35 52,09±10,82 57,83±11,46

Jantung 4,03±0,97 3,80±1,05 5,16±1,10 4,33±0,96 4,33±1,02

Paru-paru 6,85±1,78 8,35±1,93 10,82±2,02 7,64±1,77 8,41±1,88

Ginjal 10,73±0,75 10,96±0,82 10,61±0,85 10,01±0,75 16,58±0,79

Oesophagus 1,67±0,25 2,04±0,27 1,94±0,28 1,66±0,24 1,83±0,26

Lambung 89,21±7,07 98,73±7,67 60,12±8,03 80,58±7,03 82,16±7,45

Usus halus 63,07±7,14 59,78±7,57 62,73±8,12 64,40±7,11 62,50±7,49

Sekum 109,64±16,69 113,73±18,21 98,73±19,07 138,88±16,71 115,25±17,70

Appendix 5,65±0,77 8,59±0,84 7,41±0,88 7,66±0,77 7,33±0,82

Colon 6,41±1,83 9,67±1,99 7,90±2,08 9,01±1,82 8,25±1,93

Rectum 7,49±1,48 10,04±1,61 6,75±1,68 9,02±1,47 8,33±1,56

Darah 53,33±3,39 59,78±3,68 42,99±3,86 51,55±3,38 51,91±3,58

Kepala 160,32±4,30 173,79±4,66 165,82±4,88 163,71±4,28 165,91±4,53

Kulit 157,87±9,23 145,05±10,01 165,48±10,49 138,68±9,18 151,75±9,73

Kaki depan 9,97±1,22 11,90±1,32 12,78±1,39 13,66±1,21 12,08±1,29

Kaki

belakang 21,85±6,21 29,50±6,74 33,26±7,06 30,36±6,18 28,75±6,55

Ekor 9,12±1,60 10,76±1,74 13,47±1,82 13,29±1,59 11,66±1,69

Persentase Bagian Non-Karkas Kelinci Lokal

(33)

terhadap bobot potong dengan perlakuan ransum yang berbeda. Hasil analisis peragam rataan persentase bagian non-karkas dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Rataan Persentase Non-Karkas Kelinci Lokal pada Setiap Perlakuan

Variabel Perlakuan Rata-rata

P1 P2 P3 P4

---%---Hati 4,09±0,64 2,86±0,70 3,44±0,73 3,01±0,64 3,35±0,67 Jantung 0,23±0,05 0,21±0,06 0,29±0,06 0,24±0,05 0,25±0,05 Paru-paru 0,40±0,10 0,50±0,11 0,63±0,12 0,43±0,10 0,49±0,10 Ginjal 0,62±0,04 0,64±0,04 0,61±0,04 0,57±0,04 0,61±0,04 Oesophagus 0,09±0,01 0,12±0,01 0,11±0,01 0,09±0,01 0,10±0,01 Lambung 5,15±0,46 5,81±0,50 3,59±0,52 4,61±0,46 4,79±0,48 Usus halus 3,72±0,43 3,43±0,47 3,65±0,49 3,72±0,43 3,63±0,45 Sekum 6,40±0,93 6,51±1,01 5,69±1,06 7,91±0,93 6,63±0,98 Appendix 0,32±0,03 0,50±0,04 0,43±0,04 0,44±0,03 0,42±0,03 Colon 0,36±0,11 0,57±0,11 0,46±0,12 0,52±0,10 0,48±0,11 Rectum 0,42±0,08 0,59±0,09 0,40±0,10 0,52±0,08 0,48±0,08 Darah 3,07±0,19 3,46±0,21 2,50±0,22 2,97±0,19 3,00±0,20 Kepala 9,27±0,23 10,05±0,25 9,62±0,26 9,48±0,23 9,61±0,24 Kulit 9,09±0,51 8,27±0,56 9,43±0,58 8,01±0,51 8,70±0,54 Kaki depan 0,58±0,07 0,70±0,07 0,74±0,08 0,79±0,07 0,70±0,07 Kaki

belakang 1,28±0,35 1,72±0,38 1,93±0,40 1,73±0,35 1,66±0,37 Ekor 0,54±0,09 0,64±0,10 0,79±0,10 0,76±0,09 0,68±0,09

Sifat Fisik Daging Kelinci

(34)

Nilai pH Daging

Nilai pH merupakan singkatan daripondus hydrogenii, yang artinya potensial hidrogen, yaitu kekuatan hidrogen sebagai penentu asam karena predominan ion-ion hidrogen (H+). Perubahan nilai pH sangat penting diperhatikan dalam perubahan dagingpostmortem.

Tabel 10. Rataan Sifat Fisik Daging Kelinci pada Setiap Perlakuan

Variabel Perlakuan Rataan

P1 P2 P3 P4

pH 5,61±0,15a 5,87±0,09b 6,07±0,08c 6,11±0,02c 5,92±0,22 DMA (mg) 102,0±17,34 123,8±11,71 119,9±2,96 114,9±7,64 115,1±12,9 Keempukan

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata

(P<0,05).

Nilai pH juga dapat menunjukkan penyimpangan kualitas daging, karena berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya mengikat air dan masa simpan (Lukmanet al., 2007). Nilai rataan pH daging kelinci pada penelitian ini yaitu 5,92. Nilai pH daging kelinci ini lebih besar daripada hasil penelitian Setiawan (2009) dan Puspita (2010), namun masih dalam pH normal. Hasil penelitian Setiawan (2009) dan Puspita (2010) adalah sebesar 5,67.

(35)

ternak mati pada dasarnya ditentukan oleh kandungan asam laktat yang tertimbun dalam otot, selanjutnya oleh kandungan glikogen dan penanganan sebelum penyembelihan.

Daya Mengikat Air (DMA) Daging

Daya mengikat air (DMA) atau water holding capacityadalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar. Daya mengikat air merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan daya terima daging oleh konsumen. Nilai mgH2O

menggambarkan DMA daging, semakin besar nilainya maka DMA semakin rendah. Rataan nilai daya mengikat air pada daging kelinci lokal pada penelitian ini adalah 115,1±12,9. Hasil daya mengikat air ini lebih tinggi daripada hasil penelitian yang didapatkan oleh Setiawan (2009) dan Puspita (2010) yang mendapatkan rataan daya megikat air sebesar 106,64±12,94 dan 90,32±24,76. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan pemberian limbah tauge yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap daya mengikat air pada daging kelinci.Daya mengikat air daging juga dipengaruhi oleh faktor yang mengakibatkan perbedaan daya mengikat air di antara otot, misalnya species, umur dan fungsi otot serta pakan, transportasi, temperatur kelembaban, pemyimpanan dan preservasi, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan dan lemak intramuskuler (Soeparno, 1992).

Keempukan Daging Kelinci

(36)

gf. Daging kelinci yang paling empuk adalah pada P4 dengan nilai 6.473,66 gf sedangkan yang paling alot adalah P3 dengan nilai 8.584,33 gf.

Gambar 3. Grafik Hasil Tekstur Analyzer pada Perlakuan 1 (Kontrol)

Keterangan :

Hitam : P2U1

Biru : P2U2

Merah : P2U3

Gambar 4. Grafik Hasil Tekstur Analyzer pada Perlakuan 2 Keterangan :

Hitam : P3U1

Biru : P3U2

Merah : P3U3

Gambar 5. Grafik Hasil Tekstur Analyzer pada Perlakuan 3 Keterangan :

Hitam : P1U1

Biru : P1U2

(37)

Susut Masak Daging Kelinci

Susut Masak Daging ialah perbedaan antara bobot daging sebelum dan sesudah dimasak dan dinyatakan dalam persentase.Susut masak adalah salah satu indikator nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar air, yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan diantara otot.Susut masak dipengaruhi oleh temperature dan lama pemasakan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan pakan dengan kandungan limbah tauge yang berbeda, tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap susut masak daging kelinci.Nilai susut masak yang tidak berbeda nyata ini dikarenakan nilai daya mengikat air yang juga tidak berbeda. Rataan susut masak daging kelinci pada penelitian ini adalah 33,82%. Nilai susut masak pada penelitian ini lebih rendah dari penelitian Setiawan (2009) dan Puspita (2010) yang mendapatkan nilai susut masak sebesar 40,77 dan 39,56%. Persentase susut masak yang rendah ini menunjukkan bahwa daging pada penelitian ini berkualitas baik. Daging dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik daripada daging dengan susut masak yang lebih tinggi. Secara umum daging dengan susut masak yang rendah memiliki nutrisi yang baikkarena sedikit mengalami pengurangan nutrisi saat pemasakan.

Keterangan :

Hitam : P4U1

Biru : P4U2

Merah : P4U3

(38)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Karakteristik karkas kelinci lokal jantan muda yang digemukkan dengan pakan mengandung limbah taugedan konsentrat tidak mempunyai hasil yang berbeda terhadap bobot potong, bobot tubuh kosong, persentase karkas panas terhadap bobot potong, persentase karkas dingin terhadap bobot potong, karkas panas terhadap tubuh kosong, karkas panas, dan karkas dingin. Komposisi jaringan karkas kelinci lokal jantan muda yang meliputi otot, lemak dan tulang juga tidak berbeda, meskipun memiliki kecenderungan adanya penambahan limbah tauge menghasilkan otot yang tinggi dan lemak yang lebih rendah, terutama pada bagian hindleg.Non-karkas kelinci lokal jantan tidak menunjukkan adanya perbedaan pada semua variabel. Sifat fisik daging kelinci yang diberi pakan mengandung limbah tauge hanya memperlihatkan perbedaan pada variable pH. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat dikatakan bahwa limbah tauge dapat menggantikan pelet komersil tanpa menurunkan kualitas daging kelinci yang dihasilkan.

Saran

(39)

KOMPOSISI KARKAS DAN SIFAT FISIK DAGING KELINCI

LOKAL JANTAN MUDA DENGAN PEMBERIAN PAKAN

MENGANDUNG LIMBAH TAUGE

SKRIPSI

YOGI MUJI KURNIAWAN

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(40)

KOMPOSISI KARKAS DAN SIFAT FISIK DAGING KELINCI

LOKAL JANTAN MUDA DENGAN PEMBERIAN PAKAN

MENGANDUNG LIMBAH TAUGE

SKRIPSI

YOGI MUJI KURNIAWAN

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(41)

RINGKASAN

YOGI MUJI KURNIAWAN. D14080074. 2013. Komposisi Karkas dan Sifat FisikDaging Kelinci Lokal Jantan Muda dengan Pemberian Pakan Mengandung Limbah Tauge. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Petrnakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Sri Rahayu M.Si.

Pembimbing Anggota : Muhamad Baihaqi, S.Pt, M.Sc.

Kelinci merupakan hewan mamalia yang memiliki beberapa keunggulan dibanding ternak lainnya diantaranya kelinci mampu menghasilkan anak dalam jumlah yang banyak (prolific), menghasilkan daging dengan kadar asam lemak tak jenuh dan kolesterol yang rendah. Penelitian ini bertujuan untuk menguji karakteristik, komposisi karkas dan sifat fisik daging kelinci lokal jantan muda yang digemukkan dengan pakan mengandung limbah tauge sebagai dasar pengembangan potensi kelinci sebagai alternatif sumber protein hewani.

Kelinci yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelinci lokal yang berumur 12 minggu yang digemukkan selama 6 minggu. Pakan yang digunakan berupa campuran antara limbah tauge dengan konsentrat dalam bentuk pelet. Pemberian pakan dibagi menjadi empat perlakuan yaitu 100% konsentrat (P1), 85% konsentrat+15% limbah tauge (P2), 70% konsentrat + 30% limbah tauge (P3), 55% konsentrat + 45% limbah tauge (P4). Peubah yang diamati diantaranya adalah karakteristik karkas (bobot potong, bobot karkas, bobot tubuh kosong, persentase karkas panas) komposisi karkas (otot, tulang, lemak), bobot dan persentase potongan komersial, distribusi komposisi karkas pada potongan komersial, bobot danpersentase non-karkas, dan sifat fisik daging kelinci yang meliputi pH, susut masak, daya mengikat air (DMA), dan keempukan. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap. Data untuk karakteristik karkas, komposisi karkas,bobot, persentase dan distribusi komposisi potongan komersial serta bobot dan persentase non-karkas diolah dengan Analysis of Covariance atau ANCOVA, sedangkan data sifat fisik daging kelinci diolah dengan Analysis of Varianceatau ANOVA.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan pemberian limbah tauge tidak berpengaruh nyata terhadap karakteristik karkas (P>0,05). Hasil pada pengujian komposisi karkas juga tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P>0,05). Bobot dan persentase potongan komersial kelinci tidak berbeda nyata (P>0,05) pada semua potongan (foreleg, rack, loin, dan hindleg). Distribusi komposisi karkas (otot, lemak dan tulang) tidak berbeda nyata (P>0,05) pada potongan komersial.Bobot dan persentase non-karkas menunjukkan respon yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Rataan nilai pH, DMA, keempukan dan susut masak berturut-turut adalah 5,92, 115,1 mg, 7.933,59 gf, 33,82%. Hasil penelitian pada daging kelinci menunjukkan bahwa perlakuan 0, 15, 30 dan 45 % limbah tauge pada pakan hanya berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pH daging. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat dikatakan bahwa limbah tauge dapat menggantikan pelet komersil tanpa menurunkan kualitas daging kelinci yang dihasilkan.

(42)

ABSTRACT

Carcass Composition and Meat Physical Characteristic of Young Local Male Rabbit Fattened With Feed Containing of Sprout Waste

Kurniawan, Y. M., S. Rahayu and M. Baihaqi

(43)

KOMPOSISI KARKAS DAN SIFAT FISIKDAGING KELINCI

LOKAL JANTAN MUDA DENGAN PEMBERIAN PAKAN

MENGANDUNG LIMBAH TAUGE

YOGI MUJI KURNIAWAN D14080074

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(44)

Judul : Komposisi Karkas dan Sifat Fisik Daging Kelinci Lokal Jantan Muda dengan Pemberian Pakan Mengandung Limbah Tauge Nama : Yogi Muji Kurniawan

NIM : D14080074

Menyetujui,

Pembimbng Utama Pembimbing Anggota

(Ir. Sri Rahayu, M.Si) (Muhamad Baihaqi, S.Pt., M.Sc) NIP. 19570611 198703 2 001 NIP. 19800129 200501 1 005

Mengetahui, Ketua Departemen

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc) NIP. 195912121986031 004

(45)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 21 Juni 1990 di Mojokerto, Jawa Timur. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Bapak Bambang Mujiono(Alm) dan Ibu Luthfi Rokhmawati.

Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan pada tahun 2002 di SD Negeri I Mojosari, Mojokerto, Jawa Timur. Penulis mengikuti pendidikan lanjutan tingkat pertama di SLTP Negeri 1 Mojosari, Mojokerto, Jawa Timur yang diselesaikan pada tahun 2005 dan meneruskan pendidikan menegah umum di SMU Negeri 1 Mojosari, Mojokerto, Jawa Timur yang diselesaikan pada tahun 2008.

(46)

KATA PENGANTAR

BismillahirrahmanirrahimAlhamdulillahhirabbilalamin, puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT, Rabb yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang karena berkat limpahan rizki dan karunia-Nya yang tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Komposisi Karkas dan Sifat Fisik Daging Kelinci Lokal Jantan Muda dengan Pakan Mengandung Limbah Tauge . Shalawat dan salam tak lupa penulis ucapkan kepada junjungan kita Rasulullah Muhammad SAW sebagai sumber teladan hingga akhir zaman.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk kelulusan dan memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penyusunan skripsi ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi peternakan khususnya peternak kelinci dengan harapan dapat memberi informasi mengenai pentingnya kualitas pakan pada kelinci untuk meningkatkan produksi dan komposisi karkas kelinci seperti yang kita inginkan.

Penulis berharap dengan penulisan skripsi ini, informasi mengenai komposisi karkas dan sifat fisik daging kelinci dapat diperoleh dengan baik. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Semoga skripsi ini bermanfaat dalam dunia pendidikan dan peternakan.

(47)
(48)
(49)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi Nutrien Ransum Penelitian dan Limbah Tauge

dalam 100% bahan kering ... 13 2. Rataan Temperatur dan Kelembaban Relatif Kandang ... 19 3. Karakteristik Karkas Kelinci Lokal pada Setiap Perlakuan ... 21 4. Rataan Pertambahan Bobot Badan Harian Kelinci pada Setiap

Perlakuan ... 22 5. Komposisi Karkas Kelinci pada Setiap Perlakuan ... 25 6. Bobot dan Persentase Potongan Komersial Kelinci ... 27 7. Distribusi Komposisi Karkas pada Potongan Komersial ... 28 8. Rataan Bobot Non-Karkas Kelinci Lokal pada Setiap Perlakuan 30 9. Rataan Persentase Non-Karkas Kelinci Lokal pada Setiap

(50)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

(51)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Gambar Potongan Komersial pada Penelitian (a). Potongan

Komersial, (b). Foreleg, (c). Rack, (d). Loin, (e). Hindleg... 43 2. Hasil Uji Analisis Peragam Bobot Potong Berdasarkan Bobot

Awal... 44 3. Hasil Uji Analisis Peragam Bobot Tubuh Kosong Berdasarkan

Bobot Awal ... 44 4. Hasil Uji Analisis Peragam Karkas Panas Berdasarkan Bobot Awal 44 5. Hasil Uji Analisis Peragam Karkas Dingin Berdasarkan Bobot

Awal... 44 6. Hasil Uji Analisis Peragam Non-Karkas Berdasarkan Bobot Awal 45 7. Hasil Uji Analisis Peragam Persentase Karkas Panas/Bobot

Potong Berdasarkan Bobot Awal... 45 8. Hasil Uji Analisis Peragam Persentase Karkas Dingin/Bobot

Potong Berdasarkan Bobot Awal... 45 9. Hasil Uji Analisis Peragam Karkas Panas/Bobot Tubuh Kosong

Berdasarkan Bobot Awal………. 45

10. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Otot Berdasarkan Bobot Karkas

Dingin …... 45 11. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Lemak Berdasarkan Bobot

Karkas Dingin ... 46 12. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Tulang Berdasarkan Bobot

Karkas Dingin ... 46 13. Hasil UjiAnalisis Peragam Persentase Otot Berdasarkan Bobot

Karkas Dingin ……….... 46

14. Hasil UjiAnalisis Peragam Persentase Lemak Berdasarkan Bobot

Karkas Dingin ……….... 47

15. Hasil UjiAnalisis Peragam Persentase Tulang Berdasarkan Bobot

Karkas Dingin ……….... 47

16. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Foreleg pada Potongan

Komersial Berdasarkan Bobot Karkas Dingin ………... 47 17. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Rack pada Potongan Komersial

(52)

18. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Loin pada Potongan Komersial

Berdasarkan Bobot Karkas Dingin ……….. 48

19. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Hindleg pada Potongan

Komersial Berdasarkan Bobot Karkas Dingin ……….... 48 20. Hasil UjiAnalisis Peragam Persentase Foreleg pada Potongan

Komersial Berdasarkan Bobot Karkas Dingin ……….... 48 21. Hasil UjiAnalisis Peragam Persentase Rack pada Potongan

Komersial Berdasarkan Bobot Karkas Dingin ……….... 48 22. Hasil UjiAnalisis Peragam Persentase Loin pada Potongan

Komersial Berdasarkan Bobot Karkas Dingin ……….... 49 23. Hasil UjiAnalisis Peragam Persentase Hindleg pada Potongan

Komersial Berdasarkan Bobot Karkas Dingin ……….... 49 24. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Otot pada Potongan Foreleg

Berdasarkan Bobot Karkas Dingin ………... 49 25. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Otot pada Potongan Rack

Berdasarkan Bobot Karkas Dingin ………... 49 26. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Otot pada Potongan Loin

Berdasarkan Bobot Karkas Dingin ………... 50 27. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Otot pada Potongan Hindleg

Berdasarkan Bobot Karkas Dingin ………... 50 28. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Lemak pada Potongan Foreleg

Berdasarkan Bobot Karkas Dingin ………... 50

29.Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Lemak pada Potongan Rack

Berdasarkan Bobot Karkas Dingin ………... 50 30. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Lemak pada Potongan Loin

Berdasarkan Bobot Karkas Dingin ………... 51 31.Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Lemak pada Potongan Hindleg

Berdasarkan Bobot Karkas Dingin ……….. 51

32.Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Tulang pada Potongan Foreleg

Berdasarkan Bobot Karkas Dingin ……….. 51

33.Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Tulang pada Potongan Rack

Berdasarkan Bobot Karkas Dingin ………... 51 34.Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Tulang pada Potongan Loin

Berdasarkan Bobot Karkas Dingin ………... 52 35.Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Tulang pada Potongan Hindleg

(53)

36.Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Hati pada Bagian Non-Karkas

Berdasarkan Bobot Potong …... 52 37. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Jantung pada Bagian Non-Karkas

Berdasarkan Bobot Potong... 52 38. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Paru pada Bagian Non-Karkas

Berdasarkan Bobot Potong …... 53 39. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Ginjal pada Bagian Non-Karkas

Berdasarkan Bobot Potong …... 53 40. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Lambung pada Bagian

Non-Karkas Berdasarkan Bobot Potong …... 53 41. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Oesophagus pada Bagian

Non-Karkas Berdasarkan Bobot Potong …... 53 42. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Usus Halus pada Bagian

Non-Karkas Berdasarkan Bobot Potong …... . 54 43.Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Sekum pada Bagian Non-Karkas

Berdasarkan Bobot Potong …... 54 44.Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Appendix pada Bagian

Non-Karkas Berdasarkan Bobot Potong …... 54 45.Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Colon pada Bagian Non-Karkas

Berdasarkan Bobot Potong …... 54 46.Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Rektum pada Bagian Non-Karkas

Berdasarkan Bobot Potong …... 55 47. Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Darah pada Bagian Non-Karkas

erdasarkan Bobot Potong... .. 55 48.Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Kepala pada Bagian Non-Karkas

Berdasarkan Bobot Potong …... 55 49.Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Kulit pada Bagian Non-Karkas

Berdasarkan Bobot Potong …... 55 50.Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Kaki Depan pada Bagian

Non-Karkas Berdasarkan Bobot Potong …... 56 51.Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Kaki Belakang pada Bagian

Non-Karkas Berdasarkan Bobot Potong …... 56 52.Hasil UjiAnalisis Peragam Bobot Ekor pada Bagian Non-Karkas

Berdasarkan Bobot Potong …... 56 53.Hasil UjiAnalisis Peragam Persentase Hati pada Bagian Non-Karkas

Gambar

Gambar 1. Pemeliharaan Ternak.Gambar 2. Kandang Pemeliharaan
Tabel 3. Karakteristik Karkas Kelinci Lokal pada Setiap Perlakuan*
Tabel 6. Bobot dan Persentase Potongan Komersial Kelinci
Tabel 7. Distribusi Komposisi Karkas pada Potongan Komersial
+7

Referensi

Dokumen terkait

dengan Mikroorganisme Lokal Dalam Pakan terhadap Karkas Kelinci

Bobot dan persentase total komponen non karkas pada penelitian ini menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata baik perlakuan perbedaan pakan maupun perbedaan waktu

Performans kelinci lokal ( Lepus negricollis ) yang diberi ransum dengan imbangan energi protein berbeda dan dipelihara pada kandang

Rataan konsumsi protein kasar pada P1 dan P2 hampir sama, ini artinya penggunaan pakan ampas tahu dengan taraf 20% dengan konsumsi pakan 10% dari bobot badan bisa

Materi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kelinci lokal (Oryctolagus cuniculus) sebanyak 24 ekor dengan umur 3,5 – 4 bulan koefisien keragaman bobot badan

Judul Skripsi : Kecernaan Pakan Berbentuk Pelet Mengandung Kulit Pisang Raja Fermentasi Dengan Mikroorganisme Lokal Dibandingkan Dengan Trichoderma harzianum Pada Kelinci Rex

RIANTO CIBRO, 2014 : Pemanfaatan Kulit Pisang Raja Difermentasi MOL (Mikroorganisme lokal) Dibandingkan Trichoderma harzianum Sebagai Pakan Berbentuk Pelet Terhadap Karkas Kelinci

Nilai gizi daging pada umumnya tidak berbeda nyata kecuali kadar air dari potongan karkas domba lokal jantan adalah nyata (P&lt;0,05) lebih tinggi persentasenya dibandingkan