• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Pattern of Occurance and Risk Factors of Avian Influenza Outbreaks on Backyard Poultry Farm in Lampung Province

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Pattern of Occurance and Risk Factors of Avian Influenza Outbreaks on Backyard Poultry Farm in Lampung Province"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

DI PROVINSI LAMPUNG

ENNY SASWIYANTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Pola Kejadian dan Faktor Risiko Penyakit Avian Influenza pada Peternakan Sektor 4 di Provinsi Lampung adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2012

Enny Saswiyanti

(3)

ENNY SASWIYANTI. The Pattern of Occurance and Risk Factors of Avian Influenza Outbreaks on Backyard Poultry Farm in Lampung Province. Under direction of ETIH SUDARNIKA and CHAERUL BASRI.

The Study of pattern of occurance and risk factors of avian influenza (AI) outbreaks can be used in formulating AI prevention and control program. The aims of this research were to detect the hotspot area and analyze pattern of AI outbreaks in dimensions of time and space during 2010–2011, identify risk factors associated with AI outbreaks on backyard poultry farm in Lampung Province. The data of AI outbreaks were collected from Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional 3 (BPPV Regional 3) and Local Disease Crisis Center (LDCC) Lampung Province and were analyzed using SatScan version 9.1.1 and visualized using ArcGIS version 9.3.1. In addition, identification of risk factor associated with AI outbreaks was done using the Case Control Study of Observational Epidemiology. The data were collected by structured interviews in three selected districts (Bandar Lampung, Metro and Pesawaran). Data analysis was carried out in three steps, consisting of univariate, bivariate with chi-square and multivariate analysis with logistic regression. All analysis was processed with SPSS 16.0. The result of analysis showed that subdistricts of Pekalongan, Metro Barat, Metro Timur and Metro Utara were most likely cluster or the hotspot area with relative risk (RR) values of 3.53. The risk factors which contributed to AI outbreaks in Lampung Province were raising poultry whereas free ranged or combined with caged at night with odds ratio (OR) values of 8.94 (confidence interval (CI):2.85-28.02), origins of poultry from live bird markets OR of 5.18 (CI:1.8-14.92) and fenced off <75 cm OR of 5.03 (CI:1.86-13.62). It is therefore recommended that subdistricts of Pekalongan, Metro Barat, Metro Timur and Metro Utara become to priority of surveillance. Formulating AI prevention and control program must be affecting risk factors that assosiated with AI outbreaks on backyard poultry farm in Lampung Province.

(4)

ENNY SASWIYANTI. Pola Kejadian dan Faktor Risiko Penyakit Avian Influenza pada Peternakan Sektor 4 di Provinsi Lampung. Dibimbing oleh ETIH SUDARNIKA dan CHAERUL BASRI.

Penyakit avian influenza (AI) merupakan penyakit unggas yang sangat menular dan telah menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar bagi peternak. Provinsi Lampung merupakan satu diantara provinsi di Indonesia yang sampai dengan sekarang merupakan wilayah dengan kasus tinggi dan memiliki kasus suspek AI pada manusia sehingga dikategorikan sebagai wilayah dengan endemisitas dan risiko tinggi terhadap AI. Program pengendalian terhadap penyakit ini telah dilaksanakan dan menjadi program strategis nasional. Pengendalian tersebut memerlukan pendekatan yang terintegrasi berdasarkan data dan analisis epidemiologik seperti pola kejadian dan faktor risiko penyakit sehingga pengendalian AI sesuai dengan kondisi lokal Provinsi Lampung. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini dilakukan dengan fokus pola kejadian dan faktor risiko terhadap kejadian AI pada peternakan sektor 4 di Provinsi Lampung.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi kluster primer atau hotspot area, menganalisis pola kejadian AI dan kecenderungannya terhadap waktu dan tempat dari tahun 2010-2011 di Provinsi Lampung, mengidentifikasi faktor risiko, dan menganalisis besaran risiko terhadap kejadian AI pada peternakan sektor 4 di Provinsi Lampung. Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pola kejadian, faktor risiko, asosiasi dan model infeksi bagi pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan dan peternak untuk pengendalian AI di Provinsi Lampung. Hipotesis penelitian ini terdapat hubungan yang nyata antara lokasi dan waktu, karakteristik peternak (jenis kelamin, usia, status kepemilikan, pengalaman, tujuan usaha, pendidikan formal, pengetahuan dan sikap peternak), manajemen peternakan dan kesehatan unggas (sistem perkandangan, asal bibit, pemberian pakan dan minum, riwayat vaksinasi, dan pemberian obat–obatan) serta biosekuriti (sanitasi, isolasi, dan pengawasan lalu lintas) terhadap kejadian AI pada peternakan sektor 4 di Provinsi Lampung.

Penelitian dilakukan dua tahap yaitu: (1) Kajian terhadap pola kejadian AI berdasarkan analisis spasial dan temporal. Analisis dilakukan terhadap kasus AI selama tahun 2010–2011 di Provinsi Lampung. Data kasus dan koordinat kasus diperoleh dari Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional 3 dan

(5)

penyuluhan dan akses terhadap informasi; manajemen peternakan dan kesehatan unggas yang terdiri dari asal bibit, pemberian pakan dan minum, riwayat vaksinasi dan pemberian obat-obatan, sistem perkandangan dan pola pemeliharaan; serta biosekuriti yang terdiri dari sanitasi, isolasi dan pengawasan lalu lintas ternak.

Data kasus, koordinat dan populasi dianalisis dengan piranti lunak SatScan versi 9.1.1. Hasil analisis berupa deteksi kluster primer atau hotspot area, kluster sekunder, risiko relatif (RR) dan pola kejadian berdasarkan waktu. Hasil analisis disajikan dalam bentuk peta dengan menggunakan ArcGIS versi 9.3.1. Adapun data untuk faktor risiko dianalisis secara secara deskriptif dan analitik dengan penyajian tabel kotingensi. Pengkategorian dilakukan pada tingkat biosekuriti, sanitasi, isolasi, pengawasan lalu lintas, pengetahuan, dan sikap. Hubungan asosiasi masing–masing peubah diukur dengan uji chi-square(χ2). Analisis data selanjutnya menggunakan regresi logistik berganda untuk menduga nilai OR pada model multivariat. Analisis data tersebut menggunakan program SPSS 16 dan Microsoft Excel 2007.

Secara keseluruhan kejadian kasus AI merata di kabupaten dan kota Provinsi Lampung. Kasus AI tertinggi adalah Kota Metro yang kemudian diikuti oleh Kota Bandar Lampung. Kejadian AI di Kota Metro adalah 35 kasus pada tahun 2010, turun menjadi 23 kasus pada tahun 2011. Kota Bandar Lampung 24 kasus pada tahun 2010, turun menjadi 14 kasus pada tahun 2011. Adapun untuk sebaran kasus per kecamatan hasil diagnosa menunjukkan intensitas kasus di semua kecamatan di Kota Metro tinggi. Kecamatan tersebut Kecamatan Metro Timur, Metro Barat, Metro Utara, Metro Selatan dan Metro Pusat. Sebaran kasus tinggi lainnya di Kota Bandar Lampung, Kecamatan Kemiling, Rajabasa, Tanjung Karang Timur, Teluk Betung Utara dan Sukarame.

Adapun hasil analisis spatio-temporal menunjukkan Kecamatan yang masuk ke dalam kluster primer, Kecamatan Pekalongan di Kabupaten Lampung Timur, Kecamatan Metro Barat, Metro Timur dan Metro Utara di Kota Metro. Daerah–daerah tersebut juga merupakan hotspot area dengan nilai risiko kejadian di dalam kluster primer 3.53 kali lebih besar dibandingkan di luar kluster primer.

Kecenderungan kasus AI berdasarkan waktu pada tahun 2010-2011, pada bulan Januari kasus tinggi kemudian meningkat dan menjadi puncak di bulan Februari dan kasus terus menurun sampai di bulan Mei. Bulan Juni sampai dengan Oktober kasus cenderung stabil, kemudian sedikit meningkat di bulan November dan Desember. Hasil analisis spatio-temporal menunjukkan walaupun ada peningkatan kasus di bulan Januari-Februari tetapi kejadian AI tidak dipengaruhi waktu (bulan), sehingga dimungkinkan kasus untuk terjadi sepanjang tahun.

(6)

kebijakan baik pemerintah pusat maupun daerah untuk memprioritaskan survailans AI di hotspot area Kecamatan Pekalongan di Kabupaten Lampung Timur, Kecamatan Metro Barat, Metro Timur dan Metro Utara di Kota Metro dengan memperhatikan praktik biosekuriti terutama isolasi dan pengawasan terhadap lalu lintas unggas terutama keberadaan pasar unggas hidup. Adapun pelaksana kebijakan diharapkan untuk meningkatkan kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) kepada peternak tentang praktik biosekuriti yang baik terutama tentang sistem perkandangan dan pemeliharaan unggas. Adapun peternak diharapkan dapat melaksanakan pemeliharaan unggas dengan menerapkan praktik biosekuriti yang baik terutama dengan mengandangkan unggas, memberi pagar ≥75 cm di sekeliling kandang, dan tidak membeli bibit dari pasar unggas hidup.

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

INFLUENZA PADA PETERNAKAN SEKTOR 4

DI PROVINSI LAMPUNG

ENNY SASWIYANTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

NIM : B251100021

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Etih Sudarnika, M.Si.

Ketua Anggota

drh. Chaerul Basri, M.Epid.

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(11)

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan limpahan rahmat dan karunia-Nya maka studi dan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarganya, sahabatnya dan para pengikutnya

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Ir Etih Sudarnika, M.Si selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak drh. Chaerul Basri, M.Epid selaku anggota komisi pembimbing yang telah sabar dan setia meluangkan banyak waktu untuk memberikan arahan dan saran dalam proses pembimbingan dan penyelesaian tesis. Terima kasih sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Bapak Dr.drh. Trioso Purnawarman, M.Si selaku penguji dan Bapak Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si selaku ketua program studi Kesmavet serta seluruh dosen program studi Kesmavet beserta tenaga kependidikan yang turut membantu dan mendukung secara penuh dan konsisten sehingga studi dan penelitian penulis dapat selesai dengan baik.

Terima kasih kepada BPPV Regional 3 Bandar Lampung yang telah memberikan beasiswa dan kesempatan bagi penulis untuk dapat menjalani proses pendidikan magister di Sekolah Pascasarjana IPB. Terima kasih kepada Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung, Dinas Pertanian, Peternakan dan Kehutanan Kota Bandar Lampung, Dinas Pertanian Kota Metro, Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Pesawaran, rekan-rekan BPPV dan PDSR Lampung yang telah memfasilitasi dan mendukung secara penuh terhadap kegiatan penelitian yang saya lakukan.

Terima kasih kepada Mama, Suami dan anak-anakku yang dengan ikhlas memberikan dorongan, semangat, dan doa dalam proses pendidikan magister yang penulis tempuh. Terima kasih juga diucapkan untuk adik-adikku, keluarga besar di Pontianak dan Metro yang turut memotivasi dan menginspirasi penulis selama menjalani perkuliahan.

Terima kasih kepada teman-teman kelas KMV Reguler tahun 2010/2011 (KMV SRIWERS) yang selalu kompak dan semangat dalam menempuh pendidikan magister bersama-sama. Terima kasih juga diucapkan kepada teman-teman KMV kelas karantina hewan 2010/2011 (KMV 15) yang telah memberikan warna dan keceriaan saat proses pendidikan di PS Kesmavet SPs IPB.

Semoga bantuan, dukungan, dorongan, dan perhatian dari semua pihak yang telah diberikan dengan tulus kepada penulis mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT. Penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, sehingga diharapkan adanya saran dan kritik yang dapat membangun di masa mendatang. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, September 2012

(12)

Penulis dilahirkan di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat pada tanggal 1 September 1977, merupakan anak pertama dari empat bersaudara, pasangan Drs. Sawadji dan Martini.

Tahun 1994 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Pontianak dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) IPB, lulus pendidikan sarjana pada tahun 1998. Penulis menempuh pendidikan profesi dokter hewan dan mendapatkan gelar dokter hewan dari perguruan tinggi yang sama pada tahun 2000. Pada tahun 2010, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan magister di PS Kesmavet Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan diperoleh dari Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional 3 Bandar Lampung.

Penulis bekerja sebagai tenaga medik veteriner di BPPV Regional 3 Bandar Lampung sejak tahun 2001. Bidang ilmu yang menjadi tanggung jawab penulis adalah epidemiologi veteriner.

(13)

xix Halaman

DAFTAR TABEL ……… xxi

DAFTAR GAMBAR ………... xxiii

DAFTAR LAMPIRAN……… xxv

PENDAHULUAN Latar Belakang……….. 1

Tujuan………... 2

Manfaat ………. 3

Hipotesis ………... 3

TINJAUAN PUSTAKA Avian Influenza ……… 4

Penyebaran Avian Influenza ………... 5

Pengendalian Avian Influenza ……… 6

Pola Kejadian Penyakit Avian Influenza... 7

Faktor Risiko terhadap Kejadian Penyakit Avian Influenza …. 9 Peternakan Sektor 4 dan Perannya dalam Penyebaran AI ...………. 10

Analisis Spasial dan Temporal ... 11

Studi Kasus Kontrol ... 13

METODE Waktu dan Tempat Penelitian ……… 14

Disain Penelitian ……… 14

Kerangka Konsep Penelitian ……….. 15

Kriteria Kasus dan Kontrol ……… 16

Populasi dan Sampel ……….. 16

Pembobotan dan Penilaian Kuesioner ……… 17

Analisis Data ………... 18

Definisi Operasional ... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Avian Influenzadi Provinsi Lampung .………... 21

Pola Kejadian Avian Influenza ………... 23

Faktor Risiko Penyakit Avian Influenza ……….. 27

Karakteristik Peternakan ………... 27

Model Faktor Risiko terkait Kejadian Avian Influenza ………… 35

KESIMPULAN DAN SARAN ……… 40

DAFTAR PUSTAKA ………. 41

(14)

xix Halaman

1 Definisi operasional dari peubah yang diamati ... 16

2 Pembobotan dan penilaian kuesioner tingkat biosekuriti... 19

3 Deteksi kluster kasus AI berdasarkan kecamatan di Provinsi Lampung tahun 2010-2011 ... 25

4 Hubungan karakteristik peternak dengan kejadian AI pada peternakan sektor 4 di Provinsi Lampung ... 28

5 Hubungan manajemen perkandangan dengan kejadian AI peternakan sektor 4 di Provinsi Lampung ... 29

6 Hubungan tingkat biosekuriti dengan kejadian AI pada peternakan sektor 4 di Provinsi Lampung...…... 31

7 Hubungan pengawasan terhadap lalu lintas dengan kejadian AI pada peternakan sektor 4 di Provinsi Lampung ... 32

8 Hubungan sanitasi dengan kejadian AI pada peternakan sektor 4 di Provinsi Lampung... 33

9 Hubungan isolasi dan pemaparan AI pada peternakan sektor 4 di Provinsi Lampung...…. ...…... 34

(15)
(16)

xix 1 Kerangka konsep penelitian ... 15

2 Jumlah kasus AI per kabupaten di Provinsi Lampung tahun 2010-2011 21

3 Kasus AI berdasarkan jumlah kasus per kecamatan di Provinsi Lampung tahun 2010-2011...

22

4 Kasus AI berdasarkan bulan kejadian tahun 2010-2011 di Provinsi Lampung ...

23

(17)

xix Halaman

1 Uji korelasi………... 51

2 Hasil analisis multivariat………... 52

(18)

xix

(19)

Penyakit avian influenza (AI) merupakan penyakit unggas yang sangat menular dan telah menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar bagi peternak. Program pengendalian terhadap penyakit ini telah dilaksanakan dan menjadi program strategis nasional. Program pemerintah untuk pengendalian AI dikenal dengan sembilan langkah strategis yaitu penerapan biosekuriti yang ketat, depopulasi selektif di daerah tertular, vaksinasi, pengendalian lalu lintas, surveilans dan penelusuran, peningkatan kesadaran masyarakat, pengisian kembali unggas, stamping out di daerah tertular baru serta monitoring, pelaporan dan evaluasi (Ditjennak 2009). Pengendalian tersebut memerlukan pendekatan yang terintegrasi baik ditingkat pusat, regional, provinsi maupun kabupaten berdasarkan data lapangan dan analisis yang lengkap dan akurat.

Pola kejadian adalah analisis kejadian penyakit dalam rentang waktu tertentu karena penyakit tidak terjadi secara acak (Ward et al. 2008). Satu diantara studi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan menganalisis pola kejadian berdasarkan tempat dan waktu adalah analisis spasial dan temporal. Analisis ini berbasis sistem informasi geografis sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap dan akurat dengan pemetaan kasus tergantung kebutuhan (Durr dan Gatrrell 2004). Keluaran dari analisis ini adalah pengelompokan daerah (clustering area) untuk menentukan prioritas survailans dan time frame untuk melihat pola kejadian terhadap waktu terutama bulan dan musim (Kulldorf 2010).

(20)

Berdasarkan kajian FKH IPB dan Deptan RI (2005) di Sumatera dan Kalimantan, faktor risiko terhadap kemungkinan pemaparan virus AI yaitu pengendalian lalu lintas ternak, sanitasi (kebersihan kandang, halaman kandang, tempat pakan dan tempat minum ternak) dan tindakan karantina. Keberadaan burung liar, hewan pengerat, lalu lintas pekerja dan orang berperan terhadap penularan AI di Jawa Timur, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta (FKH UGM dan Deptan RI 2006). Kepadatan penduduk, jalan dan keberadaan sawah berperan sebagai faktor risiko terhadap kejadian AI di Jawa Barat (Yupiana et al. 2010). Pada unggas air di Bogor dan Sukabumi kondisi biosekuriti yang rendah menyebabkan risiko pemaparan AI 5.59 kali lebih besar dibanding tingkat biosekuriti yang cukup (Siahaan 2007).

Provinsi Lampung merupakan satu diantara provinsi di Indonesia yang sampai dengan sekarang merupakan wilayah dengan kasus tinggi dan memiliki kasus suspek AI pada manusia (BPPVR 3 2011). Oleh karena itu dikategorikan sebagai provinsi endemis AI tertinggi di Indonesia dengan peluang kejadian rata-rata 0.7 per kabupaten (Farnsworth et al. 2011). Hasil diagnosa Participatory Disease Surveillance Response (PDSR) Provinsi Lampung dengan uji cepat AI terdapat 192 kasus AI pada tahun 2010 dan 115 kasus AI pada tahun 2011 (Ditkeswan 2011) dan hampir semua kasus berada di sektor 4. Peternakan sektor 4 merupakan peternakan rakyat dengan tata laksana tradisional, bersifat non komersil dengan pemeliharaan unggas bersama atau dekat dengan pemilik (Ditjennak 2009). Berdasarkan hal tersebut penelitian ini dilakukan dengan fokuspola kejadian dan faktor risiko terhadap kejadian AI pada peternakan sektor 4 di Provinsi Lampung.

Tujuan

Tujuan penelitian ini, yaitu:

1 Mendeteksi kluster primer atau hotspot area kejadian AI di Provinsi Lampung.

(21)

3 Mengidentifikasi faktor risiko terhadap kejadian AI pada peternakan sektor 4 di Provinsi Lampung.

4 Menganalisis besaran risiko terhadap kejadian AI pada peternakan sektor 4 di Provinsi Lampung.

Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pola kejadian, faktor risiko, asosiasi dan model infeksi untuk:

1 Pembuat kebijakan dapat mengambil kebijakan tentang pengendalian AI yang sesuai dengan kondisi lokal Provinsi Lampung terutama penentuan daerah prioritas survailans.

2 Pelaksana kebijakan dapat memahami, melaksanakan dan mensosialisasikan kebijakan-kebijakan pengendalian AI yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokal Provinsi Lampung.

3 Peternak dapat melaksanakantindakan praktik beternak yang baik sesuai dengan kebijakan pengendalian yang ditetapkan.

Hipotesis

Hipotesis penelitian ini yaitu:

1 Terdapat hubungan yang nyata antara lokasi dan waktu terhadap kejadian AI pada peternakan sektor 4 di Provinsi Lampung

(22)

Avian Influenza (AI) merupakan penyakit infeksi pada unggas yang disebabkan virus infuenza. Virus avian influenza, virus RNA yang termasuk famili Orthomyxoviridae. Virus tersebut dapat menginfeksi beragam spesies termasuk unggas, babi, kuda, hewan air dan manusia. Berdasarkan struktur antigen permukaan yaitu hemaglutinin (H) dan neuroaminidase (N) maka virus

avian influenzadapat dibagi menjadi beberapa subtipe, yaitu 16 subtipe H (1–16) dan 9 subtipe N (1–9) (Swayne 2008).

Patogenisitas virus AI bervariasi dan umumnya dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu: Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) dan High Pathogenic Avian Influenza (HPAI). Secara alami LPAI dapat berubah menjadi HPAI atau sebaliknya. Perubahan ini dapat terjadi akibat adanya mutasi ataupun

reassortment genetik (antigenic drift dan antigenic shift). Perubahan ini dapat memunculkan strain baru yang lebih virulen dan dapat terjadi dalam waktu beberapa bulan (Damayanti et al. 2004)

Virus AI memiliki amplop sehingga dapat diinaktivasi dengan bahan pelarut organik dan deterjen, chemical inactivants seperti formalin, asam encer, eter, bahan yang mengandung yodium, amonium kuartener, klorin, natrium hipoklorit dan senyawa fenol (Swayne 2008). Virus AI mudah mati apabila berada diluar tubuh unggas kecuali jika dilindungi oleh bahan organik seperti feses, leleran hidung atau mulut. Virus ini juga mudah mati oleh pemanasan 56○C selama 3 jam, 60○C selama 30 menit dan 80○C selama 1–3 menit. Virus AI dapat bertahan hidup di air sampai dengan 4 hari pada suhu 22○C dan lebih dari 30 hari pada suhu 0○

Penularan virus AI terjadi melalui transmisi horizontal secara langsung dan tidak langsung. Penularan secara langsung terjadi melalui unggas peliharaan yang terinfeksi dan burung liar (Cardona et al.2009) dan secara tidak langsung melalui manusia, kandang, air, pupuk, pakan, benda-benda mati (sepatu, pakaian dan peralatan) yang terkontaminasi virus (Swayne 2008).

(23)

Penyebaran Avian Influenza

Sejak terjadi wabah AI pada akhir tahun 2003, sebanyak 62 negara telah melaporkan keberadaan AI baik pada unggas maupun burung liar (FAO 2010). Di Eropa, penyebaran virus AI sangat erat kaitannya dengan musim dan keberadaan burung migran (FAO 2010; Ward et al.2008; Yee et al.2009). Peningkatan kasus AI saat musim dingin terutama di Eropa Tengah dan Timur yang sebagian besar terjadi pada burung-burung liar (FAO 2010).

Secara umum kasus AI di Asia meningkat pada pertengahan tahun 2009– 2010 (FAO 2010) dengan beberapa variasi status negara terkait keberadaan kasus AI. Beberapa negara asia seperti Singapura, Filipina dan Brunei Darussalam adalah negara bebas sehingga fokus utama yang dilakukan adalah pencegahan terhadap masuknya penyakit dan kesiapsiagaan untuk deteksi dini AI. Negara dengan status wabah sporadik yaitu Kamboja, Laos dan Myanmar. Negara-negara tersebut industri perunggasannya belum berkembang, wabah sporadik terjadi sebagai akibat kejadian berulang dari virus yang belum berhasil sepenuhnya dieliminasi atau menyebar melalui unggas terinfeksi yang dilalulintaskan antar negara. Negara dengan status endemis AI yaitu Indonesia, China, Vietnam, Mesir dan Bangladesh (FAO 2010). Di negara-negara tersebut AI menyebar secara luas diikuti peningkatan kasus pada manusia sehingga pengendalian dan pemberantasan AI sangat penting untuk mencegah penyebaran dan dampak yang lebih buruk seperti pandemi AI.

(24)

Selama kurun waktu 7 tahun dari November 2003 sampai dengan Juni 2010 telah dilaporkan 500 kasus AI (H5N1) pada manusia dari 15 negara dengan CFR (case fatality rate) 59% dan Indonesia merupakan negara dengan CFR tertinggi yaitu 83% (137 orang meninggal dari 166 orang yang positif kasus AI) (FAO 2010). Kasus AI tertinggi di Indonesia terjadi di Provinsi Jawa Barat, diikuti DKI Jakarta dan Banten.

Faktor risiko penularan kasus AI pada manusia kontak langsung dengan unggas (53%), kontak dengan lingkungan terkontaminasi (34%) dan belum diketahui faktor risikonya (13%). Sampai saat ini kasus AI pada manusia karena penularan dari unggas ke manusia, belum ditemukan bukti penularan dari manusia ke manusia (Depkes RI 2008).

Pengendalian Avian Influenza

Secara nasional pengendalian AI telah dilaksanakan dan manjadi program strategis nasional di Indonesia. Peraturan pemerintah terkait pengendalian AI telah ditetapkan seperti Peraturan Presiden RI nomor 7 tahun 2006 tentang Komite Nasional Pengendalian Flu Burung (avian influenza) dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi dan Instruksi Presiden RI nomor 1 tahun 2007 tentang Penanganan dan Pengendalian Virus Flu Burung (avian influenza). Kerjasama lintas sektoral juga telah difasilitasi dengan melibatkan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian. Depkes RI (2008) menyatakan ada sepuluh strategi pengendalian AI, yaitu:

1 Pengendalian penyakit pada hewan. 2 Penatalaksanaan kasus pada manusia. 3 Perlindungan kelompok risiko tinggi.

4 Survailans epidemiologi pada hewan dan manusia. 5 Restrukturisasi sistem industri perunggasan.

6 Komunikasi risiko, edukasi dan peningkatan kesadaran masyarakat. 7 Penguatan dukungan peraturan.

(25)

Kesepuluh strategi pengendalian tersebut merupakan gabungan strategi pengendalian AI pada manusia dan unggas. Secara khusus Kementerian Pertanian juga telah mencanangkan pengendalian AI pada unggas yang dikenal dengan sembilan langkah strategis yang meliputi: (1) peningkatan biosekuriti, (2) depopulasi (pemusnahan terbatas atau selektif) di daerah tertular, (3) vaksinasi, (4) pengendalian lalu lintas keluar masuk unggas, (5) survailans dan penelusuran (tracking back), (6) pengisian kandang kembali (restocking), (7) pemusnahan menyeluruh (stamping out)

Pengendalian AI pada unggas tidak hanya berlaku di peternakan tetapi pada setiap usaha peternakan unggas, tempat penampungan unggas, tempat pemotongan unggas, pakan, peralatan, kendaraan dan semua hal terkait unggas dan produknya (Ditkeswan 2009). Pengendalian tidak hanya melibatkan unsur pemerintah tetapi juga lembaga swasta, tenaga ahli, peternak, pengusaha industri perunggasan, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan masyarakat luas.

di daerah tertular baru, (8) peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness) dan (9) monitoring, pelaporan dan evaluasi. Implementasi sembilan langkah strategis tersebut adalah berupa prosedur operasional standar pengendalian penyakit avian influenza (Ditjennak 2009).

Pengendalian AI juga memerlukan dukungandata dan kajian epidemiologik untuk mengetahui distribusi geografik kasus AI, zoning, mendeteksi tingkat kekebalan kelompok pasca vaksinasi dan faktor–faktor risiko terkait kejadian AI (Tabbu 2005) sehingga dapat diambil kebijakan yang efektif dan efisien sesuai kebutuhan per wilayah.

Kajian epidemiologik, penelitian dan monitoring terkait AI telah banyak dilakukan tetapi masih tingginya kasus AI sampai dengan saat ini menunjukkan banyaknya faktor risiko yang berasosiasi dengan kejadian AI. Faktor–faktor tersebut seharusnya diteliti lebih mendalam yang memungkinkan adanyapola kejadian dan faktor risiko spesifik yang berbeda antar daerah.

Pola Kejadian Penyakit Avian Influenza

(26)

menunjukan keterkaitan erat wabah AI dengan musim, suhu, perayaan, burung-burung migran, unggas air, lalu lintas unggas, dan produknya (Ward et al.2008; Minh et al. 2009).

Di Eropa kejadian AI erat kaitannya dengan keberadaan burung-burung migran. Beberapa wabah AI di Rusia, Kazakhstan dan Turki terkait erat dengan keberadaan burung migran (Yee et al. 2009). Hasil analisis spasial wabah AI di Rumania tahun 2005 sampai dengan 2006 menunjukkan keterkaitan wabah dengan keberadaan burung-burung migran saat musim gugur dan dingin; transportasi dan lalu lintas unggas domestik saat musim panas dan semi (Ward et al. 2008).

Secara umum di Asia, pasar unggas hidup berperan besar dalam penyebaran AI. Analisis filogenetik dan investigasi epidemiologik di sejumlah negara menunjukan penyebaran AI lebih dominan disebabkan lalu lintas unggas dibanding keberadaan burung liar (Smith et al. 2006). Kasus di China dan Vietnam menunjukan bahwa ada keterkaitan yang erat perdagangan ilegal, transportasi unggas ilegal dan burung eksotik dengan wabah AI (Yee et al. 2009). Hasil analisis spasial dan temporal di Vietnam menunjukan penyebaran AI merupakan kombinasi dari penyebaran lokal dan jarak jauh. Beberapa kasus menunjukan keterkaitan yang erat dengan perayaan Vietnamese New Year (Januari dan Februari) dan musim pernikahan (Oktober sampai April) (Minh et al. 2009).

(27)

Faktor Risiko terhadap Kejadian Penyakit Avian Influenza

Faktor risiko adalah faktor–faktor yang berpengaruh terhadap penularan suatu penyakit (Thursfield 2005). Faktor tersebut terdiri dari faktor inang, lingkungan dan daerah yang disidik untuk melihat hubungannya dengan infeksi AI pada unggas. Ada beberapa faktor risiko terkait kasus AI seperti faktor individu atau karakteristik peternak, manajemen peternakan, kesehatan unggas, dan biosekuriti (Tabbu 2005; FKH IPB dan Deptan RI 2005; Widiasih et al. 2006; Siahaan 2007). Secara umum faktor risiko terkait kasus AI di Asia adalah kepadatan populasi penduduk dan unggas, keberadaan dan panjang jalan, jumlah itik, dan intensitas tanaman padi serta biosekuriti yang buruk (Sturm-Ramirez et al. 2005; FAO 2010; Gilbert dan Pfeiffer 2012).

Berdasarkan kajian FKH IPB dan Deptan RI (2005) di Sumatera dan Kalimantan faktor risiko terhadap kemungkinan pemaparan virus AI yaitu pengendalian lalu lintas ternak, sanitasi (kebersihan kandang, halaman kandang, tempat pakan dan tempat minum ternak), dan tindakan karantina. Nilai Odds Ratio (OR) untuk pengendalian lalu lintas unggas disekitar kandang 1.75, OR sanitasi (kebersihan kandang) 1.64, dan OR tindakan karantina 2.69.

Kajian FKH UGM dan Deptan RI (2006) menyatakan bahwa faktor jenis peternakan, sistem pemeliharaan ayam, adanya hewan pengerat, burung liar, masa istirahat kandang, kepulangan petugas kandang yang memiliki unggas, pembeli ayam dan pupuk yang bebas keluar masuk kandang berasosiasi dengan kejadian AI di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta. Faktor-faktor tersebut memiliki asosiasi yang bervariasi dengan kejadian AI. Keberadaan burung liar, hewan pengerat, kepulangan petugas kandang berperan terhadap penularan AI. NilaiOR untuk keberadaan burung liar disekitar kandang adalah 24, kepulangan petugas kandang 2.65, kepulangan petugas kandang yang memiliki unggas 3.37, pembeli ayam yang bebas keluar masuk kandang 1.12, dan pembeli pupuk yang bebas keluar masuk kandang 1.17 (Widiasih et al. 2006).

(28)

(SK): 1.13–1.34), kepadatan jalan 1.47 (SK: 1.25–1.73) dan keberadaan sawah 1.014 (SK: 1.000–1.029) (Yupiana et al. 2010).

Kajian AI pada unggas air menunjukkan bahwa faktor risiko terkait AI yaitu kebersihan kandang, tempat pakan dan minum. Nilai OR untuk masing–masing variabel yaitu kebersihan kandang adalah 4.33 (sangat kotor), tempat pakan 7.9 dan tempat minum 3.24 (FKH IPB dan Deptan RI 2006). Menurut Siahaan (2007) kondisi biosekuriti yang rendah menyebabkan risiko pemaparan AI 5.59 kali lebih besar dibanding tingkat biosekuriti yang cukup.

Peternakan Sektor 4 dan Perannya dalam Penyebaran AI

Industri peternakan di Indonesia, berdasarkan sistem produksinya dibagi menjadi 4 sektor, yaitu: sektor 1 (industri besar terintegrasi dengan biosekuriti yang tinggi), sektor 2 (peternakan komersil dengan skala usaha yang lebih kecil dari sektor 1 dan memiliki biosekuriti menengah sampai tinggi), sektor 3 (peternakan komersil kecil dan memiliki biosekuriti rendah), dan sektor 4 (peternakan rakyat dengan tata laksana tradisional dan non komersil dengan pemeliharaan unggas bersama atau dekat dengan pemilik) (FAO 2009a). Sebagian besar peternak di Indonesia adalah peternak usaha kecil atau sektor 4 dengan populasi 1-100 ekor sehingga kematian akibat wabah AI sangat berpengaruh perekonomian dan kesejahteraan rakyat (Yusdja et al. 2008).

Sistem produksi dengan biosekuriti yang rendah menyebabkan sektor 4 sering mengalami serangan penyakit. Karena itu sektor 4 sering dianggap sebagai sumber dan penyebab wabah penyakit seperti AI. Wabah AI terjadi pertama kali pada peternakan komersil di Jawa Barat dan Jawa Tengah yang kemudian menyebar ke seluruh Jawa dan beberapa provinsi di Indonesia (FKH UGM dan Deptan RI 2006). Sektor 4 sebagai sektor yang memiliki biosekuriti rendah tertular dan menerima dampaknya sampai dengan saat ini.

(29)

al. 2006). Ketika AI telah sampai di sektor 4 maka penyebarannya menjadi sangat mudah dan cepat karena rendahnya biosekuriti (praktik sanitasi, isolasi dan pengawasan lalu lintas yang buruk), tinggi lalu lintas unggas dan orang (Yusdja et al. 2008), dan keberadaan pasar unggas hidup (Samaan et al. 2011)

Oleh karena itu pemerintah dan FAO merancang program untuk pengendalian AI di sektor 4 dengan program Participatory Disease Surveillance Response (PDSR). Aktivitas petugas PDSR dirancang partisipatif dalam masyarakat dengan kombinasi survailans aktif tertarget (targeted active surveillance), survailans pasif, dan merespon laporan dari peternak apabila ada kematian AI dengan menguji unggas mati dengan uji cepat AI, melakukan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE), desinfeksi berupa penyemprotan dan

stamping out apabila memungkinkan (FAO 2009b).

Program PDSR ini telah menjangkau 71 038 desa dari 448 kabupaten dan kota di Indonesia dengan insidensi penyakit 0.4 desa terinfeksi per 1000 desa yang disurvailans (FAO 2010). Hasil analisis berdasarkan data PDSR di Indonesia menunjukkan bahwa kasus AI di sektor 4 pada tingkat desa memiliki hubungan yang nyata dengan populasi penduduk, populasi unggas komersial, lalu lintas (panjang jalan), pasar, ketinggian, dan intensitas panen (Loth et al. 2011). Adapun hubungan kepadatan penduduk dan unggas dengan peluang terjadinya kasus AI adalah hubungan non linier (Farnsworth et al. 2011).

Analisis Spasial dan Temporal

Analisis spasial dan temporal adalah satu diantara studi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan menganalisis pola kejadian berdasarkan tempat dan waktu. Analisis ini berbasis sistem informasi geografis sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap dan akurat dengan pemetaan kasus tergantung kebutuhan (Durr dan Gatrrell 2004). Beberapa variasi analisis yaitu pemetaan penyakit, mengidentifikasi faktor risiko dan korelasinya, membuat

(30)

2010), demam berdarah, tuberkulosis (Allepuz et al. 2008), dan Neospora caninum (Loobuyck et al. 2009).

Satu diantara metode yang dipakai untuk analisis spasial dan temporal adalah prospective space-time scan statistics yang dikembangkan oleh Kulldorf pada tahun 1997. Metode ini menghasilkan analisis secara spasial yaitu mendeteksi pengelompokan daerah (clustering area) yang memiliki intensitas kejadian paling tinggi dalam waktu tertentu dan mengevaluasi signifikansinya secara statistik (Farnsworth dan Ward 2009) serta analisis temporal yaitu analisis pola kejadian berdasarkan waktu (Ward dan Carpenter 2000). Data yang digunakan adalah data kasus, populasi dan koordinat kasus selama periode waktu tertentu (Kulldorf 2010).

Analisis spasial menghasilkan analisis berupa clustering area yang berfungsi sebagai petunjuk bagaimana penyakit berproses dalam dimensi waktu tertentu sehingga dapat dideteksi hotspot area yang memiliki kecenderungan yang tinggi untuk terjadi lagi dimasa yang akan datang (Ward dan Carpenter 2000). Hasil analisis yang diperoleh adalah clustering area dengan empat kategori yaitu kluster primer (most likely cluster), kluster sekunder (secondary cluster), kasus rendah (low rate),dan tidak ada kasus (no case). Pada masing-masing clustering area tersebut diperoleh nilai risiko relatif (RR), jumlah kasus, nilai dugaan kasus dan signifikansinya (nilai p).

Kluster primer atau disebut juga sebagai hotspot area merupakan wilayah atau lokasi yang memiliki kecenderungan tinggi untuk terjadinya kasus kembali. Lokasi ini harus menjadi perhatian dan prioritas pengendalian penyakit terutama target untuk survailans. Kluster sekunder adalah kluster pendamping kluster primer yang menjadi prioritas kedua untuk pengendalian. Kecenderungan untuk terjadinya kasus kembali ini biasanya dinyatakan dengan risiko relatif (RR). Risiko relatif (RR) adalah perkiraan risiko terjadinya kasus AI didalam area kluster dibanding diluar area kluster. Nilai p yang dihasilkan, dihitung menggunakan pendekatan monte carlo sehingga dapat diketahui signifikan atau tidaknya nilai RR di area tersebut (Kulldorf 2010).

(31)

tergantung keperluan. Analisis temporal biasanya dalam jangka waktu tertentu sehingga dapat dideteksi dan diprediksi kecenderungan pola kejadian (Ward dan Carpenter 2000; Kulldorff 2010).

Studi Kasus Kontrol

Studi kasus kontrol merupakan satu diantara studi observasional analitik yang dirancang untuk melihat hubungan asosiasi. Kajian ini dirancang dengan menyeleksi dua grup sebagai grup kasus dan grup kontrol. Kasus adalah populasi yang memiliki suatu hasil jadi tertentu yang sedang diteliti misalnya gejala, keluhan atau hasil laboratorium. Kontrol adalah populasi pembanding yang tidak menderita penyakit tertentu (Dohoo et al.2003).

Pada kajian ini kelompok hewan yang sakit (kasus) dan kelompok hewan tidak sakit (kontrol) diseleksi dan dibandingkan terhadap pengaruh hadirnya faktor risiko atau pajanan. Studi ini bersifat retrospektif yaitu dari penyakit menuju kepajanan atau determinan (Pfeiffer 2010). Rancangan pemilihan kasus dan kontrol pada studi ini dapat berpadanan (matched case control) atau tidak berpadanan (unmatched case control).

Studi kasus kontrol banyak digunakan untuk mengidentifikasi faktor risiko dan faktor penyembuh suatu penyakit. Kelebihan studi ini, relatif lebih murah dan cepat dibanding kohort dan cross sectional serta dapat menilai beberapa faktor risiko sekaligus. Namun, kelemahannya studi ini tidak efisien untuk menyelidiki pajanan yang jarang, tidak banyak manfaatnya untuk tujuan deskriptif dan sering terjadi bias informasi karena berdasarkan data dan ingatan responden (Pfeiffer 2010).

(32)

Penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari sampai dengan Mei 2012. Penelitian dilakukan di tiga kabupaten dan kota di Provinsi Lampung yaitu Kota Bandar Lampung, Kota Metro dan Kabupaten Pesawaran. Kabupaten dan kota tersebut merupakan kabupaten dan kota dengan kasus tertinggi di Provinsi Lampung. Perancangan dan analisis data sekunder dan primer dilakukan di Laboratorium Epidemiologi FKH IPB.

Disain Penelitian

Penelitian terdiri dari dua tahap yaitu :

1 Kajian terhadap pola kejadian AI berdasarkan analisis spasial dan temporal. Analisis dilakukan terhadap kasus AI selama tahun 2010–2011 di Provinsi Lampung. Data kasus dan koordinat kasus diperoleh dari Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional 3 dan Local Disease Crisis Center

(LDCC) Provinsi Lampung. Data populasi dan peta diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS).

2 Kajian terhadap faktor risiko AI menggunakan kajian lapang dengan rancangan studi kasus kontrol pada peternakan sektor 4 di Provinsi Lampung. Penelitian ini menggunakan kuisioner sebagai perangkat untuk mengukur faktor risiko terkait kasus AI.

(33)

Kerangka Konsep Penelitian

Terdapat beberapa peubah yang akan diamati pada penelitian ini yaitu karakteristik peternak yang meliputi jenis kelamin, umur, status kepemilikan, pengalaman beternak, pendidikan formal dan tujuan usaha, pengetahuan dan sikap peternak serta penyuluhan dan akses terhadap informasi; manajemen peternakan dan kesehatan unggas yang terdiri dari asal bibit, riwayat vaksinasi dan pemberian obat-obatan, sistem perkandangan dan pola pemeliharaan; serta biosekuriti yang terdiri dari sanitasi, isolasi dan pengawasan lalu lintas ternak. Kerangka konsep penelitian dapat dilihat pada Gambar 1 dan definisi operasional peubah yang diamati dapat dilihat pada Tabel 1.

Gambar 1 Kerangka konsep penelitian. Faktor individu :

- Jenis Kelamin - Umur

- Status kepemilikan - Pengalaman - Pendidikan formal -Tujuan Usaha

-Pengetahuan dan sikap peternak - Penyuluhan & akses terhadap informasi

Kasus AI di peternakan sektor 4

Biosekuriti :

- Sanitasi - Isolasi

- Pengawasan lalu lintas ternak

Faktor Manajemen Peternakan , Kesehatan Unggas :

- Asal bibit

- Pemberian obat–obatan dan riwayat vaksinasi

- Sistem perkandangan -Pola pemeliharaan

(34)

Tabel 1 Definisi operasional peubah yang diamati

Peubah Definisi Operasional Alat

Ukur Cara Ukur Skala

Kasus avian influenza (AI)

Peternakan atau rumah tangga ternak yang dinyatakan positif oleh BPPV Regional 3 dengan pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction)

1=kasus (positif) 2= kontrol (negatif)

Umur Usia peternak yang dihitung ulang tahunnya yang terakhir

Kuisioner Wawancara Ordinal

1= muda (<30 tahun) 2= dewasa (30-40 tahun) 3= tua (>40 tahun) Status

kepemilikan

Kepemilikan usaha ternak sebagai milik sendiri atau bukan

Kuisioner Wawancara Ordinal

1= milik sendiri 2= milik orang lain Pengalaman Jangka waktu lamanya

beternak unggas

Kuesioner Wawancara Ordinal

1= rendah (<5 tahun) 2= sedang (5-10 tahun) 3= tinggi (> 10 tahun) Pendidikan

formal

Jenjang pendidikan terakhir yang dimiliki oleh peternak

Kuesioner Wawancara Ordinal

1= rendah (sampai SD) 2= sedang (SMP-SMA 3= tinggi (perguruan

tinggi) Tujuan usaha Merupakan tujuan

beternak sebagai mata pencaharian utama atau sampingan

Kuisioner Wawancara Ordinal 1= utama 2= sampingan

Pengetahuan peternak

Penguasaan peternak terhadap hal-hal yang berhubungan dengan AI dan cara penularannya serta cara beternak yang baik

Kuisioner Wawancara Ordinal 1= kurang 2= cukup 3= baik

Sikap Peternak

Keyakinan atau perasaan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan AI dan penularannya serta cara beternak yang baik

Kuisioner Wawancara Ordinal 1= negatif 2= netral 3= positif

Penyuluhan Pembinaan berupa komunikasi, informasi dan edukasi oleh petugas penyuluh Dinas Pertanian (Peternakan), PDSR, mahasiswa, dan kader

Kuisioner Wawancara Ordinal

0= tidak pernah 1= jarang 2= cukup sering 3= sering 4= sangat sering Pola

pemeliharaan

Sistem pemeliharaan dengan hanya satu jenis unggas (ayam) saja atau bermacam-macam unggas secara bersamaan (mix farming)

Kuisioner Wawancara Ordinal

1=mix farming

2= ayam saja

Sistem perkandangan

Kandang mengkondisikan unggas tidak keluar kandang, kandang tidak dimasuki hewan lain dan tidak bercampur dengan ternak lain

Kuisioner Wawancara Ordinal

1= diumbar atau kombinasi diumbar-kandang 2= dikandangkan terus

(35)

Tabel 1 Definisi operasional peubah yang diamati (lanjutan)

Peubah Definisi Operasional Alat

Ukur Cara Ukur Skala

Kandang permanen

Kondisi kandang sektor 4 dengan konstruksi kuat, kokoh, bersifat menetap, dan memiliki atap serta dinding dengan ventilasi kandang yang cukup

Kuisioner Wawancara Nominal

0= kandang tidak permanen 1= kandang permanen

Tindakan

Kuisioner Wawancara Nominal

0=tidak dilakukan disinfeksi 1=tidakan disinfeksi

Penanganan feses

Tindakan yang dilakukan untuk menangani feses unggas dengan dibakar atau dikumpulkan di karung atau dibuat kompos (pupuk)

Kuisioner Wawancara Nominal

0= tidak dilakukan penanganan feses 1= dilakukan penanganan

feses

Tinggi pagar Peternakan atau kandang ternak memiliki pagar dengan ketinggian tertentu

Kuisioner Wawancara Ordinal

1= tidak ada pagar 2= <75 cm 3= ≥75 cm

Jarak kandang kerumah

Jarak kandang dari rumah peternak

Kuisioner Wawancara Ordinal

1= tidak ada jarak

Kuisioner Wawancara Ordinal 1= ≥ 2 minggu

2= tidak dikarantina atau dikarantina tetapi < 2 minggu

Penanganan ternak mati

Tindakan peternak jika ada ternak mati

Kuisioner Wawancara Ordinal 1= dibakar 2= dikubur 3= dibuang

4= diberikan kepada orang lain

Asal bibit Sumber bibit baik pullet maupun DOC yang selanjutnya dikembangbiakan

Kuisioner Wawancara Ordinal

1= pasar unggas hidup 2= tempat pembibitan 3= pemberian 4= menetaskan sendiri

Biosekuriti Usaha pencegahan penularan penyakit di peternakan yang terdiri atas tindakan isolasi, sanitasi dan pengawasan lalu lintas

(36)

Kriteria Kasus dan Kontrol

Definisi kasus yang digunakan untuk analisis spasial dan temporal adalah hasil diagnosa petugas Participatory Disease Surveillance Response (PDSR) menggunakan uji cepat AI. Adapun data yang digunakan untuk menghitung dan mengukur asosiasi faktor risiko adalah data hasil diagnosa BPPV Regional 3 dengan definisi kasus dan kontrol sebagai berikut:

Kasus : Peternakan atau rumah tangga ternak yang dinyatakan positif oleh BPPV Regional 3 dengan pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction) dari tahun 2010–2012.

Kontrol : Peternakan atau rumah tangga ternak yang dinyatakan negatif oleh BPPV Regional 3 dengan pemeriksaan PCR dari tahun 2010–2012. Kriteria dan pemilihan kasus dan kontrol dilakukan sebagai berikut :

1 Kasus dipilih secara acak dari laporan kasus yang dinyatakan positif berdasarkan pemeriksaan BPPV Regional 3 dengan pemeriksaan PCR dari tahun 2010–2012.

2 Kontrol dipilih secara acak dari laporan kasus yang dinyatakan negatif berdasarkan pemeriksaan BPPV Regional 3 dengan pemeriksaan PCR dari tahun 2010–2012.

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah peternakan sektor 4 (backyard farm) di Provinsi Lampung. Ukuran sampel untuk studi kasus kontrol dihitung menurut rumus untuk studi kasus kontrol tidak berpadanan (Dohoo et al. 2003), yaitu:

Keterangan :

R = prakiraan Odds Ratio

= proporsi kontrol yang terpajan variabel yang diteliti pada populasi sasaran

=

= + ),

α = tingkat kesalahan yang diperkirakan terdapat kaitan antara faktor risiko denganpenyakit

(37)

Pada penelitian ini perhitungan untuk menentukan ukuran sampel menggunakan piranti lunak Win Episcope untuk kasus kontrol tidak berpadanan (UnmatchedCase Control). Asumsi yang digunakan OR=3; prevalensi AI pada kelompok terpapar (%)=30%; α=0.05; β=0.2; perbandingan kasus : kontrol=1:1; faktor non respon sebesar 10% maka besaran sampel yang diambil dari populasi sebanyak 55 responden dari kelompok kasus dan 55 responden dari kelompok kontrol di Provinsi Lampung.

Pembobotan dan Penilaian Kuisioner

Penilaian tingkat biosekuriti, sanitasi, isolasi, pengawasan lalu lintas unggas, pengetahuan dan sikap dilakukan dengan pembobotan pada pertanyaan-pertanyaan tersebut pada kuesioner. Pembobotan dilakukan dengan memberikan nilai 1 pada jawaban “ya” dan nilai 0 pada jawaban “tidak”. Jumlah pertanyaan dan penilaian disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Pembobotan dan penilaian kuesioner tingkat biosekuriti Jumlah

Pertanyaan

Nilai Maksimum

Nilai

Minimum Baik Cukup Rendah

Tingkat Biosekuriti 23 23 0 >11 - ≤11

Sanitasi 7 7 0 >3 - ≤3

Isolasi 7 7 0 >3 - ≤3

Pengawasan lalu lintas unggas

9 9 0 >5 - ≤5

Pengetahuan 15 15 0 >10 5-10 <5

Sikap 20 20 0 >13 7-13 <7

Analisis Data

(38)

Data untuk faktor risiko dikumpulkan dan direkapitulasi sehingga diperoleh gambaran menyeluruh terhadap hasil pengumpulan data lapangan dengan tiga tahapan, yaitu: analisis univariat, analisis bivariat uji chi-square(χ2) dan analisis multivariat. Faktor-faktor risiko yang diperoleh dari hasil analisis bivariat dapat menjadi kandidat kovariat untuk masuk ke dalam model multivariat jika memiliki nilai p<0.25 dan saling bebas. Adapun syarat agar masing-masing peubah saling bebas, dihitung dulu korelasi dari masing-masing peubah dengan uji korelasi. Jika ada peubah saling berkorelasi dan memiliki multikolinearitas tinggi (p>0.05) maka dipilih satu peubah yang paling dominan berdasarkan pertimbangan keilmuan peneliti atau dibuat satu peubah baru yang mewakili kedua peubah tersebut tetapi tidak dengan operasi matematika.

Analisis data selanjutnya, analisis multivariat dengan pendekatan regresi logistik berganda. Analisis ini digunakan untuk menduga nilai odds ratio (OR) yang merupakan rasio dari kelompok kasus terpajan dan tidak terpajan faktor penyakit terhadap kelompok kontrol yang terpajan dan tidak terpajan faktor penyakit. Analisis data tersebut menggunakan program SPSS 16 dan Microsoft Excel 2007. Adapun langkah-langkah analisis multivariat, yaitu:

1 Pemilihan kandidat peubah yang akan masuk kedalam model. Kandidat peubah yang masuk kedalam model adalah peubah dengan uji bivariat menunjukan signifikansi dengan nilai p<0.25.

2 Pengujian multikolinearitas antar kandidat peubah, yaitu dengan menggunakan uji korelasi.

3 Pemilihan kandidat peubah yang akan masuk kedalam model.

4 Melakukan pendugaan model dengan menggunakan model regresi logistik (Dohoo et al. 2003).

(39)

Provinsi Lampung merupakan satu diantara provinsi di Indonesia yang sampai dengan sekarang merupakan wilayah dengan kasus AI tinggi (Farnsworth

et al. 2011). Kejadian AI dimulai pada akhir tahun 2003 akibat masuknya ayam-ayam afkir dari Pulau Jawa (BPPVR 3 2010).

Kasus AI sepanjang tahun 2010-2011 sebanyak 307 kasus dengan rincian 192 kasus AI pada tahun 2010 dan 115 kasus AI pada tahun 2011 dengan sebaran per kabupaten disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Jumlah kasus AI per kabupaten di Provinsi Lampung tahun 2010-2011.

Secara keseluruhan kejadian kasus AI merata di kabupaten dan kota Provinsi Lampung. Kasus AI tertinggi adalah Kota Metro yang kemudian diikuti oleh Kota Bandar Lampung. Kejadian AI di Kota Metro adalah 35 kasus pada tahun 2010, turun menjadi 23 kasus pada tahun 2011. Kota Bandar Lampung 24 kasus pada tahun 2010, turun menjadi 14 kasus pada tahun 2011.

(40)

Gambar 3 Kasus AI berdasarkan jumlah kasus per kecamatan di Provinsi Lampung tahun 2010-2011.

(41)

Gambar 4 Kasus AI berdasarkan bulan kejadian tahun 2010-2011 di Provinsi Lampung.

Pada Gambar 4 dapat dilihat terjadi peningkatan kasus pada bulan Januari sampai dengan bulan Februari yang merupakan musim penghujan. Hasil analisis tersebut sejalan dengan analisis Farnsworth et al. (2011) yang menyatakan bahwa terjadi peningkatan peluang kasus AI di Indonesia pada bulan Januari-Maret dan dimungkinkan adanya pengaruh musim terhadap infeksi AI.

Pola Kejadian Avian Influenza

Pola kejadian Avian Influenza dapat dianalisis berdasarkan ruang (spasial) dan waktu (temporal). Analisis spasial dan temporal mendeteksi pengelompokan daerah (clustering area) yang memiliki intensitas kejadian paling tinggi dalam waktu tertentu dan mengevaluasi signifikansinya secara statistik (Kulldorf 2010). Pada masing-masing clustering area tersebut diperoleh nilai risiko relatif (RR), jumlah kasus, nilai dugaan kasus dan signifikansinya (nilai p).

(42)

Selain kluster primer hasil analisis lainnya kluster sekunder yang merupakan kluster pendamping kluster primer. Kluster sekunder pertama yaitu Kecamatan Kemiling, Rajabasa, Tanjung Karang Timur dan Sukarame, Kota Bandar Lampung. Kluster sekunder kedua Kecamatan Baradatu, Kabupaten Way Kanan. Selain dari kluster-kluster tersebut kecamatan-kecamatan lain yang memiliki kasus AI dikategorikan sebagai kasus rendah (low rate) dan kecamatan yang tidak pernah terjadi kasus dikategorikan tidak ada kasus (no case). Hasil analisis dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Clustering kasus AI di Provinsi Lampung tahun 2010–2011.

(43)

di lokasi tersebut tinggi. Karena itu perencanaan surveilans di area kluster primer sangat penting dilakukan sebagai tindak lanjut untuk menentukan program pengendalian dan pencegahan AI yang sesuai dengan kondisi lapangan.

Adapun kluster sekunder memiliki nilai p>0.05 sehingga nilai RR yang dihasilkan tidak signifikan. Walaupun tidak signifikan tetapi wilayah yang masuk kluster sekunder tetap penting sehingga pencegahan dan pengendalian di wilayah ini tetap menjadi prioritas setelah prioritas utama di kluster primer atau hotspot area. Hasil analisis kluster kasus AI dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Deteksi klusterkasus AI berdasarkan kecamatan di Provinsi Lampung tahun 2010–2011

Kecenderungan Periode Kluster Kasus Risiko Relatif (RR) Nilai p

Kluster primer Kec. Pekalongan (Kab.

Lampung Timur) Kec. Metro Barat, Metro Timur, Metro Utara (Kota Metro)

1 Januari 2010-31 Desember 2011

21 3.53* 0.001

Kluster sekunder

1 Kec. Kemiling, Rajabasa, Tanjung Karang Timur dan Sukarame (Kota Bandar Lampung)

1 Januari 2010-31 Desember 2011

9 2.9 0.541

2 Kec. Baradatu (Kab. Way Kanan)

1 Januari 2010-31 Desember 2011

6 3.39 0.701

*signifikan pada α=0.05

Data pada Tabel 3 menunjukan time frame kejadian AI di kluster primer dan sekunder dapat terjadi sepanjang tahun kejadian walaupun kasus banyak terjadi di awal tahun (Januari–Februari). Hasil ini dimungkinkan karena analisis tidak hanya menghitung dimensi waktu tapi juga tempat dan sebaran kejadian. Kejadian yang terus ada sepanjang tahun dan terkosentrasi di wilayah tertentu menjadikan risiko kejadian AI tidak terpengaruh bulan dan musim. Hasil penelitian ini memperkuat kesimpulan Jatikusumah et al. (2010) bahwa tidak ada pengaruh yang nyata antara kejadian AI dengan musim walaupun terjadi peningkatan kasus AI dimusim penghujan dan pancaroba.

(44)

menjadikan risiko kejadian AI akan terus ada sepanjang waktu di Provinsi Lampung. Hasil analisis terhadap data PDSR di Indonesia tahun 2008-2010 menunjukan bahwa Provinsi Lampung memiliki peluang tertinggi untuk terjadinya kasus AI di Indonesia dengan nilai rata-rata peluang terjadinya kasus per kabupaten adalah 0.7 (Farnsworth et al. 2011).

Penelitian tentang analisis spasial dan temporal AI telah banyak dilakukan di sejumlah negara. Penyebaran virus AI di beberapa negara menunjukan keterkaitan erat wabah AI dengan musim, suhu, perayaan, burung-burung migran, unggas air, lalu lintas unggas dan produknya (Ward et al. 2008; Minh et al. 2009).

Di Eropa kejadian AI erat kaitannya dengan keberadaan burung-burung migran. Beberapa wabah AI di Rusia, Kazakhstan dan Turki terkait erat dengan keberadaan burung migran (Yee et al. 2009). Hasil analisis spasial wabah AI di Rumania tahun 2005-2006 menunjukkan keterkaitan wabah dengan keberadaan burung-burung migran saat musim gugur dan dingin; transportasi dan lalu lintas unggas domestik saat musim panas dan semi (Ward et al. 2008).

(45)

Faktor Risiko Penyakit Avian Influenza

Faktor risiko adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penularan suatu penyakit (Thursfield 2005). Faktor tersebut terdiri atas faktor inang, lingkungan dan daerah yang disidik untuk melihat hubungannya dengan infeksi AI pada unggas.

Karakteristik Peternakan

Faktor risiko terhadap kejadian AI erat kaitannya dengan karakteristik peternakan. Karakteristik peternakan yang dibahas lebih lanjut pada penelitian ini mengacu pada hasil penelitian sebelumnya tentang faktor risiko terkait kejadian AIantara lainkarakteristik peternak, manajemen peternakan dan kesehatan hewan, dan tingkat biosekuriti (Tabbu 2005; FKH IPB dan Deptan RI 2005; FKH UGM dan Deptan RI 2006; Siahaan 2007).

Karakteristik peternak. Karakteristik peternak merupakan gambaran keadaan khusus responden yang menjadi obyek penelitian dalam hal ini peternak sektor 4. Karakteristik peternak pada penelitian ini meliputi: jenis kelamin, umur, pendidikan formal, tujuan usaha, status kepemilikan, pengalaman beternak, pengetahuan dan sikap. Pada kelompok kasus sebagian besar peternak berjenis kelamin laki-laki 54.5% dan berumur >40 tahun 72.7% sedangkan pada kelompok kontrol sebagian besar peternak berjenis kelamin laki-laki 50.9% dan berumur >40 tahun 76.4%. Tingkat pengetahuan peternak kelompok kasus sebagian besar peternak memiliki pengetahuan baik 47.3% dan sikap positif 47.3% sedangkan kelompok kontrol memiliki pengetahuan baik 80% dan sikap positif 76.4%. Proporsi kasus dan kontrol pada karakteristik peternak dapat dilihat pada Tabel 4.

(46)

Sebelum terjadinya kasus AI sebanyak 65.5% peternak tidak pernah mendapatkan penyuluhan, kemudian meningkat menjadi cukup sering 54.6% dan sering 45.5% mendapat penyuluhan setelah terjadi kasus. Patriantariksina (2007) menyatakan bahwa penyuluhan dan akses terhadap informasi berpengaruh nyata terhadap pengetahuan dan sikap seseorang.

Tabel 4 Hubungan karakteristik peternak dengan kejadian AI pada peternakan sektor 4 di Provinsi Lampung

Peubah Kategori Kasus (n=55) Kontrol (n=55) OR SK(95%) p

*signifikan pada α=0,05; SK=Selang Kepercayaan; OR=Odds Ratio

(47)

lampau dan telah dilakukan intervensi berupa penyuluhan oleh petugas. Hasil analisis menunjukan tidak ada satupun peubah karakteristik peternak yang dapat dijadikan kandidat kovariat untuk uji selanjutnya (p>0.25).

Manajemen Perkandangan. Manajemen perkandangan meliputi: pola pemeliharaan, sistem perkandangan, asal bibit. Pada kelompok kasus pola pemeliharaan sebagian besar peternak adalah hanya ayam saja 81.8% dan kandang tidak terpisah dari rumah 76.4% sedangkan pada kelompok kontrol pola pemeliharaan sebagian besar peternak adalah hanya ayam saja 87.3% dan kandang tidak terpisah dari rumah 21.8%. Proporsi kasus dan kontrol pada manajemen perkandangan dan hubungannya dengan kejadian AI dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Hubungan manajemen perkandangan dengan kejadian AI pada peternakan sektor 4 di Provinsi Lampung

Peubah

- Dikandangkan terus menerus

43

Kandang terpisah dari rumah - Tidak

Tinggi pagar peternakan ≥75 cm - Tidak

Memiliki saluran limbah - Tidak

Asal bibit dari pasar unggas hidup - Tidak

Asal bibit dari tempat pembibitan - Tidak

Asal bibit dari pemberian - Tidak

Asal bibit dari menetaskan sendiri - Tidak

(48)

Pada Tabel 5 dapat dilihat, ada beberapa peubah yang memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian AI (p≤0.05) yaitu: sistem perkandangan diumbar dan kombinasi diumbar dengan kadang-kadang dikandangkan, kandang yang tidak terpisah dari rumah, tinggi pagar <75 cm dan asal bibit dari pasar unggas hidup. Odds ratio (OR) yang ditampilkan adalah odds peubah secara tunggal tanpa memperhitungkan peubah lainnya. Peubah tersebut termasuk peubah lain dengan p<0.25 selanjutnya dijadikan sebagai kandidat kovariat untuk dianalisis lebih lanjut dengan analisis multivariat.

Manajemen perkandangan sangat berperan dalam penularan dan penyebaran AI. Unggas yang berada dalam lingkungan dan kandang yang baik dan terlindung merupakan prinsip dasar agar peternakan tetap terbebas dari penyakit (Swayne 2008). Lingkungan fisik seperti keberadaan, tata letak dan jarak kandang mempengaruhi perkembangbiakan virus AI (Orinda 2008). Karena itu pemerintah menganjurkan tidak memelihara unggas di lingkungan pemukiman atau perumahan. Jika ingin memelihara disyaratkan secara kelompok dalam kandang khusus yang memiliki tata laksana yang baik dengan jarak aman dari pemukiman minimal 25 m (Ditjennak 2009).

Manajemen kesehatan unggas tidak dijadikan sebagai peubah karena hampir semua peternakan tidak melakukan vaksinasi AI dan pengobatan saat terjadinya kasus. Kebijakan pemerintah terkait vaksinasi AI pada peternakan sektor 4 di daerah endemis seperti Provinsi Lampung adalah vaksinasi secara tertarget (Ditjennak 2009) dengan prioritas pada peternakan yang sudah menerapkan pemeliharaan secara intensif atau dikandangkan terus menerus untuk menghindari shedding virus.

(49)

sehingga biosekuriti menjadi satu diantara faktor yang penting untuk pencegahan dan pengendalian AI.

Secara umum kondisi biosekuriti peternakan berada pada kategori rendah.Proporsi peternakan dari kelompok kasus yang memiliki tingkat biosekuriti rendah sebanyak 92.7% dan 58.2% dari kelompok kontrol. Tingkat biosekuriti peternakan sektor 4 dan hubungannya dengan kejadian AI disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Hubungan biosekuriti dengan kejadian AI pada peternakan sektor 4 di Provinsi Lampung

Pengawasan terhadap lalulintas unggas -Baik

*signifikan pada α=0,05; SK=Selang Kepercayaan; OR=Odds Ratio

Hubungan biosekuriti dengan kejadian AI pada peternakan sektor 4 menunjukkan semua peubah memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian AI sehingga semua peubah dapat menjadi kandidat kovariat untuk dianalisis lebih lanjut diuji multivariat. Pengawasan terhadap lalu lintas unggas merupakan peubah yang paling dominan terhadap kejadian AI dengan 100% kelompok kasus pada kondisi buruk.

(50)

membatasi kontak orang dan unggas, sistem perkandangan, keberadaan burung liar dan tikus, asal bibit, dan pengawasan terhadap unggas yang sakit.

Pada kelompok kasus 81.8% kelompok kasus dan 38.2% kelompok kontrol tidak membatasi kontak orang dengan unggas. Demikian juga pengawasan terhadap unggas yang sakit 78.2% kelompok kasus dan 52.7% kelompok kontrol tidak melakukannya. Proporsi praktik pengawasan lalu lintas pada kelompok kasus dan kontrol dan hubungannya dengan kejadian AI dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Hubungan pengawasan lalu lintas dengan kejadian AI pada peternakan sektor 4 di Provinsi Lampung

Peubah

Membatasi kontak orang dengan unggas

- Dikandangkan terus menerus

43

Keberadaan burung liar - Tidak

Asal bibit dari pasar unggas hidup - Tidak

Karantina terhadap unggas yang baru masuk ≥ 2 minggu

Pengawasan terhadap unggas yang sakit - Tidak

Urutan penanganan unggas sakit - Tidak berurutan

- Sehat dulu baru yang sakit

40

Disinfeksi peralatan kandang - Tidak

Peternak tidak saling pinjam peralatan kandang

(51)

Pada Tabel 7 dapat dilihat hubungan pengawasan lalu lintas dengan kejadian AI, peubah yang memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian AI yaitu: membatasi kontak orang dengan unggas, sistem perkandangan diumbar atau kombinasi diumbar dan dikandangkan, asal bibit dari unggas hidup, karantina terhadap unggas baru, dan pengawasan terhadap unggas yang sakit. Peubah tersebut ditambah dengan keberadaan tikus (p<0.25) menjadi kandidat kovariat untuk dianalisis lebih lanjut dengan analisis multivariat.

Sanitasi adalah tindakan pengawasan terhadap faktor lingkungan yang yang mempengaruhi kesehatan. Secara umum praktik sanitasi peternakan berada pada kategori rendah. Peternakan dengan sanitasi buruk memiliki nilai odds 2.39 kali lebih besar dibanding dengan sanitasi baik. Hal ini tergambar pada praktik tidak membersihkan tempat pakan 87.3% kelompok kasus dan 80% kelompok kontrol, tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah menangani unggas 67.3% kelompok kasus dan 50.9% kelompok kontrol. Praktik terkait sanitasi pada peternakan sektor 4 dan hubungannya dengan kejadian AI disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Hubungan sanitasi dengankejadian AI pada peternakan sektor 4 di Provinsi Lampung

Peubah Kasus (n=55) Kontrol (n=55) OR SK (95%) p n % n %

Tempat pakan dibersihkan setiap hari - Tidak

Tempat minum dibersihkan setiap hari - Tidak Cuci tangan sebelum dan sesudah

menangani unggas

Disinfeksi peralatan kandang - Tidak

Kandang dibersihkan dengan sabun dan desinfektan secara berkala

- Tidak

Penanganan terhadap feses - Tidak

Bangkai unggas dikubur/dibakar - Tidak

(52)

Sanitasi pada peternakan bertujuan memelihara dan mengawasi kebersihan peternakan secara menyeluruh antara lain kandang, peralatan, pakan dan air minum (Ditjennak 2009). Sanitasi peralatan dan kandang sangat penting untuk mencegah kemungkinan unggas terpapar virus AI. Pada Tabel 8 dapat dilihat walaupun tidak ada hubungan yang signifikan antara peubah sanitasi dengan pemaparan AI tetapi ada beberapa peubah yang dapat dijadikan kandidat kovariat untuk diuji lebih lanjut dengan analisis multivariat, yaitu: penanganan bangkai unggas dibakar atau dikubur, penanganan feses, dan cuci tangan sebelum dan sesudah menangani unggas.

Isolasi adalah tindakan karantina unggas dari kemungkinan terpaparnya unggas dari pembawa penyakit.Secara keseluruhan praktik isolasi berada pada kategori rendah dengan nilai odds peternakan dengan praktik isolasi buruk 2.35 kali lebih besar dibanding dengan yang baik. Hal ini tergambar antara lain pada kelompok kasus 92.7% tidak memiliki saluran limbah dan tempat pembuangan limbah sedangkan kelompok kontrol 81.8% tidak memiliki saluran limbah dan 83.6% tidak memiliki tempat pembuangan limbah khusus. Peubah yang berperan pada isolasi dan hubungannya dengan kejadian AI dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Hubungan isolasi dan kejadian AI pada peternakan sektor 4 di Provinsi Lampung

Kandang terpisah dari rumah - Tidak

Tinggi pagar peternakan ≥75 cm - Tidak

Memiliki saluran limbah - Tidak

Memiliki pembuangan limbah khusus - Tidak

Pengosongan kandang setelah wabah - Tidak

(53)

Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa kandang yang tidak permanen, kandang tidak terpisah dari rumah, tinggi pagar <75 cm, dan pengosongan setelah wabah memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian AI. Peubah tersebut ditambah dengan peubah peternakan yang tidak memiliki saluran dan tempat pembuangan limbah (p<0.25) dapat dijadikan sebagai kandidat kovariat untuk diuji lebih lanjut dengan analisis multivariat.

Model Hubungan Faktor Risiko terhadap Kejadian Avian Influenza

Model hubungan faktor risiko terhadap kejadian AI dianalisis menggunakan analisis multivariat dengan regresi logistik berganda. Analisis ini untuk mengetahui efek pengaruh peubah independen secara bersama-sama terhadap terjadinya kejadian AI. Dari hasil pemilihan kandidat peubah diperoleh hasil sebagai berikut:

1 Sistem perkandangan. 2 Asal bibit dari unggas hidup. 3 Keberadaan tikus.

4 Keberadaan pagar <75 cm.

5 Bangkai unggas dibakar dan atau dikubur. 6 Tingkat biosekuriti.

7 Saluran limbah. 8 Kandang terpisah.

9 Membatasi kontak orang dengan unggas. 10 Penanganan feses.

11 Karantina unggas baru. 12 Pengosongan kandang. 13 Sanitasi.

14 Lalu lintas. 15 Isolasi.

16 Kandang permanen.

(54)

Ada beberapa kandidat peubah yang saling berkorelasi atau memiliki multikolinearitas yang tinggi. Tindakan yang dapat dilakukan pada peubah tersebut dengan memilih satu yang paling dominan berdasarkan pertimbangan keilmuan peneliti atau dibuat satu peubah baru yang mewakili kedua peubah tersebut tetapi tidak dengan operasi matematika. Hasil uji korelasi masing-masing kandidat peubah dapat dilihat pada Lampiran 1. Adapun kandidat peubah yang dapat dijadikan model untuk diuji lebih lanjut adalah sebagai berikut:

1 Sistem perkandangan. 2 Asal bibit dari unggas hidup. 3 Saluran limbah.

4 Penanganan feses.

5 Karantina terhadap unggas baru 6 Keberadaan tikus.

7 Keberadaan pagar <75 cm.

8 Bangkai unggas dibakar dan atau dikubur.

9 Cuci tangan sebelum dan sesudah menangani unggas

Berdasarkan hasil analisis dan model regresi logistik peubah yang memiliki hubungan yang nyata terhadap kejadian AI pada penelitian ini yaitu: sistem perkandangan diumbar dan kombinasi diumbar, asal bibit dari pasar unggas hidup, keberadaan pagar peternakan dengan tinggi <75 cm. Hasil analisis multivariat dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Model akhir analisis multivariat faktor risiko terhadap kejadian AI pada peternakan sektor 4 di Provinsi Lampung

Peubah OR SK (95%) p

Sistem perkandangan diumbar dan kombinasi diumbar dan dikandangkan vs dikandangkan terus menerus

8.94* 2.85-28.02 0.000

Asal bibit dari pasar unggas hidup vs tempat lainnya

5.18* 1.80-14.92 0.002

Keberadaan tinggi pagar peternakan <75 cm vs tinggi pagar peternakan ≥75 cm

5.03* 1.86-13.62 0.001

Gambar

Tabel 1  Definisi operasional peubah yang diamati
Tabel 1  Definisi operasional peubah yang diamati (lanjutan)
Gambar 2  Jumlah kasus AI per kabupaten di Provinsi Lampung tahun 2010-2011.
Gambar 3 Kasus AI berdasarkan jumlah kasus per kecamatan di Provinsi
+7

Referensi

Dokumen terkait

If Edukasi is Sedikit Mengerti and Item is Cukup and Keluarga is Tidak Lengkap then Keputusan NPC is Pergi ➔ Min 1, 0, 0.67 = 0 Rule 63: If Edukasi is Sedikit Mengerti and Item is

Karena produk BolPud Meleleh adalah makanan yang dapat disukai oleh setiap kalangan pembeli dari muda hingga tua, atau yang kurang mampu hingga kaya, tapi jika lebih di fokuskan lebih

dengan potensi sumberdaya alam yang dapat diakses oleh masyarakat dan.. relatif sangat melimpah pada sektor-sektor pertanian, perkebunan,

yang ditunjuk olehnya terhadap suatu rencana untuk melakukan usaha peternakan dengan mencantumkan kewajiban yang harus dipenuhi sebagai syarat untuk dapat

fasilitas yang aman dan nyaman untuk saya bekerja. Peraturan yang ada di perusahaan tidak menyulitkan saya dalam bekerja. Saya dapat berkomunikasi dan bekerja sama

- Mencari data di Internet atau buku yang berkaitan dengan Rumah susun.. LTP 73 – SANTIKA RESTI | 9 - Mencari data mengenai standar dimensi yang dibutuhkan

Dokumen yang telah selesai dibuat dengan menggunakan falitas mail Merge dan siap untuk dicetak, sebaiknya terlebih dahulu harus digabungkan ke dalam sebuah dokumen

Berdasarkan hasil validasi pengembangan Lembar Kegiatan Peserta Didik (LKPD) dengan pendekatan Science, Environment, Technology and Society (SETS) pada mata