Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
AHMAD FARHAN SUBHI
NIM : 1612048000004
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM DOUBLE DEGREE ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
Kelembagaan Negara, Program Double Degree Ilmu Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H / 2014 M. vi + 86 halaman + 25 Lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan hukum calon Presiden dan Wakil Presiden dan Partai Politik Peserta Pemilu. Karena masyarakat masih kurang memahami tentang kedudukan hukum calon Presiden dan Wakil Presiden dan Partai Politik Peserta Pemilu. Terdapat pengaturan mengenai pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, yakni di dalam norma Pasal 9 dan Pasal 14 ayat (2) yang tidak sesuai dengan norma Pasal 22E ayat (3) dan norma Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945. Penulis memilih obyek penelitian yakni norma Pasal 9 dan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008. Penulis ingin mengetahui pengaturan Partai Politik Peserta Pemilu dalam pengusulan Calon Presiden dan Wakil Presiden dan pengaturan waktu pengusulan Calon Presiden dan Wakil Presiden.
Penelitian ini menggunakan metode sinkronisasi hukum dengan pendekatan yuridis normatif. Data diperoleh melalui draft perundang-undangan, buku atau literatur kepustakaan lainnya. Peraturan perundang-undangan dalam skripsi ini ialah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Hasil penelitian menunjukan bahwa: 1) Partai politik peserta pemilu dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008bukanlah lagi partai politik peserta pemilihan umum melainkan “mantan” partai politik peserta pemilihan umum; dan 2) Waktu pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 adalah sebelum pelaksanaan pemilihan umum DPR dan DPRD, bukan sebelum Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Maka apabila pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai Peserta Pemilihan Umum ingin dilaksanakan oleh Partai Politik Peserta Pemilu, maka harus dilaksanakan sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum DPR dan DPRD.
Kata kunci : Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008.
i
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, ungkapan rasa syukur senantiasa penulis panjatkan kepada
Allah Swt atas segala ni’mat dan karunia-Nya yang tiada tara, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan penuh perjuangan dan semangat bergelora. Untaian
shalawat beriringkan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad
Saw, seorang pahlawan revolusioner dunia yang berjuang demi tegaknya agama, dan
teriring pula salam kepada keluarga-Nya, para sahabat dan pengikut-Nya yang
senantiasa ta’at dan setia kepada-Nya.
Penulis menyadari bahwa berbagai macam kesulitan dan hambatan turut
menyertai langkah penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, namun langkah
tersebut berujung pada jalan kemudahan yang lahir berkat bantuan dan dukungan
serta bimbingan dan arahan yang bermanfa’at dari berbagai pihak, baik pihak luar
maupun pihak keluarga.
Dengan demikian, pada kesempatan yang baik ini penulis mengungkapkan
rasa terima kasih disertai dengan rasa hormat dan penghargaan yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, M.A., Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
ii
dan Ismail Hasani, S.H., M.H., Sekretaris Program Double Degree Ilmu Hukum.
4. Dr. Sodikin, S.H., M.H., M.Si. Selaku pembimbing skripsi penulis, yang telah
bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada
penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik, semoga beliau
selalu dalam lindungan dan kasih sayang Allah Swt.
5. Seluruh dosen Program Double Degree Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu
dan pengetahuan selama penulis menekuni studi Strata Satu (S-1) yang kedua di
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
ini. Kepada para Pimpinan dan Civitas Akademika Fakultas Syariah dan Hukum
yang telah menyediakan fasilitas belajar dan mengajar dengan baik. Serta Staff
Perpustakaan, baik Perpustakaan Utama maupun Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum yang telah menyediakan sarana perpustakaan dengan baik sehingga
memudahkan penulis dalam mencari data kepustakaan.
6. Terlebih dan teristimewa untuk Ayahanda K.H. M. Ridwan Abdullah, S.Pd.I, dan
Ibunda Sri Mulyani, S.Pd.I tercinta, yang telah merawat, mengasuh dan mendidik
penulis dengan penuh cinta dan kasih sayang serta memberikan dukungan, do’a
dan pengorbanan yang tak terhingga sehingga penulis bisa menjadi seperti
sekarang ini, rasa hormat dan terimakasih yang tiada tara untukmu ayah dan ibuku.
iii
Kong. H. Muhammad bin Manah yang senantiasa memberikan do’a dan dukungan
kepada penulis di setiap perkumpulannya.
7. Para guru, asatidz dan keluarga besar Pondok Pesantren al-Islamiy as-Salafiy
Ar-Ridwan, khususnya kepada Abah K.H. Zainal Abidin, S.Ag, yang telah mendidik
dan membekali penulis ilmu agama dan dasar kepribadian yang baik,
mudah-mudahan ilmu yang telah diberikan menjadi ilmu yang bermanfaat bagi penulis
dan dapat penulis berikan manfaat pula untuk orang banyak.
8. Teman-teman seperguruan dan seperjuangan Program Double Degree Ilmu
Hukum angkatan 2012, Helmi, Rouf, Ihsan, Andre dan Mba Nisa serta
teman-teman karib penulis lainnya. Juga kakak kelas penulis yang telah bersedia menjadi
teman berdiskusi dan bertukar informasi penulis khususnya mengenai persoalan
pada skripsi penulis, Mas Atho, Mas Fathuddin, Bang Rusydi, Habib Agis Assegaf
dan yang lainnya. Terimakasih atas bantuan dan dukungan dari kalian semua, serta
atas kebersamaan dalam sebuah persahabatan yang selama ini terjalin di antara
kita, semoga persahabatan kita ini akan terus terjalin dengan baik walaupun
terdapat jarak dan waktu diantara kita. Tak lupa pula teman-teman berkumpul dan
berdiskusi pada forum PALAPA, PUKKANSI dan IBNU SINA 23, yang telah
iv
ungkapkan, semoga semua itu dapat diterima sebagai amal baik disisi Allah Swt,
serta memperoleh balasan berupa pahala yang berlipat ganda.
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan
penyempurnaan skripsi ini, mengingat banyak sekali kekurangan di dalamnya.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat, khususnya bagi penulis
dan umumnya bagi pembaca. Amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 05 Mei 2014.
v
DAFTAR ISI ……… v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……….. 8
C. Tujuan dan ManfaatPenelitian ………. 9
D. Metode Penelitian ……… 10
E. Review Studi Terdahulu ……….. 15
F. Kerangka Teori ……… 18
G. Sistematika Penulisan ……….. 29
BAB II PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA A. Demokratisasi Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ………. 31
B. Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Sebelum Amandemen UUD 1945 ………..……… 39
vi
B. Kedudukan Hukum Calon Presiden dan Wakil Presiden …. 58
C. Pengertian Partai Politik Peserta Pemilu ………... 60
D. Kedudukan Hukum Partai Politik Peserta Pemilu ………... 65
E. Pengusulan Calon Presiden dan Wakil Presiden oleh
Partai Politik ……….. 67
BAB IV ANALISIS PENGUSULAN CALON PRESIDEN DAN
WAKIL PRESIDEN MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 42 TAHUN 2008
A. Pengaturan Partai Politik Peserta Pemilu dalam Pengusulan
Calon Presiden dan Wakil Presiden ……….. 70
B. Pengaturan Waktu Pengusulan Calon Presiden dan Wakil
Presiden ………. 71
C. Analisis Penulis ………. 73
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 77
B. Saran-saran ... 79
1
BAB 1 PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah
Gerakan reformasi yang menjanjikan pembaharuan dengan semboyan
demokrasi dan kebebasan mampu menghimpun kekuatan untuk menumbangkan
kekuatan orde baru yang otoriter dan tidak demokratis. Hasilnya, pada zaman
reformasi ini terjadilah euforia demokrasi dan kebebasan yang merasuki semua
bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga berdampak pula pada upaya
dilakukannya perubahan atau pergantian terhadap konstitusi atau dasar
penyelenggaraan Negara.1
Pada dasarnya, konstitusi adalah suatu dokumen penting yang mengandung
peraturan-peraturan dasar mengenai struktur pemerintahan, hak dan kewajiban serta
pembatasan dari kewenangan Negara. Karena konstitusi merupakan hukum dasar
(grundnorm), maka secara lebih luas bias berwujud teks tertulis (written texts) dan
tidak tertulis (unwritten texts), hal tersebut tergantung pada sistem hukum yang dianut
antara Civil Law atau Common Law.2
Konstitusi Negara Republik Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945
yang pertama kali berlaku dan disahkan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu sehari setalah kemerdekaan Negara
1
M. Dimyati Hartono, Problematik dan Solusi Amandemen Undang-Undang Dasar 1945,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 30. 2
Republik Indonesia diproklamasikan oleh Soekarna dan Mohammad Hatta pada
tanggal 17 Agustus 1945.3
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia merdeka, telah tercatat beberapa
upaya (a) Pembentukan Undang-Undang Dasar, (b) Pergantian Undang-Undang
Dasar, (c) Perubahan dalam arti pembaruan Undang-Undang Dasar. 4
Negara Republik Indonesia mengalami empat kali perubahan atau pergantian
konstitusi dalam kurun waktu 15 tahun (1945-1959), dan empat kali perubahan
(amandemen) konstitusi selama 2 tahun (1999-2002) yakni perubahan I-IV
Undang-Undang Dasar 1945.5
Dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang ketiga, dinyatakan
bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum.6 Demokrasi berkaitan erat dengan
prinsip penyelenggaraan negara hukum dengan alasan bahwa dalam literasi
demokrasi, pemilihan umum merupakan salah satu dari sembilan prinsip negara
hukum.7 Pemilihan umum rakyat merupakan bagian dari pelaksanaan prinsip
demokrasi,8 dimana rakyat dapat memilih pemimpin Negara atau wakil-wakilnya
3
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 32. 4Ibid,
h. 41. 5
Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 22.
6
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Lihat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, cet. X, (Jakarta: Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), h. 64.
7
Ali Masykur Musa, Sistem Pemilu: Proporsional Terbuka Setengah Hati, (Jakarta: Pustaka
Indonesia Satu (PIS) kerja sama Parliamentary Support and Public Participation, 2003), h. 162. 8
yang berhak membuat suatu kebijakan berdasarkan kehendak rakyat yang digariskan
oleh pemimpin Negara atau wakil-wakil rakyat tersebut.
Hakikat pemilihan umum adalah sebagai sarana demokrasi yang intinya
untuk menyelenggarakan suatu pemerintahan negara oleh, dari, dan untuk rakyat.9
atau dengan kata lain mewujudkan kedaulatan yang berada ditangan rakyat dalam
bingkai negara hukum yang bersifat demokratis.
Demokrasi menjadi sebuah acuan moralitas dalam setiap kebijakan negara
yang menyangkut kepentingan rakyat. Maka lazimnya setiap orang dan kelompok
masyarakat ikut berpartisipasi dalam menentukan kebijakan publik dan memperoleh
peluang yang sama untuk memperoleh manfaat dari kebijakan publik tersebut,
sehingga pengaturan penyelenggaraan pemilihan umum dalam bingkai demokrasi,
baik itu pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan pasangan Presiden dan Wakil
Presiden, harus sesuai dengan kehendak rakyat, menjamin hak-hak asasi manusia dan
tidak diskrimanatif.10
Demokrasi di Indonesia adalah demokrasi yang dibingkai dengan
norma-norma konstitusi.11 Oleh karena itu, agar derap demokrasi dapat berputar sesuai
sumbu konstitusi, maka demokrasi itu harus dijaga. Pelaksanaan demokrasi konstitusi
9
Kwik Kian Gie, Kebijakan Ekonomi-Politik dan Hilangnya Nalar, (Jakarta: Kompas, 2006),
h. 160. 10
A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 180. 11
terihat dalam kegiatan pemilihan umum, pembentukan aturan dan pelaksanaan
kewenangan lembaga Negara.12
Selanjutnya, untuk menyelenggarakan pemilihan umum secara demokratis
pada Negara hukum ini, dibentuklah sebuah aturan atau undang-undang yang
mencakup segala hal mengenai persyaratan maupun tekhnis pelaksanaan pemilu.
Dalam hal pemilihan umum presiden dan wakil presiden, dibentuk Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 yang kemudian diamandemen oleh
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden, yang selanjutnya disebut UU Pilpres ini, terdapat
beberapa hal tekhnis yang diatur untuk menyelenggarakan pemilihan umum Presiden
dan Wakil Presiden, salah satunya ialah mengenai tekhnis pencalonan Presiden dan
Wakil Presiden.
Pasal 8 UU Pilpres menjelaskan bahwa calon Presiden dan calon Wakil
Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai
Politik.
Selanjutnya Pasal 9 UU Pilpres menjelaskan bahwa Pasangan Calon
diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta Pemilu yang
memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari
jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah
12
nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden. Serta pada Pasal 13 ayat (1) UU Pilpres dijelaskan bahwa Bakal
Pasangan Calon didaftarkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik.
Apabila Pasal 1 ayat (4), Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 13 ayat (1) UU Pilpres
tersebut dibaca secara bersamaan berarti pemahamannya jelas bahwa satu-satunya
mekanisme atau jalur untuk menjadi Calon Presiden dan Wakil Presiden adalah
melalui usulan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu. Dengan kata
lain, hak untuk mengajukan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden adalah hak
eksklusif partai peserta pemilu dan tidak diperkenankan atau tidak ada kemungkinan
sama sekali bagi Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden perseorangan atau
independen di luar dari yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik
tersebut, dan yang diusulkan oleh organisasi non-partai.13
Kemudian dapat difahami pula dari Pasal 9 UU Pilpres di atas, bahwa
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi
paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR-RI atau memperoleh 25 persen dari
suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR-RI, sebelum pelaksanaan Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden. Ini berarti bahwa berdasarkan hukum positif
13
Presidential Threshold di Indonesia sebesar 25 persen suara sah nasional dari hasil
pemilu legislatif atau 20 persen kursi parlemen yang terpilih.14
Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
menyebutkan bahwa “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum”. Maka berdasarkan ketentuan ini, semua partai politik
atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mengusulkan pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden.15 Namun tidak semua partai politik peserta pemilu
dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, melainkan hanya
partai politik peserta pemilu yang memperoleh kursi paling sedikit 20 persen dari
jumlah kursi DPR-RI atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam
Pemilu anggota DPR-RI, sesuai dengan ketentuan Presidential Threshold.
Selanjutnya, mengenai pelaksanaan waktu pengusulan calon Presiden dan
Wakil Presiden dalam Pasal 9 UU Pilpres apabila dikaitkan dengan Pasal 6A ayat (2)
UUD NRI 1945, maka menimbulkan sebuah pertanyaan, yakni apakah waktu
pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden sebagaimana dalam Pasal 9 UU Pilpres sesuai dengan pengaturan
waktu pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden yang dimaksudkan oleh Pasal
6A ayat (2) UUD NRI 1945, yakni sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
14 Shanti Dwi Kartika, “Presidential Threshold dalam Revisi UU Pilpres”,
jurnal diakses
pada tanggal 11 Desember 2013 dari
http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/info_singkat/Info%20Singkat-V-14-II-P3DI-Juli-2013-41.pdf. 15
Ign Ismanto, dkk,Pemilihan Presiden Secara Langsung 2004: Dokumentasi, Analisis, dan
Juga terkait dengan kedudukan partai politik peserta pemilu yang
dimaksudkan oleh Pasal 9 UU Pilpres, apakah sesuai dengan yang diatur oleh Pasal
22E ayat (3) UUD NRI 1945, yakni adalah partai politik peserta pemilihan umum
untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, karena hal tersebut sangat berpengaruh di dalam proses pencalonan
Presiden dan Wakil Presiden.
Pengaturan Pasal 9 UU Pilpres tersebut haruslah sesuai dengan konstitusi
Republik Indonesia yang menjamin adanya hak-hak warga negara berupa persamaan
kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan yang diakui secara normatif dan
dilaksanakan secara empirik,16 sebagaimana yang telah digariskan dalam Pasal 27
ayat (1), selain itu pula konstitusi Republik Indonesia menjamin adanya hak untuk
memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum [Pasal 28D ayat (1)], dan hak untuk
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan [Pasal 28D ayat (3)], serta
hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi [Pasal 28 I ayat (2)]. Semuanya itu
merupakan bentuk dari perwujudan kedaulatan rakyat yang telah digariskan dalam
Pasal 1 ayat (2).
Maka dengan demikian, pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden sebagai peserta pemilu dilakukan oleh partai politik peserta pemilu yang
diatur melalui UU Pilpres dan di lain sisi UUD NRI 1945 juga mengatur beberapa hal
terkait pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, seperti kedudukan partai politik
16
peserta pemilu dalam pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden dan waktu
pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Berdasarkan uraian diatas, penulis akan memfokuskan bahasan skripsi ini
pada permasalahan tersebut dengan judul skripsi: “PENGUSULAN PASANGAN CALON PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN SEBAGAI PESERTA PEMILU MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008”.
B. Pembatasan dan PerumusanMasalah
Untuk memudahkan penelitian ini dan tidak menimbulkan penafsiran yang
berbeda-beda, maka penulis memberikan batasan-batasan sebagai berikut:
1. Penelitian terhadap aturan yang mengatur mengenai pengusulan calon Presiden
dan Wakil Presiden sebagai peserta pemilu di Indonesia.
2. Perihal pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden yakni adalah mengenai
kedudukan partai politik peserta pemilu dalam pengusulan calon Presiden dan
Wakil Presiden dan waktu pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden.
3. Pembahasan terbatas pada penerapan hukum dalam Pasal 9 Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Selanjutnya, UUD NRI 1945 telah memberikan mandat kepada partai politik
peserta pemilu sebagai subyek yang berhak mengusulkan calon Presiden dan Wakil
Presiden dengan berdasarkan aturan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 yang
merupakan mandat dari UUD NRI 1945 untuk menjalankan pemilihan umum
UUD NRI 1945. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 seharusnya sesuai dan
tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945, namun terdapat pengaturan dalam
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, yakni di dalam norma Pasal 9 dan Pasal 14
ayat (2) yang tidak sesuai dengan norma Pasal 22E ayat (3) dan Pasal 6A ayat (2)
UUD NRI 1945. Maka dengan demikian, rumusan masalah tersebut penulis rangkum
dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kedudukan calon Presiden dan Wakil Presiden dan Partai Politik
Peserta Pemilu menurut perundang-undangan di Indonesia?
2. Bagaimanakah kedudukan partai politik peserta pemilu dalam pengusulan calon
Presiden dan Wakil Presiden menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008?
3. Bagaimanakah kedudukan waktu pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden
menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008?
C.Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian yang disusun oleh penulis ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui kedudukan calon Presiden dan Wakil Presiden dan Partai Politik
Peserta Pemilu menurut perundang-undangan di Indonesia.
2. Mengetahui kedudukan partai politik peserta pemilu dalam pengusulan calon
Presiden dan Wakil Presiden menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008.
3. Mengetahui kedudukan waktu pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden
Adapun manfaat yang didapat dari penelitian ini antara lain :
1. Memberikan stimulus kepada pihak yang terkait, dalam hal ini yang dimaksud
adalah para pihak yang berkompetensi untuk mengkaji dan melegitimasi hukum
terkait pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik.
2. Membuka wawasan kepada masyarakat mengenai pengusulan calon Presiden dan
Wakil Presiden oleh partai politik.
3. Pengembangan kualitas diri dan pengetahuan di bidang hukum bagi penulis
terutama di bidang hukum tata negara.
4. Dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian yang serupa di
masa mendatang.
5. Menambah literatur kepustakaan.
D.Metode Penelitian.
Untuk memperoleh bahan yang diperlukan di dalam penulisan skripsi ini,
penulis menggunakan metode sebagai berikut:
1. Penelitian dan Pendekatan
Penelitian memiliki arti dan tujuan sebagai “suatu upaya pencarian” dan tidak
hanya merupakan sekedar pengamatan dengan teliti terhadap suatu obyek yang
terlihat kasat mata.17
17
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: PT. Raja
Suatu penelitian ilmiah yang dilakukan oleh manusia bertujuan untuk
menyalurkan hasrat ingin tahunya yang telah mencapai taraf ilmiah, disertai dengan
suatu keyakinan bahwa setiap gejala akan dapat ditelaah dan dicari hubungan sebab
akibatnya, atau kecenderungan yang timbul, oleh karena itu, menurut H.L. Manheim,
bahwa suatu penelitian pada dasarnya usaha secara cermat dan teliti untuk
menyelidiki berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh suatu subjek ke dalam cara
berfikir ilmiah.18
Jenis penelitian yang diterapkan pada penyusunan skripsi ini adalah:
1. Penelitian kualitatif, yaitu suatu penelitian yang apabila jenis data dan analisa data
yang digunakan bersifat naratif, dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang
menggunakan penalaran.19
2. Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yakni penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder
belaka.20 Jenis Penelitian hukum normatif pada skripsi ini adalah penelitian hukum
normatif tertulis, yakni metode penelitian hukum terhadap aturan hukum yang
tertulis.21 Selanjutnya, penelitian hukum normatif tertulis pada skripsi ini berupa
sinkronisasi hukum, yakni penelitian untuk meneliti bagaimana hukum positif
tertulis yang ada dalam peraturan perundangan yang ada di Indonesia sesuai dan
18
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.III, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), 1986), h. 3.
19
H. Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (Jakarta: t.p, 2010), h. 26. 20
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Cet. VII, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 13-14. 21
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, cet. I, (Jakarta:
tidak saling bertentangan, baik secara vertical (hierarki) maupun secara
horizontal.22
Selanjutnya penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu
pendekatan yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau
norma-norma dalam hukum positif.23
2. Sumber Data
Dalam penelitian pada umumnya, data dapat dibedakan menjadi dua macam,
yakni data primer (data dasar) dan data sekunder. Data primer ialah data yang
diperoleh langsung dari masyarakat, sedangkat data sekunder ialah data yang
diperoleh dari bahan-bahan pustaka.24
Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup:25
1. Bahan Hukum Primer
Yaitu bahan hukum yang terdiri dari:
a. Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Peraturan Dasar, yaitu:
i. Batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), h. 294.
24
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
h. 12.
c. Peraturan perundang-undangan.26 Adapun peraturan perundang-undangan pada
skripsi ini antara lain:
1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden;
2) Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik;
3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah;
d. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti hukum adat;
e. Yurisprudensi;
f. Traktat;
g. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku seperti,
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan lain sebagainya.
2. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.
Seperti Rancangan Undang-Undang (RUU), hasil-hasil penelitian, hasil karya dari
26
Yang diurut berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan, sesuai dengan Pasal 7 ayat 1Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yakni:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan presiden
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
kalangan hukum, dan seterusnya.27
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah data yang dapat memberikan petunjuk atau penjelasan
terhadap data primer dan data sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan
lain-lain.28
3. Proses Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan
metode studi dokumentasi, yaitu dengan melihat dan mencari hal-hal atau variabel
berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, notulen,
rapat, agenda, dan sebagainya.29
4. Analisis Data
Selanjutnya dalam analisis data pada skripsi ini penulis akan melakukan
kegiatan antara lain sebagai berikut:
1.Mengumpulkan data, yakni data-data sekunder yang diperlukan dalam penulisan
skripsi ini berupa bahan hukum primer, sekunder maupun tersier.
2.Mengolah, menganalisis dan memberikan interpretasi terhadap data-data yang
telah dikumpulkan tersebut untuk dapat menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan dalam penelitian ini.
27
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h. 52. 28
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, h. 296. 29
5. Tekhnik Penulisan.
Adapun dalam tekhnik penulisan pada skripsi ini, penulis mempergunakan
tekhnik yang biasa digunakan dalam karya ilmiah yang dalam hal ini berpedoman
kepada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Cetakan pertama, tahun 2012.
E.Review Studi Terdahulu
Penulis melakukan review studi terdahulu untuk memastikan perbedaan serta
menampakan posisi akademis dari penelitian yang dijalankan agar tidak mengulang
kembali kajian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelum penelitian ini:
3. Tinjauan lebih
mendalam terhadap
perspektif
aturan-aturan atau kaidah
negara hukum.
peserta pemilu.
3. Tinjauan lebih
mendalam terhadap
ketentuan
Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil
Presiden.
F. Kerangka Teori 1. Negara Hukum
Istilah negara merupakan terjemahan dari beberapa kata asing, yakni state
(Inggris), staat (Belanda dan Jerman), atau etat (Perancis). Kata-kata tersebut berasal
dari kata latin status atau statum yang memiliki pengertian tentang keadaan yang
tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap.
Pengertian status atau statum lazim diartikan dalam bahasa inggris dengan standing
atau station (kedudukan). Istilah ini sering pula dihubungkan dengan kedudukan
atau status republicae. Dari pengertian yang terakhir inilah kata status selanjutnya
dikaitkan dengan kata negara.30
Sedangkan secara terminologi, negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di
antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita untuk bersatu, hidup di dalam
suatu kawasan dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat.31
Menurut Hans Kelsen, istilah negara terkadang digunakan dalam pengertian
yang sangat luas untuk menyebut masyarakat atau bentuk khusus dari masyarakat,
juga sangat sering digunakan dalam pengertian sempit untuk menyebut suatu organ
khusus masyarakat, misalnya pemerintah, atau para subyek pemerintah, bangsa, atau
wilayah yang mereka diami.32
Hans Kelsen memberikan sebuah definisi mengenai negara yakni komunitas
yang diciptakan oleh suatu tatanan hukum nasional (sebagai lawan dari tatanan
hukum Internasional), dan adapun negara sebagai badan hukum adalah suatu
personifikasi dari komunitas ini atau personifikasi dari tatanan hukum nasional yang
membentuk komunitas ini. Wujud empirik dari hukum positif adalah tatanan hukum
nasional yang satu sama lain dihubungkan oleh tatanan hukum internasional.33 Maka
dengan demikian, dapat diartikan pula negara sebagai tatanan perbuatan manusia atau
yang disebut dengan tatanan hukum, yakni tatanan yang menjadi pedoman bagi
30
A. Ubaedillah, dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, cet. III, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), h. 24.
31Ibid. 32
Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Penerjemah: Raisul Muttaqien, cet.
IV, (Bandung: Nusa Media, 2009), h. 261. 33Ibid
perbuatan-perbuatan tertentu manusia dan ide bagi para individu untuk menyesuaikan
perbuatannya.34
Negara hukum adalah istilah bahasa Indonesia yang terdiri dari dua suku kata,
yakni negara dan hukum. Padanan kata ini menunjukan bentuk dan sifat yang saling
mengisi antara Negara di satu pihak dan hukum pada pihak yang lain. 35
Adapun tujuan Negara adalah untuk memelihara ketertiban hukum
(rechtsorde). Oleh karena itu, dapat diartikan bahwa negara hukum adalah negara
yang membutuhkan hukum dan sebaliknya pula hukum dijalankan dan ditegakkan
melalui otoritas negara.36
Pengertian negara hukum adalah merupakan lawan dari pengertian negara
kekuasaan (machtsstaat), dasar pikiran yang mendukungnya ialah kebebasan rakyat
(liberte du citoyen), bukannya kebesaran negara (gloire de I’etat).37
Menurut Wirjono Prodjodikoro, negara hukum berarti suatu negara yang di
dalam wilayahnya adalah:
a. Semua alat-alat perlengkapan dari negara, khususnya alat-alat perlengkapan dari
pemerintah dalam tindakannya baik terhadap warga negara maupun dalam saling
berhubungan masing-masing, tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus
memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku;
b. Semua orang (penduduk) dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada
peraturan-peraturan hukum yang berlaku.38
Adapun menurut Franz MagnisSuseno, dari segi moral politik terdapat empat
alasan utama untuk menuntut agar negara diselenggarakan dan dijalankan tugasnya
berdasarkan: (1) kepastian hukum; (2) tuntutan perlakuan yang sama; (3) legitimasi
demokratis; (4) tuntutan akal budi. Berdasarkan hal demikian, selanjutnya Prof.
Magnis memberikan penjelasan mengenai ciri-ciri negara hukum yang secara etis
relevan, antara lain: (1) kekuasaan dijalankan sesuai dengan hukum positif yang
berlaku; (2) kegiatan negara berada dibawah control kekuasaan kehakiman yang
efektif; (3) berdasarkan sebuah Undang-Undang Dasar yang menjamin hak-hak asasi
manusia; dan (4) menurut pembagian kekuasaan.39
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan
bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum.40 Pasal ini mengandung makna
perwujudan Indonesia yang diidealkan dan dicita-citakan, karena itu selayaknya
diadakan eksplorasi mengenai reformasi hukum dan konstitusi, serta bentukan cita
negara hukum dituju agar dapat mewujudkan Indonesia yang demokratis,
berkeadilan, dan berakhlak.41
38
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Ilmu Negara dan Politik, (Bandung: Eresco, 1971), h. 38. 39
Franz Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), h. 295-298. 40
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Lihat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, h. 64.
41
Miriam Budiardjo menjelaskan mengenai sistem pemerintahan Negara
Indonesia dengan mengacu kepada Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, yang
salah satunya yaitu Negara Indonesia berdasar atas Hukum (Rechtsstaat) tidak
berdasar atas kekuasaan belaka (Machtsstaat).42
Menurut Stahl, sebagaimana yang dikutip oleh Majda El-Muhtaj, terdapat
empat unsur berdirinya Rechtsstaat atau negara hukum, yaitu:
1. Hak-hak manusia;
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;
3. Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan;
4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.43
Adapun ciri-ciri Rechtsstaat menurut Ni’matul Huda, antara lain sebagai
berikut:
1. Adanya Undang-Undang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis
tentang hubungan antara penguasa dan rakyat.
2. Adanya pembagian kekuasaan negara.
3. Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.44
Selanjutnya, Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa terdapat beberapa prinsip
pokok sebagai pilar-pilar utama yang menyangga negara modern yang layak
menyandang gelar sebagai negara hukum, diantaranya adalah:45
42
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 106.
43
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, h. 23.
44 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia,
cet. VI, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 82.
45
1. Supremasi Hukum (supremacy of law)
2. Persamaan dalam hukum (equality before the law)
3. Asas legalitas (due process of law)
4. Pembatasan kekuasaan
5. Organ-organ ekskutif Independen
6. Peradilan bebas dan tidak memihak
7. Peradilan tata usaha Negara
8. Peradilan Tata Negara (constitutional court)
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia
10. Bersifat demokratis (democratiche rechtsstaat)
11. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan berbegara (welfare state)
12.Transparansi dan kontrol sosial.
2. Demokrasi
Secara etimologi, kata demokrasi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani,
yakni “demos” (rakyat) yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat, dan “cratos”
atau “cratein”” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan.46 Jadi, “demos-cratein” atau
“demos-cratos” (demokrasi) adalah kekuasaan atau kedaulatan rakyat, kekuasaan
tertinggi berada dalam keputusan rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan berasal dari
rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.47
46
A. Ubaedillah, dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, h. 131.
47
Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
Secara terminologi, demokrasi adalah suatu keadaan negara di mana dalam
sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi
berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan
kekuasaan oleh rakyat.48
Menurut Henry B. Mayo, demokrasi didasari oleh beberapa nilai:
1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga;
2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang
sedang berubah;
3. Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur;
4. Membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum;
5. Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman dalam masyarakat
yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan, serta tingkah laku;
6. Menjamin tegaknya keadilan.49
Negara Republik Indonesia pernah menerapkan beberapa macam bentuk
demokrasi, sebagaimana Miriam Budiardjo menjelaskannya dalam sejarah demokrasi
Negara Republik Indonesia, antara lain sebagai berikut:
2) Masa Republik Indonesia I (1945-1959), yaitu masa Demokrasi Konstitusional
yang menonjolkan peranan parlemen serta partai-partai dan yang karena itu dapat
dinamakan Demokrasi Parlementer.
48
A. Ubaedillah, dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, h. 131.
49
3) Masa Republik Indonesia II (1959-1965), yaitu masa Demokrasi Terpimpin yang
dalam banyak aspek telah menyimpang dari demokrasi konstitusional yang secara
formal merupakan landasannya, dan menunjukan beberapa aspek demokrasi
rakyat.
4) Masa Republik Indonesia III (1965-1998), yaitu masa Demokrasi Pancasila yang
merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial.
5) Masa Republik Indonesia IV (1998-Sekarang), yaitu masa reformasi yang
menginginkan tegaknya demokrasi di Indonesia sebagai koreksi terhadap
praktik-praktik politik yang terjadi pada masa Republik Indonesia III.50
Sebuah organisasi pakar hukum Internasional, International Commission of
Jurists (ICJ) secara intens melakukan kajian terhadap konsep negara hukum dan
unsur-unsur esensial di dalamnya.51 Komisi ini merumuskan syarat-syarat
pemerintahan demokratis di bawah rule of law52, yakni:
1. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individual,
konstitusi harus pula menentukan tekhnis-prosedural untuk memperoleh
perlindungan atas hak-hak yang dijamin;
2. Lembaga kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
3. Pemilihan umum yang bebas;
4. Kebebasan menyatakan pendapat;
50
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 127-128. 51
P.S. Atiyah, Law and Modern Society, (Oxford: Oxford University Press, 1995), h. 106. 52
Albert Venn Dicey memperkenalkan istilah rule of law yang secara sederhana diartikan
dengan keteraturan hukum. Lihat Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, h.
5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi;
6. Pendidikan kewarganegaraan.53
Adapun unsur-unsur yang diperlukan bagi tegaknya suatu negara yang
demokratis adalah:54
1. Partai Politik
Partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah
untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya
dengan cara konstitusional) untuk melaksanakan programnya.55
Mengenai hakikat kekuasaan partai politik, Radbruch sebagaimana dikutip
oleh Harun Alrasid, menyatakan bahwa kekuasaan rakyat berarti kekuasaan partai
politik dan menentang eksistensi partai politik berarti menentang demokrasi.56
Adapun fungsi partai politik adalah:57
1. Sarana komunikasi politik;
2. Sarana sosialisasi politik;
3. Sarana rekrutmen kader dan anggota politik;
4. Sarana pengatur konflik.
53
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, h. 27. 54
A. Ubaedillah, dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, h. 148-157.
55
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 403-404. 56
Harun Alrasid, “Masalah Pengisian Jabatan Presiden Sejak Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 1945 Sampai Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat 1993”, (Disertasi S3 Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, 1993), h. 40.
57
Partai politik memegang peranan dalam mengadakan pemilihan umum di
negara demokrasi.58 Maka dapat dikatakan bahwa partai politik merupakan salah satu
elemen terpenting didalam pelaksanaan pemilihan umum, khususnya pemilihan
umum Presiden dan Wakil Presiden. Hal tersebut terbukti dalam salah satu pasal di
dalam ketentuan Undang-Undang59 yakni bahwasanya calon Presiden dan calon
Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan
Partai Politik. Maka dapat difahami bahwa terdapat fungsi lainnya dari partai politik,
yakni adalah untuk mengajukan calon-calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh
rakyat sehingga dapat mengontrol atau mempengaruhi tindakan-tindakan politik.60
2. Pemilihan Umum (Pemilu)
Hal lain yang diperlukan bagi tegaknya sebuah Negara yang demokratis
sekaligus dapat mencegah terjadinya penyelewengan kekuasaan dalam sistem yang
demokratis adalah adanya mekanisme pelaksanaan pemerintahan atas dasar
prinsip-prinsip demokrasi, mekanisme itu antara lain melalui pemilihan umum (pemilu) yang
dilaksanakan secara teratur serta kompetisi yang terbuka dan sederajat diantara
partai-partai politik.61
Hans Kelsen menjelaskan bahwa prinsip demokrasi dari penentuan kehendak
sendiri, dibatasi kepada prosedur pencalonan organ-organ khusus (perwakilan).
58 Harun Alrasid, “Masalah Pengisian Jabatan Presiden Sejak Sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia 1945 Sampai Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat 1993”, h. 40.
59
Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
60
Syamsuddin Haris, Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai: Proses Nominasi dan Seleksi Calon Legislatif Pemilu 2004, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005),h. 243.
61
Bentuk pencalonan yang demokratis adalah pemilihan. Apabila pada kenyataannya
pemilihan tersebut tidak mencerminkan kehendak dari mayoritas pemilih atau yang
tanggung jawabnya kepada para pemilihnya tidak dapat ditegakkan, maka bukanlah
perwakilan yang sesungguhnya.62
Berdasarkan beberapa hal yang telah dijelaskan di atas, maka dapat difahami
bahwa prinsip demokrasi dalam pelaksanaannya mesti diletakan diatas prinsip-prinsip
moral yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai kodrat yang
diberikan Tuhan. Penghargaan dan penerapan kebebasan, persamaan, dan partisipasi
politik melalui pemilu dan melalui perwakilan rakyat yang representatif diwujudkan
dalam mekanisme partai politik sebagai salah satu wadah penyelenggara pemilu
rakyat yang tentunya tidak akan lepas dari peran dan dukungan rakyat sebagai warga
negara.63
Maka dengan demikian, partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi
mempunyai wewenang untuk melakukan seleksi calon Presiden dan Wakil Presiden.
hal demikian sebagaimana pada umumnya praktik pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden di Negara Demokrasi.64
Demokrasi Negara Republik Indonesia ditunjukan dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni kedaulatan berada di tangan
62
Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Penerjemah: Raisul Muttaqien, h.
409. 63
Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 192.
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar atau konstitusi.65 Oleh
karena itu, agar derap demokrasi dapat berputar sesuai sumbu konstitusi, maka
pelaksanaan demokrasi yang diwujudkan dengan diselenggarakannya pemilihan
umum, pembentukan aturan dan pelaksanaan kewenangan lembaga Negara harus
berdasarkan konstitusi.66
G.Sistematika Penulisan.
Adapun sistematika penulisan dalam penyusunan skripsi ini terdiri dari lima
bab, yang perinciannya sebagai berikut:
Bab pertama berisi tentang pendahuluan yang mencakup latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian, review studi terdahulu, kerangka teori dan sistematika penulisan.
Bab kedua berisikan tentang demokratisasi pemilihan umum Presiden dan
Wakil Presiden, pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden sebelum
amandemen UUD 1945 dan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden sesudah
amandemen UUD 1945.
Bab ketiga berisikan penjelasan mengenai pengertian calon Presiden dan
Wakil Presiden, kedudukan hukum calon Presiden dan Wakil Presiden dan
menjelaskan pula mengenai pengertian partai politik peserta pemilu dan kedudukan
65
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Lihat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, h. 64.
66
hukum partai politik peserta pemilu serta pengusulan calon Presiden dan Wakil
Presiden oleh partai politik.
Bab keempat menjelaskan tentang pengaturan partai politik peserta pemilu
dalam pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden, pengaturan waktu pengusulan
calon Presiden dan Wakil Presiden dan analisis penulis.
Bab kelima menjelaskan tentang bagian akhir dari pembahasan skripsi ini
31
A. Demokratisasi Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
Secara etimologi, demokrasi ialah kekuasaan atau kedaulatan rakyat,
kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan
berasal dari rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.1
Sedangkan secara terminologi, demokrasi adalah suatu keadaan negara di
mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan
tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan
rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.2
Sebagaimana telah kita ketahui, bahwasanya organisasi pakar hukum
Internasional, International Commission of Jurists (ICJ) yang secara intens
melakukan kajian terhadap konsep negara hukum dan unsur-unsur esensial di
dalamnya,3 telah merumuskan beberapa syarat pemerintahan demokratis di bawah
rule of law4, yakni sebagai berikut:
1
Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1999), h. 71. Lihat juga Miriam Budiarjo, Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 50.
2
A. Ubaedillah, dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, cet. III, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), h. 131.
3
P.S. Atiyah, Law and Modern Society, (Oxford: Oxford University Press, 1995), h. 106. 4
Albert Venn Dicey memperkenalkan istilah rule of law yang secara sederhana diartikan dengan keteraturan hukum. Lihat Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia,
1. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individual,
konstitusi harus pula menentukan tekhnis-prosedural untuk memperoleh
perlindungan atas hak-hak yang dijamin;
2. Lembaga kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
3. Pemilihan umum yang bebas;
4. Kebebasan menyatakan pendapat;
5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi;
6. Pendidikan kewarganegaraan.5
Lalu terdapat pula unsur-unsur yang diperlukan bagi tegaknya suatu negara
yang demokratis, sebagaimana yang dikemukakan oleh Tim Indonesian Center for
Civic Education (ICCE) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yakni adalah:
1. Partai Politik;
2. Pemilihan Umum (Pemilu)6
Dengan demikian dapat difahami bahwa pemilihan umum merupakan salah
satu syarat dan unsur terbentuknya pemerintahan atau negara yang demokratis. Hal
tersebut tidak lepas pula dari peranan partai politik sebagai unsur lainnya yang
membentuk pemerintahan atau negara demokratis.
Jimly Asshiddiqie, menjelaskan bahwasanya hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh
dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan
5
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, h. 27. 6
prinsip demokrasi. Karena hukum memang tidak dimaksudkan untuk hanya
menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, melainkan menjamin
kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa terkecuali. Dengan demikian
negara hukum (rechtstaat) yang dikembangkan bukanlah absolute rechtstaat,
melainkan democratische rechtstaat atau negara hukum yang demokratis.7
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan
bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.8 Miriam Budiardjo menjelaskan
mengenai sistem pemerintahan Negara Indonesia dengan mengacu kepada Penjelasan
Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satunya yaitu Negara Indonesia berdasar
atas Hukum (Rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machtsstaat).9
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh H. Nur Ahmad Fadhil Lubis, di
dalam buku Shari’a and Politics in Modern Indonesia, yakni: "Constitutionally, the
conduct of the government is to be based on the rule of law, since Indonesia is a
rechtstaat (Negara hukum or a state based on law), not a machtstaat (a state based
on power), (Secara konstitusional, pelaksanaan pemerintah harus didasarkan pada
7
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 132. 8
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Lihat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, cet. X, (Jakarta: Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), h. 64.
9
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h.
aturan hukum, karena Indonesia adalah rechtstaat (negara hukum), bukan machtstaat
(negara yang berdasarkan kekuasaan)”.10
Selanjutnya, Indonesia dapat dikatakan sebagai democratische rechtstaat atau
negara hukum yang demokratis, sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Jimly
Asshiddiqie, apabila Indonesia mampu menjamin kepentingan akan rasa adil bagi
semua orang dengan tidak menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa,
karena agar tidak terjadi penyelewengan kekuasaan.
Untuk mewujudkan Negara Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis
dan adil tanpa adanya penyelewengan kekuasaan, maka perlu adanya suatu
mekanisme pelaksanaan pemerintahan atas dasar prinsip-prinsip demokrasi,
mekanisme itu antara lain melalui pemilihan umum (pemilu) yang dilaksanakan
secara teratur serta kompetisi yang terbuka dan sederajat diantara partai-partai politik
yang ada di Indonesia.11
Hal tersebut ditegaskan pula oleh pendapat Samuel Huntington dalam
bukunya Political Order in Changing Societies, sebagaimana yang dikutip oleh R.
Wiliam Liddle, ia mengugkapkan bahwa satu-satunya cara untuk menciptakan
pemerintahan yang stabil sekaligus demokratis adalah melalui organisasi politik.
10 H. Nur Ahmad Fadhil Lubis, “The States Legal Policy and The Develoment of Islamic Law
in Indonesian’s New Order”, dalam Arskal Salim dan Azyumardi Azra, ed., Shari’a and Politics in
Modern Indonesia, (Singapore: Institute of South Asian Studies (ISEAS), 2003), h. 52. 11
Organisasi yang dimaksudkan Huntington adalah partai politik, yaitu suatu lembaga
paling orisinal dalam sistem politik modern.12
Selanjutnya dapat difahami bahwa untuk dapat mewujudkan Negara Indonesia
sebagai negara hukum yang demokratis dan adil tanpa adanya penyelewengan
kekuasaan, selain harus diselenggarakannya partisipasi politik melalui pemilu dan
melalui perwakilan rakyat yang representative sebagaimana diwujudkan dalam
mekanisme partai politik sebagai salah satu wadah penyelenggara pemilu rakyat yang
tentunya tidak akan lepas dari peran dan dukungan rakyat sebagai warga negara, juga
harus diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip moral yang menjunjung tinggi hak
asasi manusia (HAM) sebagai kodrat yang diberikan Tuhan serta penghargaan dan
penerapan kebebasan dan persamaan.13
Maka dengan demikian, demokrasi di Indonesia diwujudkan dalam suatu
pemilihan umum yang digariskan dan diatur dalam konstitusi Negara, yakni
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilihan umum tersebut
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun
sekali,14 dan diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
12
R. William Liddle, Partisipasi dan Partai Politik, Penerjemah: Tim Penerjemah Pustaka Utama Garfiti, cet. I, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992) h. 13-14.
13
Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 192.
14
Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Lihat
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi,
Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.15
Sebelum Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung (oleh rakyat),
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, yakni sebelum amandemen UUD 1945
(amandemen ketiga), Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR.16 Adapun
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR kurang demokratis.17
Selanjutnya, dalam usaha untuk mewujudkan demokratisasi pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden, maka hanya dapat dilakukan melalui pembaharuan
UUD 1945. Pembaharuan UUD 1945 dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama,
pembaharuan dalam kerangka sistem UUD 1945. Kedua, pembaharuan di luar
kerangka sistem UUD 1945. Pembaharuan dalam kerangka sistem UUD 1945
dilakukan dengan pengembangan praktik ketatanegaraan baik dalam bentuk
kebiasaan ketatanegaraan maupun melalui berbagai peraturan perundang-undangan
biasa. Sedangkan Pembaharuan di luar kerangka sistem UUD 1945 hanya mungkin
dilakukan apabila ada perubahan resmi (amandemen resmi) terhadap UUD 1945,
khususnya ketentuan mengenai pemilihan Presiden. Perubahan ini seyogianya
menuju pada pemilihan langsung (popular vote) Presiden dan Wakil Presiden, dan
15
Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Lihat Ibid, h.
74. 16
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 204. 17
Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan, Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan
sepanjang ada keterbukaan, kebebasan, tidak ada tekanan, rakyat akan memilih
Presiden (dan Wakil Presiden) yang terbaik.18
Oleh karena telah disahkannya perubahan Keempat UUD 1945 dalam sidang
tahunan MPR 2002 maka mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara
langsung telah ditentukan secara final ketentuan pokoknya. Dalam rumusan Pasal 6A
ayat (4) yang sempat tertunda karena belum berhasil mendapatkan kesepakatan dalam
sidang tahunan MPR 2001 dinyatakan: “Dalam hal tidak ada pasangan Calon
Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara
terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum, dipilih oleh rakyat secara
langsung, dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai
Presiden dan Wakil Presiden.
Dengan demikian rumusan norma Pasal 6A selengkapnya berbunyi: “(1)
Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat; (2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan
umum; (3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara
lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan
sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari
setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden;
(4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua
18
Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan, Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan
pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam
pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh
suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden; (5) Tata cara
pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam
undang-undang”.19 Maka dengan demikian, secara khusus pemilihan umum Presiden
dan Wakil Presiden di Indonesia pada saat ini diatur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, sebagaimana mandat dari UUD NRI 1945.20
Hal ini menunjukan bahwa untuk pemilihan umum Presiden dan Wakil
Presiden telah berlaku mekanisme yang demokratis, adil dan sesuai dengan
konstitusi. Adapun pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang dimaksud ialah
pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.21 Dengan kata lain, pemilu Presiden dan
Wakil Presiden adalah pemilihan umum secara langsung untuk memilih jabatan
Presiden dan Wakil Presiden.22
19
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, h. 181-182. 20
Pasal 6A ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Lihat
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi,
h. 74. 21
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Lihat pula Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
22
B. Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Sebelum Amandemen UUD 1945
Pada masa Republik pertama (17 Agustus 1945 – 27 Desember 1949) yang
landasannya ialah UUD 1945, soal pengisian jabatan Presiden diatur dalam pasal 6
ayat (2), yakni: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat dengan suara yang terbanyak”.23
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat diketahui tiga hal, yakni:24
1. Jabatan Presiden diisi dengan cara pemilihan.
2. Sistem yang dipakai ialah sistem pemilihan tidak langsung. Rakyat memilih
terlebih dahulu wakil-wakilnya yang akan duduk di dalam suatu badan, yaitu
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kemudian selnjutnya badan tersebut yang
melakukan pemilihan Presiden. majelis tersebut bukan merupakan badan ad hoc
melainkan badan tetap yang selain berwenang memilih Presiden (dan Wakil
Presiden), juga mempunyai wewenang lain, yaitu menetapkan undang-undang
dasar, menetapkan garis besar haluan negara dan mengubah undang-undang dasar.
3. Cara mengambil keputusan digunakan asas suara terbanyak, dengan kata lain
melalui pemungutan suara. Hal tersebut menunjukan bahwa pembuat UUD 1945
mengantisipasi lebih dari satu orang calon Presiden. selanjutnya yang terpilih ialah
23 Harun Alrasid, “Masalah Pengisian Jabatan Presiden Sejak Sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia 1945 Sampai Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat 1993”, (Disertasi S3 Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, 1993), h. 45.
calon yang mendapatkan suara terbanyak, maksudnya adalah suara terbanyak
mutlak.
Namun teori di atas dengan praktiknya berbeda. Pada sidang pertama Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 1945, Soekarno dipilih sebagai Presiden
secara aklamasi.25 Hal tersebut dikarenakan hanya terdapat satu orang calon atau
calon tunggal untuk masing-masing jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Maka
dengan kata lain, PPKI di dalam rapatnya pada saat itu tidak mengadakan pemilihan
melainkan menyetujui dengan suara bulat pengangkatan Soekarno dan Mohammad
Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden pertama Republik Indonesia tanpa melalui
pemungutan suara sebagaimana lazimnya yang dilaksanakan pada setiap proses
pemilihan/pengambilan keputusan dengan suara terbanyak.26
Pada masa Republik kedua (27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950) yang
berdasarkan konstitusi RIS perihal pemilihan Presiden diatur di dalam Pasal 69 ayat
(2), yakni:
“Beliau (Presiden, pen.) dipilih oleh orang-orang yang dikuasakan oleh
pemerintah daerah-daerah bagian yang tersebut dalam Pasal 2. Dalam memilih Presiden, orang-orang yang dikuasakan itu berusaha mencapai
kata sepakat.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka terlihat bahwa pada masa ini pemilihan
dilaksanakan dengan sistem pemilihan yang tidak dilakukan oleh rakyat, baik secara
langsung maupun tidak langsung.pemilihan dilakukan oleh sebuah badan yang terdiri
25 Harun Alrasid, “Masalah Pengisian Jabatan Presiden Sejak Sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia 1945 Sampai Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat 1993”, h. 46. 26