• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Warga Binaan Terhadap Program Panti Sosial Karya Wanita Parawasa Berastagi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Respon Warga Binaan Terhadap Program Panti Sosial Karya Wanita Parawasa Berastagi"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

RESPON WARGA BINAAN TERHADAP PROGRAM PANTI

SOSIAL KARYA WANITA (PSKW) PARAWASA

BERASTAGI

D I S U S U N OLEH :

AMEDEO THEODORA MELIALA 040902030

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DA ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

Universitas Sumatera Utara

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial AMEDEO THEODORA MELIALA 040902030

ABSTRAK

RESPON WARGA BINAAN TERHADAP PROGRAM PANTI SOSIAL KARYA WANITA PARAWASA

BERASTAGI

(Skripsi terdiri dari 6 bab, 97 halaman, 45 tabel, 6 lampiran, serta 9 kepustakaan)

Panti Sosial Karya Wanita Parawasa merupakan sebuah tempat rehabilitasi para penyandang masalah Tuna Susila. Mencermati keberadaan WTS yang dulunya hanya berada di sekitar pelabuhan dan tempat industri, sekarang sudah merambah ke kota-kota kecil dan perbatasan kota atau propinsi, keadaan ini sangatlah memprihatinkan karena menimbulkan keresahan serta goncangan di dalam kehidupan, penghasilan masyarakat dan merupakan penghambat pembangunan masyarakat. Kegiatan keterampilan di dalm panti merupakan bekal keterampilan Warga Binaan pada waktu keluar dari panti.

Penelitian ini dilakukan di lokasi Panti Sosial Karya Wanita Parawasa yangn menjadi tempat aktifitas Warga Binaan yang direhabilitasi di Panti Sosial Karya Wanita Parawasa Berastagi. Tipe penelitian yang digunakan adalah bersifat Desktiptif dengan sempel pada penelitian ini adalah 20 orang. Teknik pengumpulan data dengan studi kepustakaan dan studi lapangan yaitu: wawancara dan kuesioner. Kemudian data disusun dalam bentuk tabulasi tabel tunggal, yang kemudian dianalisis menggunakan skala likert sehinga dapat diketahui hasil respon cenderung positif, netral atau negatif.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa rehabilitasi yang dilakukan oleh Panti Sosial Karya Wanita Parawasa Berastagi sangat dibutuhkan para penyandang masalah Tuna Susila karena dapat membina dan mengarahkan serta memberikan latihan keterampilan sehinga Warga Binaan memiliki bekal pada saat keluar dari panti.

(3)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCES DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE

AMEDEO THEODORA MELIALA 040902030

ABSTRACT

RESPONSE OF BUILT CITIZENS FOR WOMEN SOCIAL WORK PROGRAM IN PANTI SOSIAL KARYA WANITA

PARAWASA BERASTAGI

(Thesis cosists of 6 chapters, 97 pages, 45 tabels, 6 appendix, and 9 bibliography)

Panti Sosial Karya Wanita Parawasa is a place of rehabilitation of the physically prostitude problems. Considering the existence of prostitude women that used only in the vicinity of the port and the industry, now reaching into small towns and towns and border cities or provinces, this situation is concern due to unrest and tumoil in life, and the income of society which is community development blocks. Skills activities in the building home is equipped dalm for built citizens skills at the time out of the built.

This research was conducted at the location of Panti Sosial Karya Wanita Parawasa which is the plae of activities that rehabilitated citizens in Panti Sosial Karya Wanita Parawasa Berastagi. The type of research used o desktiptif with sample reseach are 20 people. Data collection techniques with the study of literature and field studies are : interviews and questionnaires. Then the data compiled in the form of single tabulation tabel, which then analyzed using a Likert scale so that it can be seen the results of respond is positively, neutral or negative.

Based on research results indicate that rehabilitation which conducted by the Panti Sosial Karya Wanita Parawasa Berastagi is needed by the persons which have prostitution problems because it can build and guide and provide skills training so that built citizens have equipped when out of the building.

(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur, penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,, yang atas berkat dan anugerah-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan

skripsi ini.

Skripsi ini merupakan tugas akhir yang diajukan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapat pengalaman yang

berguna, suka maupun duka serta kesulitan yang dialami. Namun, berkat dukungan dan dorongan semangat akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis banyak mmenerima bimbingan, arahan, nasehat dan juga bantuan dari berbagai pihak. Untuk

itu penulis menguccapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik

2. Bapak Drs. Matias Siagian, M.Si., selaku Ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial dan selaku Dosen pembimbing penulis yang telah

banyak memberikan bimbingan, nasehat, dan pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini

3. Seluruh Staf Edukatif dan Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, terutama kepada Dosen dan Staf Departemen Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

4. Teristimewa untuk Orang Tua saya R. Sembiring Meliala dan Ibu M. Br Sitepu, yang sudah membesarkan, mendidik, dan memberikan dukungan

(5)

5. Kepala Seksi PSKW Parawasa Berastagi, bapak Drs. Priah Banta Ginting

yang sudah memberikan bantuan, masukan dan juga nasehat kepada penulis selama penelitian. Dan kepada seluruh Staf, para Pembina panti

serta klien-klien PSKW Parawasa Berastagi

6. Kepada seluruh keluarga saya yang selama ini telah memberikan dukungan moral dan materi serta doanya

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, untuk itu penulis mohon maaf untuk segala kekurangan yang ada, oleh karena itu

penulis juga mengharapkan saran dan kritik yang membangun, karena hal tersebut juga merupakan masukan untuk yang lain nantinya.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dengan harapan semoga

Skripsi ini bermanfaat bagi semua yang membaca.

Medan, Maret 2010

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK……… i

KATA PENGANTAR………... iii

DAFTAR ISI………. v

DAFTAR BAGAN……… vii

DAFTAR TABEL……… viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang………. 1

1.2.Perumusan Masalah……….. 6

1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian……… 6

1.4.Sistematika Penulisan……….. 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Respon………. 8

2.2. Pengembangan Masyarakat………. 9

2.3. Prostitusi/ Pelacuran……… 25

2.4 Pemberdayaan Mantan WTS……….... 29

2.5. Kerangka Pemikiran……… 33

2.6. Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional……… 36

BAB III 3. METODE PENELITIAN 3.1. Tipe Penelitian………. 39

3.2. Lokasi Penelitian………. 39

3.3. Populasi dan Sampel……… 39

3.4. Tehnik Pengumpulan Data……….. 40

3.5. Tehnik Analisis Data……… 41

(7)

4.3. Landasan Hukum………. 43

4.4. Visi dan Misi……… 43

4.5. Kegiatan Harian PSKW Parawasa………... 44

4.6. Sarana dan Prasarana PSKW Parawasa………46

4.7. Tenaga Pelaksana dan Pegawai Panti……….. 48

4.8. Tugas Fungsi dan Tanggung Jawab……… 49

BAB V 5. ANALISIS DATA 5.1. Karateristik Umum………. 52

5.2. Respon Warga Binaan Terhadap Program Bimbingan PSKW Parawasa……….. 61

BAB IV 6. PENUTUP Kesimpulan………. 96

Saran……….. 97

(8)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1 Kerangka Pemikiran………. 35

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Jadwal Kegiatan Harian Warga Binaan PSKW Parawasa……….. 44

Tabel 4.2 Data Jumlah PNS PSKW Parawasa………. 48

Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Usia………. 52

Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Agama………. 53

Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Suku………. 54

Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir…………. 55

Tabel 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Status Perkawinan……… 56

Tabel 5.6 Distribusi Responden Berdasarkan Daerah Asal/ Tempat Tinggal……….. 57

Tabel 5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Lamanya Menjadi WTS……… 58

Tabel 5.8 Distribusi Responden Berdasarkan alasan Menjadi WTS………… 59

Tabel 5.9 Turut Tidaknya Responden Dalam Kegiatan Olah Raga di Dalam Panti………. 61

Tabel 5.10 Frekuensi Responden Terlibat Dalam kegiatan Olah Raga di Dalam Panti……… 62

Tabel 5.11 Tanggapan Responden Pada Waktu Mengikuti Kegiatan Olah Raga di Dalam Panti……….. 63

Tabel 5.12 Tanggapan Responden Waktu Mengikuti Kegiatan Olah Raga di Dalam Panti……….. 64

Tabel 5.13 Tanggapan Responden Mengenai Fasilitas Kegiatan Olah Raga di Dalam Panti……….. 65

Tabel 5.14 Tanggapan Responden Mengenai Manfaat Kegiatan Olah Raga di Dalam Panti……….. 66

Tabel 5.15 Turut Tidaknya Responden Bergabung Dalam Kegiatan Olah Raga di Dalam Panti………. 67

Tabel 5.16 Frekuensi Responden Bergabung Dalam Bimbingan Rohani di Dalam Panti………. 68

(10)

Tabel 5.18 Tanggapan Responden Terhadap Pengarahan Dan Bimbingan

Rohani di Dalam Panti……… 70 Tabel 5.19 Tanggapan Responden Terhadap Waktu Bimbingan Rohani

di Dalam Panti……….. 71 Tabel 5.20 Tanggapan Responden Terhadap Kapasitas Tempat Ibadah

di Dalam Panti………... 72 Tabel 5.21 Tanggapan Responden Terhadap Manfaat Bimbingan

Rohani di Dalam Panti……….. 73 Tabel 5.22 turut tidaknya responden bergabung dalam bimbingan

mental di Dalam Panti……….. 74 Tabel 5.23 Frekuensi Responden Dalam Bimbingan Mental

di Dalam Panti……….. 75 Tabel 5.24 Tanggapan Responde Pada Waktu Mengikuti Bimbingan

di Dalam Panti………. 76 Tabel 5.25 Tanggapan Responden Terhadap Pengarahan Dan Bimbingan

Mental di Dalam Panti………. 77 Tabel 5.26 Tanggapan Respondn Terhadap Waktu Bimbingan Mental

di Dalam Panti……….. 78 Tabel 5.27 Tanggapan Responden Terhadap Materi Bimbingan Mental

di Dalam Panti………. 79 Tabel 5.28 Tanggapan Responden Terhadap Bimbingan Mental Selama

di Dalam Panti………. 80 Tabel 5.29 Turut Tidaknya Responden Dalam Bimbingan Sosial

di Dalam Panti……….. 81 Tabel 5.30 Frekuensi Responden Bergabung Dalam Bimbingan

Sosial di Dalam Panti……….. 82 Tabel 5.31 Perasaan Responden Waktu Mengikuti Bimbingan

Sosial di Dalam Panti……… 83 Tabel 5.32 Tanggapan Responden Terhadap Pengarahan Dan

Bimbingan Sosial di Dalam Panti……….. 84 Tabel 5.33 Tanggapan Responden Terhadap Waktu Bimbingan

(11)

Tabel 5.34 Tanggapan Responden Terhadap Materi Bimbingan

Sosial di Dalam Panti……….. 86 Tabel 5.35 Tanggapan Responden Terhadap Manfaat Bimbingan

Sosial di Dalam Panti……….. 87 Tabel 5.36 Turut Tidaknya Responden Bergabung Dalam Latihan

Keterampilan di Dalam Panti……… 88 Tabel 5.37 Frekuensi Responden Bergabung Dalam Latihan

Keterampilan di Dalam Panti……….. 89 Tabel 5.38 Perasaan Responden Waktu Mengikuti Latihan

Keterampilan di Dalam Panti………. 90 Tabel 5.39 Tanggapan Responden Terhadap Waktu Latihan

Keterampilan di Dalam Panti………. 91 Tabel 5.40 Tanggapan Responden Terhadap Fasilitas

Untuk Latihan Keterampilan di Dalam Panti……….. 92 Tabel 5.41 Tanggapan Responden Terhadap Manfaat Latihan

Keterampilan Selama di Dalam Panti……….. 93 Tabel 5.42 Tanggapan Responden Terhadap Materi Latihan

Keterampilan di Dalam Panti……… 94 Tabel 5.43 Kegemaran Responden Terhadap Latihan Keterampilan

(12)

Universitas Sumatera Utara

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial AMEDEO THEODORA MELIALA 040902030

ABSTRAK

RESPON WARGA BINAAN TERHADAP PROGRAM PANTI SOSIAL KARYA WANITA PARAWASA

BERASTAGI

(Skripsi terdiri dari 6 bab, 97 halaman, 45 tabel, 6 lampiran, serta 9 kepustakaan)

Panti Sosial Karya Wanita Parawasa merupakan sebuah tempat rehabilitasi para penyandang masalah Tuna Susila. Mencermati keberadaan WTS yang dulunya hanya berada di sekitar pelabuhan dan tempat industri, sekarang sudah merambah ke kota-kota kecil dan perbatasan kota atau propinsi, keadaan ini sangatlah memprihatinkan karena menimbulkan keresahan serta goncangan di dalam kehidupan, penghasilan masyarakat dan merupakan penghambat pembangunan masyarakat. Kegiatan keterampilan di dalm panti merupakan bekal keterampilan Warga Binaan pada waktu keluar dari panti.

Penelitian ini dilakukan di lokasi Panti Sosial Karya Wanita Parawasa yangn menjadi tempat aktifitas Warga Binaan yang direhabilitasi di Panti Sosial Karya Wanita Parawasa Berastagi. Tipe penelitian yang digunakan adalah bersifat Desktiptif dengan sempel pada penelitian ini adalah 20 orang. Teknik pengumpulan data dengan studi kepustakaan dan studi lapangan yaitu: wawancara dan kuesioner. Kemudian data disusun dalam bentuk tabulasi tabel tunggal, yang kemudian dianalisis menggunakan skala likert sehinga dapat diketahui hasil respon cenderung positif, netral atau negatif.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa rehabilitasi yang dilakukan oleh Panti Sosial Karya Wanita Parawasa Berastagi sangat dibutuhkan para penyandang masalah Tuna Susila karena dapat membina dan mengarahkan serta memberikan latihan keterampilan sehinga Warga Binaan memiliki bekal pada saat keluar dari panti.

(13)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCES DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE

AMEDEO THEODORA MELIALA 040902030

ABSTRACT

RESPONSE OF BUILT CITIZENS FOR WOMEN SOCIAL WORK PROGRAM IN PANTI SOSIAL KARYA WANITA

PARAWASA BERASTAGI

(Thesis cosists of 6 chapters, 97 pages, 45 tabels, 6 appendix, and 9 bibliography)

Panti Sosial Karya Wanita Parawasa is a place of rehabilitation of the physically prostitude problems. Considering the existence of prostitude women that used only in the vicinity of the port and the industry, now reaching into small towns and towns and border cities or provinces, this situation is concern due to unrest and tumoil in life, and the income of society which is community development blocks. Skills activities in the building home is equipped dalm for built citizens skills at the time out of the built.

This research was conducted at the location of Panti Sosial Karya Wanita Parawasa which is the plae of activities that rehabilitated citizens in Panti Sosial Karya Wanita Parawasa Berastagi. The type of research used o desktiptif with sample reseach are 20 people. Data collection techniques with the study of literature and field studies are : interviews and questionnaires. Then the data compiled in the form of single tabulation tabel, which then analyzed using a Likert scale so that it can be seen the results of respond is positively, neutral or negative.

Based on research results indicate that rehabilitation which conducted by the Panti Sosial Karya Wanita Parawasa Berastagi is needed by the persons which have prostitution problems because it can build and guide and provide skills training so that built citizens have equipped when out of the building.

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya manusia menginginkan suatu kehidupan yang baik kebutuhan

jasmani, rohani maupun sosial yang sebaik-baiknya. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan moral yang tinggi, kesabaran, ketabahan, keuletan, kejernihan pikiran dan

berbagai keterampilan yang dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kenyatan dalam usaha mendapatkan pemenuhan kebutuhan tersebut dijumpai adanya pengaruh baik pengaruh dari luar maupun dari dalam diri sendiri.

Kesulitan-kesulitan dalam situasi tertentu dapat mempengaruhi kondisi mental atau moral seseorang dalam norma-norma sosial bahkan bertentangan dengan hati nuraninya

sendiri, akibat terjadinya masalah-masalah sosial.

Demikian jugalah yang dialami oleh wanita di Indonesia sering kebutuhan keluarganya menuntut bahwa wanita harus bekerja diluar atau mencari kegiatan yang

dapat menambah penghasilan keluarganya, bahkan wanita pedesaan yang bekerja sebagai buruh tani menjadi migrasi ke kota untuk menambah penghasilan. Namun

harapan untuk menambah penghasilan itu tidaklah mudah karena lapangan kerja yang terbatas dan juga pendidikan dari wanita itu sendiri yang rendah.

Pelacuran bukan merupakan istilah asing dikalangan masyarakat terutama

bagi masyarakat perkotaan. Misalnya di kota Medan sendiri masih banyak dijumpai wanita tuna susila, Dinas sosial Provinsi Sumatera Utara mencatat bahwa pada tahun

(15)

meningkat di tahun berikutnya dimana pada tahun 2007 terdapat 3.678 orang wanita

tuna susila yang sebagian besar berada di kota Medan (BPS, Sumatera Utara dalam angka 2006; Sumatera Utara dalam angka 2007).

Pelacuran merupakan masalah patologis yang harus dihentikan atau diminimalisasi penyebarannya, karena dapat menimbulkan masalah patologis yang lain seperti kriminalitas, kecanduan bahan-bahan narkotika (ganja, morfin, kokain,

dan lain-lain). Pelacuran ini cenderung menimbulkan kejahatan dalam berbagai variasinya seperti sarang pertemuan pencuri, pemabuk yang membawa keributan,

penculikan dan perdagangan wanita, alat untuk pemerasan dan sebagainya.

Pelacuran atau tindak susila ini dapat menimbulkan keresahan-keresahan serta goncangan-goncangan di dalam kehidupan dan penghasilan masyarakat dan

merupakan menghambat dalam proses pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia pada umumnya. Keberdaan Wanita Tuna

Susila di Indonesia yang dulunya hanya di kota-kota besar khususnya di pelabuhan-pelabuhan dekat pantai, di daerah sekitar pabrik dan industri tapi sekarang sudah merambah ke kota-kota kecil, bahkan mulai beroperasi di daerah-daerah perbatasan

kota dan propinsi, keadan ini merupakan suatu hal yang sangat memprihatinkan. Aktifitas penjaja seks atau pelacuran ini dipandang masyarakat sebagai sisi

hitam dari kehidupan sosial yang megah. Adanya sikap ironis masyarakat dan pemerintahan terhadap pelacuran berada pada kondisi untuk dikutuk sekaligus dilestarikan. Dikutuk karena memang bertentangan dengan nilai-nilai moral

kelompok dominan yang pada umumnya menggunakan standart ganda (perempuan pelacur dikutuk, laki-laki yang melacur didiamkan). Dilestarikan karena memang

(16)

Dimensi kehidupan wanita tuna susila disini sangat kompleks, sejalan dengan

keberadaan manusia dalam mengarungi kehidupannya sehari-hari. Sebagai seorang manusia, Wanita Tuna Susila juga membutuhkan adanya dinamisasi kehidupan

dalam dirinya, agar nantinya ia dapat memutuskan untuk tidak bekerja sebagai Wanita Tuna Susila dan kembali kemasyarakat. Tetapi pandangan negatif yang masih berlaku di masyarakat tentang masa lalu para Wanita Tuna Susila dengan

sendirinya akan merupakan ganjalan nyata bagi keinginan untuk kembali kemasyarakat.

Penerimaan masyarakat terhadap eks Wanita Tuna Susila, tidak pernah berubah, sejalan dengan keadaan pelacuran itu sendiri di masyarakat. Eks Wanita Tuna Susila yang telah memulai kehidupan baru, biasanya tetap akan menjadi objek

bagi sekelompok “penggemar” pelacuran. Dengan segala upaya biasanya orang-orang tersebut mencoba menggoda para eks Wanita Tuna Susila untuk kembali

melakukan praktek pelacuran sebagai usaha sampingannya. Dan tidak jarang pula dengan berbagai cara dan janji yang muluk, terkadang ada juga eks Wanita Tuna Susila yang tergoda untuk kembali melakukan praktek prostitusi dengan cara yang

lebih halus, yaitu bertamengkan usahanya. Disini tampak dilematis pelacuran dalam kehidupan masyarakat, baik keberadaan pelacuran itu sendiri maupun penerimaan

mereka terhadap dinamisasi kehidupan para Wanita Tuna Susila atau eks Wanita Tuna Susila.

Mengingat bahwa masalah Wanita Tuna Susila itu merupakan masalah yang

sangat kompleks, maka pelacuran itu mutlak harus ditanggulangi dan bukan karena itu saja tetapi juga agar gejala ini tidak diterima oleh masyarakat sebagai pola budaya

(17)

dibiarkan tanpa dicegah atau ditanggulangi, lambat laun dapat dipandang oleh

masyarakat sebagai hal yang normal dan wajar, dan mungkin akan melembagai sebagai hal-hal yang patut, sehingga harus diupayakan penyembuhannya dan dicegah

atau dihalang-halangi timbulnya dengan meniadakan faktor-faktor penyebabnya. Oleh karena itu pemerintah telah berusaha berbagai kegiatan dengan tujuan mengurangi bertambahnya pelacuran. Bentuk konkrit dari langkah-langkah dan

usaha penanggulangan telah di adakan usaha rehabilitasi melalui pendidikan mental dan keterampilan di dalam panti.

Adapun fungsi dari panti tersebut adalah sebagai berikut :

1. Membimbing dan mengembalikan Wanita Tuna Susila ke masyarakat untuk dapat hidup secara wajar tanpa menggantungkan diri kepada orang lain serta

berhenti melacurkan diri.

2. Mengurangi dan menekan sampai sekecil mungkin jumlah Wanita Tuna

Susila.

3. Sebagai tempat informasi kepada masyarakat tentang tentang pelaksanaan usaha-usaha rehabilitasi eks Wanita Tuna Susila.

Dengan pengertian lain, usaha yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi pelacuran adalah dengan rehabilitasi dan resosialisasi. Yang di

maksud rehabilitasi disini yaitu suatu tahapan bimbingan dan pembinaan yang diberikan oleh lembaga bagi para eks Wanita Tuna Susila, rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemauan dan kemampuan

klien atau penyandang masalah sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosial secara optimal dalam kehidupan masyarakat.

(18)

1. Memulihkan kembali rasa harga diri, percaya diri, kesadaran serta tanggung

jawab terhadap masa depan diri, keluarga maupun masyarakat atau lingkungan sosialnya.

2. Memulihkan kembali kemampuan dan kemauan untuk dapat dilaksanakan fungsi sosial secara wajar.

Sedangkan resosialisasi merupakan tahapan persiapan penyaluran untuk

kembali ketengah-tengah masyarakat yang wajar dengan cara menetapkan bimbingan mental, sosial dan keterampilan. Resosialisasi ini bertujuan untuk meningkatkan

kesadaran, rasa tanggung jawab sosial dan memulihkan kemauan serta kemampuan agar dapat menyesuaikan diri secara normatif dalam masyarakat.

Bentuk rehabilitasi tersebut adalah dengan mendirikan lembaga yang diberi

nama Panti Sosial Karya Wanita Parawasa di Berastagi. Program Panti Sosial Karya Wanita Parawasa diberikan kepada seluruh warga binaan dengan harapan akan dapat

menimbulkan semangat berusaha sehingga warga binaan dapat mengembangkan potensinya, yang mana akan muncul manakala warga binaan yang bersangkutan memahami dengan pasti manfaat program-program Panti Sosial Karya Wanita

Parawasa tersebut. Keberhasilan program ini sangat ditentukan oleh kepedulian dan peran serta warga binaan Panti Sosial Karya Wanita Parawasa. Adapun program

pelayanan dan pembinaan yang diberikan Panti Sosial Karya Wanita parawasa adalah mencakup beberapa aspek pokok antara lain: bimbingan dan pembinaan dibidang kerohanian, moral, mental, dan bidang pendidikan keterampilan (menjahit

(19)

Alasan penulis untuk mengadakan penelitian ini adalah untuk melihat

bagaimana tanggapan atau respon warga binaan khususnya warga binaan yang berada di Panti Sosial Karya Wanita Parawasa mengenai program yang diberikan

oleh pemerintah melalui Panti Sosial Karya Wanita Parawasa Berastagi.

1. 2. Perumusan Masalah

Masalah merupakan bagian pokok dari kegiatan penelitian . Berdasarkan uraian dilatar belakang, maka masalah yang akan diteliti yaitu “Bagaimana respon

warga binaan terhadap program Panti Sosial Karya Wanita Parawasa Berastagi.

1. 3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. 3. 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respon warga binaan

terhadap program atau kegiatan Panti Sosial Karya Wanita Parawasa Berastagi. 1. 3. 2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi refrensi dalam pengembangan

teori-teori, konsep-konsep dan model-model pengembangan masyarakat, khususnya eks Wanita Tuna susila.

1. 4. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan

(20)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan uraian teoritis tentang hal-hal yang berhubungan dengan obyek penelitian, kerangka pemikiran, defenisi konsep, dan

defenisi operasional. BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sempel,

tehnik pengumpulan data serta tehnik analisa data. BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan gambaran umum tentang lokasi penelitian. BAB V ANALISA PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dalam penelitian

dan analisanya. BAB VI PENUTUP

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Respon

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, respon didefenisikan sebagai suatu tanggapan, reaksi, maupun jawaban. Menurut the great encyclopedic dictionary

adalah menjawab, membalas, menyambut, menanggapi dan mengadakan reaksi. Menurut Scheerer, respon yakni proses pengorganisasian rangsangan, dimana

rangsangan-rangsangan proksimaldi organisasaikan sedemikian rupa sehingga terjadi representasi fenomenal dari rangsangan proksimal (Wirawan,1987:93)

Bicara tentang respon tidak terlepas dari perubahan konsep sikap dan segala

perubahan yang dialami remaja terproses dan terwujud pada perubahan sikap. Sikap merupakan kecenderungan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku tertentu

kalau ia menghadapi suatu rangsangan tertentu (Wirawan,1987:20) Menurut Beum, ada 4 asumsi dasar untuk menerangkan sikap:

1. Setiap tingkah laku, baik yang verbal maupun sosial adalah suatu hal yang bebas

dan berdiri sendiri, bukan merupan refleksi sikap, sistem kepercayaan, dorongan, kehendak ataupun keadaan-keadaan tersembunyi lainnya dalam diri individu.

2. Rangsangan dan tingkah laku balas adalah konsep-konsep dasar untuk menerangkan suatu gejala tingkah laku.

3. Prinsip-prinsip hubungan rangsangan balas sebetulnya hanya sedikit. Ia nampak

(22)

4. Dalam analisa tingkah laku itu timbal balik yang bersifat fisiologik ataupun

konseptual (Beum, dalam Sarlito, 1983:20).

Beum mengemukakan teori tentang hubungan fungsional dalam interaksi

sosial. ia menyatakan bahwa ada dua macam hubungan fungsional dalam interaksi sosial:

1. Hubungan fungsional dimana terdapat kontrol penguat yaitu tingkah laku

balas ternyata menimbulkan penguat yang bersifat ganjaran. Dalam hal ini, ada tidaknya atau banyak sedikitnya rangsang penguat akan mengontrol

tingkah laku balas.

2. Hubungan fungsional yang terjadi jika tingkah laku balas hanya mendapat ganjaran pada keadaan-keadaan tertentu, hubungan fungsional dimana

terdapat kontrol diskriminatif dan tingkah laku balas yang terjadi hanya jika ada rangsang diskriminatif (Beum dalam Sarlito,1983:19).

Pada dasarnya ada 3 macam bentuk respon yaitu:

1. Respon masa lalu, yang disebut sebagai respon (tanggapan) ingatan. 2. Respon masa sekarang yang disebut sebagai respon (tanggapan) imajinatif.

3. Respon masa mendatang yang disebut respon (tanggapan) antisipatif.

2. 2. Pengembangan Masyarakat

2. 2. 1. Pengertian Pengembangan Masyarakat

Pengembangan masyarakat (Community development) menurut Arthur

Dunham terdiri dari dua konsep, yaitu pengembangan dan masyarakat. Secara singkat pengembangan atau pembangunan merupakan usaha bersama dan terencana

(23)

biasanya meliputi beberapa sektor, yaitu ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sosial

budaya. Sedangkan masyarakat menurut Mayo, dapat diartikan dalam dua konsep, yaitu:

1. Masyarakat sebagai tempat bersama, yakni sebuah wilayah geografi yang sama.

2. Masyarakat sebagai kepentingan bersama, yakni kesamaan kepentingan

berdasarkan kebudayaan dan identitas (Mayo, dalam susantyo Badrun, 2008:38 )

Dengan demikian pekerja sosial dengan masyarakat dapat didefenisikan sebagai metode yang memungkinkan orang dapat meningkatkan kualitas hidupnya serta mampu memperbesar pengaruhnya terhadap proses-proses yang mempengaruhi

kehidupannya. (AMA, dalam Susantyo Badrun, 2008: 39).

2. 2. 2. Aspek-Aspek Pengembangan Masyarakat

Pengembangan masyarakat menggambarkan suatu kesatuan yang terdiri dari beberapa aspek penting. Keberadaan aspek tersebut sebagai persyaratan

terlaksananya upaya pengembangan masyarakat. aspek-aspek tersebut adalah: 1. Masyarakat sebagai unit kegiatan.

Masyarakat sebagai sekumpulan orang yang tinggal dalam suatu lokasi yang sama dan mereka terikat kepentingan dan nilai-nilai yang sama.terdapat berbagi jenis masyarakat yang ditentukan oleh berbagai tingkatannya dari

(24)

menuntut keterlibatan dari semua anggota. Pengembangan masyarakat

menempatkan masyarakat sebagai unit dari kegiatan mereka. 2. Inisiatif dan kepemimpinan lokal.

Di dalam masyarakat terdapat sumber daya manusia yang dapat dikembangkan untuk kepentingan masyarakat dalam mewujudkan keinginan akan perubahan dalam masyarakatdalam mewujudkan keinginan akan

perubahan dalam masyarakat lokal, harus memanfaatkan inisiatif dan kepemimpinan secara internal dari sumber-sumber tersebut. Untuk itu

pengembangan sosial masyarakat harus dilaksanakan dalam rangka menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab serta meningkatkan kemampuan orang melalui pelatihan kepemimpinan, manjemen, dan

pengorganisasian masyarakat.

3. Penggunaan sumber-sumber dari dalam dan luar.

Sumber mengacu kepada berbagai kekuatan yang bermanfaat untuk mengadakan perubahan. Orang perlu memahami terlebih dahulu sumber-sumber apa yang tersedia, dimana dan bagaimana cara menggunakannya

untuk memberikan manfaat yang optimal. 4. Partisipasi secara inklusif.

Memberikan kesempatan kepada semua kelompok dan segmen dalam masyarakat untuk berperan serta dalam pengembangan masyarakat. Struktur masyarakat harus terbuka yang memungkinkan kelompok-kelompok baru

menjadi bagian dari proses yang berlangsung. Diharapkan bahwa semua anggota masyarakat bisa memainkan peranannya dalam pengembangan

(25)

5. Pendekatan terorganisir, komprehensif sebagai konsep penyerta dari

partisipasi inklusif.

Pendekatan komprehensif merupakan upaya untuk memusatkan perhatian

terhadap situasi masyarakat yang luas tidak membatasi pada isu-isu dan perhatian tertentu yang di hadapi dengan menggunakan sekumpulan sumber-sumber yang luas. Pendekatan komprehensif mencoba untuk memperluas

usaha masyarakat dalam pendekatan yang digunakan, kepentingan masyarakat. Pendekatan ini akan menghasilkan partisipasi yang luas dalam

arti keterlibatan yang intensif.

6. Proses pengambilan keputusan harus secara demokratis, rasional, dan diorientasikan pada pencapaian tugas yang khusus.

Demokratis berarti keputusan diambil dengan suara mayoritas dan tiap orang memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk menyalurkan pendapat

mereka. Tidak ada kewenangan tunggal dan terpusat dalam pengambilan keputusan, namun perlu rasional untuk melihat sejauhmana keputusan tersebut logis dan dapat dilaksanakan. Keputusan diarahkan dalam

pelaksanaan tugas yang spesifik.

2. 2. 3. Peranan, Strategis Pengembangan Masyarakat

Menurut Parsons, Jorgensen dan Hernandez dalam Susantyo Badrun, 2008:51. Ada beberapa strategi dalam pengembangan masyarakat. Strategi tersebut

di sesuaikan dengan peranan pekerja sosial dalam melakukan pengembangan masyarakat, meliputi:

(26)

Dalam literature pekerjaan sosial , peranan fasilitator sering disebut

sebagai pemungkin. Barker memberi defenisi pemungkin atau fasilitator sebagai tanggung jawab untuk membantu klien menjadi

mampu menangani tekanan situasional atau transional.

Strategi-strategi khusus untuk mencapai tujuan tersebut meliputi: pemberian harapan, pengurangan penolakan dan ambivalensi,

pengakuan dan pengaturan perasaan-perasaan, pengidentifikasian dan pendorongan kekuatan-kekuatan personal dan aset-aset sosial,

pemilahan masalah menjadi beberapa bagian sehingga lebih mudah dipecahkan, dan pemeliharaan sebuah fokus pada tujuan dan cara-cara pencapaiannya. Pengertian ini didasari oleh visi pekerja sosial bahwa

“setiap perubahan terjadi pada dasarnya dikarenakan oleh adanya usaha-usaha klien sendiri, dan peranan pekerja sosial adalah

memfasilitasi atau memungkinkan klien mampu melakukan perubahan yang telah ditetapkan dan disepakati bersama.” .

b. Broker

Dalam pengertian umum, seorang broker membeli dan menjual saham dan surat berharga lainnya di pasar modal. Seorang broker berusaha

untuk memaksimalkan keuntungan dari transaksi tersebut sehingga klien dapat memperoleh keuntungan sebesar mungkin.

Dalam konteks pekerjaan sosial dengan masyarakat, peran pekerja

sosial sebagai broker tidak jauh berbeda dengan peran broker di pasar modal. Seperti halnya di pasar modal, dalam pekerja sosial dengan

(27)

sosial yang menjadi broker mengenai kualitas pelayanan sosial di

sekitar lingkungannya menjadi sangat penting dalam memenuhi keinginan kliennya memperoleh keuntungan maksimal.

Peranan sebagai broker, menghubungkan klien dengan barang-barang dan jasa dan mengontrol kualitas barang dan jasa tersebut. Dengan demikian ada tiga kata kunci dalam pelaksanaan peran sebagai

broker, yaitu:

1. Menghubungkan (linking)

yaitu proses menghubungkan orang dengan lembaga-lembaga atau pihak-pihak lainnya yang memiliki sumber-sumber yang diperlukan. 2. Barang-barang dan jasa (goods and services)

goods meliputi obyek-obyek yang nyata, seperti makanan, uang, pakaian, perumahan, obat-obatan. Sedangkan services mencakup

keluaran pelayanan lembaga yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan hidup klien, misalnya perawatan kesehatan, pendidikan, pelatihan, konseling, pengasuhan anak.

3. Pengontrolan kualitas (quality control)

yaitu proses pengawasan yang dapat menjamin bahwa produk-produk

yang dihasilkan lembaga memenuhi standar kualitas yang telah ditetapkan. Proses ini memerlukan monitoring yang terus menerus terhadap lembaga dan semua jaringan pelayanan untuk menjamin

(28)

c. Mediator

Pekerja sosial sering melakukan peran mediator dalam berbagai kegiatan pertolongannya. Peran ini sangat penting dalam paradigma

generalis. Peran mediator diperlukan terutama pada saat terdapat perbedaan yang mencolok dan mengarah pada konflik antara berbagai pihak. Pekerja sosial dapat memerankan sebagai fungsi kekuatan

ketiga untuk menjembatani antara anggota kelompok dan sistem lingkungan yang dapat menghambatnya.

Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam melakukan peranan mediator meliputi kontrak perilaku, negosiasi, pendamai pihak ketiga, serta berbagi macam resolusi konflik.

d. Pembela

Peran pembelaan atau advokasi merupakan salah satu praktik pekerja

sosial yang bersentuhan dengan kegiatan politik.peran pembela dapat dibagi menjadi dua : advokasi kasus dan advokasi kausal (DuBois dan Miley; Parsons, Jorgensen dan Hernandez, dalam Susantyo Badrun,

2008:57). Apabila pekerja sosial melakukan pembelaan atas nama seorang klien secara individual, maka ia berperan sebagai pembela

kasus. Pembelaan kausal terjadi manakala klien yang dibela pekerja social bukanlah individu melainkan sekelompok anggota masyarakat. Rotblatt memberikan beberapa contoh yang dapat dijadikan acuan

(29)

1. Keterbukan yaitu membiarkan berbagai pandangan untuk di

dengar.

2. Perwakilan luas yaitu mewakili semua pelaku yang memiliki

kepentingan dalam pembuatan keputusan.

3. Keadilan yaitu memiliki sebuah sistem kesetaraan atau kesamaan sehingga posisi-posisi yang berbeda dapat diketahui sebagai bahan

perbandingan.

4. Pengurangan permusuhan yaitu mengembangkan sebuah

keputusan yang mampu mengurangi permusuhan dan keterasingan.

5. Informasi yaitu menyajikan masing-masing pandangan secara

bersama dengan dukungan dokumen dan analisis. 6. Pendukungan yaitu mendukung partisipasi secara luas.

7. Kepekaan yaitu mendorong para pembuat keputusan untuk benar-benar mendengar, mempertimbangkan dan peka terhadap minat-minat dan posisi orang lain (Rotblatt, dalam susantyo badrun,

2008:57). e. Pelindung

Tanggung jawab pekerja sosial terhadap masyarakat didukung oleh hukum. Hukum tersebut memberikan legitimasi kepada pekerja sosial untuk menjadi pelindung terhadap orang-orang yang lemah dan

(30)

yang beresiko lainnya. Peranan sebagai pelindung mencakup

penerapan berbagai kemampuan yang menyangkut; 1. Kekuasaan

2. Pengaruh 3. Otoritas

4. Pengawasan sosial

2. 2. 4. Proses Pengembangan Masyarakat

Pelaksanaan pekerjaan sosial dengan masyarakat (COCD) dapat dilakukan melalui penetapan sebuah program atau proyek pengembangan. Secara garis besar, perencanaannya dapat dilalukan dengan mengikuti 6 langkah perencanaan :

1.Perumusan masalah

Pekerjaan sosial dengan masyarakat dilaksanakan berdasarkan masalah atau

kebutuhan masyarakat setempat. Beberapa masalah yang biasanya ditangani oleh pekerja sosial berkaitan dengan kemiskinan, pengangguran, kenakalan remaja, pemberatasan buta huruf, dan sebagainya. Perumusan

masalah dilakukan dengan menggunakan penelitian (survey, wawancara, observasi), diskusi kelompok, rapat desa, dan seterusnya.

2. Penetapan program

Setelah masalah dapat diidentidikasi dan disepakati sebagai prioritas yang perlu segera ditangani, maka dirumuskan program penanganan masalah

(31)

3. Perumusan Tujuan.

Agar program dapat dilaksanakan dengan baik dan keberhasilannya dapat diukur perlu dirumuskan apa tujuan dari program yang telah ditetapkan.

Tujuan yang baik memiliki karakteristik jelas dan spesifik sehingga tercermin bagaimana cara mencapai tujuan tersebut sesuai dengan dana, waktu, dan tenaga yang tersedia.

4. Penentuan Kelompok Sasaran.

Kelompok sasaran adalah sejumlah orang yang akan ditingkatkan kualitas

hidupnya melalui program yang telah ditetapkan. 5. Identifikasi Sumber dan Tenaga Pelaksana.

Sumber adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menunjang

program kegiatan, termasuk didalamnya adalah sarana, sumber dana, dan sumber daya manusia.

6. Penentuan Strategi dan Jadwal Kegiatan.

Strategi adalah cara atau metode yang dapat digunakan dalam melaksanakan program kegiatan.

7. Monitoring dan Evaluasi.

Monitoring dan evaluasi dilakukan untuk memantau proses dan hasil

(32)

2. 2. 5. Model-Model pengembangan Masyarakat

Menurut Jack rothman mengembangkan tiga model yang berguna dalam memahami konsep pekerjaan sosial dengan masyarakat:

1. Pengembangan Masyarakat Lokal.

Pengembangan masyarakat lokal adalah proses yang ditunjukkan untuk menciptakan kemajuan sosial dan ekonomi bagi masyarakat melalui partisipasi aktif

serta inisiatif anggota masyarakat itu sendiri.

Pengembangan masyarakat lokal pada dasarnya merupakan proses interaksi antara

anggota masyarakat setempat yang difasilitasi oleh pekerja sosial. pekerja sosial membantu meningkatkan kesadaran dan mengembangkan kemampuan mereka dalam mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan.

Pengembangan masyarakat lokal lebih berorientasi pada tujuan proses dari pada tujuan tugas atau tujuan hasil. Setiap anggota masyarakat bertanggung jawab

untuk menentukan tujuan dan memilih strategi yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut. Pengembangan kepemimpinan lokal, peningkatan strategi kemandirian, peningkatan informasi, komunikasi, relasi dan keterlibatan anggota masyarakat

merupakan inti dari proses pengembangan masyarakat lokal. 2. Perencanaan Sosial

Perencanaan sosial disini diartikan sebagai proses pragmatis untuk menentukan keputusan dan menetapkan tindakan dalam memecahkan masalah sosial tertentu seperti kemiskinan, penganguran, kenakalan remaja, kebodohan (buta huruf),

(33)

Berbeda dengan pengembangan masyarakat lokal, perencanaan sosial lebih

berorientasi pada tujuan tugas. Sistem klien perencanaan sosial umumnya adalah kelompok-kelompok yang kurang beruntung atau kelompok rawan sosial ekonomi.

Kerlibatan para penerima pelayanan dalam proses pembuatan kebijakan, penentuan tujuan dan pemecahan masalah bukan merupakan prioritas, karena pengambilan keputusan dilakukan oleh para pekerja sosial di lembaga-lembaga formal.

3. Aksi Sosial

Tujuan dan sasaran utama aksi sosial adalah perubahan-perubahan

fundamental dalam kelembagaan dan struktur masyarakat melalui proses pendistribusian kekuasaan, sumber dan pengambilan keputusan. Pendekatan aksi sosial didasari suatu pandangan bahwa masyarakat adalah sistem klien yang

seringkali menjadi korban ketidak adilan struktur. Mereka miskin karena dimiskinkan, mereka lemah karena dilemahkan, dan mereka tidak berdaya karena

tidak diberdayakan, oleh kelompok elit masyarakat yang menguasai sumber-sumber ekonomi, politik, dan kemasyarakatan. Aksi sosial berorientasi pada tujuan proses dan tujuan hasil. Masyarakat diorganisir melalui proses penyadaran, pemberdayaan,

dan tindakan-tindakan aktual untuk mengubah struktur kekuasaan agar lebih memenuhi prinsip demokratis, kesetaraan dan keadilan.

2. 2. 6. Pendekatan dalam Pengembangan Masyarakat

TR. Batten mengemukakan dua pendekatan dalam pengembangan

(34)

Pendekatan direktif dilakukan berlandaskan pada asumsi bahwa pekerja

sosial tahu apa yang dibutuhkan dan apa yang baik untuk masyarakat. Dalam pendekatan ini peranan pekerja sosial bersifat lebih dominan, karena prakarsa

kegiatan dan sumber daya yang dibutuhkan lebih banyak berasal dari pekerja sosial. pekerja sosial menetapkan apa yang baik atau apa yang buruk bagi masyarakat, cara-cara apa yang perlu dilakukan untuk memperbaikinya dan selanjutnya menyediakan

sarana yang diperlukan untuk perbaikan tersebut. Dengan pendekatan ini, prakarsa dan pengambilan keputusan berada di tangan pekerja sosial. dalam praktiknya

pekerja sosial memang mungkin menanyakan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat atau cara apa yang perlu dilakukan untuk menangani suatu masalah, tetapi baik dan buruk menurut pekerja sosial.

Dengan menerapkan pendekatan ini memang banyak hasil yang telah diperoleh, tetapi hasil yang didapat lebih terkait dengan tujuan jangka pendek dan

seringkali lebih bersifat pencapaian secara fisik belaka. Pendekatan direktif kurang menjadi efektif, untuk mencapai hal-hal yang sifatnya jangka panjang ataupun perubahan yang mendasar yang berkaitan dengan perilaku seseorang.

Penggunaan pendekatan ini, sebenarnya akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan memperoleh pengalaman belajar dari masyarakat, sedangkan bagi

masyarakat segi buruknya adalah dapat munculkan ketergantungan terhadap kehadiran tugas sebagai agen perubahan.

1. Pendekatan Non-direktif

Pendekatan ini berdasarkan asumsi bahwa masyarakat tahu apa yang sebenarnya mereka butuhkan dan apa yang baik untuk mereka. Pendekatan ini pekerja sosial

(35)

buruk bagi suatu masyarakat. Pameran utama dalam perubahan masyarakat

adalah perubahan adalah masyarakat itu sendiri. Pekerjaan sosial lebih bersifat menggali dan mengembangkan potensi masyarakat. Masyarakat diberi

kesempatan seluas-luasnya untuk membuat analisis dan mengambil keputusan yang berguna bagi mereka sendiri serta mereka diberi kesempatan penuh dalam penentuan cara-cara untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan.

Pekerjaan sosial merangsang tumbuhnya kemampuan masyarakat untuk menentukan langkahnya sendiri dan kemampuan untuk menolong dirinya sendiri.

Tujuan pendekatan ini adalah agar masyarakat memproleh pengalaman belajar untuk mengembangkan dirinya melalui pemikiran dan tindakan yang dirumuskan oleh mereka.

Dalam penerapan di lapangan pendekatan direktif dan nondirektif, perlu disesuaikan dengan tingkat perkembangan masyarakat. Masyarakat yang sudah

mampu mendayagunakan potensi yang dimiliki perlu didekati dengan pendekatan nondirektif, tetapi bagi masyarakat yang relatif belum berkembang, maka pilihan pendekatan direktif.

Pemilihan pendekatan yang akan digunakan dapat saja dimulai dari pendekatan yang bersifat direktif, apabila masyarakat masih dalam keadaan

belum mengetahui kebutuhan (terbelakang), tetapi sejalan dengan perkembangannya, masyarakat akan mengetahui kebutuhan secara bertahap, sehingga pekerja sosial akan menggunakan pendekatan non direktif atau

(36)

2. 2. 7. Teknik-Teknik dalam Pengembangan Masyarakat

Brager dan Holloway juga brager membagi 3 jenis teknik 9 (taktik) dalam pengembangan masyarakat :

1. Kolaborasi (kerja sama)

Kolaborasi dilakukan apabila sistem sasaran setuju (mudah teryakinkan untuk sepakat) dengan sistem kegiatan mengenai perlunya perubahan dan dukungan

alokasi sumber. Ada dua jenis teknik kolaborasi, yaitu : a. Implementasi

Digunakan manakala sistem kegiatan dan sistem sasaran bekerja sama dengan kesepakatan akan perubahan yang diinginkan serta adanya dukungan pengambil keputusan akan alokasi dana yang dibutuhkan.

b. Membangun kapasitas (capacity building), dilaksanakan melalui :

1) Partisipasi, mengacau pada kegiatan-kegiatan yang berupaya untuk

melibatkan anggota sistem klien dalam usaha perubahan.

2) Pemberdayaan (empowerment), adalah proses pelayanan bagi suatu kelompok atau masyarakat, agar memiliki pengaruh secara politik atau

memiliki otoritas hukum yang relevan.

Dalam teknik pemberdayaan upaya diarahkan untuk memungkinkan

orang menyadari akan hak-haknya dan mengajari mengenai cara memproleh hak-haknya, sehingga mereka lebih memilih kemampuan dalam mengendalikan berbagai faktor yang mempengaruhi kehidupannya.

2. Kampanye (penyuluhan sosial)

kampanye dalam bahasa sehari-hari para pekerja sosial Indonesia dikenal

(37)

apabila sistem sasarana tidak menolak untuk berkomunikasi dengan sistem

kegiatan, akan tetapi consensus akan perlunya perubahan belum tercapai, atau sistem sasaran mendukung perubahan tetapi tidak ada alokasi sumber untuk

perubahan tersebut. Jenis-jenis kegiatan yang termasuk dalam kategori teknik kampanye adalah:

a. Teknik Edukasi

b. Teknik Persuasi 3. Kontes

Kontes dilakukan apabila sistem sasaran tidak setuju dengan perubahan atau alokasi sumber, masih terbuka bagi terjadinya komunikasi mengenai ketidaksepakatan ini. Kegiatan yang termasuk kategori teknik ini, adalah:

a. Tawar menawar dan negosiasi

b. Aksi masyarakat atau kelompok besar (Brager, Holloway, dalam

Susantyo badrun, 2008:79).

2. 3. Prostitusi/ Pelacuran

2. 3. 1. Pengertian Prostitusi/ Pelacuran

Prostitusi berasal dari kata “prostituere” (bahasa latin) yang berarti

menonjolkan diri dalam hal-hal yang buruk atau tercela atau menyerahkan diri secara terang-terangan kepada umum. Di Indonesia istilah ini dikenal dengan “pelacuran” yang pada umumnya dirumuskan demikian: “pelacuran” dapat diartikan sebagai

penyerahan badan wanita dengan bayaran, kepada orang lak-laki guna pemuasan nafsu seksual orang-orang itu. Di Eropa sering disebut adanya “pelacur laki-laki”

(38)

Asia dan Indonesia sehingga kita hanya menerima pendapat pelacur hanya

dikalangan wanita, maka pers pun menyebutnya Wanita Tuna Susila sebagai nama lain dari pelacur yang mata pencaharian (nafkahnya) menyediakan diri bagi siapa

saja yang mengkehendaki (tanpa pilih-pilih), dan atas kesediannya dia mendapat upah uang atau barang-barang yang diterimanya sebagai pembayaran.

Menurut Peraturan Pemerintah Daerah DKI Jakarta Raya tahun 1967 mengenai

penanggulangan masalah pelacuran. Wanita Tuna Susila adalah wanita yang mempunyai kebiasaan melakukan hubungan kelamin diluar perkawinan, baik dengan

imbalan jasa maupun tidak.

Sedangkan pasal 296 KUHP mengenai prostitusi, menyatakan: barang siapa yang pekerjaannya atau kebiasaannya, dengan sengaja mengadakan atau

memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan.

2. 3. 2 Kategori Pelacuran

Menurut Soedjono D. mengkategorikan pelacuran dengan kelas-kelas seperti:

1. Pelacuran kelas rendah (jalanan, bordil-bordil murahan)

2. Pelacuran menengah yang berada di bordil-bordil tertentu yang cukup bersih

dan pelayanannya baik.

3. Pelacuran kelas tinggi, biasanya para pelacur tinggal di rumah sendiri (terselubung/ tersembunyi) dan hanya menerima panggilan dengan perantara

yang cukup rapi sehingga sulit diketahui dan bayarannya cukup mahal.

Ketiga kategori murah, menengah, kelas tinggi, ini ditentukan oleh tarif

(39)

dapat dikatakan tambah lagi dengan apa yang dinamakan pelacuran tersembunyi

(terselubung) dalam bentuk-bentuk kerja jasa lainnya yang sulit dibuktikan, umpamanya pada tingkat murah adalah terselubung dalam pekerjaan tukang-tukang

pijat hotel-hotel dan dalam tingkat yang cukup tinggi bersembunyi di tempat-tempat mandi uap dan pijat tertentu yang terdapat di kota-kota besar.

2. 3. 3. Faktor Penyebab Prostitusi/ Pelacuran

Menurut Soedjono D. mengatakan ada tiga faktor utama yang menyebabkan

pelacuran :

1. Faktor ekonomi : kemiskinan, ingin hidup mewah. 2. Faktor sosiologis : urbanisasi, keadilan sosial.

3. Faktor psikologis : rasa ingin balas dendam, malas bekerja, histeris. Menurut DR. Kartini Kartono, dampak yang ditimbulkan oleh pelacuran ialah:

a. Menimbulkan dan meyebarluaskan penyakit kelamin dan kulit.

b. Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga. Suami-suami yang tergoda oleh pelacuran biasanya melupakan fungsinya sebagai kepala keluarga, sehingga

keluarga menjadi berantakan.

c. Mendemoralisir atau memberikan pengaruh demoralisasi kepada lingkungan;

khususnya anak-anak muda remaja pada masa puber dan adolesensi. d. Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika.

e. Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama. Terutama sekali

menggoyahkan norma perkawinan, sehingga menyimpang dari adat kebiasaan, norma hukum dan agama, karena digantikan dengan pola

(40)

f. Adanya pengeksploitasian manusia oleh manusia lain. Pada umumnya

wanita-wanita pelacuran itu cuma menerima upah sebagian kecil saja dari pendapatan yang harus diterimanya karena sebagian besar harus diberikan

kepada germo, calo-calo, centeng-centeng dan pelindung.

g. Bisa menyebabkan terjadinya disfungsi seksual, misalnya: impotensi, anorganisme, ejakulasi prematur.

Menurut Soedjono D, dampak yang ditimbulkan oleh pelacuran ialah: a. Menimbulkan dan meyebarluaskan penyakit kelamin, kulit dan sejenisnya.

b. Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga yang wajar.

c. Cenderung menciptakan kejahatan dalam berbagai variasinya (tempat berkumpulnya bandit-bandit)

d. Merusak sendi-sendi pendidikan moral, karena bertentangan dengan norma agama, susila dan hukum.

2. 3. 4. Jenis-jenis Prostitusi/ Pelacur dan Lokalisasi

Menurut DR. Kartini Kartono, jenis prostitusi dapat dibagi menurut aktivitasnya,

yaitu:

a. Prostitusi yang terdaftar

Pelakunya di awasi oleh bagian Vice Control dari Kepolisian, yang di Bantu dan bekerja sama dengan jawatan sosial dan jawatan kesehatan. Pada umumnya mereka dilokalisasi dalam satu daerah tertentu. Penghuninya secara periodic

harus memeriksakan diri pada dokter atau petugas kesehatan, dan mendapat suntikan serta pengobatan, sebagai tindakan kesehatan dan keamanan umum.

(41)

Termasuk dalam kelompok ini ialah mereka yang melakukan prostitusi secara

gelap-gelapan dan liar, baik secara perorangan, maupun dalam kelompok. Bisa disembarangan tempat, baik mencari “mangsa” sendiri, maupun melalui

calo-calo dan panggilan. Mereka tidak mencatatkan diri kepada yang berwajib. Sehingga kesehatannya sangat diragukan, karena belum tentu mereka itu mau memeriksakan kesehatannya kepada dokter.

Menurut tempat penggolongan atau lokasinya, prostitusi dapat dibagi menjadi: a. Segregasi atau lokalisasi, yang terisolir atau terpisah dari kompleks

penduduk lainnya. Kompleks ini dikenal sebagai daerah “lampu merah” atau petak-petak daerah tertutup.

b. Rumah-rumah panggilan (call house, tempat rendezvous, parlour)

c. Dibalik front-organisasi atau di balik bisnis-bisnis terhormat. (apotik, salon kecantikan, rumah makan, tempat mandi uap, dan pijat, anak

wayang, sirkus, dan lain-lain)

2. 4. Pemberdayaan Mantan Wanita Tuna Susila

2. 4. 1. Program rehabilitasi Panti Sosial Karya Wanita Parawasa 1. Pendekatan Awal

a. Orientasi dan Konsultasi b. Identifikasi

c. Motivasi

d. Seleks 2. Penerimaan

(42)

b. Penelaahan dan Pengungkapan Masalah (assisment)

c. Penempatan klien pada program (Telaahan bakat dan minat) 3. Bimbingan Sosial dan Keterampilan

a. Bimbingan fisik, agama dan mental. b. Bimbingan sosial

c. Bimbingan keterampilan kerja/ usaha (pertanian, kerajinan tangan,

masak-memasak, menjahit) 4. Resosialisasi

a. Bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat b. Bimbingan sosial hidup bermasyarakat

c. Bimbingan usaha

d. Penetapan dan penyaluran/ pengembalian 5. Bimbingan Lanjutan

a. Bimbingan peningkatan hidup bermasyarakat dan peran serta dalam pembangunan.

b. Bantuan pengembangan kerja.

c. Bimbingan pemantapan peningkatan usaha.

2. 4. 2. Layanan Pembinaan

Dalam pelayanan rehabilitasi di PSKW Parawasa selama 6 (enam) bulan, dengan perincian:

a. 2 bulan

- Bimbingan mental

(43)

- Bimbingan sosial

- Bimbingan agama b. 4 bulan

c. Bimbingan keterampilan (pertanian, kerajinan tangan, masak-memasak dan menjahit)

Maka dalam 1 (satu) tahun anggaran 2 (dua) angkatan denngan jumlah

perangkatan 60 orang, sesuai dengan anggaran yang tersedia. (Parawasa, 1988)

2. 4. 3. Penanggulangan Prostitusi

Menurut DR. Kartini Kartono, pada garis besarnya, usaha untuk mengatasi masalah tuna susila ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

1.Usaha yang bersifat preventif

Usaha yang bersifat preventif di wujudkan dalam kegiatan-kegiatan untuk

mencegah terjadinya pelacuran. Usaha ini antara lain berupa:

a. Penyempurnaan perundang-undangan mengenai larangan atau pengaturan penyelenggaran pelacuran.

b. Intensifikasi pemberian pendidikan keagaman dan kerohanian, untuk memperkuat keimanan terhadap nilai-nilai religius dan

norma kesusilaan.

c. Menciptakan bermacam-macam kesibukan dan kesempatan rekreasi bagi anak-anak puber dan adolesens untuk menyalurkan

(44)

d. Memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita, disesuaikan dengan

kodrat dan bakatnya, serta mendapatkan upah/ gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap harinya.

e. Penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam kehidupan keluarga.

f. Pembentukan badan atau tim koordinasi dari semua usaha

penanggulangan pelacuran, yang di lakukan oleh beberapa instansi. Sekaligus mengikut sertakan potensi masyarakat lokal untuk

membantu melaksanakan kegiatan pencegahan atau penyebaran pelacuran.

g. Penyitaan terhadap buku-buku dan majalah-majalah cabul,

gambar-gambar porno, film-film biru dan sarana-sarana lain yang merangsang nafsu seks.

h. Meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya. 2.Tindakan yang bersifat represif dan kuratif

Usaha yang represif dan kuratif di maksudkan sebagai: kegiatan untuk

menekan (menghapuskan, menindas), dan usaha menyembuhkan para wanita dari ketunasusilaannya, untuk kemudian membawa mereka ke jalan benar. Usaha represif

dan kuratif ini antara lain berupa:

1. Melalui lokalisasi yang sering ditafsirkan sebagai legalisasi, orang melakukan pengawasan yang ketat, demi menjamin kesehatan dan

keamanan para prostitute serta lingkungannya.

2. Untuk mengurangi pelacuran, diusahakan melalui aktifitas rehabilitasi

(45)

masyarakat yang susila. Rehabilisasi dan resosialisasi dilakukan

melalui: pendidikan moral dan agama, latihan-latian kerja dan pendidikan keterampilan agar mereka bersifat kreatif dan produktif.

3. Penyempurnaan tempat-tempat penampungan bagi para wanita tuna susila terkena razia; disertai pembinaan mereka, sesuai dengan bakat dan minat masing-masing.

4. Pemberian suntikan dan pengobatan pada interval waktu tetap, untuk menjamin kesehatan para WTS dan lingkungannya.

5. Menyediakan lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia meninggalkan profesi pelacuran, dan mau memulai hidup susila.

6. Mengadakan pendakatan terhadap pihak keluarga para pelacur dan

masyarakat asal mereka, agar mereka mau menerima kembali bekas-bekas wanita tuna susila itu mengawali hidup baru.

7. Mencarikan pasangan hidup yang permanent/suami bagi para wanita tuna susila, untuk membawa mereka ke jalan benar.

8. mengikutsertakan exs WTS (bekas wanita tuna susila) dalam usaha

trasmigrasi, dalam rangka pemerataan penduduk di tanah air dan perluasan kesempatan kerja bagi kaum wanita.

2. 5. Kerangka Pemikiran

Prostitusi atau pelacuran merupakan salah satu masalah sosial yang

(46)

melatar belakangi wanita menjadi WTS antara lain karena faktor ekonomis,

psikologis, kelonggaran kultur masyarakat di sekitar dan faktor lain.

Pelacuran jelas menimbulkan keresahan serta goncangan di dalam kehidupan

dan penghudupan masyarakat. Pelacuran merupakan penghambat dalam proses pembangunan masyarakat Indonesia pada umumnya. Untuk itu diperlukan penanganan masalah WTS oleh pemerintah, dimana salah satu fungsi yang dilakukan

pemerintah adalah dengan melaksanakan usaha rehabilitasi, untuk mempersiapkan mereka agar dapat secara utuh kembali kemasyarakat.

Di sumatera utara satu-satunya lembaga sosial yang secara khusus menangani pembinaan terhadap klien adalah Panti Sosial Karya Wanita Parawasa di Berastagi. PSKW Parawasa adalah unit pelaksana teknis dari Dinas sosial provinsi yang

memberikan rehabilitasi, resosialisasi dan bimbingan lanjutan. Proses ini merupakan upaya untuk mewujudkan terbina dan berkembangnya tata kehidupan dan

(47)

Bagan 1

Kerangka Pemikiran

Factor penyebab: - Ekonomi - sosiologis - psikologis

Wanita tuna susila

- Positif - Netral - Negatif

Panti social karya wanita Program:

- Pendekatan awal - Penerimaan

- Bimbingan social dan keterampilan

(48)

2. 6. Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional 2. 6. 1. Defenisi Konsep

Konsep adalah istilah atau defenisi yang digunakan untuk menggambarkan

secara abstrak kejadian, keadaan kelompokatau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1989: 33).

Untuk memfokuskan penelitian ini peneliti memberikan batasan konsep yang

diangkat dalam penelitian ini, yaitu:

1. Respon adalah tanggapan, reaksi maupun jawaban.

2. Pengembangan masyarakat adalah usaha bersama dan terencana untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia.

3. Wanita Tuna Susila adalah seseorang wanita yang mengadakan

hubungan seksual dengan seorang pria atau lebih diluar pernikahan dengan sengaja atau berpengharapan mendapat upah sebagai balas

jasa, sehinggga menjadi kebiasaan. Dalam hal ini sama dengan istilah pelacuran, penjaja seks, kupu-kupu malam, balon, dll.

4. Panti Sosial Karya Wanita adalah unit pelaksana teknis dari kantor

wilayah Dinas Sosial di Sumatera Utara yang bertanggung jawab langsung dibawah Departemen Sosial, yang memberikan rehabilitasi

dan pelayanan sosial terhadap WTS.

2. 6. 2. Defenisi Operasional

(49)

Untuk melihat variabel-variabel dan indikator-indikator dalam penelitian ini

dapat dilihat dari jenis pelayanan yang diberikan, yaitu:

1. Program pelayanan PSKW Parwasa yang diukur meliputi:

a. Bimbingan sosial adalah bimbingan yang diberikan dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab sosial serta memulihkan kemauan dan kemampuan untuk menyesuaikan

dirinya secara normatif. Berupa kegiatan ceramah hukum dan moral, simulasi dan ceramah P4, kelompok sadar hukum.

b. Bimbingan mental adalah bimbingan yang diberikan dengan tujuan untuk memberikaan kemampuan pemeliharaan kondisi sehat fisik, integrasi diri, rasa percaya diri dan disiplin diri,.

Bimbingan ini berupa senam kesegaran jasmani, kegiatan ceramah agama, diskusi, sholat dan kegiatan lainnya. Bimbingan ini

diberikan oleh petugas dari Departemen Agama bekerjasama dengan petugas panti yang diberikan satu kali dalam sehari.

c. Bimbingan keterampilan adalah bimbingan yang diberikan dengan

tujuan untuk memberi kemampuan kepada penerima pelayanan agar dapat menguasai salah satu atau lebih jenis keterampilan

usaha sebagai bekal keluar setelah keluar dari panti. Bimbingan ini berupa latihan keterampilan menjahit, menyulam, memasak, pertanaman atau bertani dan tata rias yang diberikan oleh petugas

(50)

2. Sarana dan Prasarana atau fasilitas yang tersedia:

a. Gedung dan bangunan-bangunan b. Tempat ibadah

c. Kegiatan olah raga

3. Kesejahteraan dan Kemandirian klien/ warga binaan, meliputi: a. Dapat berfungsi sosial

(51)

BAB III

METODE PENELITIAN

3. 1. Tipe Penelitian

Penelitian adalah penelitian deskriptif yaitu suatu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subjek atau objek

penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (Nawawi, 1998: 63)

Dengan menggunakan tipe penelitian deskriptif peneliti ingin membuat gambaran bagaimana respon warga binaan terhadap program Panti Sosial Karya Wanita Parawasa dengan melakukan pengamatan terhadap gejala, peristiwa, kondisi

dan fasilitas yang tersedia.

3. 2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Panti Sosial Karya Wanita Parawasa Berastagi. Alasan penelitian memilih lokasi ini adalah karena Panti Sosial Karya

Wanita Parawasa merupakan satu-satunya Panti rehabilitasi terhadap Wanita Tuna Susila yang terdapat di Sumatera Utara.

3. 3. Populasi dan Sempel

Populasi adalah keseluruhan objek yang terdiri dari manusia, benda, hewan,

(52)

Populasi dari penelitian ini adalah keseluruhan dari klien di dalam panti yang

sudah menjalani bimbingan dan pembinaan selama 5-6 bulan, dimana mereka telah mengikuti bimbingan sampai pada tahap keterampilan.

Menurut DR. Irawan Soehartono, sample adalah suatu bagian dari populasi yang diteliti dan yang diangap dapat menggambarkan populasinya

(Soehartono, 2004: 57).

Diketahui bahwa jumlah populasi adalah kurang dari 100 sehingga keseluruhan populasi di ambil datanya.

3. 4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memproleh data yang diperlukan, maka dalam penelitian ini

menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut : 1. Data Primer

Data primer adalah data yang diproleh melalui pengamatan langsung terhadap gejala- gejala yang dapat diamati dari objek penelitian. Cara-cara yang dilakukan :

a. Wawancara yaitu mengumpulkan data dengan mengadakan dialog secara

langsung dan mengajukan pertanyaan mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini kepada responden yang telah ditetapkan.

(53)

2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dengan studi kepustakaan yaitu dengan membuka, mencatat dan mengutip data yang berkaitan dengan masalah penelitian dan dapat

mendukung terlaksananya penelitian itu.

III. 5. Teknik Analisa Data

Untuk merumuskan kesimpulan hasil penelitian, khususnya mengidentifikasi respon, penulis menggunakan skala likert, sehingga dapat diketahui hasil respon

(54)

BAB IV

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

4. 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Unit Pelaksanaan Teknis dinas di Dinas Sosial Propinsi Sumatera Utara ada 14 unit teknis yang terdapat di Kabupaten/ Kota di Propinsi Sumatera Utara. Salah

satu unit teknis Parawasa Berastagi yang menangani masalah Rehabilitasi sosial dan resosialisasi -bagi Waita Tuna Susila atau yang sekarang populer denngan istilah

PSK ( penjaja sex komersial). Keberadaannya diatur dan ditetapkan oleh Keputusan Mentri Sosial RI No. 41/ HUK/ KEP/ 1979. Tentang kedudukan, tugas, fungsi, susunan organisasi dan tata kerja panti dan rehabilitasi dilingkungan Departemen

Sosial.

Kantor ini terletak di Desa Raya, Kecamatan Kabanjahe Kabupaten Karo, ±

68 Km dari kotamadya Medan.

4. 2. Sejarah Berdirinya Panti Sosial Karya Wanita Parawasa

Panti Sosial Karya Wanita Parawasa Berastagi berdiri sejak tahun 1977 di Kabupaten Karo oleh Bupati Karo, Bapak Tampak Sebayang memberi nama “PARAWASA”

yang berarti:

PARA : Sekelompok manusia WA : Wanita

SA : Dewasa

Yang berarti tempat untuk mendewasakan para wanita penyandang masalah

(55)

4. 3. Landasan Hukum

1. Undang-undang No. 6/ 74, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.

2. Undang-undang No. 22/ 99, tentang Pemerintahan Daerah.

3. Undang-undang No. 25/ 99, tentang Perimbangan Keuangaan Pusat dan Daerah.

4. Kepmensos No. 20/ HUK/ 99, tentang Rehabilitasi Sosial Penyandang Masalah Tuna Susila

4. 4. Visi dan Misi Visi

“Kesejahteraan Sosial oleh dan untuk semua”.

Misi

1. Meningkatkan harkat dan martabat serta kualitas hidup manusia.

2. Mengembangkan Prakarsa dan peran aktif masyarakat dalam penanggulangan permasalahan Tuna Susila.

3. Mencegah dan mengendalikan serta mengatasi permasalahan Tuna Susila. 4. Meningkatkan jaringan kerja lintas sektoral dan dunia usaha.

Motto

“Wanita Mulia Negara Jaya”

Panti Sosial Karya Wanita(PSKW) adalah Panti Rehabilitasi Wanita Tuna

(56)

Penyaluran, Pembinaan Lanjut bagi para WTS agar mampu untuk berperan aktif

dalam kehidupan masyarakat secara normatif. Tujuan.

Untuk memulihkan kembali harga diri, percaya diri, kesadaran dan tanggung jawab social, berkemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya sehingga di harapkan mereka akan mampu hidup mandiri, berkemampuan

melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam tatanan hidup bermasyarakat.

4. 5. Kegiatan harian Panti Sosial Karya Wanita parawasa

Adapun jadwal kegiatan harianyag dilakukan oleh warga binaan di Panti Sosial Karya Wanita Parawasa, dapat dilihat pada tabel berikut ini

Tabel 1

Jadwal Kegiatan Harian Warga Binaan Panti Sosial Karya Wanita Parawasa

No. Waktu Kegiatan

1 05.30 – 06.00 • Bangun pagi

• Merapikan tempat tidur • Sholat

2 06.00 – 07.45 • Apel pagi

• Kebersihan lingkungan • Senam pagi

3 07.45 – 08.10 • Saparan pagi

4 08.10 – 08.30 • Penyerahan piket

• Persiapan kelas

5 08.30 – 09.30 • Bimbingan social

(57)

• Kewirausahaan

• Bimbingan hidup dalam keluarga

6 09.30 – 12.30 • Menjahit

• Salon

• Olahan pangan • Kerajinan tangan

7 12.30 – 14.00 • Makan siang

• Sholat

• Pergantian piket

8 14.00 – 16.00 • Kegiatan individu

9 16.00 – 17.30 • Agama

• Mental atau fisik

10 17.30 – 18.00 • Sholat

• Pergantian piket

11 18.00 – 19.00 • Makan malam

• Kegiatan individu

12 22.00 – 05.30 • Tidur malam

Sumber: Panti Sosial Karya Wanita Parawasa 2009

4. 6. Sarana dan Prasarana Panti Sosial Karya Wanita Parawasa]

Untuk mendukung proses pemberian pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi penyandang masalah tuna susila melalui sistem panti diperlukan sarana dan

prasarana pelayanan minimal sebagai berikut: 1. Gedung Kantor

a. Ruang pimpinan

b. Ruang administrasi dan keuangan c. Ruang konsultasi

d. Ruang tamu

(58)

2. Asrama

a. Ruang tidur b. Ruang makan

c. Kamar mandi/ WC d. Ruang tamu 3. Sarana Penunjang

a. Lapangan/ halaman untuk bimbingan fisik ruang untuk bimbingan mental dan sosial.

b. Ruang untuk pelatihan keterampilan.

(59)

Bagan 2

Struktur Organisasi Panti Sosisl Karya Wanita Parawasa

1.Antoni Nip. 170016117 2. Genepo Ginting Nip. 170016247 3. Irwan Surbakti Nip. 1700118114

KA SEKSI PARAWASA Drs. Walmen Saragih

Nip. 400026388

KORDIATOR PEJ. FUNGSIONAL Iriani Sembiring

Nip. 17004239

PENERIMAAN 1. Iriana Sembiring 2. Genepo Ginting

PERAWATAN/KESEHATAN 1. Warni Ginting

2. Rasita Purba 3. Djonatan Sembiring 4. Delma Ginting

PENGASUH/PEMBINA 1. Antoni

2. Supiah Sembiring 3. Sastra Ginting SE 4. Respan Ginting SmHk

PENYALUR 1. Rumah sembiring 2. Genepo Ginting

Gambar

Tabel 1
Tabel 2
Tabel 5. 1
Tabel 5. 2
+7

Referensi

Dokumen terkait

Using an introductory remote sensing class at Charles Darwin University, this case study presents a transition from the traditional stand and deliver style

[r]

However a number of industries require more than the Earth observation data that is being pushed to them … they require information tailored to their needs, at a resolution,

The freely available open-source DEM datasets such as Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer-Global Digital Elevation Model (ASTER GDEM), Shuttle

Dalam tulisan ini, Pedagang Kaki Lima (PKL) yang dimaksud adalah mereka yang berjualan di sepanjang jalan pinggiran pantai Losari di kota Makassar.. Beragam usaha yang mereka

Dilihat dari Gambar 3, tidak ada atribut sayuran organik di Brastagi Supermarket Tiara Medan yang berada pada kuadran I yang menandakan bahwa produk sayuran

1) Berkaitan dengan wacana Islam, adanya fiqih perempuan dengan perspektif keadilan gender dapat menepis anggapan bahwa agama Islam ikut mengafirmasi ketidakadilan

Penurunan yang bermakna yang dimaksud dalam hasil penelitian ini adalah bahwa kondisi stress penderita gagal jantung semakin lebih baik dimana nilai pengukuran