• Tidak ada hasil yang ditemukan

The effect of nitrogen concentra– tion and sucrose on potato microtuber production of c v granola

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The effect of nitrogen concentra– tion and sucrose on potato microtuber production of c v granola"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

KULTIVAR GRANOLA

JOAN JOULANDA GRACE KAILOLA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengaruh Konsentrasi Nitrogen dan Sukrosa terhadap Produksi Umbi Mikro Kentang Kultivar Granola adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2011

(3)

JOAN JOULANDA GRACE KAILOLA. The Effect of Nitrogen Concentra– tion and Sucrose on Potato Microtuber Production of c.v Granola Under direction of WINARSO DRAJAD WIDODO and GUSTAAF ADOLF WATTIMENA.

The problem of potato production in Indonesia is the production of high quality virus free propagules. The virus free potato propagules is derived from microtuber through tissue culture methods. The experiments was conducted in two steps : the first steps was the production of shoot on semisolid medium and the second steps was the addition of liquid medium. The first and the second medium has the same treatment combination of nitrogen and sucrose. The experiment was arranged in Completely Randomized Design consist of two factor. The first factor was nitrogen concentration (30, 60, 90 and 120 mM) and the second factor was sucrose concentration (30, 45, 60, 75 and 90 g/l). The result showed there was an optimum concentration of sucrose and combination between nitrogen and sucrose on the number of shoots, number of tubers and percentage of tuber dry weight. The treatment of 60 mM nitrogen and 60 g/l sucrose produced the highest numbers of qualified microtubers.

(4)

JOAN JOULANDA GRACE KAILOLA. Pengaruh Konsentrasi Nitrogen dan Sukrosa terhadap Produksi Umbi Mikro Kentang Kultivar Granola. Dibimbing oleh WINARSO DRAJAD WIDODO dan GUSTAAF ADOLF WATTIMENA.

Salah satu masalah dalam budidaya kentang di Indonesia adalah penyediaan bibit melalui pengembangan propagul kentang bermutu. Usaha untuk mendapatkan bibit kentang yang berkualitas baik dapat dilakukan melalui teknik kultur jaringan berupa umbi mikro. Komposisi media merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produksi umbi mikro. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsentrasi nitrogen yang optimum untuk pertumbuhan stek dan pengumbian mikro kentang, mengetahui konsentrasi sukrosa yang optimum untuk pertumbuhan stek dan pengumbian mikro kentang dan mengetahui kombinasi antara konsentrasi nitrogen dan sukrosa yang optimum untuk pertumbuhan stek dan pengumbian mikro kentang. Penelitian ini terdiri dari dua tahap percobaan: pertama pengaruh konsentrasi nitrogen dan sukrosa pada pertumbuhan stek mikro kentang dan kedua pengaruh konsentrasi nitrogen dan sukrosa pada pengumbian mikro kentang. Percobaan dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri atas 2 faktor. Faktor pertama adalah konsentrasi nitrogen dengan 4 taraf ( 30, 60, 90 dan 120 mM). Faktor kedua adalah konsentrasi sukrosa dengan 5 taraf ( 30, 45, 60, 75 dan 90 g/l). Data diuji dengan Sidik ragam (uji F), uji beda nilai tengah menggunakan DMRT dan uji Polinomial Orthogonal.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara konsentrasi nitrogen dan sukrosa berpengaruh nyata terhadap jumlah buku 4 MST, jumlah akar 4 MST, jumlah umbi 8 MSP, bobot basah umbi 8 MSP, ukuran (diameter) umbi 8 MSP dan persentase bobot kering umbi 8 MSP. Konsentrasi nitrogen sebagai faktor tunggal berpengaruh nyata terhadap bobot basah planlet 4 MST, persentase bobot kering planlet 4 MST, panjang ruas 4 MST dan tinggi tanaman 4 MST. Konsentrasi sukrosa sebagai faktor tunggal berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas 4 MST, bobot basah planlet 4 MST, persentase bobot kering planlet 4 MST, panjang ruas 4 MST dan tinggi tanaman 4 MST.

(5)

menghasilkan jumlah umbi terbanyak dan memenuhi kriteria umbi mikro untuk bibit. Kombinasi ini menghasilkan 6.4 umbi/botol dengan bobot basah umbi 214.54 mg/umbi, ukuran (diameter) umbi 5.57 mm/umbi dan persentase bobot kering umbi 17.64%.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

KULTIVAR GRANOLA

JOAN JOULANDA GRACE KAILOLA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

NRP : A252070011

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir.Winarso D.Widodo, M.S. Prof. Dr. Ir. Gustaaf A.Wattimena,M.Sc. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Mayor Agronomi dan Dekan Sekolah Pascasarjana Hortikultura

Dr.Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

(10)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih dan anugerah-Nya sehingga penelitian serta penulisan tesis ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr Ir. Winarso D.Widodo, M.S. dan Prof. Dr. Ir. Gustaaf A. Wattimena, M.Sc. atas bimbingan dan pengarahannya selama kegiatan penelitian dan penulisan tesis ini.

2. Dr. Dewi Sukma S.P., M.Si. atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi. 3. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. (Koordinator Mayor Agronomi dan

Hortikultura) atas waktu dan masukan yang diberikan selama ujian akhir tesis ini.

4. Kepala Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Institut Pertanian Bogor atas fasilitas yang diberikan selama pelaksanaan penelitian.

5. Rektor Universitas Pattimura yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 6. Yayasan Dana Beasiswa Maluku (YDBM) dan Yayasan Tahija di Jakarta atas

bantuan dana dalam rangka penyelesaian penelitian dan penulisan tesis. 7. Staf Laboratorium Biologi Molekuler dan Seluler Tanaman Pusat Penelitian

Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Institut Pertanian Bogor atas bantuannya selama pelaksanaan penelitian.

8. Rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana (S2/S3) tahun 2007/2008 dan 2008/2009 Mayor AGH, PBT dan ITB atas bantuan moril maupun fisik serta kebersamaannya, khususnya rekan-rekan angkatan seperjuangan : Arrin, Odit, Mba Pien, Aries, Mba Puji, Usi Enny, Leo, Syukur, Mba Dian dan Tisna. 9. Rekan-rekan Persatuan Mahasiswa Maluku (PERMAMA) di Bogor atas

bantuan dan doanya.

Mengakhiri lembaran ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang mendalam kepada Mama, Papa (alm), Usi Eda, Bung Okto (Nyongkai), untuk segala kasih, perhatian, bantuan dan doa yang telah penulis terima selama ini kiranya Tuhan Yesus Putra Allah yang Maha Kudus senantiasa memberkati kita semua. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan.

Bogor, Agustus 2011

(11)

Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 23 Januari 1979 dari Bapak Markus Christian Kailola (alm) dan Ibu Susana Sophia Kailola/Alfons. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Tahun 1996 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Ambon dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Pattimura Ambon melalui jalur PSSB (Program Seleksi Siswa Berprestasi), penulis memilih Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian.

(12)

Halaman

Perumusan Masalah dan Kerangka Pemikiran……… 3

Tujuan Penelitian………. 4

Hipotesis Penelitian………. 4

TINJAUAN PUSTAKA……….. 6

Botani Tanaman Kentang……… 6

Perbanyakan Kentang Secara In Vitro………. 7

Perbanyakan Kentang dengan Umbi Mikro………. 8

Sukrosa………. 12

Nitrogen………... 13

Zat Pengatur Tumbuh……….. 15

BAHAN DAN METODE……… 19

Tempat dan Waktu………... 19

Bahan dan Alat………. 19

Metode Penelitian……… 19

Pelaksanaan Penelitian………. 22

Pengamatan Penelitian………. 24

HASIL DAN PEMBAHASAN………... 26

Hasil………. 26

Jumlah Tunas………. 26

Jumlah buku………... 26

Bobot Basah Planlet dan Persentase Bobot Kering ……… 28

Jumlah akar……… 28

Panjang Ruas……….. 30

Tinggi Tanaman………. 30

Waktu Pembentukan Umbi……… 32

Kecepatan dan Keseragaman Pembentukan Umbi………. 32

Jumlah Umbi……….. 34

Bobot Basah Umbi, Ukuran (Diameter) Umbi dan Persentase Bobot Kering Umbi……… 37

Pembahasan………. 39

(13)

SIMPULAN DAN SARAN………. 47

DAFTAR PUSTAKA……….. 48

(14)

Halaman 1. Pengaruh konsentrasi nitrogen dan sukrosa terhadap jumlah tunas dan

jumlah buku……… 27

2. Pengaruh konsentrasi nitrogen dan sukrosa terhadap bobot basah planlet, persentase bobot kering planlet dan jumlah akar... ……… 29

3. Pengaruh konsentrasi nitrogen dan sukrosa terhadap panjang ruas dan tinggi tanaman………... 31

4. Pengaruh konsentrasi nitrogen dan sukrosa terhadap kecepatan dan keseragaman pembentukan umbi……….... 33

5. Pengaruh konsentrasi nitrogen dan sukrosa terhadap jumlah umbi……… 35

(15)

Halaman 1. Kerangka pemikiran pengaruh konsentrasi nitrogen dan sukrosa terhadap

produksi umbi mikro kentang kultivar granola………. 5

(16)

1. Rekapitulasi hasil sidik ragam peubah pertumbuhan stek mikro dan

pengumbian mikro kentang……… 54

2. Komposisi media Murashige dan Skoog (MS) (1962)……….... 55

3. Sidik ragam jumlah tunas 2 MST dan 4 MST……… 56

4. Sidik ragam jumlah buku 2 MST dan 4 MST……… 56

5. Sidik ragam bobot basah planlet 4 MST………. 57

6. Sidik ragam persentase bobot kering planlet 4 MST……….. 57

7. Sidik ragam jumlah akar 2 MST dan 4 MST………... 58

8. Sidik ragam panjang ruas 2 MST dan 4 MST……… 59

9. Sidik ragam tinggi tanaman 2 MST dan 4 MST………. 59

10. Sidik ragam jumlah umbi pada 1 – 8 MSP (Trans √x + 0.5)……….. 60

11. Sidik ragam bobot basah umbi 8 MSP……… 62

12. Sidik ragam ukuran umbi 8 MSP……… 62

13. Sidik ragam persentase bobot kering umbi 8 MSP………. 62

14. Rekapitulasi persamaan regresi peubah pertumbuhan stek mikro dan pengumbian mikro kentang……… 63

15. Matriks korelasi pertumbuhan stek mikro dan pengumbian mikro kentang……… 69

16. Penampilan umbi mikro pada 8 minggu setelah pengumbian……… 71

(17)

Latar Belakang

Kentang (Solanum tuberosum L.) di Indonesia merupakan salah satu

komoditas sayuran yang mendapat prioritas pengembangan, karena dapat

digunakan sebagai sumber karbohidrat, bergizi tinggi terutama vitamin dan

mineral dan mempunyai potensi dalam diversifikasi pangan. Permintaan pasar

terhadap kentang dalam beberapa tahun terakhir ini cenderung meningkat sejalan

dengan berkembangnya jumlah penduduk yang menggunakan kentang sebagai

sayuran sehari-hari dan berkembangnya industri pengolahan makanan

(Karjadi 2002). Secara umum produksi kentang di Indonesia masih relatif rendah,

yaitu 1.060.579 ton dengan luas panen 66.508 ha dan produktivitas 15.95 ton/ha

(BPS 2010), sedangkan produktivitas kentang negara subtropis seperti USA dan

Belanda sudah mencapai 37.40 ton/ha dan 45.10 ton/ha (Rubatsky & Yamaguchi

1998).

Kendala penting produksi kentang di Indonesia adalah ketersediaan

kultivar standar yang sesuai dengan lingkungan di Indonesia, bibit kentang masih

diimpor dari luar negeri, dan adanya beberapa penyakit yang sukar dikendalikan

seperti virus (PVX, PVY, PVLR), hawar daun, layu bakteri dan nematoda, yang

dapat tertular melalui bibit (seed borne disease). Penyakit-penyakit seed borne

akan terakumulasi sepanjang terus diperbanyak secara vegetatif dengan umbi

(konvensional). Oleh karena itu terdapat dua masalah utama yang harus segera

diatasi dalam budidaya kentang yaitu : (1) masalah ketersediaan bibit melalui

pengembangan propagul kentang bermutu dan (2) masalah hama dan penyakit

melalui perakitan kultivar unggul (Purwito et al. 1995, Wattimena 2000). Apabila

petani menggunakan bibit impor maka 40–50% dari total biaya produksi kentang

sudah dikeluarkan hanya untuk pengadaan bibit. Kondisi ini mengakibatkan

petani yang umumnya berkemampuan ekonomi rendah tidak mungkin

melakukannya sehingga untuk memenuhi kebutuhan bibitnya, petani

mempergunakan bibit lokal yang kurang bermutu (Wattimena et al. 1983,

(18)

Usaha untuk mendapatkan bibit kentang yang berkualitas baik dapat

dilakukan melalui teknik kultur jaringan. Teknik ini dapat menyediakan bibit yang

bebas pathogen, seragam dan tidak tergantung musim. Wattimena et al.

(1983) memperkenalkan dua teknik dalam produksi propagula melalui

perbanyakan mikro yaitu dengan stek mikro dan umbi mikro. Umbi mikro

memiliki beberapa keunggulan dibandingkan stek mikro karena lebih mudah

ditangani, dapat ditransportasikan dalam jarak jauh tanpa mengurangi

viabilitasnya serta lebih tahan bila dipindahkan ke media non aseptik (Wattimena

et al. 1983, Wang & Hu 1982).

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat pengaruh media yang

digunakan terhadap produksi umbi mikro antara lain Wattimena et al. (2001),

Kailola (2002) menggunakan media pengumbian MS cair + sukrosa 90 g/l +

cycocel 600 mg/l + air kelapa 15% dengan konsentrasi aspirin 30 mg/l

menghasilkan bobot basah umbi tertinggi yaitu 236.60 mg/umbi. Mustika (2005)

melakukan percobaan pada kultivar Granola diperoleh jumlah umbi terbanyak

7.8 umbi dengan diameter 5.37 mm, diameter umbi diatas 5 mm 55.03%, bobot

basah umbi 179.82 mg, bobot basah umbi diatas 100 mg 47.08% dan persentase

bobot kering umbi tertinggi 20.17% dihasilkan oleh media dengan 30 mg/l

coumarin dan 60 mM nitrogen. Stallknecht et al. (1979) mendapatkan persentase

pengumbian sebesar 15–20% pada media MS yang diinduksi coumarin dengan

konsentrasi N yang tinggi (60 mM N/l) sedangkan pada media Katsura dengan

konsentasi N rendah (2.5 mM N/l) menghasilkan persentase pengumbian sebesar

95–100%. Penghambatan pengumbian yang diinduksi coumarin oleh N tinggi

dapat dimodifikasi dengan menaikkan karbohidrat misalnya pada media Katsura

dengan N 15 mM dan sukrosa yang dinaikkan dari 6-12% mengakibatkan

persentase pengumbian menjadi 100%. Menurut Wattimena (1983) unsur hara

nitrogen pada media pertunasan maupun pengumbian secara in vitro sangat

mempengaruhi proses pembentukan umbi mikro dan kualitas umbi mikro yang

diinduksi oleh coumarin.

Penelitian tentang pengaruh nitrogen dan sukrosa pada media pertunasan

dan pengumbian yang sama belum pernah dilakukan. Secara umum penggunaan

(19)

umbi mikro yang besar tetapi memiliki persentase pengumbian yang rendah, hal

ini dapat diimbangi dengan pemberian sukrosa sehingga menghasilkan persentase

pengumbian dan bobot kering umbi yang tinggi. Diharapkan dengan

memanipulasi konsentrasi nitrogen dan sukrosa pada media pertunasan dan

pengumbian maka akan dihasilkan umbi mikro yang besar dengan bobot kering

dan persentase pengumbian yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai umbi

bibit G0. Bibit G0 harus mempunyai mutu prima yang dapat ditanam pada umur

fisiologi bibit yang optimal sehingga diharapkan dapat meningkatkan produksi

kentang rata-rata nasional (Wattimena 2000). Penelitian tentang manipulasi

konsentrasi nitrogen dan sukrosa perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan

ketersediaan bibit bermutu. Penelitian ini menggunakan kultivar Granola karena

pada saat ini kultivar kentang yang banyak dibudidayakan petani adalah kultivar

Granola. Keunggulan kultivar Granola adalah berumur genjah (90 hari), hasil

tinggi, agak tahan terhadap penyakit hawar daun, resisten terhadap virus kentang

PVX dan PVY dan agak tahan terhadap penyakit layu bakteri. Kelemahan kultivar

Granola adalah kandungan air tinggi sekitar 85% sehingga tidak cocok untuk

kentang olahan (Warnita 2006).

Perumusan Masalah dan Kerangka Pemikiran

Kentang adalah salah satu sumber makanan pokok harapan kedepan yang

bergizi dengan perbandingan kalori dan gizi yang berimbang. Kebutuhan yang

meningkat akan kentang segar maupun olahan baik untuk pasar domestik maupun

ekspor memberi peluang peningkatan produksi kentang di Indonesia. Dari segi

budidaya tanaman kentang memiliki dua masalah utama yang harus segera diatasi

yaitu masalah penyediaan bibit melalui pengembangan propagul kentang bermutu

dan masalah hama dan penyakit melalui perakitan kultivar unggul.

Usaha untuk mendapatkan bibit kentang yang berkualitas baik dapat

dilakukan melalui teknik kultur jaringan. Keunggulan teknik kultur jaringan

tanaman adalah dapat menghasilkan propagul tanaman dalam jumlah banyak dan

dalam waktu yang singkat bebas hama dan penyakit (sistemik dan non sistemik)

serta sama dengan induknya. Kultur jaringan kentang dapat berupa stek mikro

(20)

Komposisi media merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

produksi umbi mikro. Menurut Wattimena (1983) unsur hara nitrogen pada media

pertunasan maupun pengumbian secara in vitro sangat mempengaruhi proses

pembentukan umbi mikro dan kualitas umbi mikro yang diinduksi oleh coumarin.

Penelitian tentang pengaruh nitrogen dan sukrosa pada media pertunasan

dan pengumbian yang sama belum pernah dilakukan. Secara umum penggunaan

konsentrasi nitrogen yang tinggi pada media pengumbian akan menghasilkan

umbi mikro yang besar tetapi memiliki persentase pengumbian yang rendah, hal

ini dapat diimbangi dengan peningkatan konsentrasi sukrosa yang diharapkan

dapat menghasilkan persentase pengumbian dan bobot kering umbi yang tinggi.

Diharapkan dengan memanipulasi konsentrasi nitrogen dan sukrosa pada media

pertunasan dan pengumbian maka akan dihasilkan umbi mikro yang besar dengan

bobot kering dan persentase pengumbian yang tinggi sehingga dapat digunakan

sebagai umbi bibit G0. Kerangka pemikiran pengaruh konsentrasi nitrogen dan

sukrosa terhadap produksi umbi mikro kentang kultivar Granola disajikan pada

gambar 1.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yaitu: (1) Mengetahui konsentrasi nitrogen yang

optimum untuk pertumbuhan stek dan pengumbian mikro kentang,

(2) Mengetahui konsentrasi sukrosa yang optimum untuk pertumbuhan stek dan

pengumbian mikro kentang, (3) Mengetahui kombinasi antara konsentrasi

nitrogen dan sukrosa yang optimum untuk pertumbuhan stek dan pengumbian

mikro kentang.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah (1) Terdapat

konsentrasi nitrogen yang optimum pada pertumbuhan stek dan pengumbian

mikro kentang, (2) Terdapat konsentrasi sukrosa yang optimum pada

pertumbuhan stek dan pengumbian mikro kentang, (3) Terdapat kombinasi antara

konsentrasi nitrogen dan sukrosa yang optimum pada pertumbuhan stek dan

(21)

Produksi Kentang

Bibit Kentang Bermutu

Bibit Kultur Jaringan

+ atau - : korelasi positif atau negatif antara peubah dengan tinggi atau rendahnya

nisbah sukrosa nitrogen

(?) : kemungkinan korelasi positif atau negatif antara peubah dengan tinggi atau rendahnya nisbah sukrosa nitrogen

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Kentang

Kentang merupakan tanaman herba dikotil dan bersifat semusim atau

annual (Nonnecke 1989). Tanaman kentang termasuk dalam famili Solanaceae

dengan genus Solanum dan spesies Solanum tuberosum L. Tanaman kentang

berasal dari benua Amerika Selatan. Beberapa spesies kentang liar terdapat di

wilayah pegunungan Andes mulai dari Kolombia sampai Chilli, tanaman ini

menyebar ke seluruh dunia melalui Eropa dan menjadi salah satu bahan pangan

penting dunia (Smith 1986).

Nonnecke (1989) mengemukakan bahwa perbanyakan suatu kultivar

kentang umumnya adalah melalui umbi. Apabila dikehendaki perubahan pada

suatu tipe, maka perbanyakan dilakukan melalui biji. Permadi et al. (1989)

menyatakan bahwa tanaman kentang biasanya diperbanyak dari umbi (vegetatif)

sehingga sifat tanaman generasi berikutnya sama dengan induknya. Penanaman

dengan biji dilakukan untuk menciptakan varietas-varietas baru.

Kentang memiliki bentuk perakaran tunggang dengan banyak akar lateral

dan adventisius. Akar muncul dari buku batang yang terletak di dalam tanah

(Edmond et al. 1977). Nonnecke (1989) menyatakan bahwa akar pada kentang

memiliki peranan yang lebih kecil dalam penyimpanan fotosintat dibandingkan

kebanyakan tanaman lainnya karena umbi merupakan tempat penyimpanan hasil

fotosintesis daun, menggantikan peranan penting akar sebagai tempat makanan.

Menurut Edmond et al. (1977) terdapat dua tipe batang pada tanaman

kentang. Batang yang di atas permukaan tanah (aerial) bentuknya angular

berwarna hijau kemerahan atau hijau keunguan tergantung varietas. Batang yang

berada di dalam tanah terdiri dari stolon dan umbi.

Nonnecke (1989) mengemukakan bahwa pada fase perkembangan, bentuk

batang tegak lurus tetapi dengan bertambahnya umur tanaman, batang menjadi

tergeletak dan terlentang. Pada mulanya batang lunak dan padat, tetapi kemudian

berkembang menjadi bersegi (angular) dan berongga. Permadi et al. (1989)

menyatakan bahwa batang tanaman kentang berongga dan tidak berkayu kecuali

(23)

pertama tanaman kentang berupa daun tunggal, kemudian daun-daun berikutnya

muncul berupa daun-daun majemuk dengan anak daun primer dan anak daun

sekunder. Daun menyirip majemuk dengan lembar daun bertangkai memiliki

ukuran, bentuk dan tekstur yang beragam (Rubatzky & Yamaguchi 1998).

Bunga tanaman kentang adalah zygomorph dan berjenis kelamin dua

(Tjitrosoepomo 1997). Bunga berwarna putih, merah jambu sampai keunguan

tergantung varietas. Daun kelopak, daun mahkota dan benang sari masing-masing

berjumlah lima buah dengan satu buah putik yang mempunyai sebuah bakal buah

yang beruang dua (Smith 1986). Menurut Nonnecke (1989) bunga kentang tidak

menghasilkan nektar madu sehingga tidak didatangi lebah, angin merupakan

perantara penyerbukan.

Thompson dan Kelly (1957) menyatakan bahwa umbi merupakan hasil

pembengkakan dari ujung stolon, tetapi tidak semua stolon dapat membentuk

umbi. Menurut Sunarjono (1975) ukuran stolon tergantung pada varietas kentang.

Ukuran stolon bisa pendek sehingga seolah-olah tidak berstolon. Menurut

Edmond et al. (1977) umbi kentang merupakan batang yang berfungsi sebagai

bagian penyimpanan cadangan makanan dengan kandungan tepung yang cukup

tinggi. Umbi berada di ujung stolon dengan ciri pendek, gemuk dan berdaging.

Menurut Permadi et al. (1989) umbi akan terputus dari stolon pada saat stolon

mengering bersamaan dengan matinya tanaman.

Perbanyakan Kentang Secara In Vitro

Ketersediaan bibit kentang bermutu merupakan salah satu masalah dalam

peningkatan produksi kentang di Indonesia. Penyediaan bibit kentang bermutu

sangat terbatas karena perbanyakan kentang yang lambat dan adanya penyakit

yang menyerang bibit sehingga menurunkan hasil panen kentang

(Vander Zaag & Wei 1991). Bibit impor terbatas dengan harganya mahal.

Pemenuhan kebutuhan bibit ini terpaksa menggunakan bibit lokal yang kurang

bermutu (Wattimena 1992).

Cara perbanyakan tanaman melalui teknik kultur jaringan atau

mikropropagasi merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah dalam

(24)

menghasilkan propagul tanaman dalam jumlah banyak, dalam waktu yang singkat,

bebas hama dan penyakit (sistemik dan nonsistemik) serta sama dengan induknya

(Wattimena 2000).

Penerapan teknik kultur jaringan didasarkan pada prinsip bahwa tanaman

dapat ditumbuhkan dan diperbanyak secara in vitro dari sekelompok sel atau

sebagian kecil jaringan tanaman dalam media aseptik, yang nutrisi dan keadaan

lingkungannya terkendali dengan baik, sehingga dapat dihasilkan tanaman baru

yang mampu tumbuh pada media non aseptik (Winata 1987).

Wattimena (2000) menyatakan bahwa pembibitan mikropropagasi kentang

untuk subtitusi propagul umbi biasa harus memenuhi beberapa kriteria yaitu :

(1) bibit mikropropagasi tersebut sangat diperlukan, (2) harus menguntungkan

baik dalam produksi propagulnya maupun dalam sistem budidaya kentang

(cost effective), (3) sistem distribusi yang memenuhi persyaratan kuantitas dan

kualitas, serta (4) sistem yang dapat beradaptasi terhadap sistem transportasi dan

penanganan di Indonesia.

Perbanyakan Kentang dengan Umbi Mikro

Pada dasarnya umbi kentang merupakan modifikasi batang dengan sumbu

utama yang memendek dan bagian lateralnya terhambat (Artschwager 1924 dalam

Slater 1963). Umbi kentang dianggap penting karena 75–85% bahan kering total

yang diproduksi tanaman diakumulasi di dalam umbi (Ivins & Bremner 1964

dalam Cutter 1978). Di lapang umbi terbentuk pada stolon yaitu cabang-cabang

aksilar dari batang yang tumbuh di bawah tanah. Pada kondisi tertentu umbi dapat

tumbuh pada setiap mata tunas aksilar (Werner 1954 dalam Cutter 1978).

Berdasarkan prinsip tersebut, dengan proses penginduksian yang sesuai,

setiap mata tunas aksilar pada ketiak daun dari tunas yang ditumbuhkan secara

in vitro mampu menghasilkan umbi. Pembentukan umbi secara in vitro

(umbi mikro) dapat terjadi pada ketiak daun dari tunas eksplan (sesil/duduk) dan

pada pucuk atau ketiak daun dari tunas samping yang baru terbentuk (terminal

serta aksilar). Umbi mikro berukuran kecil (beberapa mm sampai lebih dari

(25)

morfologis umbi mikro identik dengan umbi yang diproduksi di lapang

(Wattimena 1983, Wang & Hu 1985).

Persiapan umbi mikro sampai siap pindah lapang terdiri dari 4 fase yaitu:

(1) produksi tunas mikro selama 4 minggu, (2) produksi umbi mikro selama

8 minggu, (3) pertunasan umbi mikro selama 8–16 minggu dan (4) pembuatan

semai (seedling) selama 4–6 minggu. Di daerah tropis seperti di Indonesia dapat

ditanam umbi mikro yang telah bertunasan secara langsung di lapang asal panjang

tunas sudah mencapai 1 cm atau lebih. Di USA (iklim dingin) hal itu tidak dapat

dilakukan karena pada waktu tanam suhu tanah masih dingin dan tunas umbi

mikro itu tidak sanggup untuk tumbuh ke permukaan tanah Wattimena (1992).

Menurut Wattimena (2000) keuntungan dari penggunaan propagul umbi

mikro adalah : (1) propagul umbi mikro yang berasal dari eksplan bebas penyakit

akan menghasilkan umbi mikro bebas penyakit, (2) umbi mikro akan

menghasilkan tanaman yang seragam dan umur panen sama dengan propagul

umbi biasa, (3) kebutuhan umbi mikro hanya 4–5 kg per hektar dibandingkan

dengan umbi biasa yang memerlukan 1–2 ton bibit per hektar, (4) mudah dalam

penyimpanan, transportasi dan penanganan, (5) mudah memenuhi persyaratan

karantina untuk lalu lintas propagul baik dalam maupun luar negeri.

Disamping keuntungan yang telah disebut, propagul umbi mikro juga

mempunyai kelemahan antara lain : (1) keadaan cekaman pada awal pertumbuhan

lebih berdampak negatif dibandingkan dengan propagul umbi biasa, (2) masa

dormansi yang panjang dan pecah dormansi tidak serentak. Lamanya waktu

dormansi tergantung dari genotipe dan retardan yang digunakan. Penggunaan

retardan paclobutrazol memperpanjang masa dormansi. Kultivar-kultivar berumur

genjah mempunyai dormansi yang lebih pendek dibanding dengan

kultivar-kultivar berumur dalam, (3) produksi umbi mikro sampai panen memerlukan

waktu yang lebih lama (12 minggu) dibandingkan dengan stek mikro (4 minggu).

Ongkos produksi per satuan propagul pun pada umbi mikro 3 kali lebih mahal

dari stek mikro. Penelitian mengenai umbi mikro perlu dilanjutkan terutama

didalam produksi secara masal. Sistem produksi dengan mempergunakan media

cair, maupun sistem satu jenis atau dua jenis media membuka peluang untuk

(26)

Pembentukan umbi terbagi menjadi dua tahap, yaitu : (1) induksi

pengumbian dan (2) pembesaran atau pertumbuhan umbi. Tahap pembesaran

umbi merupakan tanda pertama yang dapat dilihat dari terjadinya induksi

pengumbian (Chapman 1958). Menurut Plaisted (1957) dalam Slater (1963),

pembesaran umbi terjadi terutama karena meningkatnya jumlah sel di dalam umbi

dan bukan karena peningkatan ukuran sel.

Keberhasilan pengumbian kentang tergantung dari ketepatan memilih

proses-proses yang dapat memanipulasi tahap induksi pengumbian dan tahap

pembesaran atau pertumbuhan umbi (Ewing 1981). Di dalam kultur in vitro,

keberhasilan pembentukan umbi dapat tercapai dengan pemilihan eksplan, media

tumbuh dan kondisi lingkungan yang tepat (Hussey 1980, Locy 1984, Wang & Hu

1985).

Pemilihan eksplan yang tepat akan mempengaruhi keberhasilan

pengumbian kentang secara in vitro. Ukuran, sumber atau letak dan umur

fisiologis eksplan perlu diperhatikan. Secara umum, semakin kecil ukuran eksplan

semakin kecil daya hidupnya. Letak eksplan pada tanaman juga berpengaruh,

misalnya ujung pucuk apikal merupakan eksplan yang lebih baik dari ujung pucuk

aksilar (Locy 1984). Sel-sel yang telah mengalami diferensiasi lanjut lebih sukar

ditumbuhkan daripada sel-sel yang masih bersifat meristematis (Winata 1987).

Eksplan untuk pembentukan umbi mikro kentang dapat berupa tunas umbi

yang teretiolasi atau stolon apikal (Palmer & Smith 1969, 1970, Stallknecht &

Farnsworth 1979, 1982), stek berbuku tunggal, yang berasal dari lapang atau dari

kultur in vitro (Roca et al. 1979, Hussey & Stacey 1981,Wattimena 1983,Estrada

et al. 1986) atau tunas berakar yang ditumbuhkan di dalam kultur in vitro (Wang

& Hu 1985). Menurut Stallknecht dan Farnsworth (1979), penggunaan jaringan

yang besar, seperti stolon apikal dan stek mikro, dapat memberikan hasil

pengumbian yang lebih kompleks. Wang dan Hu (1985) berpendapat bahwa

kondisi optimum dari faktor-faktor yang mempengaruhi pengumbian dapat

berbeda tergantung jenis jaringan eksplan dan kultivar yang digunakan. Setiap

eksplan yang digunakan untuk proses pengumbian secara in vitro terdiri dari

(27)

dapat didorong untuk membentuk tunas, stolon, atau umbi in vitro tergantung dari

komposisi media dan kondisi lingkungan tumbuh (Chapman 1958).

Media kultur jaringan merupakan campuran dari unsur hara makro, unsur

hara mikro, karbon (gula), vitamin, asam amino dan zat pengatur tumbuh

(Winata 1988). Pertumbuhan tanaman kultur jaringan sangat dipengaruhi oleh

komposisi media ini. Media yang sering digunakan untuk kultur in vitro kentang

adalah media MS (Murashige dan Skoog).

Suhu dan cahaya merupakan dua faktor eksogen yang dapat

mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur jaringan (George &

Sherrington 1984). Kedua faktor tersebut juga mempengaruhi pertumbuhan

vegetatif dan pengumbian kentang dalam kultur in vitro. Menurut Madec (1963)

dan Ewing (1981), fotoperiode dan suhu mempengaruhi keseimbangan atau rasio

dari zat pengatur tumbuh yang berperan dalam pengumbian kentang seperti

giberelin dan sitokinin, serta ketersediaan karbohidrat yang dibutuhkan untuk

inisiasi dan pertumbuhan umbi.

Hussey (1980) serta Wang dan Hu (1985) menyatakan bahwa suhu yang

umum digunakan dalam pertumbuhan tunas mikro kentang adalah 15–25oC.

Untuk pengumbian secara in vitro, suhu optimum yang konstan memberikan hasil

produksi umbi mikro yang lebih tinggi daripada bila perbedaan suhu siangnya

tinggi dan suhu malamnya rendah (Wang & Hu 1982). Menurut Stallknecht dan

Farnsworth (1982), pada suhu yang < 15oC serta > 30oC pembentukan umbi mikro

akan terhambat. Suhu optimum yang dibutuhkan dalam pembentukan umbi dalam

kultur in vitro adalah 18–20oC (Wang & Hu, 1985). Untuk produksi tunas mikro

kentang digunakan suhu 20–25oC, sedangkan untuk produksi umbi mikro

digunakan suhu 15–20oC (Wattimena et al. 1983).

Cahaya mempengaruhi proses morfogenesis, diferensiasi, dan

embriogenesis somatik (Wang & Hu, 1982). Untuk pertumbuhan tunas in vitro

kentang dibutuhkan cahaya dengan intensitas sebesar 1000–5000 luks (Wang &

Hu 1985) serta panjang hari sekitar 16 jam per hari (Hussey 1980, Wang & Hu

1985) atau penyinaran terus-menerus (Wattimena et al. 1983).Wang dan Hu

(1985) berpendapat bahwa pembentukan umbi mikro kentang memerlukan

(28)

menggunakan keadaan gelap terus-menerus selama masa inkubasi (8 minggu) di

dalam media pengumbian.

Sukrosa

Karbohidrat merupakan sumber energi untuk sel-sel tanaman dalam kultur

yang belum dapat melaksanakan fotosintesis. Karbohidrat yang terpenting dan

biasa digunakan adalah sukrosa. Menurut Prawiranata et al. (1994) sukrosa dan

pati merupakan bentuk karbohidrat cadangan yang penting dalam sel tumbuhan.

Selain itu sukrosa merupakan bentuk senyawa organik utama yang

ditransportasikan ke dalam sel tumbuhan. Senyawa organik tersebut berperan

dalam menghasilkan energi dalam proses respirasi dan sebagai bahan pembentuk

sel baru.

Menurut Gautheret dalam George dan Sherrington (1984) sumber

karbohidrat yang paling baik yaitu dalam bentuk sukrosa, glukosa, maltosa dan

rafinosa. Pierik (1987) menyatakan bahwa gula yang dijual di supermarket terdiri

dari sukrosa 99.94%, air 0.02%, rafinosa, fruktosa dan glukosa 0.04%.

Untuk pertumbuhan tunas mikro yang baik dibutuhkan sukrosa sebesar

2–3% (Roca et al. 1979, Hussey & Stacey 1981, Wang & Hu 1982, Wattimena

1983). Menurut Wang dan Hu (1985), konsentrasi sukrosa untuk pengumbian

kentang secara in vitro harus lebih tinggi dari konsentrasi sukrosa yang umum

digunakan. Untuk pengumbian kentang di lapang, karbohidrat yang akan

diakumulasi di dalam umbi merupakan hasil fotosintesa pada kondisi lingkungan

yang intensitas cahayanya tinggi. Intensitas cahaya yang tinggi seperti di lapang

tidak dapat diterapkan di dalam ruang inkubasi kultur, karena suhu di dalam botol

kultur akan meningkat melebihi batas maksimum yang dapat diterima oleh tunas

in vitro. Dengan demikian, karbohidrat yang dibutuhkan untuk pengumbian

in vitro disediakan dari penambahan sukrosa di dalam media. Konsentrasi sukrosa

yang umum digunakan sekitar 6–8% (Palmer & Smith 1969, Wattimena 1983,

Estrada et al. 1986). Hasil penelitian Puspitaningtyas (1988) dan Meilinda (1990)

menunjukkan bahwa konsentrasi sukrosa 9% memberikan pengaruh yang terbaik

terhadap jumlah, ukuran dan bobot basah umbi. Selanjutnya Wattimena (1992)

(29)

tunas bila dalam kondisi gelap. Penggunaan sukrosa dalam media pembibitan

in vitro ditujukan untuk menciptakan ketahanan bibit mikro kentang tersebut.

Menurut Haryadi (1993) sukrosa merupakan karbohidrat cadangan yang penting

dalam sel tumbuhan. Pada awal pertumbuhan atau fase vegetatif karbohidrat

dibutuhkan untuk pembentukan akar, batang dan daun.

Nitrogen

Unsur nitrogen (N) merupakan unsur yang paling banyak berperan pada

fase pertumbuhan vegetatif dan pengumbian kentang. Unsur N media dipenuhi

dalam bentuk nitrat (NO3-) dan amonium (NH4+). Konsentrasi nitrat biasanya

antara 25–40 mM dan konsentrasi amonium antara 2–20 mM (Gamborg & Shyluk

1981). Pada kultur jaringan tanaman kentang tidak dapat tumbuh dalam bentuk

nitrat atau amonium saja (Winarso 1986). Pertumbuhan yang terbaik adalah dalam

perbandingan 1:1, 2:1 atau 3:1 (nitrat:amonium). Perbandingan 3:1 menunjukkan

pertumbuhan kentang lebih vigor (Mahasin 1988). Perbandingan unsur N dalam

media Murashige dan Skoog adalah 2:1 (Wattimena 1995). Media MS

menyediakan 60 mM dalam bentuk nitrat dan amonium, masing-masing sebanyak

40 mM dan 20 mM.

Pembentukan umbi mikro tidak hanya dipengaruhi komposisi media

pengumbian tetapi juga oleh jumlah nitrogen yang digunakan untuk pertunasan.

Konsentrasi nitrogen pada media pertunasan berpengaruh terhadap keadaan

fisiologis dari tunas yang ditumbuhkan secara in vitro sehingga akan

mempengaruhi pembentukan umbi mikro. Wattimena (1983) menyatakan bahwa

tunas mikro kentang dapat tumbuh dengan baik pada konsentrasi N tinggi

(60–120 mM) dan pada konsentrasi N rendah (6 mM) pertumbuhan tunas sangat

terhambat.

Respon tanaman terhadap nitrogen juga dipengaruhi oleh kultivar

(genotipe), sehingga pertumbuhan tanaman dengan kultivar tertentu akan berbeda

dibandingkan kultivar lain pada konsentrasi N yang sama. Misalnya kultivar

Red Pontiac memberikan respon pertumbuhan yang tinggi terhadap peningkatan

konsentrasi N di dalam media dari 6–60 mM dibandingkan dengan kultivar

(30)

konsentrasi N rendah (4 mM) dan konsentrasi N tinggi (60 mM) pada media

pengumbian atau sebaliknya akan lebih baik daripada produksi umbi pada media

pertunasan dan pengumbian dengan konsentrasi N tinggi (60 mM), untuk ketiga

kultivar tersebut di atas. Tidak semua kultivar tanaman kentang dapat tumbuh

dengan baik pada media pertunasan yang konsentrasi N-nya rendah. Padahal

untuk memperoleh produksi umbi mikro dengan kualitas tinggi dibutuhkan tunas

mikro yang berkualitas tinggi sebagai sumber eksplan(Wattimena 1983).

Pemberian N secara berlebihan juga dapat menimbulkan masalah, yaitu

menurunnya kandungan karbohidrat dan kualitas umbi (Thompson & Kelly 1957).

Peningkatan N akan meningkatkan kandungan protein umbi yang diikuti dengan

menurunnya kandungan karbohidrat, akibatnya kandungan bahan kering

cenderung menurun. Konsentrasi N tinggi (60 mM) baik pada media eksplan

maupun media pengumbian dapat menghambat translokasi coumarin sehingga

pembentukan umbi terhambat. Akan tetapi konsentrasi N rendah (2.5 mM) akan

menginduksi pengumbian sampai 95–100% (Stallknecht & Farnsworth 1979).

Selain itu juga dikemukakan bahwa penghambat pembentukan umbi oleh

konsentrasi N tinggi dapat diatasi dengan meningkatkan konsentrasi karbohidrat

(sukrosa) dalam media. Wattimena (1995) mendapatkan konsentrasi nitrogen yang

tepat yaitu 15 mM untuk menghasilkan respon terbaik pada jumlah umbi, ukuran

umbi, bobot basah dan persentase bahan kering umbi mikro yang diiinduksi oleh

coumarin dan kinetin pada keempat taraf pH yang digunakan ( 4.7, 5.7, 6.7 dan

7.7). Meilinda (1990) mengemukakan bahwa pembentukan umbi dihambat oleh

konsentrasi nitrogen yang tinggi (60 mM) dapat diatasi dengan menambahkan

(31)

Zat Pengatur Tumbuh

Menurut Wattimena (1988) zat pengatur tumbuh (ZPT) merupakan

senyawa organik yang dapat digunakan untuk memodifikasi pertumbuhan dan

perkembangan tanaman dan diarahkan untuk perbaikan komponen hasil yang

mendukung produksi. ZPT ini menentukan perkembangan tanaman, baik alamiah

maupun sintetik. Selanjutnya Abidin (1993) menyatakan bahwa zat pengatur

tumbuh pada tanaman merupakan senyawa bukan hara yang dalam jumlah sedikit

dapat mendukung, menghambat dan merubah proses fisiologis tanaman. Menurut

Wattimena (1992) terdapat 6 kelompok ZPT, yaitu auksin, giberelin, sitokinin,

asam absisi (ABA), etilen dan retardan. Senyawa-senyawa poliamin (putresin,

spermidin, spermin), polifenolik dan alkohol berantai panjang (triakontanol)

sering digolongkan ke dalam ZPT. Fitokrom walaupun bukan ZPT tetapi

mempunyai pengaruh yang sama dengan ZPT, hanya fitokrom bukan senyawa

organik tetapi jenis pigmen tumbuhan.

Setiap proses morfogenesis ada ZPT yang menghambat dan ada ZPT yang

mendorong, praktek pemberian ZPT untuk proses morfogenesis suatu organ

adalah pemberian ZPT yang mendorong dan senyawa atau ZPT yang menghambat

ZPT penghambat, pada proses pembentukan umbi mikro, sitokinin adalah

pendorong dan giberelin adalah penghambat, karena itu pemberian ZPT untuk

pengumbian in vitro terdiri dari sitokinin, retardan dan inhibitor (coumarin),

retardan sebagai penghambat biosintesis giberelin dan inhibitor sebagai antagonis

terhadap proses penghambatan dari giberelin (Wattimena 1992).

Menurut Suryowinoto dalam Haryadi dan Pamenang (1983) air kelapa yang

baik untuk campuran kultur jaringan adalah kelapa muda yang dagingnya

(endospermanya) sudah berwarna putih tetapi masih dapat disendok. Secara

alamiah air kelapa memberi makan pada embrio. Air kelapa merupakan sumber

unsur hara dan sebagai stimulasi pertumbuhan (Scully 1967). Kemampuan air

kelapa untuk menyokong pertumbuhan jaringan tanaman mula-mula didapatkan

oleh Van Overbeck pada tahun 1944 pada potongan embrio Datura stramonium

(Winata 1995) yang memerlukan faktor untuk pertumbuhannya dan keperluan ini

(32)

medium aseptik, jaringan tanaman Datura stramonium menjadi tanaman lengkap.

Air kelapa dikenal sebagai salah satu sumber sitokinin (Letham 1974).

George dan Sherrington (1984) menyatakan beberapa penelitian yang telah

dilakukan memperlihatkan hasil bahwa penambahan air kelapa dapat

meningkatkan pertumbuhan jaringan dalam kultur, baik mendorong pertumbuhan

kalus dan kultur suspensi maupun morfogenesis. Pengaruh air kelapa yang

mendorong pertumbuhan dapat juga disebabkan karena air kelapa dapat

menyangga perubahan pH media. Makin besar konsentrasi air kelapa perubahan

pH media makin menurun (Mandang 1993). Burnet dan Ibrahim (1973) dalam

George dan Sherrington (1984) mendapatkan bahwa penambahan 20% air kelapa

(1/5 bagian dari volume media) diperlukan untuk inisiasi dan pertumbuhan kalus

pada beberapa spesies jeruk dalam media MS (Murashige dan Skoog). Rangan

(1974) dalam George dan Sherrington (1984) memperoleh peningkatan

pertumbuhan Panicum miliaceum yang ditumbuhkan dalam media MS yang

menggunakan 2.4-D dan air kelapa 15%. Steward dan Chaplin (1951) dalam

George dan Sherrington (1984) menunjukkan adanya kerjasama sinergisme antara

2.4-D dan air kelapa dalam menstimulasi pertumbuhan jaringan umbi kentang.

Wattimena (1995) menyatakan bahwa konsentrasi air kelapa 15% adalah yang

optimum pada pengumbian in vitro kentang.

Air kelapa telah diketahui sebagai sumber zat pengatur tumbuh yang kaya,

bagi perkembangan embrio. Salah satu zat tumbuh diantaranya yaitu sitokinin

endogen (Prawiranata et al. 1994). Sitokinin diperlukan dalam pengumbian

kentang secara in vitro. Menurut Wattimena (1983), zat pengatur tumbuh sitokinin

dibutuhkan jika proses pengumbian terjadi dalam keadaan gelap tanpa cahaya.

Sitokinin bekerja dengan memobilisasi hasil metabolisme ke arah lokasi dimana

umbi dibentuk. Palmer dan Smith (1969) mengemukakan bahwa pati aktif dan

sintesa protein dibutuhkan oleh umbi yang sedang terbentuk. Efek mobilitas

sitokinin akan membuat substrat-substrat esensial tersedia untuk proses tersebut.

Peran lain sitokinin dalam pengumbian adalah kemampuannya dalam merangsang

pembelahan sel sepanjang sumbu longitudinal yang berakibat adanya

pembengkakan umbi. Selain sitokinin air kelapa mengandung IAA (Indole Acetic

(33)

Air kelapa memiliki pH 4.8–5.3 (Thampan 1981). Hal ini disebabkan

kandungan asam organik yang dijumpai pada air kelapa, dimana asam organik

berfungsi sebagai buffer terhadap perubahan pH (Wattimena et al. 1990).

Beberapa zat pada air kelapa meliputi asam amino, asam nukleat, asam organik,

purin, gula alkohol, gula, vitamin, zat tumbuh dan mineral. Gula yang merupakan

sumber karbohidrat terdapat di dalam air kelapa meliputi sukrosa, glukosa,

fruktosa dan manitol (George & Sherrington 1984). Gula dan alkohol berfungsi

sebagai sumber energi. Gula alkohol yang terkandung dalam air kelapa (inositol)

dalam jumlah 100 mg/l selalu diberikan karena dapat memperbaiki pertumbuhan

tanaman in vitro (Wattimena et al. 1990).

Menurut Dicks (1979) dalam Wattimena (1988) retardan merupakan

senyawa organik sintetik yang bila diberikan pada tanaman yang responsif akan

menghambat perpanjangan sel pada meristem sub apikal, mengurangi

perpanjangan batang tanpa mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan daun

atau tanpa mendorong pertumbuhan yang abnormal. Selanjutnya Wattimena

(1988) menyatakan bahwa pengaruh fisiologis retardan antara lain : menghambat

perpanjangan sel, memperpendek ruas tanaman, mempertebal batang, mencegah

kerebahan, menghambat etiolasi, mempertinggi perakaran stek, menghambat

senescence, memperpanjang masa simpan, meningkatkan pembuahan, membantu

perkecambahan dan pertunasan. Menurut Wattimena (1992) retardan memiliki

kemampuan menghambat biosintesis giberelin sehingga dikenal sebagai anti

giberelin. Pada tanaman kentang terdapat giberelin alami (Okazawa 1973). Untuk

menginisiasi proses pengumbian, kandungan giberelin harus diturunkan, sehingga

pemberian retardan dapat menstimulasi proses pengumbian. Paclobutrazol

merupakan zat penghambat tumbuh yang mempunyai rumus kimia

(2RS. 3RS)-1-(4-chlorophenil)-4.4-dimethyl-2-(1H-1.2.4-triazol-1-yl)pentan-3-ol

dengan rumus empirik C15H20ClN3O. Paclobutrazol merupakan salah satu retardan

dengan senyawa triazol. Mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat

oksidasi kaurene menjadi asam kaurenoat, sehingga akan menghambat biosintesis

giberelin. Penghambat biosintesis giberelin endogen tersebut akan mengakibatkan

(34)

Aspirin atau asam asetil salisilat merupakan salah satu turunan asam

salisilat (SA). Sintesis asam asetil salisilat berasal dari esterifikasi asam salisilat

dan asam asetat. Aspirin di dalam media kultur jaringan secara otomatis

dihidrolisis menjadi asam salisilat. Asam salisilat dan coumarin memiliki jalur

biosintesis yang sama sehingga penggunaan aspirin diharapkan dapat mensubtitusi

penggunaan coumarin (Metraux & Raskin 1992). Asam salisilat merupakan

hormon tumbuh tanaman yang memiliki pengaruh fisiologis dalam menstimulasi

pembungaan karena menghambat biosintesis etilen dan menginduksi sifat resisten

terhadap patogen dalam jaringan tanaman yang berhubungan dengan reaksi

hipersensitif (HR) dengan menginduksi protein pathogenesis-related (PR)

(Raskin 1995).

Aspirin merupakan nama dagang dari asam asetil salisilat

(Acetyl Salicyllic Acid) yang mengalami hidrolisis secara spontan bila mengalami

kontak dengan suatu larutan. Di dalam kultur in vitro tanaman kentang,

peningkatan aspirin dari 10 mg/l sampai 30 mg/l meningkatkan keseragaman

pembentukan umbi mikro dan bobot basah umbi. Pada kultivar AD 12 bobot

basah umbi terbaik dihasilkan oleh interaksi air kelapa 15% dengan aspirin

30 mg/l dan mepiquat 30 mg/l ((Wattimena et al. 2001, Pulungan 2004).

Penggunaan asam salisilat untuk pengumbian kentang didasarkan pada

coumarin yang dapat menginduksi pembentukan umbi kentang dengan

penggunaan N pada media pengumbian sekitar 4–15 mM. Coumarin dan asam

salisilat mempunyai prazat yang sama yaitu asam sinamat (Wattimena 1988).

Menurut Hahlbrock dan Scheel (1989) dari biosintesisnya yang melalui

jalur shikimat – fenilalanin – asam benzoat – asam salisilat, terlihat bahwa asam

salisilat termasuk ke dalam kelompok fenolik yang berfungsi untuk pembentukan

(35)

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler dan Seluler

Tanaman Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi Lembaga

Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Institut Pertanian Bogor, pada bulan

Januari sampai dengan Mei 2010.

Bahan dan Alat

Bahan tanaman yang digunakan adalah stek mikro kentang hasil

perbanyakan in vitro dari kultivar Granola yang merupakan koleksi Laboratorium

Biologi Molekuler dan Seluler Tanaman. Media dasar adalah media MS

(Murashige dan Skoog). Bahan lain yang digunakan yaitu agar-agar sebagai bahan

pemadat, aquades, gula, air steril, spirtus, alkohol 70%, betadine, plastik, karet

gelang, tissue.

Alat-alat yang digunakan meliputi labu takar, gelas ukur, pipet, pengaduk,

timbangan, pH meter, timbangan analitik, kompor listrik, panci masak, botol

kultur, autoklaf, sprayer, laminar air flow cabinet, cawan petri, gunting, pinset,

lampu spritus (bunsen), spidol permanen, rak kultur yang dilengkapi dengan

lampu fluorescence untuk perbanyakan stek mikro, kain hitam untuk pengumbian,

oven, desikator dan kamera untuk dokumentasi.

Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari dua tahap percobaan yaitu : 1) Pengaruh

konsentrasi nitrogen dan sukrosa pada pertumbuhan stek mikro kentang dan

2) Pengaruh konsentrasi nitrogen dan sukrosa pada pengumbian mikro kentang,

sistem pengumbian yang digunakan adalah sistem dua media yaitu padat-cair.

(36)

Gambar 2 Bagan alur penelitian.

Tahap 1 : Pengaruh Konsentrasi Nitrogen dan Sukrosa pada Pertumbuhan Stek Mikro Kentang

Percobaan ini menggunakan rancangan perlakuan faktorial yang disusun

secara acak lengkap dengan asumsi setiap satuan percobaan mendapatkan

lingkungan yang sama di laboratorium kultur jaringan. Faktor yang diteliti terdiri

dari dua faktor yaitu konsentrasi nitrogen dan konsentrasi sukrosa. Faktor pertama

adalah nitrogen (N), terdiri dari 4 taraf konsentrasi yaitu 30 mM (N1), 60 mM

(N2), 90 mM (N3) dan 120 mM (N4). Faktor kedua adalah sukrosa (S), terdiri

dari 5 taraf konsentrasi yaitu 30 g/l, 45 g/l, 60 g/l, 75 g/l dan 90 g/l. Pada

masing-masing perlakuan diulang 10 kali sehingga terdapat 200 satuan percobaan. Satu

satuan percobaan adalah satu botol kultur yang terdapat 4 eksplan. Persiapan eksplan 8 minggu

Pengaruh konsentrasi nitrogen dan sukrosa pada pertumbuhan stek mikro kentang 4 minggu

N = 30 mM, 60 mM, 90 mM, dan 120 mM S = 30 g/l, 45 g/l, 60 g/l, 75 g/l dan 90 g/l

(Tahap 1)

Pengaruh konsentrasi nitrogen dan sukrosa pada pengumbian mikro kentang 8 minggu

N = 30 mM, 60 mM, 90 mM, dan 120 mM S = 30 g/l, 45 g/l, 60 g/l, 75 g/l dan 90 g/l

(37)

Model statistik linier yang digunakan dalam rancangan menurut Mattjik

dan Sumertajaya (2002) yaitu :

Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk, dengan

Yijk = nilai pengamatan perlakuan konsentrasi nitrogen ke-i, perlakuan

konsentrasi sukrosa ke-j dan ulangan ke-k

µ = rataan umum ke-i dan perlakuan konsentrasi sukrosa pada taraf ke-j

εijk = pengaruh galat percobaan perlakuan konsentrasi nitrogen ke-i, perlakuan konsentrasi sukrosa ke-j dan ulangan ke-k

Tahap 2 : Pengaruh Konsentrasi Nitrogen dan Sukrosa pada Pengumbian Mikro Kentang

Percobaan ini menggunakan rancangan perlakuan faktorial yang disusun

secara acak lengkap dengan asumsi setiap satuan percobaan mendapatkan

lingkungan yang sama di laboratorium kultur jaringan. Faktor yang diteliti terdiri

dari dua faktor yaitu konsentrasi nitrogen dan konsentrasi sukrosa. Faktor pertama

adalah nitrogen (N), terdiri dari 4 taraf konsentrasi yaitu 30 mM (N1), 60 mM

(N2), 90 mM (N3) dan 120 mM (N4). Faktor kedua adalah sukrosa (S), terdiri

dari 5 taraf konsentrasi yaitu 30 g/l, 45 g/l, 60 g/l, 75 g/l dan 90 g/l. Pada

masing-masing perlakuan diulang 5 kali sehingga terdapat 100 satuan percobaan. Satu

satuan percobaan adalah satu botol kultur yang terdapat 4 planlet.

Model statistik linier yang digunakan dalam rancangan menurut Mattjik

dan Sumertajaya (2002) yaitu :

Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk, dengan

Yijk = nilai pengamatan perlakuan konsentrasi nitrogen ke-i, perlakuan

konsentrasi sukrosa ke-j dan ulangan ke-k

(38)

αi = pengaruh perlakuan konsentrasi nitrogen pada taraf ke-i; i = 1, 2, 3, 4

βj = pengaruh perlakuan konsentrasi sukrosa pada taraf ke-j; j = 1, 2, 3, 4, 5

(αβ)ij = pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi nitrogen pada taraf ke-i dan perlakuan konsentrasi sukrosa pada taraf ke-j

εijk = pengaruh galat percobaan perlakuan konsentrasi nitrogen ke-i, perlakuan konsentrasi sukrosa ke-j dan ulangan ke-k

Data hasil pengamatan dianalisis dengan analisis sidik ragam pada taraf

5% dan jika berpengaruh nyata maka dilakukan uji beda nilai tengah dengan uji

wilayah berganda Duncan (Duncans Multiple Range Test-DMRT) pada taraf 5%

dan polinomial orthogonal dengan menggunakan program SAS versi 9.12.

Pelaksanaan Penelitian Sterilisasi Botol dan Alat

Botol kultur dicuci bersih dengan menggunakan deterjen, kemudian

disterilisasi di dalam autoklaf dengan suhu 121oC dan tekanan 17.5 psi selama

1 jam. Peralatan yang digunakan untuk menanam seperti gunting, pinset, cawan

petri disterilisasi dengan cara yang sama seperti sterilisasi botol kultur.

Pembuatan media pertunasan atau perbanyakan stek mikro kentang

Media pertunasan atau perbanyakan menggunakan media Murashige dan

Skoog (MS), yang dibuat dari larutan dengan kode A, B, C, D, E, F, G dan H

yaitu larutan yang berisi garam-garam anorganik dan vitamin dari media MS yang

dicampur berdasarkan jenis garamnya (Lampiran 2). Khusus untuk konsentrasi

larutan A dan B yang mengandung nitrogen dibuat sesuai perlakuan yaitu 30 mM

(N1) dipipet 10 ml/l, 60 mM (N2) dipipet 20 ml/l, 90 mM (N3) dipipet 30 ml/l

dan 120 mM (N4) dipipet 40 ml/l. Konsentrasi media larutan yang lainnya dipipet

dalam volume tertentu sesuai dengan konsentrasi yang dibutuhkan setelah itu

ditambahkan myo-inositol, sukrosa dibuat sesuai perlakuan yaitu 30 g/l, 45 g/l,

60 g/l, 75 g/l dan 90 g/l, CAP dan vitamin. Larutan media diaduk merata dan

(39)

Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pHmeter. Selanjutnya larutan

media ditambah agar-agar dan dimasak hingga mendidih. Setelah itu media

dimasukkan ke dalam botol kultur yang telah disterilisasi sebanyak 20 ml setiap

botol. Botol yang telah diisi media ditutup dengan plastik, dan diikat dengan karet

gelang, lalu disterilisasi kembali pada tekanan 17.5 psi selama 30 menit,

kemudian media tersebut disimpan selama 3 hari sebelum digunakan.

Perbanyakan stek mikro kentang

Penanaman stek mikro dilakukan pada laminar air flow cabinet yang telah

disemprot alkohol 70%. Stek mikro dipindahkan ke dalam cawan petri yang berisi

air steril dan betadine, kemudian dipotong menjadi stek mikro buku tunggal. Pada

setiap botol ditanam potongan stek mikro dengan posisi mendatar sebanyak

4 eksplan (1 buku setiap eksplan). Botol yang sudah berisi potongan stek mikro

ditutup kembali dengan plastik dan diikat dengan karet gelang. Setelah itu botol

diletakkan di atas rak kultur dengan fotoperiode 24 jam perhari dan suhu ruang

kultur 15-20oC.

Pengumbian

Media pengumbian yaitu media MS cair yang memiliki konsentrasi

nitrogen yang dibuat sesuai perlakuan yaitu 30 mM (N1) dipipet 10 ml/l, 60 mM

(N2) dipipet 20 ml/l, 90 mM (N3) dipipet 30 ml/l dan 120 mM (N4) dipipet

40 ml/l. Sukrosa dibuat sesuai perlakuan yaitu 30 g/l, 45 g/l, 60 g/l, 75 g/l dan

90 g/l, kemudian ditambah air kelapa 15%, paclobutrazol 10 ppm dan aspirin

30 mg/l. Media pengumbian dimasukkan ke dalam botol kultur yang berisi tunas

in vitro dari media pertunasan yang telah berumur 4 minggu. Botol ditutup

kembali dengan plastik dan diikat dengan karet gelang. Setelah itu botol

diletakkan di atas rak kultur dan sekelilingnya ditutup dengan kain berwarna

hitam yang tidak tembus cahaya dengan suhu ruang kultur 15-20oC. Setelah

8 minggu diberikan media pengumbian, umbi dipanen dengan mengeluarkan

(40)

Pengamatan Penelitian

Peubah-peubah yang diamati pada penelitian ini meliputi :

Tahap 1 : Pengaruh konsentrasi nitrogen dan sukrosa pada pertumbuhan stek mikro kentang

a. Jumlah tunas Dihitung berdasarkan banyaknya tunas yang muncul pada planlet, diamati pada 2 dan 4 minggu setelah tanam.

b. Panjang ruas dihitung dengan menggunakan rumus : y

Keterangan : y = panjang ruas, diamati pada 2 dan 4 minggu setelah tanam. c. Jumlah buku Pengamatan dilakukan dengan menghitung banyaknya buku

pada eksplan, diamati pada 2 dan 4 minggu setelah tanam.

d. Tinggi tanaman Pengamatan dilakukan dengan mengukur tinggi tanaman dari luar botol kultur dimulai dari permukaan media sampai ujung tanaman, pada

2 dan 4 minggu setelah tanam.

e. Jumlah akar Pengamatan dilakukan dengan menghitung banyaknya akar yang tumbuh pada setiap eksplan, diamati pada 2 dan 4 minggu setelah tanam.

f. Bobot basah planlet Pengamatan dilakukan dengan menimbang planlet 4 minggu setelah tanam pada masing-masing perlakuan dari seluruh ulangan

dengan neraca analitik kemudian nilainya dirata-ratakan.

g. Persentase bobot kering planlet Planlet dibungkus dalam kantong kertas, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 60oC selama 1 minggu sampai

bobot keringnya konstan. Selanjutnya planlet dimasukkan ke dalam desikator

dan ditimbang. Setelah itu dihitung persentase bobot keringnya dengan

menggunakan rumus :

y %

(41)

Tahap 2 : Pengaruh konsentrasi nitrogen dan sukrosa pada media pengumbian mikro kentang

a. Waktu pembentukan umbi Diamati setiap minggu dengan melihat umbi pertama yang terbentuk dari planlet dalam botol kultur.

b. Kecepatan dan Keseragaman pembentukan umbi (persentase pengumbian) Kecepatan dan keseragaman pembentukan umbi dihitung dalam persen baik per eksplan maupun per botol dengan asumsi jumlah umbi waktu

panen adalah 100%.

c. Jumlah umbi per botol Umbi diamati setiap minggu dengan cara menghitung jumlah umbi yang terbentuk dalam botol kultur.

d. Ukuran umbi Ukuran umbi dihitung dengan mengukur rataan ukuran umbi berdasarkan diameter (mm) dari bobot basah (mg/umbi).

e. Bobot basah umbi per botol Pengamatan dilakukan dengan menimbang umbi yang telah dipanen (8 MSP) pada masing-masing perlakuan dari seluruh

ulangan dengan neraca analitik kemudian nilainya dirata-ratakan.

f. Persentase bobot kering umbi Umbi dibungkus dalam kantong kertas (4 umbi terbesar setiap ulangan), kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu

60oC selama 1 minggu sampai bobot keringnya konstan. Selanjutnya umbi

dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang. Setelah itu dihitung persentase

bobot keringnya dengan menggunakan rumus:

y %

(42)

Hasil

Jumlah Tunas

Tidak terdapat pengaruh konsentrasi nitrogen serta interaksi antara

konsentrasi nitrogen dan sukrosa terhadap jumlah tunas, tetapi sangat dipengaruhi

oleh konsentrasi sukrosa (Lampiran 1). Peningkatan konsentrasi sukrosa lebih

dari 75 g/l akan menurunkan jumlah tunas pada umur 2 dan 4 MST. Jumlah tunas

sebesar 4.05 tunas dihasilkan oleh konsentrasi sukrosa optimum 45.36 g/l pada

2 MST ( Tabel 1, Lampiran 14 nomor 1).

Jumlah Buku

Pengaruh konsentrasi nitrogen pada 2 MST, konsentrasi sukrosa pada

2 MST dan 4 MST serta interaksi antara konsentrasi nitrogen dan sukrosa pada

2 MST dan 4 MST adalah nyata terhadap jumlah buku (Lampiran 1). Jumlah buku

tertinggi pada 2 MST dihasilkan oleh konsentrasi nitrogen 60 mM yaitu

3.34 buku. Peningkatan konsentrasi sukrosa dari 30 g/l sampai dengan 90 g/l

cenderung menyebabkan penurunan jumlah buku, dimana jumlah buku tertinggi

dihasilkan oleh konsentrasi sukrosa 30 g/l yaitu 4.47 buku pada 2 MST dan

9.02 buku pada 4 MST. Interaksi antara konsentrasi nitrogen 120 mM dan sukrosa

30 g/l menghasilkan jumlah buku tertinggi yaitu 4.80 buku pada 2 MST dan

9.80 buku pada 4 MST. Pada 2 MST dan 4 MST semakin tinggi konsentrasi

sukrosa jumlah buku semakin sedikit. Pada taraf konsentrasi nitrogen 30 mM

sampai dengan 120 mM peningkatan taraf konsentrasi sukrosa dari 30 g/l sampai

dengan 90 g/l nyata menurunkan jumlah buku (Tabel 1, Lampiran 14 nomor 2, 3,

(43)

Tabel 1 Pengaruh konsentrasi nitrogen dan sukrosa terhadap jumlah tunas dan jumlah buku

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT).

Perlakuan Jumlah tunas Jumlah buku

2 MST 4 MST 2 MST 4 MST

Nitrogen (mM) x Sukrosa (g/l)

(44)

Bobot Basah Planlet dan Persentase Bobot Kering Planlet

Tidak terdapat interaksi antara konsentrasi nitrogen dan sukrosa terhadap

bobot basah planlet dan persentase bobot kering planlet tetapi sangat dipengaruhi

oleh konsentrasi nitrogen maupun sukrosa (Lampiran 1). Konsentrasi nitrogen

60 mM menghasilkan bobot basah planlet dan persentase bobot kering planlet

tertinggi yaitu 28.11 mg/planlet dan 14.59%. Bobot basah planlet tertinggi

dihasilkan oleh konsentrasi sukrosa 30 g/l yaitu 23.26 mg/planlet sebaliknya

persentase bobot kering planlet tertinggi diperoleh pada konsentrasi sukrosa 90 g/l

yaitu 13.81%. Semakin tinggi konsentrasi sukrosa menurunkan bobot basah

planlet sebaliknya meningkatkan persentase bobot kering planlet karena semakin

banyak karbohidrat yang disimpan (Tabel 2, Lampiran 14 nomor 12 dan 13).

Jumlah Akar

Pengaruh konsentrasi nitrogen, konsentrasi sukrosa pada 2 MST dan

4 MST serta interaksi antara konsentrasi nitrogen dan sukrosa pada 4 MST adalah

nyata terhadap jumlah akar (Lampiran 1). Jumlah akar tertinggi dihasilkan oleh

konsentrasi nitrogen 60 mM yaitu 7.15 akar pada 2 MST dan 10.00 akar pada

4 MST. Konsentrasi sukrosa 30 g/l menghasilkan jumlah akar tertinggi yaitu

7.55 akar pada 2 MST sedangkan pada 4 MST konsentrasi sukrosa 30 g/l sampai

dengan 75 g/l menghasilkan jumlah akar tertinggi yaitu 10.00 akar dan 9.85 akar.

Interaksi antara konsentrasi nitrogen dan sukrosa pada 4 MST menghasilkan

jumlah akar tertinggi 10.00 akar dan 9.40 akar yaitu pada konsentrasi nitrogen

30 mM dan sukrosa 30 g/l sampai dengan 75 g/l, konsentrasi nitrogen 60 mM dan

sukrosa 30 g/l sampai dengan 90 g/l, konsentrasi nitrogen 90 mM dan sukrosa

30 g/l sampai dengan 75 g/l serta konsentrasi nitrogen 120 mM dan sukrosa 30 g/l

sampai dengan 75 g/l. Pada 2 MST peningkatan konsentrasi sukrosa menurunkan

(45)

Tabel 2 Pengaruh konsentrasi nitrogen dan sukrosa terhadap bobot basah planlet, persentase bobot kering planlet dan jumlah akar

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT); (*) data untuk pengolahan statistik ditransformasi ke Arcsin√persen.

Perlakuan Bobot basah

planlet

Nitrogen (mM) x Sukrosa (g/l)

(46)

Panjang Ruas

Perlakuan konsentrasi nitrogen yang digunakan memberikan pengaruh

yang nyata terhadap panjang ruas, demikian juga dengan perlakuan konsentrasi

sukrosa, sedangkan interaksi antara konsentrasi nitrogen dan sukrosa memberikan

pengaruh yang tidak nyata terhadap panjang ruas (Lampiran 1). Panjang ruas

tertinggi dihasilkan dari konsentrasi nitrogen 60 mM yaitu 1.33 cm pada 2 MST

dan 1.76 cm pada 4 MST, sedangkan untuk sukrosa panjang ruas tertinggi

dihasilkan oleh konsentrasi 30 g/l yaitu 1.12 cm pada 2 MST dan 1.62 cm pada

4 MST. Peningkatan konsentrasi sukrosa menyebabkan panjang ruas semakin

pendek (Tabel 3, Lampiran 14 nomor 15 dan 16).

Tinggi Tanaman

Pengaruh konsentrasi nitrogen pada 2 MST dan 4 MST demikian juga

dengan konsentrasi sukrosa pada 2 MST dan 4 MST adalah nyata terhadap tinggi

tanaman (Lampiran 1). Tanaman tertinggi dihasilkan oleh konsentrasi nitrogen

60 mM yaitu 4.07 cm pada 2 MST dan 6.74 cm pada 4 MST. Tanaman tertinggi

dihasilkan oleh konsentrasi sukrosa 30 g/l yaitu 3.77 cm pada 2 MST dan 5.87 cm

pada 4 MST. Peningkatan konsentrasi sukrosa menyebabkan tanaman semakin

(47)

Tabel 3 Pengaruh konsentrasi nitrogen dan sukrosa terhadap panjang ruas dan tinggi tanaman

Perlakuan Panjang ruas (cm) Tinggi tanaman(cm)

2 MST 4 MST 2 MST 4 MST

Nitrogen (mM) x Sukrosa (g/l)

30 30 1.06 1.70 3.82 5.98

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT).

(48)

Waktu Pembentukan Umbi

Pada minggu pertama setelah diberikan media pengumbian, umbi telah

terbentuk kecuali pada konsentrasi nitrogen 60 mM dan sukrosa 90 g/l,

konsentrasi nitrogen 90 mM dan sukrosa 30 g/l, konsentrasi nitrogen 90 mM dan

sukrosa 45 g/l umbi baru terbentuk pada 2 minggu setelah pengumbian. Untuk

konsentrasi nitrogen 120 mM dan sukrosa 30 g/l, konsentrasi nitrogen 120 mM

dan sukrosa 45 g/l, konsentrasi nitrogen 120 mM dan sukrosa 75 g/l serta

konsentrasi nitrogen 120 mM dan sukrosa 90 g/l umbi baru terbentuk pada

3 minggu setelah pengumbian. Konsentrasi nitrogen 90 mM dan sukrosa 90 g/l

umbi baru terbentuk pada 4 minggu setelah pengumbian. Hal ini menunjukkan

bahwa konsentasi nitrogen yang rendah 30 mM dengan taraf konsentrasi sukrosa

30 g/l sampai dengan 90 g/l pembentukan umbi lebih cepat.

Kecepatan dan Keseragaman Pembentukan Umbi

Keberhasilan proses pengumbian dapat dilihat dari kecepatan dan

tingkat keseragaman pembentukan umbi. Persentase pengumbian dihitung

berdasarkan dua cara, yaitu (1) kecepatan tumbuh umbi mikro berdasarkan jumlah

umbi mikro yang terbentuk dibagi dengan jumlah umbi mikro pada minggu

terakhir pengamatan ( 8 MSP) pada setiap botol dengan asumsi jumlah botol pada

8 MSP adalah 100% dan (2) Keseragaman tumbuh umbi mikro yang didapat dari

perhitungan jumlah botol yang telah berumbi dalam satu perlakuan. Perhitungan

kecepatan pembentukan umbi diperlukan untuk menentukan perlakuan yang

mempercepat pengumbian sedangkan keseragaman pembentukan umbi digunakan

untuk melihat tingkat keseragaman pengumbian dalam satu perlakuan.

Dalam penelitian ini pembentukan umbi mikro sudah terbentuk pada

1 MSP dan terus meningkat hingga 5 MSP (Tabel 4). Pada perlakuan dengan

menggunakan konsentrasi nitrogen 30 mM dengan berbagai taraf konsentrasi

sukrosa kecepatan pengumbian sudah mencapai lebih dari 50% pada 1 MSP.

Untuk keseragaman pengumbian sudah mencapai 100% pada 1 MSP, kecuali pada

konsentrasi nitrogen 30 mM dan sukrosa 90 g/l. Pada 2 MSP konsentrasi nitrogen

(49)

keseragaman pengumbian yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya.

Taraf konsentrasi sukrosa yang optimum pada 1, 2 dan 4 MSP adalah 60 g/l.

Tabel 4 Pengaruh konsentrasi nitrogen dan sukrosa terhadap kecepatan dan keseragaman pembentukan umbi

Perlakuan

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran pengaruh konsentrasi nitrogen dan sukrosa
Gambar 2  Bagan alur penelitian.
Tabel 1 Pengaruh konsentrasi nitrogen dan sukrosa terhadap jumlah tunas dan    jumlah buku
Tabel 2  Pengaruh konsentrasi nitrogen dan sukrosa terhadap bobot basah planlet, persentase bobot kering planlet dan jumlah akar
+6

Referensi

Dokumen terkait

Router sebagai salah satu alat pembentuk jaringan yang biasanya digunakan pada jaringan skala besar dan sederhana, ini dikarenakan router memotong semua kompleksitas dalam

Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. Dalam Bab IV “Pengembangan Wilayah Kalimantan” buku III tersebut disebutkan bagaimana arah pembangunan Nasional

Metrics (W, TS, I) derived from GLAS data and field AGB were used to develop the GLAS-AGB models by multiple regression method for different forest types in the study

Cara untuk mengetahui dan membuktikan koefisien tersebut dapat diberlakukan, maka perlu diuji signifikannya dengan menggunakan komputerisasi dengan taraf signifikan

Dipilihnya PeGI sebagai framework/ kerangka kerja dalam menyusun strategi pengembang e-government LAPAN adalah karena PeGI merupakan kerangka kerja yang digunakan

elalui Aplikasi SPSE Kementerian Keuangan untuk Pengadaan Jasa Konsultansi Perencanaan Renovasi Parkir Balai Diklat Keuangan Balikpapan Tahun Anggaran. enang

[r]

Memahami konsep ekonomi dalam kaitannya dengan kegiatan ekonomi konsumen dan produsen 2.1 Mendeskripsikan pola perilaku konsumen dan produsen dalam kegiatan ekonomi