• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Kesembuhan Luka Episiotomi Dengan Luka Ruptur Perineum Tingkat 1 – 2 Pada Primigravida Di RSUP H. Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbandingan Kesembuhan Luka Episiotomi Dengan Luka Ruptur Perineum Tingkat 1 – 2 Pada Primigravida Di RSUP H. Adam Malik Medan"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS MAGISTER

PERBANDINGAN KESEMBUHAN LUKA EPISIOTOMI

DENGAN LUKA RUPTUR PERINEUM TINGKAT 1 – 2

PADA PRIMIGRAVIDA

DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

OLEH :

HENDRY ADI SAPUTRA

PEMBIMBING :

Dr. CHRISTOFFEL L. TOBING, SpOG(K)

Dr. MAKMUR SITEPU, SpOG(K)

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK /

DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RSUP H. ADAM MALIK

(2)

PENELITIAN INI DI BAWAH BIMBINGAN TIM-5

Pembimbing : Dr. Christoffel L Tobing, SpOG (K)

Dr. Makmur Sitepu, SpOG (K)

Penyanggah : Dr. Herbert Sihite, SpOG

Dr. M. Jailani, SpBP (K)

Dr. Deri Edianto, SpOG (K)

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi

salah satu syarat untuk mencapai keahlian dalam Magister

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Penelitian ini telah disetujui oleh TIM – 5

PEMBIMBING :

Dr. Christoffel L. Tobing, SpOG (K) ...

Pembimbing I Tgl. Desember 2011

Dr. Makmur Sitepu, SpOG (K) ...

Pembimbing II Tgl. Desember 2011

PENYANGGAH :

Dr. Herbert Sihite, SpOG ...

Subbagian Feto Maternal Tgl. Desember 2011

Dr. M. Jailani, SpBP(K) ...

Subbagian Bedah Plastik Tgl. Desember 2011

Dr. Deri Edianto, SpOG (K) ...

(4)

KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

Segala puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT, berkat ridho dan

karunia-Nya penulisan tesis magister ini dapat diselesaikan.

Tesis ini disusun untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi salah satu syarat

untuk memperoleh magister keahlian dalam bidang Obstetri dan Ginekologi. Sebagai

manusia biasa, saya menyadari bahwa tesis ini banyak kekurangannya dan masih

jauh dari sempurna, namun demikian besar harapan saya kiranya tulisan sederhana

ini dapat bermanfaat dalam menambah perbendaharaan bacaan khususnya tentang :

“ PERBANDINGAN KESEMBUHAN LUKA EPISIOTOMI DENGAN KESEMBUHAN LUKA RUPTUR PERINEUM TINGKAT 1–2 PADA PRIMIGRAVIDA DI RSUP. H.

ADAM MALIK MEDAN”

Dengan selesainya laporan penelitian ini, perkenankanlah saya menyampaikan rasa

terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H (CTM&H),

SpA.(K) dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr.

Gontar Siregar, SpPD, KGEH, yang telah memberikan kesempatan kepada saya

untuk mengikuti Program Magister dan Program Pendidikan Dokter Spesialis di

Fakultas Kedokteran USU Medan.

2. Prof. dr. Delfi Lutan, MSc, SpOG.K, Ketua Departemen Obstetri dan Ginekologi

(5)

dan Ginekologi FK-USU Medan; dr. Henri Salim Siregar, SpOG.K, Ketua

Program Studi Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi FK-USU Medan; dr. M.

Rhiza Tala, SpOG.K, Sekretaris Program Studi Dokter Spesialis Obstetri dan

Ginekologi FK-USU Medan; dan juga Prof. dr. Hamonangan Hutapea, SpOG.K;

Prof. DR. dr. M. Thamrin Tanjung, SpOG.K; Prof. dr. R. Haryono Roeshadi,

SpOG.K; Prof. dr. T.M. Hanafiah, SpOG.K; Prof. dr. Budi R. Hadibroto, SpOG.K;

dan Prof. dr. Daulat H. Sibuea, SpOG.K; Prof. dr. M. Fauzie Sahil, SpOG.K; yang

telah bersama-sama berkenan menerima saya untuk mengikuti pendidikan

spesialis di Departemen Obstetri dan Ginekologi.

3. Khususnya kepada Prof. dr. Delfi Lutan, MSc, SpOG.K ; Prof. dr. Darwin

Dalimunthe, PhD; Prof. dr. H. Tabrani Rab, SpJP.K; dr. Ruza P. Rustam

Moechtar, SpOG dan Drs. H. Wan Abu Bakar, Msi (selaku Wakil Gubernur Riau)

yang telah banyak sekali membantu saya pada waktu memasuki dan mengikuti

Program Magister dan Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen

Obstetri dan Ginekologi FK-USU. Semoga Allah SWT membalas kebaikan budi

guru saya tersebut.

4. dr. Christoffel L Tobing, SpOG.K dan dr. Makmur Sitepu, SpOG.K selaku

pembimbing tesis saya, bersama dr. Herbert Sihite, SpOG; dr. M. Jailani, SpBP.K

; dan dr. Deri Edianto, SpOG.K, selaku penyanggah dan nara sumber yang

penuh dengan kesabaran telah meluangkan waktu yang sangat berharga untuk

(6)

5. Prof. dr. Hamonangan Hutapea, SpOG.K, dan dr. Henri Salim Siregar, SpOG

selaku pembimbing Referat Magister saya yang berjudul “Teknik Ablasi

Endometrium Pada Penanganan Perdarahan Uterus Disfungsional” ;

6. dr. Makmur Sitepu, SpOG.K selaku Bapak Angkat dan dr. Johny Marpaung,

SpOG selaku pembimbing Magister saya selama menjalani masa pendidikan,

yang telah banyak mengayomi, membimbing dan memberikan nasehat-nasehat

yang bermanfaat kepada saya dalam menghadapi masa-masa sulit selama

pendidikan..

7. Kepada dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes dan Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes,

yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing saya dalam

penyelesaian uji statistik tesis ini.

8. Seluruh Staf Pengajar di Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU Medan,

yang secara langsung telah banyak membimbing dan mendidik saya sejak awal

hingga akhir pendidikan. Semoga Yang Maha Pengasih membalas budi baik

guru-guru saya tersebut.

9. Sekretaris Jenderal Departemen Kesehatan RI, Kepala Kantor Wilayah

Departemen Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, atas ijin yang telah diberikan

kepada saya untuk mengikuti Program Magister dan Program Pendidikan Dokter

(7)

10. Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan dan

sarana kepada saya untuk bekerja sama selama mengikuti pendidikan di

Departemen Obstetri dan Ginekologi.

11. Direktur RSU Dr. Pirngadi Medan dan Kepala SMF Obstetri dan Ginekologi RSU

Dr. Pirngadi Medan yang telah memberikan kesempatan dan sarana kepada

saya untuk bekerja selama mengikuti pendidikan di Departemen Obstetri dan

Ginekologi.

12. Direktur RS. PTPN II Tembakau Deli ; dr. Sofian Abdul Ilah, SpOG dan dr.

Nazaruddin Jaffar, SpOG.K ; beserta staf yang telah memberikan kesempatan

dan sarana kepada saya untuk bekerja selama bertugas di rumah sakit tersebut.

13. Direktur RUMKIT; dr. Yazim Yacub, SpOG dan dr. Agnes, SpOG.K ; dr.

Gunawan Rusuldi, SpOG beserta staf, yang telah memberikan kesempatan kerja

dan bantuan moril selama saya bertugas di rumah sakit tersebut.

14. Ketua Departemen Anastesiologi dan Reanimasi FK USU Medan beserta staf,

atas kesempatan dan bimbingan yang telah diberikan selama saya bertugas di

departemen tersebut.

15. Kepada senior-senior saya, dr. Miranda Diza, SpOG ; dr. Ronny Ajartha, SpOG ;

(8)

Rachma B Panjaitan, SpOG ; dr. David Leo Ginting, SpOG ; dr. Nismah

Situmorang, SpOG; dr. Hayu Lestari Haryono, SpOG; dr. Juni Hardi Tarigan,

SpOG; dr. Abdul Hadi dan dr. T. R. Iqbal; dr. Jhon N Tambunan, SpOG; dr.

Muara P Lubis, SpOG; dr. Sukhbir Singh, pOG; dr. Ferry Simatupang, SpOG; dr.

Dessy S Hasibuan, SpOG; dr. Yusmardi; dr. Dwi Faradina, SpOG terimakasih

banyak atas segala bimbingan, bantuan dan dukungannya yang telah diberikan

selama ini.

16. Kepada senior-senior saya, dr. Nuraflah, dr. Ilham, dr. Benny, dr. Anggia, dr.

Maya, dr. Zilliyadein, dr. Ari, dr.Sri Jaoharah, dr. Lily, dr. Boy, dr. Yuri, dr. M.

Yusuf, dr. Alfian, dr. Firman, dr. Andri, dr. Reynanta terimakasih banyak atas

segala bimbingan, bantuan dan dukungannya yang telah diberikan selama ini.

17. Kepada dr. Tigor PH, dr. Riske EP, dr. Heika NS, dr. Elvira MS, dr. T.Johan A

saya menyampaikan terima kasih atas dukungan dan bantuan yang diberikan

selama ini serta kebersamaan kita selama pendidikan.

18. Rekan-rekan PPDS yang sangat baik, dr. Janwar; dr. Ulfah; dr. Arjuna, dr. Hendri

Ginting; dr. Fatin, dr. Dani, dr. Sri Damayana, dr. Morel, dr. Eka, dr. Rizky ; saya

menyampaikan terima kasih atas dukungan dan bantuan yang diberikan selama

penelitian saya dan kebersamaan kita selama masa pendidikan, kenangan indah

(9)

19. Seluruh teman sejawat PPDS yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu,

terima kasih atas kebersamaan, dorongan semangat dan doa yang telah

diberikan selama ini.

20. Dokter Muda, Bidan, Paramedis, karyawan / karyawati, serta para pasien di

Departemen Obstetri dan Ginekologi FK USU / RSUP. H. Adam Malik – RSUD.

Dr. Pirngadi Medan, RS. Haji Medan, RS. Sundari yang daripadanya saya

banyak memperoleh pengetahuan baru, terima kasih atas kerja sama dan saling

pengertian yang diberikan kepada saya sehingga dapat sampai pada akhir

program pendidikan magister ini.

Sembah sujud, hormat dan terima kasih yang tidak terhingga saya sampaikan

kepada kedua Orang Tua saya yang tersayang dan terkasih, Ayahanda dr. H. Hubban Nurdin (Alm) dan Ibunda Hj. Maisyarah, Amd.Keb, yang telah membesarkan, membimbing, mendoakan, serta mendidik saya dengan penuh kasih

sayang dari sejak kecil hingga kini, memberi contoh yang baik dalam menjalani hidup

serta memberikan motivasi dan semangat kepada saya selama mengikuti pendidikan

(10)

Sembah sujud, hormat dan terima kasih yang tidak terhingga juga saya sampaikan

kepada Bapak Mertua Ir. Hi. Dasuki Kholil dan Ibu Mertua Ir. Hj. Elly Malelawati

yang telah banyak membantu, mendoakan dan memberikan dorongan dan perhatian

kepada saya selama mengikuti pendidikan ini.

Buat istriku yang tercinta dan tersayang, dr. Fiska Anggraini tiada kata lain yang bisa saya sampaikan selain rasa terima kasih atas kesabaran, dorongan, semangat,

pengorbanan dan doa sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan magister ini.

Buat dua orang buah hatiku yang kucintai dan kusayangi; putraku tercinta M. Hafidz Fachry ’Atthalla, dan M. Haziq Farhan Kamil ’Atthalla yang merupakan inspirasi dan pendorong motivasi serta pemberi semangat untuk menyelesaikan pendidikan

magister ini.

(11)

Akhirnya kepada seluruh keluarga handai tolan yang tidak dapat saya sebutkan

namanya satu persatu, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang telah

banyak memberikan bantuan, baik moril maupun materil, saya ucapkan banyak

terima kasih.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan berkah-Nya kepada kita semua.

Amin Ya Rabbal ’Alamin.

Medan, Desember 2011

(12)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….. i

DAFTAR ISI………. ix

DAFTAR TABEL………. xi

DAFTAR GAMBAR………. xii

DAFTAR LAMPIRAN………. xiii

ABSTRAK……… xiv

BAB I. PENDAHULUAN ………... 1

I.1. Latar Belakang…...………... 1

I.2. Identifikasi Masalah……...…... ……… 2

I.3. Hipotesis ………. 2

I.4. Tujuan Penelitian……...…. ……….. 2

I.5. Kegunaan Penelitian…...…... ……….. 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……….. 6

II.1. Kerangka Pemikiran……….……… 6

II.2. Anatomi Perineum ……… 6

II.3. Etiologi Ruptur Perineum ……… 9

II.4. Klasifikasi Ruptur Perineum ……… 10

II.4.1. Ruptur Perineum Spontan ……… 11

II.4.2. Ruptur Perineum Yang Disengaja (Episiotomi) …… 13

BAB III METODOLOGI PENELITIAN……….. 26

III.1. Rancangan Penelitian... 26

(13)

III.3. Populasi Penelitian... 26

III.4. Kriteria Sampel ... 27

III.4.1. Kriteria Inklusi... 27

III.4.2. Kriteria Ekslusi... 27

III.5. Kerangka Konsep ... 27

III.6. Alur Penelitian... 28

III.7. Cara Kerja... 28

III.8. Batasan Operasional... 29

III.9. Pengumpulan Data dan Analisa Statistik... 33

III.10. Etika Penelitian... 33

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 34

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 46

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian... 24

Tabel 2. Hubungan antara Hemoglobin dengan Kejadian infeksi Luka

Episiotomi... 25

Tabel 3. Hubungan antara Status Gizi Ibu dengan Kejadian infeksi Luka

Episiotomi... 26

Tabel 4. Hubungan Lama Pecah Ketuban terhadap Kejadian infeksi Luka

Episiotomi... 27

Tabel 5. Perbedaan Kejadian Infeksi Pada Luka Episiotomi dan

Luka Ruptur Perineum Tingkat 1-2... 29

Tabel 2. Perbedaan Waktu Kesembuhan Luka Episiotomi dan

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Fase Fase Penyembuhan Luka... 5

Gambar 2 Perineum dan Diafragma Urogenital pada Wanita ... 9

Gambar 3 Derajad Ruptur Spontan Perineum... 12

Gambar 4 Episiotomi Medial dan Mediolateral... 16

Gambar 5 Jenis – jenis Episiotomi... 17

Gambar 6 Episiotomi Medial dan Mediolateral... 17

Gambar 7 Penampang Lapisan Kulit... 18

Gambar 8 Mekanisme Penyembuhan Luka... 22

Gambar 9 Kerangka Konsep... 27

(16)

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 1 Hubungan antara Hemoglobin dengan Kejadian

Infeksi Luka Episiotomi dan Luka Ruptur Perineum... 37

Diagram 2 Hubungan antara Berat Badan Bayi dengan Kejadian

Infeksi Luka Episiotomi dan Luka Ruptur Perineum... 38

Diagram 3 Hubungan antara Index Massa Tubuh dengan Kejadian

Infeksi Luka Episiotomi dan Luka Ruptur Perineum... 40

Diagram 4 Hubungan antara Lama Ketuban Pecah dengan Kejadian

Infeksi Luka Episiotomi dan Luka Ruptur Perineum... 41

Diagram 5 Perbedaan Kejadian Infeksi Luka Episiotomi dan Luka

Ruptur Perineum Grade 1 – 2 ………... 42

Diagram 6 Perbedaan Waktu Kesembuhan Luka Episiotomi dan Luka

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 LEMBAR PENGESAHAN ETIKA PENELITIAN………. 52

Lampiran 2 LEMBAR PENJELASAN KEPADA SUBJEK PENELITIAN ... 53

Lampiran 3 LEMBAR PERSETUJUAN UNTUK MENGIKUTI

PENELITIAN SETELAH PENJELASAN SUBJEK PENELITIAN. 55

Lampiran 4 FORMULIR DATA SUBJEK PENELITIAN ... 56

(18)

PERBANDINGAN KESEMBUHAN LUKA EPISIOTOMI

DENGAN LUKA RUPTUR PERINEUM TINGKAT 1–2 PADA PRIMIGRAVIDA DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

Hendry Adi Saputra, Christoffel L Tobing, Makmur Sitepu

Departemen Obstetri dan Ginekologi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera utara

ABSTRAK

Tujuan: Membandingkan kesembuhan luka episiotomi dengan luka ruptur perineum

tingkat 1-2 pada primigravida di RSUP. H. Adam Malik Medan

Desain: Penelitian ini bersifat kohor prospektif dengan uji analitik.

Bahan dan Cara : Sampel yang memenuhi criteria dilakukan informed content sesuai

dengan etika penelitian. Sampel terbagi menjadi dua subjek penelitian yakni

kelompok pertama wanita pasca persalinan spontan dengan luka episiotomi tingkat 1

– 2 dan kelompok kedua wanita pasca persalinan spontan dengan luka ruptur

perineum tingkat 1 – 2. Analisis data berdasarkan usia , pendidikan, berat badan lahir

bayi, lamanya persalinan, lama ketuban pecah, indeks massa tubuh, kadar

hemoglobin ibu, kejadian kesembuhan dan infeksi luka. Statistik inferensial yang

digunakan dengan uji Chi square dan T-Independent kemudian dilakukan analisis

parametric menggunakan pendekatan probabilitas pasti dengan Fisher Exact test.

Hasil: Dari 60 Subjek penelitian primigravida yang masuk kriteria inklusi, dijumpai 19

kasus (63.3%) yang dinyatakan sembuh pada luka episiotomi dan 23 kasus (76,7%)

dinyatakan sembuh pada luka ruptur perineum tingkat 1–2 pada primigravida.

Sedangkan yang dinyatakan mengalami infeksi pada luka episiotomi adalah 11 kasus

(36,7%) dan yang mengalami infeksi pada luka ruptur perineum tingkat 1–2 adalah 7

kasus (23,3%). Lama ketuban pecah pada penelitian ini berpengaruh secara

(19)

pasien yang lama ketubannya pecah kurang dari 8 jam terjadi infeksi luka

episiotomi sebanyak 7 orang (63,6%) dan yang tidak mengalami infeksi luka

episiotomi 19 orang (100%). Pasien yang lama ketubannya pecah lebih dari 8

jam terjadi infeksi luka episiotomi sebanyak 4 orang (36,4%). Hubungan

antara status gizi pasien dengan kejadian infeksi luka episiotomi ada

perbedaan bermakna secara statistik. Pasien yang Index massa tubuhnya

(IMT) kurang (underweight) sebanyak 3 orang (27,3%) mengalami infeksi luka episiotomi, dan yang IMTnya normal (normoweight) 18 orang (94,7%) yang tidak mengalami infeksi luka episiotomi, IMTnya yang overweight 6 orang (54,5%) yang mengalami infeksi luka episiotomi. IMT pasien pada penelitian

ini rata-rata mempunyai status gizi baik menurut perhitungan basal

metabolisme index (BMI)atau Index massa tubuh (IMT), sehingga secara

statistik tidak terdapat pengaruh status gizi pasien terhadap kejadian infeksi

luka episiotomi. Didapatkan perbedaan kesembuhan antara luka episiotomi dengan

luka ruptur perineum tingkat 1–2, kesembuhan luka lebih dari 10 hari didapatkan lebih

banyak pada primigravida yang di-episiotomi 11 orang (36,7%) berbanding 7 orang

(23,3%) pada primigravida dengan luka perineum tingkat 1–2. Dilakukan uji eksak fisher didapatkan p = 0,399 dengan RR (95 % CI) : 0,96 (0,85–1,09), jadi perbedaan antara waktu kesembuhan luka episiotomi dan luka ruptur perineum tingkat 1–2 tidak

bermakna secara statistik.

Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan tingkat kesembuhan luka episiotomi dengan

luka ruptur spontan perineum tingkat 1 – 2 pada wanita pasca persalinan.

(20)

PERBANDINGAN KESEMBUHAN LUKA EPISIOTOMI

DENGAN LUKA RUPTUR PERINEUM TINGKAT 1–2 PADA PRIMIGRAVIDA DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

Hendry Adi Saputra, Christoffel L Tobing, Makmur Sitepu

Departemen Obstetri dan Ginekologi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera utara

ABSTRAK

Tujuan: Membandingkan kesembuhan luka episiotomi dengan luka ruptur perineum

tingkat 1-2 pada primigravida di RSUP. H. Adam Malik Medan

Desain: Penelitian ini bersifat kohor prospektif dengan uji analitik.

Bahan dan Cara : Sampel yang memenuhi criteria dilakukan informed content sesuai

dengan etika penelitian. Sampel terbagi menjadi dua subjek penelitian yakni

kelompok pertama wanita pasca persalinan spontan dengan luka episiotomi tingkat 1

– 2 dan kelompok kedua wanita pasca persalinan spontan dengan luka ruptur

perineum tingkat 1 – 2. Analisis data berdasarkan usia , pendidikan, berat badan lahir

bayi, lamanya persalinan, lama ketuban pecah, indeks massa tubuh, kadar

hemoglobin ibu, kejadian kesembuhan dan infeksi luka. Statistik inferensial yang

digunakan dengan uji Chi square dan T-Independent kemudian dilakukan analisis

parametric menggunakan pendekatan probabilitas pasti dengan Fisher Exact test.

Hasil: Dari 60 Subjek penelitian primigravida yang masuk kriteria inklusi, dijumpai 19

kasus (63.3%) yang dinyatakan sembuh pada luka episiotomi dan 23 kasus (76,7%)

dinyatakan sembuh pada luka ruptur perineum tingkat 1–2 pada primigravida.

Sedangkan yang dinyatakan mengalami infeksi pada luka episiotomi adalah 11 kasus

(36,7%) dan yang mengalami infeksi pada luka ruptur perineum tingkat 1–2 adalah 7

kasus (23,3%). Lama ketuban pecah pada penelitian ini berpengaruh secara

(21)

pasien yang lama ketubannya pecah kurang dari 8 jam terjadi infeksi luka

episiotomi sebanyak 7 orang (63,6%) dan yang tidak mengalami infeksi luka

episiotomi 19 orang (100%). Pasien yang lama ketubannya pecah lebih dari 8

jam terjadi infeksi luka episiotomi sebanyak 4 orang (36,4%). Hubungan

antara status gizi pasien dengan kejadian infeksi luka episiotomi ada

perbedaan bermakna secara statistik. Pasien yang Index massa tubuhnya

(IMT) kurang (underweight) sebanyak 3 orang (27,3%) mengalami infeksi luka episiotomi, dan yang IMTnya normal (normoweight) 18 orang (94,7%) yang tidak mengalami infeksi luka episiotomi, IMTnya yang overweight 6 orang (54,5%) yang mengalami infeksi luka episiotomi. IMT pasien pada penelitian

ini rata-rata mempunyai status gizi baik menurut perhitungan basal

metabolisme index (BMI)atau Index massa tubuh (IMT), sehingga secara

statistik tidak terdapat pengaruh status gizi pasien terhadap kejadian infeksi

luka episiotomi. Didapatkan perbedaan kesembuhan antara luka episiotomi dengan

luka ruptur perineum tingkat 1–2, kesembuhan luka lebih dari 10 hari didapatkan lebih

banyak pada primigravida yang di-episiotomi 11 orang (36,7%) berbanding 7 orang

(23,3%) pada primigravida dengan luka perineum tingkat 1–2. Dilakukan uji eksak fisher didapatkan p = 0,399 dengan RR (95 % CI) : 0,96 (0,85–1,09), jadi perbedaan antara waktu kesembuhan luka episiotomi dan luka ruptur perineum tingkat 1–2 tidak

bermakna secara statistik.

Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan tingkat kesembuhan luka episiotomi dengan

luka ruptur spontan perineum tingkat 1 – 2 pada wanita pasca persalinan.

(22)

PERBANDINGAN KESEMBUHAN LUKA EPISIOTOMI DENGAN LUKA

RUPTUR PERINEUM TINGKAT 1-2 PADA PRIMIGRAVIDA

DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Pada tahun 1970-an diketahui bahwa episiotomi merupakan suatu insisi di

daerah pudenda yang rutin dilakukan pada wanita yang melahirkan pertama kali,

dikarenakan penjahitan luka episiotomi yang lebih mudah dilakukan karena luka

tersebut berbentuk lurus dibandingkan luka ruptur spontan perineum yang

robekannya tidak beratturan. Dahulu juga diyakini bahwa episiotomi dapat

mempercepat penyembuhan dan mengurangi nyeri pasca persalinan walaupun

berdasarkan penelitian sebelumnya hal ini terbukti tidak benar.

Ruptur spontan perineum merupakan robekan jaringan pada vulva dan anus

secara paksa, dimana banyak faktor yang mempengaruhi antara lain : perineum

kaku, berat badan lahir bayi, paritas, teknik penolong persalinan. Berdasarkan data

BPS 2007 tingginya angka ruptur spontan perineum yang tidak beraturan dapat

menjelaskan peningkatan kejadian dan kerusakan pada daerah perineum yang lebih

berat serta memberikan rasa ketidaknyamanan pada wanita pasca persalinan.

Hal ini mendorong penulis untuk melakukan penelitian yang bertujuan untuk

mengetahui perbandingan kesembuhan luka episiotomi dan ruptur spontan perineum

(23)

terdapatnya perbedaan lamanya kesembuhan dan hasil kesembuhan dan tidak

sembuh pada luka episiotomi dengan luka ruptur spontan perineum tingkat 1 – 2.

I.2 Identifikasi Masalah

Apakah ada atau tidaknya perbedaan kesembuhan luka episiotomi

dibandingkan kesembuhan luka ruptur perineum tingkat 1-2 pada persalinan spontan

di RSUP H. Adam Malik Medan periode Juli sampai September 2009 atau sampai

dengan jumlah sampel tercapai.

I.3 Hipotesis

Terdapat perbedaan kesembuhan luka episiotomi dan kesembuhan luka

rupture spontan perineum tingkat 1 – 2 pada persalinan spontan.

I.4 Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

 Membandingkan kesembuhan luka episiotomi dengan kesembuhan luka

ruptur spontan perineum tingkat 1 – 2 pada persalinan spontan.

Tujuan Khusus

 Mengetahui lamanya kesembuhan luka episiotomi tingkat 1 – 2 pada

persalinan spontan.

 Mengetahui lamanya kesembuhan luka ruptur spontan perineum tingkat 1

(24)

 Membandingkan lamanya waktu kesembuhan luka episiotomi dan

kesembuhan luka ruptur spontan perineum tingkat 1 – 2 pada persalinan

spontan

I.5 Kegunaan Penelitian

 Menambah wawasan dan pengetahuan tentang hubungan kesembuhan luka

episiotomi dengan kesembuhan luka ruptur spontan perineum tingkat 1 – 2

pada persalinan spontan.

 Menambah pemahaman tentang perbandingan kesembuhan luka episiotomi

dengan kesembuhan luka ruptur spontan perineum tingkat 1 – 2 pada

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Kerangka Pemikiran

Penyembuhan luka adalah suatu proses upaya perbaikan jaringan. Proses

penyembuhan luka dapat kita kelompokkan dalam 3 fase; fase inflamasi, fase

proliferasi dan fase remodeling. Berbagai peristiwa setelah terjadinya luka berperan

sangat penting dalam mengawali mekanisme pertahanan dan menyebarkan

kandungan bahan-bahan dalam darah sel-sel darah dan substansi bioaktif ke daerah

luka. Perlakuan jaringan dalam penanganan luka secara baik akan memberikan hasil

penyembuhan yang baik. Produk akhir dari penyembuhan luka adalah parut, parut

yang baik akan terlihat lebih kecil, halus dan tidak kentara. Selain perlakuan jaringan

luka, faktor lain juga sangat berpengaruh pada penyembuhan luka seperti ras,

genetik, lokasi luka, berbagai hal yang menyebabkan penyembuhan luka menjadi

lama.

Kolagen mikromolekul utama jaringan penyambung,merupakan protein yang

paling banyak dalam tubuh manusia 1

1,2

. Sekitar 60-70% dari berat kering kulit terdiri

dari kolagen 3. Sekurangnya sekarang dikenal ada 13 macam tipe kolagen4. Sifat

kolagen yang paling menentukan adalah tripel heliks yang terdiri dari 3 subunit

polipeptide. Sintesis dan degradasi kolagen dalam tubuh yang sehat diatur untuk

mempertahankan jumlah kolagen yang normal dalam jaringan luka. PO2 yang tinggi

(26)

Gambar 1. Fase fase Penyembuhan Luka

Pada fase inflamasi dipicu oleh 2 macam mediator yaitu; mediator pengendali

permiabilitas pembuluh darah dan mediator pengendali pengumpulan sel. Yang

termasuk dalam jenis mediator pengendali permiabilitas pembuluh darah,

diantaranya; histamin, serotonin dan bradikinin. Histamin berasal dari mastosit dalam

jaringan dan sel basofil dari peredaran darah. Serotonin berasal dari trombosit dan

bradikinin berasal dari sel netrofil 2,3.

Pengendalian permiabilitas pembuluh darah dalam luka yang oleh

berbagai sebab misalnya rusaknya mikrovaskuler oleh trauma, karena letak luka,

fase inflamasi yang memanjang akibat benda asing atau terjadi angiogenesis kembali

pada luka yang sama dimana histamin akan tetap dihasilkan terus menerus maka

fase inflamasi akan memanjang. Akibatnya yang ditandai oleh luka yang hiperemis

(permiabilitas meningkat) dan gatal-gatal. Keadaan ini akan menyebabkan terjadi

(27)

Ruptur adalah robekan atau koyaknya jaringan secara paksa, (Dorland,

1994)3. Perineum adalah bagian yang terletak antara vulva dan anus panjangnya

rata-rata 4 cm.2,4

Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan dan tak jarang juga

pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan atau dikurangi dengan

menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat.

Sebaliknya kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau kuat dan lama,

karena akan menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam tengkorak janin, dan

melemahkan otot-otot dan fasia pada dasar panggul karena diregangkan terlalu lama.

5,6

Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bisa menjadi luas

apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa

sehingga kepala janin terpaksa lahir lebih ke belakang dari pada biasa, kepala janin

melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar daripada

sirkumferensia suboksipito-bregmatika, atau anak dilahiirkan dengan pembedahan

vaginal.1,5,6

II.2. ANATOMI PERINEUM

Menurut para ahli anatomi, perineum adalah wilayah pelvic outlet diujung

diafragma pelvic (levator ani). Batasannya dibentuk oleh pubic rami di depan ligament

sacro tuberos di belakang. Pelvic outletnya dibagi oleh garis melintang yang

menghubungkan bagian depan ischial tuberosities ke dalam segitiga urogenital dan

(28)

Segitiga urogenital

Otot-otot diwilayah ini dikelompokkan ke dalam kelompok superfisial (dangkal)

dan dalam bergantung pada membran perineal. Bagian bulbospongiosus, perineal

melintang dangkal dan otot ischiocavernosus terletak dalam bagian terpisah yang

superfisial. Otot bulbospongiosus melingkari vagina dan masuk melalui bagian depan

corpora cavernosa clitoridis. Di bagian belakang, sebagian serabutnya mungkin

menyatu dengan otot contralateral superfisial transverse perineal (otot yang

melintang contralateral dipermukaan perineal) juga dengan cincin otot anus

(sfingter).4,7,8

Kelenjar bartholini merupakan struktur berbentuk kacang polong dan bagian

duktusnya membuka ke arah introitus vagina di permukaan selaput dara pada

persimpangan duapertiga bagian atas dan sepertiga bagian bawah labia minora.4,8

Pada wanita, otot perineal profunda melintang antara bagian depan dan

belakang fasia membran perineal yang membentuk diafragma urogenital berbentuk

tipis dan sukar untuk digambarkan, karena itu kehadirannya tidak diakui oleh

sebagian ahli. Dibagian yang sama terletak juga otot cincin external uretra.8,9

Segitiga anal

Wilayah ini mencakup otot luar anus dan lubang ischiorectal.4

(29)

Bagian perineal merupakan wilayah fibromuskular (berotot serabut) antara

vagina dan kanal anus. Pada dataran saggita berbentuk segitiga. Pada sudut

segitiganya terdapat ruang rectovaginal dan dasarnya dibentuk oleh kulit perineal

antara bagian belakang fouchette vulva dan anus. Dalam bagian perineal terdapat

lapisan otot fiber bulbospongiosus, dataran perineal melintang dan otot cincin anus

bagian luar.4,9,10

Diatas bagian ini terdapat otot dubur membujur dan serat tengah otot pubo

rectalis, karena itu sandaran panggul dan juga sebagian hiatus urogenitalis antara

otot levator ani bergantung pada keseluruhan badan perineal. Bagi ahli kesehatan ibu

dan anak, istilah perineum merujuk sebagian besar pada wilayah fibromuskular

antara vagina dan kanal anus.4,10

Anatomi anorektum

Anorektum merupakan bagian yang paling jauh dari traktus gastrointestinalis

dan terdiri dari dua bagian yaitu kanal anus dan rektum. Kanal anus berukuran 3,5

cm dan terletak dibawah persambungan anorektal yang dibentuk oleh otot

puborectalis. Otot cincin anus terdiri dari tiga bagian (subcutaneus / bawah kulit),

superfisial (permukaan) dan bagian profunda (dalam) dan tidak bisa dipisahkan dari

permukaan puborectalis. Cincin otot anus bagian dalam merupakan lanjutan

menebalnya otot halus yang melingkar. Bagian ini dipisahkan dari bagian luar

(30)

Gambar 2. Perineum dan Diafragma Urogenital pada Wanita

II.3. ETIOLOGI RUPTUR PERINEUM

(31)

 kepala janin terlalu cepat lahir

 persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya

 sebelumnya pada perineum terdapat banyak jaringan parut

 pada persalinan dengan distosia bahu

Persalinan seringkali menyebabkan perlukaan pada jalan lahir. Perlukaan

pada jalan lahir tersebut terjadi pada : Dasar panggul/perineum, vulva dan vagina,

servik uteri, uterus sedangkan ruptur pada perineum spontan disebabkan oleh :

Perineum kaku, kepala janin terlalu cepat melewati dasar panggul, bayi besar, lebar

perineum, paritas.13,14

II.4. KLASIFIKASI RUPTUR PERINEUM

1) Ruptur Perineum Spontan

Yaitu luka pada perineum yang terjadi karena sebab-sebab tertentu tanpa

dilakukan tindakan perobekan atau disengaja. Luka ini terjadi pada saat persalinan

dan biasanya tidak teratur.2,5

2) Ruptur perineum yang disengaja (Episiotomi)

Yaitu luka perineum yang terjadi karena dilakukan pengguntingan atau perobekan

pada perineum: Episiotomi adalah torehan yang dibuat pada perineum untuk

(32)

II.4.1. RUPTUR PERINEUM SPONTAN

Definisi :

Luka pada perineum yang terjadi karena sebab-sebab tertentu tanpa dilakukan

tindakan perobekan atau disengaja. Luka ini terjadi pada saat persalinan dan

biasanya tidak teratur. Tingkat robekan perineum dapat dibagi atas 4 tingkatan15:

 Tingkat I : Robekan hanya terjadi pada selaput lender vagina dengan atau

tanpa mengenai kulit perineum sedikit.

 Tingkat II : Robekan yang terjadi lebih dalam yaitu selama mengenai selaput

lendir vagina juga mengenai muskulus perinei transversalis, tapi tidak

mengenai sfingter ani.

 Tingkat III : Robekan yang terjadi mengenai seluruh perineum sampai

mengenai otot-otot sfingter ani. Ruptura perinei totalis di beberapa

kepustakaan yang berbeda disebut sebagai termasuk dalam robekan derajat

III atau IV. Beberapa kepustakaan juga membagi tingkat III menjadi beberapa

bagian seperti :

 Tingkat III a. Robekan < 50 % ketebalan sfingter ani.

 Tingkat III b. Robekan > 50% ketebalan sfinter ani

 Tingkat III c. Robekan hingga sfingter ani interna

 Tingkat IV :Robekan hingga epitel anus.

Robekan mukosa rectum tanpa robekan sfingter ani sangat jarang dan tidak

(33)

Gambar 3. Derajad Ruptur Spontan Perineum

Teknik menjahit robekan perineum 5,9,16

 Tingkat I : Penjahitan robekan perineum tingkat I dapat dilakukan hanya

dengan memakai catgut yang dijahitkan secara jelujur (continuous suture) atau

dengan cara angka delapan (figure of eight).

 Tingkat II : Sebelum dilakukan penjahitan pada robekan perineum tingkat II

maupun tingkat III, jika dijumpai pinggir yang tidak rata atau bergerigi, maka

pinggir bergerigi tersebut harus diratakan terlebih dahulu. pinggir robekan

sebelah kiri dan kanan masing-masing diklem terlebih dahulu, kemudian

digunting. Setelah pinggir robekan rata, baru dilakukan penjahitan luka

robekan. Mula-mula otot-otot dijahit dengan catgut. Kemudian selaput lendir

(34)

selaput lendir vagina dimulai dari puncak robekan, terakhir kulit perineum

dijahit dengan benang sutera secara terputus-putus.

 Tingkat III : Mula-mula dinding depan rectum yang robek dijahit. Kemudian

fasia perektal dan fasia septum rektovaginal dijahit dengan kromik catgut,

sehingga bertemu kembali. Ujung- ujung otot sfingter ani yang terpisah oleh

karena robekan diklem dingan klem pean lurus. Kemudian dijahit dengan 2-3

jahitan kromik catgut sehingga bertemu kembali. Selanjutnya robekan dijahit

lapis demi lapis seperti menjahit robekan perineum tingkat II.

 Tingkat IV : Pasien dirujuk ke fasilitas dan tenaga kesehatan yang memadai.

II.4.2. RUPTUR PERINEUM YANG DISENGAJA ( EPISIOTOMI )

Definisi episiotomi adalah suatu tindakan insisi pada perineum yang menyebabkan

terpotongnya selaput lendir vagina, cincin selaput dara, jaringan pada septum

rektovaginal, otot-otot dan fasia perineum dan kulit sebelah depan perineum.5,8,12

Laserasi vagina dan perineum dikelompokkan menjadi derajat pertama, kedua

atau ketiga. Laserasi derajat pertama mengenai fourchet, kulit perineum, dan

membran mukosa vagina, tetapi tidak mengenai fasia dan otot. Laserasi derajat

kedua mengenai kulit dan membran mukosa, fasia dan otot - otot perineum, tetapi

tidak mengenai m.sfingter ani. Bagian-bagian ini biasanya robek sampai ke atas pada

satu atau kedua sisi vagina, membentuk cedera segitiga yang tidak teratur. Laserasi

(35)

mengenai sfingter ani. Laserasi derajat keempat meluas sampai mukosa rektum

sehingga memaparkan lumen rektum. Walaupun beberapa dekade terakhir beberapa

penelitian telah menentang penggunaan episiotomi secara rutin / liberal, namun

sedikit sekali kesepakatan secara profesional mengenai ketepatan penggunaannya.

Hal ini dapat diilustrasikan dengan bervariasinya rata-rata penggunaan episiotomi

yang berkisar antara 13,3% sampai 84,6% pada satu studi, dengan rata-rata 51%

diantara persalinan spontan.2,3

Episiotomi dalam arti sempit adalah insisi pudenda. Insisi ini dapat dibuat di

linea mediana (episiotomi mediana) atau dapat mulai di linea mediana tetapi

diarahkan ke lateral dan kebawah menjauhi rektum (episiotomi mediolateralis).4

Daerah tindakan episiotomi sendiri adalah daerah yang sarat dengan koloni

bakteri ditambah lagi dengan kemampuan higienis yang kurang maka risiko

terjadinya infeksi juga semakin meningkat. Waktu penyembuhan luka episiotomi

tergantung pada jenis episiotomi, derajat luka episiotomi, jenis jahitan yang

dipergunakan, jenis benang dan antibiotika yang dipergunakan sebagai tindakan

profilaksis. Komplikasi tersering dari luka episiotomi adalah infeksi, skar episiotomi,

endometriosis, trauma perineal, dispareunia, inkontinensia urin ataupun alvi.4,5,6

Indikasi untuk melakukan episiotomi

Indikasi janin : janin prematur, letak sungsang, persalinan buatan

(36)

Indikasi ibu : peregangan perineum yang berlebihan, misalnya pada

primipara, perineum kaku.

Cara melakukan episiotomi 2,6,13

Episiotomi medialis

Insisi dari ujung terbawah introitus vagina sampai batas atas otot sfingter ani,

dengan menggunakan gunting mulai dari bagian tengah cincin himenalis

menuju muskulus bubokavernosus, muskulus superfisial transversa perinei

dan membrana perinei. Bila kurang lebar disambung ke lateral.

Episiotomi mediolateral

Insisi dimulai dari garis tengah introitus vagina menuju ke arah samping

menjauhi anus. Arah insisi dapat dilakukan ke arah kanan atau kiri tergantung

kebiasaan operator.

Episiotomi lateral

Insisi dilakukan ke arah lateral mulai dari posisi jam tiga atau jam sembilan ke

arah lateral dengan menggunakan gunting mulai dari bagian tengah cincin

himenalis menuju muskulus bubokavernosus, muskulus superfisial transversa

perinei dan membrana perinei. Bila kurang lebar disambung ke lateral.

Episiotomi dilakukan saat kepala bayi tampak dengan garis tengah 2-3 cm di

luar his. Episiotomi yang dibuat terlalu cepat akan menyebabkan perdarahan

banyak sedangkan bila dilakukan terlalu lambat tujuan episiotomi untuk

(37)

Gambar 4. Episiotomi Medial dan Mediolateral

Episiotomi atau Insisi Schuchardt.

Jenis ini merupakan variasi dari episiotomi mediolateralis, tetapi sayatannya

(38)

Gambar 5. Jenis-jenis Episiotomi

Gambar 6. Episiotomi Medial dan Mediolateral

Penjahitan luka episiotomi

Penjahitan luka episiotomi bertujuan untuk hemostatik dan rekonstruksi

anatomi. Diusahakan melakukan penjahitan sesedikit mungkin dengan bahan

yang sehalus mungkin tetapi cukup kuat. Setiap tusukan jarum berpotensi

(39)

Gambar 7. Penampang lapisan kulit

Prinsip penjahitan luka episiotomi adalah :

Menggunakan bahan sehalus mungkin tetapi cukup kuat (chromic cat gut 00),

hemostatik yang baik, mendekatkan jaringan, menghindarkan dead space, sesedikit mungkin jahitan.7,8,10-12

Rockner dan Olund (1991) melaporkan kejadian infeksi pada luka perineum akibat episiotomi 10% dibandingkan dengan hanya 2% kejadian infeksi pada luka

perineum akibat ruptur spontan. Dengan waktu penyembuhan 30% lebih lama pada

kelompok episiotomi dibandingkan dengan kelompok ruptur spontan yang hanya

10%.6

O’ Leary melaporkan bahwa waktu penyembuhan akan meningkat 10% pada luka episiotomi yang melibatkan sfingter ani dan atau mukosa rektum. Keadaan ini

juga akan meningkatkan angka komplikasi abses perineum, fistula rektovagina, dan

wound dehisence bila terjadi infeksi. Tanda-tanda tersering terjadinya infeksi adalah adanya nyeri menetap, nyeri defekasi, nyeri tekan dan edema. 7

Meskipun episiotomi rutin sering dilakukan di masa lalu (karena para penolong

persalinan percaya bahwa dengan melakukan episiotomi akan mencegah penyulit

(40)

spontan) tetapi tidak ada bukti ilmiah yang mendukung pendapat ini (Enkin, et al, 2000; Wooley, 1995).8,9

Episiotomi rutin tidak boleh dilakukan karena dapat menyebabkan:

- Meningkatnya jumlah darah yang hilang dan risiko hematom.

- Lebih sering meluas menjadi laserasi derajat 3-4 dibandingkan laserasi

derajat 3-4 yang terjadi tanpa episiotomi.

- Meningkatnya nyeri pasca salin

- Meningkatnya risiko infeksi.

Walaupun beberapa dekade terakhir beberapa penelitian telah menentang

penggunaan episiotomi secara rutin / liberal, namun sedikit sekali kesepakatan

secara profesional mengenai ketepatan penggunaannya. Hal ini dapat diilustrasikan

dengan bervariasinya rata-rata penggunaan episiotomi, berkisar antara 13,3%

sampai 84,6% pada satu studi, dengan rata-rata 51% diantara persalinan spontan.10

Proses penyembuhan luka

Penyembuhan luka adalah proses kinetik dan metabolik yang kompleks

yang melibatkan berbagai sel dan jaringan dalam usaha untuk menutup tubuh

dari lingkungan luar dengan cara mengembalikan integritas jaringan. Pada

setiap perlukaan baik yang bersih maupun yang terinfeksi tubuh akan

berusaha melakukan penyembuhan luka. 14,16

Dikenal tiga cara penyembuhan luka :15,16

(41)

Adalah penyembuhan yang terjadi tanpa penyulit. Pembentukan

jaringan granulasi sangat minimal, misalnya pada luka sayat atau luka

aseptik dikelola dengan penutupan yang akurat.

• Penyembuhan sekunder

Adalah penyembuhan yang terjadi dengan pembentukan jaringan

granulasi sebelum terjadi jaringan epitelialisasi. Misalnya pada luka

yang terbuka dan tidak dijahit atau luka suatu dead space. Keadaan ini bisa terjadi karena kerusakan atau kehilangan jaringan yang cukup luas

atau infeksi.

• Penyembuhan tertier

Adalah penyembuhan yang dalam prosesnya dibantu dengan tindakan

bedah agar luka tertutup. Misalnya pada luka yang dibiarkan terbuka

pada fase-fase pertama penyembuhan luka (3-4 hari). Selanjutnya

dijahit atau luka ditutup dengan skin graft.15

Fase penyembuhan luka 15,16,17

• Fase Inflamasi (fase initial, substrat, produktif, autolitik, katabolik)

Reaksi awal tubuh terhadap adanya trauma luka, antara hari 1-4, reaksi

untuk menghilangkan mikroorganisme, benda asing dan jaringan non

vital yang terdapat dalam luka sebagai persiapan reparasi. Makin hebat

(42)

ini terjadi 3 aktivitas: respon vaskuler, respon hemostatik dan respon

seluler.

• Fase Proliferatif (fibroplasia, kolagen)

Fase ini terdiri dari proses epitelialisasi, kontraksi luka dan reparasi

jaringan ikat. Berlangsung pada hari ke 5 – 20.Fibroblas pada fase ini

sangat menonjol perannya. Fibroblas berasal dari sel mesenkin yang belum

berdiferensiasi, berproliferasi menghasilkan mukopolisakarida, asam amino

glisin dan prolin. Fibroblas terbentuk dari resting sel disekitar pembuluh darah, menghasilkan tropokolagen, beserta mukopolisakarida membentuk kolagen.

Jenis fibroblas yang muncul dalam luka memiliki ciri khas yaitu lebih mobil

dari pada fibroblas yang tidak aktif (2.4.5) . Jenis ini dapat berkontraksi. Migrasi

sel-sel fibroblas didorong oleh transforming growth factor beta (TGFβ) yang

dihasilkan oleh trombosit dan keratinosit, sedang proliferasi didorong oleh

trombin dan serotonin yang dihasilkan oleh trombisit dan IL-1 yang dihasilkan

oleh keratinosit dan oleh FGF yang dihasilkan oleh sel-sel makrofag dan oleh

(43)

Gambar 8. Mekanisme Penyembuhan Luka

• Fase Maturasi (remodelling, resorbsi, diferensiasi).

Proses ini berlangsung setelah integritas jaringan tercapai. Proses ini

mulai hari ke 21 sampai terjadinya pematangan parut luka kira-kira 6-9 bulan

atau lebih dari 1 tahun ditandai dengan perubahan parut menjadi tipis, lemas,

pucat, tidak nyeri dan gatal. Levenson dkk mengamati terjadinya perubahan

histologi pada kolagen. Kolagen yang terjadi pada hari ke 5 masih tipis,

dengan fibril-fibril yang tidak teratur, dalam beberapa minggu atau bulan

diameter fibril meningkat dan serabutnya menjadi kompak.15

Infeksi luka episiotomi

Salah satu komplikasi tindakan pertolongan persalinan adalah infeksi

pada luka episiotomi. Infeksi luka episiotomi adalah peradangan yang

disebabkan oleh masuknya kuman-kuman kedalam luka episotomi pada waktu

(44)

menjadi merah dan bengkak, jahitan mudah terlepas, luka yang terbuka

menjadi ulkus, pengeluaran pus, terkadang perih bila buang air kecil. 16

Lepasnya jahitan atau dehiscence episiotomi paling sering disebabkan oleh infeksi. Infeksi luka episiotomi dikatakan infeksi bila tanda dan gejala

klinik baru timbul sekurang-kurangnya empat puluh delapan jam perawatan.16

Bila cairan radang bisa keluar, biasanya keadaan infeksi tidak berat,

suhu sekitar 38°C dan nadi dibawah 100 per menit. Bila luka terinfeksi

tertutup oleh jahitan dan cairan radang tidak dapat keluar, demam bisa naik

sampai 39-40°C.16

Kebersihan luka perineum memerlukan perawatan yang lebih

dibandingkan luka di tempat lain. Infeksi luka episiotomi sebagian besar

terjadi karena kurangnya tindakan aseptik saat melakukan penjahitan luka

episiotomi.19,20

Seorang penderita yang terkena infeksi pada luka episiotomi akan lebih

sulit dalam proses penyembuhan, dan bila berhasil bertahan maka lama

rawatan akan lebih panjang dan penambahan biaya perawatan pada

penderita.8,21

Pencegahan Infeksi 16,19,22

(45)

- Mengurangi atau mencegah faktor-faktor predisposisi seperti anemia,

malnutrisi dan kelemahan serta mengobati penyakit-penyakit yang

diderita ibu.

- Pemeriksaan dalam jangan dilakukan kalau tidak ada indikasi yang perlu.

- Koitus pada hamil tua hendaknya dihindari atau dikurangi dan

dilakukan hati-hati karena dapat menyebabkan pecahnya ketuban. Kalau

ini terjadi infeksi akan mudah masuk dalam jalan lahir.

Selama persalinan

Usaha pencegahan terdiri atas membatasi sebanyak mungkin masuknya

kuman-kuman dalam jalan lahir :

- Hindari partus terlalu lama dan ketuban pecah lama/menjaga supaya

persalinan tidak berlarut-larut.

- Menyelesaikan persalinan dengan trauma sedikit mungkin.

- Perlukaan-perlukaan jalan lahir karena tindakan baik pervaginam

maupun perabdominam dibersihkan, dijahit sebaik-baiknya dan

menjaga sterilitas.

- Mencegah terjadinya perdarahan banyak, bila terjadi darah yang hilang harus

segera diganti dengan tranfusi darah.

- Yang menderita infeksi pernafasan tidak diperbolehkan masuk ke kamar

bersalin.

(46)

- Hindari pemeriksaan dalam berulang-ulang, lakukan bila ada indikasi

dengan sterilisasi yang baik, apalagi bila ketuban telah pecah.

Selama nifas

- Luka-luka dirawat dengan baik jangan sampai kena infeksi, begitu pula

alat-alat dan pakaian serta kain yang berhubungan dengan alat kandungan

harus steril.

- Penderita dengan infeksi nifas sebaiknya diisolasi dalam ruangan

khusus, tidak bercampur dengan ibu sehat.

(47)

BAB III

METEDOLOGI PENELITIAN

III.1. Rancangan Penelitian

Penelitian bersifat kohort deskriptif dengan uji analisis pada pasien-pasien yang

memenuhi kriteria inklusi. Dibandingkan antara tingkat kesembuhan luka episiotomi

dengan luka ruptur perineum tingkat 1-2 pada primigravida.

III.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di kamar bersalin dan poliklinik ibu hamil RSUP H. Adam

Malik Medan dimulai bulan Juli 2009 sampai September 2009 atau sampai dengan

jumlah sampel tercapai.

III.3. Populasi Penelitian

Populasi penelitian dibagi menjadi 2 kelompok. Subjek penelitian pertama adalah

kelompok wanita pasca persalinan dengan episiotomi. Subjek penelitian kedua

adalah wanita pasca persalinan dengan luka ruptur perineum derajat 1-2 pada

persalinan spontan. Evaluasi kesembuhan luka akan dilakukan pada saat 10 hari

pasca persalinan. Besarnya sampel ditentukan berdasarkan rumus untuk menguji

dua rata-rata yaitu :

(Zα + Zβ) S 2

n1 = n2 = 2

(X1 – X2)

(48)

III.4. Kriteria Sampel

III.4.1. Kriteria Inklusi

1. Pasien yang melahirkan spontan di kamar bersalin RSUP H. Adam Malik

Medan.

2. Primigravida dengan luka episiotomi dan primigravida dengan luka ruptur

perineum tingkat 1-2.

3. Primigravida dengan presentasi kepala, kehamilan tanpa komplikasi seperti

kehamilan dengan diabetes mellitus, jantung, gemelli, dll

III.4.2. Kriteria Eksklusi.

1. Primigravida dengan luka ruptur perineum tingkat 3-4.

III.5. Kerangka Konsep

Gambar 9. Kerangka Konsep

Episiotomi

Ruptur Perineum Grade 1-2 Kesembuhan Luka

Lateral Mediolatetal Medial Schuchardt

Hemoglobin (Hb)

Pecahnya Selaput Ketuban BMI

(49)
[image:49.612.111.500.87.373.2]

3.6. Alur Penelitian

Gambar 10. Bagan Penelitian

III.7. Cara Kerja

Pengumpulan data diperoleh dari penderita yang berkunjung ke Poliklinik Obstetri

atau yang berada di kamar bersalin yang memenuhi syarat-syarat penelitian yang

ditetapkan (kriteria inklusi), selanjutnya dilakukan pemeriksaan sebagai berikut :

1. Wawancara tentang identitas, riwayat kehamilan sekarang, serta

penyakit-penyakit yang pernah dideritanya

2. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan secara umum meliputi keadaan umum,

tanda-tanda vital, pemeriksaan fisik dan laboratorium rutin. Pemeriksaan

obstetrik yang lengkap meliputi pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam. Subjek penelitian

Kriteria inklusi

Episiotomi Ruptur perineum tingkat 1-2

Kesembuhan Luka

(50)

3. Pasien selaku calon peserta penelitian diberi keterangan tentang tujuan dan

prosedur penelitian. Bila pasien setuju, pasien dimintakan persetujuan

tertulisnya, sedangkan bila pasien tidak setuju calon peserta penelitian

berhak menolak ikut penelitian.

4. Kemudian pasien dibagi kedalam kedua kelompok dimana kelompok I

pasien yang diobservasi kesembuhan luka episiotomi pasca salin dan

kelompok II pasien yang diobservasi kesembuhan luka ruptur perineum

tingkat 1-2 pasca salin.

5. Setelah diobservasi selama ≤ 10 hari dinyatakan sembuh, apabila saat

penilaian 10 hari pasca salin luka telah rapat dan kering. Dipilih 10 hari

karena proses penyembuhan luka / epitelisasi komplit terjadi 7-10 hari. Dan

dinyatakan sembuh > 10 hari apabila saat penilaian 10 hari pasca salin luka

belum rapat dan kering.

III.7. Batasan Operasional

1. Primigravida : Wanita yang telah melahirkan seorang anak, yang cukup besar

untuk hidup di dunia luar (matur atau prematur).

2. Persalinan : suatu proses mengeluarkan hasil konsepsi berupa janin dan

plasenta.

3. Persalinan spontan : persalinan yang berlangsung dengan kekuatan ibu sendiri

dan melalui jalan lahir.

4. Episiotomi : insisi pudenda. Insisi ini dapat dibuat di linea mediana (episiotomi

mediana) atau dapat mulai di linea mediana tetapi diarahkan ke lateral dan

(51)

5. Ruptur Perineum tingkat 1-2 :

Ruptur perineum yang mengenai kulit, mukosa, otot-otot perineum kecuali sfingter

ani.

6. Kesembuhan luka

Sembuh ≤ 10 hari : Apabila saat penilaian 10 hari pasca salin luka telah rapat dan

kering. (dipilih 10 hari karena proses penyembuhan luka /epitelisasi komplit

terjadi 7-10 hari).

Tidak sembuh > 10 hari : Apabila saat penilaian 10 hari pasca salin luka belum

rapat dan kering.

7. Pertolongan persalinan dilakukan dengan menggunakan prinsip persalinan

bersih dan aman. selanjutnya dilakukan tindakan antiseptik di daerah vulva

dan sekitarnya dengan menggunakan larutan Povidone Iodine 10%.

Semua kasus dan kontrol diberikan terapi antibiotika amoxicillin tab 3x500

mg selama lima hari pasca persalinan.

8. Penjahitan luka episiotomi dilakukan dengan menggunakan benang

Chromic cat gut no 00 (sachet) pada lapisan dalam dengan teknik

penjahitan jelujur, kulit dengan penjahitan simpel.

9. Masa penilaian luka dilakukan selama sepuluh hari setelah melahirkan.

10. Penilaian luka dianggap infeksi bila terdapat tanda-tanda:

 Tanda minor (tanda inflamasi) : tepi luka kemerahan, luka basah, nyeri di tempat luka

(52)

 Tiga kriteria minor,

 Dua kriteria minor + satu kriteria mayor,

 Satu kriteria mayor.

11. Status gizi ditentukan dengan menghitung,IMT(Index massa tubuh): IMT = berat badan (kg) dibagi tinggi (m2)

 IMT < 19,8 = underweight

 IMT 19,8 – 26 = normoweight

 IMT > 26 = overweight

Prosedur menjahit luka episiotomi

Persetujuan medik, persiapan alat, pencegahan infeksi sebelum tindakan :

 Mencuci tangan di bawah air mengalir

 Mengeringkan tangan dan memakai sarung tangan

 Melakukan tindakan asepsis di daerah vulva, perineum dan anus

dengan larutan antiseptik. 22

 Penjahitan luka episiotomi :

 Bila diperlukan disuntikkan lidocain 1% infiltrasi lokal di daerah luka

episiotomi / robekan perineum. 9

 Melakukan eksplorasi apakah terdapat laserasi lain selain luka

episiotomi

 Memasang tampon bola dalam vagina bila diperlukan. Menjahit luka

episiotomi dimulai dari ujung bagian dalam sekitar 1 cm atas ujung

(53)

secara jelujur (chromic 00) dengan menggunakan jarum bulat

sampai batas robekan himen. Akhirnya dilakukan pengikatan dengan

benang pada batas robekan himen, Kulit dijahit secara simpel.

Periksa kembali apakah ada alat atau kassa yang tertinggal dalam

vagina. Masukkan jari ke dalam anus untuk melihat apakah ada

jahitan yang mengenai mukosa rektum.

 Cuci vulva dan perineum dengan larutan antiseptik.

 Kumpulkan bahan habis pakai yang terkena darah atau cairan tubuh

dan masukkan ke dalam tempat sampah. Setelah melepaskan

sarung tangan kemudian cuci tangan dengan sabun atau larutan

antiseptik dalam air mengalir.

 Perawatan pasca tindakan : periksa tanda vital , catat kondisi

pasien, buat instruksi pengobatan dan pemantauan.

 Perawatan vulva hygiene pascasalin di ruangan dilakukan dengan

menggunakan kompres larutan Povidone iodine 10%.

Pemeriksaan laboratorium dilakukan di Laboratorium Departemen Patologi Klinik

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara – RSUP. H. Adam Malik Medan.

III.8. Pengumpulan Data Dan Analisa Statistik

Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara statistik

(54)

III.9. Etika Penelitian

Semua peserta diberikan penjelasan mengenai tujuan dan cara yang dijalankan pada

penelitian ini, penelitian dilakukan setelah terdapat persetujuan sukarela dari masing -

masing peserta dengan menandatangani surat pernyataan persetujuan (informed

concent).

Setiap peserta berhak mengetahui hasil pemeriksaan dan kesembuhan luka yang

dilakukan terhadapnya. Karena alasan tertentu, peserta boleh menarik diri dari

(55)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian dilakukan di kamar bersalin dan poliklinik ibu hamil RSUP.H.

Adam Malik Medan mulai dari bulan Juli sampai September 2009 atau sampai jumlah

sampel terpenuhi, dengan total sampel 60 orang. Sampel terbagi menjadi dua

kelompok, subjek pertama kelompok wanita pasca persalinan spontan dengan

episiotomi dan kelompok kedua wanita pasca persalinan spontan dengan luka ruptur

perineum tingkat 1 – 2. Dari hasil penelitian didapatkan rentang usia wanita dengan

persalinan spontan < 25 tahun berjumlah 30 orang (50%), usia 26 – 35 tahun 30

orang (50%). Sampel dengan tingkat pendidikan SLTA atau lebih tinggi berjumlah 27

orng (45%), SLTP 20 orang (33,33%) dan SD sebanyak 13 orang (21,7%).

Didapatkan kadar Hemoglobin ibu < 11 gr% sebanyak 21 orang (70%), nilai

hemoglobin ≥ 11 gr% sebanyak 7 orang (30%). Berat badan bayi lahir antara 2500 –

3500 gram berjumlah 41 orang (68,3%) dan berat badan bayi lahir > 3500 gram

[image:55.612.114.522.540.706.2]

berjumlah 19 orang (31,7%). (tabel 4.1)

Tabel 4. 1. Karakteristik Subjek Penelitian

KARAKTERISTIK RSHAM

n %

USIA (TAHUN)

< 25 30 50

26 - 35 30 50

≥ 36 0 0

PENDIDIKAN SD SLTP SLTA 13 20 27 21,7 33,3 45,0 KADAR HEMOGLOBIN :

≥ 11 gr% < 11 gr%

18 42

(56)

BERAT BAYI LAHIR < 2500 gram ≥ 2500 ≤ 3500gram >3500 gram 0 41 19 0 68,3 31,7 LAMA PERSALINAN (jam) :

< 6jam ≥ 6 jam

0 60

0 100 LAMA KETUBAN PECAH

(Jam) : < 8 jam ≥ 8 jam

55 5

91,7 8,3 KESEMBUHAN LUKA

EPISIOTOMI : Sembuh Tidak sembuh 19 11 63,3 36,7 KESEMBUHAN LUKA

RUPTUR PERINEUM : Sembuh Tidak sembuh 23 7 76,7 23,3 KEJADIAN INFEKSI

EPISIOTOMI : Infeksi Tidak Infeksi 11 19 36,7 63,3

KEJADIAN INFEKSI RUPTUR PERINEUM : Infeksi Tidak Infeksi 7 23 23,3 76,7

Evaluasi kesembuhan luka dilakukan 10 hari pasca persalinan. Dijumpai

19 kasus (63,3%) dinyatakan sembuh pada luka episiotomi dan 23 kasus

(76,7%) dinyatakan sembuh pada luka ruptur spontan perineum tingkat 1 – 2.

Semua wanita pasca persalinan diberikan antibiotika oral Amoxicillin 3x500

mg selama 5 hari. Dari penelitian ini masih didapatkan kejadian infeksi. Infeksi

yang terjadi pada luka episiotomi sebanyak 11 kasus (36,3%) dan infeksi yang

terjadi pada luka ruptur perineum tingkat 1 – 2 sebanyak 7 kasus (23,3%).

Dilakukan analisis hubungan antara hemoglobin dengan kejadian infeksi luka

episiotomi dan infeksi luka ruptur perineum didapatkan hasil uji statistic

(57)

episiotomi dengan kadar hemoglobin pasien. Hal ini didukung dengan

penelitian sebelumnya oleh Guyansyah 1994 yang menyimpulkan tidak ada

pengaruh kadar hemoglobin dengan kejadian infeksi luka episiotomi dan

ruptur perineum tingkat 1 – 2. Berbeda dengan pendapat Vorherr 2002

menyatakan bahwa keadaan anemia mempengaruhi kejadian infeksi nifas.

Tabel 4.2. Hubungan antara Hemoglobin dengan Kejadian Infeksi Luka Episiotomi

HEMOGLOBIN

INFEKSI LUKA EPISIOTOMI JUMLAH

Infeksi Tidak Infeksi

n %

n % n %

< 11 gr% 7 63,6 14 73,7 21 70

≥ 11 gr% 4 36,4 5 26,3 9 30

TOTAL 11 100 19 100 30 100

*Uji Exact Fisher p = 0,687

Tabel 4.3. Hubungan antara Hemoglobin dengan Kejadian Infeksi Luka Ruptur Perineum

HEMOGLOBIN

INFEKSI LUKA RUPTUR

PERINEUM JUMLAH

Infeksi Tidak Infeksi

n %

n % n %

< 11 gr% 5 71,4 16 69,6 21 70

≥ 11 gr% 2 28,6 7 30,4 9 30

TOTAL 7 100 23 100 30 100

*Uji Exact Fisher p = 1,000

[image:57.612.83.571.286.376.2] [image:57.612.88.568.471.572.2]
(58)

Dari analisis hubungan berat badan bayi lahir dengan infeksi luka

episiotomi dengan infeksi luka ruptur perineum tingkat 1 – 2 didapatkan

hubungan tidak bermakna.

Tabel 4.4. Hubungan Berat Bayi Lahir terhadap Kejadian Infeksi Luka Episiotomi

BERAT BAYI LAHIR

INFEKSI LUKA EPISIOTOMI JUMLAH

Infeksi Tidak Infeksi

N %

N % N %

< 2500 Gr 0 0 0 0 0 0

≥ 2500 ≤ 3500 Gr 5 71,4 19 82,6 24 80

> 3500 Gr 2 28,5 4 17,4 6 20

TOTAL 7 100 23 100 30 100

*Uji Exact Fisher p = 1,000

Tabel 4.5. Hubungan Berat Bayi Lahir terhadap Kejadian Infeksi Luka Ruptur Perineum

BB Lahir INFEKSI LUKA RUPTUR JUMLAH

Infeksi Luka Epis Tidak Infeksi Luka Epis Infeksi Luka Ruptur Perineum Tidak Infeksi Luka Ruptur Perineum

< 8 jam 7 19 5 16

≥ 8 jam 4 5 2 7

[image:58.612.125.511.72.322.2] [image:58.612.85.571.486.599.2]
(59)

PERINEUM

Infeksi Tidak Infeksi

n %

n % n %

< 2500 gr 0 0 0 0 0 0

2500 – 3500 gr 6 85,7 19 82,6 25 83,3

> 3500 gr 1 14,3 4 17,4 5 16,7

TOTAL 7 100 23 100 30 100

*Uji Exact Fisher p = 1,000

Diagram 2. Hubungan Berat Bayi Lahir terhadap Kejadian Infeksi Luka Episiotomi dan Luka Ruptur Perineum

Dalam penelitian ini didapatkan indeks massa tubuh memiliki hubungan

yang bermakna terhadap kejadian infeksi luka episiotomi sementara indeks

massa tubuh terhadap kejadian infeksi pada luka ruptur perineum tingkat 1 – 2

tidak bermakna secara statistik. Hal ini dapat terjadi dikarenakan dalam

penelitian ini tidak bisa mengontrol indeks massa tubuh yang ternyata indeks

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

Infeksi Luka Epis Tidak Infeksi Luka Epis

Infeksi Luka Ruptur Perineum

Tidak Infeksi Luka Ruptur Perineum

0 0 0 0

5 19 6 19 2 4 1 4

(60)

massa tubuh-nya berbeda-beda oleh karena faktor faktor yang tidak bisa

[image:60.612.87.571.205.318.2]

dideteksi.

Tabel 4.6. Hubungan antara Index Massa Tubuh dengan Kejadian Infeksi Luka Episiotomi

IMT

INFEKSI LUKA EPISIOTOMI JUMLAH

Infeksi Tidak Infeksi

N %

n % n %

Underweight Normoweight 3 2 27,3 18,2 0 18 0 94,7 3 20 10,0 66,7

Overweight 6 54,5 1 5,3 7 23,3

TOTAL 11 100 19 100 30 100

*Uji Pearson Chi square p = 1,000

Tabel 4.7. Hubungan antara Index Massa Tubuh dengan Kejadian Infeksi Luka Ruptur Perineum

IMT

INFEKSI LUKA RUPTUR

PERINEUM JUMLAH

Infeksi Tidak Infeksi

n %

n % n %

Underweight 2 28,6 2 8,7 4 13,3

Normoweight 3 42,9 21 91,3 24 80

Overweight 2 28,6 0 0 2 6,7

TOTAL 7 100 23 100 30 100

[image:60.612.84.571.392.507.2]
(61)

Diagram 3. Hubungan antara Index Massa Tubuh dengan Kejadian

Infeksi Luka Episiotomi dan Luka Ruptur Perineum

Pada analisis lamanya ketuban pecah terhadap kejadian infeksi luka

episiotomi dan luka ruptur perineum tingkat 1 – 2 bermakna secara statistik

pada pasien yang lama ketuban pecah > 8 jam, maka kejadian infeksi luka

episiotomi sebanyak 7 orang (63,3%) dan pada luka ruptur perineum tingkat 1

– 2 sebanyak 4 orang (36,4%). Hal ini tidak berbeda dengan pendapat Bennet

2004 dan Vorherr 2002 menyatakan bahwa lama ketuban pecah

mempengaruhi kejadian infeksi nifas.

0 5 10 15 20 25

Infeksi Luka Epis Tidak Infeksi Luka Epis

Infeksi Luka Ruptur Perineum

Tidak Infeksi Luka Ruptur Perineum 3 0 2 2 2 18 3 21 6 1 2 0

(62)

Tabel 4.8. Hubungan Lama Ketuban Pecah terhadap Kejadian Infeksi Luka Episiotomi

LAMA KETUBAN PECAH

INFEKSI LUKA EPISIOTOMI JUMLAH

Infeksi Tidak Infeksi

N %

N % n %

< 8 jam 7 63,6 19 100 26 86,7

≥ 8 jam 4 36,4 0 0 4 13,3

TOTAL 11 100 19 100 30 100

*Uji Chi-Square p = 0,012

Tabel 4.9. Hubungan Lama Ketuban Pecah terhadap Kejadian Infeksi Luka Ruptur Perineum

LAMA KETUBAN PECAH

INFEKSI LUKA RUPTUR

PERINEUM JUMLAH

Infeksi Tidak Infeksi

n %

n % n %

< 8 jam 6 85,7 23 100 29 96,7

≥ 8 jam 1 14,3 0 0 1 3,3

TOTAL 7 100 23 100 30 100

*Uji Chi-Square p = 0,000

Diagram 4 Hubungan Lama Ketuban Pecah terhadap Kejadian Infeksi Luka Episiotomi dan Luka Ruptur Perineum

0 5 10 15 20 25 Infeksi Luka Epis Tidak Infeksi Luka Epis Infeksi Luka Ruptur Perineum Tidak Infeksi Luka Ruptur Perineum

< 8 jam 7 19 6 23

≥ 8 jam 4 0 1 0

[image:62.612.90.570.101.199.2] [image:62.612.122.516.446.717.2]
(63)

Tabel 4.11 menganalisis perbedaan waktu kesembuhan pada luka episiotomi

dan luka ruptur perineum tingkat 1 – 2 sebanyak 19 orang (63%) sampel yang

sembuh pada episiotomi dan sebanyak 23 orang (76,7%) sembuh pada luka

ruptur perineum tingkat 1 – 2. Dilakukan uji exact Fisher, didapatkan nilai P > 0,05 yang menunjukkan hubungan tidak berrmakna antara waktu kesembuhan

[image:63.612.97.506.415.667.2]

luka episiotomi dengan luka ruptur perineum tingkat 1 – 2.

Tabel 4.10. Perbedaan Kejadian Infeksi Pada Luka Episiotomi Dan Luka Ruptur Perineum Grade 1-2.

Kesembuhan Luka

Total

Episiotomi Ruptur

Perineum

n % n % n %

Infeksi 11 36,7 7 23,3 18 30

Tidak Infeksi 19 63,3 23 76,7 42 70

Total 30 100 30 100 60 100

*Uji Exact Fisher p = 0,399

Diagram 5. Perbedaan Kejadian Infeksi Pada Luka Episiotomi Dan Luka Ruptur Perineum Grade 1-2.

(64)

Pada tabel 4.10. dari 30 subjek penelitian primigravida yang dilakukan

episiotomi didapatkan 11 orang (36,7 %) yang mengalami infeksi, sedangkan sisanya

19 orang (63,3%) tidak mengalami infeksi. Dari 30 subjek penelitian primigravida

dengan luka ruptur perineum tingkat 1-2 didapatkan 7 orang (23,3%) yang mengalami

infeksi, sisanya 23 orang (76,7%) tidak mengalami infeksi. Melalui perhitungan

statistik dengan uji eksak fisher didapatkan p=0,399 perbedaan kejadian infeksi pada

[image:64.612.105.497.432.686.2]

luka episiotomi dan luka ruptur secara statistik tidak bermakna.

Tabel 4.11. Perbedaan Waktu Kesembuhan Luka Pada Episiotomi dan Luka Ruptur Perineum Tingkat 1-2

Kesembuhan Luka

Total

Episiotomi Ruptur

Perineum

n % n % n %

Sembuh 19 63,3 23 76,7 42 70

Tidak Sembuh 11 36,7 7 23,3 18 30

Total 30 100 30 100 60 100

*Uji Exact Fisher p = 0,399

Diagram 6. Perbedaan Waktu Kesembuhan Luka Pada Episiotomi dan Luka Ruptur Perineum Tingkat 1-2

0 5 10 15 20 25

Episiotomi Ruptur Perineum

(65)

Pada tabel 4.11. dari 30 subjek penelitian primigravida yang dilakukan

episiotomi didapatkan 19 orang (63,3%) sembuh kurang dari sama dengan 10 hari,

sisanya 11 orang (36,7%) sembuh lebih dari 10 hari. Kesembuhan luka ruptur

perineum tingkat 1–2 kurang dari sama dengan 10 hari adalah 23 orang (76,7%),

kesembuhan luka ruptur perineum tingkat 1–2 lebih dari 10 hari adalah 7 (23,3%).

Didapatkan perbedaan kesembuhan antara luka episiotomi dengan luka ruptur

perineum tingkat 1–2, kesembuhan luka lebih dari 10 hari didapatkan lebih banyak

pada primigravida yang di-episiotomi 11 orang (36,7%) berbanding 7 orang (23,3%)

pada primigravida dengan luka perineum tingkat 1–2. Dilakukan uji eksak fisher

didapatkan p = 0,399 dengan RR (95 % CI) : 0,96 (0,85–1,09), jadi perbedaan antara

waktu kesembuhan luka episiotomi dan luka ruptur perineum tingkat 1–2 tidak

bermakna secara statistik.

Penelitian ini tidak berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh

Larsson and colleagues, 1991

Gambar

Gambar 1 Fase Fase Penyembuhan Luka..................................................
Gambar 10. Bagan Penelitian
Tabel  4. 1.  Karakteristik Subjek Penelitian
Tabel 4.3. Hubungan antara Hemoglobin dengan Kejadian   Infeksi Luka Ruptur Perineum
+6

Referensi

Dokumen terkait

Adam Malik Medan perbedaan ekspresi dari reseptor estrogen dan progesterone pada pasien kanker payudara premenopausal dan postmenopausaldi RSUP H. Adam Malik

Tujuan : Mengetahui angka kejadian dan pola kristaluria pada pasien batu saluran kemih di RSUP H.. Adam

Adam Malik Medan untuk melengkapi pencatatan data penderita seperti suku dan lokasi perdarahan.. Kata kunci: Karakteristik Penderita, Stroke Haemoragik, RSUP H

JUDUL : Perbandingan Tingkat Pengetahuan Mengenai Kanker pada Pasien Kanker di RSUP Haji Adam Malik dengan Orang Awam di Kecamatan Medan Selayang II.. NAMA : LETCHUMI RAJA SUREIA

RSUP Haji Adam Malik Medan periode tahun 2014 dan 2015. Mengetahui sebaran etiologi pasien CTS di RSUP Haji

Hasil tingkat kepuasan klien kanker terhadap pemenuhan kebutuhan spiritual oleh perawat di RSUP Adam Malik ... Kepuasan

Skema 3.1 Kerangka Penelitian Tingkat Kepuasan Klien Kanker Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Spiritual di RSUP H Adam Malik Medan.. Tingkat Kepuasan

Laporan Akuntabilitas Kinerja RSUP Adam Malik Medan ini menjelaskan pencapaian kinerja RSUP H.Adam Malik selama Tahun 2014, capaian kinerja tersebut dibandingkan dengan