HUBUNGAN KETIDAKPATUHAN PENGOBATAN DAN STIGMA PADA KELUARGA DENGAN PERAWATAN KEMBALI
PASIEN SKIZOFRENIA DI RSJ DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA
TESIS
OLEH
VERA R.B.MARPAUNG
077013027/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
HUBUNGAN KETIDAKPATUHAN PENGOBATAN DAN STIGMA PADA KELUARGA DENGAN PERAWATAN KEMBALI
PASIEN SKIZOFRENIA DI RSJ DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA
T E S I S
Diajukan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Progam Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Administrasi Rumah Sakit
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
VERA R.B.MARPAUNG
077013027/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHASTAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
Judul Tesis : HUBUNGAN KETIDAKPATUHAN PENGOBATAN DAN STIGMA PADA KELUARGA DENGAN PERAWATAN KEMBALI PASIEN SKIZOFRENIA DI RSJ
DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA Nama Mahasiswa : Vera R.B. Marpaung
Nomor Induk Mahasiswa : 077013027
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Administrasi Rumah Sakit
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. dr. H.M. Joesoef Simbolon, Sp.KJ (K)) (Raras Sutatminingsih, S.Psi.M.Si)
Ketua Anggota
Ketua Program Studi Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S) (dr. Ria Masniari Lubis, M.Si)
Telah diuji pada
Tanggal
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. dr. H.M. Joesoef Simbolon, Sp.KJ (K)
PERNYATAAN
HUBUNGAN KETIDAKPATUHAN PENGOBATAN DAN STIGMA PADA KELUARGA DENGAN PERAWATAN KEMBALI
PASIEN SKIZOFRENIA DI RSJ DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA
T E S I S
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, November 2009
ABSTRAK
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang bersifat kronis dan selalu mengalami kekambuhan. Data yang diperoleh dari Medical Record Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2008 menunjukkan 65% pasien skizofrenia yang dirawat mengalami kekambuhan dan menyebabkan perawatan kembali pasien skizofrenia. Tingginya angka kekambuhan pada pasien skizofrenia diduga terkait dengan ketidakpatuhan dan adanya stigma pada keluarga.
Penelitian bertujuan untuk menganalisis hubungan ketidakpatuhan dan stigma pada keluarga dengan perawatan kembali pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini adalah penelitian survei explanatory.
Populasi adalah seluruh keluarga penderita skizofrenia yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara yang berjumlah 956 orang. Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan cara non probability sampling dengan teknik consecutive sampling sebanyak 87 orang. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner. Data dianalisis secara univariat dan bivariat dengan menggunakan uji Chi-Square.
Hasil penelitian menyatakan bahwa ketidakpatuhan pengobatan dan stigma keluarga mempunyai hubungan signifikan terhadap perawatan kembali pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara (P < 0,05).
Disarankan kepada pihak manajemen Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara untuk : 1. Meningkatkan program penyuluhan berupa edukasi keluarga yang ditekankan pada dukungan keluarga sebagai pendukung utama serta pengurangan ekspresi emosi dalam lingkungan keluarga, 2. Membuat kebijakan perlunya program pemberdayaan masyarakat dalam membantu pemulihan pasien skizofrenia.
ABSTRACT
Schizophrenia is a chronic psychotic disorder which always relapses.The data obtained from the Medical Record of the Mental Hospital of North Sumatera Province showed that in 2008, 65% of the patients of schizophrenia treated experienced a relapse and caused their rehospitalization. The high rate of relapse in the patients of schizophrenia is predicted to be related to medication non-adherence and family stigma.
The purpose of this explanatory survey study was to analyze the relationship between the medication non-adherence and family stigma and the rehospitalization of the patients of schizophrenia in the Mental Hospital of North Sumatera Province.The population of this study in 2008 were 956 families of the patients of schizophrenia having treatment in the Mental Hospital of North Sumatera Province and 87 of them and consecutive techniques. The primary data were obtained through questionnaire based interviews. The data obtained were analyzed through univariate and bivariate analysis by means of Chi-square test.
The result of the study showed that medication non-adherence and family stigma had a significant relationship with the rehospitalization of the patients of schizophrenia in the Mental Hospital of North Sumatera Province(p<0.05).
The management of the Mental Hospital of North Sumatera Province is suggested (1) to improve the extension program through family education focused on Expression in the family, and (2) to make a policy focusing on the importance of community empowerment in the process of helping the recovery of the patients of schizophrenia.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih
dan anugerah yang diberikanNya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaiakn tesis ini sampai dengan selesai. Tesis ini disusun dengan salah satu
persyaratan untuk menyelesaikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Selesainya tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu
pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih dan
penghargaan yang tak terhingga kepada :
1. dr. Ria Masniari Lubis, M.Si sebagai Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Administrasi Rumah Sakit Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S sebagai Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat, dan Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si serta seluruh jajarannya yang
telah memberikan bimbingan dan arahan selama penulis mengikuti pendidikan.
3. Prof. dr. H.M. Joesoef Simbolon, Sp.KJ (K) sebagai Ketua Komisi Pembimbing
yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam memberikan
bimbingan, arahan yang yang sangat berguna serta dukungan kepada penulis
4. Raras Sutatminingsih, S.Psi, M.Si. sebagai Anggota Pembimbing yang telah
banyak meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam memberikan bimbingan,
arahan serta dukungan kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.
5. Prof. Dr. Badaruddin, M.S dan dr. Ria Masniari Lubis, M.Si. sebagai Tim Penguji
yang telah banyak memberikan masukan, kritik maupun saran kepada penulis
untuk kesempatan tesis ini.
6. dr. Donald Sitompul, Sp.KJ sebagai Direktur RSJ Provinsi Sumatera Utara yang
telah memberikan kesempatan dan dukungan moril serta materil kepada penulis
untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara.
7. Seluruh Staf Dosen dan Staf Pegawai di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan
yang telah memberikan arahan, bantuan dan dukungan kepada penulis dalam
penyelesaian tesis ini.
8. Seluruh teman-teman mahasiswa di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Seluruh
teman-teman dan Pegawai di RSJ Provinsi Sumatera Utara Medan yang telah
memberikan dukungan serta doa sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
9. Teristimewa rasa hormat dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Laura, Fernando dan Stefani yang telah memberikan dukungan serta doa yang
tidak henti-hentinya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Penulis menyadari bahwa isi tesis ini masih banyak kekurangan dan masih
jauh dari kesempurnaan, untuk itu bila ada saran maupun kritik yang sifatnya
membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini. Akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih, semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, November 2009 Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Vera Redi Basaria Marpaung yang dilahirkan di Medan,
pada tanggal 12 Juli 1963, anak kedua dari lima bersaudara, bertempat tinggal di
Jalan Baja Raya No.1 B Medan.
Penulis menamatkan Sekolah Dasar pada Tahun 1976 di SD Immanuel
Medan, tahun 1979 menamatkan SMP di SMP Immanuel Medan, dan tahun 1982
menamatkan SMA di SMA Negeri 1 Medan. Kemudian pada tahun 1988
menyelesaikan Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran USU Medan dan pada
tahun 2002 menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa dari
Fakultas Kedokteran USU Medan.
Penulis bekerja sebagai Kepala Puskesmas Pembantu Tembung Deli Serdang,
dari tahun 1989 sampai tahun 1994, dan sebagai Kepala Puskesmas Namorambe Deli
Serdang dari tahun 1995 sampai tahun 1996 kemudian penulis mengikuti Pendidikan
Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa dari tahun 1996 sampai 2001. Dari tahun 2002
sampai 30 Oktober 2009 bertugas di Rumah Sakit Jiwa Medan sebagai Ketua Komite
Medik Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan dan sebagai Staf Dokter
Spesialis. Pada tanggal 31 Oktober 2009 menjabat sebagai Kepala Bidang Pelayanan
DAFTAR ISI
2.1.4 Perjalanan Penyakit... 13
2.1.5 Penatalaksanaan ... 14
2.2 Perawatan Kembali ... 16
2.3 Ketidakpatuhan Terhadap Pengobatan... 19
2.3.1. Ketidakpatuhan Sehubungan Dengan Efek Samping ... 20
2.3.2 Ketidakpatuhan Sehubungan Dengan Pasien... 22
2.3.3. Ketidakpatuhan Sehubungan Dengan Dokter ... 24
3.3 Populasi dan Sampel ... 33
3.4 Metode Pengumpulan Data ... 34
3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 37
3.6 Metode Pengukuran ... 39
3.7. Metode Analisis Data... 40
BAB IV : HASIL PENELITIAN ... 42
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 42
4.2 Analisis Univariat ... 45
4.3 Analisis Bivariat... 59
BAB 5 : PEMBAHASAN ... 61
5.1 Gambaran Umum Hasil Penelitian... 61
5.2 Karakteristik Responden ... 62
5.3 Ketidakpatuhan Pasien Skizofrenia Terhadap Pengobatan ... 64
5.4 Stigma Anggota Keluarga Terhadap Pasien Skizofrenia ... 66
5.5 Keterbatasan Penelitian... 68
BAB 6 : KESIMPULAN DAN SARAN ... 69
6.1 Kesimpulan ... 69
6.2 Saran ... 69
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
3.1. Hasil Uji Validitas... 36
3.2. Hasil Uji Reliabilitas ... 37
3.3. Metode Pengukuran Variabel Independen Dan Dependen ... 40
4.1. Jumlah Tenaga Pelayanan Kesehatan Jiwa Berdasarkan Jenis Pendidikan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara
Tahun 2009 ... 44
4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Individu... 46
4.3. Distribusi Karakteristik Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa
Tahun 2009 ... 48
4.4. Distribusi Berdasarkan Kondisi Pasien Skizofrenia Selama
Perawatan Di Rumah Sakit Jiwa Tahun 2009... 50
4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Ketidakpatuhan Pengobatan Pasien
Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Tahun 2009 ... 52
4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Item Variabel Stigma Anggota
Keluarga Di Rumah Sakit Jiwa Tahun 2009... 56
4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Stigma Anggota Keluarga Di
Rumah Sakit Jiwa Tahun 2009 ... 58
4.8. Distribusi Pasien Skizofrenia Berdasarkan Frekuensi Rawat
Inap Di Rumah Sakit Jiwa Tahun 2009 ... 59
4.9 Distribusi Ketidakpatuhan Pengobatan Dengan Frekuensi Rawat Inap
Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Tahun 2009 ... 59
4.10 Distribusi Stigma Anggota Keluarga Dengan Frekuensi Rawat Inap
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1. Kerangka Teori... 30
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Surat Izin Penelitian ... 73
2. Surat Izin Pelaksanaan Penelitian ... 74
3. Pernyataan Kesediaan Berpartisipasi Dalam Penelitian ... 75
4. Kuesioner Karakteristik Keluarga Dan Pasien Skizofrenia/
Ketidakpatuhan Pengobatan... 76
5. Kuesioner Penelitian Tentang Stigma ... 79
ABSTRAK
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang bersifat kronis dan selalu mengalami kekambuhan. Data yang diperoleh dari Medical Record Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2008 menunjukkan 65% pasien skizofrenia yang dirawat mengalami kekambuhan dan menyebabkan perawatan kembali pasien skizofrenia. Tingginya angka kekambuhan pada pasien skizofrenia diduga terkait dengan ketidakpatuhan dan adanya stigma pada keluarga.
Penelitian bertujuan untuk menganalisis hubungan ketidakpatuhan dan stigma pada keluarga dengan perawatan kembali pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini adalah penelitian survei explanatory.
Populasi adalah seluruh keluarga penderita skizofrenia yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara yang berjumlah 956 orang. Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan cara non probability sampling dengan teknik consecutive sampling sebanyak 87 orang. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner. Data dianalisis secara univariat dan bivariat dengan menggunakan uji Chi-Square.
Hasil penelitian menyatakan bahwa ketidakpatuhan pengobatan dan stigma keluarga mempunyai hubungan signifikan terhadap perawatan kembali pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara (P < 0,05).
Disarankan kepada pihak manajemen Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara untuk : 1. Meningkatkan program penyuluhan berupa edukasi keluarga yang ditekankan pada dukungan keluarga sebagai pendukung utama serta pengurangan ekspresi emosi dalam lingkungan keluarga, 2. Membuat kebijakan perlunya program pemberdayaan masyarakat dalam membantu pemulihan pasien skizofrenia.
ABSTRACT
Schizophrenia is a chronic psychotic disorder which always relapses.The data obtained from the Medical Record of the Mental Hospital of North Sumatera Province showed that in 2008, 65% of the patients of schizophrenia treated experienced a relapse and caused their rehospitalization. The high rate of relapse in the patients of schizophrenia is predicted to be related to medication non-adherence and family stigma.
The purpose of this explanatory survey study was to analyze the relationship between the medication non-adherence and family stigma and the rehospitalization of the patients of schizophrenia in the Mental Hospital of North Sumatera Province.The population of this study in 2008 were 956 families of the patients of schizophrenia having treatment in the Mental Hospital of North Sumatera Province and 87 of them and consecutive techniques. The primary data were obtained through questionnaire based interviews. The data obtained were analyzed through univariate and bivariate analysis by means of Chi-square test.
The result of the study showed that medication non-adherence and family stigma had a significant relationship with the rehospitalization of the patients of schizophrenia in the Mental Hospital of North Sumatera Province(p<0.05).
The management of the Mental Hospital of North Sumatera Province is suggested (1) to improve the extension program through family education focused on Expression in the family, and (2) to make a policy focusing on the importance of community empowerment in the process of helping the recovery of the patients of schizophrenia.
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa berat. Pasien skizofrenia
seringkali memerlukan rawat inap di rumah sakit dengan berbagai alasan. Perawatan
kembali pasien dengan skizofrenia lebih tinggi bila dibandingkan dengan pasien
gangguan mental berat lainnya. Medikasi dapat mengurangi gejala 70% sampai 85%
pada seseorang yang pertama kali didiagnosis sebagai skizofrenia namun 60% pasien
akan mengalami perawatan ulang (Linden, 2005).
American Psychiatric Association (APA) (1995), menyebutkan bahwa 1%
populasi penduduk dunia menderita skizofrenia. Penelitian yang sama oleh WHO
juga menjelaskan bahwa prevalensi skizofrenia dalam masyarakat berkisar antara satu
sampai tiga per mil penduduk dan di Amerika Serikat penderita skizofrenia lebih dari
dua juta orang. Skizofrenia lebih sering terjadi pada populasi urban dan pada
kelompok sosial ekonomi rendah (Sadock, 2004).
Menurut hasil penelitian di Indonesia, terdapat sekitar 1-2% penduduk yang
menderita skizofrenia yang berarti 2-4 juta jiwa dan dari jumlah tersebut diperkirakan
penderita skizofrenia yang aktif sekitar 700.000-1,4 juta jiwa. Menurut pendapat
Irmansyah (2006), bahwa penderita yang dirawat di rumah sakit jiwa di Indonesia
Survey Kesehatan Mental Rumah Tangga oleh Jaringan Epidemiologik
Psikiatrik Indonesia menjelaskan gangguan kesehatan jiwa berdasarkan lokasi di
Indonesia adalah sebagai berikut : Bangli (Bali) 10,7%, Banjarmasin 15%,
Palembang 17,1%, Semarang 17,3%, Solo 19,1%, Manado 19,1%, Padang 19,7%,
Jakarta 20,0%, Bogor 20,6%, Jambi 23,2%, Banda Aceh 24,1% (Bahar, 1995).
Kronisitas gangguan skizofrenia merupakan salah satu faktor yang
dipertimbangkan dalam penatalaksanaan, meskipun pengobatan farmakologik
merupakan pilihan utama dalam penatalaksanaan. Hampir semua pasien skizofrenia
kronis mengalami kekambuhan berulang kali sehingga mengakibatkan defisit
ketrampilan personal dan vokasional. Kekambuhan dapat disebabkan oleh
ketidakpatuhan minum obat, gejala yang refrakter terhadap pengobatan peristiwa
kehidupan yang menimbulkan stres, kerentanan individu terhadap stres, ekspresi
emosi keluarga yang tinggi, serta yang tidak kalah penting adalah dukungan keluarga
dalam penatalaksanaan penyakit ini.
Perawatan kembali pasien skizofrenia disebabkan adanya hendaya akibat
penyakitnya, ketidakpatuhan terhadap pengobatan dan efek samping pengobatan
terutama extrapyramidal symptoms (EPS), isolasi sosial, pendapatan yang rendah
serta tidak mempunyai tempat tinggal. Prasangka (prejudice) dan stigma yang
menyertai pasien skizofrenia menyebabkan kesulitan yang dihadapi pasien
skizofrenia bertambah. Kondisi pasien ini menyebabkan keluarga bingung dan
terbebani. Keluarga menghadapi masalah yang muncul secara dramatis dan
skizofrenia dan keluarganya.Bagi pasien skizofrenia, hal tersebut menjadikan
halangan untuk mendapat perlakuan yang layak, kesulitan dalam mencari pekerjaan
dan sebagainya. Penelitian yang dilakukan di Singapura memperlihatkan terdapat
73% responden mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan, 52% mengalami
rendah diri dan 51% dimusuhi akibat menderita skizofrenia. Sementara bagi keluarga
memiliki anggota keluarga yang mengalami skizofrenia menimbulkan aib bagi
keluarga dan membuat mereka mengalami isolasi sosial. Stigma sosial atau disebut
juga stigma eksternal yaitu seseorang atau kelompok termasuk keluarga sendiri yang
memberikan penilaian atau sikap negatif terhadap penderita skizofrenia. Stigma sosial
ini mempunyai unsur, sebagai berikut :
1. Menghindar (avoidance), pasien skizofrenia dihindari karena kondisi
lingkungannya.
2. Penolakan (rejection), dalam hubungan interaksi sosial tertentu kecenderungan
orang dengan riwayat skizofrenia tidak akan diterima termasuk mencari
pengobatan.
3. Penghakiman moral (moral judgement), mereka dianggap sebagai kutukan, oleh
karena kesalahan mereka sendiri.
4. Berhubungan dengan label (stigma of association), pemberian tanda atau label
yang diberikan oleh individu atau kelompok lain yang berhubungan dengan
kondisi yang pernah dialaminya.
5. Keengganan atau ketidakadilan (unwillingless), kesenjangan dalam berinteraksi
6. Pembedaan (discrime), penderita skizofrenia sangat jelas akan dibedakan dalam
kesempatan bekerja atau berinteraksi di lingkungannya.
7. Penganiayaan (abuse), situasi yang cukup ekstrim akan dialami pasien skizofrenia
untuk mengalami tindakan penganiayaan baik verbal maupun fisik oleh
komunitas yang tidak mengetahuinya. Stigma sosial ini juga merupakan alasan
pasien dirawat kembali (Fleischacker, 2003).
Menurut survey yang dilakukan oleh Otto F Wahl (1999) menjelaskan
masyarakat merupakan sumber stigma yang utama. Adanya lelucon tentang rumah
sakit jiwa dan tentang penderita gangguan jiwa sangat sering dijumpai dalam media
ataupun pada masyarakat. Keluarga dan penderita yang seharusnya terluka oleh
lelucon tersebut kehilangan hak untuk marah dan akhirnya terbawa untuk ikut
menikmatinya. Stigma jika dibiarkan akan mengukuhkan pelecehan masyarakat
terhadap penderita. Masyarakat berhak menjauhi, mengucilkan, menganggap
penderita skizofrenia sebagai lelucon yang dapat dipermainkan dan diolok-olok
(Irmansyah, 2001).
Masalah stigma, dalam penanggulangan pasien skizofrenia ternyata masih
merupakan kendala yang cukup berarti. Pada berbagai kalangan, stigma tersebut
dapat tampak dalam bentuk keinginan memasukkan setiap anggota masyarakat yang
dicurigai menderita gangguan jiwa ke rumah sakit jiwa. Mempunyai anggota keluarga
yang menderita skizofrenia bukanlah hal yang mudah, sehingga peranan keluarga
Penelitian yang dilakukan Ayuso Guitereez (1997) menjelaskan bahwa 73%
penderita skizofrenia memerlukan perawatan kembali karena ketidakpatuhan terhadap
pengobatan. Keluarga dapat membantu kepatuhan pasien minum obat dengan
memperhatikan jadwal pasien minum obat dan mengamati efek samping yang terjadi
pada pasien. Tingkat perawatan kembali biasanya digunakan sebagai indikator dalam
bidang pelayanan kesehatan dan digunakan untuk menentukan efektifitas
penatalaksanaan selama rawat inap (Tattan, 2001).
Di RSJ Tampan Propinsi Riau dari laporan tahun 2005 di dapat bahwa 86,6%
pasien skizofrenia adalah rawat inap ulang. Sedangkan di klinik Psikiatri RSCM
pada Juli 1987 sampai dengan Juni 1988, didapatkan data bahwa 46,3% pasien
skizofrenia di rawat ulang. Sementara data dibeberapa rumah sakit lain seperti dikutip
oleh Slamet adalah sebagai berikut, di RSJ Jakarta rawat ulang penderita gangguan
jiwa adalah 46% (Indrati, 1990), di RSJ Semarang adalah 56,4% dan pada Instalasi
Rawat Inap IV Perawatan Jiwa RSU dr Sardjito adalah 61%. Penelitian terakhir pada
tahun 2003 oleh Slamet, di RS yang sama menunjukkan peningkatan perawatan
kembali pasien skizofrenia menjadi 69,9% (Andriza, 2007).
Menurut data yang diperoleh dari Medical Record Rumah Sakit Jiwa Daerah
Provinsi Sumatera Utara tahun 2007, pasien gangguan jiwa yang dirawat berjumlah
1.487 orang, dari jumlah tersebut penderita skizofrenia adalah sebanyak 1.283 orang
(88,15%). Pada tahun 2008 pasien gangguan jiwa yang di rawat berjumlah 1.794
orang, dari jumlah tersebut penderita skizofrenia sebanyak 1.643 orang (90,09%).
orang (96,76%) mengalami remisi, dan dari jumlah tersebut penderita yang
mengalami kekambuhan sebanyak 956 orang penderita (65%). Data diatas
menunjukkan adanya peningkatan pasien dengan skizofrenia dari tahun ke tahun di
Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara dan juga menunjukkan tingginya
angka kekambuhan pada pasien skizofrenia (Medical Record RSJ Daerah Provinsi
Sumatera Utara, 2008).
Dalam menjalankan tugas di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera
Utara, peneliti mengamati bahwa perawatan kembali pasien skizofrenia merupakan
salah satu indikator untuk menentukan efektivitas penatalaksanaan selama rawat inap.
Selain itu, perawatan pasien skizofrenia memerlukan komponen pembiayaan yang
besar dari seluruh biaya penatalaksanaan untuk pasien skizofrenia. Penatalaksanaan
pasien skizofrenia secara paripurna mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan
pasien, lingkungan keluarga dan juga masyarakat sekitarnya adalah penting. Pasien
skizofrenia mengalami gangguan proses pikir, perasaan dan perilaku, sehingga
peranan keluarga sangat penting dalam mendeteksi gejala yang dialami pasien,
mengontrol pengobatan yang harus dijalani pasien bahkan ketika pasien harus
menjalani rawat inap karena gejala penyakitnya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik melakukan
penelitian yang berjudul “Hubungan Ketidakpatuhan Pengobatan dan Stigma Pada
Keluarga Dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa
Belum ada data tentang hubungan ketidakpatuhan pengobatan dan stigma
yang dialami keluarga dengan perawatan kembali pasien skizofrenia di Rumah Sakit
Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.
1.2Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah penelitian
ini adalah untuk mengetahui “Hubungan Ketidakpatuhan Pengobatan dan Stigma
pada Keluarga Dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa
Daerah Provinsi Sumatera Utara”.
1.3Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan ketidakpatuhan
pengobatan dan stigma pada keluarga terhadap perawatan kembali pasien skizofrenia
di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.
1.4 Hipotesis
Hipotesis penelitian adalah adanya hubungan signifikanantaraketidakpatuhan
pengobatan dan stigma pada keluarga dengan perawatan kembali pasien skizofrenia
1.5Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
a. Pengembangan ilmu kedokteran jiwa terhadap penatalaksanaan pasien
skizofrenia.
b. Verifikasi tentang teori ketidakpatuhan terhadap pengobatan dan stigma
pada keluarga dengan perawatan kembali (Rehospitalisasi) pasien
skizofrenia.
1.5.2 Manfaat Praktis
a. Bagi peneliti
Menambah pengetahuan dan wawasan peneliti tentang faktor-faktor yang
berhubungan dengan perawatan kembali pasien skizofrenia di dalam
perencanaan kebijakan pelayanan khususnya sebagai pertimbangan dalam
perencanaan farmakoterapi.
b. Bagi keluarga
Menambah pengetahuan keluarga tentang skizofrenia dan destigmatisasi
keluarga untuk mencegah perawatan kembali pasien skizofrenia.
c. Bagi masyarakat
Masyarakat mengerti tentang skizofrenia dan dapat memberi dukungan
untuk mengurangi stigma yang dapat mencegah kekambuhan sehingga
d. Bagi Rumah Sakit Jiwa
Dapat melakukan program pelatihan dan edukasi bagi keluarga serta
melakukan program integrasi puskesmas agar kasus kasus gangguan jiwa
dapat terdeteksi secara dini dan pelayanan kesehatan jiwa dapat dijangkau
oleh masyarakat luas.
e. Bagi Pemerintah
Sebagai masukan agar meningkatkan taraf kehidupan sosial masyarakat
dengan memberikan lapangan pekerjaan yang tepat khususnya bagi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Konsep Skizofrenia
2.1.1 Defenisi
Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu
gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi,
pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan
intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat
berkembang kemudian (Sadock, 2003).
Gejala skizofrenia secara garis besar dapat di bagi dalam dua kelompok, yaitu
gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa delusi, halusinasi, kekacauan
pikiran, gaduh gelisah dan perilaku aneh atau bermusuhan. Gejala negatif adalah alam
perasaan (afek) tumpul atau mendatar, menarik diri atau isolasi diri dari pergaulan,
‘miskin’ kontak emosional (pendiam, sulit diajak bicara), pasif, apatis atau acuh tak
acuh, sulit berpikir abstrak dan kehilangan dorongan kehendak atau inisiatif
(Buchanan, 2005).
Skizofrenia adalah suatu sindroma klinis yang bervariasi, dan sangat
mengganggu. Manifestasi yang terlibat bervariasi pada setiap individu dan
berlangsung sepanjang waktu. Pengaruh dari penyakit skizofrenia ini selalu berat dan
biasanya dalam jangka panjang (Durand, 2007).
Skizofrenia berdasarkan kriteria diagnostik dari DSM-IV-TR, merupakan
karakteristik, masing-masing ada secara bermakna dalam periode satu bulan, berupa
waham, halusinasi, bicara terdisorganisasi atau gejala negatif. b) adanya disfungsi
sosial atau pekerjaan. c) Durasi sekurangnya enam bulan. d) Bukan disebabkan oleh
gangguan mood atau skizoafektif. e) Bukan disebabkan oleh gangguan zat atau
kondisi medis umum. f) tidak ada pengaruh dengan gangguan pervasif. Menurut
Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorders – IV – Text Revised
(DSM-IV-TR) definisi skizofrenia menekankan pada kronisitasnya dengan memasukkan
kriteria, gejala psikosis berlangsung selama jangka waktu minimum satu bulan dan
kemunduran fungsi berlangsung minimum selama enam bulan (Sadock, 2003).
2.1.2 Epidemiologi
Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan di
berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara kasar hampir
sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1% populasi dewasa dan
biasanya onsetnya pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa. Pada laki-laki
biasanya gangguan ini mulai pada usia lebih muda yaitu 15-25 tahun sedangkan pada
perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-35 tahun. Insiden skizofrenia lebih tinggi
pada laki-laki daripada perempuan dan lebih besar di daerah urban dibandingkan
daerah rural (Sadock, 2003).
Pasien skizofrenia beresiko meningkatkan risiko penyalahgunaan zat,
terutama ketergantungan nikotin. Hampir 90% pasien mengalami ketergantungan
Bunuh diri merupakan penyebab kematian pasien skizofrenia yang terbanyak, hampir
10% dari pasien skizofrenia yang melakukan bunuh diri (Kazadi, 2008).
2.1.3 Etiologi
Penyebab pasti skizofrenia sampai saat ini belum diketahui. Ada beberapa
faktor yang berperan dalam terjadinya skizofrenia. Bukti kuat dari penelitian pada
kembar identik menyimpulkan bahwa faktor genetik memberikan kontribusi yang
besar pada etiologi skizofrenia. Walaupun demikian sampai saat ini belum diketahui
secara pasti gen yang terlibat pada skizofrenia dan juga belum diketahui bentuk
kontribusinya (Tattan et.al, 2001).
Penelitian terhadap faktor risiko mendapatkan bahwa sejumlah faktor
lingkungan juga berpotensi memberikan kontribusi pada perkembangan skizofrenia.
Beberapa hipotesis menyatakan bahwa berbagai jaras neurotransmiter terlibat pada
dasar biologi gangguan ini.
Faktor lingkungan dinyatakan berhubungan dalam timbulnya gangguan
skizofrenia serta dapat menjadi pencetus pada suatu predisposisi genetik (Sena,
2003).
Telah bertahun-tahun dilakukan penelitian tentang etiologi gangguan
skizofrenia, namun sampai saat ini belum ditemukan etiologi pasti gangguan ini
2.1.4 Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit skizofrenia sangat bervariasi pada tiap-tiap individu.
Perjalanan klinis skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan, meliputi beberapa
fase yang dimulai dari keadaan premorbid, prodromal, fase aktif dan keadaan residual
(Sadock, 2003; Buchanan, 2005).
Pola gejala premorbid merupakan tanda pertama penyakit skizofrenia,
walaupun gejala yang ada dikenali hanya secara retrospektif. Karakteristik gejala
skizofrenia yang dimulai pada masa remaja akhir atau permulaan masa dewasa akan
diikuti dengan perkembangan gejala prodromal yang berlangsung beberapa hari
sampai beberapa bulan. Tanda dan gejala prodromal skizofrenia dapat berupa cemas,
gundah (gelisah), merasa diteror atau depresi. Penelitian retrospektif terhadap pasien
dengan skizofrenia menyatakan bahwa sebagaian penderita mengeluhkan gejala
somatik, seperti nyeri kepala, nyeri punggung dan otot, kelemahan dan masalah
pencernaan (Sadock, 2003).
Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata secara klinis,
yaitu adanya kekacauan dalam pikiran, perasaan dan perilaku. Penilaian pasien
skizofrenia terhadap realita terganggu dan pemahaman diri (tilikan) buruk sampai
tidak ada. Fase residual ditandai dengan menghilangnya beberapa gejala klinis
skizofrenia. Yang tinggal hanya satu atau dua gejala sisa yang tidak terlalu nyata
secara klinis, yaitu dapat berupa penarikan diri (withdrawal) dan perilaku aneh.
2.1.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan skizofrenia masih merupakan tantangan besar walaupun
perkembangan antipsikotik dan intervensi keluarga serta sosial telah mengalami
kemajuan pesat. Meskipun secara relatif hasil yang diperoleh dapat menurunkan lama
perawatan di rumah sakit melalui pembinaan masyarakat dan penggunaan
psikofarmaka, namun ternyata angka kekambuhan pasien dengan skizofrenia masih
tetap tinggi (Fleischacker, 2003).
Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia perlu mempertimbangkan tiga hal
berikut ini :
1. Pasien skizofrenia mempunyai profil psikologik individual, familial dan sosial
yang unik. Penentuan bentuk pengobatan yang akan diberikan memperhatikan
bagaimana skizofrenia mempengaruhi pasien dan bagaimana pengobatan akan
membantu pasien.
2. Berbagai penelitian menyatakan bahwa 50% kejadian pada kembar monozigotik
menunjukkan kemungkinan faktor lingkungan dan psikologik yang berperan.
Sehingga penatalaksanaan farmakologik hanya ditujukan pada ketidakseimbangan
kimiawi sedangkan masalah nonbiologi membutuhkan strategi nonfarmakologik.
3. Skizofrenia merupakan kelainan yang kompleks sehingga pendekatan terapi
tunggal tidak memadai untuk menghadapi berbagai masalah yang ada.
Sejak dua dekade diperkenalkannya obat antipsikotik dan dehospitalisasi
pasien, maka meningkatlah kecenderungan untuk mengembalikan pasien skizofrenia
merupakan beban bagi keluarganya. Beban ini berupa rasa malu mempunyai anggota
keluarga yang menderita gangguan jiwa. Lingkungan masyarakat di sekitar pasien
pun sering berpengaruh dalam kehidupan pasien tersebut.
Saat ini, baik di rumah sakit maupun di masyarakat, obat antipsikotik masih
merupakan obat utama untuk pasien dengan skizofrenia. Telah dibuktikan
kemanjuran obat antipsikotik pada penatalaksanaan episode psikotik akut dan
mencegah kekambuhan, namun demikian efektifitas obat-obat ini masih kontroversi.
Sekitar 40% responsnya buruk terhadap antipsikotik konvensional dan selanjutnya
akan menunjukkan gejala negatif. Gejala-gejala ini bervariasi dari sedang sampai
buruk (Kinon, 2003).
Pengobatan farmakologik skizofrenia terus berkembang sejak pertama
ditemukan klorpromazin sebagai obat antipsikotik yang efektif. Antipsikotik yang
bekerja seperti klorpromazin dengan kemampuan sebagai antagonis reseptor
dopamin2 (D2) dikenal dengan sebutan antipsikotik konvensional atau generasi
pertama. Antipsikotik konvensional ini efektif mengatasi gejala positif skizofrenia,
namun terhadap gejala negatif dan defisit kognitif efeknya terbatas. Antipsikotik
generasi pertama biasanya menimbulkan efek samping ekstrapiramidal (EPS), berupa
parkinsonism, akatisia dan tardive dyskinesia (Sena, 2003).
Suatu variasi modalitas pengobatan dibutuhkan untuk perawatan yang
menyeluruh pada pasien skizofrenia. Obat-obat antipsikotik merupakan dasar
pengobatan, penggunaannya untuk meminimalkan beratnya gejala skizofrenia. Untuk
dibutuhkan pula intervensi lain termasuk psikoterapi individual dan kelompok, terapi
keluarga, case management, perawatan di rumah sakit, kunjungan rumah dan
pelayanan rehabilitasi sosial dan vokasional (Sadock, 2003).
Dalam penatalaksanaan pasien skizofrenia digunakan pendekatan eklektik
holistik, bahwa manusia harus dipandang sebagai suatu keseluruhan yang paripurna,
termasuk adanya faktor lingkungan yang terdekat yaitu keluarga. Keluarga berperan
dalam pemeliharaan dan rehabilitasi anggota keluarga yang menderita skizofrenia
(Durand, 2007).
Pemahaman konsep skizofrenia tentang defenisi, etiologi, perjalanan penyakit
dan penatalaksanaan skizofrenia akan memudahkan peneliti didalam menjelaskan
hasil penelitian yang akan dilakukan.
2.2Perawatan Kembali
Rawat Inap di Rumah Sakit (RS) terutama dilakukan atas indikasi keamanan
pasien skizofrenia karena adanya ide bunuh diri atau mencelakakan orang lain, dan
bila terdapat perilaku yang sangat terdisorganisasi atau tidak wajar termasuk bila
pasien tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar berupa makan, perawatan diri dan
tempat tinggalnya. Selain itu Rawat Inap RS diperlukan untuk hal-hal yang berkaitan
dengan diagnostik, stabilisasi pemberian medikasi (Sadock, 2003; Durand, 2007).
Perjalanan penyakit skizofrenia dipengaruhi berbagai faktor, diantaranya
adalah pengobatan dan faktor psikososial berupa dukungan keluarga serta lingkungan
akan sangat mempengaruhi bagaimana mereka berinteraksi dalam kehidupan
sehari-hari. Stigma yang dialami keluarga pasien skizofrenia dapat menimbulkan reaksi
yang beragam mulai dari ekspresi emosi yang tinggi yang dapat mengakibatkan
kekambuhan dan usaha untuk mengembalikan pasien skizofrenia ke rumah sakit.
Kekambuhan pasien skizofrenia adalah istilah yang secara relatif merefleksikan
perburukan gejala atau perilaku yang membahayakan pasien dan atau lingkungannya.
Tingkat kekambuhan sering di ukur dengan menilai waktu antara lepas rawat dari
perawatan terakhir sampai perawatan berikutnya dan jumlah rawat inap pada periode
tertentu (Pratt, 2006)
Keluarga pasien skizofrenia sebagai pendamping yang mengamati dan
merasakan akibat perburukan gejala atau perilaku yang membahayakan pada pasien
atau sekitarnya berperan dalam menentukan apakah pasien akan menjalani rawat inap
atau tetap bersama keluarga di rumah (Fenton, 2005).
Perawatan pasien skizofrenia cenderung berulang (recurrent), apapun bentuk
subtipe penyakitnya. Hampir separuh pasien skizofrenia yang diobati dengan
pelayanan standar akan kambuh dan membutuhkan perawatan kembali dalam dua
tahun pertama. Tingkat kekambuhan lebih tinggi pada pasien skizofrenia yang hidup
bersama anggota keluarga yang penuh ketegangan, permusuhan dan keluarga yang
memperlihatkan kecemasan yang berlebihan. Tingkat kekambuhan dipengaruhi juga
oleh stress dalam kehidupan, seperti hal yang berkaitan dengan keuangan dan
pekerjaan. Keluarga merupakan bagian yang penting dalam proses pengobatan
Keluarga berperan dalam deteksi dini, proses penyembuhan dan mencegah
kekambuhan. Penelitian pada keluarga di Amerika, membuktikan bahwa peranan
keluarga yang baik akan mengurangi angka perawatan di rumah sakit, kekambuhan,
dan memperpanjang waktu antara kekambuhan. (Geddes J, 2008; Lauriello, 2005).
Perawatan kembali merupakan bagian komponen perawatan pasien
skizofrenia yang memberi kontribusi pada beban pembiayaan langsung.
Penelitian pada orang-orang dengan penyakit mental serius dan menetap di
Minnesota, didapatkan tingkat perawatan kembali yang lebih rendah secara bermakna
pada daerah rural dibandingkan tingkat perawatan kembali pada daerah dengan
kepadatan penduduk yang lebih tinggi. Advokasi, pembuat keputusan dan penelitian
dalam bidang kesehatan mental terus menunjukkan keprihatinan pada konsekuensi
rawat inap psikiatrik yang lama atau sering (Kazadi, 2008; Kane, 2008).
Meskipun angka kekambuhan tidak secara otomatis dapat dijadikan sebagai
kriteria kesuksesan suatu pengobatan skizofrenia, bagaimanapun parameter ini cukup
signifikan dalam beberapa aspek. Setiap kekambuhan berpotensi menimbulkan
bahaya bagi pasien dan keluarganya, seringkali mengakibatkan perawatan kembali
/rehospitalisasi dan membengkaknya biaya pengobatan. Lebih jauh lagi, pertanyaan
apakah dan berapa lama pencegahan kekambuhan dengan menggunakan antipsikotik
dapat diandalkan.
Di sisi lain, keuntungan dengan melanjutkan penggunaan antipsikotik dalam
mencegah eksaserbasi klinis dari skizofrenia merupakan suatu penegasan,
antara pengobatan aktif dan placebo. Pada saat ini angka kekambuhan dapat
diturunkan dari 75% menjadi 15% dengan pengobatan antipsikotik. Artinya, tidak
hanya membuat perbaikan yang sangat besar dalam kualitas hidup pasien, akan tetapi
secara langsung telah menyelamatkan milyaran dolar uang negara (Ayuso, 1997).
Prognosa penyakit skizofrenia dipengaruhi beberapa faktor diantaranya
awitan, faktor genetik, keadaan lingkungan, kepribadian dan frekwensi kekambuhan.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa semakin sering seorang penderita mengalami
kekambuhan, maka semakin meningkat pula disabilitas yang terjadi pada dirinya
membuat penderita semakin tergantung pada keluarganya yang juga akan
menimbulkan beban bagi keluarga dan lingkungan.
Pemahaman mengenai teori perawatan kembali akan menjelaskan frekwensi
kekambuhan yang menyebabkan pasien menjalani perawatan berulang di rumah sakit.
2.3Ketidakpatuhan Terhadap Pengobatan
Faktor yang paling penting sehubungan dengan kekambuhan pada skizofrenia
adalah ketidakpatuhan terhadap pengobatan.
Menurut data Ayuso-Guiterrez, banyak sekali pasien skizofrenia yang
mengalami eksaserbasi klinis dan membutuhkan perawatan akibat tidak menuruti
peñatalaksanaan yang diberikan.
Menurut Kinon et al, kriteria ketidakpatuhan terhadap pengobatan adalah jika
1. Pada pasien rawat jalan atau rawat inap dalam 72 jam menunjukkan > dua episode
dari :
a. Menolak obat yang diresepkan baik secara aktif atau pasif.
b. Adanya bukti atau kecurigaan menyimpan atau meludahkan obat yang
diberikan.
c. Menunjukkan keragu-raguan terhadap obat yang diberikan.
2. Pasien rawat inap dengan riwayat tidak patuh pada pengobatan sewaktu rawat
jalan minimal tidak patuh selama 7 hari dalam sebulan.
3. Pasien rawat jalan dengan riwayat ketidakpatuhan yang sangat jelas seperti sudah
pernah dilakukan keputusan untuk mengawasi dengan ketat oleh orang lain
dalam waktu sebulan.
4. Pasien rawat inap yang mengatakan dirinya tidak dapat menelan obat walaupun
tidak ditemukan kondisi medis yang dapat mengakibatkan hal tersebut.
2.3.1. Ketidakpatuhan Sehubungan Dengan Efek Samping
Pasien yang tidak mengalami efek samping terhadap pengobatan
kemungkinan lebih mau melanjutkan pengobatan. Efek samping obat neuroleptik
yang tidak menyenangkan sebaiknya diperhitungkan sebab dapat berperan dalam
menurunkan kepatuhan. Efek samping yang umum dan penting adalah efek
extrapiramidal berupa parkinsonism, akatisia, dan diskinesia, gangguan seksual dan
penambahan berat badan. Penderita skizofrenia yang menggunakan antipsikotik
atipikal lebih mau meneruskan pengobatan dibandingkan penderita yang
Masalah tambahan dalam pengobatan skizofrenia adalah kebanyakan
obat-obat antipsikotik kerja obat-obatnya (onset of action) lambat, sehingga pasien tidak
merasakan dengan segera efek positif dari antipsikotik. Malahan kadang-kadang
pasien lebih dahulu merasakan efek samping sebelum efek obat terhadap penyakitnya
tersebut. Begitu juga dengan pasien skizofrenia yang sudah dalam remisi biasanya
relaps tidak langsung segera terjadi bila pengobatan dihentikan. Kekambuhan dapat
terjadi beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan setelah obat antipsikotik
dihentikan, sehingga penghentian pengobatan tidak terlalu berpengaruh dengan
memburuknya keadaan pasien.
Pasien mungkin juga merasakan obat-obatan tersebut tidaklah seefektif atau
bahkan berbahaya tidak seperti yang mereka harapkan. Hal ini menjadi tanggung
jawab dokter dalam melakukan pengobatan untuk melengkapi pasien dengan
pandangan yang seimbang dan realistik mengenai profil keuntungan dan kerugian
antipsikotik yang akan diberikan (Fleischacker, 2003).
Beragamnya obat yang diresepkan juga memiliki peran penting dalam
kepatuhan. Pasien yang menerima regimen pengobatan yang kompleks, misalnya
mengkonsumsi beberapa obat dengan waktu yang berbeda dalam satu hari atau
mengkonsumsi dua macam atau lebih obat-obatan, mempunyai permasalahan dalam
ketaatan terhadap obat yang diberikan dibanding pasien yang hanya mengkonsumsi
satu macam obat dengan dosis tunggal.
Cara pemberian obat dapat juga mempengaruhi kepatuhan. Namun hasil
pemberian obat oral yang diganti dengan depot neuroleptik. Hal ini yang sering
terjadi kesalahpahaman bahwa pemberian obat depot akan meningkatkan kepatuhan.
Namun penggunaan antipsikotik kerja lama dapat mengatasi kepatuhan yang parsial
sehingga dapat memperbaiki outcome penyakit.
Dosis minimum efektif yang telah direkomendasikan dalam suatu konsensus
adalah sebagai berikut : (Ayuso, 1997)
1. Haloperidol 2,5 mg/hari.
2. Fluphenazine Hydrochloride 2,5 mg/hari.
3. Fluphenazine Decanoate 6,5 -12,5 mg i.m tiap 2 minggu.
4. Haloperidol Decanoate 50-60 mg i.m tiap 4 minggu.
Bila dosis di bawah (kurang dari) yang tersebut di atas, maka risiko
kekambuhan akan meningkat secara signifikan.
2.3.2 Ketidakpatuhan Sehubungan Dengan Pasien
Beberapa karakteristik demografi telah dihubungkan dengan perilaku patuh.
Usia masih merupakan masalah yang kontroversial dalam hubungannya dengan
ketidakpatuhan. Tampaknya pasien-pasien yang berusia lanjut mempunyai
permasalahan tentang kepatuhan terhadap rekomendasi yang diberikan. Di kalangan
usia muda, terutama pria cenderung mempunyai tingkat kepatuhan yang buruk
terhadap pengobatan. Alasan untuk hal ini kemungkinan bahwa pada dewasa muda
sehubungan dengan segala bentuk terapi atau dalam mengatur perjanjian, mereka
orangtua, kemungkinan memiliki defisit memori sehingga dapat mempengaruhi
kepatuhan. Selain itu, pada orangtua sering mendapat berbagai macam obat-obatan
sehubungan dengan komorbiditas fisik. Wanita cenderung lebih patuh terhadap
pengobatan dibandingkan pria, begitu juga wanita muda menunjukkan kepatuhan
yang lebih baik dibandingkan yang tua (Fleischacker, 2003).
Keadaan penyakit pasien sendiri juga mempunyai hubungan yang kuat dalam
penerimaan terhadap pengobatan. Pasien yang merasa tersiksa atau kwatir akan
diracuni, akan merasa enggan untuk menerima pengobatan (Amir N, 2004).
Permasalahan yang lain adalah model kepercayaan pasien tentang
kesehatannya, dimana menggambarkan pikiran pasien tentang penyebab dan
keparahan penyakit mereka. Banyak orang menilai bahwa skizofrenia adalah
penyakit yang kurang penting dan tidak begitu serius dibandingkan penyakit-penyakit
lain seperti diabetes, epilepsi dan kanker. Jadi jelas bahwa jika mereka mempercayai
penyakitnya tidak begitu serius dan tidak penting untuk diterapi maka ketidakpatuhan
dapat terjadi. begitu juga persepsi sosial juga berpengaruh. Jika persepsi sosial buruk
maka pasien akan berusaha menghindari setiap hal tentang penyakitnya termasuk
pengobatan.
Sikap pasien terhadap pengobatan juga perlu diperhitungkan dalam
hubungannya terhadap kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Sangatlah penting
untuk mengamati, berdiskusi dan jika memungkinkan mencoba untuk merubah sikap
pasien terhadap pengobatan. Pada pasien skizofrenia sikap pasien terhadap
positif. Sikap negatif terhadap pengobatan berhubungan dengan simtom positif dan
efek samping. Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa semakin lama pasien akan
berubah sikapnya terhadap pengobatan.
Terakhir adalah masalah keuangan. Masalah keuangan dapat juga
mengganggu kepatuhan pasien. Beberapa pasien mungkin tidak mampu untuk
membeli obat atau walaupun mampu jarak tempuh dan trnsportasi dapat menjadi
penghalang (Fleischacker, 2003).
2.3.3. Ketidakpatuhan Sehubungan Dengan Dokter
Hubungan terapetik yang dibangun dokter dengan pasien merupakan suatu
landasan atau dasar dari kepatuhan terhadap pengobatan. Bagaimana menunjukkan
bahwa dokter memiliki perhatian kepada pasien dan dokter mau meluangkan waktu
untuk mendengar keluhan-keluhan pasien adalah penting. Terciptanya suatu
hubungan yang baik merupakan persyaratan untuk masuk kedalam ikatan terapetik
dan memberikan informasi adalah hal yang penting dalam hubungan ini. Informasi
dapat diberikan pada pasien pada pasien ataupun keluarga baik dalam jadwal
konsultasi ataupun dalam kelompok psikoedukasi. Pasien dan keluarga diberi
informasi tentang penyakitnya dan rencana pengobatan yang akan dilakukan.
Psikoedukasi telah menunjukkan dalam meningkatkan kepatuhan dan secara
signifikan mengurangi angka relaps. Melengkapi informasi juga termasuk
mendiskusikan perencanaan pengobatan baik kepada pasien dan keluarga dilibatkan
Adanya efek samping dapat memunculkan ketidakpatuhan dan sering
menimbulkan kesalahpahaman (Amir N, 2004).
Penting juga bagi dokter agar dapat menepati jadwal pertemuan selanjutnya.
Pasien yang sudah menerima jadwal pertemuan berikutnya dan dokter akan menepati
dan untuk tidak menjadwal ulang walaupun sangat sibuk. Dokter juga dapat
melakukan perubahan dalam berkomunikasi dengan pasien baik itu dengan gaya atau
bahasa yang dapat dimengerti pasien sehingga dapat tercipta pengaruh terapetik yang
baik yang nantinya dapat meningkatkan kepatuhan.
Klinisi juga harus mengikuti pedoman terapi yang direkomendasikan.
Dengan mengikuti pedoman yang telah ditentukan maka pengobatan akan menjadi
berguna, rasional dan gampang dimengerti oleh pasien dan mereka tidak menjadi
bingung bila mereka mencoba mencari pendapat dokter lain (Fleischacker, 2003;
Durand, 2007).
2.3.4. Ketidakpatuhan Sehubungan Dengan Lingkungan
Dukungan dan bantuan merupakan variabel penting dalam kepatuhan terhadap
pengobatan. Pasien yang tinggal sendirian secara umum mempunyai angka kepatuhan
yang rendah dibandingkan mereka yang tinggal dalam lingkungan yang mendukung.
Sebagai kemungkinan lain, sikap negatif dalam lingkungan sosial pasien terhadap
pengobatan psikiatri atau terhadap pasien sendiri dapat mempengaruhi kepatuhan.
Interaksi sosial yang penuh dengan stress dapat mengurangi kepatuhan yang biasanya
yang tinggi dari keluarga atau pihak lain yang tidak mau memperhatikan sikap positif
pasien terhadap pengobatan (Fleischacker, 2003).
Tidak kalah penting faktor yang mempengaruhi perilaku pasien terhadap
kepatuhan adalah pengaruh obat terhadap penyakitnya. Sangat penting untuk
menambah sikap yang positif terhadap pengobatan pasien. Sebagai dokter
kadang-kadang melupakan hal tersebut bahwa pasien memerlukan perhatian dan perlu
dibantu terus menerus.
Lingkungan terapeutik juga harus diperhitungkan dalam pasien rawat inap
dimana teman sekamar pasien pernah mengalami pengalaman yang buruk terhadap
satu jenis obat dan menceritakannya maka akan merubah sikap pasien terhadap obat
yang sama (Fleischacker, 2003).
2.4Stigma Pada Keluarga
Stigma adalah label dari masyarakat yang memandang negatif pasien dengan
skizofrenia karena dianggap sebagai penyakit yang memalukan dan membawa aib.
Bagi masyarakat, penderita dengan skizofrenia dirasakan sebagai ancaman dan sering
membuat resah karena dianggap sering berperilaku yang membahayakan. Hal ini
membuat penderita skizofrenia dan juga keluarga sering dikucilkan, mengalami
isolasi sosial dan diskriminasi dari masyarakat sekitarnya (Fenton, 2005).
Adanya stigma terhadap penyakit skizofrenia menimbulkan beban, berupa
beban subyektif maupun beban obyektif bagi penderita dan keluarganya. Bagi
layak, kesulitan dalam mencari pekerjaan, dan sebagainya. Sebuah penelitian di
Singapura memperlihatkan, terdapat 73% responden yang mengalami kesulitan
dalam pekerjaan, 52% mengalami rendah diri dan 51% dimusuhi akibat menderita
skizofrenia (Irmansyah, 2001).
Sementara bagi keluarganya, memiliki anggota keluarga yang menderita
skizofrenia menimbulkan aib bagi keluarga dan membuat mereka mengalami isolasi
sosial. Karenanya, penderita skizofrenia sering kali disembunyikan dan dikucilkan
agar tidak diketahui oleh masyarakat. Hal ini justru akan memberatkan gangguan
yang dialami sehingga tentunya juga akan memberatkan bagi keluarga yang
merawatnya (Durand, 2007).
Secara garis besar terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi stigma pada
pasien dengan skizofrenia. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :
1. Sikap keluarga dan masyarakat yang menghindar
Keluarga dan masyarakat pada umumnya tidak dapat menerima penyimpangan
perilaku, persepsi dan pikiran pada pasien dengan skizofrenia. Penyimpangan
tersebut tidak dianggap sebagai gejala penyakit, berbeda dengan penyimpangan
fisik yang dapat dipahami dan diterima sebagai penyakit.
2. Konsep yang salah dalam memberikan label
Label yang diberikan pada kelompok tertentu dalam masyarakat, seringkali
membedakannya dari kelompok lain. Ungkapan yang digunakan biasanya adalah
perbedaan antara kita dan mereka. Masyarakat memberikan label negatif terhadap
Ungkapan ini memberi kesan negatif daripada menggambarkan keadaan
penyakitnya.
3. Media Massa
Media massa, disatu sisi turut mempengaruhi sikap negatif perorangan dan
masyarakat terhadap pasien skizofrenia. Di sisi lainnya media massa merupakan
faktor yang vital sebagai sumber informasi utama dan sangat berpengaruh
terhadap pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap pasien skizofrenia.
4. Profesi
Sartorius meyakini bahwa profesi medis, terutama psikiater, berkontribusi
terhadap stigma dengan menggunakan label diagnosis secara kurang hati-hati dan
memberi pengobatan yang menimbulkan efek samping, misalnya EPS. Efek
samping yang dialami pasien memberi kesan bahwa pasien mengalami sakit yang
lebih berat daripada gejala penyakit sebenarnya.
5. Kekambuhan
Pasien skizofrenia sering mengalami kekambuhan, sehingga menyababkan
masyarakat beranggapan bahwa penyakit skizofrenia tidak dapat disembuhkan.
Anggapan ini berakibat pasien yang telah mendapat label tersebut akan melekat
terus dan menambah stigma pada penderitanya.
6. Pasien
Pasien skizofrenia mengalami gejala yang menimbulkan masalah dalam
kehidupan sehari-harinya seperti pasien kurang memperhatikan kebersihan
7. Faktor Budaya
Budaya mempengaruhi persepsi keluarga terhadap gejala yang dialami pasien
skizofrenia. Di beberapa daerah pasien dengan skizofrenia sering dikucilkan atau
dibawa berobat ke dukun atau paranormal karena dianggap bahwa penyakit
mental diakibatkan karena kutukan atau disebabkan kekuatan jahat.
8. Faktor Edukasi
Keluarga dengan tingkat edukasi yang relatif tinggi mengalami efek stigma yang
lebih besar.
Stigma yang diinternalisasikan ke dalam dirinya tampak pada pasien sebagai
keyakinan bahwa mereka tidak sempurna dan tidak pantas. Manifestasi stigma pada
keluarga, dapat berupa dipinggirkan oleh lingkungan dan masyarakat dengan
diskriminasi dan pembatasan integrasinya dalam masyarakat (Amir N, 2001).
Mempunyai anggota keluarga yang menderita skizofrenia memang bukanlah
hal yang mudah. Namun bantuan keluarga sangat dibutuhkan dalam proses
penyembuhan pasien skizofrenia. Stigma yang dialami keluarga dan pasien dengan
skizofrenia merupakan problem yang menimbulkan berbagai konflik dalam keluarga.
Hal ini membuat ekspresi emosi tinggi dalam keluarga yang dapat mempengaruhi
kekambuhan pasien.Berbagai kalangan berpendapat stigma dapat bermanifestasi
dalam bentuk keinginan memasukkan anggota keluarga yang menderita gangguan
mental berat ke rumah sakit jiwa. Di kalangan lain dapat saja terjadi dalam bentuk
lain seperti sikap menghindar bertemu dengan psikiater karena takut “dinilai tidak
Teori tentang stigma pada keluarga diatas digunakan sebagai variabel yang
akan diteliti untuk mengetahui hubungannya dengan perawatan kembali pasien
skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.
2.5 Kerangka Teori
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Sumber : Sadock BJ, 2003; Buchanan RW, 2005; Durand VM, 2007
Skizofrenia dalam keadaan
remisi Skizofrenia
Genetik / Herediter
Biologis : - Neurotransmiter
- Kerusakan struktur otak - Abnormalitas
perkembangan saraf
Psikososial / lingkungan
Terapi somatik :
Perawatan kembali
VARIABEL BEBAS (INDEPENDEN)
VARIABEL TERGANTUNG
(DEPENDEN)
2.6 Kerangka Konsep
Gambar 2.2. Kerangka Konsep X1
Ketidakpatuhan terhadap pengobatan
yang diamati keluarga Y1
Perawatan kembali Frekwensi rawat
inap dalam 2 tahun terakhir
PASIEN SKIZOFRENIA
X2
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian survei Explanatory Research dengan
desain cross sectional yang bertujuan menjelaskan hubungan antara variabel-variabel
penelitian melalui pengujian hipotesis (Sudigdo, 2002) yaitu untuk mengetahui
hubungan ketidakpatuhan terhadap pengobatan dan stigma pada keluarga dengan
perawatan kembali yaitu frekwensi rawat inap dalam dua tahun terakhir.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera
Utara, dengan alasan perawatan pasien skizofrenia cenderung berulang apapun
bentuk sub tipe penyakitnya. Hampir separuh pasien skizofrenia yang diobati dengan
pelayanan standar akan kambuh dan membutuhkan perawatan kembali. Kekambuhan
pada pasien skizofrenia dapat disebabkan karena ketidakpatuhan terhadap
pengobatan, stigma pada keluarga dan tidak adanya dukungan keluarga. Dukungan
keluarga sangat penting dalam penatalaksanaan pasien skizofrenia.
3.2.2. Waktu Penelitian
3.3 Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga pasien skizofrenia yang
mengalami kekambuhan yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi
Sumatera Utara dalam satu tahun yang berjumlah 956 orang.
Sampel dalam penelitian ini adalah keluarga pasien skizofrenia yang menjalani
perawatan kembali di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara yang
berjumlah 87 orang.
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara non probability sampling yaitu dengan
consecutive sampling yaitu pemilihan sampling yang ditetapkan berdasarkan kriteria
penelitian dalam kurun waktu tertentu sampai jumlah sampel yang diinginkan
terpenuhi. Semua subjek yang datang memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan
dalam penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan dipenuhi. Besar sampling
ditentukan dengan rumus sebagai berikut (Sudigdo, 2002)
N = 2
2
.
.
d
q
p
Z
n = besar sampel
z = kurva normal yang memotong area sisi (tail) atau 1-tingkat kepercayaan
sebesar 95% = 1,96
p = proporsi yang diestimasi suatu atribut yang ada dalam suatu populasi = 65% =
0,65
d = ketepatan presesi = 0,05
Berdasarkan perhitungan diatas maka jumlah sampel adalah 87 orang.
Pasien di bangsal perawatan didata dari catatan medis yang memenuhi kriteria
diagnostik skizofrenia dan menjalani perawatan kembali. Selanjutnya pada status,
diberi catatan serta dilengkapi dengan kuesioner. Kepada perawat diruang perawatan
diberi petunjuk untuk menanyakan apabila ada keluarga yang datang yang merupakan
keluarga dekat yang merawat dan mendampingi pasien selama ini , serta kontak
minimal 10 jam dalam seminggu. Keluarga tersebut dimintakan kesediaannya untuk
menjadi responden. Apabila kriteria tersebut terpenuhi dan keluarga bersedia menjadi
responden, perawat akan menghubungi peneliti untuk dijadikan sampel penelitian.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Data primer adalah data yang diperoleh melalui wawancara langsung yang
berpedoman pada kuesioner yang telah disusun dan melakukan wawancara kepada
keluarga pasien skizofrenia yang mencakup variabel independen yaitu : ketidak
patuhan pengobatan, stigma pada keluarga, dengan variabel dependen perawatan
kembali yaitu frekwensi rawat inap dalam dua tahun terakhir.
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dan catatan atau dokumen di
Medical Record di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara yang relevan
3.4.1. Uji Validitas
Uji validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevaliditasannya
atau kesahihan sesuatu instrumen. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu
mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkapkan data dari variabel yang
diteliti secara tepat (Riduwan, 2005). Uji validitas instrumen penelitian yang
digunakan adalah validitas konstruksi dengan mengetahui nilai total setiap item pada
analisis reliabilitas yang tercantum pada nilai correlation item. Suatu pertanyaan
dikatakan valid atau bermakna sebagai alat pengumpulan data bila korelasi hasil
hitung (r-hitung) lebih besar dari angka kritik nilai korelasi (r-tabel), pada taraf
signifikansi 95% (Riduwan, 2005). Nilai r-tabel dalam penelitian ini untuk sampel
pengujian 30 keluarga pasien skizofrenia adalah sebesar 0,361, maka ketentuan
dikatakan valid, jika: Nilai Hitung variabel > 0,361 dikatakan valid, dan Nilai
r-Hitung variabel < 0,361 dikatakan tidak valid.
3.4.2. Uji Reliabilitas
Uji Reliabilitas bertujuan untuk melihat bahwa sesuatu instrumen cukup dapat
dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut
sudah baik. Apabila datanya memang benar dan sesuai kenyataan, maka berapa
kalipun diambil tetap akan sama (Riduwan, 2005). Teknik yang dipakai untuk
menguji kuesioner penelitian, adalah teknik Alpha Cronbach yaitu dengan menguji
coba instruemen kepada sekelompok responden pada satu kali pengukuran, juga
pengujian 30 keluarga pasien skizofrenia adalah sebesar 0,361, maka ketentuan
dikatakan reliabel, jika : nilai r-Hitung variabel > 0,361 dikatakan reliabel, dan nilai
r-Hitung variabel < 0,361 dikatakan tidak reliabel.
Hasil Uji Kualitas Data
Tabel 3.1. Hasil Uji Validitas
Variabel Butir CITC Status
Berdasarkan tabel diatas, nilai Corrected Item-Total Correlation untuk
tiap-tiap butir item variabel > dari nilai r tabel sebesar 0,361 (df = 30-2 ; 0,05), maka
Tabel 3.2. Hasil Uji Reliabilitas
Variabel Butir Cronbach Alpha
(r hasil) r tabel
Berdasarkan dari tabel diatas, nilai Cronbach Alpha dari masing-masing
variabel > dari nilai r tabel 0,361 (df = 30-2 ; 0,05), dengan demikian setiap butir
pertanyaan dari masing-masing kuisioner adalah reliabel.
3.5 Variabel dan Definisi Operasional
3.5.1. Variabel Independen /data demografik dalam penelitian ini.
a. Keluarga pasien skizofrenia adalah salah seorang anggota keluarga yang
mengambil keputusan berkaitan dengan pengobatan. Dapat tinggal
serumah dengan pasien atau berdekatan rumah dan berinteraksi dengan
pasien sekurang-kurangnya 10 jam per minggu. Bersedia ikut serta dalam
penelitian dan menanda tangani lembar persetujuan responden tertulis.
b. Ketidakpatuhan terhadap pengobatan adalah berbagai perilaku seperti
enggan mencari bantuan, menolak pengobatan, tidak menepati perjanjian
yang telah dibuat, kunjungan yang tidak teratur, terminasi dini tanpa
seizin dokter pengobatan dan tidak mengikuti nasehat dokter seperti
mematuhi penggunaan obat, merobah gaya hidup.
c. Stigma pada keluarga adalah label atau tanda tidak adanya penerimaan
sosial pada keluarga pasien skizofrenia dan masyarakat yang memandang
negatif penyakit skizofrenia.
d. Umur adalah jumlah tahun hidup yang dihitung sejak tanggal lahir sampai
dengan tahun terakhir pada saat penelitian yang dinyatakan dalam tahun
e. Pendidikan adalah jenis pendidikan terakhir yang pernah dijalani sampai
akhir jenjang pendidikan.
f. Pekerjaan adalah kegiatan rutin yang dilakukan dan menghasilkan
pendapatan
g. Status perkawinan apakah subjek masih dalam ikatan perkawinan
3.5.2. Variabel Dependen
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah frekwensi perawatan dalam
dua tahun terakhir yaitu jumlah kunjungan rawat inap yang dialami pasien dalam dua
tahun terakhir yang dapat diperolah dari anamnesis pada keluarga dan catatan medis
pasien skizofrenia.
3.6 Metode Pengukuran
Variabel independen yaitu ketidakpatuhan terhadap pengobatan yang diamati
keluarga pengukuran dilakukan dengan skala ordinal yang terdiri dari dua kategori
yaitu :
1. Patuh skor 1-5
2. Tidak patuh skor 6-12
Variabel independen yaitu stigma pada keluarga pengukuran dilakukan
dengan skala ordinal terdiri dari tiga kategori yaitu
1. Ringan skor dibawah nilai rata-rata 1-23
2. Sedang skor sama dengan nilai rata-rata 24
3. Berat skor diatas nilai rata-rata 25-42
Pengukuran variabel dependen menggunakan skala ordinal yang terdiri dari
dua kategori yaitu
1. Rendah skor perawatan kembali dibawah atau sama dengan dua kali
Tabel 3.3. Metode Pengukuran Variabel Independen Dan Dependen
Variabel Cara/alat ukur
> 6-12 Ordinal
Stigma pada
keluarga (X2) Kuesioner 14
1.Ringan 2.Sedang 3.Berat
≤ Nilai rata-rata= 1-23 = Nilai rata-rata= 24 ≥ Nilai rata-rata= 25-42
3.7. Metode Analisis Data
Analisis univariat untuk mengetahui gambaran deskriptif dengan
menampilkan tabel frekwensi.
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel independen
ketidakpatuhan terhadap pengobatan, stigma pada keluarga dengan variabel dependen
perawatan kembali pasien skizofrenia digunakan uji Chi Square pada tingkat
kepercayaan 95% (α =0,05), sehingga bila ditemukan hasil analisis statistik p<0,05
maka variabel diatas dinyatakan mempunyai hubungan secara signifikan, dinyatakan
dengan persamaan berikut :
(O
ij- E
ij)
2X
2=
E
ijDimana :
Oij = Frekuensi nilai pengamatan pada sel ij
Eij = Frekuensi nilai harapan pada sel ij
Derajat bebas = (r-1) (c-1)
r = Banyak baris