PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA
DI KECAMATAN PANOMBEIAN PANEI
KABUPATEN SIMALUNGUN
(Studi tentang Program Bantuan Pembangunan Nagori / Kelurahan (BPN / K)
TESIS
O l e h :
JUSTINA NURIATI PURBA
057024036
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA
DI KECAMATAN PANOMBEIAN PANEI
KABUPATEN SIMALUNGUN
(Studi tentang Program Bantuan Pembangunan Nagori / Kelurahan (BPN / K)
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) Program Magister Studi Pembangunan
Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
O l e h :
JUSTINA NURIATI PURBA
057024036
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA DI KECAMATAN PANOMBEIAN PANEI KABUPATEN SIMALUNGUN
(Studi tentang Program Bantuan Pembangunan Nagori / Kelurahan (BPN / K)
Nama Mahasiswa : Justina Nuriati Purba
Nomor Pokok : 057024036
Program Studi : Studi Pembangunan
Menyetujui,
Komisi Pembimbing :
Anggota,
(Drs. Agus Suriadi, M.Si)
Ketua,
(Prof. Dr. Erika Revida, MS)
Ketua Program Studi,
(Subhilhar, MA, Ph.D) NIP. 131 754 528
Direktur SPs USU,
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc) NIP. 130 535 852
PERNYATAAN
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA
DI KECAMATAN PANOMBEIAN PANEI
KABUPATEN SIMALUNGUN
(Studi tentang Program Bantuan Pembangunan Nagori / Kelurahan (BPN / K)
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 4 Februari 2008
ABSTRAK
Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program Bantuan Pembangunan Nagori / Kelurahan (BPN / K) Tahun Anggaran 2006 yang menghasilkan partisipasi swadaya masyarakat sebesar Rp. 40.000.000,- (10 %), dari dana stimulan sebesar Rp. 400.000.000,- untuk 8 desa serta jumlah kegiatan sebanyak 10 kegiatan sangat rendah. Pelaksanaannya pun dianggap belum optimal, bahkan sebagian dianggap bermasalah akibat salah persepsi antara masyarakat dan pemerintah.
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Dalam penelitian ini penulis melakukan wawancara yang tidak terstruktur dan mendalam, pengamatan (kajian secara langsung) serta Studi Kepustakaan dan Arsip.
Temuan Penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat dalam tahap perencanaan sudah berjalan dengan baik. Namun dalam Tahap pelaksanaan pembangunan, masyarakat kurang terlibat karena sikap masyarakat yang susah diajak bergotong royong sehingga harus melibatkan pihak ketiga. Keterlibatan pihak ketiga tersebut juga telah diatur dalam petunjuk Teknis Pelaksanaan BPN / K sehingga dari segi peraturan hal tersebut dapat dikatakan sah dan resmi namun dari segi konsep pemberdayaan hal tersebut tidak memberikan proses belajar sebagaimana yang dikatakan Korten (1988:247). Dalam tahap pengawasan yang dilakukan oleh pihak Kabupaten, Kecamatan dan Nagori serta Masyarakat (dalam hal ini Maujana Nagori) telah berjalan dengan baik, karena aturan dan sistem sanksi yang diberikan telah diatur secara jelas. Saran yang diberikan dalam penelitian ini adalah Pemerintah Kabupaten Simalungun hendaknya meminimalisir pembangunan yang lebih bernuansa proyek dan atau keterlibatan pihak ketiga seperti rekanan kontraktor, sepanjang masyarakat masih mampu melaksanakannya secara langsung. Dengan demikian masyarakat diberikan kesempatan untuk belajar memahami sendiri tentang seluk beluk pembangunan, menumbuhkan rasa memiliki dari masyarakat dan pada sisi lain hal tersebut juga akan mengurangi rasa apriori masyarakat.
ABSTRACT
People participations on applicating Villages Development Aid Program for 2006 years fund produce Rp.40.000.000.- (10%) from stimulan fund as much as Rp.400.000.000.-. The Rp.40.000.000.- for 8 villages and 10 projects is poor. The application of the projects is considered not optimal, thus some of those projects are considered poor because of misunderstanding between community and local government.
The method used in this research is descriptive method. In this research writer had done unstructural deep interview, direct observation, and library research.
The results of this research show that the society participations on development preparing step has been done well, however people are less include on its applicating step. The less of people participation on applicating step is caused by society behaviour itself, where they do not care if they are asked to participate on working together so the outsiders include in this step. The outsiders involvement has been also regulated in Villages Development Aid Program technical manual so those things can be said legal based on regulation, but based on the efficiency concept, those things not give learning process as Korten said. (1988:247). On Controlling step by Regencies, Sub-Districts, Villages, and societies control board (Muajana Nagori) has been done well because of rules and punishment sistem has been regulated clearly. Simalungun Regency should minimalize the development that nuancing of projects and outsiders involvement such as contractors, as long society can do it directly. Therefore people has been given a chance to learn development problems by themselves, Raising owning sense and reducing people apriory in other side.
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
Maha Penyayang, yang senantiasa memberikan berkat, anugerah dan penyertaanNya
dalam proses penyusunan sejak awal hingga selesainya Tesis ini. Tesis yang berjudul
“Pemberdayaan Masyarakat Desa Di Kecamatan Panombeian Panei Kabupaten
Simalungun dengan Studi Tentang Program Bantuan Pembangunan Nagori /
Kelurahan (BPN / K) ini ditulis sebagai salah satu persyaratan akhir, guna
memperoleh gelar Magister Studi Pembangunan (M.SP) pada Program Pasca Sarjana
Jurusan Studi Pembangunan, Universitas Sumatera Utara.
Andil yang sangat besar telah diberikan sejak proses perkuliahan, penyusunan
proposal, pelaksanaan penelitian, pengolahan data hingga rampung menjadi
sebuah Tesis telah diberikan banyak pihak, maka pada kesempatan ini dengan
segala kerendahan hati, penulis menghaturkan rasa hormat dan terima-kasih
sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Erika Revida, MS, selaku Pembimbing Pertama yang penuh
kesabaran meluangkan waktu untuk senantiasa memberikan motivasi, bimbingan
serta pencerahan intelektual yang sangat berkesan bagi penulis, sejak proses awal
2. Bapak Drs. Agus Suriadi, M.Si, selaku Pembimbing Kedua yang telah banyak
memberikan dorongan dan saran dalam upaya pencerahan intelektual, sehingga
menjadi pengetahuan yang monumental bagi penulis.
3. Pemerintah Kabupaten Simalungun, atas komitmen peningkatan kualitas sumber
daya manusia para aparatur di lingkungan Pemerintah Kabupaten Simalungun,
dengan memberikan kesempatan tugas belajar kepada penulis.
4. Suami tercinta Rizal Edi Praja Saragih, AP, M.Si (Cia) yang juga selaku Camat
Panombeian Panei yang telah banyak memberikan dorongan, semangat dan
kasihnya kepada penulis. Demikian juga terhadap Keluarga Besar Saragih yang
senantiasa memberikan dorongan bagi penulis. Terima kasih.
5. Ayahanda R.B. Purba dan Ibunda S. Sipayung, yang senantiasa berdoa dan
berjuang untuk keberhasilan penulis serta dorongan dan semangat yang selalu
diberikan. Warisan pendidikan yang beliau berikan sangat berharga bagi penulis
hingga kelak diakhir hayat. Demikian juga terhadap Keluarga Besar Purba yang
senantiasa memberikan dorongan bagi penulis. Terima kasih.
6. Seluruh rekan-rekan seperjuangan, Mahasiswa MSP Angkatan VIII, atas segala
dorongan dan kerja samanya. Mudah-mudahan kita tidak saling melupakan.
7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang sedikit banyak
memberi bantuan dan peluang untuk penyelesaian penulisan tesis ini, baik
Penulis sangat menyadari bahwa Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, karena
keterbatasan kemampuan penulis. Untuk itu penulis dengan lapang dada
mengharapkan saran dan kritik membangun yang penuh keikhlasan, demi
kesempurnaan karya tulis ini. Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat
bermanfaat.
Syaloom...
Medan, 2008
RIWAYAT HIDUP
Nama : Justina Nuriati Purba, SSTP
NIM : 057024036
Tempat / Tanggal Lahir : P. Siantar / 7 Agustus 1983
Alamat : Jln. Rajamin Purba No 20 Kompleks Kantor Bupati Simalungun – Rambung Merah - P. Siantar
Status Perkawinan : Sudah Kawin
Suami : Rizal Edi Praja Saragih, AP, M.Si
Anak ke : 6 dari 7 bersaudara
1. Dasnita Seniwati Purba, Amd
2. Abdi Gofrelin Purba, ST
3. Diana Rita Purba 4. Fitri Mayani Purba, SE
5. Martha Evi Riana Purba, S.Kep
6. Justina Nuriati Purba, SSTP 7. Bertha Purba, S.Pd
Pendidikan : 1. SD RK No 4 Cinta Rakyat (1989 - 1995)
2. SMP RK Bintang Timur (1995 - 1998) 3. SMA RK Budi Mulia (1998 - 2001)
4. STPDN Jatinangor (2001 - 2005)
5. Mahasiswa Program S2 MSP FISIP Universitas Sumatera Utara (2006 - sekarang)
Riwayat Pekerjaan : 1. CPNS Pusat / Mahasiswa Ikatan Dinas pada STPDN Jatinangor JABAR (2001-2005)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... i
ABSTRAK ... iv
ABSTRACT ... v
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
RIWAYAT HIDUP ... x
BAB I PENDAHULUAN ...
1.1 Latar Belakang Masalah ...
1.2 Perumusan Masalah ...
1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian ...
1
1
7
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...
2.1. Pembangunan ...
2.1.1. Program dan Proyek Pembangunan...
2.1.2. Pembangunan Desa...
2.2. Pemberdayaan Masyarakat ...
2.2.1. Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat ...
2.2.2. Hakekat Pemberdayaan Masyarakat ...
9
9
11
12
15
16
2.3. Program Dana Bantuan Pembangunan Nagori / Kelurahan
(BPN / K) ...
2.4. Pemberdayaan Masyarakat Desa dengan Studi Program
Bantuan Pembangunan Nagori / Kelurahan (BPN / K) ...
28
33
BAB III METODE PENELITIAN ……….
3.1. Jenis Penelitian ...
3.2. Definisi Konsep ...
3.3. Informan ...
3.4. Teknik Pengumpulan Data ...
3.5. Lokasi Penelitian ...
3.6. Metode Analisis Data ...
36 36 37 38 39 41 41
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...
4.1. Keadaan Geografis dan Demografis ...
4.2. Keadaan Sosial Budaya dan Ekonomi ...
4.3. Gambaran Umum Pemerintahan ...
4.4. Pemberdayaan Masyarakat Desa dengan Studi Tentang
Program Bantuan Pambangunan Nagori / Kelurahan ...
4.4.1 Tahap Perencanaan Pemberdayaan Masyarakat
Desa dengan Studi Tentang Program Bantuan
Pembangunan Nagori / Kelurahan (BPN / K) ...
4.4.2 Tahap Pelaksanaan Pemberdayaan Masyarakat
Desa dengan Studi Tentang Program Bantuan
Pembangunan Nagori / Kelurahan (BPN / K) ...
4.4.3 Tahap Pengawasan Pemberdayaan Masyarakat
Desa dengan Studi Tentang Program Bantuan
Pembangunan Nagori / Kelurahan (BPN / K) ...
BAB V PENUTUP ...
5.1. Kesimpulan ...
5.2. Saran ...
97
97
99
DAFTAR PUSTAKA ... 101
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1 Luas Wilayah Menurut Nagori dan Jarak Ke Ibu Kota
Kecamatan ... 44
Tabel 4.2 Luas Wilayah Menurut Nagori dan Jenis Penggunaan Lahan ... 45
Tabel 4.3 Jumlah Penduduk dan KK Di Kecamatan Panombeian
Panei (Keadaan Akhir Desember 2006) ..………... 46
Tabel 4.4 Penduduk Kecamatan Panombeian Panei Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin ... 47
Tabel 4.5 Penduduk Kecamatan Panombeian Panei Menurut Mata
Pencaharian ... 48
Tabel 4.6 Jumlah Rumah Tangga Pengguna Lahan Tanaman Padi, Palawija dan Holtikultura ...
49
Tabel 4.7 Penyebaran Sarana Pendidkan di Setiap Nagori se Kecamatan Panombeian Panei Keadaan Tahun 2006 ... 50
Tabel 4.8 Penduduk Menurut Nagori dan Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan
...
51
Tabel 4.9 Jumlah Fasilitas Kesehatan Menurut Nagori ... 52
Tabel 4.10 Jumlah Penduduk Menurut Agama Yang Dianut ... 53
Tabel 4.12 Kegiatan Program BPN/K di Kecamatan Panombeian Panei yang bersumber dari Tahun Anggaran 2005 ...
62
Tabel 4.13 Kegiatan Program BPN/K di Kecamatan Panombeian Panei yang bersumber dari Tahun Anggaran 2006 ...
63
Tabel 4.14 Rangkuman Temuan Penelitian tentang
Karakteristik Program BPN/K
...
66
Tabel 4.15 Rangkuman Temuan Penelitian tentang Keterlibatan Masyarakat dalam Program BPN/K ... 68
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Daftar Pedoman Wawancara ... 104
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pembangunan desa memegang peranan yang penting karena merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dan pada hakikatnya bersinergi terhadap pembangunan
daerah dan nasional. Hal tersebut terlihat melalui banyaknya program pembangunan
yang dirancang pemerintah untuk pembangunan desa. Hampir seluruh instansi,
terutama pemerintah daerah mengakomodir pembangunan desa dalam program
kerjanya. Tentunya berlandaskan pemahaman bahwa desa sebagai kesatuan geografis
terdepan yang merupakan tempat sebagian besar penduduk bermukim. Dalam
struktur pemerintahan, desa menempati posisi terbawah, akan tetapi justru terdepan
dan langsung berada di tengah masyarakat. Karenanya dapat dipastikan apapun
bentuk setiap program pembangunan dari pemerintah akan selalu bermuara ke desa.
Meskipun demikian, pembangunan desa masih memiliki berbagai
permasalahan, seperti adanya desa terpencil atau terisolir dari pusat-pusat
pembangunan (centre of excellent), masih minimnya prasarana sosial ekonomi serta
penyebaran jumlah tenaga kerja produktif yang tidak seimbang, termasuk tingkat
produktivitas, tingkat pendapatan masyarakat dan tingkat pendidikan yang relatif
Fakta tersebut menyebabkan pemerintah semakin intensif menggulirkan
program dan proyek pembangunan dalam pelaksanaan pembangunan desa. Namun
demikian program atau proyek yang diarahkan dalam pembangunan desa justru tidak
dapat berjalan optimal, karena kebanyakan direncanakan jauh dari desa (Korten,
1988:247). Masyarakat masih dianggap sebagai obyek/sasaran yang akan dibangun.
Hubungan yang terbangun adalah pemerintah sebagai subyek/pelaku pembangunan
dan masyarakat desa sebagai obyek/sasaran pembangunan (Kartasasmita, 1996:144).
Partisipasi yang ada masih sebatas pemanfaatan hasil. Tingkat partisipasi dalam
pembangunan masih terbatas, misalnya masih sebatas peran serta secara fisik tanpa
berperan secara luas sejak dari perencanaan sampai evaluasi.
Kondisi tersebut mengakibatkan peranan pemerintah semakin besar.
Pemerintah berperan dominan sejak dari perencanaan hingga pelaksanaan program
atau proyek pembangunan. Fakta ini berangkat dari perspektif stakeholders
pemerintahan bahwa berhasilnya program atau proyek pembangunan diukur dari
penyelesaian yang tepat pada waktunya (efisiensi dan efektifitas) serta sesuai dengan
rencana yang ditetapkan. Dengan orientasi seperti ini, tentunya masyarakat desa
beserta stakeholder lainnya di desa yang seharusnya memiliki peranan yang besar
tidak dapat mengembangkan kemampuannya dan menjadi “terbelenggu” dalam
berinovasi. Hal tersebut misalnya dapat dilihat dari implementasi program bantuan
desa (Bangdes) selama ini, justru peranan birokrat pemerintah yang amat menonjol.
dikenal luas di desa, namun masyarakat selalu dianggap kurang mampu, sehingga
bimbingan dan arahan dari pemerintah begitu kuat pengaruhnya dan merasuk
(internalisasi) dalam masyarakat. Pada akhirnya masyarakat tergantung pada
bimbingan dan arahan dari pemerintah. Bila kondisi tersebut tetap dipertahankan,
maka masyarakat tidak akan pernah dapat menunjukkan kemampuannya dalam
mengelola pembangunan di desanya.
Apapun bentuk pembangunan, secara substantif akan selalu diartikan
mengandung unsur proses dan adanya suatu perubahan yang direncanakan untuk
mencapai kemajuan masyarakat. Karena ditujukan untuk merubah masyarakat itulah
maka sewajarnya masyarakatlah sebagai pemilik (owner) kegiatan pembangunan. Hal
ini dimaksudkan supaya perubahan yang hendak dituju adalah perubahan yang
diketahui dan sebenarnya yang dikehendaki oleh masyarakat (Conyers,
1991:154-155). Ada kesiapan masyarakat untuk menghadapi dan menerima perubahan itu.
Untuk itu keterlibatannya harus diperluas sejak perencanaan, pelaksanaan, evaluasi
hingga pemanfaatannya, sehingga proses pembangunan yang dijalankan dapat
memberdayakan masyarakat, bukan memperdayakan.
Pembangunan desa secara konseptual mengandung makna proses dimana
usaha-usaha dari masyarakat desa terpadu dengan usaha-usaha dari pemerintah.
Tujuannya untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.
Sehingga dalam konteks pembangunan desa, paling tidak terdapat dua stakeholder
1988:378). Meskipun demikian, dalam konteks yang lebih luas, juga terdapat peranan
“Agen Eksternal” seperti LSM, Konsultan, Lembaga Donor dll.
Domain pembangunan desa juga tidak terlepas dari wacana tentang model
perencanaan pembangunan yaitu dari atas ke bawah (top down planning) dan dari
bawah ke atas (bottom up planning). Pada dasarnya setiap program dari pemerintah
senantiasa mencerminkan kombinasi kedua model tersebut, hanya intensitasnya yang
berbeda. Sesuai dengan tuntutan paradigma baru tentang pembangunan yang berpusat
pada manusia (people centered development), maka pendekatan bottom up planning
sudah sewajarnya diperbesar dan menjadi inti dari proses pembangunan yang
memberdayakan masyarakat.
Berlatar belakang pokok pikiran tersebut, penelitian ini bermaksud mengambil
suatu dimensi yang lebih khusus yaitu menganalisis tentang pemberdayaaan
masyarakat desa dengan studi tentang Program Pembangunan Bantuan Nagori /
Kelurahan (BPN / K) di Kecamatan Panombeian Panei.
Pemilihan program tersebut, didasarkan atas pertimbangan bahwa desain dan
implementasinya dapat memberikan gambaran tentang proses pemberdayaan
masyarakat dalam pembangunan, dengan pengkajian pembangunan di desa. Selain
itu, saat ini khususnya di Kecamatan Panombeian Panei, umumnya di Kabupaten
Simalungun, program tersebut sangat mewarnai dinamika pembangunan desa,
sehingga melalui implementasinya diharapkan dapat mewujudkan proses
Penelitian ini dikhususkan pada desa-desa di Kecamatan Panombeian Panei
Kabupaten Simalungun. Pengalaman selama ini menunjukkan banyak program
pembangunan yang digulirkan oleh Pemerintah kurang optimal melibatkan
masyarakat dalam perencanaan sampai evaluasi pembangunan di desa, sehingga
muncul kesenjangan persepsi antara masyarakat dengan pemerintah. Hal tersebut
berakibat rendahnya kepedulian masyarakat itu sendiri, yang pada akhirnya
mengakibatkan rendahnya tingkat keberdayaan masyarakat. Hal ini dapat terbukti
dengan rendahnya tingkat partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam perencanaan
pembangunan, karena tanpa disadari sebenarnya peranan pemerintah masih lebih
besar, meskipun tidak secara fisik, akan tetapi dalam wujud regulasi yang kurang
memberikan keleluasaan bagi masyarakat secara optimal. Kondisi tersebut tercermin
dari pelaksanaan Proyek P2KT (Program Pemberdayaan Kecamatan Terpadu)
sebelumnya yang didominasi oleh birokrat kecamatan, demikian juga dengan
pelaksanaan program BPN / K yang masih didominasi oleh elit formal di tingkat
lokal.
Rendahnya partisipasi masyarakat terlihat dari pelaksanaan program BPN / K
Tahun Anggaran 2006 yang menghasilkan partisipasi swadaya masyarakat sebesar
Rp. 40.000.000,- (10 %), dari dana stimulan sebesar Rp. 400.000.000,- untuk 8 desa
serta jumlah kegiatan sebanyak 10 kegiatan. Pelaksanaannya pun dianggap belum
optimal, bahkan sebagian dianggap “bermasalah” akibat salah persepsi antara
Penelitian ini dikhususkan pada desa di Kecamatan Panombeian Panei
Kabupaten Simalungun, mengingat kecamatan ini merupakan salah satu kecamatan
pemekaran sejak tahun 2002 yang mempunyai karakteristik daerah pertanian (+ 80
%), merupakan kecamatan yang paling dekat dan berbatas langsung dengan wilayah
Kota Pematang Siantar dibandingkan dengan kecamatan yang lain di Kabupaten
Simalungun. Selain itu juga banyak warga kota yang bermukim di kecamatan ini.
Dengan demikian terjadi interaksi karakter masyarakat pertanian dengan sifat wilayah
sebagai hinter-land nya Kota. Berarti hal tersebut akan berkontribusi dalam
pengembangan peranan masyarakatnya dalam pembangunan.
Secara khusus berdasarkan pengamatan dan analisis para stakeholder
pembangunan di Kabupaten Simalungun, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir,
pemberdayaan masyarakat desa di Kecamatan Panombeian Panei tidak berjalan
optimal karena rendahya partisipasi masyarakat terhadap pembangunan yang
disebabkan terlalu dominan program pembangunan yang diluncurkan ke daerah
tersebut, tanpa melibatkan masyarakat. Kondisi tersebut secara khusus juga
disebabkan oleh peranan Bupati Simalungun periode 2000 s/d 2005 yang merupakan
putra asli daerah tersebut, sehingga banyak dialokasikan program pembangunan, yang
prosesnya tidak melibatkan masyarakat secara aktif.
Hal tersebut tidak memberikan dampak yang berarti bagi masyarakat.
Terbukti dari realisasi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Kecamatan
PBB dari tahun ke tahun berkisar Rp 60.000.000,- s/d Rp 70.000.000,- dan
realisasinya hanya sekitar 30 %, sehingga kondisi tersebut menunjukkan adanya
ketidakberdayaan masyarakat.
Tentunya penelitian ini bukan untuk mencari siapa yang salah, atau
bagaimana fomat yang paling ideal, namun berangkat dari proses pembangunan yang
sejak awal melibatkan kepentingan masyarakat desa yang berperan didalamnya.
Dengan demikian dapat dianalisis karakteristik Pemberdayaan Masyarakat Desa
dengan studi tentang Program Bantuan Pembangunan Nagori / Kelurahan (BPN / K)
di Kecamatan Panombeian Panei.
1.2. Perumusan Masalah
Pembangunan yang memberdayakan masyarakat adalah pembangunan yang
memberi “ruang” dan kesempatan bagi masyarakat untuk dapat berperan dalam
menggerakkan dan mengerahkan segala sumber daya (resources) yang dimilikinya,
baik sumber daya material maupun non material, terutama sumber daya manusianya
sendiri untuk mandiri (Uphoff dalam Cernea, 1988:501). Dengan kata lain
masyarakat mempunyai akses dalam pengambilan keputusan sampai pelaksanaan
pembangunan.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, proses pembangunan yang
partisipatif, sebagaimana dinyatakan Soetrisno (dalam Lasito, 2002:7), sebagai
berikut :
Dalam model pemberdayaan, masyarakat tidak hanya aktif berpartisipasi dalam proses pemilikan program, perencanaan dan pelaksanaannya, akan tetapi mereka juga menguasai dana pelaksanaan program itu. Sementara dalam model partisipasi, keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan hanya sebatas pada pemilikan, perencanaan dan pelaksanaan, sedangkan pemerintah tetap menguasai dana guna mendukung pelaksanaan program itu.
Dari pembedaan tersebut dapat diartikan bahwa dalam model pemberdayaan,
masyarakatlah yang memiliki peran yang besar (termasuk pendanaan) serta sangat
menentukan bagi arah kegiatan pembangunan, sesuai dengan aspirasi dan perspektif
masyarakat, maksudnya tanpa terlalu intervensi struktur pemerintahan yang
cenderung birokratis.
Berdasarkan uraian diatas, maka perumusan masalah penelitian adalah
bagaimana Pemberdayaan Masyarakat Desa dengan studi tentang Program Bantuan
Pembangunan Nagori / Kelurahan (BPN / K) di Kecamatan Panombeian Panei?
1.3. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Bertitik tolak dari perumusan masalah yang diajukan diatas, tujuan penelitian ini
adalah menganalisis Pemberdayaan Masyarakat Desa dengan studi tentang
Program Bantuan Pembangunan Nagori / Kelurahan (BPN / K) di Kecamatan
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat menguatkan kajian
teoritis tentang pemberdayaan masyarakat desa dengan studi tentang Program
BPN / K di Kecamatan Panombeian Panei.
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai masukan
kepada Pemerintah Kabupaten Simalungun dalam memformulasikan pemberdayaan
masyarakat dalam pembangunan desa (bottom up planning) secara partisipatif,
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangunan
Banyak pendekatan pembangunan yang telah diterapkan, yakni dari
pertumbuhan, pemenuhan kebutuhan dasar hingga yang paling mutakhir yakni
pemberdayaan masyarakat dengan menempatkan masyarakat sebagai sentral (objek
sekaligus subjek) pembangunan. Pengalaman menunjukkan bahwa pendekatan
pembangunan yang dilaksanakan selama ini lebih menekankan pada pembangunan
fisik, bukan pada pembangunan karakter masyarakat. Dengan demikian pendekatan
pembangunan yang relevan adalah masyarakat mampu melaksanakan pembangunan
secara mandiri, terdesentralisasi dan tepat sasaran.
Konsep pembangunan yang berpusat manusia memandang inisiatif kreatif
masyarakat sebagai sumber daya pembangunan yang utama dan memandang
kesejahteraan material dan spiritual mereka sebagai tujuan pembangunan. Visi ini
menjadikan pembangunan dianggap sebagai gerakan rakyat daripada hanya sekedar
sebagai proyek pemerintah.
Visi pembangunan yang mengutamakan manusia sangat relevan karena
adanya pergeseran peranan pemerintah dalam konteks pembangunan, yang pada
dan pemanfaatannya, peranan masyarakat yang menonjol. Peran itu lebih efektif
apabila masyarakat juga berperan dalam penggunaan alokasi anggaran.
Selanjutnya Korten (1988:242-245) mengemukakan bahwa pembangunan itu
sendiri haruslah merupakan suatu proses belajar, yaitu :
Maksudnya peningkatan kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun kolektif yang tidak hanya menyesuaikan diri pada perubahan, melainkan juga untuk mengarahkan perubahan itu sehingga sesuai dengan tujuannya sendiri. Untuk mewujudkan itu, perlu ada perubahan pada berbagai segi kehidupan. Perubahan tersebut menyangkut kebijakan politik, kehidupan demokrasi, sistem pendidikan dan penyediaan saluran informasi yang terbuka dan luas bagi masyarakat, karena pada hakekatnya masyarakat berhak untuk memilih. Untuk itu ketersediaan informasi harus dibuka seluas-luasnya bagi mereka agar dapat menentukan pilihannya.
Untuk dapat menerapkan pendekatan proses belajar itu, Korten (1988:247)
mengemukakan dua cara, yaitu: “Pertama, dengan membangun sebuah program dan
organisasi yang sama sekali baru dari bawah. Kedua, dengan “mencangkok” proses
tersebut pada organisasi yang ada, sehingga mempunyai kemampuan baru untuk
bekerja di pedesaan”.
Tantangan ke depan pembangunan sebagai proses belajar adalah pemaduan
antara pelaksanaan kerja, pendidikan dan kelembagaan ke dalam sebuah proses
belajar yang koheren. Pengalaman selama ini telah memberi dasar bagi perumusan
kerangka kerja dan metode penyusunan pembangunan yang lebih sesuai dengan
proses belajar di antara masyarakat desa dan outsider stakeholder, sebab tingkat
pengetahuan outsider stakeholder dan kemampuan kelembagaan sangat terbatas
Muara seluruh proses pembangunan adalah desa, sehingga desain
pembangunan harus mengakomodir seluruh aspek yang berkembang dinamis dan
berorientasi membangun desa beserta masyarakatnya. Pembangunan desa memegang
peranan penting yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan pada hakikatnya
bersinergi terhadap pembangunan daerah dan nasional. Dengan kata lain,
sesungguhnya makna pembangunan negara dan bangsa adalah pembangunan desa
sebagai wajah yang nyata, bersifat lokalitas dan patut dikedepankan.
2.1.1. Program dan Proyek Pembangunan
Output dari pembangunan adalah menghasilkan program-program dan
proyek-proyek pembangunan. Gettinger (dalam Bryant dan White, 1987:135)
mengatakan sebagai berikut :
Bahwa proyek-proyek merupakan sisi tajam pembangunan. Dengan demikian
benar bahwa proyek harus erat kaitannya dengan program-program (nasional
atau daerah). Program merupakan kumpulan proyek-proyek. Suatu hal yang
keliru jika memandang atau merencanakan suatu proyek yang terpisah sama
sekali dari program yang mencakup proyek itu sebagai bagiannya.
Bryant dan White (1987:137) menggaris bawahi pentingnya perspektif ini dengan
menyatakan bahwa lebih tepatlah jika proyek dipandang sebagai ungkapan lokal
lepas. Proyek dapat dirancang antara lain untuk menyajikan informasi yang
menentukan bagi perencanaan program, kemudian dapat untuk menyusun
proyek-proyek lain dan dapat dilaksanakan sebagai kegiatan-kegiatan berantai.
Bryant dan White (1987:142) mengatakan ada empat aspek dalam konseptualisasi
proyek dan program sebagai bagian dari proses pembangunan yang berinteraksi,
yaitu sebagai berikut :
a. Proyek-proyek harus diseleksi dalam hubungan dengan kebutuhan-kebutuhan programnya, proyek harus dirancang untuk mendorong agar program dapat memanfaatkan pelajaran yang ada dan proyek-proyek itu harus dievaluasi antara lain dalam kaitan dengan keefektifannya memacu kemampuan organisasi dalam menanggapi prakarsa-prakarsa lokal.
b. Baik organisasi proyek maupun organisasi program haruslah merupakan learning
organization yang terbuka terhadap umpan balik dari lingkungan, memproses
informasi itu dan terus menerus memperbaharui pendekatan-pendekatan yang ditempuhnya. Merancang suatu proyek agar cocok dengan konteks lingkungannya memerlukan adanya perkiraan sumber-sumber daya, kemungkinan-kemungkinan dan kendala-kendala ekonomi, sosial, budaya & politik.
c. Aspek ketiga menyangkut struktur insentif bagi perilaku dalam suatu proyek. Apakah perilaku-perilaku yang dirancang oleh insentif-insentif itu selaras dengan tujuan proyek ? Akankah insentif-insentif itu memotivasi para pemimpin dan staf proyek melakukan hal yang paling kondusif bagi pencapaian tujuan-tujuan proyek ? Apakah organisasi proyeknya disusun demi mendapatkan serta memproses informasi untuk memaksimalkan pelajaran dari kesalahan maupun keberhasilan. d. Penting untuk memikirkan dan mengevaluasi efisiensi serta keadilan yang ada
dalam proyek itu sendiri, tingkat imbalan investasi dan dampak serta distribusi manfaat-manfaat proyek seperti tercantum dalam usulan seperti disampaikan sebelumnya, administrasi pembangunan harus bertanya setelah jangka waktu tertentu, siapa mendapat apa ? Evaluasi setelah proyek selesai dilaksanakan akan mengisyaratkan “siapa mendapat seberapa bagian” dari manfaat proyek yang mengalir itu ; rancangan yang baik mengenai proyek itu meletakkan dasar bagi evaluasi efektif pada waktu kemudian.
Wujud pembangunan desa adalah adanya berbagai program dan proyek
pembangunan yang bertujuan menciptakan kemajuan desa. Program dan proyek itu
tidak hanya untuk mencapai kemajuan fisik saja, tetapi juga meningkatkan
kemampuan masyarakat. Dengan demikian, makna pembangunan tidak semata-mata
mengadakan sesuatu yang baru dalam arti fisik, akan tetapi lebih luas. Sasaran
pembangunan desa meliputi perbaikan dan peningkatan taraf hidup masyarakat desa,
pengerahan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa serta penumbuhan
kemampuan untuk berkembang secara mandiri yang mengandung makna kemampuan
masyarakat (empowerment) untuk dapat mengidentifikasi berbagai kebutuhan dan
permasalahan yang dihadapi serta dapat menyusun perencanaan untuk memenuhi
kebutuhan dan memecahkan masalah, sehingga dapat dilaksanakan secara efektif dan
efisien.
Makna pembangunan desa adalah partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.
Partisipasi itu diartikan tidak saja sebagai keikutsertaan dalam pembangunan yang
direncanakan dan dilaksanakan oleh pihak luar desa (outsider stakeholder) atau
keterlibatan dalam upaya menyukseskan program pembangunan yang masuk ke
desanya, akan tetapi lebih dari sekedar itu. Dalam partisipasi yang terpenting adalah
bagaimana pembangunan desa itu berjalan atas inisiatif dan prakarsa dari warga
setempat (lokal) sehingga dalam pelaksanaannya dapat menggunakan kekuatan
sumber daya dan pengetahuan yang mereka miliki.
Sejalan dengan itu, segala potensi lokal betapapun kecilnya tidak dapat
Midgley (1995:78-79) mengemukakan ada beberapa aspek dalam pembangunan desa,
diantaranya mementingkan proses dan adanya intervensi. Dua hal tersebut perlu
disoroti karena terkait dengan konsep pemberdayaan. Suatu program pembangunan
yang hanya mementingkan hasilnya untuk dipersembahkan pada masyarakat justru
mengingkari martabat masyarakat, karena hal tersebut menghambat masyarakat untuk
berperan serta dalam proses. Sedangkan intervensi dimaksudkan bahwa dalam
pencapaian perubahan sosial dengan pemerataan kesejahteraan bagi semua penduduk
tidak terlepas dari campur tangan pemerintah, karena pemerintah yang menguasai
berbagai sumber daya (Strategies for Social Development by Governments).
Hal tersebut juga berkaitan dengan penumbuhan keberdayaan mereka dalam
program-program pembangunan, apalagi yang memang berskala lokal dan
menyangkut kebutuhan dasar masyarakat sudah sewajarnya didesentralisasikan pada
masyarakat setempat untuk direncanakan dan dilaksanakan. Peran pemerintah
terbatas dalam hal penyediaan dana stimulan dan memfasilitasinya.
Banyak pembahasan yang dinamis tentang pembangunan desa, dan diantara
berbagai tema yang berulang-ulang dimunculkan, Bryant & White (1987:389)
menyebutkan tiga hal yang penting dan menentukan tentang pembahasan tersebut,
yakni :
a. Pentingnya organisasi lokal yang partisipatif dan beorientasi pada belajar dari pengalaman, yang merupakan salah satu cara pokok untuk menanggulangi kekeliruan-kekeliruan dan ketidakpastian dalam lingkungan pembangunan yang sangat tidak pasti.
menggunakan top down planning yang kecenderungannya bukannya merupakan bagian dari jalan keluar, melainkan justru merupakan bagian dari permasalahan. c. Pentingnya menyimak kebutuhan-kebutuhan yang spesifik dari masyarakat lokal
yang dipengaruhi oleh aspek sosial dan budayanya. Kompleksitas budaya lingkungan itu merupakan bagian penting dari kehidupan lokal.
Secara khusus, Bryant & White (1987:391) menyikapi pembangunan desa
sebagai suatu proses yang mempunyai banyak dimensi permasalahan dan
penyelesaiannya tidak bersifat instant, lebih jelasnya, yaitu :
Bahwa pemecahan yang cepat dan tepat bagi pembangunan desa tidak ada, khususnya jika pembangunan dipahami dalam hubungan dengan kapasitas, keadilan dan penumbuhan kekuasaan (empowerment) dalam suatu dunia yang lestari, berkecukupan dan saling bergantung. Dengan demikian siapapun yang terlibat dalam pengelolaan pembangunan desa harus menghindari dua hal yang sangat merugikan yaitu sikap pesimistik dan metode pemecahan yang simplimistik.
Kemudian dapat disimpulkan bahwa konsep pembangunan desa telah
menempatkan perlakuan terhadap masyarakat dalam pembangunan pada posisi yang
begitu berarti dan sentral. Sehingga keterlibatannya dalam proses pembangunan
menjadi titik penentu apakah proses pembangunan itu menjadi wahana proses belajar
atau hanya sekedar sebuah rekayasa yang mana pemerintah menjadi pemain tunggal.
Dengan demikian penekanan pada aspek “proses” memiliki arti penting. Proses
belajar mengandung makna bahwa setiap kekurangan dan kelemahan yang muncul
dalam proses pelaksanaan program pembangunan menjadi informasi yang penting
dan untuk itu dilakukan upaya-upaya penanggulangannya.
Pemberdayaan masyarakat adalah konsep yang berkembang dari masyarakat
budaya barat sejak lahirnya Eropa modern pada pertengahan abad 18. Dalam
perjalanannya sampai kini telah mengalami proses dialektika dan akhirnya
menemukan konsep ke-masa kini-an, yang telah umum digunakan.
Secara umum pemberdayaan dalam pembangunan meliputi proses pemberian
kekuasaan untuk meningkatkan posisi sosial, ekonomi, budaya dan politik dari
masyarakat yang bersifat lokal, sehingga masyarakat mampu memainkan peranan
yang signifikan dalam pembangunan.
2.2.1. Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat
Perspektif partisipasi hendaknya diarahkan untuk keberdayaan masyarakat, bukan
justru untuk mobilisasi. Hal tersebut sesuai pernyataan Tjokrowinoto
(1987:44-45) yakni :
Partisipasi telah cukup lama menjadi acuan pembangunan masyarakat. Akan
tetapi makna partisipasi itu sendiri seringkali samar-samar dan kabur.
Partisipasi malahan sering berbentuk mobilisasi dengan pendekatan cetak biru
(blueprint) atau pendekatan yang datangnya dari atas. Dengan kondisi ini,
peran serta masyarakat “terbatas” pada implementasi atau penerapan program,
masyarakat tidak dikembangkan dayanya menjadi kreatif dari dalam dirinya
dan harus menerima keputusan yang sudah diambil. Sehingga makna
Jika partisipasi yang ada ternyata berasal dari atas, maka ia akan menjadi
mobilisasi, yakni sekedar alat untuk mencapai apa yang diinginkan. Akan tetapi
jika partisipasi sungguh-sungguh berasal dari bawah, maka akan mengarah pada
distribusi kekuasaan atau pemberdayaan yang akan memampukan masyarakat
memperoleh buah pembangunan yang lebih besar.
Dari pemahaman tentang pentingnya mengedepankan proses pembangunan
yang memberdayakan masyarakat, maka partisipasi masyarakat menjadi penting guna
kelangsungan proses pembangunan itu sendiri, sebagaimana Uphoff (dalam Cernea,
1988:461) menyatakan penting menyesuaikan perencanaan dan pelaksanaan program
dengan kebutuhan dan kemampuan penduduk yang diharapkan untuk meraih manfaat
darinya, sehingga mereka tidak lagi harus diidentifikasikan sebagai “kelompok
sasaran”. Harus memandang mereka sebagai “pemanfaat yang diharapkan”.
Merekalah yang akan diuntungkan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
Namun demikian, partisipasi hendaknya diletakkan pada posisi yang
proporsional dan sesuai dengan hakikatnya pada masyarakat dalam suasana
keberdayaan yang aktif, bukan secara pasif, apalagi sampai dimobilisasi oleh outsider
stakeholder. Lebih jelasnya dapat disimak dari pernyataan Uphoff dalam Cernea
(1988:500), yang menyatakan :
ditempatkan di lapangan dari pusat untuk bekerja dengan penduduk pedesaan dan mengembangkan kapasitas organisasi diantara mereka.
Dengan demikian, pemberdayaan adalah partisipasi aktif, nyata dan
mengutamakan potensi-potensi masyarakat yang dinamis dan hasilnya
benar-benar terukur, sehingga pemberdayaan menjadi upaya korektif terhadap konsep
pemberdayaan yang pasif itu. Pemberdayaan bertujuan menumbuhkan partisipasi
aktif masyarakat dengan mengandalkan daya yang ada padanya. Dengan
demikian makna partisipasi sebagaimana dinyatakan diatas, akan mengacu pada
proses aktif, dimana masyarakat penerima (beneficiaries) mempengaruhi arah dan
pelaksanaan proyek pembangunan daripada hanya sekedar menerima manfaatnya
saja.
2.2.2. Hakekat Pemberdayaan Masyarakat
Pengalaman empirik dan historis dari format sosial ekonomi kultural yang
dikotomis selama ini telah melahirkan berbagai pandangan mengenai
pemberdayaan. Pandangan mengenai pemberdayaan tersebut sebagaimana
dikemukakan oleh Pranarka (1996:45-70), yaitu :
a. Pandangan pertama, pemberdayaan adalah penghancuran kekuasaan atau power
to nobody. Pandangan ini didasari oleh keyakinan, bahwa kekuasaan telah
menterasingkan dan menghancurkan manusia dari eksistensinya. Oleh sebab itu untuk mengembalikan eksistensi manusia dan menyelamatkan manusia dari keterasingan dan penindasan, maka kekuasaan harus dihapuskan.
hak normatif manusia yang tidak berkuasa atau yang dikuasai. Oleh sebab itu, kekuasaan harus didistribusikan kesemua orang, agar semua orang dapat mengaktualisasikan diri.
c. Pandangan ketiga, pemberdayaan adalah penguatan kepada yang lemah tanpa menghancurkan yang kuat. Pandangan ini adalah pandangan yang paling moderat dari dua pandangan lainnya. Pandangan ini adalah antitesis dari pandangan power
to nobody dan pandangan power to everybody. Menurut pandangan ini, power to nobody adalah kemustahilan dan power everybody adalah chaos dan anarki. Oleh
sebab itu menurut pandangan ketiga yang paling realistis adalah power to
powerless.
Pemberdayaan menurut ketiga pandangan tersebut diatas, kalau dikaji secara
seksama, ternyata berpengaruh signifikan dalam konsep dan praktek pemberdayaan.
Pemberdayaan dapat dibedakan dalam dua hal. Pertama, bahwa
pemberdayaan sebagai upaya memberikan kekuatan dan kemampuan pada individu
atau kelompok agar lebih berdaya. Ada unsur luar (baik dalam bentuk lembaga atau
individu) yang memberikan kekuatan (power to powerless) sehingga punya kekuatan
untuk dapat mengambil peran yang berharga bagi lingkungannya. Kedua,
memunculkan kekuatan dan kemampuan individu dan kelompok yang selama ini
masih terpendam melalui stimulasi dan motivasi sehingga menumbuhkan
kepercayaan pada dirinya akan kemampuan yang dimiliki.
Pranarka (1996:57) menyebut kedua hal diatas sebagai kecenderungan primer
dan sekunder. Kedua kecenderungan tersebut akan merubah individu atau kelompok
dari kondisi serba keterbatasan dan ketidakberdayaan menjadi mampu untuk
mendobrak segala keterbatasan hingga lebih dapat mengembangkan dirinya. Proses
pemberdayaan muncul dari kondisi sosial ekonomi budaya yang dikotomis yaitu
situasi menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan pembebasan melalui proses
pemberdayaan bagi yang dikuasai (empowerment of the powerless). Sehingga
pemberdayaan hendaknya menyangkut kondisi sosial, ekonomi dan budaya dari yang
diberdayakan.
Kemudian Pranarka (1996:139-145) menyatakan dalam
mengimplementasikan proses pemberdayaan, bahwa terdapat dua aspek penting yaitu
partisipatif dan terdesentralisasi. Aspek partisipatif melibatkan warga masyarakat,
khususnya kelompok sasaran dalam pengambilan keputusan sejak dari perencanaan,
pelaksanaan, pengendalian, hingga pemanfaatan hasil-hasilnya. Sedangkan aspek
terdesentralisasi mementingkan penurunan wewenang pembuatan keputusan
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kepada pemerintahan (desa) yang
terdekat dengan penduduk miskin. Penduduk miskin dianggap yang paling
mengetahui usaha yang dapat mereka lakukan dan kebutuhan mana yang paling
mendesak.
Pemberdayaan juga dapat diartikan sebagai upaya untuk mengubah keadaan
seseorang atau kelompok agar yang bersangkutan menjadi lebih berdaya.
Pranarka mengutip pendapat Hulme & Turner (1996:62-63), menyatakan bahwa :
Pemberdayaan mendorong terjadinya suatu proses perubahan sosial yang
memungkinkan orang-orang pinggiran yang tidak berdaya untuk memberikan
pengaruh yang lebih besar di arena politik secara lokal maupun nasional.
Pemberdayaan juga merupakan suatu proses yang menyangkut
hubungan-hubungan kekuasaan (kekuatan) yang berubah antara individu, kelompok, dan
lembaga-lembaga sosial. Pemberdayaan juga merupakan proses perubahan
pribadi, karena masing-masing individu mengambil tindakan atas nama diri
mereka sendiri dan kemudian mempertegas kembali pemahamannya terhadap
dunia tempat ia tinggal.
Kemudian Sumodiningrat (1997:165) menyatakan, bahwa pemberdayaan
masyarakat bertalian erat dengan upaya penanggulangan masalah-masalah
pembangunan, seperti pengangguran, kemiskinan dan kesenjangan. Upaya
memberdayakan masyarakat tersebut harus dilakukan melalui tiga cara, yaitu :
a. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu dengan mendorong, memberikan motivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
b. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif dan nyata, penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya dalam memanfaatkan peluang. c. Memberdayakan juga berarti melindungi. Dalam proses pemberdayaan harus
dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah. Jadi pemberdayaan memerlukan cara-cara atau langkah konkrit untuk mewujudkannya. Tanpa langkah-langkah yang tepat, upaya pemberdayaan akan mengalami banyak kendala.
Pemberdayaan sebagai proses ataupun sebagai tujuan pada dasarnya akan
memunculkan keberanian pada individu ataupun kelompok. Kondisi semula yang
keadaan. Bentuk keberanian itu juga dapat berupa menghadapi kekuasaan formal
guna menghapus ketergantungannya pada kekuatan itu.
Secara khusus Kartasasmita (1996:144) meninjau tentang peranan pihak-pihak
yang terlibat dalam pemberdayaan, yaitu :
Sebagai upaya untuk memberikan kekuatan dan kemampuan, berarti di dalam pemberdayaan mengandung dua pihak yang perlu ditinjau dengan seksama yaitu pihak yang diberdayakan dan pihak yang memberdayakan. Agar dapat diperoleh hasil yang memuaskan diperlukan komitmen yang tinggi dari kedua pihak. Dari pihak pemberdaya harus beranjak dari pendekatan bahwa masyarakat tidak dijadikan obyek dari berbagai program dan proyek pembangunan, akan tetapi merupakan subyek dari upaya pembangunannya sendiri. Untuk itu, maka dalam pemberdayaan masyarakat harus mengikuti pendekatan yang terarah, dilaksanakan oleh masyarakat yang menjadi kelompok sasaran dan menggunakan pendekatan kelompok.
Pihak pemberdaya harus mempunyai komitmen untuk membuat atau
melakukan suatu program yang juga memberdayakan. Sebab pengalaman
menunjukkan bahwa banyak program pembangunan dalam pelaksanaannya kurang
atau bahkan tidak mencerminkan aspek pemberdayaan. Hal ini tidak sesuai dengan
pemberdayaan yang memberikan kekuatan dan kemampuan pada masyarakat.
Komitmen yang rendah dari pihak pemberdaya dapat saja muncul dari kekhawatiran
bahwa dengan upaya pemberdayaan akan mengurangi kekuatan dan kekuasaan
mereka.
Pemberdayaan sebagai cara pembangunan yang mengacu pada pembangunan
yang berpusat rakyat di dalamnya mengandung upaya peningkatan kualitas sumber
daya manusia serta partisipasi masyarakat. Karakteristik dari pembangunan yang
a. Keputusan dan inisiatif untuk memenuhi kebutuhan rakyat dibuat di tingkat lokal dimana didalamnya rakyat memiliki identitas dan peran yang dilakukan sebagai partisipasi aktif.
b. Fokus utama pembangunan adalah memperkuat kemampuan rakyat miskin dalam mengawasi dan menggerakkan aset-aset guna memenuhi kebutuhan yang khas menurut daerah mereka sendiri.
c. Pendekatan ini mempunyai toleransi terhadap perbedaan.
d. Pendekatan pembangunan dengan menekankan pada proses “social learning”. e. Budaya kelembagaan yang ditandai oleh adanya organisasi yang bisa mengatur
diri dan lebih terdistribusi.
f. Proses pembentukan jaringan koalisi dan komunikasi antara birokrasi dan lembaga lokal, satuan organisasi tradisional yang mandiri, merupakan bagian yang integral dan pendekatan ini baik untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam mengidentifikasikan dan mengelola berbagai sumber maupun untuk menjaga keseimbangan antara struktur vertikal dan horizontal.
Sebagai sesuatu yang baru dalam pembangunan, pemberdayaan masyarakat
tidak luput dari berbagai bias, seperti :
a. Bahwa pemberdayaan masyarakat banyak dilakukan di tingkat bawah yang lebih memerlukan bantuan material daripada keterampilan teknis dan manajerial. Akibatnya sering terjadi pemborosan sumber daya dan dana karena kurang persiapan keterampilan teknis dan manajerial dalam pengembangan sumber daya manusia.
b. Anggapan bahwa teknologi yang diperkenalkan jauh lebih ampuh daripada teknologi masyarakat itu sendiri.
c. Anggapan bahwa lembaga-lembaga yang telah berkembang dikalangan masyarakat cenderung tidak efisien dan kurang bahkan menghambat proses pembangunan. Akibatnya lembaga-lembaga tersebut kurang dimanfaatkan dan kurang ada ikhtiar untuk memperbaharui, memperkuat serta memberdayakannya (Kartasasmita, 1996:146-149).
Berkenaan dengan hal tersebut, Schumacher (dalam Lasito, 2002:28)
menyarankan sebagai berikut :
bantuan tanpa usaha dan pengorbanan. Karenanya jarang menjadi “milik sendiri”.
Memang disadari bahwa saat ini bantuan berupa pengetahuan itu sudah ada
yang diberikan. Namun hal itu didasarkan pada anggapan bahwa “apa yang baik
untuk si kaya pasti baik pula untuk si miskin”. Anggapan inilah yang ditentang
Schumacher (1993:187) sebagai sesuatu yang salah. “Selama kita mengaku tahu,
padahal sesungguhnya tidak tahu, maka kita akan terus datang ke negara miskin dan
memperagakan pada mereka segala yang indah yang dapat mereka lakukan kalau
mereka sudah kaya.”
Salah satu prasyarat bagi pengembangan pemberdayaan masyarakat adalah
perlunya kondisi keterbukaan yang lebih besar dalam masyarakat. Akan tetapi
tampaknya masih ada kekhawatiran pemerintah terhadap proses politik yang terbuka.
Kalau tidak ada keterbukaan, gerakan pengembangan masyarakat yang berkembang
dapat menjadi gerakan yang destruktif, karena dapat tampil sebagai reaksi terhadap
kontrol. Akibatnya, ketegangan dapat timbul antara kebutuhan mengembangkan
keberdayaan rakyat dan kecendrungan pemerintah untuk mempertahankan kontrol
terhadap masyarakat (Pranarka, 1996:106).
Proses pemberdayaan memerlukan tindakan aktif subyek untuk mengakui
daya yang dimiliki obyek dengan memberinya kesempatan untuk mengembangkan
diri sebelum akhirnya obyek akan beralih fungsi menjadi subyek yang baru. Karena
proses tersebut didukung oleh faktor atau stimulus dari luar, maka subyek tersebut
obyek atau masyarakat miskin sendiri juga merupakan prasyarat penting yang dapat
mendukung proses pemberdayaan yang efektif (Pranarka, 1996:137).
Pada umumnya “negara” hampir selalu takut pada aksi politik tingkat bawah
yang murni. Istilah yang lebih disukai adalah “partisipasi”, bukan pemberian
wewenang (empowerment) yang kemudian dikenal dengan istilah “pemberdayaan”.
Walau bagaimanapun, partisipasi sebagai ranah dalam pembangunan tetap
mensyaratkan suatu komunitas lokal yang aktif, yang melakukan sebagian
pengawasan terhadap kondisi-kondisi kehidupannya sendiri, dan bahkan dapat
meminta pertanggung-jawaban pemerintah. Hal tersebut yang merupakan perwujudan
keberdayaan mereka dalam berpartisipasi. Gagasan utama dari perencanaan dari
“bawah” tersebut akhirnya yang dapat mencerminkan dengan tepat kepentingan
sesungguhnya dari rakyat yang terlibat dalam kehidupan masyarakat, (Friedmann
dalam Korten, 1988:257).
Senada dengan Friedmann, Berger dan Neuhaus (dalam Korten, 1988:345)
juga menyorot tentang pentingnya pemberian wewenang (empowerment) tersebut,
karena pada tingkat operasional di lapangan, masih adanya kontrol yang “kuat” pada
masyarakat, sebagaimana pengalaman yang ditunjukkan, yaitu: “Salah satu hasil dari
modernisasi yang paling melemahkan adalah rasa tidak berdaya dalam menghadapi
lembaga-lembaga yang dikontrol oleh mereka yang tidak dikenal oleh masyarakat
lokal dan nilai-nilai yang dibawapun juga seringkali tidak sesuai dengan yang dianut
Sehingga bagaimanapun, masyarakat selalu lebih mampu memahami
kebutuhan mereka sendiri dengan lebih baik dari siapapun juga, sehingga sudah pada
tempatnya, pemerintah atau outsider stakeholder mengambil posisi yang proporsional
dan lebih mengedepankan pemberdayaan masyarakat itu sendiri.
Pemberdayaan masyarakat juga dipandang sebagai proses yang lebih
bernuansa humanis, sebagaimana dinyatakan oleh Kusnaka (dalam Hikmat, 2001:xi),
sebagai berikut :
Bahwa pemberdayaan masyarakat tidak hanya mengembangkan potensi ekonomi rakyat, tetapi juga harkat martabat, rasa percaya diri dan harga diri serta terpeliharanya tatanan nilai budaya setempat. Pemberdayaan sebagai konsep sosial budaya yang implementatif dalam pembangunan yang berpusat pada rakyat, tidak saja menumbuhkembangkan nilai tambah ekonomi tetapi juga nilai tambah sosial budaya.
Berdasarkan uraian-uraian diatas, tampak bahwa hakekat pemberdayaan
masyarakat adalah upaya dan proses yang dilakukan supaya masyarakat memiliki
keleluasaan dalam menentukan pilihan-pilihan dalam hidupnya yang lebih khas dan
lokal itu. Masyarakat dapat berpartisipasi dalam berbagai kegiatan pembangunan
desa. Mereka dapat menggerakkan segala potensi yang dimilikinya untuk dapat turut
mewarnai hasil pembangunan yang diharapkan akan lebih sesuai dengan kebutuhan
nyata masyarakat. Namun yang terpenting adalah bagaimana mengakomodir domain
sosial, ekonomi, kultural dalam proses pemberdayaan masyarakat, disamping domain
politik. Berbicara tentang pemberdayaan masyarakat, akan lebih efektif kalau
Friedmann (1992) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat harus
dimulai dari rumah tangga. Pemberdayaan rumah tangga adalah pemberdayaan yang
mencakup aspek sosial, politik, dan psikologis. Yang dimaksud dengan
pemberdayaan sosial adalah usaha bagaimana rumah tangga lemah memperoleh akses
informasi, akses pengetahuan dan keterampilan, akses untuk berpartisipasi dalam
organisasi sosial, dan akses ke sumber-sumber keuangan.
Yang dimaksud dengan pemberdayaan politik adalah usaha bagaimana rumah
tangga yang lemah memiliki akses dalam proses pengambilan keputusan publik yang
mempengaruhi masa depan mereka. Sedangkan pemberdayaan psikologis adalah
usaha bagaimana membangun kepercayaan diri rumah tangga yang lemah.
Lebih lanjut, Friedmann menyatakan bahwa pemberdayaan adalah penguatan
masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang
mempengaruhi masa depannya, penguatan masyarakat untuk dapat memperoleh
faktor-faktor produksi, dan penguatan masyarakat untuk dapat menentukan pilihan
masa depannya.
Senada dengan pandangan tersebut, Friedmann juga berpendapat bahwa
pemberdayaan masyarakat terkait erat dengan peningkatan partisipasi masyarakat
dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri masyarakat sendiri
merupakan unsur yang sungguh penting dalam hal ini. Dengan dasar pandang
demikian, maka pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan,
Pada dasarnya pemberdayaan bermaksud membantu klien (warga masyarakat)
memperoleh kekuasaan dalam pengambilan keputusan (perencanaan) dan bertindak
dalam menentukan kehidupannya dengan mengurangi dampak dari hambatan sosial
atau individu dalam penerapan kekuasaan dengan meningkatkan kemampuan dan
percaya diri dalam mempergunakan kekuasaan serta memindahkan kekuasaan dari
lingkungan kepada warga masyarakat.
Selain itu untuk dapat melakukan pemberdayaan masyarakat perlu didukung
oleh situasi dan kondisi yang kondusif, khususnya political will dari pemerintah,
alokasi dana yang memadai serta kesungguhan dari para stakeholders yang terlibat
dalam pemberdayaan masyarakat. Yang terpenting dalam pemberdayaan adalah
prosesnya, bukan sekedar hasil, karena proses akan terkait dengan kesinambungan.
Demikian juga halnya dengan para stakeholders yang terlibat hendaknya tetap dalam
hubungan yang equal sesuai dengan paradigma pemberdayaan yang modern (bukan
sekedar paradigma pemberdayaan klasik yang berangkat dari persepsi dikotomi “yang
berdaya” dan “yang tidak berdaya”).
2.3. Program Bantuan Pembangunan Nagori/Kelurahan (BPN / K)
Program BPN / K adalah program yang dana dialokasikan langsung
kepada Pemerintah Nagori / Kelurahan dan digunakan untuk melaksanakan
kegiatan pembangunan sekaligus guna meningkatkan sarana pelayanan
kepada Nagori / Kelurahan, partisipasi aktif dari masyarakat tetap sangat
diharapkan dalam pelaksanaan pembangunan, karena dana yang diberikan sangat
terbatas dan belum maksimal untuk pelaksanaan pembangunan Nagori /
Kelurahan yang seutuhnya.
Program Bantuan Pembangunan Nagori / Kelurahan (BPN / K) merupakan
kelanjutan dari program bangdes (Pembangunan Desa) dan Dana Pembangunan
Desa/Kelurahan (DPD/K). Dalam perkembangannya Program Bangdes dikelola
oleh LKMD, sedangkan program DPD/K yang digulirkan sejak tahun anggaran
1999/2000 sampai dengan 2000 dikelola oleh PjOK (Penanggungjawab
Operasional Kegiatan) dan PjAK(Penanggungjawab Administrasi Kegiatan).
Sejak digulirkannya Era Otonomi Daerah, Pemerintah Kabupaten Simalungun
telah memodifikasi program bantuan langsung pembangunan desa menjadi
program BPN / K. Program BPN / K ini dimulai sejak tahun 2001 dan dikelola
oleh LKMD.
Berdasarkan Surat Keputusan Bupati Simalungun Nomor
412.6/5950-BPMN/2002, pengelolaan Program BPN / K dialihkan kepada Kepala Desa
(dalam istilah lokal disebut Pangulu) serta Lurah sebagai PjOK dan Sekretaris
Nagori sebagai PjAK sejak tahun anggaran 2002. Pengalihan tersebut untuk lebih
mengefektifkan tertib administrasi, karena pada tahun-tahun sebelumnya dana
pihak yang paling bertanggung-jawab dan tidak jarang saling melempar
tanggung-jawab.
Tujuan pengalokasian Bantuan Pembangunan Nagori / Kelurahan adalah :
1. Meningkatkan sarana pelayanan masyarakat pada tingkat nagori/kelurahan dalam rangka pembangunan kegiatan sosial ekonomi masyarakat,
2. Mendorong dan meningkatkan swadaya gotong-royong serta untuk menumbuhkan kreatifitas dan aktifitas masyarakat dalam pembangunan nagori/kelurahan dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada secara optimal dan lestari,
3. Meningkatkan fungsi dan peranan kelembagaan masyarakat di nagori/kelurahan yang mencakup Maujana Nagori, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Nagori/Kelurahan (LPMN/K) dan lembaga sosial masyarakat lainnya untuk mencapai pemberdayaan masyarakat dan
4. Meningkatkan kemampuan lembaga pengelolaan keuangan dan lembaga usaha milik masyarakat dalam rangka meningkatkan produksi pertanian meliputi perikanan, peternakan, perkebunan dan industri rumah tangga untuk meningkatkan pendapatan masyarakat sebagai subyek dan obyek pembangunan.
Penggunaan dana BPN / K sebesar Rp. 50.000.000,- / Nagori dibagi dalam tiga
alokasi yaitu :
1. Bantuan biaya pembangunan fisik nagori/kelurahan sebesar Rp. 45.000.000,- yang penggunaannya sesuai kebutuhan berdasarkan musyawarah,
2. Bantuan biaya kegiatan pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK) dan anak remaja sebesar Rp. 2.500.000,- dan
3. Biaya operasional kegiatan pembangunan (BOP) nagori/kelurahan sebesar Rp. 2.500.000,-.
Khusus tentang bantuan biaya pembangunan dialokasikan pada empat jenis
prasarana yaitu :
1. Sarana dan prasarana perhubungan, misalnya : pembatuan jalan, jembatan/titi plat beton, gorong-gorong jalan, tanggul jalan, trotoar dll,
3. Sarana dan prasarana penunjang ekonomi masyarakat dan produksi, misalnya : saluran irigasi nagori, sarana penunjang kegiatan pertanian, peternakan, perkebunan, industri rumah tangga dll dan
4. Sarana dan prasarana pemasaran, misalnya : lods pasar nagori, lumbung pangan dll. Konsekuensi Dana BPN / K yang bersifat stimulan atau perangsang supaya masyarakat dapat aktif berpartisipasi melalui swadaya gotong royong berupa uang, tenaga dan bahan material, sehingga tidak semata-mata mengandalkan seluruhnya dana bantuan tersebut.
Mekanisme pelaksanaan program BPN / K tersebut diawali dari persiapan,
perencanaan, penyaluran & pencairan dana dan pelaksanaan kegiatan. Kegiatan
persiapan diawali dengan desiminasi dan sosialisasi program BPN / K yang
dilakukan secara berjenjang dimulai dari Kabupaten, Kecamatan sampai ke
tingkat Nagori/Kelurahan. Kemudian penyebarluasan informasi program kepada
masyarakat melalui berbagai forum musyawarah dan kegiatan sosial
kemasyarakatan serta melalui papan pengumuman supaya diketahui oleh
masyarakat secara luas.
Kegiatan perencanaan dilaksanakan melalui forum musyawarah pembangunan
nagori/kelurahan yang output-nya yaitu Daftar Usulan Rencana Kegiatan
(DURK). DURK diisi berdasarkan usulan masyarakat dalam musyawarah
pembangunan tersebut yang dihadiri selain pemerintahan nagori, juga dihadiri
Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Nagori (LPMN), Tokoh Masyarakat dan
Masyarakat yang disetujui oleh Maujana Nagori, kemudian disampaikan kepada
Camat untuk mendapat pengesahan dan DURK tersebutlah sebagai dokumen
pelaksanaan dan pemantauan selanjutnya. Sedangkan untuk tingkat kecamatan,
dibuat dalam Rencana Kegiatan Biaya Operasional Pembinaan (RK-BOP) yang
digunakan untuk kegiatan monitoring dan pembinaan oleh Tim Pengelola
Kecamatan.
Pelaksanaan kegiatan BPN / K, harus benar-benar memperhatikan : Pertama,
melibatkan seluruh masyarakat nagori melalui Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat Nagori (LPMN)/K sehingga masyarakat ikut berpartisipasi aktif dan
merasa ikut memiliki dengan swadaya gotong royong masyarakat berupa uang,
tenaga dan material, Kedua, pelaksanaan kegiatan harus dilakukan dengan tepat
waktu, tepat sasaran dan tepat jumlah, Ketiga, penggunaan dana agar dilakukan
secara tertib, efisien dan efektif sesuai yang tercantum dalam DURK secara
transparan dan bertanggung jawab, Keempat, pelaksanaan kegiatan dan
penggunaan dana harus dilakukan secara transparan dan dapat dipertanggung
jawabkan secara fisik proyek dan administrasi keuangan sesuai dengan ketentuan
dan Kelima, pemerintah nagori bersama-sama dengan masyarakat berkewajiban
melakukan pelestarian hasil kegiatan dengan membentuk suatu format tertentu
sesuai dengan keinginan nagori yang dapat berupa Tim Pengelola atau kelompok
sejenis.
Untuk lebih jelasnya, struktur organisasi pelaksanaan program dana BPN / K,
Gambar 2.1
Struktur Organisasi Pelaksanaan Program BPN / K Kabupaten Simalungun
TIM PEMBINA KABUPATEN
PEMERINTAHAN NAGORI / KELURAHAN (PjOK dan PjAK)
L P M N / K
MUSYAWARAH PEMBANGUNAN NAGORI/
KELURAHAN
Keterangan :
Garis Pembinaan Garis Pelaporan
MAUJANA NAGORI
C A M A T KASI PMN / DALWASPOR
[image:50.612.126.535.121.579.2]2.4. Pemberdayaan Masyarakat Desa dengan Studi tentang Program
Bantuan Pembangunan Nagori Kelurahan (BPN / K)
Pada dasarnya banyak pemahaman terhadap konsep pemberdayaan
(empowerment) masyarakat dalam pembangunan. Konsep pemberdayaan
merupakan upaya mencari bentuk konsep pembangunan yang dianggap
ideal setelah berbagai paradigma pembangunan sebelumnya, seperti
growth, growth with equity & basic need yang dianggap gagal memenuhi
harapan sebagaian besar umat manusia di muka bumi. Konsep
empowerment merupakan paradigma terakhir dari konsep pembangunan
manusia yang kemunculannya disebabkan oleh karena adanya dua
permasalahan yakni “kegagalan” dan “harapan” yaitu gagalnya
model-model pembangunan ekonomi dalam menanggulangi masalah
kemiskinan dan lingkungan yang berkelanjutan dengan harapan-harapan
adanya model alternatif pembangunan yang memasukkan nilai-nilai
demokratis, keberlangsungan, persamaan gender, persamaan antar
generasi dan pertumbuhan ekonomi yang merata.
Pendapat lain bahwa Friedmann (dalam Kartasasmita, 1996:145)
alternatif pembangunan pada intinya memberi tekanan pada otonomi
pengambilan keputusan dari suatu kelompok masyarakat yang
berlandaskan pada sumber daya pribadi, langsung (melalui partisipasi),
demokratis dan pembelajaran sosial melalui pengalaman langsung.”
Berkaitan dengan upaya pemberdayaan yang meningkatkan
kemampuan masyarakat, Kartasasmita (1996:141) mengatakan sebagai
berikut :
Memberdayakan masyarakat berarti meningkatkan kemampuan
masyarakat dengan cara mengembangkan dan mendinamisasikan
potensi-potensi masyarakat dalam rangka meningkatkan harkat dan
martabat seluruh lapisan masyarakat dengan menciptakan iklim
yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang.
Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota
masyarakat tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan
nilai-nilai budaya modern seperti kerja keras, hemat, keterbukaan,
tanggung jawab adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan.
Pemberdayaan berkaitan dengan pembangunan desa memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya dan
memahami problematika yang terjadi, sebagaimana dinyatakan Abe
(2001:58) yakni : ”Perencanaan dengan pendekatan baru, terutama yang
memungkinkan rakyat ambil bagian dan secara prinsip hendak berangkat
diperkuat, agar dari sana rakyat mempunyai media untuk meningkatkan
keberdayaannya.”
Penjelasan diatas menunjukkan bahwa pemberdayaan masyarakat
dalam pembangunan bertujuan supaya masyarakat memahami manfaat
dan peranannya dalam program pembangunan serta mampu merumuskan
kebutuhan dengan potensi sumber daya yang dimiliki, mampu
menentukan prioritas masalah yang akan dipecahkan sesuai dengan
kebutuhan dan potensi yang dimiliki serta mampu menyusun rencana
kegiatan untuk menangani atau menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Pemberdayaan merupakan proses yang disengaja dan terus-menerus,
benar-benar direncanakan dan memiliki tujuan yaitu agar mereka yang
diberdayakan memiliki akses untuk mendapatkan dan mengontrol
sumber-sumber yang ada sehingga mereka mempunyai pengaruh
terhadap proses dan hasil pembangunan.
Berdasarkan tinjauan pustaka pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan
serta fokus kajian Program Bantuan Pembangunan Nagori Kelurahan (BPNK),
sebagai berikut :
Desain Program BPN/K
Mekanisme Pembangunan
Kondisi Masyarakat dan Birokrat
Pembangunan yang sesuai dengan Kebutuhan masyarakat
Keterlibatan Masyarakat Desa (Nagori)
Gambar 2.2
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif yang mempelajari masalah-masalah dalam
masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi
tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap dan
pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan
pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.
Nazir (1988:63) mengemukakan pengertian metode deskriptif sebagai
berikut:
Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.
Untuk memperoleh informasi yang lebih detail mengenai gejala sosial yang
terjadi digunakan pendekatan kualitatif. Alasannya karena metode kualitatif
sebagaimana disebut Bogdan dan Taylor yang dikutip oleh Moleong (2001:3),
yaitu :
dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu kesutuhan.
Menurut Kirk dan Miller (dalam Moleong, 2001:3) menyebutkan bahwa
penelitian kualitatif adalah sebagai berikut: “Tradisi tertentu dalam ilmu
pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada
manus