KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat tersusun laporan “Rencana Aksi Pengembangan Konsep Smart Growth di Kawasan Inti Teknopolis Gedebage” yang merupakan laporan akhir dari Studio Tata Kelola Perkotaan, tahun 2015. Laporan ini berisi terkait kajian analisis manfaat konsep smart growth dan strategi penerapan konsep smart growth ditinjau dalam aspek kelembagaan, pembiayaan serta kebijakan. Sehingga luaran dari laporan ini berisi tahapan pelaksanaan untuk menunjang penerapan konsep smart growth di Kawasan Inti Teknopolis, Gedebage. Dalam proses penyusunan Laporan Studio Tata Kelola Perkotaan tahun 2015 mendapat arahan dan bantuan dari beberapa pihak terkait. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada:
1. Bapak Wilmar A. Salim, ST., M.Reg.Dev, Dr., Selaku ketua Program Studi Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, SAPPK ITB
2. Bapak Suhirman, Drs, SH, MT., Dr dan Ibu Puspita Dirgahayani, ST, M.Eng, Dr,Eng selaku dosen mata kuliah Studio Tata Kelola Perkotaan Tahun 2015 yang telah memberikan banyak bimbingan dan saran terhadap proses penyusunan laporan.
3. Tizar Muhammad Kautsar Bijaksana ST., MT., selaku asisten mata kuliah Studio Tata Kelola Perkotaan Tahun 2015 yang telah memberikan masukan dan membimbing kami dalam proses penyusunan laporan.
4. Pemerintah Kota Bandung yang telah membantu dalam pengumpulan data dan pemberian informasi terkait penyusunan laporan.
5. Kepada masyarakat dan buruh tani di Kelurahan Cimincrang dan Cisaranten Kidul yang telah memberikan bantuan dan memberikan informasi.
6. Seluruh Staf Tata Usaha Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, SAPPK-ITB yang telah banyak memberikan bantuan dalam proses pelaksanaan studio
7. Seluruh tim ahli (dosen), Dewan Smart City, perwakilan instansi dan perusahaan-perusahaan, serta berbagai informan terkait yang telah bersedia memberikan pendapat dan informasi yang dibutuhkan
8. Serta semua pihak-pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga laporan “Rencana Aksi Pengembangan Konsep Smart Growth di Kawasan Inti Teknopolis, Gedebage” ini dapat memeberikan manfaat bagi pembaca sekaligus dapat menjadi bahan acuan untuk penelitian lebih lanjut.
Bandung, 21 Mei 2015
DAFTAR ISI
II.1.3. SMART GROWTH MANAGEMENT ... 22
II.1.4. PEMBIAYAAN PUBLIK ... 33
II.1.5. PENGUASAAN LAHAN... 39
II.2. REGULASI DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN ... 42
II.2.1. PERTANAHAN ... 43
II.2.2. SISTEM JARINGAN YANG TERINTEGRASI ... 44
II.2.3. ZONA LINDUNG ... 52
II.2.4. HUNIAN BERIMBANG ... 53
II.2.5. PEMBIAYAAN PUBLIK ... 53
II.2.6. KELEMBAGAAN ... 57
II.2.7. PERIZINAN ... 65
II.2.8. PEDOMAN PENYUSUNAN KEBIJAKAN ... 75
BAB III RENCANA PENGEMBANGAN KAWASAN GEDEBAGE ... 80
III.1. ARAHAN KEBIJAKAN KAWASAN TEKNOPOLIS GEDEBAGE ... 80
III.1.1. RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL (PERATURAN PEMERINTAH NO.26 TAHUN 2008) ... 80
III.1.2. RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI JAWA BARAT (PERATURAN DAERAH NO.22 TAHUN 2010)... 81
III.1.3. RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA BANDUNG (PERATURAN DAERAH NO.18 TAHUN 2011) ... 82
III.1.4. RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KOTA BANDUNG ... 88
III.1.5. RANCANGAN RENCANA DETAIL TATA RUANG SWK GEDEBAGE (SEPTEMBER 2014) . 89 III.1.6. KAJIAN PENYUSUNAN PERENCANAAN PENGEMBANGAN KAWASAN TEKNOPOLIS GEDEBAGE ... 94
III.2. SINTESIS KONSEP SMART GROWTH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN TEKNOPOLIS GEDEBAGE ... 106
III.2.1. KONSEP SISTEM JARINGAN YANG TERINTEGRASI ... 107
III.2.2. KONSEP ZONA LINDUNG ... 117
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ... 122
IV.1. JENIS PENELITIAN ... 122
IV.2. METODE PENGUMPULAN DATA ... 123
IV.2.1. PENGUMPULAN DATA PRIMER ... 123
IV.2.2. PENGUMPULAN DATA SEKUNDER ... 124
IV.3. TEKNIK ANALISIS DATA ... 126
BAB V GAMBARAN UMUM KAWASAN ... 132
V.1. KARAKTERISTIK KOTA BANDUNG ... 132
V.1.1. GEOGRAFIS ... 132
V.1.2. IKLIM ... 133
V.1.3. KEPENDUDUKAN ... 133
V.1.4. PEREKONOMIAN ... 134
V.1.5. GUNA LAHAN ... 134
V.1.6. SEBARAN FASILITAS RITEL ... 136
V.1.7. SARANA TRANSPORTASI ... 137
V.2. KARAKTERISTIK KECAMATAN GEDEBAGE ... 137
V.2.1. GEOGRAFIS ... 137
V.2.2. KEPENDUDUKAN ... 139
V.2.3. PEREKONOMIAN ... 140
V.2.4. GUNA LAHAN ... 140
V.2.5. SARANA DAN PRASARANA ... 141
V.3. KARAKTERISTIK KELURAHAN CISARANTEN KIDUL ... 142
V.3.1. GEOGRAFIS ... 142
V.3.2. KEPENDUDUKAN ... 143
V.3.3. PEREKONOMIAN ... 145
V.3.4. SARANA DAN PRASARANA ... 147
V.4. KARAKTERISTIK KELURAHAN CIMINCRANG ... 149
V.4.1. GEOGRAFIS ... 149
V.4.2. KEPENDUDUKAN ... 150
V.4.3. PEREKONOMIAN ... 152
V.4.4. SARANA DAN PRASARANA ... 155
V.4.5. LEMBAGA KEMASYARAKATAN ... 158
BAB VI FAKTA DAN ANALISIS ... 160
VI.1. SISTEM JARINGAN YANG TERINTEGRASI ... 160
VI.1.1. JARINGAN JALAN ... 160
VI.1.2. JARINGAN AIR BERSIH ... 165
VI.1.3. JARINGAN DRAINASE ... 169
VI.1.4. JARINGAN PEDESTRIAN ... 171
VI.1.5. JARINGAN TELEKOMUNIKASI ... 173
VI.1.6. PERSAMPAHAN ... 174
VI.1.7. JARINGAN AIR LIMBAH... 177
VI.2. ZONA LINDUNG ... 177
VII.2.1. RUANG TERBUKA HIJAU ... 178
VII.2.2. RETENTION POND ... 179
VI.3. HUNIAN BERIMBANG ... 180
VI.3.1. HOUSING VARIETY... 180
VI.3.2. GUNA LAHAN CAMPURAN (MIXED LAND USE) ... 184
VI.3.3. COMPACT BUILDING ... 186
VI.4. PEMBIAYAAN... 187
VI.4.1. ANGGARAN PENDAPATAN ... 188
VI.4.2. ANGGARAN BELANJA ... 191
VI.5. KELEMBAGAAN ... 195
VI.5.2. DALAM PERWUJUDAN ZONA LINDUNG ... 195
VI.5.3. DALAM PERWUJUDAN KAWASAN BERKEPADATAN TINGGI ... 196
VI.5.4. DALAM PENGELOLAAN KAWASAN TEKNOPOLIS GEDEBAGE ... 196
VI.6. ANALISIS KEBIJAKAN KEPENTINGAN PUBLIK ... 201
VI.6.1. ALIH FUNGSI LAHAN ... 201
VI.6.2. ALIH PROFESI ... 203
VI.6.3. ZONA LINDUNG ... 204
VI.7. DAMPAK PENGEMBANGAN TEKNOPOLIS TERHADAP MASYARAKAT ... 206
VI.8. DAMPAK PENGEMBANGAN TEKNOPOLIS TERHADAP PETANI ... 206
BAB VII RENCANA AKSI ... 211
VII.1. PERUMUSAN VISI DAN MISI KAWASAN INTI TEKNOPOLIS GEDEBAGE ... 211
VII.2. LOGICAL FRAMEWORK APPROACH (LFA) DALAM PENCAPAIAN VISI DAN MISI ... 211
VII.2.1 PERUMUSAN STRATEGI PENCAPAIAN MISI PERWUJUDAN KETERSEDIAAN SISTEM JARINGAN INFRASTRUKTUR YANG TERINTEGRASI... 212
VII.2.2 PERUMUSAN STATEGI PENCAPAIAN MISI PENINGKATAN KUALITAS LINGKUNGAN MELALUI PENYEDIAAN RTH DAN RETENTION POND ... 217
VII.2.3 PERUMUSAN STATEGI PENCAPAIAN DENGAN MELIBATKAN BERBAGAI PIHAK UNTUK MENUNJANG KONSEP KAWASAN INTI TEKNOPOLIS SEBAGAI KONSEP SMART GROWTH ... 219
VII.3. INDIKASI PROGRAM ... 221
BAB VIIIKESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 226
VIII.1. KESIMPULAN ... 226
VIII.2. REKOMENDASI ... 227
DAFTAR TABEL
Tabel I.1. Rencana Pengembangan Teknopolis Gedebage ... .2
Tabel II.1. Penjelasan Tahapan LFA ... 15
Tabel II.2. Konsep dan Tahap Pembangunan Science Park ... 19
Tabel II.3. Peraturan Pelaksanaan KPS di Indonesia ... 355
Tabel II.4. Baku Mutu Air Limbah ... 47
Tabel II.5. Jumlah Pelanggan per Jenis Pelanggan ... 51
Tabel II.6. Daya Tersambung per Kelompok Pelanggan (MVA) ... 51
Tabel II.7. Daya Tersambung per Jenis Tegangan (MVA) ... 52
Tabel II.8. Daftar Tunggu Permintaan Listrik Baru ... 52
Tabel III.1. Indikasi Program RTRW Kota Bandung ... 84
Tabel III.2. Ketentuan Intensitas Kawasan Teknopolis ... 92
Tabel III.3. Kebijakan Insentif dan Disinsentif Pembangunan Kawasan Baru ... 97
Tabel III.4. Konversi Nomenklatur Teknopolis ... 103
Tabel III.5. Kesiapan dan Konsekunsi dalam Pengembangan Konsep Teknopolis ... 104
Tabel III.6. Stakeholders Mapping Pengembangan Kawasan Teknopolis Gedebage ... 105
Tabel IV.1. Daftar Narasumber Wawancara Kepada Instansi Pemerintah Kota Bandung ... 123
Tabel IV.2. Daftar Narasumber Wawancara Kepada Perusahaan (Pelaku Bisnis)... 124
Tabel IV.3. Daftar Narasumber Wawancara Kepada Tenaga Ahli ... 124
Tabel IV.4. Penjelasan Tahapan LFA ... 130
Tabel V.1. Perkembangan Penduduk Kota Bandung Tahun 1995-2005 ... 133
Tabel V.2. Penggunaan Lahan di Kota Bandung Tahun 2003 (Ha) ... 136
Tabel V.3. Persentase Sebaran Riset Modern per Wilayah Pengembangan Tahun 2007 ... 136
Tabel V.4. Perkembangan Ritel Modern di Kota Bandung ... 137
Tabel V.5. Luas Wilayah Per Kelurahan di Kecamatan Gedebage Tahun 2012 ... 138
Tabel V.6. Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kecamatan Gedebage Tahun 2012 .. 139
Tabel V.7. Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin Kecamatan Gedebage Tahun 2012 ... 139
Tabel V.8. Jumlah Penduduk menurut Mata Pencaharian Kecamatan Gedebage Tahun 2012 ... 140
Tabel V.9. Jumlah Industri Kecamatan Gedebage Tahun 2012 ... 140
Tabel V.10. Jumlah Pasar Tradisional dan Pasar Modern Kecamatan Gedebage Tahun 2012 ... 140
Tabel V.11. Penggunaan Lahan di Kecamatan Gedebage Tahun 2013 ... 141
Tabel V.12. Jumlah Sarana Pendidikan Kecamatan Gedebage Tahun 2012 ... 141
Tabel V.13. Jumlah Sarana Kesehatan Kecamatan Gedebage Tahun 2012 ... 141
Tabel V.14. Jumlah Sarana Pelayanan Kesehatan Kecamatan Gedebage Tahun 2012 ... 141
Tabel V.15. Jumlah Sarana Peribadatan Kecamatan Gedebage Tahun 2012... 142
Tabel V.16. Jumlah Sarana Olahraga Kecamatan Gedebage Tahun 2012 ... 142
Tabel V.17. Jumlah Sarana Komunikasi Kecamatan Gedebage Tahun 2012 ... 142
Tabel V.18. Penggunaan Lahan Kelurahan Cisaranten Kidul Tahun 2013 ... 143
Tabel V.19. Jumlah Penduduk Kelurahan Cisaranten Kidul ... 144
Tabel V.20. Jumlah Penduduk Kelurahan Cisaranten Kidul ... 145
Tabel V.21. Jumlah Penduduk Kelurahan Cisaranten Kidul ... 146
Tabel V.22. Jenis Kegiatan Ekonomi di Kelurahan Cisaranten Kidul... 147
Tabel V.23. Jenis dan Jumlah Rumah di Kelurahan Cisaranten Kidul ... 147
Tabel V.24. Jenis dan Jumlah Sarana Pendidikan di Kelurahan Cisaranten Kidul ... 148
Tabel V.25. Jenis dan Jumlah Sarana Kesehatan di Kelurahan Cisaranten Kidul ... 148
Tabel V.26. Jenis dan Jumlah Sarana Peribadatan di Kelurahan Cisaranten Kidul ... 149
Tabel V.27. Jenis dan Jumlah Sarana Olahraga di Kelurahan Cisaranten Kidul ... 149
Tabel V.29. Jumlah Penduduk Kelurahan Cimincrang Berdasarkan Kepercayaan ... 151
Tabel V.30. Jumlah Penduduk Berdasarkan Subsektor Ekonomi di Kelurahan Cimincrang... 152
Tabel V.31. Jumlah Penduduk yang Bekerja Pada Subsektor... 153
Tabel V.32. Jumlah Penduduk yang Bekerja Pada Subsektor Peternakan di Kelurahan Cimincrang 153 Tabel V.33. Jumlah Penduduk Pada Subsektor Industri Kecil/ Kerajinan di Kelurahan Cimincrang . 153 Tabel V.34. Jumlah Penduduk yang Bekerja Pada Subsektor Jasa di Kelurahan Cimincrang ... 154
Tabel V.35. Jumlah Fasilitas Pelayanan Kesehatan Kelurahan Cimincrang ... 155
Tabel V.36. Jumlah Tenaga Kesehatan Tahun 2013 di Kelurahan Cimincrang ... 155
Tabel V.37. Jumlah Tenaga Penyuluh Kesehatan Masyarakat (PKM) di Kelurahan Cimincrang ... 156
Tabel V.38. Fasilitas Pendidikan di Kelurahan Cimincrang ... 156
Tabel V.39. Status Pendidikan Angkatan Kerja di Kelurahan Cimincrang ... 156
Tabel V.40. Jumlah Sarana Peribadatan di Kelurahan Cimincrang... 157
Tabel V.41. Jumlah Pendidikan Keagamaan di Kelurahan Cimincrang ... 157
Tabel V.42. Jumlah Prasarana Olahraga di Kelurahan Cimincrang ... 157
Tabel V.43. Lembaga Kemasyarakatan di Kelurahan Cimincrang Tahun 2013 ... 158
Tabel V.44. Jumlah Kelompok Kegiatan Olahraga di Kelurahan Cimincrang ... 159
Tabel V.45. Seni Budaya untuk Menunjang Kepariwisataan di Kelurahan Cimincrang ... 159
Tabel VI.1. Sumber Air Masyarakat ... 166
Tabel VI.2. Rencana Kebutuhan Air Baku ... 166
Tabel VI.3. Tarif Distribusi Air PDAM ... 168
Tabel VI.4. Timbulan Sampah Berdasarkan Kegiatan (m3/hari) SWK Gedebage ... 175
Tabel VI.5. Komposisi Timbunan Sampah SWK Gedebage... 175
Tabel VI.6. Alternatif Efisiensi Daur Ulang Sampah dan Potensi Pendapatannya ... 176
Tabel VI.7. Sumber Keuangan Pemerintah Kota Bandung ... 187
Tabel VI.8. Sumber Pendapatan Kota Bandung Tahun 2012-2014 ... 190
Tabel VI.9. Belanja Daerah Kota Bandung Tahun 2012-2014 ... 193
Tabel VI.10. Pembiayaan dan SILPA Kota Bandung tahun 2012-2014 ... 194
Tabel VI.11. Skema Kelembagaan dan Pembiayaan Dalam Perwujudan Konsep Smart Growth ... 197
Tabel VI.12. Pekerjaan Sampingan Petani Informan ... 210
Tabel VII.1. Perumusan Rencana Pengembangan Sistem Jaringan yang Terintegrasi dengan Pendekatan Konsep Smart Growthdi Kawasan Inti Teknopolis Gedebage………… ... 213
Tabel VII.2. Perumusan Rencana Pengembangan Konsep Smart Growth dalam Peningkatan Kualitas LingkungandiKawasan Inti Teknopolis Gedebage... 218
Tabel VII.3. Perumusan Rencana Perwujudan Fungsi Kawasan Guna Menunjang Konsep Smart Growth diKawasan Inti Teknopolis Gedebage ... 220
DAFTAR GAMBAR
Gambar I.1. Konsep Teknopolis Gedebage ... 3
Gambar I.2. Peta Orientasi Kecamatan Gedebage Terhadap Kota Bandung ... 5
Gambar I.3. Peta Fokus Wilayah Studi ... 6
Gambar II.1. Proses Pengambilan Keputusan Strategis ... 13
Gambar II.2. Kuadran Posisi SWOT ... 14
Gambar II.3. Diagram Tahapan LFA ... 15
Gambar II.4. Surrey Research Park, Inggris... 20
Gambar II.5. Dortmund Technology Park, Jerman ... 20
Gambar II.6. Science Park: Inisiatif Berbasis Properti ... 20
Gambar II.7. Teknopolis / Science City : Pengembangan Kota ... 21
Gambar II.8. Tsukuba Science City, Jepang ... 21
Gambar II.9. Sophia Antipolis, Perancis ... 21
Gambar II.10. Kluster Inovasi: Kerangka Institusi ... 22
Gambar II.11. Skema Kelembagaan dalam Public Private Partnership ... 34
Gambar II.12. Skema Pajak untuk Property ... 37
Gambar II.13. Fokus Pengembangan Kawasan Strategis ... 63
Gambar II.14. Kerangka Hukum Prosedur Perencanaan dan Penganggaran ... 63
Gambar II.15. Mekanisme Insentif Non Fiskal Berupa Pengadaan Sarana dan Prasarana... 64
Gambar II.16. Rancangan Kelembagaan Perkotaan di Tingkat Pusat–Kawasan ... 65
Gambar II.17. Kedudukan RDTR Kota / Kabupaten ... 76
Gambar II.18. Kedudukan RTBL dalam Pengendalian Bangunan Gedung dan Lingkungan ... 78
Gambar III.1. Rencana Pola Ruang Gedebage ... 91
Gambar III.2. Peta Rencana Jaringan Jalan SWK Gedebage ... 93
Gambar III.3. Peta Rencana Hirarki Jalan Bandung Teknopolis ... 94
Gambar III.4. Deliniasi Kawasan Teknopolis Dalam Rancangan RDTR SWK Gedebage ... 95
Gambar III.5. Rencana Pola Ruang Kawasan Inti Teknopolis Gedebage ... 96
Gambar III.6. Rencana Ketentuan Lantai Bangunan ... 99
Gambar III.7. Rencana Ketentuan Koefisien Lantai Bangunan (KLB) ... 99
Gambar III.8. Tahapan Pengembangan Kawasan Teknopolis Gedebage berdasarkan Tujuannya. 101 Gambar III.9. Tahap 1 Pembangunan Sarana Prasarana Kawasan Teknopolis Gedebage ... 101
Gambar III.10. Tahap 2 Pembangunan Sarana Prasarana Kawasan Teknopolis Gedebage ... 102
Gambar III.11. Tahap 3 Pembangunan Sarana Prasarana Kawasan Teknopolis Gedebage ... 103
Gambar III.12. Konsep Institusi Kawasan Teknopolis ... 104
Gambar III.13. Konsep Jaringan Jalan ... 108
Gambar III.14. Jaringan Jalan Berdasarkan RDTR ... 109
Gambar III.15. Jaringan Jalan Menurut AECOM ... 109
Gambar III.16. Jalur Sepeda dan Pejalan kaki ... 110
Gambar III.17. Sistem Jaringan Air Baku ... 111
Gambar III.18. Konfigurasi Umum Unit Pengelolaan berdasarkan Sumber Air ... 112
Gambar III.19. Drainase Pada Sempadan Jalan yang Lebih Sempit ... 113
Gambar III.20. Drainase Pada Sempadan Jalan yang Lebih Lebar ... 114
Gambar III.21. Parkir Air Pada Ujung Saluran Drainase ... 114
Gambar III.22. Sistem Persampahan pada Suatu Kawasan Berwawasan Lingkungan ... 115
Gambar III.23. Jaringan Kelistrikan ... 117
Gambar III.24. Rencana Tata Bangunan Pusat Pemerintahan Kawasan Teknopolis Gedebage ... 121
Gambar III.25. Panduan Blok Bangunan Mix-Used Kawasan Teknopolis Gedebage ... 12121
Gambar IV.1. Kerangka Metodologi Penelitian ... 127
Gambar V.1. Peta Wilayah Kecamatan Gedebage ... 138
Gambar V.2. Persentase Penggunaan Lahan di Kelurahan Cisaranten Kidul ... 143
Gambar V.3. Persentase Jumlah Laki-Laki Dan Perempuan Berdasarkan Usia di Kelurahan Cisaranten Kidul ... 144
Gambar V.4. Persentase Jumlah Penduduk Laki-laki dan Perempuan Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kelurahan Cisaranten Kidul ... 145
Gambar V.5. Persentase Jumlah Penduduk Laki-laki dan Perempuan Berdasarkan Mata Pencaharian di Kelurahan Cisaranten Kidul ... 146
Gambar V.6. Jumlah Penduduk Kelurahan Cimincrang Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 151
Gambar V.7. Penduduk Kelurahan Cimincrang Menurut Mata Pencaharian ... 152
Gambar VI.1. Rencana Pembangunan Jalan Pada Kawasan Inti Teknopolis Gedebage ... 162
Gambar VI.2. Kondisi Eksisting Jalan yang Direncanakan Sebagai Jalur Keluar Jalan Tol KM 149 .. 162
Gambar VI.3. Kondisi Jalan Eksisting di Kawasan Inti Teknopolis Gedebage ... 163
Gambar VI.4. Rencana Jaringan Jalan RDTR dan Rencana Hirarki Jalan Bandung Teknopolis ... 165
Gambar VI.5. Diagram Ketidakmampuan Penyediaan Air Baku Oleh PDAM Kota Bandung ... 167
Gambar VI.6. Rumusan Permasalahan Pada Penyediaan Air Baku ... 169
Gambar VI.7. Kondisi Saluran Air Eksisting Perbatasan ... 170
Gambar VI.8. Kondisi Saluran Air Eksisting Kawasan Inti Teknopolis Gedebage ... 170
Gambar VI.9. Pedestrian Jalan Lingkungan ... 172
Gambar VI.10. Pedestrian Jogging Track ... 172
Gambar VI.11. Pedestrian Jalan Arteri di Summarecon Bekasi ... 172
Gambar VI.12. Ilustrasi Kawasan Summarecon Gading Serpong, Tangerang ... 181
Gambar VI.13. Ilustrasi Kawasan Summarecon Bekasi ... 181
Gambar VI.14. Ilustrasi Landed Houses Summarecon Gading Serpong, Tangerang ... 182
Gambar VI.15. Ilustrasi Landed Houses Summarecon Bekasi ... 182
Gambar VI.16. Rencana Tapak Summarecon Bekasi ... 185
Gambar VI.17. Desain Kawasan Inti Teknopolis Gedebage ... 186
Gambar VI.18. Panduan Blok Bangunan Mix-Used Kawasan Teknopolis Gedebage ... 187
Gambar VI.19. Persentase Sumber Pendapatan Kota Bandung ... 190
Gambar VI.20. Sumber Keuangan Pemerintah Kota Bandung ... 191
Gambar VI.21. Persentase Pengeluaran Belanja Kota Bandung ... 192
Gambar VI.22. Belanja Langsung Pemerintah Kota Bandung ... 193
Gambar VI.23. Belanja Tidak Langsung Pemerintah Kota Bandung ... 194
Gambar VI.24. Peningkatan Jumlah RTH ... 205
Gambar VI.25. Perbandingan Jumlah RTH ... 205
Gambar VI.26. Diagram Tanggapan Masyarakat Setempat Terkait Persepsi ... 206
Gambar VI.27. Presentase Tingkat Pendidikan Petani Responden ... 207
Gambar VI.28. Presentase Usia Petani ... 208
Gambar VI.29. Presentase Jumlah Tanggungan Petani ... 208
Gambar VI.30. Grafik Pendapatan Petani ... 209
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang penyusunan dokumen Rencana Aksi Pengembangan Konsep Smart Growth di Kawasan Inti Teknopolis Gedebage, rumusan masalah yang ingin dijawab, tujuan serta sasaran penyusunan dokumen, luaran yang diharapkan, serta ruang lingkup yang terbagi atas wilayah dan materi. Pembahasan ini berfungsi sebagai pengantar untuk menjelaskan garis besar isi dokumen rencana aksi ini serta sebagai acuan dalam merumuskan kesimpulan dan rekomendasi pada Bab VIII.
I.1. LATAR BELAKANG
Meningkatnya pertumbuhan jumlah penduduk yang pesat dalam beberapa dekade terakhir memberi pengaruh pertumbuhan wilayah yang signifikan. Indonesia sendiri, berdasarkan data PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) tahun 2012 menunjukan tingkat pertumbuhan kota yang meningkatan pesat, sebaliknya pertumbuhan di daerah menunjukan penurunan. Pertumbuhan perkotaan yang tidak terkendali ini memerlukan strategi pengelolaan pertumbuhan kota yang strategis atau disebut “Urban Growth Management Strategies”. Tujuannya adalah menyeimbangkan antara perkembangan kota dengan kemampuan lingkungan perkotaan untuk dapat mencapai keberlanjutan.
Kota Bandung sebagai salah satu kota metropolitan di Indonesia turut menunjukan pertumbuhan kota yang sangat pesat. Pertumbuhan ini terlihat pada tingginya jumlah penduduk dan lahan permukiman. Berdasarkan UU No.18 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung 2011-2031, luas lahan yang diperuntukan untuk perumahan pada tahun 2031 disiapkan untuk menampung ±4.093.322 jiwa. Sementara pada tahun 2000, luas lahan permukiman sudah mencapai 8.866,715 ha atau sekitar 53% dari luas lahan keseluruhan dan telah menampung 2.136.260 jiwa. Kondisi inilah yang mendorong pemerintah kota Bandung mengatasi pertumbuhan kota (growing city) melalui pelimpahan beban kawasan. Dalam RTRW Kota Bandung tahun 2011-2031, disebutkan bahwa akan dibentuk sebuah sistem Pusat Pelayanan Kota (PPK) primer baru yaitu PPK Gedebage. PPK Alun-alun yang sebelumnya merupakan pusat primer tunggal yang melayani kegiatan pusat Kota Bandung secara keseluruhan, kini dijadikan sebagai pusat kota Wilayah Bandung Barat dan nantinya akan dijadikan sebagai pusat seni, budaya, dan jasa. Sedangkan PPK Gedebage sebagai pusat kota Wilayah Bandung Timursebagai kota baru akan dijadikan sebagai kota pemerintahan. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandung No.3 Tahun 2014 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2013-2018, pengembangan Pusat Primer Gedebage juga merupakan upaya untuk mengurangi ketergantungan yang sangat tinggi terhadap inti Pusat Kota Alun-Alun. Pemindahan pusat pemerintahan merupakan rencana dalam pengembangan Teknopolis Gedebage yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan bagi masyarakat, sebagai fungsi utama pemerintah.
sebelumnya berada pada Wilayah Bandung Barat yang diwakili oleh PPK Alun-alun akan dipindahkan ke Wilayah Bandung Timur yaitu PPK Gedebage. Dengan adanya kebijakan tersebut, diharapkan orientasi pergerakan penduduk dapat disebar dan dapat mengurangi beban lalu lintas di kawasan pusat kota. Pemindahan pusat pemerintahan merupakan rencana dalam pengembangan Teknopolis Gedebage yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan bagi masyarakat, sebagai fungsi utama pemerintah. Adapun tahapan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
Tabel I.1. Rencana Pengembangan Teknopolis Gedebage
No. Kegiatan 2014 2015 2016 2017 2018
1 Kajian/Studi Kelayakan X 2 Perda RDTRK X
3 Pengadaan Lahan X X 4 Perencanaan Teknis (DED) X X
5 Revisi Perda RTRW X
6 Perijinan X
7 Kajian Lingkungan (Amdal) X
8 Pematangan Lahan X
9 Pembangunan/Kontruksi X X
10 Operasional X
Sumber: Peraturan Daerah Kota Bandung No.3 Tahun 2014 tentang RPJMD 2013-2018
Sedangkan beberapa komponen kegiatan yang akan dilaksanakan dalam pembangunan Kawasan Pusat Pelayanan Kota (PPK) Gedebage dengan tema Bandung Teknopolis berdasarkan RPJMD Kota Bandung tahun 2013-2018 antara lain:
1. Pengadaan Lahan - Pusat Pemerintahan - Jalan Tol Gedebage - Infrastruktur - Kolam Retensi
- Sisa Pengembangan Lahan SUS Gedebage - RTH
2. Kontruksi/Pembangunan - Kawasan Ekonomi Khusus - Pusat Pemerintahan - Jalan Tol Gedebage - Terminal Terpadu - Infrastruktur Dasar - Kolam Retensi
Rencana pengembangan kawasan Teknopolis Gedebage merupakan gagasan yang mengadopsi
urban growth management strategies yang telah berhasil dilakukan di beberapa negara. Konsep Bandung Teknopolis sendiri mengadopsi tiga sub-tema desain perkotaan (Aecom, 2015) yaitu
Gambar I.1. Konsep Teknopolis Gedebage Sumber: Aecom, 2015
Namun demikian, adopsi gagasan ketiganya untuk dapat diterapkan di Indonesia merupakan hal yang masih relatif baru, sehingga diperlukan pengkajian yang komprehensif mengenai studi kelayakan (feasibility study) rencana pengembangan tersebut. Selain itu, diperlukan pula analisis mendalam mengenai keterandalan rencana pengembangan tersebut dalam menawab masalah pertumbuhan Kota Bandung yang tidak terkendali.
I.2. RUMUSAN MASALAH
Perkembangan PPK Alun-Alun Kota Bandung melatarbelakangi pemerintah untuk membuat kebijakan yang akan mendorong pemerataan kegiatan. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandung No.3 Tahun 2014 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2013-2018, pengembangan Pusat Primer Gedebage juga merupakan upaya untuk mengurangi ketergantungan yang sangat tinggi terhadap inti pusat Kota Alun-alun. Pemindahan pusat pemerintahan merupakan rencana dalam pengembangan Teknopolis Gedebage yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan bagi masyarakat, sebagai fungsi utama pemerintah. Dalam rencana pembangunan Kawasan Teknopolis Gedebage dibutuhkan upaya untuk mengatur dan mengarahkan pihak terkait dalam mewujudkan kawasan inti Teknopolis Gedebage sesuai fungsi yang telah ditetapkan yaitu kawasan yang berfungsi untuk mengatasi permasalahan urban sprawl. Dengan demikian, maka pembangunan Kawasan Teknopolis Gedebage dapat mengadopsi konsep
I.3. TUJUAN DAN SASARAN
Tujuan dari kajian ini adalah menyusun rencana aksi untuk mengimplementasikan konsep smart growth pada Kawasan Inti Teknopolis Gedebage. Sasaran yang diharapkan dalam penyusunan kajian pembangunan kawasan Teknopolis Gedebage adalah :
a. Mengidentifikasi permasalahan, tantangan, potensi, dan peluang konsep Smart Growth pada Kawasan Inti Teknopolis Gedebage
b. Mengidentifikasi tugas pokok, fungsi, struktur, dan kesiapan stakeholder pada pengembangan konsep Smart Growth pada Kawasan Inti Teknopolis Gedebage
c. Menyusun prioritas isu-isu strategis kelembagaan, kebijakan, dan pembiayaan dalam rangka mengimplementasikan konsep Smart Growth pada Kawasan Inti Teknopolis Gedebage
d. Menyusun program-program dan tahapan prioritas pembangunan konsep Smart Growth
berdasarkan kelembagaan, kebijakan, dan pembiayaan pada Kawasan Inti Teknopolis Gedebage
I.4. LUARAN
Luaran yang diharapkan dari penyusunan dokumen rencana ini adalah:
1. Kajian isu-isu stragis terhadap rencana pembangunan kawasan Teknopolis Gedebage bedasarkan hasil kajian dokumen perencanaan, peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku baik tingkat nasional, provinsi, maupun daerah, peraturan menteri terkait, serta peraturan atau dokumen kajian lainnya
2. Rumusan rencana aksi untuk mengimplementasikan konsep smart growth pada Kawasan Inti Teknopolis Gedebage, berdasarkan segi kelembagaan, kebijakan, dan pembiayaan.
I.5. RUANG LINGKUP
Secara spesifik, ruang lingkup kegiatan terdiri atas ruang lingkup wilayah dan ruang lingkup materi. Ruang lingkup wilayah memaparkan objek penelitian berdasarkan lokasi, deliniasi, luasan, dan karakteristik kawasan studi.Sedangkan ruang lingkup materi menjabarkan tentang implementasi konsep smart growth Kota Bandung berdasarkan perspektif kebijakan, kelembagaan, dan pembiayaan
I.5.1. RUANG LINGKUP WILAYAH
Gambar I.3. Peta Fokus Wilayah Studi Sumber: Hasil Analisis, 2015
I.5.2. RUANG LINGKUP MATERI Ruang lingkup materi mencakup:
Prinsip-prinsip smart growth yang akan mendukung pembangunan Teknopolis Gedebage
Kebijakan-kebijakan tingkat nasional, provinsi, dan kota yang mendukung implementasi konsep
Indikator-indikator dan kriteria penunjang keberhasilan rencana implementasi konsep smart growth Kota Bandung
Kajian kebijakan mengenai berbagai kepentingan publik (public interest) yang memeroleh eksternalitas dari pengembangan konsep smart growth kawasan
Kajian strategis pengembangan konsep smart growth kawasan berdasarkan perspektif kebijakan, kelembagaan, dan pembiayaan dalam bentuk rencana tindak, yang mencakup: - program-program
BAB II
KAJIAN TEORI DAN REGULASI
Bab ini berisi kajian teori umum mengenai metodologi penelitian yang selanjutnya dijabarkan pada Bab IV; konsep teknopolis secara umum; konsep smart growth management yang diterapkan di Amerika Serikat, teori pembiayaan publik, dan teori penguasaan lahan. Pada sub bab selanjutnya akan dibahas mengenai regulasi di Indonesia yang berkaitan dalam penerapan konsep smart growth, managemen lahan atau pertanahan, pembiayaan publik, kelembagaan, dan perizinan. Pada bagian terakhir akan dibahas pula mengenai pedoman penyusunan RTBL dan RDTR. Kajian empiris pada bab ini dipergunakan sebagai bahan pengetahuan dalam merumuskan rencana aksi,
II.1. KAJIAN TEORI
Pembahasan dalam sub-bab ini berkaitan dengan kajian teori dan kajian empiris mengenai metodelogi penelitian untuk merumuskan konsep teknopolis dan smart growth management. Kajian teori mengenai teknopolis berkaitan dengan tema kawasan Gedebage sebagai deliniasi kawasan studi. Sedangkan konsep smart growth merupakan konsep pengembangan Kawasan Inti Teknopolis Gedebage yang melayani pertumbuhan perekonomian, masyarakat, dan lingkungan. Smart growth merupakan suatu solusi bagi tantangan dan dampak pembangunan yang tersebar pesat dalam 50 tahun terakhir, melalui peningkatan kualitas hidup masyarakat perkotaan. Kajian teori ini nantinya akan menjadi bahan dalam menganalisis data pada Bab V.
II.1.1. METODOLOGI
Metodologi mengacu pada prinsip dan filosofi yang digunakan peneliti dalam prosedur serta strategi penelitian serta asumsi yang mereka gunakan tentang sifat penelitiannya (Basuki, 2005). Metodologi terdiri dari pemikiran yang mendasari pengumpulan data serta analisis. Metodologi ialah metodologi mengacu ke prinsip dan epistemologi yang didasarkan sebagai pijakan peneliti dalam prosedur dan strategi penelitiannya (Basuki, 2005).
A. PENGUMPULAN DATA
1. PENGUMPULAN DATA PRIMER
Sumber primer ini berupa catatan hasil wawancara yang diperoleh melalui wawancara yang dilakukan penulis. Selain itu, peneliti juga melakukan observasi lapangan dan mengumpulkan data dalam bentuk catatan tentang situasi dan kejadian di kawasan studi. Instrumen utama dalam pengumpulan data adalah peneliti. Metode pengumpulan data yang digunakan di lapangan adalah observasi (pengamatan) dan wawancara.
a. OBSERVASI (PENGAMATAN)
Menurut Prof. Parsudi Suparlan dalam (Patilima, 2004) ada delapan hal yang harus diperhatikan oleh peneliti dalam menggunakan metode pengamatan, yaitu :
1. Ruang atau tempat
Setiap kegiatan membutuhkan ruang dan tempat. Tugas dari peneliti adalah mengamati ruang atau tempat tersebut untuk dicatat atau digambar
2. Pelaku
Peneliti mengamati ciri-ciri pelaku yang ada di ruang atau tempat tersebut 3. Kegiatan
Pengamatan dilakukan pada pelaku-pelaku yang melakukan kegiatan-kegiatan di ruang, sehingga menciptakan interaksi antara pelaku yang satu dengan pelaku yang lain dalam ruang atau tempat
4. Benda-benda atau alat-alat
Peneliti mencatat semua benda atau alat yang digunakan oleh pelaku untuk berhubungan secara langsung atau tidak langsung dengan kegiatan pelaku
5. Waktu
Peneliti mencatat setiap tahapan-tahapan waktu dari sebuah kegiatan. Bila memungkinkan dibuatkan kronologi dari setiap kegiatan untuk mempermudah pengamatan selanjutnya.
6. Peristiwa
Peneliti mencatat peristiwa-peristiwa yang terjadi selama kegiatan pelaku 7. Tujuan
Peneliti mencatat tujuan dari setiap kegiatan yang ada 8. Perasaan
Peneliti juga perlu mencatat perubahan-perubahan yang terjadi pada setiap peserta atau pelaku kegiatan, baik dalam verbal maupun non verbal.
Ada 3 macam jenis metode pengamatan, yaitu (Patilima, 2004) : 1. Metode pengamatan biasa
2. Metode Pengamatan Terkendali
Para pelaku yang akan diamati, diseleksi dan dikondisikan pada ruangan atau tempat kegiatan pelaku diamati atau dikendalikan oleh peneliti. Biasanya banyak digunakan oleh mahasiswa kedokteran.
3. Metode Pengamatan Terlibat
Metode ini mengharuskan peneliti melibatkan diri dalam kehidupan masyarakat yang akan diteliti untuk melihat dan memahami gejala-gekjala yang ada sesuai dengan makna yang diberikan atau dipahami oleh para warga yang ditelitinya.
Keterlibatan peneliti dibedakan menjadi empat kelompok yaitu keterlibatan pasif, keterlibatan aktif, keterlibatan setengah-setengah dan keterlibatan penuh (Patilima, 2004). Metode pengamatan yang dilakukan di lapangan dalam bentuk keterlibatan pasif karena para peneliti tidak terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para pelaku yang diamatinya. Keterlibatan peneliti dalam bentuk keberadaan di arena kegiatan saja. Hal-hal yang harus diperhatikan oleh peneliti, tidak semuanya bisa dilakukan karena disesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan lapangan. Peneliti melakukan pengamatan awal dengan meninjau lokasi dimana lokasi buruh tani berada, kantor lurah, kantor kecamatan.
b. WAWANCARA
Wawancara adalah salah satu alat yang paling banyak digunakan dalam penelitian kualitatif. Wawancara memungkinkan peneliti mengumpulkan data yang beragam dari para informan dalam berbagai situasi dan konteks. Meskipun demikian wawancara perlu digunakan dengan hati-hati karena perlu ditriangulasi dengan data lainnya. Wawancara didefinisikan sebagai diskusi antara dua orang atau lebih dengan tujuan tertentu. Dalam wawancara peneliti dapat mengajukan pertanyaan mengenai fakta, kepercayaan dan perspektif seseorang terhadap suatu fakta, perasaan, perilaku saat ini dan masa lalu, standar normatif dan mengapa seseorang melakukan tidakan tertentu. Tipe wawancara terdiri dari tiga jenis, yaitu (Patilima, 2004):
1. Wawancara Terstruktur
Wawancara tipe ini menggunakan panduan wawancara dalam sebuah kuesioner (bahkan sudah ada pilihan jawabannya). Pencatat menjawab jawaban responden. Dalam menanyakan dan mencatat jawaban responden, pewawancara harus menggunakan nada suara yang sama dan mencatat dengan standar yang sama demi menghindari bias. Wawancara terstruktur biasanya tidak cocok untuk mengumpulkan data penelitian yang bersifat kualitatif.
2. Wawancara Tidak Terstruktur
dengan mengeksplorasi suatu topik umum bersama-sama dengan partisipan. Pewawancara bisa berimprovisasi seluas-luasnya, namun demikian pewawancara harus memiliki tujuan dan topik wawancara yang jelas sehingga isi wawancara tidak jauh menyimpang. Interaksi antara pewawancara dan partisipan bersifat bebas, sehingga isi wawancara terkadang sangat kaya akan detil dan mampu mengungkapkan informasi yang baru.
3. Wawancara Semi Terstruktur
Dalam tipe wawancara ini, pewawancara sudah menyiapkan panduan wawancara sebelum aktivitas wawancara dilakukan. Urutan pertanyaan dan pembahasan tidak harus sama seperti panduan, semua tergantung jalannya wawancara. Panduan yang telah disiapkan harus diikuti dengan pertanyaan tambahan untuk menggali lebih jauh jawaban partisipan.
2. PENGUMPULAN DATA SEKUNDER
Pengumpulan data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara yang diperoleh dan dicatat oleh pihak lain (Basuki, 2005). Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan atau laporan historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) yang dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan. Teknik pengumpulan data sekunder adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui studi bahan- bahan kepustakaan yang perlu untuk mendukung data primer. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan instrumen sebagai berikut :
a. Studi Kepustakaan yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari buku-buku, karya ilmiah, pendapat para ahli yang memiliki relevansi dengan masalah yang diteliti.
b. Studi Dokumentasi yaitu pengumpulan data yang diperoleh dengan menggunakan catatan-catatan tertulis yang ada dilokasi penelitian serta sumber-sumber lain yang menyangkut masalah yang diteliti dengan instansi terkait.
B. ANALISIS DATA
Analisis terhadap data yang diperoleh berdasarkan kemampuan nalar penelitian dalam menghubung-hubungkan fakta, data dan informasi. Jadi teknik analisis data kualitatif yaitu dengan menyajikan hasil wawancara dan observasi yang akan ditunjang oleh data sekunder. Hal tersebut akan menjadi analisis terhadap masalah yang ditemukan dilapangan sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang objek yang diteliti dan kemudian menarik kesimpulan. Analisis data menggunakan beberapa metode yaitu analisis isi, anasis SWOT dan LFA.
1. ANALISIS ISI (CONTENT ANALYSIS)
dilakukan untuk mengetahui beberapa hal: apa isi pesan yang disampaikan oleh seseorang, untuk siapa pesan tersebut disampaikan, apa tujuan dari pesan, bagaimana pesan tersebut disampaikan, dan apa efek dari pesan tersebut.
Data yang akan dianalisis dengan metoda analisis isi diperoleh dari hasil sampling. Pada tahap awal sampling, seorang peneliti harus menentukan terlebih dahulu unit analisis sampel yang dibutuhkan, misalnya saja seorang peneliti yang ingin melakukan analisis isi mengenai topik literatur tertentu, maka ia harus menentukan apakah akan memilih unit sampling berdasarkan penulis atau buku.
Teknik sampling yang digunakan tidak berbeda dengan teknik sampling yang pada umumnya digunakan. Dalam analisis isi, peneliti dapat menggunakan teknik sampling berupa
probabilistic ataupun nonprobabilistic sample. Pada analisis isi umumnya melakukan proses pengkodean (coding). Kode ini akan memudahkan peneliti dalam melakukan proses analisis. Dengan adanya kode, peneliti dapat mentransformasi data mentah ke dalam bentuk yang lebih standar sehingga peneliti akan lebih mudah mengelompokkan data berdasarkan kemiripan atau kesamaan konsep yang dimiliki serta memetakan hubungan antar konsep. Kode yang digunakan dapat berbentuk manifest coding (kode yang langsung terlihat) dan
latent coding (kode tidak langsung terlihat). Peneliti yang menggunakan manifest coding
dapat secara langsung melakukan analisis dan menarik kesimpulan dari sebuah teks atau percakapan dengan menghitung kata atau kalimat yang sering muncul dalam teks atau percakapan tersebut; sementara latent coding lebih menekankan pada pemaknaan yang dilakukan peneliti terhadap teks atau percakapan, dan tidak semata-mata pada kata atau kalimat yang sering muncul.
Dalam membuat atau menyusun kode, peneliti dapat menggunakan dua pendekatan, yaitu induktif atau deduktif. Pemilihan pendekatan ini didasarkan pada kebutuhan dan karakteristik penelitian yang dilakukan. Pada pendekatan induktif, kode yang dihasilkan merupakan prinsip-prinsip umum yang diperoleh dari suatu pengamatan empiris di lapangan; sementara pada pendekatan deduktif peneliti membuat kode berdasarkan indikator empiris yang diturunkan dari teori-teori yang digunakan (Babbie, 2005) atau penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (Neuendorf, 2002). Penggunaan teori atau hasil penelitian yang telah ada akan memudahkan peneliti untuk memprediksi relasi antar variabel yang digunakan. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam membuat kode adalah prinsip mutually exclusive dan
exhaustive; artinya kode yang dibuat tidak boleh memiliki makna yang saling berhubungan atau beririsan serta dapat digunakan pada semua sampel.
dilakukan, misalnya, seorang peneliti yang menghitung seberapa sering kata tertentu muncul dalam sebuah teks atau percakapan perlu membandingkannya dengan jumlah kata yang muncul dalam keseluruhan teks atau percakapan. Hal ini akan memberikan gambaran kepada peneliti mengenai seberapa penting konsep tersebut dalam suatu teks atau percakapan yang dilakukan.
2. SWOT (STRENGTH, WEAKNESS, OPPORTUNITY, AND THREAT)
Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan suatu strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Proses pengambilan keputusan strategi selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan penunjang konsep Smart Growth
dengan menerapkan Konsep S. Dengan demikian perencana strategis (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis penerapan konsep Smart Growth (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Hal ini disebut dengan analisis situasi. Model yang paling populer untuk analisis situasi adalah analisis SWOT.
Gambar II.1. Proses Pengambilan Keputusan Strategis Sumber: Rangkuti, 2000
Penelitian menunjukan bahwa kinerja suatu rencana dapat ditentukan oleh kombinasi faktor internal dan eksternal. Kedua faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam analisis SWOT. SWOT adalah singkatan dari lingkungan Internal Strengths dan Weaknesses serta lingkungan eksternal Opportunities dan Threats yang dihadapi dunia perencanaan. Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal peluang (Opportunities) dan ancaman (Threats) dengan faktor internal kekuatan (Strengths) kelemahan (Weaknesses).
Berikut merupakan penjelasan dari kuadran 1 sampai dengan kuadran 4 tentang alur berpikir pada analisis SWOT, yaitu :
Gambar II.2. Kuadran Posisi SWOT Sumber: Rangkuti, 2000
3. LFA (LOGICAL FRAMEWORK APPROACH)
Logical Framework Approach adalah sebuah alat analisis bagi manajemen dan perencanaan proyek yang berorientasi pada tujuan. Adapun tujuan dari LFA adalah sebagai berikut:
1. Mengklarifikasi tujuan dan menjustifikasi proyek
2. Mengidentifikasi persyaratan informasi secara jelas yang mendefinisikan elemen kunci
dari sebuah proyek
3. Menganalisis pengaturan proyek pada setiap tahapan
4. Memfasilitasi komunikasi di antara semua pihak yang terlibat
5. Mengidentifikasi bagaimana kesuksesan atau kegagalan proyek seharusnya diukur. Berbagai Peluang
Berbagai Ancaman
Kekuatan Internal Kelemahan Internal
1.Mendukung Strategi Agresif
2.Mendukung Strategi Diversifikasi 3.Mendukung
Strategi
turn-around
Tahapan dalam analisis LFA digambarkan melalui diagram dan tabel berikut: GOAL yang diisikan (maksud verifikasi yang seharusnya dispesifikasikan). tujuan yang terisi (maksud dari verifikasi yang seharusnya dispesifikasikan) apa output yang dihasilkan (maksud dari verifikasi seharusnya dispesifikasikan)
Barang dan jasa yang penting untuk di dalam aktivitas implementasi proyek. Dalam perencanaan, langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berkut:
a. Menuliskan semua orang, kelompok dan lembaga yang dipengaruhi oleh masalah lingkungan
b. Mengkategorikan mereka kedalam beberapa kelompok. Contohnya kelompok kepentingan, individu, organisasi, kewenangan dan lain-lain.
c. Mendiskusikan kepentingan dan pandangan siapa yang menjadi prioritas ketika menganalisis masalah.
d. Memilih grup yang paling penting
e. Membuat analisis yang lebih detail dari grup ini (ekonomi, ekologi, budaya dan lain-lainnya) dalam hal:
- Masalah: permasalahan utama yang dihadapi dan mempengaruhi kelompok (ekonomi, ekologi, kebudayaan dsb).
- Kepentingan: kebutuhan dan kepentingan utama yang terlihat dari sudut pandang kelompok
- Potensial: Kekuatan dan kelemahan kelompok
- Lingkage: Konflik utama dari kepentingan, pola korporasi atau ketergantungan dengan kelompok.
2. Analisis Permasalahan
Mengidentifikasi masalah yang ada sampai yang tidak mungkin, yang dapat dibayangkan atau yang akan datang.
a. Mengidentifikasi titik permulaan masalah
b. Memilih permasalahan yang paling vokal dalam analisis c. Mengembangkan pohon permasalahan
3. Analisis Tujuan
Mengembangkan pohon tujuan dengan cara:
a. Memformulasikan semua elemen dalam pohon masalah kedalam hal yang positif, yaitu kondisi yang diinginkan
b. Tinjau yang menghasilkan hubungan maksud akhir untuk memastikan validitas dan kelengkapan pohon tujuan
c. Jika perlu: - Laporan revisi
- Hapus tujuan yang muncul tidak realistis atau tidak perlu - Tambahkan tujuan baru jika diperlukan
d. Menggambarkan garis yang mengkoneksikan hubungan maksud-akhir 4. Analisis Alternatif
a. Mengidentifikasi tangga berbeda "maksud-akhir" pilihan alternatif yang mungkin atau komponen proyek alternatif.
b. Menghilangkan tujuan yang jelas tidak diinginkan dan dicapai.
e. Menilai kelayakan alternatif yang berbeda
f. Memilih salah satu alternatif sebagai strategi proyek
g. Jika persetujuan secara tidak langsung dicapai, maka: perkenalkan kriteria tambahan atau setelah pilihan yang paling menjanjikan dengan memasukkan atau mengurangi elemen dari pohon tujuan
5. Identifikasi Proyek Utama
Membuat tabel yang berisikan goal (tujuan), purpose (sasaran), output (strategi), activity (output), dan input (instrument).
6. Asumsi-asumsi
a. Asumsi dapat terdiri dari pohon tujuan b. Diindikasi sebagai kondisi positif (lihat tujuan) c. Terkait dengan tingkat yang berbeda dalam PM d. Diindikasi menurut kepentingan dan probabilitas 7. Indikator
Membuat indikator yang detail dan terukur yang seharusnya meliputi: a. Terdiri dari target kelompok (dari siapa)
b. Kuantitas (seberapa banyak) c. Kualitas (seberapa baik)
d. Waktu (kapan dan berapa lama) e. Lokasi (dimana)
f. Indikator menyediakan sebuah dasar untuk memonitoring dan evaluasi.
II.1.2. TEKNOPOLIS
Berawal dari munculnya Technopark pada tahun 1950, dimulai dari keinginan para akademisi yang berpikiran enterpreuner di Amerika yang ingin mengubah pengetahun dan penemuan dalam pengembangan dan riset menjadi bernilai ekonomi yang dinamakan produksi dan pemasaran (Monoarfa, 2012). Technopark pertama didirikan dengan panduan dari Universitas Stanford di California. Saat ini dikenal sebagai Silicon Valley yang mempekerjakan sekitar 200.000 orang berkeahlian tinggi, dengan pendapatan tinggi pula yang bekerja dalam mendesain dan menghasilkan produk yang bernilai tambah tinggi. Definisi technopark menurut Monoarfa (2012):
a. Technopark adalah pada tanah yang menarik dan berisi bangunan arsitektur yang indah tersebar secara spasial di mana perusahaan dengan fungsi ilmu pengetahuan dan teknologi atau R & D dipilih dengan teliti untuk penelitian baru dan penerapan penelitian,
b. melakukan kerjasama penelitian dan pengembangan dengan universitas ternama yang terdekat mengambil keuntungan secara luas dari sumberdaya teknologi universitas tersebut, c. menyadari transfer teknologi yang kuat di antara perguruan tinggi, laboratorium penelitian
dan industri,
tingkat proses inovasi, dan mengembangkan secara luas penggunaan fasilitas perkantoran dan layanan konsultasi yang modern.
Konsep dari “Science Park”, “Technopark”, “Business Park”, “Technopole”, “Technopolis atau Teknopolitan”, “Science City”, “Technology Zone”, “Silicon Valley”, “Technology Corridor”,
menggambarkan perbedaan makna untuk komite pengelola, pengelola dan ukuran dan kebutuhan dari suatu negara. Dari definisi luas yang bervariasi, secara umum menggambarkan “technology park” sebagai salah satu yang menyediakan:
1. hubungan dengan institusi pendidikan dan penelitian,
2. dukungan pelayanan infrastruktur untuk bisnis, terutama real estate dan perkantoran, 3. melakukan fungsi transfer teknologi,
4. melakukan fingsi pengembangan ekonomi.
Sebagai contoh, pada tahun 1993 di Amerika Serikat, rata-rata “technology park” terdiri dari 200 Ha,
bangunan lebih dari 200.000 ft2, 12 perusahaan tenants, 300 pekerja dan biaya operasi U$ 250.000. Lokasi lain di luar Amerika Serikat sering lebih kecil ukurannya dan dapat ditemukan pada beragam kondisi, dari area hijau di pedesaan hingga “vertical parks” pada bangunan pencakar langit di kota -kota besar. Sampai saat ini, ada 212 technology parks dan 295 anggota yang tergabung dalam
Association of University Research Parks.
Business Week, edisi 18-25 Agustus 1997 memberitakan ada 7.000 perusahaan elektronik dan software dan ribuan perusahaan pemula (starts up), dengan 11 perusahaan yang dihasilkan setiap minggunya sepanjang 80 km koridor teknologi. Rata-rata, satu perusahaan di Valley go public setiap 5 hari, dan menghasilkan 62 juta setiap hari. Menghadirkan ilmu pengetahuan baru yang akan menghasilkan penemuan dan inovasi baru yang akan menarik perhatian investor dan mengakumulasikan dukungan mereka untuk menambah nilai ekonomi.
Technology park menyatukan pemerintah, komunitas akademik, bisnis dan sektor keuangan (triple helix) dalam pengembangan yang direncanakan dengan baik, berintegrasi dengan semua fasilitas yang diperlukan seperti bangunan komersial, fasilitas penelitian, perumahan, tempat rekreasi, hotel dan pusat konferensi. Syarat-syarat science park berdasarkan dari paradigma manajemen (Regis Cabral, 1990 dalam Monoarfa, 2012) adalah:
1. Harus memiliki akses ke penelitian yang berkualitas dan pengembangan sumber daya manusia pada area ilmu pengetahuan sebagai identitas science park.
2. Harus dapat memasarkan produk dan layanan yang bernilai tinggi.
3. Harus memiliki kemampuan untuk menyediakan ahli pemasaran dan ahli manajemen bagi perusahaan, terutama usaha kecil dan menengah yang tidak memiliki sumber daya tersebut. 4. Harus dimasukkan dalam sebuah kelompok masyarakat yang memungkinkan untuk
5. Harus dapat memilih atau menolak perusahaan yang akan masuk ke dalam science park. Rencana bisnis perusahaan diharapkan dapat saling berkaitan dengan identitas science park.
6. Memiliki identitas yang jelas, cukup sering diungkapkan secara simbolis, sebagai pilihan nama taman, logo atau wacana manajemen.
7. Harus memiliki manajemen dengan para ahli yang dikenal dengan kemampuan dalam masalah keuangan, yang disajikan dalam rencana pengembangan ekonomi jangka panjang.
8. Harus didukung lembaga yang memiliki kuasa, dinamis dan ekonomi yang stabil, seperti lembaga pembiayaan, lembaga politik atau universitas lokal.
9. Harus menyertakan orang yang aktif dan profil tinggi dan jauh berpikiran ke depan dan memiliki visi dalam manajemennya, dengan kekuatan untuk mengambil keputusan, untuk memutuskan kerjasama antara akademik dan industri, rencana jangka panjang dan manajemen yang baik.
10. Harus menyertakan perusahaan konsultasi dalam jumlah yang cukup, seperti jasa perusahaan pelayanan, termasuk laboratorium dan perusahaan pengendali kualitas
Tabel II.2. Konsep dan Tahap Pembangunan Science Park
Tipe Karakteristik Fisik Fokus Contoh
Science /
Daedok Innopolis, Korea (2005 – ..)
Silicon Valley Sumber: Concept of Teknopolitan, Monoarfa – PPKDT, BPPT, 2012
A. Science Park
Gambar II.4. Surrey Research Park, Inggris Sumber: http://www.surrey-research-park.com, 2015
Gambar II.5. Dortmund Technology Park, Jerman Sumber: http://www.cs.tudortmund.de, 2015
Gambar II.6. Science Park: Inisiatif Berbasis Properti Sumber: Concept of Teknopolitan, Monoarfa – PPKDT, BPPT, 2012
B. Technopolis / Science City
Konsep dasarnya menekankan pada kebutuhan pendekatan yang seimbang. Daripada berfokus hanya pada teknologi juga melibatkan pembuatan pemukiman baru, lengkap dengan tempat penelitian, universitas baru, pusat teknologi, perumahan dan fasilitas budaya/sosial (Monoarfa dalam Tatsuno, 1986). Teknopolis berskala lebih besar dan sering kali terhubung dengan pengembangan infrastruktur dan fasilitas dari model kota baru dimana science park lebih terbatas pada jangkauan (Monoarfa, 2012 dalam Masser, 1991; Oh, 1997). Teknopolis juga lebih berorientasi pada produksi dari science parks. Baik science park dan teknopolis memiliki tujuan nasional dan regional.
RESEARCH AND
DEVELOPMENTS
CENTER
UNIVERSITY AND
HIGHER
EDUCATION
INSTITUTION
RESEARCHGambar II.7. Teknopolis / Science City : Pengembangan Kota Sumber: Concept of Teknopolitan, Monoarfa – PPKDT, BPPT, 2012
Gambar II.8. Tsukuba Science City, Jepang Sumber: http://www.tsukuba-network.jp/, 2015
Gambar II.9. Sophia Antipolis, Perancis Sumber:http://www.smartmedparks.eu/, 2015
C. Kluster Inovasi (Innovation Cluster)
Berkonsep utama jaringan inovasi di dalam kluster yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas inovasi dan membina industri untuk peningkatan daya saing daerah dan nasional. Konsep pendekatan terpadu dibutuhkan untuk menciptakan kapasitas institusi yang diperlukan untuk pengembangan kluster inovasi, yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Area promosi teknologi baru; RESEARCH AND
DEVELOPMENTS CENTER
UNIVERSITY AND HIGHER EDUCATION INSTITUTION HIGH – TECH
INDUSTRY
Science / Technology
b. Pembentukan science park dan pelaksananya, pusat perangkat lunak (software), sarana transportasi/infrastruktur logistik, Information Communication and Technology (ICT) atau infrastruktur jaringan data;
c. Pusat teknologi untuk mendukung bisnis pemula
d. Skema bantuan finansial dan teknologi untuk mendukung usaha kecil menengah
e. Proyek penelitian bersama antara usaha kecil menengah, pusat transfer teknologi dan perusahaan lainnya.
Gambar II.10. Kluster Inovasi: Kerangka Institusi Sumber: Concept of Teknopolitan, Monoarfa – PPKDT, BPPT, 2012
II.1.3. SMART GROWTH MANAGEMENT
Smart growth atau Pertumbuhan Cerdas adalah pengembangan yang melayani perekonomian, masyarakat, dan lingkungan. Memberikan kerangka kepada masyarakat untuk membuat keputusan terinformasi tentang bagaimana dan dimana mereka tumbuh. Smart growth memungkinkan masyarakat untuk tumbuh dengan cara-cara yng mendukung pengembangan ekonomi dan lapangan kerja, menciptakan lingkungan sekitar yang kuat dengan berbagai pilihan perumahan, komersial, dan pilihan transportasi; serta mencapai masyarakat sehat yang melengkapi keluarga dengan lingkungan yang bersih.
Smart growth adalah suatu solusi bagi tantangan dan dampak pembangunan yang tersebar pesat pada 50 tahun terakhir, dengan menciptakan masyarakat yang sehat dan livable, serta lapangan pekerjaan yang lebih besar untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Solusi ini kemudian disusun dalam 10 prinsip pada tahun 1996 oleh Smart Growth Network, merupakan koalisi 32
HEIs (University) Regional
Innovation Cluster
Service Sectors Government
National / Regional
Network Support Industry
organisasi-organisasi dunia yang mendukung pengembangan smart growth. Dibutuhkan peran pemerintah daerah, pemberi pinjaman, kelompok-kelompok masyarakat, pegawai negeri-(bagian) zonasi, pengembang, agensi perjalanan, pemerintah pusat, dan pihak lainnya dalam menyepakati cara baru dalam melakukan bisnis seperti pada pengembangan smart growth. Sepuluh prinsip berikut adalah cara untuk mencapai smart growth, dengan setiap prinsip terdiri atas 10 kebijakan. Berikut ini adalah kesepuluh prinsip tersebut:
1. Guna Lahan Campuran (Mix Land Uses)
Mixing land uses –komersil, permukiman, pendidikan, rekreasi, dll– dalam suatu lingkungan yang accessible menggunakan sepeda / berjalan kaki dapat menciptakan semangat dan keragaman masyarakat. Dalam skala besar, guna campuran yang menarik masyarakat untuk berbelanja, bertemu teman-teman, dan tinggal dalam lingkungan perkotaan seperti Georgetown di Washington, D.C., atau kota kecil seperti Wiscasset, Maine.
Pemisahan guna lahan pada banyak negara umumnya bertujuan untuk melindungi masyarakat dari polusi industri dan bisnis. Hal ini mendorong pola pengembangan lahan dimana pertokoan, perumahan, dan sekolah terkadang ditempatkan sangat jauh dan hanya dapat dituju menggunakan mobil. Memperbaiki peraturan terkait lingkungan dan inovasi sektor privat artinya bahwa banyak sektor bisnis kini yang lebih bersih dibandingkan dengan 80 tahun lalu ketika zonasi pertama kali dikenalkan untuk memisahkan guna lahan. Faktanya, seperempat dari total perjalanan seseorang sekitar ±1 mil, sedangkan tiga per empat lainnya menggunakan mobil. Dengan pengembangan guna lahan campuran, dapat mengurangi polusi udara dari penggunaan kendaraan bermotor serta mengurangi ketergantungan akan kebutuhan jalan dan parkir yang lebih besar.
Smart growth juga mendukung integrasi guna lahan campuran kedalam masyarakat sebagai komponen kritikal dalam memeroleh tempat tinggal yang lebih baik, meningkatkan vitalitas dan memeroleh keamanan dengan banyaknya orang di jalan, merevitalisasi kehidupan masyarakat dengan mempertemukan orang-orang, serta membawa keuntungan ekonomi dan fiskal substansial melalui campuran guna lahan perumahan-bisnis. 10 kebijakan yang dapat diterapkan untuk mencapai guna lahan campuran antara lain:
1. Memberi insentif pada dana negara dalam mendorong penduduk untuk tinggal dekat dengan lokasi kerja
2. Mengadopsi smart growth code menjadi parallel existing conventional development codes
3. Menggunakan innovative zoning tools untuk mendorong masyarakat dan bangunan
mixed-use
4. Memfasilitasi pembiayaan mixed-use properti
6. Menggunakan flex zoning (kelonggaran) dalam memudahkan developer menyediakan permintaan lahan
7. Mengubah declining shopping malls dan strip commercial streets menjadi mixed-use developments
8. Menyediakan berbagai contoh pembangunan mixed-use pada skala yang sesuai untuk setiap kelompok masyakarat
9. Menciptakan peluang untuk meretrofit single-use commercial dan retail menjadi komunitas yang walkable dan mixed-use
10. Memberi penghargaan bagi masyarakat yang menciptakan keseimbangan antara pekerjaan dan tempat tinggal
2. Mengambil Manfaat dari Compact Building Design (Desain Bangunan Kompak/Padat-Lengkap)
Pertumbuhan pembangunan antara 1982 dan 1997 di Amerika meningkat pesat 45% dibandingkan pertumbuhan jumlah penduduk yang hanya 17%. Konsumsi lahan yang sangat cepat ini disertai dengan pertumbuhan ukuran perumahan dan retail pertokoan per dasar kapita, sedangkan ketersediaan lahan perkotaan tetap. Kondisi ini mendorong pertumbuhan
compact building.
Smart growth mendorong masyarakat untuk menentukan bagaimana dan dimana mereka ingin tumbuh, dan compact building membantu menciptakan pusat lingkungan yang nyaman yang diinginkan masyarakat. Compact building membantu menciptakan pusat lingkungan yang nyaman, sesuai keingginan masyarakat, dengan penggunaan lahan yang lebih efisien, lebih murah, dua kali lebih banyak menampung kepadatan penduduk, membutuhkan lebih sedikit utilitas, dan mengurangi penggunaan kendaraan bermotor. Dengan penggnaan building footprints yang lebih kecil untuk pembangunan baru, compact building dapat menyisakan lahanbelum terbangun untuk mengabsorbsi dan memfilter air hujan yang dapat mengurangi banjir dan kebutuhan drainase air hujan, serta mengurangi jumlah limpasan polusi. Compact desain dapat didorong melalui pembangunan parkir struktural dibandingkan parkir permukaan-jalan, serta pembangunan bertumbuh (vertikal) dibandingkan horizontal. Adapun kebijakan yang dapat dilakukan untuk merealisasikan compact building, antara lain:
1. Mengedukasi masyarakat mengenai kepadatan penduduk dan compact building dalam
public meetings
2. Memastikan adanya ready access to open space dalam compact area
3. Mendorong developer untuk mengurangi parkir off-street
4. Menyesuaikan skala bangunan terhadap tipe jalan dalam proses zonasi dan perizinan 5. Mendirikan model dan kode desain standar nasional untuk mendorong compact
building design yang dapat diadopsi masyarakat lokal
8. Menggunakan design review board untuk memastikan bahwa compact building sesuai dengan standar
9. Menawarkan insentif yang mendorong masyarakat lokal dalam meningkatkan kepadatannya
10. Mendukung usaha perencanaan regional untuk mendorong compact communities
3. Menciptakan Berbagai Pilihan dan Kesempatan Perumahan
Perumahan adalah bagian kritis dari bagaimana masyarakat tumbuh, dan merupakan faktor kunci dalam menentukan akses rumah tangga menuju transportasi, pola commuting, akses pada pelayanan dan pendidikan, serta konsumsi energi dan SDA lainnya. Beragam pilihan perumahan akan mendorong sumber infrastruktur perumahan lebih efisien dan membantu manula tetap tinggal, meningkatkan kepadatan perlahan tanpa mengubah lansekap secara radikal, dan mengakomodasi pertumbuhan kota pada saat bersamaan.
Menyediakan rumah berkualitas untuk semua masyarakat dari seluruh level pendapatan adalah komponen integral (utuh) dari berbagai strategi smart growth. Sebagai tambahan, untuk meningkatkan kualitas hidup rumah tangga, perumahan dapat memastikan keseimbangan lokasi kerja-perumahan yang lebih baik dan menghasilkan pondasi yang kuat untuk mendukung pemberhentian transit sekitar, pusat-pusat komersial, dan pelayanan lainnya, dengan demikian mengurangi biaya lingkungan dari ketergantungan-oto pembangunan.
Pilihan perumahan pada pembangunan baru dapat diperkaya dengan memodifikasi pola guna lahan untuk area greenfield, mengubah zonasi dan building codes untuk meningkatkan tipe dan kuantitas (melalui KDB, KLB) dari unit yang disediakan, mengintegrasikan struktur single dan
multifamily, dll. Kebijakan selengkapnya yang dapat dilakukan untuk menciptakan beragam pilihan perumahan antara lain:
1. Menjadikan peraturan zonasi inklusi bagi pembangunan baru
2. Menyediakan home buyer assistance dalam mendukung kepercayaan masyarakat 3. Merevisi zonasi dan kode bangunan dalam perizinan berbagai tipe perumahan
4. Merencanakan dan menzonasi pembangunan perumahan yang terjangkau dan
manufactured di rural area
5. Mengedukasi developer tentang multifamily housing units dan nonprofits dalam penggunaan limited-equity components
6. Mengedukasi makelar, pemilik lahan, dan pembeli rumah dalam penggunaan resource-efficient mortgages
7. Mengimplementasikan program dalam mengidentifikasikan dan mengatur perumahan kosong
9. Mendaftarkan local jurisdiction dalam mengimplementasikan alokasi rencana regional fair-share housing dalam area metropolitan
10. Memberi prioritas terhadap proyek dan program smart growth dalam alokasi perumahan federal dan pendanaan lainnya
4. Menciptakan Walkable Communities (Masyarakat Pejalan)
Sebelum pertengahan tahun 1900-an, masyarakat perkotaan dan sekitarnya fokus pada pedestrian. Namun, 50 tahun terakhir, pola pembangunan tersebar dan pemisahan guna lahan mendorong peningkatan ketergantungan pada penggunaan kendaraan pribadi dan mengurangi banyak karakteristik yang mendukung walkable communities. Strategi smart growth berusaha untuk mengembalikan kembali keberadaan masyarakat pejalan yang sempat hilang tersebut.
Pedestrian-friendly features akan mendorong masyarakat untuk berjalan (walkable communities) sebagai tujuan smart growth yaitu meningkatkan mobilitas berjalan kaki, mengurangi eksternalitas negatif lingkungan, menguatkan perekonomian, dan mendukung
stronger communities dalam meningkatkan interaksi sosial. Peningkatan akses pedestrian secara tidak langsung memberi manfaat bagi lingkungan dengan mengurangi penggunaan mobil sehingga meningkatkan kualitas udara, serta pengurangan lapisan jalan kedap air sehinga menurunkan limpasan air hujan. Kedua hal tersebut memberikan keuntungan ekonomi dengan mengurangi biaya pengelolaan dampak air dan udara, mengurangi biaya transportasi, meningkatkan kesehatan dan kebugaran individu, serta memperluas pilihan konsumen.
Manfaat dari peningkatan pedestrian tersebut dapat diperoleh dengan membangun tempat-tempat tujuan yang berlipat yang dituju dalam jarak yang dekat. Tipe pembangunan ini memastikan bahwa jalan dan sisi (tepi) jalan menyeimbangkan semua bentuk transportasi serta bangunan dan koridor dalam skala dan ukuran yang sesuai. Berikut ini adalah opsi-opsi kebijakan untuk menciptakan walkable communities:
1. Memberi bantuan atau financial assistance lainnya terhadap masyarakat lokal untuk meretrofit (menembahkan sesuatu) pada jalan dan trotoar eksisting untuk mempromosikan walkable communities
2. Mengkonsetrasikan layanan penting dekat rumah, lokasi kerja, dan transit
3. Membutuhkan desain bangunan yang membuat area komersil lebih walkable
4. Mengadopsi standar desain untuk jalan yang dipastikan keselamatan dan mobilitas pedestrian dan mode transportasi nonmotorized
5. Mengadopsi standar desain untuk trotoar
6. Membutuhkan teknik traffic-calming dimana kecepatan lalu lintas terhadap permukiman dan lingkungan perkotaan adalah padat
7. Mempercantik dan menjaga walkways eksisting dan masa mendatang
9. Menghubungkan walkways, area parkir, greenways, dan pembangunan 10. Mengidentifikasi peluang ekonomi yang menstimulasikan aktifitas pealan kaki
5. Mengembangkan Masyarakat Atraktif, Khas, dengan Sense of Place yang Kuat
Smart growth mendorong ide pembangunan yang tidak hanya merespon basic commercial atau
housing needs namun juga membantu menciptakan masyarakat yang unik dan khas, mengembangkan tipe lingkungan fisik yang menciptakan sense of civic pride (kebanggaan kewarganegaraan), dan mendukung struktur masyarakat terpadu. Contohnya adalah San Francisco’s Japantown, the French Quarter di New Orleans, dan New England’s small towns.
Masyarakat yang memiliki sense of place yang kuat merepresentasikan nilai dari tempat tinggal mereka, merefleksikan keunikan sejarah, budaya, ekonomi, dan konteks geograis dari area tsb. Mereka menggunakan batasan man-made dan alami serta landmarks untuk menciptakan sense
dari lingkungan yang dideinisikan, masyarakat perkotaan, dan wilayah. Masyarakat ini mendorong konstruksi dan pemeliharaan bangunan yang menjadi aset sepanjang waktu, tidak hanya untuk memenuhi pelayanan tapi juga karena kontribusi unik yang mereka buat terhadap tampilan dan perasaan masyarakat. Sense of place pada masyarakat dapat diperoleh melalui:
1. Mengubah proses pendanaan negara dan standar school sitting untuk memelihara lingkungan sekolah dan membangun sekolah baru untuk sebuah “level masyarakat” 2. Menciptakan kredit pajak negara untuk mendorong adaptive reuse dari bangunan
bersearah atau berarsitektural signifikan
3. Menanam pepohonan disepanjang komunitas dan memelihara pepohonan eksisting selama konstruksi baru
4. Menciptakan ruang terbuka yang aktif dan aman
5. Menyederhanakan dan melancarkan peraturan perizinan untuk memungkinkan vendor
menawarkan layanan pada trotoar
6. Menciptakan peningkatan khusus daerah untuk infestasi terfokus 7. Menetapkan masyarakat dan lingkungan dengan visual cues
8. Memelihara scenic vistas (pemandangan indah) terhadap lokasi sesuai dari menara telekomunikasi dan terhadap peningkatan kontrol dari billboards
9. Menciptakan peluang untuk interaksi masyarakat
10. Membuat petunjuk desain yang elas sehingga jalan, bangunan, dan public spaces dapat bersama-sama menciptakan sense of place
6. Melindungi Ruang Terbuka, Tanah Pertanian, Keindahan Alam, dan Critical Environment Area
Ruang terbuka mendukung tujuan smart growth dengan mendukung masyarakat lokal, menjaga
critical environment areas, menyediakan peluang rekreasional, dan memandu pertumbuhan baru dalam masyarakat eksisting.Pemeliharaan ruang terbuka dapat meningkatkan community’s