BAB II KAJIAN TEORI DAN REGULASI
II.2. REGULASI DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN
II.2.4. HUNIAN BERIMBANG
Dalam Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No.7 tahun 2013 mengenai Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan Hunian Berimbang, dikatakan bahwa pembangunan hunian berimbang dilaksanakan bersamaan secara proporsional antara rumah mewah, rumah menengah, dan rumah sederhana. Pembangunan proporsional itu diwajibkan sekurang-kurangnya 1:2:3 yaitu rumah menengah dua kali rumah mewah, dan rumah sederhana tiga kali rumah mewah yang akan dibangun.
Jika pelaku pembangunan, dalam hal ini pihak pengembang Summarecon tidak dapat membangun rumah sederhana, maka dapat diganti dengan membangun Rumah Susun Umum yang jumlahnya senilai dengan harga kewajiban membangun rumah sederhana. Pembangunan rumah susun ini sekurang-kurangnya 20% dari total luas lantai rumah susun komersial yang dibangun. Lokasi pembangunan dapat dilakukan di luar hamparan perumahan atau kawasan rumah susun komersial namun tetap dalam wilayah kabupaten Jawa Barat atau Kota Bandung. Dalam pasal 15B tercantum ketentuan pidana bagi pelaku (pengembang) yang tidak membangun rumah susun yang telah ditentukan, sesuai dengan ketentuan pidana Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, yaitu pidana maksimal dua tahun atau denda paling banyak Rp.20,000,000,000,-
II.2.5. PEMBIAYAAN PUBLIK
Diantara aspek pembiayaan publik yang dibahas berkaitan dengan rencana pengembangan kawasan, diantaranya dijelaskan melalui Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Dalam Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, untuk memberikan alternatif sumber pembiayaan bagi pemerintah daerah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, maka pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman. Namun demikian, mengingat pinjaman memiliki berbagai risiko seperti risiko kesinambungan fiskal, risiko tingkat bunga, risiko pembiayaan kembali, risiko kurs, dan risiko operasional, maka Menteri Keuangan selaku
pengelola fiskal nasional menetapkan batas-batas dan rambu-rambu pinjaman daerah. PP 54/2005 dan PP 30/2011 merupakan turunan dari UU No..33 Tahun 2004 tentang konsep dasar pinjaman daerah (DJPK RI, 2012).
Beberapa prinsip dasar dari pinjaman daerah di antaranya sebagai berikut : 1. Pemerintah Daerah dapat melakukan Pinjaman Daerah.
2. Pinjaman Daerah harus merupakan inisiatif Pemerintah Daerah dalam rangka melaksanakan kewenangan Pemerintah Daerah.
3. Pinjaman daerah merupakan alternatif sumber pendanaan APBD yang digunakan untuk menutup defisit APBD, pengeluaran pembiayaan, dan/atau kekurangan kas.
4. Pemerintah Daerah dilarang melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri. 5. Pemerintah Daerah tidak dapat memberikan jaminan terhadap pinjaman pihak lain. 6. Pinjaman Daerah dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara pemberi pinjaman
dan Pemerintah Daerah sebagai penerima pinjaman yang dituangkan dalam perjanjian pinjaman.
7. Pendapatan daerah dan/atau barang milik daerah tidak boleh dijadikan jaminan pinjaman daerah.
8. Proyek yang dibiayai dari Obligasi Daerah beserta barang milik daerah yang melekat dalam proyek tersebut dapat dijadikan jaminan Obligasi Daerah.
9. Seluruh penerimaan dan pengeluaran dalam rangka Pinjaman Daerah dicantumkan dalam APBD.
Persyaratan umum bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan pinjaman adalah sebagai berikut: 1. Jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi
75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya. Penerimaan umum APBD tahun sebelumnya adalah seluruh penerimaan APBD tidak termasuk Dana Alokasi Khusus, Dana Darurat, dana pinjaman lama, dan penerimaan lain yang kegunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu.
2. Memenuhi ketentuan rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman yang ditetapkan oleh pemerintah. Nilai rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman (Debt Service Coverage Ratio / DSCR) paling sedikit 2,5 (dua koma lima). DSCR dihitung dengan rumus sebagai berikut:
3. Dalam hal Pinjaman Daerah diajukan kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah harus tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang bersumber dari Pemerintah.
4. Khusus untuk Pinjaman Jangka Menengah dan Jangka Panjang wajib mendapatkan persetujuan dari DPRD.
DSCR = {PAD + (DBH - DBHDR) + DAU)} - BW ≥ 2,5 Angsuran Pokok Pinjaman + Bunga + Biaya Lain
Pinjaman Daerah bersumber dari:
1. Pemerintah Pusat, berasal dari APBN termasuk dana investasi Pemerintah, penerusan Pinjaman Dalam Negeri, dan / atau penerusan Pinjaman Luar Negeri;
2. Pemerintah Daerah lain;
3. Lembaga Keuangan Bank, yang berbadan hukum Indonesia dan mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
4. Lembaga Keuangan Bukan Bank, yaitu lembaga pembiayaan yang berbadan hukum Indonesia dan mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan 5. Masyarakat, berupa Obligasi Daerah yang diterbitkan melalui penawaran umum kepada
masyarakat di pasar modal dalam negeri.
Undang-Undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diterbitkan dalam rangka menyederhanakan dan memperbaiki memperbaiki jenis dan struktur pajak daerah, meningkatkan pajak daerah, memperbaiki sistem perpajakan dan distribusi daerah. Di samping itu penerbitan undang-undang tersebut merupaklan langkah strategis untuk lebih memantapkan kebijakan desentralisasi fiskal, khususnya dalam rangka membangun hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang lebih ideal.
Ada beberapa prinsip pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah di dalam undang-undang ini, yaitu:
- Pemberian kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tidak terlalu membebani rakyat dan relatif netral terhadap fiskal nasional.
- Jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang ditetapkan dalam Undang undang (Closed-List).
- Pemberian kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak daerah dalam batas tarif minimum dan maksimum yang ditetapkan dalam Undang-undang.
- Pemerintah daerah dapat tidak memungut jenis pajak dan retribusi yang tercantum dalam undang undang sesuai kebijakan pemerintahan daerah.
- Pengawasan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan secara preventif dan korektif. Rancangan Peraturan Daerah yang mengatur pajak dan retribusi harus mendapat persetujuan Pemerintah sebelum ditetapkan menjadi Perda. Pelanggaran terhadap aturan tersebut dikenakan sanksi.
UU No.28 tahun 2009 ini mempunyai beberapa tujuan, antara lain:
- Memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi sejalan dengan semakin besarnya tanggung jawab Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
- Meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah.
- Memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.
Jenis Pajak provinsi terdiri atas: a. Pajak Kendaraan Bermotor;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; d. Pajak Air Permukaan; dan
e. Pajak Rokok
Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas: a. Pajak Hotel
Tarif pajak hotel ditetapkan paling tinggi sebesar 10% dan ditetapkan berdasarkan Perda b. Pajak Restoran
Tarif pajak restoran ditetapkan paling tinggi sebesar 10% dan ditetapkan berdasarkan Perda c. Pajak Hiburan
Penetapan tarif pajak hiburan terdiri dari tiga bentuk yang keseluruhannya ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah. Ketiga bentuk tersebut adalah:
- Tarif pajak yang ditetapkan paling tinggi sebesar 35%
- Tarif pajak hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa ditetapkan paling tinggi sebesar 75%
- Tarif pajak hiburan kesenian tradisional ditetapkan sebesar 10% d. Pajak Reklame
Tarif pajak reklame paling tinggi sebesar 25% dan ditetapkan berdasarkan Perda e. Pajak Penerangan Jalan
Tarif pajak penerangan terdiri dari tiga bentuk yang keseluruhannya ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah. Ketiga bentuk tersebut adalah:
- Tarif pajak penerangan paling tinggi sebesar 10%
- Tarif pajak penerangan dari penggunaan tenaga listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan paling tinggi sebesar 3%
- Tarif pajak penerangan dari penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan paling tinggi sebesar 1,5%
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
Tarif pajak mineral bukan logam dan batuan ditetapkan paling tinggi sebesar 25 % dan ditetapkan berdasarkan Perda
g. Pajak Parkir
Tarif pajak parkir paling tinggi sebesar 30% dan ditetapkan berdasarkan Perda h. Pajak Air Tanah
i. Pajak Sarang Burung Walet
Tarif pajak sarang burung wallet ditetapkan paling tinggi sebesar 10% dan ditetapkan berdasarkan Perda
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
Tarif pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3% dan ditetapkan berdasarkan Perda
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Tarif Pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan ditetapkan paling tinggi sebesar 5% dan ditetapkan berdasarkan Perda
Hasil penerimaan Pajak provinsi sebagian diperuntukkan bagi kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar 30%
b. Hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor diserahkan kepada kabupaten/kota 70%
c. Hasil penerimaan Pajak Rokok diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar 70%
d. Hasil penerimaan Pajak Air Permukaan diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar 50% Khusus untuk penerimaan Pajak Air Permukaan dari sumber air yang berada hanya pada 1 wilayah kabupaten/kota, hasil penerimaan Pajak Air Permukaan dimaksud diserahkan kepada kabupaten/kota yang bersangkutan sebesar 80%