BAB II KAJIAN TEORI DAN REGULASI
II.2. REGULASI DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN
II.2.2. SISTEM JARINGAN YANG TERINTEGRASI
Sistem jaringan yang terintegrasi meliputi sistem jaringan jalan, pedestrian, sistem pembuangan air limbah, sistem drainase, persampahan, dan jaringan listrik. Regulasi mengenai jalan diatur dalam Undang-Undang No.38 Tahun 2004 tentang Jalan. Jalan merupakan prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya diperuntukan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel. Tujuan dari undang-undang ini salah satunya yaitu terwujudnya penyediaan jaringan jalan sebagai pelayanan bagi masyarakat.
Pembagian kelas jalan terdiri dari dua jenis pembagian yaitu berdasarkan fungsi jalan dan berdasarkan status jalan. Berdasarkan fungsi jalan dibedakan menjadi beberapa jenis diantaranya:
1. Jalan arteri adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-ratatinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna.
2. Jalan kolektor adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.
3. Jalan lokal adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat ,kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi. 4. Jalan lingkungan adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan
dengan ciri perjalanan jarak dekat.
Sedangkan jenis jalan berdasarkan status jalan dibagi menjadi beberapa jenis jalan diantaranya: 1. Jalan nasional adalah jalan arteri dan jalan kolektor dengan sistem jalan primer yang
2. Jalan provinsi adalah jalan kolektor dengan sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten.
3. Jalan kota adalah jalan umum dengan sistem jaringan jalan sekunder yang menghubungkan antar pusat pelayanan dengan persil, dan penghubung antar persil. 4. Jalan kabupaten adalah jalan yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota
kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antar pusat kegiatan lokal dan jalan umum dengan sistem jalan sekunder dalam wilayah kabupaten.
5. Jalan desa adalah jalan umum yang menghubungkan kawasan antar permukiman desa. Jalan merupakan prasarana yang terdiri dari beberapa bagian jalan, diantaranya:
1. Ruang manfaat jalan (rumaja) terdiri dari badan jalan, saluran tepi jalan dan ambang pengamanannya.
2. Ruang milik jalan (rumija) terdiri dari ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di luar ruangmanfaat jalan.
3. Ruang pengawasan jalan berada diluar dari ruang milik jalan.
Pengaturan masing-masing kelas jalan tersebut dapat diatur melalui perumusan kebijakan pedoman operasional penyelenggaraan jalan dan penyusunan rencana jaringan jalan yang menjadi wewenang pemerintah Pusat, Provinsi serta kabupate/kota. Wewenang pemerintah terkait jalan yaitu dalam hal pengaturan, pembinaan, pembangunan dan pengawasan baik oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Wewenang Pemerintah Provinsi berupa pengawasan, pembinaan, pembangunan dan pengawasan namun apabila provinsi tidak bersedia melaksanakan maka provinsi berhak menyerahkan ke kabupaten/kota. Sedangkan Pemerintah Kabupaten/Kota berwenang dalam menyediakan jalan kota sebagai prasarana kota. Untuk melaksanakan penyelenggaraan jalan secara umum maka dilakukan pembinaan jalan.
Dalam proses pembangunan jalan terdapat beberapa tahapan dalam pelaksanaan pembagunan yaitu merencanakan jalan secara teknis, pemograman dan penganggaran, pengadaan lahan, dan pelaksanaan konstruksi jalan. Tahapan pembangunan tersebut juga tidak hanya mengatur pembangunan jalan namun juga perlu adanya pengoperasian dan pemeliharaan jalan serta pengembangan dan pengelolaan manajemen pemeliharaan jalan. Dalam hal peran masyarakat dalam penyelenggaraan, masyarakat berhak memberikan usulan, mengajukan gugatan terhadap kerugian yang diakibatkan oleh penyelenggaraan jalan serta berhak untuk menerima manfaat dari adanya penyelenggaraan jalan tersebut.
Regulasi selanjutnya terkait peraturan pedestrian diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.03/PRT/M/2014 tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan. Pendestrian merupakan aktifitas orang berjalan kaki di ruang lalu lintas jalan dengan menggunakan jaringan pejalan kaki baik yang terintegrasi maupun terpisah dengan jalan, yang diperuntukkan untuk prasarana dan sarana pejalan kaki serta menghubungkan pusat-pusat kegiatan dan/atau fasilitas pergantian moda. Tujuan dari peraturan ini adalah mewujudkan jaringan pejalan kaki di kawasan perkotaan yang aman, nyaman, dan manusiawi sehingga mendorong masyarakat untuk berjalan kaki dan menggunakan transportasi publik.
Ruang lingkup pendestrian meliputi perencanaan, penyediaan, pemanfaatan dan tata cara pemanfaatan sarana berjalan kaki yang meliputi segrasi, integrasi dan separasi. Sementara pendestrian berfungsi untuk memfasilitasi pergerakan pejalan kaki dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menjamin aspek keselamatan dan kenyamanan pejalan kaki serta memperhatikan kriteria pejalan kaki yang meiputi karakteristik pejalan kaki, lingkungan dan keterkaitan antar kegiatan dan moda transportasi lainnya serta jenis penggunaan lahan atau kegiatan.
Penyedian prasarana jaringan mempertimbangkan beberapa karakteristik diantaranya sistem transportasi dan pergantian moda serta pusat kegiatan, fungsi jalan dan penggunaan lahan, ketersediaan penyeberangan dan jalur hijau, letak prasarana jaringan pejalan kaki dan bentuk prasarana jaringan pejalan kak serta kriteria penyediaan prasarana jaringan pejalan kaki dan kriteria ketersediaan ruas pada jaringan pejalan kaki.
Pemanfaatan prasarana jaringan pejalan kaki dilakukan dengan mempertimbangkan jenis kegiatan, waktu pemanfaatan, jumlah pengguna dan ketentuan teknis yang berlaku serta mempunyai pemanfaatan fungsi sosial dan ekologis yang berupa aktivitas bersepeda, interaksi sosial, kegiatan usaha kecil formal, aktivitas pameran di ruang terbuka, jalur hijau, dan sarana pejalan kaki.
Perencanaan, penyediaan, dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan yang meliputi analisis perencanaan penyediaan dan pemanfaatan, perumusan rencana penyediaan dan pemanfaatan dan pemanfaatan prasarana jaringan pejalan kaki selain berjalan kaki.
Peraturan selanjutnya terkait pengelolaan air limbah diatur dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.112 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik. Air limbah adalah semua jenis buangan yang mengandung kotoran manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, buangan industri dan buangan kimia. Sistem penyaluran air limbah ada dua yaitu sistem terpisah (sistem peyaluran yang digunakan untuk membuang air hujan atau air limbah saja) dan sistem tercampur (sistem penyaluran yang digunakan untuk membuang air hujan dan air limbah secara bersama-sama. Adapun sistem pengolahan air limbah terdiri dari dua, yaitu:
- On site system, yaitu sistem pengolahan air limbah dimana air limbah ditampung dalam tangki septik atau cubluk, dimana penguraian terjadi dan caranya diserap tanah atau dibuang kesaluran drainase.
- Off site system, yaitu sistem pengolahan air limbah dimana air limbah tersebut dibuang melalui sistem jaringan perpipaan dan terlebih dahulu diolah pada unit atau instalasi pengolahan air limbah (IPAL) sebelum dibuang ke badan air penerima.
Terkait pengelolaan limbah untuk memeroleh kualitas air yang baik dibahas dalam Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.112 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik. Pengendalian pencemaran air merupakan upaya untuk pengurangan pencemaran pada sumbernya dan pengolahan air limbah itu sendiri. Adapun ketetapan baku mutu air limbah adalah:
Tabel II.4.Baku Mutu Air Limbah
Parameter Satuan Kadar Maksimum
pH 6-10
BOD mg/L 100
TSS mg/L 100
Lemak dan Minyak mg/L 10
Sumber: Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2001
Baku mutu tersebut berlaku untuk pengolahan air limbah domestik terpadu dan berlaku juga diantaranya untuk semua kawasan permukiman (real estate) dan kawasan perkantoran, perniagaan dan apartemen.
Kewajiban penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang melakukan pembuangan air limbah adalah:
- Melakukan pengolahan air limbah domestik sehingga mutu air limbah domestik yang dibuang ke lingkungan tidak melampaui baku mutu air limbah domestik yang telah ditetapkan.
- Membuat saluran pembuangan air limbah domestik tertutup dan kedap air sehingga tidak terjadi perembesan air limbah ke lingkungan.
- Membuat sarana pengambilan sampel pada outlet unit pengolahan air limbah.
Pengolahan air limbah sendiri dapat berlangsung melalui proses alamiah dan atau melalui sistem pengolahan air limbah (Irman, 2013). Pengurangan pencemaran pada sumbernya merupakan langkah yang sangat efektif untuk menekan terjadinya pencemaran di sumber-sumber timbulan air limbah.
Pemerintah Kota Bandung telah menerapkan retribusi untuk izin pembuangan air buangan ke sumber air, dengan dasar hukum daerah sebagai berikut:
- Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat No.10 Tahun 1995 tentang Pengendalian Pembuangan Limbah Cair;
- Peraturan Daerah Kota Bandung No.6 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Pengairan di Kota Bandung;
- Peraturan Daerah Kota Bandung No.7 Tahun 2002 tentang Retribusi Pengairan;
- Keputusan Walikota Bandung No.1023 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Pengairan dan Retribusi Pengairan.
Izin pembuangan akan dikeluarkan oleh Pemerintah Kota melalui persyaratan administrasi dan teknis yang telah ditetapkan. Adapun untuk penerbitan izin tidak dikenakan biaya, namun untuk pembuangan air buangan, dikenakan dua bentuk retribusi kepada pemohon, yakni berdasarkan berapa m3 total air buangan dan retribusi pemanfaatan lahan sempadan sungai/saluran dengan ketentuan.
Terkait sistem drainase selanjutnya diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.12/PRT/M/2014 tentang Penyelenggaraan Sistem Drainase Perkotaan. Ruang lingkup pemantauan sistem drainase perkotaan meliputi kegiatan pemantauan, sedangkan evaluasi pengelolaan meliputi aspek teknis (kondisi dan fungsi prasarana dan sarana sistem drainase perkotaan, karakteristik genangan, dan Pemantauan kualitas air) maupun nonteknis (pemantauan kelembagaan, manajemen pembangunan, keuangan, peran masyarakat dan
swasta serta aspek hukum). Prinsip sistem drainase perkotaan merupakan bagian penilaian terhadap kinerja sistem drainase perkotaan secara keseluruhan. Hasil pemantauan dan evaluasi selanjutnya akan digunakan sebagai bahan masukan untuk rencana tindak turun tangan dalam pengelolaan sistem drainase perkotaan.
Kegiatan pemantauan terhadap pengelolaan sistem drainase perkotaan dilakukan dengan cara langsung (inspeksi), maupun tidak langsung (mempelajari data dan laporan pengelolaan) secara berkala. Sementara objeknya secara teknis terdiri dari kondisi dan fungsi saluran dan bangunan pelengkapnya, karakteristik genangan, sistem pengaliran dan kapasitas sistem drainase, maupun non-teknis yang meliputi kelembagaan, manajemen, pembiayaan, peran masyarakat, dan hukum pengaturan.
Seluruh hasil pantauan yang dipelajari sejak dimulainya perencanaan hingga hasil akhir pengelolaan sistem drainase perkotaan, menjadi evalusi terhadap pengelolaan, pengoperasian, pemeliharaan, dan rehabilitasi terhadap pengelolaan sistem drainase perkotaan, dengan membandingkan tolok ukur/kriteria/standar yang sudah ditetapkan terlebih dahulu pada tahap awal, yaitu perencanaan. Hasil Evaluasi ini akan dijadikan bahan kajian dalam menyusun kebijaksanaan penyelenggara di masa mendatang agar mendapatkan hasil yang lebih maksimal. Evaluasi terhadap aspek teknis dilakukan setiap 6-12 bulan sekali.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan evaluasi sesuai dengan kewenangannya, yang meliputi standar kualitas dan kinerja pelayanan pengelolaan sistem drainase perkotaan. Pemerintah Provinsi mendapat hasil evaluasi sementara dari Pemerintah Kabupaten/Kota lalu laporan tersebut diberikan pada Pemerintah Pusat (Direktorat Cipta Karya).
Penyampaian laporan kinerja penyelenggaraan pengelolaan sistem drainase perkotaan kepada pemerintah minimal satu kali dalam setahun. Ketentuannya adalah penyelenggara tingkat Kabupaten/Kota menyerahkan laporan kepada Bupati/Walikota dan penyelenggara tingkat provinsi menyerahkan kepada Gubernur, sedangkan penyelenggara tingkat Nasional menyerahkan laporan kepada Menteri. Laporan dilakukan secara transparan, akuntabel, dan bertanggungjawab.
Laporan tentang pemanfaatan pembangunan prasarana dan sarana drainase dilaporkan dalam bentuk hasil evaluasi terhadap pemanfaatan dan pengoperasian prasarana dan sarana drainase, serta hasil kinerja pengelolaan sistem drainase perkotaan yang meliputi operasional, pembiayaan, kelembagaan, peran masyarakat/swasta dan hukum pengaturan, laporan pemantauan dan laporan hasil evaluasi.
Berkaitan dengan sistem jaringan air, diatur dalam Undang-Undang No.11 Tahun 1974 tentang Pengairan. Air yang dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah semua air yang terdapat di dalam, permukaan dan tidak termasuk air laut, demikian pula dengan sumber-sumber air adalah yang terdapat di dalam maupun permukaan. Negara memiliki hak untuk menguasai air dan memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk:
1. Mengelola dan mengembangkan kemanfaatan air dan sumber-sumbernya
2. Menyusun, mengesahkan dan atau memberi izin berdasarkan perencanaan teknis tata pengaturan air dan tata pengairan
3. Mengatur, mengesahkan dan memberi izin peruntukan, penggunaan, penyediaan air dan sumber-sumber air
4. Mengatur, mengesahkan dan memberi izin pengusahaan air dan atau sumber-sumber air 5. Menentukan dan mengatur perbuatan hukum dan hubungan-hubungan hukum antara
orang atau badan hukum dalam persoalan air atau sumber-sumber air.
Wewenang tersebut dilimpahkan pada instansi-instansi pemerintah baik pusat maupun daerah dan atau badan-badan hukum yang syarat-syarat dan tata caranya diatur oleh pemerintah. Terkait pengelolaan sampah diatur dalam Undang-Undang No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Pengelolaan sampah yang dimaksud adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Pengelolaan sampah bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. Pemerintah dan Pemerintahan Daerah bertugas:
a. Menumbuhkembangkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah;
b. Melakukan penelitian, pengembangan teknologi pengurangan dan penanganan sampah; c. Memfasilitasi, mengembangkan dan melaksanakan upaya pengurangan, penanganan dan
pemanfaatan sampah;
d. Melaksanakan pengelolaan sampah dan memfasilitasi penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah;
e. Mendorong dan memfasilitasi pengembangan manfaat hasil pengolahan sampah;
f. Memfasilitasi penerapan teknologi spesifik lokal yang berkembang pada masyarakat setempat untuk mengurangi dan menangani sampah; dan
g. Melakukan koordinasi antarlembaga pemerintah, masyarakat dan dunia usaha agar terdapat keterpaduan dalam pengelolaan sampah (Pasal 6)
Pemerintah (Pusat) berwenang menetapkan kebijakan dan strategi nasional pengelolaan sampah dan menyelenggarakan koordinasi, pembinaan, dan pengawasan kinerja Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sampah serta menetapkan kebijakan penyelesaian perselisihan antardaerah dalam pengelolaan sampah. Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki wewenang dibatasi pada kebijakan dan strategi yang sesuai dengan kebijakan pemerintah (pusat), memfasilitasi kerja sama antardaerah dalam satu provinsi, menyelenggarakan koordinasi, membina dan mengawasi kinerja dalam pengelolaan sampah; menyelesaikan perselisihan antarkabupaten/kota dalam satu provinsi, dan menetapkan lokasi tempat penampungan sementara, tempat pengolahan sampah terpadu, dan/atau tempat pemrosesan akhir sampah (TPA) berdasarkan RTRW kabupaten/kota dan pemantauan dan evaluasi berkala setiap 6 bulan terhadap TPA selama 20 tahun.
Bahwa setiap orang berhak mendapatkan pelayanan dalam pengelolaan sampah secara baik dan berwawasan lingkungan dari pemerintah, dan/atau pihak lain yang diberi tanggung jawab untuk itu; hak partisipasi, memperoleh informasi dan mendapatkan perlindungan dan kompensasi karena dampak negatif dari kegiatan tempat pemrosesan akhir sampah.
Kewajiban untuk mengurangi dan menangani sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan dapat diatur lebih lanjut melalui peraturan daerah. Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum dan fasilitas sosial wajib menyediakan fasilitas pemilahan sampah. Setiap orang dapat melakukan kegiatan usaha pengelolaan sampah dan wajib memiliki izin dari kepala derah sesuai dengan kewenangannya, dan hal ini harus diumumkan kepada masyarakat.
Pemerintah wajib untuk menetapkan target pengurangan sampah secara bertahap dalam jangka waktu tertentu. Fasilitasi untuk penerapan teknologi, label produk ramah lingkungan dan kegiatan daur ulang termasuk pemasaran produk daur ulang, juga menjadi kewajiban pemerintah. Insentif dan disinsentif diatur dalam peraturan daerah berkaitan dengan jenis, bentuk dan tata caranya. Selain itu undang-undang ini juga mengatur kegiatan penanganan, pemilahan, pengumpulan dan pengangkutan sampah.
Pembiayaan pengelolaan sampah wajib diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, yang bersumber dari APBN dan APBD. Mengenai kompensasi dapat berupa relokasi, pemulihan lingkungan, biaya kesehatan, dan pengobatan dan/atau kompensasi dalam bentuk lain. Selain itu diatur pula tentang kerja sama dan kemitraan antardaerah, baik antarpemerintah daerah kabupaten/kota dan badan usaha yang bersangkutan. Peran masyarakat, dilakukan melalui pemberian usul, pertimbangan dan saran; perumusan kebijakan pengelolaan sampah dan/atau saran dan pendapat dalam penyelesaian sengketa persampahan.
Larangan diatur dalam pasal 29, dimana setiap orang dilarang untuk: memasukkan sampah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.; mengimpor sampah; mencampur sampah dengan limbah berbahaya dan beracun dan mengelola sampah yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan; membuang sampah tidak pada tempat yang telah ditentukan dan disediakan; melakukan penanganan sampah dengan pembuangan terbuka di tempat pemrosesan akhir; dan atau membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah.
Terkait jaringan listrik diatur dalam Undang-Undang No.30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Jaringan listrik adalah suatu kesatuan sistem jaringan yang terdiri dari sumber pembangkit listrik, gardu induk atau gardu pembagi, jaringan kabel tegangan tinggi, tegangan menengah dan tegangan rendah. Ketenagalistrikan adalah segala sesuatu yang menyangkut penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik serta usaha penunjang tenaga listrik serta usaha penunjang tenaga listrik. Usaha penyediaan tenaga listrik adalah pengadaan tenaga listrik meliputi pembangkitan, transmisi, distribusi dan penjualan tenaga listrik kepada konsumen. Penguasaan listrik diatur dalam Pasal 3 yang berisi (1) Penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah berlandaskan prinsip otonomi daerah dan (2) Untuk penyelenggaraan penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik.
Pasal 4 berisi tentang Pengusahaan dengan ayat: (1) Pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dilakukan oleh badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah, (2) Badan usaha swasta, koperasi dan swadaya masyarakat dapat berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik, dan (3) Untuk penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1), Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan dana untuk:
a. Kelompok masyarakat tidak mampu;
b. Pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik di daerah yang belum berkembang; c. Pembangunan tenaga listrik di daerah terpencil dan perbatasan; dan
d. Pembangunan listrik perdesaan.
Peluang pemanfaatan sumber energi primer untuk sumber energi listrik, yaitu: (1) Sumber energi primer yang terdapat di dalam negeri dan/atau berasal dari luar negeri harus dimanfaatkan secara optimal sesuai dengan kebijakan energi nasional untuk menjamin penyediaan tenaga listrik yang berkelanjutan, (2) Pemanfaatan sumber energi primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan dengan mengutamakan sumber energi baru dan energi terbarukan dan (3) Pemanfaatan sumber energi primer yang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan untuk kepentingan ketenagalistrikan nasional.
Usaha Ketenagalistrikan meliputi: (a)usaha penyediaan tenaga listrik; dan (b)usaha penunjang tenaga listrik disebutkan dalam pasal 8. Dan usaha penunjang tenaga listrik terdiri atas: konsultasi dalam bidang instalasi penyediaan tenaga listrik; pembangunan dan pemasangan instalasi penyediaan tenaga listrik; pemeriksaan dan pengujian instalasi tenaga listrik; pengoperasian instalasi tenaga listrik; pemeliharaan instalasi tenaga listrik; penelitian dan pengembangan, dll (Pasal 15).
Dikutip dari inilahkoran.com, 2015 menurut penuturan PLT General Manager PLN DJBB Djoko R. Abumanan untuk kota Bandung beban puncak siang hari menjadi 8.000 MW dan malam hari 7.700 MW. Dari pernyataan ini dapat diasumsikan bahwa kapasitas daya yang disediakan oleh PLN Kota Bandung adalah 8.000 MW. Untuk perhelatan tertentu, PLN juga memiliki cadangan berupa beberapa unit mesin genset dengan kapasitas 1.500 KVA dan UPS berkapasitas 320 KVA. Berdasarkan Data Statistik PLN tahun 2011 didapat data sebagai berikut:
Tabel II.5. Jumlah Pelanggan per Jenis Pelanggan Satuan
PLN/Propinsi
Rumah
Tangga Industri Bisnis Sosial
Gdg. Kantor Pemerintahan
Penerangan
Jalan Umum Jumlah (%) Dist. Jawa
Barat
8.204.884 11.201 266.358 176.771 10.776 29.824 8.699.814 18,96
Sumber: Data Statistik PLN 2011
Tabel II.6. Daya Tersambung per Kelompok Pelanggan (MVA) Satuan
PLN/Propinsi
Rumah
Tangga Industri Bisnis Sosial
Gdg. Kantor Pemerintahan
Penerangan
Jalan Umum Jumlah (%) Dist. Jawa Barat 6.772,21 5.051,44 1.986,78 329,56 188,66 69,59 14.398,23 19,15
Tabel II.7. Daya Tersambung per Jenis Tegangan (MVA) Satuan
PLN/Propinsi
Tegangan
Jumlah (%) Rendah Menengah Tinggi Multiguna
Dist. Jawa Barat 8.953,61 4.766,44 635,84 53,35 14.398,23 19,15 Sumber: Data Statistik PLN 2011
Tabel II.8. Daftar Tunggu Permintaan Listrik Baru
Satuan PLN/Propinsi
Permintaan Baru Tersambung Digugurkan /
Batal Menunggu Jumlah Daya (kVA) Jumlah Daya (kVA) Jumlah Daya
(kVA) Jumlah
Daya (kVA)
Dist. Jawa Barat 493.008 1.412.902,26 493.008 1.412.902,26 - - - -
Sumber: Data Statistik PLN 2011
Dari data di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa PLN siap untuk memenuhi permintaan pelanggan baru, terlihat bahwa semua permintaan baru tersambung dengan jumah daya terpenuhi.