PERBEDAAN INKLINASI INSISIVUS PADA PASIEN
MALOKLUSI KLAS I DAN KLAS II SKELETAL
DENGAN POLA PERNAFASAN NORMAL
DAN PERNAFASAN MELALUI MULUT
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi
syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi
Oleh:
Nishanthi Selvarajoo
NIM : 110600192
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNVERSITAS SUMATERA UTARA
Fakultas Kedokteran Gigi
Departemen Ortodonti
Tahun 2015
Nishanthi Selvarajoo
Perbedaan Inklinasi Insisivus Pada Pasien Maloklusi Klas I Dan Klas II
Skeletal Dengan Pola Pernafasan Normal dan Pernafasan Melalui Mulut
xi + 36 halaman
Pernafasan atau respirasi adalah proses masuk dan keluarnya udara ke dalam
dan keluar paru-paru. Pada pernafasan normal, udara masuk dan keluar melalui
hidung.Pernafasan mulut terjadi karena adanya kesulitan dalam bernafas melalui
hidung. Bernafas melalui mulut dapat mengubah postur kepala, rahang dan lidah, dan
ini akan mengubah keseimbangan tekanan pada rahang dan gigi serta mempengaruhi
pertumbuhan rahang dan posisi gigi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
perbedaan inklinasi gigi insisivus maksila, inklinasi gigi insisivus mandibula dan
sudut interinsisal pada pasien maloklusi Klas I dan Klas II skeletal dengan pola
pernafasan normal dan pernafasan melalui mulut.Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif. Populasi penelitian adalah roentgen foto sefalometri lateral pasien yang
datang ke RSGMP FKG USU dari tahun 2009-2013. Sampel yang digunakan adalah
data sekunder berupa 44 foto sefalometri lateral pasien yang bernafas normal dan
bernafas melalui mulut berusia antara 8-12 tahun. Analisis data dilakukan dengan
menghitung rerata dan standar deviasi inklinasi gigi insisivus maksila, inklinasi gigi
insisivus mandibula dan sudut interinsisal, kemudian dilakukan uji-t Independen.
Hasil penelitian menunjukkan untuk pernafasan normal pada maloklusi Klas I dan
Klas II skeletal, nilai rerata derajat dan ukuran linear untuk I.NA adalah 23,77˚ dan
22,11˚, I-NA adalah 5,11 mm dan 4,59 mm, I.NB adalah 25,82˚ dan 27,18˚, I-NB
sedangkan untuk pernafasan melalui mulut pada maloklusi Klas I dan II skeletal, nilai
rerata derajat dan ukuran linear untuk I.NA adalah 29,03˚ dan 27,32˚, I-NA adalah
7,47 mm dan 5,36 mm, I.NB adalah 28,10˚ dan 30,14˚, I -NB adalah 6,78 mm dan
8,61 mm dan nilai rerata untuk sudut I.I adalah 120,47˚ dan 117,07˚. Hasil uji -t
Independen menunjukkan nilai rerata derajat dan ukuran linear inklinasi gigi insisivus
maksila dan sudut interinsisal pada maloklusi Klas I skeletal dan derajat inklinasi gigi
insisivus maksila, ukuran linear inklinasi gigi insisivus mandibula dan sudut
interinsisal pada maloklusi Klas II skeletal antara pernafasan normal dan pernafasan
melalui mulut terdapat perbedaan signifikan (p<0,05).
PERBEDAAN INKLINASI INSISIVUS PADA PASIEN
MALOKLUSI KLAS I DAN KLAS II SKELETAL
DENGAN POLA PERNAFASAN NORMAL
DAN PERNAFASAN MELALUI MULUT
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi
syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi
Oleh:
Nishanthi Selvarajoo
NIM : 110600192
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNVERSITAS SUMATERA UTARA
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan
di hadapan tim penguji skripsi
Medan, 25 Maret 2015
Pembimbing : Tanda tangan,
Hilda Fitria Lubis. drg., Sp.Ort ---
TIM PENGUJI SKRIPSI
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji
pada tanggal, 30 Maret 2015
TIM PENGUJI
KETUA : Hilda Fitria Lubis, drg., Sp.Ort
ANGGOTA : 1. Muslim Yusuf, drg., Sp.Ort (K)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan karunia-Nya
sehingga skripsi dengan judul “Perbedaan Inklinasi Insisivus Pada Pasien Maloklusi
Klas I Dan Klas II Skeletal Dengan Pola Pernafasan Normal dan Pernafasan Melalui
Mulut” telah selesai disusun untuk memenuhi kewajiban penulis sebagai salah satu
syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi.
Penulis juga mengucapkan terimakasih yang teristimewa kepada kedua
orangtua tercinta yakni Selvarajoo Palaniandy dan SarojaKomarasamy atas segala
kasih sayang, doa dan dukungan sepenuhnya serta kepada dua adik
tersayang,Ghayathri dan Nityaa penulis juga mengucapkan terima kasih atas
dukungan yang selalu diberikan kapan pun dan dimana pun berada.
Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
telah turut memberikan bimbingan, bantuan dan dukungan dalam menyelesaikan
skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Prof. H. Nazruddin, drg., C.Ort., PhD, Sp.Ort., selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
2.Erna Sulistyawati, drg., Sp.Ort (K)., selaku ketua Departemen Ortodonti
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
3. Hilda Fitria Lubis, drg., Sp.Ort selaku koordinator skripsi Departemen
Ortodontsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara dan selaku dosen
pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu dan pikirannya dalam
memberi bimbingan, saran dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Muslim Yusuf, drg., Sp.Ort (K), dan Mimi Marina Lubis,drg., Sp.Ort,
selaku dosen tim penguji yang telah menyediakan waktu dan memberikan masukan
kepada penulis.
5. Maya Fitria, SKM., M.Kes, selaku dosen FKM yang telah banyak
6.Hendry Rusdy, drg., M.Kes., Sp.BM., selaku dosen pembimbing akademik
yang telah membimbing penulis selama menjalani program akademik.
7. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera
Utara terutama staf pengajar dan pegawai di Departemen Ortodonsia atas bantuan
yang diberikan kepada penulis.
8. Teman terbaik Ravinraj Ilangovan, yang selalu memberikan dukungan dan
semangat yang tidak hentinya selama penulisan skripsi hingga skripsi ini
terselesaikan.
9. Teman-teman seperjuangan skripsi di Departemen Ortodonti Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Suamtera Utara yaitu Octavina Sitorus, Yudith,
Muhammad Salahuddin, Vasanthy, Indah Ghayathri, Muslim Ridho, Monica Evana,
Fredysen, dan Aida.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan di dalam penulisan
skripsi ini dan penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk
menghasilkan karya yang lebih baik lagi di kemudian hari.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga hasil karya atau skripsi ini dapat
memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi pengembangan disiplin ilmu di
Fakultas Kedokteran Gigi khususnya Departemen Ortodonti.
Medan, 25 Maret 2015
Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...
HALAMAN PERSETUJUAN ...
HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI . ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang... 1
1.2Rumusan Masalah ... 3
1.3TujuanPenelitian . ... 4
1.4 Manfaat Penelitian . ... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1Pengertian Pernafasan. ... 5
2.2Anatomi Saluran Pernafasan Atas ... 5
2.3Pola Pernafasan... ... 7
2.3.1 Bernafas Melalui Hidung. ... 7
2.3.2 Bernafas Melalui Mulut ... 8
2.4Pengaruh Bernafas Melalui Mulut Terhadap Dentoalveolar ... 9
2.5Radiografi Sefalometri. ... 11
2.6Analisis Steiner... ... 13
2.7 Analisis McNamara... ... 16
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1Jenis Penelitian .. ... 17
3.2Waktu dan Tempat Penelitian ... ... 17
3.2.2 Waktu Penelitian ... 17
3.3Populasi dan Sampel Penelitian... 17
3.3.1 Populasi Penelitian. ... 17
3.3.2 Sampel Penelitian ... 17
3.4Kriteria Sampel .... ... 18
3.4.1 Kriteria Inklusi ... ... 18
3.4.2 Kriteria Eksklusi ... ... 18
3.5Identifikasi Variable Penelitian ... ... 19
3.5.1 Variabel Bebas ... ... 19
3.5.2 Variabel Tergantung . ... . 19
3.5.3 Variabel Terkendali ... 19
3.5.4 Variabel Tidak Terkendali ... 19
3.6 Definisi Operasional .. ... 19
3.7 Alat dan Bahan ... ... 20
3.7.1 Alat .. ... 20
3.7.2 Bahan ... ... 21
3.8 Cara Pengambilan Data ... ... 22
3.9 Pengolahan dan Analisis Data .. ... 24
BAB 4 HASIL PENELITIAN. ... 25
BAB 5 PEMBAHASAN... 30
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 33
6.2 Saran ... 33
DAFTAR PUSTAKA ... 34
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Pengukuran lebar saluran udara pharynx atas analisis McNamara ... 16 2. Nilai rerata inklinasi gigi insisivus maksila antara pernafasan normal
(hidung) dan pernafasan melalui mulut pada maloklusi Klas I skeletal ... 26
3. Nilai rerata inklinasi gigi insisivus mandibula antara pernafasan normal
(hidung) dan pernafasan melalui mulut pada maloklusi Klas I skeletal ... 26
4. Nilai rerata sudut interinsisal antara pernafasan normal (hidung) dan
pernafasan melalui mulut pada maloklusi Klas I skeletal ... 27
5. Nilai rerata inklinasi gigi insisivus maksila antara pernafasan normal
(hidung) dan pernafasan melalui mulut pada maloklusi Klas II skeletal ... . 28
6. Nilai rerata inklinasi gigi insisivus mandibula antara pernafasan normal
(hidung) dan pernafasan melalui mulut pada maloklusi Klas II skeletal ... 29
7. Nilai rerata sudut interinsisal antara pernafasan normal (hidung) dan
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Anatomi saluran pernafasan .... ... . 6
2. Hubungan antara bibir, gigi dan lidah pada pernafasan normal ... 8
3. Posisi lidah pada pernafasan melalui mulut ... 9
4. Sefalogram lateral dan frontal ... 12
5. Inklinasi insisivus maksila menurut Steiner ... 14
6. Inklinasi insisivus mandibula menurut Steiner ... 15
7. Sudut interinsisal menurut Steiner ... 15
8. Alat dan bahan penelitian ... 21
9 . Pengukuran lebar saluran udara pharynx atas menurut McNamara ... 22
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Kerangka Teori
2. Kerangka Konsep
3. Hasil pengukuran sudut SNA, SNB, ANB, I.NA, I.NB, I.I dan ukuran linear
I-NA, I-NB pada sefalogram pola pernafasan normal (hidung).
4. Hasil pengukuran sudut SNA, SNB, ANB, I.NA, I.NB, I.I dan ukuran linear
I-NA, I-NB pada sefalogram pola pernafasan melalui mulut.
5. Distribusi nilai rerata derajat I.NA, I.NB, I.I dan ukuran linear I-NA, I-NB
antara pola pernafasan normal (hidung) dan pernafasan melalui mulut pada
maloklusi Klas I skeletal.
6. Hasil perhitungan statistik uji-t Independen terhadap nilai I.NA, I-NA,
I.NB,
I-NB dan I.I antara pola pernafasan normal (hidung) dan pernafasan melalui
mulut pada maloklusi Klas I skeletal.
7. Distribusi nilai rerata derajat I.NA, I.NB, I.I dan ukuran linear I-NA, I-NB
antara pola pernafasan normal (hidung) dan pernafasan melalui mulut pada
maloklusi Klas II skeletal.
8. Hasil perhitungan statistik uji-t Independen terhadap nilai I.NA, I-NA,
I.NB, I-NB dan I.I antara pola pernafasan normal (hidung) dan pernafasan
melalui mulut pada maloklusi Klas IIskeletal.
9. Hasil uji statistik Shapiro-Wilk terhadap distribusi nilai derajat I.NA, I,NB,
I.I dan ukuran linear I-NA, I-NB pada pola pernafasan normal (hidung) dan
pola pernafasan melalui mulut.
10. Distribusi nilai rerata derajat I.NA, I.NB, I,I dan ukuran linear I-NA, I-NB
antara maloklusi Klas I dan Klas II skeletal pada pola pernafasan normal
11. Hasil perhitungan statistik uji-t Independen terhadap nilai I.NA, I-NA, I.NB,
I-NB dan I.I antara maloklusi Klas I dan Klas II skeletalpada pola
pernafasan normal (hidung) dan pernafasan melalui mulut.
12. Surat persetujuan komisi etik tentang pelaksanaan penelitian bidang
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pernafasan atau respirasi adalah proses masuk dan keluarnya udara ke dalam
dan keluar paru-paru. Sistem pernafasan berfungsi untuk menyediakan suplai oksigen
(O2) dan mengeluarkan karbon dioksida (CO2) dari dalam tubuh. Pertukaran gas
antara oksigen dengan karbon dioksida dilakukan agar proses respirasi sel terus
berlangsung. Oksigen yang dibutuhkan untuk proses respirasi sel ini berasal dari
atmosfer, yang menyediakan kandungan gas oksigen sebanyak 21% dari seluruh gas
yang ada. Proses pertukaran oksigen dan karbon dioksida terjadi pada saat manusia
bernafas. Pernafasan normal adalah pernafasan melalui hidung dimana udara masuk
melalui hidung ke faring dan laring dan ke trakea. Trakea membagi kepada dua
cabang, bronkus kanan dan kiri, sebelum memasuki paru-paru.1
Bernafas melalui mulut adalah suatu keadaan abnormal yang terjadi karena
adanya kesulitan dalam bernafas melalui hidung, sehingga kebutuhan pernafasan
tersebut dipenuhi lewat mulut. Kegagalan hidung untuk berfungsi sebagai saluran
pernafasan utama, akan menyebabkan tubuh secara otomatis beradaptasi dengan
menggunakan mulut sebagai saluran untuk bernafas.1-3 Pernafasan melalui mulut terjadi akibat obstruksi nasal dan nasofaring. Obstruksi nasal dapat disebabkan oleh
alergi, hipertrofi dan inflamatori tonsil atau adenoid, deviasi septum nasal dan rinitis.
Adanya hambatan atau obstruksi saluran nafas atas mengakibatkan seseorang mencari
alternatif cara bernafas melalui mulut, yang dilakukan secara total atau kombinasi
hidung dan mulut.3-8
Pernafasan melalui mulut dapat menyebabkan efek terhadap perkembangan
tulang rangka wajah dan oklusi gigi akibat terjadinya penyimpangan gaya otot lateral,
bukal dan lingual dari keadaan normal.1 Bernafas melalui mulut dapat mengubah
postur kepala, rahang dan lidah.3,9 Keadaan ini dapat mengubah keseimbangan
posisi gigi. Pada pasien yang bernafas melalui mulut, posisi lidah rendah dan ke
belakang jika perubahan postural ini berlangsung terus menerus akan mengakibatkan
tinggi wajah bertambah, mandibula berotasi ke bawah dan ke belakang, tekanan otot
buksinator meningkat sehingga menyebabkan lengkung maksila menjadi sempit.
Selain mengubah postur kepala rahang dan lidah, bernafas melalui mulut
diperkirakan dapat mempengaruhi aktivitas otot-otot orofasial seperti otot bibir dan
lidah.Perubahan aktivitas otot-otot tersebut dapat menuntun terjadinya penyimpangan
pola pertumbuhan wajah dan postur kepala yang dapat mengakibatkan timbulnya
deformitas dentofasial.1,3,8-11
Menurut Juliano dkk, gigi insisivus maksila (I.NA) menunjukkan inklinasi
bukal yang lebih besar pada anak yang bernafas melalui mulut dengan nilai rerata
26.3˚ ± 6.2˚. Nilai rerata derajat inklinasi gigi insisivus mandibula (I.NB) ditemukan
tidak ada perbedaan yang signifikan, akan tetapi ukuran linear pada insisivus maksila
dan mandibula (I-NA dan I-NB) menunjukkan inklinasi lebih ke anterior pada anak
yang bernafas melalui mulut. Nilai rerata ukuran linear I-NA adalah
5,3 mm ± 2.3 mm dan nilai rerata ukuran linear I-NB adalah 7.5 mm ± 2.8 mm.2
Menurut McNamara Jr, Paul dan Nanda, insisivus maksila (I.NA) pada orang yang
bernafas melalui mulut lebih protrusi karena penempatan bibir bawah yang
hipertonus diantara insisivus maksila dan insisivus mandibula yang lama-kelamaan
menyebabkan terjadinya protrusi gigi insisivus maksila.3 Menurut Cabrera dkk, pada
pasien dengan maloklusi Klas II divisi 1 Angle, nilai rerata ukuran linear inklinasi
gigi insisivus maksila dan mandibula (I-NA dan I-NB) lebih besar pada pernafasan
melalui mulut dengan perbedaan yang signifikan. Nilai rerata ukuran linear I-NA
adalah 5,56 mm ± 1,69 mm dan nilai rerata ukuran linear I-NB adalah 6,97 mm ±
1,75 mm.4 Penelitian yang dilakukan oleh Subtelny dan Solow memperoleh hasil
yang berbeda, dimana terjadi retroklinasi insisivus maksila terhadap garis Sella ke
Nasion (S-N) pada pasien yang bernafas melalui mulut.3 Hasil penelitian ini juga
sesuai dengan penelitian Faria dkk, yang tidak menemukan perbedaan signifikan pada
tinggi molar maksila dan mandibula, inklinasi insisivus maksila dan mandibula serta
Karena adanya perbedaan pendapat ini, maka penulis ingin membandingkan
inklinasi gigi insisivus maksila, inklinasi gigi insisivus mandibula dan sudut
interinsisal pada pasien maloklusi Klas I dan Klas II skeletal dengan pernafasan
normal (hidung) dan pernafasan melalui mulut dilihat dari sefalometri lateral.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah ada perbedaan inklinasi gigi insisivus maksila pada pasien
maloklusi Klas I dan Klas II skeletal dengan pola pernafasan normal dan pernafasan
melalui mulut ditinjau dari radiografi sefalometri lateral ?
2. Apakah ada perbedaan inklinasi gigi insisivus mandibula pada pasien
maloklusi Klas I dan Klas II skeletal dengan pola pernafasan normal dan pernafasan
melalui mulut ditinjau dari radiografi sefalometri lateral ?
3. Apakah ada perbedaan sudut interinsisal pada pasien maloklusi Klas I dan
Klas II skeletal dengan pola pernafasan normal dan pernafasan melalui mulut
ditinjau dari radiografi sefalometri lateral ?
1.3 Hipotesis
1. Ada perbedaan inklinasi gigi insisivus maksila pada pasien maloklusi
Klas I dan Klas II skeletal dengan pola pernafasan normal dan pernafasan melalui
mulut ditinjau dari sefalometri lateral.
2. Ada perbedaan inklinasi gigi insisivus mandibula pada pasien maloklusi
Klas I dan Klas II skeletal dengan pola pernafasan normal dan pernafasan melalui
mulut ditinjau dari sefalometri lateral.
3. Ada perbedaan sudut interinsisal pada pasien maloklusi Klas I dan Klas II
skeletal dengan pola pernafasan normal dan pernafasan melalui mulut ditinjau dari
1.4 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui perbedaan inklinasi gigi insisivus maksila pada pasien
maloklusi Klas I dan Klas II skeletal dengan pola pernafasan normal dan pernafasan
melalui mulut ditinjau dari sefalometri lateral.
2. Untuk mengetahui perbedaan inklinasi gigi insisivus mandibula pada
pasien maloklusi Klas I dan Klas II skeletal dengan pola pernafasan normal dan
pernafasan melalui mulut ditinjau dari sefalometri lateral.
3. Untuk mengetahui perbedaan sudut interinsisal pada pasien maloklusi
Klas I dan Klas II skeletal dengan pola pernafasan normal dan pernafasan melalui
mulut ditinjau dari sefalometri lateral.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Pengaruh pola pernafasan mulut terhadap dental ditinjau dari
sefalometri lateral dapat menjadi pertimbangan dalam menegakkan diagnosa
ortodonti.
2. Membantu dalam membuat rencana perawatan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Pernafasan
Pernafasan (respirasi) adalah proses menghirup udara dari luar yang
mengandung oksigen serta menghembuskan udara yang mengandung karbon dioksida
sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Proses ini disebut inspirasi dan
menghembuskan udara disebut ekspirasi. Inspirasi terjadi ketika tekanan alveoli
dibawah tekanan atmosfir.Otot yang paling penting dalam inspirasi adalah diafragma,
bentuknya melengkung dan melekat pada tulang rusuk paling bawah dan otot
interkosta eksterna.Ketika diafragma berkontraksi, bentuknya menjadi datar dan
menekan dibawahnya yaitu pada isi abdomen dan mengangkat tulang rusuk.Keadaan
ini menyebabkan pembesaran rongga toraks dan paru-paru.Meningkatnya ukuran
dada menurunkan tekanan intrapleura sehingga paru-paru
mengembang.Mengembangnya paru-paru berakibat pada penurunan tekanan alveolus
sehingga udara bergerak menurut gradien tekanan dari atmosfir kedalam paru-paru.
Hal ini berlangsung terus sampai tekanan menjadi sama dengan tekanan atmosfir.
Ekspirasi merupakan fase relaksasi atau kembalinya otot diafragma ke posisi semula
yang dikuti oleh turunnya tulang rusuk sehingga rongga toraks menjadi kecil. Sebagai
akibatnya, tekanan alveolus menjadi lebih besar daripada tekanan atmosfir, sehingga
udara bergerak dari paru-paru ke atmosfir.5
2.2 Anatomi Saluran Pernafasan Atas
Sistem pernafasan terdiri dari komponen berupa saluran pernafasan yang
dimulai dari hidung, faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolusdan alveolus.Saluran
pernafasan bagian atas dimulai dari hidung sampai laring dan bagian bawah dari
Gambar 1. Anatomi saluran pernafasan 5
Hidung merupakan saluran pernafasan teratas.Batang hidung adalah dinding
depan hidung yang dibentuk oleh ossa nasalis. Pada hidung, terdapat rongga yang
disebut rongga hidung (kavum nasi).Rongga hidung atau kavum nasi dibentuk oleh
tulang-tulang serta jaringan lunak dibagian anterior.Septum nasi adalah dinding yang
membatasi dua rongga hidung, membagi rongga hidung menjadi kanan dan kiri.
Lubang masuk rongga hidung di bagian depan disebut nares anterior dan lubang
belakang berhubungan dengan nasofaring melalui koana.5,15,16
Daerah faring dibagi atas tiga bagian yaitu nasofaring yang terletak
dibelakang hidung dan posterior terhadap koana, orofaring yang terletak dibelakang
mulut dan posterior terhadap isthmus faucium serta laringofaring terletak dibelakang laring dan posterior terhadap aditus laryngis.Nasofaring merupakan lubang sempit yang terdapat dibelakang rongga hidung.Bagian depan berhubungan dengan rongga
hidung melalui koana. Nasofaring berhubungan dengan orofaring pada bagian
palatum lunak, batas bawah dengan tepi atas epigloti, ke depan dengan rongga mulut
sedangkan ke belakang dengan vertebra servikalis.7,15
Laring merupakan penghubung faring dan trakea, khususnya dalam
hubungannya dengan fungsi pernafasan.Laring merupakan struktur yang lengkap dari
kartilago tiroid, epiglotis, kartilago krikoid dan dua buah kartilago aritenoid. Laring
dilapisi oleh selaput lendir, kecuali pita suara dan bagian epiglotis yang dilapisi oleh
sel epitelium berlapis.5,15
2.3 Pola Pernafasan
Pada pernafasan normal udara masuk dan keluar melalui hidung. Pernafasan
melalui mulut terjadi jika ada obstruksi pada saluran nasal atau nasofaring yang
menghalangi pernafasan melalui hidung sehingga menyebabkan pernafasan melalui
mulut secara terus-menerus.1,3,5 Pola pernafasan terdiri dari :
2.3.1 Bernafas Melalui Hidung
Pernafasan normal adalah masuk dan keluarnya udara melalui hidung.Hidung
berfungsi sebagai saluran untuk udara mengalir ke dan dari paru-paru, penyaring
kotoran dan melembabkan serta menghangatkan udara yang ditarik ke dalam
paru-paru.Rongga hidung akan melebar saat menarik nafas dan posisi bibir dalam keadaan
istirahat menutup tanpa tekanan. Pernafasan normal terjadi, jika udara masuk ke
tubuh melalui rongga hidung. Udara yang masuk, kemudian ke faring yang berfungsi
sebagai saluran bagi sistem pernafasan dan pencernaan, selanjutnya mengalir ke
Gambar 2. Hubungan antara bibir, gigi dan lidah pada pernafasan normal 1
2.3.2 Bernafas Melalui Mulut
Pernafasan melalui mulut adalah suatu kondisi dimana udara masuk melalui
mulut atau kombinasi hidung dan mulut ke dalam paru-paru, yang terjadi karena
adanya kesulitan dalam bernafas melalui hidung, sehingga kebutuhan pernafasan
tersebut dipenuhi lewat mulut. Pernafasan melalui mulut dapat terjadi karena adanya
penyumbatan sebagian atau total pada saluran pernafasan atas.1-3
Bernafas melalui mulut sering merupakan reaksi terhadap berbagai jenis
obstruksi nasal atau nasofaring.Postur bibir yang terbuka pada waktu istirahat atau
bibir yang inkompeten sering dihubungkan dengan bernafas melalui mulut.Menurut
Faria dkk, prevalensi pernafasan melalui mulut terjadi apabila pernafasan melalui
hidung terganggu akibat pembesaran adenoid dan hipertrofi tonsil, rinitisdan deviasi
septum nasal.Untuk mencegah iritasi dari adenoid dan tonsil, lidah menempati posisi
anterior dan inferior. Posisi ini mempermudah pertukaran udara melalui kavitas oral,
A (Pandangan sagital) B (Pandangan koronal)
Gambar 3 :
A. Lidah yang ke anterior mendorong gigi-gigi atas dan bawah ke labial sehingga
menimbulkan overjet dan diastema pada gigi-gigi anterior atas dan bawah. Mandibula berotasi ke belakang dan ke bawah untuk menyediakan tempat bagi
posisi lidah yang baru. sebagai akibatnya tinggi wajah meningkat.17
B. Lidah terletak di bawah dan di mandibula. Aksi buksinator tidak diimbangi oleh
lidah sehingga palatal konstriksi dan mengakibatkan crossbite posterior.17
2.4 Pengaruh Bernafas Melalui Mulut Terhadap Dentoalveolar
Pernafasan adalah proses pengambilan oksigen (O2) untuk sel-sel tubuh dan
pembuangan karbon dioksida (CO2) keluar tubuh, sebagai hasil sisa metabolisme.
Pernafasan melalui mulut terjadi jika pernafasan tidak dapat dilakukan secara normal
melalui hidung. Pernafasan melalui mulut berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan dentoalveolar, sebab pola pertumbuhan kompleks dentoalveolar
dipengaruhi oleh variasi genetika dan lingkungan.1,11,19
Pola pernafasan melibatkan postur rahang dan lidah (dan sedikit
mempengaruhi kepala). Bernafas melalui mulut dapat mengubah postur kepala,
rahang dan lidah.3,6 Keadaan ini dapat mengubah keseimbangan tekanan pada rahang
dan gigi dan mempengaruhi pertumbuhan rahang dan posisi gigi. Seseorang agar
dapat bernafas melalui mulut, maka orang tersebut perlu menurunkan mandibula dan
akan meningkat, mandibula akan berotasi ke bawah dan ke belakang, gigitan anterior
terbuka dan overjet meningkat, serta peningkatan tekanan otot buksinator akan menyebabkan lengkung maksila menjadi sempit. Bernafas melalui mulut yang kronis
secara jelas akan mengubah posisi gigi-geligi dan lengkung gigi.1,12,21
Perubahan postur kepala, posisi rahang dan lidah yang turun merupakan
adaptasi awal yang terjadi akibat bernafas melalui mulut. Adaptasi kranioservikal
menyebabkan postur kepala menjadi lebih tegak untuk memudahkan proses
pernafasan. Penelitian yang dilakukan oleh Miller dkk, menemukan bahwa terjadi
peningkatan aktivitas otot milohyoid dan genioglossus sehingga menyebabkan rahang
bawah turun dan lidah berada pada posisi yang lebih rendah dari normal serta terjadi
peningkatan aktivitas otot orbicularis oris yang menyebabkan bibir atas terangkat dan
mulut membuka yang lama-kelamaan dapat menyebabkan kelainan kembang
kraniofasial.1
Menurut Sollow dan Hellsing, bernafas melalui mulut dapat menyebabkan
tekanan bibir atas terhadap gigi insisivus maksila berkurang dan tekanan bibir bawah
terhadap gigi insisivus mandibula bertambah. Saat membuka mulut, posisi bibir atas
tidak dalam keadaan menekan gigi-gigi anterior, sedangkan bibir bawah yang
berfungsi menahan tepi insisal gigi-gigi anterior maksila terletak lebih ke depan dari
normal. Posisi bibir bawah yang terletak lebih ke depan dari normal merupakan
faktor pendorong gigi-gigi anterior maksila bergerak ke labial. Moyers menyebutkan
tanda-tanda bernafas melalui mulut adalah lengkung rahang atas sempit dan palatum
tinggi, protrusi gigi-gigi anterior, gigi-gigi rahang atas dan rahang bawah berjejal,
crossbite dan relasi gigi molar pertama distoklusi atau neutroklusi.1
Menurut Juliano dkk, pernafasan mulut selama fase pertumbuhan sering
mengakibatkan perubahan pertumbuhan dan kelainan perkembangan kranial dan
maksilomandibula. Pada umumnya, pernafasan mulut dapat menyebabkan maloklusi
gigi yang dapat menyebabkan peningkatan tinggi wajah anterior, palatum sempit dan
inisivus maksila dan mandibula menunjukkan inklinasi lebih ke anterior pada anak
yang bernafas melalui mulut.2
Menurut Peltomaki T, anak yang bernafas melalui mulut akibat hipertropi
adenoid sering dihubungkan dengan tipe wajah adenoid. Ciri-ciri wajah adenoid
antaranya adalah bibir yang inkompeten, lengkung maksila yang sempit, gigi
insisivus mandibula yang retroklinasi, peningkatan tinggi wajah anterior serta
mandibula yang retrognatik.9
Menurut Bresolin dkk, tinggi palatal dan overjet lebih besar pada anak yang bernafas melalui mulut. Pernafasan melalui mulut dapat menyebabkan peningkatan
tinggi wajah, mandibula yang retrognatik, palatum yang dalam dan sempit, dan
cenderung memiliki posterior crossbites.13 Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitianAscanio dkk, yang juga menemukan tinggi palatal dan overjet yang besar,
serta prevalensi cross-bite yang tinggi pada kelompok bernafas melalui mulut.14
2.5 Radiografi Sefalometri
William Conrad Roentgen adalah seorang penemu sinar-X pada tahun 1895
merupakan revolusi di bidang radiografi, yang sangat berguna untuk ilmu
pengetahuan.22,23 Radiografi sefalometri kemudian dikembangkan oleh Hofrath dan
Broadbent dan baru digunakan di klinik pada era 1960-an. Keunggulan radiografi
sefalometri dijumpai dalam akurasi dan teknik pengambilan pengukuran kraniofasial.
Penggunaan alat khusus yaitu sefalostat yang dapat meletakkan posisi kepala pasien
secara akurat dan stabil dalam pemaparan radiografi. Radiografi sefalometri
merupakan pilar dalam penetapan diagnosa yang komprehensif, penyusunan rencana
perawatan dan evaluasi hasil perawatan ortodonti.24,25
Fungsi radiografi sefalometri dalam bidang ilmu ortodonti digunakan untuk
membantu:23,24
1. Diagnosa ortodonti dalam pemaparan struktur skeletal, dental dan jaringan
lunak.
2. Klasifikasi abnormalitas skeletal dan dental serta tipe wajah.
4. Evaluasi hasil sebelum dan sesudah perawatan ortodonti.
5. Perkiraan arah pertumbuhan.
6. Sebagai alat bantu dalam riset yang melibatkan regio kranio-dento-fasial
Sefalometri dibagi menjadi menurut analisisnya:24
1. Sefalogram frontal: Gambaran frontal atau anterior-posterior dari tengokarak kepala
2. Sefalogram lateral: Gambaran lateral dari tengkorak kepala. Dari sefalogram lateral dapat dilakukan analisa dental dan jaringan lunak.
Gambar 4 : Sefalogram lateral dan frontal
Banyak analisis sefalometri telah dikembangkan untuk mengevaluasi oklusi
gigi dan proporsi dentofasial agar terlihat lebih estetis.26
Dari sefalometri lateral dapat dilakukan analisis dental untuk melihat inklinasi
gigi anterior. Titik-titik referensi yang dapat digunakan dalam analisis dental :23 • Nasion (N) : titik paling cekung pada pertengahan dahi dan hidung. • Sella (S) : titik pertengahan sella turcica
• Subspinal (A) : titik terdalam pada kurvatura premaksila yang terletak
antara spina nasalis anterior dan prostion.
Beberapa analisis sefalometri dental digunakan untuk membuat rencana
perawatan ortodonti seperti analisis Tweed, Jaraback, Steiner dan McNamara. Dalam
penelitian ini, akan digunakan analisis Steiner dan McNamara.23,29
2.6 Analisis Steiner
Analisis Steiner diperkenalkan pada tahun 1950.Analisis ini dapat digunakan
untuk mengetahui hubungan skeletal, dental dan jaringan lunak melalui sefalometri
lateral.Analisis ini digunakan untuk membuat rencana perawatan ortodonti. Sudut dan
ukuran linear yang digunakan pada analisis Steiner untuk menentukan hubungan
dental yaitu I.NA, I.NB dan I.I.2,23,25-28 ( Gambar 5,6,7)
1. Posisi Insisivus Maksila (I.NA)
• Garis ditarik dari nasion (N) ke titik A dan inklinasi aksial gigi
insisivus maksila ditentukan melalui garis yang ditarik dari tepi insisal
gigi insisivus maksila ke apeks akar gigi insisivus maksila serta ukuran
linear gigi insisivus maksila ditentukan melalui garis yang ditarik dari
permukaan gigi insisivus paling labial terhadap garis N-A.
• Gigi insisivus maksila terhadap garis N-A diukur dalam derajat untuk
menentukan hubungan angular gigi-gigi insisivus maksila, sedangkan
apabila diukur dalam linear (milimeter, mm), memberikan informasi
posisi gigi insisivus lebih di depan/belakang dari garis N-A.
• Nilai rerata normal derajat dan ukuran linear inklinasi gigi insisivus
Gambar 5. Hubungan gigi insisivus maksila terhadap garis N-A, 22˚ dan 4 mm (normal) 25
2. Posisi Insisivus Mandibula (I.NB)
• Garis ditarik dari nasion (N) ke titik B dan inklinasi aksial gigi insisivus mandibula ditentukan melalui garis yang ditarik dari tepi
insisal gigi insisivus mandibula ke apeks akar gigi insisivus mandibula
serta ukuran linear gigi insisivus mandibula ditentukan melalui garis
yang ditarik dari permukaan gigi insisivus paling labial terhadap garis
N-B.
• Gigi insisivus mandibula terhadap garis N-B diukur dalam derajat
untuk menentukan hubungan angular gigi-gigi insisivus mandibula,
sedangkan apabila diukur dalam linear (milimeter, mm), memberikan
informasi posisi gigi insisivus lebih di depan/belakang dari garis N-B. • Nilai rerata normal derajat dan ukuran linear inklinasi gigi insisivus
Gambar 6. Hubungan gigi insisivus mandibula terhadap garis N-B, 25˚ dan 4 mm (normal) 25
3. Sudut interinsisal (I.I)
• Sudut interinsisal merupakan perpanjangan garis dari tepi insisal dan
apeks akar gigi insisivus maksila dan insisivus mandibula.
• Pengukuran sudut interinsisal adalah untuk mengetahui inklinasi gigi
insisivus dan relasi gigi insisivus maksila dan mandibula. • Nilai rerata normal I.I adalah 130˚.
• Sudut ini kecil bila inklinasi gigi insisivus lebih ke labial dari basis
gigi- geligi.
2.7 Analisis McNamara
Menurut McNamara, lebar saluran udara pharynx atas adalah panjang garis dari titik paling posterior pada palatum lunak ke dinding terdekat posterior pharynx
dimana garis tersebut sejajar garis gonion (Go) dengan supramental (B). Titik
posterior palatum lunak didapat dari palatum lunak dibagi dua melintang ditarik
sejajar ke pinggir luar palatum lunak.29
McNamara mengukur lebar saluran udara pharynx atas pada subjek dewasa laki-laki dan perempuan, dapat dilihat pada tabel 1.25,29
Tabel 1. Pengukuran lebar saluran udara pharynx atas 29
Saluran Udara Laki-laki Perempuan
SD SD Pharynx
atas (mm) 17.4 4.3 17.4 3.4
Apabila lebar saluran udara pharynx atas lebih kecil daripada normal, ditandai sebagai indikator adanya gangguan pernafasan. Martin Oscar dkk, mendapatkan hasil
yang tidak jauh berbeda dengan McNamara dimana lebar pharynx atas pada perempuan adalah 17,5 mm dan pada laki-laki adalah 17,3 mm. Saluran udara
pharynx atas meningkat sesuai pertambahan umur. Pengukuran lebar saluran udara
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan tujuan untuk
mengetahui perbedaan inklinasi insisivus antara pola pernafasan normal dan
pernafasan melalui mulut pada pasien maloklusi Klas I dan Klas II skeletal di Klinik
Ortodonti RSGMP FKG USU tahun 2009-2013.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1 Tempat penelitian
Penelitian akan dilaksanakan di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, Medan.
3.2.2 Waktu penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Agustus 2014 hingga Maret 2015.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah pasien yang datang ke Klinik Ortodonti RSGMP
FKG USU pada tahun 2009-2013.
3.3.2 Sampel penelitian
Sampel pada penelitian ini adalah roentgen foto sefalometri lateral pasien
dengan pola pernafasan normal (hidung) dan pernafasan melalui mulut. Besar sampel
n ≥ (Z (0,5-α/2) + Z (0,5-β) ) Sd 2
d
n ≥ (1,96 + 1,282) 2,144 2
1,5
n ≥ 21,5 dua kelompok, masing-masing kelompok dua puluh
dua sehingga jumlah sampel empat puluh empat orang.
Keterangan :
n = besar sampel
Z (0,5-α/2) = nilai distribusi normal baku alpha. Untuk α = 0,05 1,96
Z (0,5-β) = nilai distribusi normal baku betha. Untuk β = 0,10 1,282
Sd = standard deviasi = 2,144
d = selisih rata-rata yang bermakna, ditetapkan sebesar 1,5
3.4 Kriteria Sampel 3.4.1 Kriteria Inklusi
• Roentgen foto sefalometri lateral pasien maloklusi Klas I dan Klas II
skeletal yang berusia 8-12 tahun
• Pasien dengan pernafasan normal (hidung) dan pernafasan melalui mulut • Pasien belum pernah mendapat perawatan ortodonti
• Pasien yang datang ke RSGMP FKG USU dari tahun 2009-2013 • Kesehatan umum yang baik
3.4.2 Kriteria Eksklusi
• Pasien yang sudah pernah dirawat ortodonti
3.5 Identifikasi Variabel Penelitian 3.5.1 Variabel Bebas
• Pernafasan normal (hidung) • Pernafasan melalui mulut
3.5.2 Variabel Tergantung
• Inklinasi gigi insisivus maksila • Inklinasi gigi insisivus mandibula • Sudut interinsisal
3.5.3 Variabel Terkendali
• Roentgen foto sefalometri lateral pasien berusia 8-12 tahun • Belum pernah dilakukan perawatan ortodonti
• Kesehatan umum yang baik
3.5.4 Variabel Tidak Terkendali
• Alat dan teknik pengambilan sefalometri lateral • Ras
• Faktor keturunan • Pola pertumbuhan
• Kebiasaan buruk : tongue thrusting, thumb sucking
• Maloklusi Klas II divisi 1 dan divisi 2
3.6 Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Pernafasan normal dan pernafasan melalui mulut diketahui dari status
pasien dan roentgen foto sefalometri lateral menurut analisis McNamara dimana lebar
2. Lebar saluran udara pharynx atas adalah panjang garis dari titik paling posterior pada palatum lunak ke dinding terdekat posterior pharynx dimana garis tersebut sejajar garis gonion (Go) dengan supramental (B).
3. Maloklusi Klas I skeletal adalah relasi rahang maksila dan mandibula
yang normal (ANB = 0˚-4˚).
4. Maloklusi Klas II skeletal adalah nilai maksila yang lebih besar dari
mandibula (ANB > 4˚). Maloklusi Klas II skeletal dapat disebabkan oleh 3 hal, yaitu
maksila yang prognati, mandibula yang retrognati, dan kombinasi keduanya.
5. Inklinasi gigi insisivus maksila adalah garis yang ditarik dari gigi
insisivus maksila terhadap garis N-A, diukur dalam derajat (I.NA) untuk menentukan
hubungan angular gigi insisivus maksila dan diukur dalam linear, milimeter, mm
(I-NA) untuk menentukan posisi gigi insisivus.
6. Inklinasi gigi insisivus mandibula adalah garis yang ditarik dari gigi
insisivus mandibula terhadap garis N-B, diukur dalam derajat (I.NB) untuk
menentukan hubungan angular gigi insisivus mandibula dan diukur dalam linear,
milimeter, mm (I-NB) untuk menentukan posisi gigi insisivus.
7. Sudut interinsisal merupakan perpanjangan garis dari tepi insisal dan
apeks akar gigi insisivus maksila dan insisivus mandibula, diukur dalam derajat (I.I)
untuk mengetahui inklinasi gigi insisivus dan relasi gigi insisivus atas dan bawah.
3.7 Alat dan Bahan 3.7.1 Alat
1. Pensil 4H merek Faber Castel
2. Penghapus merek Faber Castel
3. Penggaris merek Micro
3.7.2 Bahan
1. Roentgen foto sefalometri lateral
2. Tracing box
3. Kertas asetat tracing (tebal 0.003 inchi) merek Ortho Organizer
Gambar 8. Alat dan bahan penelitian : (A) Roentgen foto sefalometri lateral (B) Tracing box, kertas asetat tracing (C) Pensil, penghapus, penggaris (D) Cephalometric protractor
C D
3.8 Cara Pengambilan Data
Penelitian ini dilakukan dengan cara berikut :
1. Data diambil dari roentgen foto sefalometri lateral pasien yang datang ke
Klinik Ortodonti RSGMP FKG USU tahun 2009-2013.
2. Sampel dikelompokkan berdasarkan pola pernafasan normal (hidung)
dan pernafasan melalui mulut berdasarkan hasil diagosa dan pengukuran lebar saluran
udara pharynx atas dari roentgen foto sefalometri lateral berdasarkan analisis McNamara dengan nilai normal rata-rata 12 mm pada fase gigi bercampur.
3. Lebar saluran udara pharynx atas adalah panjang garis dari titik paling posterior pada palatum lunak ke dinding terdekat posterior pharynx dimana garis tersebut sejajar garis gonion (Go) dengan supramental (B).
4. Penapakan foto sefalometri lateral. Pada sefalometri dilakukan penapakan
dengan kertas asetat dan pensil di atas tracing box untuk menentukan titik-titik referensi yaitu, sella (S), nasion (N),subspinal (A) dan supramental (B).
5. Maloklusi Klas I skeletal dapat dilihat pada besar sudut ANB normal yaitu
2˚±2˚ (0˚-4˚), dimana sudut ANB dapat diperoleh melalui pengukuran dan juga
pengurangan antara sudut SNA dan SNB.
6. Maloklusi Klas II skeletal dapat dilihat pada besar sudut ANB yang lebih
besar dari nilai normal (ANB > 4˚), dimana sudut ANB dapat diperoleh melalui
pengukuran dan juga pengurangan antara sudut SNA dan SNB.
7. Pengukuran inklinasi gigi insivus maksila dengan metode Steiner dimana
titik referensinya dari nasion (N) ditarik ke subspinal(A). Letak dan inklinasi aksial
gigi insisivus maksila ditentukan dengan menghubungkan gigi insisivus maksila ke
garis N-A. Gigi insisivus maksila terhadap garis N-A diukur dalam derajat dengan
menggunakan cephalometric protractor untuk menentukan hubungan angular gigi-gigi insisivus maksila, sedangkan apabila diukur dalam linear (milimeter, mm)
dengan menggunakan penggaris, memberikan informasi posisi gigi insisivus lebih di
depan/belakang dari garis N-A.
8. Pengukuran inklinasi gigi insivus mandibula dengan metode Steiner
dimana titik referensinya dari nasion (N) ditarik ke supramental (B). Letak dan
inklinasi aksial gigi insisivus mandibula ditentukan dengan menghubungkan gigi
insisivus mandibula ke garis N-B. Gigi insisivus mandibula terhadap garis N-B
diukur dalam derajat dengan menggunakan cephalometric protractor untuk menentukan hubungan angular gigi-gigi insisivus mandibula, sedangkan apabila
diukur dalam linear (milimeter, mm) menggunakan penggaris menunjukkan posisi
gigi di depan/ belakang garis N-B.
9. Pengukuran sudut interinsisal (I.I) dengan metode Steiner adalah
perpanjangan garis dari tepi insisal dan apeks akar gigi insisivus maksila dan
mandibula diukur dalam derajat dengan menggunakan cephalometric protractor.
10.Penapakan dan pengukuran dilakukan secara inter operator, dimana
melakukan pengukuran sekali. Kemudian, kedua nilai hasil pengukuran dijumlahkan
dan dihitung rerata dan dilakukan analisis data dengan menggunakan uji-t
Independen.
Gambar 10. Titik-titik referensi yang digunakan dalam penelitian menggunakan analisis Steiner : SNA, SNB,
ANB, 1) I.NA (˚), 2) I-NA (mm), 3) I.NB (˚), 4) I-NB (mm), 5) I.I (˚). 25
3.9 Pengolahan dan Analisis Data
1. Menghitung rerata dan standar deviasi inklinasi gigi insisivus maksila,
inklinasi gigi insisivus mandibula dan sudut interinsisal.
2. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji-t Independen untuk
melihat perbedaan inklinasi gigi insisivus maksila, inklinasi gigi insisivus mandibula
dan sudut interinsisal antara pernafasan normal (hidung) dan pernafasan melalui
mulut.
SNA
SNB
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di RSGMP FKG USU dengan menggunakan 44 foto
sefalometri lateral pasien berusia 8-12 tahun yang dibagi menjadi 2 kelompok terdiri
dari 22 foto sefalometri lateral dari pernafasan normal (hidung) dan 22 foto
sefalometri lateral dari pernafasan melalui mulut. Masing-masing kelompok dibagi
lagi menjadi 2 kelompok terdiri dari 26 foto sefalometri lateral maloklusi Klas I
skeletal dan 18 foto sefalometri lateral maloklusi Klas II skeletal.Pada masing-masing
foto sefalometri diukur inklinasi gigi insisivus maksila, inklinasi gigi insisivus
mandibula dan sudut interinsisal.
Tabel 2 menunjukkan nilai rerata derajat dan ukuran linear inklinasi gigi
insisivus maksila pada pernafasan normal (hidung) dan mulut pada maloklusi Klas I
skeletal. Nilai rerata derajat inklinasi gigi insisivus maksila (I.NA) pada pernafasan
normal sebesar 23,77˚ sedangkan pada pernafasan melalui mulut sebesar 29,03˚. Nilai
rerata ukuran linear inklinasi gigi insisivus maksila (I-NA) pada pernafasan normal
5,11 mm sedangkan pernafasan melalui mulut 7,47 mm.
Hasil uji–t Independen dengan p<0,05, pada maloklusi Klas I skeletal antara
pernafasan normal (hidung) dan mulut, diperoleh nilai rerata derajat inklinasi gigi
insisivus maksila (I.NA) pada pernafasan melalui mulut berbeda secara signifikan
dengan pernafasan normal (p=0,000). Nilai rerata ukuran linear inklinasi gigi
insisivus maksila (I-NA) juga diperoleh ada perbedaan secara signifikan (p=0,003)
Tabel 2. Nilai rerata inklinasi gigi insisisvus maksila antara pernafasan normal (hidung) dan pernafasan melalui mulut pada maloklusi Klas I skeletal
Keterangan : * signifikan (p < 0,05)
Tabel 3 menunjukkan nilai rerata derajat dan ukuran linear inklinasi gigi
insisivus mandibula pada pernafasan normal (hidung) dan mulut pada maloklusi
Klas I skeletal. Nilai rerata derajat inklinasi gigi insisivus mandibula (I.NB) pada
pernafasan normal 25,82˚ sedangkan pada pernafasan melalui mulut 28,10˚. Nilai
rerata ukuran linear inklinasi gigi insisivus mandibula (I-NB) pada pernafasan normal
6,30 mm sedangkan pada pernafasan melalui mulut 6,78 mm.
Hasil uji–t Independen dengan p<0,05, pada maloklusi Klas I skeletal antara
pernafasan normal (hidung) dan mulut, diperoleh nilai rerata derajat inklinasi gigi
insisivus mandibula (I.NB) tidak berbeda secara signifikan (p=0,054). Nilai rerata
ukuran linear inklinasi gigi insisivus mandibula (I-NB) menunjukkan perbedaan
secara tidak signifikan (p=0,420) antara pernafasan melalui mulut dan pernafasan
normal.
Tabel 3. Nilai rerata inklinasi gigi insisivus mandibula antara pernafasan normal (hidung) dan pernafasan melalui mulut pada maloklusi Klas I skeletal
Keterangan : * signifikan (p < 0,05)
Tabel 4 menunjukkan nilai rerata sudut interinsisal pada pernafasan normal
(hidung) dan mulut pada maloklusi Klas I skeletal. Nilai rerata sudut interinsisal (I.I)
pada pernafasan normal 127,02˚ sedangkan pada pernafasan melalui mulut 120,47˚.
Hasil uji–t Independen dengan p<0,05, pada maloklusi Klas I skeletal antara
pernafasan normal (hidung) dan mulut, diperoleh nilai rerata sudut interinsisal (I.I)
menunjukkan perbedaan secara signifikan (p=0,001).
Tabel 4. Nilai rerata sudut interinsisal antara pernafasan normal (hidung) dan pernafasan melalui mulut pada maloklusi Klas I skeletal
Keterangan : * signifikan (p < 0,05)
Tabel 5 menunjukkan nilai rerata derajat dan ukuran linear inklinasi gigi
insisivus maksila antara pernafasan normal (hidung) dan mulut pada maloklusi
Klas II skeletal. Nilai rerata derajat inklinasi gigi insisivus maksila (I.NA) pada
pernafasan normal 22,11˚ sedangkan pada pernafasan melalui mulut 27,32˚. Nilai
rerata ukuran linear inklinasi gigi insisivus maksila (I-NA) pada pernafasan normal
4,59 mm sedangkan pada pernafasan melalui mulut 5,36 mm.
Hasil uji–t Independen dengan p<0,05, pada maloklusi Klas II skeletal, antara
pernafasan normal (hidung) dan mulut, diperoleh nilai rerata derajat inklinasi gigi
insisivus maksila (I.NA) pada pernafasan melalui mulut berbeda secara signifikan
(p=0,001) dengan pernafasan normal. Nilai rerata ukuran linear inklinasi gigi
insisivus maksila (I-NA) diperoleh tidak ada perbedaan secara signifikan (p=0,168)
antara pernafasan normal dan mulut.
Tabel 5. Nilai rerata inklinasi gigi insisivus maksila antara pernafasan normal dan pernafasan melalui mulut pada maloklusi Klas II skeletal
Keterangan : * signifikan (p < 0,05)
Tabel 6 menunjukkan nilai rerata derajat dan ukuran linear inklinasi gigi
insisivus mandibula antara pernafasan normal (hidung) dan mulut pada maloklusi
Klas II skeletal. Nilai rerata derajat inklinasi gigi insisivus mandibula (I.NB) pada
pernafasan normal 27,18˚ sedangkan pada pernafasan melalui mulut 30,14˚. Nilai
rerata ukuran linear inklinasi gigi insisivus mandibula (I-NB) pada pernafasan normal
6,91 mm sedangkan pada pernafasan melalui mulut 8,61 mm.
Hasil uji–t Independen dengan p<0,05, pada maloklusi Klas II skeletal antara
pernafasan normal (hidung) dan mulut, diperoleh nilai rerata derajat inklinasi gigi
insisivus mandibula (I.NB) menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan (p=0,058).
Nilai rerata ukuran linear inklinasi gigi insisivus mandibula (I-NB) diperoleh ada
perbedaan secara signifikan (p=0,043) antara pernafasan melalui mulut dan
Tabel 6. Nilai rerata inklinasi gigi insisivus mandibula antara pernafasan normal (hidung) dan pernafasan melalui mulut maloklusi pada Klas II skeletal
Keterangan : * signifikan (p < 0,05)
Tabel 7 menunjukkan nilai rerata sudut interinsisal pada pernafasan normal
(hidung) dan mulut pada maloklusi Klas II skeletal. Nilai rerata sudut interinsisal (I.I)
pada pernafasan normal 124,09˚ sedangkan pada pernafasan melalui mulut 117,07˚.
Hasil uji–t Independen dengan p<0,05, pada maloklusi Klas II skeletal antara
pernafasan normal dan mulut, diperoleh nilai rerata sudut interinsisal (I.I)
menunjukkan perbedaan secara signifikan (p=0,014).
Tabel 7. Nilai rerata sudut interinsisal antara pernafasan normal (hidung) dan pernafasan melalui mulut pada maloklusi Klas II skeletal
Keterangan : * signifikan (p < 0,05)
BAB 5 PEMBAHASAN
Pernafasan melalui mulut merupakan salah satu fungsi abnormal tubuh yang
dapat menimbulkan maloklusi serta dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan
perkembangan kraniofasial serta berpengaruh terhadap gigi-geligi.Yamaguchi
menyatakan bahwa keseimbangan oklusi dipengaruhi oleh morfologi kraniofasial,
fungsi rongga mulut dan postur kepala yang normal.Bernafas melalui mulut
mempengaruhi aktivitas otot-otot orofasial seperti otot bibir dan lidah. Perubahan
aktivitas otot-otot tersebut dapat menuntun terjadinya maloklusi.1,11
Pada penelitian ini, dilakukan pengukuran inklinasi gigi insisivus maksila,
inklinasi gigi insisivus mandibula dan sudut interinsisal pada foto sefalometri lateral
pasien yang datang ke RSGMP FKG USU dari tahun 2009-2013.
Pada tabel 2, dapat dilihat nilai rerata derajat dan ukuran linear inklinasi gigi
insisivus maksila (I.NA dan I-NA) untuk maloklusi Klas I skeletal pada kelompok
dengan pola pernafasan melalui mulut lebih besar dan berbeda secara signifikan
(p<0,05) dibandingkan dengan nilai rerata derajat dan ukuran linear inklinasi gigi
insisivus maksila pada kelompok dengan pola pernafasan normal (hidung).
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil beberapa penelitian seperti penelitian yang
dilakukan oleh Juliano dkk, pada 142 anak berusia 7-14 tahun termasuk 52 anak yang
bernafas melalui mulut dan 90 anak bernafas melalui hidung dengan hasil nilai rerata
pengukuran gigi insisivus maksila menunjukkan inklinasi bukal yang lebih besar pada
anak yang bernafas melalui mulut dan ukuran linear pada insisivus maksila
menunjukkan inklinasi lebih ke anterior pada anak yang bernafas melalui mulut.2
Selain itu, hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian McNamara Jr, Paul dan
Nanda, yang mengatakan bahwa pada orang yang bernafas melalui mulut, insisivus
maksila cenderung lebih protrusi karena penempatan bibir bawah yang hipertonus
diantara insisivus maksila dan mandibula, yang lama-kelamaan menyebabkan
posisi bibir bawah yang hipertonus merupakan faktor predisposisi terjadinya gigi-gigi
anterior maksila yang protrusi.1
Pada tabel 3 dan tabel 6 diperoleh nilai rerata derajat inklinasi gigi insisivus
mandibula (I.NB) untuk maloklusi Klas I dan Klas II skeletal tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan antara kelompok dengan pola pernafasan normal (hidung)
dan mulut.
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Juliano
dkk, yang mendapati bahwa nilai rerata derajat inklinasi gigi insisivus mandibula
(I.NB) tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelompok dengan
pernafasan normal (hidung) dan mulut. Menurut Juliano, penempatan bibir bawah
antara gigi insisivus maksila dan mandibula karena inklinasi anterior gigi insisivus
maksila yang lebih besar dapat menyebabkan tekanan yang berlebih pada basis apikal
bawah yang lama-kelamaan dapat menyebabkan gigi insisivus mandibula
retroklinasi.2 Behfelt dalam penelitian yang dilakukan pada 73 pasien dengan
pembesaran adenoid, menemukan kecenderungan terjadinya retroklinasi gigi-gigi
anterior mandibula pada pasien yang bernafas melalui mulut.1
Pada tabel 4 dan 7 menunjukkan bahwa nilai rerata sudut interinsisal (I.I)
untuk maloklusi Klas I dan Klas II skeletal pada kelompok dengan pola pernafasan
melalui mulut lebih kecil dibandingkan dengan nilai rerata I.I pada kelompok dengan
pola pernafasan normal (hidung) dengan perbedaan yang signifikan (p<0,05).
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini sesuai dengan hasil beberapa penelitian
seperti penelitian yang dilakukan oleh Bresolin dkk, pada 45 anak yang berusia antara
6-12 tahun termasuk 30 anak yang bernafas melalui mulut dan 15 anak yang bernafas
melalui hidung dengan hasil nilai rerata pengukuran overjet lebih besar di kelompok
pasien yang bernafas melalui mulut dibandingkan dengan kelompok pasien yang
bernafas melalui hidung dengan perbedaaan yang signifikan.13 Ascanio dkk, dalam
penelitian yang dilakukan pada 98 anak yang berusia antara 7-12 tahun menemukan
nilai rerata overjet lebih besar pada kelompok pasien yang bernafas melalui mulut
dibandingkan dengan kelompok pasien yang bernafas melalui hidung dengan
Pada tabel 5, dapat dilihat nilai rerata derajat inklinasi gigi insisivus maksila
(I.NA) untuk maloklusi Klas II skeletal pada kelompok dengan pola pernafasan
melalui mulut lebih besar dan berbeda secara signifikan (p<0,05) dibandingkan
dengan nilai rerata derajat inklinasi gigi insisivus maksila pada kelompok dengan
pola pernafasan normal (hidung).
Pada tabel 6, dapat dilihat nilai rerata ukuran linear inklinasi gigi insisivus
mandibula (I-NB) untuk maloklusi Klas II skeletal pada kelompok dengan pola
pernafasan melalui mulut lebih besar dan berbeda secara signifikan (p<0,05)
dibandingkan dengan nilai rerata I-NB pada kelompok dengan pola pernafasan
normal (hidung).
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Cabrera dkk, dengan menggunakan foto sefalometri lateral dari 40 orang dengan
maloklusi Klas II divisi 1 Angle (23 bernafas melalui hidung, 17 bernafas melalui
mulut, berusia antara 10 hingga 16 tahun) memperoleh perbedaan yang signifikan
pada nilai rerata ukuran linear inklinasi gigi insisivus maksila (I-NA) dan mandibula
(I-NB). Pada umumnya, pasien yang bernafas melalui mulut cenderung mempunyai
maksila yang protrusi, disebabkan perubahan pada posisi lidah yang menjadi lebih
rendah dan mengganggu keseimbangan dengan otot buksinator.29 Penelitian yang
dilakukan oleh Juliano dkk, memperoleh hasil yang berbeda, dimana tidak ditemukan
perbedaan signifikan pada nilai rerata derajat dan ukuran linear inklinasi gigi
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa :
1. Pada maloklusi Klas I skeletal, diperoleh perbedaan yang signifikan
untuk nilai rerata derajat (p=0,000) dan ukuran linear (p=0,003) inklinasi gigi
insisivus maksila dan sudut interinsisal (0,000) antara kelompok dengan pola
pernafasan normal (hidung) dan pernafasan melalui mulut (p<0,05).
2. Pada maloklusi Klas II skeletal, diperoleh perbedaan yang signifikan
untuk nilai rerata derajat inklinasi gigi insisivus maksila (p=0,001), ukuran linear gigi
insisivus mandibula (p=0,043) dan sudut interinsisal (p=0,014) antara kelompok
dengan pola pernafasan normal (hidung) dan pernafasan melalui mulut (p<0,05).
6.2 Saran
1. Memerlukan penelitian yang lebih lanjut dengan menggunakan data
primer dengan jumlah sampel yang lebih besar untuk mendapatkan hasil dengan
validitas yang lebih tinggi.
2. Memerlukan penelitian yang lebih lanjut dengan mengelompokkan
subjek berdasarkan jenis kelamin.
3. Memerlukan penelitian yang lebih lanjut yang bersifat longitudinal untuk
DAFTAR PUSTAKA
1. Kusuma ARP. Bernafas lewat mulut sebagai faktor ekstrinsik etiologi
maloklusi. Majalah Ilmiah Sultan Agung 2010; 48:1-14.
2. Juliano ML, Machado MAC, Carvalho LBC, Prado LBF, Prado GF. Mouth
breathing children have cephalometric patterns similar to those of adult patients
with obstructive sleep apnea syndrome. Arq Neuropsiquiatr 2009; 67: 860-5.
3. Faria PT, Ruellas AC, Matsumoto MAN, Lima WTA, Pereira FC. Dentofacial
morphology of mouth breathing children. Braz Dent J 2002; 13(2): 129-32.
4. Cabrera LC, Retamoso LB, Mei RMS, Tanaka O. Sagital and vertical aspects of
Class II division 1 subjects according to the respiratory pattern. Dental Press J
Orthod 2013: 18(2): 30-5.
5. Syaifuddin H. Struktur dan komponen tubuh manusia. Jakarta: Widya
Medika.,2002: 109-19.
6. Abreu RR, Lunardi RR, Lamounier JA, Guerra AFM. Etiology, clinical
manifestation and concurrent findings in mouth-breathing children. Journal de
Pediatria 2008; 84: 530-4.
7. Sheng CM, Lin LH, Su Y, Tsai HH. Developmental changes in pharyngeal
airway depth and hyoid bone position from chilhood to young adulthood. Angle
Ortodontist 2009; 79: 485-90.
8. Subtelny JD. Oral Respiration: Facial and maldevelopment and corrective
dentofacial orthopedics. Angle Orthodontist 1980; 50(3): 147-64.
9. Peltomaki T. The effect of mode of breathing on craniofacial growth. European
Journal of Orthodontics 2007; 29: 426-9.
10. Cuccia AM, Lotti M, Caradonna D. Oral breathing and head posture. Angle
Ortodontist 2008; 78: 78-82.
11. Budianto E, Purwanegara MK, Siregar E. Karakteristik profil jaringan lunak
pada penderita obstruksi saluran napas atas dengan kebiasaan bernapas melalui
12. Jefferson Y. Mouth breathing: Adverse effect on facial growth, health,
academics and behaviour. General Dentistry 2010. Feb 11: 19-23.
13. Bresolin D, Shapiro GG, Shapiro PA, Dassel SW, Furukawa CT, Pierson WE
etal. Facial characteristics of children who breathe through the mouth. Pediatrics 1984; 73(5): 622-5.
14. Ascanio LD, Lancione C, Pompa G, Rebuffini E, Mansi N, Manzini M.
Craniofacial growth in children with nasal septum deviation: A cephalometric
comparative study. J Pediatric Otorhinolaryngology 2010; 7(10).
15. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of anatomy and physiology. 13th ed., New
Jersey: John Wiley & Sons Pte Ltd., 2011: 919-23.
16. Grewal N, Godhane AV. Lateral cephalometry: A simple economical clinical
guide for assessment of nasopharyngeal free airway space in mouth breathers.
Contemporary Clinical Dentistry 2010; 1(2):66-9.
17. Singaraju GS, Kumar C. Tongue thrust habit. Annals and essences of dentistry
2009; 1(2): 14-23.
18. Malhotra S, Pandey RK, Nagar A, Agarwal SP, Gupta VK. The effect of mouth
breathing on dentofacial morphology of growing child. J Indian Soc of Pedod
Prev Dent 2012; 30(1): 27-31.
19. Jakobsone G, Urtane I, Terauds I. Soft tissue profile of children with impaired
nasal breathing. Stomatologija, Baltic Dental and Maxillofacial J 2006; 8(2):
39-43.
20. Johal A, Conaghan C. Maxillary morphology in obstructive sleep apnea: A
cephalometric and model study. Angle Ortodontist 2004; 74(5): 648-53.
21. Tidestrom BL, Thilander B, Rastad JA, Jakobsson O, Hultcrantz E. Breathing
obstruction in relation to craniofacial and dental arch morphology in 4-year-old
children. European Journal of Orthodontist 1999; 21: 323-32.
22. Boel T. Dental radiography. Prinsip dan teknik. Medan: USU Press., 2009: 69.
23. Agrawal Deepesh. Cehalometric analysis for diagnosis and treatment of
24. Eric W. Radiography and radiology for dental care professionals. 2nd ed., UK:
Elsevier., 2009: 141,145-8.
25. Jacobson A. ed. Radiographic cephalometry. Alabama: Quintessence
Oublishing Co., 1995: 70,77,80-4,124.
26. Atit MB, Deshmukh SV, Subramaniam V, Naik C, Darda M. Mean values of
Steiner, Tweed, Rickets and Mcnamara analysis in Maratha ethnic population:
A cephalometric study. APOS Trends in Orthodontics 2013; 3(5): 138-51.
27. Baruah N, Bora M. Cephalometric evaluation based on Steiner’s analysis on
young adults of Assam. The Journal of Indian Orthodontic Society 2009; 43(1):
17-22.
28. Naragond A, Kenganal S, Sagarkar R, Kumar S, Sugaradday. Diagnostic
limitations of cephalometric in orthodontics. Journal of Dental and Medical
Sciences 2012; 3(1): 30-5.
29. Lilani TL. Perbedaan lebar saluran udara pharynx atas dan bawah pada
maloklusi Klas I dan Klas II dengan pola pertumbuhan normal dan vertikal
ditinjau dari radiografi sefalometri lateral. Tesis. Medan: Program Pendidikan
Lampiran 1
Kerangka Teori
Pola Pernafasan
Hidung Mulut
Posisi lidah normal
Posisi lidah lebih ke bawah
Postur kepala mendongak
Pertumbuhan rahang dan posisi gigi abnormal
- Inklinasi gigi insisivus maksila
- Inklinasi gigi insisivus mandibula
- Sudut interinsisal Postur kepala
normal
Radiografi sefalometri lateral
Analisis Steiner Pertumbuhan rahang dan posisi
Lampiran 2
Kerangka Konsep
Variabel Bebas
- Pernafasan normal (hidung)
- Pernafasan melalui mulut
Variabel Tergantung
- Inklinasi gigi insisivus
maksila
- Inklinasi gigi insisivus
mandibula
- Sudut interinsisal
Variabel Terkendali
- Roentgen foto sefalometri lateral pasien
berusia 8-12 tahun
- Belum pernah dilakukan perawatan
ortodonti
- Tidak ada penyakit sistemik
Variabel Tidak Terkendali
- Alat dan teknik pengambilan
sefalometri
- Ras
- Faktor keturunan
- Pola pertumbuhan
- Kebiasaan buruk
- Maloklusi Klas II skeletal divisi 1
Lampiran 3
Hasil Pengukuran Sudut SNA, SNB, ANB, I.NA, I.NB, I.I dan Ukuran Linear I-NA, I-NB Pada Sefalogram Pola Pernafasan Normal (Hidung)
17 Klas II
skeletal 86.00 80.50 5.50 23.00 4.00 32.00 8.75 120.00
18 Klas II
skeletal 80.00 74.00 6.00 19.00 4.00 23.00 5.00 130.00
19 Klas II
skeletal 89.00 83.00 6.00 21.00 3.00 27.50 7.25 124.50
20 Klas II
skeletal 77.00 71.00 6.00 20.00 5.00 28.00 7.75 126.00
21 Klas II
skeletal 84.00 78.00 6.00 24.00 5.00 27.00 8.00 123.00
22 Klas II
Lampiran 4
Hasil Pengukuran Sudut SNA, SNB, ANB, I.NA, I.NB, I.I dan Ukuran Linear I-NA, I-NB Pada Sefalogram Pola Pernafasan Melalui Mulut.
38 Klas II
skeletal 82.00 76.00 6.00 21.00 4.00 25.00 8.00 127.00
39 Klas II
skeletal 78.00 71.00 7.50 23.00 4.00 32.00 8.75 120.00
40 Klas II
skeletal 85.00 80.00 5.00 19.00 4.00 23.00 5.00 130.00
41 Klas II
skeletal 82.50 75.50 7.00 21.00 3.00 27.50 7.25 124.50
42 Klas II
skeletal 84.00 76.00 8.00 20.00 5.00 28.00 7.75 126.00
43 Klas II
skeletal 86.00 79.00 7.00 24.00 5.00 27.00 8.00 123.00
44 Klas II
Lampiran 5
Distribusi nilai rerata derajat I.NA, I.NB, I,I dan ukuran linear I-NA, I-NB antara pola pernafasan normal (melalui hidung) dan pernafasan melalui mulut
pada maloklusi Klas I skeletal
Group Statistics
Polapernafasan N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
I.NA.derajat Melalui hidung 11 23.7727 2.02007 .60907
Melalui mulut 15 29.0333 2.92902 .75627
I.NA.linear Melalui hidung 11 5.1136 1.08607 .32746
Melalui mulut 15 7.4667 2.18327 .56372
I.NB.derajat Melalui hidung 11 25.8182 3.27508 .98747
Melalui mulut 15 28.1000 2.46909 .63752
I.NB.linear Melalui hidung 11 6.2955 1.83309 .55270
Melalui mulut 15 6.7833 1.20218 .31040
I.I Melalui hidung 11 127.0227 4.50202 1.35741
Lampiran 6
Hasil perhitungan statistik uji-t Independen terhadap nilai I.NA, I-NA, I.NB, I-NB dan I.I antara pola pernafasan normal (melalui hidung) dan pernafasan
melalui mulut pada maloklusi Klas I skeletal
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t Df
I.NA Equal variances
assumed
.564 .460 -5.118 24 .000 -5.26061 1.02787 -7.38202 -3.13919
Equal variances
not assumed
-5.418 23.947 .000 -5.26061 .97104 -7.26497 -3.25625
I-NA Equal variances
assumed
4.568 .043 -3.277 24 .003 -2.35303 .71805 -3.83501 -.87105
Equal variances
not assumed
-3.609 21.599 .002 -2.35303 .65193 -3.70650 -.99956
I.NB Equal variances
assumed
1.084 .308 -2.029 24 .054 -2.28182 1.12455 -4.60278 .03915
Equal variances
not assumed
-1.941 17.857 .068 -2.28182 1.17539 -4.75263 .18899
I-NB Equal variances
assumed
5.360 .029 -.821 24 .420 -.48788 .59453 -1.71493 .73917
Equal variances
not assumed
-.770 16.155 .453 -.48788 .63390 -1.83063 .85487
I.I Equal variances
assumed
.099 .756 3.746 24 .001 6.55606 1.75018 2.94386 10.16826
Equal variances
not assumed
Lampiran 7
Distribusi nilai rerata derajat I.NA, I.NB, I,I dan ukuran linear I-NA, I-NB antara pola pernafasan normal (melalui hidung) dan pernafasan melalui mulut
pada maloklusi Klas II skeletal
Group Statistics
Polapernafasan N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
I.NA.derajat Melalui hidung 11 22.1136 2.60616 .78579
Melalui mulut 7 27.3214 2.36165 .89262
I.NA.linear Melalui hidung 11 4.5909 1.24133 .37428
Melalui mulut 7 5.3571 .80178 .30305
I.NB.derajat Melalui hidung 11 27.1818 3.23475 .97532
Melalui mulut 7 30.1429 2.54484 .96186
I.NB.linear Melalui hidung 11 6.9091 1.52181 .45884
Melalui mulut 7 8.6071 1.71912 .64976
I.I Melalui hidung 11 124.0909 5.06985 1.52862