ANALISIS PRODUKSI DAN PEMASARAN KAKAO
DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN
PROPINSI SUMATERA BARAT
D A N I L
S E K O L A H P A S C A S A R J A N A
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Produksi dan Pemasaran Kakao di Kabupaten Padang Pariaman Propinsi Sumatera Barat adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang terbitan maupun tidak terbitan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Desember 2012
ABSTRACT
DANIL. Analysis of Cocoa Production and Marketing in Kabupaten Padang Pariaman West Sumater Province ( MUHAMMAD FIRDAUS as a Chairman and SRI HARTOYO as a Member of the Advisory Committee)
The aim of this research is to analyze factors that influence cocoa production, identified marketing chanel of cocoa, estimated marketing margin and determined farmer share. This research used survey method to cocoa farmer and wholeseller. Production analysis using Cobb-Douglas fuction and to analyze marketing structure, conduct and performent analysis is used. The result of this research show that cocoa production influenced by labour, manure, chemical fertilizer, land area, number of plants produced dan farmer education. Performance marketing of cocoa in Kabupaten Padang Pariaman is inefficient. It is based on margin indicators and farmer share. According to result number of fertilizer and plants produced need to optimalize in order to increased cocoa production. Bargaining power of cocoa farmers need to increased by optimalize farmer association.
RINGKASAN
DANIL. Analisis produksi dan Pemasaran Kakao di Kabupaten Padang Pariaman Propinsi Sumatera Barat (MUHAMMAD FIRDAUS sebagai Ketua dan SRI HARTOYO sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Kabupaten Padang Pariaman merupakan daerah sentra pengembangan kakao di Propinsi Sumatera Barat, hal ini didukung oleh sumberdaya alam dan keadaan sosial budaya. Dengan adanya kebijakan pemerintah daerah menetapkan Kabupaten Padang Pariaman sebagai sentra pengembangan kakao, sehingga luas areal panen dan produksi terus meningkat. Tapi disisi lain produktivitasnya masih rendah dibandingkan dengan produktivitas potensial kakao. Belum diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan kinerja lembaga pemasaran kakao merupakan masalah dalam usaha pengembangan kakao rakyat. Penelitian ini bertujuan (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kakao di Kabupaten Padang Pariaman, (2) mengidentifikasi jalur dan karakteristik lembaga pemasaran kakao di Kabupaten Padang Pariaman, (3) menduga marjin yang diterima setiap lembaga pemasaran, (4) menentukan besarnya bagian harga yang diterima petani.
Analsis produksi menggunakan fungsi Cobb Douglas sedangkan kinerja pemasaran di analsis dengan melihat struktur, perilaku dan keragaan pasar. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive) yaitu di Kecamatan V Koto Kampung Dalam dan Kecamatan Sungai Garingging. Sampel petani diambil secara judgment sampling sebanyak 70 petani dan sampel pedagang diambil secara sengaja (purposive) sebanyak 16 pedang.
Hasil penelitian menunjukan produksi kakao rakyat di pengaruhi oleh input tenaga kerja, pupuk kandang, pupuk kimia, luas lahan, jumlah tanaman menghasilkan dan pendidikan petani. Dan kinerja lembaga pemasaran kakao rakyat di Kabupaten Padang Pariaman belum baik, yang diindikasikan oleh : (1) besarnya marjin pemasaran, (2) kecilnya bagian harga yang diterima petani, (3) belum terintegrasinya pasar ditingkat petani dengan pasar ditingkat pedagang kabupaten. Kondisi diatas menyebabkan rendahnya pendapatan petani.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
ANALISIS PRODUKSI DAN PEMASARAN KAKAO
DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN
PROPINSI SUMATERA BARAT
D A N I L
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
Pada Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian
S E K O L A H P A S C A S A R J A N A
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Ratna Winandi, MS
(Dosen Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor)
Penguji Wakil Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang: Dr. Ir. Henny K.S. Daryanto, M.Ec
Judul Tesis : Analisis Produksi dan Pemasaran Kakao di Kabupaten Padang Pariaman Propinsi Sumatera Barat
Nama Mahasiswa : Danil
Nomor Pokok : H353100051
Mayor : Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Muhammad Firdaus ,S.P, M.Si, Ph.D Dr. Ir.Sri Hartoyo, M.S Ketua Anggota
Mengetahui,
2. Koordinator Mayor 3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Ekonomi Pertanian
Dr. Ir.Sri Hartoyo, M.S Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT karena hanya dengan rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul: Analisis
Produksi dan Pemasaran Kakao di Kabupaten Padang Pariaman Propinsi
Sumatera Barat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi dan karakteristik pemasaran kakao di Kabupaten Padang
Pariaman. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi
pemerintah dalam mengambil kebijakan dan merumuskan strategi pengembangan
kakao di Kabupaten Padang Pariaman.
Penulis mengucapan terima kasih kepada Muhammad Firdaus, S.P, M.Si,
Ph.D selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS selaku anggota
komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan,
arahan dan masukan yang sangat membantu selama penyusunan tesis ini. Terima
kasih juga penulis sampaikan kepada:
1. Gubernur Sumatera Barat yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk mengikuti program Tugas Belajar di Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
2. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS selaku Penguji Luar Komisi dan Dr. Ir. Henny
K.S. Daryanto, M.Ec sebagai Penguji yang mewakili Mayor Ilmu
Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang pada Ujian Tesis, yang telah
memberikan masukan bagi perbaikan tesis ini.
3. Seluruh staf Mayor EPN, Mba Yani, Mba Ina, Mas Johan, Ibu Kokom,
dan Pak Husen yang selalu sabar dan menyediakan waktu untuk
membantu penulis selama perkuliahan sampai penulis menyelesaikan
studi.
4. Keluarga besarku dari Lintau dan Balai Gurah, teristimewa untuk kedua
orang tuaku terkasih, Drs. Faisal Baza dan Dra. Halidarni dan mertuaku Ir.
Ermaini, S.E. Adik-adikku keluarga Naldi, SSTP, M.Si , Keluarga Letda
6. Teman-teman EPN angkatan 2010, Ardian, Pak U.J, Fanny, Mba Erni,
Mbak Khanti, Rena untuk kebersamaan selama perkuliahan dan proses
penulisan tesis ini, juga pada pihak-pihak lain yang namanya tidak bisa
penulis sebutkan satu persatu namun telah banyak memberikan sumbang
saran dan bantuan serta doa selama penulis kuliah di IPB.
Penulis berharap agar pemikiran yang telah ada pada penelitian ini dapat
berguna bagi semua pihak. Terimakasih.
Bogor, Desember 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Padang pada tanggal 22 Mai 1980 dari Ayah
Drs. Faisal Baza dan Ibu Dra. Halidarni. Anak pertama dari empat bersaudara.
Tahun 1998 lulus dari SMA Negeri 3 Padang dan tahun 1999 diterima
sebagai mahasiswa S1 pada Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian di
Universitas Andalas Padang melalui jalur UMPTN, tamat April 2004. Penulis
melanjutkan studi S2 tahun 2010 pada Program Magister Sains di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian, dengan pilihan konsentrasi Pembangunan Pertanian di
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan Beasiswa Program Tugas
Belajar dari Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Barat.
Penulis bekerja sebagai PNS di Pemda Kabupaten Pasaman pada tahun
2006 – 2009, dan tahun 2009 pindah ke Pemda Propinsi Sumatera Barat sampai
dengan sekarang.
Penulis menetap di Kota Padang, menikah tahun 2009 dengan Hj Ardini
Florensia Pratiwi, S.E, S.S dan telah dikaruniai seorang putri, Khansa Hurriyah
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ……….… xiv
DAFTAR GAMBAR ……….. xv
DAFTAR LAMPIRAN ……….. xvi
I. PENDAHULUAN ……….… 1
1.1. Latar Belakang ……….… 1
1.2. Perumusan Masalah ……… 5
1.3. Tujuan Penelitian ………. 8
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ………... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ……… 9
2.1. Penelitian Analisis Produksi ..………..……… 9
2.2. Penelitian Analisis Pemasaran …….………...………… 11
III. KERANGKA TEORITIS ……… 13
3.1. Teori Produksi ……….… 13
γ.β. Teori Pemasaran Komoditi Pertanian ……..……… 15
γ.γ Kerangka Konseptual ………...……….… 24
IV. METODE PENELITIAN ……… 27
4.1. Penentuan Lokasi Penelitian ……… 27
4.2. Jenis dan Sumber Data ……… 27
4.3. Metode Pengambilan Contoh ………..… 27
4.4. Model Analisis ……….… 28
V. METODE PENELITIAN ……….……… 33
5.1. Gambaran Umum Kabupaten Padang Pariaman …….……… 33
5.2. Keragaan Usahatani Kakao di Kabupaten Padang Pariaman ………. 36 VI. Analisis Produksi Kakao di Kabupaten Padang Pariaman…... 41
6.1. Karakteristik Petani Responden ……… 41
6.β. Struktur Produksi Kakao ………... 42
6.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kakao di Kabupaten
Padang Pariaman ……….
48
VII. Analisis Pemasaran Kakao di Kabupaten Padang Pariaman ... 51
7.1. Struktur Pasar ………...………. 49
7.2.Perilaku Pasar ………...………. 57
7.γ. Kinerja Pasar ………. 61
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 65
8.1. Kesimpulan ……… 71
8.2. Saran ……….. 71
DAFTAR PUSTAKA ……….………...…….… 73
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Perkembangan Luas Areal Panen, Produksi dan Produktivitas
Kakao di Indonesia Tahun 2005-2009 ….……...………..… 2
2. Keadaan Tanaman Kakao di Propinsi Sumatera Barat Tahun
2011 ……… 3
3. Perkembangan Luas Areal Panen, Produksi dan Produktivitas
Kakao di Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2003-2011 …..….. 5
4. Perbandingan Luas Kecamatan dan Jumlah Nagari di Kabupaten
Padang Pariaman Tahun 2010 ……….……….. 34
5. Perkembangan Produksi Beberapa komoditas Tanaman
Perkebunan di Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2007 – 2010 35
6. Perbandingan Luas Areal Tanaman dan Produksi Kakao di
Semua Kecamatan di Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2010 36
7. Karekteristik Petani Kakao di Kabupaten Padang Pariaman
Tahun β01β ……….………...… 36
8 Usia Petani Kakao di Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2012... 41
9. Tingkat Pendidikan Petani di Kabupaten Padang Pariaman
Tahun β01β ……… 41
10. Kepemilikan Tanaman kakao yang Menghasilkan ……… 42
11. Karakteristik Usahatani Kakao di Kabupaten Padang Pariaman
Tahun β01β ……… 43
12. Rata-rata Produksi, Biaya dan Pendapatan Usahatani Kakao per Hektar Per Hektar Per Tahun di Kabupaten Padang Pariaman
Tahun 2012 ……..……….. 43
13 Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Produksi kakao di Kabupaten
Padang Pariaman Tahun β01β ……..………. 48
14. Matriks Hasil Analisis Keragaan Pasar Kakao di Kabuapten
16 Ratio Keuntungan dan Biaya Pemasaran Kakao di Kabupaten
Padang Pariaman Tahun 2012 ……… 64
17 HAsil Analsis Keterpaduan Pasar Kakao di Kabupaten Padang
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Kerangka Konseptual Penelitian ………...………… 25
2. Saluran Pemasaran Kakao di Kabupaten Padang Pariaman
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Standarisasi Mutu Biji Kakao Ekspor Berdasarkan
SNI 01-2323-1995 ……….
79
2. Program dan Output Komputer SAS Release 9.1 Analisis Pendugaan Parameter Fungsi Produksi Kakao di Kabupaten
Padang Pariaman Tahun β01β ………. 80
3. Program dan Output Komputer SAS Release 9.1 Analisis Keterpaduan Pasar Kakao di Kabupaten Padang Pariaman Tahun
2011-β01β ……… 82
4. Data Primer Untuk Analisis produksi kakao di Kabupaten Padang
Pariaman Tahun 2012 ………... 84
I.PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perkebunan merupakan salah satu subsektor dari sektor pertanian,
mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan nasional.
Peranannya terlihat nyata dalam penerimaan devisa negara melalui ekspor,
penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan
baku berbagai industri dalam negeri, perolehan nilai tambah dan daya saing serta
optimalisasi pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan.
Peranan subsektor perkebunan bagi perekonomian nasional tercermin dari
realisasi pencapaian PDB yang mencapai Rp. 106.19 trilyun (atas dasar harga
berlaku) pada tahun 2009 atau berkontribusi 14.89 persen dari total PDB sektor pertanian secara luas. Peranan ekspor komoditas perkebunan pada tahun 2009
memberikan sumbangan surplus neraca perdagangan bagi sektor pertanian sebesar
US$ 22.83 milyar dimana subsektor lainnya mengalami defisit (Dirjenbun, 2010).
Gambaran kegagalan pembangunan ekonomi pada saat terjadinya krisis
memberikan hikmah pentingnya merubah paradigma pembangunan yang selama
ini bercorak sektoral, lebih bertumpu pada kegiatan-kegiatan eksploitasi
sumberdaya alam dan tidak berbasis sumberdaya domestik. Dimana eksploitasi
ini dilakukan dengan semaksimal mungkin. Dengan semakin terbatasnya
sumberdaya alam yang tidak terbaharui (unrenewable) serta menurunya kapasitas
produksi sumberdaya alam terbaharui (renewable recsources), memberikan tanda
bahwa di masa akan datang paradigma pembangunan ekonomi lebih mengarah
kepada pembangunan ekonomi wilayah yang berbasis komunitas lokal (local
community-based economy) dan sumberdaya domestik (domestic resource-based
economy). Menurut Rustiadi (2000) bahwa pembangunan yang berbasis komonitas lokal merupakan pembangunan yang ditujukan dan dilaksanakan oleh
masyarakat lokal untuk meningkatkan kesejahteraannya secara berkelanjutan yang
disesuaikan dengan kapasitas dan kondisi lingkungan sumberdaya alamnya.
Sedangkan pembangunan yang berbasis sumberdaya domestik dalam
sumberdaya manusia (human capital), sumberdaya sosial (social capital) dan
sumberdaya buatan (man-mad capital).
Sektor pembangunan ekonomi yang memenuhi kriteria dan kondisi
paradigma pembangunan tersebut adalah sektor pertanian. Salah satu komoditas
perkebunan dari sektor pertanian yang memberikan andil dalam pembangunan
ekonomi nasional adalah tanaman kakao. Ditinjau dari sudut pengusahaan maka
komoditas ini mampu menyerap tenaga kerja yang cukup besar, karena secara
nasional hampir 87 persen pengembangan kakao diusahakan oleh perkebunan
rakyat, sedangkan sisanya diusahakan oleh Perkebunan Besar Negara dan
Perkebunan Besar Swasta (Dirjenbun, 2010).
Tabel 1. Perkembangan Luas Areal Panen, Produksi dan Produktivitas Kakao di Indonesia Tahun 2005-2009
Secara nasional produksi kakao rakyat mengalami peningkatan seiring
dengan perubahan luas areal panen perkebunan kakao. Pada awalnya tahun 2005,
produksi perkebunan kakao rakyat yang semula sebesar 693 701 ton meningkat menjadi 694 783 ton pada tahun 2009.
Propinsi Sumatera Barat merupakan salah satu daerah yang
mengembangkan komoditas perkebunan kakao. Tabel 2 menggambarkan dari 19
Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Barat, Kabupaten Padang Pariaman
merupakan salah satu daerah yang merupakan sentra pengembangan perkebunan
kakao rakyat. Hal ini ditunjang oleh keadaan iklim dan tanah yang sesuai dengan
syarat tumbuh bagi tanaman perkebunan.
Pasar kakao dunia yang besar merupakan peluang yang harus
dimanfaatkan. Indonesia berpeluang untuk mengisi pasar kakao tersebut, melalui
peningkatan produksi kakao dalam negeri dengan cara meningkatkan
kakao. Produksi dan luas kakao di Propinsi Sumatera Barat dapat dilihat pada
Tabel berikut ini :
Tabel 2. Keadaan Tanaman Kakao di Propinsi Sumatera Barat Tahun 2011
No Kabupaten/Kota Luas Areal
Sumber : Dinas Perkebunan Prop. Sumatera Barat, 2012
Pengusahaan perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Padang Pariaman
pada umumnya hampir sama dengan daerah lain, yaitu secara monokultur maupun
kebun campuran. Hal ini tidak terlepas dari karakteristik petani pada wilayah ini
yang memiliki keragaman dalam pola usahatani. Secara historis pengusahaan
tanaman perkebunan di wilayah ini, sudah lama berlangsung. Dimana komoditi
perkebunan yang menjadi perioritas pengembangan dan sumber pendapatan
petani, pada mulanya adalah pinang dan kelapa (Dinas Perkebunan Kab. Padang
Pariaman, 2012).
Secara umum aktivitas masyarakat Kabupaten Padang Pariaman masih
berorientasi pada usaha tanaman perkebunan dan menjadikan komoditi
perkebunan sebagai sumber mata pencaharian utama. Pengembangan tanaman
kakao di Kabupaten Padang Pariaman adalah perkebunan rakyat yang diusahakan
oleh petani lokal dalam skala kecil dan pengelolaannya masih bersifat tradisional,
perkebunan besar swasta. Dalam pengembangannya komoditi ini mengalami
peningkatan yang cukup pesat, hal ini selain dipengaruhi oleh perubahan harga
berbagai komoditi perkebunan, di lain sisi karena ditunjang oleh keadaan
agroklimat wilayah yang sesuai dengan syarat tumbuh tanaman perkebunan.
Sehingga Kabupaten Padang Pariaman cocok untuk pengembangan tanaman
kakao.
Di tinjau dari aspek agronomis, tanaman kakao mulai berproduksi pada
umur tiga tahun dengan umur ekonomisnya dua puluh tahun. Pengusahaan
tanaman kakao oleh petani memiliki spesifikasi tersendiri dalam sistem usahatani
(farming system). Sebab dalam pelaksanaannya, tanaman ini sering dibudidayakan
dengan pola sistem tumpangsari dengan tanaman perkebunan lainnya, seperti
kelapa dan tanaman buah-buahan. Bahkan dalam penanamannya kebanyakan
diawali dengan penanaman pohon pelindung yang nantinya mempunyai nilai
ekonomis baik secara langsung maupun tidak langsung. Penanaman kakao
rata-rata diusahakan pada lahan-lahan yang hak kepemilikannya adalah milik perorangan dan hak kepemilikan bersama (hak ulayat). Proses pembentukan
hak-hak masyarakat atas lahan ini umumnya bersifat turun-temurun dan pengakuan
atas hak-hak (property right) masyarakat telah berlangsung lama sejak mereka ada
dilokasi tersebut.
Sejalan dengan semakin meningkatnya permintaan pasar lokal, nasional
maupun dunia menyebabkan laju pertumbuhan pengusahaan komoditas ini
semakin pesat, bila dibandingkan dengan pengembangan komoditi perkebunan
lainya seperti kelapa, dan pinang. Sehingga dalam kurung waktu tujuh tahun
pengembangan komoditi ini mengalami peningkatan yang cukup pesat.
Pada Tabel 3 dapat kita lihat pada tahun 2006 produksi kakao Kabupaten
Padang Pariaman mencapai 2 591 ton, mengalami kenaikan dari tahun 2005 dan
pada tahun 2011 produksi kakao Kabupaten Padang pariaman terus naik mencapai
9 971 ton dengan luas areal panen mencapai 12 054 hektar. Sehingga jika kita
lihat dari produktivitasnya, maka produktivitas rata-rata kakao rakyat di
Kabupaten Padang Pariaman adalah 1.17 ton per hektar. Produktivitas tersebut
potensial kakao yang mencapai 2 ton per hektar (Dinas Perkebunan Kab. Padang
Sumber: Dinas Perkebunan Kab. Padang Pariaman, 2012.
Kakao merupakan komoditi ekspor yang permintaannya terus meningkat.
Upaya untuk peningkatan produktivitas dan kualitas kakao terus dilakukan,
sehingga pendapatan yang diperoleh petani meningkat. Aspek produksi dan
pemasaran ini tidak dapat dipisah dalam peningkatan pendapatan petani. Salah
satu faktor yang mempengaruhi pendapatan petani adalah kurangnya pengetahuan
petani mengenai pemasaran hasil kakao, seperti saluran dan karakteristik
pemasaran yang akan memberikan keuntungan yang maksimal pada petani.
1.2. Perumusan Masalah
Tanaman perkebunan yang pada awalnya menjadi prioritas pengembangan
oleh masyarakat di Kabupaten Padang Pariaman adalah tanaman kelapa dan
pinang. Namun faktor merosotnya harga pinang dan belum membaiknya harga
kelapa di pasar nasional maupun lokal, dan semakin membaiknya prospek harga
kakao di tingkat petani menyebabkan semakin besar perhatian petani pada
pengembagan komoditi kakao.
Pilihan petani terhadap pengembangan komoditas ini juga dipicu oleh
begitu besarnya tuntutan kebutuhan pokok keluarga tani yang terus meningkat,
sementara meningkatnya kebutuhan tersebut tidak seiring dengan pendapatan
petani. Dan juga faktor keterbatasan lapangan pekerjaan dan tingkat pendidikan
tanaman kakao sebagai komoditi perkebunan yang memiliki luas lahan terbesar
kedua setelah kelapa (Dinas Perkebunan Kab. Padang Pariaman, 2012).
Pengembangan kakao di Indonesia dan Kabupaten Padang Pariaman,
masih sangat prospektif bila dilihat dari potensi produksi dan pemasaran pada
pasar domestik dan ekspor. Kabupaten Padang Pariaman yang merupakan sentra
utama tanaman kakao di Sumatera Barat, belum mampu memberikan sumbangan
atau pendapatan yang berarti, baik bagi daerah maupun bagi petaninya sendiri.
Sampai saat ini masih banyak permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan
kakao yaitu dari segi teknologi bercocok tanam, pengolahan pascapanen,
perencanaan bisnis dan pemasaran, serta aspek sosial ekonomi budaya. Hal ini
terlihat jelas dari usahatani yang dilakukan petani masih tradisional.
Secara teknis pertanian, usaha pengembangan perkebunan kakao lebih
mengarah pada perluasan areal tanaman, peningkatan produktivitas tanaman serta
perbaikan mutu hasil. Berdasarkan laporan Dinas Perkebunan Kabupaten Padang
Pariaman (2012) bahwa produktivitas tanaman kakao di Kabupaten Padang Pariaman adalah 1.17 ton/ha, angka tersebut masih jauh dibawah tingkat
produktivitas potensial yang bisa dicapai tanaman kakao yaitu sebesar 2 ton/ha
(Spillane, 1995). Sehingga hal tersebut merupakan permasalahan yang terbesar
bagi petani dan pertumbuhan perekonomian di daerah tersebut. Dari fakta
tersebut, faktor-faktor apa yang mempengaruhi produksi kakao di Kabupaten
Padang Pariaman ?
Perkembangan areal tanam dan produksi kakao telah menarik banyak
pihak untuk terlibat dalam proses pemasarannya. Ada banyak pedagang, lembaga
pemasaran maupun pemerintah, dengan kepentingannya masing-masing ikut
berperan dalam pemasaran kakao. Sementara mutu kakao yang dihasilkan petani
belum memiliki standar yang jelas. Dan petani tidak mempunyai kekuatan dalam
penentuan harga, dimana harga di tentukan oleh pedagang. Hal ini akan
mempengaruhi proses pemasarannya karena mekanisme pembentukan harga
komoditas kakao di pasar akan berdampak langsung pada perilaku partisipan yang
terlibat dalam perdagangan komoditas ini. Eksportir, pedagang lokal, pedagang
pengumpul dan petani sendiri, adalah pihak yang akan terkena dampak harga.
sangat tergantung pada kekuatan masing-masing pelaku yang terlibat dalam rantai
pemasaran kakao itu sendiri. Sehingga aspek pemasaran mempunyai peranan yang
sangat kuat dalam perkembangan usahatani.
Keadaan pasar kakao seperti yang digambarkan di atas berpotensi
menimbulkan masalah dan bisa merugikan petani produsen. Pola pemasaran yang
terjadi akan cenderung tidak terorganisir karena melibatkan pelaku pemasaran
yang banyak dengan kepentingan yang berbeda-beda. Sehingga daya tawar petani
juga cenderung rendah karena jumlah petani sangat banyak dan tersebar di
berbagai wilayah, belum adanya koordinasi dan kerjasama antar petani,
persaingan pasar yang semakin kompetitif, lokasi konsumen akhir kakao yang
jauh dari sentra produksi (di luar negeri) dan belum adanya rantai distribusi yang
jelas dari petani sampai ke industri berbahan baku kakao, ditambah lagi dengan
masalah produksi dan mutu seperti yang telah diuraikan di atas. Petani tidak akan
menjadi penentu harga, perilaku harga akan cenderung didominasi oleh
kepentingan pedagang besar dan eksportir
Hal tersebut mengindikasi bahwa pasar kakao bersifat oligopsoni. Selama
ini hasil panen hanya ditampung oleh pedagang kabupaten atau eksportir saja,
melalui pedagang-pedagang perantara, yang nantinya akan memperdagangkan
kakao keluar wilayah Kabupaten Padang Pariaman atau ke pasar luar negeri.
Saluran pemasaran kakao yang terbentuk cenderung dikuasai oleh pedagang
pengumpul. Dengan pola distribusi yang demikian, dimana informasi harga di
tingkat eksportir/importir tidak diketahui dengan jelas, harga kakao bisa berubah
dengan cepat dan cenderung fluktuatif yang menimbulkan ketidakpastian bagi
petani. Dari uraian tersebut, pertanyaan yang muncul yang perlu dijawab adalah
bagaimana struktur, perilaku, kinerja pasar kakao, dan berapa marjin dari lembaga
pemasaran dibandingkan dengan proporsi harga yang diterima petani ?
Berdasarkan uraian di atas, serta terbukanya prospek pengembangan kakao
di masa yang akan datang. Maka perlu dilakukan penelitian mengenai aspek
produksi dan pemasaran kakao. Bagaimana keterkaitan antara kegiatan produksi
kakao di tingkat usahatani dengan pemasaran kakao sebagai komoditas pertanian
yang terhubung dalam suatu kesatuan sistem pemasaran, serta bagaimana
sinyal bagi produsen dan konsumen. Sehingga dengan adanya penelitian ini
diperoleh informasi mengenai keragaan produksi dan pemasaran usahatani kakao
di Kabupaten Padang Pariaman.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latarbelakang dan permasalahan diatas, penelitian ini
dilakukan bertujuan untuk :
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kakao di Kabupaten
Padang Pariaman.
2. Mengidentifikasi jalur dan karakteristik lembaga pemasaran kakao di
Kabupaten Padang Pariaman.
3. Menduga marjin yang diterima setiap lembaga pemasaran.
4. Menentukan besarnya bagian harga yang diterima petani.
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini pada dasarnya mempelajari analisis produksi dan pemasaran
kakao rakyat, yang mencakup faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan analisis pemasaran meliputi struktur, prilaku dan keragaan pemasaran kakao di
Kabuapten Padang Pariaman.
Keterbatasan penelitian ini adalah fakta yang digambarkan merupakan
kegiatan dan keadaan pada saat penelitian dilakukan, selanjutnya berdasarkan
fakta tersebut dilakukan penyimpulan mengenai masalah-masalah penelitian yang
ingin dibuktikan atau dicari hubungannya. Dan untuk analisis pemasarannya pada
penelitian ini dibatasi sampai pada pedagang kakao di Kabupaten Padang
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Analisis Produksi
Hasil penelitian yang diselenggarakan oleh Gonarsyah et al. (1990) bahwa
pola tanam kakao perkebunan rakyat di Indonesia (kasus Sulawesi Tenggara)
terdiri atas dua bentuk, yaitu monokultur dan tumpangsari. Pola tanam
monokultur dilakukan oleh petani di tegalan, sementara pola tanam tumpangsari
dilakukan oleh petani di kebun kelapa. Ini mengindikasikan bahwa pengusahaan
tanaman kakao pada awalnya dilakukan di kebun kelapa, setelah itu baru
dilakukan di tegalan secara monokultur. Ini mengartikan bahwa pengembangan
tanaman kakao memperoleh respon positif dari pekebun. Keberhasilan tersebut,
pada hakekatnya lebih banyak dikarenakan adanya respon positif pekebun terhadap relatif tingginya harga biji kakao kering yang diterima pekebun pada
pertengahan tahun 1980-an. Selain itu, instruksi pemerintah daerah untuk
mengusahakan komoditi kakao di wilayah tersebut cukup menonjol.
Akiyama dan Nishio (1997) telah menguji kebijakan pemerintah yang
mempengaruhi perluasan produksi kakao di Indonesia, dan mengidentifikasikan
persoalan-persoalan yang dihadapi dalam pengembangan kakao. Penelitian ini
memanfaatkan analisis deskriptif, dan sama seperti studi-studi yang dikemukakan
sebelumnya, studi ini belum mengaitkan dengan kinerja ekonomi wilayah. Salah
satu kesimpulan penting dari penelitian ini ialah bahwa perluasan produksi kakao
yang cepat disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang membatasi intervensi.
Oleh karena itu, peneliti merekomendasikan agar pemerintah Indonesia
menerapkan kebijakan (non-intervensi) perdagangan kakao terhadap komoditi
lainnya.
Bafadal (2000) telah menyelenggarakan studi yang menganalisis produksi
dan respon penawaran kakao rakyat dengan studi kasus Propinsi Sulawesi
Tenggara. Penelitian tersebut diselenggarakan dengan menggunakan metode
survai, dan memanfaatkan analisis ekonometrika. Sebagaimana
penelitian-penelitian lainnya, meskipun penelitian-penelitian ini mengambil kasus Propinsi Sulawesi
Tenggara, namun penelitian ini belum mengaitkan komoditi kakao dengan kinerja
Penelitian ini menemukan bahwa luas areal dipengaruhi oleh harga riel kakao dan
harga riel pupuk urea. Selanjutnya, produktivitas dipengaruhi oleh harga riel
cengkeh, harga riel pupuk urea dan luas areal. Luas areal lebih respon
dibandingkan dengan produktivitas terhadap perubahan harga riel kakao dalam
jangka pendek dan jangka panjang. Penawaran (produksi) kakao dalam jangka
pendek dan jangka panjang responsif terhadap perubahan harga riel kakao dan
harga riel pupuk urea, tetapi penawaran tersebut tidak responsif terhadap
perubahan upah riel tenaga kerja.
Penelitian yang dilakukan Slameto (2003), tentang efisiensi produksi
usahatani kakao untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi
kakao di Provinsi Lampung. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja yang
mencakup tiga kabupaten sebagai daerah sampel. Analisis menggunakan fungsi
produksi Cobb-Douglas. Produksi kakao rakyat sangat dipengaruhi oleh input
tenaga kerja, pupuk kandang, pestisida, luas lahan, jumlah dan umur tanaman
kakao, serta penggunaan klon unggul, seluruhnya memberikan pengaruh positif terhadap produksi. Penggunaan input produksi dapat meningkatkan produksi
kakao rakyat dengan proporsi yang sama yang ditunjukkan oleh ekonomi skala
usaha yang cenderung pada kondisi constant return to scale.
Dalam tahun 2004, Gonarsyah menyelenggarakan studi kasus yang
bertujuan menguji kendala-kendala kunci dan isu-isu pemerintahan tentang
perluasan integrasi vertikal usahatani, perusahaan dan konsumen dalam industri
kakao di Indonesia. Isu utama yang dibahas ialah bagaimana memperbaiki sistem
di mana pemerintah dapat membantu menciptakan sistem tersebut bekerja atas
kepentingan petani untuk keuntungan bagi semua stakeholder dalam sistem
tersebut. Kesimpulan utama dari studi kasus tersebut ialah pertanyaan mendasar
tentang bagaimana kebijakan yang terkait dengan jenis industri kakao. Apakah
jenis industri kakao yang seharusnya dikembangkan dalam jangka panjang,
apakah industri kakao biji, atau industri chocolate (Gonarsyah, 2004: 1, 10).
Berdasarkan hasil penelitian Leonard (2011) di Ghana dengan judul
Analysis of Factors Affecting The Technical Efficiency of Cocoa Farmers in The
mempengaruhi produktivitas adalah luas areal, modal dan tenaga kerja.(2)
Sedangkan untuk input laiinya seperti pupuk dan mesin-mesin pertanian dapat
menurunkan efisiensi usahatani kakao.
2.2. Penelitian Analisis Pemasaran
Penelitian Noorsapto (1994), tentang keunggulan komparatif dan dampak
kebijakan pemerintah pada komoditi kakao di perkebunan rakyat, perkebunan
besar negara dan perkebunan besar swasta. Analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode analisis matrils kebijakan atau Policy Analysis
Matrix (PAM). Hasilnya menunjukan bahwa semua sistem komoditas kakao adalah menguntungkan baik secara finansial maupun ekonomi dimana ketiga
bentuk pengusahaan mempunyai keunggulan komparatif dan secara finansial
mempunyai keunggulan kompetitif.
Model analisis yang di gunakan oleh Yudhistira (1997) dimana melakukan
penelitian di Perkebunan Besar Negara Rajamandala, Jawa Barat dalam kajian
keunggulan komparatif komoditis kakao. Hasil penelitian menunjukan secara finansial dan ekonomi pengusahaan komoditas kakao menguntungkan atau layak
diteruskan. Dari analisis keuntungan privat diperoleh nialai Rp. 303 909 per kg
kakao kering dan dengan analisis ekonomi diperoleh keuntungan Rp 498.54 per
kg kakao kering. Ini berarti baik dalam pasar persaingan sempurna dan pasar
terdistorsi atau ada campur tangan pemerintah maka pengusahaan kakao layak
dilanjutkan. Dengan menggunakan kriteria Rasio Biaya Privat (PCR) dan Rasio
Biaya Sumberdaya domestik (DRC), pengusahaan komoditas kakao memiliki
keunggulan komparatif dengan nilai PCR dan DRC lebih kecil dari satu yaitu 0.76
dan 0.58.
Wally (2001) melakukan penelelitian mengenai analisis tataniaga kakao
rakyat dan faktor-faktor yang mempengaruhi opsi kelembagaan tataniaga petani
kakao di Kabupaten Jayapura. Penelitian ini membedakan dua jenis kelembagaan
yaitu pola kemitraan dan pola tradisional. Penelitian tersebut bertujuan untuk
mempelajari struktur pasar dan sistem tataniaga, mempelajari bentuk
kelembagaan tataniaga serta faktor yang mempengaruhi opsi petani terhadap
tataniaga kakao rakyat. Hasil penelitian yang dikemungkakan bahwa struktur
pasar biji kakao di Jayapura bersifat oligoponistik yang mengarah ke pasar lebih
bersaing. Marjin tataniaga kelembagaan kemitraan jauh lebih rendah dibanding
kelembagaan tradisional. Harga biji kakao pada pola kenitraan dominan
dipengaruhi oleh persentase perubahan harga di pasar lokal, sedangkan pola
tradisional dipengaruhi pembentukan harga FOB Jayapura. Kelembagaan
kemitraan menjadi opsi sebagian besar petani kakao Jayapura yang sangat
dipengaruhi oleh karakteristik individu petani berupa pengalaman dan pendidikan
formal petani. Untuk biaya transaksi berpengaruh sangat nyata terhadap peluang
kelembagaan.
Dan pada tahun 2007 dilakukan penelitian oleh Marcella Vigneri dengan
topik penelitian Ghana and the cocoa marketing dilemma: What has liberalisation
without price competition achieved? Hasil penelitian ini adalah Usaha yang
dilakukanpemerintah untuk meningkatkan pendapatan petani kakao di ghana
III.
KERANGKA TEORITIS
3.1. Teori Produksi
Secara umum, produksi diartikan sebagai penggunaan atau pemanfaatan
sumber daya yang mengubah suatu komoditi menjadi komoditi lainnya yang sama
sekali berbeda, baik dalam pengertian apa, dan dimana atau kapan
komoditi-komoditi itu dialokasikan, maupun dalam pengertian apa yang dapat dikerjakan
oleh konsumen terhadap komoditi itu. Istilah produksi berlaku untuk barang
maupun jasa, karena istilah komoditi memang mengacu pada barang dan jasa.
Keduanya sama-sama dihasilkan dengan mengerahkan modal dan tenaga kerja
(Debertin, 1986).
Ada beberapa fungsi produksi yang bisa digunakan untuk mengetahui hubungan antara faktor produksi (input) dan produksi (output), diantaranya
adalah: fungsi produksi linier, kuadratik, polinominal akar pangkat dua,
eksponensial, CES (Constant Elasticity of Substitution) dan translog. Memilih
fungsi produksi apa yang akan digunakan dalam suatu penelitian diperlukan
banyak pertimbangan, karena masing-masing fungsi produksi memiliki
keunggulan dan keterbatasan. Selain disesuaikan dengan kebutuhan penelitian,
jenis data yang digunakan dan tujuan analisis. Soekartawi (2003), juga
menganjurkan tindakan berikut dalam memilih model atau bentuk fungsi produksi
yaitu: (1) identifikasi masalah secara jelas, variabel-variabel apa saja yang
berfungsi sebagai penjelas dan apa variabel yang dijelaskannya, (2) tindakan
pertama tersebut kemudian harus dilanjutkan dengan studi pustaka untuk melihat
apakah identifikasi masalah sesuai dengan teori yang benar yang dikombinasikan
dengan pengalaman sendiri serta belajar dari penelitian lain, dan (3) melakukan
trial and error untuk menguatkan model yang dipakai.
Fungsi produksi eksponensial (Cobb-Douglas) adalah fungsi yang sering
dipakai sebagai model analisis produksi dalam penelitian usahatani, karena
penggunaannya yang lebih sederhana dan mudah untuk melihat hubungan
input-output. Menurut Debertin (1986), walaupun memiliki beberapa keterbatasan,
penggunaan fungsi produksi Cobb-Douglas didasarkan atas pertimbangan: (1)
misalnya, karena variabel bebas yang dimasukkan adalah kuantitas dari input, data
cross section akan lebih tepat dianalisis dengan fungsi produksi dibandingkan
dengan fungsi keuntungan, (2) dalam penerapan secara empiris lebih sederhana
dan lebih mudah karena nilai parameter dugaan sekaligus juga menunjukkan
elastisitas produksi dan ekonomi skala usaha, dan (3) dari fungsi tersebut dapat
diturunkan fungsi permintaan input.
Soekartawi (2003), menyebutkan ada tiga alasan pokok mengapa fungsi
Cobb-Douglas lebih banyak dipakai oleh para peneliti yaitu: (1) penyelesaiannya
relatif lebih mudah jika dibandingkan dengan fungsi produksi yang lain karena
dapat dengan mudah ditransfer ke bentuk linier, (2) hasil pendugaan garis fungsi
ini menghasilkan koefisien regresi yang sekaligus juga menunjukkan besaran
elastisitas, dan (3) besaran elastisitas tersebut sekaligus menunjukkan tingkat
besaran return to scale
Terlepas dari kelebihan tertentu yang dimiliki fungsi produksi Cobb-
Douglas jika dibandingkan dengan fungsi-fungsi yang lain, bukan berarti fungsi
tersebut sempurna. Kesulitan umum yang dijumpai dalam penggunaan fungsi
produksi Cobb-Douglas atau kelemahan dan keterbatasan fungsi ini adalah: (1)
spesifikasi variabel yang keliru akan menghasilkan elastisitas produksi yang
negatif atau nilainya terlalu besar atau terlalu kecil.
Hal ini juga mendorong terjadinya multikolinearitas pada variabel
independen yang dipakai, masalah ini sering terjadi dalam pendugaan
menggunakan metode kuadrat terkecil, (2) kesalahan pengukuran variabel, hal ini
terletak pada validitas data apakah terlalu ekstrim ke atas atau ke bawah, (3) bias
terhadap variabel manajemen karena kadang-kadang sulit diukur dan dipakai
sebagai variabel independen dalam pendugaan karena erat hubungannya dengan
variabel independen yang lain, dan (4) multikolinearitas. Selain itu ada asumsi
yang perlu diikuti dalam menggunakan fungsi Cobb-Douglas, seperti misalnya
asumsi bahwa teknologi dianggap netral, yang artinya intercept boleh berbeda,
tetapi slope garis penduga Cobb-Douglas dianggap sama dan asumsi bahwa
sampel dianggap price takers (Soekartawi, 2003).
Fungsi produksi menunjukkan jumlah maksimum output yang dapat
tertentu. Fungsi produksi merupakan fungsi dari kuantitas input tidak tetap dan
input tetap. Menurut Debertin (1986), fungsi produksi menerangkan hubungan
teknis yang mentransformasikan input atau sumberdaya menjadi output atau
komoditas. Atau bisa juga dikatakan bahwa fungsi produksi adalah suatu fungsi
atau persamaan yang menunjukan hubungan teknis antara jumlah faktor produksi
yang digunakan dengan jumlah hasil produksi yang dihasilkan per satuan waktu.
Secara matematis fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut:
Q = (X1, X2, X3, ...Xn/Zn)
dimana:
Q = Output atau produksi
X1, X2, X3, ...Xn = Input tidak tetap ke-1, 2, 3, ..., n
Zn = Input tetap ke-n
Menurut Debertin (1986), fungsi produksi menerangkan hubungan teknis
yang mentransformasikan input atau sumberdaya menjadi output atau komoditas.
Atau bisa juga dikatakan bahwa fungsi produksi adalah suatu fungsi yang menunjukan hubungan teknis antara jumlah faktor produksi yang digunakan
dengan jumlah hasil produksi yang dihasilkan per satuan waktu. Petani yang maju
dalam melakukan usahatani akan selalu berfikir bagaimana mengalokasikan faktor
produksi secara efisien.
3.2. Teori Pemasaran Komoditas Pertanian
Upaya peningkatan produksi dan perbaikan pemasaran merupakan satu
rangkaian yang saling berkaitan. Produksi yang tinggi tanpa didukung pemasaran
yang baik dan sebaliknya pemasaran yang baik yang tidak didukung oleh produksi
yang baik tidak akan berarti dalam pengembangan suatu komoditas. Sehingga
dalam meneliti sektor pemasaran sektor produksi tidak bisa diabaikan. Pengkajian
kedua sektor akan mendapatkan kebijakan yang dapat meningkatkan pendapatan
petani.
Kinerja pemasaran memegang peranan sentral dalam pengembangan
komoditas pertanian. Perumusan strategi dan program pengembangan pemasaran
yang mampu menciptakan kinerja pemasaran yang kondusif dan efisien, akan
adopsi teknologi, peningkatan produktivitas dan efisiensi, serta daya saing
komoditas pertanian, (2) meningkatkan kinerja dan efektivitas kebijakan
pengembangan produksi, khususnya kebijakan yang terkait dengan program
stabilisasi harga keluaran, dan (3) perbaikan perumusan kebijakan perdagangan
domestik dan internasional (ekspor dan impor) secara efektif dan optimal
(Rusastra et al. 2003).
Pada analisis produksi dan pemasaran kakao dalam penelitian ini,
pemasaran yang dimaksud pada intinya didefinisikan seperti yang dikemukakan
oleh Kohls dan Uhl (2002), yaitu sebagai semua kegiatan bisnis yang meliputi
seluruh sistem aliran produk dan jasa-jasa yang terlibat dalam arus komoditas
kakao, mulai dari titik awal produksi/petani produsen sampai kakao tersebut di
tangan konsumen akhir. Sehingga apabila proses produksi telah berjalan dengan
baik dan di dukung oleh kegiatan pemasaran yang efisien maka akan tercapailah
usahatani kakao yang memberikan keuntungan kepada petani.
Pembentukan harga suatu komoditas pada setiap tingkat pasar tergantung pada struktur pasar tersebut, sehingga hubungan harga antara tingkat pasar
konsumen dengan tingkat pasar produsen tergantung kepada struktur pasar yang
menghubungkannya. Dalam struktur pasar yang bersaing sempurna misalnya,
hubungan harga yang diterima petani produsen dengan harga yang dibayar
konsumen atau hubungan antar tingkat pasar, akan erat sekali. Keadaan ini
merupakan salah satu cermin dari sistem pemasaran yang efisien.
Dalam hal ini, tugas pemasaran dalam suatu sistem pertukaran adalah
mempengaruhi koordinasi antar apa yang diproduksi dengan apa yang dibutuhkan
konsumen. Dan juga mekanisme harga berfungsi sebagai sistem komunikasi untuk
meneruskan informasi mengenai keinginan konsumen kepada produsen. Sinyal
harga menjadi pesan dari konsumen kepada produsen. Bila suatu produk atau
mutu tertentu dari suatu produk sangat dibutuhkan oleh konsumen, maka
harganya menjadi relatif lebih tinggi. Sinyal harga ini disampaikan melalui sistem
tersebut menuju ke produsen, sehingga dalam waktu tertentu produsen melakukan
penyesuaian yang menurutnya tepat secara ekonomi, dengan mengalokasikan
faktor produksi untuk memproduksi produk dengan tingkat mutu seperti yang
3.2.1. Konsep Efisiensi Pemasaran
Ada dua tipe efisiensi dalam kaitan dengan pemasaran yaitu efisiensi
teknis dan efisiensi harga. Efisiensi teknis menunjukan pada hubungan
input-output yang terlibat dalam tugas pemanfaatan produksi di seluruh sistem
pemasaran. Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam proses untuk membawa barang
ke tangan konsumen meliputi biaya perubahan bentuk, biaya penyimpanan dan
biaya pengangkutan. Pada umumnya efisiensi pelaksanaan aktivitas dan fungsi ini
dianggap tergantung pada teknologi yang tersedia (Purcell, 1979).
Efisiensi harga merujuk pada kemampuan sistem untuk mempengaruhi
perubahan dan mendorong relokasi sumberdaya agar dapat mempertahankan
kesesuaian antara apa yang diproduksi dan apa yang dibutuhkan konsumen.
Pemasaran menginginkan adanya efisiensi yaitu pengorbanan yang sekecil
mungkin terhadap barang atau jasa yang diminta konsumen. Efisiensi pemasaran
menurut Kohls dan Uhl (2002), adalah nisbah antara total biaya dengan total nilai
produk yang dipasarkan. Ada beberapa faktor yang dapat dipakai sebagai ukuran efisiensi pemasaran yaitu keuntungan pemasaran, harga yang diterima petani,
tersedianya fasilitas fisik pemasaran dan kompetisi pasar.
Kohls dan Uhl (2002), menyatakan bahwa perubahan sistem pemasaran
yang berakibat mengecilnya biaya kegiatan pemasaran tanpa mengurangi
kepuasan konsumen menunjukkan suatu perbaikan dari tingkat efisiensi
pemasaran. Sedangkan perubahan yang mengurangi biaya pemasaran tetapi
diikuti dengan berkurangnya kepuasan konsumen menunjukkan penurunan tingkat
efisiensi pemasaran. Efisiensi pemasaran akan tercapai jika struktur pasar dapat
menciptakan iklim yang mendorong terjadinya proses yang seimbang antara
pelaku-pelaku yang terlibat dalam pemasaran. Efisiensi pasar secara teoritis dapat
dicapai jika pelaku-pelaku pasar tidak melakukan suatu upaya rekayasa untuk
mempengaruhi harga pasar, atau bila pemasaran tersebut dapat memberikan
semua pihak (petani produsen, pedagang perantara dan konsumen) kepuasan balas
jasa yang seimbang sesuai dengan sumbangannya masing-masing meskipun
sifatnya relatif (adil yang proporsional).
Kohls dan Uhl (2002), lebih lanjut mengungkapkan bahwa analisis sistem
pasar. Struktur pasar merupakan karakteristik organisasi yang menentukan
hubungan antara penjual dengan pembeli yang dapat dilihat dari jumlah lembaga
pemasaran yang terlibat, pangsa pasar, konsentrasi pasar dan kondisi keluar
masuk pasar. Perilaku pasar merupakan tingkah laku lembaga pemasaran dalam
struktur pasar tertentu yang dihadapinya, yang meliputi kegiatan pembelian dan
penjualan, penentuan harga dan siasat pemasaran seperti potongan harga. Struktur,
perilaku dan kinerja merupakan tiga kategori utama yang digunakan untuk melihat
kondisi struktur pasar dan persaingan yang terjadi di pasar. Struktur sebuah pasar
akan mempengaruhi perilaku perusahaan dalam pasar tersebut, yang secara
bersama-sama menentukan kinerja sistem pasar secara keseluruhan. Sehingga dari
analisis struktur, perilaku dan keragaan pasar akan dapat dilihat tingkat efisiensi
dari sistem pemasaran tersebut.
3.2.2. Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar
Kohls dan Uhl (2002), mengungkapkan bahwa analisis pemasaran dapat
dikaji melalui struktur (structure), perilaku (conduct), dan keragaan (performance). Pendekatan SCP adalah pendekatan organisasi pasar yang
mencakup atau mengkombinasikan semua aspek dari sistem pemasaran atau
tataniaga.
a. Struktur Pasar
Struktur pasar (market structure) dapat diartikan sebagai karakteristik dari
produk maupun institusi yang terlibat pada pasar tersebut yang merupakan suatu
resultan atau saling mempengaruhi perilaku dan kinerja pasar. Antara lain ada
empat faktor yang menjadi penentu yaitu: jumlah dan ukuran perusahaan (isu
pangsa pasar dan konsentrasi pasar), kondisi dan keadaan produk (homogen atau
diferensiasi), mudah atau sukarnya untuk masuk dan keluar pasar atau industri
(barrier to entry) dan tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh partisipan dalam
pemasaran. Struktur pasar dapat juga diartikan sebagai tipe dan jenis-jenis pasar,
yang secara garis besar dibagi atas dua kelompok, yaitu pasar persaingan
sempurna dan pasar tidak bersaing sempurna.
Pasar Persaingan Sempurna (PPS) adalah kondisi pasar ideal dan
harus terpenuhi yaitu: (1) ada sangat banyak penjual dan pembeli di pasar, (2)
tidak ada pelaku pasar yang dominan yang dapat mempengaruhi pesaingnya di
pasar, (3) penjual dan pembeli hanya price taker serta tidak ada persaingan di luar
harga, (4) tidak ada hambatan untuk masuk/keluar pasar dan (5) jenis produk
homogen dan identik, serta semua partisipan pasar mempunyai cukup informasi
dan pengetahuan tentang produk dan harga.
Sisi yang berlawanan sangat ekstrim dengan pasar persaingan sempurna
adalah pasar monopoli dimana pasar dikuasai oleh satu penjual, berikutnya pasar
oligopoli (sedikit penjual) dan pasar monopolistik (banyak penjual). Jika
diurutkan menurut kedekatan karakteristik masing-masing pasar satu sama lain,
maka struktur pasar terdiri dari pasar persaingan sempurna, pasar monopolistik,
pasar oligopoli dan terakhir pasar monopoli.
Imperfect competition bisa juga dilihat dari perspektif pembeli atau konsumen, sehingga selain ketiga jenis pasar tidak bersaing sempurna tersebut
(monopolistik, oligopoli dan monopoli) juga dikenal struktur pasar monopsoni dan oligopsoni. Pasar monopsoni menurut Kohls dan Uhl (2002), adalah pasar
dimana hanya terdapat satu pembeli atau kondisi dimana hanya ada satu
perusahaan pengguna pada pasar input tertentu dan oligopsoni adalah sebuah
situasi pasar dimana hanya ada beberapa pembeli dari satu produk atau komoditas
(a few large buyers of a product).
Struktur pasar sebagian besar komoditas hasil-hasil pertanian terutama di
negara-negara berkembang, tergolong ke dalam struktur pasar monopsoni atau
oligopsoni, yang mayoritas pertaniannya merupakan usahatani subsistem karena
beragam faktor yang mempengaruhinya. Hal ini sangat merugikan petani karena
dampak dari mekanisme pembentukan harga yang terjadi adalah tidak ada harga
terbaik, pembeli membeli hasil panen di bawah harga pasar yang seharusnya
(harga pada PPS) sehingga bagian harga yang seharusnya dinikmati petani
diambil oleh pembeli.
b. Perilaku Pasar
Perilaku pasar (market conduct) merupakan perilaku partisipan (pembeli
dan penjual), strategi atau reaksi yang dilakukan partisipan pasar secara individu
lainnya untuk mencapai tujuan pemasaran tertentu. Misalnya praktek-praktek
bisnis yang dilakukan perusahaan dalam kebijakan penentuan harga, promosi
penjualan dan berbagai strategi penjualan lainnya yang dilakukan untuk mencapai
hasil pasar yang spesifik. Pada prinsipnya hubungan pembeli dan penjual adalah
hubungan persaingan, tetapi setelah ada kesepakatan atau negosiasi, hubungan itu
menjadi transaksi.
Firdaus et al. (2008), lebih lanjut menyebutkan bahwa perilaku pasar
terdiri dari kebijakan-kebijakan yang diadopsi oleh pelaku pasar dan juga
pesaingnya, terutama dalam hal harga dan karakteristik produk. Perilaku pasar
dapat dikelompokkan menjadi perilaku dalam strategi harga, produk dan promosi.
Perilaku antara lain juga bisa dilihat dari tingkat persaingan ataupun kolusi antar
partisipan di pasar.
c. Kinerja Pasar
Kinerja atau keragaan pasar (market performance) merupakan hasil atau pengaruh dari struktur dan perilaku pasar yang dalam realita dapat terlihat dari produk atau output, harga dan biaya pada pasar-pasar tertentu. Misalnya efisiensi harga atau biaya produksi, biaya promosi penjualan, termasuk nilai informasi, volume penjualan dan efisiensi pertukaran di pasar. Keragaan atau kinerja suatu industri diukur antara lain dari derajat inovasi, efisiensi dan profitabilitas (Firdaus et al. 2008). Struktur dan perilaku pasar akan menentukan keragaan pasar yang dapat diukur melalui perubahan harga, biaya pemasaran, margin serta distribusi pemasaran, jumlah komoditas yang diperdagangkan, korelasi harga di tingkat petani dengan harga di tingkat konsumen, elastisitas transmisi harga dan keterpaduan pasar.
Terdapat sejumlah faktor intrinsik dan eksternal yang berpengaruh terhadap kinerja pemasaran produk pertanian. Secara intrinsik faktor yang berpengaruh diantaranya adalah struktur pasar, tingkat integrasi pasar dan margin pemasaran. Bentuk pasar yang terjadi dalam struktur suatu pasar akan mempengaruhi tingkat kompetisi yang akan berdampak pada proses pembentukan harga, transmisi harga dan bagian harga yang diterima petani. Faktor eksternal yang berpengaruh terhadap kinerja pemasaran produk pertanian adalah terkait dengan kebijakan pemerintah
seperti pengembangan infra struktur pemasaran (fisik dan kelembagaan), program
stabilisasi harga output, perpajakan dan retribusi, kebijakan pengembangan
Perbaikan terhadap kinerja pemasaran produksi pertanian akan bermanfaat
dalam mendorong peningkatan produksi dan pendapatan petani, karena kinerja
pemasaran yang kondusif akan mendorong adopsi teknologi dan bagian harga
yang diterima petani. Kebijakan pemerintah yang kondusif akan mendorong
peningkatan produksi, distribusi, pengembangan produk dan insentif yang
proporsional bagi pelaku tataniaga dan kesejahteraan petani (Rusastra et al.2003).
3.2.3. Margin Pemasaran
Nicholson (2002), mengemukakan bahwa pola pembentukan harga
tergantung dari kekuatan-kekuatan pelaku dalam pasar. Dengan kata lain penjual
dan pembeli bertemu langsung, harga hanya ditentukan oleh kekuatan penawaran
dan permintaan secara agregat, sehingga jumlah uang yang dibayarkan oleh
konsumen sama dengan jumlah yang diterima produsen. Hal ini memberikan
kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan antara harga di antara keduanya. Namun
dari hasil penelitian dalam bidang pemasaran pertanian ternyata terdapat
perbedaan harga di tingkat petani dengan harga di tingkat pengecer dan konsumen akhir. Perbedaan yang terjadi inilah yang disebut margin pemasaran yang
merupakan keuntungan dari kegiatan yang dilakukan dalam pemasaran (Cramer et
al. 1997). Bila dalam pemasaran suatu produk pertanian terdapat lembaga
pemasaran yang melakukan fungsi-fungsi pemasaran, maka margin pemasaran
diperoleh dari jumlah margin pemasaran dari tiap-tiap lembaga pemasaran.
Irawan dan Sudjoni (2001), berpendapat banyaknya lembaga pemasaran
dan jarak antara produsen ke konsumen sangat berpengaruh terhadap arus
distribusi barang dan tingkat harga yang diterima oleh produsen ataupun tingkat
harga yang harus dibayar oleh konsumen. Jika dalam penyaluran barang dari
produsen ke konsumen melalui banyak lembaga pemasaran yang terlibat, maka
akan semakin besar perbedaan harga komoditas tersebut pada produsen
dibandingkan dengan harga yang akan dibayarkan oleh konsumen.
Nilai margin pemasaran pada tiap komoditas berbeda-beda, dikarenakan
untuk tiap produk mempunyai jasa pemasaran yang berbeda-beda. Lebih lanjut
Dahl dan Hammond (1977), mengemukakan nilai margin pemasaran ini umumnya
besar dalam memberikan tambahan harga (mark up) biasanya dalam bentuk
konstan yaitu persen yang disebut sebagai biaya margin tetap (margin fixed cost)
dan untuk pengecer dalam menetapkan tambahan harga dalam bentuk absolut
tetap secara margin uang (absolute). Dari margin yang di peroleh oleh tiap
lembaga pemasaran tersebut dapat kita ketahui efisien atau tidak saluran
pemasarannya.
3.2.4. Bagian Harga yang Diterima Petani
Efisiensi pemasaran dapat juga dianalisis dengan menghitung bagian harga
yang diterima petani atau farmer’s share. Kohls dan Uhl (2002), mengemukakan
untuk mengukur efisiensi pemasaran digunakan harga jual petani sebagai dasar
(Pf) dan dibandingkan dengan harga beli pedagang di tingkat konsumen akhir (Pr)
dikalikan dengan 100 persen. Hal ini berguna untuk mengetahui porsi harga yang
berlaku di tingkat konsumen yang dinikmati oleh petani. Besar farmer’s share
(FS) dipengaruhi oleh: (1) tingkat pemrosesan, (2) biaya transportasi, (3)
keawetan produk, dan (4) jumlah produk. Rumusannya sederhana, dinyatakan dalam persentase (%), yang dirumuskan dalam persamaan FS = Pf/Pr x 100%.
Apabila dari hasil pengujian diperoleh bagian harga yang diterima petani rendah,
maka saluran pemasaran tidak/belum efisien. Tapi sebaliknya jika dari hasil
pengujian diperoleh harga yang diterima petani mendekati harga di tingkat
konsumen akhir berarti saluran pemasarannya efisien, yang dapat meningkatan
pendapatan petani.
3.2.5. Keterpaduan Pasar
Pengertian keterpaduan pasar adalah seberapa jauh pemebentukan harga
suatu komoditi pada suatu tingkat lembaga pemasaran dipengaruhi oleh harga di
tingkat lembaga lainnya. Pengaruh ini dapat diduga melalui regresi sederhana,
analisis korelasi harga di setiap tingkat baik secara vertikal maupun horizontal dan
melalui elastisitas transmisi harga (Et).
Dalam suatu sistem pasar terpadu yang efisien akan terlihat adanya
korelasi positif yang tinggi sepanjang waktu dari beberapa pasar (Heytens, 1986).
setempat terpadu dan efisien. Dalam hal ini kelancaran informasi dan kelancaran
pengangkutan komoditas memberi peranan yang penting dalam membentuk
perdagangan antar pasar yang efisien. Sehingga perlu perhatian khusus untuk hal
tersebut. Pengujian akan hubungan harga-harga ditambah dengan pengamatan
tentang kegiatan perdagangan merupakan metode uji hipotesis yang berguna
dalam menganalisis keterpaduan pasar.
Harga-harga pada suatu sistem pasar yang efisien cenderung bergerak
bersama-sama, tetapi hal ini dapat terjadi karena sebab-sebab yang lain.
Pergerakan harga umum, musim bersama atau setiap faktor kebersamaan, dapat
memberikan perubahan harga yang selaras walaupun pasar tersebut tidak
berhubungan (Heytens, 1986).
Pendekatan lain yang digunakan adalah metode autoregresive distributed
lag yang dapat mengatasi masalah kelemahan model regresi sederhana yang menganggap perubahan harga di tingkat konsumen dan produsen bergerak pada
waktu yang sama. Model ini dikembangkan oleh Ravallion (1986) dan Heytens (1986). Model didasarkan pada hubungan bedakala (lag) bersebaran autoregresive
antara harga disuatu tingkat atau pasar tertentu dengan harga di pasar atau tingkat
lainnya. Analisis ini dapat menerangkan adanya hubungan antara perubahan harga
di suatu pasar tertentu dengan harga di pasar lainnya. Lebih lanjut dapat
diungkapkan proses pembentukan harga, misalnya Pit adalah harga di pasar i
waktu t, sedangkan PAt adalah harga di pasar acuan waktu t, maka model dapat
dirumuskan sebagai berikut:
(Pit – Pit-1) = (αi - 1) (Pit-1 - PAt-1) + i0 (PAt - PAt-1) +
(αi + i0 + i1-1) PAt-1 + i X + e ...(1)
dimana:
Pit = Harga di pasar i waktu t
PAt = Harga di pasar acuan waktu t
X = Vektor musiman atau variabel lain yang dianggap relevan
e = Error term di pasar i waktu t
Persamaan (1) menjelaskan bahwa perubahan harga di suatu tempat adalah
fungsi dari selisih harga pasar setempat dengan pasar acuan pada waktu yang
acuan waktu sebelumnya dan ciri-ciri pasar setempat. Persamaan (1) bisa
disederhanakan dengan mengubah lambang-lambang koefisien: αi – 1 = b1, i0 =
b2 dan αi + i0 + i1-1 = b3, sehingga persamaan dapat ditulis sebagai berikut:
(Pit - Pit-1) = b1 (Pit-1 – PAt-1) + b2 (PAt – PAt-1)
+ b3 PAt-1+ b4 X + e ...(2)
Persamaan (2) dapat disusun kembali menjadi persamaan:
Pit = (1+b1) Pit-1 + b2 (PAt – PAt-1) + (b3-b1) PAt-1 + b4 X + e ...(3)
Apabila pasar acuan kita anggap berada pada keseimbangan jangka panjang maka
(PAt – PAt-1) = 0 dan juga b4 = 0, sehingga didapatkan:
Pit = (1+b1) Pit-1 + (b3-b1) PAt-1 ...(4)
Nilai parameter (1+b1) dan (b3-b1) akan menggambarkan sumbangan
relatif harga pasar setempat dan acuan terdahulu terhadap pembentukan harga
tingkat sekarang. Apabila harga pasar acuan sebelumnya merupakan penentu dari
harga, maka pasar-pasar ini terintegrasi dengan baik. Artinya keadaan penawaran
dan permintaan pada pasar acuan akan dikomunikasikan secara efektif ke pasar-pasar setempat dan akan mempengaruhi harga-harga di sana walau bagaimanapun
keadaan pasar lokal sebelumnya. Untuk menangkap besarnya pengaruh ini secara
efektif, dikembangkan suatu indek hubungan pasar atau Index of Market
Connection (IMC) atau disebut juga indek yang dibatasi sebagai nisbah koefisien
pasar setempat terdahulu terhadap koefisien pasar acuan terdahulu. Dari
persamaan (4) diperoleh:
IMC = (1+b1) / (b3-b1) ………..(5)
Secara umum, semakin dekat indek tersebut ke-0 atau koefisien bernilai
lebih kecil dari 1 maka semakin tinggi derajat keterpaduan pasar.
3.3. Kerangka Konseptual
Untuk meningkatan pendapatan petani masalah utamanya adalah
menyangkut produktivitas dan kegiatan pemasaran. Keadaan ini akan menentukan
kuantitas dan kualitas kakao. Sehingga upaya untuk memberi perhatian terhadap
aspek produksi dan pemasaran menjadi penting. Usaha ini diharapkan tercakup
pada kebijakan pengembangan usahatani kakao di Kabupaten Padang Pariaman,
Gambar 1. Kerangka Konseptual Penelitian
Gambar 1 memberikan kerangka konseptual penelitian secara garis besar ,
didalam proses produksi kakao diperlukan input tetap dan input tidak tetap. Maka
input-input yang akan diuji sebagai hipotesis penelitian adalah bagaimana
pengaruh jumlah tenaga kerja, jumlah penggunaan pupuk kandang, jumlah
penggunaan pupuk kimia, jumlah penggunaan peptisida, luas areal tanam, jumlah
tanaman menghasilkan dan lama pendidikan, terhadap produksi kakao. Apakah
pengaruhnya signifikan terhadap produksi kakao di Kabupaten Padang Pariaman.
Sehingga di ketahui proporsi dari masing-masing faktor dalam menentukan
produksi kakao rakyat di Kabupaten Padang Pariaman.
Kabupaten Padang Pariaman Merupakan Sentra Pengembangan Kakao
Fungsi produksi menggunakan Cobb-Douglas dan analisis pemasaran menggunakan the market structure-conduct performance relationship
Analisis Produksi Analisis Pemasaran
PePemasaranggunaan Masalah utama:
1. Produktivitas kakao yang rendah di Kab. Padang Pariaman
2. Rendahnya posisi tawar petani di pasar
Gambaran keragaan usahatani kakao mulai dari produksi sampai pemasaran secara terpadu di Kabupaten Padang Pariaman
Perkebunan rakyat
Dan dilanjutkan dengan faktor terakhir yang harus diperhatikan adalah
kegiatan pemasaran kakao. Analisis pemasaran yang digunakan dalam penelitian
ini adalah analisis SCP (Structure-Conduct-Performance), yang merupakan
pendekatan yang bisa digunakan untuk mengkaji efisiensi saluran pemasaran.
Sehingga didapatkan gambaran yang menyeluruh mengenai struktur pasar,
perilaku dan keragaan pasar kakao di Kabupaten Padang Pariaman.
Apabila faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan karakteristik
lembaga pemasaran kakao telah teridentifikasi maka langkah pengembangan
kakao di Kabupaten Padang Pariaman untuk masa mendatang akan mudah untuk