• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Tepung Kulit Buah Markisa (Passiflora edulisvar.edulis) Fermentasi Phanerochaete chrysosporium sebagai Ransum dalam Bentuk Peletterhadap Performans Kelinci Rex Jantan Lepas Sapih.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemanfaatan Tepung Kulit Buah Markisa (Passiflora edulisvar.edulis) Fermentasi Phanerochaete chrysosporium sebagai Ransum dalam Bentuk Peletterhadap Performans Kelinci Rex Jantan Lepas Sapih."

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

LAMPIRAN

1. Pengolahan Tepung KBM fermentasi Phanerochaete chrysosporium

Kulit Buah Markisa (KBM) SEGAR

Dicuci Jemur dibawah sinar matahari (3 hari) Dicacah

Tepung KBM +Phanerochaete chrysosporium

C)

Fermentasi selama 15 hari (suhu kamar, Dosis 106

(2)

2. Pembuatan Pakan Bentuk Pelet

Bahan Baku

Bahan Baku digiling menjadi Tepung

Ditimbang menurut formulasi

Diaduk rata di tempat pengadukan

Penambahan bahan baku cair (kalau dibutuhkan)

Diaduk lagi sampai bahan baku cair tersebut

dapat tercampur merata ke seluruh bagian

Bahan baku berbentuk adonan(kebasahan 60%)

Pelet siap diberikan sebagai pakan kelinci

Dimasukkan ke alat pencetak pelet Dihasilkan ukuran pelet 5-7 mm

Pelet dikeringkan (dioven selama 12 jam,

(3)

3. Formula Ransum Kelinci :

No Bahan Perlakuan

P0 P1 P2 P

1.

3

KBM 30 20 10 0

2. KBM Fermentasi 0 10 20 30

3. Tepung Jagung 30 30 30 30

4. Dedak Padi 11 11 11 11

5. Bungkil Kedelai 14 14 14 14

6. Tepung Ikan 7 7 7 7

8. Top Mix 2 2 2 2

9. Molases 6 6 6 6

TOTAL 100 100 100 100

Kandungan Nutrisi

1. PK (%) 15,934 16,937 17,94 19,273

2. EM (kkal/kg) 2845,75 2849,75 2853,75 2857,75

3. SK (%) 15,4228 14,9628 14,5028 14,0428

4. LK (%) 4,1028 4,1818 4,2608 4,3398

5. Ca (%) 0,8986 0,8986 0,8986 0,8986

(4)

4. Rataan konsumsi bahan kering pelet selama penelitian (g/ekor/hari)

5. Rataan konsumsi bahan kering hijauan selama penelitian (g/ekor/hari)

Perlakuan Ulangan Total Rataan Standart

6. Rataan konsumsi ransum kelinci dalam bahan kering (BK) selama penelitian (g/ekor/hari)

Perlakuan

Ulangan

Total Rataan Standart

(5)

7. Analisis ragam konsumsi ransum kelinci selama penelitian

Keterangan: tn= tidak berbeda nyata

8. Analisa keragaman pertambahan bobot badan kelinci selama penelitian

SK DB Jk Kt F Hitung

Keterangan: tn = tidak berbeda nyata

9. Analisa keragaman konversi ransum kelinci

SK DB Jk Kt F Hitung

(6)

7. Grafik rataan konsumsi kelinci dalam bahan kering (BK) selama penelitian (g/ekor/hari)

8. Grafik rataan pertambahan bobot badan kelinci selama penelitian (g/ekor/hari)

(7)

10. Grafik rekapitulasi data performans selama penelitian

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00

P0 P1 P2 P3

71,05

69,34 71,18 71,28

14,96

17,00 17,04 17,36

4,78 4,28 4,28 4,03

konsumsi

PBBh

(8)
(9)

DAFTAR PUSTAKA

AAK. 1980. Pemeliharaan Kelinci. Kanisius. Yogyakarta.

Anggorodi, 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia. Jakarta.

_________.1995. Nutrisi Aneka Ternak Umum. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Astuti, T. 2008. Evaluasi Nilai Nutrisi Kulit Buah Markisa Yang Difermentasi Dengan Aspergillus Niger Dan Trichoderma Harzianum Sebagai Pakan Ternak Secara In – Vitro. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Andalas. Padang.

Anon, 2011. Kebiasaan Kelinci Memakan Kotoran Sendiri (Coprophagy)

http://dinooblog.blogspot.com/2011/01/kebiasaan-kelinci-memakan-kotoran.html. Disitir 8Juni 2013

Behnke, K. C. 2001. Processing Factors Influencing Pelet Quality. Feed Tech. 5 (4): 1-7. Disitasi Skripsi Rizqiani, A. 2011. Performa Kelinci Potong Jantan Lokal Peranakan New Zeland WhiteYang Diberi Pakan Silase Atau Pelet Ransum Komplit. Institup Pertanian Bogor-Press. Bogor.

Buckle, K.A. 1987. Ilmu Pangan.UI Press. Jakarta.

Champbell, J. R. and J.F. Lasley.1985. The Science of Animals that Sarved Mankid. 3th. Tata Mc Graw. Hill Publishing Company Limited New Delhi. Pp 390-392.

Cheeke, R.B., N.M. Patton., S.D. Lukefahr and J.I. Mcniit. 1987. Rabbit production. Sixth Edition. TheInterstate Printers and Publisher, Inc. Danville, Illinois. Pdf. Aritonang et al. 2003. Laju Pertumbuhan Kelinci

Rex, Satin dan Persilangannya yang Diberi Lactosym@ dalam Sistem

Pemeliharaan Intensif. [10 Maret 2014].

Deblass. C. and J. Wiseman. 1998. The Nutrition of The Rabbit. CABI Publishing. New York, USA. Skripsi. Risqiani, A. 2011. Performa Kelinci Potong Jantan Lokal Peranakan New Zeland Whiteyang Diberi Pakan Silase atau Pelet Ransum Komplit. Institup Pertanian Bogor-Press. Bogor.

Fakaguchi, E. 1992. Fibre Digestion And Digesta Retention From Different Physical Forms Of The Feed In The Rabbit. Comparative Biochemistry And Physiology 102A, No. 3: 559-63.

(10)

Irawati, D. 2006. Pemanfaatan serbuk kayu untuk produksi etanol [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Kamal, M. 1997. Kontrol Kualitas Pakan Ternak.Laboratorium Makanan Ternak Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Kartadisastra, H.R. 1994. Komposisi Kandungan Bahan Penyusun Ransum. Kanisius. Yogyakarta.

_________.2001. Ternak Kelinci. Kanisius. Yogyakarta.

_________.2011. Kelinci Unggul. Penerbit Kanisius, Jakarta.

Lestari, C.M.S., H.I. Wahyuni dan L. Susandari. 2005. Budidaya Kelinci Menggunakan Pakan Industri Pertanian dan Bahan Pakan Inkonvensional. Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci. Bandung 30 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Hal 55-60.

Lick, N.Q. and D.V. Hung. 2008. Study and Desig the Rabbit Coop Small-Scale Farm in Central of Vietnam. Departemen of Agriculture Engineering, Hue University of Agriculture and Forestry. Vietnam.

Maertens, L., & M. J. Villamide. 1998. Feeding systems for intensive production. In: C. de Blas and J. Wiseman (ed.) The Nutrition of the Rabbit. CABI Publishing, London. p 241.

Manshur, F. 2009. Kelinci-Pemeliharaan Secara Ilmiah, Tepat dan Terpadu. Nuansa. Bandung.

Masanto. 2009. Beternak Kelinci Potong. Penebar Swadaya. Jakarta.

National Research Council. 1977. Dalam

Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Patrick, H and P.J Schaaible 1980. Poultry Feds and Nutrition new edn. Avi Publishing Coy. Incorporated West Port Connecticut, 283-284.

(11)

Priyatna, N. 2011., Beternak dan Bisnis Kelinci Pedaging. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Rasyaf, M., 1996. Pengelolaan Peternakan Unggas Pedaging. Kanisius. Yogyakarta.

Riadi, Lieke. 2007. Teknologi Fermentasi. Edisi Ke-1. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Rokhmani, S.I.W. 2005. Peningkatan Nilai Gizi Bahan Pakan Dari Pertanian Melalui Fermentasi. Prosiding. Lokakarya Nasional. Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha kelinci. Bandung 30 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Hal 66-74

Rukmana, R., 2003. Usahatani Markisa. Kanisius, Yogyakarta.

_________. 2005. Prospek Beternak Kelinci

online.com/news. Diakses tanggal 2 Februari 2015.

Sanusi, A., 2006. Pengaruh Penambahan Starbio Dalam Ransum Terhadap

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Pada Kelinci Lokal Jantan. Skripsi S1. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta

Sarwono, 2007. Kelinci Potong dan Hias. Agromedia Pustaka. Jakarta

_______.2009. Buku Pintar Memelihara Kelinci dan Rodensia. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Sembiring, P. 2006. Biokonversi Limbah Pabrik Minyak Inti Sawit dengan Phhanerochaete chryssporium dan Implikasinya Terhadap Performans Ayam Broiler.Disertasi Doktor. Universitas Padjajaran, Bandung.

Sinaga, S. 2009. Pakan Kelinci dan Pemberiannya. http://blogs.unpad ac.id/Suland Sinaga. Disitir 21 pebruari 2015.

Soeparno 1991. Pertambahan bobot badan karkas dan komposisi kimia daging sapi, kaitannya dengan bangsa dan macam pakan penggemukan. J. Ilmiah Penelitian Ternak 2 (1):7-12.

Sumoprastowo. 1985. Beternak kelinci idaman. Bhratara Karya Aksara. Jakarta.

_______1993. Beternak Domba Pedaging dan Wol. Bhratara Karya Aksara. Jakarta.

(12)

Thomas, M., and A. F. B. Van der Poel. 1997. Physical quality of peleted animal feed 2. contribution of processes and its conditions. Animal Feed Science and Technology. 61 (1): 89-109.

Tillman AD. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Whendrato, I. dan I.M. Madyana, 1983. Beternak Kelinci Secara Populer. Eka Offset. Semarang

Williamson. G and W.J.A Payne, 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada, University Press.Yogyakarta.

(13)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Jl. Udara Gg. Rukun (Peternakan Kelinci

Rukun Farm) Berastagi, Kabupaten Karo. Penelitian ini berlangsung selama 3

bulan dimulai dari 03 Agustus 2015 sampai dengan 13 Oktober 2015.

Bahan dan Alat Bahan

Bahan yang digunakan yaitu kelinci rex jantan lepas sapih 20 ekor dengan

rata-rata bobot badan 918 ± 75,18. Bahan pakan yang terdiri dari tepung kulit buah

markisa, tepung jagung, dedak padi, bungkil kedelai, tepung ikan, top mix dan

molases. Tepung Kulit Buah Markisa (KBM) difermentasi dengan jamur

Phanerochaete chrysosporium kemudian bahan pakan diolah menjadi pakan

berbentuk pelet. Daun wortel sebagai hijauan dan obat-obatan seperti Permentyhl

5% sebagai obat kembung, Pyroxy sebagai antibiotik dan vitamin B-complex serta

rodalon sebagai desinfektan.

Alat

Alat yang digunakan yaitu kandang individu sebanyak 20 petak,

timbangan kapasitas 5 kg untuk menimbang kelinci, pakan dan sisa pakan, tempat

pakan pada tiap kandang dengan total sebanyak 20 unit, mesin giling untuk

menggiling bahan menjadi bentuk tepung, mesin pencetak pelet, autoclave untuk

mensterilkan bahan pakan sebelum difermentasi, oven untuk mengeringkan pelet

(14)

kandang, alat pembersih kandang, kantong plastik sebagai tempat penyimpanan

bahan pakan dan pelet.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah secara experimental dengan

menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan.

Adapun perlakuan yang diteliti adalah sebagai berikut :

P0

P

: Ransum dengan penambahan 30% KBM tanpa fermentasi dan 0% KBM

fermentasi Phanerochaete chrysosporium

1

P

: Ransum dengan penambahan 20% KBM tanpa fermentasi dan 10% KBM

fermentasi Phanerochaete chrysosporium

2

P

: Ransum dengan penambahan 10% KBM tanpa fermentasi dan 20% KBM

fermentasi Phanerochaete chrysosporium

3

Sedangkan jumlah ulangan diperoleh dengan menggunakan rumus seperti berikut: : Ransum dengan penambahan 0% KBM tanpa fermentasi dan 30% KBM

fermentasi Phanerochaete chrysosporium

t (n – 1) > 15 4 (n – 1) > 15

4n > 19

n > 19/4

n = 4,75 ≈ 5

Kombinasi unit perlakuan sebagai berikut :

P2U3 P0U2 P1U4 P3U2 P2U2

P3U4 P1U3 P0U3 P2U1 P1U1

P0U1 P2U4 P2U5 P1U5 P3U3

P1U2 P3U5 P3U1 P0U4 P0U5

(15)

Dimana :

Yij

perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

= Nilai pengamatan yang diperoleh dari satuan percobaan dari

i = 1, 2, 3, 4 (perlakuan)

j = 1, 2, 3, 4, 5 (ulangan)

µ = Nilai tengah umum

σi ε

= Pengaruh dari perlakuan ke-i

ij = Pengaruh galat percobaan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

Parameter yang diamati

1. Konsumsi Ransum

Konsumsi ransum dihitung dengan cara menimbang jumlah pakan yang

diberikan dikurangi dengan sisa pakan selama penelitian yang dinyatakan dalam

g/ekor/hari dalam bentuk bahan kering (BK)

Konsumsi = Pakan yang diberikan – pakan sisa (g/ekor/hari)

2. Pertambahan Bobot Badan

Pertambahan bobot badan harian merupakan selisih antara bobot badan

awal dengan bobot badan akhir dibagi dengan lama pemeliharaan dinyatakan

dalam g/ekor/minggu

PBBH =

Waktu (minggu)

bobot akhir – bobot awal

3. Konversi ransum

Konversi pakan merupakan perbandingan antara jumlah konsumsi pakan

dengan pertambahan bobot badan harian selama pemeliharaan.

Konversi pakan =

PBB

(16)

Pelaksanaan Penelitian

1. Persiapan Kandang dan Peralatan

Kandang yang digunakan adalah kandang individu berukuran 50x50x50 cm

sebanyak 20 petak. Kandang dipersiapkan seminggu sebelum kelinci masuk dalam

kandang agar kandang bebas dari hama penyakit. Kandang beserta peralatan seperti

tempat pakan dan minum dibersihkan dan didesinfektan dengan menggunakan

rodalon.

2. Pemilihan Ternak

Penyeleksian ternak kelinci yang akan digunakan sebagai objek penelitian

melalui beberapa syarat sebagai berikut adalah ternak kelinci dalam keadaan sehat,

lincah, tidak cacat dilihat dari bentuk kaki yang lurus dan lincah, ekor melengkung

keatas lurus merapat ke bagian luar mengikuti tulang punggung, telingga lurus ke

atas dan telinga tidak terasa dingin, mata jernih dan bulu mengkilat. Sebelum

kelinci dimasukkan kedalam kandang, dilakukan penimbangan untuk mengetahui

bobot badan awal dari masing-masing kelinci kemudian dilakukan random

(pengacakan) yang bertujuan untuk memperkecil nilai keragaman. Lalu kelinci

dimasukkan kedalam sebanyak 1 ekor per unit penelitian.

3. Pengolahan Kulit Buah Markisa Fermentasi dengan Phanerochaete

chrysosporium

Pengolahan kulit buah markisa dimulai dari pengambilan kulit buah

markisa dari industri pengolahan buah markisa, pencucian, penjemuran dibawah

sinar matahari hingga kering lalu penggilingan hingga menjadi tepung kulit buah

markisa kemudian difermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium. Skema

pengolahan kulit buah markisa fermentasi Phanerochaete chrysosporium dapat

(17)

4. Penyusunan Pakan dalam Bentuk Pelet

Bahan penyusun pelet yang digunakan terdiri atas Kulit Buah Markisa

(KBM), KBM Fermentasi, tepung jagung, dedak padi, bungkil kedelai, tepung

ikan, molases dan Top Mix. Bahan yang digunakan ditimbang terlebih dahulu

sesuai dengan formulasi ransum yang telah sesuai dengan level perlakuan.

Pembuatan pelet dapat dilihat pada Lampiran 2.

5. Pemeliharaan Kelinci

Sebelum kelinci diberi perlakuan, dilakukan penimbangan bobot badan

awal kelinci kemudian penimbangan kelinci dilakukan seminggu sekali. Pakan

yang diberi terbagi 2 macam yaitu pelet dan daun wortel diberikan secara

ad-libitum, pelet diberikan pukul 08.00 WIB dan pukul 16.00 WIB dan daun wortel

diberikan 1 jam setelah pemberian pelet. Mengingat kelinci termasuk binatang

malam (nocturnal) dimana aktivitasnya lebih banyak dilakukan pada malam hari

maka pemberian volume pakan terbanyak pada sore hari. Obat-obatan dan vitamin

diberikan sesuai dengan kebutuhan kelinci seperti Permenthyl 5% sebagai obat

kembung dengan dosis 0,2 cc/ekor untuk kelinci umur > 12 minggu (pemberiannya

melalui mulut), Pyroxy sebagai antibiotik dengan dosis 1 cc/ekor untuk kelinci

umur > 12 minggu (disuntikkan secara subkutan) dan vitamin B-complex sebagai

vitamin dengan dosis 0,5 cc/ekor untuk kelinci umur > 12 minggu (disuntikkan

secara subkutan). Tempat pakan dibersihkan setiap hari pada pagi hari dan kandang

dibersihkan pada pagi dan sore hari. Sisa pakan ditimbang pada waktu pagi

keesokan harinya saat sebelum kelinci diberikan makan kembali untuk mengetahui

konsumsi ternak tersebut.

(18)

Pengambilan data untuk konsumsi ransum dilakukan dalam sekali sehari

dan pertambahan bobot badan dilakukan sekali seminggu (g/ekor/minggu) selama

penelitian. Sedangkan untuk mencari konversi ransum dihitung setelah didapatkan

(19)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi Ransum

Tinggi dan rendahnya konsumsi ransum dapat diperoleh dari selisih antara

jumlah pakan yang diberikan dengan sisa pakan (g/ekor/hari). Konsumsi ransum

dihitung setiap hari selama penelitian. Pakan yang dikonsumsi sudah dikonversikan

dalam bentuk bahan kering (total bahan kering dari hijauan dan pelet). Data

konsumsi bahan kering ransum kelinci dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan konsumsi ransum kelinci dalam bahan kering (BK) selama penelitian (g/ekor/hari)

Dari Tabel 7 terlihat bahwa rataan total konsumsi ransum dalam BK

adalah sebesar 70.71 g/ekor/hari. Rataan konsumsi tertinggi yaitu pada P3 sebesar

71.28 g/ekor/hari dan rataan konsumsi terendah adalah P1 yaitu 69.34 g/ekor/hari.

Berdasarkan analisa keragaman pada lampiran 7 diketahui bahwa pengaruh

pemberian kulit buah markisa yang dicampur dengan ransum dalam bentuk pelet

menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap konsumsi. Hal ini

menunjukkan bahwa kulit buah markisa fermentasi mempunyai palatabilitas yang

(20)

Dari hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan tingkat

konsumsi ransum yang tidak berbeda nyata. Jumlah konsumsi ransum merupakan

faktor penentu yang paling penting untuk menentukan jumlah nutrien yang didapat

oleh ternak dan selanjutnya mempengaruhi tingkat produksi. Konsumsi ransum

dipengaruhi oleh kondisi ternak itu sendiri dan kondisi lingkungan pada saat

pemeliharaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kartadisastra (1994) yang

menyatakan bahwa tinggi rendahnya konsumsi pakan dipengaruhi oleh faktor

eksternal yaitu lingkungan dan faktor internal atau kondisi ternak sendiri yang

meliputi temperatur lingkungan, palatabilitas, status fisiologi yaitu umur, jenis

kelamin dan kondisi tubuh, konsentrasi nutrien, bentuk pakan, bobot tubuh dan

produksi.

Pertambahan Bobot Badan

Pertambahan bobot badan dapat diketahui berdasarkan selisih antara

penimbangan bobot akhir dengan penimbangan bobot badan awal yang dihitung

setiap minggu. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil rataan

bobot badan kelinci selama penelitian seperti yang tertera pada Tabel 8 berikut ini.

Tabel 8. Rataan pertambahan bobot badan kelinci (g/ekor/hari) selama penelitian

(21)

Dari Tabel 8. terlihat bahwa rataan total pertambahan bobot badan kelinci

adalah sebesar 16,59 g/ekor/hari. Dengan rataan pertambahan bobot badan tertinggi

pada P3 sebesar 17,36 g/ekor/hari dan pertambahan bobot badan terendah pada P0

yaitu sebesar 14,96 g/ekor/hari.

Berdasarkan analisa keragaman pada lampiran 8 diketahui bahwa

pengaruh pemberian kulit buah markisa yang dicampur dengan ransum dalam

bentuk pelet menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap pertambahan

bobot badan kelinci rex jantan lepas sapih.

Salah satu faktor yang memberikan pengaruh tidak berbeda nyata pada

pertumbuhan bobot badan pada penelitian ini adalah konsumsi pakan yang tidak

berbeda nyata. Hal ini desebabkan bahwa kulit buah markisa fermentasi dan tanpa

fermentasi sama-sama disukai oleh kelinci. Kelinci yang memiliki tingkat

palatabilitas tinggi dapat mengkonsumsi lebih banyak bahan kering sehingga

pertambahan bobot badannya lebih tinggi. Kualitas ransum akan mempengaruhi

pertumbuhan apabila diberikan dalam jumlah yang cukup hal ini sesuai dengan

pernyataan dari Soeparno (1991) yang menyatakan bahwa kecepatan pertumbuhan

tidak saja dipengaruhi oleh pakan yang digunakan tetapi yang penting adalah

kelengkapan nutrien yang diperoleh.

Menurut Buckle (1987), pertumbuhan ternak penghasil daging

dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu keturunan, reaksi faal terhadap lingkungan

(terutama suhu lingkungan) dan nutrisi pakan yang diberikan pada ternak. Kelinci

mempunyai kecepatan pertumbuhan yang hampir sama dengan ayam broiler, dalam

waktu 56 hari dapat mencapai berat badan 1,8 kg, sedangkan pertambahan bobot

(22)

Konversi ransum pada penelitian ini dihitung dalam bentuk bahan kering

dengan cara membandingkan banyak jumlah pakan yang dikonsumsi dengan

pertambahan bobot badan yang dicapai setiap minggu. Rataan konversi ransum

selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Rataan konversi ransum kelinci selama penelitian

Perlakuan Ulangan Total Rataan±sd

Dari data diatas dapat dilihat bahwa rataan total konversi ransum adalah

4,34. Dengan rataan konversi ransum kelinci tertinggi adalah perlakuan P0 sebesar

4,78 dan yang terkecil yaitu pada perlakuan P3 sebesar 4,03.

Hasil analisa keragaman pada lampiran 9 menunjukkan bahwa konversi

ransum menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Hasil yang tidak berbeda

nyata tersebut disebabkan karena penggunaan kulit buah markisa juga tidak

mempengaruhi konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan karena konversi

pakan merupakan perbandingan antara jumlah konsumsi pakan dengan

pertambahan bobot badan pada satuan yang sama. Hal ini sesuai dengan pendapat

Menurut Champbell dan Lasley (1985) mengatakan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi konversi ransum adalah genetik, umur, berat badan, tingkat

(23)

Dengan demikian berdasarkan penelitian pengaruh nilai konversi pakan

yang tidak berbeda nyata ini berkaitan erat dengan konsumsi pakan dan

pertambahan bobot badan harian yang berbeda tidak nyata sehingga menghasilkan

perbedaan konversi pakan yang tidak nyata pula. Semakin kecil nilai konversi

pakan menunjukkan semakin sedikitnya pakan yang dibutuhkan untuk

menghasilkan per gram bobot badan. Menurut Rasyaf (1996), konversi pakan

digunakan sebagai pegangan berproduksi karena melibatkan bobot badan dan

konsumsi pakan. Menilai pakan dan kualitas pakan yang lebih baik adalah dengan

melihat pertumbuhan dan pertambahan bobot badan ternak. Pertambahan bobot

badan inilah yang mencerminkan bagaimana protein dan keseimbangan asam

amino yang ada di dalam pakan yang diberikan memberikan dampak positif bagi

ternak.

Rekapitulasi Hasil Penelitian

Untuk melihat hasil penelitian terhadap konsumsi ransum, pertambahan

bobot badan dan konversi ransum kelinci maka dilakukan rekapitulasi yang dapat

dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Tabel rekapitulasi hasil penelitian

Perlakuan

Rataan Parameter Konsumsi Pakan

(g/ekor/hari) PBB (g/ekor/hari) Konversi Pakan

(24)

Berdasarkan hasil rekapitulasi di atas diperoleh bahwa fermentasi kulit

buah markisa yang dijadikan bahan pakan campuran untuk ransum dalam bentuk

pelet tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap konsumsi,

(25)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penggunaan tepung kulit buah markisa (Passiflora edulis var.edulis) tanpa

fermentasi danfermentasi Phanerochaete chrysosporium dapat digunakan sebagai

campuran bahan pakan ransum dalam bentuk peletyang diberikan kepada kelinci

rex jantan lepas sapih sampai pada level 30%.

Saran

Disarankan agar peternak menggunakan tepung kulit buah markisa sebagai

bahan pakan untuk ternak, baik difermentasi maupun tidak difermentasi. Bahan

makanan ini cukup palatable, hal ini mungkin disebabkan karena aroma tepung

kulit buah markisa disukai oleh ternak, sehingga pakan yang diberikan dapat

(26)

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik dan Potensi Ternak Kelinci

Ternak Kelinci merupakan salah satu jenis ternak yang dapat digunakan

untuk dapat memenuhi sebagian kebutuhan daging bagi masyarakat. Ternak kelinci

cukup potensial untuk dikembangkan kerena mampu berkembang biak dengan

cepat sehigga cocok untuk diternakkan sebagai penghasil daging komersil. Ternak

kelinci mempunyai keunggulan komparatif karena memiliki kemampuan

berkembang biak yang tinggi, ukuran tubuh yang kecil sehingga tidak memerlukan

banyak ruang dalam pemeliharaannya, tidak memerlukan biaya yang besar dalam

investasi ternak dan kandang, umur dewasa yang singkat (4-5 bulan), masa

penggemukan yang singkat (kurang dari 2 bulan sejak sapih).

Ternak kelinci memiliki klasifikasi taksonomi yaitu Kingdom : Animalia,

Phylum : Chordata, Sub phylum : Vertebrata, Kelas : Mammalia, Ordo :

Lagomorpha, Famili : Leporidae, Sub famili : Leporinae, Genus : Orictolagus

(Kartadisastra, 2001).

Kelinci di Indonesia dapat diternakkan atau dikembangkan dengan baik

didaerah ketinggian 500 meter dari permukaan laut dan suhu udara sejuk, berkisar

antara 15-180C (60-850F). Temperatur yang ideal pada pemeliharaan kelinci adalah 15-160C tetapi pada temperatur antara 10-300

Berikut ini adalah potensi biologis kelinci berdasarkan aspek reproduksi,

genetika, nutrisi, pertumbuhan, pengelolaan, daging, kulit-bulu dan kotoran. Hal ini

dapat dilihat pada Tabel 1.

C ternak masih dapat hidup dan

(27)

Tabel 1. Potensi biologis kelinci

Aspek Potensi

Reproduksi Kemampuan reproduksi tinggi, dapat beranak 10–11 kali

pertahun, dengan rataan jumlah anak 4–8 ekor per kelahiran.

Genetika Keragaman tinggi antar breed dan warna, memungkinkan

banyak sekali variasi hasil silangan, potensi perbaikan tinggi.

Nutrisi Kemampuan memanfaatkan hijauan dan limbah industri

pangan, limbah pertanian, sehingga biaya pakan relatif murah.

Pertumbuhan Relatif cepat, didaerah tropis, 10–30 g/ekor/hari.

Pengelolaan Mudah dikelola, dapat diusahakan pada skala kecil

maupun besar.

Daging Rendah lemak jenuh, rendah kolestrol.

Kulit-bulu Bermutu tinggi, kulit lemas, lembut dan menarik.

Kotoran Tinggi kandungan N, P, K, baik untuk tanaman sayuran,

bunga, buah-buahan Sumber: Cheeke et al., (1987)

Kelinci merupakan salah satu ternak penghasil daging yang mempunyai

kandungan nutrisi yang cukup tinggi. Rokhmani (2005) menyatakan bahwa daging

kelinci mempunyai serat yang halus dan warna sedikit pucat, sehingga daging

kelinci dapat digolongkan kedalam golongan daging berwarna putih. Daging

kelinci mempunyai kualitas yang lebih baik.

Tabel 2. Kandungan nutrisi berbagai jenis daging

(28)

Rex merupakan salah satu dari berbagai macam jenis kelinci. Jenis rex

pertama kali ditemukan oleh seorang petani bernama M. Caillon yang berasal dari

negara Perancis, kemudian diteruskan oleh Pat Abbe pada tahun 1919. Cheeke

et al., (1987) menambahkan bahwa bulu kelinci rex sifatnya halus, panjangnya

seragam dan mempunyai variasi warna bulu yang menarik dan beragam sehingga

sangat cocok untuk dijadikan kulit bulu (fur). Kelinci rex juga baik dan

proporsional untuk produksi daging. Jenis ini mempunyai panjang tubuh medium

dan dalam, hips yang bulat dan loin yang berisi, sehingga cocok pula untuk

dijadikan sebagai kelinci pedaging. Umur dewasa kelamin kelinci rex 4-6 bulan

(Sarwono, 2007).

Sistem Pencernaan Kelinci

Sistem pencernaan merupakan sistem yang memproses mengubah makanan

dan menyerap sari makanan yang berupa nutrisi-nutrisi yang dibutuhkan oleh

tubuh. Sistem pencernaan juga akan memecah molekul makanan yang kompleks

menjadi molekul yang sederhana dengan bantuan enzim sehingga mudah dicerna

oleh tubuh.

Kelinci adalah ternak non ruminansia herbivora yang mempunyai lambung

tunggal dengan pembesaran unik di bagian caecum. Bagian alat pencernaan ini

berfungsi mirip dengan rumen sehingga kelinci disebut sebagai hewan ruminansia

semu (pseudo-ruminant). Kelinci dapat mencerna sebagian serat kasar terutama

dari bahan nabati, dengan bantuan bakteri yang hidup di dalam sekum dan klinci

juga bersifat coprophagy (Lestari, 2005)

Kelinci termasuk kedalam autocoprophagy, yaitu kelinci membuang feses

(29)

lembek berlendir dikeluarkan pada malam hari dan pagi hari. Feses yang lembek

berlendir inilah yang dimakan kembali oleh kelinci langsung dari duburnya, ini

dilakukan untuk memanfaatkan protein, serat kasar tumbuhan, vitamin yang

terkandung dalam feses. Feses yang lembek dan berlendir mengandung banyak

vitamin, dan nutrien seperti riboflavin, sianokobalamin (vitamin B12), asam

pantotenat dan niasin. Dengan memakan kembali fesesnya kelinci tidak akan

kekurangan vitamin dan nutrien karena isi saluran pencernaan berdaur ulang

kembali (Anon, 2011).

Kelinci dewasa menyerap protein (sampai 90%) di usus halus, namun

tergantung pada sumbernya. Kelinci sangat sulit dalam hal mencerna selulosa

hal ini merupakan paradoks bagi hewan pemakan tumbuhan. Daya cerna yang

lemah terhadap serat dan kecepatan pencernaan kelinci untuk menyingkirkan

semua partikel yang sulit dicerna menyebabkan kelinci membutuhkan jumlah

makanan yang besar (Fakaguchi, 1992).

Kebutuhan Pakan dan Nutrisi Kelinci

Menurut Kamal (1997) yang dimaksud dengan pakan adalah segala sesuatu

yang dapat dimakan, disenangi, dapat dicerna sebagian atau seluruhnya, dapat

diabsorpsi dan seekor ternak untuk peroide 24 jam dan pemberiannya dapat

dilakukan sekali atau beberapakali selam 24 jam tersebut. Pakan yang sempurna

berarti cukup mmengandung zat makanan yang dibutuhkan kelinci terdiri dari

protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin dan air sehingga pakan yang

sempurna mampu mengembangkan pekerjaan sel tubuh untuk proses-proses

(30)

Williamson dan Payne (1993) menyatakan bahwa pakan dapat

dikelompokkan menjadi dua jenis yakni hijauan dan konsentrat. Hijauan

merupakan bahan pakan pokok kelinci yang memiliki serat kasar tinggi pada bahan

keringnya (20-23%). Secara umum konsentrat mengandung serat kasar lebih sedikit

dari pada hijauan (5-7%) dan mengandung karbohidrat, protein, dan lemak yang

relatif lebih banyak tetapi jumlahnya bervariasi dengan jumlah air yang relatif

sedikit.

Tabel 3. Kebutuhan ransum kelinci lepas sapih

No Nutrisi Jumlah Sumber : AAK (1980)*, Manshur (2009)**, Masanto (2009)***

NRC (1977) menyarankan kandungan energi dalam ransum sebesar 2500

kkal DE/kg dan kandungan protein kasar (PK) 16%, serat 28 kasar (SK) berkisar

antara 10-12 %, Calsium (Ca) 0,4% dan Fosfor (P) 0,22 % untuk kelinci potong.

Lebih lanjut Sinaga (2009) menyarankan kelinci pejantan fase grower memerlukan

protein kasar 16% sedangkan untuk induk menyusui 15 – 16 %. Kandungan serat

kasar pada ransum kelinci jantan fase grower adalah 10 – 27 % dan induk

menyusui adalah 15 – 20%. Menurut Lick dan Hung (2008) kelinci mempunyai

efisiensi penggunaan ransum lebih tinggi dari ruminansia seperti sapi dan kelinci

(31)

Untuk peningkatan bobot kelinci pedaging dapat sesuai dengan yang

diinginkan, pemberian pakan harus diatur agar seimbang pakan hijauan dan

konsentrat. Biasanya pada peternakan kelinci intensif, hijauan diberikan sebanyak

60-80%, sedangkan konsentrat sebanyak 20-40% dari total jumlah pakan yang

diberikan (Priyatna, 2011).

Kelinci hanya memerlukan ransum dengan kadar lemak rendah. Bahan

pakan seperti: jagung, bekatul dan dedak sangat cocok untuk kelinci. Protein sangat

penting untuk pertumbuhan anak, pembentukan daging dan pertumbuhan bulu.

Banyaknya ransum untuk induk bunting dan induk menyusui per ekor dewasa per

hari adalah: hijauan sekitar 1-2 kg dan konsentrat 6,7% dari bobot hidupnya.

Sedangkan untuk induk kering, induk muda dan anak kelinci yang telah disapih

banyaknya: rumput/hijauan sekitar 1-2 kg dan konsentrat 3,8% dari berat hidup

(Sumoprastowo, 1985).

Potensi Kulit Buah Markisa (KBM) sebagai Pakan Ternak

Buah markisa merupakan salah satu jenis buah impor yang kemudian

berhasil dikembangkan di Indonesia. Budidaya markisa tidak sulit karena markisa

cocok dengan jenis tanah apapun asalkan unsur hara serta bahan organiknya cukup.

Untuk penanamannya tidak sulit, hanya saja tanaman ini harus dibuatkan tiang

rambatan. Tiang rambatan yang baik adalah dengan menggunakan pucuk bambu

tanpa kawat karena bisa merangsang pertumbuhan markisa serta jumlah buahnya.

Indonesia merupakan negara yang agraris yang beriklim tropis sehingga

perkembangan tanaman markisa sangat bagus.

Di Indonesia terdapat dua jenis markisa yaitu markisa ungu (Passiflora

(32)

Klasifikasi markisa sebagai berikut: Kingdom: Plantae (tumbuh-tumbuhan),

Divisi: Spermatophyta (tumbuhan berbiji), Subdivisi: agiospermae (berbiji

tertutup), Kelas: Dicotyledonae (biji berkeping dua), Ordo: Passiflorae, Famili:

Passiforaceae, Genus: Passiflora, Spesies: Passifloraquadrangularis L., P. Edulis

(Rukmana, 2003).

Sebagai sumber bahan baku pakan potensi tanaman markisa terdapat pada

produk limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan buah markisa untuk

menghasilkan sari markisa. Secara nasional terdapat potensi produksi buah segar

sebesar 99.000 ton, dan sebagian terbesar (99%) dihasilkan oleh tiga wilayah

penghasil utama. Kontribusi terbesar disumbang oleh Provinsi Sumatera Barat

(53%) diikuti oleh Provinsi Sulawesi Selatan (24%) dan Provinsi Sumatera Utara

(23%). Usaha produksi markisa diperkirakan masih akan meningkat pada tahun

mendatang dan diprediksi akan mencapai 112.000 ton pada tahun 2009.

Tabel 4. Luas lahan, produksi dan wilayah pengembangan tanaman markisa

Wilayah Pengembangan Luas Lahan (Ha) Produksi (Ton)

Sumatera Utara 931 22.035

Sumatera Barat 2.117 52.797

Sulawesi Selatan 1.154 23.488

Sumber: Poerwanto (2005).

Rasio kulit buah markisa dengan buahnya adalah 54% dan ketersediaannya

tidak bersifat musiman sehingga dapat diperoleh setiap waktu. Kulit buah markisa

mempunyai kandungan nutrisi yang cukup baik yaitu mengandung Protein Kasar

(PK) 12,37%, Lemak Kasar (LK) 5,28%, Serat Kasar (SK) 30,16% dan Abu 9,26%

(Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih, 2009). Pemanfaatan kulit buah

(33)

diantaranya masih mengandung anti nutrisi tannin (1,85%) dan lignin 31,79% yang

dapat mengganggu pencernaan jika diberikan dalam bentuk segar(Astuti, 2008).

Fermentasi adalah segala macam proses metabolisme dimana enzim dari

mikroorganisme (jasad renik) melakukan oksidasi, hidrolisa dan reaksi kimia

lainnya sehingga terjadi perubahan kimia pada substrat organik dengan

menghasilkan produk tertentu. Biokatalis yang digunakan adalah bakteri, yeast atau

jamur (fungi) (Riadi, 2007). Fermentasi

Proses fermentasi bahan pakan oleh mikroorganisme menyebabkan

perubahan-perubahan yang menguntungkan seperti memperbaiki mutu bahan

pakan baik dari aspek gizi maupun daya cerna serta meningkatkan daya tahannya.

Hal tersebut disebabkan karena mikroba yang bersifat katabolik atau memecahkan

komponen-komponen yang kompleks menjadi zat-zat yang lebih sederhana

sehingga lebih mudah dicerna dan juga karena adanya enzim yang dihasilkan oleh

mikroba itu sendiri (Winarno, 1980). Berikut hasil bahan pakan yang difermentasi

dan tanpa fermentasi jamur Phanerochaete chrysosporium dapat dilihat pada Tabel

6.

Tabel 5. Kandungan Kimiawi Kulit Buah Markisa tanpa dan fermentasi

Phanerochaete chrysosporium selama 15 hari

Kandungan Kimiawi Kulit Buah Markisa Kulit Buah Markisa Fermentasi

ME (Kkal/kg) 3575 3615

BK (%) 88,9 89,10

PK (%) 8,53 18,56

SK (%) 39,56 34,96

LK (%) 0,6 1,39

(34)

Selama proses fermentasi, terjadi bermacam-macam perubahan

komposisikimia. Kandungan asam amino, karbohidrat, pH, kelembaban, aroma

serta perubahan nilai gizi yang mencakup terjadinya peningkatan protein dan

penurunan serat kasar. Semuanya mengalami perubahan akibat aktivitas dan

perkembangbiakan mikroorganisme selama fermentasi. Melalui fermentasi terjadi

pemecahan substrat oleh enzim-enzim tertentu terhadap bahan yang tidak

dapatdicerna, misalnya selulosa dan hemiselulosa menjadi gula sederhana. Selama

proses fermentasi terjadi pertumbuhan kapang, selain dihasilkan enzim juga

dihasilkan protein ekstraselluler dan protein hasil metabolisme kapang sehingga

terjadi peningkatan kadar protein (Sembiring, 2006).

Jamur Pelapuk Putih Phanerochaete chrysosporium

Jamur Phanerochaete chrysosporium merupakan salah satu jamur yang

dapat menguraikan ikatan dan mendegradasi lignin dengan bantuan enzim

pendegradasi lignin. Jamur ini juga dapat mendegradasi polimer selulosa,

hemiselulosa dan lignin dengan bantuan enzim ekstraseluler (Suparjo, 2008).

Jamur Phanerochaete chrysosporium termasuk dalam kelompok jamur

pelapuk putih dan merupakan jamur kelas Basidiomycetes. Klasifikasi jamur ini

sebagai berikut, kelas: Basidiomycetes, sub kelas: Holobasidiomycetes, ordo:

Aphylophorales, famili: Certiciaceae, genus: Phanerochaete dan spesies:

Phanerochaete chrysosporium burdsall (Irawati, 2006).

Fermentasi dengan menggunakan kapang atau jamur Phanerochaete

chrysosporium secara substrat padat memungkinkan terjadi perubahan komponen

bahan yang sulit dicerna menjadi lebih mudah dicerna serta meningkatkan nilai gizi

(35)

chrysosporium adalah tumbuh pada suhu 390C dengan suhu optimum 370C. Ph berkisar 4-4,5 dan dalam pertumbuhannya memerlukan kandungan osigen yang

tinggi (Sembiring, 2006).

Pakan Kelinci Berbentuk Pelet

Pelet merupakan bentuk bahan pakan yang dipadatkan sedemikian rupa dari

bahan konsentrat atau hijauan dengan tujuan untuk mengurangi sifat keambaan

pakan. Patrick dan Schaible (1980) menjelaskan keuntungan pakan bentuk pelet

adalah meningkatkan konsumsi dan efisiensi pakan, meningkatkan kadar energi

metabolis pakan, membunuh bakteri patogen, menurunkan jumlah pakan yang

tercecer, memperpanjang lama penyimpanan, menjamin keseimbangan zat-zat

nutrisi pakan dan mencegah oksidasi vitamin.

Pelet merupakan hasil proses pengolahan bahan baku ransum secara

mekanik yang didukung oleh faktor kadar air, panas dan tekanan. Pemberian pakan

bentuk pelet dapat meningkatkan performa dan konversi pakan ternak bila

dibandingkan dengan pakan bentuk mash (Behnke, 2001). Kualitas pelet dapat

diukur dengan mengetahui kekerasan pelet (hardness) dan daya tahan pelet

dipengaruhi oleh penambahan panas yang mempengaruhi sifat fisik dan kimia

bahan pakan (Thomas dan Van der Poel, 1997).

Performa kelinci yang diberi pakan berupa pelet lebih baik dibandingkan

dengan kelinci yang diberi pakan berupa butiran atau mash, hal ini dikarenakan

ternak tidak mempunyai kemampuan untuk menyortir pakan sehingga

meningkatkan retensi makanan dalam saluran pencernaan dan dapat menyebabkan

radang usus. Pakan pelet yang berdiameter kecil (<0,25 cm) akan menurunkan

(36)

cm) akan menghasilkan pembuangan pakan lebih banyak. Panjang pelet untuk

ternak kelinci adalah 0,8 sampai 0,1 cm, karena semakin panjang ukuran pelet akan

memberikan potensi kerusakan pelet yang lebih besar (Maertens and

Villamide, 1998).

Performans Ternak Kelinci Konsumsi Ransum

konsumsi ransum adalah kemampuan untuk menghabiskan sejumlah

ransum yang diberikan. Konsumsi ransum dapat dihitung dengan pengurangan

jumlah ransum yang diberikan dengan sisa dan hamburan. Konsumsi ransum

dipengaruhi oleh kesehatan ternak, palatabilitas, mutu ransum dan tata cara

pemberian (Anggorodi, 1995).

Kartadisastra (1994) menyatakan bahwa tinggi rendahnya konsumsi pakan

dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu lingkungan dan faktor internal atau kondisi

ternak sendiri yang meliputi temperatur lingkungan, palatabilitas, status fisiologi

yaitu umur, jenis kelamin dan kondisi tubuh, konsentrasi nutrien, bentuk pakan,

bobot tubuh dan produksi.

Menurut Sanusi (2006), konsumsi ransum seekor ternak perlu diketahui

untuk dapat mengoptimalkan jumlah ransum yang diberikan, karena pemberian

ransum yang kurang optimal akan mengakibatkan pertumbuhan ternak kurang

maksimal. Tinggi dan rendahnya konsumsi ransum dapat diketahui dengan

menimbang berat ransum ternak yang diberikan dikurangi sisa ransum dalam

jangka waktu tertentu dan umumnya dinyatakan atas dasar bahan kering. Jumlah

(37)

menentukan jumlah nutrien yang didapat oleh ternak dan selanjutnya

mempengaruhi tingkat produksi.

Sarwono (2009) menyatakan seperti halnya ternak ruminansia, kelinci

membutuhkan karbohidrat, lemak, protein, mineral, vitamin, dan air. Jumlah

kebutuhannya tergantung pada umur, tujuan produksi, serta laju atau kecepatan

pertumbuhannya. Banyaknya pakan yang dikonsumsi oleh kelinci tergantung pada

tipe kelinci, berat badan dan umur kelinci. Kelinci tipe sedang memerlukan pakan

lebih banyak dibandingkan tipe kecil tetapi lebih sedikit dibandingkan tipe besar.

Konsumsi pakan pada kelinci dewasa dengan Bobot Badan (BB) sekitar 2-4 kg

tara-rata 120-180 g/ekor/hari (Whendrato dan Madyana, 1983).

Pertambahan Bobot Badan

Pertumbuhan adalah perubahan ukuran yang meliputi perubahan bobot

hidup, bentuk dan komposisi tubuh, termasuk perubahan komponen tubuh seperti

otot, lemak, tulang dan organ. Pertumbuhan dapat dinyatakan dengan pertambahan

bobot badan. Kenaikan bobot badan dapat terjadi karena kemampuan ternak dalam

mengubah nutrien pakan yang dikonsumsi menjadi daging dan lemak.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dibedakan menjadi 2 yaitu Faktor-faktor

lingkungan, seperti iklim, nutrien, kesehatan, manajemen, dan faktor genetik

seperti bangsa, umur dan jenis kelamin. Kecepatan pertumbuhan tidak saja

dipengaruhi oleh pakan yang digunakan tetapi yang penting adalah kelengkapan

nutrien yang diperoleh (Soeparno, 1991).

Pertambahan Bobot Badan (PBB) dapat diketahui dengan pengukuran

kenaikan berat badan yang dengan mudah dapat dilakukan lewat penimbangan

(38)

sebagainya. Kenaikan bobot badan pertumbuhan biasanya diketengahkan sebagai

pertambahan bobot badan harian atau Average Daily Gain .

(Tillman, 1998).

Menurut Buckle (1987), pertumbuhan ternak penghasil daging dipengaruhi

oleh 3 faktor yaitu keturunan, reaksi faal terhadap lingkungan (terutama suhu

lingkungan) dan nutrisi pakan yang diberikan pada ternak. Kelinci mempunyai

kecepatan pertumbuhan yang hampir sama dengan ayam broiler, dalam waktu 56

hari dapat mencapai berat badan 1,8 kg, sedangkan pertambahan bobot badan

kelinci yang ideal adalah 4-21 g/ekor/hari. Pertambahan bobot badan kelinci sesuai

umur dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Pertambahan bobot badan kelinci

No Umur BB (g) PBB/hari (g)

Pertambahan bobot badan biasanya mengalami tiga tingkat kecepatan yang

berbeda-beda, yang pertama pertambahan tulang, diikuti dengan pertumbuhan otot

dan yang terakhir adalah pertumbuhan jaringan lemak (Anggorodi, 1990),

ditambahkan oleh Sumoprastowo (1993), pertumbuhan pada mulanya lambat,

kemudian berubah menjadi lebih cepat. Tetapi pertumbuhan akan kembali lambat

sewaktu hewan itu mendekati kedewasaannya. Pertambahan bobot badan terjadi

bila pakan yang dikonsumsi telah melebihi kebutuhan hidup pokok, maka

kelebihan dari nutrien akan diubah menjadi otot dan lemak.

(39)

Deblass dan Wiseman (1998), menyatakan bahwa konversi pakan

merupakan parameter yang digunakan utuk mengetahui efisiensi penggunaan

pakan. Konversi pakan dapat dihitung dengan membagi antara jumlah pakan yang

dikonsumsi dengan pertambahan berat badan yang dihasilkan, semakin rendah

angka konversi pakan berarti semakin baik efisiensi penggunaan pakannya.

Menurut Champbell dan Lasley (1985) mengatakan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi konversi ransum adalah genetik, umur, berat badan, tingkat

konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, palatabilas dan hormon.

Efisiensi pakan juga dipengaruhi oleh kecernaan pakan. Nilai kecernaan

pakan yang tinggi, akan memberikan nilai pertambahan bobot badan yang tinggi,

kemudian akan berakibat pada efisiensi pakan. Cheeke et al., (1987) menyatakan

bahwa kandungan energi ransum mempengaruhi efisiensi penggunaan ransum

yakni dengan semakin tinggi kandungan energi dalam ransum akan menurunkan

(40)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Pengembangan sektor peternakan sangat memerlukan upaya-upaya

alternatif dalam membantu meningkatkan nilai gizi masyarakat. Salah satu upaya

dalam peningkatan produktivitas ternak yang harus dilakukan antara lain dengan

memberikan pakan yang berkualitas baik. Menurut Sarwono (2009), dalam

peternakan kelinci secara intensif, pakan yang diberikan selain hijauan sebagai

pakan pokok, diperlukan konsentrat sebagai pakan tambahan atau pakan penguat.

Pakan konsentrat dapat berupa pakan buatan dari pabrik, harganya relatif lebih

mahal, oleh karena itu perlu dicari bahan pakan lain yang sesuai, tidak bersaing

dengan kebutuhan manusia, mudah didapatkan, serta murah harganya.

Di Indonesia produksi jus markisa sampai dewasa ini terlihat cukup banyak,

ini sejalan dengan permintaan dan perkembangan industri pengolah (pabrik

markisa) khususnya di Sumatera Utara. Berastagi merupakan salah satu daerah

sentral produksi markisa (Passiflora edulis). Dalam pengolahan buah markisa

menjadi jus (sari) pada pabrik markisa bagian yang tidak diolah berupa Kulit Buah

Markisa (KBM) sebanyak 2,5-4 ton per hari. Dari buah markisa terdapat sari buah

sebanyak 40,69% selebihnya adalah kulit buah sebanyak 44,53% dan biji sebanyak

14,78%.

Produksi limbah kulit buah markisa apabila tidak dikendalikan akan

menjadi sumber polusi udara atau air yang dapat mempengaruhi kesehatan

masyarakat yang tinggal disekitar pabrik. Kulit buah markisa sangat potensial

(41)

dalam pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak untuk meningkatkan

nilai tambah bagi peternak kelinci.

Kulit buah markisa memiliki kandungan nutrisi yang cukup baik sebagai

pakan ternak akan tetapi secara fisik relatif tebal dan cukup keras karena itu perlu

diubah menjadi tepung. Sementara itu pemanfaatnya juga belum optimal dan

terbatas untuk pakan ternak karena mempunyai kendala yaitu kandungan serat

kasar yang tinggi berupa lignin (30,16%) dan zat anti nutrisi berupa tannin

(1,85%). Kandungan tersebut tidak dapat terdegradasi oleh saluran pencernaan

kelinci sehingga mempengaruhi kecernaan bahan kering. Untuk menanggulangi hal

itu maka perlu dilakukan fermentasi. Fermentasi dengan jamur Phanerochaete

chrysosporium dapat menurunkan serat kasar kulit buah markisa serta

menghilangkan zat anti nutrisi.

Ternak kelinci merupakan salah satu komoditas peternakan yang berpotensi

dikembangkan sebagai ternak penghasil daging. Potensi ternak kelinci yang dapat

dikembangkan bukan hanya sebagai penghasil daging sumber protein saja,

melainkan juga sebagai penghasil kulit bulu, ternak hias serta kotoran dan urin juga

memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Ternak kelinci dikenal sebagai ternak

herbivora non ruminansia (pseudoruminansia) yang dapat mencerna sebagian serat

kasar terutama dari bahan nabati namun kemampuan dalam mencerna serat kasar

tidak sebesar ternak ruminansia. Pakan yang difermentasi dapat mengoptimalkan

kerja mikroorganisme di saluran pencernaan.

Pakan yang diberikan pada ternak kelinci sebaiknya berbentuk pelet

komplit. Pakan dalam bentuk pelet lebih disukai ternak dibandingkan pakan

(42)

tumpah/terbuang, selain itu ternak tidak dapat memilih pakan yang disukai atau

tidak disukai karena keseluruhan bahan pakan telah menyatu dalam bentuk pelet.

Atas dasar pemikiran inilah penulis tertarik untuk mengetahui pengaruh

pemanfaatan kulit buah markisa dengan fermentasi Phanerochaete chrysosporium

sebagai bahan pakan campuran yang dijadikan dalam bentuk ransum pelet terhadap

performans kelinci rex jantan lepas sapih.

Tujuan Penelitian

Memanfaatkan limbah pengolahan kulit buah markisa yang difermentasi

sebagai bahan pakan campuran pembuatan ransum dalam bentuk pelet sebagai

pakan alternatif serta untuk meneliti pengaruh pemberian tepung kulit buah markisa

dengan fermentasi Phanerochaete chrysosporium terhadap performans (konsumsi

pakan, pertambahan bobot badan dan konversi pakan) kelinci rex jantan lepas

sapih.

Hipotesis Penelitian

Pemanfaatan tepung kulit buah markisa dengan fermentasi Phanerochaete

chrysosporium sebagai ransum dalam bentuk pelet dapat meningkatkan performans

kelinci rex jantan lepas sapih.

Kegunaan Penelitian

Memberikan informasi bagi peternak kelinci, peneliti dan masyarakat untuk

dapat memanfaatkan hasil samping dari buah markisa berupa kulit markisa sebagai

(43)

MAEIKA PUTRI SITEPU, 2015. “Pemanfaatan Tepung Kulit Buah Markisa (Passiflora edulis var.edulis) Fermentasi Phanerochaete chrysosporium Sebagai

Ransum Dalam Bentuk Pelet Terhadap Performans Kelinci Rex JantanLepas

Sapih”. Dibimbing oleh TRI HESTI WAHYUNI dan NEVY DIANA HANAFI. Penelitian bertujuan untuk melihat pengaruh dari pemanfaatan tepung

Kulit Buah Markisa (KBM) fermentasi Phanerochaete chrysosporium sebagai

ransum dalam bentuk pelet terhadap performans kelinci rex jantanlepas sapih. Penelitian dilaksanakan di Rukun Farm Berastagi, pada bulan Agustus 2015 - Oktober 2015. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan. Setiap ulangan terdiri dari 20 ekor kilinci rex jantan lepas sapih dengan rataan bobot awal 918±75,18 g. perlakuan dengan berbagai level kulit buah markisa fermentasi Phanerochaete chrysosporium dalam ransum terdiri dari P0 (0%), P1 (10%), P2 (20%) dan P3 (30%). Parameter yang diteliti adalah konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan konversi ransum.

Hasil penelitian menunjukan rataan konsumsi (g/ekor/hari); 71,07, 69,34, 71,18, dan 71,28. Pertambahan bobot badan (PBB); 14,96, 17,00, 17,04, dan 17,36. Konversi ransum secara berturut-turut 4,78, 4,28, 4,28 dan 4,03. Hasil analisa keragaman menunjukan bahwa pemanfaatan tepung kulit buah markisa fermentasi dalam bentuk ransum pelet memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap performans kelinci rex jantan lepas sapih. Kesimpulan dari penelitian ini adalah penggunaan tepung kulit buah markisa fermentasi Phanerochaete chrysosporium dapat digunakan sampai level 30% dalam ransum kelinci rex jantan.

(44)

MAEIKA PUTRI SITEPU, 2015. “The Utilization of Fermented Passiflora edulis by Phanerochaete chrysosporium in Pellet Diet on Performances of Weaning Male Rex Rabbits”. Under supervised by TRI HESTI WAHYUNI and NEVY DIANA HANAFI.

The objective of this research was utilization of Passion fruit peel fermentation with Phanerochaete chrysosporium in Pellet diet on Performances of weaning male rex rabbits. This research was conducted Rukun Farm Berastagi on August to October 2015. The research used completly randomized design (CRD) with 4 treatments and 5 replications. Each replications consists of 20 male weaning rex rabbit with initial body weight 918±75,18 g. the treatments were level of fermented passiflora edulis by Phanerochate chrysosporium on concentrate compose of P0 (0%), P1 (10%), P2 (20%) and P3 (30%). The variables were observed consist of feed intake, average daily gain and feed convertion.

The result of this research indicates that the average of feed intake (g/head/day); 71,07, 69,34, 71,18, dan 71,28. The Average daily gain (ADG); 14,96, 17,00, 17,04, and 17,36. Respectively Feed convertion (FCR); 4,78, 4,28, 4,28 dan 4,03, respectively. The results statistical analysis indicates that the utilizing of pod Passiflora edulis fruit fermentated in diet gaves not significantly different (P≥0,05) on performance of weaning male rex rabbit. The conclusion of this research that the utilization of Passion fruit peel fermented by Phanerochaete chrysosporium can be use until 30% on feed weaning male rex rabitt.

(45)

SEBAGAI RANSUM DALAM BENTUK PELET

TERHADAP PERFORMANS KELINCI

REX

JANTAN LEPAS SAPIH

SKRIPSI

Oleh:

MAEIKA PUTRI SITEPU 110306053

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(46)

SEBAGAI RANSUM DALAM BENTUK PELET

TERHADAP PERFORMANS KELINCI

REX

JANTAN LEPAS SAPIH

SKRIPSI

Oleh:

MAEIKA PUTRI SITEPU 110306053/PETERNAKAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperolehGelar sarjana di Fakultas PertanianUniversitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(47)

Bentuk Peletterhadap Performans Kelinci Rex Jantan Lepas Sapih.

Nama :Maeika Putri Sitepu

NIM : 110306053 Program Studi : Peternakan

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

Ir. Tri Hesti Wahyuni, M.Sc Dr. Nevy Diana Hanafi, S.Pt., M.Si

Ketua Anggota

Mengetahui

Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si Ketua Program Studi Peternakan

(48)

MAEIKA PUTRI SITEPU, 2015. “Pemanfaatan Tepung Kulit Buah Markisa (Passiflora edulis var.edulis) Fermentasi Phanerochaete chrysosporium Sebagai

Ransum Dalam Bentuk Pelet Terhadap Performans Kelinci Rex JantanLepas

Sapih”. Dibimbing oleh TRI HESTI WAHYUNI dan NEVY DIANA HANAFI. Penelitian bertujuan untuk melihat pengaruh dari pemanfaatan tepung

Kulit Buah Markisa (KBM) fermentasi Phanerochaete chrysosporium sebagai

ransum dalam bentuk pelet terhadap performans kelinci rex jantanlepas sapih. Penelitian dilaksanakan di Rukun Farm Berastagi, pada bulan Agustus 2015 - Oktober 2015. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan. Setiap ulangan terdiri dari 20 ekor kilinci rex jantan lepas sapih dengan rataan bobot awal 918±75,18 g. perlakuan dengan berbagai level kulit buah markisa fermentasi Phanerochaete chrysosporium dalam ransum terdiri dari P0 (0%), P1 (10%), P2 (20%) dan P3 (30%). Parameter yang diteliti adalah konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan konversi ransum.

Hasil penelitian menunjukan rataan konsumsi (g/ekor/hari); 71,07, 69,34, 71,18, dan 71,28. Pertambahan bobot badan (PBB); 14,96, 17,00, 17,04, dan 17,36. Konversi ransum secara berturut-turut 4,78, 4,28, 4,28 dan 4,03. Hasil analisa keragaman menunjukan bahwa pemanfaatan tepung kulit buah markisa fermentasi dalam bentuk ransum pelet memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap performans kelinci rex jantan lepas sapih. Kesimpulan dari penelitian ini adalah penggunaan tepung kulit buah markisa fermentasi Phanerochaete chrysosporium dapat digunakan sampai level 30% dalam ransum kelinci rex jantan.

(49)

MAEIKA PUTRI SITEPU, 2015. “The Utilization of Fermented Passiflora edulis by Phanerochaete chrysosporium in Pellet Diet on Performances of Weaning Male Rex Rabbits”. Under supervised by TRI HESTI WAHYUNI and NEVY DIANA HANAFI.

The objective of this research was utilization of Passion fruit peel fermentation with Phanerochaete chrysosporium in Pellet diet on Performances of weaning male rex rabbits. This research was conducted Rukun Farm Berastagi on August to October 2015. The research used completly randomized design (CRD) with 4 treatments and 5 replications. Each replications consists of 20 male weaning rex rabbit with initial body weight 918±75,18 g. the treatments were level of fermented passiflora edulis by Phanerochate chrysosporium on concentrate compose of P0 (0%), P1 (10%), P2 (20%) and P3 (30%). The variables were observed consist of feed intake, average daily gain and feed convertion.

The result of this research indicates that the average of feed intake (g/head/day); 71,07, 69,34, 71,18, dan 71,28. The Average daily gain (ADG); 14,96, 17,00, 17,04, and 17,36. Respectively Feed convertion (FCR); 4,78, 4,28, 4,28 dan 4,03, respectively. The results statistical analysis indicates that the utilizing of pod Passiflora edulis fruit fermentated in diet gaves not significantly different (P≥0,05) on performance of weaning male rex rabbit. The conclusion of this research that the utilization of Passion fruit peel fermented by Phanerochaete chrysosporium can be use until 30% on feed weaning male rex rabitt.

(50)

Penulis dilahirkan di Merbau, Kecamatan Merbau, Kabupaten Labuhan

Batu Utara, Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 03 Mei 1993 anak dari Bapak

Abed Nego Sitepu dan Ibu Juniati Ginting. Penulis merupakan anak kedua dari

empat bersaudara.

Tahun 2011 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Merbau, Kecamatan Merbau

dan pada tahun yang sama masuk ke Fakultas Pertanian Universitas Sumatera

Utara Program Studi Peternakan melalui jalur Ujian Masuk Bersama (UMB).

Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif mengikuti berbagai organisasi

kampus seperti aktif sebagai pengurus Ikatan Mahasiswa Peternakan (IMAPET)

periode 2014-2015, sebagai pengurus Ikatan Mahasiswa Kristen Peternakan

(IMAKRIP) periode 2011-2014, anggota Unit Kegiatan Mahasiswa Kebaktian

Mahasiswa Kristen (UKM-KMK), anggota Ikatan Mahasiswa Karo (IMKA).

Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) pada bulan Juli -

Agustus 2014 di KUD Rahmad Tani, Desa C3 PIR ADB, Kecamatan Besitang,

(51)

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

berkat dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

yang berjudul “Pemanfaatan Tepung Kulit Buah Markisa (Passiflora edulis

var.edulis) Fermentasi Phanerochaete chrysosporium Sebagai Ransum Dalam

Bentuk Pelet Terhadap Performans Kelinci Rex Lepas Sapih”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis yaitu

Bapak A.N Sitepu dan Ibu J. Ginting beserta kakak dan kedua adik penulis yaitu

Yuslouri Pridora Sitepu, Jianta Yosa Sitepu dan Maria Emeygia Sitepu atas doa,

semangat dan pengorbanan materil maupun maupun moril yang telah diberikan

selama ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ir. Tri Hesti Wahyuni

M.Sc dan Dr. Nevy Diana Hanafi S.Pt., M.Si selaku ketua dan anggota komisi

pembimbing yang telah membimbing dan memberikan arahan kepada penulis

dalam penyelesaian skripsi ini.

Disamping itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada civitas

akademika di Program Studi Peternakan, kepada semua rekan mahasiswa yang

telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi dan juga kepada bang Jamin

Purba beserta anak kandang yang telah membantu selama penelitian di Peternakan

(52)

Hal.

Hipotesis Penelitian ... 3

Kegunaan Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik dan Potensi Ternak Kelinci ... 4

Sistem pencernaan Kelinci ... 6

Kebutuhan Pakan dan Nutrisi Kelinci ... 7

Potensi Kulit Buah Markisa sabagai Pakan Ternak ... 9

Fermentasi ... 11

Jamur Pelapuk Putih Phanerochaete chrysosporium ... 12

Pakan Kelinci Bentu Pelet ... 13

Performans Ternak Kelinci ... 14

Konsumsi ... 14

Pertambahan Bobot Badan ... 15

Konversi Ransum ... 17

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 18

Bahan dan Alat ... 18

Bahan ... 18

Alat ... 18

Metode Penelitian ... 19

Parameter Yang Diamati ... 20

(53)

Pertambahan Bobot Badan ... 25

Konversi Ransum ... 27

Rekapitulasi Hasil Penelitian ... 28

KESIMPULAN DAN SARAN ... 30

DAFTAR PUSTAKA ... 31

(54)

No. Hal.

1. Potensi biologis kelinci ... 5

2. Kandungan nutrisi berbagai jenis daging ... 5

3. Kebutuhan ransum kelinci lepas sapih (%) ... 8

4. Luas lahan, produksi dan wilayah pengembangan tanaman markisa ... 10

5. Kandungan Kimiawi Kulit Buah Markisa tanpa dan fermentasi Phanerochaete chrysosporium selama 15 hari ... 11

6. Pertambahan bobot badan kelinci ... 16

7. Rataan konsumsi kelinci dalam bahan kering (BK) selama penelitian (g/ekor/hari) ... 24

8. Rataan mingguan pertambahan bobot badan kelinci rex jantan (g/ekor/hari) selama penelitian. ... 25

9. Rataan konversi ransum kelinci rex lepas sapih ... 27

10. Analisa keragaman konversi ransum kelinci rex lepas sapih ... 27

(55)

No. Hal.

1. Pengolahan Tepung KBM fermentasi Phanerochaete chrysosporium ... 35

2. Pembuatan Pakan Bentuk Pelet ... 36

3. Formula Ransum Kelinci ... 37

4. Rataan konsumsi bahan kering pelet selama penelitian (g/ekor/hari) ... 38

5. Rataan konsumsi bahan kering hijauan selama penelitian (g/ekor/hari) ... 38

6. Rataan konsumsi bahan kering ransum selama penelitian (g/ekor/hari) ... 38

7. Grafik rataan konsumsi kelinci dalam bahan kering (BK) selama penelitian (g/ekor/hari) ... 39

8. Grafik rataan pertambahan bobobt badan kelinci selama penelitian (g/ekor/hari) ... 39

9. Grafik rataan konversi ransum kelinci selama penelitian ... 39

10. Grafik rekapitulasi data performans selama penelitian ... 40

Gambar

Tabel 7. Rataan konsumsi ransum kelinci dalam bahan kering (BK) selama penelitian (g/ekor/hari)
Tabel 8. Rataan pertambahan bobot badan kelinci (g/ekor/hari) selama penelitian
Tabel 9. Rataan konversi ransum kelinci selama penelitian
Tabel 10. Tabel rekapitulasi hasil penelitian
+6

Referensi

Dokumen terkait

We have created an ontology conforming to the geospatial data and defined some sample rules to show how to test data with respect to data quality elements including;

Himpunan Peraturan Gubernur Tahun 2014 1... Himpunan Peraturan Gubernur Tahun 2014

Berkas persyaratan pencairan tunjangan profesi guru yang kami kirim ke Seksi Pendidikan Madrasah Kantor Kementerian Agama Kota Surabaya adalah

Himpunan Peraturan Gubernur Tahun 2014 1... Himpunan Peraturan Gubernur Tahun 2014

Menimbang : bahwa berdasarkan Buku Pedoman Pendidikan Universitas Brawijaya, setiap mahasiswa Universitas Brawijaya yang telah lulus diwajibkan mengikuti wisuda dan

Terdapat jenis abu limbah pertanian terbaik terhadap pertumbuhan dan

Dengan sistem tanggung renteng diharapkan dapat tercipta suasana kebersamaan kelompok dalam tanggung jawab secara kolektif, untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas IlmuBudaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana dalam bidang Ilmu Sastra