• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian kinerja Surfaktan Mes (Metil Ester Sulfonat) dari Jarak Pagar (Jatropha Curcas L.) untuk enhanced waterflooding

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian kinerja Surfaktan Mes (Metil Ester Sulfonat) dari Jarak Pagar (Jatropha Curcas L.) untuk enhanced waterflooding"

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)

AN EXPERIMENTAL STUDY OF MES (METHYL ESTER

SULFONATES) SURFACTANT FROM JATROPHA

(Jatropha curcas L.) FOR ENHANCED WATERFLOODING

1) 2)Riztiara Nurfitri, 1) 2)Erliza Hambali and 3)Dadang Rukmana 1)

Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia

email : diademawinchester@yahoo.com 2)

Surfactant and Bioenergy Research Centre, Bogor Agricultural University, IPB Baranang Siang Campus, Bogor, West Java, Indonesia

3)

BP MIGAS, Wisma Mulia Building, PO Box 12710, Gatot Subroto, South Jakarta, Indonesia

ABSTRACT

Year by year, the production of petroleum decreases but its demand increases. The world will get the energy crisis if that condition happens continously. The main cause of low production of petroleum in Indonesia is the majority Indonesia’s oil wells being mature field/brown field and the discovery of new oil field in small scale. Indonesia focuses on maximize oil recovery in brown field because its oil production decreases naturally up 15% in total production. In recent years, the field of enhanced oil recovery has grown became more popular due to a combination of stagnant oil production and low recoveries by conventional methods. Many fields use unconventional method like enhanced oil recovery (EOR) which is tertiary oil recovery phase. One way of EOR is chemical flooding which uses surfactant for injection. Surfactant is injected to water and it is known as enhanced waterflooding. Generally, surfactant of petroleum sulfonates is used for oil recovery. This surfactant has many weaknesses such as resistance to water hardness, susceptible detergency to high salinity and being imported with expensive price. Due to these weaknesses, therefore it trigger to get surfactant substitute like MES (methyl ester sulfonates) that is synthesized by biooil. One of biooil is Jatropha oil. The study was aimed to know experimental of surfactant formula for enhanced waterflooding in fluida sample of oil field and synthetic core sandstone. The result showed that injection of surfactant 0,2 PV gave the influence differently to oil recovery. The best condition was surfactant 0,2 PV with the soaking time of 12 hours. This formula gave the highest of incremental total oil recovery 61,07%. The number were resulted from 47,73% waterflooding and 13,34% surfactant injection. Surfactant formula gave the good performance of compatibility, thermal stability, phase behavior and filtration test.

(2)

I.

PENDAHULUAN

1.1.

LATAR BELAKANG

Minyak bumi merupakan sumber energi yang masih menjadi primadona dan belum tergantikan oleh bahan lain hingga saat ini. Permintaan dunia pada minyak bumi diperkirakan akan terus meningkat. Berdasarkan model OWEM (OPEC World Energy Model), permintaan minyak dunia pada periode jangka menengah (2002–2010) diperkirakan tumbuh rata-rata 1,8% per tahun. Sedangkan pada periode berikutnya (2010–2025), permintaan minyak mentah dunia masih akan meningkat dengan pertumbuhan rata-rata 1,7% per tahun. Permintaan minyak dunia hampir 75% dari kenaikan sebesar 38 juta bph selama periode 2002–2025 tersebut diserap oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia. Sementara itu, produksi minyak bumi dunia terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun.

Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP MIGAS) menyatakan bahwa produksi minyak Indonesia terus menurun pada kurun waktu 1997–2006. Pencapaian produksi tertinggi (peak production) pertama tahun 1977 adalah sebesar 1,7 juta barrel per hari (million barrel oil per day / MBOPD) adalah puncak produksi minyak dari Lapangan-Lapangan dengan tenaga alamiah (primary). Peak production kedua tahun 1995 sebesar 1,6 MBOPD terjadi hasil kegiatan dari injeksi air (waterflood) di sebagian besar Lapangan-Lapangan Chevron dan berhasilnya injeksi steam (steam flood), setelah puncak produksi kedua, produksi minyak Nasional terus mengalami penurunan dengan rata-rata penurunan produksi sekitar 6% dan dapat stabil di tahun 2007. Tahun 2007 produksi minyak Indonesia total rata-rata 954.000 BOPD (barel per hari / bph) dan pada Agustus dan September 2007 angka produksi merambah naik sedikit demi sedikit serta puncaknya pada Januari 2008, produksi minyak menembus satu juta BOPD lalu sempat turun tetapi naik kembali (BP MIGAS, 2009). Jika permintaan minyak bumi Indonesia terus meningkat sedangkan produksi minyak bumi dunia terus menurun maka dunia akan mengalami krisis energi. Krisis energi memacu kenaikan harga minyak bumi. Minyak bumi terus mengalami kenaikan harga dari USD 85 per barel menjadi 100 USD per barel pada pertengahan Juni 2011.

Perusahaan petroleum terus berusaha memproduksi minyak bumi secara optimal hingga saat ini guna memenuhi permintaan dunia terhadap minyak dunia. Usaha yang dilakukan oleh perusahaan petroleum untuk meningkatkan produksi minyak bumi dapat berupa eksplorasi ladang minyak baru dan recovery secara optimal pada ladang minyak tua (mature field atau brown field). Faktor utama penyebab penurunan produksi minyak bumi di Indonesia adalah sumur-sumur minyak di Indonesia merupakan ladang minyak tua dan belum ditemukannya ladang minyak baru yang memiliki cadangan minyak dalam jumlah besar. Produksi minyak dari brown field Indonesia mengalami penurunan sebesar 15 persen per tahun sehingga perlu dilakukan pengoptimalan recovery minyak pada brown field. Menurut Willhite, et. al. (1998), banyak cara yang dapat dilakukan dalam meningkatkan recovery minyak seperti injeksi air ditambahkan dengan bahan kimia guna meningkatkan energi dorong pada reservoir melalui pendesakan minyak diantara batuan sehingga membentuk kondisi yang baik untuk memaksimumkan recovery minyak dimana proses tersebut dikenal dengan proses Enhanced Oil Recovery (EOR).

(3)

sebesar 30–60% sedangkan tahap konvensional (fase primer dan fase sekunder) hanya mampu memproduksi minyak sebesar 20–40%. Indonesia telah menerapkan fase sekunder berupa teknologi injeksi air (waterflooding). Teknologi tersebut menghasilkan kinerja produksi yang buruk karena memiliki water cut yang tinggi sebesar 95–99%. Untuk memperbaiki kinerja produksi minyak bumi maka dilakukan tahap lanjut (fase tersier) berupa EOR. Salah satu metode EOR yang dilakukan adalah chemical flooding. Chemical flooding dapat dilakukan dengan menggunakan surfaktan.

Surfaktan dilarutkan dalam air kemudian diinjeksikan melalui sumur injeksi dimana metode ini dikenal dengan enhanced waterflooding. Saturasi air memperangkap minyak karena gaya kapilaritas yang menyebabkan air menutup pori-pori minyak dan membatasi pergerakan minyak. Sedangkan surfaktan menurunkan gaya kapilaritas secara efektif melalui penurunan tegangan antarmuka dan perubahan kebasahan. Melalui penurunan tegangan antarmuka, surfaktan mampu membentuk emulsi dengan minyak dan melepaskan minyak dari batuan sehingga residu minyak yang tertinggal dapat didesak dan diproduksi.

Surfaktan yang umum digunakan adalah petroleum sulfonat yang merupakan turunan dari minyak bumi. Penggunaan surfaktan ini memiliki beberapa kelemahan yaitu memiliki ketahanan yang buruk terhadap kondisi sadah dan sifat deterjensinya menurun dengan sangat tajam pada tingkat salinitas yang tinggi, butuh biaya yang tinggi serta masih harus diimpor. Harga minyak bumi yang terus meningkat menyebabkan harga petroleum sulfonat juga meningkat. Akan tetapi, petroleum sulfonat juga memiliki beberapa kelebihan diantaranya memiliki kinerja maksimal dalam menurunkan tegangan antarmuka bahkan dilaporkan dapat mencapai 0,1 µN/m atau 10-4 dyne/cm (Salager, 2002). Kelemahan yang dimiliki surfaktan petroleum sulfonat memicu pencarian alternatif surfaktan pengganti. Salah satu alternatif surfaktan pengganti adalah surfaktan MES.

Surfaktan MES merupakan surfaktan anionik dimana bagian aktif pada permukaannya mengandung muatan negatif. Surfaktan MES adalah surfaktan yang diperoleh dari hasil sintesa minyak nabati. Menurut Matheson (1996), surfaktan MES memiliki beberapa kelebihan seperti memiliki sifat dispersi yang baik, sifat deterjensi yang baik walaupun berada pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, daya deterjensi sama dengan petroleum sulfonat pada konsentrasi MES yang lebih rendah, dapat mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik serta toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium dan kandungan garam (disalt). Berdasarkan kelebihan tersebut, pengembangan dan produksi surfaktan MES semakin banyak dilakukan.

(4)

1.2.

TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja formula surfaktan MES dari jarak pagar untuk enhanced waterflooding pada contoh fluida dari lapangan minyak dan contoh core sandstone sintetik.

1.3.

RUANG LINGKUP

Ruang lingkup dari penelitian ini meliputi 1. Pembuatan core sandstone sintetik

2. Formulasi larutan surfaktan MES dari jarak pagar

3. Uji kinerja formula larutan surfaktan MES dari jarak pagar meliputi uji IFT (interfacial tension), uji compatibility, pengukuran densitas, pengukuran viskositas, pengukuran pH, uji phase behavior, uji thermal stability dan uji filtrasi.

(5)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

SURFAKTAN MES DARI JARAK PAGAR

Surfaktan (surface active agent) merupakan bahan kimia yang berpengaruh pada aktivitas permukaan. Surfaktan memiliki kemampuan untuk larut dalam air dan minyak. Molekul surfaktan terdiri dari dua bagian yaitu gugus yang larut dalam minyak (hidrofob) dan gugus yang larut dalam air (hidrofil). Surfaktan yang memiliki kecenderungan untuk larut dalam minyak dikelompokkan dalam surfaktan oil soluble sedangkan yang memiliki kecenderungan untuk larut dalam air dikelompokkan dalam surfaktan water soluble (Allen dan Robert, 1993). Kehadiran gugus hidrofobik dan hidrofilik yang berada pada satu molekul akan menyebabkan surfaktan berada pada antarmuka antara fasa yanag berbeda derajat polaritas dan ikatan hidrogen seperti minyak dan air (Geourgiou et. al., 1992).

Menurut Hui (1996) dan Hasenhuettl (1997), peranan surfaktan yang berbeda dan beragam disebabkan oleh struktur molekul surfaktan yang tidak seimbang. Molekul surfaktan dapat divisualisasikan seperti berudu atau bola raket mini yang terdiri atas bagian kepala dan ekor. Bagian kepala bersifat hidrofilik (suka air) merupakan bagian yang sangat polar sedangkan bagian ekor bersifat hidrofobik (tidak suka air / suka minyak) merupakan bagian nonpolar. Kepala dapat berupa anion, kation atau nonion sedangkan ekor dapat berupa rantai linier atau cabang hidrokarbon. Struktur molekul surfaktan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Molekul surfaktan (Gevarsio, 1996)

Surfaktan berdasarkan gugus hidrofilnya dibagi menjadi empat kelompok penting yaitu surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan nonionik dan surfaktan amfoterik (Rosen, 2004). Menurut Matheson (1996), surfaktan anionik adalah molekul yang bermuatan negatif pada bagian hidrofilik atau aktif permukaan (surface-active). Sifat hidrofilik disebabkan oleh keberadaan gugus ionik yang sangat besar seperti gugus sulfat atau sulfonat. Surfaktan kationik adalah senyawa yang bermuatan positif pada gugus hidrofilnya atau bagian aktif permukaan (surface-active). Sifat hidrofilik umumnya disebabkan oleh keberadaan garam amonium seperti quaternary ammonium salt (QUAT). Surfaktan non ionik adalah surfaktan yang tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi molekul. Sifat hidrofilik disebabkan oleh keberadaan gugus oksigen eter atau hidroksil. Surfaktan amfoterik adalah surfaktan yang bermuatan positif dan negatif pada molekulnya dimana muatannya bergantung kepada pH, pada pH rendah akan bermuatan negatif dan pada pH tinggi bermuatan positif.

(6)

Sifat-sifat surfaktan adalah mampu menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol sistem emulsi (misalnya oil in water (o/w) atau water in oil (w/o)). Di samping itu, surfaktan akan terserap ke dalam permukaan partikel minyak atau air sebagai penghalang yang akan mengarungi atau menghambat penggabungan (coalescence) dari partikel yang terdispersi (Rieger, 1985). Kemampuan surfaktan untuk meningkatkan kestabilan emulsi tergantung dari kontribusi gugus polar (hidrofilik) dan gugus non polar (lipofilik) (Swern, 1979). Menurut Piispanen (2002), bagian polar surfaktan dipengaruhi oleh gaya elektrostatik (ikatan hidrogen, ikatan ionik, interaksi dipolar) sehingga dapat berikatan dengan molekul seperti air dan senyawa ion. Gugus non polar surfaktan berikatan dengan dukungan gaya van der walls.

Pada konsentrasi yang memadai, surfaktan yang awalnya merupakan elektrolit biasa, mulai membentuk asosiasi antar molekul/micelles. Keadaan ini terjadi pada konsentrasi yang disebut dengan Critical Micelle Concentration (CMC). Pada kondisi ini terjadi proses pembentukan emulsi yang menghasilkan analogi kelarutan/solubilization non equilibrium dan memberikan IFT yang rendah. Kondisi ini tidak akan terjadi jika konsentrasi di bawah kondisi CMC sedangkan jika konsentrasi surfaktan ditingkatkan setelah terjadi titik CMC maka akan terbentuk agregat dan tidak menurunkan nilai IFT lebih rendah lagi (Mitsui, 1997).

Surfaktan metil ester sulfonat (MES) termasuk golongan surfaktan anionik yaitu surfaktan yang bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan (surface-active). Struktur kimia metil ester sulfonat (MES) dapat dilihat pada Gambar 2. (Watkins, 2001) :

Gambar 2. Struktur kimia MES

Menurut Swern (1979), panjang molekul sangat kritis untuk keseimbangan kebutuhan gugus hidrofilik dan lipofilik. Apabila rantai hidrofobik terlalu panjang, akan terjadi ketidakseimbangan, terlalu besarnya afinitas untuk gugus minyak atau lemak atau terlalu kecilnya afinitas untuk gugus air. Hal ini akan ditunjukkan oleh keterbatasan kelarutan di dalam air. Demikian juga sebaliknya, apabila rantai hidrofobiknya terlalu pendek, komponen tidak akan terlalu bersifat aktif permukaan (surface-active) karena ketidakcukupan gugus hidrofobik dan akan memiliki keterbatasan kelarutan dalam minyak. Pada umumnya panjang rantai terbaik untuk surfaktan adalah asam lemak dengan 10–18 atom karbon.

(7)

Tabel 1. Kisaran HLB dan aplikasi penggunaannya

Kisaran Aplikasi Penggunaan

3-6 Emulsifier water in oil (w/o)

7-9 Bahan pembasah

8-15 Emulsifier oil in water (o/w)

13-15 Deterjen

15-18 Bahan pelarut

Sumber : Swern (1979)

Menurut Matheson (1996), metil ester sulfonat (MES) telah mulai dimanfaatkan sebagai bahan aktif pada produk-produk pembersih (washing and cleaning products). Pemanfaatan surfaktan jenis ini pada beberapa produk adalah karena metil ester sulfonat memperlihatkan karakteristik dispersi yang baik, sifat deterjensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, ester asam lemak C14, C16, dan C18 memberikan tingkat

deterjensi terbaik serta bersifat mudah didegradasi (good biodegradability). Dibandingkan petroleum sulfonat, surfaktan MES menunjukkan beberapa kelebihan diantaranya yaitu pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya deterjensinya sama dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik serta toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium dan kandungan garam (disalt). Namun demikian surfaktan MES memiliki kelemahan diantaranya warnanya yang gelap (Rosen, 2004).

Proses produksi pembuatan surfaktan MES dimulai melalui proses esterifikasi atau/dan transesterifikasi menjadi metil ester (biodiesel) dengan metanol. Esterifikasi adalah reaksi asam karboksilat (asam lemak) dengan alkohol untuk menghasilkan ester sedangkan transesterifikasi adalah reaksi ester untuk menghasilkan ester baru yang mengalami penukaran posisi asam lemak (Swern, 1982). Reaksi tersebut bersifat reversibel dan menghasilkan alkil ester dan gliserol. Setelah dilakukan reaksi esterifikasi dan transesterifikasi ini, metil ester harus dimurnikan terlebih dahulu untuk menghilangkan gliserol, air, sisa metanol, katalis, dan bahan pengotor lainnya. Proses pemurnian dapat dilakukan dengan water washing dan dry washing.

Metil ester yang telah terbentuk selanjutnya dilakukan konversi menjadi metil ester sulfonat. Metil ester sulfonat (MES) adalah zat yang disintesis dari bahan metil ester dan agen sulfonasi melalui proses sulfonasi. Proses sulfonasi dapat dilakukan dengan mereaksikan asam sulfat, sulfit, NaHSO3

atau gas SO3 dengan ester asam lemak (Watkins, 2001). Menurut Foster (1996), untuk menghasilkan

kualitas produk terbaik, beberapa perlakuan penting yang harus dipertimbangkan adalah rasio mol, suhu reaksi, konsentrasi grup sulfat yang ditambahkan, waktu netralisasi, jenis dan konsentrasi katalis, pH dan suhu netralisasi.

Proses produksi metil ester sulfonat dapat dilakukan dengan mereaksikan metil ester dan gas SO3 dalam falling film reactor pada suhu 80–90oC (Watkins, 2001). Proses sulfonasi yang dilakukan

oleh pihak SBRC (Surfactant and Bioenergy Research Centre) menggunakan reaktor STFR (Single Tube Film Sulfonation Reactor) memiliki tinggi 6 meter dan diameter tube 25 mm. Prinsip kerja reaktor ini adalah gas SO3 dialirkan ke dalam tabung dimana pada dinding bagian dalam tabung

dialirkan secara co-current metil ester dalam bentuk film (lapisan) tipis sehingga terbentuk tabung yang menyelimuti gas yang mengalir di bagian tengah tabung. Proses sulfonasi membentuk produk antara berupa MESA (methyl ester sulfonate acid). Suhu umpan (feed) berupa metil ester pada proses sulfonasi diatur konstan pada suhu 80–100oC. Pada proses sulfonasi dilakukan penambahan udara kering. Perbandingan metil ester, gas SO3 dan udara kering adalah 1 : 1 : 2. Feed dipompa naik ke

(8)

berlangsung selama 3–6 jam. Selanjutnya, MESA yang telah dihasilkan mengalami proses aging. Proses aging berlangsung dalam reaktor aging pada suhu 70–80oC selama 75 menit dengan kecepatan putaran pengaduk 150 rpm. Kemudian MESA mengalami proses netralisasi dengan penambahan NaOH 50%. Proses netralisasi pada suhu 30–40oC selama 40 menit. Setelah proses netralisasi, diperoleh surfaktan MES (metil ester sulfonat).

Mekanisme reaksi yang terjadi selama reaksi sulfonasi dengan urutan proses adalah metil ester (I) bereaksi dengan gas SO3 membentuk senyawa intermediet (II), pada umumnya berupa

senyawa anhidrad. Dalam kondisi reaksi yang setimbang, senyawa intermediet (II) tersebut akan mengaktifkan gugus alfa (α) pada rangkaian gugus karbon metil ester sehingga membentuk senyawa intermediet (III). Selanjutnya, senyawa intermediet (III) tersebut mengalami restrukturisasi dengan melepaskan gugus SO3. Gugus SO3 yang dilepaskan bukanlah gugus yang terikat pada ikatan alfa.

Dengan terlepasnya gas SO3 selama proses post digestion tersebut, maka terbentuklah MESA (IV)

(Mac Arthur et. al., 2001).

Komoditas yang dapat diolah sebagai surfaktan MES adalah jarak pagar. Jarak pagar (Jatropha curcas L.) merupakan jenis tanaman yang berasal dari keluarga Euphorbiaceae yang banyak ditemukan di Afrika Tengah dan Selatan, Asia Tenggara dan India. Jarak pagar merupakan golongan pohon perdu dengan ketinggian mencapai 3 hingga 7 meter dan memiliki cabang yang tidak teratur. Jarak pagar dapat tumbuh dengan baik pada daerah dengan ketinggian 0–1.700 m dpl dan suhu 19–38oC. Kisaran curah hujan daerah penyebarannya bervariasi antara 200–2.000 mm/tahun, tetapi ada pula yang sampai lebih dari 4.000 mm/tahun. Secara umum, jarak pagar dapat tumbuh pada daerah kurang subur (Hambali et. al., 2006).

Jarak pagar memiliki buah yang terbagi menjadi tiga ruang dimana masing-masing ruang berisi satu biji. Biji jarak pagar berbentuk bulat lonjong, berwarna coklat kehitaman dan mengandung banyak minyak (Sinaga, 2006). Gambar buah dan biji jarak pagar dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. (a) Buah jarak pagar dan (b) Biji jarak pagar (SBRC, 2010)

Tanaman jarak pagar menghasilkan biji yang memiliki kandungan minyak cukup tinggi, sekitar 30–50% sehingga sangat prospektif untuk digunakan sebagai bahan baku produk oleokimia seperti surfaktan. Kelebihan minyak jarak pagar apabila dibuat menjadi metil ester antara lain adalah minyak jarak pagar tidak termasuk kategori minyak makan (edible oil) sehingga pemanfaatannya tidak menganggu penyediaan kebutuhan minyak makan. Minyak jarak pagar tidak dapat dikonsumsi manusia karena mengandung senyawa forbol ester dan cursin yang bersifat toksik (Hambali et.al., 2006). Seperti halnya minyak yang lain, minyak jarak pagar juga tersusun dari beberapa asam lemak. Asam lemak dominan pada minyak jarak pagar adalah asam oleat, asam linoleat dan asam palmitat.

(9)

Sifat fisikokimia minyak jarak pagar dapat dilihat pada Tabel 2. dan komposisi asam lemak dalam minyak jarak pagar dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 2. Sifat fisiko-kimia minyak jarak pagar

Analisis Satuan Nilai

Kadar airc % 0.07

Bilangan asama mg KOH/g lemak 3.21±0.21

Bilangan iodb mg iod/g lemak 96.5

Bilangan penyabunana mg KOH/g lemak 198±0.5

Densitasa g/cm3 0.911

Sumber : Peace dan Aladesanmi (2008)a ; Hambali et. al. (2006)b ; Gubitz et. al. (1999)c

Tabel 3. Komposisi asam lemak dalam minyak jarak pagar

Kandungan asam lemak Sifat dan komponen Persentase (%)

Asam miristat Jenuh, C 14:0 0–0.1

Asam palmitat Jenuh, C 16:0 14.1–15.3

Asam stearat Jenuh, C 18:0 3.7–9.8

Asam arachidat Jenuh, C 20:0 0–0.3

Asam behenat Jenuh, C 22:0 0-0.2

Asam palmitoleat Tidak jenuh, C 16:1 0–1.3

Asam oleat Tidak jenuh, C 18:1 34.3–45.8

Asam linoleat Tidak jenuh, C 20:2 29.0–44.2 Asam linolenat Tidak jenuh, C 22:3 0–0.3 Sumber : Gubitz et. al. (1999)

2.2.

ENHANCED OIL RECOVERY

Menurut Gomaa (1997), pengembangan Lapangan minyak dapat dikelompokkan atas tiga fase yaitu fase primer (primary phase), fase sekunder (secondary phase) dan fase tersier (tertiary phase). Pada fase primer, produksi dikontrol dari tenaga alami yang tergantung pada kandungan energi alam pada reservoir. Optimasi produksi pada fase primer antara lain stimulasi menggunakan metode asam (acidizing), metode fracturing dan metode sumur horizontal (horizontal wells). Pada fase sekunder diterapkan penambahan energi dari luar seperti gas flood dan water flood. Metode pada fase tersier sering juga disebut sebagai metode enhanced oil recovery (EOR). Metode Enhanced Oil Recovery (EOR) didefinisikan sebagai suatu metode yang melibatkan proses penginjeksian dengan penambahan material tertentu yang dapat menyebabkan perubahan fluida dalam reservoir seperti komposisi minyak, rasio mobilitas dan juga karakteristik interaksi batuan-fluida. Metode EOR dapat dikelompokkan berdasarkan material yang diijeksikan ke reservoir yaitu metode panas (air panas, steam stimulation, steamflood, fireflood), metode kimia (polimer, surfaktan, alkali), metode solvent-miscible (pelarut hidrokarbon, CO2, N2, gas hidrokarbon, campuran gas alam) dan lainnya (busa,

mikrobial). Meskipun metode EOR kadang disebut sebagai recovery tersier, namun bukan berarti metode EOR ini diterapkan setelah fase sekunder. Beberapa metode EOR dapat diterapkan setelah fase primer atau pada awal pengembangan. Menurut Haynes (1976), teknologi EOR sangat bergantung karakteristik reservoir.

(10)

dalam pori-pori. Gaya kapilaritas merupakan hasil tegangan antar muka minyak-air menyebabkan terikatnya fluida dalam pori-pori batuan sehingga recovery hanya 1/3 bagian dari OOIP. Walaupun banyak metode yang telah dilakukan dalam metode EOR, tetapi metode dalam menurunkan tegangan antarmuka seperti surfactant flooding lebih memberikan harapan yang besar dalam peningkatan recovery (Zhang et. al., 2007).

Menurut Wahyono (2009), waterflooding merupakan injeksi air yang dilakukan pada tahap kedua produksi (secondary recovery) yang menjadi salah satu pilihan EOR Pertamina saat ini. Penginjeksian air (waterflooding) ke dalam pori-pori reservoir bertujuan agar tekanan reservoir meningkat sehingga minyak terdorong yang mengakibatkan produksi naik atau penurunan produksi (decline) dapat diturunkan. Skema mekanisme recovery minyak dapat dilihat pada Gambar4.

Gambar 4. Skema mekanisme recovery minyak (Wahyono, 2009)

Menurut Gulick dan William (1998), waterflooding telah dikenal sejak tahun 1860 tetapi pada saat itu waterflooding sebagai upaya proses peningkatan recovery minyak bumi tidak dapat diterapkan secara luas. Hal ini dikarenakan karakteristik reservoir yang berbeda-beda tiap wilayah. Menurut Lake (1989), reservoir-reservoir minyak bumi berbeda dalam hal kondisi geologis alamnya, kandungan air dalam reservoir dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut, metode optimum untuk merecovery minyak bumi dalam jumlah yang maksimum pada suatu reservoir berbeda terhadap reservoir yang lain.

Mekanisme Perolehan Minyak Perolehan Minyak

Secara Konvensional

EOR

Primer

Sekunder

Tersier

Tenaga alami Pengangkatan

buatan

Injeksi air Penggunaan

tekanan

Termal Kimia

Alkali Surfaktan Polimer

Miscible Lainnya : mikrobial, listrik, mekanis (getaran, pengeboran horizontal )

CO2 Miscible solvent Gas

inert

Stimulasi uap panas atau injeksi uap panas

secara siklik

Uap panas atau air

panas

Pembakaran in-situ

(11)

Menurut Salager (1977), chemical flooding dengan menggunakan formula surfaktan harus memperhatikan beberapa faktor seperti :

• Tahan terhadap temperatur dan tekanan reservoir.

• Tidak menyebabkan tersumbatnya pori-pori batuan.

• Dapat menurunkan saturation residu oil (SOR) dan dapat merubah sifat kebasahan (wettability) batuan

• Dapat meningkatkan efisiensi displacement minyak dimana formula surfaktan harus mampu menurunkan tegangan antarmuka antara minyak mentah dengan air formasi.

• Adsorpsi formula surfaktan yang rendah oleh batuan reservoir dan tanah lempung untuk mengurangi lose surfaktan.

• Kompatibilitas yang baik dengan fluida pada reservoir khususnya terhadap senyawa kation dua valen seperti Mg2+ dan Ca2+.

Menurut Ayirala (2002) ketika surfaktan diinjeksikan, surfaktan menyebar ke dalam minyak dan air dan tegangan antar muka yang rendah meningkatkan nilai kapilaritas. Hasilnya, lebih banyak minyak yang tadinya dalam kondisi immobile berubah menjadi mobile. Menyebabkan perbaikan rasio mobilitas yang efektif.

Reservoir minyak dan / atau gas bumi adalah suatu batuan yang berpori-pori dan permeable tempat minyak dan/atau gas bergerak serta berakumulasi. Secara teoritis semua batuan, baik batuan beku maupun batuan metamorf dapat bertindak sebagai batuan reservoir, tetapi pada kenyataan lebih dari 90% batuan reservoir adalah batuan sedimen. Jenis batuan reservoir akan berpengaruh terhadap besarnya porositas dan permeabilitas (Rachmat, 2009). Porositas menurut Levorsen (1954) adalah perbandingan antara volume total ruang pori-pori dan volume total batuan yang disebut porositas total atau absolut.

%

Permeabilitas menurut Koesoemadinata (1978) dapat dinyatakan dalam rumus sebagai berikut : atau

dengan q adalah laju rata-rata aliran melalui media pori (cm3/dt), k adalah permeabilitas (Darcy), A adalah luas alas benda yang dilalui aliran (cm2), µ adalah viskositas fluida yang mengalir (centipoise) dan adalah tekanan per panjang benda (atm/cm).

Beberapa reservoir secara alami bersifat padat dan memperlihatkan permeabilitas yang rendah yang diakibatkan oleh kandungan endapan lumpur dan lempung yang tinggi serta ukuran butiran yang kecil. Pada beberapa kasus, permeabilitas yang rendah terjadi pada daerah sekitar sumur bor yang mengalami penyumbatan selama proses pengeboran (drilling) berlangsung. Sumur yang mengalami kerusakan akibat pengeboran dan ditambah dengan reservoir yang padat akibat kandungan mineralnya memperlihatkan laju produksi yang rendah sehingga sering menjadi tidak ekonomis. Kondisi ini tetap akan ada walaupun tekanan reservoir tinggi. Pada kondisi ini, pemberian tekanan menggunakan injeksi fluida tidak akan memberikan keuntungan. Injeksi tekanan akan menjadi terlalu tinggi akibat permeabilitas reservoir yang rendah (Economides dan Nolte, 1989).

(12)

dalam batuan reservoir melalui sumur injeksi untuk meningkatkan perolehan minyak pada secondary phase pada sumur production well. Perbandingan kandungan air formasi dan air injeksi tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4. Kandungan garam air formasi / injeksi Jenis Air Air Formasi Air Injeksi

mg/L mg/L Kation

Sodium 5763 9862

Kalsium 296.6 256.5

Magnesium 41.3 1079.8

Ferrum 6.7 6.7

Anion

Klorida 9041.5 17019.4

Bikarbonat 842 134.2

Sulfat - 2317.3

Karbonat - -

Total 15,991.10 30,675.90

Sumber : Sugiharjo et. al. (2001)

Unsur pokok terbesar dalam minyak bumi adalah hidrokarbon dengan konsentrasi antara 50– 95%. Unsur lainnya merupakan senyawa-senyawa non-hidrokarbon seperti nitrogen, belerang, oksigen dan logam. Hidrokarbon minyak bumi merupakan senyawa organik yang terdiri dari karbon dan hidrogen. Hidrokarbon digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu hidrokarbon alifatik, hidrokarbon alisiklik, dan hidrokarbon aromatik. Secara garis besar minyak bumi mempunyai komposisi seperti terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Komposisi minyak bumi

Komponen % Bobot

Karbon 83,9-86,8 Hidrogen 11,4-14,0 Belerang 0,06-0,08 Nitrogen 0,11-1,70

Oksigen ± 0,50

Logam ± 0,03

Sumber : Speight (1980)

Irapati (2008) mengatakan bahwa secara umum komposisi hidrokarbon minyak mentah terdiri dari dua komponen yaitu komponen hidrokarbon dan non hidrokarbon. Berdasarkan sifat, susunan atau komposisi kimia dalam minyak mentah dapat digolongkan ke dalam tiga bagian yaitu komponen hidrokarbon dan non hidrokarbon. Berdasarkan sifat, susunan atau komposisi kimia dalam minyak mentah dapat digolongkan ke dalam tiga bagian yaitu minyak mentah alkana, minyak mentah siklo alkana dan minyak mentah campuran. Berikut adalah sifat dari jenis minyak mentah :

(13)

asphaltic, menghasilkan bensin dengan kualitas kurang baik karena mempunyai angka oktan yang rendah, menghasilkan kerosine, solar dan wax yang bermutu baik.

Minyak mentah sikloalkana mempunyai kerapatan relatif yang tinggi, susunan hidrokarbonnya bersifat siklo alkana, sedikit sekali mengandung kadar lilin dan mengandung komponen asphaltic, menghasilkan bensin dengan kualitas baik karena mempunyai angka oktan yang tinggi, menghasilkan kerosine yang kurang baik, solar bersifat ringan-berat sampai kurang baik, dapat diproses untuk pembuatan asphalt dan fuel oil.

Minyak mentah campuran mempunyai kerapatan relatif diantara jenis parafinik dan naftenik, Susunan hidrokarbonnya mengandung parafinik, naftenik dan aromatik, tipe minyak ini dapat diproses menjadi berbagai jenis produk minyak bergantung dari tipe unit pengolahannya.

Golongan parafinik merupakan senyawa HC jenuh alkana yang memiliki rantai lurus dan bercabang dimana golongan ini merupakan fraksi yang terbesar di dalam minyak mentah. Golongan naftenik merupakan senyawa HC jenuh siklo alkana yang memiliki lima cincin atau enam cincin. Golongan aromatik merupakan senyawa HC tidak jenuh yang memiliki enam cincin dimana golongan ini terdapat dalam jumlah kecil (Irapati, 2008).

Kerusakan formasi sumur minyak bumi telah menyebabkan menurunnya produktivitas sumur minyak. Kerusakan formasi disebabkan oleh proses pemboran dan cara memproduksikan hidrokarbon yang menyebabkan menurunnya permeabilitas sekitar lubang sumur. Produktifitas sumur dapat dipengaruhi oleh sifat kebasahan batuan (wettability) menjadi oil wet, tekanan kapiler yang tinggi, water blocking, particle blocking dan emulsion blocking (Mulyadi, 2000).

Wettability merupakan ukuran yang menjelaskan apakah permukaan dari batuan memiliki kemampuan lebih mudah terlapisi oleh film minyak atau oleh film air. Surfaktan dapat menyusup ke daerah antar muka antar cairan dengan batuan dan dapat mengubah kutub dari permukaan batuan sehingga akan mengubah wettability dari batuan tersebut (Ashayer et. al., 2000). Sifat batuan yang cenderung basah air disebut water wet sedangkan sifat batuan yang cenderung basah minyak disebut oil wet. Pada kondisi water wet, batuan diselubungi oleh air sedangkan pada kondisi oil wet, batuan cenderung diselubungi oleh minyak. Pada kondisi oil wet, keberadaan minyak yang menyelubungi batuan menyebabkan meningkatnya ketebalan dari lapisan film pada batuan reservoir sehingga menyebabkan berkurangnya laju alir. Sifat batuan oil wet dapat mengurangi produktivitas sumur hingga 15–85% (Mulyadi, 2000).

Tekanan kapiler adalah tekanan yang timbul karena adanya perbedaan tegangan antar muka dari dua fluida yang immiscible (tidak saling melarut) pada daerah penyempitan pori-pori batuan. Tingginya tekanan kapiler berbanding terbalik dengan jari-jari kapilernya dan berbanding lurus dengan tegangan antar muka. Tekanan kapiler yang tinggi akan menghambat aliran fluida minyak sehingga minyak akan tertinggal di dalam pori-pori (Allen dan Robert, 1993).

Water blocking merupakan kondisi dimana pori-pori reservoir tertutup oleh air formasi dalam jumlah yang banyak. Water blocking terjadi karena air yang bergerak akibat adanya gaya kapilaritas air. Sifat air ini menyebabkan air akan memby-passed minyak dan menyebabkan minyak tertinggal di dalam pori-pori sebagai by-passed oil. Salah satu cara dalam mengatasi water blocking adalah dengan menginjeksikan 1–3% surfaktan dalam formasi (Allen dan Robert, 1993).

(14)

mengalami kerusakan biasa disebut stimulasi, diharapkan asam tersebut akan bereaksi dengan beberapa mineral dan menciptakan pori-pori dan saluran pori yang lebih besar sehingga permeabilitas meningkat.

(15)

III.

METODE PENELITIAN

3.1.

BAHAN DAN ALAT

Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah surfaktan MES dari jarak pagar. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah minyak bumi mentah, air injeksi, air formasi, sandstone sintetik, toluene dan aquades.

Peralatan yang digunakan adalah timbangan analitik, peralatan gelas, pipet, suntikan, magnetic stirrer, dan hotplate stirrer. Peralatan yang digunakan untuk analisa adalah spinning drop interfacial tensiometer, pH meter, coreflood apparatus, densitometer, viscosimeter, oven, filtration apparatus, stopwatch, desikator, pipet mohr, ampul dan filter.

3.2.

METODE

3.2.1. Pembuatan CoreSandstone Sintetik

Core sandstone sintetik dibuat dengan menggunakan pasir kuarsa dan semen dengan perbandingan 5 : 2 dengan penambahan air 10% dari bobot total (pasir kuarsa dan semen). Core tersebut dicuci dengan menggunakan toluene melalui distilasi selama 4 jam. Core yang telah dicuci dikeringkan dalam oven bersuhu 70–80oC selama 1 hari lalu didinginkan dalam desikator selama minimal 30 menit. Selanjutnya, dilakukan pembungkusan core dengan menggunakan alumunium foil. Selanjutnya, core diukur panjang dan diameter dengan 3 kali ulangan serta ditimbang bobot kering lalu divakum dengan menggunakan Air Formasi Tx selama 6 jam dan dijenuhkan dalam Air Formasi

Tx selama 1–3 hari.

3.2.2. Formulasi Surfaktan MES dari Jarak Pagar

Surfaktan MES dari jarak pagar diformulasi dengan menggunakan bahan aditif. Formulasi dilakukan dengan menggunakan pelarut yaitu air injeksi dari Lapangan T. Formulasi ini bertujuan untuk memperoleh formula larutan surfaktan yang terbaik. Formula larutan surfaktan yang terbaik adalah formula yang memiliki IFT (interfacial tension) sebesar 10-3 dyne/cm dengan nilai terkecil. Formulasi yang dilakukan terbagi menjadi tiga tahapan yaitu optimal salinitas, optimal alkali dan optimal co-surfaktan.

3.2.3. Uji Kinerja Formula Surfaktan

Tahapan ketiga adalah uji kinerja formula larutan surfaktan. Uji yang dilakukan meliputi uji IFT (interfacial tension), uji compatibility, pengukuran densitas, pengukuran viskositas, pengukuran pH, uji phase behavior, uji thermal stability dan uji filtrasi. Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 4.

3.2.4. Coreflooding Test

(16)

mampu memberikan tambahan recovery sebesar 8%. Setelah mengalami soaking, batuan sandstone diinjeksikan kembali dengan menggunakan air injeksi T hingga tidak ada lagi minyak bumi mentah yang keluar. Berikut ini merupakan gambar diagram alir penelitian :

Gambar 5. Diagram alir penelitian

3.3.

RANCANGAN PERCOBAAN

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan satu faktor dengan dua kali ulangan. Faktor yang divariasikan adalah volume larutan surfaktan. Faktor volume larutan surfaktan terdiri dari tiga taraf yaitu 0.1 PV, 0.2 PV dan 0.3 PV. Model matematika yang digunakan adalah:

Yij = µ + αi + εij dengan :

Yij = Nilai pengamatan

µ = Rata-rata

αi = Pengaruh faktor volume larutan surfaktan pada taraf ke-i (i = 1,2,3)

έij = Galat percobaan

Persiapan core sandstone sintetik

Core sandstone sintetik

Surfaktan MES dari jarak pagar

Formulasi

Formula larutan surfaktan

Uji kinerja meliputi uji pH, IFT, compatibility, densitas, viskositas, phase behavior, thermal

stability dan filtrasi

Aplikasi waterflooding berupa coreflooding test pada sumur injeksi dengan porevolume formula larutan surfaktan yaitu 0,1 PV, 0,2 PV dan 0,3 PV dengan lama

soaking 12 jam

(17)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.

SURFAKTAN MES DARI JARAK PAGAR

Surfaktan yang digunakan dalam penelitian ini adalah surfaktan MES (Metil Ester Sulfonat) dari jarak pagar. Surfaktan MES dari jarak pagar ini diproduksi di Laboratorium Surfaktan SBRC–IPB di Pulo Gadung yang berdampingan dengan PT. Mahkota Indonesia yang memproduksi produk kimia dari bahan sulfur. Lokasi produksi yang berdampingan tersebut bertujuan untuk mempermudah pasokan bahan baku berupa gas SO3. Gas SO3 merupakan agen sulfonasi yang digunakan pada proses

pembuatan surfaktan MES. Tahapan pembuatan surfaktan MES dari jarak pagar adalah pembuatan metil ester dan proses sulfonasi metil ester.

Pembuatan metil ester dari minyak jarak pagar diawali dengan analisis sifat fisiko-kimia minyak jarak pagar. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui sifat fisiko-kimia minyak jarak pagar dan untuk menentukan langkah selanjutnya yang dilakukan berupa pemurnian. Sifat fisiko-kimia yang dianalisis meliputi kadar air, bilangan asam, bilangan iod, bilangan penyabunan, kadar asam lemak bebas, densitas dan viskositas Prosedur analisis minyak jarak pagar dapat dilihat pada Lampiran 1. Berikut ini adalah hasil sifat fisiko-kimia minyak jarak pagar :

Tabel 6. Hasil analisis sifat fisiko-kimia minyak jarak pagar No. Sifat Fisiko-Kimia Nilai Satuan

1 Kadar air 0.36 %

2 Bilangan asam 7.09 mg KOH/g minyak 3 Bilangan iod 96.42 mg Iod/g minyak 4 Bilangan penyabunan 194.06 mg KOH/g minyak 5 Kadar asam lemak bebas 3.57 %

6 Densitas 0.91 g/cm3

7 Viskositas (30oC) 52.60 cP

Kadar air minyak jarak pagar yang diperoleh cukup rendah yaitu sebesar 0,36%. Kandungan air pada bahan baku metil ester dapat ditolerir hingga 1% (Gerpen et. al., 2004). Lain halnya dengan nilai bilangan asam minyak jarak pagar yang diperoleh cukup tinggi yaitu sebesar 7,09 mg KOH/g minyak. Ketaren (1986) menyatakan bahwa bilangan asam merupakan jumlah milligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam-asam lemak bebas dari satu gram minyak atau lemak. Bilangan asam minyak jarak pagar yang diperoleh cukup tinggi. Hal ini dapat dikarenakan adanya kerusakan minyak baik pada saat pengepresan maupun selama penyimpanan.

Nilai bilangan iod minyak jarak pagar yang diperoleh adalah sebesar 96,42 mg Iod/g minyak. Bilangan iod menunjukkan banyaknya ikatan rangkap atau derajat ketidakjenuhan suatu minyak atau lemak. Menurut Sinaga (2006), jenis asam lemak dominan pada minyak jarak adalah asam lemak oleat (C18H34O2) dan linoleat (C18H32O2) yang merupakan asam lemak tidak jenuh. Banyak ikatan rangkap

(18)

lemak (semakin panjang rantai karbon) penyusun trigliserida maka semakin sedikit asam lemak penyusunnya sehingga KOH yang diperlukan untuk penyabunan semakin sedikit.

Densitas yang diperoleh dari analisis fisiko-kimia minyak jarak adalah 0,91 g/cm3. Densitas merupakan ukuran massa per unit volume suatu bahan atau zat. Sementara itu, nilai viskositas minyak jarak pagar adalah 52,60 cP. Viskositas berkaitan erat dengan kemampuan bahan untuk mengalir dimana semakin tinggi nilai viskositas (semakin kental suatu cairan) maka semakin sulit cairan tersebut untuk mengalir karena membutuhkan gaya yang makin besar untuk membuat cairan tersebut mengalir pada kecepatan tertentu.

Kadar asam lemak bebas (FFA) dijadikan sebagai acuan dalam menentukan tahapan pada proses pemurnian minyak. Pemurnian minyak yang dilakukan berupa esterifikasi dan atau transesterifikasi. Minyak jarak pagar mengalami proses esterifikasi terlebih dahulu dan kemudian dilanjutkan dengan proses transesterifikasi atau langsung mengalami proses transesterifikasi tergantung analisis FFA awal. Jika FFA awal > 2% maka minyak jarak pagar mengalami proses esterifikasi terlebih dahulu dan kemudian proses transesterifikasi. Sedangkan jika FFA awal < 2% maka minyak jarak pagar langsung mengalami proses transesterifikasi. Berdasarkan Tabel 5., diketahui bahwa kadar asam lemak bebas (FFA) yang diperoleh cukup tinggi yaitu 3,57% > 2% sehingga minyak jarak pagar harus melalui dua tahap pemurnian yaitu esterifikasi dan transesterifikasi. Esterifikasi perlu dilakukan terlebih dahulu karena jika tidak dilakukan proses esterifikasi maka terjadi pembentukan sabun yang menyulitkan pemisahan metil ester dan gliserol sehingga berdampak terhadap penurunan rendemen metil ester yang dihasilkan. Pembentukan sabun terjadi karena asam lemak bebas bereaksi dengan sodium metoksida pada proses transesterifikasi. Proses pembuatan metil ester yang dilakukan SBRC–IPB tersaji pada Gambar 6.

(19)

Gambar 6. Diagram alir pembuatan metil ester

Pada proses esterifikasi, minyak jarak pagar direaksikan dengan metanol sebanyak 225% (b/b) dari FFA awal dan katalis asam sulfat (H2SO4) sebanyak 4% (b/b) dari FFA awal. Proses

esterifikasi membentuk ester dan air (H2O). Selanjutnya dilakukan proses transesterifikasi untuk

mengubah trigliserida menjadi metil ester. Proses esterifikasi dilakukan bertujuan untuk menurunkan bilangan asam minyak jarak pagar. Interaksi antara asam lemak dan alkohol bersifat reversible dan prosesnya berlangsung sangat lambat. Mekanisme reaksi esterifikasi dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Reaksi esterifikasi (Khan, 2002)

Proses transesterifikasi menggunakan metanol 15% (b/b) dan KOH 1% (b/b). Reaksi transesterifikasi (alkoholisis) merupakan tahap konversi trigliserida pada minyak nabati menjadi metil ester (biodiesel) melalui reaksi dengan menggunakan alkohol rantai pendek seperti metanol atau etanol dan katalis asam atau basa serta menghasilkan produk samping berupa gliserol. Berikut ini adalah mekanisme reaksi transesterifikasi umum trigliserida dengan alkohol dari jenis metanol (1):

Minyak Jarak Pagar

Analisis

FFA

Transesterifikasi Esterifikasi

> 2% < 2%

MeOH 225% H2SO4 4%

MeOH 15% KOH 1%

Transesterifikasi MeOH 15%

KOH 1%

Metil Ester Gliserol

Pencucian

Pengeringan

(20)

Gambar 8. Mekanisme transesterifikasi; (1) Mekanisme reaksi umum trigliserida dengan alkohol dari jenis metanol; (2) Tiga reaksi berurutan dan reversible [R1,2,3 = asam

lemak]

Selanjutnya, dilakukan proses settling selama 24 jam untuk memisahkan gliserol. Metil ester yang telah dipisahkan mengalami proses pencucian sebanyak 3–4 kali. Proses pencucian dilakukan dengan menggunakan air (H2O). Kemudian dilakukan proses pengeringan melalui pemanasan pada

suhu 110oC. Setelah proses pengeringan, diperoleh metil ester. Metil ester yang telah diperoleh dilakukan analisis. Prosedur analisis metil ester jarak pagar dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil analisis fisiko-kimia metil ester dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil analisis sifat fisiko-kimia metil ester jarak pagar No. Sifat Fisiko-Kimia Nilai Satuan

1 Kadar air 0.02 %

2 Bilangan asam 2.79 mg KOH/g minyak 3 Bilangan iod 95.71 mg Iod/g minyak 4 Bilangan penyabunan 245.33 mg KOH/g minyak 5 Kadar asam lemak bebas 1.40 %

6 Densitas 0.88 g/cm3

7 Viskositas (30oC) 3.6 cP

Nilai bilangan asam metil ester jarak pagar jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai bilangan asam minyak jarak pagar. Bilangan asam metil ester adalah 2,79 mg KOH/g minyak sedangkan bilangan asam minyak adalah 7,09 mg KOH/g minyak. Penurunan bilangan asam terjadi karena reaksi esterifikasi minyak jarak pagar telah mengubah asam lemak bebas menjadi metil ester sehingga jumlah milligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam lemak bebas dari satu gram minyak atau lemak menjadi lebih sedikit. Lain halnya dengan bilangan penyabunan dan bilangan iod metil ester jarak pagar yang tidak mengalami perbedaan signifikan dengan minyak jarak pagar. Bilangan penyabunan dan bilangan iod berturut-turut dari metil ester adalah 245,33 mg KOH/g minyak dan 95,71mg Iod/g minyak sedangkan dari minyak jarak pagar adalah 194,06 mg KOH/g minyak dan 96,42 mg Iod/g minyak. Bilangan iod yang tidak mengalami perbedaan signifikan karena baik proses esterifikasi maupun proses transesterifikasi tidak menyerang ikatan rangkap rantai karbon pada minyak jarak dalam konversi minyak menjadi asam lemak.

(21)

Nilai densitas dan nilai viskositas metil ester jarak pagar yang diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan nilai densitas dan nilai viskositas minyak jarak pagar. Nilai densitas metil ester adalah 0,88 g/cm3 sedangkan nilai densitas minyak adalah 0,91 g/cm3 serta nilai viskositas metil ester adalah 3,60 Cp sedangkan nilai viskositas minyak adalah 52,60 cP. Penurunan nilai densitas terjadi karena adanya pengikatan gugus OH dari metanol yang memiliki densitas yang lebih kecil sedangkan penurunan nilai viskositas terjadi karena adanya pengikatan gugus OH pada ester dan adanya proses pemisahan produk dengan gliserin.

Metil ester (ME) tersebut selanjutnya mengalami proses sulfonasi. Proses sulfonasi metil ester dalam pembuatan MES melalui beberapa tahap yaitu reaksi sulfonasi, pengendapan, pemurnian, penguapan metanol dan penetralan. Diagram alir sulfonasi MES yang diterapkan oleh SBRC–IPB dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Diagram alir proses sulfonasi ME menjadi MES

Metil ester yang telah didapatkan mengalami proses sulfonasi. Proses sulfonasi dilakukan dengan menggunakan reactor STFR (Single Tube Film Reactor). Reaktor STFR memiliki tinggi 6 meter dan diameter tube 25 mm. Prinsip kerja reaktor ini adalah gas SO3 dialirkan ke dalam tabung

dimana pada dinding bagian dalam tabung dialirkan secara co-current metil ester dalam bentuk film (lapisan) tipis sehingga terbentuk tabung yang menyelimuti gas yang mengalir di bagian tengah tabung.

Suhu umpan (feed) berupa metil ester pada proses sulfonasi diatur konstan pada suhu 80– 100oC. Kontak gas metil ester dengan gas SO3 berlangsung pada laju alir 100 ml/menit. Pada proses

sulfonasi dilakukan penambahan udara kering. Penambahan udara kering bertujuan untuk mengencerkan gas SO3 dari konsentrasi 25–26% menjadi konsentrasi 4–7%. Perbandingan metil ester,

gas SO3 dan udara kering adalah 1 : 1 : 2. Feed dipompa naik ke reaktor masuk ke liquid chamber lalu

mengalir turun membentuk film (lapisan) tipis dengan ketebalan tertentu. Ketebalan yang dihasilkan sesuai dengan bentuk corong head pada reaktor. Kontak metil ester dengan gas SO3 pada puncak

reaktor STFR harus berlangsung secara kontinyu sepanjang tube dengan aliran laminar dan ketebalan film harus konstan agar reaksi yang terjadi sepanjang tube merata. Reaksi sulfonasi berlangsung selama 3–6 jam. Reaksi sulfonasi membentuk produk antara berupa MESA (methyl ester sulfonate acid). Selanjutnya, MESA yang telah dihasilkan mengalami proses aging. Proses aging berlangsung dalam reaktor aging pada suhu 70–80oC selama 75 menit dengan kecepatan putaran pengaduk 150

Metil Ester

Sulfonasi dalam STFR Gas SO3

Udara Kering

MESA

Aging

Netralisasi NaOH 50%

(22)

rpm. Kemudian MESA mengalami proses netralisasi dengan penambahan NaOH 50%. Proses netralisasi pada suhu 30–40 oC selama 40 menit. Setelah proses netralisasi, diperoleh surfaktan MES (metil ester sulfonat). Surfaktan MES yang diperoleh dianalisis. Analisis sifat fisiko-kimia surfaktan MES disajikan pada Tabel 8. Prosedur analisis sifat fisiko-kimia MES jarak pagar disajikan pada Lampiran 3.

Tabel 8. Hasil analisis sifat fisiko-kimia surfaktan MES jarak pagar No. Karakteristik Nilai Satuan

1 Warna > 3,749 Klett 2 Densitas 0.9836 g/cm3

3 Viskositas 0.9750 cP

4 pH 7.7000 -

Surfaktan MES yang diperoleh berwarna gelap. Warna gelap tersebut dikarenakan reaksi reaktif gas SO3 terhadap metil ester jarak pagar pada ikatan rangkap. Berikut ini adalah penampakan

visual dari MESA dan MES jarak pagar yang dihasilkan :

Gambar 10. (a) MESA jarak pagar dan (b) MES jarak pagar

4.2.

PEMBUATAN

CORE SANDSTONE

SINTETIK

Reservoir merupakan suatu batuan yang berpori-pori dan permeable di bawah permukaan bumi yang merupakan tempat minyak dan atau gas bergerak serta berakumulasi. Tiap reservoir memiliki jenis batuan yang berbeda-beda dengan karakteristik yang berbeda pula. Jenis batuan dipengaruhi oleh fasa fluida yang mengisi pori-pori batuan berhubungan atau tidak satu sama lainnya. Di samping itu, jenis batuan berpengaruh terhadap porositas dan permeabilitas. Porositas merupakan perbandingan volume ruang pori-pori terhadap volume total batuan sedangkan permeabilitas merupakan kemampuan dari medium berpori untuk mengalirkan fluida yang dipengaruhi olah ukuran butiran, bentuk butiran serta distribusi butiran. Contoh batuan yang diambil dari reservoir pada saat pemboran kemudian batuan mengalami pengecilan ukuran dengan diameter 3 cm disebut core.

Core yang digunakan pada penelitian merupakan core sintetik sehingga dibutuhkan formula core sintetik yang tepat agar menyerupai karakteristik core asli. Core asli berasal dari Lapangan T yang berjenis batuan pasir (sandstone). Sandstone pada Lapangan T tersusun dari sebagian besar pasir kuarsa dengan porositas 20%. Oleh karena itu, core sintetik yang dibuat terdiri dari pasir kuarsa dan

(23)

semen dengan porositas yang mendekati core asli. Menurut Lange et. al. (1991), batu pasir adalah batu-batu yang renggang (loose) tapi padat (compact) yang terdiri dari fragmen-fragmen yang menyatu dan mengeras (cemented). Persiapan core sintetik terdiri dari tiga tahap yaitu pembuatan core sintetik, pencucian core sintetik dan penjenuhan core sintetik. Pada tahap pertama, core sintetik dibuat dengan menggunakan perbandingan pasir kuarsa dan semen adalah 5 : 2 lalu ditambahkan air 10% dari bobot total (pasir kuarsa dan semen). Perbandingan tersebut mampu menghasilkan porositas yang paling mendekati dengan porositas core asli. Porositas yang dihasilkan dari core sintetik adalah 30– 35%.

Gambar 11. Core sandstone sintetik

Porositas beberapa reservoir menurut Koesoemadinata (1978) dikelompokkan menjadi diabaikan (negligible) 0–5%, buruk (poor) 5–10%, cukup (fair) 10–15%, baik (good) 15–20%, sangat baik (very good) 20–25% dan istimewa (excellent) > 25 %. Permeabilitas beberapa reservoir dikelompokkan menjadi ketat (tight) < 5 mD, cukup (fair) 5–10 mD, baik (good) 10–100 mD, baik sekali 100–1000 mD dan (very good) >1000 mD. Berikut ini tersaji nilai porositas dan nilai permeabilitas dari tiap core pada Tabel 10. Prosedur pengukuran porositas dan permeabilitas core dapat dilihat pada Lampiran 8.

Tabel 9. Porositas dan permeabilitas core sintetik

No Kode core Porositas (%) Permeabilitas (mDarcy)

1 A 33.1034 44.8112

2 B 35.4648 40.8308

3 C 33.1273 44.6989

4 D 32.5419 44.7010

5 E 34.4336 41.0749

6 F 33.4326 45.6682

(24)

pada porositas yang besar tetapi permeabilitas yang kecil. Menurut Koesoemadinata (1978), jika bentuk butiran mendekati bentuk bola maka permeabilitas dan porositasnya akan lebih meningkat.

Pada tahap kedua, core dicuci dengan menggunakan distilasi dengan pelarut toluene. Distilasi adalah proses mengekstrak bahan dengan menggunakan pelarut yang sesuai dengan bahan. Pillihan terhadap toluene sebagai pelarut karena toluene mampu mengikat kotoran yang terkandung pada core sintetik. Selain itu, penggunaan toluene sebagai pelarut didasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan Paulina Mwangi (2008) karena kemampuan toluene dalam menghilangkan hydrocarbons, termasuk aspal, dan pengotor lainnya dengan baik dan mengembalikan wettability batuan. Selanjutnya, core dikeringkan dalam oven pada suhu 70oC. Pengeringan bertujuan untuk menguapkan pelarut toluene yang masih terkandung pada core. Setelah itu, core didinginkan dalam desikator guna menghilangkan uap panas akibat proses pengeringan. Kemudian core ditimbang bobotnya untuk mengetahui bobot kering dari core. Bobot kering digunakan pada perhitungan porositas core. Bobot kering yang dimiliki core berkisar antara 31–36 gram.

Pada tahap ketiga, dilakukan pemvakuman pada core. Pemvakuman dilakukan 2 tahap dimana tahap pertama dilakukan untuk memasukkan udara ke dalam pori-pori core dan tahap kedua dilakukan untuk menggantikan udara dengan fluida ke dalam pori-pori core. Fluida yang digunakan pada proses pemvakuman adalah Air Formasi (AF) Tx dari Lapangan T. Air formasi merupakan fluida reservoir yang tercampur dan terangkat bersama minyak bumi ke permukaan. Air formasi bersifat asin dengan salinitas rata-rata di atas air laut. Kandungan utama air formasi adalah unsur Ca (kalium), Na (natrium), dan Chlor (Cl) dalam jumlah besar. Air formasi yang digunakan untuk uji telah mengalami proses penyaringan terlebih dahulu. Penyaringan dilakukan sebanyak 4 kali yaitu penyaringan menggunakan filter 500 mesh, dilanjutkan dengan menggunakan filter 21 µm, dilanjutkan dengan menggunakan filter 0,45 µm dan terakhir dengan menggunakan filter 0,22 µm. Penyaringan hingga filter 0,22 µm dilakukan sesuai dengan prosedur yang dilakukan oleh Lemigas. Core yang telah divakum dijenuhkan dengan merendam core dalam AF Tx selama 1–3 hari. Penjenuhan bertujuan untuk memperoleh core sintetik semirip mungkin dengan kondisi core asli yang telah terendam dengan AF Tx selama berjuta-juta tahun. Semakin lama penjenuhan maka semakin mirip kondisi yang dimiliki oleh core sintetik dengan core asli.

4.3.

FORMULASI LARUTAN SURFAKTAN

(25)

Penyaringan hingga filter 0,22 µm dilakukan sesuai dengan prosedur yang dilakukan oleh Lemigas. Prosedur analisis Air Injeksi T dan Air Formasi Tx dapat dilihat pada Lampiran 5. Berikut ini adalah hasil analisis yang dilakukan pihak SBRC–IPB terhadap Air Formasi Tx dan Air Injeksi dari Lapangan T :

Tabel 10. Hasil analisis air formasi dan air injeksi Parameter Air Injeksi T Air Formasi Tx

pH 7.41 7.73

Viskositas (cP) 1.08 1.23

Densitas (g/cm3) 0.9840 0.9842

Formulasi dilakukan melalui tahapan terstruktur yaitu optimal salinitas, optimal alkali dan optimal co-surfaktan. Tahapan terstruktur dilakukan untuk memperoleh data yang valid. Tahapan tersebut berhenti dilakukan jika setelah diperoleh formula surfaktan yang sesuai dengan karakteristik yang ditetapkan oleh BP MIGAS. Menurut BP MIGAS (2009), karakteristik formula yang diharapkan untuk EOR (enhanced oil recovery) adalah formula surfaktan yang memiliki karakteristik sebagai berikut:

• Compatibility : tidak ada endapan

• Adsorbsion : < 0.25% atau 0.4 mg/g

• IFT : 10-3 dyne/cm

• Thermal stability : tahan terhadap temperatur reservoir minimal 3 bulan

• pH : 6 – 8

• Phase form : bawah atau tengah

• Filtrasi ratio : < 1.2

• Recovery oil : > 10% incremental tergantung keekonomian

Karakteristik utama yang harus dipenuhi untuk aplikasi EOR menggunakan surfaktan adalah nilai IFT dari fomula larutan surfaktan. Hal ini dikarenakan penggunaan surfaktan bertujuan untuk menurunkan tegangan antar muka antara fasa minyak dan fasa air. Pada tahap formulasi ini dilakukan uji kinerja dari formula surfaktan yang dihasilkan berupa pengukuran densitas dan uji IFT. Pada uji kinerja tersebut, digunakan minyak Tx dari Lapangan T untuk memperoleh nilai IFT dari larutan surfaktan. Minyak tersebut terlebih dahulu dianalisis. Prosedur analisis minyak Tx dapat dilihat pada Lampiran 6 Berikut ini adalah hasil analisis terhadap minyak Tx dari Lapangan T :

Tabel 11. Hasil analisis minyak Tx

Parameter Nilai

Aspaltine Positif (+)

Viskositas (cP) 2.43

Densitas (g/cm3) 0.7918

Specific Gravity 0.8335

API Gravity 38.25

(26)

Tabel 12. Klasifikasi minyak bumi Jenis Minyak

Mentah

Gravitas API Kerapatan Relatif

Dari Sampai Dari Sampai Ringan >39,0 <0,830

Medium Ringan 39,0 35,0 0,830 0,850

Medium Berat 35,0 35,0 0,850 0,865

Berat 35,0 24,8 0,865 0,905

Sangat Berat <24,8 >0,905 Sumber : Kontawa (1995)

Pada analisis dilakukan uji aspaltine dimana uji tersebut bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya kandungan aspal pada minyak dimana kandungan aspal mengindikasikan minyak tersebut bersifat polar. Berdasarkan uji aspaltine diketahui bahwa minyak Tx memiliki kandungan aspal sehingga minyak Tx bersifat polar. Hal ini dibuktikan dengan terdapatnya endapan pada bagian bawah minyak. Pada Gambar 12 disajikan gambar sebelum dan setelah uji aspaltine.

Gambar 12. (a) Sebelum uji aspaltine dan (b) Setelah uji aspaltine

Tahapan awal formulasi yaitu optimal salinitas. Optimal salinitas bertujuan untuk mengetahui performa terbaik dari larutan surfaktan pada kondisi salinitas yang optimum pada air injeksi. Pada tahapan ini, digunakan NaCl dengan variasi konsentrasi yaitu 1000 ppm, 3000 ppm, 5000 ppm, 7000 ppm, 9000 ppm, 11000 ppm, 13000 ppm dan 15000 ppm. Penentuan variasi konsentrasi NaCl didasari atas penelitian terdahulu yang dilakukan pihak SBRC–IPB. Berikut ini adalah grafik yang menggambarkan hubungan antara nilai IFT yang dihasilkan dengan konsentrasi NaCl yang digunakan :

(27)

Gambar 13. Grafik hubungan antara IFT dengan konsentrasi NaCl

Untuk lebih jelasnya, nilai densitas dan nilai IFT dapat dilihat pada Lampiran 10. Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa mula-mula nilai IFT menurun setelah larutan surfaktan dicampur dengan NaCl tetapi nilai IFT terus meningkat setelah konsentrasi NaCl diperbesar. Efektifitas surfaktan untuk menurunkan IFT akan berkurang dengan semakin tingginya kadar garam larutan (Ashrawi, 1984). Hasil uji coba laboratorium, nilai IFT terkecil yang dihasilkan terdapat pada MES jarak pagar 0,3% pada konsentrasi 1000 ppm NaCl dimana nilai IFT sebesar 7,45 x 10-3 dyne/cm. Hasil formula optimal salinitas digunakan pada tahapan selanjutnya. Hasil penampakan visual IFT pada optimal salinitas dapat dilihat pada Lampiran 11.

Tahapan formulasi selanjutnya adalah optimal alkali. Optimal alkali bertujuan untuk menurunkan nilai IFT yang telah diperoleh dari formulasi awal. Alkali yang digunakan adalah NaOH (natrium hidroksida) dan Na2CO3 (natrium karbonat). Tujuan penggunaan dua alkali adalah sebagai

pembanding. Alkali merupakan zat aditif dengan penambahan konsentrasi maksimal 1% atau 10000 ppm. Baik NaOH maupun Na2CO3 ditambahkan dengan variasi konsentrasi yaitu 1000 ppm, 3000

ppm, 5000 ppm, 7000 ppm dan 9000 ppm. Berikut ini adalah grafik yang menggambarkan hubungan antara nilai IFT yang dihasilkan dengan konsentrasi alkali yang digunakan :

Gambar 14. Grafik hubungan antara IFT dengan konsentrasi alkali 2.55E‐02

7.45E‐03 9.15E‐03 8.39E‐03

1.40E‐02

1.68E‐02 1.76E‐02 1.60E‐021.91E‐02

0.E+00 1.E‐02 2.E‐02 3.E‐02

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000

Nilai   IFT   (dyne/cm) Konsentrasi NaCl (ppm)

7.45E‐03 1.12E‐02 2.45E‐02 2.36E‐02 2.36E‐02 2.69E‐02

7.45E‐03 1.11E‐01 2.99E‐01 3.98E‐01 4.33E‐01 4.72E‐01 0.E+00 2.E‐01 4.E‐01 6.E‐01

0 2000 4000 6000 8000 10000

(28)

Untuk lebih jelasnya, nilai densitas dan nilai IFT dapat dilihat pada Lampiran 12. Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa semakin besar konsentrasi alkali yang digunakan maka semakin besar nilai IFT yang dihasilkan. Penambahan alkali tidak mampu menurunkan nilai IFT yang telah dihasilkan pada formulasi awal malahan penambahan alkali makin menaikkan nilai IFT yang telah dihasilkan pada formulasi awal. Formulasi pun berhenti pada tahapan formulasi kedua karena penambahan unsur lain menaikkan nilai IFT yang dihasilkan sehingga tahapan terakhir yaitu optimal co-surfaktan tidak dilakukan. Hasil penampakan visual IFT pada optimal alkali dapat dilihat pada Lampiran 13. Jadi, formula larutan surfaktan yang digunakan pada aplikasi enhanced waterflooding adalah larutan surfaktan yang dihasilkan pada formulasi awal yaitu MES jarak pagar 0,3% pada konsentrasi 1000 ppm NaCl.

Untuk memperoleh nilai IFT, terlebih dahulu dilakukan pengujian densitas. Densitas menyatakan kerapatan antar molekul dalam suatu material yang didefinisikan sebagai rasio (perbandingan) antara massa dan volume material (g/cm3). Baik pada tahap optimal salinitas maupun tahap optimal alkali terjadi peningkatan nilai densitas. Peningkatan densitas mengindikasikan telah terjadinya peningkatan konsentrasi (massa) akibat adanya penambahan senyawa lain. Pada optimal salinitas, penambahan NaCl menyebabkan peningkatan konsentrasi (massa) pada larutan surfaktan. Sama halnya pada optimal alkali, baik penambahan NaOH maupun Na2SO3 menyebabkan

peningkatan konsentrasi (massa) pada larutan surfaktan. Grafik nilai densitas larutan surfaktan pada tahap optimal salinitas dan pada optimal alkali dapat dilihat pada Gambar 15 dan Gambar 16.

Gambar 15. Grafik hubungan antara densitas dengan konsentrasi NaCl

Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa peningkatan konsentrasi NaCl berbanding lurus dengan nilai densitas yang dihasilkan oleh larutan surfaktan. Semakin tinggi konsentrasi NaCl yang digunakan maka semakin tinggi pula nilai densitas yang dihasilkan oleh larutan surfaktan. Peningkatan densitas terjadi akibat penambahan konsentrasi (massa) dari NaCl yang semakin meningkat. Hal ini juga terjadi pada optimal alkali dimana peningkatan konsentrasi alkali yang digunakan (Na2SO3 dan NaOH) berdampak pada peningkatan densitas. Peningkatan densitas larutan

surfaktan diakibatkan peningkatan konsentrasi (massa) dari alkali yang semakin meningkat pula. 0.98420.9850

0.9864 0.9876

0.9890

0.9907 0.9920

0.9931

0.9954

0.98 0.99 1.00

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000

Densitas

 

(g/cm

3)

(29)

4.4.

UJI

4.4.1. injek surfak tidak selam pada pagar 0 0 1 Densitas   (g/cm 3) Gambar 1

KINERJA

. Uji Compat Uji compa si. Maksudny ktan larut sec larut secara ma formulasi.

Berdasark surfaktan ME r terhadap opt

Gam 0.98500.986 0.98500.985 .98 .99 .00 0

16. Grafik hub

A FORMUL

tibility atibility adala ya adalah surfa cara sempurna

sempurna da

kan hasil form ES jarak paga timal alkali. B

mbar 17. (a) M (b1)

(b2)

60 0.987 58 0.988 2000 K (a) bungan antara

LA

ah uji untuk m faktan larut ata a dalam air inj alam air inje

mulasi diketah ar terhadap op Berikut ini adal

MES jarak pag MES jarak pa MES jarak pa 77 0.990 82 0.990 4000 Konsentrasi al ( densitas deng mengetahui ke au tidak dalam njeksi sedangk

ksi. Pengama

hui bahwa uj ptimal salinita

lah hasil peng

gar pada optim agar pada opti agar pada opti 01 0.9915 02 0.9920 6000 kali (ppm)

b1)

gan konsentra

ecocokan anta m air injeksi. kan uji bernila atan uji ini d

ji compatibili s maupun pad gamatan secara

mal salinitas (N mal alkali (Na imal alkali (N 5

0.9941 0

0.9944

8000

(b2)

si alkali

ara surfaktan d Uji bernilai p ai negatif jika dilakukan sec

ity bernilai po da surfaktan M

a visual :

NaCl); aOH); Na2CO3)

(30)

4.4.2. Uji Thermal Stability

Uji thermal stability merupakan uji untuk mengetahui ketahanan larutan surfaktan terhadap pengaruh suhu. Uji ini memiliki parameter-parameter penting yaitu densitas, IFT, pH dan viskositas. Nilai IFT merupakan parameter terpenting pada uji ini dimana perubahan nilai IFT tidak berubah secara signifikan. Pengujian dilakukan selama minimal 1 bulan. Grafik-grafik perubahan IFT, densitas, pH dan viskositas tersaji pada gambar di bawah ini sedangkan nilai densitas, IFT, pH dan viskositas tersaji pada Lampiran 14.

[image:30.595.148.533.264.448.2]

Tegangan antar muka (IFT) pad uji thermal stability diharapkan tidak mengalami kenaikan yang signifikan seiring dengan lama pemanasan. Kenaikan yang terlalu signifikan mengindikasikan formula surfaktan tidak memiliki kinerja yang baik. Hasil IFT formula surfaktan dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18. Grafik hubungan antara IFT dengan lama pemanasan

Berdasarkan gambar di atas diketahui bahwa terjadi fluktuasi nilai IFT yang dihasilkan terhadap lama pemanasan. Seharusnya nilai IFT yang dihasilkan mengalami peningkatan seiring dengan lama pemanasan. Hal ini dikarenakan telah terjadi degradasi struktur formula surfaktan. Fluktuasi nilai IFT berdampak terhadap nilai densitas yang dihasilkan. Fluktuasi tersebut dapat terjadi disebabkan pemasukan sampel ke dalam alat pengujian tidak mengalami pengadukan. Sebaiknya sampel mengalami pengadukan sebelum sampel dimasukkan ke dalam alat pengujian. Grafik hubungan antara densitas yang dihasilkan dengan lama pemanasan disajikan pada Gambar 19.

1.04E‐02 1.08E‐02

3.33E‐03

7.02E‐03 6.73E‐03

0.E+00 5.E‐03 1.E‐02 2.E‐02

0 5 10 15 20 25 30 35

Nilai

 

IFT

 

(dyne/cm)

(31)

Gambar 19. Grafik hubungan antara densitas dengan lama pemanasan

Dari Gambar 19 diketahui bahwa secara garis besar semakin kecil nilai IFT maka semakin kecil pula nilai densitas. Hal ini berarti IFT berbanding lurus dengan densitas. Densitas menunjukkan besarnya bobot molekul yang terkandung pada suatu bahan. Suhu tinggi dengan waktu pemanasan yang lama menyebabkan degradasi ikatan antar molekul sehingga terjadi pemutusan ikatan antar molekul. Pemutusan ikatan molekul berdampak terhadap penurunan nilai densitas. Dengan kata lain, nilai densitas yang dihasilkan menurun seiring dengan lama pemanasan.

[image:31.595.144.533.92.275.2] [image:31.595.116.533.94.772.2]

Viskositas merupakan suatu sifat fluida yang dipengaruhi oleh ukuran dan gaya antar molekul fluida tersebut. Viskositas menunjukkan tingkat kekentalan suatu fluida. Semakin tinggi nilai viskositas maka semakin tinggi pula tingkat kekentalan suatu fluida. Terikatnya gugus sulfonat pada MES selama proses formulasi menyebabkan formula surfaktan memiliki ukuran molekul yang lebih besar. Ukuran molekul yang lebih besar berpengaruh terhadap nilai viskositas yang lebih tinggi dibandingkan dengan Air Injeksi T (sebagai pelarut). Grafik hubungan antara nilai viskositas yang dihasilkan dengan lama pemanasan dapat dilihat pada Gambar 20

Gambar 20. Grafik hubungan antara viskositas dengan lama pemanasan

0.9856 0.9878 0.9863 0.9857

0.9803

0.96 0.98 1.00

0 5 10 15 20 25 30 35

Densitas

 

(g/cm

3)

Hari ke‐

0.6667

0.6367

0.6600

0.7100 0.7133

0.63 0.66 0.69 0.72

0 5 10 15 20 25 30 35

Viskositas

 

(cP)

(32)

Dari Gambar 20 terlihat bahwa terjadi penurunan dan peningkatan kembali nilai viskositas. Pada hari ke-0, larutan surfaktan dibuat pada suhu ruang kemudian diukur nilai viskositasnya tanpa pemanasan. Larutan tersebut mengalami penurunan nilai vikositas pada hari ke-7 tetapi mengalami peningkatan nilai viskositas secara terus-menerus hingga hari ke-30. Sifat densitas suatu fluida memiliki korelasi positif dengan viskositas dimana semakin rendah nilai densitas maka semakin rendah pula nilai viskositas suatu fluida. Dengan kata lain, fluida tersebut semakin encer. Menurut Holmberg (2002), kenaikan viskositas disebabkan karena meningkatnya konsentrasi partikel. Suhu yang tinggi dengan waktu pemanasan yang lama menyebabkan degradasi ikatan antar molekul suatu bahan. Ikatan molekul yang terdegradasi berdampak terhadap pemutusan ikatan antar molekul sehingga mengakibatkan penurunan nilai densitas dan nilai viskositas suatu bahan. Peningkatan nilai viskositas yang terjadi disebabkan pemasukan sampel ke dalam alat pengujian tidak mengalami pengadukan. Sebaiknya sampel mengalami pengadukan sebelum sampel dimasukkan ke dalam alat pengujian.

[image:32.595.138.534.394.578.2]

Pada uji thermal stability, dilakukan pula pengukuran nilai pH. Pengukuran tersebut dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu yang tinggi dengan waktu pemanasan yang lama terhadap tingkat derajat keasaman larutan surfatan. Nilai pH merupakan logaritma negatif dari konsentrasi ion hidrogen (Fessenden dan Fessenden, 1995). Pada umumnya, nilai pH suatu bahan berkisar antara 0–14. Suatu bahan berada pada kondisi pH netral jika bahan dengan pH 7 sedangkan suatu bahan bersifat asam jika bahan dengan pH berkisar antara 0–6 serta suatu bahan bersifat basa jika bahan dengan pH berkisar antara 8–14. Derajat keasaman (pH) formula surfaktan yang dihasilkan tersaji pada Gambar 21.

Gambar 21. Grafik hubungan antara pH dengan lama pemanasan

Dari Gambar 21 terlihat bahwa terjadi peningkatan derajat keasaman dan penurunan kembali derajat keasaman. Peningkatan nilai pH terjadi pada hari ke-7 sedangkan penurunan nilai pH terjadi dari hari ke–14 hingga hari ke–30. Penurunan nilai pH pada larutan surfaktan menunjukkan telah terjadi peningkatan konsentrasi asam akibat penurunan volume larutan surfaktan. Penurunan volume larutan terjadi karena penguapan air injeksi. Jadi, ketika sampel dikeluarkan dari alat pengujian maka uap air injeksi akan langsung terlepas ke udara bebas.

7.75 8 7.5

6.5 6.5

0 6 12

0 5 10 15 20 25 30 35

pH

(33)

4.4.3. Uji Phase Behavior

Uji phase behavior merupakan uji untuk mengetahui kinerja surfaktan dari terbentuknya fasa antara larutan surfaktan dengan minyak bumi. Fasa yang terbentuk terbagi menjadi tiga yaitu fasa atas, fasa tengah dan fasa bawah. Menurut Levitt (2006), mikroemulsi kelakuan fasa dideskripsikan sebagai Winsor tipe I, tipe II dan tipe III. Perubahan kelakuan fasa dapat terjadi akibat perubahan salinitas, suhu, struktur surfaktan atau equivalent alkane carbon number (EACN) pada minyak. Pada salinitas rendah, tipe I atau mikroemulsi minyak-dalam-air baru terjadi diakibatkan oleh kelebihan fasa air. Pada salinitas sangat tinggi, tipe II atau mikroemulsi air-dalam-minyak terbentuk diakibatkan oleh kelebihan fasa minyak. Tipe III atau fasa yang terbentuk di antara tipe I dengan tipe II dimana mikroemulsi minyak dan air terbentuk yang dikenal sebagai fasa tengah serta keseimbangan antara kelebihan fasa air dengan kelebihan fasa minyak terjadi.

Secara umum kondisi fasa campuran yang terbentuk dan setelah dilakukan pengamatan secara kasat mata terbagi dalam 4 kategori. Emulsi fasa bawah: emulsi yang terbentuk dalam fasa air, dalam kondisi dua fasa, berwarna translucent (jernih tembus cahaya) pada umumnya terbentuk pada kadar salinitas rendah, dan Vw/Vs>Vo/Vs. Mikroemulsi atau emulsi fasa tengah: emulsi terbentuk di fasa tengah, dalam kondisi tiga fasa (air-mikroemulsi-minyak), berwarna translucent, terbentuk pada kadar salinitas optimum, Vw/Vs=Vo/Vs. Emulsi fasa atas: emulsi yang terbentuk di fasa minyak, dalam kondisi dua fasa, berwarna jernih, pada kadar salinitas tinggi cenderung membentuk emulsi di fasa atas, Vw/Vs<Vo/Vs. Makroemulsi: emulsi yang terbentuk kental, berwarna putih susu (milky), ukuran makroemulsi sangat besar (2000-100.000 A). (Lemigas, 2002)

Pengujian ini dilakukan secara visual dan perhitungan proporsi antara fasa larutan surfaktan dengan fasa minyak selama minimal 1 bulan. Pengamatan visual tersaji pada Gambar 22. sedangkan perhitungan proporsi antara fasa larutan surfaktan dengan fasa minyak tersaji pada Lampiran 15.

T0 T7 T14

(34)
[image:34.595.182.458.116.340.2]

Gambar 22. Pengamatan phase behavior hari

Gambar

Gambar 18. Grafik hubungan antara IFT dengan lama pemanasan
Gambar 20. Grafik hubungan antara viskositas dengan lama pemanasan
Gambar 21. Grafik hubungan antara pH dengan lama pemanasan
Gambar 22. Pengamatan phase behavior hari ke-0 sampai hari ke-30
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa Likuiditas dan Leverage tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Return Saham pada perusahaan Properti yang

Setelah itu aplikasi akan menampilkan data jadwal mata kuliah praktikum yang selanjutnya dapat dipilih oleh Coass sebagai data plotting.. Data plotting tersebut

Pada aspek sosial, terdapat 16 indikator yang memiliki definisi yang hampir sama atau berulang dengan indikator lainnya sehingga indikator tersebut dieliminasi.. Misalnya,

Seluruh dokumen yang disertakan dalam pelelangan Penyediaan Jasa Kebersihan Kantor, Upah Kerja Loundry RSUD Balaraja adalah benar dan sah sesuai dengan aslinya

[r]

Studi pendahuluan pada tanggal 28 April 2017 di Instalasi Rekam Medis Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta menggunakan wawancara dengan petugas coding yang

Pengaruh yang ditimbulkan dari pengobatan kemoterapi berupa mual dan muntah sehingga dapat mempengaruhi asupan makan dan secara tidak langsung dapat mempengaruhi

Beberapa bentuk pemeliharaan tanaman mentimun yang baik untuk dilakukan yaitu: 1) pemupukan: peranan suplai unsur hara untuk tanaman menunjukkan manfaaat yang