1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau-pulau yang membentang ke
utara sejauh 80 km dari pantai utara Jakarta. Kompleks kepulauan terdiri dari 105
pulau, ukuran pulau-pulau di Kepulaun Seribu cenderung kecil, yaitu hampir 70%
dari total pulau-pulaunya memiliki luas kurang dari 10 ha (Bappekab Administrasi
Kepulauan Seribu 2005 in Setyawan et al. 2011).
Eksploitasi terhadap ekosistem terumbu karang yang dilakukan manusia
secara berlebihan juga mengakibatkan ekosistem terumbu karang mengalami
degradasi. Aktivitas-aktivitas pembangunan di wilayah pesisir seperti pengerukan
pantai, penangkapan ikan dengan racun dan bahan peledak telah menyebabkan
kerusakan ekosistem terumbu karang. Tekanan yang dialami terumbu karang
semakin meningkat seiring dengan aktivitas pembangunan, tekanan dari alam,
dan perubahan iklim dunia (climate change). Persentase penutupan karang keras
di Kepulauan Seribu hingga tahun 2009 hanya mencapai 34,7 % (Setyawan et al.
2011).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kerusakan
terumbu karang adalah dengan menggunakan metode transplantasi karang.
Transplantasi karang merupakan suatu teknik penanaman karang baru dengan
metode fragmentasi, dimana benih karang diambil dari suatu induk koloni tertentu
(Soedharma dan Arafat 2007). Transplantasi bertujuan mempercepat regenerasi
terumbu karang yang telah mengalami kerusakan atau memperbaiki daerah
terumbu karang yang telah rusak, terutama untuk meningkatkan keragaman dan
persen penutupan (Harriot & Fisk 1988).
Saat ini transplantasi karang juga telah dikembangkan lebih jauh untuk
mendukung pemanfaatan yang berkelanjutan. Transplantasi karang dilakukan
bertujuan untuk pelestarian dan perbaikan ekosistem, peruntukan kegiatan wisata,
usaha perikanan, perlindungan terhadap erosi pesisir dan berbagai kegiatan yang
bersifat penelitian (Jaap 1999). Transplantasi karang telah dilakukan di beberapa
lokasi, misalnya di kawasan konservasi laut Kabupaten Berau (2007), Kabupaten
Pertumbuhan karang hasil transplantasi berkisar antara 6-24 cm/bulan (Suharsono
2008).
Metode transplantasi yang digunakan pada penelitian ini menggunakan
metode transplantasi penempelan fragmen karang pada media semen yang
diletakkan di perairan Pulau Karya. Pulau Karya diasumsikan sebagai tempat
yang cocok untuk kegiatan transplantasi karang karena letak Pulau Karya yang
berada diantara gosong. Koloni terumbu karang yang ditransplantasikan di tempat
terlindung memiliki tingkat kematian yang lebih rendah dibandingkan tempat
terbuka (Connel et al. 1997).
Fragmen karang yang digunakan pada penelitian ini adalah karang jenis
Acropora nobilis dan Montipora altasepta. Karang jenis Acropora nobilis dan
Montipora dipilih karena spesies tersebut lebih dominan dibandingkan dengan
karang jenis lainnya. Pada pengamatan berkala yang dilakukan oleh Estradivari et
al. (2007), menyatakan bahwa marga Acropora dan Montipora dapat ditemukan
hampir di seluruh Kepulauan Seribu.
1.2. Rumusan Masalah
Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang secara langsung
terkena dampak dari meningkatnya suhu permukaan bumi (West dan Salm 2003).
Tekanan terhadap terumbu karang seperti meningkatnya suhu perairan, predasi,
badai (faktor alami) yang ditambah tekanan yang berasal dari aktivitas manusia,
tumpahan minyak dan pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang secara
berlebihan, merupakan ancaman yang cukup serius terhadap keberlangsungan
ekosistem terumbu karang (Connel et al. 1997). Persentase penutupan karang di
Kepulauan Seribu cukup berfluktuatif dari 33,1% pada tahun 2003 meningkat
menjadi 34,2% pada tahun 2005 dan pada tahun 2007 menurun menjadi 31,7%
(Estradivari et al. 2007).
Degradasi ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu memerlukan
tindakan konkret untuk memperbaiki kerusakan ekosistem terumbu karang. Salah
satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan tindakan transplantasi
1.3. Tujuan
Penelitian ini bertujuan mengetahui laju pertumbuhan dan tingkat
kelangsungan hidup karang serta parameter yang mempengaruhi transplantasi
karang jenis Acropora nobilis dan Montipora altasepta di Pulau Karya,
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biologi Karang
Suharsono (1996) menyatakan karang termasuk binatang yang
mempunyai sengat atau lebih dikenal sebagai cnidaria (Cnida = jelatang) yang
dapat menghasilkan kerangka kapur dalam jaringan tubuhnya. Pembentukan
terumbu karang merupakan proses yang cukup lama dan kompleks. Proses
tersebut diawali dengan terbentuknya endapan-endapan masif kalsium yang
terutama dihasilkan oleh hewan karang filum Cnidaria, kelas Anthozoa, ordo
Madreporia/Sclerectina dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan
organisme-organisme lain yang juga menghasilkan kalsium karbonat yang dikenal
dengan terumbu (Nybakken 1992).
Karang dapat dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan
kebutuhannya akan cahaya matahari. Karang hermatipik (hermatypic coral)
adalah kelompok karang yang tumbuh terbatas di daerah hangat dengan
penyinaran yang cukup karena adanya simbion alga (zooxanthellae) (Suharsono
2008). Karang tipe hermatipik merupakan pembentuk bangunan kapur atau
terumbu karang (Supriharyono 2007). Kelompok karang kedua adalah karang
ahermatipik (ahermatypic coral) yang tidak membentuk terumbu karang
(Supriharyono 2007). Karang ahermatipik hidup di tempat yang lebih dalam.
Karang hermatipik lebih cepat tumbuh dan lebih cepat membentuk deposit kapur
dibanding karang ahermatipik (Suharsono 2008). Karang-karang hermatifik
hanya ditemukan di daerah tropis sedangkan karang ahermatifik tersebar di
seluruh dunia (Dahuri et al. 1996).
2.1.1. Cara Makan dan Sistem Reproduksi
Makanan utama karang adalah zooplankton (Castro & Huber 2007) yang
ditangkap dengan menggunakan sel penyengat (cnidoblast) yang terdapat di
ektodermis tentakelnya. Sel penyengat tersebut dilengkapi dengan alat penyengat
(nematocyst) yang mengandung racun.
Zooxanthellae melakukan fotosintesis dan memberikan material organik
karang dari dalam. Banyak karang mampu bertahan hidup dan bertumbuh tanpa
makan, selama zooxanthellae memiliki cukup cahaya matahari untuk
berfotosintesis (Castro & Huber 2007).
Karang memperoleh sebagian besar energi dan nutrisinya melalui dua
cara, yaitu melalui hasil fotosintesis oleh zooxanthellae atau secara langsung
menangkap zooplankton dari kolom perairan (Lesser 2004).
Secara umum karang berproduksi dengan dua cara, yaitu secara aseksual
dan seksual (Veron 1986). Reproduksi seksual meliputi proses gametogenesis
yang membutuhkan beberapa minggu untuk sperma sampai lebih dari 10 bulan
untuk telur. Pemijahan yang diikuti fertilisasi akan menghasilkan larva planula
yang dapat melekat, bermetaformosa dan berkembang menjadi polip-polip utama
(Richmond & Hunter 1990).
2.1.2. Pertumbuhan dan Bentuk Koloni Karang
Kecepatan laju pertumbuhan didefinisikan sebagai pertambahan massa
skeleton (kerangka kapur) per satuan waktu, volume per satuan waktu atau laju
pengikatan komponen penyusun kerangka seperti kalsium per satuan waktu
(Budduimeir & Kinzie 1976 in Prawidya 2003).
Setiap koloni hermatypic corals mengandung alga (zooxanthellae) yang
hidup bersimbiosis dengan koloni karang. Polip karang merupakan habitat yang
sesuai bagi zooxanthellae karena merupakan penyuplai terbesar kebutuhan zat
anorganik untuk fotosintesis zooxanthellae. Zooxanthellae menerima kebutuhan
nutrien penting seperti amonia, fosfat, dan CO2 dari sisa metabolisme karang
(Trench 1979; Mueller-Parker and D’Elia 1997 in Lesser 2004).
Karang tanpa zooxanthellae tumbuh sangat lambat dan tidak pernah
membentuk bangunan kapur (Goreau et al. 1979). Selanjutnya menurut
Supriharyono (2007), cahaya bersama-sama dengan zooxanthellae merupakan
faktor lingkungan yang mengontrol distribusi vertikal karang, laju kalsifikasi atau
laju pembentukan terumbu, bentuk terumbu dan atoll, dan bentuk individu dari
setiap koloni karang.
Pertumbuhan karang dicapai dengan peningkatan massa rangka
calcareous dan jaringan hidup. Rangka karang tersusun seluruhnya dari
bentuk umum dari kalsium karbonat, tidak ditemukan (Goreau et al. 1979).
Pertumbuhan karang dipengaruhi oleh beberapa fakor eksternal dan internal.
Faktor eksternal meliputi fisika dan kimia lingkungan serta jumlah dan nutrisi
makanan, sedangkan faktor internal meliputi umur, ketahanan terhadap penyakit
dan kemampuan memanfaatkan makanan (Boli 1994).
2.2. Faktor Pembatas Pertumbuhan Terumbu Karang 2.2.3. Cahaya dan Kedalaman
Cahaya adalah salah satu faktor yang paling penting yang membatasi
terumbu karang sehubungan dengan laju fotosintesis oleh zooxanthellae yang
bersimbiotik dalam jaringan karang (Nybakken 1992).
Terumbu karang tidak dapat berkembang di perairan yang lebih dalam
dari 50-70 meter. Kebanyakan terumbuh tumbuh pada kedalaman 25 meter atau
kurang, karena zooxanthellae sebagai alga simbiotik memerlukan cahaya. Tanpa
cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang sehingga bersama dengan itu
kemampuan karang dalam menghasilkan kalsium karbonat akan berkurang pula.
Titik kompensasi untuk karang nampaknya merupakan kedalaman dimana
intensitas cahaya kurang sampai 15-20% dari intensitas permukaan (Nybakken
1992).
Sehubungan dengan proses fotosintesis oleh zooxanthellae, karang
hermatipik mampu membentuk kerangka kapur 2 hingga 3 kali lebih cepat di
tempat terang dibandingkan di tempat yang gelap (Veron 1986).
Berkaitan dengan pengaruh cahaya terhadap karang, maka faktor
kedalaman juga membatasi kehidupan binatang karang. Perairan yang jernih
memungkinkan penetrasi cahaya bisa sampai pada lapisan yang sangat dalam,
sehingga binatang karang juga dapat hidup pada perairan yang cukup dalam.
Namun secara umum karang tumbuh baik pada kedalaman kurang dari 20 meter
(Kinsman 1964 in Supriharyono 2007). Distribusi vertikal terumbu karang hanya
mencapai kedalaman efektif sekitar 10 meter dari permukaan laut. Hal ini
disebabkan karena kebutuhan sinar matahari masih dapat terpenuhi pada
2.2.2. Suhu
Terumbu karang berkembang optimal di perairan dengan rata-rata satu
tahunan 23-250C (Nybakken 1992). Penaikan dan penurunan suhu secara drastis dapat menghambat pertumbuhan hewan karang bahkan dapat menyebabkan
kematian.
Binatang karang pada daerah tropis selalu dihadapkan pada suhu yang
relatif konstan dan semua proses metabolisme berlangsung pada suhu relatif tetap,
sehingga perubahan suhu yang hanya 1-30C akan mengganggu proses metabolisme binatang karang. Binatang karang yang mempunyai tingkat
metabolisme dan kecepatan tumbuh yang tinggi akan lebih sensitif terhadap
kenaikan suhu dibandingkan dengan binatang karang yang metabolisme lambat
dan tingkat perubahannya rendah (Suharsono 1996).
Suharsono (1996) melaporkan bahwa indikasi peningkatan suhu 2-30C selama 6 bulan terakhir dengan nilai terbesar 330C menyebabkan 80%-90% binatang karang pada rataan terumbu karang mati dengan kematian utama pada
jenis bercabang yaitu Acropora spp dan Pocillopra spp.
2.2.3. Salinitas
Terumbu karang dapat tumbuh dengan optimal pada kisaran salinatas 32
PSU sampai 35 PSU dan karang hermatipik juga dapat bertahan pada salinitas
yang menyimpang dari salinitas normal yaitu 32-35 PSU (Nybakken 1992).
Menurut Suharsono (1996), umumnya terumbu karang tumbuh dengan baik di
sekitar areal pesisir pada salinitas 30-35 PSU. Meskipun terumbu karang mampu
bertahan pada salinitas di luar kisaran tersebut, namun pertumbuhannya kurang
baik dibandingkan pada salinitas normal (Dahuri et al. 1996). Daya tahan
terhadap salinitas setiap jenis karang tidak sama. Sebagai contoh Kinsman (1964)
in Supriharyono (2007) mendapatkan bahwa Acropora dapat bertahan pada
salinitas 40 PSU hanya beberapa jam di West Indiesm sedangkan Porites dapat
bertahan dengan salinitas 48 PSU.
2.2.4. Sedimentasi
Endapan baik di air maupun diatas karang mempunyai pengaruh negatif
sampingan yang negatif, yaitu mengurangi cahaya yang dibutuhkan untuk
fotosintesis oleh zooxanthellae dalam jaringan karang (Nybakken 1992).
Kemampuan karang dalam menangkal pengaruh sedimen berkaitan
dengan ukuran fisik (diameter) hewan karang. Semakin besar ukurannya,
semakin kecil peluang partikel sedimen menutupinya. Selain itu, sedimen yang
kaya akan unsur hara akan menyebabkan peningkatan kesuburan di perairan
sekitar terumbu karang dan mempercepat laju pertumbuhan makroalga. Biomassa
makroalga yang besar dapat menutupi karang sehingga memiliki efek seperti
halnya penutupan karang oleh partikel sedimen yang besar (Rachmawati 2001).
2.2.5. Sirkulasi Arus dan Gelombang
Arus diperlukan dalam proses pertumbuhan karang. Koloni karang
dengan kerangka-kerangka yang padat dan masif dari kalsium karbonat tidak akan
rusak oleh gelombang yang kuat. Pada saat yang sama, gelombang-gelombang itu
memberikan sumber air yang segar, memberi oksigen dalam air laut dan
menghalangi pengendapan pada koloni. Gelombang ini juga memberi plankton
yang baru bagi koloni karang (Nybakken 1992).
Rachmawati (2001) menyatakan bahwa gelombang yang cukup kuat
akan menghalangi pengendapan sedimen pada koloni karang. Struktur terumbu
karang yang masif, cukup kuat menahan gelombang yang besar. Pada daerah
yang terkena gelombang yang cukup kuat, bagian ujung sebelah luar terumbu
akan membentuk karang masif atau bentuk bercabang dengan cabang yang sangat
tebal dan ujung yang datar. Sebaliknya pada perairan yang lebih tenang akan
berbentuk koloni yang berbentuk memanjang dan bercabang yang lebih ramping.
2.2.6. Nutrient (nitrat, amonia, ortofosfat)
Karang biasanya hidup pada perairan dengan nutrient anorganik yang
rendah (Grover 2003 in Wibowo 2010). Nutrien yang tinggi di perairan dapat
menyebabkan pertumbuhan tanaman dan alga pada perairan tersebut juga
meningkat. Biomassa makroalga yang besar dapat menutupi karang sehingga
memiliki efek seperti halnya penutupan karang oleh partikel sedimen yang besar
Pengaruh dari alga terhadap organisme karang dimulai dari peningkatan
nutrient pada terumbu karang. Hal ini memberikan pengaruh terhadap struktur
dan komunitas karang (Tomascik & Sender 1987; Wittenberg & Hunte 1992 in
Tanner 1995). Salah satu hipotesis yang berkaitan dengan peningkatan nutrient
adalah seiring peningkatan nutrient, pertumbuhan alga semakin meningkat. Hal
ini memungkinkan alga bersaing dengan organisme karang ataupun organisme
sessile (Birkeland 1977,1988; Pastork & Bilyard 1985 in Tanner 1995).
2.3. Transplantasi Karang
2.3.1. Pengertian dan Pemanfaatan Transplantasi Karang
Transplantasi karang adalah suatu metode penanaman dan penumbuhan
suatu koloni karang dengan metode fragmentasi dimana koloni tersebut diambil
dari suatu induk koloni tertentu. Transplantasi karang bertujuan untuk
mempercepat regenerasi dari terumbu karang yang telah mengalami kerusakan,
atau sebagai cara untuk memperbaiki daerah terumbu karang (Harriot & Fisk
1988). Transplantasi karang telah dipelajari dan dikembangkan sebagai suatu
teknologi dalam pengelolaan terumbu karang terutama pada daerah-daerah
bernilai ekonomi tinggi (Harriot & Fisk 1988).
Pada umumnya transplantasi karang dilakukan bertujuan untuk
pelestarian dan perbaikan ekosistem, peruntukan kegiatan wisata, usaha
perikanan, perlindungan terhadap erosi pesisir dan berbagai kegiatan yang bersifat
penelitian. Tujuan utama karang adalah mempercepat pemulihan ekosistem
terumbu karang (Jaap 1999).
Pada masa mendatang, transplantasi karang bertujuan memiliki banyak
kegunaan diantaranya untuk melapisi bangunan-bangunan bawah laut agar kokoh
untuk menambah jumlah spesies karang yang langka atau terancam punah untuk
pengganti kebutuhan pengambilan karang hidup untuk akuarium (Sadarun 1999).
2.3.2. Metode Transplantasi Karang
Hal-hal yang harus diperhartikan dalam transplantasi karang adalah
proses pemotongan, pengambilan dan pengangkutan karang donor yang akan di
tranplantasikan. Pemotongan karang hendaknya mengikuti arah arus untuk
donor hendaknya disesuaikan dengan lokasi transplantasi untuk menghindari stres
pada karang. Stres pada karang adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh
perubahan ekosistem atau faktor eksternal maupun internal yang menyebabkan
produktivitas karang menurun. Stres pada karang menyebabkan perubahan pada
metabolisme, pertumbuhan, warna (memucat), tingkah laku (mengeluarkan lendir
berlebih) dan reproduksinya akibat faktor-faktor yang membatasi aktivitas
organisme tersebut (Saenger & Holmes 1992 in Zulfikar 2003).
Secara biologis transplantasi karang dinyatakan sukses dengan tingkat
ketahanan hidup berkisar 50-100% ketika karang ditransplantasikan pada habitat
yang serupa dengan habitat dimana mereka dikoleksi (Harriot & Fisk 1988).
2.3.3. Transplantasi Karang di Indonesia
Penelitian mengenai transplantasi karang terhadap beberapa jenis karang
telah banyak dilakukan seperti penelitian terhadap tingkat keberhasilan hidup
karang transplantasi jenis Madracis mirabilis dan jenis Acropora sp. (Bak dan
Criens 1981 in Johan et al. 2008). Penelitian terhadap transplantasi karang jenis
Acropora sebanyak 40 sampel dari 11 spesies karang dengan menggunakan
substrat buatan (keramik) di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta (Sadarun
1999). Penelitian tingkat keberhasilan transplantasi karang batu di Pulau Pari,
Kepulauan Seribu, Jakarta dengan meggunakan tiga jenis karang genus Acropora
yaitu Acropora donei, Acroporaacuminata dan Acroporaformosa (Johan et al.
2008).
Karang yang ditransplantasikan mempunyai kecepatan pertumbuhan
yang berbeda-beda. Supriharyono (2007) menyatakan bahwa karang dengan life
form branching umumnya mempunyai tingkat pertumbuhan sangat cepat yaitu
bisa mencapai >2 cm/bulan sedangkan coral massive tumbuhnya sangat lambat
yaitu hanya <1 cm/tahun. Sadarun (1999) mendapatkan pertumbuhan karang
branching dari jenis Acropora yongei dan Acropora digitifera yang
ditranplantasikan di Pulau Pari, Kepulauan Seribu selama lima bulan mempunyai
2.3.4. Transplantasi Karang di Lokasi Penelitian
Penelitian mengenai transplantasi karang di lokasi penelitian telah
dilakukan seperti penelitian Analisi Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup
Karang Acropora spp, Hydnopora rigida dan Pocillopora verrucosa yang di
transplantasikan di Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu (Iswara 2010). Dari hasil
penelitian tersebut ketiga jenis karang yang ditransplantasikan, tingkat
kelangsungan hidup pada akhir pengamatan paling besar dimiliki oleh karang
jenis Acropora spp. dengan 79,42% sedangkan tingkat kelangsungan hidup
terendah dimiliki oleh karang jenis Pocillopora verrucosa sebesar 61,11%.
Hydnopora rigida memiliki tingkat kelangsungan hidup sebesar 74,19%.
Berdasarkan kondisi tersebut dapat disimpulkan pula bahwa perairan tersebut
cukup baik untuk transplantasi ketiga jenis karang tersebut yang ditandai dengan
kelangsungan hidup seluruhnya berada di atas kisaran 50%. Kematian terbesar
selama enam bulan diakibatkan makroalga, untuk laju pertumbuhan karang jenis
Acropora spp, Hydnopora rigida, dan Pocillopora verrucosa, ketiga karang
tersebut mengalami pertumbuhan yang positif. Tingkat pencapaian pertumbuhan
Acropora spp selama enam bulan mencapai 59 mm untuk panjang dan 42 mm
untuk tinggi dengan laju pertumbuhan sebesar 19 mm/2 bulan untuk panjang dan
14 mm/2 bulan untuk tinggi. Lalu, tingkat pencapaian pertumbuhan Hydnopora
rigida mencapai 60 mm untuk panjang dan 38 mm untuk tinggi dengan laju
pertumbuhan sebesar 17 mm/2 bulan dan 11 mm/2 bulan untuk tinggi. Tingkat
pencapaian Pocillopora verrucosa mencapai 41 mm untuk panjang dan 31 mm
untuk tinggi dengan laju pertumbuhan mencapai 14 mm/2 bulan untuk panjang
dan 10 mm/2 bulan untuk tinggi.
Penelitian lain mengenai transplantasi karang di lokasi penelitian juga
telah di lakukan oleh Wibowo (2010) tentang Analisi Kecepatan Pertumbuhan dan
Tingkat Keberhasilan Transplantasi Karang Stylophora pistillata dan Pocilopora
verrucosa di perairan Pulau Karya, Kepulauan Seribu. Dari hasil penelitian
tersebut tingkat pencapaian panjang selama tiga bulan penelitian untuk fragmen
jenis Stylophora pistillata sebesar 13,94 mm, dan fragmen jenis Pocillopora
verrucosa sebesar 9,15 mm, sedangkan tingkat pencapaian selama tiga bulan
fragmen jenis Pocillopora verrucosa sebesar 8,49 mm. Laju pertumbuhan
pertumbuhan panjang terbesar pada bulan Juli-Juni 2009 untuk kedua fragmen
karang, yaitu sebesar 6,97 mm/bulan untuk spesies Stylophora pistillata dan
sebesar 4,63 mm/bulan untuk spesies Pocillopora verrucosa. Persentase tingkat
kelangsungan hidup fragmen karang Stylopora pistillata lebih besar daripada
persentase tingkat kelangsungan hidup fragmen karang Pocillopora verrucosa.
Tingkat kelangsungan hidup fragmen jenis Stylophora pisstilata pada akhir
penelitian sebesar 100%, sedangkan untuk fragmen jenis Pocillopora verrucosa
sebesar 90%.
2.4. Klasifikasi dan Ciri-ciri Karang yang Diteliti
Menurut Wells (1954) in Suharsono (2008) klasifikasi hewan karang
pembentuk terumbu yang ditransplantasikan adalah sebagai berikut.
Kingdom : Animalia
Filum : Cnidaria/Madreporaria
Kelas : Anthozoa
Sub kelas : Zoantharia
Ordo : Scleractinia
Famili : 1. Acroporidae
Genus : 1. Acropora
2. Montipora
Spesies : 1. Acropora nobilis
2. Montipora altasepta
Acropora memiliki bentuk percabangan sangat bervariasi, mulai dari
korimbosa, arboresen, kapitosa dan lain-lainya. Ciri khas dari marga ini adalah
mempunyai axial koralit dan radial koralit. Bentuk radial koralit juga bervariasi
dari bentuk tubular nariform, dan tenggelam. Marga ini mempunyai sekitar 113
jenis, tersebar di seluruh perairan Indonesia (Suharsono 2008).
Karakteristik genus Montipora antara lain ukuran koralit yang relatif
kecil, pada umumnya tentakel keluar pada malam hari. Karakteristik lainnya itu
tidak memiliki columella (struktur pusat mulut) dan septa memiliki dua lingkaran
dengan bagian ujung (gigi) muncul keluar sehingga apabila disentuh maka akan
Montipora dengan bentuk penumbuhan berupa lembaran sering kali ditemukan
mendominasi suatu perairan dangkal karena bentuk koloni yang berupa lembaran
sehingga intensitas cahaya yang diperoleh lebih besar (Suharsono 2008).
2.5. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara
Teluk Jakarta. Kepulauan Seribu terdiri dari rangkaian mata rantai 105 pulau
yang terbentang vertikal dari Teluk Jakarta hingga Pulau Sebira di arah utara yang
merupakan pulau terjauh dengan jarak kurang lebih 150 km dari pantai Jakarta
Utara. Kedalaman Pulau Seribu sangat bervariasi, pada umumnya kedalamannya
30 meter, walaupun beberapa lokasi tercatat kedalamannya mencapai 70 meter,
yaitu sebelah utara Pulau Pari dan utara Pulau Semak Daun. Hampir semua pulau
memiliki paparan pulau karang (reef flat). Pada dasar rataan karang merupakan
variasi antara pasir, karang mati, sampai karang batu hidup (Noor 2003;
Estradivari et al. 2007).
Pulau Karya merupakan salah satu pulau yang terdapat di wilayah
perairan Pulau Seribu. Pulau Karya terletak di Kelurahan Pulau Panggang
Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini terletak bersebelahan dengan
Pulau Panggang yang merupakan pulau yang memiliki kepadatan penduduk yang
3.
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Perairan Pulau Karya, Kepulauan Seribu yang
dilaksanakan pada bulan September 2010 sampai dengan Juli 2011. Lokasi
pengamatan yang digunakan adalah daerah tranplantasi karang pada kedalaman 2
hingga 4 meter di Perairan Pulau Karya, Kepulauan Seribu (Gambar 1).
Gambar 1. Peta lokasi penelitian Pulau Karya, Kepulauan Seribu DKI Jakarta.
3.2. Alat dan Bahan
Alat dan bahan penelitian yang digunakan dalam pengamatan dan
pengambilan data pertumbuhan karang dapat dilihat pada Tabel 1. Peralatan
Scuba digunakan untuk alat bantu pernafasan pada saat mengukur pertumbuhan
karang. Penggaris yang digunakan terbuat dari bahan plastik untuk mencegah
korosi. Setelah mengukur pertumbuhan karang data tersebut dicatat di kertas
Tabel 1. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian.
No. Alat dan Bahan Keterangan
1. Peralatan SCUBA Peralatan penyelaman
2. Kamera underwater Dokumentasi
3. Kertas newtop dan sabak Media pencatat data
4. Alat tulis (Pinsil, pulpen, penggaris, penghapus, pengserut, cutter dan spidol)
Pengukur panjang lebar
karang dan pencatat data
5. Global Positioning System (GPS) Penentuan titik pengamatan
6. Modul beton Rak tempat fragmen
7. Semen Penempel fragmen
8. Fragmen karang Hewan percobaan
9. Kabel tie dan tali nylon Pengikat fragmen ke modul
10. Laptop Pengolah data
Tabel 2. Parameter fisika dan kimia perairan yang diamati dan alat yang
digunakan
No. Parameter Satuan Alat yang digunakan Metode
1. Suhu 0C Termometer raksa In-situ
2. Salinitas 0/00 Refraktometer Ex-situ
3. Kecerahan 0/0 Secchi disk In-situ
4. Kekeruhan NTU Turbidimeter Ex-situ
5. Kecepatan arus m/s Floating droudge dan
mg/l Spektrofotometer Ex-situ
8. Laju sedimentasi mg/cm2/hari
Sediment trap, kertas
millipore,vacuum pump,
timbangan analitik
Parameter fisika dan kimia perairan di ukur di Laboratorium
Produktivitas Lingkungan, Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
3.3. Metode Penelitian dan Analisa Data 3.3.1. Fragmen Karang dan Konstruksi Modul
Fragmen karang yang digunakan pada penelitian ini adalah karang hasil
budidaya yang digunakan untuk kegiatan perdagangan. Fragmen karang yang
akan digunakan pada penelitian ini ditempelkan dengan cara diikatkan pada
tiang-tiang modul dengan menggunakan kabel tie lalu disemen agar kokoh dan tidak
mudah lepas. Tiap modul terdiri dari enam fragmen karang transplan.
Gambar 2. Konstruksi modul serta fragmen karang transplantasi
Sumber: Dokumentasi pribadi
3.3.2. Pengamatan Pertumbuan Karang
Analisis data pertumbuhan panjang dan lebar karang dihitung dengan
menggunakan penggaris dan kemudian data tersebut diolah dengan menggunakan
perangkat lunak Microsoft Excel 2007.
Untuk menghitung pencapaian pertumbuhan karang yang
ditransplantasikan dilakukan dengan menggunakan rumus yang mengacu pada
Ricker (1975) sebagai berikut:
β = Lt-Lo Keterangan :
β = Pertambahan panjang/tinggi fragmen karang
Lt = Rata-rata panjang/tinggi fragmen karang setelah bulan ke-t
Lo = Rata-rata panjang/tinggi fragmenkarang pada bulan ke-0
Untuk laju pertumbuhan karang yang ditransplantasikan, rumus yang
digunakan adalah sebagai berikut (Ricker 1975):
Keterangan:
α = Laju pertambahan panjang atau lebar fragmen karang transplantasi Li+1 = Rata-rata panjang atau tinggi fragmen pada waktu ke-i+1
Li = Rata-rata panjang atau tinggi fragmen pada waktu ke-i
t i+1= Waktu ke-i+1
ti = Waktu ke-i
Tingkat kelangsungan hidup pada karang yang ditransplantasi dihitung
dengan menggunakan rumus yang mengacu pada Ricker (1975) sebagai berikut :
Keterangan :
SR = Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate)
Nt = Jumlah individu pada akhir penelitian
3.3.3. Pengukuran Parameter Fisika Kimia Perairan
Parameter fisika kimia perairan yang diambil meliputi suhu, salinitas,
kecerahan, kekeruhan, kecepatan arus, kedalaman, nutrien (ammonia, ortofosfat,
nitrat), dan laju sedimentasi.
Pengukuran parameter fisika berupa suhu, kecepatan arus, kedalaman
perairan, dan kecerahan perairan dilakukan secara langsung (in situ). Sedangkan
salinitas, sedimentasi, kekeruhan, dan nutrien (ammonia, ortofosfat, dan nitrat)
dilakukan secara tidak langsung (ex situ). Parameter suhu dilakukan dengan
menggunakan thermometer air raksa dengan cara dicelupkan ke perairan
kemudian dilihat nilai suhu perairannya, kecepatan arus dengan menggunakan
floating droudge dan stopwatch dimana floating droudge dilempar keperairan dan
dihitung menggunakan stopwatch. Waktu dihitungsaat pertama kali floating
droudge menyentuh air sampai tali floating droudge menegang, kemudian nilai
waktu tersebut dibagi dengan nilai miring (logaritma) dari jarak floating droudge
terhadap kapal dan tinggi antar ujung tali saat floating droudge dijatuhkan dengan
permukaan air.
Parameter kecerahan menggunakan secchi diskdengan cara
merata-ratakan nilai kedalaman saat secchi disk mulai menghilang/tidak terlihat dalam air
(d1) dengan saat secchi disk mulai terlihat ketika diangkat (d2). Nilai kedalaman
tersebut dibagi dua kemudian dikalikan 100 persen. Pengukuran kedalaman
dengan melihat depth gauge pada peralatan SCUBA.
Contoh air untuk pengukuran secara ex situ dilakukan dengan
menggunakan botol contoh pada kedalaman 1-4 meter, kemudian air contoh
disimpan dalam cool box yang diberi es batu lalu dianalisis di Laboratorium
Produktivitas Lingkungan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Salinitas diukur
dengan hand refractometer. Kekeruhan dengan turbidimeter dan nutrient diukur
dengan spektrofotometri. Laju sedimentasi diukur dengan cara menyaring
partikel-partikel tersuspensi yang terdapat di dalam sediment trap dengan
menggunakan kertas millipore dibantu dengan vacuum pump, lalu di oven pada
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan
Parameter fisika kimia perairan yang diukur pada penelitian ini meliputi
kecerahan, suhu, salinitas, oksigen terlarut (DO), ammonia (NH3-N), nitrat (NO3
-N), nitrit (NO4-N) dan ortofosfat (PO4-P). Nilai parameter fisika kimia perairan
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Parameter fisika-kimia perairan di area transplantasi karang Pulau Karya
No. Parameter Satuan
*) Baku mutu menurut KepMen LH No. 51/2004 untuk Biota Laut
Salah satu faktor pembatas pertumbuhan karang adalah suhu. Perubahan
suhu secara mendadak sekitar 4-60C di bawah atau di atas ambang batas dapat mengurangi pertumbuhan karang, bahkan dapat mematikan (Supriharyono 2007).
Kisaran nilai suhu yang teramati di Pulau Karya berada pada kisaran nilai
antara 25-280C (Nybakken 1992). Meskipun begitu karang juga mampu mentolerir suhu pada kisaran 36-400C (Nybakken 1992).
Selain suhu, faktor pembatas pertumbuhan karang adalah salinitas.
Kisaran nilai salinitas yang diamati pada lokasi penelitian berada pada kisaran
28-30 PSU. Kisaran nilai salinitas yang diamati lebih rendah daripada standar baku
mutu KepMen LH No.51/2004 yang berkisar 33-34 PSU. Kisaran nilai salinitas
yang diamati juga lebih rendah jika dibandingkan dengan kisaran optimum
salinitas pertumbuhan karang, yaitu 32-35 PSU (Nybakken 1992). Hal ini diduga
oleh tingginya curah hujan di lokasi penelitian sehingga nilai salinitas dapat
menurun. Rachmawati (2001) menyatakan bahwa beberapa faktor yang
menyebabkan kadar salinitas menurun yaitu pasokan air tawar, badai, dan hujan.
Umumnya terumbu karang tumbuh dengan baik di daerah pesisir pada salinitas
30-35 PSU meskipun terumbu karang mampu bertahan pada salinitas di luar
kisaran tersebut, namun pertumbuhannya kurang baik dibanding pada salinitas
normal.
Nilai pengamatan kecerahan yang diambil pada lokasi pengamatan memiliki
kecerahan 100% dan kedalam lokasi penelitain berkisar 3 meter, hal ini membuat
intensitas cahaya matahari 100% pada lokasi penelitian. Hal ini berarti penetrasi
cahaya matahari mencapai dasar perairan sehingga alga zooxanthellae dapat
melakukan proses fotosintesis dengan baik. Keadaan tersebut menunjukan
kecerahan pada lokasi penelitian memiliki kecerahan yang cukup bagi terumbu
karang tumbuh secara optimal.
Kisaran nilai kekeruhan di Pulau Karya diperoleh kisaran nilai antara
0,23-3,50 NTU. Kekeruhan tertinggi terdapat pada bulan September 2010 dan yang
terendah terdapat pada bulan Mei 2011. Tingginya bahan organik dan limpasan
dari darat diduga menjadi penyebab tingginya nilai kekeruhan. Air keruh yang
mengandung banyak lumpur atau pasir maka hewan karang akan mengalami
kesulitan membersihkan dirinya. Hanya beberapa jenis yang mampu
membersihkan dirinya dari endapan-endapan lumpur atau pasir yang menutupinya
(Nontji 2007).
Kecepatan arus yang diperoleh selama pengamatan berkisar antara
dengan arah timur sampai tenggara. Pada musim timur kecepatan maksimumnya
0,5 m/detik. Gelombang laut yang terdapat pada musim barat mempunyai
ketinggian antara 0,5-1,175 m dan musim timur 0,5-1,0 m (Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu 2005in Estradivari et al. 2009). Arus diperlukan
oleh karang untuk mendatangkan makanan berupa plankton. Disamping itu juga
untuk membersihkan diri dari endapan-endapan dan untuk mensuplai oksigen dari
laut lepas. Pertumbuhan karang lebih baik ditempat airnya yang selalu teraduk
daripada di perairan tenang dan terlindung (Nontji 2007).
Kadar oksigen terlarut (DO) yang diperoleh masih sesuai dengan standar
baku mutu (>5 mg/l) KepMenLH No. 51/2004. Oksigen terlarut diperlukan oleh
hampir semua makhluk hidup akuatik untuk proses pembakaran tubuh. Oksigen
terlarut dihasilkan oleh proses fotosintesis tumbuh-tumbuhan.
Masukan nutrien yang ditambah dengan pemupukan sedimen diduga
memiliki efek yang serius terhadap pertumbuhan karang (Cortes & Fisk 1992 in
Koop et al. 2001). Nilai amonia yang diperoleh selama pengamatan berkisar
antara 0,006-0,181 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa nilai amonia tersebut masih
dalam batas standar baku mutu KepMen LH 51/2004, yaitu <0,3 mg/l. Kisaran
nilai nutrien yang berada diatas nilai aman juga teramati pada unsur ortofosfat dan
kandungan nitrat di lokasi penelitian hanya pada bulan Januari yang melebihi
standar baku mutu KepMen LH No. 51/2004 (Tabel 3). Meningkatnya tingkat
nutrien akibat masukan dari darat dapat menimbulkan keberadaan makroalga di
sekitar terumbu karang atau dekat pantai. Pada pengamatan di lapang telah terjadi
pertumbuhan makroalga. Alga yang pertama kali ditemukan pada kebanyakan
area terbuka terumbu karang seringkali berupa alga hijau berfilamen yang
bertumbuh cepat dan alga biru kehijauan yang berbentuk “alga turf” yang kemudian diikuti perkembangan suksesi oleh berbagai alga lainnya (McClanahan
1997). Hal ini diduga terjadi karena kandungan nitrat dan ortophosphat di lokasi
transplantasi sempat melebihi kadar baku mutu yang tercantum dalam Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air
Laut untuk biota laut.
Kandungan nutrien dapat dilihat dari unsur nitrat, fosfat dan ammonia
memiliki kandungan nutrien yang tidak mendukung pertumbuhan terumbu
karang. Koop et al. (2001) menyatakan tingginya tingkat nutrien memberikan
efek yang besar pada tingkat organisme (meningkatnya mortalitas, mengurangi
tingkat reproduksi karang).
4.2. Tingkat Pencapaian Pertumbuhan dan Laju Pertumbuhan Karang 4.2.1. Tingkat Pencapaian Pertumbuhan
Tingkat pencapaian pertumbuhan karang merupakan pertambahan ukuran
karang baik panjang maupun lebar karang dari mulai pengambilan data pertama
sampai pengambilan data terakhir. Pertumbuhan lebar dan tinggi akan
berbeda-beda tergantung pada jenis karang, bentuk koloni dan percabangannya, ukuran
awal fragmen awal, kondisi lingkungan perairan dan sifat pertumbuhan dari
masing-masing spesies. Dalam penelitian ini pengambilan pertama dilakukan
pada bulan September 2010 dan terakhir Juli 2011 dengan jumlah pengambilan
sebanyak empat kali.
Tabel 4. Tingkat pencapaian pertumbuhan karang jenis Acropora nobilis, dan Montipora altasepta
106,73±69,86 141,86±104,02 162,91±103,47 170,50±104,44 63,77±52,29 Tinggi 96,68±58,07 121,32±70,64 141,68±68,73 152,00±64,14 55,32 ± 30,61
M.altasepta Lebar 153,67±54,31 163,33±58,72 183,89±75,57 190,67±76,13 37,00± 26,81
Tinggi 111,67±20,68 126,56±34,54 134,11±33,31 138,33±33,57 26,67 ± 19,39
Pertumbuhan yang dicapai fragmen Acropora nobilis dari September
2010 hingga Juli 2011 tingkat pencapaian pertumbuahan Acropora nobilis adalah
sebesar 63,77 ± 52,29 untuk lebar dan 55,32 ± 30,61 untuk tinggi. Hasil
pengamatan tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan Acropora nobilis
cenderung melebar. Untuk pertumbuhan yang dicapai fragmen Montipora
altasepta untuk pencapain pertumbuhan adalah sebesar 37,00 ± 26,81 untuk lebar
dan 26,67 ± 19,39 untuk tinggi. Hasil pengamatan tersebut menunjukan bahwa
kebutuhan karang akan cahaya matahari untuk keperluan fotosintesis, sehingga
untuk mendapatkan jumlah asupan cahaya matahari yang maksimal, maka karang
itu berusaha untuk memperluas jaringan karangnya.
Gambar 4. Tingkat pencapaian pertumbuan karang jenis Acropora nobilis, dan Montipora altasepta selama pengamatan (September 2010-Juli 2011).
Selama pengamatan Acropora nobilis, memiliki pertumbuhan mutlak
sebesar 55,32±30,61 mm untuk tinggi dan 63,77±52,29 mm untuk lebar (Gambar
4). Acropora nobilis merupakan karang yang memiliki bentuk pertumbuhan
bercabang. Pada karang jenis Acropora nobilis di Pulau Pari, Kepulauan Seribu,
Yarmanti (2002) melakukan penelitian terhadap Acropora nobilis di kedalaman 3
meter dan 10 meter selama 5 bulan. Pada kedalaman 3 meter tingkat pencapaian
panjang Acropora nobilis sebesar 3,57 cm dan 5,53 cm untuk pencapain lebar.
Pada kedalaman 10 meter tingkat pencapaian panjang Acropora nobilis sebesar
1,92 cm dan 1,12 cm untuk pencapaian lebar. Hal tersebut mengindikasikan
karang Acropora nobilis tumbuh lebih baik pada perairan dangkal. Hasil
penelitian ini juga memiliki pola pertumbuhan yang sama dengan hasil penelitian
Yarmanti (2002) pada kedalaman 3 meter dimana pertumbuhan lebar lebih besar 63.77
37.00 55.32
26.67
0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00
120.00
Acropora nobilis (n=22) Montipora altasepta (n=9)
mm
daripada pertumbuhan tinggi (Yarmanti mengangapnya sebagai panjang).
Penelitian lain yang juga mengenai Acropora spp yang telah dilakukan Iswara
(2010) di Pulau Kelapa selama enam bulan, dari hasil penelitian tersebut
didapatkan hasil pertumbuhan mutlak sebesar 59 mm untuk panjang dan 42 mm
untuk tinggi.
Montipora altaseptamemiliki pertumbuhan mutlak yaitu sebesar
26,57±19,39 mm untuk tinggi dan 37±26,61 mm untuk lebar (Gambar 4).
Montipora altasepta merupakan karang yang memiliki bentuk pertumbuhan
bercabang. Hasil penelitian di Pulau Karya ini berbeda dengan penelitian
sebelumnya. Penelitian terhadap Montipora sp oleh Bramandito (2011)
menyatakan bahwa selama 6 bulan penelitian pertumbuhan Montipora sp
mencapai 8,5 cm untuk tinggi dan 7,15 cm untuk panjang. Hasil penelitian ini
berbeda dengan dengan hasil penelitian Bramandito (2011) dimana pertumbuhan
tinggi lebih besar daripada pertumbuhan lebar (Bramandito menganggapnya
sebagai panjang). Pola pertumbuhan yang berbeda ini diduga karena spesies
Montipora yang berbeda, dan life form Montipora yang diteliti juga berbeda.
Pola pertumbuhan karang Acropora nobilis dan Montipora altasepta
yang cenderung melebar diduga karena intensisitas cahaya yang cukup dan lokasi
transplantasi karang yang dangkal yang berkisar 3 meter sehingga untuk
mendapatkan jumlah asupan cahaya matahari di dapat maksimal, maka karang
berusaha untuk memperluas jaringannya.
Lokasi penelitian yang berada pada zona intertidal, yaitu zona perairan
yang masih dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hal ini menyebabkan pada
lokasi penelitian pengaruh pasang surut dan adanya gelombang dan arus sangat
mempengaruhi pertumbuhan karang. Rachmawati (2010) menjelaskan bahwa
pada daerah yang memiliki gelombang yang cukup kuat bagian ujung sebelah luar
terumbu akan membentuk karang massif atau bentuk bercabang dengan cabang
yang sangat tebal dan ujung yang datar. Berdasarkan hal tersebut, maka pengaruh
yang diberikan oleh adanya pasang surut air laut serta adanya arus dan gelombang
menyebabkan perumbuhan karang cenderung melebar.
Faktor kedalaman perairan juga mempengaruhi terhadap pola
memiliki pasokan cahaya yang cukup dan terkena gelombang yang besar akan
menyebabkan pertumbuhan karang mempunyai cabang yang lebih pendek dan
tumpul. Kedalaman lokasi penelitian untuk kegiatan transplantasi ini cenderung
dangkal dengan kedalaman yang berkisar 3 meter, sehingga pada kedalaman ini
karang yang tumbuh cenderung memiliki percabangan yang pendek dan tumpul,
dan pola pertumbuhan yang cenderung melebar.
4.2.2. Laju Pertumbuhan Karang
Laju pertumbuhan karang yang diukur meliputi laju pertumbuhan lebar
fragmen karang dan laju pertumbuhan tinggi fragmen karang setiap pengamatan.
Laju perumbuhan lebar dan tinggi dirata-ratakan untuk mendapatkan nilai laju
pertumbuhan rata-rata setiap pengamatan. Laju pertumbuhan transplantasikan
karang Acropora nobilis dan Montipora altasepta yang ditransplantasikan di
Pulau Karya berdasarkan periode waktu, dari awal hingga akhir pengamatan
disajikan pada grafik dibawah ini.
Gambar 5. Laju pertumbuhan Acropora nobilis
Berdasarkan hasil pengamatan pada bulan September 2010–Januari 2011,
pertumbuhan Acropora nobilis memiliki laju pertumbuhan lebar sebesar 8,68
mm/bulan dan 5,83 mm/bulan untuk tinggi. Pada pengamatan di bulan Januari
2011–Mei 2011 terjadi penurunan laju pertumbuhan baik lebar maupun tinggi.
Untuk laju pertumbuhan karang yaitu sebesar 5,28 mm/bulan untuk pertumbuhan
lebar dan 5,01 mm/bulan untuk pertumbuhan tinggi. Laju pertumbuhan Acropora
nobilis kembali menurun pada bulan Mei 2011-Juli2011 yaitu 3,80 mm/bulan
untuk pertumbuhan lebar dan 5,16 mm/bulan untuk pertumbuhan tinggi. Dari
hasil pengamatan selama 10 bulan di dapat rata-rata pertumbuhan yang terjadi
adalah 6,38 mm/bulan untuk pertumbuhan lebar dan 5,53 mm/ bulan untuk
pertumbuhan tinggi.
Penelitian lain mengenai Acropora telah dilakukan oleh Iswara (2010),
dari penelitian tersebut diperoleh rata-rata pertumbuhan yang terjadi adalah
sebesar 19mm/2 bulan untuk panjang dan 14 mm/2 bulan. Adanya perbedaan
pertumbuhan antara kedua Acropora yang ditransplantasikan diduga oleh
perbedaan kondisi lingkungan perairan.
Gambar 6. Laju pertumbuhan Montipora altasepta
Montipora altasepta memiliki laju pertumbuhan di bulan September
2010–Januari 2011 adalah 6,50 mm/bulan untuk pertumbuhan lebar dan 4,09
mm/bulan untuk pertumbuhan tinggi. Pada pengamatan di bulan Januari
2011-Mei 2011 pertumbuhan Montipora altasepta menurun baik lebar maupun tinggi,
untuk laju pertumbuhan didapat 4,39 mm/bulan untuk pertumbuhan lebar dan 1,89
mm/bulan untuk pertumbuhan tinggi. Pada bulan Mei 2011–Juli 2011
pertumbuhan Montipora altasepta kembali menurun, laju pertumbuhan adalah
3,39 mm/bulan untuk pertumbuhan lebar dan 2,11 mm/bulan untuk pertumbuhan
tinggi. Dari hasil selama penelitian 10 bulan diperoleh pertumbuhan rata-rata
Monipora altasepta adalah 3,70 mm/bulan untuk pertumbuhan lebar dan 2,66
mm/bulan untuk pertumbuhan tinggi.
Yudasakti (2009) dalam skripsinya menyatakan laju pertumbuhan
Montipora sp di Pulau Kelapa sebesar 1,29 cm/2 bulan untuk panjang fragmen
dan 0,7 cm/ 2 bulan untuk laju pertumbuhan tinggi frgamen.
Laju pertumbuhan lebar karang Acropora nobilis dan Montipora
altasepta relatif menurun setiap pengamatan, sedangkan untuk pertambahan tinggi
menurun pada pengamatan kedua kemudian meningkat lagi pada pengamatan
ketiga. Hal ini diduga disebabkan oleh kondisi lokasi transplantasi yang kurang
mendukung untuk pertumbuhan optimal dari fragmen karang tersebut. Salah satu
faktor lingkungan yang memungkinkan dapat mengganggu dan menghambat dari
kehidupan karang adalah sedimentasi. Sedimentasi yang tinggi pada tubuh polip
dapat mengganggu proses fotosintesisyang terjadi pada polip karang dan akan
menyebabkan terhambatnya pertumbuhan karang.
Pengaruh sedimen terhadap pertumbuhan binatang karang dapat secara
langsung maupun tidak langsung. Sedimen dapat langsung mematikan karang,
yaitu apabila sedimen tersebut ukurannya cukup besar atau banyak sehingga
menutupi polip (mulut) karang (Hubbard & Pocock 1972; Bak & Elgershuizen
1976; Bak 1978; in Supriharyono 2007). Pengaruh tidak langsung adalah melalui
turunnya penetrasi cahaya matahari yang penting untuk fotosintesis alga symbion
karang, yaitu zooxanthellae, dan banyaknya energi yang dikeluarkan oleh
pertumbuhan karang (Pastorok & Bilyard 1985; Supriharyono 1986; in
Supriharyono 2007).
Pengaruh lain yang menyebabkan pertumbuhan dari Acropora nobilis
dan Montipora altasepta menurun pada pengamatan kedua, hal ini di duga
disebabkan oleh nitrat, ortofosfat yang melebihi baku mutu KepMen LH No.
51/2004 (Gambar 5). Nitrat (NO3) merupakan bentuk utama nitrogen di perairan
alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga dan
dapat dimanfaatkan secara langsung (Effendi 2003). Pada pengamatan kedua
dilihat secara visual pada lokasi penelitian terdapat makroalga jenis Padina dan
Halimeda. Fosfor merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi
dan alga, sehingga unsur ini menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan dan alga
akuatik serta sangat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan. Ortofosfat
merupakan salah satu bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara langsung
oleh tumbuhan akuatik. Keberadaan fosfor secara berlebihan yang disertai dengan
keberadaan nitrogen di perairan dapat menstimulir ledakan pertumbuhan alga di
perairan (Effendi 2003).
Beberapa penelitian lain mengenai karang genus Acropora dan
Montipora (Tabel 5).
Tabel 5. Beberapa penelitian transplantasi terumbu karang di Indonesia.
Lokasi Spesies Lama
Laju pertumbuhan yang dicapai beberapa genus karang Acropora memiliki
nilai yang berbeda. Perbedaan tempat, waktu dan teknik transplantasi yang
digunakan maupun ukuran fragmen yang digunakan memberikan dampak yang
berbeda terhadap keberhasilan transplantasi dan laju pertumbuhan karang tersebut.
4.3. Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate)
Selama pengamatan 4 kali, tingkat kelangsungan hidup Acropora nobilis
hingga akhir pengamatan tingkat kelangsungan hidup Acropora nobilis adalah
sebesar 81,48%. Kelangsungan hidup Acropora nobilis adalah sebesar 92,59%
pada bulan Januari 2011, 88,89 % pada bulan Mei 2011, dan 81,48% pada akhir
pengamatan di bulan Juli 2011. Kematian terbesar karang ini terjadi pada bulan
Selama pengamatan tingkat kelangsungan hidup Montipora altasepta
hingga akhir pengamatan adalah sebesar 60%. Kelangsungan hidup Montipora
altasepta adalah sebesar 73,33% pada bulan Januari 2011, 60% pada bulan Mei
2011, dan 60% pada akhir pengamatan di bulan Juli 2011. Kematian terbesar
karang ini terjadi pada bulan Januari 2011.
Gambar 7. Tingkat kelangsungan hidup Acropora nobilis dan Montipora altasepta
Astuti (2003) melakukan penelitian terhadap Acropora pulchra,
Acropora latistella, dan Acropora acuminata, selama pengamatan 6 bulan di
Pulau Payung, Kepulauan Seribu. Tingkat keberhasilan hidup karang yang
ditransplantasikan berkisar antara 62,5 - 100%.
Bramandito (2011) melakukan penelitian terhadap Montipora sp di Pulau
Karya selama 6 bulan, tingkat keberhasilan hidup fragmen transplantasi karang
hingga akhir penelitian mencapai 62%.
Melihat kisaran nilai di atas dapat dikatakan bahwa transplantasi yang
transplantasi dapat dikatakan berhasil jika tingkat keberhasilan hidup antara 50
hingga 100%.
Gambar 8. Gambar Fragmen Karang yang lepas
Peningkatan kematian fragmen karang tiap pengamatan disebabkan
lepasnya framen karang dari modul. Tingkat kematian untuk Acropora nobilis
yang disebabkan lepasnya fragmen karang yaitu dari 5 kematian fragmen karang
dari 27 fragmen, 2 diantaranya mati dikarenakan lepas dari modul (Gambar 8).
Sedangkan untuk tingkat kematian Montipora altasepta yang disebabkan lepasnya
fragmen dari modul yaitu dari 6 kematian framen karang dari 15 jumlah fragmen
karang, 2 diantaranya mati dikarenakan lepas dari modul (Gambar 8). Clarck dan
Edwards (1995) dalam jurnalnya menyatakan bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi tingkat kematian adalah pengikat fragmen transplan.
Gambar 9. Invasi alga dan Sedimen yang terdapat pada modul.
Peningkatan kematian karang tiap pengamatan diduga disebabkan oleh
keberadaan makroalga yang tumbuh di sekitar fragmen dan modul juga. Tingkat
kematian untuk Acropora nobilis yang disebabkan invasi alga pada fragmen
karang yaitu dari 5 kematian fragmen karang dari 27 fragmen, 3 diantaranya mati
dikarenakan invasi dari alga (Gambar 9), sedangkan untuk tingkat kematian
Montipora altasepta yang disebabkan oleh invasi dari alga yaitu dari 6 kematian
framen karang dari 15 jumlah fragmen karang, 4 diantaranya mati dikarenakan
invasi dari alga (Gambar 9).
Biomassa makroalga yang besar dapat menutupi karang sehingga
memiliki efek seperti halnya penutupan karang oleh partikel sedimen yang besar
(Rachmawati 2001). Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
makroalga dapat melebihi pertumbuhan karang, dan kompetisi di antara keduanya
biasanya dimenangkan oleh alga (Chadwick 1988; Hughes 1989; in Tanner 1995).
Energi yang dipakai karang dapat meningkat untuk memperbaiki kerusakan yang
diakibatkan oleh alga, seperti jaringan yang luka (Coyer et al. 1993 in Tanner
1995), atau dari pengeluaran energi secara aktif bersaing dengan alga, dan
mencegah pertumbuhan alga menutupi karang (de Ruyter van Steveninck et al.
1988 in Tanner 1995).
Sedimen juga diduga menjadi penyebab kematian pada karang. Untuk
terus menerus. Akibatnya karang tersebut harus mengeluarkan energi untuk
membersihkan diri. Apabila kecepatan sedimentasi lebih tinggi daripada
5.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Acropora nobilis dan Montipora altasepta kedua karang tersebut
mengalami pertumbuhan positif. Tingkat pencapaian pertumbuhan Acropora
nobilis selama 10 bulan mencapai 63,77 mm untuk lebar dan 55,32 mm untuk
tinggi, untuk laju pertumbuhan Acropora nobilis yaitu sebesar 6,38 mm/bulan
untuk pertumbuhan lebar dan 5,53 mm/bulan untuk pertumbuhan tinggi. Tingkat
pencapaian pertumbuhan Montipora nobilis selama 10 bulan mencapai 37 mm
untuk pertumbuhan lebar dan 26,57 mm untuk pertumbuhan tinggi, untuk laju
pertumbuhan Montipora altasepta adalah sebesar 3,70 mm/bulan untuk
pertumbuhan lebar dan 2,66 mm/bulan untuk pertumbuhan tinggi.
Tingkat kelangsungan hidup hingga akhir pengamatan oleh karang jenis
Acropora nobilis adalah 81,48% sedangkan untuk Montipora altasepta adalah
60%. Berdasarkan kondisi tersebut tingkat keberhasilan transplantasi dapat
dikatakan berhasil.
5.2. Saran
Ada beberapa hal yang harus lebih diperhatikan apabila dilakukan
penelitian lainnya di bidang transplantasi karang kedepannya agar lebih optimal,
yaitu :
1. Perlu dilakukan pengamatan dalam selang waktu yang konstan untuk kedua
jenis karang tersebut sehingga dapat diketahui pertumbuhan dalam setiap
pengambilan data secara tepat.
2. Perlu adanya perlakuan pembersihan fragmen karang dari gangguan alga
HIDUP KARANG
Acropora nobilis,
DAN
Montipora altasepta,
HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU KARYA,
KEPULAUAN SERIBU
Linggom Sahat Martua Simanjuntak C24070007
SKRIPSI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul :
Laju Pertumbuhan dan Tingkat Kelangsungan Hidup Acropora nobilis dan
Montipora altasepta, Hasil Transplantasi di Pulau Karya, Kepulauan Seribu
Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Mei 2012
Linggom Sahat Martua Simanjuntak
RINGKASAN
Linggom Sahat Martua Simanjuntak. Laju Pertumbuhan dan Tingkat Kelangsungan Hidup Karang Acropora nobilis dan Montipora altasepta, Hasil Transplantasi di Pulau Karya, Kepulauan Seribu. Dibawah bimbingan Ario Damar dan Beginer Subhan.
Pulau Karya merupakan salah satu pulau yang terdapat di Kepulauan Seribu. Pulau Karya berada di Kelurahan Panggang Kecamatan Kepulauan Seribu yang memiliki luas lahan sebesar ± 6 Ha, dan pulau ini tidak diperuntukkan untuk pemukiman. Penelitian yang berlokasi di Pulau Karya ini bertujuan untuk mengetahui laju pertumbuhan karang dan tingkat keberhasilan transplantasi karang jenis Acropora nobilis dan Montipora altasepta.
Pengamatan terhadap pertumbuhan dan parameter kualitas perairan dilakukan sebanyak empat kali pengamatan selama 10 bulan. Pengamatan dilakukan pada bulan September 2010, Januari 2011, Maret 2011, dan Juli 2011. Analisis data pertumbuhan dianalisis dengan menggunakan software Microsoft Excel 2007, sedangkan analisis kualitas perairan dilakukan di Laboratorium Produktivitas Lingkungan Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan IPB. Metode transplantasi yang digunakan pada penelitian ini menggunakan metode transplantasi penempelan fragmen karang pada media semen.
LAJU PERTUMBUHAN DAN TINGKAT KELANGSUNGAN
HIDUP KARANG
Acropora nobilis,
DAN
Montipora altasepta
HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU KARYA,
KEPULAUAN SERIBU
Linggom Sahat Martua Simanjuntak C24070007
SKRIPSI
Sebagai Satu Syarat Untuk Meperoleh Gelar Sarjana Perikanan Pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PENGESAHAN SKRIPSI
Judul : Laju Pertumbuhan dan Tingkat Kelangsungan Hidup Karang Acropora nobilis dan Montipora altasepta, Hasil Transplantasi di Pulau Karya, Kepulauan Seribu
Nama Mahasiswa : Linggom Sahat Martua Simanjuntak
Nomor Pokok : C24070007
Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan
Menyetujui :
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ir. Ario Damar, M.Si Beginer Subhan, S.Pi. M.Si.
NIP 19660428 199002 1 001 NIP 19800118 200501 1 003
Mengetahui :
Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP 19660728 199103 1 002
PRAKATA
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan kasih, berkat,
dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini
berjudul “Laju Pertumbuhan dan Tingkat Kelangsungan Hidup Karang
Acropora nobilis dan Montipora altasepta, Hasil Transplantasi di Pulau
Karya, Kepulauan Seribu” diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Terima kasih saya ucapkan sedalam-dalamnya kepada Dr. Ir. Ario Damar,
M.Si selaku dosen pembimbing pertama dan Beginer Subhan, S.Pi. M.Si selaku
pembimbing kedua yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, serta
arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
demi perbaikan penulis di masa yang akan datang. Semoga hasil penelitian ini
dapat bermanfaat baik bagi penulis maupun bagi berbagai pihak lainnya.
Bogor, Mei 2012
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada:
1. Dr. Ir. Ario Damar, M.Si. dan Beginer Subhan, S.Pi. M.Si, masing-masing
selaku ketua dan anggota komisi pembimbing skripsi yang telah banyak
membantu memberi arahan dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.
2. PKSPL-IPB dan PT. CNOOC yang telah mendanai penelitian ini, kepada Dr.
Ir. Ario Damar, M. Si selaku koordinator dan Beginer Subhan, S. Pi. M. Si
selaku peneliti dan subkoordinator penelitian “Rehabilitasi Ekosistem
Terumbu Karang dan Sumberdaya Air Kepulauan Seribu”.
3. Para staf Tata Usaha MSP, terutama Mbak Widar dan Mbak Maria atas
arahan dan kesabarannya.
4. Keluargaku tercinta, Bapak, Mama, Opung, Bou Butet, serta adik-adikku
Roy, Chandra, dan Liroca yang selalu menjadi penyemangat di sepanjang
waktu. Terima kasih atas segala doa, kasih sayang, dukungan dan motivasi
yang tak henti-hentinya kalian berikan.
5. Tim Ikan dan Karang (Dani, Muhidin, Mutty, Adit, Eko dan Arief) atas
perjuangan, suka duka, kerjasama dan semangatnya.
6. Teman-teman MSP’44. Terima kasih untuk segala kebersamaan, dukungan,
dan semangat kalian. Friendship never end. Keep solid.
7. Fisheries Diving Club (FDC) yang telah memberikan ilmu penyelaman,
terumbu karang, rescue, dan banyak pengalaman serta pelajaran berharga.
8. Teman-teman diklat 26 dan 27 (Mumu, Arif, Eko, Dani, Una, Upie, Ade,
Hikmah, Gufron, Dewa), terima kasih atas semua tawa dan keringat yang
telah diperjuangkan.
9. Sahabat-sahabat terbaik, Kristian Immanuel Hutagalung, Yafet Eleanor,
Marthin Alexander Politon, Annisa N Suherman, Armaya Sevtian, Dessy
Emalia. Terima kasih atas segala doa, semangat, dan pertemanan yang indah
ini.
10. Saputri Handayani, S.Pi atas kasih sayang, cinta kasih, motivasi yang selama
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan, pada tanggal 15 April 1989 dari
pasangan bapak Dimpos Simanjuntak dan Kordia Sinaga.
Penulis adalah anak pertama dari 4 bersaudara. Pendidikan
formal penulis tempuh di SD Padamu Negeri Medan (2001),
SLTP Negeri 4 Medan (2004) dan SMA Katolik Cinta Kasih
(2007). Pada tahun 2007 penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor
melalui jalur USMI di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Selama menempuh pendidikan sarjana di IPB penulis berkesempatan
menjadi Asisten Mata Kuliah Metode Observasi Bawah Air (2009), aktif sebagai
pengurus Fisheries Diving Club (FDC-IPB) pada tahun 2010-2011 sebagai divisi
Pendidikan dan Latihan.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi
yang berjudul “Laju Pertumbuhan dan Tingkat Kelangsungan Hidup Karang
Acropora nobilis dan Montipora altasepta, Hasil Transplantasi di Pulau
DAFTAR ISI
4.2. Tingkat Pencapaian Pertumbuhan dan Laju Pertumbuhan4.3. Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate) ... 29
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ... 33 5.2. Saran ... 33
DAFTAR PUSTAKA ... 35
xii
Halaman
1. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian... 15
2. Parameter fisika dan kimia yang diamati serta alat yang digunakan ... 15
3. Parameter fisika-kimia perairan di area transplantasi karang Pulau Karya ... 19
4. Tingkat pencapaian pertumbuhan Acropora nobilis dan Montipora altasepta 22
xiii
H alaman
1. Peta lokasi penelitian Pulau Karya... 14
2. Konstruksi modul serta fragmen karang transplantasi ... 16
3. Contoh fragmen transplantasi karang genus Acropora nobilis dan
Montipora altasepta ... 16
4. Tingkat pencapaian pertumbuhan karang jenis Acropora nobilis dan
Montipora altasepta selama pengamatan (September 2010-Juli 2011)... 23
5. Laju pertumbuhan Acropora nobilis ... 25
6. Laju pertumbuhan Montipora altasepta ... 26
7. Tingkat kelangsungan hidup Acropora nobilis dan Montipora altasepta ... 30
8. Gambar fragmen karang yang lepas ... 31
xiv
Halaman
1. Data pertumbuhan lebar fragmen karang jenis Acropora nobilis ... 40
2. Data pertumbuhan tinggi fragmen jenis Acropora nobilis... 41
3. Data pertumbuhan lebar fragmen karang jenis Montipora altasepta ... 42
4. Data pertumbuhan tinggi fragmen jenis Montipora altasepta ... 42
5. Alat-alat yang digunakan ... 43