• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Komposisi Minyak Atsiri Fuli dan Biji Pala Papua (Myristica argentea Warb) dengan GC-MS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Komposisi Minyak Atsiri Fuli dan Biji Pala Papua (Myristica argentea Warb) dengan GC-MS"

Copied!
207
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KOMPOSISI MINYAK ATSIRI FULI DAN BIJI PALA

PAPUA (

Myristica argentea

Warb) DENGAN GC-MS

SKRIPSI

DENIS MUDLOFAR

F24080092

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ANALYSIS OF ESSENTIAL OIL COMPOSITION OF SEED AND

MACE OF PAPUAN NUTMEG (

Myristica argentea

Warb)

WITH GC-MS

Denis Mudlofar,Budiatman Satiawihardja, and Dias Indrasti

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agicultural Technology, Bogor Agicultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia

Phone:+6285769924245, e-mail: denismudlofar@gmail.com

ABSTRACT

Papuan nutmeg (Myristica argentea Warb) is native to Papua Island that has been an export commodity but has not been diversified into various products optimally. Seed and mace of Nutmeg are exported in the whole form. This research aim to analyze essential oil composition of seed and mace of Papuan nutmeg. However, moisture and fat content were also analyzed since they were major components in nutmeg. Moisture content was analyzed by azeotropic distillation method and fat content was analyzed by Soxhlet’s method. Essential oil was extracted using Likens-Nickerson method (Simultaneous Distillation Extraction). The results showed that moisture content of M argentea Warb at the age of four month were 74.84 % and 26.71 % in seed and mace, respectively. Moisture content of M argentea Warb at the age of eight month were 19.25 % and 19.30 % in seed and mace, respectively. Fat content of M argentea Warb at the age of four month were 19.83 % and 27.31 % in seed and mace respectively. Fat content of M argentea Warb at the age of eight month were 23.47 % and 21.08 % in seed and mace, respectively. The essential oil of M argentea Warb at the age of four month were 9.22 % and 6.78 % in seed and mace respectively, while at the age of eight month were 3.04 % and 3.33 % in seed and mace respectively.

The GC-MS (Gas chromatogaphy–mass spectrometry) result showed that the essential oil of Myristica argentea Warb taken from mace at the age of four month consist of 6 major components namely safrol (35.27 %), sabinen (31.29 %), beta.-phellandrene (16.24 %), terpene-4-ol (4.53 %), 1R-.alpha.-pinene (1.76 %), and beta.-myrcene (1.53 %). The mace at the age of eight month had same major components namely safrol (35.29 %), sabinen (35.09 %), beta.-phellandrene (16.58%), terpene-4-ol (2.16 %), 1R-.alpha.-pinene (1.83 %), and beta.-Myrcene (1.75 %). On the other hand, the essential oil of myristica argentea Warb extracted from seed at the age of four month consist of 6 major components namely 2-thujene (54.13 %), safrol (21.44 %), phellandrene (10.59 %), beta.-myrcene (3.58 %), 1R-.alpha.-pinene (1.54 %), and terpene-4-ol (2.13 %). The seed at the age of eight month have same major component those were 2-thujene (60.91 %), safrol (16.25 %), beta.-phellandrene (11.22 %), beta.-myrcene (3.99 %), 1R-.alpha.-pinene (1.83 %), and terpene-4-ol (0.91 %). It could be concluded the chemical component composition between of age of pala were not significantly different.

The essential oil of seed and mace consists of high hydrocarbons without oxygen (50-80 %). It could be developed as flavoring agent. In addition, the essential oil of mace also consists of hydrocarbons with oxygen (39-42 %). It could be used as medicine.

(3)

Denis Mudlofar. F24080092. Analisis Komposisi Minyak Atsiri Fuli dan Biji Pala Papua (Myristica argentea Warb) dengan GC-MS. Di bawah bimbingan Budiatman Satiawihardja dan Dias Indrasti. 2012

RINGKASAN

Pala sebagai komoditi perdagangan internasional berkembang sangat cepat dengan nilai yang sangat besar. Salah satu jenis pala komoditi ekspor yang belum dimanfaatkan secara optimal adalah pala papua (Myristica argentea Warb). Penghasil pala papua dengan jumlah terbanyak adalah daerah Fakfak, Papua Barat. Disana, biji dan fuli pala papua hanya diekspor dalam bentuk utuh, sedangkan daging buah pala dimanfatkan menjadi produk makanan seperti sari pala dan selai. Padahal biji dan fuli pala papua mengandung minyak atsiri yang bisa dimanfaatkan lebih lanjut jika diketahui komponen yang ada pada biji dan fulinya. Setiap minyak atsiri memiliki komponen kimia yang berbeda. Mengetahui karakter dan sifat dari pala papua, terutama komponen volatil dari biji dan fuli pala, sangat penting untuk menentukan kebijakan pengembangan dan budidaya tanaman pala serta diversifikasi pengolahan pala sehingga memberikan nilai tambah pada petani. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi ilmiah tentang minyak atsiri fuli dan biji pala papua dan juga mempelajari potensi yang dimiliki oleh pala papua sebagai bahan formulasi flavor, fragance, kosmetik maupun keperluan lainnya sehingga tumbuhan asli Indonesia ini dapat lebih dimanfaatkan.

Analisis awal biji dan fuli pala papua berupa pengamatan fsik, kadar lemak, dan kadar air. Kemudian sampel diekstraksi menggunakan metode Likens-Nickerson (Simultaneous Distillation Extraction). Metode ini merupakan metode yang sering digunakan dalam analisis komponen flavor. Setelah didapatkan minyak atsiri pala, kemudian dianalisis komponennya menggunakan Gas Chromatoghrapy-Mass Spectrometry (GC-MS).

Hasil analisis kadar air dan kadar lemak menunjukkan bahwa pala umur empat dan delapan bulan memiliki kadar air biji berturut-turut sebesar 74.84% dan 19.25 %, sedangkan kadar lemak sebesar 19.83 % dan 23.47 %. Fuli pala papua umur empat dan delapan bulan memiliki kadar air berturut-turut sebesar 26.71 % dan 19.30 %, sedangkan kadar lemak sebesar 27.32 % dan 21.08 %. Hasil destilasi minyak atsiri menunjukkan kadar minyak atsiri paling banyak terdapat pada biji dan fuli umur empat bulan yaitu berturut-turut 9.22 % dan 6.78 %. Sedangkan pala umur delapan bulan dihasilkan minyak atsiri fuli 3.33 % dan biji 3.04 %. Berdasarkan data diatas, ekstraksi komersial minyak atsiri pala papua sebaiknya dilakukan pada biji dan fuli umur empat bulan.

(4)

(21.44 %), beta.-phellandrene (10.59 %), beta.-myrcene (3.58 %), 1R-.alpha.-pinene (1.54 %), dan terpene-4-ol (2.13 %). Sedangkan biji pala papua umur delapan bulan memiliki komponen mayor berupa 2-thujene (60.91 %), safrol (16.25 %), beta.-phellandrene (11.22 %), beta.-myrcene (3.99 %), 1R-.alpha.-pinene (1.83 %), dan terpene-4-ol (0.91 %).

(5)

ANALISIS KOMPOSISI MINYAK ATSIRI FULI DAN BIJI PALA

PAPUA (

Myristica argentea

Warb) DENGAN GC-MS

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh:

DENIS MUDLOFAR

F24080092

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Skripsi :

Analisis Komposisi Minyak Atsiri Fuli dan Biji Pala Papua

(

Myristica argentea

Warb) dengan GC-MS

Nama

:

Denis Mudlofar

NIM

:

F24080092

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Dr

.

Ir

.

Budiatman Satiawihardja, M.Sc) (Dias Indrasti, STP. M.Sc)

NIP 19530815 197903 1 002

NIP 19820308 200501 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc.)

NIP 19680526 199303 1 004

(7)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Analisis Komposisi Minyak Atsiri Fuli dan Biji Pala Papua (Myristica Argentea Warb) dengan GC-MS adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 28 Juli 2012 Yang membuat pernyataan,

(8)

© Hak cipta milik Denis Mudlofar, tahun 2012 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

(9)

BIODATA PENULIS

Penulis dengan nama lengkap Denis Mudlofar, lahir pada tanggal 13 Desember 1989 di Desa Rajabasa Lama, Lampung Timur. Penulis adalah anak kelima dari pasangan Bapak Muchidun dan Ibu Uhtiatun. Penulis menempuh pendidikan di SD Negeri 1 Rajabasa Lama pada tahun 1996-2002, pendidikan sekolah menengah pertama di SMP Negeri 1 Labuhan Ratu pada tahun 2002-2005, dan pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas di SMU Negeri 1 Way Jepara pada tahun 2005-2008. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian yang diterima melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Selama kuliah di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, penulis terlibat dalam organisasi Forum Bina Islami (FBI) Fateta sebagai ketua pada tahun 2011. Selain itu, penulis juga terlibat dalam Paguyuban Karya Salemba Empat (KSE) IPB menjabat sebagai ketua program RUSA (Rumah Sahabat) pada tahun 2011/2012. Penulis juga aktif dalam beberapa kegiatan kepanitiaan seperti Pelatihan Sistem Manajeman Pangan Halal (PLASMA) 2010, tatap muka penerima beasiswa KSE IPB 2011.

(10)

iv

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah analisis komposisi atsiri dengan judul “Analisis Komposisi Minyak Atsiri Fuli dan Biji Pala Papua (Myristica argentea Warb) dengan GC-MS”.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orang tua penulis (Uhtiatun dan Muchidun) yang sudah memberi dukungan, semangat, dan doa bagi penulis.

2. Bapak Dr. Ir. Budiatman Satiawihardja, M.Sc sebagai dosen pembimbing I, atas segala bimbingan, nasehat, dan arahan yang telah diberikan kepada penulis selama perkuliahan serta dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan.

3. Ibu Dias Indrasti, STP. M.Sc sebagai dosen pembimbing II atas segala bimbingan, nasehat, dan arahan yang telah diberikan kepada penulis selama pelaksanaan penelitian dan penulisan. 4. PT. Indofood Sukses Makmur melalui Yayasan Karya Salemba Empat yang telah

memberikan beasiswa kepada penulis selama menempuh kuliah hingga tugas akhir.

5. Bapak Faleh Setia Budi, ST., MT sebagai dosen penguji atas kesediaannya menjadi dosen penguji dan atas saran serta masukannya kepada penulis.

6. Bapak Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr yang telah memberi kesempatan dan dukungan untuk menjadi tim dalam penelitian pala papua.

7. Saudara Penulis: Kangmat, Mbak Roroh, Mas Agus, Mbak Resti, Neti, Nita, Azis, dan seluruh keluarga besar penulis yang sudah memberi dukungan dan doa.

8. Dosen-dosen, staf, dan karyawan di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memberikan banyak ilmu yang berguna bagi penulis.

9. Mbak Desi selaku teknisi di Balai Padi Sukamandi, Bapak Taufiq selaku teknisi di Laboratorium Biokimia PAU, dan Bapak Sobirin selaku teknisi Laboratorium Analisis Pangan yang sudah mendampingi, membantu, dan mengarahkan penulis dalam penelitian ini. 10. Petugas teknisi dan laboran Departemen ITP: Pak Wahid, Pak Gatot, Pak Rojak, Pak Sidik, Bu Rubiah, Pak Yahya, Pak Koko, Pak Taufik, terima kasih atas bantuan, saran, dan kerja samanya selama penelitian.

11. M Hasrul Vitor selaku teman satu tim pala papua yang sudah membantu dan memberi dukungan dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

12. Sahabat-sahabatku: M Iqbal, Ardy, Dio, Mustain, Suba, Irfan, Karno, Yuli, Ivan, Iin, Arum, Eka, Atikah, Bangun, Anik, Ical, Dody, sofian, Oktan, Zico, dan temen-temen ITP 45 lainnya, atas persahabatannya yang indah dan akrab selama ini.

13. Keluarga besar Al-izzah: Ahmad, Didik, Gagah, Iga, Fuad, Aep, Tendi, Anang, Udin, Robi, Wahyu, Subro, Faizul, Zainal, Satrio, Akbar, Gigih, Yanu, dan semua teman-teman kosan Alizah A atas dukungan dan bantuannya.

14. Teman-teman pengurus Paguyuban KSE IPB: Rizki, Rima, Erna, Hendra, Rendi, Sobich, Junda, Icha, terimakasih atas dukungannya.

15. Teman-teman RUSA: Mbak Mumun, Dias, Arlin, Wihdah, Vini, Dewi, Fajar, terimakasih atas dukungannya.

(11)

v

17. Seluruh mahasiswa ITP angkatan 44, 43, dan 46 atas segala dukungan dan kerjasamanya. 18. Dan semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan selanjutnya. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca dan menjadi amal shalih bagi penulis

Bogor, 15 Juni 2012 Penulis,

(12)

vi

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR……….. iv

DAFTAR ISI………. ……... vi

DAFTAR TABEL………... viii

DAFTAR GAMBAR………..………. . ix

DAFTAR LAMPIRAN………. x

I.

PENDAHULUAN………...……….. 1

A.

LATAR BELAKANG………. 1

B.

TUJUAN………...………... 2

C.

MANFAAT………...………….. 2

II.

TINJAUAN PUSTAKA………...……. 3

A.

PALA PAPUA………..………... 3

1.

Botani Pala Papua………...………... 3

2.

Komposisi Fisik dan Kimia………... 4

B.

MINYAK ATSIRI PALA……….…….. 5

1.

Komponen Minyak Atsiri Pala………...…………... 6

2.

Kegunaan Minyak Atsiri Pala………...……… 7

C.

METODE EKSTRAKSI MINYAK ATSIRI……….……. 8

1.

Penyulingan (Guenther 2006)………..………. 8

a.

Penyulingan dengan Air (

Water Distillation

)………. 8

b.

Penyulingan dengan Air dan Uap (

Water and Steam Distillation

)…….. 8

c.

Penyulingan Uap Langsung (

Steam Distillation

)……… 9

2.

Enfleurasi………..….9

3.

Ekstraksi Dengan Pelarut Menguap (Guenther 2006)………... 10

4.

Maserasi……….……… 10

5. Destilasi Metode Likens-Nickerson (

Simultaneous Distillation Extraction

)

(Self 2005)………. 10

D.

GAS CROMATOGAPHY-MASS SPECTROMETRY

(GC-MS)………...… 12

III.

METODE PENELITIAN………..…. 14

A.

WAKTU DAN TEMPAT……….... 14

B.

BAHAN DAN ALAT………... 14

C.

METODE……….… 14

D.

PROSEDUR ANALISIS………. 15

1.

Analisis Kadar Air Metode destilasi Azeotropik (SNI 01-3181-1992

yang termodifikasi diacu dalam Faridah

et.al

2010)………. 15

2.

Analisis Kadar Lemak Metode Soxhlet (AOAC 1995)………. 16

3.

Destilasi Minyak Atsiri dengan Menggunakan Metode Likens-Nickerson

Simultaneous Distillation Extraction

)………... 17

4.

Analisis Komposisi Minyak Atsiri Menggunakan GC-MS………... 18

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN………. 20

(13)

vii

B.

KADAR AIR………... 21

C.

KADAR LEMAK……… 22

D.

EKSTRAKSI MINYAK ATSIRI……… 23

E.

KOMPONEN MINYAK ATSIRI………... 24

F.

ARAH PENGEMBANGAN MINYAK ATSIRI PALA PAPUA……….. 29

V.

KESIMPULAN DAN SARAN………. 35

A.

KESIMPULAN……… 35

B.

SARAN……… 35

DAFTAR PUSTAKA……… 36

(14)

viii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Persentase berat bagian-bagian buah pala banda (Rismunandar 1992)….. 5

Tabel 2. Karakteristik minyak atsiri biji dan fuli pala banda*……….. 7

Tabel 3. Titik didih dan polaritas pelarut organik (Mukhopadhyay 2002)………… 12

Tabel 4. Perbandingan fisik buah pala papua umur empat dan delapan bulan……. 20

Tabel 5. Persentasi berat dari bagian-bagian buah pala papua……….. 20

Tabel 6. Hasil analisis kadar air metode azeotropik (basis basah)……… 21

Tabel 7. Hasil analisis kadar lemak metode Soxhlet………. 22

Tabel 8. Hasil pekatan destilasi minyak atsiri pala papua dengan metode Liken-

Nickerson………. 24

Tabel 9. Komponen atsiri fuli dan biji pala papua umur empat dan delapan bulan.. 25

Tabel 10. Komponen mayor pada minyak atsiri fuli pala papua………. 28

Tabel 11. Komponen mayor pada minyak atsiri biji pala papua………... 28

Tabel 12. Karakter senyawa safrol (Parry 2007)………... 30

Tabel 13. Karakter senyawa sabinen dan

thujene

(Parry 2007)……… 30

Tabel 14. Karakter senyawa

phellandrene

(Parry 2007)……….. 31

Tabel 15. Karakter senyawa beta-mirsen (Parry 2007)………. 31

Tabel 16. Karakter senyawa alfa-pinen (Parry 2007)……… 31

Tabel 17. Karakter senyawa terpeneol (Parry 2007)………. 32

Tabel 18. Karakter senyawa eugenol,

myristicin

, kopaena, elimicin, dan alfa-

fernesena (Parry 2007)……….. 32

(15)

ix

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Bagian-bagian buah pala………. 4

Gambar 2. Penyulingan dengan uap dan air……….. 8

Gambar 3. Skema alat penyulingan dengan uap dengan boiler lorong api………… 9

Gambar 4. Alat ekstraksi Likens–Nickerson

simultaneous steam distillation–

extraction

……….. 11

Gambar 5. Diagram alir tahapan penelitian………... 14

Gambar 6. Diagram alir analisis kadar air metode destilasi azeotropik……… 15

Gambar 7. Diagram alir analisis kadar lemak metode Soxhlet………. 16

Gambar 8. Diagram alir ekstraksi minyak atsiri dengan SDE Liken-Nickerson….. 17

Gambar 9. Diagram alir penentuan senyawa dalam minyak atsiri pala papua…….. 19

Gambar 10. a. buah pala papua (

Myristica argentea

Warb)

b. buah pala banda (

Myristica fragrans

Houtt)………... 21

Gambar 11. Struktur molekul

2-thujene

dan sabinen ……….. 26

Gambar 12. Kromatogram minyak atsiri fuli dan biji pala papua…. ………... 27

Gambar 13. Struktur molekul komponen mayor pada minyak atsiri biji dan fuli

pala papua………. 29

(16)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Data penentuan Faktor Destilasi (FD)……… 39

Lampiran 2. Data analisis kadar air metode azeotropik………

40

Lampiran 3. Data analisis kadar lemak metode Soxhlet……… 41

Lampiran 4. Data ekstraksi minyak atsiri……….. 42

Lampiran 5. Dokumentasi buah, biji dan fuli pala papua umur delapan dan empat

bulan……… 43

Lampiran 6. Dokumentasi peralatan yang digunakan ……… 44

Lampiran 7a. Kromatogram minyak atsiri biji umur 4 bulan ulangan 1……….

45

Lampiran 7b. Kromatogram minyak atsiri biji umur 4 bulan ulangan 2…. ……... 46

Lampiran 7c. Kromatogram minyak atsiri biji umur 8 bulan ulangan 1…. ……... 47

Lampiran 7d. Kromatogram minyak atsiri biji umur 8 bulan ulangan 2………

48

Lampiran 7e. Kromatogram minyak atsiri fuli umur 4 bulan ulangan 1………

49

Lampiran 7f. Kromatogram minyak atsiri fuli umur 4 bulan ulangan 2……….

50

Lampiran 7g. Kromatogram minyak atsiri fuli umur 8 bulan ulangan 1……….

51

Lampiran 7h. Kromatogram minyak atsiri fuli umur 8 bulan ulangan 2………

52

Lampiran 8a. Senyawa-senyawa atsiri biji umur 4 bulan ulangan 1 hasil

identifikasi menggunakan NIST Library……… 53

Lampiran 8b. Senyawa-senyawa atsiri biji umur 4 bulan ulangan 2 hasil

identifikasi menggunakan NIST Library………... 58

Lampiran 8c. Senyawa-senyawa atsiri biji umur 8 bulan ulangan 1hasil

identifikasi menggunakan NIST Library………... 62

Lampiran 8d. Senyawa-senyawa atsiri biji umur 8 bulan ulangan 2 hasil

identifikasi menggunakan NIST Library….………... 66

Lampiran 8e. Senyawa-senyawa atsiri fuli umur 4 bulan ulangan 1 hasil

identifikasi menggunakan NIST Library……….. 70

Lampiran 8f. Senyawa-senyawa atsiri fuli umur 4 bulan ulangan 2 hasil

identifikasi menggunakan NIST Library………..……….. 75

Lampiran 8g. Senyawa-senyawa atsiri fuli umur 8 bulan ulangan 1hasil

identifikasi menggunakan NIST Library………..……….. 80

Lampiran 8h. Senyawa-senyawa atsiri fuli umur 8 bulan ulangan 2 hasil

identifikasi menggunakan NIST Library…..……….. 85

(17)

I.

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Pala adalah tumbuhan dari suku Myristica (Myristicaceae) yang terdiri atas 15 genus dan 250 spesies (Rismunandar 1992). Pala merupakan salah satu komoditi pertanian yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Setiap bagian dari tanaman dapat dimanfaatkan dalam berbagai industri. Biji, fuli, dan buah dari pala merupakan bagian yang paling banyak dimanfaatkan dalam industri makanan dan minuman. Sedangkan minyak atsiri yang berasal dari biji dan fuli pala banyak digunakan dalam industri obat-obatan, parfum, kosmetik dan flavor.

Indonesia merupakan negara pengekspor biji pala.Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistika (BPS) tahun 2010, terlihat bahwa ekspor pala dari Indonesia mencapai volume hingga 65.832.942 kg. Ekspor ini menembus angka US$ 11.539.810 sebagai nilai penjualan ekspor pala. Namun data BPS (2010) juga memperlihatkan bahwa pala yang diekspor masih dalam bentuk biji dengan batok (nutmeg in shell), biji tanpa batok (nutmeg, shelled), dan fuli (mace). Ekspor terbesar adalah dalam bentuk biji tanpa batok (nutmeg, shelled) sebesar 33.526.123 kg atau senilai US$ 7.155.633. Padahal nilai jual biji pala dapat bertambah bila diekspor dalam bentuk produk yang sudah diolah seperti minyak atsiri pala.

Perkembangan perdagangan internasional pada bahan-bahan hasil flora (tumbuhan) termasuk minyak atsiri berkembang sangat cepat dengan nilai yang sangat besar (Apriantono 2007). Industri pengguna minyak atsiri terbesar adalah industri flavor dan fragance yang nilai perdagangan globalnya diperkirakan sebesar US$ 18 milyar dan nilai impor Indonesia diperkirakan sebesar US$ 400-500 juta (Gunawan 2009). Dengan semakin berkembangnya industri pengolahan makanan, minuman, obat-obatan, parfum, kosmetika, aroma terapi, dan lain-lain, kebutuhan minyak atsiri akan semakin besar, baik volume maupun jenisnya. Untuk itu, pala sebagai salah satu sumber minyak atsiri memiliki peluang untuk dapat dimanfaatkan sebagai penambah devisa negara.

Di antara jenis pala yang tersebar di Indonesia, jenis yang paling terkenal dan banyak digunakan adalah pala banda (M. fragrans), sedangkan pala jenis lain masih kurang dikembangkan. Salah satu jenis pala yang belum dikembangkan secara optimal adalah pala papua (Myristica argentea Warb). Fakfak merupakan daerah penghasil pala papua terbesar. Disana daging buah pala dimanfatkan menjadi produk makanan seperti sari pala dan selai. Biji dan fuli pala papua diekspor dalam bentuk utuh. Padahal biji dan fuli pala papua mampu dimanfaatkan lebih lanjut dengan mengetahui komponen yang ada pada biji dan fuli pala papua.

Menurut Agusta (2000) setiap minyak atsiri memiliki komponen kimia yang berbeda. Pengetahuan mengenai karakter dan sifat dari pala papua, terutama komponen volatil dari biji dan fuli pala sangat penting untuk menentukan kebijakan pengembangan, budidaya, serta diversifikasi pengolahan pala. Hal ini akan memberikan nilai tambah pada petani.

(18)

2

B.

TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi ilmiah tentang minyak atsiri fuli dan biji pala papua (Myristica argentea Warb) dan juga mempelajari potensi yang dimiliki oleh pala papua sebagai bahan formulasi flavor, fragance, kosmetik, maupun keperluan lainnya. Sehingga tumbuhan asli Indonesia ini dapat lebih dimanfaatkan.

C.

MANFAAT

(19)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

PALA PAPUA

1.

Botani Pala Papua

Pala merupakan tanaman daerah tropis yang termasuk dalam kelas Angiospermae, subkelas Dicotyledonae, ordo Ranales, family Myristiceae serta Myristica. Tanaman ini terdiri dari 15 genus dan 250 species. Seluruh spesiesnya tersebar di daerah tropis. Dari 15 genus, 5 genus terdapat di daerah tropis Amerika, 6 genus di daerah tropis Afrika, dan 4 genus di daerah tropis Asia (Rismunandar 1992). Salah satu jenis pala yang ada di Indonesia adalah Pala papua. Pala ini memiliki nama latin Myristica argentea Warb. Pala papua adalah jenis pala yang khas Irian Jaya dengan nama daerahnya “henggi” atau “saya”. Di daerah jawa, pala ini sering disebut “pala lelaki”. Pala ini memiliki buah lonjong, begitu juga dengan bentuk bijinya (Rismunandar 1992).

Pengolahan fuli dan buah pala papua tidak berbeda dengan pala banda (M. fragrans). Fulinya kurang mengandung minyak atsiri, hanya 6.5%, kualitas dan baunya tidak sebaik fuli banda, namun aromanya cukup menarik. Hingga saat ini masih dapat dinyatakan sebagai rempah-rempah yang diakui dalam pasaran dunia internasional (Rismunandar 1992).

Tanaman pala secara umum (termasuk pala papua) memiliki lingkungan hidup yang sama. Pala dapat tumbuh baik pada tanah dengan struktur gembur dan penuh humus, derajat keasaman tanah 5.5-6.5, pada dataran rendah hingga ketinggian ± 700 m dari permukaan laut, dengan curah hujan antara 2000-3000 mm/tahun. Di sekitar Teluk Bintuni, pala papua (Myristica argentea Warb) tumbuh sebagai tanaman liar di hutan-hutan. Banyak tumbuh dilereng-lereng gunung dengan ketinggian dibawah 700 meter dari permukaan laut. Walaupun demikian, ada juga penduduk asli yang memelihara pala ini sebagai tanaman peliharaan dipekarangan rumah (Rismunandar 1992).

Tanaman pala merupakan tanaman berumah dua (deoceous) yang berarti bunga jantan dan betina tidak terletak pada satu pohon. Ada juga pohon yang berkelamin dua atau hermafrodit, namun jarang sekali terjadi. Tanaman pala mulai berbunga setelah berumur 6-10 tahun tergantung dari keadaan tanah dan iklim. Bunganya berwarna pucat, kecil, lunak dan berbau harum serta malai. Malai bunga jantan terdiri dari 1-10 bunga dan malai bunga betina 1-3 bunga. Jangka waktu pertumbuhan buah dari mulai persarian hingga masak petik tidak lebih dari sembilan bulan (Rismunandar 1992). Daun pohon Pala berwarna hijau mengkilat dengan panjang 5 - 15 cm dan lebar 3 - 7 cm serta panjang tangkai daun 0.7 -1.5 cm (Deptan 1986).

Tanaman pala dapat tumbuh dengan tinggi 10-20 meter, mahkota pohon yang bervariasi antara bentuk piramidal (kerucut), lonjong (silindris), dan bulat. Pala mulai berbuah setelah berumur 8-9 tahun, hasil maksimum pada umur 25 tahun, dan dapat bertahan sampai umur 60 tahun. Pohon pala yang telah berumur 10-12 tahun menghasilkan buah sekitar 800-2000 buah per tahun dari 2-3 kali panen (Hadad 2001). Buah pala berbentuk seperti buah pir, ujungnya meruncing, kulitnya licin, berdaging, dan cukup banyak mengandung air (Rismunandar 1992).

(20)

4

1990). Membran pala dapat diambil dan dijemur selama enam sampai delapan minggu sehingga menjadi rempah-rempah bewarna jingga yang disebut mace.

Menurut Hadad (2001), buah pala mempunyai daging buah keras, berwarna keputih-putihan, mengandung getah putih, dan rasanya kelat. Diameter buah pala bervariasi dari 3-9 cm. Bila buah pala masak, daging buahnya akan terbuka sehingga terlihat biji yang berwarna coklat dan tertutup oleh arillus berwarna merah cerah seperti jala berlubang-lubang. Selaput merah ini jika telah kering disebut fuli (mace). Buah pala terdiri atas daging pala (pericarp) dan biji pala yang terdiri atas fuli, tempurung, dan daging biji. Gambar bagian-bagian buah pala dapat dilihat pada Gambar 1.

Buah pala dapat dipanen setelah enam sampai sembilan bulan dari masa pembentukan bunga. Buah pala papua (Myristica argentea Warb) dipanen setiap dua kali dalam setahun, pertama mulai buan Maret hingga Juni, dan kedua pada bulan Oktober hingga Desember. Pemanenan dapat dilakukan dengan menggunakan galah atau menunggu sampai jatuh. Fuli dari buah pala yang belum cukup masak berwarna kuning pucat. Bila dikeringkan, akan mengalami perubahan warna menjadi coklat muda. Fuli yang sudah tua berwarna merah api, apabila dikeringkan akan berwarna merah coklat, dan bila disimpan dalam waktu yang lama akan berubah menjadi kuning tua hingga kuning oranye seperti warna jerami (Rismunandar 1992).

Gambar 1. Bagian-bagian buah pala papua

Fuli yang berasal dari Indonesia (East India) mempunyai aroma yang lebih kuat dan warna yang lebih terang dibanding fuli yang berasal dari Genada (West India). Hal ini disebabkan karena minyak fuli East India mempunyai kandungan safrol dan myristicin yang lebih tinggi dibandingkan minyak pala West India, disamping itu juga terdapat perbedaan komponen penyusun monoterpen. Safrol dan myristicin merupakan senyawa eter aromatis yang menimbulkan flavor yang kuat pada fuli (Purseglove et al. dalam Nurdjannah 2007). Secara langsung biji pala dan fuli dapat dimanfaatkan sebagai bumbu masak dan obat-obatan.

Bagian biji pala berwarna coklat keabuan dengan ukuran panjang sekitar 3 cm dan lebar 2 cm. Biji pala mempunyai cangkang luar yang sangat keras, namun mudah dipecahkan dan dipisahkan. Biji lalu digiling menjadi rempah-rempah yang disebut nutmeg. Bagian pala yang umum digunakan di Indonesia adalah biji pala. Biji pala mempunyai karakteristik rasa pahit, pedas, hangat, dan bau yang manis, menyengat namun hangat (Farrell, 1990).

2.

Komposisi Fisik dan Kimia

Menurut Somaatmadja dalam Nurdjannah (2007), buah pala terdiri atas daging buah (pericarp) dan biji yang terdiri dari fuli, tempurung dan daging biji. Dari buah pala segar dapat

Daging buah Fuli

(21)

5

dihasilkan daging buah sebanyak 83.3%, fuli 3.22 %, tempurung biji 3.94 %, dan daging biji 9.54%.

Purseglove et al. dalam Nurdjannah (2007) mengemukakan perbandingan biji pala kering terhadap fuli kering adalah 20 : 3. Perbandingan berat biji kering dengan fuli dalam praktek rata-rata 4 : 1. Perbandingan berat pala banda (Myristica fragrans Houtt) dari keempat bagian buah pala dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Persentase berat bagian-bagian buah pala banda (Rismunandar 1992)

Komposisi kimia fuli hampir sama dengan biji pala. Berdasarkan analisis proksimat, sebagian besar biji pala dan fuli pala terdiri atas pati, minyak lemak dan ekstrak alkohol. Selain itu biji pala dan fuli juga mengandung minyak atsiri, protein dan mineral-mineral lainnya (Somaatmadja dalam Nurdjannah 2007).

Berdasarkan penelitian Hustiany (1994), daging buah pala (M. fragrans) mengandung 29 komponen volatil dengan 23 komponen yang teridentifikasi dan 6 komponen lainnya yang belum teridentifikasi. Komponen-komponen yang paling banyak terkandung dalam minyak atsiri daging buah pala adalah α-pinen (8.7%), -pinen (6.92%), ∆-3-karen (3.54%), D-limonen (8%), α -terpinen (3.69%), 1,3,8-mentetrien (5.4γ%), -terpinen (4.9%), α-terpineol (11.23%), safrol (2.95%), dan myristisin (23.37%).

Komposisi penyusun minyak atsiri M. fragrans pada fuli terdapat 5 komponen utama yaitu -linalool (10.3%), safrol (1.18%), miristisin (20.05%), isoeugenol (32.80%), dan etil-9-heksa dekanoat (6.56%), serta 8 komponen minor. Biji mempunyai 5 komponen utama yaitu, -terpeneol (40.20%), bergamol (13.40%), miristisin (24.90%), citronelil butirat (8.04%), safrol (7.04%) serta 12 komponen minor (Chairul dan Sulianti 2000).

B.

MINYAK ATSIRI PALA

Minyak atsiri pala atau minyak pala merupakan cairan yang tidak berwarna/warna bening pucat dan jika kontak dengan udara dalam jangka waktu yang lama akan bersifat resin, sehingga minyak akan bersifat lebih kental. Sifat minyak ini tergantung dari asal daerah, jenis tanaman penghasil, umur buah, mutu biji pala dan ”mace” serta metode penyulingan. Oleh karena itu sifat fisik dan kimia minyak pala yang berasal dari Banda dan Pandang berbeda, begitu pula dengan minyak pala dan fuli yang berasal dari east India berbeda dengan minyak pala dan fuli yang berasal dari west India (Ketaren 1985).

Minyak yang berasal dari biji pala mempunyai bau dan flavor yang sama dengan minyak yang berasal dari fuli. Akan tetapi, biaya produksi minyak fuli jauh lebih mahal daripada minyak biji maka minyak atsiri yang berasal dari biji pala yang umum digunakan (Ketaren 1985). Minyak biji pala dan minyak yang berasal dari fuli banyak dipergunakan sebagai flavoring agent pada minuman beberapa jenis bahan pangan seperti biskuit, cake, pudding, makanan yang dipanggang serta makanan dari

Bagian Buah Basah (%) Kering (diangin-anginkan) Daging 77.8 9.93

Fuli 4 2.09

(22)

6

daging dan sosis. Minyak pala juga digunakan dalam industri parfum dan pasta gigi. Dalam bidang farmasi, minyak pala dgunakan sebagai analgesik dan dalam jumlah kecil digunakan dalam industri kosmetik dan sabun (Ketaren 1985).

Pala yang mempunyai mutu terbaik dalam dunia perdagangan adalah pala dari jenis Myristica fragrans. Biji pala yang dimanfaatkan adalah biji pala yang telah masak dan kering, sedangkan bagian fuli adalah arillde yang menutupi kulit biji pala (Ketaren 1985). Minyak atsiri pala banda (M. fragrans) menjadi satu diantara 15 komoditi ekspor yang sudah di produksi secara kontinyu (Gunawan 2009).

Minyak atsiri pala dapat diperoleh dari penyulingan biji pala, sedangkan minyak fuli dari penyulingan fuli pala. Minyak atsiri dari biji pala maupun fuli mempunyai susunan kimiawi dan warna yang sama, yaitu jernih, tidak berwarna hingga kuning pucat. Minyak fuli baunya lebih tajam daripada minyak biji pala. Rendemen minyak biji pala berkisar antara 2–15 % (rata-rata 12 %), sedangkan minyak fuli antara 7-18 % (rata-rata 11 %). Bahan baku biji dan fuli pala yang digunakan biasanya berasal dari biji pala muda dan biji pala tua yang rusak (pecah) (Somaatmaja 1984). Biji pala muda menghasilkan rendemen minyak yang lebih besar dibandingkan dengan biji pala tua. Biji pala menghasilkan minyak atsiri sekitar 7-16%, sedangkan bagian fuli menghasilkan minyak sekitar 4-16% (Ketaren 1985).

Rendemen dan mutu minyak dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat digolongkan menjadi dua yaitu pra panen dan pasca panen. Faktor pra panen meliputi jenis (varietas) tanaman, cara budidaya, waktu dan cara panen. Faktor pasca panen meliputi cara penanganan bahan, cara penyulingan, pengemasan dan transportasi. Biji pala yang akan disuling minyaknya, sebaiknya dipetik pada saat menjelang terbentuknya tempurung yaitu berusia sekitar 4 - 5 bulan. Pada umur tersebut warna fuli masih keputih-putihan dan daging buahnya masih lunak. Fuli yang tua dan sudah merah warnanya, kandungan minyak atsirinya relatif rendah dan dimanfaatkan untuk ekspor (Somaatmaja 1984). Penyulingan dapat dilakukan dengan cara penyulingan uap (kohobasi) pada tekanan rendah, sedangkan penyulingan dengan tekanan tinggi dapat menyebabkan terbawanya minyak lemak sehingga akan menurunkan mutu minyak atsiri (Guenther 2006). Selain mengandung minyak atsiri, biji pala dan fuli mengandung lemak (trigliserida), pati dan serat kasar. Lemak (trigliserida) pala terdiri dari trimiristin, palmitin, olein, dan linelein serta fraksi tidak tersabunkan misalnya miristin (Ketaren 1985).

1.

Komponen Minyak Atsiri Pala

Minyak pala biasa diperoleh dengan cara destilasi uap dari biji atau fuli pala. Minyaknya tidak berwarna atau kuning dengan odor dan rasa seperti pala, tidak larut dalam air, tetapi larut dalam alkohol dan mempunyai bobot jenis pada 25 oC antara 0.859 – 0.924, refraktif indeks pada 20 oC antara 1.470–1.488 dan putaran optik pada 20 oC sekitar +10o-+45o (Marcelle dalan Nurdjannah 2007). Sedangkan karakteristik minyak pala banda dan fuli menurut Furia dan Bellanga dalam Rismunandar (1992) disajikan pada Tabel 2.

(23)

7

Komponen monoterpen hidrokarbon yang merupakan komponen utama minyak pala terdiri atas -pinen (23.9%), α-pinen (17.2%), dan limonen (7.5%). Sedangkan komponen fenolik eter terutama adalah myristicin (16.2%), diikuti safrol (3.9%) dan metil eugenol (1.8%).

Tabel 2. Karakteristik minyak atsiri biji dan fuli pala banda* Karakteristik Minyak Pala Minyak Fuli

India Timur India Barat Bobot Jenis 20o/20o 0.866-0.929 0.883-0.917 0.862-0.882 Indeks refraksi 20o 1.475-1.479 1.474-1.488 1.469-1.480 Putaran optik (-9o)-(+41o) (+20o)-(+30o) (+20o)-(+45o) Kelarutan dalam etanol 90% - 1:3 1:4

*Sumber : (Furia dan Bellanga dalam Rismunandar 1992)

Selanjutnya Dorman et al. (2004) menyatakan terdapat 25 komponen yang teridentifikasi dalam minyak pala banda (sejumlah 92.1% dari total minyak) yang diperoleh dengan cara penyulingan (hydrodistillation) menggunakan sebuah alat penyuling minyak menurut British Pharmacopeia. Pada prinsipnya komponen minyak tersebut teridentifikasi sebagai α-pinen (ββ,0%) dan – pinen (21.5%), sabinen (15.4), myristicin (9.4), dan terpinen-4-ol(5.7). Minyak fuli mengandung lebih banyak myristicin daripada minyak pala. Produksi minyak pala per tahun sekitar 300 ton, produsen utamanya adalah Indonesia dan Sri Lanka, dengan pasar terbesar adalah USA sekitar 75 %. Beberapa minyak pala yang diekspor ke Eropa didestilasi dari pala genada dengan cara penyulingan uap pada umumnya rendemennya sebesar 11 %. Hasil analisis minyak tersebut dengan GC-MS menunjukkan minyak tersebut terdiri dari α-pinen, sabinen, -pinen, myrcen, limonen, α-terpinen dan terpinen–4–ol (Lancashire 2002). Bahkan hasil penelitian baru-baru ini terhadap minyak pala dari St Catherine, Jamaika, dan West Indian lain menunjukkan adanya perbedaan jumlah komponen yang nyata yang dapat digunakan untuk membedakan asal minyak.

2.

Kegunaan Minyak Atsiri Pala

Secara garis besar kegunaan minyak pala adalah sebagai berikut: (1) Zat penyedap (flavoring agent), (2) zat pewangi (fragance), (3) zat pengawet, dan (4) zat penghilang rasa sakit. Industri yang memerlukan penggunaan minyak pala umumnya adalah industri makanan dan minuman, industri kosmetik dan parfum, dan industri farmasi (Asyik 2005).

(24)

8

dalam dosis tertentu myristicin dapat bersifat racun, sehingga penggunaan minyak pala dalam industri makanan dan minuman diperbolehkan dalam jumlah yang terbatas.

Dalam industri kosmetika dan parfum yang memproduksi aneka produk kosmetik dan parfum, sabun, pasta gigi, dan sebagainya, penggunaan minyak pala adalah sebagai zat pewangi (fragances), karena sifat wangi dari minyak pala tidak kalah dengan minyak atsiri yang berasal dari bunga. Pada industri parfum, minyak pala digunakan sebagai bahan pencampur minyak wangi atau eau de cologne dan penyegar ruangan. Minyak pala juga digunakan untuk penyegar pasta gigi bersama dengan minyak permen peppermint oil (Asyik 2005).

C.

METODE EKSTRAKSI MINYAK ATSIRI

1.

Penyulingan (Guenther 2006)

Salah satu cara untuk memproduksi minyak atsiri adalah dengan cara penyulingan. Cara ini yang banyak dilakukan oleh para industri kecil di bidang penyulingan minyak atsiri. Ada beberapa macam proses penyulingan untuk mendapatkan minyak atsiri antara lain:

a.

Penyulingan dengan Air (

Water Distillation

)

Pada metode ini, bahan yang akan disuling kontak langsung dengan air mendidih. Bahan tersebut mengapung diatas air atau terendam secara sempurna tergantung dari bobot jenis dan jumlah bahan yang disuling. Ciri khas dari metode ini adalah kontak langsung antara bahan dan air mendidih. Jenis bahan yang biasa disuling dengan metode ini adalah bahan berbentuk bubuk seperti bubuk buah badam, bunga mawar, dan orange blossom. Bahan tersebut tidak dapat disuling dengan metode uap langsung karena akan melekat dan membentuk gumpalan besar dan kompak sehingga uap tidak dapat berpenetrasi kedalam bahan

.

b.

Penyulingan dengan Air dan Uap (

Water and Steam Distillation

)

Pada metode ini, bahan diletakkan pada rak-rak atau saringan berlubang. Ketel suling diisi dengan air sampai permukaan air tidak jauh dibawah saringan. Air dapat dipanaskan dengan berbagai cara yaitu dengan uap basah dan bertekanan rendah. Selain itu pemanasanya dapat juga menggunakan panas langsung seperti pada pemanasan air. Ciri khas dari metode ini adalah (1) Uap selalu dalam keadaan jenuh dan tidak terlalu panas, (2) Bahan yang disuling hanya berhubungan dengan uap dan tidak dengan atau mengenai air panas, (3) Bahan olah biasanya dari jenis daun, akar, dan batang.

Gambar 2. Penyulingan dengan uap dan air bahan

Uap masuk

(25)

9

c.

Penyulingan Uap Langsung (

Steam Distillation

)

Metode ketiga disebut dengan penyulingan uap atau penyulingan uap langsung. Uap yang digunakan adalah uap jenuh atau uap kelewat panas pada tekanan lebih dari 1 atmosfir. Pembentukan uap yang digunakan untuk memanasi bahan biasanya menggunakan peralatan tersendiri yaitu boiler. Uap dialirkan melalui pipa uap melingkar berpori yang terletak dibawah bahan, kemudian uap bergerak ke atas melewati bahan yang terletak di atas saringan.

Gambar 3. Skema alat penyulingan dengan uap dengan boiler lorong api

2.

Enfleurasi

Metode enfleurasi adalah metode pengambilan minyak atsiri dengan lemak dingin (fase padat) sebagai adsorben. Lemak tersebut digunakan untuk menyerap aroma yang keluar dari sampel. Metode ini sangat cocok untuk ekstraksi minyak atsiri pada bunga. Lemak yang digunakan harus tidak berbau dan memiliki konsistensi tertentu. Jika lemak terlalu keras maka kontak bahan dengan lemak akan relatif sulit. Hal ini akan mengurangi daya absorbsi dan rendemen minyak atsiri yang dihasilkan. Sebaliknya, jika lemak terlalu lunak maka bahan yang disebarkan pada permukaan lemak akan masuk kedalam lemak, sehingga absorbsi akan terganggu karena lemak akan melekat pada bahan.

Waktu proses enfleurasi pada setiap bahan (bunga) berbeda-beda. Ekstraksi minyak bunga melati menggunakan enfleurasi dilakukan sekitar 24 jam, sedangkan untuk bunga mawar lebih lama. Lemak yang telah menyerap aroma dilarutkan ke dalam alkohol dan dilanjutkan dengan proses destilasi vakum untuk mendapatkan minyak atsiri pekat yang disebut absolute (Guenther 2006).

Proses enfleurasi mengakibatkan penyusutan berat lemak kira-kira 10 %. Penyusutan ini disebabkan karena masih terdapat lemak yang melekat pada bunga layu yang telah dipisahkan (Guenther 2006). Proses ekstraksi selesai bila lemak relatif jenuh dengan minyak atsiri yang disebut pomade. Pomade lalu diekstraksi dengan alkohol sehingga melarutkan minyak atsiri dalam pomade tersebut. Hasil ekstraksi minyak dalam pomade dengan menggunakan alkohol menghasilkan larutan minyak atsiri dalam alkohol yang disebut ekstrait. Selanjutnya ekstrait didestilasi secara vakum pada suhu 47-50°C. Minyak yang dihasilkan dari destilasi ini disebut absolut enfleurasi (Guenther 2006).

Pomade dan absolut enfleurasi mudah tengik dan bersifat asam. Hal ini disebabkan karena adanya komponen FFA yang larut dalam alkohol dan ikut terekstraksi pada saat pembuatan absolut. Ini dapat dicegah dengan penambahan benzoin ke dalam absolut enfleurasi terutama bila pomade diekstraksi dengan alkohol absolut (Ketaren, 1985).

(26)

10

3.

Ekstraksi Dengan Pelarut Menguap (Guenther 2006)

Ekstraksi dengan menggunakan pelarut menguap merupakan suatu fenomena perpindahan komponen-komponen pembentuk bahan ke dalam cairan lain (pelarut). Metode paling sederhana untuk mengekstrak padatan adalah dengan mencampurkan seluruh bahan dengan pelarut, lalu memisahkan larutan dengan padatan tidak terlarut.

Cara kerja ekstraksi dengan pelarut menguap cukup sederhana, yaitu dengan merendam sampel dalam pelarut menguap, seperti petroleum eter. Pelarut akan berpenetrasi kedalam bahan dan melarutkan minyak atsiri, beberapa jenis lilin, dan alumin serta zat warna. Pelarut kemudian dipisahkan dengan menguapkannya pada evaporator vakum maka akan diperoleh minyak atsiri yang pekat. Suhu harus tetap dijaga rendah selama proses berlangsung agar uap aktif yang terbentuk tidak akan merusak persenyawaan minyak atsiri.

4.

Maserasi

Menurut Larsen dan Poll (1990), maserasi merupakan metode ekstraksi dengan pelarut yang paling mudah dan cepat. Prinsip metode ini adalah sampel dihancurkan, direndam dalam pelarut dan campuran dibekukan. Air dan komponen makro membeku, sedangkan pelarut tidak sehingga kedua bahan dapat dipisahkan. Metode ini merupakan cara yang baik untuk sempel yang sensitif terhadap suhu tinggi. Kerugian dari metode ini adalah terikutnya komponen non volatil lainnya yang dapat mengganggu analisis menggunakan Gas Chromatogaphy (Wijaya et el. 2001).

Salah satu faktor penting dalam ekstraksi menggunakan metode maserasi adalah pelarut yang digunakan. Menurut Kumara (1998), pelarut terbaik dari hasil uji rangking berturut-turut yaitu diklorometana, dietil eter, diklorometana:pentana (1:1), dan pentana. Pemilihan pelarut juga berdasarkan indeks kepolaran yang dimiliki. Selain itu, Cronin (1982) menyatakan bahwa pelarut yang digunakan untuk mengekstraksi komponen flavor harus memiliki titik didih rendah agar memudahkan penguapan pelarut dari hasil ekstraksi dan tidak merusak komponen yang terekstrak.

Ekstraksi menggunakan metode maserasi dilakuakan dengan menggunakan pelarut dietil eter. Sampel dihancurkan dan direndam pelarut dietil eter dengan perbandingan (1:2) sampai sampel terendam. Kemudian digoyang-goyang sekitar 15 menit dan disimpan semalam pada suhu refrigasi (5-10°C). Campuran sampel dan pelarut dipisahkan dengan kertas saring, lalu ditambahkan Na2S2O4 anhidrat ke dalam ekstrak solven sebanyak dua sudip agar terbebas dari air.

Setelah itu dipekatkan dengan menggunkan kolom vigreux dengan suhu kira-kira lebih tinggi 5-10°C diatas titik didih pelarut yang digunakan, sampai kira-kira 1 ml. untuk meyakinkan kepekatan hasil ekstraksi, ekstrak dihembus dengan N2 dan selanjutnya hasil ekstraksi digunakan dalam

analisis komponen volatil dengan disuntikan pada alat GC-MS.

5.

Destilasi Metode Likens-Nickerson (

Simultaneous Distillation Extraction

)

(Self 2005)

(27)

11

Gambar 4.Alat ekstraksi Likens–Nickerson simultaneous steam distillation–extraction.

Matriks bahan pangan yang bercampur dengan air diletakkan pada labu dan dipasang pada labu A, sedangkan pelarut organik (memiliki berat jenis lebih rendah dari air) diletakkan dalam labu destilasi dan disisipkan pada labu B. Kondesor dingin C dipasang dalam tabung D sehingga kondensat akan kembali kedasar dari D, sedangkan air akan mengalir kembali ke labu A dan pelarut akan berkumpul dipermukaan air sehingga sewaktu-waktu akan kembali ke labu B. Proses ekstraksi dilakukan selama satu jam terhitung setelah sampel mendidih.

Dalam memilih metode pengisolasian komponen volatil dari produk makanan, beberapa parameter harus dipertimbangkan secara cermat. Kehilangan komponen penting disebabkan oleh selektivitas yang tidak tepat atau efisiensi yang rendah. Faktor-faktor yang menyebabkannya diantaranya konsentrasi, rentang titik didih dan polaritas, stabilitas (dekomposisi dan pembentukan artefak) komponen, dan kemudahan pengoksidasian.

Alat Likens-Nickerson pada prinsipnya adalah mengekstraksi sampel (hancuran bahan) dalam air secara terus-menerus dengan proses penyulingan dan penguapan. Senyawa volatil akan ikut terkondensasi sedangkan pelarut akan kembali ke labu semula. Keuntungan dari metode ini adalah penggunaan pelarut yang relatif sedikit, namun dengan kuantitas bahan (sampel) yang cukup banyak. Alat ini pada mulanya diaplikasikan untuk ekstraksi volatil dari keripik kentang, sayuran, dan produk unggas.

Metode ini ditemukan dalam berbagai aplikasi dalam analisis flavor. Destilat dari komponen volatil bahan akan ikut menguap bersamaan dengan menguapnya pelarut organik. Pemisahan campuran kondensat terjadi karena perbedaan masa jenis sehingga air dan pelarut organik akan kembali pada labu awal masing-masing. Setelah proses ekstraksi selesai, komponen volatil bahan akan berada pada labu pelarut organik. Metode ini sangat cocok dan populer dalam bidang analisis pangan dan kimia falvor. Meskipun komponen volatil secara terus menerus terdestilasi dan dipanaskan sehingga meningkatkan kemungkinan kerusakan, namun metode ini tetap popular saat ini.

(28)

12

petroleum eter, benzen, toluen, etanol, isopropanol, aseton, dan air (Mukhopadhyay 2002). Nilai polaritas beberapa pelarut tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Titik didih dan polaritas pelarut organik (Mukhopadhyay 2002)

D.

GAS CROMATOGAPHY-MASS SPECTROMETRY

(GC-MS)

Gas chromatogaphy–mass spectrometry (GC–MS) adalah kombinasi dari dua peralatan analitik yang sangat baik. Dua peralatan itu adalah gas chromatography (GC) sebagai alat pemisahan fase gas yang efektif untuk campuran senyawa dan mass spectrometry (MS) sebagai alat konfirmasi identitas dari komponen-komponen sehingga baik untuk identifikasi senyawa yang tidak diketahui (Niessen 2001).

GC adalah metode pemisahan fisik. Komponen di dalam campuran senyawa disalurkan diantara fase gerak (berupa gas inert) dan fase stasioner yang melapisi partikel pembungkus kolom atau dinding kolom bagian dalam. Proses chromatogaphis terjadi sebagai hasil dari pengulangan langkah sorpsi/desorpsi selama gerakan analit sepanjang fase diam oleh gas pembawa. Pemisahan ini disebabkan oleh perbedaan koefisien distribusi komponen individu dalam campuran. Sebagai metode pemisahan fase gas, GC mengharuskan analit menjadi uap sebelum pemisahan. Dengan demikian, penerapan GC hanya terbatas pada komponen dengan volatilitas yang cukup dan memiliki stabilitas termal (Niessen 2001).

GC merupakan teknik analisis utama dalam pemisahan komponen volatil. GC mengkombinasikan kecepatan analisis, resolusi, kenyamanan pengoperasian, hasil kuantitatif yang baik, dan biaya yang tidak terlalu mahal. Sayangnya, sistem GC tidak dapat mengkonfirmasi identitas atau struktur dari peak yang ada. Data GC saja tidak bisa digunakan untuk identifikasi peak (McNair dan Miller 1998).

Dilain pihak, MS adalah salah satu detektor yang kaya informasi. MS hanya membutuhkan mikro gram dari sampel dan menyediakan data untuk identifikasi kualitatif dari senyawa yang tidak diketahui (struktur, komposisi elemen, dan bobot molekul). Sehingga MS mudah untuk digabungkan dengan sistem GC (McNair dan Miller 1998). Pada prinsipnya, MS adalah pemisahan produksi ion fase gas menurut perbandingan massa terhadap muatan senyawa (m/z) yang terdeteksi. Spektrum

No Pelarut Titik didih (°C) Polaritas (E°C) 1 Etanol 78.3 0.68 2 Aseton 56.2 0.47 3 Etil asetat 77.1 0.38

4 Heksan 68.7 0

5 Penten 36.2 0

(29)

13

massa yang dihasilkan adalah plot dari kelebihan (relatif) dari ion yang dihasilkan sebagai fungsi dari rasio m/z. Selektivitas yang tinggi dapat diperoleh dalam analisis ini yang merupakan hal paling penting dalam analisis kuantitatif (Niessen 2001).
(30)

III.

METODOLOGI PENELITIAN

A.

WAKTU DAN TEMPAT

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Mei 2012. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertnian, IPB dan laboratorium Flavor Balai Penelitian Padi, Sukamandi.

B.

BAHAN DAN ALAT

Bahan-bahan yang digunakan adalah biji dan fuli pala papua umur petik 4 bulan dan 8 bulan yang berasal dari daerah Fakfak, toluene, air, heksana, akuades, dietil eter, asam laurat (anti buih), Na2SO4anhydrous, es dan parafin.

Alat-alat yang digunakan adalah labu didih, tabung Bidwell-Sterling, oven pengering, desikator, timbangan analitik, gelas ukur 100 ml, alat destilasi, pemanas, kertas saring, labu Soxhlet, blander, gelas ukur 500 ml, labu bundar berukuran 3 l, labu ukur 10 ml, pipet Mohr 1 ml, SDE Liken-Nickerson, labu bundar 150 ml, water bath, vial, parafin, dan alat GC-MS Agilent 7890 A.

C.

METODE

[image:30.595.236.402.503.710.2]

Terlebih dahulu dilakukan analisis penampakan fisik, kadar minyak, dan kadar air sampel. Metode ekstraksi minyak atsiri dilakukan dengan menggunakan metode Liken-Nickerson (Simultaneous Distillation Extraction) dan dilanjutkan pemekatkan dengan menggunakan kolom vigreux. Setelah minyak atsiri pala papua diperoleh, dilakukan identifikasi komponen minyak atsiri dari fuli dan biji pala papua (Myristica argentea Warb) dengan menggunakan GC-MS. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Diagram alir tahapan penelitian Analisis penampakan fisik Sampel (fuli dan biji pala papua)

Analisis kadar air dan kadar lemak Ekstraksi minyak atsiri Pemekatan minyak atsiri

Identifikasi komponen dengan GC-MS

(31)

15

D.

PROSEDUR ANALISIS

1.

Analisis Kadar Air Metode Destilasi Azeotropik (SNI 01-3181-1992 yang

Termodifikasi Diacu dalam Faridah

et.al

2010)

Labu didih dan tabung Bidwell-Sterling dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C dan didinginkan dalam desikator. Sebanyak 3 g sampel (Ws) dimasukkan dalam labu didih yang telah dikeringkan dan ditambahkan 60-80 ml toluena. Alat destilasi, labu didih, dan pemanas dirangkai dan direfluks dengan suhu rendah (skala hot plate 4-5) selama 45 menit. Suhu dinaikkan (menjadi skala 8) dan dilakukan pemanasan selama 60-90 menit. Hasil analisis dapat dibaca dengan melihat volume air yang terdestilasi (Vs).

[image:31.595.144.445.347.643.2]

Untuk menetapkan faktor destilasi, labu didih dan tabung Bidwell-Sterling dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C dan didinginkan dalam desikator. Air sebanyak 4 g dimasukan kedalam labu (W), kemudian ditambah toluene 60-80 ml. Alat destilasi, labu didih, dan pemanas dirangkai dan direfluks dengan suhu rendah (skala hot plate 4-5) selama 45 menit kemudian volume air yang terdestilasi dapat dibaca (V). Analisis kadar air dilakukan secara duplo. Diagram alir analisis kadar air disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Diagram alir analisis kadar air metode destilasi azeotropik Kadar air bahan dapat dihitung dengan rumus:

Kadar air = xFDx100%

60-80 ml toluena

Direfluks dengan suhu rendah (skala hot plate 4-5) selama 45 menit

Dimasukkan dalam labu didih (yang sudah dikeringkan pada oven 105 °C dan

didinginkan dalam desikator) 3 g sampel (Ws)

Direfluks dengan suhu tinggi (skala hot plate 8) selama 60-90 menit

Pengukuran volume air yang terdestilasi (Vs)

(32)

16

dimana:

Ws = berat contoh (g)

Vs = Volume air yang didestilasi dari contoh (ml) FD = factor destilasi (g/ml)

Faktor destilasi (FD) dihitung dengan rumus berikut: FD =

dimana:

W = berat air yang akan didestilasi (g) V = volume air yang terdestilasi (ml)

2.

Analisis Kadar Lemak Metode Soxhlet (AOAC 1995)

[image:32.595.111.466.446.733.2]

Sejumlah 2-3 g sampel dibungkus dengan kertas saring (berbentuk selongsong) yang dialasi dengan kapas. Selongsong yang telah disumbat kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 80 oC selama 1 jam. Setelah itu selongsong berisi sampel dimasukkan ke labu Soxhlet kering (yang sudah dikeringkan pada oven 105 °C dan didinginkan dalam desikator). Heksana dituang ke dalam labu Soxhlet kemudian sampel di-refluks selama 6 jam. Labu Soxhlet tersebut kemudian dimasukkan ke oven bersuhu 105 oC hingga seluruh sisa pelarut (heksana) menguap. Labu yang berisi lemak hasil destilasi didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Diagram alir analisis kadar lemak disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Diagram alir analisis kadar lemak metode Soxhlet 2-3 gr sampel

Kertas saring (berbentuk selongsong) yang dialasi dengan kapas

Dikeringkan dalam oven pada suhu 80 oC selama 1 jam

Dimasukkan ke labu Soxhlet kering

Direfluks selama 6 jam 80 ml heksan

Labu Soxhlet dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105 oC

Labu Soxhlet didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang

(33)

17

Analisis lemak dilakukan secara duplo. Kadar lemak dihitung dengan rumus:

Kadarlemak( %) = a−b

c × 100%

Keterangan:

a = berat labu dan sampel awal (g) b = berat labu dan sampel akhir (g) c = berat sampel awal (g)

3.

Destilasi Minyak Atsiri dengan Menggunakan Metode Likens-Nickerson

(

Simultaneous Distillation Extraction

)

Sampel biji ditimbang sebanyak 250 g dan ditambah 500 ml akuades (1:2) kemudian di-blander sampai hancur. Sedangkan untuk fuli, sampel ditimbang sebanyak 200 g dan ditambahkan 800 ml akuades (1:4) kemudian di-blander. Sampel yang sudah di-blander dimasukkan ke dalam labu bundar berukuran 3 l. Sampel kemudian ditambah 1 g asam laurat (anti buih). Labu ditempatkan di atas heater. Campuran tersebut lalu didestilasi secara simultan menggunakan alat SDE Liken-Nickerson dengan pelarut dietil eter sebanyak 50 ml di labu yang berbeda. Masing-masing labu dipanaskan pada suhu titik didihnya hingga menguap, sehingga uap dari sampel dan dietil eter bertemu di dalam alat Liken-Nickerson. Destilasi dilakukan selama 1 jam (dihitung setelah sampel mendidih).

Ekstrak yang telah didapat kemudian ditambahkan dengan Na2SO4anhydrous hingga tidak

ada lagi Na2SO4 yang menggumpal. Natrium sulfat anhydrous berfungsi untuk mengikat air yang

[image:33.595.104.520.505.728.2]

masih tersisa setelah proses pemisahan. Destilasi yang didapatkan kemudian dipekatkan dengan menggunakan kolom vigreux dengan suhu lebih tinggi 5-10 °C di atas titik didih pelarut (dietil eter) sekitar 50°C sampai volumenya konstan. Ekstrak dimasukan kedalam vial dan diberi lapisan parafin. Ekstraksi dilakukan secara simplo. Diagram alir ekstraksi atsiri disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Diagram alir ekstraksi minyak atsiri dengan SDE Liken-Nickerson

 250 g biji + 500 ml air di-blander

 200 g biji + 800 ml air di-blander Dimasukkan dalam labu bundar 3 l (labu sampel) 1 g asam laurat

Didestilasi dengan alat SDE Liken-Nickerson selama 1 jam:

 Labu sampel dengan suhu 100 °C

 Labu pelarut dengan suhu 45 °C 50 ml dietil eter dalam

labu pelarut 200 ml

Dipekatkan dengan kolom vigreux pada suhu 50°C sampai volumenya konstan Minyak atsiri dalam pelarut (labu pelarut)

1 g asam laurat

(34)

18

4.

Analisis Komposisi Minyak Atsiri Menggunakan GC-MS

Hasil destilasi minyak atsiri kemudian diinjeksikan pada alat GC-MS. Injeksi dilakukan duplo untuk setiap sampel. Hasil injeksi minyak atsiri terdeteksi dalam bentuk peak yang mempunyai waktu retensi yang berbeda. Waktu retensi adalah waktu dimana peak muncul setelah melewati kolom GC dihitung sejak injeksi sampel. Perbedaan waktu retensi dari tiap senyawa disebabkan oleh perbedaan pemisahan komponen karena perbedaan interaksi tiap senyawa dengan kolom dan suhu yang digunakan. Kondisi setting GC-MS yang digunakan adalah sebagai berikut:

GC-MS

Merek : Agilent 7890 A

Kolom : Agilent HP 5 MS (30 m x 250 µm x 0.25 µm) Gas pembawa : helium (He)

Tekanan : 9.43 psi Suhu awal : 60 °C Suhu akhir : 240 °C

Kenaikan suhu : 3 °C/menit sampai 240 °C Suhu injector : 250 °C

Suhu detector : 270 °C

Detektor : EI (electron impek) Energy : 1.25 kv

Volume sampel : 0.5 µl.

Setiap puncak dari kromatogram yang dihasilkan diidentifikasi massanya dan fragmen-fragmen massa yang dihasilkan. Kemudian fragmen-fragmen tersebut dibandingkan dengan fragmen-fragmen massa dari senyawa yang telah diketahui menggunakan bank data dari National Institute Standard of Technology (NIST) Library (Chairul dan Sri yang termodifikasi2000).

(35)
[image:35.595.103.530.85.466.2]

19

Gambar 9. Diagram alir penentuan senyawa dalam minyak atsiri pala papua

Minyak atsiri dalam vial tertutup

Diinjeksikan pada GC-MS

Laporan identifikasi senyawa dengan NIST library

Analisis setiap data senyawa berdasarkan nilai similarity

Senyawa diterima sebagai senyawa dalam pala papua

Senyawa dicocokkan dengan senyawa yang ada pada pala jenis lain (secara umum)

Senyawa diterima sebagai senyawa dalam pala papua

Senyawa tidak dimasukkan sebagai senyawa dalam pala papua

Jika nilai similarity >= 70 %

Jika nilai similarity < 70 %

(36)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

KARAKTERISTIK FISIK

[image:36.595.94.535.87.825.2]

Pengamatan bentuk fisik buah pala papua (Myristica fragrans Warb) dilakukan untuk memperoleh data bobot, bentuk, dan warna dari buah, biji, dan fuli pala papua. Kemudian bentuk fisik pala papua dibandingkan antara umur delapan dan umur empat bulan. Selain itu, sampel pala papua juga dibandingkan dengan pala banda (pala yang sering digunakan). Perbandingan secara fisik kedua umur buah pala papua dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Perbandingan fisik buah pala papua umur empat dan delapan bulan

Bagian Pala papua

Umur 8 bulan Umur 4 bulan Biji Berwarna coklat gelap dan tekstur keras Berwarna putih dan tekstur lunak

Daging Tekstur lunak, sudah terbelah, dan berwarna coklat

Tekstur keras, tidak terbelah, dan berwarna putih

Fuli Berwarna merah tua Berwarna merah muda

Tempurung Tekstur keras dan berwarna cokelat tua Tekstur lunak dan berwarna putih kecoklatan

Buah pala umur delapan bulan memiliki ukuran lebih besar dari pada buah pala umur empat bulan. Buah pala papua umur delapan bulan memiliki bobot rata-rata 132 g, sedangkan buah pala umur empat bulan relatif lebih kecil yaitu 114 g. Bobot rata-rata biji pala papua umur delapan bulan adalah 12 g dan biji pala umur empat bulan adalah 10 g. Gambar perbandingan fisik buah, fuli, dan biji pala papua umur delapan dan empat bulan dapat dilihat pada Lampiran 5. Presentasi bagian-bagian dari buah pala umur empat dan delapan bulan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Persentasi berat dari bagian-bagian buah pala papua Buah utuh umur 8 bulan

% (b/b)

Buah utuh umur 4 bulan % (b/b)

Daging buah 90.20 89.43

Biji 7.46 7.57

Tempurung 1.12 2.01

Fuli 1.23 0.99

Bagian yang paling banyak pada buah pala papua adalah daging buahnya (90 %). Bagian buah ini banyak dimanfaatkan untuk diolah menjadi sari buah pala, dodol pala, dan manisan pala. Sedangkan fuli, biji, dan tempurung tidak lebih dari 10 % dari berat buah.

[image:36.595.111.554.262.407.2]
(37)

21

ukuran yang jauh berbeda. Gambar perbandingan buah pala papua dan pala banda dapat dilihat pada Gambar 10.

a b

Gambar 10. a. Buah pala papua (Myristica argentea Warb) b. Buah pala banda (Myristica fragrans Houtt)

Pala papua memiliki ukuran yang lebih besar dari pada pala banda. Biji pala papua berbentuk lonjong, sedangkan fulinya relatif tipis dan jarang. Pala banda memiliki biji dan buah yang berbentuk bulat dengan fuli yang hampir penuh. Biji pala banda memiliki panjang sekitar 3 cm dan lebar 2 cm, sedangkan biji pala papua memiliki panjang sekitar 6 cm dan lebar 2.5 cm. Rismunandar (1992) mengatakan bahwa meskipun memiliki ukuran yang berbeda, biji pala papua memiliki cara pengolahan yang tidak berbeda dengan pala banda, namun sifatnya lebih rapuh. Biji pala papua akan mudah pecah bila tempurungnya dipecahkan.

B.

KADAR AIR

Analisi kadar air penting untuk mengetahui berat kandungan air dalam bahan sehingga dapat diketahui bobot kering bahan. Kadar air buah pala papua segar (tanpa pengeringan) umur empat dan delapan bulan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil analisis kadar air metode azeotropik (basis basah) Pala umur 4 bulan

% (b/b)

Pala umur 8 bulan % (b/b) Biji 74.84 19.25 Fuli 26.71 19.30

Jika dibandingkan antara dua umur buah pala tersebut, biji pala umur empat bulan mengandung air jauh lebih banyak (74.84 %) dibandingkan biji umur delapan bulan (19.25 %). Hal yang serupa terjadi pada fuli, fuli empat bulan sebesar 26.71 % dan fuli delapan bulan sebesar 19.30 %. Perbedaan kadar air fuli umur delapan dan empat bulan relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan perbedaan kadar air biji umur delapan dan empat bulan.

(38)

22

Jumlah air dalam biji pala tua lebih rendah dari pada biji muda disebabkan karena biji mengalamai pertumbuhan. Pertumbuhan sel ini meliputi pembelahan sel (peningkatan jumlah sel sebagai hasil dari mitosis), ekspansi sel (peningkatan ukuran sel yang irreversibel sebagai hasil dari pengambilan air atau sintesis dalam protoplasma), dan diferensiasi sel. Jumlah protein, selulosa, asam nukleat dan sebagainya terus meningkat didaerah pertumbuhan, sementara berat kering cadangan makanan akan menurun.

C.

KADAR LEMAK

Analisis kadar lemak diperlukan untuk mengetahui kandungan lemak yang ada di dalam bahan. Lemak adalah senyawa organik yang tidak larut dalam air, dapat diekstrak dari sel dan jaringan oleh pelarut non polar yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak. Untuk itu, heksan digunakan dalam analisis ini. Di dalam bahan, minyak atsiri akan bercampur dengan lemak karena sifatnya yang non polar. Minyak atsiri akan ikut terekstrak bersama lemak karena sifatnya yang dapat terlarut oleh heksan. Minyak atsiri ini akan hilang (menguap) saat pengeringan hasil ekstraksi sehingga tinggal lemak yang tersisa. Hasil analisis kadar lemak metode Soxhlet dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil analisis kadar lemak metode Soxhlet Pala umur 8 bulan Pala umur 4 bulan %(b/b) BB* %(b/b) BK** %(b/b) BB* %(b/b) BK** Fuli 17.01 21.08 20.02 27.32 Biji 18.95 23.47 4.99 19.83 * Basis basah ; ** Basis kering

Berdasarkan Tabel 7, kadar lemak biji pala pada umur empat bulan masih cukup rendah, namun setelah biji berumur delapan bulan, kadar lemak meningkat. Tingginya minyak pada umur delapan bulan pada biji ini dapat disebabkan karena beberapa faktor yaitu ketersediaan sumber karbon untuk sintesis minyak/lemak dan aktivitas enzim. Menurut Harwood dan Page (1994), sumber karbon untuk sintesis lemak diperoleh dari proses fotosintesis. Menurut Hablacher et al. (1993), enzim yang berberan penting dalam sintesis lemak/minyak adalah enzim asetil-CoA karboksilase (ACCase). Enzim ini mengkatalis reaksi karboksilasi asetil-CoA (prekursor pembentukan lemak) menjadi melonil-CoA. Reaksi ini merupakan tahap awal penentuan sintesis lemak.

(39)

23

Kandungan minyak/lemak pada tanaman disebabkan oleh biosintesis lipida. Biosintesi lemak/minyak merupakan proses multikompartemen. Menurut Harwood dan Page (1994), deposisi minyak pada jaringan yang berbeda terjadi pada kecepatan yang berbeda. Perkembangan biji yang mengandung minyak biasanya terdiri dari tiga fase. Fase pertama melibatkan pembelahan sel yang sangat cepat dan hanya sedikit mensintesis minyak. Pada fase ini jenis minyak yang dibuat lebih banyak glikolipid dan fosfolipid penyusun membran dari pada minyak yang disimpan. Oleh karena itu, minyak pada embrio muda cenderung tinggi kandungan asam linoleat dan linolenatnya terlepas dari spesies tanaman. Pada fase kedua, sintesis minyak mencapai maksimum. Pada fase ini disintesis asam lemak yang khas untuk spesiesnya, seperti pembentukan miristat pada pala atau stearat pada kelapa. Fase ketiga adalah periode desikasi. Pada periode ini hanya terjadi sedikit sintesis minyak biji.

Lemak yang dihasilkan pada biji pala papua berupa padatan pada suhu kamar, sedangkan minyak fuli berwujud cairan pada suhu kamar. Lipida yang berupa cairan pada suhu kamar disebut minyak, dan terutama disusun oleh asam lemak tidak jenuh seperti asam oleat, asam linoleat, dan asam linolenat. Sedangkan yang berupa padatan pada suhu kamar disebut lemak dan tersusun terutama oleh asam lemak jenuh seperti asam palmitat.

Berdasarkan hal diatas, bila pengembangan biji pala diarahkan untuk diambil lemak palanya, akan lebih potensial digunakan biji pala yang sudah tua. Bila pemanfaatan pala untuk diambil asam lemak tidak jenuhnya, akan lebih baik bila diambil dari minyak fuli pala. Bila pemanfaatan pala untuk diambil asam lemak jenuhnya, sebaiknya diambil dari lemak biji pala.

D.

EKSTRAKSI MINYAK ATSIRI

Gambar

Gambar 5. Diagram alir tahapan penelitian
Gambar 6. Diagram alir analisis kadar air metode destilasi azeotropik
Gambar 7. Diagram alir analisis kadar lemak metode Soxhlet
Gambar 8. Diagram alir ekstraksi minyak atsiri dengan SDE Liken-Nickerson
+7

Referensi

Dokumen terkait

Waktu Tambat dan Konsentrasi Komponen Minyak Atsiri Hasil Analisis GC-MS dari Simplisia Rimpang Lengkuas Merah ...3.

Isolasi minyak atsiri dilakukan dengan menggunakan alat Stahl, kemudian minyak yang telah diisolasi di analisa dengan GC-MS 2010 Shimadzu, menggunakan metode column

Komponen kimia minyak atsiri kulit jeruk telur buaya dianalisis menggunakan GC-MS menunjukkan ada 14 senyawa dimana komponen utamanya adalah 1-limonene (70,46%).. Kata Kunci

ISOLASI DAN ANALISIS KOMPONEN KIMIA MINYAK ATSIRI DARI DAUN KESTURI (Citrus microcarpa B.) DENGAN.. GC – MS DAN

Minyak atsiri pada biji pala (Myristica fragrans Houtt.) mempunyai aktivitas sebagai repelan terhadap nyamuk Aedes aegypti betina dengan konsentrasi 12%. Peningkatan

Minyak pala merupakan minyak atsiri yang dapat diperoleh dari biji buah2. pala dengan

Penelitian ini terdiri atas 2 tahap yaitu pertama melihat pengaruh umur biji dan fuli pala terhadap kadar air, lemak, minyak atsiri, serta rendemen minyak pala, dan

Simpulan tepung biji pala dapat digunakan sebagai sumber bahan pakan ayam petelur Kandungan biji pala minyak atsiri, flavonoid, antibakteri dan antiosidan komponen alami.. Kata Kunci: