Adolf, Huala. Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis). edisi ke-2, Jakarta: Gunung Agung, 2002.
Audah, Husain. Hak Cipta & Karya Cipta Musik. Bogor: PT. Pustaka Litera Antara Nusa, 2004.
Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual Departemen Kehakiman RI dan JICA,Buku Panduan Tentang Hak atas Kekayaan Intelektual. Jakarta: DJ HKI, 1999.
Dutfield, Graham. Intellectual Property, Biogenetic Resources and Traditional Knowledge. London: Earthscan, 2004
Harsojo.Pengantar Antropologi. Bandung: Putra A. Bardin, 1999.
Hutauruk.Pengaturan Hak Cipta Nasional. Jakarta: Erlanga, 1982.
Hasibuan, Otto. Hak Cipta di Indonesia (Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu, Neighbouring rights, dan Collecting Society). Bandung: PT Alumni, 2008.
Irawan, Candra Irawan. Politik Hukum Hak Kekayan Intelektual Indonesia. Bandung: CV Bandar Maju, 2011.
Kamus Lengkap Bahasa Inonesia. Surabaya: CV. Pustaka Agung Harapan, 2003.
Koentjaraningrat Kebudayaan: Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Lindsey,Tim, dkk.Hak Kekayaan Intelektual. Bandung: PT. Alumni, 2006.
Limbong, Bernhard. Pengadaan TanahUntuk Pembangunan, Redulasi, Kompensasi Penegakan Hukum. Jakarta: CV Ravi Maju Mandiri, 2011.
Maulana, Insan Budi dkk. Tindak Pidana Hak Cipta Dan Problematika Penegakan Hukumnya, Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual. Yogykarta: Pusat Studi Hukum UII, 2000.
Oguamanan, Chigi. Localizing Intellectual Property in The Globalization Epoch, The Integration of Indigenous Knowledge, Baltimore: John Hopkins University Press, 2003.
Purba, Afrilyanna., Saleh, Gazalba., dan Krisnawati, Andriana. TRIP’s-WTO&Hukum HKI Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2005.
Purba, Afrillyanna., dkk Kajian Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2005.
Rasidi, Ajip. Undang-Udang Hak Cipta 1982, Pandangan Seorang Awam. Jakarta: Djambatan, 1984.
Saidin, Ok. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004.
Sedyawati, Edi. Ke Indonesiaan Dalam Budaya. Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2008.
Soekanto, Soerjono.Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1982.
Soekanto, Soerjono. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hukum Edisi ke 2, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1982.
Soeprapto, Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan PembentukannyaYogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998.
Syafrinaldi. Hukum Tentang Perlindungan Hak Milik Intelektual Dalam Menghadapi Era GlobalisasiJakarta: UIR Press, 2010.
Tarigan, Pendastaren dan Arif, Tim, (ed.) Spirit Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Usman, Rachmadi. Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual. Bandung: Alumni, 2003.
Zaidar. Dasar Filosofi Hukum Agraria Indonesia. Medan: Pustaka Bangsa Press, 2006.
Makalah
Kesowo, Bambang. Pengantar Umum Mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual, Makalah pada Peraturan Hukum Dagang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta: FH UGM 21 Januari 1995).
Implementasi Hak Atas Kekayaan Intelektual/TRIP’s, (Bandung: FH UNPAD, 1996).
Sulistiyono, Adi. Globalisasi Sistem Hukum HKI. Bahan Seminar Nasional Penanggulangan VCD Ilegal di Indonesia.(Surakarta: 2004).
Peraturan Perundang-undangan
Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and The Fair and Equitable Sharing of Benefitstahun2010
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan World Trade Organitation (Persetujuan Tentang Organisasi Perdagangan Dunia)
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Website
Kumpulan regulasi di bidang HKI di Indonesia, http://www.HKI.lipi.go.id/ (diakses tanggal 5 Oktober 2013).
Wikipedia Budaya, http://id.wikipedia.org/wiki/ (diakses tanggal 6 Januari 2014).
Pengertian Hukum Sistem Hukum Tujuan Hukum, http://innocent-paparazzi.blogspot.com/2011/04/ (diakses tanggal 6 Januari 2014).
Hukum adat di Indonesia http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_di_ (diakses tanggal 6 JAnuari 2014)
Kebijakan publik pemerintah http://unud-hukumbisnis.blogspot.com/2010/01/ (diakses tanggal 28 November 2013)
Kumpulan regulasi di bidang HKI di Indonesia,http://www.HKI.lipi.go.id/ diakses tanggal 30 November 2013)
Hak Komunal Dalam Kaitannya Dengan Hak Cipta file:///C:/Users//Documents/ (diakses tanggal 5 Januari 2014).
Organisasi Pedagangan Dunia, http://www.wto.org/. (diakses tanggal 30 November 2013)
Hak Cipta di Indonesia, http://edukasi.kompasiana.com (diakses tanggal 5 Oktober 2013)
A. Sejarah Pengesahan WIPO dan TRIP’S dalam Perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual Di Indonesia
Dalam rangka mengelola dan menangani menangani hal-hal yang
berkaitan dengan perlindungan hak milik perindustrian dan hak cipta tersebut,
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) membentuk kelembagaan internasional yang
diberi nama World Intellectual Property Organization (kemudian penyebutan
selanjutnya disingkat WIPO) pada tanggal 14 Juli 1967 di Stockholm. WIPO
didirikan dengan untuk tujuan mendorong kreativitas dan memperkenalkan
perlindungan kekayaan intelektual ke seluruh dunia.
Sebelum WIPO lahir, ada badan yang bernama Bureaux Internationaux
Réunis pour la Protection de la Propriété Intellectuelle (BIRPI) yang didirikan
pada tahun 1893 di Perancis pada Konvensi Paris.24 Pada dasarnya WIPO
didirikan untuk melindungi hak cipta dan kebudayaan yang dimiliki oleh
negara-negara anggota PBB. Hal ini sangat penting, terutama jika ada kasus di mana
sebuah negara mengklaim memiliki alat musik tertentu misalnya, tapi ada negara
lain yang mengklaim sebagai kebudayaan aslinya.
24
Pembentukan WIPO didasarkan atas Convention Establishing the World
Intellectual Property Organization, tugas-tugasnya dalam bidang HKI, antara
lain:25
1. Mengurus kerja sama administrasi pembentukan perjanjian atau traktat
internasional dalam rangka perlindungan hak kekayaan intelektual;
2. Mengembangkan dan melindungi hak kekayaan intelektual di seluruh dunia;
3. Mengadakan kerja sama dengan organisasi internasional lainnya, mendorong
dibentuknya perjanjian atau traktat internasional yang baru dan memodernisasi
legislasi nasional,
4. Memberikan bantuan teknik kepada negara-negara berkembang,
mengumpulkan dan menyebarluaskan informasi, serta
5. Mengembangkan kerja sama administratif di antara negara-negara anggota.
Indonesia meratifikasi konvensi pembentukan World Intellectual Property
Organization (WIPO) pada tahun 1979 dan kemudian pada tahun 1997 konvensi
tersebut diperbaharui melalui Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997 Tentang
Perubahan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1979 Tentang PengesahanParis
Convention for the Protection of Industrial PropertydanConvention Establishing
the World Intellectual Property Organization.
Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dibawah naungan General
Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dengan alasan WIPO dianggap lemah
dalam memberikan perlindungan hak kekayaan intelektual warga negara dari
negara-negara maju. Hal ini dilakukan dengan memasukkan permasalahan hak
25
kekayaan intelektual dalam agenda sidang Putaran Uruguay (Uruguay Round)
yang dimulai tahun 1986. Dengan disetujuinya Putaran Uruguay di Marakest
tanggal 1 Januari 1994, yang mana hasil dalam Putaran Uruguay tersebut salah
satunya terdapat persetujuan mengenai HKI yaitu Trade Related Intellectual
Property Rights (TRIP’sAgreement).
PembentukanTRIP’ssebagai instrumen hukum pengelolaan hak kekayaan
intelektual dunia sebenarnya tidak lepas pelaksanaan Uruguay Roundtahun 1990.
Kanada sebagai salah satu anggota General Agreement on Tariffs and Trade
(GATT) secara formal mengusulkan pembentukan suatu badan perdagangan
internasional. Usul ini ditanggapi positif oleh negara-negara anggota GATT.26
Pada Desember 1991, dikeluarkanlah suatu rancangan lengkap mengenai
hasil-hasil perundingan yang di dalamnya mencakup pula usulan pembentukan
suatu organisasi perdagangan internasional baru. Akhirnya pada bulan Desember
1993 dicapailah kesepakatan terhadap usulan pembentukan suatu organisasi
internasional. Usulan ini kemudian disahkan menjadi persetujuan akhir yang
disebut dengan Persetujuan Pembentukan World Trade Organization(selanjutnya
disebut WTO) dan ditandatangani oleh negara-negara anggota GATT 1947 pada
tanggal 15 April 1994 di Marrakesh, Maroko. Persetujuan Pembentukan WTO ini
secara jelas menyatakan berdirinya WTO sebagai organisasi perdagangan
internasional.27 Persetujuan TRIP’s ini melengkapi perjanjian-perjanjian HKI
yang sudah ada sebelumnya dan sekaligus pengelolaan perlindungan hak atas
26
Huala Adolf,Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm.. 48.
27
kekayaan intelektual secara internasional dikelola olehWorld Trade Organization
(WTO).
Negara Indonesia terhadap perlindungan HKI akhirnya memaksa
Indonesia untuk mengadopsi peraturan-peraturan yang terkait dengan HKI
digunakan secara resmi oleh Indonesia sejak 1994. Peraturan tersebut terdapat
pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement
Establishing the World Trade Organization atau pengesahan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia.
Indonesia sebenarnya sudah lama mengenal istilah yang berkenaan dengan
permasalahan hak intelektual manusia. Saat itu, HKI dikenal dengan istilah HMI
(Hak Milik Intelektual). Pada perkembangannya, istilah HMI kembali mengalami
perubahan nama sesuai dengan Keputusan Menteri Kehakiman menjadi HKI atau
Hak Kekayaan Intelektual.
Terbitnya pengumuman Menteri Kehakiman RI No. JS 5/41 tanggal 12
Agustus 1953 dan No. JG 1/2/17 tanggal 29 Agustus 1953 tentang Pendaftaran
Sementara Paten menjadi tonggak munculnya produk hukum pertama hasil
legislasi pemerintah Indonesia terkait dengan pengelolaan hak intelektual.28
Pengumuman ini kemudian diperbaiki kembali dengan keluarnya
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek pada tahun 1961. Perbaikan demi
perbaikan kemudian memunculkan beberapa perubahan Undang-Undang tentang
hak kekayaan intelektual, yaitu keluarnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982
tentang Hak Cipta. Pengelolaan hak intelektual, khususnya dipaten, pemerintah
28
juga mengeluarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten yang
mulai efektif berlaku tahun 1991. Di tahun 1992, Pemerintah mengganti
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek dengan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 19
Tahun 1992 tentang Merek.29
Sejak pembuatan Undang-Undang pertama kali sampai dengan tahun 1999
perihal pengelolaan hak kekayaan intelektual, ada tiga bidang utama yang
mendapat perlidungan dan diatur secara rinci, yaitu terkait dengan hak cipta,
paten, dan merek. Adapun bidang-bidang yang baru mendapat perlindungan pasca
tahun 1999, tercatat ada empat bidang utama, antara lain: hak kekayaan intelektual
varietas tanaman, rahasia dagang, desain industri, serta desain tata letak sirkuit
terpadu. Masing-masing bidang ini diatur dalam undang-undang, yaitu:
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Varietas Tanaman, Undang-Undang-Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang, Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2000 Tentang Desain Industri.30
Negara Indonesia telah melakukan berbagai upaya dan langkah
penyempurnaan terhadap pengaturan di bidang HKI. Langkah tersebut dilakukan
untuk meningkatkan pengaturan HKI yang disesuaikan dengan prinsip-prinsip dan
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam PersetujuanTRIP’s.
Indonesia pada saat ini telah memiliki perangkat peraturan
perundang-undangan di bidang hak kekayaan intelektual yang cukup memadai dan tidak
29
Ibid.
30
bertentangan dengan ketentuan sebagaimana yang dipersyaratkan dalam
PersetujuanTRIP’s. Peraturan Perundang-undangan dimaksud mencakup :
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2000 tentang
Perlindungan Varietas Tanaman;
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia
Dagang;
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain
Industri;
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain
Tata Letak Sirkuit Terpadu;
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten; dan
7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek;
Di Indonesia, sistem perlindungan merek telah dimulai sejak tahun 1961,
sistem perlindungan hak cipta dimulai sejak tahun 1982, sedangkan sistem paten
baru dimulai sejak tahun 1991. Sebelum disempurnakan melalui peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan pada tahun 2001, waktu tahun 1997
terhadap ketiga peraturan perundang-undangan tersebut telah dilakukan perubahan
Persetujuan TRIP’s merupakan kesepakatan internasional yang paling
komprehensif, dan merupakan suatu perpaduan yang unik dari prinsip-prinsip
dasar GATT (khususnya tentang national treatment dan most-favoured nation)
dengan ketentuan-ketentuan substantif dari kesepakatan-kesepakatan internasional
bidang hak kekayaan intelektual, antara lain Paris Convention for the protection
of industrial Property dan Berne Convention for the Protection of Literary and
Artistic Works.
Keikutsertaan Indonesia sebagai anggota WTO dan penandatangan
Persetujuan TRIP’s, Pemerintah Indonesia juga meratifikasi konvensi-konvensi
atau traktat-traktat Internasional di bidang HKI, sebagai berikut:31
1. Paris Convention for the Protection of Industrial Property and Convention
Establishing the World Intellectual Property Organization (Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1997).
2. Patent Cooperation Treaty(PCT) and Regulation under the PCT (Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1997).
3. Trademark Law Treaty (Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17
Tahun 1997).
4. Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works
(Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997)
5. WIPO Copyright Treaty (Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19
Tahun 1997).
31
6. WIPO Performers and Phonograms Treaty, melalui Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2004
B. Pengaturan Hak Komunal dalam Aturan WIPO danTRIP’s
Pembentukan WIPO yang dibentuk berdasarkan atas Convention
Establishing the World Intellectual Property Organization. Adapun tugas-tugas
WIPO dalam bidang HKI, antara lain seperti yang tercantum dalam Pasal 4 akta
Konstitutif:32
1. Mengurus kerja sama administrasi pembentukan perjanjian atau traktat
internasional dalam rangka perlindungan hak kekayaan intelektual;
2. Mengembangkan dan melindungi hak kekayaan intelektual di seluruh dunia;
3. Mengadakan kerja sama dengan organisasi internasional lainnya, mendorong
dibentuknya perjanjian atau traktat internasional yang baru dan memodernisasi
legislasi nasional,
4. Memberikan bantuan teknik kepada negara-negara berkembang,
5. Mengumpulkan dan menyebarluaskan informasi, serta
6. Mengembangkan kerja sama administratif di antara negara-negara anggota.
Untuk melaksanakan tujuan-tujuan tersebut, WIPO melaksanakan program
kerja untuk harmonisasi sistem penegakan hukum hak kekayaan intelektual untuk
seluruh negara-negara anggota secara bertahap serta asistensi lainnya yang
diperlukan Negara berkembang. Beberapa program kerja WIPO berupa:33
1. Mengharmonisasikan prosedur dan legislasi hukum nasional di bidang HKI;
32
Op. Cit.,Rachmadi Usman, hlm.. 4 33
2. Menyediakan pelayanan bagi aplikasi internasional untuk hak hak industrial
3. Pertukaran informasi di bidang HKI
4. Menyediakan bantuan hukum dan teknis bagi negara-negara berkembang dan
Negara lainnya;
5. Memfasilitasi suatu resolusi dalam sengketa HKI di bidang hukum privat.
Kiprah WIPO dalam kaitannya untuk merespons masyarakat digital juga,
memiliki beberapa program seperti:34
1. Mengintegrasikan negara berkembang ke dalam atmosferdigital;
2. Memfokuskan perhatian kepada penyesuaian aplikasi kekayaan intelektual
dalam transaksi internet termasuk penyiapan norma hukumnya;
3. Melayani penyelesaian sengketa melalui fasilitas digitalseefektif mungkin dan
aksesibel dari manapun dan kapan pun
4. Dalam bidang pembangunan secara akademis secara internasional, WIPO
menyelenggarakan pelatihan dan pengajaran, distance learning centre using
internet facilities
5. Menyediakan materi dan modul untuk clien secara spesifik dan menggunakan
akses publik secara modern untuk diseminasi pengetahuan di bidang kekayaan
intelektual.
Pengaturan komunal berdasarkan aturan WIPO, dalam WIPO
menyebutkan hak komunal ini dengan tradisional knowledge (pengetahuan
tradisional), yang mana pengetahuan tradisional yang dimaksud diartikan sebagai
pengetahuan yang dimiliki oleh suatu masyarakat selama turun-temurun, yang
34
meliputi pengetahuan yang dimiliki masyarakat adat tentang pengelolaan
kekayaan hayati semisal untuk makanan dan obat-obatan; lagu, cerita, legenda,
serta kesenian dan kebudayaan masyarakat lainnya.
Hal yang membedakan antara pengetahuan traadisional dengan hasil karya
intelektual lain adalah bahwa satu pengetahuan tradisional merupakan satu bentuk
karya intelektual yang tumbuh dan berkembang dari dan dalam masyarakat
komunal. WIPO juga memberikan batasan. Menurut WIPO pengetahuan
tradisional adalah: The categories of traditional knowledge include...expressions
of folklore in the form of music, dance, song, handcraft, design, stories and
artwork ...35
Berdasarkan uraian tersebut diatas dikatakan suatu karya intelektual dapat
dikatakan sebagai pengetahuan tradisional apabila tumbuh dan secara komunal
dimiliki oleh satu kelompok masyarakat atau komunitas tertentu. Suatu
pengetahuan dapat dikatakan sebagai pengetahuan tradisional manakala
pengetahuan tersebut:
1. Diajarkan dan dilaksanakan dari generasi ke generasi
2. Merupakan pengetahuan yang meliputi pengetahuan tentang lingkungan dan
hubungannya dengan segala sesuatu
3. Bersifat holistik, sehingga tidak dapat dipisahkan dari masyarakat yang
membangunnya;
35
4. Merupakan jalan hidup (way of life), yang digunakan secara bersama-sama
oleh komunitas masyarakat, dan karenanya di sana terdapat nilai-nilai
masyarakat.
Pengetahuan tradisional di Indonesia, merupakan suatu kekayaan
intelektual yang semestinya layak untuk dilindungi. Oleh karena itu, saat ini
bergulir wacana tentang pentingnya perlindungan pengetahuan tradisional melalui
pendekatan hukum tentang HKI. Namun, pengaturan hukum tentang HKI terkait
dengan pengetahuan tradisional tersebut belum sepenuhnya mampu memberikan
perlindungan atas pengetahuan tradisional ini.
Ada beberapa alasan pengetahuan tradisional tidak mampu diberikan
perlindungan melalui pengaturan hukum tentang HKI, yaitu:
1. Pengetahuan tradisional merupakan kreasi yang dihasilkan secara komunal
dan bersifat turun temurun, sedangkan hak kekayaan intelektual merupakan
kreasi yang dihasilkan secara individual. Atas dasar ini, sangat sulit
pengetahuan tradisional dilindungi berdasarkan pengaturan tentang HKI.
2. Pengetahuan tradisional merupakan kreasi yang umumnya telah
terpublikasikan, sehingga aspek kebaruan (novelty) yang semestinya dipenuhi
dalam beberapa persyaratan pengaturan hukum tentang HKI (seperti paten
dan desain industri) tidak terpenuhi.
3. Pengetahuan tradisional yang saat ini dapat dilindungi oleh ketentuan hukum
HKI (seperti hak cipta) ternyata tidak memberikan suatu pengaturan yang
tuntas. Sehingga pengetahuan tradisional tidak mendapatkan perlindungan
Dari uraian yang disebutkan diatas, sudah jelas terlihat pengetahuan
tradisional di Indonesia belum mendapatkan perlindungan dalam HKI dan agak
sulit untuk dapat dilindungi mengingat adanya paradigma dan filosofi yang
berbeda atas objek pengetahuan tradisional dengan HKI itu sendiri. Maka, apapun
langkah yang diambil saat ini oleh pemerintah ataupun oleh lembaga swasta yang
berupaya melindungi pengetahuan tradisional melalui pendekatan melalui
pengaturan hukum HKI merupakan suatu kekeliruan dan sekaligus merupakan
pengingkaran atas penerapan sistem HKI. Lebih tegasnya lagi, perlindungan
pengetahuan tradisional melalui pendekatan pengaturan hukum tentang HKI
merupakan tindakan yang sia-sia, untuk itu semestinya yang harus dilakukan guna
memberikan perlindungan hukum atas pengetahuan tradisional.
Perlindungan hak kekayaan intelektual oleh WIPO dianggap lemah bagi
negara-negara berkembang seperti perlindungan HKI di Indonesia yang kemudian
dilakukan pembahasan permasalahan hak kekayaan intelektual dalam agenda
sidang di Uruguay (Uruguay Round) pada tahun 1986, yang mana hasil agenda
sidang tersebut salah satunya ialah persetujuan mengenai hak kekayaan intelektual
yaituTrade Related Intellectual Property Rights (TRIP’sAgreement).
Tujuan PersetujuanTRIP’santara lain:36
1. Mengurangi penyimpangan dan hambatan bagi perdagangan internasional
2. Menjamin bahwa tindakan dan prosedur untuk menegakkan hak kekayaan
intelektual tidak menjadi kendala bagi perdagangan yang sah
36
3. Mendukung inovasi, alih dan teknologi untuk keuntungan bersama antara
produsen dan pengguna pengetahuan teknologi dengan cara yang kondusif bagi
kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta keseimbangan hak dan kewajiban.
Menurut Afrillyanna Purba, Persetujuan TRIP’s ini bertujuan untuk
melindungi dan menegakan hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) guna
mendorong timbulnya inovasi, pengalihan serta penyebaran ilmu pengetahuan,
teknologi, seni dan sastra, sehingga diharapkan akan bermuara pada terciptanya
kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat.37
Adapun prinsip-prinsip dari PersetujuanTRIP’sadalah sebagai berikut:38
1. Dalam pembentukan atau perubahan hukum dan peraturan perundangundangan
nasionalnya, negara-negara anggota dapat menetapkan upayaupaya yang
diperlukan untuk melindungi kesehatan dan gizi masyarakat, dan untuk
memajukan kepentingan masyarakat pada sektor-sektor yang sangat penting
bagi pembangunan sosial-ekonomi dan teknologi, sepanjang langkah-langkah
tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Persetujuan ini;
2. Sepanjang konsisten dengan ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan ini,
langkah-langkah yang sesuai dapat diambil untuk mencegah penyalahgunaan
hak kekayaan intelektual oleh pemegang hak atau praktik-praktik yang secara
tidak wajar menghambat perdagangan atau berdampak negatif terhadap alih
teknologi internasional.
Disetiap negara-negara anggota WTO telah melakukan berbagai upaya dan
langkah penyempurnaan terhadap pengaturan di bidang HKI. Langkah tersebut
37
Afrillyanna Purba, dkk, Kajian Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), Hlm..2
38
dilakukan untuk meningkatkan pengaturan HKI yang disesuaikan dengan
prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Persetujuan TRIP’s. yang
membagi 7 (tujuh) jenis HKI, yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta;
2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas
Tanaman;
3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;
4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri;
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit
Terpadu;
6. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (UU Paten); dan
7. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek;
Pengetahuan tradisional merupakan satu bentuk karya intelektual yang
tumbuh dan berkembang dari dan dalam masyarakat komunal. Beberapa sumber
hukum internasional yang hingga saat ini dijadikan sumber hukum internasional
untuk mengakomodasi perlindungan pengetahuan tradisional antara lain:39
1. Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and The Fair and
Equitable Sharing of Benefits tahun 2010;
2. Cartagena Protocol on Biosafety tahun 2000;
3. United Nation Convention on Biological Diversity tahun 1992;
39
4. Marrakech Agreement Establishing the World Trade Organization tahun
1995;
5. International Covenant on Civil and Political Rights tahun 1966;
6. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights tahun
1966;
Secara umum, hal mencolok dari perlindungan pengetahuan tradisional
dan HKI adalah sifat kepemilikan pengetahuan tradisional yang bersifat komunal
dan tanpa jangka waktu tertentu, sedangkan HKI memberikan perlindungan yang
bersifat individualistik dan dalam jangka waktu tertentu.40
Sesuai dengan konvensi-konvensi internasional serta dalam rangka
kewajiban TRIP’s Agreement, bahwa Indonesia sudah memperbaharui, merevisi,
mengharmonisasikan sistem hukum HKI-nya, serta membentuk
peraturan-peraturan baru dibidang HKI.
Berdasarkan ratifikasi peraturan-peraturan dibidang HKI menurut
Persetujuan TRIP’s, selain sudah mengharmonisasikan peraturan
perundang-undangan nasional, ada pula peraturan HKI yang bersifat internasional yang
berupa Konvensi atau Traktaat, yang mana pihak Indonesia sendiri menjadi
negara peserta dan ikut meratifikasi ketentuan Konvensi atau traktat tersebut yang
kesemuanya dikelola oleh WIPO yang berkantor pusat di Jenewa. Selain itu, ada
pula perjanjian multilateral yang tidak dikelola oleh WIPO, misalnya Universal
Copyright Convention yang dikelola UNESCO. Ada pula perjanjian internasional
yang tidak secara khusus mengenai HKI, tetapi menjadikan HKI sebagai salah
40
satu isinya. Contohnya Konvensi tentang keragaman hayati (Viodiversity
convention), konvensi ini dikelola oleh UNCED.41
Berdasarkan perjanjian atau konvensi internasional yang terbaru adalah
persetujuan mengenai Aspek-Aspek Dagang dari pada HKI, termasuk
Perdagangan Barang-Barang Tiruan (Trade Related Aspects of Intelectual
Property Rights including Trade in Counterfeit Goods)atauTRIP’s yang dikelola
oleh organisasi perdagangan dunia (WTO). Badan ini dibentuk berdasarkan salah
satu persetujuan dalam paket persetujuan Putaran Uruguay.
Berdasarkan regulasi Persetujuan TRIP’s tersebut, bahwa pengaturan
mengenai hak komunal belum diatur secara eksplisit dan belum ada mengatur
perlindungan terhadap pengetahuan tradisional yang komunal secara keseluruhan.
Dikarenakan,TRIP’sAgreement fokus kepada perlindungan secara individualistik
yang merupakan konsepsi dari pemikiran negara-negara barat yang merupakan
negara maju.
Konsep HKI yang berdasarkan Persetujuan TRIP’s pada dasarnya
memberikan hak monopoli didasarkan atas kemampuan individual dalam
melakukan kegiatan untuk menghasilkan temuan (invention). Dengan begitu,
pemegang HKI mendapatkan keuntungan ekonomi dari kekayaan intelektual yang
dimilikinya. Dengan begitu, sebenarnya HKI lahir dalam masyarakat di mana hak
kepemilikan dimiliki oleh individu atau perusahaan/kapitalis. Dalam hal ini adalah
masyarakat kapitalis Barat.
41
Berdasarkan kaedah yang terkandung dalam Persetujuan TRIP’s tersebut,
Persetujuan TRIP’s tidak mengakui nilai inovasi untuk memenuhi kebutuhan
sosial dalam masyarakat yang komunal karena lebih mementingkan komersialisasi
dari suatu inovasi, sesungguhnya masyarakat Indonesia tidak memahami filosofi
dasar HKI, karena masyarakat adat tidak menganggap pengetahuan tradisional
yang komunal tersebut sebagai miliknya secara individu.
Pengaturan eksplisit atas perlindungan pengetahuan tradisional yang
komunal berasal karya masyarakat lokal yang diperoleh secara turun temurun
dapat ditemukan pada Protokol Nagoya 2010,yakni:
Article 3, Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and The Fair
and Equitable Sharing of Benefitstahun 2010:
“This Protocol shall apply to genetic resources within the scope of Article
15 of the Convention and to the benefits arising from the utilization of
such resources. This Protocol shall also apply to traditional knowledge
associated with genetic resources within the scope of the Convention and
to the benefits arising from the utilization of such knowledge.”
Berdasarkan protokol tersebut diatas, Protocol Nagoya tahun 2010
tentang Akses Terhadap Sumber Daya Hayati dan Pembagian Keuntungan Yang
Adil dan Merata atas Pemanfaatannya.42 mengatur secara eksplisit atas
perlindungan pengetahuan tradisional yang komunal berasal karya masyarakat
lokal yang diperoleh secara turun temurun, dan protokol tersebut juga
42
memberikan perlindungan atas pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan
sumber daya genetik.
C. Perlindungan Hak Komunal dalam Negara-Negara yang Meratifikasi Aturan WIPO danTRIP’s
Keberadaan Hak Kekayaan intelektual (HKI) dalam hubungannya dengan
antar manusia dan antar negara merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri
lagi. Indonesia sebagai salah satu anggota dari masyarakat internasional tidak
akan terlepas dari perdagangan internasional. Sekarang ini negara sebagai pelaku
perdagangan internasional terorganisasikan dalam sebuah wadah yang disebut
World Trade Organization(WTO).
Salah satu konsekuensi dari keikutsertaan sebagai anggota WTO, maka
semua negara peserta termasuk Indonesia diharuskan menyesuaikan segala
peraturan di bidang Hak Kekayaan Intelektual dengan standar Trade Related
Aspects of Intellectual Property Right(TRIP’s).
Berdasarkan pernyataan tersebut diatas dapat dilihat dari kondisi
bagaimana suatu negara mengatur perlindungan traditional knowledge. Banyak
negara berpendapat bahwa pengaturan Hak Kekayaan Intelektual yang ada tidak
cukup dapat melindungi traditional knowledge secara kuat. Oleh karena itu,
mereka membuat pengaturan khusus sebagai suatu yang sui generis dalam
Kondisi demikian juga terlihat di Indonesia dalam melakukan kerjasama
dan mengikatkan diri dengan dunia internasional, baik secara bilateral maupun
multilateral di bidang Hak Kekayaan Intelektual, seperti :
1. Perjanjian bilateral sebagaimana tertuang dalam:
a. Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1988 tentang Pengesahan
Kesepakatan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Masyarakat Eropa
tentang Perlindungan Hak Cipta atas Rekaman Suara.
b. Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1989 tentang Pengesahan
Kesepakatan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah
Amerika Serikat tentang Perlindungan Hak Cipta.
c. Keputusan Presiden Nomor 38 Tahun 1988 tentang Pengesahan
Kesepakatan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah
Australia tentang Perlindungan dan Pelaksanaan Hak Cipta.
d. Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1988 tentang Pengesahan
Kesepakatan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah
Kerajaan Inggris dan Irlandia Utara tentang Perlindungan Hak Cipta.
2. Perjanjian multilateral sebagaimana tertuang dalam:
a. Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1979 tentang Pengesahan Paris
Convention for the Protection of Industrial Property and Convention
Establishing the World Intellectual Property Organization, sebagaimana
diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997.
b. Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1997 tentang Pengesahan Patent
c. Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1997 tentang PengesahanTrade Mark
Law Treaty.
d. Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pengesahan Berne
Convention for the Protection of Literary and Artistic Works.
e. Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pengesahan WIPO
Copyright Treaty.
Hal yang perlu dikaji melalui pendekatan sistem HKI adalah aspek budaya
hukum (culture of law). Khusus mengenai perlindungan Hak atas Kekayaan
Intelektual, dalam bidang hak cipta iklim budaya Indonesia telah menawarkan
sesuatu yang berbeda dengan budaya hukum negara-negara maju.
Keterkaitan budaya nasional dengan hak cipta sebagai bagian dari HKI
mengisyaratkan bahwa HKI tidak akan terlepas dengan hak-hak yang dimiliki
manusia yang bersifat mutlak. Karena para pencipta di Indonesia sangat senang
dan bangga bila suatu karya ciptaannya diperbanyak atau diumumkan oleh orang
lain, dan apabila karya ciptaanya ditiru oleh orang lain.
Disisi lain, Indonesia sebagai negara yang terdiri beragam jenis budaya
memiliki sistem perlindungan HKI yang menganut konsep komunal (comunl
right) artinya bahwa suatu karya intelektual seseorang adalah milik bersama,
artinya jika orang lain mempergunakan hasil karya intelektual tanpa seijin
pemiliknya dianggap bukan suatu pelanggaran.
Hal tersebut diatas tentunya sangat berbanding terbalik dengan
negara-negara lain, seperti halnya negara-negara Malaysia. Hukum HKI di Malaysia bersandar
negara kolonial Inggris. Hukum HKI di Inggris diawali lahirnya Statuta Act Anne
1709, Engraving Copyrght Act 1735, 1766, The Prints Copyright Act 1777, dan
Schulture Copyright Act 1814. Undang-Undang tersbut diberlakukan di Malaysia
pada tahun 1826.43
Sampai saat ini undang-undang HKI yang diberlakukan di Malaysia
adalah :44
1. Copyright Act of 1987, Copyright Act (Amandement) 1997,danCopyright Act
(Amandement) 2003.
2. Patent Act 1983, Patent Act (Amandement) of 1986, Patent Act
(Amandement) 1993, Patent Act (Amandement) 2000, Patent Act
(Amandement) 2002, Patent Act (Amandement) 2003, Patent Act
(Amandement) 2006.
3. Trade Mark Act 1976, Trade Mark Act (Amadement) 1994, Trade Mark Act
(Amadement) 1997, Trade Mark Act (Amadement) 2000, Trade Mark Act
(Amadement) 2002
4. Industrial Design Act 1996,berlaku pada tahun 1999
5. Geographical Indication Act 2000, Geographical Indication Act
(Amandement) 2002
6. The Malaysian Franchise Act 1998,berlaku pada tahun 1999
7. Layout Design of Integrated Circuits Act 2000
8. Intelectual Property Corporation of Malaysia Act 2002.
43
Candra Irawan, Politik Hukum Hak Kekayan Intelektual Indonesia, (Bandung: CV Bandar Maju, 2011), hlm.. 172
44
Pengaturan dalam perlindungan suatu karya di Malaysia di lindungi dalam
UU Hak Cipta. Berdasarkan UU Hak Cipta di Malaysia memberlakukan
pasal-pasal tertentu dalam memberikan perlindungan kepentingan nasional,45yaitu:
1. Disebutkan suatu karya telah dipublikasi jika diterbitkan pertama kali atau
dipertunjukkan di Malaysia dan tidak ditempat lainyang kemudian diterbitkan
di Malaysia dalam waktu 30 hri sejak dipublikasi ditempat lain tersebut.
(Pasal 4 Copyryght Act Amandement 2000).
2. Pengguna memiliki akses untuk menggunakan karya yang dilindungi hak
cipta tanpa harus meminta ijin dari pemilik hak cipta, dan tidak dianggap
sebagai pelanggaran hak cipta. Hal tersebut berlaku, antara lain panggunaan
untuk tujuan nirlaba, untuk dipelajari sendiri, kritik atau laporan suatu
peristiwa dengan menyebut sumbernya, pengungkapan dalam bentuk parodi,
bungan rampai atau karikatur, untuk kepentingan pendidikan, untuk
kepentingan pemerintah pada arsip nasional, perpustakaan nasional,
perpustakaan umum, perpustakaan lembaga pendidikan, kepentingan ilmiah
dan lembaga profesional. Menteri dapat menentukan penggunaan hak cipta
untuk kepentingan umum sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang
berlaku (Pasal 9 Ayat (4) dan (5), Pasal 13 Copyryght Act Amandement
1990).
Sedangkan di negara Cina46, awal keterlibatan Cina dalam pengaturan HKI
secara internasional dimulai sejak tahun 1980, Cina telah melakukan
penyempurnaan undan-undang tentang HKI agar lebih sesuai dengan perjanjian
45
Ibid.,hlm.. 175 46
internasional, seperti: konvensi Bern, konvensi Paris, Konvensi Roma. Cina
membuat UU Hak Cipta tahun 1990 diamandemen tahun 2001 dan terakhir
diamandemen tahun 2006, UU Paten diberlakukan pada tahun 1984,
diamandemen dua kali tahun 1992 dan 2000, UU Merek pertama kali
diberlakukan tahun 1982, direvisi dua kali, tahun 1993 dan 2001. Dan beberapa
konvensi internasional lainnya yang telah disetujui dan diratifikasi Cina.
Konsep perlindungan hukum HKI dari dunia barat sangat bertentangan
dengan budaya di negara Cina. Dalam memberikan perlindungan dalan hak cipta
atas suatu karya sebagaimana dimaksud antara lain47:
1. UU Hak Cipta disamping untuk melindungi hak-hak pencipta juga ditujukan
untuk memberi keseimbangan bagi kepentingan masyarakat umum dan untuk
mendorong pengembangan kebudayaan nasional (Pasal 1).
2. Perlindungan hak cipta asing tidak secara otomatis, namun berdasarkan
ketentuan apabila diterbitkan pertama kalinya di Cina atau didaftarkan di Cina
paling lambat 30 hari sejak pertama dipublikasikan diluar Cina. Disamping itu
juga negara asal dari pencipta harus memiliki perjanjian tertentu dengan Cina
mengenai perlidungan hak cipta dan hak cipta warga negara Cina juga
mendapatkan perlindungan serupa dinegara yang bersangkutan (Pasal 4).
3. Hak ekonomi pencipta dibatasi dalam kondisi tertentu, misalnya pemerintah
diperbolehkan mereproduksi ciptaan untuk referensi internal (bersifat
administratif), kepentingan dalam persidangan di pengadilan, kepentingan
pendidikan, dan pengajaran di sekolah (Pasal 44 – Pasal 46). Badang-badan
pendidikan resmi juga diperbolehkan mereproduksi ciptaan dengan caatan
harus memberitahukan kepada pencipta atau pemegang hak cipta dengan
kompensasi yang ditetapkan pemerintah (Pasal 47).
47
A. Filosofi Atas Hak Kekayaan Intelektual
Kekayaan Intelektual atau Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Hak
Milik Intelektual adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual
Property Rights(IPR) atauGeistiges Eigentum, dalam bahasa Jermannya48. Istilah
atau terminologi HKI digunakan untuk pertama kalinya pada tahun 1790. Adalah
Fichte yang pada tahun 1793 mengatakan tentang hak milik dari si pencipta ada
pada bukunya. Yang dimaksud dengan hak milik disini bukan buku sebagai
benda, tetapi buku dalam pengertian isinya.49
Istilah HKI terdiri dari tiga kata kunci, yaitu Hak, Kekayaan, dan
Intelektual. Kekayaan merupakan abstraksi yang dapat dimiliki, dialihkan, dibeli,
maupun dijual. Hak kekayaan intelektual adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu
benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio. Hasil dari pekerjaan
rasio manusia yang menalar. Hasil kerjanya itu berupa benda immaterial. Benda
tidak berwujud.50
Perhatian masyarakat internasional terhadap perlindungan di bidang HKI,
tercermin dalam persetujuan putaran Uruguay dalam rangka GATT yang di
dalamnya terdapat persetujuan tentang TRIP’s. Hal ini menjadikan masalah
48
Syafrinaldi, Hukum Tentang Perlindungan Hak Milik Intelektual Dalam Menghadapi Era Globalisasi, (Jakarta: UIR Press, 2010), hlm.. 8.
49
Ibid.,hlm.. 13 50
penegakan aturan hukum HKI menjadi sangat penting untuk menghindari
dilakukannya tindakan balasan di bidang perdagangan (trade retaliation/ cross
retaliation) serta intervensi asing sebagai akibat tidak diberikannya prioritas
dalam penegakan HKI.
Adanya kesepakatan GATT pada Putaran Uruguay yang menandai
menyebarnya sistem hukum HKI di setiap penjuru dunia, menempatkan
permasalahan HKI pada tangga yang tertinggi dan menjadi isu global. Bahkan
sengketa antar negara pun nantinya akan bergeser dari sengketa ideologi ke arah
sengketa HKI.51
Indonesia yang turut menyepakati GATT Putaran Uruguay, wajib
menyesuaikan sistem hukum HKI-nya sebagaimana telah diatur dalam TRIP’s.
Ratifikasi yang dilakukan pemerintah Indonesia, dengan UU No.7 Tahun 1994
tentang pengesahan Agreement Establishing the word Trade organization,
menandakan dibukanya pintu masuk ketentuan-ketentuan TRIP’s dalam sistem
hukum Indonesia.
Persetujuan TRIP’s ini melengkapi perjanjian-perjanjian HKI yang sudah
ada sebelumnya dan sekaligus pengelolaan perlindungan hak atas kekayaan
intelektual secara internasional dikelola olehWorld Trade Organization(WTO).
51
Secara garis besar ciri-ciri pokok persetujuan TRIP’s pada dasarnya
berkisar pada tiga hal :52
1. Persetujuan ini berbicara mengenai norma dan standar
2. Persetujuan TRIP’s menetapkan kesesuaian penuh (full compliance) terhadap
perjanjian internasional di bidang hak kekayaan intelektual sebagai persyaratan
minimal (Konvensi Paris, Konvensi Bern dan Traktat Washington);
3. Persetujuan TRIP’smemuat ketentuan mengenai penegakan hukum yang ketat
berikut mekanisme penyelesaian perselisihan atau sengketa yang diikuti
dengan hak negara yang dirugikan untuk mengambil tindakan balasan dibidang
perdagangan secara silang.
Dengan adanya pengaturan hukum HKI tersebut, berarti secara prinsip,
Indonesia telah mengikatkan diri pada ketentuan internasional. Secara teori
adanya kewajiban harmonisasi perangkat hukum HKI yang jelas harus juga
ditindak lanjuti dengan proses penegakan hukum yang tegas.
Atas hal tersebut di atas, maka ketika negara meratifikasi TRIP’s dan
mengharmonisasikan peraturan tentang perlindungan HKI, maka sistem
pengetahuan masyarakat akan menghadapi tantangan yang besar. Pengetahuan
mereka akan “dirambah” dan diprivatisasi oleh perusahaan serta individu. Lalu,
kalaupun suatu negara mengadakan peraturan yang melindungi inovasi
masyarakat tradisional dan lokal, negara tersebut akan menghadapi banyak
tantangan dari negara negara lain yang menganut sistem kepemilikan HKI secara
52
Bambang Kesowo, Implementasi Persetujuan TRIP’s dalam Hukum Hak Kekayaan
individual yang justru mempermudah perambahan pengetahuan tradisional dan
lokal.
Perlindungan hak atas kekayaan intelektual mempunyai dua dasar yaitu
terbagi atas :
1. Hak Milik Industri (Industrial Property Right)
2. Hak Cipta (Copyright).
Hak cipta dapat diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu:
a. Hak Cipta
b. Hak yang berkaitan dengan hak cipta (neighbouring rights).
Dalam rangka mengantisipasi era global, Indonesia menyesuaikan aturan
aturan yang berhubungan dengan HKI diantaranya:
1. Undang-Undang Nomor No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas
Tanaman.
2. Undang-Undang Nomor No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri.
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit
Terpadu.
5. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.
6. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
7. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Dalam pengaturan hukum mengenai HKI saat ini mempunyai karakter
melalui konvensi-konvensi internasional, tetapi bermula dan berakar dari
negara-negara individu secara mandiri sebagai subjek hukum internasional.
Sebaliknya, dalam penerapan selanjutnya masing-masing negara
mengadopsinya dengan memperhatikan akar budaya dan sistem hukumnya
masing-masing, berarti bahwa implementasi perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual pada pendekatan masing-masing negara.
Dapat dilihat dari kondisi bagaimana suatu negara mengatur perlindungan
terhadap pengetahuan tradisionalnya yang bersifat komunal. Banyak negara
berpendapat bahwa pengaturan Hak Kekayaan Intelektual yang ada tidak cukup
dapat melindungi traditional knowledge secara kuat. Oleh karena itu, mereka
membuat pengaturan khusus sebagai suatu yang sui generis dalam perlindungan
terhadaptraditional knowledge. Demikian hal tersebut terlihat di Indonesia dalam
melakukan kerjasama dan mengikatkan diri dengan dunia internasional, baik
secara bilateral maupun multilateral di bidang Hak Kekayaan Intelektual
B. Prinsip-prinsip dalam Perlindungan Hak Cipta
Di Indonesia, hak cipta diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta, yaitu,
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002. Dalam Pasal 1 ayat 1 UU Hak Cipta
tersebut, pengertian hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima
hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin
untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
Istilah hak cipta di usulkan pertama kali oleh St. Moh. Syah Pada Kongres
Kebudayaan di Bandung tahun 1951 yang kemudian diterima oleh Kongres
tersebut, sebagai pengganti istilah hak pengarang yang dianggap kurang luas
cakupan pengertiaanya. Istilah hak pengarang itu sendiri merupakan terjemahan
dari istilah bahasa BelandaAuteurs Rechts.53
Agus Sembiring,54 mengemukakan bahwa hak cipta adalah hak dari
pembuat sebuah ciptaan terhadap ciptaannya dan salinannya. Pembuat sebuah
ciptaan memiliki hak penuh terhadap ciptaannya tersebut serta salinan dari
ciptaannya tersebut. Hak-hak tersebut misalnya adalah hak-hak untuk membuat
salinan dari ciptaannya tersebut, hak untuk membuat produk derivatif, dan
hak-hak untuk menyerahkan hak-hak-hak-hak tersebut ke pihak-hak lain. Hak cipta berlaku seketika
setelah ciptaan tersebut dibuat. Hak cipta tidak perlu didaftarkan terlebih dahulu.
Menurut Hanafi, secara hakiki hak cipta termasuk hak milik immaterial
karena menyangkut ide, gagasan pemikiran, imajinasi dari seseorang yang
dituangkan ke dalam bentuk karya cipta, seperti buku ilmiah, karangan sastra,
maupun karya seni.55Bahwa hak cipta yang melindungi sebuah karya, yang mana
seseorang lain berhak membuat karya lain yang fungsinya sama asalkan tidak
dibuat berdasarkan karya orang lain yang telah memiliki hak cipta,
Sementara itu pengertian hak cipta menurut World Intellectual Property
Organization: “ Copyright is alegal form dicribing right given to creator for the
53
Ajip Rasidi, Undang-Udang Hak Cipta 1982, Pandangan Seorang Awam, (Jakarta: Djambatan, 1984), hlm.. 3.
54
Hak Cipta di Indonesia, http://edukasi.kompasiana.com, (diakses tanggal 5 Oktober 2013)
55
literary and artistic work” Hak Cipta adalah terminology hukum yang
menggambarkan hak-hak yang diberikan kepada pencipta untuk karya-karya
mereka dalam bidang seni dan sastra.56
Prinsip-prinsip dasar yang terdapat pada hak cipta, yaitu:
1. Yang dilindungi hak cipta adalah ide yang telah berwujud dan asli.
Salah satu prinsip yang paling fundamental dar perlindungan hak cipta hanya
berkenan dengan bentuk perwujudan dari suatu ciptaan, sehingga tidak
berkenaan atau berurusan dengan substansinya.57
Dari prinsip ini diturunkan beberapa prinsip yaitu:
a. Suatu ciptaan harus mempunyai keaslian (orisinilitas) untuk dapat
menikmati hak-hak yang diberikan Undang-Undang, sangat erat
hubungannya dengan bentuk perwujudan suatu ciptaan.
b. Suatu ciptaan mempunyai hak cipta jika ciptaan yang bersangkutan
diwujudkan dalam bentuk tulisan atau bentuk materil lain. Ini berarti bahwa
suatu ide atau suatu pemikiran atau gagasan, atau cita-cita belum merupakan
suatu ciptaan.
c. Karena hak cipta adalah hak khusus, tidak ada orang lain yang boleh
melakukan hak itu kecuali dengan izin pencipta.
56
Husain Audah, Hak Cipta & Karya Cipta Musik, (Bogor: PT. Pustaka Litera Antara Nusa, 2004), hlm. 6
57
2. Hak cipta timbul dengan sendirinya (otomatis).58
Suatu hak cipta eksis pada saat seorang pencipta mewujudkan idenya dalam
suatu bentuk yang berwujud. Dengan adanya wujud dari suatu ide suatu ciptaan
lahir. Dan suatu ciptaan yang dilahirkan dapat di umumkan. Hak cipta yang
tidak di umumkan maka hak ciptanya tetap ada pada pencipta.
3. Suatu ciptaan tidak selalu perlu diumumkan untuk memperoleh hak cipta.59
Suatu ciptaan yang di umumkan maupun tidak di umumkan tetap memperoleh
hak cipta
4. Hak cipta suatu ciptaan merupakan suatu hak yang diakui oleh hukum (legal
right) yang harus dipisahkan dan dibedakan dari penguasaan fisik suatu
ciptaan.
5. Hak cipta bukan hak mutlak (absolut).60
Hak cipta bukan suatu monopoli mutlak untuk melainkan hanya suatu limited
monopoly. Hal ini dapat terjadi karena hak cipta secara konseptual tidak
mengenal konsep monopoli penuh, sehingga mungkin saja seorang pencipta
menciptakan suatu ciptaan yang sama dengan ciptaan yang telah tercipta
terlebih dahulu.
Yang perlu menjadi prinsip dalam membedakan perlindungan hak cipta
dengan perlindungan hak atas kekayaan intelektual lainnya adalah bahwa hak
cipta melindungi karya sastra (literary works) dan karya seni (artistic works)
dengan segala bentuk perkembangannya didunia ini.
58
Republik Inonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Penjelasan Pasal 35 ayat (4)
59
Ibid.
60
C. Pengaturan Hak Cipta Menurut UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 mengenai hak cipta,
tertulis “Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu
dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perUndang-Undangan yang berlaku.(Pasal 1 ayat 1)“ Pasal ini sudah sangat jelas mengatakan
bahwa semua hasil karya seseorang (pencipta) diberikan hak untuk
memperbanyak ciptaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 1 angka 3 UU Hak Cipta, menyatakan bahwa, ciptaan adalah hasil
karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan,
seni dan sastra.
Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU Hak Cipta mengumumkan berarti
pembacaan, penyiaran pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu
Ciptaan dengan menggunakan alat apapun, termasuk media internet, atau
melakukan dengan cara apapun sehingga suatu Ciptaan dapat dibaca, didengar,
atau dilihat orang lain.
Berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU Hak Cipta pengertian memperbanyak
adalah penambahan jumlah suatu Ciptaan, baik secara keseluruhan maupun
bagian yang sangat substantial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama atau
pun tidak sama, termasuk pengalihwujudkan secara permanen atau temporer.
1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak
Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul
secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi
pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2) Pencipta atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan Program
Komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain
yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut untuk
kepentingan yang bersifat komersial.
Berdasarkan Pasal 2 ayat 1 UU Hak Cipta tersebut, bahwa Indonesia
secara tegas menyatakan dalam mengumumkan atau memperbanyak ciptaan, itu
harus memperhatikan pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perUndang-Undangan yang berlaku. Pembatasan yang dimaksud sudah tentu bertujuan agar
dalam setiap menggunakan atau memfungsikan hak cipta harus sesuai dengan
tujuannya.
Karya-karya seni yang penciptanya tidak diketahui dan sudah berlangsung
secara turun temurun. Jika dikaitkan dengan ketentuan UU Hak Cipta, maka dapat
merujuk pada Pasal 10 ayat 2 yang menyatakan Negara memegang Hak Cipta
atas Folklor, dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti
cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan, tarian, kaligrafi, dan
karya seni lainnya.
Pasal 10 dalam UU Hak Cipta menyatakan bahwa :
1) Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya.
legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya.
3) Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Menurut Hutauruk,61 ada beberapa unsur penting yang terkandung dari
rumusan pengertian hak cipta yang termuat dalam ketentuan UU Hak Cipta,
hak-hak yang melekat dalam Hak Cipta, yaitu:
1. Hak ekonomi,
merupakan hak yang dapat dipindahkan, dialihkan kepada pihak lain.
2. Hak moral,
yang dalam keadaan bagaimanapun, dan dengan jalan apapun tidak dapat
ditinggalkan daripadanya (mengumumkan karyanya, menetapkan judulnya,
mencantumkan nama sebenarnya atau nama samarannya dan mempertahankan
keutuhan atau integritas ceritanya).
Yang dimaksud dengan pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai
pemilik hak cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta atau pihak
lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut
sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 1 angka 4 UU Hak Cipta.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 2002
membedakan penggolongan Pencipta Hak Cipta dalam beberapa kualifikasi
sebagai berikut :
61
1. Seseorang, yakni:
a. Orang yang namanya terdaftar dalam daftar umum Ciptaan pada direktorat
Jendral HKI,
b. Orang yang namanya tersebut dalam Ciptaan atau diumumkan sebagai
pencipta pada suatu ciptaan,
c. Seseorang yang beceramah tidak menggunakan bahan atau secara tidak
tertulis dan tidak ada pemberitahuan siapa Penciptanya.
d. Seseorang yang membuat ciptaan dalam hubungan dinas dengan pihak lain
dalam lingkungan pekerjaanya atau hubungan dinas berdasarkan pesanan
atau hubungan kerja atau berdasarkan atau pesanan.62
Hal tersebut diatas sesuai dengan ketentuan yang disebutkan Pasal 5 UU
Hak Cipta menyatakan :
1) Kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap sebagai Pencipta adalah : a. Orang namanya tercantum dalam daftar umum ciptaan pada
Direktorat Jendral atau:
b. Orang yang namanya tersebut dalam ciptaan atau diumumkan sebagai Pencipta pada suatu ciptaan.
2) Kecuali terbukti sebaliknya, pada ceramah yang tidak menggunakan bahan tertulis dan tidak ada pemberitahuan siapa penciptanya, maka orang yang beceramah dianggap sebagai pencipta ceramahnya.
Dua orang atau lebih jika suatu ciptaan oleh beberapa orang, maka yang
dianggap sebagai Penciptanya :
1. Orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh ciptaan yang
bersangkutan atau penghimpunnya:
2. Perancang ciptaan yang bersangkutan
62
Pernyataan diatas sesuai dengan ketentuan Pasal 6 dan Pasal 7 UU Hak
Cipta. Pasal 6 UU Hak Cipta menyatakan jika suatu ciptaan terdiri dari beberapa
bagian tersendiri yang diciptakan oleh dua orang atau lebih, yang dianggap
sebagai pencipta adalah orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian
seluruh ciptaan itu, atau dalam hal tidak ada orang tersebut yang dianggap sebagai
pencipta adalah orang yang menghimpunnya, dengan tidak mengurangihak cipta
masing-masing baagian ciptaannya.
Sedangkan Pasal 7 UU Hak Cipta menyatakan jika suatu ciptaan dirancang
seseorang, diwujudkan dan dikerjakan oleh orang lain dibawah pimpinan dan
pengawasan orang yang merancang, penciptanya adalah orang yang merancang
ciptaan itu.
Namun praktiknya, kini banyak penggelapan hasil karya pencipta yang di
ambil atau di bajak tanpa persetujuan sang pencipta. Hal itu sudah jelas melanggar
pasal ini. Hal ini tertera dalam Pasal 3 ayat 2 UU Hak Cipta yaitu Hak Cipta dapat
beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian karena:
1. Pewarisan;
2. Hibah;
3. Wasiat;
4. Perjanjian tertulis; atau
5. Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
Hak Pencipta/Pemegang Hak Cipta dibagi menjadi hak ekonomi dan hak
moral. Hak ekonomi adalah hak yang dimiliki oleh seorang Pencipta untuk
dimaksud dalam Pasal 1 ayat 2 UU Hak Cipta yang menyatakan bahwa Pencipta
atau Pemegang Hak Cipta atas Karya sinematografi dan Programm Komputer
memiliki hak untuk memberkan izin atau melarang orang lain yang tanpa
persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat
komersil.
Perlindungan hak cipta pada umumnya berarti bahwa penggunaan atau
pemakaian dari hasil karya tertentu hanya dapat dilakukan dengan ijin dari
pemilik hak tersebut. Yang dimaksud menggunakan atau memakai di sini adalah
mengumumkan, memperbanyak ciptaan atau memberikan ijin untuk itu.
Berdasarkan Pasal 12 ayat 1 maka ciptaan yang dapat dilindungi dalam
UU Hak Cipta ialah ilmu pengetahuan, kesenian. Sebagaimana yang tertuang
dalam Pasal 12 ayat 1 UU Hak Cipta ciptaan yang dilindungi adalah:
1. Buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang
diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain. Yang dimaksud dengan
perwajahan karya tulis adalah karya cipta yang lazim dikenal dengan
"typholographical arrangement", yaitu aspek seni pada susunan dan bentuk
penulisan karya tulis. Hal ini mencakup antara lain format, hiasan, warna dan
susunan atau tata letak huruf indah yang secara keseluruhan menampilkan
wujud yang khas.
2. Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu. Yang
dimaksud dengan ciptaan lain yang sejenis adalah ciptaan-ciptaan yang belum
disebutkan, tetapi dapat disamakan dengan ciptaan-ciptaan seperti ceramah,
3. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Yang dimaksud dengan alat peraga adalah ciptaan yang berbentuk dua
ataupun tiga dimensi yang berkaitan dengan geografi, topografi, arsitektur,
biologi atau ilmu pengetahuan lain.
4. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks. Lagu atau musik dalam
Undang-Undang ini diartikan sebagai karya yang bersifat utuh, sekalipun terdiri atas
unsur lagu atau melodi, syair atau lirik, dan aransemennya termasuk notasi.
Yang dimaksud dengan utuh adalah bahwa lagu atau musik tersebut
merupakan satu kesatuan karya cipta.
5. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim.
6. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni
kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan. Yang dimaksud
dengan gambar antara lain meliputi: motif, diagram, sketsa, logo dan bentuk
huruf indah, dan gambar tersebut dibuat bukan untuk tujuan desain industri.
Yang dimaksud dengan kolase adalah komposisi artistik yang dibuat dari
berbagai bahan (misalnya dari kain, kertas, kayu) yang ditempelkan pada
permukaan gambar. Seni terapan yang berupa kerajinan tangan sejauh tujuan
pembuatannya bukan untuk diproduksi secara massal merupakan suatu
ciptaan.
7. Arsitektur. Yang dimaksud dengan arsitektur antara lain meliputi: seni gambar
bangunan, seni gambar miniatur, dan seni gambar maket bangunan.
8. Peta. Yang dimaksud dengan peta adalah suatu gambaran dari unsur-unsur
permukaan bumi yang digambarkan pada suatu bidang datar dengan skala
tertentu.
9. Seni batik. Batik yang dibuat secara konvensional dilindungi dalam
Undang-undang ini sebagai bentuk ciptaan tersendiri. Karya-karya seperti itu
memperoleh perlindungan karena mempunyai nilai seni, baik pada ciptaan
motif atau gambar maupun komposisi warnanya. Disamakan dengan
pengertian seni batik adalah karya tradisional lainnya yang merupakan
kekayaan bangsa Indonesia yang terdapat di berbagai daerah, seperti seni
songket, ikat, dan lain-lain yang dewasa ini terus dikembangkan.
10. Fotografi.
11. Sinematografi. Karya sinematografi yang merupakan media komunikasi massa
gambar gerak (moving images) antara lain meliputi: film dokumenter, film
iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun.
Karya sinematografi dapat dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan
video, cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk
dipertunjukan di bioskop, di layar lebar atau ditayangkan di televisi atau di
media lainnya. Karya serupa itu dibuat oleh perusahaan pembuat film, stasiun
televisi atau perorangan.
12. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil
pengalihwujudan. Yang dimaksud dengan bunga rampai meliputi: ciptaan
dalam bentuk buku yang berisi kumpulan karya tulis pilihan, himpunan
lagu-lagu pilihan yang direkam dalam satu kaset, cakram optik atau media lain,
adalah kompilasi data dalam bentuk apapun yang dapat dibaca oleh mesin
(komputer) atau dalam bentuk lain, yang karena alasan pemilihan atau
pengaturan atas isi data itu merupakan kreasi intelektual. Perlindungan
terhadap database diberikan dengan tidak mengurangi hak pencipta lain yang
ciptaannya dimasukkan dalam database tersebut. Yang dimaksud dengan
pengalihwujudan adalah pengubahan bentuk, misalnya dari bentuk patung
menjadi lukisan, cerita roman menjadi drama, drama menjadi sandiwara radio,
dan novel menjadi film.63
Meski hak cipta berada pada bidang seni sastra dan ilmu pengetahuan,
namun ada beberapa ciptaan yang tidak ada hak ciptanya atau tidak mempunyai
hak cipta, diantaranya adalah:
1. Hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara.
2. Peraturan perundang-undangan.
3. Pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah.
4. Putusan pengadilan atau penetapan Hakim.
5. Keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya. Yang
dimaksud dengan keputusan badan-badan sejenis lain, misalnya
keputusan-keputusan yang memutuskan suatu sengketa, termasuk keputusan-keputusan-keputusan-keputusan
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, dan Mahkamah Pelayaran.64
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002
disebutkan bahwa jangka waktu pemilikan hak cipta 50 tahun.
63
Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Pasal 12 ayat (1) beserta Penjelasannya.
64
Pasal 29 ayat 1 dan ayat 2 dalam UU Hak Cipta menyatakan bahwa:
1) Hak Cipta atas Ciptaan :
a. buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lain; b. drama, atau drama musical, tari, koreografi;
c. segala bentuk seni rupa, seperti seni lukis, seni pahat, dan seni patung;
d. seni batik;
e. lagu atau musik dengan atau tanpa teks; f. arsitektur;
g. ceramah, kuliah, pidato dan Ciptaan sejenis; h. alat peraga;
i. peta;
j. terjemahan, tafsir, saduran, dan bunga rampai, berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia.
2) Untuk Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dimiliki oleh 2 (dua) orang atau lebih, Hak Cipta berlaku selama hidup Pencipta yang meninggal dunia paling akhir dan berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun sesudahnya.
Pasal 30 ayat 1, 2 dan 3 dalam UU Hak Cipta menyatakan bahwa:
1) Hak Cipta atas Ciptaan: a. Program Komputer; b. Sinematografi; c. Fotografi; d. Database; dan
e. Karya hasil pengalih wujudan, berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan.
2) Hak Cipta atas perwajahan karya tulis yang diterbitkan berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diterbitkan.
3) Hak Cipta atas Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Pasal ini yang dimiliki atau dipegang oleh suatu badan hukum berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan.
Di Indonesia tidak ada ketentuan yang mewajibkan pendaftaran ciptaan
untuk mendapatkan hak cipta. Meskipun demikian, pendaftaran dapat dilakukan
secara sukarela. Bagi pencipta maupun pemegang hak cipta yang mendaftarkan