• Tidak ada hasil yang ditemukan

Musik Dan Realitas Sosial (Analisis Semiotika Dalam Lagu Iwan Fals “Surat Buat Wakil Rakyat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Musik Dan Realitas Sosial (Analisis Semiotika Dalam Lagu Iwan Fals “Surat Buat Wakil Rakyat)"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

TEKS YANG DITELITI

“ Surat Buat Wakil Rakyat “

Untukmu yang duduk sambil diskusi

Untukmu yang biasa bersafari

Di sana, di gedung DPR

Wakil rakyat kumpulan orang hebat

Bukan kumpulan teman teman dekat

Apalagi sanak famili

Di hati dan lidahmu kami berharap

Suara kami tolong dengar lalu sampaikan

Jangan ragu jangan takut karang menghadang

Bicaralah yang lantang jangan hanya diam

Di kantong safarimu kami titipkan

Masa depan kami dan negeri ini

Dari Sabang sampai Merauke

Saudara dipilih bukan dilotre

Meski kami tak kenal siapa saudara

Kami tak sudi memilih para juara

Juara diam, juara he'eh, juara ha ha ha

Wakil rakyat seharusnya merakyat

Jangan tidur waktu sidang soal rakyat

Wakil rakyat bukan paduan suara

(2)

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

JL. Dr. A. Sofyan No. 1 Telp. (061) 8217168

LEMBAR CATATAN BIMBINGAN SKRIPSI

NAMA : Fahmi

NIM : 080904012

PEMBIMBING : Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm

No Tgl. Pertemuan Pembahasan

1. 2. 3. 4. 5. 6.

25 Juni 2013 19 September 2013 14 November 2013 3 Januari 2014 19 Januari 2014 20 Januari 2014

Seminar Proposal

Memberikan BAB I dan Bimbingan BAB II Memberikan BAB II dan Bimbingan BAB III Memberikan BAB III

Memberikan BAB IV dan V Revisi

Mengetahui, Pembimbing

(3)

Biodata Peneliti

Nama Lengkap / NIM : Fahmi / 080904012

Tempat / Tgl. Lahir : Medan / 31 Januari 1991

Departemen : Ilmu Komunikasi FISIP USU

Alamat : Jl. Bunga Baldu no. 44 Medan

No. Telp : 085262521091

Agama : Islam

Email : ami_scouts@yahoo.com

Anak ke : 3 dari 3 bersaudara

Orangtua :

Ayah : (ALM) Drs. OK. Chairil Anwar Ibu : Zubaidah, SE

Pendidikan : 1996 – 2002 ( SD Negeri 060884 Medan )

2002 – 2005 ( SMP Negeri 1 Medan )

2005 – 2008 ( SMA Negeri 15 Medan )

(4)

DAFTAR REFERENSI

Ardianto, Elvinaro. (2007). Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Barker, Chris. (2004). Cultural Studies. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Barthes, Roland. (2006). Mitologi (Edisi Terjemahan Oleh Nurhadi & Sihabul Millah. A). Yogyakarta: Kreasi Wacana

Danesi, Marcel. (2010). Pengantar Memahami Semiotika Media. Yogyakarta: Jalasutra.

Djohan. (2003). Psikologi Musik. Yogyakarta: Buku Baik.

Eco, Umberto. (2009). Semiotics and The Philosophy of Language. Hongkong: The Macmillan Press Ltd.

Effendy, Onong Uchjana. (2003). Ilmu, Teori Dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Witjaksana, Gunawan. (2005). Pokok-Pokok Pikiran Dalam Metodologi.

Hall, Stuart. (2011). Notes on Deconstucting ‘the Popular’. Di dalam Reforming Culture. Ed. Imre Szeman dan Timothy Kaposy. West Sussex: Wiley-Blackwell.

Hoed, B.H. (2004). Bahasa dan Sastra dalam Tinjauan Semiotik dan Hermeneutik, di dalam Semiotika Budaya. Ed. T. Christomy dan Untung Yuwono. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Indonesia. Littlejohn, Stephen. (2011). Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika. Morissan. (2009). Teori Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia.

Mulyana, Deddy. (2004). Ilmu Komunikasi : suatu pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Nawawi, Hadari. (1995). Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: UGM Press. Purba, Amir dkk. (2006). Pengantar Ilmu Komunikasi. Medan: Pustaka Bangsa Press.

Rakhmat, Jalaludin. (2004). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Ricoeur, Paul. (2012). Teori Interpretasi. Jogyakarta: IRCiSoD. Sangadji. E.M & Sopiah. (2010). Metodologi Penelitian. Yogyakarta.

Seto, Indiwan. (2011). Semiotika Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media. Singarimbun dan Effendi. (1995). Metode Penelitian Survey. Jakarta: Pustaka

LP3ES Indonesia.

Smith, Philip. (2009). Cultural Theory: An Introduction. Oxford: Blackwell Publishing.

Sobur, Alex. (2004a). Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. __________. (2004b). Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis

Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja

(5)

Soekarno, Ari. (2006). Buku Pintar Musik. Jakarta: Inovasi.

Stokes, Jane. (2006). How To Do Media and Cultural Studies: Panduan untuk Melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya. Yogyakarta:

Bentang

Storey, John. (2001). Cultural Theory and Popular Culture: An Introduction. Essex: Pearson Education Limited.

Sumartono. (2004). Menjalin Komunikasi Otak dan Rasa. Jakarta: Gramedia. Tinarbuko, Sumbo. (2009). Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra.

http://hiburan.kompasiana.com/musik/2012/12/05/lima-lagu-legendaris-iwan-fals-514189.html di akses pada September 28, 2013.

(http://iwanfals.net/karir-iwan-fals/profil-iwan-fals/) di akses pada September 17, 2013.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Soeharto) di akses pada September 17, 2013.

(http://www.tempo.co.id/ang/min/01/25/pokok1.htm) di akses pada September 17, 2013.

(6)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan bentuk penelitian kualitatif dan pendekatan interpretatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang datanya dinyatakan dalam bentuk verbal, dan dianalisis tanpa menggunakan teknik statistik (Sangadji, 2010: 26).

Pendekatan interpretatif merupakan analisis dalam menentukan dasar dan makna sosial. Interpretatif bukanlah kerja otonom dan tidak ditentukan oleh suatu kekuasaan khusus manusia tertentu. Dalam interpretatif dapat menggunakan bantuan orang lain serta informasi tertulis (Witjaksana, 2005: 5).

Metode penelitian kualitatif ini diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau proses menjaring informasi, dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu obyek, dihubungkan dengan pemecahan suatu masalah, baik dari sudut pandangan teoritis maupun praktis (Nawawi, 1995: 209). Dalam penelitian kualitatif ada dua hal yang ingin dicapai, yaitu: (1) menganalisis proses berlangsungnya suatu fenomena sosial dan memperoleh suatu gambaran yang tuntas terhadap proses

tersebut, dan (2) menganalisis makna yang ada di balik informasi, data dan proses suatu fenomena sosial itu. Berdasarkan tujuan kedua, peneliti menggunakan analisis semiotik yang sifatnya memaparkan situasi/peristiwa dengan melukiskan variabel satu demi satu (Rahmat, 2004: 25).

Penelitian dengan menggunakan analisis semiotika merupakan teknik penelitian bagi kajian komunikasi yang cenderung lebih banyak mengarah pada sumber maupun penerimaan pesan. Dikategorikan ke dalam penelitian interpretatif dan subjektif karena sangat mengandalkan kemampuan peneliti dalam menafsirkan teks ataupun tanda yang dikaitkan dengan nilai-nilai ideologi, budaya, moral dan spiritual.

(7)

3.2Objek Penelitian

Objek yang diteliti di penelitian ini adalah lirik lagu Surat Buat Wakil Rakyat. Beberapa bulan belakangan, isu publik figur yang terjun ke ranah politik

semakin menyeruak hingga menjadi santapan hangat di berbagai media televisi, cetak dan online. Dari mulai sosok musisi legendaris yang ingin menjadi calon Presiden, hingga artis senior yang dipasangkan sebagai calon Wakil Gubernur. Di tengah hingar bingar publik figur yang berpacu ingin meraih jabatan tertentu, peneliti jadi teringat dengan sosok legendaris yang sudah berkarya sejak dekade 1970-an, Iwan Fals. Pria kelahiran 3 September 1961 ini seakan tidak terpengaruh untuk terjun ke dunia politik, meski beberapa musisi seangkatannya banyak yang sudah menjadi elit beberapa partai politik.

Mungkin karena sering mendapat tekanan saat manggung di era 1980-an hingga awal 1990-an, membuat penyanyi kharismatik ini mempunyai stigma negatif dengan yang namanya politik. Padahal, saat Pemilu 2004 lalu, ada beberapa calon Presiden yang pernah menawarinya untuk duduk sebagai Menteri. Namun, “godaan” itu tetap membuatnya tidak bergeming. Hingga kini, musisi bernama asli Virgiawan Listanto tersebut, tetap asyik dengan dunianya sebagai

seniman di bidang musik.

(8)

Bagi rakyat Indonesia, hampir seluruhnya mengenal lirik dari album berjudul Surat Buat Wakil Rakyat ini. Lagu yang dirilis tahun 1987 itu, menjadi salah satu “tembang wajib” yang dibawakan Iwan Fals di setiap konsernya. Sebenarnya, lagu ini sangat sederhana dibanding beberapa lagu lainnya di album yang meledak jelang Pemilu ke- 4 di masa Orde Baru. Namun, di balik kesederhanaan lagu ini, terdapat lirik yang sangat dalam, bahkan sangat menyayat bagi yang mendengarnya. Terutama di bait terakhir yang mencerminkan bobroknya wakil rakyat kita yang tidak berubah sejak 27 tahun lalu hingga kini (http://hiburan.kompasiana.com).

3.3 Kerangka Analisis

Penelitian ini adalah bersifat kualitatif dan melakukan analisis semiotika. Didalam analisis semiotika terdapat macam – macam model. Peneliti memilih model semiotika Roland Barthes. Dari model semiotika Roland Barthes peneliti akan memaknai simbol yang ada didalam teks lirik lagu yang akan diteliti. Lirik lagu ada kata – kata yang menjadi suatu kalimat yang mempunyai makna.

Gambar 3.1 Peta Roland Barthes

Sumber: Barthes. 2006 Mitologi, hal. 113

(9)

adalah makna konotasi, yakni makna ekstra (secara mitologis) yang tampak oleh khalayak (Smith, 2009: 105). Barthes menggunakannya untuk menunjukkan dan menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan nilai-nilai kebudayaan. Konotasi mempunyai makna yang subjektif dari khalayak yang melihat pesan yang disampaikan.

Barthes merumuskan tanda sebagai sistem yang terdiri dari expression (E) yang berkaitan (relation R-) dengan content (C). Ia berpendapat bahwa E-R-C adalah sistem tanda dasar dan umum. Teori tanda tersebut dikembangkannya dan ia menghasilkan teori denotasi dan konotasi. Menurutnya, content dapat dikembangkan. Akibatnya, tanda pertama (E1 R1 C1) dapat menjadi E2 sehingga terbentuk tanda kedua: E2 = (E1 R1 C1) R2 C2. Tanda pertama disebutnya sebagai denotasi yang kedua disebutnya semiotik konotatif.

Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Ini merupakan sebuah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang terhenti pada penandaan dalam tataran denotatif (Sobur, 2004: 69).

Lewat model ini Barthes menjelaskan bahwa siknifikasi tahap pertama

merupakan hubungan antara signifier (ekspresi) dan Signified (content) di dalam sebuah tanda terhadap realitas external. Itu yang disebut Barthes sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda (sign).

Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukan siknifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai – nilai dari kebudayaan.

Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara menggambarkannya.

(10)

menyediakan metode analisis dan kerangka berfikir dan mengatasi terjadinya salah baca (misreading) dan salah dalam mengartikan makna suatu tanda (Seto, 2011: 17).

Studi analisis yang dilakukan oleh peneliti mengacu pada semiotika Roland Barthes, di mana mengupas makna di balik tanda setiap lirik dalam lagu tersebut dengan peta tanda Roland Barthes. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif interpretatif dengan menggunakan analisis semiologi dengan pendekatan semiotik berdasarkan konsep signifikasi dua tahap Roland Barthes.

3.4Teknik Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Data primer merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara

langsung dari sumber asli (Sangadji, 2010: 171). Peneliti melakukan analisis teks terhadap lirik lagu Surat Buat Wakil Rakyat yang dipopulerkan oleh Iwan Fals. Data Primer, yakni melalui penelitian kepustakaan (library research), dengan mengumpulkan berbagai literatur dan bacaan yang relevan dan mendukung penelitian ini.

2. Data skunder merupakan data yang diperoleh dari catatan-catatan dokumen dan juga sumber dari kepustakaan (Sangadji, 2010: 172). Peneliti memilih referensi dari beberapa buku dan website sebagai rujukan dan penguat data. Selain mencari data melalui sumber-sumber pustaka, peneliti juga mencoba mendalami peristiwa dengan menggunakan beberapa majalah terkait guna memperkuat data yang ada.

3.5Teknik Analisis Data

(11)

Analisis data menunjukkan kegiatan penyederhanaan data ke dalam susunan tertentu yang lebih mudah diinterpretasikan sehingga bisa digunakan untuk mengambil keputusan. Analisis data bertujuan untuk menyederhanakan data ke dalam susunan tertentu yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Penelitian ini akan dianalisis menggunakan unsur-unsur semiotika Roland Barthes yang merupakan turunan dari Semiotika Saussure, berupa penanda dan petanda, denotasi dan konotasi, paradigmatik dan sintagmatik, terhadap teks lirik lagu Surat Buat Wakil Rakyat. Analisis akan dilakukan per-kalimat teks, dan

(12)

BAB IV diteliti dalam penelitian ini adalah lirik lagu Surat Buat Wakil Rakyat itu sendiri. Seperti yang sudah dijelaskan dalam bab sebelumnya, ada dua data yang dilakukan oleh peneliti yaitu data primer dan data skunder.

Selain mencari data melalui sumber-sumber pustaka, peneliti juga mencoba mendalami peristiwa dengan menggunakan beberapa majalah terkait guna memperkuat data yang ada. Peneliti memilih buku dan website yang berhubungan dengan sejarah lagu Surat Buat Wakil Rakyat dan mendalami peristiwa apa yang ada di balik lagu tersebut.

Penjabaran lirik lagu Surat Buat Wakil Rakyat adalah sebagai berikut : Tabel 4.1

Objek Penelitian

Denotasi Konotasi Mitos

(13)
(14)
(15)

memiliki harapan, permohonan

ataupun permintaan. Kata “ragu”

bermakna keadaaan tidak tetap hati (dalam mengambil keputusan,

menentukan pilhan, dan sebagainya) bimbang. Kata “takut” bermakna merasa gentar / ngeri menghadapi sesuatu yang dianggap akan mendatangkan bencana.

(16)
(17)
(18)

terpenuhi (hanya

sebatas

mengandalkan

keberuntungan).

Kata “sudi”

bermakna bersedia,

berkenan, enggan,

mau, suka. Kata

“juara” bermakna

orang (regu) yang

mendapat

kemenangan di

pertandingan yang

(19)
(20)

(biasanya terdiri

Sumber: Diadaptasi dari Peta Roland Barthes hal 113

Lagu Iwan Fals merupakan lagu-lagu yang sangat bagus dan mampu menyedot perhatian dari berbagai kalangan. Lagunya kebanyakan bercerita tentang rakyat dan pemerintahan yang berjalan di Indonesia. Iwan Fals kerap kali menjadi musisi yang tidak memiliki hubungan baik dengan Soeharto. Ia berulangkali mendapatkan ancaman dijebloskan ke penjara dan konsernya yang dibatalkan secara sepihak oleh pihak keamanan (http://iwanfals.net).

Cap sebagai musuh dari Soeharto sepertinya telah melekat pada diri Iwan Fals, namun hal ini tidak membuat Iwan Fals menunjukkan rasa terima kasihnya kepada Soeharto. Hal ini terungkap pada wawancara pada acara kick andy di Metro TV yang kemudian dikutip oleh situs rollingstones.co.id.

(21)

Walaupun Iwan Fals dikenal sebagai penyanyi yang kerap kali menyinggung dan menyindir mantan Presiden Soeharto pada masa Orde Baru, namun sebenarnya Iwan Fals mengatakan ia tidak benci kepada Soeharto, malah ia mengatakan kagum kepada presiden terlama di Indonesia tersebut. Hal ini juga terungkap pada wawancara pada acara kick andy di Metro TV yang kemudian dikutip oleh situs rollingstones.co.id.

Menurut Iwan, figur Soeharto secara fisik memiliki kemiripan dengan ayah kandungnya yang kerap dipanggil “Pak Harto” jika sedang turun ke lapangan. Kekagumannya yang paling utama terhadap sosok Soeharto adalah kemampuannya bertahan sebagai penguasa.“Kok, dia bisa ya bertahan jadi presiden selama 32 tahun!”.

Indonesia setidaknya sudah dijabat sebanyak 6 orang presiden yang berbeda. Dimulai dari masa pemerintahan Presiden Soekarno (1945-1966), Presiden Soeharto (1967-1998), Presiden BJ Habibie (1998-1999), Presiden Abdurrahman Wahid atau Gusdur (1999-2001), Presiden Megawati Soekarno Putri (2001-2004) dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-sekarang).

Berdasarkan masa jabatannya dapat dilihat bahwa masa jabatan dari Presiden Soeharto merupakan masa jabatan yang paling lama, beliau menjabat Presiden Indonesia selama lebih dari 30 tahun. Soeharto dikenal sebagai “Bapak Pembangunan” karena keberhasilannya dalam beberapa pembangunan sarana– sarana penting di Indonesia. Namun, masa jabatannya diklaim sebagai masa jabatan terkorup di Indonesia. Bahkan Menurut Transparency International, Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan perkiraan 15–35 miliar dolar A.S. selama 32 tahun masa pemerintahannya (http://id.wikipedia.org).

(22)

Sedangkan untuk Abdurrahman Wahid atau Gusdur, Iwan Fals hanya menganggap beliau lebih cocok sebagai tokoh pembela demokrasi. Begitu pula Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang hobi menyanyi, semuanya tetap saja tidak merubah apapun. Bahkan Iwan Fals pernah mengkritik hobi presiden yang satu ini dengan mengatakan album ke 4 presiden merupakan keajaiban ke 8: "Album SBY, saya dengar ini bukan tujuh keajaiban dunia. Sekarang malah delapan, Salah satunya album SBY”, begitu ungkap Iwan Fals (http://music.okezone.com).

Pada lagu Surat Untuk Wakil Rakyat yang juga merupakan lagu – lagu yang dikenal luas oleh masyarakat merupakan kritik dan sindiran terhadap lembaga (kelompok) pemimpin politik di Indonesia, yaitu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif.

Perkembangan teknologi pada bidang musik dimulai pada teknologi digital. Teknologi digital diciptakan pada era 1950 – an, pertama untuk memperbarui komunikasi telepon. Tetapi pada 1983, ketika pertama kali musik direkam di CD (Compact Disc), publik baru merasakan signifikasi teknologi ini. Musik kini mulai terdengar amat jernih. Pergeseran yang paling dramatis adalah pada musik yang dapat di – download, sebuah area di mana jangkauan distribusi teknologi internet jauh melebihi infrastruktur industri musik. Tetapi, penjualan CD masih tetap bertahan dan perusahaan musik mulai merangkul teknologi baru, dan karenanya industri musik pulih lagi (Vivian, 2008: 14).

Sebuah teks apakah itu surat cinta, makalah, iklan, cerpen, puisi, pidato presiden, poster politik, komik, kartun, dan semua hal yang mungkin menjadi “tanda“ bisa dilihat dalam aktivitas penanda: yaitu suatu proses signifikasi yang menggunakan tanda yang menghubungkan objek dan interpretasi (Sobur, 2004: 17).

4.2 Pembahasan

Lirik di dalam lagu ini adalah untuk menyadarkan para wakil rakyat yang selama ini tidak menjalankan tugasnya dengan baik sesuai dengan fungsi dan tujuan yang sebenarnya. Kalimat pada bait pertama adalah: Untukmu yang duduk sambil diskusi, untukmu yang biasa bersafari, di sana di gedung DPR, penggalan

(23)

yang berdiskusi dan bersafari. Lalu dilanjutkan dengan wakil rakyat kumpulan orang hebat, bukan kumpulan teman – teman dekat, apalagi sanak famili yang

berarti wakil rakyat itu merupakan orang hebat yang terpilih melalui proses pemilihan rakyat, bukan merupakan dari kumpulan orang – orang dekat apalagi kerabat atau keluarga. Di dalam bait pertama ini dapat diartikan dari keseluruhannya adalah wakil rakyat itu dapat terpilih melalui proses pemilihan yang dilakukan oleh rakyat karena rakyat melihat bahwa wakil rakyat yang dipilihnya itu adalah orang hebat yang mempunyai tanggung jawab dan tugas untuk rakyat, bukan hanya untuk duduk di dalam gedung dan berkumpul dengan teman – teman dekatnya atau keluarga dan kerabatnya. Wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat adalah wakil rakyat yang mengumbar janji – janji sebelum pemilihan berlangsung, karena para rakyat berharap dan menggantungkan kehidupannya kepada para wakil rakyat karena yang dapat mengubah banyak hal adalah para wakil rakyat yang ada di gedung DPR.

Pada bait kedua: Di hatimu dan lidahmu kami berharap, suara kami tolong dengar lalu sampaikan, penggalan lirik pada bait tersebut adalah untuk

para wakil rakyat yang diharapkan oleh rakyat menyampaikan aspirasi atau suaranya, agar apa yang diharapkan oleh para rakyat dapat tersalurkan dan

menjadi kenyataan untuk kesejahteraan hidup mereka. Di dalam bait kedua ada kalimat Jangan ragu jangan takut karang menghadang, yang berarti wakil rakyat jangan pernah ragu dan takut dengan apa yang disampaikan tentang rakyatnya, para wakil rakyat harus memperjuangkan pendapatnya untuk tujuan kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya. Dilanjutkan dengan lirik Bicaralah yang lantang jangan hanya diam, yang berarti bicara yang kuat dan tegas / lantang, jangan

(24)

Bait ketiga: Di kantong safarimu kami titipkan, masa depan kami dan negeri ini, dari sabang sampai merauke, penggalan lirik pada bait tersebut adalah rakyat menitipkan masa depannya serta masa depan negaranya di kantong safari para wakil rakyat, dengan kata lain mereka menitipkan masa depan tersebut di tangan para wakil rakyat untuk membuat negara dan rakyatnya sejahtera, apa

yang dilakukan oleh wakil rakyat / apa yang menjadi kebijakan negara, itu yang menentukan kesejahteraan rakyat seluruh Indonesia . Bait ketiga ada kalimat Saudara dipilih bukan dilotre yang artinya para wakil rakyat itu dipilih oleh

rakyat, bukan melalui undian, karena para wakil rakyat dipilih berdasarkan pemikiran rakyat melalui janji – janji yang akan diberikan oleh para wakil rakyat terhadap rakyatnya setelah terpilih nanti. Lalu dilanjutkan dengan kalimat Meski kami tak kenal siapa saudara. Arti dari kalimat tersebut adalah meski rakyat tidak

mengenal wakil rakyat yang akan dipilihnya, namun rakyat sudah memilih dan menetapkan siapa yang akan menjadi wakil nya di gedung DPR dan dapat menyampaikan aspirasi / suaranya. Dalam hal ini rakyat awalnya tidak mengenal para calon yang akan menjadi wakil rakyat, namun dengan adanya kampanye serta beberapa hal – hal yang dijanjikan yang dapat menguntungkan rakyat, maka rakyat memilih mereka. Kalimat Kami tak sudi memilih para juara, juara diam juara he eh juara ha ha ha artinya adalah rakyat tidak mau memilih wakil rakyat

yang hanya diam, hanya berkata ya / setuju dengan keputusan apapun yang belum tau dampaknya terhadap rakyat dan negaranya. Karena rakyat berharap para wakil rakyat yang terpilih dapat memperjuangkan nasib mereka.

Di dalam sebuah lagu ada yang dinamakan reff dan di kebanyakan lagu, reff biasanya diulang hingga beberapa kali agar lebih mempertegas arti dari lagu

tersebut. Pada bait keempat ini dan sekaligus menjadi reff : Wakil rakyat seharusnya merakyat, penggalan lirik pada bait tersebut adalah wakil rakyat

seharusnya mengerti dan tahu bagaimana kehidupan rakyat yang sebenarnya. Bukan sibuk berlomba-lomba untuk hidup lebih mewah / kaya. Mengerti akan penderitaan yang dialami oleh rakyatnya. Pada bait ini juga, ada kalimat Jangan tidur waktu sidang soal rakyat yang artinya adalah rakyat berharap wakil rakyat

(25)

disepakati dalam sidang. Akan dilanjutkan pada lirik selanjutnya yaitu Wakil rakyat bukan paduan suara, hanya tahu nyanyian lagu setuju yang artinya wakil

rakyat itu adalah kumpulan orang hebat, bukan orang yang hanya mengikuti alur dan mengatakan setuju pada sebuah keputusan / ide yang belum tahu apa dampaknya kepada rakyat dan negaranya. Memperjuangkan aspirasi rakyat, sehingga rakyat dapat hidup lebih baik lagi.

Peneliti mendapatkan arti dari makna lirik lagu yang diteliti secara keseluruhan yaitu : wakil rakyat seharusnya memulai untuk menjalankan tugasnya dengan sebaik – baiknya sesuai dengan fungsi dan tujuan yang sebenarnya. Jangan tidur dalam rapat sidang tentang rakyat. Rakyat memilih wakil rakyat karena mereka percaya terhadap orang tersebut, karena dianggap orang tersebut adalah orang hebat, yang mampu menyampaikan suara dan aspirasinya kepada semuanya, agar kehidupan rakyat menjadi sejahtera dan lebih baik lagi.

Wakil rakyat seharusnya memikirkan kehidupan rakyat, bukannya berlomba – lomba untuk hidup lebih mewah/kaya. Wakil rakyat merupakan orang hebat yang seharusnya mempunyai banyak ide untuk mensejahterakan rakyatnya, wakil rakyat harus memperjuangkan suara rakyat, bukan hanya sekedar mengatakan kata ya atau setuju dengan kebijakan atau ide yang muncul ketika

rapat diskusi. Wakil rakyat merupakan harapan dari rakyat untuk menyampaikan suaranya dalam rapat diskusi di gedung DPR, jangan tidur dan jangan hanya diam ketika membahas tentang rakyat.

Realitas sosial dalam lirik lagu surat buat wakil rakyat pada teks lagu tersebut menjelaskan tentang pesan komunikasi terhadap kasus-kasus korupsi, kolusi dan nepotisme di Indonesia. Secara umum, digambarkan mengenai kondisi sosial pada saat karya tersebut lahir dan terwakili sebagai realitas sosial di mata masyarakat. Selain itu, pada teks lagu Surat Buat Wakil Rakyat ini, seorang wakil rakyat menggambarkan image wakil rakyat.

(26)

rakyat sebagai “jembatan penghubung” yang dapat mendengar aspirasi rakyat. Sehingga, rakyat pun akan menilai hasil kerja dari wakil rakyat.

Realitas sosial dalam lirik lagu Surat Buat Wakil Rakyat oleh Iwan Fals pada sociocultural practise yakni dengan adanya wawasan dan pengetahuan yang dimiliki tentunya mempunyai efek yang besar dalam proses untuk mencapai hal yang lebih baik. Rendah maupun kurangnya kerja keras seorang wakil rakyat di hadapan masyarakat terhadap pemerintah adalah merupakan sebuah resiko yang dapat oleh wakil rakyat. Dengan adanya lagu Surat Buat Wakil Rakyat, rakyat berharap tentang adanya perubahan yang lebih baik dan kinerja para wakil rakyat yang tentunya agar lebih baik.

Peneliti tertarik pada lirik lagu tersebut karena pada lirik lagunya memiliki arti yang kuat dalam mengkritik para wakil rakyat yang sudah tidak melakukan pekerjaannya dengan baik. Lagu ini diciptakan untuk menyadarkan para wakil rakyat agar melihat atau mendengarkan suara/aspirasi rakyat. Di dalam liriknya Iwan Fals menyampaikan bahwa wakil rakyat itu dipilih oleh rakyat, bukan karena undian. Dan didalam gedung DPR seharusnya wakil rakyat itu memperjuangkan kemakmuran/suara rakyat, bukan hanya berkumpul dengan teman – teman dekatnya apalagi kerabat/keluarganya.

Lirik ini juga ditujukan kepada penguasa–penguasa yang tidak memikirkan keadaan rakyat kecil. Mereka malah berlomba – lomba untuk hidup mewah demi menjaga popularitas semata. Iwan Fals menegaskan di dalam liriknya wakil rakyat seharusnya merakyat, memberikan ide / gagasan untuk kemakmuran rakyat, bukan hanya diam dan hanya setuju dengan kebijakan yang belum tentu menjadi yang terbaik untuk rakyat.

(27)

kepentingan mereka. Merakyat, menjadi satu kata penuh harapan kosong. Para wakil rakyat malah berebut tempat untuk naik ke puncak menara gading yang memang lebih menjanjikan kemewahan dunia. Merakyat, menjadi satu kata yang jauh dari kata wakil rakyat, padahal tanpa pemahaman akan kondisi riil di tengah masyarakat, mustahil akan melahirkan kebijakan yang berpihak pada rakyat yang diwakilinya.

Tanggapan masyarakat adalah kebiasaan yang sudah menjadi darah daging di pemerintahan, yang hanya bisa duduk dan diam ketika rakyat mengalami masalah. Pada penelitian ini, peneliti adalah sebagai masyarakat yang melihat makna dari lagu Surat Buat Wakil Rakyat. Peneliti melihat adanya suatu nilai nilai kebiasaan yang terjadi di pemerintahan. Dengan lagu Surat Buat Wakil Rakyat inilah keinginan untuk merubah pemikiran para pejabat pemerintahan

untuk tersadar dengan apa yang dijanjikan sebelum pemilihan. Di dalam lirik lagu ini juga menyuarakan seharusnya pejabat wakil rakyat itu seharusnya merakyat, bukannya berlomba – lomba untuk hidup menjadi lebih kaya.

Peneliti tidak hanya melihat dari aspek mengkritik para wakil rakyatnya saja, namun juga mengingatkan kepada rakyat untuk lebih teliti dan berhati – hati lagi untuk memilih para wakil rakyat, jangan hanya termakan dengan janji – janji

palsu serta dengan iming – iming diberi hadiah, lantas rakyat langsung memilih orang tersebut, karena hal itu hanya bersifat sementara dan kelak rakyat mendapat masalah dari wakil rakyat yang dipilih tadi hanya bisa duduk dan diam seolah tidak mempunyai tanggung jawab kepada rakyatnya.

(28)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5. 1 Simpulan

Pada lirik lagunya memiliki arti yang sangat kuat dalam mengkritik kinerja para wakil rakyat. Diciptakannya lagu ini pada era 1987 di mana meledak di pasaran menjelang pemilihan umum (pemilu) pada saat itu. Lagu ini untuk mengkritik para pejabat pemerintahan (wakil rakyat). Didalam liriknya Iwan Fals menyampaikan bahwa para wakil rakyat jangan hanya duduk dan diam ketika rapat membahas masalah yang terjadi di keidupan rakyat. Karena seharusnya para wakil rakyat itu merakyat, mengetahui bagaimana kehidupan rakyat. Pendengar diajak untuk masuk kepada pemikiran Iwan Fals.

Adanya kesimpulan makna yang terkandung di dalam lirik lagu Surat Buat Wakil Rakyat. Peneliti menyimpulkan bahwa makna pada lirik lagu ini adalah:

1. Sebagai wakil rakyat yang baik, seharusnya para pejabat harus melihat permasalahan yang terjadi di dalam kehidupan rakyatnya. Memberikan ide / gagasan yang dapat merubah nasib serta permasalahan yang ada di tengah – tengah rakyat.

2. Para wakil rakyat seharusnya dapat merakyat, jangan sebelum terpilih saja yang dekat kepada rakyat, namun setelah terpilih para wakil rakyat seakan – akan melupakan janji – janjinya dulu kepada rakyat.

Seluruh rakyat bergantung kepada kebijakan – kebijakan yang dibuat oleh para wakil rakyat yang rapat di gedung DPR. Jangan mengatakan “ya / setuju” tanpa tau dampak kebijakan tersebut terhadap kehidupan rakyat. Karena rakyat berharap kepada wakil rakyat yang dipilihnya yang mengumbar janji untuk mensejahterakan hidup rakyat.

5. 2 Saran Penelitian

Saran penelitian ialah jika seluruh pertandaan yang ada dalam lirik lagu Surat Buat Wakil Rakyat tidak hanya dijadikan sebagai sarana untuk didengar

(29)

pendengar / komunikan. Jadi tidak semata hanya mengutamakan lagu atau penggemar Iwan Fals saja, namun juga sebagai penyampai pesan kepada masyarakat secara umum. Tidak juga hanya mengklaim lagu ini saja tetapi, meneliti lagi apa – apa saja makna yang terkandung di dalamnya.

5. 3 Saran Dalam Kaitan Akademis

Semiotika Barthes ingin membongkar mitos-mitos tersebut dengan menunjukkan berbagai aspek sehingga tampak ketidakalamiahan makna yang muncul dari tanda tersebut. Upaya untuk membongkar mitos ini bertujuan agar penanda-penanda tersebut tidak dijadikan berhala makna yang dipuja oleh manusia, dan mencegah cara berpikir masyarakat yang berujung pada pemanfaatan yang dilakukan oleh para komunikan / penerima pesan yang bermaksud membuyarkan makna. Semiotika Barthes dapat melihat makna dan mitos apa yang ada dalam lirik lagu Surat Buat Wakil Rakyat berdasarkan analisis peneliti yang tentunya masih bersifat subyektif.

5. 4 Saran Dalam Kaitan Praktis

(30)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2. 1 Perspektif / Paradigma Kajian

Perspektif adalah suatu kerangka konseptual (conceptual framework), suatu perangkat asumsi, nilai, atau gagasan yang mempengaruhi persepsi kita dan pada gilirannya mempengaruhi cara kita bertindak dalam suatu situasi. Oleh karena itu, tidak ada seorang ilmuan yang berhak mengklaim, bahwa perspektifnya yang benar atau sah, sedangkan perspektif lain salah. Seperti dikemukakan Tucker, oleh karena suatu paradigma adalah suatu pandangan dunia dalam memandang segala sesuatu, paradigma mempengaruhi pandangan kita mengenai fenomena, yakni teori. Teori digunakan peneliti untuk menjustifikasi dan memandu penelitian mereka. Mereka juga membandingkan hasil penelitian berdasarkan teori itu untuk lebih jauh mengembangkan dan menegaskan teori tersebut. Tingkat perkembangan teoritis suatu bidang akademik merupakan indeks kecanggihan dan kematangan disiplin tersebut. Seraya merujuk kepada Kuhn, Tucker dalam buku Deddy Mulyana, mengatakan bahwa disiplin yang belum

matang ditandai dengan persaingan di antara paradigm-paradigma, kurangnya khasanah teori yang terintegerasi, dan pengumpulan fakta yang bersifat acak. Namun pendapat Kuhn mungkin hanya cocok untuk ilmu–ilmu alam dan eksakta. Bagi sebagian ilmu sosial, keistimewaan ilmu sosial, justru keanekaragaman perspektifnya. Objek ilmu–ilmu alam (yang statis, tidak punya kemauan bebas) memang berada dengan objek ilmu sosial, yakni manusia, yang mempunyai jiwa dan kemauan bebas. Persaingan paradigma dalam disiplin komunikasi, misalnya, antara lain disebabkan rumitnya fenomena komunikasi. Frank Dance mengakui, disiplin komunikasi tidak punya grand theories, sejumlah teori parsial dan banyak teori yang partikularistik, berdasarkan alasan berikut.

 Sifat prosesual komunikasi yang menyulitkan prediksi.

 Sifat komunikasi yang hadir dimana–mana membuat penjelasan menjadi sulit.

(31)

 Kekuatan dan pelecehan yang berasal dari perdebatan paradigmatik.  Persaingan antara disiplin–disiplin yang berkaitan.

Dalam bidang keilmuan, sekali lagi, perspektif akan mempengaruhi definisi, model atau teori kita yang pada gilirannya mempengaruhi cara kita melakukan penelitian. Perspektif tersebut menjelaskan asumsi–asumsinya yang

spesifik mengenai bagaimana penelitian harus dilakukan dalam bidang yang bersangkutan. Perspektif menentukan apa yang dianggap fenomena yang relevan bagi penelitian dan metode yang sesuai untuk menemukan hubungan di antara fenomena, yang kelak disebut teori (Mulyana, 2004: 17).

Peneliti memandang bidang ilmunya secara berbeda, ia cenderung menafsirkan fenomena yang sama dengan cara yang berbeda pula. Oleh karena tidak adanya paradigma, model dan sudut pandang yang diterima secara universal, semua interpretasi yang beraneka ragam dan sering tidak konsisten itu sama–sama absah. Keragaman paradigma berguna karena hal itu memberikan berbagai perspektif mengenai fenomena yang sama. Agar metode itu disebut ilmiah, kita harus dapat memahami apa yang kita lakukan, dan bagaimana kesimpulan yang kita peroleh. Berdasarkan kriteria ini, hampir semua metode bersifat ilmiah bila peneliti dapat mempertahankan pengamatan dan hasilnya secara sistematis dan teratur karena ada kejelasan dari panduan yang ada, antara lain memperhatikan tingkat kepercayaan data dan tafsiran, serta keterbukaan terhadap kritik dari public. Seperti ditegaskan Tucker, bila suatu paradigma menjelaskan dan meramalkan suatu fenomena, paradigma itu memperoleh lebih banyak pendukukung. Lebih banyak lagi ilmuan yang mengeksplorasi, memperbaiki dan menyempurnakan paradigma tersebut. Penelitian–penelitian dan laporan–laporan penelitian berdasarkan paradigma tersebut berlipat ganda sementara paradigma–

paradigma saingannya memperoleh sedikit perhatian. Lebih banyak orang menerima paradigma yang bersangkutan dan para penentangnya tersisihkan. Menurut Tucker, paradigma tersebut berkembang sepanjang terus memungkinkan kita berhasil mengatasi problem kita dan menjelaskan fenomena yang kita teliti (Mulyana, 2004: 18).

(32)

terhadap dunia. Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Sebagaimana dikatakan Patton, paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukkan pada mereka apa yang penting, abash dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan kepada praktisnya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epistemologis yang panjang (Mulyana, 2004: 9).

2.1.1 Perspektif Konstruktivisme

Konstruktivisme sebagian didasarkan pada teori George Kelly tentang gagasan pribadi yang menyatakan bahwa manusia memahami pengalaman dengan berkelompok serta membedakan kejadian menurut kesamaan dan perbedaannya. Perbedaan yang dirasakan tidak terjadi secara alami, tetapi ditentukan oleh hal–hal yang bertentangan dalam sistem kognitif individu. Pasangan yang bertentangan, seperti tinggi/pendek, panas/dingin dan hitam/putih yang digunakan untuk memahami kejadian dan banyak hal, disebut gagasan pribadi. Gagasan ini merupakan sumber nama dari teori Kelly teori gagasan pribadi. Sistem

kognitif seseorang terdiri dari bannyak perbedaan. Dengan memisahkan pengalaman ke dalam kategori–kategori, individu memberinya pemaknaan. Sebagai contoh, anda mungkin melihat ibu anda sebagai seseorang yang tinggi dan ayah anda sebagai seseorang yang pendek, kopi itu panas dan susu itu dingin, jaket favorit anda berwarna hitam dan topi favorit anda berwarna putih. Gagasan disusun ke dalam skema interpretif yang mengidentifikasi sesuatu dan mendapatkan sebuah objek dalam sebuah kategori. Dengan skema interpretif, kita memahami sebuah kejadian dengan mendapatkannya dalam sebuah kategori yang lebih besar (Littlejohn, 2011: 180).

(33)

ditetapkan, bagaimana tujuan dicapai, seperti jenis–jenis gagasan yang digunakan dalam skema kognitif.

Pengumpulan kepatuhan adalah salah dari beberapa jenis komunikasi yang telah diteliti dari sebuah sudut pandang yang terpusat pada orang. Pesan persuasive berkisar dari yang paling sedikit hingga yang paling terpusat pada orang. Pada tingkat yang paling sederhana, misalnya, seseorang dapat mencoba untuk mencapai satu tujuan kepatuhan dengan memberi perintah atau ancaman. Ada tingkat yang lebih kompleks, seseorang juga dapat mencoba membantu orang lain memahami kenapa kepatuhan itu penting dengan memberikan alasan– alasan untuk patuh. Pada sebuah tingkat kerumitan yang jauh lebih tinggi, seorang pelaku komunikasi dapat mencoba untuk mendapatkan simpati dengan membangun empati atau pemahaman terhadap sebuah situasi. Ketika pesan seseorang menjadi lebih kompleks, mereka perlu menggunakan lebih banyak tujuan dan lebih terpusat pada orang.

Pesan–pesan yang menghibur juga telah diteliti dari sudut pandang seorang ahli konstruktivis. Manusia mencoba untuk memberikan dukungan sosial bagi orang lain dalam berbagai cara dan beberapa metode

ini lebih canggih dari yang lain. Peneliti tentang pesan–pesan yang menghibur secara umum mendukung pandangan bahwa individu yang lebih kompleks secara kognitif menghasilkan pesan yang lebih canggih daripada individu yang kurang kompleks, bahwa pesan–pesan yang canggih lebih terpusat pada orang daripada pesan yang kurang canggih dan bahwa semakin canggih pesannya, maka semakin efektif dalam memberikan kenyamanan daripada pesan yang kurang canggih.

Sama canggihnya, konstruktivisme pada dasarnya masih merupakan sebuah teori pemilihan strategi. Prosedur penelitian konstruktivis biasanya meminta subjek untuk memilih jenis–jenis pesan yang berbeda dan membaginya menurut kategori–kategori strategi (Littlejohn, 2011: 181).

(34)

Little Jhon mengatakan bahwa teori–teori aliran ini berlandaskan pada ide bahwa realitas bukanlah bentuk yang objektif, tetapi dikonstruksi melalui proses interaksi dalam kelompok, masyarakat dan budaya.

Pada pandangan konstruktivisme berpendapat bahwa semesta secara epitimologi merupakan hasil konstruksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi yang dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material. Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan bukan reproduksi kenyataan. Dengan demikian dunia muncul dalam pengalaman manusia secara terorganisasi dan bermakna. Keberagaman pola konseptual/kognitif merupakan hasil dari lingkungan historis, kultural, dan personal yang digali secara terus menerus. Jadi tidak ada pengetahuan yang koheren, sepenuhnya transparan dan independent dari subjek yang menamati. Manusia ikut berperan, ia menentukan pilihan perencanaan yang lengkap, dan menuntaskan tujuannya di dunia. Pilihan–pilihan mereka buat dalam kehidupan sehari–hari lebih sering didasarkan pada pengalaman sebelumnya, bukan pada prediksi secara ilmiah teoritis.

Bagi kaum konstruktivis, semesta adalah suatu konstruksi artinya

(35)

tertentu juga dalam ilmu–ilmu alam, seperti yang ditunjukkan dalam fisika kuantum.

Konsekuensinya, kaum konstruktivis menganggap tidak ada makna yang mandiri, tidak ada deskripsi yang murni objektif. Kita tidak dapat secara transparan melihat “apa yang ada di sana” atau “yang ada di sini” tanpa termediasi oleh teori, kerangka konseptual atau bahasa yang disepakati secara sosial. Semesta yang ada di hadapan kita bukan satu yang ditemukan, melainkan selalu termediasi oleh paradigma, kerangka konseptual, dan bahasa yang dipakai. Karena itu, pendekatan yang aprioristic terhadap semesta menjadi tidak mungkin. Ide tentang tidak adanya satu representasi dan ketersembunyian semesta membuka peluang pluralisme metodologi, karena tidak adanya satu representasi yang memiliki aksen istimewa terhadap semesta.

Bahasa bukan cerminan semesta akan tetapi sebaliknya bahasa berperan membentuk semesta. Setiap bahasa mengkonstruksi aspek-aspek spesifik dari semesta denga carannya sendiri (bahasa puisi/sastra, bahasa sehari–hari, bahasa ilmiah). Bahasa merupakan hasil kesepakatan sosial serta memiliki sifat yang tidak permanen, sehingga terbuka dan

mengalami evolusi. Berbagai versi tentang objek–objek dan tentang dunia muncul dari berbagai komunitas sebagai respon terhadap problem tertentu, sebagai upaya mengatasi masalah tertentu dan cara memuaskan kebutuhan dan kepentingan tertentu. Masalah kebenaran dalam konteks konstruktivis bukan lagi permasalahan fondasi atau representasi, melainkan masalah kesepakatan pada komunitas tertentu (Ardianto, 2007: 153).

2.1.2 Sejarah Perspektif Konstruktivisme

(36)

Aspek berfikir operatif lebih berkaitan dengan transformasi dari suatu level ke level lain. Ini menyangkut operasi intlektual atau sistem transformasi. Setiap level keadaan dapat dimengerti sebagai akibat dari transformasi tertentu atau sebagai titik tolak bagi transformasi lain. Dengan kata lain, aspek yang lebih esensial dari berfikir adalah aspek operatif. Berfikir operatif inilah yang memungkinkan seseorang untuk

mengembangkan pengetahuan dari suatu level tertentu ke level yang lebih tinggi.

Secara ringkas dalam buku Filsafat komunikasi Ardianto, gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut:

a) Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek. b) Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang

perlu untuk pengetahuan.

c) Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman–pengalaman seseorang (Ardianto, 2007:

155).

Konstruk Hubungan Dalam Komunikasi

(37)

menggambarkan dan mengambil kesimpulan karakteristik psikologi para pendengarnya secara internal

Faktor lain yang mempengaruhui proses komunikasi berbasis diri adalah konsep tentang tujuan. Setiap individu dalam interaksinya selalu berusaha untu memanejen tujuan. Tujuan itu bisa bersifat instrumental (seperti, mengajak atau memberitahukan seseorang) dan relasional (mendukung, penampilan seseorang, menunjukan pesona diri). B.J O’keefe Dan Delia (1982) menyatakan bahwa pesan berbasis-diri lebih kompleks dalam tindakannya karena mereka menentukan tujuan yang beragam. O’Kefee menggunakan trem kompleksitas tindakan (behavioural complexity) untuk merujuk pada bagaimana kebutuhan yang kompleks ini

diatur dalam suatu interaksi. Produksi pesan yang kompleks ini bisa dikaitkan dengan kompleksitas kognitif. Secara khusus, individu dengan konstruk sistem yang berbeda akan membuat definisi yang kompleks tentang situasi antarpesona dan akan, sebagai hasil, memproduksi pesan yang lebih bersifat kompleks serta lebih terpusat pada diri (Ardianto, 2007: 163).

Penelitian pada hakikatnya merupakan wahana untuk menemukan

kebenaran atau untuk lebih mudah membenarkan kebenaran. Usaha untuk mengejar kebenaran dilakukan oleh para filsuf, peneliti maupun para praktisi melalui model-model tertentu. Model-model tersebut biasanya disebut dengan paradigma. Paradigma merupakan model atau pola tentang bagaimana sesuatu distruktur (bagian dan hubungannya) atau bagaimana bagian-bagian berfungsi.

2. 2 Kajian Pustaka

(38)

Komunikasi

Frank Dance mengambil sebuah langkah besar dalam mengklarifikasikan konsep kasar ini dengan menggarisbawahi sejumlah elemen yang digunakan untuk membedakan komunikasi. Ia mendapatkan tiga poin dari “perbedaan konseptual yang penting” yang membentuk dimensi–dimensi dasar komunikasi. Dimensi yang pertama adalah tingkat pengamatan atau keringkasan. Beberapa definisi termasuk luas dan

bebas; yang lainnya terbatas. Sebagai contoh, definisi komunikasi sebagai “proses yang menghubungkan semua bagian–bagian yang terputus” merupakan definisi yang umum. Definisi yang lain, komunikasi sebagai “sebuah sistem (misalnya telefon atau telegraf) untuk menyampaikan informasi dan perintah (misalnya di Angkatan Laut) yang bersifat membatasi”.

Perbedaan yang kedua adalah tujuan. Beberapa definisi hanya memasukkan pengiriman dan penerimaan pesan dengan maksud tertentu; yang lainnya tidak memaksakan pembatasan ini. Berikut ini adalah contoh definisi yang menyebutkan maksud: “situasi–situasi tersebut merupakan sebuah sumber yang mengirimkan sebuah pesan kepada penerima dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi perilaku penerima”. Sebuah definisi yang tidak memerlukan tujuan adalah sebagai berikut: “Komunikasi merupakan sebuah proses menyamakan dua atau beberapa hal mengenai kekuasaan terhadap seseorang atau beberapa orang”.

(39)

penting apakah informasi diterima dan dipahami atau tidak (Littlejohn, 20011; 5).

Komunikasi adalah hal yang paling wajar dalam pola tindakan manusia, tetapi juga paling komplit dan rumit. Bagaimana tidak, komunikasi sudah berlangsung semenjak manusia lahir, dilakukan secara wajar dan leluasa seperti halnya bernafas, namun ketika harus membujuk, membuat tulisan, mengemukakan pikiran dan menginginkan orang lain bertindak sesuai dengan harapan kita, barulah disadari bahwa komunikasi adalah sesuatu yang sulit dan berbelit–belit.

Dalam mendefinisikan atau menafsirkan komunikasi juga terjadi kesulitan. Kesulitan ini muncul Karena konsep komunikasi itu sendiri adalah sesuatu yang abstrak dan mempunyai berbagai makna. Kesulitan lainnya karena makna komunikasi yang digunakan sehari–hari berbeda dengan penggunaan komunikasi yang dimaksud oleh para ahli komunikasi untuk kepentingan keilmuan.

Sejak tahun empat puluh atau tepatnya era 1930-1960, definisi– definisi mengenai komunikasi telah banyak diungkap, ketika itu para ahli di Amerika Serikat mulai merasakan kebutuhan akan “Science of

Communication”, di antaranya adalah Carl I. Hovland, seorang sarjana

psikologi yang menaruh perhatian pada perubahan sikap.

Menurutnya, ilmu komunikasi adalah “suatu usaha yang sistematis untuk merumuskan secara tegas azas–azas dan atas dasar azas–azas tersebut disampaikan informasi serta dibentuk pendapat dan sikap (a systematic attempt to formulate in rigorous fashion the principles by

which information is transmitted and opinions and attitudes are formed).

Adapun mengenai komunikasinya sendiri, Hovland merumuskan sebagai “proses dimana seseorang (komunikator) menyampaikan perangsang– perangsang (biasanya lambang–lambang dalam bentuk kata-kata) untuk untuk merubah tingkah laku orang lain atau komunikate (Purba, 2006: 29).

(40)

semenjak kita lahir, dilakukan dengan wajar dan leluasa seperti halnya bernafas, namun ketika harus membujuk, membuat tulisan, mengemukakan pikiran dan menginginkan orang lain bertindak sesuai dengan harapan kita, barulah disadari bahwa komunikasi adalah suatu yang sulit dan berbelit-belit. Proses komunikasi lain misalnya yang dikembangkan oleh Herbert G Hicks dan C Ray Gullet yang didasarkan pada model David K. Berlo dan model yang dikembangkan oleh Wilbur Schramn, menggambarkan komunikasi dimulai dari sumber sebagai titik awal komunikasi itu berasal. Dalam diri sumber terjadi proses pengkodean (encoding) yakni ketika ide dirubah menjadi kode atau simbol bahasa, gerak gerik dan sebagainya di alam pikiran kemudian diekspresikan menjadi sebuah pesan berupa produk fisik seperti kata – kata yang diucapkan, dicetak, ekspresi wajah yang disampaikan melalui saluran tetrtentu kepada penerima. Pesan tersebut diterima berupa ide atau simbol yang terlebih dahulu melalui proses pembacaan kode (decoding) dalam diri penerima dengan menyusun kembali guna memperoleh pengertian. Demikian selanjutnya terjadi proses yang sama dalam diri komunikan yang berubah menjadi komunikator (sumber) yaitu proses

encoding maupun decoding dalam menyampaikan pesan sebagai feedback

atau respon. Proses ini terus berlanjut secara sirkuler sampai akhirnya proses komunikasi itu berakhir. Dari penjelasan tersebut diketahui bahwa unsur – unsur dalam proses komunikasi menjadi semakin berkembang dengan menambah encoding, decoding dan feedback (Purba, 2006: 40)

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa unsur–unsur komunikasi terdiri dari :

1. Sumber (communicator) 2. Pembentukan kode (encoding) 3. Pesan (message)

4. Saluran (channel)

(41)

7. Umpan balik (feedback) 8. Efek (effect)

(Purba, 2006: 40)

Tujuan komunikasi

Ada beberapa tujuan ilmu komunikasi yang terdapat pada buku Onong Uchjana Effendy (2003) yang berjudul Ilmu, Teori Dan Filsafat Komunikasi yaitu:

a. Mengubah opini/pendapat/pandangan (to change the opinion) b. Mengubah prilaku (to change the behavior)

c. Mengubah masyarakat (to change the society)

Jenis komunikasi

Sesungguhnya komunikasi bukan hanya multi makna dan multi definisi, tetapi cara membaginya pun juga bermacam – macam. Untuk memahami taksonomi (klasifikasi) komunikasi, maka kita dapat melacak pada awal pertumbuhannya sebagai ilmu.

Komunikasi dibagi atas dua bagian yaitu komunikasi media

(beralat) dan komunikasi tatap muka (non media). Selanjutnya komunikasi media dibedakan lagi atas dua jenis, yaitu komunikasi dengan menggunakan media massa (pers, radio, film dan televisi) dan komunikasi dengan menggunakan media individual (surat telegram, telepon dan sebagainya).

Jika komunikasi dititikberatkan pada sifat pesan, maka komunikasi dapat dibagi pula ke dalam dua jenis, yaitu komunikasi massa (isinya bersifat umum) dan komunikasi persona (isinya bersifat pribadi). Komunikasi massa dapat menggunakan media massa, sedangkan komunikasi persona boleh dilakukan dengan menggunakan alat seperti surat, telepon dan telegram.

(42)

dinamakan komunikasi persona, yang berlangsung dalam kelompok disebut komunikasi kelompok (ada kelompok kecil dan kelompok besar), dan yang berlangsung dengan massa, dinamakan komunikasi massa. Selain dari ketiga jenis komunikasi itu (persona, kelompok dan massa), para sosiologi menambahkan satu lagi jenis komunikasi, yaitu komunikasi organisasi yaitu komunikasi yang berlangsung didalam organisasi (formal).

Di samping itu sering pula dijumpai komunikasi dibagi berdasarkan lokasi atau kawasan, seperti komunikasi internasional, komunikasi regional dan komunikasi nasional. Tercakup di dalamnya adalah komunikasi lintas budaya, yaitu komunikasi yang berlangsung antara masyarakat yang mempunyai kebudayaan yang berbeda, baik dalam lingkungan suatu bangsa (antar suku), maupun dalam lingkungan antar bangsa.

Pembagian yang lain, didasarkan kepada tujuan dan jenis pesan. Dalam hal ini komunikasi dapat dibedakan dalam banyak jenis antara lain:

a) Komunikasi Politik (kampanye,agitasi, propaganda),

b) Komunikasi Perdagangan (reklame, advertensi, promosi), c) Komunikasi Kesehatan (penyuluhan keluarga berencana). d) Komunikasi Agama (dakwa, tablig, khotbah),

e) Komunikasi Kesenian (drama, puisi, prosa,wayang), f) Komunikasi Pertanian (penyuluhan panca usaha tani).

(43)

Pesan

Pesan (message) adalah kata verbal tertulis (written) maupun lisan (spoken), isyarat (gestural), gambar (pictorial) maupun lambang–lambang lainnya yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan dan dapat dimengerti oleh komunikan.

Pesan tidak semata–mata disampaikan dalam bentuk kata–kata saja tetapi pesan juga dapat diungkapkan melalui lambang–lambang atau isyarat dalam bentuk komunikasi non verbal misalnya dengan busana berwarna hitam yang dikenakan oleh seseorang ketika sedang menghadiri upacara kemalangan akan memberikan pesan turut berduka cita. Cara seseorang tertawa lebar menyatakan pesan sangat gembira atau senang, menggelengkan kepala menyatakan tidak, berjabat tangan tanda berkenalan atau sepakat dan sebagainya akan memberi arti komunikasi bagi orang lain.

Suatu lambang verbal maupun nonverbal yang tidak dapat dimengerti atau dipahami oleh orang lain tidak dapat dikatakan pesan, sebab lambang atau simbol akan menjadi pesan apa bila terdapat kesamaan makna terhadap pesan atau dengan kata lain dapat dimengerti

oleh kedua belah pihak, baik komunikator maupun komunikan. Pesan yang disampaikan seseorang secara langsung (face to face) maupun dengan media pribadi seperti telepon. Surat dan lain – lain adalah pesan yang bersifat pribadi atau intern karena ditujukan kepada seseorang atau sekelompok orang tertentu. Berbeda dengan pesan yang disampaikan kepada massa melalui media massa seperti radio, televisi, surat kabar, majalah dan lain – lain, bersifat umum karena ditunjukan kepada masyarakat umum dan menyangkut kepentingan umum. Hal ini merupakan karakteristik media massa sebagai salah satu yang membedakan antara komunikasi massa dengan komunikasi lainnya (Purba, 2006: 43).

(44)

penting diantaranya adalah pesan, karena pesan disampaikan melalui media yang tepat, bahasa yang di mengerti, kata-kata yang sederhana dan sesuai dengan maksud, serta tujuan pesan itu akan disampaikan dan mudah dicerna oleh komunikan. Adapun pesan itu menurut Onong Effendy, menyatakan bahwa pesan adalah: “suatu komponen dalam proses komunikasi berupa paduan dari pikiran dan perasaan seseorang dengan menggunakan lambang, bahasa/lambang-lambang lainnya disampaikan kepada orang lain” (Effendy, 2003: 224).

Pesan dapat dimengerti dalam tiga unsur yaitu kode pesan, isi pesan dan wujud pesan. Kode pesan adalah sederetan simbol yang disusun sedemikian rupa sehingga bermakna bagi orang lain. Contoh bahasa Indonesia adalah kode yang mencakup unsur bunyi, suara, huruf dan kata yang disusun sedemikian rupa sehingga mempunyai arti. Hubungan antara pesan dan tanda dibuat lebih kompleks dengan adanya tulisan dalam suatu cara yang tidak langsung. Apa yang ada dalam benak saya sesungguhnya terkonsentrasi pada fungsi genre literer dalam menghasilkan wacana sedemikian rupa menjadi sebuah model wacana, baik berupa puisi, narasi ataupun esai. Fungsi ini tidak diragukan lagi

concern dengan hubungan antara pesan dan kode dikarenakan genre

adalah alat generatif yang menghasilkan wacana sedemikian rupa menjadi sebuah model wacana, baik berupa puisi, cerita ataupun esai. Fungsi ini tidak diragukan lagi fokus hubungan antara pesan dan kode dikarenakan genre adalah alat generatif yang menghasilkan wacana. Sebelum menjadi

(45)

Komunikasi Verbal

Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Bahasa dapat juga dianggap sebagai sistem kode verbal (Mulyana, 2004). Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas.

Jalaluddin Rakhmat (1994) dalam buku Barker yang berjudul Cultural Studies, mendefinisikan bahasa secara fungsional dan formal.

Secara fungsional, bahasa diartikan sebagai alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan. Ia menekankan dimiliki bersama, karena bahasa hanya dapat dipahami bila ada kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok sosial untuk menggunakannya. Secara formal, bahasa diartikan sebagai semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut peraturan tatabahasa. Setiap bahasa mempunyai peraturan bagaimana kata-kata harus disusun dan dirangkaikan supaya memberi arti. Karya Saussure (1960) dalam buku Barker yang berjudul Cultural Studies, cukup kritis dalam mengembangkan strukturalisme. Dia menyatakan bahwa makna terbangun melalui sistem perbedaan terstruktur pada bahasa.

Pemaknaan lebih sebagai hasil dari aturan dan konvensi yang mengatur bahasa (langue) ketimbang sebagai pemakaian dan ujar spesifik yang dilakukan individu dalam kehidupan sehari–hari (parole). Menurut Saussure, makna diproduksi melalu proses seleksi dan kombinasi tanda– tanda di sekitar dua poros, yaitu poros sintagmatis (linear misalnya kalimat) dan poros paradigmatis (arena tanda misalnya sinonim), yang ditata di dalam sistem penandaan. Tanda, yang dibangun oleh penanda (media) dan petanda (makna), tidak dijelaskan dengan mengacu kepada identitas dunia nyata namun ia membangun makna dengan mengacu satu sama lain. Makna adalah konvensi sosial yang diorganisasi melalui relasi antar tanda.

(46)

tanpa batas. Patut dicatat bahwa Saussere berbicara tentang ilmu tanda, yang disebut dengan semiotika, yang berimplikasi terhadap dimungkinkannya pengetahuan tanda yang objektif, pasti dan ilmiah. Kita juga harus mencatat adanya kecenderungan dalam strukturalisme terhadap analisis melalui oposisi biner, misalnya kontras antara langue dan parole, atau antara pasangan tanda sehingga ’hitam’ hanya bermakna ketika dikaitkan dengan ’putih’ dan sebaliknya (Barker, 2004: 18).

Arti penting bahasa bagi pemahaman kebudayaan dan konstruksi pengetahuan telah mencapai puncak agenda di dalam cultural studies dan ’ilmu humaniora’. Itu semua karena dua alasan sentral dan saling terkait:

1) Bahasa adalah media istimewa di mana makna budaya dibangun dan dikomunikasikan.

2) Bahasa adalah sarana dan media di mana kita membangun pengetahuan tentang diri kita dan tentang dunia sosial. Bahasa bukanlah media netral bagi pembentukan dan transfer nilai, makna dan pengetahuan yang ada di luar batas–batasnya; namun, bahasa adalah pembangun nilai–nilai, makna dan pengetahuan tersebut. Jadi, bahasa memberikan makna kepada objek material dan praktik sosial yang

ditampilkan dan digamblangkan ke hadapan kita dalam konteks yang dibatasi bahasa. Bahasa lebih baik tidak dipahami sebagai refleksi naif atas makna non-lunguistik, atau sekedar dalam konteks kehendak para pengguna bahasa. Namun bahasa mengkonstruksi makna. Dia menstrukturkan makna mana yang dapat dan tidak dapat digunakan pada situasi tertentu oleh objek yang bertutur. Memahami kebudayaan berarti mengeksplorasi bagaimana makna dihasilkan secara simbolis melalui praktik–praktik pemaknaan bahasa. Ini menjadi domain semiotika, dipahami secara luas sebagai studi tanda dan dikembangkan dari karya perintis Saussure (Barker, 2004: 69).

(47)

digunakan oleh manusia untuk mengoordinasikan tindakan mereka dalam konteks hubungan sosial. ’Makna suatu kata adalah pemakaiannya dalam bahasa, yang terpenting adalah bahwa kita bertanya ”pada kondisi apa kalimat ini benar–benar digunakan di sanalah ia dapat dipahami”. Melihat bahasa sebagai alat berarti menyatakan bahwa kita melakukan berbagai hal dengan bahasa. Bahasa adalah tindakan dan penunjuk bagi tindakan. Bahasa, dalam konteks pemakaian secara sosial, secara temporer dapat distabilkan untuk tujuan praktis.

Ada kemiripan antara tulisan Derrida dengan Wittgenstein. Sebagai contoh, keduanya menekankan:

a. karakter non-representasional bahasa; b. hubungan arbitrer antara tanda dan referent; c. sifat kontekstual ’kebenaran’

Namun, Wittgenstein dalam buku Barker yang berjudul Cultural Studies, ketika menggarisbawahi karakter pragmatis dan sosial bahasa,

termasuk arti penting hubungan sosial (yang kadang–kadang terpisah begitu jauh dari karakter sosialnya). Bagi Wittgenstein, kendati makna berasal dari relasi perbedaan, makna diberi tingkat stabilitas oleh

konvensi sosial dan praktik. Permainan tiada ujung pemaknaan yang dieksplorasi Derrida diatur dan sebagian distabilkan melalui narasi pragmatis. Bagi Wittgenstein, ekspresi yang penuh makna adalah suatu hal yang dapat diberi manfaat oleh eksistensi manusia yang hidup. Bahasa secara langsung berimbas pada ’bentuk kehidupan manusia’. Jadi selama makna kata ’meja’ dibangun melalui hubungan penanda meja, bangku, gerai, panel, dan lain–lain maka ia tidak stabil. Namun, ia distabilkan oleh pengetahuan sosial kata ’meja’, yaitu dipakai untuk apa, kapan, pada kesempatan apa, dan seterusnya dengan kata lain, kata ’meja’ tampil dalam narasi pragmatis atau permainan bahasa (Barker, 2004: 92).

(48)

Dengan kata lain Anda tidak dapat memilih satu kata pun semau Anda untuk mengutarakan maksud, tidak pula untuk menyusun kembali tata bahasa sekehendak Anda jika Anda ingin dimengerti.

Bahasa yang digambarkan dengan kaidah struktural adalah sebuah sistem hubungan baku tanpa inti. Hanya ketika makna ditambahkan pada fitur–fitur struktural dari bahasa, yang menjadikannya menggambarkan sesuatu. Kunci untuk memahami struktur dari sistem Saussure adalah perbedaan. Elemen dan hubungan yang ditambahkan pada bahasa

dibedakan oleh perbedaan mereka. Suatu bunyi terdengar berbeda dengan yang lainnya (seperti bunyi p dan b); suatu kata yang berbeda dengan yang lainnya (seperti kata pat dan bat); suatu bentuk tata bahasa yang berbeda dengan yang lainnya (seperti pembentukan has run dan will run). Sistem perbedaan ini mendasari struktur bahasa. Baik bahasa tertulis maupun yang diucapkan, berbeda di antara tanda objek–objek di dunia, dapat diidentifikasi dengan mencocokkan perbedaan–perbedaan di antara tanda–tanda linguistik. Tidak ada unit linguistik yang memiliki signifikansi di dalam atau di luarnya hanya berlawanan dengan unit linguistik lainnya yang menjadikan struktur tertentu mendapatkan makna.

Saussure meyakini bahwa semua orang yang mengenal dunia ditentukan oleh bahasa. Tidak seperti kebanyakan penganut semiotik lainnya, Saussure tidak melihat tanda sebagai referensial. Tanda tidak menandakan objek, melainkan mendasari mereka. Dapat saja tidak ada

objek yang terpisah dari tanda yang digunakan untuk merancangnya. Hal ini menghubungkannya secara jelas dengan gagasan Langer bahwa dunia kita terdiri dari makna yang dikaitkan dengan simbol – simbol penting dalam kehidupan kita.

(49)

kegunaan sebenarnya dari bahasa untuk mencapai tujuan. Pelaku komunikasi tidak menciptakan peraturan bahasa. Peraturan ini berfungsi melalui periode waktu yang lama dan ”dianugerahkan” kepada kita saat bersosialisasi dalam sebuah komunitas bahasa. Sebaliknya, pelaku komunikasi menciptakan berbagai bentuk pengucapan setiap saat. Dengan kata lain, Anda tidak sedang duduk–duduk dengan teman Anda dan menemukan pola tata bahasa untuk menandakan masa lalu, sekarang dan masa depan tetapi anda melakukannya dengan interaksi, menggunakan bentuk–bentuk ini dengan kreatif dan secara konstan mengubah sesuatu. Inilah perbedaan antara bahasa dan pengucapan (Littlejohn, 2009; 157).

Bahasa bukanlah cermin untuk melihat dunia menjadi objek independent (realitas), melainkan sumber dalam ‘menyediakan bentuk’ bagi diri kita dan dunia kita di luar aliran perbincangan dan praktik sehari–hari yang tidak menentukan dan tidak tertata (Shotter, 1993). Di sini, identitas bukan merupakan suatu hal yang tetap, abadi, bukan juga suatu unsur dalam diri seseorang yang menjadi acuan kata–kata, melainkan suatu cara teratur dalam ‘berbicara’ tentang orang. Gagasan bahwa identitas merupakan konstruksi diskursif diperkuat oleh pandangan

tentang bahasa bahwa tidak ada esensi yang menjadi acuan bahasa, sehingga tidak ada identitas esensial. Jadi, representasi tidak ‘memotret’ dunia melainkan membangunnya untuk kita. Itu semua karena hal–hal berikut :

1) Penanda membangun makna tidak dalam kaitannya dengan objek tetap melainkan dalam kaitannya dengan penanda lain. Menurut teori semiotika, makna dibangun melalui berbagai relasi perbedaan. Jadi, ‘baik’ bermakna ketika dikaitkan dengan ‘buruk’.

2) Hubungan antara bunyi dan tanda bahasa, penanda, dan apa yang mereka maksud, petanda, tidak diyakini berada pada hubungan yang tetap dan abadi.

(50)

bahasa agar mampu melihat secara langsung dunia objektif independent. Kita pun tidak dapat menemukan sudut pandang menyerupai Tuhan di mana kita melihat hubungan antara bahasa dengan dunia.

4) Bahasa berkarakter relasional. Kata–kata membangun makna tidak dengan mengacu kepada sejumlah karakteristik khusus atau esensial dari suatu objek atau suatu benda melainkan melalui jaringan hubungan permainan bahasa yang digunakan.

5) Kata tertentu mengandung gema atau jejak makna lain dari kata lain yang terikat dalam berbagai konteksnya. Makna pada dasarnya tidak stabil dan terus–menerus terpeleset. Demikian pula hanya dengan differance, ‘perbedaan dan pemelesetan’ di mana produksi makna terus–menerus dipelesetkan dan ditambah (atau dilengkapi) oleh makna kata lain

Pandangan tentang bahasa ini mengandung sejumlah kosekuensi penting bagi pemahaman diri dan identitas. Tidak bisa dikatakan bahwa

bahasa secara langsung merepresentasikan ‘aku’ yang telah ada sebelumnya. Agaknya, bahasa dan pemikiran membentuk ‘aku’, keduanya membawa ‘aku’ kepada hakikat melalui proses pemaknaan. Seseorang yang tidak mampu memilih ‘aku’, maka ia juga tidak dapat memilih ‘identitas’. Agaknya, seseorang dibentuk melalui bahasa sebagai serangkaian diskursus. Bahasa tidak mengekspresikan ‘benar dengan sendirinya’ wujud yang ada, tapi membawa diri kepada hakikat. Ucapan Descartes yang sangat terkenal. ‘Saya berfikir, karena itu saya ada’ menegaskan bahwa berpikir merupakan aktivitas yang terpisah dari dan merepresentasikan ‘aku’ yang telah ada sebelumnya. Namun, karena tidak ada ‘aku’ di luar bahasa, maka berpikir adalah hakikat; ‘aku’ adalah suatu posisi dalam bahasa.

Gambar

Gambar 3.1 Peta Roland Barthes
Tabel 4.1

Referensi

Dokumen terkait

Dalam mitos juga terdapat tiga pola dimensi yaitu penanda, petanda dan tanda namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rangkai pemaknaan yang

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui makna konotasi dan makna denotasi yang terkandung pada lirik lagu Ujung Aspal Pondok Gede sebagai representasi kehidupan

Dalam semiotik film dapat diamati dan dibuat berdasarkan suatu hubungan antara penanda ( signifier ) dan petanda ( signified ), seperti halnya tanda pada umumnya,

menggunakan model Semiotika dari Roland Barthes yang dimana peneliti melihat hubungan petanda dan penanda pada tanda teks yang digunakan, selain itu dikaji bagaimana

Setelah melakukan analisis data, hasil yang diperoleh adalah bahwa nilai sosial syair lagu surat buat wakil rakyat berasal dari peristiwa nyata yang dilihat oleh sang

single yang pertama rilis dalam album Sinestesia dan juga menjadi penanda karakter musik Efek Rumah Kaca untuk album ketiganya

Tanda (sign) adalah sesuatu yang berbentuk fisik (any sound-image) dapat dilihat dan didengar yang biasanya merujuk kepada sebuah objek atau aspek dari. realitas yang

Berdasarkan analisis hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan diatas, diperoleh kesimpulan tentang makna dan jenis makna pada teks lagu PHK dan Surat Buat Wakil