• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Hydraulic Retention Time (HRT) dan Rasio Recycle Sludge pada Proses Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) pada Keadaan Ambient

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Hydraulic Retention Time (HRT) dan Rasio Recycle Sludge pada Proses Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) pada Keadaan Ambient"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH HYDRAULIC RETENTION TIME (HRT)

DAN RASIO RECYCLE SLUDGE PADA PROSES

ASIDOGENESIS LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA

SAWIT (LCPKS) PADA KEADAAN AMBIENT

SKRIPSI

Oleh

AIDIL SAPUTRA

110405066

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

SEPTEMBER 2015

(2)

PENGARUH HYDRAULIC RETENTION TIME (HRT)

DAN RASIO RECYCLE SLUDGE PADA PROSES

ASIDOGENESIS LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA

SAWIT (LCPKS) PADA KEADAAN AMBIENT

SKRIPSI

Oleh

AIDIL SAPUTRA

110405066

SKRIPSI INI DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI SEBAGIAN

PERSYARATAN MENJADI SARJANA TEKNIK

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

SEPTEMBER 2015

(3)
(4)

Universitas Sumatera Utara

(5)

iii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan

karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Tulisan ini merupakan skripsi

dengan judul “Pengaruh Hydraulic Retention Time (HRT) dan Rasio Recycle Sludge pada Proses Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS)

pada Keadaan Ambient”, berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan di Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Skripsi

ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana teknik.

Hasil penelitian ini:

1. Penelitian ini memberikan informasi mengenai proses loading up dan variasi rasio recycle sludge dalam proses digestasi anaerobik tahapan asidogenesis.

2. Penelitian ini memanfaatkan limbah cair pabrik kelapa sawit dengan

menggunakan keadaan ambient sehingga lebih menghemat energi yang umumnya digunakan untuk pemanas.

3. Penelitian ini memberikan sumbangan ilmu pengetahuan mengenai

pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit.

Selama melakukan penelitian sampai penulisan skripsi ini, penulis banyak

mendapat bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan

terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Eng. Ir. Irvan, M.Si selaku Ketua Jurusan Teknik Kimia USU.

2. Dr. Ir. Fatimah, MT selaku Sekretaris Jurusan Teknik Kimia USU dan

sebagai Dosen Penguji

3. Ir. Bambang Trisakti MT selaku Pembimbing

4. Ir. Seri Maulina, MSChe, PhD selaku Penguji

5. Ir. Renita Manurung, MT selaku Koordinator Skripsi

Penulis menyadari bahwa laporan hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna,

oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan masukan demi kesempurnaan

(6)

iv

skripsi ini. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu

pengetahuan.

Medan, September 2015

Penulis

Aidil Saputra

(7)

v

DEDIKASI

Penulis mendedikasikan skripsi ini kepada:

1. Orang tua penulis, Ayahanda Mayulis dan Ibunda Martina yang sangat

banyak memberikan dukungan moril maupun materil bagi penulis dalam

segala hal.

2. Saudara penulis Selvia Agustin, Ade Kurnia, Oki Dermawan, dan Marsya

Razita serta keluarga penulis yang telah memberikan saran dan semangat

dalam menyelesaikan studi.

3. Rekan penelitian M. Darul Nafis dan rekan-rekan LPPM yaitu Bg Zoeliadi,

Bg Basril Amirza Harahap, Bg Dedy Anwar, Bg Jeni Lubis, Intan Afrilia,

Ramlan, M. Darul Nafis, Rio Agung Prakoso, Ekuino Simanungkalit, Tri

Putra Pasaribu, Khairul Fahmi, Endah Hutabarat, Christianto Sitio dan

Muksalmina.

4. Teman sejawat, adik dan abang/kakak senior serta teman-teman stambuk

2011 terutama Yusrina Ika Putri, Yunasa Addien, Widya Gema Bestari,

Nadya Gema Bestari, Dwi Gita Ferani, Mutiara Mendopa, Rio Nazif,

Erlangga Wicaksana, Oktris Novali Gusti, William, Yos Pawer Ambarita,

Iloan Manalu, dan M. Fauzy Ramadhan Tarigan yang telah banyak

memberikan banyak dukungan, semangat, doa, pembelajaran hidup dan

kenangan tak terlupakan kepada penulis.

5. Seluruh Dosen/Staf Pengajar dan Pegawai Administrasi Departemen Teknik

Kimia yang telah memberikan banyak ilmu yang berharga dan bantuan

kepada penulis selama menjalankan perkuliahan.

(8)

vi

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama : Aidil Saputra

NIM : 110405066

Tempat, tanggal lahir : Dumai / 26 Maret 1993 Nama Orang Tua : Mayulis dan Martina Alamat Orang Tua:

Jalan Ratu Sima No. 28, RT 005, Kelurahan Simpang Tetap Darul Ichsan, Kecamatan Dumai Barat, Kota Dumai, Riau

Asal Sekolah:

 TK Aisyiah tahun 1998–1999

 SD Negeri 010 Ratu Sima tahun 1999–2005  SMP Negeri 2 Dumai tahun 2005–2008  SMA Negeri Binaan Khusus tahun 2008–2011 Beasiswa yang pernah diperoleh:

1. Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) tahun 2012 2. Beasiswa Data Print tahun 2012

Pengalaman Organisasi/Kerja:

1. Himpunan Mahasiswa Teknik Kimia (HIMATEK) FT USU periode 2014/2015 sebagai anggota Literatur dan Pengembangan.

2. Covalen Study Group (CSG) periode 2013/2014 sebagai anggota Peningkatan Akademik dan Literatur.

3. Asisten Laboratorium Proses Industri Kimia, Departemen Teknik Kimia, Universitas Sumatera Utara tahun 2013/2015 modul pulp, modul Resin Urea Formaldehid, dan Reaktor Fasa Cair.

(9)

vii

ABSTRAK

Proses asidogenesis merupakan tahap pertama dari digestasi anaeobik dua tahap yang menghasilkan produk intermediet berupa Volatile Fatty Acid (VFA). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pengaruh HRT dan recycle sludge pada proses asidogenesis LCPKS pada keadaan ambient. Proses loading-up dilakukan dengan variasi HRT mulai dari HRT 20 hari, 15 hari, 10 hari, 5 hari, dan 4 hari untuk mencapai operasi target. Operasi target dilakukan dengan variasi rasio recycle sludge 0%, 15%, 25% dan 35% dengan laju pengadukan 250 rpm dan temperatur ambient. Analisa padatan (TS, VS, TSS, dan VSS), COD dan VFA dilakukan untuk mengkaji perubahan senyawa organik yang berubah menjadi VFA. Konsentrasi VSS tertinggi dan Reduksi VS tertinggi diperoleh pada rasio recycle sludge 25% sebesar 21.280 mg/l dan 14,24 %. Reduksi COD pada rasio recycle sludge 25% sebesar 24,19%.

Kata kunci : asidogenesis, ambient, digestasi anaerobik, recycle sludge, Volatile FattyAcid(VFA).

(10)

viii

ABSTRACT

Acidogenesis process is the first stage of digestion anaeobik two stages that produce intermediate products in the form of Volatile Fatty Acids (VFA). This study aims to get the effect of HRT and recycle sludge at acidogenesis process LCPKS at ambient temperature. Loading-up process done with HRT variations ranging from 20 days of HRT, 15 days, 10 days, 5 days and 4 days to reach the target operation. The target operation performed by varying the ratio of the sludge recycle of 0%, 15%, 25% and 35% with a stirring rate of 250 rpm and ambient temperature. Analysis solids (TS, VS, TSS and VSS), COD and VFA conducted to review changes in the organic compounds that turn into VFA. The highest concentration of VSS and VS reduction obtained at ratio sludge recycle of 25% is 21 280 mg/l and 14,24%. COD reduction at ratio of sludge recycle of 25% is 24,19%

Keywords : acidogenesis, ambient, anaerobic digestion, recycle sludge, Volatile Fatty Acids (VFA).

(11)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI i

PENGESAHAN UNTUK UJIAN SKRIPSI ii

PRAKATA ... iiiii iiii

DEDIKASI ... v

RIWAYAT HIDUP PENULIS ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

DAFTAR SINGKATAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 LATAR BELAKANG ... 1

1.2 PERUMUSAN MASALAH ... 4

1.3 TUJUAN PENELITIAN ... 4

1.4 MANFAAT PENELITIAN ... 4

1.5 RUANG LINGKUP PENELITIAN ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT ... 6

2.2 LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT SEBAGAI SUBSTRAT BIOGAS ... 10

2.3 DIGESTASI ANAEROBIK ... 11

2.3.1 Tahap Hidrolisis ... 12

2.3.2 Tahap Asidogenesis ... 13

2.3.3 Tahap Asetogenesis ... 14

2.3.4 Tahap Metanogenesis ... 15 2.4 DIGESTASI ANAEROBIK DENGAN SISTEM SATU TAHAP

DAN DUA TAHAP 15

(12)

x

2.5 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DIGESTASI

ANAEROBIK 17

2.5.1 pH 17

2.5.2 Suhu 18

2.5.3 Mixing (Pencampuran) ... 19

2.5.4 Hidraulic Retention Time (HRT) ... 19

2.4.5 Solid Retention Time (SRT) ... 20

2.4.6 Organic Loading Rate(OLR)... 21

2.4.7 Volatile Fatty Acid (VFA) ... 21

2.5 ANALISIS EKONOMI ... 22

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 23

3.1 LOKASI PENELITIAN ... 23

3.2 BAHAN DAN PERALATAN ... 23

3.2.1 Bahan-bahan ... 23

3.2.2 Peralatan ... 23

3.3 TAHAPAN PENELITIAN ... 25

3.3.1 Analisis Bahan Baku Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) ... 25

3.3.2 Loading Up dan Operasi Target ... 29

3.3.3 Prosedur Recycle... 29

3.3.4 Pengujian Sampel (Sampling) ... 29

3.4 FLOWCHART PENELITIAN ... 30

3.4.1 Flowchart Prosedur Analisis Bahan Baku Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) dan Pengujian Sampel (Sampling) ... 30

3.4.2 Flowchart Prosedur Loading Up dan Operasi Target ... 36

3.4.3 Flowchart Prosedur Recycle ... 37

3.5 JADWAL PENELITIAN ... 37

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39

4.1 KARAKTERISASI LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT ... 39

4.2 HASIL PENELITIAN VARIASI HRT (PROSES LOADING UP) ... 40

4.2.1 Profil pH dan Alkalinitas pada Proses Loading Up ... 40 4.2.2 Pengaruh Kondisi pH dan Alkalinitas terhadap Pertumbuhan

(13)

xi

Mikroba ... 41

4.2.3 Degradasi Chemical Oxygen Demand (COD) pada Proses Loading Up ... 43

4.2.4 Pembentukan Volatile Fatty Acid (VFA)Pada Proses Loading Up ... 44

4.3.5 Pengaruh pH terhadap Rasio VFA/Alkalinitas Pada Proses Loading Up ... 45

4.3 HASIL PENELITIAN PROSES OPERASI TARGET... 46

4.3.1 Pengaruh Recycle Sludge terhadap Alkalinitas ... 46

4.3.2 Pengaruh Recycle Sludge terhadap Profil Pertumbuhan Mikroba . 48 4.3.3 Pengaruh Recycle Sludge terhadap Reduksi Vollatile Solid (VS) . 49 4.3.4 Pengaruh Recycle Sludge terhadap Degradasi Chemical Oxygen Demand (COD) ... 51

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 53

5.1 Kesimpulan ... 53

5.2 Saran ... 53

DAFTAR PUSTAKA ... 54

(14)

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Produksi Minyak Kelapa Sawit Dunia 7

Gambar 2.2 Pengolahan Minyak Kelapa Sawit yang Menghasilkan LCPKS 9

Gambar 2.3 Skema Proses Pengolahan Digestasi Anaerobik 12

Gambar 2.4 Pembentukan Monomer 13

Gambar 2.5 Klasifikasi Mikroorganisme Berdasarkan Suhu 19

Gambar 3.1 Rangkaian Peralatan 24

Gambar 3.2 Flowchart Prosedur Analisis pH 30 Gambar 3.3 Flowchart Prosedur Analisis M-Alkalinity 31 Gambar 3.4 Flowchart Prosedur Analisis Total Solids (TS) 32 Gambar 3.5 Flowchart Prosedur Analisis Volatile Solid (VS) 33 Gambar 3.6 Flowchart Prosedur Analisis Total Suspended Solid (TSS) 33 Gambar 3.7 Flowchart Prosedur Analisis Volatile Suspended Solid (VSS) 34 Gambar 3.8 Flowchart Prosedur Analisis Chemical Oxygen Demand (COD) 35 Gambar 3.9 Flowchart Prosedur Loading Up dan Operasi Target 36

Gambar 3.10 Flowchart Prosedur Recycle 37

Gambar 4.1 Hubungan pH dan Alkalinitas pada Proses Loading Up 41 Gambar 4.2 Pengaruh Kondisi pH dan Alkalinitas terhadap Pertumbuhan Mikroba 42

Gambar 4.3 Pengaruh Reduksi HRT terhadap Reduksi COD 43

Gambar 4.4 Pengaruh Reduksi HRT terhadap Pembentukan VFA 44

Gambar 4.5 Pengaruh Reduksi HRT terhadap rasio VFA/Alkalinitas 43

Gambar 4.6 Pengaruh Rasio RecycleSludge terhadap pH dan Alkalinitas pada

Operasi Target 46

Gambar 4.7 Pengaruh Rasio RecycleSludge terhadap Rerata Alkalinitas (Error

Bar Menyatakan Standar Deviasi) 47

Gambar 4.8 Pengaruh Rasio RecycleSludge terhadap Konsentrasi VSS pada

Operasi Target 48

Gambar 4.9 Pengaruh RecycleSludge terhadap Rata-rata Konsentrasi VSS

(Error Bar Menyatakan Standar Deviasi) 49

Gambar 4.10 Pengaruh Rasio RecycleSludge terhadap Reduksi VS 50

(15)

xiii

Gambar 4.11 Pengaruh Rasio RecycleSludge terhadap Rata-rata Reduksi VS (Error

Bar Menyatakan Standar Deviasi) 50

Gambar 4.12 Pengaruh Rasio RecycleSludge terhadap Degradasi Chemical

Oxygen Demand (COD) 51

Gambar C.1 Tangki Umpan 66

Gambar C.2 Fermentor 66

Gambar C.3 Botol Keluaran Fermentor (discharge) 67

Gambar C.4 Botol Penampung Biogas (Gas Collector) 67

Gambar C.5 Gas Meter 67

Gambar C.6 Rangkaian Peralatan 68

Gambar C.7 LCPKS Segar pada Temperatur Ambient 68

Gambar C.8 Effluent Fermentor untuk Proses Pengendapan 69

Gambar C.9 Peralatan Analisis M-Alkalinity 69

Gambar C.10 Detecting Tube Hasil Analisis Gas H2S dan CO2 70 Gambar C.11 Peralatan Analisis Padatan Tersuspensi (Vacuum Pump) 70 Gambar C.12 Peralatan Analisis Chemical Oxygen Demand (COD) 71

Gambar C.13 Timbangan Analitik 71

Gambar C.14 Desikator 72

Gambar C.15 Oven 72

Gambar C.16 Furnace 73

Gambar D.1 Hasil Uji Laboratorium untuk Analisis Lemak dalam LCPKS ... 74

Gambar D.2 Hasil Uji Laboratorium untuk Analisis Protein dalam LCPKS ... 74

Gambar D.3 Hasil Uji Laboratorium untuk Analisis Karbohidrat dalam LCPKS ... 75

Gambar D.4 Hasil Uji Laboratorium untuk Analisis VFA ... 76

Gambar D.5 Hasil Uji Laboratorium untuk Analisis VFA (lanjutan) ... 77

(16)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1 Berbagai Penelitian Mengenai Pengolahan Anaerobik 3

Tabel 2.1 Produksi dan Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia, Malaysia dan

Thailand 7

Tabel 2.2 Karakteristik Limbah Cair Kelapa Sawit 10

Tabel 2.3 Baku Mutu Limbah Cair untuk Industri Minyak Sawit 10

Tabel 2.4 Produksi Biogas dan Metana Teoritis dari Karbohidrat,

Lemak dan Protein 11

Tabel 2.5 Beberapa Kelompok Enzim Hidrolisis dan Fungsinya 13

Tabel 2.6 Degradasi pada Tahap Metanogenesis 15

Tabel 2.7 Bahan Kimia yang Sering digunakan sebagai Sistem Penyangga 18 Tabel 3.1 Jadwal Analisis Influent dan Effluent 30 Tabel 3.2 Jenis Kegiatan dan Jadwal Pelaksanaan Penelitian 38 Tabel 4.1 Karakteristik POME dari PTPN IV PKS Adolina 39

Tabel A.1 Karakteristik POME dari PTPN IV PKS Adolina 59

Tabel A.2 Data Hasil Analisis pH, Alkalinitas, TS, VS, TSS, dan VSS pada

Variasi Hydraulic Retention Time (HRT) 59 Tabel A.3 Data Hasil Analisis Chemical Oxygen Demand (COD) pada

Variasi Hydraulic Retention Time (HRT) 61 Tabel A.4 Data Hasil Analisis Pembentukan Volatile Fatty Acid (VFA) pada

Variasi Hydraulic Retention Time (HRT) 61 Tabel A.5 Data Hasil Analisis pH, Alkalinitas, TS, VS, TSS, dan VSS pada

Variasi Recycle Sludge 62

Tabel A.6 Data Hasil Analisis Chemical Oxygen Demand (COD) pada

Variasi Recycle Sludge 63 Tabel B.1 Data Alkalinitas untuk Variasi Recycle Sludge 0% (HRT 4 hari) 65

(17)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

LAMPIRAN A DATA HASIL ANALISIS 59

A.1 KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT 59

A.2 DATA HASIL PENELITIAN 59

LAMPIRAN B CONTOH PERHITUNGAN 65

B.1 PERHITUNGAN REDUKSI COD 65

B.2 PERHITUNGAN STANDAR DEVIASI 65

LAMPIRAN C DOKUMENTASI 66

LAMPIRAN D HASIL UJI LABORATORIUM 73

D.1 HASIL UJI LABORATORIUM UNTUK ANALISIS LEMAK

DALAM LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT (LCPKS) 73

D.2 HASIL UJI LABORATORIUM UNTUK ANALISIS

PROTEIN DALAM LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA

SAWIT (LCPKS) 73

D.3 HASIL UJI LABORATORIUM UNTUK ANALISIS

KARBOHIDRAT DALAM LIMBAH CAIR PABRIK

KELAPA SAWIT (LCPKS) 73

D.4 HASIL UJI LABORATORIUM UNTUK ANALISIS VOLATILE

FATTY ACID (VFA) 73

(18)

xvi

DAFTAR SINGKATAN

BOD Biological Oxygen Demand

COD Chemical Oxygen Demand

CPO Crude Palm Oil

CSTR Continous Stirred Tank Reactor

FAS Ferro Amonium Sulfat

HRT Hydraulic Retention Time

LCPKS Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit

OLR Organic Loading Rate

PKS Pabrik Kelapa Sawit

POME Palm Oil Mill Effluent

PTPN PT Perkebunan Nusantara

SRT Sludge Retention Time

TBS Tandan Buah Segar

TKKS Tandan Kosong Kelapa Sawit

TS Total Solid

TSS Total Suspended Solid

VFA Volatile Fatty Acid

VS Volatile Solid

VSS Volatile Suspended Solid

(19)

vii

ABSTRAK

Proses asidogenesis merupakan tahap pertama dari digestasi anaeobik dua tahap yang menghasilkan produk intermediet berupa Volatile Fatty Acid (VFA). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pengaruh HRT dan recycle sludge pada proses asidogenesis LCPKS pada keadaan ambient. Proses loading-up dilakukan dengan variasi HRT mulai dari HRT 20 hari, 15 hari, 10 hari, 5 hari, dan 4 hari untuk mencapai operasi target. Operasi target dilakukan dengan variasi rasio recycle sludge 0%, 15%, 25% dan 35% dengan laju pengadukan 250 rpm dan temperatur ambient. Analisa padatan (TS, VS, TSS, dan VSS), COD dan VFA dilakukan untuk mengkaji perubahan senyawa organik yang berubah menjadi VFA. Konsentrasi VSS tertinggi dan Reduksi VS tertinggi diperoleh pada rasio recycle sludge 25% sebesar 21.280 mg/l dan 14,24 %. Reduksi COD pada rasio recycle sludge 25% sebesar 24,19%.

Kata kunci : asidogenesis, ambient, digestasi anaerobik, recycle sludge, Volatile FattyAcid(VFA).

(20)

viii

ABSTRACT

Acidogenesis process is the first stage of digestion anaeobik two stages that produce intermediate products in the form of Volatile Fatty Acids (VFA). This study aims to get the effect of HRT and recycle sludge at acidogenesis process LCPKS at ambient temperature. Loading-up process done with HRT variations ranging from 20 days of HRT, 15 days, 10 days, 5 days and 4 days to reach the target operation. The target operation performed by varying the ratio of the sludge recycle of 0%, 15%, 25% and 35% with a stirring rate of 250 rpm and ambient temperature. Analysis solids (TS, VS, TSS and VSS), COD and VFA conducted to review changes in the organic compounds that turn into VFA. The highest concentration of VSS and VS reduction obtained at ratio sludge recycle of 25% is 21 280 mg/l and 14,24%. COD reduction at ratio of sludge recycle of 25% is 24,19%

Keywords : acidogenesis, ambient, anaerobic digestion, recycle sludge, Volatile Fatty Acids (VFA).

(21)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Industri kelapa sawit telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir

dan menyumbang persentase terbesar produksi minyak dan lemak di dunia pada

tahun 2011 [1]. Melampaui Malaysia pada tahun 2008, Indonesia saat ini

merupakan produsen terbesar minyak sawit di dunia dengan total produksi pada

tahun 2012 mencapai 27 miliar ton yang dihasilkan dari sekitar 6 juta hektar

perkebunan. Malaysia dan Indonesia bersama-sama menghasilkan sekitar 87%

dari total minyak sawit dunia [2].

Meskipun ekspansi industri kelapa sawit telah mendorong perekonomian

nasional, juga secara bersamaan menghasilkan produk samping berlimpah seperti

limbah cair pabrik kelapa sawit limbah (LCPKS) atau palm oil mill effluent (POME) (60%), tandan kosong (23%), cangkang sawit (5%), dan serat mesocarp (12%) untuk setiap ton tandan buah segar diproses di pabrik [1,3]. Satu ton buah

kelapa sawit menghasilkan sekitar 0,87 m3 LCPKS atau 2,5 ton limbah per ton

minyak yang diproduksi. [3].

Indonesia memproduksi hampir 25 juta metrik ton kelapa sawit di

2011/2012 [4]. Diperkirakan bahwa sekitar 28 m3 biogas yang dihasilkan untuk

setiap m3 LCPKS dari pabrik pengolahan limbah dari pabrik kelapa sawit. Dalam

pabrik kelapa sawit, limbah padat dibakar langsung di boiler untuk menghasilkan

uap [5].

LCPKS adalah cairan cokelat kental yang mengandung konsentrasi asam

organik yang tinggi dengan tingkat COD yang lebih tinggi dari 20.000 mg/l.

Pengolahan anaerobik lebih menguntungkan untuk pengolahan LCPKS karena

dapat menghilangkan lebih banyak bahan organik bahkan dengan nutrisi yang

tersedia terbatas[6].

LCPKS mengandung bahan organik yang tinggi [7], serta memiliki

konstituen biodegradable dengan rasio BOD/COD sebesar 0,5 dan ini berarti bahwa LCPKS dapat diolah dengan mudah menggunakan cara biologis [1].

(22)

2

Pengolahan anaerobik adalah suatu proses degradasi multi-tahap senyawa

organik melalui berbagai intermediet menjadi metana dan karbon dioksida [8].

Langkah pertama dari degradasi anaerobik adalah hidrolisis bahan organik

kompleks menjadi monomer dasar oleh enzim hidrolitik. Senyawa organik yang

lebih sederhana kemudian difermentasi menjadi asam organik dan hidrogen oleh

bakteri fermentasi (acidogens). Asam organik volatil diubah menjadi asetat dan hidrogen oleh bakteri acetogenic. Bakteri metanogen menggunakan hidrogen dan asam asetat yang diproduksi oleh bakteri acetogenic untuk mengubahnya menjadi metana [9].

Dalam proses digestasi anaerobik konvensional, asidogenesis dan

metanogenesis berlangsung dalam sistem reaktor tunggal (single-stage)[10]. Sistem dua tahap dapat dioperasikan untuk memberikan kondisi yang optimal bagi

mikroorganisme dalam setiap tahap untuk lebih efisien dalam pengolahan [11].

Konsentrasi asam lemak volatil (VFA) dianggap sebagai Indikator yang

baik pada proses anaerobik, khususnya bagi aktivitas bakteri asetogenesis dan

metanogenesis [12]. Konsentrasi asam propinoat dapat menghambat proses

pembentukan metana dan efek inhibisi asam propionat juga berdampak negatif

baik terhadap mikroorganisme yang menghasilkan VFA maupun terhadap

mikroorganisme yang mengolah VFA [13]. Wijekoon et al, 2011 [12] melaporkan

bahwa konsentrasi asam propionat lebih dari 1-2 g/l terbukti dapat menghambat

bakteri metanogenesis.

Berikut beberapa penelitian terdahulu yang telah dilakukan mengenai

digestasi anaerobik:

Tabel 1.1 Berbagai Penelitian Mengenai Digestasi Anaerobik

Peneliti Tahun Penelitian Yang Dilakukan

Bambang Trisakti, Veronica Manalu, Irvan, Taslim,

Muhammad Turmuzi (2015) [3]

2015 Proses asidogenesis dengan bahan baku LCPKS menggunakan reaktor Continous Stirred Tank Reactor, variasi HRT menggunakan HRT 6,7; 5 dan 4 hari dengan laju pengadukan 50 rpm, pH 6 dan sedangkan variasi pH menggunakan pH 5; 5,5; 6, dengan laju pengadukan 100-110 rpm pada temperatur 55°C. VFA terdiri dari asam asetat, asam propionat dan asam butirat. Konsentrasi VFA maksimum (5.622,72 mg/L) pada HRT 4 hari dan pH 6

(23)

3

Tabel 1.1 Berbagai Penelitian Mengenai Digestasi Anaerobik (lanjutan)

Peneliti Tahun Penelitian Yang Dilakukan

Sergio Ponsa, Ivet Ferrer, Felicitas Vazquez, dan Xavier Font [14]

2008 Kondisi optimal pada pengolahan anaerobik sewage sludge pada tahap hidrolisis-asidogenesis pada 55oC dan 65oC dengan menggunakan reaktor CSTR Volume 4 l, HRT 1-4 hari. Maksimum VFA diperoleh pada HRT 4 hari dan 3 hari

Wee Shen Lee, Adeline Seak May Chua, Hak Koon Yeoh, dan Gek Cheng Ngoh [15]

2013 Produksi VFA dari LCPKS pada temperatur kamar (30 oC), 40 oC, dan 55 oC pada tiga reaktor anaerobik volume 1,5 L. Diperoleh bahwa pada temperatur mesofilik produksi VFA lebih baik dibandingkan dengan temperatur termofilik, sehingga dapat disarankan untuk menjalankan operasi tanpa pengontrolan suhu (temperatur ambient)

Sim Kean Hong [16] 2003 Fermentasi dua tahap LCPKS untuk produksi VFA dengan reaktor CSTR volume 50 l dengan dan tanpa recycle sludge. Diperoleh hasil VFA yang maksimum pada pH 6,5, suhu 30 oC, 100 rpm, sludge/LCPKS 1:1dengan HRT 4 hari yaitu 15,36 g/l

Umumnya LCPKS segar memiliki suhu 60-70oC, hal ini memungkinkan

LCPKS untuk diolah dengan proses asidogenesis pada kondisi mesofilik dan

termofilik tanpa memerlukan energi panas yang tinggi [15]. Apabila proses

dijalankan pada keadaan termofilik 55oC, panas yang dibutuhkan belum tentu

tercapai, terutama pada musim paceklik (musim trek) dimana LCPKS yang

dihasilkan juga menurun dari biasanya. Menurut Wee Shen Lee et al, Proses asidogenesis suhu mesofilik 30oC dan 40oC lebih baik dibandingkan termofilik.

Hal ini didukung oleh keadaan geografis Indonesia yang merupakan negara tropis

dengan suhu ambient antara 25-32oC[15].

Adapun setiap desain sistem pengolahan anaerobik, selalu diinginkan untuk

mempertahankan tingkat optimal dari pertumbuhan mikroorganisme di dalam

digester yang menghasilkan sebuah proses biokonversi efisien. Dalam rangka

mempertahankan konsentrasi biomassa yang optimal dalam digester, beberapa

strategi telah diadopsi oleh banyak peneliti. Di antara dengan recyclesludge, yang merupakan strategi sederhana untuk meningkatkan konsentrasi biomassa dalam

digester

(24)

4

Oleh sebab itu penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pengaruh

Hidraulic Retention Time (HRT) dan rasio recycle sludge pada proses asidogenesis limbah cair kelapa sawit pada temperatur ambient. Proses ini menggunakan reaktor Continous Stirred Tank Reactor (CSTR) bervolume 2 liter.

1.2 PERUMUSAN MASALAH

Salah satu upaya dalam mengoptimalkan proses digestasi anaerobik adalah

dengan mendaur ulang lumpur (recycle sludge). Recycle sludge dilakukan agar dapat meningkatkan degradasi zat organik dengan menambah waktu tinggal

padatan dalam reaktor anaerobik.

Adapun beberapa masalah yang perlu diselesaikan dalam penelitian ini

adalah: (i) Berapa HRT terbaik pada proses asidogenesis LCPKS pada keadaan

ambient; dan (ii) Berapa rasio recycle sludge terbaik pada proses asidogenesis LCPKS pada keadaan ambient.

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

1.Mendapatkan HRT terbaik pada proses asidogenesis LCPKS pada keadaan

ambient

2.Mendapatkan rasio recycle sludge terbaik pada proses asidogenesis LCPKS pada keadaan ambient.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Manfaat dari penelitian ini antara lain yaitu :

1. Memberikan informasi mengenai pengaruh variasi HRT dan HRT terbaik pada

proses asidogenesis LCPKS pada keadaan ambient.

2. Memberikan informasi mengenai pengaruh rasio recycle sludge dan rasio recycle sludge pada proses asidogenesis LCPKS pada keadaan ambient.

1.5 RUANG LINGKUP PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ekologi, Departemen Teknik

Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian dilakukan

menggunakan proses asidogenesis digestasi anaerobik menggunakan digester jenis

(25)

5

Continous Stirred Tank Reactor (CSTR) dengan volume 2 liter. Adapun variabel-variabel dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Variabel tetap:

a. Starter yang digunakan berasal dari hasil olahan penelitian sebelumnya yaitu proses digestasi anaerobik tahapan asidogenesis, dimana starter yang digunakan paling awal berasal dari kolam pengasaman Pabrik Kelapa Sawit

Torgamba PTPN III.

b. Jenis bahan baku atau umpan yang digunakan: LCPKS dari Pabrik Kelapa

Sawit Adolina PTPN IV.

c. pH fermentor: 6 ± 0,2

d. Temperatur fermentor: temperatur ambient e. Kecepatan pengadukan fermentor: 250 rpm.

f. Kecepatan pengadukan tangki umpan: 150 rpm.

2. Variabel divariasikan:

a. HidraulicRetentionTime (HRT) 20 hari, 15 hari, 10 hari, 5 hari, 4 hari.

Variasi HRT merupakan proses loading up untuk mencapai operasi target pada HRT terkecil yaitu HRT 4 hari

b. Rasio recycle 15 %, 25 %, 35%, dan tanpa recycle

3. Parameter analisa:

Analisa yang akan dilakukan di dalam penelitian ini meliputi analisa pada

bahan baku yang digunakan yaitu POME dengan influent limbah dan effluent limbah. Adapun analisa cairan ini terdiri dari :

1. Analisa M-Alkalinity (Metode Titrasi)

2. Analisa kadar total solid (TS) (Metode Analisa Proksimat) 3. Analisa volatile solid (VS) (Metode Analisa Proksimat)

4. Analisa kadar total suspended solid (TSS) (Metode Analisa Proksimat) 5. Analisa volatile suspended solid (VSS) (Metode Analisa Proksimat) 6. Analisa COD (Chemical Oxygen Demand) (Metode Reflux Terbuka) 7. Analisa volatile fatty acid (VFA) (Metode Kromatografi)

8. Analisa pH

Adapun analisa gas dilakukan jika pada penelitian ada terbentuk gas yaitu

gas CO2 dan H2S.

(26)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT

Minyak kelapa sawit adalah salah satu tanaman khatulistiwa yang paling

cepat berkembang dunia. Indonesia dan Malaysia adalah dua produsen kelapa

sawit terbesar di dunia [17]. Melampaui Malaysia pada tahun 2008, Indonesia saat

ini merupakan produsen terbesar minyak sawit di dunia dengan total produksi

pada tahun 2012 mencapai 27 miliar ton yang dihasilkan dari sekitar 6 juta hektar

perkebunan. Malaysia dan Indonesia bersama-sama menghasilkan sekitar 87%

dari total minyak sawit dunia[2].

Gambar 2.1 Produksi Minyak Kelapa Sawit Dunia [4]

Tabel 2.1 Produksi dan Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia, Malaysia dan

Thailand (dalam kiloton) [2]

Negara 2007/08 2008/09 2009/10 2010/11 2011/12 Juli 2012/13 Indonesia -Produksi

-Ekspor 18.000 13.969 20.500 15.964 21.000 16.200 23.600 16.422 25.400 18.000 27.000 19.100 Malaysia Produksi

-Ekspor 17.567 14.644 17.259 15.485 17.763 15.530 18.211 16.307 18.300 16.600 18.500 16.700 Thailand -Produksi

-Ekspor 1.050 360 1.540 114 1.345 130 1.288 382 1.546 500 1.700 520

(27)

7

Budidaya kelapa sawit telah menjadi salah satu kegiatan pertanian yang

dominan di Indonesia sejak akhir tahun 1990-an. Antara 1998 dan 2007 total luas

ditanami dengan kelapa sawit meningkat dari 3,9 juta hektar hingga lebih dari 7,9

juta hektar [1]. Minyak kelapa sawit berasal dari mesocarp berdaging buah kelapa sawit (Elaeis gunineensis). Satu hektar kelapa sawit menghasilkan 10 sampai 35 ton tandan buah segar (TBS) per tahun[17].

Kelapa sawit memiliki umur lebih dari 200 tahun, sementara umur

ekonomisnya adalah sekitar 20-25 tahun. Periode pembibitan adalah 11-15 bulan

dan panen pertama dilakukan setelah 32-38 bulan setelah penanaman. Dibutuhkan

5-10 tahun untuk pabrik kelapa sawit untuk mencapai hasil puncak. Dari 5,8 ton

tandan buah segar sekitar 1 ton minyak sawit mentah (CPO) dihasilkan [17]

Meskipun ekspansi industri kelapa sawit telah mendorong perekonomian

nasional, Namun dihasilkan pula limbah yang berlimpah seperti limbah cair

kelapa sawit atau POME (Palm Oil Mill Effluent), Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS), cangkang, dan serat mesocarp selama pengolahan minyak kelapa sawit dari tandan buah segar (TBS)[1].

2,5 ton limbah cair kelapa sawit (LCPKS) (60 %) dihasilkan untuk setiap

ton minyak yang diproduksi. Pabrik kelapa sawit juga menghasilkan sejumlah

besar limbah padat seperti Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) (23%) , serat

mesocarp (fiber) (12%) ,dan cangkang (shell) (5%) untuk setiap ton tandan buah

segar (TBS) diproses di pabrik [3]. Dari limbah-limbah tersebut, LCPKS masih

relatif belum dimanfaatkan dan akan menjadi ancaman bagi lingkungan jika

langsung dibuang ke aliran air [1].

LCPKS adalah suspensi koloid yang mengandung 95-96% air, minyak

0,6-0,7% dan 4-5% total padatan termasuk 2-4% padatan tersuspensi. Padatan

tersuspensi yang terutama terdiri dari puing-puing mesocarp buah sawit dihasilkan dari tiga sumber utama, (1) sterilisasi kondensat, (2) pemisah lumpur

dan (3) limbah hydrocyclone [18].

LCPKS umumnya mengandung limbah padat, minyak dan air limbah yang

tinggi yang bersifat asam karena jumlah zat terlarutnya "protein, karbohidrat,

senyawa nitrogen, lipid dan mineral yang mungkin diubah menjadi bahan yang

bermanfaat menggunakan proses mikroba" [2].

(28)

8

LCPKS terdiri dari kombinasi dari air limbah yang terutama dihasilkan dan

dikeluarkan dari operasi pengolahan utama, seperti yang terlihat pada Gambar2.2

[19]:

• Sterilisasi Tandan Buah Segar - kondensat dari proses sterilisasi sekitar 36% dari total LCPKS;

• Klarifikasi dari CPO - air limbah klarifikasi adalah sekitar 60% dari total LCPKS;

Clay bath Separation (Hydrocyclone) pemisahan campuran kernel dan cangkang - air limbah hidrosiklon adalah sekitar 4% dari total LCPKS

pabrik kelapa sawit.

Gambar 2.2 Pengolahan Minyak Kelapa sawit yang Menghasilkan LCPKS [5]

(29)

9

Tabel 2.2 Karakteristik Limbah Cair Kelapa Sawit [20]

Parameter LCPKS (Range) LCPKS (Rata-rata)

Temperatur (oC) 80-90 85

pH 3,4 – 5,2 4,2

Minyak dan Lemak 130 –18.000 mg/l 6.000 mg/l

BOD3 10.250 – 43.750 mg/l 25.000 mg/l

COD 15.000 – 100.000 mg/l 51.000 mg/l

Total Solid 11.500 – 79.000 mg/l 40.000 mg/l Suspended Solid 5.000 – 54.000 mg/l 18.000 mg/l Total Volatile Solid 9.000 – 72.000 mg/l 34.000 mg/l

Total Nitrogen 180 – 1.400 mg/l 750 mg/l

Ammoniacal nitrogen 4 – 80 mg/l 35 mg/l

Tabel 2.3 Baku Mutu Limbah Cair untuk Industri Minyak Sawit [21]

Parameter Kadar

Maksimum (mg/l)

Beban Pencemaran Maksimum

(kg/ton)

BOD5 250 1,5

COD 500 3,0

TSS 300 1,8

Minyak dan Lemak 30 0,18

Amonia Total (sebagai NH3-N) 20 0,12

pH 6,0 – 9,0

Debit Limbah Maksimum 6 m3 ton bahan baku

Kandungan organik yang tinggi pada limbah cair kelapa sawit (LCPKS)

membuat limbah cair tersebut menjadi sumber yang baik untuk menghasilkan gas

metana melalui digestasi anaerobik. Selain itu, LCPKS mengandung konstituen

biodegradable dengan rasio BOD / COD sebesar 0,5 dan ini berarti bahwa LCPKS dapat diolah dengan mudah menggunakan cara biologis [1].

2.2 LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT SEBAGAI SUBTRAT

BIOGAS

Bahan yang ditambahkan ke proses biogas adalah substrat (makanan) untuk

mikroba dan sifat-sifatnya memiliki pengaruh besar pada stabilitas dan efisiensi

proses. Komposisi substrat sangat penting baik untuk jumlah gas yang terbentuk

dan kualitas gas. Komposisi akhirnya juga mempengaruhi kualitas residu

digestasi, baik dari segi kandungan gizi tanaman dan potensi kontaminasi (logam,

senyawa organik, organisme penyebab penyakit, dan lain-lain). Memilih bahan

(30)

10

yang tepat mempengaruhi hasil dari proses, memaksimalkan output energi dan menghasilkan pupuk hayati berkualitas baik [22]. Bahan baku yang berbeda akan

menghasilkan jumlah biogas dan metana yang berbeda tergantung pada

kandungan karbohidrat, lemak dan protein. Secara teori, semua bahan

[image:30.595.106.516.251.322.2]

biodegradable dengan kadar lignin yang wajar (bukan kayu) adalah bahan baku yang cocok untuk proses biogas [23].

Tabel 2.4 Produksi Biogas dan Metana Teoritis dari Karbohidrat,

Lemak dan Protein [24]

Substrat Biogas

(m3/ton)

Metana (m3/ton)

Kandungan Metana (%)

Karbohidrat 830 415 50,0

Lemak 1444 1014 70,2

Protein 793 504 63,6

2.3 DIGESTASI ANAEROBIK

Pengolahan anaerobik adalah proses menghasilkan energi, berbeda dengan

sistem aerobik yang umumnya memerlukan input energi yang tinggi untuk tujuan

aerasi. Pengolahan anaerobik merupakan teknologi yang relatif murah yang

mengkonsumsi lebih sedikit energi, ruang dan menghasilkan sedikit kelebihan

lumpur dibandingkan dengan teknologi pengolahan aerobik konvensional.

Produksi energi dari biogas membuat teknologi pengolahan anaerobik menjadi

pilihan yang lebih menarik daripada metode pengolahan lainnya [9].

Digestasi anaerobik adalah sebuah proses yang kompleks yang melibatkan

penguraian senyawa organik tanpa adanya molekul oksigen untuk menghasilkan

gas metana (CH4) dan gas karbon dioksida (CO2). Proses degradasi terjadi oleh

aksi dari berbagai jenis bakteri anaerobik. Proses degradasi ini meliputi hidrolisis,

asidogenesis (termasuk asetogenesis) dan metanogenesis. Gas metana merupakan

salah satu komponen yang diproduksi Melalui proses degradasi methanogenesis

anaerobik [24]. Effluent dari digestasi anaerobik akan menjadi pupuk yang baik karena mengandung hampir semua zat makro dan mikro yang dibutuhkan untuk

pertumbuhan tanaman [25].

Proses pengolahan anaerobik sangat stabil, asalkan sistem dioperasikan

dalam kondisi yang tepat. Ini mungkin diperlukan bahwa kondisi operasional

optimum ditentukan untuk setiap jenis tertentu air limbah dan yang lebih penting,

(31)

11

proses tersebut harus cukup dipahami oleh para insinyur dan operator [19].

Efisiensi operasional dari sistem digestasi anaerobik terutama tergantung pada

struktur komunitas mikroba dalam sistem. Selain itu, faktor lingkungan seperti

suhu dan pH memainkan peran penting dalam menentukan kinerja dan nasib

komunitas mikroba dalam digestasi anaerobik [18].

Proses digestasi anaerobik berlangsung dalam beberapa tahap yaitu

hidrolisis, asidogenesis (termasuk asetogenesis), dan metanogenesis. Skema

[image:31.595.118.541.253.601.2]

proses digestasi anaerobik dapat dilihat pada Gambar 2.3 dibawah ini:

Gambar 2.3 Skema Proses Pengolahan Digestasi Anerobik [18]

2.3.1 Tahap Hidrolisis

Pada tahap pertama (hidrolisis), senyawa yang tidak terlarut seperti

selulosa, protein dan lemak dipecah menjadi monomer-monomer (fragmen larut

dalam air) oleh exoenzymes (hydrolase) dari bakteri anaerobik fakultatif dan

(32)

12

obligat. Sebenarnya, ikatan kovalen terputus oleh reaksi kimia dengan air, seperti

pada gambar 2.4 [26]. Semakin besar luas permukaan bahan baku, lebih efisien

enzim hidrolitik dapat menyerang materi. Kondisi operasional proses

mempengaruhi hidrolisis, misalnya suhu yang lebih tinggi meningkatkan

hidrolisis. pH optimal adalah sekitar 6,0, meskipun hidrolisis terjadi juga pada pH

yang lebih tinggi. Laju beban organik (OLR) yang terlalu tinggi dapat

menghambat hidrolisis melalui akumulasi degradasi intermediet [22].

[image:32.595.185.462.245.362.2]

R – C – C – R

Gambar 2.4 Pembentukan monomer [26]

Proses hidrolisis dari karbohidrat membutuhkan waktu beberapa jam,

hidrolisis protein dan lemak membutuhkan waktu beberapa hari. Lignoselulosa

dan lignin didegradasi sangat lambat dan tidak sempurna [26].

Tabel 2.5 Beberapa Kelompok Enzim Hidrolisis dan Fungsinya [22]

Enzim Substrat Produk pemecahan

Proteinase Protein Asam amino

Cellulase Selulosa Cellobiose and glucose

Hemicellulase Hemicellulose Gula, seperti glukosa, xylose, mannose dan arabinose

Amylase Pati Glukosa

Lipase Lemak Asam lemak dan gliserol

Pectinase Pektin Gula seperti galaktosa, arabinose, dan polygalacticuronicacid

2.3.2 Tahap Asidogenesis

Langkah kedua adalah asidogenesis (juga disebut sebagai fermentasi),

Setelah bahan baku terdegradasi menjadi molekul yang lebih kecil, yaitu asam

lemak rantai panjang (Long Chain Fatty Acids), alkohol, gula sederhana dan asam amino, selama hidrolisis, bakteri Acidogenic mampu menyerap molekul tersebut dan memfasilitasi degradasi lebih lanjut menjadi asam lemak volatil (VFA) [23].

H2O

R – C – H

OH – C – R

monomer

[image:32.595.107.514.472.600.2]
(33)

13

Sama seperti tahap hidrolisis, tahap ini terdiri bukan hanya dari satu reaksi.

Kecepatan reaksi yang terjadi tergantung pada organisme yang hadir dan substrat

selama proses. Banyak organisme yang berbeda aktif selama tahap ini, lebih

banyak dari pada tahap lain [22]. Konsentrasi ion hidrogen intermediet yang

terbentuk mempengaruhi jenis produk fermentasi. Tekanan parsial hidrogen yang

tinggi menyebabkan senyawa yang sedikit tereduksi, seperti asetat, terbentuk [26].

Asam lemak volatil dengan rantai lebih dari empat-karbon tidak dapat

digunakan langsung oleh metanogen. Asam organik ini selanjutnya dioksidasi

menjadi asam asetat dan hidrogen oleh bakteri acetogenic obligat hidrogen melalui proses yang disebut asetogenesis. Asetogenesis juga mencakup produksi

asetat dari hidrogen dan karbon dioksida oleh acetogens dan homoacetogens. Kadang-kadang asidogenesis dan asetogenesis tahap digabungkan bersama

sebagai satu tahap [10].

2.3.3 Tahap Asetogenesis

Selama proses asidogenesis, tidak hanya asetat, H2 dan CO2 yang

dihasilkan, namun produk intermediet kompleks seperti propionat, butirat, laktat

dan etanol akan diproduksi secara bersamaan. Produk intermediet tersebut akan

dikonversi menjadi asam organik sederhana, CO2 dan H2 oleh bakteri acetogenic [18]

Pada tahap asetogenesis, mikroorganisme homoacetogenic secara konstan terus mengurangi eksergonik H2 dan CO2 menjadi asam asetat.

2CO2 + 4H2→ CH3COOH+ 2H2O [26]

2.3.4 Tahap Metanogenesis

Metanogenesis merupakan tahap akhir dari proses biogas. Pada tahap ini,

metana dan karbon dioksida (biogas) yang dibentuk oleh berbagai

mikroorganisme yang memproduksi metana disebut metanogen. Substrat yang

paling penting bagi organisme ini adalah gas hidrogen, karbon dioksida, dan

asetat, yang terbentuk selama oksidasi anaerobik. Namun substrat lain seperti

metil amina, beberapa alkohol, dan format juga dapat digunakan untuk produksi

metana [26]. Bakteri metanogens sangat sensitif terhadap oksigen. oksigen

(34)

14

merupakan racun mematikan yang membunuh semua metanogens bahkan pada konsentrasi rendah [18]

Gas metana diproduksi dalam dua cara. Salah satunya adalah konversi

asetat menjadi karbon dioksida dan metana oleh organisme acetotrophic dan melalui reduksi karbon dioksida dengan hidrogen oleh organisme

hydrogenotrophic. Metanogen dominan dalam reaktor biogas terbatas pada Methanobacterium, methanothermobacter, methanobrevibacter, methanosarcina dan methanosaeta (sebelumnya methanothrix) [10]. Reaksi metanogenesis dapat dinyatakan sebagai berikut:

CH3COOH → CH4 + CO2

CO2 + 4H2→ CH4 + 2H2O

[image:34.595.106.486.350.459.2]

[10]

Tabel 2.6 Degradasi pada Tahap Metanogenesis [26]

Jenis Substrat Reaksi Kimia ∆Gf (kJ mol

-1 )

CO2 4H2 + HCO3

-

+ H+→ CH4 + 3H2O -135,4

CO2 + 4H2→ CH4 + 2H2O -131,0

4HCOO- + H2O + H

+ → CH

4 + 3HCO3

--130,4

Asetat CH3COO

+ H2O → CH4 + HCO3 -30,9

Metil 4CH3OH → 3CH4 + HCO3

+ H+ + H2O -314,3 CH3OH + H2→ CH4 + H2O -113,0 Etanol 2CH3CH2OH + CO2→ CH4 + 2CH3COOH -116,3

Produsen metana umumnya tumbuh sangat lambat, hal ini membatasi

proses pembentukan biogas. Waktu generasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk

mikroorganisme untuk membagi dirinya dalam dua, adalah antara 1 hingga 12

hari bagi produsen metana. Waktu retensi yang terlalu pendek (kurang dari 12

hari) meningkatkan risiko bahwa organisme ini akan tercuci keluar dari proses,

karena mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk meningkatkan jumlah

pada tingkat yang sama dengan bahan yang dipompa ke dalam dan keluar dari

tangki pencernaan [26].

2.4 DIGESTASI ANAEROBIK DENGAN SISTEM SATU TAHAP DAN

DUA TAHAP

Dalam proses digestasi anaerobik konvensional, asidifikasi dan

metanogenesis berlangsung dalam sistem reaktor tunggal (single-stage) dan ada

(35)

15

keseimbangan antara acidogens dan metanogens karena kedua kelompok berbeda dalam hal fisiologi, kebutuhan nutrisi, kinetika pertumbuhan dan kepekaan

terhadap kondisi lingkungan [10]. Pada umumnya digestasi anaerobik satu tahap

dilakukan dengan pencampuran total (total mixed) dengan menggunakan reaktor CSTR (Continous Stirred Tank Reactor). Substrat harus benar-benar tercampur dengan pengaduk yang bervariasi. Proses satu tahap ini biasanya digunakan untuk

mengolah lumpur, sisa makanan, kotoran, dan lain-lain, Kadang-kadang beberapa

cairan residu / proses dikembalikan ke proses. Hal ini meningkatkan waktu retensi

bahan dan membantu lebih banyak mikroorganisme untuk tetap dalam proses

[22].

Sebuah alternatif untuk proses satu tahap adalah untuk membagi proses

menjadi dua bagian, yang disebut digestasti dua tahap. Dalam digestasi dua tahap,

langkah pertama adalah untuk memuat bahan baku ke dalam tangki digestasi

dimana proses difokuskan pada hidrolisis dan asidogenesis. Pada proses ini

menghasilkan asam, namun sejumlah biogas biasanya juga diproduksi, karena

sulit untuk benar-benar membagi proses. Kemudian cairan proses dari proses ini

dipisahkan dan ditambahkan ke tangki digestasi lain yang khusus disesuaikan

untuk metanogenesis. Jenis proses mungkin cocok ketika substrat mengandung

bahan yang mudah didegradasi dan tahap hidrolisis yang cepat [11].

Sistem dua fase dapat dioperasikan untuk memberikan kondisi yang optimal

bagi mikroorganisme dalam setiap tahap untuk lebih efisien dalam pencernaan.

Pada tahap pertama dari sistem dua fase, fase fermentasi asam, organisme

Acidogenic mencerna padatan organik dan organik terlarut yang kompleks, mengkonversi mereka ke VFA. Pada tahap kedua, metana yang memproduksi

mikroorganisme (metanogen) memanfaatkan VFA untuk menghasilkan metana

dan karbon dioksida [11].

pH selama fase asidogenesis biasanya dipertahankan pada 5,5-6,0 dan HRT

kurang dari 5 hari sementara di fase metanogen pH dipertahankan pada pH lebih

besar dari 7,0. Akibatnya, efisiensi pengolahan yang lebih tinggi dan stabilitas

proses yang lebih baik dapat dicapai dengan proses dua tahap dengan

penghilangan bahan organik secara keseluruhan lebih besar dari 87% pada HRT

17 hari, 96% dari total COD diubah untuk biomassa dan biogas [10].

(36)

16

2.5 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DIGESTASI

ANAEROBIK

Proses digestasi anaerobik sangat sensitif terhadap kondisi operasional

dibanding proses aerob [10]. Berikut merupakan faktor-faktor penting dalam

proses digestasi anerob:

2.5.1 pH

pH adalah logaritma negatif untuk basis 10 dari konsentrasi ion hidrogen.

pH pada sebuah biogas plant bekerja normalnya terletak di antara 7 dan 8 dan

produksi biogas optimum dicapai untuk input digester dengan pH yang terletak

diantara 6 dan 7 [27].

Kebanyakan mikroorganisme lebih memilih rentang pH netral, yaitu sekitar

pH 7,0-7,5. Namun, beberapa organisme aktif pada nilai pH lebih rendah dan

lebih tinggi. Ada beberapa organisme yang berbeda dalam proses biogas, dan

persyaratan pH mereka untuk pertumbuhan yang optimal sangat bervariasi. Pada

fermentasi, mikroorganisme penghasil asam berhasil hidup dalam kondisi yang

relatif asam, pH dibawah 5.0, sebagian besar produsen metana umumnya

memerlukan nilai pH netral menjadi aktif. Meskipun sebagian besar produsen

metana berkembang terbaik pada nilai pH netral, mereka tetap aktif di luar ini

[22].

Nilai pH pada proses anaerobik akan mengalami penurunan dengan

diproduksinya asam volatil dan akan meningkat dengan dikonsumsinya asam

[image:36.595.122.505.559.703.2]

volatil oleh bakteri pembentuk metana [28].

Tabel 2.7 Bahan kimia yang sering digunakan sebagai sistem penyangga [26]

Bahan Kimia Formula Kation Penyangga

Sodium bikarbonat NaHCO3 Na+

Potassium bikarbonat KHCO3 K+

Sodium karbonat Na2CO3 Na+

Potassium karbonat K2CO3 K+

Kalsium karbonat CaCO3 Ca2+

Kalsium hidroksida Ca(OH)2 Ca2+

Anhydrous ammonia

(gas) NH3 NH

4+

Sodium nitrat NaNO3 Na+

Aktivitas bakteri metanogens mulai terhambat pada pH 6,6 dan pH nilai di bawah 6 adalah indikasi yang jelas bahwa terlalu banyak asam yang terbentuk

(37)

17

sebagai hasil dari terlalu sedikit bakteri metanogens. nilai pH di atas 5 meskipun rendah dapat diperbaiki dengan penambahan kapur atau pengenceran umpan

digester. Nilai pH di bawah 5 akan mengarah pada penghentian digester dan

penggantian umpan [27].

2.5.2 Suhu

Suhu optimum, yaitu suhu di mana organisme tumbuh tercepat dan bekerja

paling efisien, memiliki nilai bervariasi untuk setiap spesies. Mikroorganisme

dapat dibagi menjadi kelompok-kelompok yang berbeda tergantung pada suhu di

mana mereka terbaik berkembang dan tumbuh: psychrophilic, mesofilik, termofilik, dan extremophilic/hyperthermophilic. Biasanya, Suhu optimum untuk organisme tertentu sangat terkait dengan lingkungan dari mana ia berasal [22].

Tingkat metabolisme dan pertumbuhan reaksi kimia dan biokimia

cenderung meningkat dengan suhu, sampai toleransi suhu mikroorganisme

terpenuhi. Jika suhu ekstrim, denaturasi sel akan terjadi mengakhiri kehidupan

efektif sel. Mikroorganisme menunjukkan pertumbuhan yang optimal dan tingkat

metabolisme dalam kisaran yang didefinisikan dengan suhu, yang spesifik untuk

masing-masing spesies. Organisme Psychrophilic berkembang dalam suhu di bawah 25 oC, mesofilik antara 25 oC dan 40oC dan thermophilic lebih tinggi dari

[image:37.595.126.500.512.694.2]

45oC [29].

Gambar 2.5 Klasifikasi mikroorganisme berdasarkan suhu [22]

(38)

18

Secara umum, suhu terendah di mana mikroorganisme tumbuh, adalah -11

°C. Dibawah -25 °C, aktivitas enzim berhenti. Metanogens sensitif terhadap perubahan suhu yang cepat. Metanogen termofilik lebih sesitif suhu dibandingkan

mesofilik. Bahkan variasi kecil suhu menyebabkan penurunan substansial dalam

aktivitas. Oleh karena itu, suhu harus dijaga dengan tepat dalam jarak kurang

lebih 2 °C, Jika tidak, terjadi kehilangan gas hingga 30%. Terutama penting untuk

mesofilik adalah suhu di kisaran 40-45 °C, karena dalam rentang tersebut mereka

kehilangan aktivitas irreversibel [26].

2.5.3 Mixing (Pencampuran)

Pencampuran yang memadai sangat penting untuk mencapai keberhasilan

pengolahan anaerobik limbah cair organik. Dengan kata lain, pencampuran

meningkatkan proses anaerobik dengan mencegah stratifikasi substrat, mencegah

pembentukan permukaan kerak, memastikan sisa partikel padat dalam suspensi,

perpindahan panas seluruh digester, mengurangi ukuran partikel selama proses

pencernaan dan melepaskan biogas dari isi digester [30].

Pencampuran akan memberikan kontak yang baik antara substrat dan

mikroba memastikan suhu seragam, mengurangi resistensi terhadap perpindahan

massa, diminimalkan membangun kondisi lingkungan hambat menengah dan

menstabilkan [31]. Pencampuran juga meningkatkan produksi gas dibandingkan

dengan digester tidak mengalami pengadukan. Namun, pencampuran selama start

up tidak menguntungkan karena pH digester akan diturunkan menyebabkan

ketidakstabilan kinerja serta mengarah ke periode start-up yang lama [32].

2.5.4 Hydraulic Retention Time (HRT)

Hydraulic Retention Time (HRT) adalah periode waktu untuk volume tertentu cairan untuk dipertahankan dalam volume kerja reaktor [33]. HRT sama

dengan volume tangki (V) dibagi dengan aliran harian (Q) (HRT = V / Q). Waktu

retensi hidrolik penting karena menetapkan jumlah waktu yang tersedia untuk

pertumbuhan bakteri terutama untuk pertumbuhan bakteri Acidogenic hidrolitik dan konversi berikutnya dari bahan organik ke gas [32].

(39)

19

HRT juga memberlakukan peran penting untuk meningkatkan retensi sel

pada HRT tinggi atau rendah. Karena sistem dapat mempertahankan kandungan

biomassa yang tinggi dalam HRT yang berbeda [34].

Semakin lama HRT, semakin banyak bahan organik yang terdegradasi.

Namun, bahan organik yang paling rentan terhadap degradasi anaerobik biasanya

terdegradasi dalam waktu 14-50 hari (dalam reaktor biogas saja), tergantung pada

bahan baku, dan HRT yang tinggi hanya memerlukan volume reaktor yang lebih

besar dengan manfaat yang sedikit [23].

2.5.4 Solid Retention Time (SRT)

Solids Retention Time (SRT) adalah waktu rata-rata padatan lumpur (sludge) berada dalam sistem. SRT merupakan parameter operasi yang penting untuk proses anaerobik dan biasanya dinyatakan dalam hari [32]. Meskipun

perhitungan waktu retensi padatan sering dinyatakan dengan tidak tepat, SRT

merupakan jumlah padatan yang dipertahankan dalam digester dibagi dengan

jumlah padatan terbuang setiap hari seperti yang ditunjukkan pada persamaan di

bawah ini:

  

  

Qw Cw

Cd V

SRT  [32]

Dimana : V = Volume digester

Cd= Konsentrasi padatan dalam digester

Cw= Konsentrasi padatan yang dibuang

Qw = volume limbah yang dibuang setiap hari

Waktu retensi padatan (SRT) digunakan untuk mengendalikan laju

pertumbuhan mikroba dalam reaktor dan waktu rata-rata partikel padat, seperti

mikroba, dalam reaktor. Hal ini dihitung dengan membagi massa padatan dalam

reaktor dengan massa padatan yang dihilangkan dari sistem setiap hari [13].

Pada SRT yang rendah waktu yang tersedia tidak bagi bakteri untuk tumbuh

dan menggantikan bakteri yang hilang dalam limbah. Jika laju kehilangan bakteri

melebihi laju pertumbuhan bakteri,maka akan terjadi "wash-out". SRT di mana mulai terjadi "wash-out" adalah "critical SRT" [32].

(40)

20 2.5.5 Organic Loading Rate (OLR)

Organic loading rate (OLR) merupakan salah satu parameter yang paling penting dipelajari secara ekstensif untuk menyelidiki efek dari berbagai beban

substrat ketika salah satu limbah organik atau sintetis digunakan sebagai substrat

[33]. Semakin tinggi OLR tidak selalu mengarah pada hasil yang lebih tinggi

hidrogen. Oleh karena itu, optimasi variabel operasional sangat penting untuk

mendapatkan efisiensi produksi yang lebih tinggi. Namun demikian, optimalisasi

OLR hanya dapat dilaksanakan bila mikroba menyesuaikan diri dengan baik

terhadap OLR yang diterapkan terhadap substrat. [33]

2.6 VOLATILE FATTY ACID (VFA)

Volatile fatty acids (VFA) merupakan produk intermediet yang penting dalam produksi metana, dan konsentrasinya mempengaruhi efisiensi fermentasi.

VFA digunakan sebagai indikator keseimbangan proses [12]. Pada prinsipnya

produk akhir dari proses asidogenesis adalah VFA yang umumnya terdiri dari

asam asetat, asam propionat, asam n-butirat, asam iso-butirat, asam n-valerat, dan

asam iso-valerat [35].

Perubahan tingkat VFA yang terbukti menjadi parameter yang baik, di

bawah operasi tidak stabil, produk intermediet seperti asam volatil dan alkohol

terakumulasi pada laju yang berbeda tergantung pada substrat dan jenis gangguan

yang menyebabkan ketidakstabilan. Akumulasi asam lemak volatil

menggambarkan kinetika hubungan antara produsen dan konsumen asam. [32].

Pada kondisi termofilik, konsentrasi asam propionat sangat penting

daripada kondisi mesofilik. Selain itu, asam propionat merupakan senyawa yang

paling sulit untuk dikonversi ke intermediet lain karena persyaratan tekanan

parsial H2 rendah. Asam propionat memainkan peran penting dalam startup proses anaerobik serta kestabilan proses. Namun, asam propionat dianggap

sebagai VFA paling beracun yang ditemukan dalam digester anaerobik[13].

Wijekoon et al, 2011 melaporkan bahwa konsentrasi asam propionat lebih dari 1-2 g/l terbukti dapat menghambat bakteri metanogenesis[11-2].

(41)

21

2.7 ANALISA EKONOMI

Pada penelitian ini dilakukan analisa ekonomi yang sederhana terhadap

proses asidogenesis LCPKS pada keadaan ambient dengan produk yang diharapkan berupa VFA yang pada tahapan berikutnya dapat dikonversi menjadi

biogas. Kondisi yang digunakan adalah keadaan ambient sehingga tidak diperlukan pemanas dalam penelitian ini. Maka pada penelitian ini yang dikaji

adalah jumlah VFA yang akan dikonversi menjadi biogas pada proses digestasi

anaerobik dua tahap. Beberapa penelitian yang berhasil menghitung volume

[image:41.595.137.490.291.371.2]

pembentukan biogas dari VFA disajikan pada Tabel 2.9.

Tabel 2.8 Volume Pembentukan Biogas dari Jumlah VFA yang Terbentuk

Peneliti Total VFA

(mg/l)

Volume Biogas (liter/ liter.hari) Kivaisi dan Mtila [50]

Li et al [51] Cavinato et al [52]

2.058,85 4.020,00 6.869,48 1,70 3,97 6,00

Pada penelitian ini, total pembentukan VFA diperoleh pada variasi HRT 4

[image:41.595.154.462.475.623.2]

hari (tanpa Recycle Sludge) dengan jumlah 5.583 mg/L. Menurut A.K. Kivaisi, et al konversi VFA menjadi biogas adalah 100%. Melalui Tabel 2.9 dapat digambarkan grafik linear seperti ditunjukkan pada Gambar 2.8 berikut.

Gambar 2.6 Konversi Total VFA menjadi Biogas [50, 51, 52]

Gambar 2.6 menunjukkan grafik linearisasi pembentukkan biogas dari

VFA dengan persamaan garis lurus: y = 0,0009 x + 0,104 dengan y merupakan

produksi biogas dan x merupakan VFA yang terbentuk. Berdasarkan persamaan y = 0,0009x + 0,104

0 2 4 6 8

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000

P ro du k si B io g a s (lite r/lit er ·ha ri)

Total VFA (mg/l) Produksi Biogas

Linear (Produksi Biogas)

(42)

22

tersebut maka jumlah biogas yang dapat dihasilkan dari total VFA pada penelitian

ini adalah:

y = 0,0009 x + 0,104

= (0,0009) (5.583) + 0,104

= 5,13 liter biogas/liter LCPKS.hari

= 5,13 m3 biogas/m3 LCPKS hari

Ekivalensi 1 m3 biogas terhadap solar adalah sebesar 0,52 liter [53]. Sehingga

=

×

= 2,67 liter solar/m3 LCPKS

Harga solar industri adalah Rp 10.448,85/liter [54], sehingga untuk biogas yang

dihasilkan pada proses satu tahap diperoleh keuntungan sebesar:

Harga biogas yang dihasilkan =

×

= Rp. 27.898/m3 LCPKS

Jika LCPKS yang diolah sebesar 450 m3/ hari, maka keuntungan yang akan

diperoleh perhari adalah:

Keuntunan yang diperoleh =

×

= Rp. 12.554.100/hari

(43)

23

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 LOKASI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ekologi, Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara (USU), Medan.

3.2 BAHAN DAN PERALATAN

3.2.1 Bahan-Bahan

1. Starter dari penelitian sebelumnya

2. Sampel LCPKS dari fat pit PKS Adolina 3. Asam klorida (HCl) 0,1 N

4. Aquadest (H2O)

5. Natrium Bikarbonat (NaHCO3)

3.2.2 Peralatan

3.2.2.1 Peralatan Utama

1. Fermentor tangki berpengaduk/jar fermentor (EYELA model No: MBF

300ME)

2. Pompa sludge/slurry pump (HEISHIN, model No.:3NY06F) 3. Gas meter (SHINAGAWA, model No.:W-NK-0.5B)

4. Tangki umpan (service tank) 5. Pengaduk

6. Sensor temperatur

7. pH elektroda

8. Timer (OMRON, model No.:H5F)

9. Botol penampungan keluaran fermentor 10.Gascollector

(44)

24 3.2.2.2 Peralatan Analisis

1. Buret 25 ml

2. Timbangan analitik

3. Oven

4. Desikator

5. Pipet volumetrik

6. Karet penghisap

7. Pengaduk magnetic 8. Furnace

1. Pengaduk (mixer) 2. Tangki Umpan 3. Pompa Sludge 4. Jar Fermentor

5. Tombol pompa air jaket 6. Tombol penghidup fermentor 7. Pengatur kecepatan pengaduk 8. Pengatur suhu air jaket

1 0

2 4

3

1

11

7 5

3

10

8 6

4 2

3

alarm heating

13

12

14

9

9. Wadah keluaran fermentor

10. Gas Meter

11. Gas Collector

12. pH elektroda 13. Penyerap H2S

[image:44.595.117.542.285.648.2]

14. Sampling injector

Gambar 3.1 Rangkaian Peralatan

(45)

25 3.3 TAHAPAN PENELITIAN

3.3.1 Analisis Bahan Baku Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS)

3.3.1.1 Analisis pH

Adapun prosedur analisis pH adalah [36]:

1) Kalibrasi pH meter dilakukan ke dalam pH 4, pH 7, dan pH 10. 2) Bagian elektroda dari pH meter dicuci dengan aquadest.

3) Elektoda dimasukkan ke dalam sampel yang akan diukur pH-nya.

4) Nilai bacaan pH meter ditunggu sampai konstan lalu dicatat nilai bacaannya.

3.3.1.2 Analisis M-Alkalinity

Adapun prosedur analisis M-alkalinity adalah [36]:

1) Sampel dimasukkan sebanyak 5 ml ke dalam beaker glass lalu ditambahkan

dengan aquadest hingga volume larutan 80 ml.

2) Beaker glass diletakkan di atas magnetic stirrer, dan diletakkan pH elektroda

di dalam beaker gelas, kemudian stirrer dihidupkan dan kecepatan diatur sedemikian rupa hingga sampel tercampur sempurna dengan aquadest.

3) Campuran dititrasi dengan larutan HCl 0,1 N hingga pH mencapai 4,8 ± 0,02. 4) Analisis M-Alkalinity dilakukan untuk Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit

(LCPKS) dan limbah fermentasi pada Jar fermentor.

5) M-Alkalinity dapat dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:

M-Alkalinity mg NaHCO3 /L =

Sampel Vol

50000 x M x terpakai yang

Vol.HCl HCl

3.3.1.3 Analisis Total Solids (TS)

Adapun prosedur analisis Total Solids (TS) adalah [36]:

1) Cawan penguap kosong yang telah dibersihkan, dipanaskan pada 105oC di

dalam oven selama 1 jam. Apabila akan dilanjutkan untuk analisis zat tersuspensi organik, cawan dipanaskan pada 550oC, selama 1 jam.

2) Cawan didinginkan selama 15 menit di dalam desikator, lalu ditimbang. 3) Sampel dikocok merata, lalu dituangkan ke dalam cawan. Volume sampel

diatur sehingga berat residu antara 2,5-200 mg.

(3.1)

(46)

26

4) Cawan berisi sampel dimasukkan ke dalam oven, suhu 98oC untuk mencegah

percikan akibat didihan air di dalam cawan. Namun bila volum sampel kecil dan dinding cawan cukup tinggi maka langkah ini tidak perlu.

5) Pengeringan diteruskan di dalam oven dengan suhu 103-105oC selama 1 jam. 6) Cawan yang berisi residu zat padat tersebut didinginkan di dalam desikator

sebelum ditimbang.

7) Langkah 5 dan 6 diulang sampai didapat berat yang konstan atau berkurang

berat lebih kecil 4% berat semula atau 0,5 mg, biasanya pemanasan 1-2 jam sudah cukup. Penimbangan harus dikerjakan dengan cepat untuk mengurangi galat.

8) Kandungan TS dapat dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:

mL sampel, volume

1000 B) -(A tal/L

padatan to

mg  

Keterangan: A = berat residu kering + cawan porselen, mg B = berat cawan porselen, mg

3.3.1.4 Analisis Volatile Solids (VS)

Adapun prosedur analisis Volatile solids (VS) adalah [36]:

1) Cawan penguap setelah dari TS dipanaskan dengan menggunakan muffle

furnace pada suhu 550oC selama 1 jam.

2) Setelah itu cawan penguap didinginkan di dalam desikator hingga mencapai

suhu kamar.

3) Berat cawan penguap ditimbang.

4) Kandungan VS dapat dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:

mL sampel, volume

1000 B) -(A latil/L

padatan vo

mg  

Keterangan: A = berat residu+cawan porselen sebelum pembakaran, mg B = berat residu + cawan porselen setelah pembakaran, mg

3.3.1.5 Analisis Total Suspended Solids (TSS)

Adapun prosedur analisis Total Suspended Solids (TSS) adalah [36]: 1) Berat kertas saring kering yang digunakan ditimbang.

2) Kertas saring dibasahi dengan sedikit air suling.

(3.2)

(3.3)

(47)

27

3) Sampel diaduk dengan magnetic stirrer untuk memperoleh sampel yang

lebih homogen.

4) Sampel dipipetkan ke penyaringan dengan volume tertentu pada waktu

contoh diaduk dengan magnetic stirer.

5) Kertas saring dicuci atau disaring dengan 3 x 10 ml aquadest.

6) Kertas saring dipindahkan secara hati-hati dari peralatan penyaring ke wadah

timbang dengan aluminium sebagai penyangga.

7) Dikeringkan di dalam oven setidaknya selama 1 jam pada suhu 103ºC

sampai dengan 105ºC, didinginkan dalam desikator untuk menyeimbangkan suhu dan massanya.

8) Tahapan pengeringan, pendinginan dalam desikator, dan penimbangan

diulangi sampai diperoleh berat konstan atau sampai perubahan berat lebih kecil dari 4% terhadap penimbangan sebelumnya atau 0,5 mg.

9) Kandungan TSS dapat dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:

mL sampel, volume 1000 B) -(A total/L rsuspensi padatan te

mg  

Keterangan: A = berat kertas saring + berat residu, mg B = berat kertas saring, mg

3.3.1.6 Analisis Volatile Suspended Solids (VSS)

Adapun prosedur analisis Volatile Solids (VSS) adalah [36]:

1) Sampel residu hasil analisis TSS dibakar mengunakan api bunsen di dalam

cawan porselen yang telah dikering dan diketahui beratnya.

2) Setelah terbakar sempurna atau bebas asap, selanjutnya sampel diabukan

di dalam furnace pada suhu 550oC selama 1 jam.

3) Setelah 1 jam, furnace dimatikan dan sampel diambil setelah suhu furnace

sekitar 100oC dan disimpan di dalam desikator selama 15 menit lalu ditimbang.

Gambar

Tabel 2.4 Produksi Biogas dan Metana Teoritis dari Karbohidrat,
Gambar 2.3 Skema Proses Pengolahan Digestasi Anerobik [18]
Gambar 2.4 Pembentukan monomer [26]
Tabel 2.6 Degradasi pada Tahap Metanogenesis [26]
+7

Referensi

Dokumen terkait

pengolahan, usia atau jenis buah, iklim dan kondisi pengolahan kelapa sawit [21]. Tabel 2.3 berikut merupakan karakteristik LCPKS secara umum. Universitas Sumatera Utara.. Tiga sistem

Pada penelitian ini dilakukan analisa ekonomi yang sederhana terhadap proses asidogenesis LCPKS pada temperatur 45 0 C dengan produk yang diharapkan berupa VFA yang

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan Hydraulic Retention Time (HRT) terbaik pada proses asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) menggunakan temperatur

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan Hydraulic Retention Time (HRT) terbaik pada proses asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) menggunakan temperatur

Pada penelitian ini dilakukan analisa ekonomi yang sederhana terhadap proses asidogenesis LCPKS menggunakan temperatur termofilik dengan produk yang diharapkan

Norhashimah, M Rafatullah, Jing-Yong Leong , “ Methane Gas Production from Palm Oil Wastewater — An Anaerobic Methanogenic Degradation Process in Continuous

Hydraulic Retention Time (HRT) dan pH serta mendapatkan kondisi pH terbaik dalam proses asidogenesis menggunakan Limbah Cair Pabrik Kelapa sawit (LCPKS)

LCPKS (Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit) adalah air limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan kelapa sawit menjadi CPO yang biasanya ditempatkan secara