PERAN PERAWAT SEBELUM DAN SESUDAH ECT DI RUMAH SAKIT JIWA PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA UTARA
MEDAN
AZIZAH UMMIYANA 101121074
SKRIPSI
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya
yang telah memberikan kekuatan dan kesempatan kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini yang berjudul ” Peran Perawat Sebelum Dan Sesudah ECT
Di Rumah Sakit Jiwa Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Medan”.
Skripsi ini terlaksana karena arahan, masukan, dukungan, dan koreksi dari
berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Erniyati S.Kp, MNS, pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Wardiyah Daulay S. Kep, Ns, M. Kep selaku dosen pembimbing skripsi.
4. Ibu Cholina Trisa Siregar S.Kep, Ns, M.Kep, Sp.KMB dan ibu Mahnum
Lailan Nasution S. Kep, Ns, M. Kep selaku dosen penguji.
5. Seluruh dosen dan staf pengajar serta civitas akademika S-1 Keperawatan
6. Terima kasih kepada Ayahanda Gozali Nasution, Ibunda Yuna Syaroh,
adik-adikku Dede, Yuli, Fiqie, Kinah, Alwi dan Salsabilah seluruh keluarga yang
selalu memberikan dukungan dan doa dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Teman-teman sejawat Fakultas keperawatan-B USU 2010, terima kasih atas
bantuan dan semangatnya selama ini.
Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan di bidang keperawatan dan pihak-pihak yang membutuhkan.
Penulis sangat mengharapkan adanya saran yang bersifat membangun untuk
perbaikan yang lebih baik di masa yang akan datang.
Medan, Februari 2012
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan Penelitian... 3
1.3.1 Tujuan Umum ... 4
2.3 Electro Convulsive Terapy (ECT) ... 9
2.3.1 Defenisi ... 9
2.3.2 Indikasi ... 10
2.3.3 Kontraindikasi ... 11
2.3.4 Efek Samping ... 12
2.3.5 Peran Perawat Dalam ECT...12
2.3.5.1 Peran Perawat dalam Persiapan Klien Sebelum Tindakan ECT .... 12
2.3.5.2Persiapan Alat ... 13
2.3.5.3 Prosedur Pelaksanaan ... 14
2.3.5.4 Peran Perawat Setelah Tindakan ECT ... 16
BAB 3 KERANGKA PENELITIAN ... 17
3.2 Defenisi Operasional ... 18
BAB 4 METODE PENELITIAN ... 19
4.1 Desain Penelitian ... 19
4.2 Populasi dan Sampel Penelitian ... 19
4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 20
4.4 Pertimbangan Etik ... 20
4.5 Instrumen Penelitian ... 21
4.6 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 23
4.7 Pengumpulan Data ... 24
4.8 Analisa Data ... 24
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 25
5.1 Hasil Penelitian ... 26
5.1.1 Karakteristik Responden ... 26
5.1.2 Peran Perawat Dalam Pelaksanaan Sebelum dan Sesudah ... 27
5.2 Pembahasan ... 31
Lampiran 1 : Persetujuan Responden Lampiran 2 : Kuesioner
Lampiran 3 : Jadwal Kegiatan Proposal Penelitian Lampiran 4 : Rencana Anggaran Biaya Penelitian Lampiran 5 : Surat Izin Penelitian
Lampiran 6 : Master Tabel
Lampiran 7 : Tabel Distribusi Frekuensi Lampiran 8 : Reliabilitas
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Tabel Kerangka Konsep ... 15
Tabel 2 : Tabel Defenisi Operesional ... 16
Tabel 5.1: Karakteristik Responden Berdasarkan Umur ... 26
Tabel 5.2: Distribusi Frekuensi dan Persentase Karakteristik Responden... 27
Tabel 5.3: Distribusi Frekuensi dan Persentase Peran Perawat Sebelum ECT ... 28
Judul : Peran Perawat Sebelum dan Sesudah ECT Di Rumah Sakit Jiwa Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Medan.
Peneliti : Azizah Ummiyana
Program : Sarjana Keperawatan Ekstensi Tahun Akademik : 2011 – 2012
ABSTRAK
Terapi kejang listrik merupakan salah satu terapi dalam kelompok terapi total. Terapi ini berupa terapi fisik dengan pasien-pasien psikiatri dengan indikasi dan cara tertentu. Kehilangan memori dan kekacauan mental sementara merupakan efek samping yang paling umum dimana perawat merupakan hal yang penting hadir pada saat pasien sadar setelah ECT, supaya dapat mengurangi ketakutan-ketakutan yang disertai dengan kehilangan memori. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi peran perawat sebelum dan sesudah ECT (Electro Convulsive
Terapy) di Rumah Sakit Jiwa Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Desain penelitian
ini menggunakan desain deskriptif. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 124 orang dan sampel dimabil dengan tehnik purposive sampling yaitu tehnik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu sesuai yang dikehendaki peneliti yaitu sebanyak 31 orang. Tehnik pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner. Hasil pengolahan data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase. Hasil penelitian ini manunjukkan semua reponden (100%) perannya sebagai pemberi asuhan keperawatan terlaksana. Hal ini didukung oleh umur responden yang rata-rata 37 tahun yang merupakan usia produktif dalam bekerja, selain itu didukung pendidikan responden mayoritas D3 Keperawatan sebanyak 67,74%. Hasil penelitian yang diperoleh disimpulkan bahwa peran perawat sebelum dan sesudah ECT terlaksana. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa perlunya mempertahankan mutu asuhan keperawatan dalam pelaksanaan ECT sesuai dengan prosedur dan standar tindakan pelayanan keperawatan dan diharapkan penelitian ini dilanjutkan dengan melakukan penelitian yang berhubungan dengan peran perawat dalam pelaksanaan ECT dengan cara observasi agar penelitian ini lebih sempurna dan lebih baik.
Judul : Peran Perawat Sebelum dan Sesudah ECT Di Rumah Sakit Jiwa Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Medan.
Peneliti : Azizah Ummiyana
Program : Sarjana Keperawatan Ekstensi Tahun Akademik : 2011 – 2012
ABSTRAK
Terapi kejang listrik merupakan salah satu terapi dalam kelompok terapi total. Terapi ini berupa terapi fisik dengan pasien-pasien psikiatri dengan indikasi dan cara tertentu. Kehilangan memori dan kekacauan mental sementara merupakan efek samping yang paling umum dimana perawat merupakan hal yang penting hadir pada saat pasien sadar setelah ECT, supaya dapat mengurangi ketakutan-ketakutan yang disertai dengan kehilangan memori. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi peran perawat sebelum dan sesudah ECT (Electro Convulsive
Terapy) di Rumah Sakit Jiwa Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Desain penelitian
ini menggunakan desain deskriptif. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 124 orang dan sampel dimabil dengan tehnik purposive sampling yaitu tehnik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu sesuai yang dikehendaki peneliti yaitu sebanyak 31 orang. Tehnik pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner. Hasil pengolahan data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase. Hasil penelitian ini manunjukkan semua reponden (100%) perannya sebagai pemberi asuhan keperawatan terlaksana. Hal ini didukung oleh umur responden yang rata-rata 37 tahun yang merupakan usia produktif dalam bekerja, selain itu didukung pendidikan responden mayoritas D3 Keperawatan sebanyak 67,74%. Hasil penelitian yang diperoleh disimpulkan bahwa peran perawat sebelum dan sesudah ECT terlaksana. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa perlunya mempertahankan mutu asuhan keperawatan dalam pelaksanaan ECT sesuai dengan prosedur dan standar tindakan pelayanan keperawatan dan diharapkan penelitian ini dilanjutkan dengan melakukan penelitian yang berhubungan dengan peran perawat dalam pelaksanaan ECT dengan cara observasi agar penelitian ini lebih sempurna dan lebih baik.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penderita gangguan skizifrenia di seluruh dunia ada 24 juta jiwa dengan angka
kejadian 7 per 1000 penduduk (pada wanita dan pria sama ). Diperkirakan terdapat 4
– 10 % resiko kejadian bunuh diri sepanjang rentang kehidupan penderita
skizofrenia dan 40 % angka percobaan bunuh diri. Studi yang dilakukan WHO
melaporkan bahwa angka kematian tertinggi pada kasus skizofrenia disebabkan
karena bunuh diri. Faktor resiko bunuh diri pada pasien skizofrenia terdapat gejala
gejala positif terdapat ko – morbilitas depresi, kurangnya terapi, penurunan tingkat
perawatan, sakit kronis, tingkat pendidikan tinggi dan pengharapan akan tampilan
kerja yang tinggi biasanya terjadi pada fase awal dari perjalanan penyakitnya
(Widiodiningrat , 2009).
Diperkirakan penduduk Indonesia yang menderita gangguan jiwa sebesar
2-3% jiwa setiap tahun. Zaman dahulu penanganan pasien gangguan jiwa adalah
dengan dipasung, dirantai, atau diikat, lalu ditempatkan di rumah atau hutan jika
gangguan jiwa berat. Tetapi bila pasien tersebut tidak berbahaya, dibiarkan
berkeliaran di desa, sambil mencari makanan dan menjadi tontonan masyarakat.
Terapi dalam gangguan jiwa bukan hanya meliputi pengobatan dengan farmakologi
tetapi juga dengan psikoterapi, serta terapi modalitas yang sesuai dengan gejala atau
modalitas tersebut perlu adanya dukungan keluarga dan dukungan sosial yang akan
memberikan peningkatan penyembuhan karena pasien akan merasa berguna dalam
masyarakat dan tidak merasa diasingkan dengan penyakit yang dialaminya
(Kusumawati, 2010).
Terapi kejang listrik merupakan salah satu terapi dalam kelompok terapi total.
Terapi ini berupa terapi fisik dengan pasien-pasien psikiatri dengan indikasi dan cara
tertentu. Terapi kejang listrik adalah suatu pengobatan untuk menimbulkan kejang
grand mal secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui elektroda yang
dipasang pada satu atau dua ‘’temples’’(Stuard,2007).
Pada pelaksanaan pengobatan ECT, mekanismenya sebenarnya tidak diketahui,
tapi diperkirakan bahwa ECT menghasilkan perubahan-perubahan biokimia dalam
otak. Suatu peningkatan kadar norefinefrin dan serotonin, mirip efek obat
antidepresan. Kehilangan memori dan kekacauan mental sementara merupakan efek
samping yang paling umum dimana perawat merupakan hal yang penting hadir pada
saat pasien sadar setelah ECT, supaya dapat mengurangi ketakutan-ketakutan yang
disertai dengan kehilangan memori (Erlinafsiah, 2010).
Di Sumatera Utara dari data yang diambil dari Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi
Sumatera Utara sebanyak 3097 kali dalam tahun 2010, Electro Convulsif Terapy
diberikan kepada pasien- pasien depresi, halusinasi, waham, pasien dengan perilaku
kekerasan, dan yang mencakup skizofrenia. Peran perawat dalam pelaksanaan ECT
Peran perawat kesehatan jiwa menurut Weiss (1947) yang dikutip Stuart Sundeen
dalam Principles and Practice of Psychiatric Nursing Care (1995) dalam
(Kusumawati, 2010) bahwa peran perawat adalah sebagai Attitude Therapy, yaitu
mengobservasi perubahan, baik perubahan kecil atau menetap yang terjadi pada klien,
mendemonstrasikan penerimaan, respek, memahami klien dan mempromosikan
ketertarikan klien dan berpartisipasi dalam interaksi. Sedangkan menurut Clinton dan
Nelson perawat jiwa harus berusaha menemukan dan memenuhi kebutuhan dasar
klien yang terganggu seperti kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman, kebutuhan
mencintai dan disayangi, kebutuhan harga diri dan kebutuhan aktualisasi diri. Klien
gangguan jiwa umumnya mengalami gangguan selain fisiologis sebagai keluhan
utama, tetapi selanjutnya seluruh kebutuhan menjadi terganggu sebagai dampak
terganggunya kebutuhan psikologis. Oleh karena itu, perawat harus berupaya
memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut dengan menjalin rasa percaya dan berusaha
memahami apa yang dirasakan oleh klien.
Berdasarkan latar belakang diatas karena pentingnya peran perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan terhadap gangguan jiwa yang mendapat terapi ECT
penulis tertarik melakukan penelitian tentang Peran Perawat Dalam Pelaksanaan
Sebelum Dan Sesudah ECT (Electro Convulsive Terapy) di Rumah Sakit Jiwa
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat disimpulkan rumusan masalah
penelitian ini adalah: bagaimana peran perawat sebelum dan sesudah ECT (Electro
Convulsive Terapy) di Rumah Sakit Jiwa Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan penelitian ini adalah: mengidentifikasi peran perawat sebelum
dan sesudah ECT (Electro Convulsive Terapy) di Rumah Sakit Jiwa Pemerintah
Provinsi Sumatera Utara.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengidentifikasi peran perawat sebelum ECT.
2. Untuk mengidentifikasi peran perawat sesudah ECT.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat bagi praktek keperawatan.
Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan menjadi masukan dalam
melakukan intervensi pada klien yang mendapat terapi ECT sehingga
dapat meningkatkan kualitas asuhan keperawatan sebelum dan sesudah
ECT.
2. Manfaat bagi pendidikan keperawatan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi yang
peran perawat mengenai ECT sebelum praktek di rumah sakit jiwa untuk
dapat memberikan asuhan keperawatan.
3. Manfaat bagi penelitian keperawatan.
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan masukan atau sumber data
peneliti ingin melakukan penelitian lebih lanjut dalam ruang lingkup yang
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perawat
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan
bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat
keperawatan, berbentuk pelayanan biopsikososial dan spiritual yang komprehensif,
ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang
mencakup seluruh proses kehidupan manusia (Hidayat, 2004).
Perawat adalah profesi yang difokuskan pada perawatan individu, keluarga,
dan masyarakat sehingga mereka dapat mencapai, mempertahankan, atau
memulihkan kesehatan yang optimal dan kualitas hidup dari lahir sampai mati
(Bagolz, 2010).
2.2 Peran
Peran perawat adalah merupakan tingkah laku yang diharapkan oleh orang
lain terhadap seseorang sesuai dengan kependudukan dalam system, dimana dapat
dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari profesi perawat maupun dari luar profesi
keperawatan yang bersifat konstan (Hidayat, 2007).
Menurut Barbara (1995) peran adalah seperangkat tingkah laku yang
diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam, suatu
bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seesorang pada
situasi sosial tertentu (Lailia, 2009).
2.2.1 Peran Perawat
Peran perawat menurut konsorsium ilmu ilmu kesehatan tahun 1989 dalam
Hidayat (2007) terdiri dari:
1. Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan.
Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan ini dapat dilakukan perawat
dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan
melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses
keperawatan sehingga dapat ditentukan diagnosis keperawatan agar dapat
direncanakan dan dilaksanakan tindakan yang tepat sesuai dengan tingkat
kebutuhan dasar manusia, kemudian dapat dievaluasi tingkat
perkembangannya. Pemberian asuhan keperawatan ini dilakukan dari yang
sederhana sampai dengan kompleks.
2. Peran sebagai advokat.
Peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien dan keluarga dalam
menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberian pelayanan atau
informasi lain khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan
keperawatan yang diberikan kepada pasien, juga dapat berperan
mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien yang meliputi hak atas
privasi, hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan hak untuk menerima
ganti rugi akibat kelalaian.
3. Peran edukator.
Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat
pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan,
sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien sesudah dilakukan pendidikan
kesehatan.
4. Peran koordinator
Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta
mengorganisasi pelayanan kesehatan sehingga pemberian pelayanan
kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan kebutuhan klien.
5. Peran kolaborator
Peran perawat disini dilakukan kerana perawat bekerja melalui tim kesehatan
yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi dan lain-lain dengan berupaya
mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi
atau tukar pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya.
6. Peran konsultan
Peran disini adalah sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan
keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan
klien terhadap informais tentang tujuan pelayanan keperawatan yang
7. Peran pembaharu
Peran sebagai pembaharu dapat dilakukan dengan mengadakan perencanaan,
kerja sama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode
pemberian pelayanan keperawatan.
2.3 Electro Convulsive Terapy (ECT)
2.3.1 Definisi
ECT (Electro Confulsive Terapy) adalah tindakan dengan menggunakan aliran
listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun klonik (Sujono,
2009). Sedangkan menurut Tomb (2004) Electro Convulsive Therapy adalah sah
meskipun keburukan ECT tidak dapat dibenarkan. Walaupun mekanisme terapi lain
atau pada keadaan yang tidak diobati: 0,01 – 0,03% dari pasien yang diterapi,
terbanyak akibat serangan jantung.
Terapi elektrokonvulsif menginduksi kejang grand mal secara buatan dengan
mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang dipasang pada satu atau kedua pelipis
(Stuart, 2007). Dan menurut Townsend (1998) Terapi elektrokonvulsif (ECT)
merupakan suatu jenis pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan pada otak
melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut cukup untuk
menimbulkan kejang gran mal, yang darinya diharapkan efek yang terapeutik
tercapai.
ECT adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik dan
pada klien dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempelkan pada
pelipis klien untuk membangkitkan kejang grandmall (Riyadi, 2009).
Terapi Kejang Listrik adalah suatu terapi dalam ilmu psikiatri yang dilakukan
dengan cara mengalirkan listrik melalui suatu elekktroda yang ditempelkan di kepala
penerita sehingga menimbulkan serangan kejang umum(Mursalin, 2009).
Terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan suatu jenis pengobatan somatik
dimana arus listrik digunakan pada otak melalui elektroda yang ditempatkan pada
pelipis. Arus tersebut cukup menimbulkan kejang grand mal, yang darinya
diharapkan efek yang terapeutik tercapai (Taufik, 2010).
Terapi kejang listrik merupakan alat elektrokonvulsi yang mengeluarkan
listrik sinusoid dan ada yang meniadakan satu fase dari aliran sinusoid itu sehingga
pasien menerima aliran listrik (Maramis, 2004).
2.3.2 Indikasi
1. Pasien dengan penyakit depresif mayor yang tidak berespon terhadap
antidepresan atau yang tidak dapat meminum obat (Stuard, 2007). Menurut
Tomb (2004) gangguan afek yang berat: pasien dengan gangguan bipolar, atau
depresi menunjukkan respons yang baik dengan ECT. Pasien dengan gejala
vegetatif yang jelas cukup berespon. ECT lebih efektif dari antidepresan untuk
pasien depresi dengan gejala psikotik. Mania juja memberikan respon yang
baik pada ECT, terutama jika litium karbonat gagal untuk mengontrol fase
2. Pasien dengan bunuh diri akut yang cukup lama tidak menerima pengobatan
untuk mencapai efek terapeutik (Stuard, 2007). Menurut Tomb (2004), pasien
bunuh diri yang aktif dan tidak mungkin menunggu antidepresan bekerja.
3. Ketika efek samping Electro Convulsive Therapy yang diantisipasi kurang
dari efek samping yang berhubungan dengan blok jantung, dan selama
kehamilan (Stuard, 2007).
4. Gangguan skizofrenia: skizofrenia katatonik tipe stupor atau tipe excited
memberikan respons yang baik dengan ECT. Cobalah antipsikotik terlebih
dahulu, tetapi jika kondisinya mengancam kehidupan (delyrium
hyperexcited), segera lakukan ECT. Pasien psikotik akut (terutama tipe
skizoaktif) yang tidak berespons pada medikasi saja mungkin akan membaik
jika ditambahkan ECT, tetapi pada sebagian besar skizofrenia (kronis), ECT
tidak terlalu berguna (Tomb, 2004).
2.3.3 Kontraindikasi
Tidak ada kontraindikasi yang mutlak. Pertimbangkan resiko prosedur dengan
bahaya yang akan terjadi jika pasien tidak diterapi. Penyakit neurologik bukan suatu
kontraindikasi
1. Resiko sangat tinggi:
a) Peningkatan tekanan intrakranial (karena tumor otak, infeksi sistem saraf
pusat), ECT dengan singkat meningkatkan tekanan SSP dan resiko
herniasi tentorium.
terdapat kerusakan otot jantung, tunggu hingga enzim dan EKG stabil.
2. Resiko sedang:
a) Osteoatritis berat, osteoporosis, atau fraktur yang baru, siapkan selama
terapi (pelemas otot) dan ablasio retina.
b) Penyakit kardiovaskuler (misalnya hipertensi, angina, aneurisma, aritmia),
berikan premedikasi dengan hati-hati, dokter spesialis jantung hendaknya
ada disana.
c) Infeksi berat, cedera serebrovaskular, kesulitan bernafas yang kronis, ulkus
peptik akut, feokromasitoma (Tomb, 2004).
2.3.4 Efek Samping ECT
1. Kematian, angka kematian yang disebabkan ECT adalah bervariasi antara
1-1.000 dan 1-10.000 pasien. Resiko ini sama dengan resiko karena pemberian
anastesi umum. Kematian biasanya karena komplikasi kardiovaskuler.
2. Efek sistemik, pada pasien dengan gangguan jantung, dapat terjadi arritmia
jantung sementara. Arritmia ini terjadi karena bradikardia post ictal yang
sementara dan dapat dicegah dengan peningkatan dosis premedikasi anti
kolinerjik. Arritmia dapat juga terjadi karena hiperaktifitas simpathetik
sewaktu kejang atau saat pasien sadar kembali. Dilaporkan pula adanya reaksi
toksis dan allergi terhadap obat yang digunakan untuk prosedur ECT
3. Efek cerebral, pada pemberian ECT bilateral dapat terjadi amnesia dan acute
confusion. Fungsi memori akan membaik kembali 1-6 bulan setelah ECT,
tetapi ada pasien yang melaporkan tetap mengalami gangguan memori (Tomb,
2004).
2.3.5 Peran Perawat dalam Pelaksanaan ECT
2.3.5.1 Peran perawat dalam persiapan klien sebelum tindakan ECT
1. Anjurkan pasien dan keluarga untuk tenang dan beritahu prosedur tindakan
yang akan dilakukan.
2. Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya
kelainan yang merupakan kontraindikasi ECT.
3. Siapkan surat persetujuan tindakan.
4. Klien dipuasakan 4-6 jam sebelum tindakan.
5. Lepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau jepit rambut yang mungkin
dipakai klien.
6. Klien diminta untuk mengosongkan kandung kemih dan defekasi.
7. Klien jika ada tanda ansietas, berikan 5 mg diazepam IM 1-2 jam sebelum
ECT.
8. Jika klien menggunakan obat antidepresan, antipsikotik, sedatif hipnotik, dan
antikonvulsan, harus dihentikan sehari sebelumnya. Litium biasanya
9. Premedikasi dengan injeksi SA (sulfatatropin) 0,6-1,2 mg setengah jam
sebelum ECT. Pemberian antikolinergik ini mengendalikan aritmia vagal dan
menurunkan sekresi gastrointestinal (Riyadi, 2009).
2.3.5.2 Persiapan alat
1. Perlengkapan dan peralatan terapi, termasuk pasta dan gel elektroda, bantalan
kasa, alkohol, saling,elektroda elektroensefalogram (EEG), dan kertas grafik.
2. Peralatan untuk memantau, termasuk elektrokardiogram (EKG) dan elektroda
EKG.
3. Manset tekanan darah, stimulator saraf perifer, dan oksimeter denyut nadi.
4. Stetoskop.
5. Palu reflex.
6. Peralatan intravena.
7. Penahan gigitan dengan wadah individu.
8. Pelbet dengan kasur yang keras dan bersisi pengaman serta dapat
meninggikan bagian kepala dan kaki.
9. Peralatan penghisap lender.
10.Peralatan ventilasi, termasuk slang, masker, ambu bag, peralatan jalan nafas
oral, dan peralatan intubasi dengan sistem pemberian oksigen yang dapat
memberikan tekanan oksigen positif. Obat untuk keadaan darurat dan obat
2.3.5.3 Prosedur pelaksanaan
Menurut pendapat Stuart (2007) berikut prosedur pelaksanaan terapi kejang
listrik:
1. Berikan penyuluhan kepada pasien dan keluarga tentang prosedur.
2. Dapatkan persetujan tindakan.
3. Pastikan status puasa pasien setelah tengah malam.
4. Minta pasien untuk melepaskan perhiasan, jepit rambut, kaca mata, dan alat
bantu pendengaran. Semua gigi palsu dilepaskan, tambahan gigi parsial
dipertahankan.
5. Pakaikan baju yang longgar dan nyaman.
6. Kosongkan kandung kemih pasien.
7. Berikan obat praterapi.
8. Pastikan obat dan peralatan yang diperlakukan tersedia dan siap pakai.
9. Bantu pelaksanaan ECT.
a. Tenangkan pasien.
b. Dokter atau ahli anastesi memberikan oksigen untuk menyiapkan pasien
bila terjadi apnea karena relaksan otot.
c. Berikan obat.
d. Pasang spatel lidah yang diberi bantalan untuk melindungi gigi pasien.
e. Pasang elektroda. Kemudian berikan syok.
2.3.5.4Peran perawat setelah ECT
Berikut adalah hal-hal yang harus dilakukan perawat untuk membantu klien
dalam masa pemulihan setelah tindakan ECT dilakukan yang telah dimodifikasi dari
pendapat Stuart (2007) dan Townsen (1998). Menurut pendapat Stuart (2007)
memantau klien dalam masa pemulihan yaitu dengan cara sebagai berikut:
1. Bantu pemberian oksigen dan pengisapan lendir sesuai kebutuhan.
2. Pantau tanda-tanda vital.
3. Setelah pernapasan pulih kembali, atur posisi miring pada pasien sampai
sadar. Pertahankan jalan napas paten.
4. Jika pasien berespon, orientasikan pasien.
5. Ambulasikan pasien dengan bantuan, setelah memeriksa adanya hipotensi
postural.
6. Izinkan pasien tidur sebentar jika diinginkannya.
7. Berikan makanan ringan.
8. Libatkan dalam aktivitas sehari-hari seperti biasa, orientasikan pasien sesuai
kebutuhan.
9. Tawarkan analgesik untuk sakit kepala jika diperlukan.
Menurut Townsend (1998), jika terjadi kehilangan memori dan kekacauan
mental sementara yang merupakan efek samping ECT yang paling umum hal ini
penting untuk perawat hadir saat pasien sadar supaya dapat mengurangi
ketakutan-ketakutan yang disertai dengan kehilangan memori. Implementasi keperawatan yang
1. Berikan ketenangan dengan mengatakan bahwa kehilangan memori tersebut
hanya sementara.
2. Jelaskan kepada pasien apa yang telah terjadi.
3. Reorientasikan pasien terhadap waktu dan tempat.
4. Biarkan pasien mengatakan ketakutan dan kecemasannya yang berhubungan
dengan pelaksanaan ECT terhadap dirinya.
5. Berikan sesuatu struktur perjanjian yang lebih baik pada aktivitas-aktivitas
BAB 3
KERANGKA PENELITIAN
3.1 Kerangka Penelitian
Peran perawat dalam pelaksanaan ECT adalah tingkah laku yang diharapkan
dalam melakukan proses asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan pasien yang
dimulai dengan pengkajian, perencanaan, penatalaksanaan, dan evaluasi
(Kusumawati, 2010).
Berdasarkan landasan teoritis yang telah diuraikan pada tinjauan kepustakaan
maka dapat digambarkan kerangka penelitian sebagai berikut:
Terapi kejang listrik: • Pelaksanaan
sebelum ECT • Pelaksanaan
sesudah ECT Peran Perawat
• Terlaksana
1.2 Defenisi Operasional
Variabel Defenisi operasional Alat ukur Hasil Skala
Peran
perawat
sebelum
dan sesudah
ECT
Peran perawat adalah
merupakan tingkah
laku yang diharapkan
oleh orang lain
terhadap seseorang
dalam memberi suatu
tindakan keperawatan
yang dilakukan
sebelum dan sesudah
tindakan terapi kejang
listrik yang dilakukan
kepada pasien dengan
gangguan jiwa.
Kuesioner terdiri
dari 20
pernyataan 6
pernyataan
negatif dan 14
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Desain penelitian ini menggunakan desain deskriptif, yang dilakukan dengan
tujuan utama membuat gambaran tentang suatu keadaan secara objektif (Setiadi,
2007). Dimana dalam penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran
mengenai peran perawat dalam pelaksanaan sebelum dan sesudah ECT di Rumah
Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara.
4.2 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi adalah keseluruhan subjek dari penelitian. Populasi dalam penelitian
ini adalah seluruh perawat yang bekerja di rumah sakit jiwa Provinsi Sumatera Utara,
jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 124 orang.
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Berdasarkan
Arikunto, (2005) yaitu jika populasi kurang dari 100, maka lebih baik semua populasi
dijadikan sampel, tetapi jika jumlah populasi lebih dari 100, maka dapat diambil 10%
- 15% atau 20-25% atau lebih.
Karena populasi berjumlah 124 orang maka peneliti mengambil sampel 25%
dari populasi, sehingga sampel yang didapat adalah 31 orang. Tehnik pengambilan
sampel yaitu dengan Purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan
Untuk penelitian ini digunakan kriteria:
1) Perawat yang dinas di ruang rawat inap.
2) Pendidikan minimal D3 keperawatan.
3) Pernah melakukan proses pelaksanaan (sebelum dan sesudah) ECT.
4) Bersedia menjadi responden.
4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di ruang rawat inap Rumah Sakin Jiwa Provsu.
Alasan pemilihan Rumah Sakit Jiwa Provsu sebagai tempat penelitian dikarenakan
rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit pendidikan dan juga merupakan rumah
sakit rujukan dengan jumlah perawat yang memadai untuk melakukan penelitian ini
sehingga memungkinkan peneliti untuk memperoleh sampel sesuai dengan jumlah
dan waktu yang ditentukan. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Oktober dan
November 2011.
4.4 Pertimbangan Etik
Dalam penelitian ini, peneliti mengajukan permohonan izin kepada institusi
pendidikan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan mengajukan
permohonan izin kepada direktur Rumah Sakit Jiwa Provsu, tempat penelitian
dilakukan. Setelah mendapatkan izin persetujuan kemudian melakukan penelitian
dengan menekankan pertimbangan etik yang meliputi:
a. Informed consent
judul penelitian dan manfaat penelitian. Bila responden menolak maka
peneliti tidak bisa memaksa dan tetap menghormati hak-haknya.
b. Anonimity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak mencantumkan nama responden
pada lembar pengumpulan data, tetapi cukup dengan memberi kode pada
masing-masing lembaran tersebut.
c. Confidentiality
Kerahasiaan responden akan dijamin oleh peneliti, hanya sekelompok data
tertentu yang akan disajikan atau dilaporkan sebagai hasil dari penelitian
(Hidayat, 2007).
4.5 Instrumen Penelitian
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner disusun dan
dimodifikasi oleh peneliti dengan mengacu kepada kerangka kerja dan tinjauan
pustaka. Instrumen terdiri dari dua bagian, yang pertama mengenai data demografi
dan kedua mengenai peran perawat dalam pelaksanaan sebelum dan sesudah ECT.
Dimana dalam kuesioner ini terdapat pertanyaan positif sebanyak 14 pertanyaan dan
pertanyaan negatif sebanyak 6 pertanyaan. Skor untuk pertanyaan positif nilai 4 untuk
“sering”, nilai 3 untuk “selalu”, nilai 2 untuk “kadang” dan nilai 1 untuk “tidak
pernah”. Kemudian skor untuk pertanyaan negatif yaitu nilai 4 untuk “tidak pernah”,
nilai 3 untuk “kadang”, nilai 2 untuk “sering”, dan nilai 1 untuk “selalu”.
Kuesioner terdiri dari 20 pertanyaan dengan menggunakan skala likert. Total
maka semakin baik peran perawat dalam pelaksanaan sebelum dan sesudah ECT.
Dalam penelitian ini digunakan rumus:
Rentang = Xmax – Xmin
Maka: R = 80 – 20
R = 60
Untuk panjang interval kelas digunakan rumus sebagai berikut:
P =
gori banyakkate
R
P =
3 60
= 20
Maka:
20 - 40 = Tidak Terlaksana
41 – 60 = Terlaksana Sebagian
61- 80 = Terlaksana
Untuk skor peran perawat sebelum dan sesudah pelaksanaan ECT adalah:
Rentang = Xmaks – Xmin
R = 30
P= banyakkategori
R
P = 3 30
P = 10
Maka untuk masing-masing skor sebagai berikut:
a) Tidak terlaksana = 10 – 20
b) Terlaksana sebagian = 21 – 30
c) Terlaksana = 31 – 40
4.6 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Data kuesioner disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan tinjauan pustaka,
maka penting untuk dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Alat ukur yang baik
adalah alat ukur yang memberikan hasil yang sama bila digunakan beberapa kali pada
sekelompok sampel (Arikunto, 2005).
Penelitian ini menggunakan uji validitas tidak dilakukan tetapi instrumen
penelitian dikonsultasikan kepada ahli keperawatan jiwa Di Departemen
Keperawatan Jiwa Komunitas Universitas Sumatera Utara, dimana seluruh item
pernyataan dalam kuesioner dimodifikasi agar sesuai dengan tujuan penelitian dan
Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui apakah alat ukur yang digunakan
adalah alat ukur yang baik. Dimana alat ukur yang baik adalah adanya suatu
kesamaan hasil apabila pengukuran dilaksanakan oleh orang yang berbeda ataupun
waktu yang berbeda (Setiadi, 2007). Uji reliabilitas instrumen ini menggunakan
rumus alpha yang disusun dengan sistem komputerisasi. Menurut Setiadi (2007)
sebagai patokan kasar dapat ditentukan ukuran indeks reliabilitas sebagai berikut:
1) < 0,59 = reliabilitas rendah
2) 0.60 – 0,89 = reliabilitas sedang
3) 0.90 – 100 = reliabilitas tinggi
Hasil dalam uji reliabilitas yang telah dilakukan adalah 0,76 menunjukkan
bahwa 76% responden memberikan jawaban yang konsisten terhadap instrumen yang
disebarkan pada penelitian ini, yang diujiakan kepada 20 responden di Rumah Sakit
Jiwa Daerah Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.
4.7 Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dilakukan setelah mendapatkan izin dari institusi
pendidikan Program Studi Ilmu Keperawatan kemudian mengirimkan permohonan
izin ketempat penelitian yaitu Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.
Setelah mendapat izin ketempat penelitian, peneliti menjelaskan kepada responden
tentang tujuan penelitian dan meminta kesediaan untuk menjadi responden.
4.8 Analisa Data
Dalam menganalisa data digunakan statistik deskriptif yaitu digunakan untuk
menggambarkan atau menganalisa hasil penelitian, tetapi tidak digunakan untuk
membuat kesimpulan yang lebih luas (Setiadi, 2007). Statistik deskriptif ini
digunakan untuk mempersentasekan data demografi dan karakteristik lain termasuk
peran perawat sebelum dan sesudah ECT dan dimasukkan ke dalam tabel distribusi
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian
Pada bab ini diuraikan tentang hasil penelitian setelah pengumpulan data yang
dilakukan sejak tanggal 20 Oktober 2011 sampai dengan 25 November 2011 di
Rumah Sakit Jiwa Pemprovsu Medan. Hasil penelitian ini menggambarkan tentang
karakteristik responden dan peran perawat dalam pelaksanaan sebelum dan sesudah
ECT pada gangguan jiwa.
5.1.1 Karakteristik Responden
Deskripsi karakteristik responden mencakup umur dan pendidikan terakhir
responden dapat dilihat pada tabel 5.1.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia rata-rata responden adalah 37
tahun. Responden lebih banyak mempunyai pendidikan terakhir D3 Keperawatan
yaitu sebanyak 21 orang (67,74%).
Tabel 5.1
Karakteristik Responden Berdasarkan Umur
Data
Demografi
Mean Median Standar
Deviasi
Minimal Maksimal
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Dan Persentase Karakteristik Responden
Karakteristik Frekuensi Persentase
Pendidikan
5.1.2 Peran Perawat Dalam Pelaksanaan Sebelum dan Sesudah ECT
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi dan Persentase Peran Perawat Sebelum ECT
Peran Perawat Sebelum
ECT
Frekuensi Persentase
1. Tidak Terlaksana
2. Terlaksana Sebagian
3. Terlaksana
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 100% perawat melaksanakan perannya
Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Dan Persentase Peran Perawat Sesudah ECT
Peran Perawat Sesudah
ECT
Frekuensi Persentase
1. Tidak Terlaksana
2. Terlaksana Sebagian
3. Terlaksana
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa peran perawat sesudah ECT terlaksana
sebanyak 70,96% dan 29,0% hanya terlaksana sebagian.
5.2 Pembahasan
Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan dilakukan dengan
memperhatikan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian
pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan. Penelitian ini
100% perawat melakukan perannya sebagai pemberi asuhan keperawatan dalam
pelaksanaan sebelum dan sesudah ECT di Rumah Sakit Jiwa Pemerintah Provinsi
Sumatera Utara. Hal ini didukung oleh tingkat pendidikan perawat yang mayoritas
mempunyai pendidikan D3 Keperawatan yaitu sebanyak 21 orang (67,74%). Menurut
Mubarak (2006) semakin tinggi pengetahuan seseorang semakin mudah menerima
informasi sehingga banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya pendidikan
yang baru diperkenalkan. Selain itu didukung juga dengan usia responden dengan
rata-rata 37 tahun yang termasuk dalam rentang usia produktif dalam bekerja,
menurut Badan Pusat Statistik menetapkan usia produktif dalam bekerja adalah 15-50
tahun (Prianti, 2011).
Peran perawat sebelum ECT 100% terlaksana dengan baik, sementara peran
perawat sesudah ECT hanya 70,96% perawat yang melaksanakan perannya sesuai
prosedur yang telah ditetapkan dan selebihnya 29.0% hanya terlaksana sebagian. Hal
ini tidak sesuai dengan pendapat dari Hidayat (2007) menyatakan bahwa peran
perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan ini dapat dilakukan perawat dengan
memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui
pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan
sehingga dapat ditentukan diagnosis keperawatan agar dapat direncanakan dan
dilaksanakan tindakan yang tepat sesuai dengan tingkat kebutuhan dasar manusia,
kemudian dapat dievaluasi tingkat perkembangannya. Pemberian asuhan keperawatan
ini dilakukan dari yang sederhana sampai dengan kompleks. Seharusnya sebagai
seorang perawat profesional harus melaksanakan seluruh rangkaian asuhan
keperawatan dengan baik.
Sebagaimana menurut Hidayat (2007) bahwa peran perawat adalah
merupakan tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai
dengan kependudukan dalam system, dimana dapat dipengaruhi oleh keadaan sosial
Sedangkan menurut Barbara (1995) peran adalah seperangkat tingkah laku yang
diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam, suatu
system. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan
bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seesorang pada
situasi sosial tertentu (Lailia, 2009).
Seluruh responden (100%) melakukan pemeriksaan fisik terhadap pasien
sebelum tindakan ECT dilakukan. Sebelum tindakan ECT dilakukan pasien harus
dilakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya
kelainan yang merupakan kontraindikasi ECT (Riyadi, 2009). Responden melakukan
perannya sesuai prosedur yang telah ditetapkan dan seluruh responden melakukan
pemeriksaan fisik sebelum ECT dilaksanakan yang berguna untuk mengidentifikasi
kelainan-kelainan yang terjadi pada pasien yang merupakan kontraindikasi ECT. Hal
ini sangat penting dilakukan karena sebelum terapi kejang listrik dilakukan pasien
harus diperiksa keadaan umumnya dengan teliti, terutama jantung dan pernafasan,
konvulsi yang dirasakan oleh pasien itu sangat berat bagi sistem kardiovaskuler dan
menyangkut juga pada sistem pernafasan (Maramis 2004). Pada prakteknya tindakan
ini diharapkan dapat dipertahankan untuk dapat meningkatkan kualitas asuhan
keperawatan terhadap pasien dengan gangguan jiwa yang diindikasikan mendapat
terapi kejang listrik karena banyaknya efek samping yang dapat terjadi.
Responden tidak setuju jika persetujuan (inform consent) dari pasien atau
Sebagaimana menurut Riyadi (2009) yang menyatakan bahwa sebelum tindakan ECT
dilaksanakan persetujuan atau inform consent harus didapatkan dari klien atau
keluarga. Sementara itu sebanyak 29,0% responden tidak melaksanakan tindakan ini
karena menganggap bahwa persetujuan tindakan telah dilakukan diawal pertama
masuk rumah sakit. Menurut Isaacs (2004), dengan persetujuan tindakan (informed
consent) pasien mendapatkan informasi yang adekuat tentang perawatan dan
pengobatan serta memberikan persetujuan atas pengobatan tersebut, dengan
memberikan informasi pengetahuan klien dan keluarga bertambah mengenai terapi
kejang listrik dimana pasien dan terlebih keluarga tahu efek keuntungan yang
diharapkan, rutinitas prapengobatan, rutinitas pasca pengobatan.
Responden menganjurkan pasien untuk puasa 4-6 jam sebelum tindakan ECT
dilaksanakan sebanyak 96,8% dan sebanyak 93,5% responden memberitahu pasien
untuk melepaskan perhiasan, kaca mata, jepit rambut dan gigi palsu hal ini sesuai
dengan pendapat Riyadi (2009) perawat harus memeriksan status puasa pasien setelah
tengah malam dan meminta pasien untuk melepaskan perhiasan, jepit rambut, kaca
mata, dan alat bantu pendengaran dan semua gigi palsu dilepaskan. Menurut Maramis
(2004), bahwa persiapan antara lain penderita harus puasa supaya jangan sampai
pasien muntah dan tersedak waktu ia tidak sadar (bahaya pneumonia), gigi palsu yang
dapat dilepaskan harus dikeluarkan, juga benda-benda lain yang ada dalam mulut
(permen dan sebagainya).
Mayoritas responden menganjurkan pasien untuk berkemih dan melakukan
Sebagaimana menurut Riyadi (2009) yang menyatakan bahwa klien diminta untuk
mengosongkan kandung kemih dan defekasi. Kandung kemih dan rectum perlu
dikosongkan supaya penderita tidak mengotori dirinya dan tempat tidur bila terjadi
inkontinesia.
Tidak melakukan pemeriksaan laboratorium karena telah melakukan
pemeriksaan fisik, mayoritas responden tidak pernah melakukan tindakan ini yaitu
sebanyak 64,5% selalu melakukan pemeriksaan laboratorium walaupun telah
melakukan pemeriksaan fisik dan sebanyak 71% responden selalu melakukan
pengkajian keadaan umum dan status kesehatan pasien sebelum ECT dilaksanakan.
Sebagaimana menurut Riyadi (2009) lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium
untuk mengidentifikasi adanya kelainan yang merupakan kontraindikasi ECT.
Tindakan ini harus dilakukan karena adanya kontraindikasi ECT sebagaimana
menurut Tomb (2003), yang menyatakan bahwa resiko sangat tinggi pada
peningkatan tekanan intrakranial (karena tumor otak, infeksi sistem saraf pusat) terapi
kejang listrik dengan sangat singkat meningkatkan tekanan sistem saraf pusat dan
resiko hernia tentorium untuk resiko sedang osteoartritis berat, osteoartritis atau
faktur baru, ablasi retina dan penyakit kardiovaskuler.
Responden membantu pasien berorientasi terhadap waktu dan tempat
sebanyak 74,2% dan sebanyak 64,5% responden menjelaskan kembali tentang
tindakan ECT yang telah dilakukan. Menurut Townsend (1998) merupakan hal yang
penting perawat hadir saat pasien sadar supaya dapat mengurangi
Mendengarkan ungkapan ketakutan dan kecemasan pasien sebanyak 48,4%
responden selalu melakukan tindakan tersebut. Menurut Townsend (1998), sesudah
ECT dilakukan perawat harus membiarkan pasien mengatakan ketakutan dan
kecemasannya yang berhubungan dengan pelaksanaan ECT terhadap dirinya. Dengan
demikian pasien merasa diperhatikan dan diharapkan dapat membantu mengatasi
ketakutan dan kecemasan klien. Seharusnya responden harus selalu melakukan
tindakan ini karena dapat membantu pasien untuk mengeksplorasi perasaan pasien
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden (n=31 : 100%)
perannya terlaksana sebagai pemberi asuhan keperawatan dalam pelaksanaan
sebelum dan sesudah ECT dengan baik. Hal ini didukung oleh tingkat pendidikan
perawat yang mayoritas mempunyai pendidikan D3 Keperawatan yaitu sebanyak 21
orang (67,74%). Selain itu, didukung juga dengan usia responden yang rata-rata
berumur 37 tahun yang termasuk ke dalam masa usia produktif bekerja, sehingga
mendukung peran responden semakin terlaksana dengan baik.
6.2 Saran
1) Bagi Praktek Keperawatan
Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa perlunya
mempertahankan mutu asuhan keperawatan dalam pelaksanaan ECT sesuai
dengan prosedur dan standar tindakan pelayanan keperawatan.
2) Bagi Pendidikan
Agar meningkatkan pendidikan mahasiswa mengenai peran perawat dalam
pelaksanaan ECT dan menyediakan fasilitas peralatan yang mendukung
3) Bagi Penelitian Keperawatan
Pada penelitian ini menggambarkan bahwa peran perawat terlaksana sebagai
pemberi asuhan keperawatan sebelum dan sesudah ECT, diharapkan perlu
dilanjutkan dengan melakukan penelitian yang berhubungan dengan peran
perawat dalam pelaksanaan ECT dengan cara observasi agar penelitian ini
lebih sempurna dan lebih baik. Karena pada saat penelitian ini peneliti
memiliki keterbatasan dalam waktu penelitian dan keterbatasan dalam
penyebaran alat pengumpulan data yang harus didampingi oleh petugas rumah
Lampiran
KUESIONER
Kode:
Peran Perawat Sebelum Dan Sesudah ECT Di Rumah Sakit Jiwa Pemerintah Provinsi
Sumatera Utara Tahun 2011
Petunjuk pengisian : Isilah jawaban atas pernyataan dibawah ini dengan
menggunakan tanda contreng “√ “pada kolom jawaban
yang menurut anda benar.
A. Data Demografi
1. Umur : Tahun.
2. Pendidikan Terakhir :
( ) D3 Keperawatan
( ) Sarjana Keperawatan
B. Peran perawat sebelum pelaksanaan ECT
No. Pertanyaan Selalu Sering Kadang Tidak
pernah Sebelum tindakan ECT dilakukan
anda sebagai perawat melakukan: 1. Memberikan penjelasan tentang
prosedur tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien.
3. Melakukan pemeriksaan fisik terhadap pasien.
4. Persetujuan (inform consent) dari pasien atau keluarga tidak penting untuk didapatkan.
5. Menganjurkan pasien untuk puasa 4-6 jam sebelum tindakan.
6. Memberitahu pasien untuk
melepaskan perhiasan, kaca mata, jepit rambut dan gigi palsu. 7. Menganjurkan pasien untuk
berkemih dan melakukan defekasi.
8. Tidak melakukan pengkajian keadaan umum dan status kesehatan pasien.
9. Melakukan kolaborasi dalam pemberian obat anti ansietas terhadap pasien yang mengalami ansietas.
10. Tidak melakukan pemeriksaan laboratorium karena telah melakukan pemeriksaan fisik.
C. Peran perawat sesudah pelaksanaan ECT
No. Pertanyaan Selalu Sering Kadang Tidak
pernah Sesudah tindakan ECT dilakukan anda
sebagai perawat melakukan:
11. Membantu dalam pemberian oksigen dan pengisapan lendir sesuai kebutuhan pasien.
13. Memantau tanda-tanda vital pasien.
14. Menganjurkan pasien istirahat untuk mencegah hipotensi postural..
15. Menenangkan pasien dengan meyakinkan bahwa kehilangan memori hanya bersifat sementara.
16. Membantu pasien berorientasi terhadap waktu dan tempat.
17. Menjelaskan kembali tentang tindakan ECT yang telah dilakukan.
18. Segera memberi makan kepada pasien.
19. Mendengarkan ungkapan ketakutan dan kecemasan pasien.
Lampiran
Distribusi Frekuensi dan Persentase Jawaban Responden
No Pertanyaan Selalu Sering
Kadang-kadang
tindakan yang akan
dilakukan terhadap
pasien.
23 74,2 3 9,7 5 16,1 0 0
2. Meyakinkan pasien dan
keluarga untuk tidak
cemas dan tetap tenang.
29 93,5 2 6,5 0 0 0 0
3. Melakukan pemeriksaan
fisik terhadap pasien.
31 100 0 0 0 0 0 0
4. Persetujuan (inform
consent) dari pasien atau
keluarga tidak penting
untuk didapatkan.
9 29,0 6 19,4 0 0 16 51,6
5. Menganjurkan pasien
untuk puasa 4-6 jam
sebelum tindakan.
30 96,8 1 3,2 0 0 0 0
6. Memberitahu pasien
untuk melepaskan
perhiasan, kaca mata,
jepit rambut dan gigi
palsu.
7. Menganjurkan pasien
untuk berkemih dan
melakukan defekasi.
27 87,1 3 9,7 0 0 1 3,2
8. Tidak melakukan
pengkajian keadaan
umum dan status
kesehatan pasien.
4 12,9 3 9,7 2 6,5 22 71,0
9. Melakukan kolaborasi
dalam pemberian obat
anti ansietas terhadap
pasien yang mengalami
ansietas.
25 80,6 4 12,9 2 6,5 0 0
10. Tidak melakukan
pemeriksaan
laboratorium karena telah
melakukan pemeriksaan
fisik.
2 6,5 1 3,2 8 25,8 20 64,5
11. Membantu dalam
pemberian oksigen dan
pengisapan lendir sesuai
kebutuhan pasien.
15 48,4 11 35,5 5 16,1 0 0
12. Mengatur posisi pasien
dengan posisi semi
fowler.
8 25,8 4 12,9 0 0 19 61,3
13. Memantau tanda-tanda
vital pasien.
14. Menganjurkan pasien
istirahat untuk mencegah
hipotensi postural.
28 90,3 3 9,7 0 0 0 0
15. Menenangkan pasien
dengan meyakinkan
bahwa kehilangan
memori hanya bersifat
sementara.
21 67,7 6 19,4 4 12,9 0 0
16. Membantu pasien
berorientasi terhadap
waktu dan tempat.
23 74,2 8 25,8 0 0 0 0
17. Menjelaskan kembali
tentang tindakan ECT
yang telah dilakukan.
20 64,5 10 32,3 1 3,2 0 0
18. Segera memberi makan
kepada pasien.
9 29,0 2 6,5 3 9,7 17 54,2
19. Mendengarkan ungkapan
ketakutan dan kecemasan
pasien.
15 48,4 14 45,2 1 3,2 1 3,2
20. Menganjurkan pasien
untuk segera beraktivitas.
Lampiran 3
Lampiran 4
Rancana Anggaran Biaya Penelitian
1) Persiapan Proposal
• Biaya tinta dan kertas print proposal Rp. 150.000 • Fotocopy sumber-sumber tinjauan pustaka Rp. 120.000
• Biaya pembelian buku Rp. 250.000
• Biaya internet Rp. 50.000
• Penjilidan Rp. 10.000
• Konsumsi Rp. 50.000
2) Pengumpulan Data
• Surat izin penelitian dari Rumah Sakit Rp. 100.000
• Transportasi Rp. 100.000
• Penggandaan kuesioner Rp. 50.000
3) Analisa Data dan Penyusunan Laporan Hasil
• Biaya kertas dan tinta print Rp. 150.000
• Penjilidan Rp. 10.000
• Penggandaan laporan penelitian Rp. 100.000
Lampiran 9
Daftar Riwayat Hidup
Nama : Azizah Ummiyana
Tempat Tanggal Lahir : Panyabungan, 05 Januari 1988
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jl. W Iskandar No.199 Sipolu-polu Panyabungan.
Mandailing Natal.
Riwayat Pendidikan :
1. Tahun 1994-2000 : SD Negeri No: 142594 Panyabungan
2. Tahun 2000-2003 : MTs.S Mardiah Islamiah Panyabungan
3. Tahun 2003-2006 : SMA Negeri 1 Panyabungan
4. Tahun 2006-2009 : Diploma III Keperawatan STIKes. Rumah Sakit Haji
Medan