RESPON BUDAYA MASYARAKAT ATAS KONVERSI
MINYAK TANAH KE GAS ELPIJI
(Studi Kasus Terhadap Masyarakat Penerima Kompor Gas Elpiji
di Kelurahan Bintara, Bekasi Barat ).
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial
Dalam Bidang Antropologi
Disusun Oleh: CORY ESTER PRATINI
040905027
DEPARTEMEN ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
Halaman Persetujuan
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan Oleh:
Nama : Cory Ester Pratini
Nim : 040905027
Departeman : Antropologi
Judul : RESPON BUDAYA MASYARAKAT ATAS
KONVERSI MINYAK TANAH KE GAS ELPIJI
(Studi Kasus Terhadap Masyarakat Penerima
Kompor Gas Elpiji di Kelurahan Bintara, Bekasi
Barat)
Medan,
Pembimbing Skripsi Ketua Departemen
(Drs. Ermansyah, M.Hum) (Drs.Zulkifli Lubis,MA) NIP. 196603041992031002 NIP. 19640123190031001
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Dengan segala kerendahan hati, penulis memanjatkan puji syukur kepada
Tuhan Yang Maha Pengasih. Oleh karena pertolongan, bimbingan dan
karunia-Nya yang memampukan penulis menyelesaikan skripsi ini yang berjudul
“RESPON BUDAYA MASYARAKAT ATAS KONVERSI MINYAK
TANAH KE GAS ELPIJI” Studi Kasus Terhadap Masyarakat Peneriman
Kompor Gas Elpiji di Kelurahan Bintara, Bekasi Barat.
Penulis menyadari dengan usaha, pengetahuan dan kemampuan yang
dimiliki penulis, skripsi ini masih jauh kesempurnaan. Tidak lupa penulis
mengharapkan kritik dan saran yang ditujukan untuk kesempurnaan skripsi ini
dari semua pihak.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah banyak memperoleh bantuan,
dukungan serta bimbingan dari berbagai pihak. Sepatutnya penulis mengucapkan
terima kasih atas semua itu. Pada kesempatan ini, dengan hati yang tulus penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Drs. Humaizi, MA selaku Pembantu Dekan I atas fasilitas yang
telah diberikan kepada penulis.
3. Bapak Drs. Zulkifli Lubis, MA selaku Ketua Departeman Antropologi
4. Bapak Drs. Ermansyah, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing skripsi saya
yang telah bersedia membantu penulis dalam membimbing, mengarahkan
serta menyempurnakan di dalam penyusunan skripsi ini.
5. Ibu Dra. Tjut Syahriani, M.Soc., selaku Penasehat Akademik yang
memberikan perhatian dan mengingatkan penulis untuk segera
menyelesaikan skripsi ini.
6. Seluruh staf pengajar Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan
membekali penulis dengan ilmu.
7. Lurah dan karyawan Kelurahan Bintara, Bekasi Barat atas kerja samanya
dalam pemberian data kepada peneliti.
8. Penghargaan besar dan rasa terima kasih saya yang sebesar-besarnya
kepada kedua orang tua saya yang tercinta Papa M. Rajagukguk dan
Mama R. R. Saragi Napitu atas semua nasehat, kasih sayang,
menyemangati saya dalam menulis skripsi ini dan perjuangannya dalam
mewujudkan cita-cita anak-anaknya.
9. Adikku satu-satunya yang kusayang: Citra Ermas Victoria Rhoito
Dormatua Rajagukguk atas perhatian dan dukungan doa kepada penulis
sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
10.Spesial kepada Leonald Nainggolan yang tiada henti-hentinya memberikan
semangat dan mengingatkan penulis untuk mengerjakan skripsi ini hingga
11.Kepada teman-temanku Hertauli Monalysa Marpaung, Latifa Yusman
Panggabean, Frishayanie Nasution, Dina Rianti Gultom dan
teman-temanku stambuk 2004 yang selalu memberikan semangat dan kecerian
dalam keseharian penulis.
12.Kepada kerabat Antropologi yang tidak bisa disebutkan satu persatu,
penulis mengucapkan terima kasih.
Akhir kata atas bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, penulis
mendoakan semoga Tuhan selalu memberikan kasih karunia-Nya kepada kita
semua. Penulis berharap kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Medan, Oktober 2009
DAFTAR ISI
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian...6
1.4. Lokasi Penelitian...6
1.5. Tinjauan Pustaka...7
1.6. Metode Penelitian ...16
1.6.1. Tipe Penelitian...16
1.6.2. Teknik Pengumpulan Data ...16
1.7. Analisa Data...18
BAB II. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN, PENDUDUK DAN INFORMAN...19
2.1. Letak Lokasi dan Keadaan Geografis...19
2.2. Keadaan Penduduk...21
2.2.1. Tingkat Pendidikan...24
2.2.2. Mata Pencaharian dan Pendapatan...26
2.2.3. Pola Pemukiman...27
2.2.4. Sistem Religi...30
2.3. Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial...32
BAB III. KONVERSI MINYAK TANAH KE GAS...38
3.1. Dasar dan Tujuan dari Konversi Minyak tanah ke Gas...38
3.2. Kriteria Masyarakat Penerima Kompor dan Tabung Gas...41
3.3. Proses Pendistribusian...44
3.4. Proses Sosialisasi Pemerintah Kepada Masyarakat...50
3.4.1. Sosialisasi Pemerintah Tentang Kebijakan Tersebut...50
3.4.2. Sosialisasi Dalam Penggunaan Kompor Gas di Bintara...53
BAB IV. RESPON MASYARAKAT BETAWI ATAS PENERAPAN KOMPOR GAS...56
4.1. Respon Budaya yang Berwujud Ideasional...56
4.1.1. Pengetahuan...56
4.1.2. Nilai-Nilai Budaya...65
4.2. Respon Budaya yang Berwujud Perilaku...68
4.2.1. Hubungan Sosial Masyarakat Sebelum dan Setelah Adanya Konversi Minyak Tanah ke Gas...70
4.2.2. Struktur Sosial Masyarakat Betawi di Bintara...72
BAB V. KESIMPULAN...75
DAFTAR PUSTAKA...82
LAMPIRAN
1. Daftar Interview Guide dan Observasi
2. Daftar Informan
3. Daftar Istilah
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1. Rekapitulasi Penduduk Bintara Berdasarkan Kelompok Umur
2. Tabel 2. Rekapitulasi Penduduk Berdasarkan Kelompok Etnik
3. Tabel 3. Rekapitulasi Keluarga Menurut Status Pendidikan
4. Tabel 4. Rekapitulasi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
5. Tabel 5. Rekapitulasi Penduduk Berdasarkan Agama
6. Bagan 1. Bagan Garis Keturunan Bilateral
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 1. Pola Pemukiman di Bintara Dulunya Berkelompok
2. Gambar 2. Pola Pemukiman Saat Ini mengikuti Jalan Raya dan Rel Kereta Api
3. Gambar 3. Proses Pendistribusian
4. Gambar 4. Pembagian Kompor yang Berlebih
5. Gambar 5. Nenek Saini Memasak Menggunakan Kayu Bakar
6. Gambar 6. Kayu Untuk dijadikan Sebagai Bahan Bakar Dalam Memasak
7. Gambar 7. Masyarakat yang Masih Menggunakan Serbuk Kayu Untuk
Memasak
8. Gambar 8.Serbuk Kayu yang Digunakan Sebagai Bahan Bakar Untuk Memasak
9. Gambar 9. Kompor Minyak Tanah yang Digunakan Ibu Perni Untuk Memasak
10. Gambar 10. Kompor yang Dibagikan Kepada Masyarakat Salah Satunya
ABSTRAK
Cory Ester Pratini Rajagukguk 2009, judul “RESPON BUDAYA MASYARAKAT ATAS KONVERSI MINYAK TANAH KE GAS ELPIJI”. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 83 halaman, 5 tabel, 2 bagan, 10 gambar, 13 daftar pustaka dan sumber lain yang berasal dari internet dan surat kabar serta lampiran daftar wawancara, daftar informan serta ditambah lampiran surat penelitian.
Pembangunan yang sedang berjalan saat ini di Indonesia pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia secara menyeluruh. Akan tetapi membawa perubahan-perubahan dalam budaya masyarakatnya seperti pada etnis Betawi sendiri di daerah Bintara, Bekasi Barat. Pembangunan yang dimaksudkan adalah berupa sebuah kebijakan pemerintah untuk mengkonversi minyak tanah ke gas elpiji. Hal tersebut dikarenakan semakin menipisnya pasokan minyak bumi dan juga meningkatnya harga minyak dunia, sehingga pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan untuk mengkonversi minyak tanah ke gas. Namun hal tersebut membawa respon budaya pada masyarakat terutama di daerah yang pertama kali menjadi sasaran yaitu di daerah Bintara, Bekasi Barat.
Penelitian ini bertujuan melihat bagaimana respon budaya masyarakat terhadap pembangunan yang dilakukan pemerintah dalam hal ini adalah peralihan minyak tanah ke gas elpiji. Penelitian ini bertipekan ekplorasi deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan teknik observasi, wawancara mendalam dan studi kepustakaan.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa konversi minyak tanah ke gas elpiji yang dijalankan pemerintah secara umum berjalan dengan lancar. Namun hal tersebut juga banyak menimbulkan respon dari masyarakat dalam hal ini yang berkaitan dengan budaya. Respon yang diberikan masyarakat ada yang positif maupun negatif, sehingga dalam beberapa hal proses konversi juga mengalami kendala seperti dalam proses pendistribusian yang tidak merata dan tepat sasaran. Hal ini terjadi karena adanya perubahan pada nilai-nilai budaya, pengetahuan, hubungan sosial dan struktur sosial mereka pada masyarakat Betawi. Kesimpulan penelitian bahwa konversi menimbulkan respon budaya yang bervariasi dari masyarakat. Hal tesebut terlihat karena ada yang berubah dan ada yang tidak berubah hal yang berubah disini adalah pengetahuan mereka yang semakin bertambah dalam cara menggunakan kompor gas dan yang tidak berubah adalah struktur sosial masyarakatnya dimana dalam penelitian ini justru semakin mempertegas atau memperjelas tingkatan dalam struktur sosial mereka. Dengan kata lain respon budaya masyarakat atas konversi ini dapat dikatakan cukup baik.
ABSTRAK
Cory Ester Pratini Rajagukguk 2009, judul “RESPON BUDAYA MASYARAKAT ATAS KONVERSI MINYAK TANAH KE GAS ELPIJI”. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 83 halaman, 5 tabel, 2 bagan, 10 gambar, 13 daftar pustaka dan sumber lain yang berasal dari internet dan surat kabar serta lampiran daftar wawancara, daftar informan serta ditambah lampiran surat penelitian.
Pembangunan yang sedang berjalan saat ini di Indonesia pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia secara menyeluruh. Akan tetapi membawa perubahan-perubahan dalam budaya masyarakatnya seperti pada etnis Betawi sendiri di daerah Bintara, Bekasi Barat. Pembangunan yang dimaksudkan adalah berupa sebuah kebijakan pemerintah untuk mengkonversi minyak tanah ke gas elpiji. Hal tersebut dikarenakan semakin menipisnya pasokan minyak bumi dan juga meningkatnya harga minyak dunia, sehingga pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan untuk mengkonversi minyak tanah ke gas. Namun hal tersebut membawa respon budaya pada masyarakat terutama di daerah yang pertama kali menjadi sasaran yaitu di daerah Bintara, Bekasi Barat.
Penelitian ini bertujuan melihat bagaimana respon budaya masyarakat terhadap pembangunan yang dilakukan pemerintah dalam hal ini adalah peralihan minyak tanah ke gas elpiji. Penelitian ini bertipekan ekplorasi deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan teknik observasi, wawancara mendalam dan studi kepustakaan.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa konversi minyak tanah ke gas elpiji yang dijalankan pemerintah secara umum berjalan dengan lancar. Namun hal tersebut juga banyak menimbulkan respon dari masyarakat dalam hal ini yang berkaitan dengan budaya. Respon yang diberikan masyarakat ada yang positif maupun negatif, sehingga dalam beberapa hal proses konversi juga mengalami kendala seperti dalam proses pendistribusian yang tidak merata dan tepat sasaran. Hal ini terjadi karena adanya perubahan pada nilai-nilai budaya, pengetahuan, hubungan sosial dan struktur sosial mereka pada masyarakat Betawi. Kesimpulan penelitian bahwa konversi menimbulkan respon budaya yang bervariasi dari masyarakat. Hal tesebut terlihat karena ada yang berubah dan ada yang tidak berubah hal yang berubah disini adalah pengetahuan mereka yang semakin bertambah dalam cara menggunakan kompor gas dan yang tidak berubah adalah struktur sosial masyarakatnya dimana dalam penelitian ini justru semakin mempertegas atau memperjelas tingkatan dalam struktur sosial mereka. Dengan kata lain respon budaya masyarakat atas konversi ini dapat dikatakan cukup baik.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pembangunan nasional bangsa Indonesia yang sedang berjalan sekarang
ini, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara
menyeluruh. Hal ini berarti meningkatkan kesejahteraan yang mengarah pada
kualitas hidup manusianya. Tujuan nasional tersebut juga untuk memenuhi
kebutuhan pokok masyarakat, seperti: pangan, sandang, perumahan dan lain-lain.
Dalam hal pelaksanaannya di lapangan tidaklah semudah membalikkan telapak
tangan, harus disadari adanya berbagai hambatan dalam pencapaiannya.
Untuk itu keberhasilan pembangunan suatu negara tentunya harus di
dukung dengan keikutsertaan penduduk itu sendiri dalam pelaksanaannya. Dalam
hal ini penduduk sangat diharapkan partisipasi aktifnya dalam segala hal yang
berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan. Dengan adanya partisipasi dari
masyarakat maka sebuah pembangunan pun akan berjalan dengan lancar tanpa
adanya hambatan dari masyarakat sendiri.
Berbagai kendala tentunya banyak dihadapi oleh pelaku pembangunan itu
sendiri yaitu pemerintah. Berbagai terobosan baru yang dilakukan oleh
pemerintah dalam berbagai bidang telah dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari berbagai krisis yang terjadi di dunia dan lebih khususnya lagi di
Indonesia. Salah satu krisis yang sekarang melanda negeri Indonesia adalah krisis
telah menyebabkan terjadinya krisis. Saat ini Indonesia memang dikenal sebagai
negara penghasil minyak, akan tetapi keanehan yang terjadi adalah kelangkaan
bahan bakar minyak (BBM). Untuk itu pemerintah mengembangkan kebijakan
baru untuk mengatasi krisis energi ini.
Ada beberapa langkah yang dilakukan oleh pemerintah seperti
pengembangan biodiesel, pengurangan pasokan, penarikan subsidi untuk BBM
dan juga pengkonversian minyak tanah ke gas. Dalam pengkonversian minyak
tanah ke gas ini dinilai sebagai suatu solusi dan inovasi baru. Hal ini berdasarkan
ketersedian bahan bakar gas (BBG) yang lebih banyak dari pada bahan bakar
minyak (BBM).
Pengkonversian minyak tanah ke gas ini merupakan kebijakan yang dinilai
tepat oleh pemerintah. Berbagai pertimbangan yang dikeluarkan oleh pemerintah
seperti; ketersediaan bahan bakar gas yang lebih banyak, penghematan biaya dari
minyak tanah dibandingkan dengan gas, keefisienan dan keefektifan gas dalam
hal penggunaan gas. Untuk itu, kebijakan tersebut menjadi solusi bagi krisis yang
dihadapi Negara.
Lebih lanjut Dirjen Industri Mesin Logam Tekstil dan Aneka Departemen
Perindustrian (Depperin), Ansari Bukhari, pada seminar "Peran Tabung Baja
Dalam Mendukung Program Diversifikasi Minyak Tanah ke LPG", di Jakarta,
Jumat (29/8) menjelaskan bahwa konsumsi minyak tanah per tahun mencapai 10
juta kilo liter (KL) dan jika harga per liter mencapai Rp 6.000 hingga Rp 7.000
maka pengeluaran untuk minyak tanah dapat mencapai 60 triliun. Oleh sebab itu,
berbagai kekhawatiran itulah, maka pemerintah mengambil tindakan yang tegas
dalam hal konversi minyak tanah ke gas (www.jurnalnasional.com).
Namun, menurut Siswanto Ketua Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak
dan Gas Bumi (Hiswana Migas) program konversi minyak tanah ke gas
seharusnya sudah selesai akhir tahun ini. Secara bertahap penyaluran minyak
tanah dikurangi dan pada bulan Desember nanti agen tidak akan lagi mendapatkan
pasokan. Siswanto juga menambahkan meski sudah tak menyalurkan lagi ke dua
wilayah tersebut, yaitu di Sleman dan Yogyakarta, PT Pertamina diharapkan tetap
menyediakan minyak tanah untuk melayani permintaan masyarakat kecil
(www.jurnalnasional.com).
Keberadaan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah tanpa
memperhatikan apa yang dirasakan oleh masyarakat dengan pemaksaan
kebijakan, telah berdampak kepada masyarakat. Baik itu secara material maupun
inmaterial seperti perubahan budaya dan respon/tanggapan masyarakat tentang
diberlakukannya kebijakan pemerintah untuk mengkonversi minyak tanah ke gas.
Dengan lahirnya kebijakan baru maka berbagai kendala yang dihadapi dalam
pengkonversian minyak tanah ke gas, saat ini menimbulkan berbagai masalah
budaya yang disebabkan oleh konversi tersebut.
Kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa ada beberapa kasus yang
muncul akibat dari program konversi minyak tanah ke gas elpiji. Dalam hal ini
kasus yang terlihat adalah menghilangnya tabung gas dari masyarakat yang
disebabkan karena kurangnya pasokan yang diberikan oleh pihak pertamina. Hal
sehingga dalam pembuatan tabung gas tersebut pun belum bisa memadai dari
permintaan pasar (www.okezone.com).
Demikian halnya yang terjadi di daerah Jakarta. Persoalan distribusi
kompor dan tabung gas menjadi sebuah masalah yang belum terpecahkan. Hal ini
dikarenakan, kurangnya koordinasi terhadap masyarakat penerima kompor dan
tabung gas yang diakibatkan oleh kurangnya kerjasama antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah setempat, sehingga distribusi kompor dan tabung gas
menjadi tidak maksimal atau tidak tepat sasaran. Berkenaan dengan hal tersebut
Ketua Tim Terpadu Distribusi BBM. Slamet Singgih mengatakan kelangkaan itu
sebagai akibat tidak adanya penelitian terlebih dahulu dari BP Migas mengenai
kebutuhan nyata di masyarakat. Beliau juga mengatakan PT Pertamina tidak
melakukan pengawasan pendistribusian secara semestinya. Sementara itu, ketua
BP Migas sendiri mengatakan bahwa kelangkaan itu diakibatkan oleh penggunaan
di luar fungsinnya yaitu untuk penerangan, pompa air di musim kemarau,
campuran BBM untuk transportasi, penjualan ke industri dan penyelundupan
(Acara “Wanted” yang ditayangkan Anteve pada hari Senin 23 April 2007).
Selain kasus di atas beberapa kasus yang muncul di berbagai media massa
seperti; meledaknya tabung gas elpiji hasil dari subsidi di Jakarta Utara,
kelangkaan gas isi ulang sehingga tabung-tabung gas dibuang oleh masyarakat,
adanya kerugian pedagang minyak keliling dan pangkalan minyak tanah akibat
konversi tersebut dan berubahnya sebuah kebiasaan baru atau budaya baru di
menyebabkan munculnya berbagai masalah yang timbul di masyarakat, ini
merupakan pengaruh dari kebijakan pemerintah. Pengaruh ini ditimbulkan oleh
ketidaksesuaian budaya, karena kebijakan pemerintah belum tentu mendapat
respon yang positif yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan belum tentu
sesuai dengan yang sebagaimana diharapkan oleh masyarakat.
Berdasarkan kenyataan di atas penting kiranya mengkaji respon
masyarakat, dalam hal ini respon budaya, khususnya dalam hal konversi minyak
tanah ke gas elpiji. Hal ini dapat menunjukkan kebijakan pemerintah yang sesuai
ataupun tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan juga apakah sudah sesuai
dengan budaya masyarakat jika diterapkannya konversi minyak tanah ke gas
elpiji.
1.2.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya maka
masalah penelitian yang diajukan adalah bagaimana respon budaya masyarakat,
khususnya masyarakat Betawi, atas penerapan kompor gas dalam program
konversi minyak tanah ke gas elpiji ? Perumusan masalah tersebut diuraikan ke
dalam 5 (lima) pertanyaan penelitian yakni:
1. Apa dasar dan tujuan diberlakukannya program konversi minyak tanah ke
gas elpiji ?
3. Bagaimana sosialisasi dan pendistribusian kompor gas oleh pemerintah
atas program konversi minyak tanah ke gas pada masyarakat ?
4. Bagaimana pengetahuan dan nilai-nilai budaya masyarakat Betawi atas
penerapan kompor gas ?
5. Bagaimana hubungan sosial dan struktur sosial yang terjalin dalam
masyarakat Betawi setelah adanya penerapan kompor gas dimasyarakat ?
1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang respon budaya
masyarakat atas konversi minyak tanah ke gas elpiji sebagai suatu program
pembangunan untuk penghematan energi (sumber daya alam). Secara akademis,
penelitian ini dapat menambah wawasan keilmuan, khususnya Antropologi,
tentang penerapan salah satu program pemerintah dalam hal konversi minyak
tanah ke gas elpiji dalam rumah tangga. Secara praktis dapat memberikan
masukan bagi pihak-pihak berkepentingan khususnya pemerintah dalam hal
mensosialisasikan dan menerapkan suatu program pembangunan bagi masyarakat.
1.4.Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah Bekasi Barat tepatnya di Kelurahan
Bintara. Alasan pemilihan lokasi ini adalah karena Daerah ini merupakan salah
satu daerah yang menjadi sasaran program pemerintah atas konversi minyak tanah
dengan dari berbagai macam status sosialnya. Lokasi penelitian merupakan daerah
yang didominasi oleh mayoritas orang Betawi asli atau Kampung Betawi.
1.5.Tinjauan Pustaka
Setiap negara tentunya akan menjalankan berbagai program pembangunan
demi meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Kebanyakan dari
program pembangunan yang dijalankan pemerintah, seperti halnya pemerataan
kompor gas tentunya bersifat top-down. Bagi pemerintah sendiri, hal tersebut
dijalankan dengan berbagai pertimbangan tertentu. Dalam hal ini berbagai
program pembangunan dapat diwujudkan melalui inovasi yang diperluas melalui
difusi, untuk keperluan seluruh masyarakatnya.
Suatu gejala penting yang seringkali menyebabkan terjadinya inovasi
adalah penemuan baru dalam bidang teknologi. Untuk itu kita perlu mengerti
dahulu arti dari kata inovasi tersebut. Secara universal kata inovasi dapat diartikan
sebagai “proses” atau “hasil” pengembangan, pemanfaatan pengetahuan
keterampilan (termasuk keterampilan teknologis) dan pengalaman untuk
menciptakan atau memperbaiki produk (barang atau jasa), proses atau sistem yang
baru, yang memberikan nilai yang berarti atau secara signifikan (terutama
ekonomi dan sosial) (http://id.wikipedia.org/wiki/Inovasi). Dengan demikian
inovasi tersebut merupakan sebuah penemuan baru yang dapat berupa sebuah
kompor dan tabung gas elpiji ataupun sebuah gagasan atau ide-ide baru, yang
Pada masyarakat khususnya di negara berkembang, penyebarluasan
inovasi terjadi terus menerus dari suatu tempat ke tempat lain, dari bidang tertentu
ke bidang lain. Penyebarluasan inovasi menyebabkan masyarakat menjadi
berubah, menimbulkan berbagai respon sosial budaya dan merangsang orang
untuk menemukan dan menyebarkan hal-hal baru. Masuknya inovasi ke
tengah-tengah masyarakat disebabkan terjadinya interaksi antar anggota masyarakat.
Sebelum inovasi tersebut diterima masyarakat, baik inovasi itu berupa alat atau
ide yang diciptakan dalam masyarakat maka disebut dengan discovery. Setelah
diterima dan diakui penemuan baru tersebut barulah disebut dengan inovasi
(Linton dalam Koentjaraningrat 1990:109).
Salah satu inovasi yang dapat dijadikan contoh di atas adalah program
pemerintah tentang konversi minyak tanah ke gas elpiji di Indonesia saat ini.
Inovasi tersebut sebenarnya sudah ada akan tetapi baru diterapkan dan disebarkan
saat ini, yang dikarenakan oleh pasokan minyak bumi yang sudah mulai menipis
dan tingginya harga minyak mentah dunia yang menyebabkan perekonomian
Indonesia saat ini merosot dan mengharuskan masyarakat untuk dapat menerima
inovasi tersebut untuk keberlangsungan hidup masyarakat itu sendiri. Oleh karena
itu, pemerintah membuat sebuah kebijakan tentang konversi minyak tanah ke gas.
Rogers dan Shoemaker (1981) mengatakan bahwa penerapan inovasi
kepada suatu masyarakat tentunya tidak dapat berjalan mulus. Hal ini dikarenakan
masyarakat juga memiliki nilai-nilai tersendiri di dalam hal yang baru. Berbagai
alasan akan lahir dari masyarakat yang menjadi objek dari penerapan inovasi
cocok dengan nilai yang dianutnya pada saat itu. Ada juga masyarakat yang masih
meragukan akan inovasi baru yang dikarenakan sebagian nilainya cocok dengan
inovasi tersebut dan sebagian nilai lagi tidak. Ada pula masyarakat yang
benar-benar menolak inovasi tersebut dikarenakan inovasi tersebut tidak sesuai dengan
nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat tersebut.
Kesuksesan dan kegagalan terhadap penerapan inovasi yang berhubungan
dengan konversi minyak tanah ke gas telah banyak dipublikasikan di media
massa. Tidak hanya itu berbagai kasus yang adapun telah banyak ditulis oleh para
ahli dari berbagai disiplin ilmu maupun pemerintah. Baik itu mengenai kegagalan
konversi, perubahan budaya, respon masyarakat, keberhasilan konversi, dan
masalah-masalah lain yang ditimbulkannya.
Sebagai contoh, keberhasilan konversi minyak tanah ke gas yang terjadi di
Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Dalam pemberitaan tersebut dikatakan bahwa
Pemerintah Kota Pekalongan, Jawa Tengah, meminta agar konversi minyak tanah
ke gas segera dilaksanakan. Mengingat kelangkaan minyak tanah di Kota
Pekalongan dan sekitarnya kerap terjadi hingga menyulitkan warga, terutama
warga miskin yang mencapai 22.000 keluarga. Jadi dengan adanya konversi
minyak tanah ke gas ini telah memberikan kemudahan bagi warga miskin dalam
memperoleh bahan bakar. Selain itu masyarakat juga mengusulkan kepada
pemerintah dapat menambah daerah gerak konversi yang telah ada
(http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/news/artikel.php?aid=20571).
Selain itu, keberhasilan ini juga dirasakan oleh pemerintahan Kota
pemerintah yaitu pengembangan energi alternatif, telah membuat berbagai
fasilitasi pendukungan untuk kelangsungan program tersebut. Fasilitas tersebut
baik berupa program-program unggulan maupun rekomendasi teknis atas langkah
pengembangan energi alternatif1.
Kebijakan tersebut, dari sisi bahan baku yang dikembangkan yaitu gas
sangat relevan karena potensi gas di Indonesia tersebar di beberapa daerah dan
jumlahnya cukup besar. Keadaan tersebut juga nampak di Jawa Barat sebab
mempunyai potensi gas alam dalam jumlah yang cukup besar. Perhatian Jawa
Barat terhadap kebutuhan energi bagi masyarakat miskin sudah direalisasikan
melalui berbagai program pengembangan energi alternatif. Di beberapa tempat
telah dikembangkan beberapa jenis energi alternatif antara lain: biogas, mikro
hidro dan energi surya. Program-program tersebut diharapkan secara bertahap
dapat membantu memenuhi kebutuhan energi masyarakat miskin yang jumlahnya
di Jawa Barat mencapai lebih dari 10 juta orang. Program tersebut, di sisi lain
diharapkan dapat mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap penggunaan
BBM (www.jabar.go.id).
Di samping adanya keberhasilan pemerintah dalam pengembangan
konversi minyak tanah ke gas, terdapat juga banyak kegagalan pemerintah dalam
penyaluran konversi minyak tanah ke gas. Banyak masyarakat yang tidak mau
menerima perubahan tersebut sehubungan dengan budaya yang mereka miliki.
Berbagai alasan terlontar dari mulut masyarakat Indonesia, seperti beberapa kasus
yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia.
1
Sebagai contoh, kasus yang terjadi di Jawa Tengah Kabupaten Kendal.
Pemerintah diminta meninjau ulang program konversi minyak tanah ke bahan
bakar gas atau LPG (liquefied petroleum gas). Hal ini dikarenakan masyarakatnya
yang belum sepenuhnya menerima program konversi minyak tanah ke gas elpiji
yang disebabkan karena, masyarakatnya masih ragu, takut dan kurangnya
sosialisasi untuk menggunakan kompor dan tabung gas yang diberikan secara
gratis. Hal tersebut karena, tingkat kualitas keamanan kompor gas yang diberikan
pada masyarakat kurang menjamin pada masyarakat. Hal tersebut perlu dilakukan
karena pengetahuan masyarakat hanya baru sebatas penggunaan kompor minyak
tanah, sehingga pemerintah perlu lagi menerapkan cara penggunaan kompor gas
elpiji (http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=141801).
Kasus yang lain juga terjadi di Jakarta. Konversi minyak tanah ke LPG
(liquefied petroleum gas) ternyata justru jadi polemik tersendiri bagi warga,
karena tiba-tiba minyak tanah menghilang. Sementara minyak tanah masih sangat
dibutuhkan rakyat miskin yang tak mampu membeli gas. Memang masyarakat
telah mendapatkan tabung gas gratis dalam kemasan 3 kilogram, namun
pemerintah seharusnya mengetahui bahwa masyarakat Indonesia tidak semuanya
siap untuk menggunakan gas elpiji dalam kehidupan sehari-hari. Belum lagi
dalam kenyataan, pasokan gas LPG di beberapa wilayah yang jadi target konversi
justru pengirimannya tidak lancar, sehingga banyak agen LPG yang mengalami
kekosongan dan sudah bisa dipastikan hal ini tentunya sangat menyulitkan bagi
Rencana konversi dari minyak tanah ke gas LPG terkesan terburu-buru dan
tidak terencana. Padahal konversi tersebut melibatkan Pertamina, Departemen
Perindustrian, Kementerian Koperasi dan UKM, Departemen Keuangan,
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan lembaga pelaksana di
daerah," ungkap Suharto, Direktur Pusat Pengkajian Ekonomi (PPE)
(http://www.jawapos.co.id).
Untuk itu pemerintah tidak cukup dalam melakukan sosialisasi. Demikian
juga dalam penyiapan kondisi masyarakat untuk siap kepada budaya baru dalam
menggunakan energi. Suharto juga mengatakan bahwa Pemerintah belum dapat
menjamin jika terjadi konversi minyak tanah ke gas tersebut tidak ada kelangkaan
gas, ternyata pemerintah pun belum dapat menjaminnya. Kenyataan di lapangan
memperlihatkan kelangkaan BBM mengakibatkan terjadinya praktik pengoplosan,
penimbunan BBM oleh oknum pedagang atau distributor serta naiknya harga
secara prematur (terlalu dini) dan kenaikan juga terjadi sebelum waktu yang
diprediksikan, seperti lebaran, tahun baru dan natal.
Implikasi atau kesimpulan yang muncul dari adanya kebijakan
terburu-buru ini akan menimbulkan problem sosial-ekonomi yang tinggi. Penolakan oleh
masyarakat dimungkinkan karena secara teknis tidak mudah mengubah budaya
memakai kompor minyak tanah ke kompor gas. Semestinya pemerintah menunda
dulu dan membutuhkan waktu untuk transisi. Kenyataannya pemerintah hanya
menghitung nilai konversi subsidi yang terkurangi tanpa memperhitungkan resiko
intangible (hal-hal yang tidak dapat diraba) seperti hilangnya pekerjaan pedagang
Selain itu, bagi penerima kompor dan gas elpiji pun memunculkan sebuah
respon yang bersifat kultural atau yang disebut sebagai respon budaya. Untuk
menjelaskan pengertian respon budaya maka terlebih dahulu didefinisikan apa
yang dimaksud dengan respon dan budaya. Respon adalah tanggapan atau
perilaku yang muncul dikarenakan adanya rangsang dari lingkungan, seperti
halnya yang terjadi saat ini tentang inovasi yaitu pemakaian kompor dan gas elpiji
yang telah menimbulkan banyaknya tanggapan masyarakat baik berupa ekonomi
maupun budaya. Jika rangsangan dan respon dipasangkan atau dikondisikan maka
akan membentuk tingkah laku baru terhadap rangsang yang dikondisikan
(http://id.wikipedia.org/wiki/Respon).
Sedangkan budaya atau kebudayaan adalah merupakan keseluruhan sistem
gagasan, tindakan serta hasil karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan
bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar. Dengan demikian semua
tindakan manusia adalah kebudayaan. Hal tersebut karena, jumlah kegiatan dalam
kehidupan masyarakat yang dibiasakannya dengan belajar tidak terbatas
(Koentjaraningrat, 1996).
Lebih lanjut dijelaskan Koentjaraningrat bahwa kebudayaan menempati
posisi sentral dalam sebuah tatanan hidup manusia. Tidak ada manusia yang dapat
hidup di luar ruang lingkup kebudayaan. Kebudayaanlah yang memberi nilai dan
makna pada hidup manusia. Seluruh bangunan hidup manusia dan masyarakat
berdiri diatas landasan kebudayaan. Dengan kebudayaan yang dimilikinya akan
sosial. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa kebudayaan merupakan manifestasi
dari kepribadian suatu masyarakat.
Kebudayaan terwujud dalam tiga bentuk yaitu:
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola
dari manusia dalam bermasyarakat.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud Ideel dari kebudayaan bersifat abstrak, karena tidak dapat diraba
dan difoto sehingga hanya dapat dipahami oleh masyarakat karena berada dalam
alam pikiran manusia. Lapisan paling abstrak adalah sistem nilai budaya karena
terdiri dari konsep-konsep dan gagasan-gagasan yang dinilai penting oleh
masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan lapisan yang konkret adalah sistem
norma atau hukum, seperti pendidikan, kesenian, ekonomi dan sebagainya.
Wujud tindakan masyarakat bersifat konkret, bisa dilihat dan difoto,
karena terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berhubungan dan saling
berinteraksi satu dengan yang lain berdasarkan tata kelakuan. Wujud yang terakhir
adalah hasil karya manusia yang bersifat konkret, karena merupakan hasil karya
manusia dari aktivitasnya sehingga dapat dilihat, diraba dan difoto. Ketiga wujud
kebudayaan tersebut memiliki keterkaitan satu sama lainnya, sehingga tidak dapat
dipisahkan. Kebudayaan ideel dan adat istiadatlah yang mengatur dan memberi
Berkenaan dengan definisi respon dan budaya yang dijelaskan di atas
maka respon budaya adalah tanggapan terhadap perubahan yang terkait dengan
wujud ideel, aktivitas dan artefak pada suatu kebudayaan masyarakat. Respon
budaya yang terkait dengan wujud ideel dapat berupa pengetahuan, nilai-nilai
budaya, ide-ide atau gagasan serta pandangan masyarakat yang bersifat abstrak
dan dapat menimbulkan reaksi dari masyarakat jika wujud ideel itu berubah di
dalam masyarakat. Respon budaya yang terkait dengan aktifitas dapat berupa pola
perilaku masyarakat, hubungan sosial dan struktur sosial masyarakat yang dapat
dilihat dari kebiasaan yang masyarakat lakukan sehari-hari. Hal tersebut dapat
menimbulkan tanggapan jika terjadi suatu perubahan dari kebiasaan mereka
sehari-hari. Sedangkan respon budaya yang terkait dengan artefak dapat berupa
penggunaan kompor gas pada masyarakat yang menyebabkan perubahan dalam
pola pengetahuan mereka yang sebelumnya masyarakat masih menggunakan
kompor minyak tanah lalu digantikan dengan kompor gas, sehingga hal ini dapat
menimbulkan tanggapan atau pun respon masyarakat yang menjadi sasaran
program.
Dari berbagai respon budaya tersebut maka, yang menjadi kajian
penelitian adalah respon budaya yang terkait dengan wujud ideel dan wujud
aktifitas dimana dari kedua wujud budaya tersebut memiliki cakupan yang
berbeda-beda. Wujud ideel sendiri mencakup pengetahuan, nilai-nilai budaya
masyarakat. Sedangkan, wujud aktifitas yang terkait dengan hubungan sosial dan
struktur sosial masyarakat setelah diberlakukannya konversi minyak tanah ke gas
1.6.Metode Penelitian
1.6.1. Tipe Penelitan
Penelitian ini menggunakan tipe eksploratif deskriptif dengan
menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan menggambarkan bagaimana
respon atau tanggapan masyarakat penerima program tersebut. Dalam hal ini
mengkaji pengetahuan, nilai-nilai budaya dan pola perilaku yang terjalin dalam
masyarakat setelah adanya konversi minyak tanah ke gas. Selain itu juga, untuk
melihat bagaimana proses pendistribusian dan pembagian kompor gas sebagai
sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemeintah.
1.6.2. Teknik Pengumpulan Data
Data dapat dikategorikan atas 2 (dua) bentuk yakni data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data utama yang diperoleh melalui teknik
observasi dan wawancara mendalam yang dilakukan di lapangan. Sedangkan data
sekunder merupakan data yang diperoleh dari lapangan dan berbagai buku, jurnal
dan lainnya sebagai kelengkapan data primer. Buku, jurnal dan yang lainnya
diarahkan untuk mendapatkan gambaran-gambaran mengenai data kependudukan
yang menjadi sasaran porgram, teori-teori yang mendukung masalah penelitian,
dan lainnya.
Adapun hal yang diobservasi adalah proses pendistribusian kompor gas
kepada masyarakat, pola tingkah laku atau hubungan sosial masyarakat setelah
dijalankannya konversi minyak tanah ke gas elpiji dan cara masyarakat dalam
dengan kamera foto digunakan sebagai bukti dari penelitian dan untuk
mengabadikan hal-hal yang tidak terobservasi peneliti di lapangan
Wawancara mendalam dilakukan dengan bantuan pedoman wawancara.
Wawancara dilakukan terhadap informan kunci dan informan biasa. Informan
kunci merupakan orang-orang yang berperan dan memahami masalah penelitian.
Dalam hal ini informan kunci adalah pihak Pertamina, Lurah, Ketua RT (rukun
tetangga) / RW (rukun warga), tokoh masyarakat dan lainnya. Sedangkan,
informan biasa merupakan orang-orang yang memberikan informasi mengenai
suatu masalah sesuai dengan pengetahuannya dan bukan ahlinya. Dalam
penelitian ini yang menjadi informan biasa adalah masyarakat penerima program
konversi yang menggunakan maupun yang tidak menggunakan kompor dan gas
elpiji tersebut di sekitar lokasi penelitian.
Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan secara purposif atau
bertujuan dalam arti bahwa orang-orang yang akan dipilih menjadi informan
sudah diketahui oleh peneliti. Penentuan informan biasa didasarkan atas kriteria
masyarakat penerima program yang menggunakan maupun yang tidak
menggunakan kompor gas, jenis kelamin, status sosial, lama tinggal dan lainnya.
Dalam penelitian ini jumlah informan disesuaikan dengan kebutuhan data.
Wawancara mendalam yang ditujukan kepada informan kunci yaitu
mengenai dasar diberlakukannya program konversi minyak tanah ke gas, proses
pendistribusian, sosialisasi pemerintah kepada masyarakat atas program konversi
tersebut, dan kriteria masyarakat yang patut mendapatkan kompor dan gas elpiji
yaitu mengenai pengetahuan, nilai-nilai budaya masyarakat atas penerapan dalam
penggunaan kompor gas, struktur dan hubungan sosial dalam hal ini pola perilaku
masyarakat yang terjalin serta pandangan masyarakat dengan adanya penerapan
kompor gas. Wawancara mendalam yang dilakukan menggunakan Tape Recorder
sebagai alat bantu karena daya ingat peneliti yang terbatas, sehingga hal-hal yang
terlupakan dapat dicatat kembali oleh peneliti.
1.7.Analisa Data
Analisa data yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan kualitatif.
Data dan informasi yang didapat dari lapangan nantinya akan diteliti kembali. Hal
tersebut dilakukan untuk melihat kelengkapan hasil dari observasi dan wawancara
kepada informan ( sesuai daftar interview guide yang dibuat peneliti). Setelah
semua selesai lalu disusun menurut kelompoknya dan secara sistematis
berdasarkan kategori yang dibuat peneliti.
Akhirnya seluruh data dilihat kaitannya satu dengan yang lain dan
diinterpretasikan secara kualitatif. Sedangkan, data yang bersifat kuantitatif2
hanya melengkapi analisa data kualitatif. Analisa data dilakukan mulai pada saat
meneliti atau selama proses pengumpulan data berlangsung hingga penulisan
laporan penelitian.
2
BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENLITIAN, PENDUDUK DAN
INFORMAN
2.1. Letak Lokasi dan Keadaan Geografis
Bintara merupakan salah satu daerah yang terletak di wilayah Bekasi Barat
dan sudah termasuk daerah ibu kota Propinsi Jawa Barat. Bintara merupakan
daerah yang terletak tidak jauh dari Kecamatan Bekasi Barat yaitu kira-kira
berjarak 8 km dari Kelurahan Bintara berjarak sekitar 1 km dari lokasi penelitian.
Jarak Bintara ke ibu Kotamadya Bekasi kira-kira 15 km, sedangkan jarak Bintara
ke ibu kota Propinsi Jawa Barat 160 km. Bintara juga merupakan daerah
perbatasan wilayah Cakung, Jakarta Timur. Oleh karena itu, Bintara merupakan
daerah maju dan daerah yang mudah dijangkau dengan transportasi.
Di tahun 1990-an daerah Bintara masih merupakan areal persawahaan dan
perkebunan. Adapun rumah penduduk di wilayah Bintara ini masih terbilang
sedikit dan rata-rata penduduknya adalah orang etnis Betawi. Dengan
berkembangnya jaman dan semakin pesatnya pembangunan maka daerah Bintara
berubah menjadi daerah perumahan dan pertokoan.
Data yang diperoleh dari kantor Kelurahan Bekasi Barat luas wilayah
daerah Bintara sekitar 328,02 Ha. Wilayah Bintara ini dimanfaatkan sebagai Ruko
(rumah toko), tempat perbelanjaan atau pasar, tempat ibadah, puskesmas, sekolah,
dan selebihnya pemukiman penduduk. Hal di atas menyebabkan masyarakat asli
dari pendatang baru karena telah banyak terjadi perkembangan yang disebabkan
oleh banyaknya pemabangunan yang ada.
Wilayah Bintara yang luasnya sekitar 328,02 Ha dibagi menjadi delapan
(8) bagian yang disebut dengan Bintara I (satu) hingga Bintara VIII (delapan).
Disetiap wilayah yang ada di Bintara mempunyai 15 (lima belas) Rukun Warga
(Rw) dan 142 (seratus empat puluh dua) Rukun Tetangga (RT). Masing-masing
wilayah yang ada di Kelurahan Bintara dipimpin oleh kepala RW dibantu dengan
kepala RT yang berfungsi mempercepat proses administrasi di daerah Kelurahan
Bintara.
Secara administratif Bintara berbatasan dengan wilayah lain yakni:
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kel. Kota Baru
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kel. Pondok Kopi (DKI Jakarta)
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kel. Bintara Jaya
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kel Kranji
Bintara merupakan daerah yang cukup startegis, karena daerahnya yang
terletak di tengah-tengah wilayah Jawa Barat dan Jakarta, dan daerah ini dibuat
menjadi daerah perbatasan. Selain itu, masyarakatnya yang dulu masih hidup dari
penghasilan dengan berkebun, sekarang mereka juga menghidupi dirinya sebagai
pedagang dan pegawai negeri maupun swasta. Hal ini dikarenakan sudah banyak
pendatang yang berdomisili di Bintara tersebut, sehingga sosialisasi masyarakat
2.2. Keadaan Penduduk
Masyarakat di daerah Bintara memiliki jumlah penduduk sebanyak 48.745
jiwa, dan 11.695 Kepala Keluarga. Berikut adalah tabel jumlah Kelurahan Bintara
berdasarkan umur.
Tabel. 1.
Rekapitulasi Penduduk Bintara Berdasarkan Kelompok Umur
NO. UMUR JUMLAH
Sumber : Data Kelurahan Bintara Tahun 2008
Dari data di atas dapat dilihat bahwa pertumbuhan masyarakat yang ada di
Bintara sangat pesat terlihat dari masih banyaknya anak-anak umur usia 0-4 tahun
mencapai 5969 jiwa dan 5-9 tahun mencapai 4873 jiwa. Hal ini berarti
menunjukan tingkat reproduksi masyarakatnya yang sangat pesat. Selain itu,
masyarakat di Bintara tersebut terlihat lebih banyak masyarakatnya yang dapat
dikatakan melihat dari golongan umurnya yang masih Produktif sekitar 81%
dapat dikatakan masyarakat yang berada di Bintara ini seharusnya kehidupan
ekonominya harus lebih baik, karena masih lebih banyak masyarakat yang
produktif dibandingkan masyarakat yang tidak produktif lagi.
Namun, hal tersebut lain faktanya yang terjadi bahwa masyarakat yang ada
di Bintara terutama etnis Betawinya kehidupan ekonomi tidak seluruhnya baik.
Hal tersebut karena, masyarakat yang masih produktif tidak semuanya
mempunyai pekerjaan yang layak karena, rata-rata karyawan yang bekerja di
daerah sekitar Bintara tersebut adalah masyarakat yang bukan setempat akan
tetapi masyarakat yang dari daerah lain. Untuk itu mereka menghidupi dirinya
sehari-hari dengan hanya berjualan kelontong atau warung dan sebagai tukang
ojek (pengendara motor), sehingga untuk mencukupi kebutuhannya pun kurang.
Untuk itu produktifitas masyarakat di Bintara tidak begitu baik.
Masyarakat yang berada di Bintara terdiri dari beberapa suku seperti
Betawi, Batak, Jawa, Sunda dan suku lainnya. Setiap suku yang ada di Bintara
juga memiliki bahasa sendiri. Namun, dalam pergaulan hidup sehari-hari
masyarakat yang ada yang ada di Bintara menggunakan bahasa Indonesia
meskipun ada beberapa masyarakat yang menggunakan bahasa daerahnya apabila
bertemu dengan orang yang sesuku dengannya.
Mayoritas masyarakat Bintara pada umumnya adalah masyarakat Betawi.
Betawi sendiri terbagi lagi menjadi 2 (dua) yaitu Betawi Kota dan Betawi Ora.
Betawi Kota adalah masyarakat Betawi yang telah banyak menerima pengaruh
dari etnis lain, sehingga cara hidup mereka dan budaya mereka pun sudah
masyarakat asli Kota Jakarta dan mereka secara ketat dan konsisten menyandang
tradisi Betawi dan tidak banyak menerima pengaruh dari budaya di luar Betawi.
Selain menurut pengertiannya Betawi juga dibedakan menurut lokasi
persebarannya yaitu Betawi Tengah, Betawi Udik dan Betawi Pinggiran3.
Masyarakat Betawi yang ada di Bintara adalah masyarakat Betawi yang disebut
Betawi Udik. Hal ini karena, selain masyarakatnya yang di pengaruhi oleh
kebudayaan sunda dan juga karena umumnya ekonomi mereka yang rendah yang
hanya bertumpu pada sektor pertanian. Selebihnya masyarakat yang tinggal di
Bintara adalah etnis lain.
Dengan semakin berkembangnnya daerah tersebut menyebabkan
masyarakat asli (Betawi) secara otomatis interaksi antara etnis yang satu dengan
etnis lain pun terjadi sehingga masyarakat Betawi sendiri mulai tergeser dari
daerah mereka. Walaupun demikian sosialisasi dan interaksi mereka dengan etnis
lain terjalin cukup baik hingga sekarang. Berikut adalah tabel jumlah penduduk
berdasarkan kelompok etnik.
3
. Betawi Tengah merupakan penduduk asli Betawi dan terletak di bagian tengah kota Jakarta yang dulu merupakan keresidenan Batavia dan sekarang termasuk Jakarta Pusat. Akan tetapi, tingkat perkawinan campur mereka cukup tinggi dibandingkan dengan orang Betawi yang lain. Berdasarkan tingkat ekonomi dan pendidikannya pun mereka termasuk yang paling tinggi karena, tidak hanya dalam negeri saja mereka bersekolah bahkan banyak juga anak mereka yang bersekolah di luar negeri.
Betawi Udik merupakan penduduk asli Betawi dan ada dua (2) tipe Betawi udik, yaitu mereka yang tinggal di daerah utara dan barat bagian Jakarta maupun tangerang dan mereka sangat dipengaruhi oleh kebudayaan cina dan lainnya adalah mereka yang tinggal di sebelah timur maupun selatan Jakarta. Secara ekonomi pada umumnya Betawi Udik berasal dari ekonomi bawah dibandingkan dengan Betawi Tengah dan Pinggir, dimana sebagian besar mereka bertumpu pada bidang pertanian. Dari segi tingkat pendidikan Betawi Udik masih tergolong rendah dibandingkan dengan taraf pendidikan Betawi Tengah dan Pinggir. Walaupun demikian mereka sangat menjunjung pendidikan agamanya.
Tabel. 2.
Rekapitulasi Penduduk Berdasarkan Kelompok Etnik
NO. KELOMPOK ETNIK JUMLAH JIWA
1. Betawi 15183
2. Jawa 10329
3. Batak 6852
4. Sunda 7912
5. Dll 8469
JUMLAH ETNIS 48745 Jiwa
Sumber : Data Kelurahan Bintara Tahun 2008
2.2.1. Tingkat Pendidikan
Secara Umum
Tingkat pendidikan di Bintara ini sudah dapat dikatakan baik. Hal ini
dikarenakan sudah banyak kemajuan teknologi yang terjadi di daerah Bintara
tersebut. Dari data yang di dapat dari Kelurahan Bintara bahwa tingkat pendidikan
di daerah ini rata-rata mengenyam pendidikan mulai dari tingkat sekolah dasar
hingga Perguruan Tinggi sudah lebih banyak hingga mencapai 98 % di
bandingkan dengan yang belum mengenyam pendidikan yaitu sekitar 2 %. Hal ini
disebabkan karena tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan
sudah semakin meningkat. Selain itu juga untuk mendapatkan penghidupan yang
layak dan juga status sosial yang lebih baik di masyarakat.
Rekapitulasi Keluarga Menurut Status Pendidikan
NO
RUKUN WARGA
(RW)
JUMLAH KELUARGA MENURUT STATUS PENDIDIKAN
Belum
JUMLAH 702 3742 6432 819 11695
Sumber: Data Kelurahan Bintara Tahun 2008
Secara Khusus.
Berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan mengenai tingkat
pendidikan para informan khusus dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan
dikalangan informan masih tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dari jumlah
keseluruhan dari informan yang mengenyam pendidikan sampai tingkat SLTP
hanya mencapai sekitar 30 % dari keseluruhan informan. Dengan demikian
persentase tersebut menunjukkan bahwa tingkat pendidikan bukanlah menjadi
sesuatu yang sangat penting di kalangan informan.
Adapun yang menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor ekonomi, karena kurangnnya
sangat minim yang hanya bekerja sebagai buruh atau pun pedagang yang menjual
sayur-sayuran ataupun buah-buahan. Selain itu faktor gender juga sangat memberi
pengaruh yang cukup kuat, dimana sebagian dari para informan berpikir bahwa
seorang wanita tidak perlu sekolah tinggi karena setelah lulus mereka tetap akan
menjadi seorang ibu rumah tangga yang bekerja hanya di rumah saja. Oleh karena
itu pendidikan yang sangat minim dikalangan informan sangat mempengaruhi
pengetahuan mereka juga.
2.2.2. Mata Pencaharian dan Pendapatan
Secara Umum
Adapun mata pencaharian masyarakat di kelurahan Bintara pada umumnya
adalah pegawai baik negeri maupun swasta, buruh lepas, wiraswasta serta
pedagang. Berikut ini adalah tabel yang menjelaskan tentang keadaan mata
pencaharian penduduk di Kelurahan Bintara.
Pada tabel di bawah menunjukkan bahwa produktifitas masyarakat yang
bekerja di daerah Bintara sangat banyak sekitar 95 % di bandingkan dengan
masyarakat yang tidak bekerja sekitar 5 % dari total seluruh masyarakat yang ada
di Bintara. Hal ini disebabkan karena pembangunan daerah atau pun lapangan
pekerjaan yang ada di daerah tersebut sangat berkembang pesat, sehingga dapat
memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat di Bintara.
Rekapitulasi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
NO JENIS MATA PENCAHARIAN JUMLAH JIWA
1. Buruh 9970
2. Pegawai negeri 6595
3. Pegawai swasta 9941
4. Wiraswasta 6745
5. Pedagang 9725
JUMLAH 42.976 Jiwa
Sumber: Data Kelurahan Bintara Tahun 2008
Secara Khusus
Secara khusus mata pencaharian para informan khusus yang ada di Bintara
adalah didominasi oleh buruh dan pedagang. Namun disamping itu ada sebagian
kecil dari mereka yang bekerja sebagai pegawai baik negeri maupun swasta. Hal
yang menyebabkan pekerjaan mereka yang paling mendimonasi adalah berdagang
atau buruh karena pengetahuan mereka tentang teknologi yang mereka tahu masih
minim. Adapun informan khusus yang menjadi perhatian penulis adalah
masyarakat pribumi dalam hal ini masyarakat Betawi yang ada di Bintara.
2.2.3. Pola Pemukiman
Pola pemukiman menunjukkan tempat bermukim manusia dan bertempat
tinggal menetap dan melakukan kegiatan atau pun aktivitas sehari-harinya.
Permukiman dapat diartikan sebagai suatu tempat (ruang) atau suatu daerah
setempat, untuk mempertahankan, melangsungkan, dan mengembangkan
hidupnya.
Pola pemukiman merupakan sifat persebaran, dan lebih banyak berkaitan
dengan akibat faktor-faktor ekonomi, sejarah dan faktor budaya. Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa pola pemukiman penduduk adalah bentuk
persebaran tempat tinggal penduduk berdasarkan kondisi alam dan aktivitas
penduduknya. Selain berdasarkan kondisi alam dan aktivitas penduduknya pola
pemukiman yang ada di Bintara sudah menjadi ciri khas masyarakat yang tinggal
di daerah tersebut.
Secara umum masyarakat yang berada di Bintara mempunyai pola
pemukiman yang berkelompok dimana pada masyarakat dahulu lebih cenderung
rumah mereka berdekatan dengan keluarga mereka sendiri, dan selebihnya lahan
kosong di daerah lainnya dan 10 meter hingga lebih adalah lahan kosong,
sehingga hal ini masih membuat pola pemukiman mereka berkelompok. Seiring
berkembangnya jaman di daerah pemukiman mereka pun semakin banyak
berubah. Hal ini disebabkan karena telah banyak terjadi pembangunan seperti
ruko (rumah toko), perumahan elite, jalan-jalan alternatif atau jalan tol, tempat
perbelanjaan (supermarket dan mall). Oleh karena itu, pola pemukiman yang
berada di Bintara berubah menjadi pola pemukiman yang menyebar dan pola
pemukimannya pun mengikuti jalan raya, rel kereta api, dan lainnya.
Namun semenjak semakin sulitnya dan meningkatnya taraf kehidupan di
di atas tanah pemerintah yang seharus bukan untuk dibangun menjadi tempat
tinggal. Dapat dilihat di bawah jembatan jalan tol (jalan alternative) yang berada
di Bintara banyak sekali terdapat rumah-rumah kumuh yang dibangun dan
warung-warung nasi atau warung kelontong. Dengan demikian, pola pemukiman
yang ada di Bintara menjadi berubah tidak tertata rapi yang diakibatkan karena
total
Gambar 1.
Pola Pemukiman di Bintara dulunya Berkelompok
Pola pemukiman berkelompok biasanya terdapat di dataran rendah dah
biasanya terdapat di daerah-daerah pedesaan. Kondisi ini berpengaruh terhadap
tingkat kesuburan tanah dan kondisi alam daerah tersebut. Selain itu kondisi ini
akan berpengaruh pada pola pemukiman penduduk di daerah itu, sperti di daerah
Gambar 2.
Pola Pemukiman Saat Ini Mengikuti Jalan dan Rel Kereta Api
2.2.4. Sistem Religi
Masyarakat Betawi umumnya mayoritas beragama Islam. Pengaruh Islam
yang kuat ini disebabkan oleh sejarah kota Jakarta yang dulunya merupakan
pelabuhan yang banyak didatangi oleh pedagang dari Arab dan Gujarat yang
membawa agama Islam. Hal ini juga terlihat pada masyarakat Betawi di Bintara
umumnya mayoritas beragama Islam sebagian kecil lainnya beragama Kristen.
Adapun suku Betawi yang beragama Kristen dan katholik mereka menyatakan
bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa
Portugis.
Di wilayah Bintara terdapat bangunan tempat ibadah yaitu mesjid
sebanyak 18 buah dan mushola sebanyak 48 buah. Gereja terdapat 1 buah saja,
sedangkan tempat ibadah umat Budha yaitu vihara tidak ada sama sekali. Berikut
Tabel 5
Rekapitulasi Penduduk Berdasarkan Agama
NO. AGAMA JUMLAH
1. ISLAM 29438
2. KRISTEN PROTESTAN 8942
3. KATHOLIK 6706
4. BUDHA 2422
5. HINDU 1237
JUMLAH 48745 Jiwa
Sumber: Data Kelurahan Bintara Tahun 2008
Masyarakat Bintara ini hidup rukun beragama dengan toleransi yang
cukup tinggi, mereka tidak mengindahkan perbedaan agama. Masyarakat lebih
cenderung pada hubungan saling membantu dan akrab satu sama lain mereka pun
saling tolong menolong jika ada diantara umat beragama tersebut mengadakan
sebuah acara keagamaan atau hari-hari besar agama. Mereka juga menjaga
keamanan dan kenyamanan bersama dan saling bertenggang rasa jika ada salah
satu agama sedang beribadah.
Di samping itu, pada hari-hari besar seperti hari Raya Idul Fitri, umat
Islam memberikan kue kepada tetangganya yang beragama lain dan begitu juga
sebaliknya. Terdapat juga organisasi pemuda-pemudi dari berbagai agama yang
ada di daerah tersebut seperti Karang Taruna. Selain itu juga, pada acara-acara
seperti pernikahan, kematian, sunatan, ulang tahun dan lain sebagainya
masyarakat di Bintara juga saling membantu dan saling mengundang tanpa ada
membedakan agama.
Organisasi yang dijalankan oleh pemuda-pemudi dari berbagai agama
17 Agustus mereka beramai-ramai bekerja sama untuk membuat acara ataupun
menghiasi wilayah yang ada di Bintara seperti membuat bendera di sepanjang
jalanan umum atau pun bergotong royong membersihkan lingkungannya
masing-masing. Tidak hanya dalam acara hari-hari kenegaraan atau pun acara hari-hari
besar keagamaan saja, tetapi mereka juga bergerak dalam bidang kemanusiaan
seperti jika terjadi banjir atau pun ada salah satu masyarakat yang mengadakan
hajatan atau dirundung kesedihan (kematian).
Organisasi yang di gerakkan oleh pemuda/pemudi karang taruna ini sangat
bermanfaat untuk melatih generasi baru dalam melatih kreatifitas mereka sendiri.
Dapat terlihat pada masyarakat di wilayah Bintara di RW 06 mereka menamai
karang taruna mereka dengan nama Rhumba. Mereka membuat tempat untuk
pencuci mobil dan motor yang terbuka untuk umum, dan dana yang mereka
dapatkan nanti digunakan untuk kegiatan mereka seperti membuat parade musik
atau pun kegiatan lainnya.
2.3. Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial.
Kesatuan kekerabatan yang terkenal pada masyarakat Betawi adalah
keluarga batih4, yang terdiri dari suami dan isteri, serta anak-anak yang di dapat
dari perkawinan atau adopsi. Dalam keluarga ini sering juga terdapat anggota
keluarga lain seperti ibu mertua atau keponakan pihak laki-laki atau pun
perempuan. Keluarga batih ini terbentuk melalui perkawinan, dimana setiap
pengantin yang baru menikah biasanya sementara waktu menetap di kediaman si
4
suami atau sering disebut dengan virilokal5. Selanjutnya, mereka pindah dan
menetap di tempat tinggal yang baru atau disebut dengan neolokal6, tidak ke pihak
laki-laki maupun pihak perempuan.
Lain hal dengan masyarakat Betawi yang berada di Bintara kebanyakan
dari meraka menetap atau bertempat tinggal dengan keluarga laki-laki meskipun
kehidupan ekonomi mereka berkecukupan. Hal ini dikarenakan menurut mereka
kebersamaan dengan keluarga lebih baik dan mereka dapat saling tolong
menolong satu sama lain dan dapat lebih erat lagi hubungan persaudaraan mereka.
Selain itu, disebabkan karena tanah yang mereka tempati masih tanah warisan
nenek moyang mereka atau pun orang tua mereka. Hal ini seperti yang dikatakan
oleh salah satu informan masyarakat asli Betawi yang dijumpai di Bintara yakni ;
“Saya tinggal bersebelahan dengan orang tua saya biar bisa bantu-bantu orang tua dan saudara saya karena orang tua saya sudah tua dan juga lebih enak dekat dengan orang yang sudah lama kita kenal. Selain itu juga, karena wilayah yang kami tempati juga masih tanah warisan nenek moyang kami” (Wawancara tanggal 10 Januari 2009).
Masyarakat Betawi juga merupakan salah satu dari sekian banyak suku
bangsa di Indonesia yang manganut sistem kekerabatan bilineal. Asas bilateral
menunjukan bahwa hubungan kekerabatan disusun berdasarkan garis keturunan
dihitung dari dua belah pihak ayah dan ibu atau dihitung melalui orang tua
laki-laki maupun wanita. Namun adat Betawi tidak membedakan antara anak laki-laki-laki-laki
dan anak perempuan.
5
Virilokal yang dipraktikkan berulang-ulang generasi demi generasi menciptakan kelompok kerabat patrilineal lokal yang berpusat pada laki. Untuk itu peneliti menganalisa bahwa hal ini juga salah satu faktor adanya garis keturunan yang diambil dari laki-laki.
6
Dalam sistem kekerabatan masyarakat Betawi tidak ada klen/marga
(seperti pada masyarakat Batak Toba). Sistem kekerabatan orang Betawi
dipengaruhi oleh adat dan agama Islam. Perkawinan pada masyarakat Betawi
umumnya dilakukan secara adat dan agama Islam, tampak sekali ketika upacara
akad nikah atau ijab kabul dilakukan. Namun ada juga yang melakukan upacara
perkawinan secara agama Kristen karena ada juga sebagian kecil dari masyarakat
Betawi yang beragama Kristen.
Masyarakat Betawi yang beragama Kristen tersebut adalah merupakan
campuran dari penduduk lokal dan keturunan Portugis. Bagan di bawah ini
menujukkan bahwa masyarakat Betawi garis keturunannya berdasarkan dari dua
garis keturunan dari ayah dan ibu dan garis keturunan mereka ini sama dengan
garis keturunan etnis Jawa. Di bawah ini adalah bagan garis keturunan bilateral
Bagan 1
Bagan Garis Keturunan Bilateral
Sumber : Buku Pengantar Antropologi Koentjaraningrat.
Dalam mencari jodoh, baik pemuda maupun pemudi bebas memilih teman
hidup mereka sendiri. Kesempatan untuk bertemu dengan calon kawan hidup itu
tidak terbatas dalam desanya, maka banyak perkawinan pemuda pemudi desa
tersebut dengan orang dari lain desa. Namun demikian, persetujuan orang tua
kedua belah pihak sangat penting, karena orang tualah yang akan membantu
terlaksananya perkawinan tersebut.
Adat masyarakat Betawi pun tidak ada perkawinan yang dilarang (tabu)
atau incest taboo, karena dalam masyarakat Betawi mereka tidak mengenal klen
atau marga dalam sistem kekerabatan mereka sehingga dalam pencarian jodoh
pun bebas kecuali perkawinan sedarah, adik dengan kakak kandung dengan satu
orang tua yang sama.
= Laki-laki
= Perempuan
= Garis Keturunan
Dalam masyarakat Betawi sendiri yang berada di Bintara maupun di
wilayah lain memiliki satu sistem organisasi yang dinamakan dengan Forum
Betawi Rempug (FBR) yang didirikan pada tanggal 29 Juli 2001. Organisasi ini
merupakan sebuah perkumpulan bukan hanya untuk para pemuda-pemudi Betawi
tetapi juga seluruh masyarakat yang asli orang Betawi. Organisasi ini dibangun
untuk mempererat kekerabatan dan terjalinnya silahturahmi satu sama lain antara
masyarakat Betawi sendiri.
Selain itu, tujuan didirikannya FBR tersebut adalah untuk memajukan
masyarakat Betawi sendiri agar mereka tidak tersingkir dari pesatnya
pembangunan di ibu kota. Organisasi ini memiliki asas yang berlandaskan pada
hukum Islam sehingga mereka kadang kala membuat suatu acara akbar seperti
pengajian yang dibuat di tempat terbuka atau pun di tempat yang telah ditentukan.
Selain itu juga tujuan dari dibuatnya lembaga FBR tersebut adalah untuk
menggambarkan secara lengkap gambaran dari etnis Betawi tersebut.
2.4. Nilai-Nilai Budaya di Masyarakat Betawi
Pada masyarakat Betawi nilai-nilai budaya sangat mereka jaga dan
dihargai terutama pluralisme, saling toleransi antar masyarakat dan melestarikan
kebudayaan yang mereka miliki. Sebagai contoh apabila di etnis Betawi
mengadakan suatu acara seperti perkawinan, khitanan dan lain sebagainya, sangat
terlihat rasa toleransi dan kerjasama yang kuat antara sesama masyarakat Betawi.
mereka juga sangat menjunjung tinggi nilai-nilai hukum-hukum keagamaan yang
Sejalan dengan berkembangnya jaman dan terjadinya banyak interaksi
dengan masyarakat dari suku yang berbeda maka nilai-nilai yang terkandung
dalam adat istiadat kebudayaan masyarakat Betawi lambat laun mengalami
banyak perubahan. Hal-hal yang berubah dapat kita lihat seperti dalam bidang
kesenian maupun dalam upacara perkawinan.
Namun dalam menyikapi hal tersebut masyarakat Betawi juga menyadari
bahwa, lambat laun seiring dengan berkembangnya jaman maka tidak menutup
kemungkinan nilai-nilai budaya Betawi semakin lama semakin pudar. Untuk itu,
masyarakat Betawi membuat suatu komunitas dengan nama FBR (Forum Betawi
Rempug) yang diharapkan dapat menjadi suatu wadah guna pelestarian budaya
Betawi. Hal ini juga dilakukan untuk menunjukkan kepada masyarakat umum
bahwa asumsi-asumsi yang timbul tentang etnis Betawi yang negatif dapat
BAB III
KONVERSI MINYAK TANAH KE GAS
3.1. Dasar dan Tujuan Konversi Minyak Tanah ke Gas
Program konversi minyak tanah ke elpiji secara resmi diluncurkan oleh
Wakil Presiden M. Yusuf Kalla didampingi Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro pada 8 Mei 20077. Program tersebut
diluncurkan karena merupakan sebuah jalan keluar yang tepat dalam menghadapi
krisis ekonomi yang terjadi. Selain, di Indonesia juga terjadi di negara-negara
penghasil minyak lainnya. Hal ini dikarenakan melambungnya harga minyak
bumi di pasaran dunia internasional sekitar 90% dari harga ecerannya pada
masyarakat yang dulunya sekitar Rp.3500,00 menjadi Rp.10.000,00 hingga
Rp.12.000,00. Hal ini membuat pemerintah Indonesia pun menjadi kewalahan
atau kebingungan dalam mencari solusi supaya dana APBN untuk subsidi BBM
tidak melambung tinggi. Oleh sebab itu, pemerintah Indonesia terutama Wakil
Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral meluncurkan
sebuah kebijakan baru untuk masyarakat dengan menggantikan penggunaan
kompor minyak tanah ke kompor gas karena harga gas yang masih stabil atau
masih terjangkau oleh negara Indonesia.
Melihat kenyataan tersebut, maka kebijakan pemerintah untuk melakukan
konversi pemakaian bahan bakar dari minyak tanah ke gas elpiji sangat logis. Hal
ini dikarenakan harga minyak mentah international sudah melonjak sangat tajam.
7
Pada awal bulan mei 2008 sudah menembus angka US$ 120 per barel. Apabila
harga minyak tanah dalam negeri hendak dipertahankan, maka pemerintah harus
mengeluarkan dana APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) yang begitu
besar untuk mensubsidi terutama BBM (bahan bakar minyak) yang harus
ditanggung setiap tahunnya. Oleh karena itulah, pemerintah bersama DPR telah
bersepakat untuk menghapuskan subsidi BBM secara bertahap seperti tertuang dalam
UU No.25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas). Meskipun
demikian, subsidi minyak tanah dikecualikan. Dengan kata lain, meski telah
menerapkan harga pasar untuk bensin dan solar, pemerintah masih mensubsidi
minyak tanah untuk keperluan masyarakat berpendapatan rendah dan industri kecil8.
Ada hal lain yang menjadi dasar diberlakukannya konversi tersebut yaitu
cadangan minyak bumi di Indonesia sekarang sudah semakin menipis. Sejak
tahun 2003, Indonesia sebenarnya sudah menjadi negara net importer9 bahan
bakar minyak dan juga sebagai negara penghasil minyak sendiri. Tetapi Indonesia
tidak bisa mengolah dengan baik dan juga tidak bisa menjaga sumber daya alam
yang terbatas tersebut, sehingga menyebabkan minyak bumi yang ada di
Indonesia semakin menipis. Akan tetapi biar pun cadangan minyak bumi yang
mulai menipis pemerintah tetap mensubsidi.
Sementara dalam kenyataannya subsidi minyak tanah dalam dua tahun
terakhir di tahun 2007-2008 masih terasa memberatkan karena besarnya volume yang
harus disubsidi, seiring dengan berbagai krisis dan transisi yang terjadi dalam
8
.http://kolom.pacific.net.id/ind/eddy_satriya/artikel_eddy_satriya/menyoal_konversi_mi nyak_tanah_ke_gas.hmtl
9