• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Budaya Masyarakat Atas Konversi Minyak Tanah Ke Gas Elpiji.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Respon Budaya Masyarakat Atas Konversi Minyak Tanah Ke Gas Elpiji."

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

RESPON BUDAYA MASYARAKAT ATAS KONVERSI

MINYAK TANAH KE GAS ELPIJI

(Studi Kasus Terhadap Masyarakat Penerima Kompor Gas Elpiji

di Kelurahan Bintara, Bekasi Barat ).

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Dalam Bidang Antropologi

Disusun Oleh: CORY ESTER PRATINI

040905027

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan Oleh:

Nama : Cory Ester Pratini

Nim : 040905027

Departeman : Antropologi

Judul : RESPON BUDAYA MASYARAKAT ATAS

KONVERSI MINYAK TANAH KE GAS ELPIJI

(Studi Kasus Terhadap Masyarakat Penerima

Kompor Gas Elpiji di Kelurahan Bintara, Bekasi

Barat)

Medan,

Pembimbing Skripsi Ketua Departemen

(Drs. Ermansyah, M.Hum) (Drs.Zulkifli Lubis,MA) NIP. 196603041992031002 NIP. 19640123190031001

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

(3)

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati, penulis memanjatkan puji syukur kepada

Tuhan Yang Maha Pengasih. Oleh karena pertolongan, bimbingan dan

karunia-Nya yang memampukan penulis menyelesaikan skripsi ini yang berjudul

“RESPON BUDAYA MASYARAKAT ATAS KONVERSI MINYAK

TANAH KE GAS ELPIJI” Studi Kasus Terhadap Masyarakat Peneriman

Kompor Gas Elpiji di Kelurahan Bintara, Bekasi Barat.

Penulis menyadari dengan usaha, pengetahuan dan kemampuan yang

dimiliki penulis, skripsi ini masih jauh kesempurnaan. Tidak lupa penulis

mengharapkan kritik dan saran yang ditujukan untuk kesempurnaan skripsi ini

dari semua pihak.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah banyak memperoleh bantuan,

dukungan serta bimbingan dari berbagai pihak. Sepatutnya penulis mengucapkan

terima kasih atas semua itu. Pada kesempatan ini, dengan hati yang tulus penulis

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Humaizi, MA selaku Pembantu Dekan I atas fasilitas yang

telah diberikan kepada penulis.

3. Bapak Drs. Zulkifli Lubis, MA selaku Ketua Departeman Antropologi

(4)

4. Bapak Drs. Ermansyah, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing skripsi saya

yang telah bersedia membantu penulis dalam membimbing, mengarahkan

serta menyempurnakan di dalam penyusunan skripsi ini.

5. Ibu Dra. Tjut Syahriani, M.Soc., selaku Penasehat Akademik yang

memberikan perhatian dan mengingatkan penulis untuk segera

menyelesaikan skripsi ini.

6. Seluruh staf pengajar Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan

membekali penulis dengan ilmu.

7. Lurah dan karyawan Kelurahan Bintara, Bekasi Barat atas kerja samanya

dalam pemberian data kepada peneliti.

8. Penghargaan besar dan rasa terima kasih saya yang sebesar-besarnya

kepada kedua orang tua saya yang tercinta Papa M. Rajagukguk dan

Mama R. R. Saragi Napitu atas semua nasehat, kasih sayang,

menyemangati saya dalam menulis skripsi ini dan perjuangannya dalam

mewujudkan cita-cita anak-anaknya.

9. Adikku satu-satunya yang kusayang: Citra Ermas Victoria Rhoito

Dormatua Rajagukguk atas perhatian dan dukungan doa kepada penulis

sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

10.Spesial kepada Leonald Nainggolan yang tiada henti-hentinya memberikan

semangat dan mengingatkan penulis untuk mengerjakan skripsi ini hingga

(5)

11.Kepada teman-temanku Hertauli Monalysa Marpaung, Latifa Yusman

Panggabean, Frishayanie Nasution, Dina Rianti Gultom dan

teman-temanku stambuk 2004 yang selalu memberikan semangat dan kecerian

dalam keseharian penulis.

12.Kepada kerabat Antropologi yang tidak bisa disebutkan satu persatu,

penulis mengucapkan terima kasih.

Akhir kata atas bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, penulis

mendoakan semoga Tuhan selalu memberikan kasih karunia-Nya kepada kita

semua. Penulis berharap kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Medan, Oktober 2009

(6)

DAFTAR ISI

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian...6

1.4. Lokasi Penelitian...6

1.5. Tinjauan Pustaka...7

1.6. Metode Penelitian ...16

1.6.1. Tipe Penelitian...16

1.6.2. Teknik Pengumpulan Data ...16

1.7. Analisa Data...18

BAB II. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN, PENDUDUK DAN INFORMAN...19

2.1. Letak Lokasi dan Keadaan Geografis...19

2.2. Keadaan Penduduk...21

2.2.1. Tingkat Pendidikan...24

2.2.2. Mata Pencaharian dan Pendapatan...26

2.2.3. Pola Pemukiman...27

2.2.4. Sistem Religi...30

2.3. Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial...32

(7)

BAB III. KONVERSI MINYAK TANAH KE GAS...38

3.1. Dasar dan Tujuan dari Konversi Minyak tanah ke Gas...38

3.2. Kriteria Masyarakat Penerima Kompor dan Tabung Gas...41

3.3. Proses Pendistribusian...44

3.4. Proses Sosialisasi Pemerintah Kepada Masyarakat...50

3.4.1. Sosialisasi Pemerintah Tentang Kebijakan Tersebut...50

3.4.2. Sosialisasi Dalam Penggunaan Kompor Gas di Bintara...53

BAB IV. RESPON MASYARAKAT BETAWI ATAS PENERAPAN KOMPOR GAS...56

4.1. Respon Budaya yang Berwujud Ideasional...56

4.1.1. Pengetahuan...56

4.1.2. Nilai-Nilai Budaya...65

4.2. Respon Budaya yang Berwujud Perilaku...68

4.2.1. Hubungan Sosial Masyarakat Sebelum dan Setelah Adanya Konversi Minyak Tanah ke Gas...70

4.2.2. Struktur Sosial Masyarakat Betawi di Bintara...72

BAB V. KESIMPULAN...75

DAFTAR PUSTAKA...82

LAMPIRAN

1. Daftar Interview Guide dan Observasi

2. Daftar Informan

3. Daftar Istilah

(8)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1. Rekapitulasi Penduduk Bintara Berdasarkan Kelompok Umur

2. Tabel 2. Rekapitulasi Penduduk Berdasarkan Kelompok Etnik

3. Tabel 3. Rekapitulasi Keluarga Menurut Status Pendidikan

4. Tabel 4. Rekapitulasi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

5. Tabel 5. Rekapitulasi Penduduk Berdasarkan Agama

6. Bagan 1. Bagan Garis Keturunan Bilateral

(9)

DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 1. Pola Pemukiman di Bintara Dulunya Berkelompok

2. Gambar 2. Pola Pemukiman Saat Ini mengikuti Jalan Raya dan Rel Kereta Api

3. Gambar 3. Proses Pendistribusian

4. Gambar 4. Pembagian Kompor yang Berlebih

5. Gambar 5. Nenek Saini Memasak Menggunakan Kayu Bakar

6. Gambar 6. Kayu Untuk dijadikan Sebagai Bahan Bakar Dalam Memasak

7. Gambar 7. Masyarakat yang Masih Menggunakan Serbuk Kayu Untuk

Memasak

8. Gambar 8.Serbuk Kayu yang Digunakan Sebagai Bahan Bakar Untuk Memasak

9. Gambar 9. Kompor Minyak Tanah yang Digunakan Ibu Perni Untuk Memasak

10. Gambar 10. Kompor yang Dibagikan Kepada Masyarakat Salah Satunya

(10)

ABSTRAK

Cory Ester Pratini Rajagukguk 2009, judul “RESPON BUDAYA MASYARAKAT ATAS KONVERSI MINYAK TANAH KE GAS ELPIJI”. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 83 halaman, 5 tabel, 2 bagan, 10 gambar, 13 daftar pustaka dan sumber lain yang berasal dari internet dan surat kabar serta lampiran daftar wawancara, daftar informan serta ditambah lampiran surat penelitian.

Pembangunan yang sedang berjalan saat ini di Indonesia pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia secara menyeluruh. Akan tetapi membawa perubahan-perubahan dalam budaya masyarakatnya seperti pada etnis Betawi sendiri di daerah Bintara, Bekasi Barat. Pembangunan yang dimaksudkan adalah berupa sebuah kebijakan pemerintah untuk mengkonversi minyak tanah ke gas elpiji. Hal tersebut dikarenakan semakin menipisnya pasokan minyak bumi dan juga meningkatnya harga minyak dunia, sehingga pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan untuk mengkonversi minyak tanah ke gas. Namun hal tersebut membawa respon budaya pada masyarakat terutama di daerah yang pertama kali menjadi sasaran yaitu di daerah Bintara, Bekasi Barat.

Penelitian ini bertujuan melihat bagaimana respon budaya masyarakat terhadap pembangunan yang dilakukan pemerintah dalam hal ini adalah peralihan minyak tanah ke gas elpiji. Penelitian ini bertipekan ekplorasi deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan teknik observasi, wawancara mendalam dan studi kepustakaan.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa konversi minyak tanah ke gas elpiji yang dijalankan pemerintah secara umum berjalan dengan lancar. Namun hal tersebut juga banyak menimbulkan respon dari masyarakat dalam hal ini yang berkaitan dengan budaya. Respon yang diberikan masyarakat ada yang positif maupun negatif, sehingga dalam beberapa hal proses konversi juga mengalami kendala seperti dalam proses pendistribusian yang tidak merata dan tepat sasaran. Hal ini terjadi karena adanya perubahan pada nilai-nilai budaya, pengetahuan, hubungan sosial dan struktur sosial mereka pada masyarakat Betawi. Kesimpulan penelitian bahwa konversi menimbulkan respon budaya yang bervariasi dari masyarakat. Hal tesebut terlihat karena ada yang berubah dan ada yang tidak berubah hal yang berubah disini adalah pengetahuan mereka yang semakin bertambah dalam cara menggunakan kompor gas dan yang tidak berubah adalah struktur sosial masyarakatnya dimana dalam penelitian ini justru semakin mempertegas atau memperjelas tingkatan dalam struktur sosial mereka. Dengan kata lain respon budaya masyarakat atas konversi ini dapat dikatakan cukup baik.

(11)

ABSTRAK

Cory Ester Pratini Rajagukguk 2009, judul “RESPON BUDAYA MASYARAKAT ATAS KONVERSI MINYAK TANAH KE GAS ELPIJI”. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 83 halaman, 5 tabel, 2 bagan, 10 gambar, 13 daftar pustaka dan sumber lain yang berasal dari internet dan surat kabar serta lampiran daftar wawancara, daftar informan serta ditambah lampiran surat penelitian.

Pembangunan yang sedang berjalan saat ini di Indonesia pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia secara menyeluruh. Akan tetapi membawa perubahan-perubahan dalam budaya masyarakatnya seperti pada etnis Betawi sendiri di daerah Bintara, Bekasi Barat. Pembangunan yang dimaksudkan adalah berupa sebuah kebijakan pemerintah untuk mengkonversi minyak tanah ke gas elpiji. Hal tersebut dikarenakan semakin menipisnya pasokan minyak bumi dan juga meningkatnya harga minyak dunia, sehingga pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan untuk mengkonversi minyak tanah ke gas. Namun hal tersebut membawa respon budaya pada masyarakat terutama di daerah yang pertama kali menjadi sasaran yaitu di daerah Bintara, Bekasi Barat.

Penelitian ini bertujuan melihat bagaimana respon budaya masyarakat terhadap pembangunan yang dilakukan pemerintah dalam hal ini adalah peralihan minyak tanah ke gas elpiji. Penelitian ini bertipekan ekplorasi deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan teknik observasi, wawancara mendalam dan studi kepustakaan.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa konversi minyak tanah ke gas elpiji yang dijalankan pemerintah secara umum berjalan dengan lancar. Namun hal tersebut juga banyak menimbulkan respon dari masyarakat dalam hal ini yang berkaitan dengan budaya. Respon yang diberikan masyarakat ada yang positif maupun negatif, sehingga dalam beberapa hal proses konversi juga mengalami kendala seperti dalam proses pendistribusian yang tidak merata dan tepat sasaran. Hal ini terjadi karena adanya perubahan pada nilai-nilai budaya, pengetahuan, hubungan sosial dan struktur sosial mereka pada masyarakat Betawi. Kesimpulan penelitian bahwa konversi menimbulkan respon budaya yang bervariasi dari masyarakat. Hal tesebut terlihat karena ada yang berubah dan ada yang tidak berubah hal yang berubah disini adalah pengetahuan mereka yang semakin bertambah dalam cara menggunakan kompor gas dan yang tidak berubah adalah struktur sosial masyarakatnya dimana dalam penelitian ini justru semakin mempertegas atau memperjelas tingkatan dalam struktur sosial mereka. Dengan kata lain respon budaya masyarakat atas konversi ini dapat dikatakan cukup baik.

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Pembangunan nasional bangsa Indonesia yang sedang berjalan sekarang

ini, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara

menyeluruh. Hal ini berarti meningkatkan kesejahteraan yang mengarah pada

kualitas hidup manusianya. Tujuan nasional tersebut juga untuk memenuhi

kebutuhan pokok masyarakat, seperti: pangan, sandang, perumahan dan lain-lain.

Dalam hal pelaksanaannya di lapangan tidaklah semudah membalikkan telapak

tangan, harus disadari adanya berbagai hambatan dalam pencapaiannya.

Untuk itu keberhasilan pembangunan suatu negara tentunya harus di

dukung dengan keikutsertaan penduduk itu sendiri dalam pelaksanaannya. Dalam

hal ini penduduk sangat diharapkan partisipasi aktifnya dalam segala hal yang

berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan. Dengan adanya partisipasi dari

masyarakat maka sebuah pembangunan pun akan berjalan dengan lancar tanpa

adanya hambatan dari masyarakat sendiri.

Berbagai kendala tentunya banyak dihadapi oleh pelaku pembangunan itu

sendiri yaitu pemerintah. Berbagai terobosan baru yang dilakukan oleh

pemerintah dalam berbagai bidang telah dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk

menghindari berbagai krisis yang terjadi di dunia dan lebih khususnya lagi di

Indonesia. Salah satu krisis yang sekarang melanda negeri Indonesia adalah krisis

(13)

telah menyebabkan terjadinya krisis. Saat ini Indonesia memang dikenal sebagai

negara penghasil minyak, akan tetapi keanehan yang terjadi adalah kelangkaan

bahan bakar minyak (BBM). Untuk itu pemerintah mengembangkan kebijakan

baru untuk mengatasi krisis energi ini.

Ada beberapa langkah yang dilakukan oleh pemerintah seperti

pengembangan biodiesel, pengurangan pasokan, penarikan subsidi untuk BBM

dan juga pengkonversian minyak tanah ke gas. Dalam pengkonversian minyak

tanah ke gas ini dinilai sebagai suatu solusi dan inovasi baru. Hal ini berdasarkan

ketersedian bahan bakar gas (BBG) yang lebih banyak dari pada bahan bakar

minyak (BBM).

Pengkonversian minyak tanah ke gas ini merupakan kebijakan yang dinilai

tepat oleh pemerintah. Berbagai pertimbangan yang dikeluarkan oleh pemerintah

seperti; ketersediaan bahan bakar gas yang lebih banyak, penghematan biaya dari

minyak tanah dibandingkan dengan gas, keefisienan dan keefektifan gas dalam

hal penggunaan gas. Untuk itu, kebijakan tersebut menjadi solusi bagi krisis yang

dihadapi Negara.

Lebih lanjut Dirjen Industri Mesin Logam Tekstil dan Aneka Departemen

Perindustrian (Depperin), Ansari Bukhari, pada seminar "Peran Tabung Baja

Dalam Mendukung Program Diversifikasi Minyak Tanah ke LPG", di Jakarta,

Jumat (29/8) menjelaskan bahwa konsumsi minyak tanah per tahun mencapai 10

juta kilo liter (KL) dan jika harga per liter mencapai Rp 6.000 hingga Rp 7.000

maka pengeluaran untuk minyak tanah dapat mencapai 60 triliun. Oleh sebab itu,

(14)

berbagai kekhawatiran itulah, maka pemerintah mengambil tindakan yang tegas

dalam hal konversi minyak tanah ke gas (www.jurnalnasional.com).

Namun, menurut Siswanto Ketua Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak

dan Gas Bumi (Hiswana Migas) program konversi minyak tanah ke gas

seharusnya sudah selesai akhir tahun ini. Secara bertahap penyaluran minyak

tanah dikurangi dan pada bulan Desember nanti agen tidak akan lagi mendapatkan

pasokan. Siswanto juga menambahkan meski sudah tak menyalurkan lagi ke dua

wilayah tersebut, yaitu di Sleman dan Yogyakarta, PT Pertamina diharapkan tetap

menyediakan minyak tanah untuk melayani permintaan masyarakat kecil

(www.jurnalnasional.com).

Keberadaan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah tanpa

memperhatikan apa yang dirasakan oleh masyarakat dengan pemaksaan

kebijakan, telah berdampak kepada masyarakat. Baik itu secara material maupun

inmaterial seperti perubahan budaya dan respon/tanggapan masyarakat tentang

diberlakukannya kebijakan pemerintah untuk mengkonversi minyak tanah ke gas.

Dengan lahirnya kebijakan baru maka berbagai kendala yang dihadapi dalam

pengkonversian minyak tanah ke gas, saat ini menimbulkan berbagai masalah

budaya yang disebabkan oleh konversi tersebut.

Kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa ada beberapa kasus yang

muncul akibat dari program konversi minyak tanah ke gas elpiji. Dalam hal ini

kasus yang terlihat adalah menghilangnya tabung gas dari masyarakat yang

disebabkan karena kurangnya pasokan yang diberikan oleh pihak pertamina. Hal

(15)

sehingga dalam pembuatan tabung gas tersebut pun belum bisa memadai dari

permintaan pasar (www.okezone.com).

Demikian halnya yang terjadi di daerah Jakarta. Persoalan distribusi

kompor dan tabung gas menjadi sebuah masalah yang belum terpecahkan. Hal ini

dikarenakan, kurangnya koordinasi terhadap masyarakat penerima kompor dan

tabung gas yang diakibatkan oleh kurangnya kerjasama antara pemerintah pusat

dengan pemerintah daerah setempat, sehingga distribusi kompor dan tabung gas

menjadi tidak maksimal atau tidak tepat sasaran. Berkenaan dengan hal tersebut

Ketua Tim Terpadu Distribusi BBM. Slamet Singgih mengatakan kelangkaan itu

sebagai akibat tidak adanya penelitian terlebih dahulu dari BP Migas mengenai

kebutuhan nyata di masyarakat. Beliau juga mengatakan PT Pertamina tidak

melakukan pengawasan pendistribusian secara semestinya. Sementara itu, ketua

BP Migas sendiri mengatakan bahwa kelangkaan itu diakibatkan oleh penggunaan

di luar fungsinnya yaitu untuk penerangan, pompa air di musim kemarau,

campuran BBM untuk transportasi, penjualan ke industri dan penyelundupan

(Acara “Wanted” yang ditayangkan Anteve pada hari Senin 23 April 2007).

Selain kasus di atas beberapa kasus yang muncul di berbagai media massa

seperti; meledaknya tabung gas elpiji hasil dari subsidi di Jakarta Utara,

kelangkaan gas isi ulang sehingga tabung-tabung gas dibuang oleh masyarakat,

adanya kerugian pedagang minyak keliling dan pangkalan minyak tanah akibat

konversi tersebut dan berubahnya sebuah kebiasaan baru atau budaya baru di

(16)

menyebabkan munculnya berbagai masalah yang timbul di masyarakat, ini

merupakan pengaruh dari kebijakan pemerintah. Pengaruh ini ditimbulkan oleh

ketidaksesuaian budaya, karena kebijakan pemerintah belum tentu mendapat

respon yang positif yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan belum tentu

sesuai dengan yang sebagaimana diharapkan oleh masyarakat.

Berdasarkan kenyataan di atas penting kiranya mengkaji respon

masyarakat, dalam hal ini respon budaya, khususnya dalam hal konversi minyak

tanah ke gas elpiji. Hal ini dapat menunjukkan kebijakan pemerintah yang sesuai

ataupun tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan juga apakah sudah sesuai

dengan budaya masyarakat jika diterapkannya konversi minyak tanah ke gas

elpiji.

1.2.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya maka

masalah penelitian yang diajukan adalah bagaimana respon budaya masyarakat,

khususnya masyarakat Betawi, atas penerapan kompor gas dalam program

konversi minyak tanah ke gas elpiji ? Perumusan masalah tersebut diuraikan ke

dalam 5 (lima) pertanyaan penelitian yakni:

1. Apa dasar dan tujuan diberlakukannya program konversi minyak tanah ke

gas elpiji ?

(17)

3. Bagaimana sosialisasi dan pendistribusian kompor gas oleh pemerintah

atas program konversi minyak tanah ke gas pada masyarakat ?

4. Bagaimana pengetahuan dan nilai-nilai budaya masyarakat Betawi atas

penerapan kompor gas ?

5. Bagaimana hubungan sosial dan struktur sosial yang terjalin dalam

masyarakat Betawi setelah adanya penerapan kompor gas dimasyarakat ?

1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang respon budaya

masyarakat atas konversi minyak tanah ke gas elpiji sebagai suatu program

pembangunan untuk penghematan energi (sumber daya alam). Secara akademis,

penelitian ini dapat menambah wawasan keilmuan, khususnya Antropologi,

tentang penerapan salah satu program pemerintah dalam hal konversi minyak

tanah ke gas elpiji dalam rumah tangga. Secara praktis dapat memberikan

masukan bagi pihak-pihak berkepentingan khususnya pemerintah dalam hal

mensosialisasikan dan menerapkan suatu program pembangunan bagi masyarakat.

1.4.Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di wilayah Bekasi Barat tepatnya di Kelurahan

Bintara. Alasan pemilihan lokasi ini adalah karena Daerah ini merupakan salah

satu daerah yang menjadi sasaran program pemerintah atas konversi minyak tanah

(18)

dengan dari berbagai macam status sosialnya. Lokasi penelitian merupakan daerah

yang didominasi oleh mayoritas orang Betawi asli atau Kampung Betawi.

1.5.Tinjauan Pustaka

Setiap negara tentunya akan menjalankan berbagai program pembangunan

demi meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Kebanyakan dari

program pembangunan yang dijalankan pemerintah, seperti halnya pemerataan

kompor gas tentunya bersifat top-down. Bagi pemerintah sendiri, hal tersebut

dijalankan dengan berbagai pertimbangan tertentu. Dalam hal ini berbagai

program pembangunan dapat diwujudkan melalui inovasi yang diperluas melalui

difusi, untuk keperluan seluruh masyarakatnya.

Suatu gejala penting yang seringkali menyebabkan terjadinya inovasi

adalah penemuan baru dalam bidang teknologi. Untuk itu kita perlu mengerti

dahulu arti dari kata inovasi tersebut. Secara universal kata inovasi dapat diartikan

sebagai “proses” atau “hasil” pengembangan, pemanfaatan pengetahuan

keterampilan (termasuk keterampilan teknologis) dan pengalaman untuk

menciptakan atau memperbaiki produk (barang atau jasa), proses atau sistem yang

baru, yang memberikan nilai yang berarti atau secara signifikan (terutama

ekonomi dan sosial) (http://id.wikipedia.org/wiki/Inovasi). Dengan demikian

inovasi tersebut merupakan sebuah penemuan baru yang dapat berupa sebuah

kompor dan tabung gas elpiji ataupun sebuah gagasan atau ide-ide baru, yang

(19)

Pada masyarakat khususnya di negara berkembang, penyebarluasan

inovasi terjadi terus menerus dari suatu tempat ke tempat lain, dari bidang tertentu

ke bidang lain. Penyebarluasan inovasi menyebabkan masyarakat menjadi

berubah, menimbulkan berbagai respon sosial budaya dan merangsang orang

untuk menemukan dan menyebarkan hal-hal baru. Masuknya inovasi ke

tengah-tengah masyarakat disebabkan terjadinya interaksi antar anggota masyarakat.

Sebelum inovasi tersebut diterima masyarakat, baik inovasi itu berupa alat atau

ide yang diciptakan dalam masyarakat maka disebut dengan discovery. Setelah

diterima dan diakui penemuan baru tersebut barulah disebut dengan inovasi

(Linton dalam Koentjaraningrat 1990:109).

Salah satu inovasi yang dapat dijadikan contoh di atas adalah program

pemerintah tentang konversi minyak tanah ke gas elpiji di Indonesia saat ini.

Inovasi tersebut sebenarnya sudah ada akan tetapi baru diterapkan dan disebarkan

saat ini, yang dikarenakan oleh pasokan minyak bumi yang sudah mulai menipis

dan tingginya harga minyak mentah dunia yang menyebabkan perekonomian

Indonesia saat ini merosot dan mengharuskan masyarakat untuk dapat menerima

inovasi tersebut untuk keberlangsungan hidup masyarakat itu sendiri. Oleh karena

itu, pemerintah membuat sebuah kebijakan tentang konversi minyak tanah ke gas.

Rogers dan Shoemaker (1981) mengatakan bahwa penerapan inovasi

kepada suatu masyarakat tentunya tidak dapat berjalan mulus. Hal ini dikarenakan

masyarakat juga memiliki nilai-nilai tersendiri di dalam hal yang baru. Berbagai

alasan akan lahir dari masyarakat yang menjadi objek dari penerapan inovasi

(20)

cocok dengan nilai yang dianutnya pada saat itu. Ada juga masyarakat yang masih

meragukan akan inovasi baru yang dikarenakan sebagian nilainya cocok dengan

inovasi tersebut dan sebagian nilai lagi tidak. Ada pula masyarakat yang

benar-benar menolak inovasi tersebut dikarenakan inovasi tersebut tidak sesuai dengan

nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat tersebut.

Kesuksesan dan kegagalan terhadap penerapan inovasi yang berhubungan

dengan konversi minyak tanah ke gas telah banyak dipublikasikan di media

massa. Tidak hanya itu berbagai kasus yang adapun telah banyak ditulis oleh para

ahli dari berbagai disiplin ilmu maupun pemerintah. Baik itu mengenai kegagalan

konversi, perubahan budaya, respon masyarakat, keberhasilan konversi, dan

masalah-masalah lain yang ditimbulkannya.

Sebagai contoh, keberhasilan konversi minyak tanah ke gas yang terjadi di

Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Dalam pemberitaan tersebut dikatakan bahwa

Pemerintah Kota Pekalongan, Jawa Tengah, meminta agar konversi minyak tanah

ke gas segera dilaksanakan. Mengingat kelangkaan minyak tanah di Kota

Pekalongan dan sekitarnya kerap terjadi hingga menyulitkan warga, terutama

warga miskin yang mencapai 22.000 keluarga. Jadi dengan adanya konversi

minyak tanah ke gas ini telah memberikan kemudahan bagi warga miskin dalam

memperoleh bahan bakar. Selain itu masyarakat juga mengusulkan kepada

pemerintah dapat menambah daerah gerak konversi yang telah ada

(http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/news/artikel.php?aid=20571).

Selain itu, keberhasilan ini juga dirasakan oleh pemerintahan Kota

(21)

pemerintah yaitu pengembangan energi alternatif, telah membuat berbagai

fasilitasi pendukungan untuk kelangsungan program tersebut. Fasilitas tersebut

baik berupa program-program unggulan maupun rekomendasi teknis atas langkah

pengembangan energi alternatif1.

Kebijakan tersebut, dari sisi bahan baku yang dikembangkan yaitu gas

sangat relevan karena potensi gas di Indonesia tersebar di beberapa daerah dan

jumlahnya cukup besar. Keadaan tersebut juga nampak di Jawa Barat sebab

mempunyai potensi gas alam dalam jumlah yang cukup besar. Perhatian Jawa

Barat terhadap kebutuhan energi bagi masyarakat miskin sudah direalisasikan

melalui berbagai program pengembangan energi alternatif. Di beberapa tempat

telah dikembangkan beberapa jenis energi alternatif antara lain: biogas, mikro

hidro dan energi surya. Program-program tersebut diharapkan secara bertahap

dapat membantu memenuhi kebutuhan energi masyarakat miskin yang jumlahnya

di Jawa Barat mencapai lebih dari 10 juta orang. Program tersebut, di sisi lain

diharapkan dapat mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap penggunaan

BBM (www.jabar.go.id).

Di samping adanya keberhasilan pemerintah dalam pengembangan

konversi minyak tanah ke gas, terdapat juga banyak kegagalan pemerintah dalam

penyaluran konversi minyak tanah ke gas. Banyak masyarakat yang tidak mau

menerima perubahan tersebut sehubungan dengan budaya yang mereka miliki.

Berbagai alasan terlontar dari mulut masyarakat Indonesia, seperti beberapa kasus

yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia.

1

(22)

Sebagai contoh, kasus yang terjadi di Jawa Tengah Kabupaten Kendal.

Pemerintah diminta meninjau ulang program konversi minyak tanah ke bahan

bakar gas atau LPG (liquefied petroleum gas). Hal ini dikarenakan masyarakatnya

yang belum sepenuhnya menerima program konversi minyak tanah ke gas elpiji

yang disebabkan karena, masyarakatnya masih ragu, takut dan kurangnya

sosialisasi untuk menggunakan kompor dan tabung gas yang diberikan secara

gratis. Hal tersebut karena, tingkat kualitas keamanan kompor gas yang diberikan

pada masyarakat kurang menjamin pada masyarakat. Hal tersebut perlu dilakukan

karena pengetahuan masyarakat hanya baru sebatas penggunaan kompor minyak

tanah, sehingga pemerintah perlu lagi menerapkan cara penggunaan kompor gas

elpiji (http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=141801).

Kasus yang lain juga terjadi di Jakarta. Konversi minyak tanah ke LPG

(liquefied petroleum gas) ternyata justru jadi polemik tersendiri bagi warga,

karena tiba-tiba minyak tanah menghilang. Sementara minyak tanah masih sangat

dibutuhkan rakyat miskin yang tak mampu membeli gas. Memang masyarakat

telah mendapatkan tabung gas gratis dalam kemasan 3 kilogram, namun

pemerintah seharusnya mengetahui bahwa masyarakat Indonesia tidak semuanya

siap untuk menggunakan gas elpiji dalam kehidupan sehari-hari. Belum lagi

dalam kenyataan, pasokan gas LPG di beberapa wilayah yang jadi target konversi

justru pengirimannya tidak lancar, sehingga banyak agen LPG yang mengalami

kekosongan dan sudah bisa dipastikan hal ini tentunya sangat menyulitkan bagi

(23)

Rencana konversi dari minyak tanah ke gas LPG terkesan terburu-buru dan

tidak terencana. Padahal konversi tersebut melibatkan Pertamina, Departemen

Perindustrian, Kementerian Koperasi dan UKM, Departemen Keuangan,

Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan lembaga pelaksana di

daerah," ungkap Suharto, Direktur Pusat Pengkajian Ekonomi (PPE)

(http://www.jawapos.co.id).

Untuk itu pemerintah tidak cukup dalam melakukan sosialisasi. Demikian

juga dalam penyiapan kondisi masyarakat untuk siap kepada budaya baru dalam

menggunakan energi. Suharto juga mengatakan bahwa Pemerintah belum dapat

menjamin jika terjadi konversi minyak tanah ke gas tersebut tidak ada kelangkaan

gas, ternyata pemerintah pun belum dapat menjaminnya. Kenyataan di lapangan

memperlihatkan kelangkaan BBM mengakibatkan terjadinya praktik pengoplosan,

penimbunan BBM oleh oknum pedagang atau distributor serta naiknya harga

secara prematur (terlalu dini) dan kenaikan juga terjadi sebelum waktu yang

diprediksikan, seperti lebaran, tahun baru dan natal.

Implikasi atau kesimpulan yang muncul dari adanya kebijakan

terburu-buru ini akan menimbulkan problem sosial-ekonomi yang tinggi. Penolakan oleh

masyarakat dimungkinkan karena secara teknis tidak mudah mengubah budaya

memakai kompor minyak tanah ke kompor gas. Semestinya pemerintah menunda

dulu dan membutuhkan waktu untuk transisi. Kenyataannya pemerintah hanya

menghitung nilai konversi subsidi yang terkurangi tanpa memperhitungkan resiko

intangible (hal-hal yang tidak dapat diraba) seperti hilangnya pekerjaan pedagang

(24)

Selain itu, bagi penerima kompor dan gas elpiji pun memunculkan sebuah

respon yang bersifat kultural atau yang disebut sebagai respon budaya. Untuk

menjelaskan pengertian respon budaya maka terlebih dahulu didefinisikan apa

yang dimaksud dengan respon dan budaya. Respon adalah tanggapan atau

perilaku yang muncul dikarenakan adanya rangsang dari lingkungan, seperti

halnya yang terjadi saat ini tentang inovasi yaitu pemakaian kompor dan gas elpiji

yang telah menimbulkan banyaknya tanggapan masyarakat baik berupa ekonomi

maupun budaya. Jika rangsangan dan respon dipasangkan atau dikondisikan maka

akan membentuk tingkah laku baru terhadap rangsang yang dikondisikan

(http://id.wikipedia.org/wiki/Respon).

Sedangkan budaya atau kebudayaan adalah merupakan keseluruhan sistem

gagasan, tindakan serta hasil karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan

bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar. Dengan demikian semua

tindakan manusia adalah kebudayaan. Hal tersebut karena, jumlah kegiatan dalam

kehidupan masyarakat yang dibiasakannya dengan belajar tidak terbatas

(Koentjaraningrat, 1996).

Lebih lanjut dijelaskan Koentjaraningrat bahwa kebudayaan menempati

posisi sentral dalam sebuah tatanan hidup manusia. Tidak ada manusia yang dapat

hidup di luar ruang lingkup kebudayaan. Kebudayaanlah yang memberi nilai dan

makna pada hidup manusia. Seluruh bangunan hidup manusia dan masyarakat

berdiri diatas landasan kebudayaan. Dengan kebudayaan yang dimilikinya akan

(25)

sosial. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa kebudayaan merupakan manifestasi

dari kepribadian suatu masyarakat.

Kebudayaan terwujud dalam tiga bentuk yaitu:

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan,

nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola

dari manusia dalam bermasyarakat.

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Wujud Ideel dari kebudayaan bersifat abstrak, karena tidak dapat diraba

dan difoto sehingga hanya dapat dipahami oleh masyarakat karena berada dalam

alam pikiran manusia. Lapisan paling abstrak adalah sistem nilai budaya karena

terdiri dari konsep-konsep dan gagasan-gagasan yang dinilai penting oleh

masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan lapisan yang konkret adalah sistem

norma atau hukum, seperti pendidikan, kesenian, ekonomi dan sebagainya.

Wujud tindakan masyarakat bersifat konkret, bisa dilihat dan difoto,

karena terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berhubungan dan saling

berinteraksi satu dengan yang lain berdasarkan tata kelakuan. Wujud yang terakhir

adalah hasil karya manusia yang bersifat konkret, karena merupakan hasil karya

manusia dari aktivitasnya sehingga dapat dilihat, diraba dan difoto. Ketiga wujud

kebudayaan tersebut memiliki keterkaitan satu sama lainnya, sehingga tidak dapat

dipisahkan. Kebudayaan ideel dan adat istiadatlah yang mengatur dan memberi

(26)

Berkenaan dengan definisi respon dan budaya yang dijelaskan di atas

maka respon budaya adalah tanggapan terhadap perubahan yang terkait dengan

wujud ideel, aktivitas dan artefak pada suatu kebudayaan masyarakat. Respon

budaya yang terkait dengan wujud ideel dapat berupa pengetahuan, nilai-nilai

budaya, ide-ide atau gagasan serta pandangan masyarakat yang bersifat abstrak

dan dapat menimbulkan reaksi dari masyarakat jika wujud ideel itu berubah di

dalam masyarakat. Respon budaya yang terkait dengan aktifitas dapat berupa pola

perilaku masyarakat, hubungan sosial dan struktur sosial masyarakat yang dapat

dilihat dari kebiasaan yang masyarakat lakukan sehari-hari. Hal tersebut dapat

menimbulkan tanggapan jika terjadi suatu perubahan dari kebiasaan mereka

sehari-hari. Sedangkan respon budaya yang terkait dengan artefak dapat berupa

penggunaan kompor gas pada masyarakat yang menyebabkan perubahan dalam

pola pengetahuan mereka yang sebelumnya masyarakat masih menggunakan

kompor minyak tanah lalu digantikan dengan kompor gas, sehingga hal ini dapat

menimbulkan tanggapan atau pun respon masyarakat yang menjadi sasaran

program.

Dari berbagai respon budaya tersebut maka, yang menjadi kajian

penelitian adalah respon budaya yang terkait dengan wujud ideel dan wujud

aktifitas dimana dari kedua wujud budaya tersebut memiliki cakupan yang

berbeda-beda. Wujud ideel sendiri mencakup pengetahuan, nilai-nilai budaya

masyarakat. Sedangkan, wujud aktifitas yang terkait dengan hubungan sosial dan

struktur sosial masyarakat setelah diberlakukannya konversi minyak tanah ke gas

(27)

1.6.Metode Penelitian

1.6.1. Tipe Penelitan

Penelitian ini menggunakan tipe eksploratif deskriptif dengan

menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan menggambarkan bagaimana

respon atau tanggapan masyarakat penerima program tersebut. Dalam hal ini

mengkaji pengetahuan, nilai-nilai budaya dan pola perilaku yang terjalin dalam

masyarakat setelah adanya konversi minyak tanah ke gas. Selain itu juga, untuk

melihat bagaimana proses pendistribusian dan pembagian kompor gas sebagai

sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemeintah.

1.6.2. Teknik Pengumpulan Data

Data dapat dikategorikan atas 2 (dua) bentuk yakni data primer dan data

sekunder. Data primer merupakan data utama yang diperoleh melalui teknik

observasi dan wawancara mendalam yang dilakukan di lapangan. Sedangkan data

sekunder merupakan data yang diperoleh dari lapangan dan berbagai buku, jurnal

dan lainnya sebagai kelengkapan data primer. Buku, jurnal dan yang lainnya

diarahkan untuk mendapatkan gambaran-gambaran mengenai data kependudukan

yang menjadi sasaran porgram, teori-teori yang mendukung masalah penelitian,

dan lainnya.

Adapun hal yang diobservasi adalah proses pendistribusian kompor gas

kepada masyarakat, pola tingkah laku atau hubungan sosial masyarakat setelah

dijalankannya konversi minyak tanah ke gas elpiji dan cara masyarakat dalam

(28)

dengan kamera foto digunakan sebagai bukti dari penelitian dan untuk

mengabadikan hal-hal yang tidak terobservasi peneliti di lapangan

Wawancara mendalam dilakukan dengan bantuan pedoman wawancara.

Wawancara dilakukan terhadap informan kunci dan informan biasa. Informan

kunci merupakan orang-orang yang berperan dan memahami masalah penelitian.

Dalam hal ini informan kunci adalah pihak Pertamina, Lurah, Ketua RT (rukun

tetangga) / RW (rukun warga), tokoh masyarakat dan lainnya. Sedangkan,

informan biasa merupakan orang-orang yang memberikan informasi mengenai

suatu masalah sesuai dengan pengetahuannya dan bukan ahlinya. Dalam

penelitian ini yang menjadi informan biasa adalah masyarakat penerima program

konversi yang menggunakan maupun yang tidak menggunakan kompor dan gas

elpiji tersebut di sekitar lokasi penelitian.

Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan secara purposif atau

bertujuan dalam arti bahwa orang-orang yang akan dipilih menjadi informan

sudah diketahui oleh peneliti. Penentuan informan biasa didasarkan atas kriteria

masyarakat penerima program yang menggunakan maupun yang tidak

menggunakan kompor gas, jenis kelamin, status sosial, lama tinggal dan lainnya.

Dalam penelitian ini jumlah informan disesuaikan dengan kebutuhan data.

Wawancara mendalam yang ditujukan kepada informan kunci yaitu

mengenai dasar diberlakukannya program konversi minyak tanah ke gas, proses

pendistribusian, sosialisasi pemerintah kepada masyarakat atas program konversi

tersebut, dan kriteria masyarakat yang patut mendapatkan kompor dan gas elpiji

(29)

yaitu mengenai pengetahuan, nilai-nilai budaya masyarakat atas penerapan dalam

penggunaan kompor gas, struktur dan hubungan sosial dalam hal ini pola perilaku

masyarakat yang terjalin serta pandangan masyarakat dengan adanya penerapan

kompor gas. Wawancara mendalam yang dilakukan menggunakan Tape Recorder

sebagai alat bantu karena daya ingat peneliti yang terbatas, sehingga hal-hal yang

terlupakan dapat dicatat kembali oleh peneliti.

1.7.Analisa Data

Analisa data yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan kualitatif.

Data dan informasi yang didapat dari lapangan nantinya akan diteliti kembali. Hal

tersebut dilakukan untuk melihat kelengkapan hasil dari observasi dan wawancara

kepada informan ( sesuai daftar interview guide yang dibuat peneliti). Setelah

semua selesai lalu disusun menurut kelompoknya dan secara sistematis

berdasarkan kategori yang dibuat peneliti.

Akhirnya seluruh data dilihat kaitannya satu dengan yang lain dan

diinterpretasikan secara kualitatif. Sedangkan, data yang bersifat kuantitatif2

hanya melengkapi analisa data kualitatif. Analisa data dilakukan mulai pada saat

meneliti atau selama proses pengumpulan data berlangsung hingga penulisan

laporan penelitian.

2

(30)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENLITIAN, PENDUDUK DAN

INFORMAN

2.1. Letak Lokasi dan Keadaan Geografis

Bintara merupakan salah satu daerah yang terletak di wilayah Bekasi Barat

dan sudah termasuk daerah ibu kota Propinsi Jawa Barat. Bintara merupakan

daerah yang terletak tidak jauh dari Kecamatan Bekasi Barat yaitu kira-kira

berjarak 8 km dari Kelurahan Bintara berjarak sekitar 1 km dari lokasi penelitian.

Jarak Bintara ke ibu Kotamadya Bekasi kira-kira 15 km, sedangkan jarak Bintara

ke ibu kota Propinsi Jawa Barat 160 km. Bintara juga merupakan daerah

perbatasan wilayah Cakung, Jakarta Timur. Oleh karena itu, Bintara merupakan

daerah maju dan daerah yang mudah dijangkau dengan transportasi.

Di tahun 1990-an daerah Bintara masih merupakan areal persawahaan dan

perkebunan. Adapun rumah penduduk di wilayah Bintara ini masih terbilang

sedikit dan rata-rata penduduknya adalah orang etnis Betawi. Dengan

berkembangnya jaman dan semakin pesatnya pembangunan maka daerah Bintara

berubah menjadi daerah perumahan dan pertokoan.

Data yang diperoleh dari kantor Kelurahan Bekasi Barat luas wilayah

daerah Bintara sekitar 328,02 Ha. Wilayah Bintara ini dimanfaatkan sebagai Ruko

(rumah toko), tempat perbelanjaan atau pasar, tempat ibadah, puskesmas, sekolah,

dan selebihnya pemukiman penduduk. Hal di atas menyebabkan masyarakat asli

(31)

dari pendatang baru karena telah banyak terjadi perkembangan yang disebabkan

oleh banyaknya pemabangunan yang ada.

Wilayah Bintara yang luasnya sekitar 328,02 Ha dibagi menjadi delapan

(8) bagian yang disebut dengan Bintara I (satu) hingga Bintara VIII (delapan).

Disetiap wilayah yang ada di Bintara mempunyai 15 (lima belas) Rukun Warga

(Rw) dan 142 (seratus empat puluh dua) Rukun Tetangga (RT). Masing-masing

wilayah yang ada di Kelurahan Bintara dipimpin oleh kepala RW dibantu dengan

kepala RT yang berfungsi mempercepat proses administrasi di daerah Kelurahan

Bintara.

Secara administratif Bintara berbatasan dengan wilayah lain yakni:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kel. Kota Baru

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kel. Pondok Kopi (DKI Jakarta)

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kel. Bintara Jaya

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kel Kranji

Bintara merupakan daerah yang cukup startegis, karena daerahnya yang

terletak di tengah-tengah wilayah Jawa Barat dan Jakarta, dan daerah ini dibuat

menjadi daerah perbatasan. Selain itu, masyarakatnya yang dulu masih hidup dari

penghasilan dengan berkebun, sekarang mereka juga menghidupi dirinya sebagai

pedagang dan pegawai negeri maupun swasta. Hal ini dikarenakan sudah banyak

pendatang yang berdomisili di Bintara tersebut, sehingga sosialisasi masyarakat

(32)

2.2. Keadaan Penduduk

Masyarakat di daerah Bintara memiliki jumlah penduduk sebanyak 48.745

jiwa, dan 11.695 Kepala Keluarga. Berikut adalah tabel jumlah Kelurahan Bintara

berdasarkan umur.

Tabel. 1.

Rekapitulasi Penduduk Bintara Berdasarkan Kelompok Umur

NO. UMUR JUMLAH

Sumber : Data Kelurahan Bintara Tahun 2008

Dari data di atas dapat dilihat bahwa pertumbuhan masyarakat yang ada di

Bintara sangat pesat terlihat dari masih banyaknya anak-anak umur usia 0-4 tahun

mencapai 5969 jiwa dan 5-9 tahun mencapai 4873 jiwa. Hal ini berarti

menunjukan tingkat reproduksi masyarakatnya yang sangat pesat. Selain itu,

masyarakat di Bintara tersebut terlihat lebih banyak masyarakatnya yang dapat

dikatakan melihat dari golongan umurnya yang masih Produktif sekitar 81%

(33)

dapat dikatakan masyarakat yang berada di Bintara ini seharusnya kehidupan

ekonominya harus lebih baik, karena masih lebih banyak masyarakat yang

produktif dibandingkan masyarakat yang tidak produktif lagi.

Namun, hal tersebut lain faktanya yang terjadi bahwa masyarakat yang ada

di Bintara terutama etnis Betawinya kehidupan ekonomi tidak seluruhnya baik.

Hal tersebut karena, masyarakat yang masih produktif tidak semuanya

mempunyai pekerjaan yang layak karena, rata-rata karyawan yang bekerja di

daerah sekitar Bintara tersebut adalah masyarakat yang bukan setempat akan

tetapi masyarakat yang dari daerah lain. Untuk itu mereka menghidupi dirinya

sehari-hari dengan hanya berjualan kelontong atau warung dan sebagai tukang

ojek (pengendara motor), sehingga untuk mencukupi kebutuhannya pun kurang.

Untuk itu produktifitas masyarakat di Bintara tidak begitu baik.

Masyarakat yang berada di Bintara terdiri dari beberapa suku seperti

Betawi, Batak, Jawa, Sunda dan suku lainnya. Setiap suku yang ada di Bintara

juga memiliki bahasa sendiri. Namun, dalam pergaulan hidup sehari-hari

masyarakat yang ada yang ada di Bintara menggunakan bahasa Indonesia

meskipun ada beberapa masyarakat yang menggunakan bahasa daerahnya apabila

bertemu dengan orang yang sesuku dengannya.

Mayoritas masyarakat Bintara pada umumnya adalah masyarakat Betawi.

Betawi sendiri terbagi lagi menjadi 2 (dua) yaitu Betawi Kota dan Betawi Ora.

Betawi Kota adalah masyarakat Betawi yang telah banyak menerima pengaruh

dari etnis lain, sehingga cara hidup mereka dan budaya mereka pun sudah

(34)

masyarakat asli Kota Jakarta dan mereka secara ketat dan konsisten menyandang

tradisi Betawi dan tidak banyak menerima pengaruh dari budaya di luar Betawi.

Selain menurut pengertiannya Betawi juga dibedakan menurut lokasi

persebarannya yaitu Betawi Tengah, Betawi Udik dan Betawi Pinggiran3.

Masyarakat Betawi yang ada di Bintara adalah masyarakat Betawi yang disebut

Betawi Udik. Hal ini karena, selain masyarakatnya yang di pengaruhi oleh

kebudayaan sunda dan juga karena umumnya ekonomi mereka yang rendah yang

hanya bertumpu pada sektor pertanian. Selebihnya masyarakat yang tinggal di

Bintara adalah etnis lain.

Dengan semakin berkembangnnya daerah tersebut menyebabkan

masyarakat asli (Betawi) secara otomatis interaksi antara etnis yang satu dengan

etnis lain pun terjadi sehingga masyarakat Betawi sendiri mulai tergeser dari

daerah mereka. Walaupun demikian sosialisasi dan interaksi mereka dengan etnis

lain terjalin cukup baik hingga sekarang. Berikut adalah tabel jumlah penduduk

berdasarkan kelompok etnik.

3

. Betawi Tengah merupakan penduduk asli Betawi dan terletak di bagian tengah kota Jakarta yang dulu merupakan keresidenan Batavia dan sekarang termasuk Jakarta Pusat. Akan tetapi, tingkat perkawinan campur mereka cukup tinggi dibandingkan dengan orang Betawi yang lain. Berdasarkan tingkat ekonomi dan pendidikannya pun mereka termasuk yang paling tinggi karena, tidak hanya dalam negeri saja mereka bersekolah bahkan banyak juga anak mereka yang bersekolah di luar negeri.

Betawi Udik merupakan penduduk asli Betawi dan ada dua (2) tipe Betawi udik, yaitu mereka yang tinggal di daerah utara dan barat bagian Jakarta maupun tangerang dan mereka sangat dipengaruhi oleh kebudayaan cina dan lainnya adalah mereka yang tinggal di sebelah timur maupun selatan Jakarta. Secara ekonomi pada umumnya Betawi Udik berasal dari ekonomi bawah dibandingkan dengan Betawi Tengah dan Pinggir, dimana sebagian besar mereka bertumpu pada bidang pertanian. Dari segi tingkat pendidikan Betawi Udik masih tergolong rendah dibandingkan dengan taraf pendidikan Betawi Tengah dan Pinggir. Walaupun demikian mereka sangat menjunjung pendidikan agamanya.

(35)

Tabel. 2.

Rekapitulasi Penduduk Berdasarkan Kelompok Etnik

NO. KELOMPOK ETNIK JUMLAH JIWA

1. Betawi 15183

2. Jawa 10329

3. Batak 6852

4. Sunda 7912

5. Dll 8469

JUMLAH ETNIS 48745 Jiwa

Sumber : Data Kelurahan Bintara Tahun 2008

2.2.1. Tingkat Pendidikan

Secara Umum

Tingkat pendidikan di Bintara ini sudah dapat dikatakan baik. Hal ini

dikarenakan sudah banyak kemajuan teknologi yang terjadi di daerah Bintara

tersebut. Dari data yang di dapat dari Kelurahan Bintara bahwa tingkat pendidikan

di daerah ini rata-rata mengenyam pendidikan mulai dari tingkat sekolah dasar

hingga Perguruan Tinggi sudah lebih banyak hingga mencapai 98 % di

bandingkan dengan yang belum mengenyam pendidikan yaitu sekitar 2 %. Hal ini

disebabkan karena tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan

sudah semakin meningkat. Selain itu juga untuk mendapatkan penghidupan yang

layak dan juga status sosial yang lebih baik di masyarakat.

(36)

Rekapitulasi Keluarga Menurut Status Pendidikan

NO

RUKUN WARGA

(RW)

JUMLAH KELUARGA MENURUT STATUS PENDIDIKAN

Belum

JUMLAH 702 3742 6432 819 11695

Sumber: Data Kelurahan Bintara Tahun 2008

Secara Khusus.

Berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan mengenai tingkat

pendidikan para informan khusus dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan

dikalangan informan masih tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dari jumlah

keseluruhan dari informan yang mengenyam pendidikan sampai tingkat SLTP

hanya mencapai sekitar 30 % dari keseluruhan informan. Dengan demikian

persentase tersebut menunjukkan bahwa tingkat pendidikan bukanlah menjadi

sesuatu yang sangat penting di kalangan informan.

Adapun yang menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan tersebut

disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor ekonomi, karena kurangnnya

(37)

sangat minim yang hanya bekerja sebagai buruh atau pun pedagang yang menjual

sayur-sayuran ataupun buah-buahan. Selain itu faktor gender juga sangat memberi

pengaruh yang cukup kuat, dimana sebagian dari para informan berpikir bahwa

seorang wanita tidak perlu sekolah tinggi karena setelah lulus mereka tetap akan

menjadi seorang ibu rumah tangga yang bekerja hanya di rumah saja. Oleh karena

itu pendidikan yang sangat minim dikalangan informan sangat mempengaruhi

pengetahuan mereka juga.

2.2.2. Mata Pencaharian dan Pendapatan

Secara Umum

Adapun mata pencaharian masyarakat di kelurahan Bintara pada umumnya

adalah pegawai baik negeri maupun swasta, buruh lepas, wiraswasta serta

pedagang. Berikut ini adalah tabel yang menjelaskan tentang keadaan mata

pencaharian penduduk di Kelurahan Bintara.

Pada tabel di bawah menunjukkan bahwa produktifitas masyarakat yang

bekerja di daerah Bintara sangat banyak sekitar 95 % di bandingkan dengan

masyarakat yang tidak bekerja sekitar 5 % dari total seluruh masyarakat yang ada

di Bintara. Hal ini disebabkan karena pembangunan daerah atau pun lapangan

pekerjaan yang ada di daerah tersebut sangat berkembang pesat, sehingga dapat

memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat di Bintara.

(38)

Rekapitulasi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

NO JENIS MATA PENCAHARIAN JUMLAH JIWA

1. Buruh 9970

2. Pegawai negeri 6595

3. Pegawai swasta 9941

4. Wiraswasta 6745

5. Pedagang 9725

JUMLAH 42.976 Jiwa

Sumber: Data Kelurahan Bintara Tahun 2008

Secara Khusus

Secara khusus mata pencaharian para informan khusus yang ada di Bintara

adalah didominasi oleh buruh dan pedagang. Namun disamping itu ada sebagian

kecil dari mereka yang bekerja sebagai pegawai baik negeri maupun swasta. Hal

yang menyebabkan pekerjaan mereka yang paling mendimonasi adalah berdagang

atau buruh karena pengetahuan mereka tentang teknologi yang mereka tahu masih

minim. Adapun informan khusus yang menjadi perhatian penulis adalah

masyarakat pribumi dalam hal ini masyarakat Betawi yang ada di Bintara.

2.2.3. Pola Pemukiman

Pola pemukiman menunjukkan tempat bermukim manusia dan bertempat

tinggal menetap dan melakukan kegiatan atau pun aktivitas sehari-harinya.

Permukiman dapat diartikan sebagai suatu tempat (ruang) atau suatu daerah

(39)

setempat, untuk mempertahankan, melangsungkan, dan mengembangkan

hidupnya.

Pola pemukiman merupakan sifat persebaran, dan lebih banyak berkaitan

dengan akibat faktor-faktor ekonomi, sejarah dan faktor budaya. Dari uraian di

atas dapat disimpulkan bahwa pola pemukiman penduduk adalah bentuk

persebaran tempat tinggal penduduk berdasarkan kondisi alam dan aktivitas

penduduknya. Selain berdasarkan kondisi alam dan aktivitas penduduknya pola

pemukiman yang ada di Bintara sudah menjadi ciri khas masyarakat yang tinggal

di daerah tersebut.

Secara umum masyarakat yang berada di Bintara mempunyai pola

pemukiman yang berkelompok dimana pada masyarakat dahulu lebih cenderung

rumah mereka berdekatan dengan keluarga mereka sendiri, dan selebihnya lahan

kosong di daerah lainnya dan 10 meter hingga lebih adalah lahan kosong,

sehingga hal ini masih membuat pola pemukiman mereka berkelompok. Seiring

berkembangnya jaman di daerah pemukiman mereka pun semakin banyak

berubah. Hal ini disebabkan karena telah banyak terjadi pembangunan seperti

ruko (rumah toko), perumahan elite, jalan-jalan alternatif atau jalan tol, tempat

perbelanjaan (supermarket dan mall). Oleh karena itu, pola pemukiman yang

berada di Bintara berubah menjadi pola pemukiman yang menyebar dan pola

pemukimannya pun mengikuti jalan raya, rel kereta api, dan lainnya.

Namun semenjak semakin sulitnya dan meningkatnya taraf kehidupan di

(40)

di atas tanah pemerintah yang seharus bukan untuk dibangun menjadi tempat

tinggal. Dapat dilihat di bawah jembatan jalan tol (jalan alternative) yang berada

di Bintara banyak sekali terdapat rumah-rumah kumuh yang dibangun dan

warung-warung nasi atau warung kelontong. Dengan demikian, pola pemukiman

yang ada di Bintara menjadi berubah tidak tertata rapi yang diakibatkan karena

total

Gambar 1.

Pola Pemukiman di Bintara dulunya Berkelompok

Pola pemukiman berkelompok biasanya terdapat di dataran rendah dah

biasanya terdapat di daerah-daerah pedesaan. Kondisi ini berpengaruh terhadap

tingkat kesuburan tanah dan kondisi alam daerah tersebut. Selain itu kondisi ini

akan berpengaruh pada pola pemukiman penduduk di daerah itu, sperti di daerah

(41)

Gambar 2.

Pola Pemukiman Saat Ini Mengikuti Jalan dan Rel Kereta Api

2.2.4. Sistem Religi

Masyarakat Betawi umumnya mayoritas beragama Islam. Pengaruh Islam

yang kuat ini disebabkan oleh sejarah kota Jakarta yang dulunya merupakan

pelabuhan yang banyak didatangi oleh pedagang dari Arab dan Gujarat yang

membawa agama Islam. Hal ini juga terlihat pada masyarakat Betawi di Bintara

umumnya mayoritas beragama Islam sebagian kecil lainnya beragama Kristen.

Adapun suku Betawi yang beragama Kristen dan katholik mereka menyatakan

bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa

Portugis.

Di wilayah Bintara terdapat bangunan tempat ibadah yaitu mesjid

sebanyak 18 buah dan mushola sebanyak 48 buah. Gereja terdapat 1 buah saja,

sedangkan tempat ibadah umat Budha yaitu vihara tidak ada sama sekali. Berikut

(42)

Tabel 5

Rekapitulasi Penduduk Berdasarkan Agama

NO. AGAMA JUMLAH

1. ISLAM 29438

2. KRISTEN PROTESTAN 8942

3. KATHOLIK 6706

4. BUDHA 2422

5. HINDU 1237

JUMLAH 48745 Jiwa

Sumber: Data Kelurahan Bintara Tahun 2008

Masyarakat Bintara ini hidup rukun beragama dengan toleransi yang

cukup tinggi, mereka tidak mengindahkan perbedaan agama. Masyarakat lebih

cenderung pada hubungan saling membantu dan akrab satu sama lain mereka pun

saling tolong menolong jika ada diantara umat beragama tersebut mengadakan

sebuah acara keagamaan atau hari-hari besar agama. Mereka juga menjaga

keamanan dan kenyamanan bersama dan saling bertenggang rasa jika ada salah

satu agama sedang beribadah.

Di samping itu, pada hari-hari besar seperti hari Raya Idul Fitri, umat

Islam memberikan kue kepada tetangganya yang beragama lain dan begitu juga

sebaliknya. Terdapat juga organisasi pemuda-pemudi dari berbagai agama yang

ada di daerah tersebut seperti Karang Taruna. Selain itu juga, pada acara-acara

seperti pernikahan, kematian, sunatan, ulang tahun dan lain sebagainya

masyarakat di Bintara juga saling membantu dan saling mengundang tanpa ada

membedakan agama.

Organisasi yang dijalankan oleh pemuda-pemudi dari berbagai agama

(43)

17 Agustus mereka beramai-ramai bekerja sama untuk membuat acara ataupun

menghiasi wilayah yang ada di Bintara seperti membuat bendera di sepanjang

jalanan umum atau pun bergotong royong membersihkan lingkungannya

masing-masing. Tidak hanya dalam acara hari-hari kenegaraan atau pun acara hari-hari

besar keagamaan saja, tetapi mereka juga bergerak dalam bidang kemanusiaan

seperti jika terjadi banjir atau pun ada salah satu masyarakat yang mengadakan

hajatan atau dirundung kesedihan (kematian).

Organisasi yang di gerakkan oleh pemuda/pemudi karang taruna ini sangat

bermanfaat untuk melatih generasi baru dalam melatih kreatifitas mereka sendiri.

Dapat terlihat pada masyarakat di wilayah Bintara di RW 06 mereka menamai

karang taruna mereka dengan nama Rhumba. Mereka membuat tempat untuk

pencuci mobil dan motor yang terbuka untuk umum, dan dana yang mereka

dapatkan nanti digunakan untuk kegiatan mereka seperti membuat parade musik

atau pun kegiatan lainnya.

2.3. Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial.

Kesatuan kekerabatan yang terkenal pada masyarakat Betawi adalah

keluarga batih4, yang terdiri dari suami dan isteri, serta anak-anak yang di dapat

dari perkawinan atau adopsi. Dalam keluarga ini sering juga terdapat anggota

keluarga lain seperti ibu mertua atau keponakan pihak laki-laki atau pun

perempuan. Keluarga batih ini terbentuk melalui perkawinan, dimana setiap

pengantin yang baru menikah biasanya sementara waktu menetap di kediaman si

4

(44)

suami atau sering disebut dengan virilokal5. Selanjutnya, mereka pindah dan

menetap di tempat tinggal yang baru atau disebut dengan neolokal6, tidak ke pihak

laki-laki maupun pihak perempuan.

Lain hal dengan masyarakat Betawi yang berada di Bintara kebanyakan

dari meraka menetap atau bertempat tinggal dengan keluarga laki-laki meskipun

kehidupan ekonomi mereka berkecukupan. Hal ini dikarenakan menurut mereka

kebersamaan dengan keluarga lebih baik dan mereka dapat saling tolong

menolong satu sama lain dan dapat lebih erat lagi hubungan persaudaraan mereka.

Selain itu, disebabkan karena tanah yang mereka tempati masih tanah warisan

nenek moyang mereka atau pun orang tua mereka. Hal ini seperti yang dikatakan

oleh salah satu informan masyarakat asli Betawi yang dijumpai di Bintara yakni ;

“Saya tinggal bersebelahan dengan orang tua saya biar bisa bantu-bantu orang tua dan saudara saya karena orang tua saya sudah tua dan juga lebih enak dekat dengan orang yang sudah lama kita kenal. Selain itu juga, karena wilayah yang kami tempati juga masih tanah warisan nenek moyang kami” (Wawancara tanggal 10 Januari 2009).

Masyarakat Betawi juga merupakan salah satu dari sekian banyak suku

bangsa di Indonesia yang manganut sistem kekerabatan bilineal. Asas bilateral

menunjukan bahwa hubungan kekerabatan disusun berdasarkan garis keturunan

dihitung dari dua belah pihak ayah dan ibu atau dihitung melalui orang tua

laki-laki maupun wanita. Namun adat Betawi tidak membedakan antara anak laki-laki-laki-laki

dan anak perempuan.

5

Virilokal yang dipraktikkan berulang-ulang generasi demi generasi menciptakan kelompok kerabat patrilineal lokal yang berpusat pada laki. Untuk itu peneliti menganalisa bahwa hal ini juga salah satu faktor adanya garis keturunan yang diambil dari laki-laki.

6

(45)

Dalam sistem kekerabatan masyarakat Betawi tidak ada klen/marga

(seperti pada masyarakat Batak Toba). Sistem kekerabatan orang Betawi

dipengaruhi oleh adat dan agama Islam. Perkawinan pada masyarakat Betawi

umumnya dilakukan secara adat dan agama Islam, tampak sekali ketika upacara

akad nikah atau ijab kabul dilakukan. Namun ada juga yang melakukan upacara

perkawinan secara agama Kristen karena ada juga sebagian kecil dari masyarakat

Betawi yang beragama Kristen.

Masyarakat Betawi yang beragama Kristen tersebut adalah merupakan

campuran dari penduduk lokal dan keturunan Portugis. Bagan di bawah ini

menujukkan bahwa masyarakat Betawi garis keturunannya berdasarkan dari dua

garis keturunan dari ayah dan ibu dan garis keturunan mereka ini sama dengan

garis keturunan etnis Jawa. Di bawah ini adalah bagan garis keturunan bilateral

(46)

Bagan 1

Bagan Garis Keturunan Bilateral

Sumber : Buku Pengantar Antropologi Koentjaraningrat.

Dalam mencari jodoh, baik pemuda maupun pemudi bebas memilih teman

hidup mereka sendiri. Kesempatan untuk bertemu dengan calon kawan hidup itu

tidak terbatas dalam desanya, maka banyak perkawinan pemuda pemudi desa

tersebut dengan orang dari lain desa. Namun demikian, persetujuan orang tua

kedua belah pihak sangat penting, karena orang tualah yang akan membantu

terlaksananya perkawinan tersebut.

Adat masyarakat Betawi pun tidak ada perkawinan yang dilarang (tabu)

atau incest taboo, karena dalam masyarakat Betawi mereka tidak mengenal klen

atau marga dalam sistem kekerabatan mereka sehingga dalam pencarian jodoh

pun bebas kecuali perkawinan sedarah, adik dengan kakak kandung dengan satu

orang tua yang sama.

= Laki-laki

= Perempuan

= Garis Keturunan

(47)

Dalam masyarakat Betawi sendiri yang berada di Bintara maupun di

wilayah lain memiliki satu sistem organisasi yang dinamakan dengan Forum

Betawi Rempug (FBR) yang didirikan pada tanggal 29 Juli 2001. Organisasi ini

merupakan sebuah perkumpulan bukan hanya untuk para pemuda-pemudi Betawi

tetapi juga seluruh masyarakat yang asli orang Betawi. Organisasi ini dibangun

untuk mempererat kekerabatan dan terjalinnya silahturahmi satu sama lain antara

masyarakat Betawi sendiri.

Selain itu, tujuan didirikannya FBR tersebut adalah untuk memajukan

masyarakat Betawi sendiri agar mereka tidak tersingkir dari pesatnya

pembangunan di ibu kota. Organisasi ini memiliki asas yang berlandaskan pada

hukum Islam sehingga mereka kadang kala membuat suatu acara akbar seperti

pengajian yang dibuat di tempat terbuka atau pun di tempat yang telah ditentukan.

Selain itu juga tujuan dari dibuatnya lembaga FBR tersebut adalah untuk

menggambarkan secara lengkap gambaran dari etnis Betawi tersebut.

2.4. Nilai-Nilai Budaya di Masyarakat Betawi

Pada masyarakat Betawi nilai-nilai budaya sangat mereka jaga dan

dihargai terutama pluralisme, saling toleransi antar masyarakat dan melestarikan

kebudayaan yang mereka miliki. Sebagai contoh apabila di etnis Betawi

mengadakan suatu acara seperti perkawinan, khitanan dan lain sebagainya, sangat

terlihat rasa toleransi dan kerjasama yang kuat antara sesama masyarakat Betawi.

mereka juga sangat menjunjung tinggi nilai-nilai hukum-hukum keagamaan yang

(48)

Sejalan dengan berkembangnya jaman dan terjadinya banyak interaksi

dengan masyarakat dari suku yang berbeda maka nilai-nilai yang terkandung

dalam adat istiadat kebudayaan masyarakat Betawi lambat laun mengalami

banyak perubahan. Hal-hal yang berubah dapat kita lihat seperti dalam bidang

kesenian maupun dalam upacara perkawinan.

Namun dalam menyikapi hal tersebut masyarakat Betawi juga menyadari

bahwa, lambat laun seiring dengan berkembangnya jaman maka tidak menutup

kemungkinan nilai-nilai budaya Betawi semakin lama semakin pudar. Untuk itu,

masyarakat Betawi membuat suatu komunitas dengan nama FBR (Forum Betawi

Rempug) yang diharapkan dapat menjadi suatu wadah guna pelestarian budaya

Betawi. Hal ini juga dilakukan untuk menunjukkan kepada masyarakat umum

bahwa asumsi-asumsi yang timbul tentang etnis Betawi yang negatif dapat

(49)

BAB III

KONVERSI MINYAK TANAH KE GAS

3.1. Dasar dan Tujuan Konversi Minyak Tanah ke Gas

Program konversi minyak tanah ke elpiji secara resmi diluncurkan oleh

Wakil Presiden M. Yusuf Kalla didampingi Menteri Energi dan Sumber Daya

Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro pada 8 Mei 20077. Program tersebut

diluncurkan karena merupakan sebuah jalan keluar yang tepat dalam menghadapi

krisis ekonomi yang terjadi. Selain, di Indonesia juga terjadi di negara-negara

penghasil minyak lainnya. Hal ini dikarenakan melambungnya harga minyak

bumi di pasaran dunia internasional sekitar 90% dari harga ecerannya pada

masyarakat yang dulunya sekitar Rp.3500,00 menjadi Rp.10.000,00 hingga

Rp.12.000,00. Hal ini membuat pemerintah Indonesia pun menjadi kewalahan

atau kebingungan dalam mencari solusi supaya dana APBN untuk subsidi BBM

tidak melambung tinggi. Oleh sebab itu, pemerintah Indonesia terutama Wakil

Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral meluncurkan

sebuah kebijakan baru untuk masyarakat dengan menggantikan penggunaan

kompor minyak tanah ke kompor gas karena harga gas yang masih stabil atau

masih terjangkau oleh negara Indonesia.

Melihat kenyataan tersebut, maka kebijakan pemerintah untuk melakukan

konversi pemakaian bahan bakar dari minyak tanah ke gas elpiji sangat logis. Hal

ini dikarenakan harga minyak mentah international sudah melonjak sangat tajam.

7

(50)

Pada awal bulan mei 2008 sudah menembus angka US$ 120 per barel. Apabila

harga minyak tanah dalam negeri hendak dipertahankan, maka pemerintah harus

mengeluarkan dana APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) yang begitu

besar untuk mensubsidi terutama BBM (bahan bakar minyak) yang harus

ditanggung setiap tahunnya. Oleh karena itulah, pemerintah bersama DPR telah

bersepakat untuk menghapuskan subsidi BBM secara bertahap seperti tertuang dalam

UU No.25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas). Meskipun

demikian, subsidi minyak tanah dikecualikan. Dengan kata lain, meski telah

menerapkan harga pasar untuk bensin dan solar, pemerintah masih mensubsidi

minyak tanah untuk keperluan masyarakat berpendapatan rendah dan industri kecil8.

Ada hal lain yang menjadi dasar diberlakukannya konversi tersebut yaitu

cadangan minyak bumi di Indonesia sekarang sudah semakin menipis. Sejak

tahun 2003, Indonesia sebenarnya sudah menjadi negara net importer9 bahan

bakar minyak dan juga sebagai negara penghasil minyak sendiri. Tetapi Indonesia

tidak bisa mengolah dengan baik dan juga tidak bisa menjaga sumber daya alam

yang terbatas tersebut, sehingga menyebabkan minyak bumi yang ada di

Indonesia semakin menipis. Akan tetapi biar pun cadangan minyak bumi yang

mulai menipis pemerintah tetap mensubsidi.

Sementara dalam kenyataannya subsidi minyak tanah dalam dua tahun

terakhir di tahun 2007-2008 masih terasa memberatkan karena besarnya volume yang

harus disubsidi, seiring dengan berbagai krisis dan transisi yang terjadi dalam

8

.http://kolom.pacific.net.id/ind/eddy_satriya/artikel_eddy_satriya/menyoal_konversi_mi nyak_tanah_ke_gas.hmtl

9

Gambar

Gambar 2.
Gambar 3. Proses Pendistribusian yang warganya mengeluh tentang bayaran untuk
Gambar 4.
Gambar 5.
+4

Referensi

Dokumen terkait

Dari tabel 42 di atas dapat di ketahui bahwa responden yang mengatakan setelah mendapatkan pembagian kompor gas LPG tersebut, pengeluaran ekonomi untuk bahan bakar keluarga

Adapun kinerja perusahaan untuk koversi minyak tanah ke gas yaitu dengan dibantu kegiatan usaha pertamina Hulu dan Hilir untuk meciptakan kelancara pemasaran dan kebijakan

Implementasi Kebijakan Konversi Minyak Tanah Ke LPG ( Liquifield Petroleum Gas ) Di Kelurahan Tegal Besar Kecamatan Kaliwates Kabupaten Jember adalah benar-benar

Namun, dalam kasus program konversi minyak tanah ke LPG di pulau Gili Raja, rumah tangga sasaran bukan sama sekali tidak mengakses atau tidak menggunakan kompor

Himbauan dari pihak pertamina untuk menjual minyak tanah hanya kepada masyarakat sekitar. telah dia penuhi // Tidak jarang Aswin harus m emasang tulisan “Minyak Habis” /

Pemerintah selama ini terkesan menyepelekan masalah sosialisasi, seolah-olah jika sudah mengumumkan ke media massa semua unsur masyarakat akan mengerti dan

Skripsi yang berjudul Analisis Implementasi Kebijakan Konversi Minyak Tanah Ke LPG (Liquifield Petroleum Gas) di Kelurahan Tegalbesar Kecamatan Kaliwates

Dampak kenaikan harga minyak tanah terhadap penggunaan gas elpiji untuk keperluan rumah tangga di Desa Su- ngai Alam mengalami perubahan ka- rena masyarakat banyak yang beralih