• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Ruang Terbuka Hijau Terhadap Iklim Mikro di Kawasan Kota Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Ruang Terbuka Hijau Terhadap Iklim Mikro di Kawasan Kota Bogor"

Copied!
187
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH RUANG TERBUKA HIJAU TERHADAP IKLIM

MIKRO DI KAWASAN KOTA BOGOR

CHERISH NURUL AINY

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Pengaruh Ruang Terbuka Hijau Terhadap Iklim Mikro di Kawasan Kota Bogor” adalah benar karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari skripsi saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2012

Cherish Nurul Ainy

(3)

RINGKASAN

CHERISH NURUL AINY. Pengaruh Ruang Terbuka Hijau Terhadap Iklim Mikro di Kawasan Kota Bogor. Skripsi. Departemen Arsitektur Lanskap. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Di bawah bimbingan ALINDA FM ZAIN.

Kota Bogor merupakan salah satu kota yang dekat dengan ibukota Indonesia yaitu Jakarta. Hal ini berdampak pada perkembangan pesat yang juga terjadi di Kota Bogor, khususnya pembangunan. Pembangunan pesat terjadi di Kota Bogor di segala sektor termasuk kawasan industri, Central Bussines District

(CBD), perumahan, dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota. Jumlah lahan terbuka pun menurun dan meningkatnya lahan terbangun membuat RTH di Kota Bogor semakin sedikit. Hal ini mengakibatkan kenyamanan kota menurun. Kenyamanan dipengaruhi oleh keadaan RTH, hal ini dikarenakan di dalam RTH terdapat vegetasi yang dapat mempengaruhi iklim mikro yaitu sebagai perlindungan yang dapat mengurangi radiasi matahari dan mengurangi temperatur. RTH juga memiliki variasi jenis vegetasi yang berbeda yang dapat diklasifikasi berdasarkan strukturnya yaitu pohon, semak, dan rumput. Ketiganya diduga memiliki kemampuan menciptakan iklim mikro yang berbeda-beda, sehingga diperlukan adanya pengukuran iklim mikro pada ketiga struktur vegetasi tersebut.

Penelitian ini terlebih dulu mengidentifikasi keadaan penutupan lahan di Kota Bogor dengan menggunakan software dari Sistem Informasi Geografis yaitu Arc GIS 9.3 dan ERDAS Imagine 9.1. Sehingga dihasilkan peta penutupan lahan Kota Bogor dengan tiga klasifikasi yaitu: RTH, lahan terbangun, dan badan air. Hasil interpretasi peta tersebut menyatakan bahwa penutupan lahan di kota Bogor masih didominasi oleh RTH sebesar 54,76 persen dari luas keseluruhan Kota Bogor, untuk lahan terbangun sebesar 42,21 persen, dan sisanya badan air sebesar 3,03 persen. Hasil akurasi dari peta penutupan lahan Kota Bogor tahun 2011 dalam penelitian ini bernilai 85,14 persen. Tingkat ketelitian interpretasi minimum dengan menggunakan penginderaan jauh harus tidak kurang dari 85 persen menurut sistem klasifikasi penggunaan lahan dan penutup lahan USGS sehingga peta hasil klasifikasi penutupan lahan sudah dapat digunakan dalam penelitian ini. Peta penutupan lahan yang didapat kemudian di overlay dengan peta penggunaan lahan yang didapat dari Bappeda Kota Bogor, sehingga didapat empat kawasan yang sesuai untuk pengukuran iklim mikro.

Pengukuran iklim mikro dilakukan pada empat land use yaitu industri (PT Unitex), Central Bussines District (Bantarjati), perumahan (Bukit Cimanggu City), dan RTH kota (Kebun Raya Bogor). Pengukuran iklim mikro berupa suhu dan kelembaban udara dilakukan pada tiga struktur vegetasi yang berbeda yaitu pohon, semak, dan rumput. Hasil analisis suhu dan kelembaban udara pada setiap

(4)

udara pada rumput memiliki nilai paling rendah dan pohon memiliki nilai paling tinggi. Sehingga dapat disimpulkan pohon merupakan struktur vegetasi yang paling efektif memberikan kenyamanan iklim mikro bagi lingkungan sekitarnya.

Selain perbandingan struktur vegetasi setiap land use, dilakukan juga perbandingan struktur vegetasi pada semua land use. Hasil analisis menyatakan bahwa semua struktur vegetasi pada land use yang berbeda memiliki perbedaan suhu dan kelembaban udara yang secara signifikan pada taraf nyata 5 persen. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa land use yang berbeda mempunyai suhu dan kelembaban udara yang berbeda-beda tergantung dari karakteristik lingkungan dan jenis vegetasi pada setiap land use. Penilaian kenyamanan pada tiap struktur vegetasi juga dilakukan secara kuantitatif menggunakan Termal Humidity Index (THI). Hasil perhitungan THI menyatakan bahwa struktur vegetasi pohon pada land use RTH kota dapat memberikan kenyamanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan struktur vegetasi lainnya. Struktur vegetasi rumput pada kawasan CBD memiliki nilai kenyamanan yang paling rendah.

Hasil penelitian menyatakan bahwa pohon mampu mereduksi suhu udara sebesar 0,86-5,15°C lebih besar dibandingkan struktur vegetasi lainnya sehingga penanaman pohon dalam jumlah banyak pada RTH sangat direkomendasikan karena fungsinya sangat efektif dalam ameliorasi iklim. Selain itu, untuk RTH setiap land use direkomendasikan untuk memperhatikan karakteristik lingkungan masing-masing sehingga RTH yang ada lebih efektif dalam memenuhi kebutuhan tiap land use. Luas RTH pada tiap land use juga harus dipertahankan dan ditingkatkan karena menurut hasil penelitian, semakin luas RTH pada suatu kawasan, iklim mikro yang dihasilkan semakin baik.

(5)

PENGARUH RUANG TERBUKA HIJAU TERHADAP IKLIM

MIKRO DI KAWASAN KOTA BOGOR

CHERISH NURUL AINY

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

(6)

Judul Skripsi : Pengaruh Ruang Terbuka Hijau Terhadap Iklim Mikro di Kawasan Kota Bogor

Nama : Cherish Nurul Ainy

NIM : A44080011

Disetujui oleh

Dr. Ir. Alinda FM Zain, MSi Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA Ketua Departemen

(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga skripsi penelitian ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan dari bulan April hingga Agustus 2012 adalah Pengaruh Ruang Terbuka Hijau terhadap Iklim Mikro di Kawasan Kota Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Alinda FM Zain Msi, selaku pembimbing skripsi dan Dr Syartinilia SP, selaku pembimbing akademik yang telah banyak memberikan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Rudi Atmoko dari Bukit Cimanggu City, Bapak Ir Sukoco dari PT Unitex, dan Ibu Rinrin dari Kebun Raya Bogor yang telah memberi izin penulis untuk mengambil data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, Afdilla, Alya, Nayaka, Irfan, keluarga, teman-teman ARL 45 (khususnya teman satu bimbingan: Desti, Nefa, Salwa, dan Anggi), teman-teman dari laboraturium Analisis Spasial dan Lingkungan (Kak Reza, Kak Nana, Kak Age, Kak Irham, dan Kak Agus), dan teman-teman Shambala (khususnya Annisa, Evie, Dewi, Icha, Hasti, dan Ory) atas bantuan doa dan semangatnya.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2012

(8)

DAFTAR ISI

2.6 Sistem Informasi Geografis ... 13

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 15

3.2 Batasan Penelitian ... 15

3.3 Alat dan Bahan ... 16

3.4 Data Penelitian ... 17

3.5 Pengolahan Data Citra ... 17

3.6 Metode Pemilihan Lokasi Pengambilan Data ... 18

3.7 Parameter yang Diukur ... 19

3.8 Metode Pengukuran ... 19

3.9 Pengolahan dan Analisis Data ... 22

(9)

BAB IV KONDISI UMUM KOTA BOGOR

4.1 Profil Wilayah Kota Bogor ... 24

4.2 Kondisi Fisik Lingkungan ... 24

4.3 Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Bogor ... 29

4.4 Lokasi dan Titik Pengambilan Data ... 31

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Kota Bogor Tahun 2011 ... 37

5.2 Analisis Iklim Mikro pada setiap Land Use ... 43

5.3 Analisis Iklim Mikro Struktur Vegetasi pada Berbagai Land Use ... 52

5.4 Analisis Kenyamanan... 59

5.5 Rekomendasi RTH pada Land Use ... 61

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan ... 65

6.2 Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 67

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

3.1 Kebutuhan alat dan bahan ... 16

3.2 Data yang digunakan ... 17

3.3 Hari pengambilan data ... 20

4.1 Luas wilayah administratif Kota Bogor menurut kecamatan ... 24

4.2 Jumlah dan persebaran penduduk Kota Bogor menurut kecamatan ... 26

4.3 Jenis dan intensitas penggunaan lahan di Kota Bogor tahun 2007 ... 27

4.4 Pemilihan lokasi industri ... 31

4.5 Pemilihan lokasi CBD ... 32

4.6 Pemilihan lokasi perumahan ... 32

4.7 Pemilihan lokasi RTH kota ... 32

5.1 Luas Penutupan Lahan Kota Bogor Tahun 2011 ... 39

5.2 Penyebaran penutupan lahan setiap kecamatan di Kota Bogor ... 40

5.3 Presentase luasan RTH setiap land use yang sudah dipilih ... 41

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1.1 Kerangka pemikiran ... 5

3.1 Peta Jawa Barat dan Kota Bogor ... 15

3.2 Seperangkat alat Mini Microclimate Station Heavy Weather ... 16

3.3 Contoh hasil akurasi peta pentupan lahan ... 18

3.4 Alur pemilihan lokasi pengambilan data... 19

3.5 Bagan pengambilan data ... 21

3.6 Hasil tabel anova dalam uji-T ... 23

4.1 Suhu udara Kota Bogor pada tahun 2011... ... 25

4.2 Kelembaban udara Kota Bogor pada tahun 2011... ... 25

4.3 Peta RTRW Kota Bogor tahun 2011-2031... ... 30

4.4 Peta pemilihan lokasi pengambilan data ... 33

4.5 Vegetasi pengambilan data industri... ... 34

4.6 Vegetasi pengambilan data CBD... ... 35

5.1 Contoh lokasi penutupan lahan kelas ruang terbuka hijau ... 38

5.2 Contoh lokasi penutupan lahan kelas lahan terbangun ... 38

5.3 Contoh lokasi penutupan lahan badan air ... 39

5.4 Peta penutupan lahan Kota Bogor tahun 2011 ... 42

5.5 Suhu dan kelembaban udara pada kawasan industri ... 44

5.6 Suhu dan kelembaban udara pada kawasan CBD ... 46

5.7 Suhu dan kelembaban udara pada kawasan perumahan ... 48

5.8 Suhu dan kelembaban udara pada kawasan RTH kota ... 50

5.9 Suhu dan kelembaban udara di bawah naungan pohon ... 53

5.10 Suhu dan kelembaban udara di bawah naungan semak ... 56

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Peta lokasi kawasan industri... 70

2 Peta lokasi kawasan CBD... 71

3 Peta lokasi kawasan perumahan... 72

4 Peta lokasi kawasan RTH Kota... 73

5 Hasil akurasi Peta Landsat 7 ETM+... 74

6 Hasil pengukuran suhu dan RH di kawasan industri... 75

7 Hasil pengukuran suhu dan RH di kawasan CBD... 76

8 Hasil pengukuran suhu dan RH di kawasan perumahan... 77

9 Hasil pengukuran suhu dan RH di kawasan RTH Kota... 78

10 Hasil uji anova-one way hubungan antar struktur vegetasi pada PT Unitex.... 79

11 Hasil uji anova-one way hubungan antar struktur vegetasi pada CBD Bantarjati... 80

12 Hasil uji anova-one way hubungan antar struktur vegetasi pada perumahan Bukit Cimanggu City... 81

13 Hasil uji anova-one way hubungan antar struktur vegetasi pada Kebun Raya Bogor... 82

14 Hasil uji anova-one way hubungan antar pohon pada empat kawasan... 83

15 Hasil uji anova-one way hubungan antar semak pada empat kawasan... 84

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kota Bogor secara regional mempunyai keterkaitan erat dengan wilayah Provinsi DKI Jakarta sebagai pusat kegiatan di Pulau Jawa bahkan di Indonesia. Hal ini menyebabkan Kota Bogor memiliki perkembangan yang pesat sehingga terjadinya penurunan lahan terbuka dan meningkatnya lahan terbangun. Hasil sensus penduduk pada tahun 2010 menyatakan jumlah penduduk Kota Bogor mencapai 950.334 jiwa dan Kabupaten Bogor memiliki presentasi distribusi penduduk tertinggi di Jawa Barat sebesar 11,8 persen (BPS 2010). Hasil penelitian Karl et al (1988) dalam Effendi (2007) di Amerika Serikat secara lokal suhu udara meningkat sebesar 1°C setiap peningkatan populasi 100 ribu jiwa akibat urbanisasi.

Lahan terbuka dikonversi menjadi lahan terbangun untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Penurunan proporsi RTH di Kota Bogor mencapai 9 persen dalam periode tahun 1992-2005 (Agrissantika et al 2007 dalam Effendi 2007). Hal ini menyebabkan penurunan kualitas lingkungan yang drastis apalagi dengan adanya peningkatan emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan oleh perkembangan kota sehingga menyebabkan pemanasan global. Salah satu solusi untuk meminimalisir penurunan kualitas lingkungan adalah dengan meningkatkan ketersediaan dan efektifitas dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada kawasan kota. Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai penyeimbang ekosistem kota baik itu sistem hidrologi, klimatologi, keanekaragaman hayati, maupun sistem ekologi lainnya, bertujuan meningkatkan kualitas lingkungan hidup, estetika kota, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat (quality of life, human well being) (Joga dan Ismaun 2011).

(14)

radiasi matahari, mengurangi temperatur, sebagai pengikat energi untuk seluruh ekosistem, dan sebagai sumber hara mineral. Perubahan iklim mikro yang disebabkan oleh konversi lahan dapat diminimalisir dengan memberi vegetasi yang sesuai pada setiap peruntukan lahan, sehingga fungsi dari RTH dapat tetap dipertahankan.

Peruntukan lahan (land use) berhubungan dengan kumpulan aktivitas manusia yang berada pada sebidang lahan tertentu (Lillesand dan Kiefer 1979). Salah satu penyebab yang paling penting dari perubahan iklim adalah perubahan

land use. Para ahli percaya bahwa perubahan land use akan menyebabkan dampak perubahan iklim yang lebih kuat dibandingkan dengan polusi yang menyebabkan pemanasan global (Tursilowati 2007). Saat ini RTH kota sudah banyak diubah menjadi berbagai land use untuk mengakomodasi kebutuhan penduduk kota seperti perumahan, kawasan industri, dan Central Bussiness District (CBD) sehingga menyebabkan pengaruh RTH terhadap iklim mikro berbeda-beda. RTH umumnya terdiri dari vegetasi dengan berbagai struktur seperti pohon, semak, dan rumput. Ketiga struktur tersebut diduga mempunyai pengaruh yang berbeda-beda dalam ameliorasi iklim mikro dan memberikan kenyamanan bagi warga kota. Sehingga perlu dilakukan pengukuran agar dapat dianalisis perbedaan iklim mikro yang dihasilkan dan faktor penyebabnya untuk dapat menciptakan RTH yang lebih baik pada land use perkotaan.

Menurut Robinette (1981) dalam Dahlan (2004), lingkungan perkotaan sangat perlu disejuk-nyamankan karena suhu dan kelembaban udara akan mempengaruhi kekuatan fisik, aktivitas, dan mental seseorang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tentang adanya perbedaan iklim mikro pada struktur vegetasi yang berbeda pada land use yang berbeda. Penelitian ini menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG) untuk mengidentifikasi penutupan lahan Kota Bogor dan pengambilan data primer untuk mengukur iklim mikro pada setiap struktur vegetasi (pohon, semak, dan rumput) menggunakan alat Heavy Weather Mini Microclimate Station. Selain itu, digunakan uji statistik dan analisis nilai

(15)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut

1. Bagaimana kondisi penutupan lahan Kota Bogor saat ini?

2. Apakah struktur vegetasi (pohon, semak, dan rumput) pada land use yang berbeda menghasilkan iklim mikro (suhu dan kelembaban udara) yang berbeda?

3. Bagaimana pengaruh iklim mikro (suhu dan kelembaban udara) pada struktur vegetasi (pohon, semak, dan rumput) pada land use yang berbeda terhadap kenyamanan warga kota?

1.3 Tujuan

Tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah

1. Mengidentifikasi penutupan lahan di kawasan kota Bogor dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG).

2. Menganalisis perbedaan iklim mikro (suhu dan kelembaban udara) struktur vegetasi yang berbeda (pohon, semak, dan rumput) pada setiap

land use (industri, CBD, perumahan, dan RTH kota).

3. Menganalisis pengaruh iklim mikro (suhu dan kelembaban udara) pada struktur vegetasi yang berbeda (pohon, semak, dan rumput) pada setiap

land use (industri, CBD, perumahan, dan RTH kota) terhadap kenyamanan

user.

1.4 Manfaat

(16)

1.5 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah

1. Terdapat perbedaan secara nyata iklim mikro (suhu dan kelembaban) pada struktur vegetasi (pohon, semak, dan rumput) pada setiap land use.

2. Terdapat perbedaan secara nyata iklim mikro (suhu dan kelembaban udara) struktur vegetasi yang sama (pohon dengan pohon, semak dengan semak, dan rumput dengan rumput) pada land use yang berbeda (industri, CBD, perumahan, RTH kota).

1.6 Kerangka Pemikiran

(17)

Faktor-faktor Penyebab Perbedaan Iklim Mikro tiap Land Use pada Struktur Vegetasi yang Berbeda

Land cover

RTH Kota

Pohon Semak Rumput

Pohon Semak Rumput

Pohon Semak Rumput

Alat HeavyWeather

Pohon Semak Rumput

Data

Analisis

Rekomendasi RTH

Land use

Kota Bogor

Analisis Data Citra Menggunakan SIG

CBD

Perumahan Industri

Pengukuran Iklim Mikro RTH (Suhu, RH, Kecepatan Angin)

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kota

Kota dalam pengertian administrasi pemerintahan diartikan secara khusus, yaitu suatu bentuk pemerintah daerah yang merupakan daerah perkotaan. Wilayah kota secara administratif tidak selalu semuanya berupa daerah terbangun perkotaan (urban), tetapi umumnya juga masih mempunyai bagian wilayah yang berciri perdesaan (rural). Wilayah administratif pemerintahan kota dikelola oleh pemerintah kota yang bersifat otonom. Misalnya kota-kota ibukota kabupaten atau kota kecamatan tidak mempunyai struktur pemerintahan sendiri, tetapi merupakan bagian dari pemerintahan kabupaten (Sadyohutomo 2008).

Menurut Fandheli dan Muhammad (2009), pada saat ini hampir di setiap kota besar, telah ditemukan pulau-pulau panas (heat island) dengan suhu yang tinggi yang terdapat di beberapa bagian wilayah kota. Dampak lain akibat pembangunan adalah tata lanskap yang tidak teratur sehingga mengganggu tingkat kenyamanan seseorang yang berada di tempat itu. Keberadaan vegetasi pada Ruang Terbuka Hijau Kota (RTHK) dapat mempengaruhi kondisi atmosfer setempat, karena vegetasi pohon mampu menurunkan suhu, menaikkan kelembaban, dan mengurangi kecepatan angin.

(19)

2.2 Ruang Terbuka Hijau

Menurut Irwan (1992), dalam rangka memenuhi kebutuhan di perkotaan terutama untuk pemukiman, seringkali lahan hijau menjadi korban, bahkan sekarang sudah meliputi daerah sekitarnya atau daerah batas kota. Sekarang banyak bekas tegalan atau kebun-kebun sudah berubah menjadi bangunan. Tambahan lagi pada umumnya pelaksanaan penghijauan di perkotaan kurang memperhatikan keanekaragaman. Sebaliknya keberadaan gas-gas seperti karbondioksida dan lainnya semakin meningkat terutama karena peningkatan kendaraan bermotor dan industri. Hasil sidang lingkungan hidup sedunia di Jepang, November 1991 menyatakan bahwa kendaraan bermotor sebagai penghasil CO2 adalah penyebab utama kenaikan suhu di dunia.

Tumbuhan hijau mengambil CO2 untuk proses fotosintesis dan mengeluarkan C6H12O6 serta peranan O2 yang sangat dibutuhkan makhluk hidup. Oleh karena itu, peranan tumbuhan hijau sangat diperlukan untuk menjaring CO2 dan melepas O2 kembali ke udara. Di samping itu berbagai proses metabolisme tumbuhan hijau, dapat memberikan berbagai fungsi untuk kebutuhan makhluk hidup yang dapat meningkatkan kualitas lingkungan. Fungsi dan peranan penghijauan perkotaan, antara lain

1. Sebagai paru-paru kota, tanaman sebagai elemen hijau, pada pertumbuhannya menghasilkan zat asam (O2) yang sangat diperlukan bagi makhluk hidup untuk pernapasan.

2. Sebagai pengatur lingkungan (mikro), vegetasi akan menimbulkan hawa lingkungan setempat sejuk, nyaman, dan segar.

3. Pencipta lingkungan hidup (ekologis), penghijauan dapat menciptakan ruang hidup bagi makhluk hidup di alam.

4. Penyetimbangan alam (adaphis), merupakan pembentukan tempat-tempat hidup alam bagi satwa yang hidup di sekitarnya.

5. Perlindungan (protektif), terhadap kondisi fisik alami sekitarnya, (angin kencang, terik matahari, gas atau debu-debu).

(20)

8. Rekreasi dan pendidikan (edukatif), jalur hijau dengan aneka vegetasi mengandung nilai-nilai ilmiah.

9. Sosial politik ekonomi.

2.3 Struktur Vegetasi

2.3.1 Pohon

Pohon memiliki berbagai manfaat yaitu: pertama, pohon dapat menyediakan oksigen bagi manusia. Selain itu, pohon juga dapat menyegarkan persediaan udara kita dengan menyerap karbon dioksida yang kita hembuskan dan yang pabrik dan mesin hasilkan. Kedua, pohon dapat mengambil karbon dioksida. Ketiga, pohon dapat mereduksi polusi suara dengan berfungsi sebagai pelindung dari bising. Keempat, pohon menangkap partikel polusi udara dan menyerap sebagian, beberapa dimanfaatkan sebagai nutrisi untuk tumbuh. Kelima, pohon mengubah iklim mikro pada tapak dimana mereka tumbuh. Ketika suhu udara sebesar 29⁰C, suhu udara di atas permukaan jalan mungkin akan setinggi 42⁰C, tetapi di jalan yang banyak pohonnya, suhu udara permukaan hanya 31⁰C. Keenam, pohon mempunyai nilai estetik bagi lingkungan sekitar dan yang terakhir, pohon meningkatkan kualitas ruang terbuka hijau kota, membuatnya makin menarik bagi manusia dan membantu menciptakan komunitas yang kuat (Harman et al. 2000). 2.3.2 Semak

Semak adalah tumbuhan perdu yang mempunyai cabang kayu kecil dan rendah. Semak belukar dapat dimanfaatkan sebagai penghijauan rendah yang dapat dibentuk-bentuk dengan memotong tangkainya atau sebagai pagar hijau (Frick dan Suskiyanto 2007). Semak pada umumnya digunakan untuk menambah keindahan pada tapak karena semak memiliki bunga, warna, dan bentuk daun yang beraneka ragam. Semak digunakan untuk memperkaya struktur dari taman agar tidak terkesan monoton, selain itu semak juga dapat digunakan untuk mengalihkan angin dan berperan dalam ameliorasi iklim mikro setempat.

2.3.3 Rumput

(21)

paetan memiliki daun lebar, berstolon, dan membetuk lapisan rumput yang padat. Rumput paetan sangat cocok untuk area dengan pemeliharaan minimum dan basah serta drainase buruk. Biasanya digunakan di pinggir jalan atau di daerah miring sebagai tanaman pengontrol erosi. Selain itu, penggunaan rumput pada tapak juga dimanfaatkan sebagai pereduksi suhu.

2.4 Land Cover dan Land Use

Land cover dapat didefinisikan sebagai tempat biofisik dari permukaan bumi dan dekat dengan sub permukaan, termasuk biota, tanah, topografi, permukaan air, air tanah, dan struktur buatan manusia. Dalam pengertian lain,

land cover menjelaskan campuran dari alam dan tutupan lahan buatan manusia pada permukaan bumi. Land use dapat diartikan sebagai penggunaan lahan oleh manusia. Land use melibatkan campuran dari sikap dimana atribut biofisik dari lahan dimanipulasi dan tujuan dari penggunaan dari lahan tersebut (Turner dkk 1995 dalam Weng 2010). Hubungan antara land use dan land cover tidak selalu langsung dan nyata (Weng 1999 dalam Weng 2010). Satu kelas dari land cover

dapat mendukung berbagai penggunaan, dimana satu land use bisa saja ada termasuk pengelolaan dari beberapa land cover yang berbeda (Weng 2010). Berikut beberapa land use yang dominan di perkotaan yaitu industri, perumahan, CBD, dan RTH kota.

2.4.1 Industri

Dalam buku Dirdjojuwono (2004), menurut National Industrial Zoning

Comittee’s USA 1967, yang dimaksud dengan Kawasan Industri atau Industrial

Estate atau sering juga disebut Industrial Park adalah sebuah kawasan industri di atas tanah yang cukup luas, yang secara administrasi dikontrol oleh seorang atau sebuah lembaga yang cocok untuk kegiatan industri karena lokasinya, topografinya, zoning yang tepat, ketersediaan semua infrastrukturnya (utilitas), dan kemudahan aksesibilitas transportasi.

(22)

peralatan-peralatan pabrik (industrial plants), penelitian dan laboraturium pengembangan, bangunan perkantoran, bank, serta prasarana lainnya seperti fasilitas sosial dan umum yang mencakup perkantoran, perumahan, sekolah, tempat ibadah, ruang terbuka dan lainnya.

Di Indonesia, kawasan industri dapat mengacu pada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 1996. Menurut Keppres tersebut, yang dimaksud dengan kawasan industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana penunjang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri. Dengan demikian ciri-ciri dari kawasan industri adalah

1. lahan sudah dilengkapi sarana dan prasarana,

2. ada suatu badan (manajemen) pengelola yang memiliki izin usaha kawasan industri,

3. biasanya diisi oleh industri manufaktur (pengolahan beragam jenis). 2.4.2 Perumahan

Iklim mikro adalah salah satu aspek yang harus dipertimbangkan ketika membuat solusi desain yang memperhatikan proses alam. Persaingan bagi desainer pemukiman yaitu untuk menyadari dan memahami iklim mikro yang berbeda-beda sehingga desain dapat cocok untuk iklim mikro yang ada pada tapak. Setiap tapak mempunyai ciri-ciri iklim mikronya masing-masing yang dihasilkan dari kondisi tapak secara khusus termasuk orientasi tapak, lokasi rumah, orientasi rumah, ukuran rumah, topografi, pola drainase, jumlah, dan lokasi dari tumbuhan eksisting, area, dan lokasi dari material tanah termasuk

pavement (Booth NK dan Hiss JE 2004). 2.4.3 Central Bussines District (CBD)

(23)

sehingga dapat terlihat bagus, berfungsi secara baik, dan tidak menimbulkan konflik lalu-lintas. Selain itu, CBD dapat menciptakan grup yang terdiri dari penggunaan komersial yang berhubungan atau bergantung pada lalu-lintas jalan raya (Eckbo 1964).

2.4.4 Ruang Terbuka Hijau Kota

Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut (DPU 2005).

Menurut Dahlan (2004), salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas dan daya dukung lingkungan hidup di perkotaan adalah dengan mencipta-wujudkan kota di dalam hutan dan taman dengan menggunakan pendekatan Ilmu Hutan Kota. Definisi Hutan Kota menurut Rapat Teknis Departemen Kehutanan Tahun 1991: “Suatu lahan bertumbuhkan pepohonan di dalam wilayah perkotaan di dalam tanah negara maupun tanah milik yang berfungsi sebagai penyangga lingkungan dalam hal pengaturan tata air, udara, habitat flora dan fauna yang memiliki nilai estetika dan dengan luas yang solid yang merupakan ruang terbuka hijau pepohonan, serta areal tersebut ditetapkan oleh pejabat berwenang sebagai Hutan Kota.

2.5 Iklim Mikro

Iklim atau cuaca rata-rata terutama merupakan fungsi matahari. Kata “climate” berasal dari bahasa Yunani “klima”, yang berarti kemiringan bumi yang

(24)

tidak sama menerima panas, akan terjadi tekanan relatif rendah atau tinggi dibarengi hembusan angin dan konsekuensinya.

Di kota-kota besar, penggabungan semua efek struktur buatan manusia mengahasilkan perbedaan iklim yang signifikan dengan daerah pinggir kota sekelilingnya. Suhu rata-rata tahunan biasanya akan menunjukkan sekitar 1,5oF lebih hangat, sementara suhu minimum sekitar 3oF lebih tinggi. Dalam musim panas, kota-kota dapat menjadi 7oF lebih hangat dibandingkan dengan wilayah perdesaan sehingga dikenal dengan Heat Island. Namun, radiasi matahari akan lebih rendah sekitar 20 persen karena pengotoran udara dan kelembaban relatif berkurang sekitar 6 persen, sebab jumlah tanaman berkurang. Meski seluruh kecepatan angin berkurang sekitar 25 angin lebih rendah, kecepatan angin lokal yang sangat tinggi, seringkali terjadi di lorong-lorong kota (Lechner 2007).

2.5.1 Suhu Udara

Suhu adalah derajat panas atau dingin yang diukur berdasarkan skala tertentu dengan menggunakan termometer. Satuan suhu yang biasa digunakan adalah derajat celcius (oC), sedangkan di Inggris dan beberapa negara lainnya dinyatakan dalam derajat fahrenheit (oF).

o

C = 5/9 (oF-32o) o

F = 9/5 (oC)

Faktor-faktor yang mempengaruhi suhu di permukaan bumi, antara lain: 1. Jumlah radiasi yang diterima per tahun, per hari, dan per musim.

2. Pengaruh daratan atau lautan.

3. Pengaruh ketinggian tempat. Tentang hal ini, Braak memberikan rumusan sebagai berikut: makin tinggi suatu tempat dari permukaan laut, maka suhu akan semakin rendah.

to = (26-0,61 h) oC

4. Pengaruh angin secara tidak langsung, misalnya angin yang membawa panas dari sumbernya secara horizontal.

5. Pengaruh panas laten, yaitu panas yang disimpan dalam atmosfer.

6. Penutup tanah, yaitu tanah yang ditutupi vegetasi yang mempunyai temperatur yang lebih rendah daripada tanah tanpa vegetasi.

(25)

8. Pengaruh sudut datang sinar matahari. Sinar yang tegak lurus akan membuat suhu lebih panas daripada yang datangnya miring (Kartasapoetra 2004). 2.5.2 Kelembaban Udara

Kelembaban adalah banyaknya kadar uap air yang ada di udara. Dalam kelembaban dikenal beberapa istilah seperti:

1. Kelembaban mutlak adalah massa uap air yang berada dalam satu satuan udara, yang dinyatakan dalam gram/m3.

2. Kelembaban spesifik, merupakan perbandingan massa uap air di udara dengan satuan massa udara, yang dinyatakan dalam gram/kilogram.

3. Kelembaban relatif, merupakan perbandingan jumlah uap air di udara dengan jumlah maksimum uap air yang dikandung udara pada temperatur tertentu, yang dinyatakan dalam persen. Angka kelembaban relatif dari 0-100 persen, dimana 0 persen artinya udara kering, sedangkan 100 persen artinya udara jenuh dengan uap air dimana akan terjadi titik-titik air.

Keadaan kelembaban di atas permukaan bumi berbeda-beda. Pada umumnya, kelembaban tertinggi ada di khatulistiwa sedangkan terendah pada lintang 40o. Daerah rendah ini disebut horse latitude, curah hujannya kecil. Massa udara bergerak dari maksimum ke minimum, perpindahan akan menyebabkan kekosongan di daerah maksimum.

Besarnya kelembaban suatu daerah merupakan faktor yang dapat menstimulasi curah hujan. Di Indonesia, kelembaban udara tertinggi dicapai pada musim hujan dan terendah pada musim kemarau. Besarnya kelembaban di suatu tempat pada suatu musim erat hubungannya dengan perkembangan organisme terutama jamur dari penyakit tumbuhan, misalnya penyakit blister blight. Penyakit ini disebabkan oleh cendawan yang dikenal dengan exobasidium hexans, dan menyerang RH (relative humidity/kelembaban) selama 3 hari berturut-turut 85 persen. Disamping itu, RH dipengaruhi pula oleh adanya pohon pelindung, terutama apabila pohonnya rapat (Kartasapoetra 2004).

2.6 Sistem Informasi Geografis

(26)

dan menampilkan data spasial. Secara umum GIS atau dikenal pula dengan SIG (Sistem Informasi Geografis) merupakan sistem informasi berbasis komputer yang menggabungkan antara unsur peta (geografis) dan informasinya tentang peta tersebut (data atribut) yang dirancang untuk mendapatkan, mengolah, memanipulasi, analisa, memperagakan, dan menampilkan data spasial untuk menyelesaikan perencanaan, mengolah, dan meneliti permasalahan.

SIG membutuhkan masukan data yang bersifat spasial maupun deskriptif. Beberapa sumber data tersebut antara lain adalah:

1. Peta analog (antara lain peta topografi, peta tanah, dsb.). Peta analog adalah peta dalam bentuk cetakan. Pada umumnya peta analog dibuat dengan teknik kartografi, sehingga sudah mempunyai referensi spasial seperti koordinat, skala, arah mata angin, dsb. Peta analog dikonversi menjadi peta digital dengan berbagai cara. Referensi spasial dari peta analog memberikan koordinat sebenarnya di permukaan bumi pada peta digital yang dihasilkan. Biasanya peta analog direpresentasikan dalam format vektor.

2. Data dari sistem Penginderaan Jauh (antara lain citra satelit, foto-udara, dsb.) Data Penginderaan Jauh dapat dikatakan sebagai sumber data yang terpenting bagi SIG karena ketersediaanya secara berkala. Dengan adanya bermacam-macam satelit di ruang angkasa dengan spesifikasinya masing-masing, kita bisa menerima berbagai jenis citra satelit untuk beragam tujuan pemakaian. Data ini biasanya direpresentasikan dalam format raster.

3. Data hasil pengukuran lapangan. Contoh data hasil pengukuran lapang adalah data batas administrasi, batas kepemilikan lahan, batas persil, batas hak pengusahaan hutan, dsb., yang dihasilkan berdasarkan teknik perhitungan tersendiri. Pada umumnya data ini merupakan sumber data atribut.

(27)

BAB III

METODOLOGI

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Bogor, Jawa Barat (Gambar 1). Kota Bogor adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kota ini terletak ±56 km sebelah selatan Jakarta dan wilayahnya berada di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor. Kota Bogor dipilih sebagai lokasi penelitian karena Kota Bogor berada dalam wilayah administratif Provinsi Jawa Barat dan secara regional mempunyai keterkaitan sangat erat dengan Provinsi DKI Jakarta sehingga dimungkinkan akan terjadi pembangunan secara pesat dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) akan semakin sempit. Waktu pelaksanaan penelitian ini dari persiapan hingga penyusunan skripsi dari bulan April hingga Agustus 2012.

Gambar 3.1 Peta Jawa Barat dan Kota Bogor (sumber: www.google.com/images)

3.2 Batasan Penelitian

Penelitian ini dibatasi pada:

(28)

b. Pengukuran iklim mikro (suhu dan kelembaban udara) pada struktur vegetasi (pohon, semak, dan rumput) pada Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang terdapat pada setiap land use yang dipilih (industri, CBD, perumahan, dan RTH Kota).

3.3 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian berlangsung dapat dilihat pada Tabel 3.1

Tabel 3.1 Kebutuhan alat dan bahan

Alat Kegunaan

Heavy Weather ws2355 Mengukur iklim mikro

Kamera Digital Pengambilan gambar sampel

GPS Penitikan sampel

Software ArcGis 9.3 Mengolah data citra

Software Ms Excel Mengolah data pengukuran

Software SPSS 17 Mengolah hasil pengukuran

Software ERDAS Imagine 9.1 Mengolah datacitra

SoftwareHeavy Weather Mengolah data pengukuran

Bahan Kegunaan

Data Citra Kota Bogor Menghasilkan peta landuse dan landcover

Peta Kota Bogor Referensi

Bahan Pustaka Studi literatur, menghasilkan rekomendasi

Gambar 3.2 Seperangkat alat Mini Microclimate Station Heavy Weather tipe WS2355

Alat pengukur suhu dan kelembaban

Tripod untuk meletakkan alat

Suhu Udara (°C) RH (%)

(29)

3.4 Data Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang langsung diambil oleh peneliti di lokasi penelitian sedangkan data sekunder adalah data yang diambil dari sumber-sumber literatur yang membantu peneliti dalam mengolah data.

Tabel 3.2 Data yang digunakan

No Data Jenis Data Sumber Data

1 Kondisi Umum Kota Bogor

Sejarah

2 Data Citra Kota Bogor Sekunder Data Satelit

3 RTRW Kota Bogor Sekunder Bappeda Bogor

4 Peta Administrasi Kota Bogor Sekunder Bappeda Bogor

5 Vegetasi

Suhu Udara Primer Survey Lapang Kelembaban Udara

Sekunder BMKG Kecepatan Angin

3.5 Pengolahan Data Citra

Data citra yang didapat perlu diolah kembali dengan menggunakan software Arc GIS 9.3 dan ERDAS 9.1 Imagine untuk mendapatkan peta penutupan lahan. Analisis citra secara agenda dapat dikelompokkan atas (Lillesand dan Kiefer 1979):

 Pemulihan Citra (Image Restoration)

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data citra LANDSAT 7 ETM+ pada tanggal 12 dan 28 Agustus 2011 path/row 122/65. Data tersebut memiliki gap (data yang hilang) dikarenakan satelit LANDSAT 7 ETM+ mengalami kerusakan. Sehingga data tersebut perlu diperbaiki dengan menggunakan software IDL 7.0, software tersebut dapat memperbaiki data yang hilang dengan menggabungkannya dengan data citra sebelumnya.

 Penajaman Citra (Image Enhancement)

(30)

software Arc Gis 9.3. Setelah itu dilakukan penajaman citra menggunakan

software ERDAS Imagine 9.1 dengan memperbaiki histogram warna dari data citra.

 Klasifikasi Citra (Image Classification)

Setelah dilakukan pemulihan dan penajaman citra data sudah siap digunakan untuk klasifikasi penutupan lahan. Teknik klasifikasi yang digunakan pada penelitian ini adalah klasifikasi terbimbing (supervised classification).

Setelah membuat peta penutupan lahan, dilakukan penilaian akurasi pada peta. Pada penelitian ini tipe penilaian akurasi yang digunakan adalah dengan pengecekan lapang dengan GPS sehingga menghasilkan Ground Control Point

(GCP). GCP kemudian dimasukkan kedalam software ERDAS Imagine 9.1 dan dengan menggunakan tools accuracy assesment yang dapat menghasilkan nilai akurasi. Menurut USGS (U.S. Geographical Survey), minimal nilai akurasi peta adalah 85 persen (Lillesand and Kiefer 1979). Dapat dilihat pada gambar 3.3 untuk melihat nilai akurasi yang dihasilkan dari software ERDAS Imagine 9.1.

Gambar 3.3 Contoh hasil akurasi peta pentupan lahan

3.6 Metode Pemilihan Lokasi Pengambilan Data

Lokasi pengambilan data dilakukan pada empat land use yang dominan pada kawasan kota (urban) yaitu industri, Central Bussines District (CBD), perumahan, dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota untuk dapat mengetahui perbedaan iklim mikro (suhu dan kelembaban udara) pada setiap land use. Pemilihan lokasi pengambilan data pada penelitian ini dengan mengambil tiga kawasan terbesar tiap land use di Kota Bogor dengan batasan kawasan setiap kelurahan berdasarkan digitasi peta penggunaan lahan pada peta RTRW Kota Bogor tahun 2011-2031. Semakin besar kawasan, pengaruh iklim dari kawasan

(31)

lain dapat diminimalisir sehingga data yang diambil merupakan data representatif iklim mikro pada setiap penggunaan lahan yang berbeda.

Kemudian dilakukan overlay dengan peta penutupan lahan yang didapat dari pengolahan data citra Landsat 7 ETM+ sehingga diketahui luasan RTH pada masing-masing kawasan. Selanjutnya luas RTH pada tiga kawasan terbesar dari tiap land use dirata-rata dan luas RTH yang paling mendekati rata-rata yang dipilih sebagai lokasi pengambilan data karena diasumsikan kawasan yang dipilih memiliki luasan RTH yang representatif untuk setiap jenis penggunaan lahan yang berbeda. Peta pemilihan lokasi pengambilan data dapat dilihat pada Gambar 3.9.

Gambar 3.4 Alur pemilihan lokasi pengambilan data

3.7 Parameter yang Diukur

Parameter yang diukur pada setiap struktur vegetasi (pohon, semak, dan rumput) pada masing-masing land use meliputi unsur-unsur iklim mikro yaitu:

 Suhu

Relative Humidity (RH)

3.8 Metode Pengukuran

Pengukuran iklim mikro berupa suhu dan kelembaban udara dilakukan pada struktur vegetasi yag berbeda (pohon, semak, dan rumput) pada setiap land use (industri, CBD, perumahan, dan RTH kota). Untuk mengukur iklim mikro merupakan waktu ketika radiasi matahari paling maksimal dan merupakan waktu

(32)

puncak dari aktivitas manusia sehingga kenyamanan pada waktu tersebut perlu diketahui. Tabel hari pengambilan data dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3.3 Hari pengambilan data

(33)
(34)

3.9 Pengolahan dan Analisis Data

Setelah data iklim mikro berupa suhu dan kelembaban udara didapat, kemudian data ditabulasi dan dibuat grafik. Data yang sudah ada juga dianalisis secara statistik dengan menggunakan SPSS dengan teknik uji-T sehingga dapat diketahui perbedaan suhu dan kelembaban udara pada struktur vegetasi yang berbeda pada setiap land use secara nyata atau tidak. Berdasarkan hal tersebut di dalam melakukan uji-T digunakan hipotesis statistik, yaitu

Kasus 1 : mengetahui perbedaan nilai rata-rata suhu dan kelembaban udara pada pohon, semak, dan rumput. Sehingga dihasilkan hipotesis sebagai berikut:

H0 : tidak ada perbedaan nilai rata-rata suhu dan kelembaban udara pada pohon, semak, dan rumput.

H1 : ada perbedaan nilai rata-rata suhu dan kelembaban udara pada pohon, semak, dan rumput.

Kasus 2 : mengetahui perbedaan nilai rata-rata suhu dan kelembaban udara struktur vegetasi yang sama (contoh: pohon dengan pohon) pada semua land use. Sehingga dihasilkan hipotesis sebagai berikut:

H0 : tidak ada perbedaan nilai rata-rata suhu dan kelembaban udara pada struktur vegetasi yang sama pada land use yang berbeda

H1 : ada perbedaan nilai rata-rata suhu dan kelembaban udara pada struktur vegetasi yang sama pada land use yang berbeda

Kriteria keputusan, jika :

F hitung < F tabel maka H0 diterima F hitung > F tabel maka H0 ditolak dengan taraf nyata sebesar 0,05

Uji-T dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan suhu dan kelembaban udara pada struktur vegetasi dan land use yang ada sehingga dapat diketahui bahwa setiap struktur vegetasi mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mereduksi suhu dan meningkatkan kelembaban udara. Uji-T ini dilakukan menggunakan software SPSS Statistics 17.0 dengan menggunakan One-Way

(35)

Gambar 3.6 Hasil tabel anova dalam uji-T

Selain dilakukan uji statistik pada data hasil pengukuran, perlu diketahui tingkat kenyamanan dari iklim mikro yang ada. Fandeli dan Muhammad (2009) menyatakan, untuk memperoleh tingkat kenyamanan secara kuantitatif biasanya digunakan angka Temperature Humidity Index (THI). Satu diantara rumus yang dipakai untuk mengetahui tingkat kenyamanan yang dipakai oleh Nieuwolt sebagai berikut:

Dimana THI adalah Temperature Humidity Index atau angka ketidaknyamanan, T adalah suhu udara (°C), RH adalah kelembaban relatif (%). Pada daerah tropis seperti Indonesia, nilai THI di atas 27 orang sudah merasakan tidak nyaman.

3.10 Penyusunan Rekomendasi

Penelitian ini menghasilkan hasil analisis perbedaan iklim mikro (suhu dan kelembaban udara) pada land use yang berbeda (industri, CBD, perumahan, dan RTH kota) dan pengaruhnya terhadap kenyamanan warga kota. Hasil analisis tersebut kemudian digunakan untuk menyusun rekomendasi sehingga dapat dihasilkan rekomendasi untuk menciptakan RTH yang lebih baik pada setiap land use.

F hitung > F tabel, sehinggatolak H0

(36)

BAB IV

KONDISI UMUM KOTA BOGOR

4.1 Profil Wilayah Kota Bogor

Kota Bogor secara geografis terletak pada 106o48’ Bujur Timur dan 6o36’ Lintang Selatan dengan jarak ± 56 km dari ibukota Jakarta. Wilayah administrasi Kota Bogor terdiri atas 6 kecamatan dan 68 kelurahan, dengan luas wilayah keseluruhan 11.850 Ha. Secara administratif, wilayah Kota Bogor berbatasan langsung dengan

 Utara : Kecamatan Sukaraja, Kecamatan Bojong Gede, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor.

 Barat : Kecamatan Ciomas dan Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor.

 Selatan : Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor.

 Timur : Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor.

Tabel 4.1 Luas wilayah administratif Kota Bogor menurut kecamatan

No Kecamatan Luas (Ha) % Sumber : Bappeda Kota Bogor, Tahun 2008

4.2 Kondisi Fisik Lingkungan

4.2.1 Topografi dan Kelerengan

(37)

seluas 9.855,21 Ha atau 83,17 persen dan seluas 1.109,89 Ha atau sekitar 9,35 persen berada pada klasifikasi lahan agak curam (15-25 persen).

Lahan yang berada pada klasifikasi curam dan sangat curam (25 persen) hanya seluas 884,9 Ha atau sekitar 7,45 persen. Kondisi topografi dan kemiringan lereng tersebut menjadikan Kota Bogor memiliki variasi pola/tema pengembangan dalam pemanfaatan ruangnya, pada beberapa lokasi memiliki pemandangan (view) yang indah (ke arah Gunung Salak dan Gunung Pangrango) dan udara yang sejuk. Kondisi topografi dan kemiringan lereng ini menjadi potensi dalam pengembangan Kota Bogor.

Gambar 4.1 Suhu udara Kota Bogor pada tahun 2011 (Sumber: BMKG Darmaga, Bogor)

(38)

4.2.3 Geologi

Struktur geologi Kota Bogor terdiri dari aliran andesit, kipas aluvial, endapan, tufa, dan lanau breksi tufan dan capili. Secara umum, Kota Bogor ditutupi oleh batuan vulkanik yang berasal dari endapan (batuan sedimen) dua gunung berapi, yaitu Gunung Salak dan Gunung Pangrango (berupa batuan breksi tupaan/kpal). Lapisan batuan ini berada agak dalam dari permukaan tanah dan jauh dari aliran sungai. Endapan permukaan umumnya berupa aluvial yang tersusun oleh tanah, pasir, dan kerikil hasil pelapukan endapan, yang tentunya baik untuk vegetasi.

4.2.4 Penduduk

Jumlah penduduk Kota Bogor tahun 2007 adalah 905.132 jiwa dengan luas wilayah 118,50 km2 atau 11.850 Ha kepadatan penduduk Kota Bogor tahun 2007 adalah 7.638 jiwa/ km2 atau 76,38 jiwa/Ha. Kepadatan ini merupakan kepadatan bruto dimana luas wilayah yang dihitung adalah seluruh wilayah Kota Bogor baik kawasan terbangun maupun yang non terbangun.

Tabel 4.2 Jumlah dan persebaran penduduk Kota Bogor menurut kecamatan

No Kecamatan 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Sumber : Kota Bogor Dalam Angka 2000-2007, tahun 2001-2008

4.2.5 Penggunaan Lahan

Dari segi penggunaan lahan, luas wilayah Kota Bogor sebesar 11.850 Ha, secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 (dua ) bagian, yaitu:

(39)

dalamnya terdapat fasilitas kesehatan, pendidikan peribadatan, serta perkantoran.

 Kawasan Belum Terbangun dengan luas total sebesar 7.438,14 Ha atau sekitar 62,77 persen dari luas total kota Bogor, yaitu berupa situ, sungai, kolam, RTH, tanah kosong non RTH, dan lain-lain yang tidak teridentifikasi. Kawasan belum terbangun di Kota Bogor didominasi oleh RTH seluas 6.088,58 Ha atau 51,38 persen yang didalamnya terdapat hutan kota, jalur hijau jalan, jalur hijau SUTET, kawsan hijau, kebun raya, lahan pertanian kota, lapangan olahraga, sempadan sungai, TPU, taman kota, taman lingkungan, taman perkotaan, dan taman rekreasi.

Tabel 4.3 Jenis dan intensitas penggunaan lahan di Kota Bogor tahun 2007

No Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) %

f. Lahan Pertanian Kota 3.117,27 26,31

g. Lapangan Olahraga 151,51 1,28

h. Sempadan Sungai 181,79 1,53

14 Lain-Lain (Tidak Teridentifikasi) 144,35 1,22

(40)

4.2.6 Perekonomian

Potensi sektor-sektor ekonomi dapat dilihat dari kontribusi sektor-sektor ekonomi dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bogor. Dari data tersebut terlihat kecenderungan meningkatnya kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor industri. Sektor pengangkutan dan komunikasi memperlihatkan kontribusi stabil, sedangkan sektor lainnya cenderung menurun. Kontribusi sektor industri meningkat dari 20,74 persen pada tahun 1992 menjadi 24,13 persen pada tahun 2006. Sedangkan kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran adalah sebesar 28,75 pada tahun 1993 kemudian menjadi 41,08 persen.

Data PDRB dari tahun 1993-2006 memperlihatkan bahwa komponen penyumbang PDRB Kota Bogor terbesar adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran dengan presentase per tahunnya mencapai kisaran 28,75-41,08 persen terhadap PDRB. Sektor industri pengolahan menempati posisi kedua kontribusinya terhadap PDRB Kota Bogor dengan rata-rata kontribusi per tahun 20,74-24,13 persen. Dari data tersebut, maka jelas bahwa Kota Bogor memiliki potensi pertumbuhan yang tinggi pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran. 4.2.7 Pola Sebaran Kegiatan

Sebaran kegiatan di Kota Bogor berpusat di pusat kota. Hal ini terlihat dari dominasinya keberadaan pusat Kota Bogor (berada di wilayah Kecamatan Bogor Tengah) untuk kegiatan utama kota seperti perdagangan dan jasa, perkantoran, pemerintahan, dan fasilitas transportasi, semua berada pada kawasan ini. Deliniasi pusat Kota Bogor saat ini adalah sekitar Kebun Raya yang dikelilingi oleh Jalan Pajajaran, Jalan Jalak Harupat, Jalan Ir. H. Juanda, Jalan Oto Iskandardinata, melebar ke jalan Surya Kencana, Jalan Kapten Muslihat, Jalan Sudirman, Jalan RE Martadinata.

(41)

pula dengan fasilitas pendidikan, kesehatan, peribadatan skala kota yang masih menjadi tujuan pelayanan masyarakat pada umumnya serta fasilitas rekreasi seperti Kebun Raya, Museum, Taman Topi, dan FO. Untuk keperluan penduduk skala kota, masyarakat Kota Bogor dan wilayah sekitarnya masih bergantung pada kawasan ini.

4.3 Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Bogor

Tujuan penataan ruang merupakan arahan perwujudan ruang wilayah kota yang ingin dicapai pada masa yang akan datang. Tujuan disusun berdasarkan visi dan misi kota, karakteristik wilayah (potensi, masalah, isu strategis), dan peran dan fungsi kota. Kota Bogor, dalam RPJPD (Rencana Pembangunan jangka Panjang Daerah) Kota Bogor 2005-20025, memiliki visi sebagai “Kota Jasa yang Nyaman dengan Masyarakat Madani dan Pemerintahan yang Amanah”.

Visi ini berdasarkan pada kondisi Kota Bogor saat ini, tantangan yang dihadapi dalam 20 tahun mendatang dengan memperhitungkan modal dasar yang dimiliki oleh Kota Bogor, serta hasil kesepakatan bersama dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) di Kota Bogor.

4.3.1 Peran dan Fungsi Kota

Bogor berada dalam wilayah administratif Provinsi Jawa Barat dan secara regional mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan Provinsi DKI Jakarta khususnya dalam lingkup Kawasan Jabodetabekpunjur. Keterkaitan ini terlihat pada pola aktivitas pergerakan penduduk antara Kota Bogor dan kota-kota lainnya dalam lingkup Jabodetabekpunjur. Hal ini membentuk sistem dan struktur pelayanan kegiatan yang memerlukan penanganan dalam hal pembagian peran dan fungsi masing-masing kota di wilayah tersebut.

(42)
(43)

4.4 Lokasi dan Titik Pengambilan Data

Pemilihan lokasi pengambilan data iklim mikro dilakukan pada empat

land use yang berbeda yang merupakan land use yang dominan pada kawasan kota yaitu industri, CBD, perumahan, dan RTH kota. Pemilihan lokasi berdasarkan land use yang merupakan tiga kawasan terbesar di Kota Bogor dan luasan RTH-nya. Untuk pemilihan titik pengambilan data dipilih berdasarkan ketersediaan tiga struktur vegetasi yang berbeda yaitu pohon, semak, dan rumput yang memiliki kesamaan karakteristik umum pada semua land use. Berikut hasil pemilihan lokasi dan titik pengambilan data pada empat land use yang berbeda. 4.4.1 Pemilihan Lokasi Pengambilan Data pada Kawasan Industri

Berdasarkan peta RTRW Kota Bogor tahun 2011-2031 terdapat tiga kawasan industri terbesar yang terletak di kelurahan Cibuluh, Kebon Pedes, dan Sindang Rasa. Dapat dilihat pada Tabel 4.4, nilai dari rata-rata luas RTH dari ketiga kawasan industri tersebut sebesar 4,05 Ha. Kawasan industri pada kelurahan Sindang Rasa memiliki luas RTH sebesar 3,52 Ha merupakan luas yang paling mendekati rata-rata. Kawasan industri pada Kelurahan Sindang Rasa yaitu PT Unitex.

Tabel 4.4 Pemilihan lokasi industri

No Nama Kelurahan Luas Ruang Terbuka

Hijau (Ha)

4.4.2 Pemilihan Lokasi Pengambilan Data pada Kawasan Central Bussines

District (CBD)

(44)

Tabel 4.5 Pemilihan lokasi CBD

No Nama Kelurahan Luas Ruang Terbuka

Hijau (Ha)

4.4.3 Pemilihan Lokasi Pengambilan Data pada Kawasan Perumahan

Berdasarkan peta RTRW Kota Bogor tahun 2011-2031, tiga kawasan perumahan terbesar terdapat di kelurahan Baranangsiang, Cibadak, dan Curug Mekar. Rata-rata luas RTH dari tiga perumahan tersebut adalah sebesar 13,71 Ha, sehingga kawasan yang dipilih adalah kawasan perumahan pada kelurahan Cibadak dengan luas RTH sebesar 12,87 Ha. Setelah dilakukan ground check,

kawasan perumahan terbesar yang terdapat di Kelurahan Cibadak adalah Bukit Cimanggu City, sehingga pengambilan data iklim mikro diambil pada kawasan perumahan Bukit Cimanggu City.

Tabel 4.6 Pemilihan lokasi perumahan

No Nama Kelurahan Luas Ruang Terbuka

Hijau (Ha)

4.4.4 Pemilihan Lokasi Pengambilan Data pada Kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota

Kota Bogor memiliki dua RTH terbesar yaitu Hutan Cifor yang terletak di Kelurahan Situ Gede dan Kebun Raya Bogor yang terletak di Kelurahan Paledang. Untuk pemilihan lokasi pengambilan data RTH berbeda dengan land use lainnya karena Kota Bogor hanya memiliki dua RTH kota terbesar, untuk itu dipilih RTH kota yang memiliki luas paling besar. Sehingga pengambilan data untuk RTH kota diambil di Kebun Raya Bogor dengan luas 72,72 Ha.

Tabel 4.7 Pemilihan lokasi RTH kota

No Nama Kelurahan Luas Ruang Terbuka

Hijau (Ha)

Luas Lahan Terbangun (Ha)

1 Situ Gede 55,17 1,80

(45)
(46)

4.4.5 Pemilihan Titik Pengambilan Data pada Struktur Vegetasi

Struktur vegetasi yang dipilih untuk diukur pengaruhnya terhadap iklim mikro (suhu dan kelembaban udara) adalah pohon, semak, dan rumput. Ketiga struktur vegetasi tersebut memiliki karakteristik struktural yang berbeda sehingga diduga memiliki perbedaan dalam mempengaruhi iklim mikro di sekitarnya. Penentuan titik pengambilan dipilih saat turun lapang dengan menggunakan teknik purposive atau dengan adanya tujuan khusus dimana titik yang diambil merupakan tempat yang terdapat ketiga struktur vegetasi tersebut.

Penentuan pemilihan setiap struktur vegetasi setiap kawasan untuk diukur iklim mikronya berdasarkan pada karakter umum karena tidak adanya jenis pohon dan semak yang sama yang berada pada tempat yang berdekatan di setiap land use. Untuk pohon dipilih yang mempunyai tinggi sedang (6-15 meter), mempunyai karakteristik daun lebar, dan mempunyai fungsi sebagai penaung. Semak dipilih yang mempunyai tinggi sedang (1-2 meter) dan mempunyai karakteristik daun lebar. Rumput yang diambil pada semua land use adalah rumput gajah (Axonopus compressus) karena jenis rumput ini sangat mudah ditemukan di semua land use.

Titik pengambilan data yang dipilih adalah RTH berbentuk areal yang ada di depan pabrik (Lampiran 1). Pengukuran iklim mikro diambil pada pohon meranti kuning (Shorea macrobalanos) dengan tinggi ±6 meter, semak pangkas kuning (Duranta sp.) dengan tinggi ±1,5 meter, dan rumput gajah (Axonopus compressus).

(47)

Pengukuran iklim mikro pada kawasan CBD diambil pada pohon angsana (Pterocarpus indicus) dengan tinggi ±10 meter, semak bugenvil (Bougainvillea

sp.) dengan tinggi ±1,5 meter, dan rumput gajah (Axonopus compressus). Titik pengambilan data yang dipilih adalah RTH dengan bentuk linear karena pada CBD tidak ditemukan RTH dengan bentuk areal. Peta titik pengambilan data pada kawasan CBD dapat dilihat pada Lampiran 2.

Gambar 4.6 Vegetasi pengambilan data CBD (dari kiri Pterocarpus indicus, Bougainvillea sp., Axonopus compressus)

Pengukuran iklim mikro pada kawasan perumahan diambil pada pohon kerai payung (Felicium decipiens) dengan tinggi ±6 meter, semak firebush

(Hamelia patens) dengan tinggi ±1,5 meter, dan rumput gajah (Axonopus compressus). Titik pengambilan data dipilih pada taman lingkungan di tengah-tengah kawasan perumahan dengan tipe RTH berbentuk areal. Peta titik pengambilan data pada kawasan perumahan dapat dilihat pada Lampiran 3.

(48)

Peta titik pengambilan data pada kawasan RTH kota dapat dilihat pada Lampiran 4. Titik pengambilan data diambil ditengah-tengah kawasan RTH kota dimana tempat tersebut terdapat tiga struktur vegetasi berupa pohon, semak, dan rumput. Pengukuran iklim mikro dilakukan pada pohon anggerit (Nauclea lanceolata) dengan tinggi ±8 meter, semak soka (Ixora sp.) dengan tinggi ±1,5 meter, dan rumput gajah (Axonopus compressus).

(49)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Penutupan Lahan Kota Bogor Tahun 2011

Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley 1961 dalam LO 1996). Peta penutupan lahan menggambarkan keadaan RTH, lahan terbangun, dan badan air di Kota Bogor. Dalam penelitian ini dibutuhkan peta penutupan lahan untuk menentukan kawasan yang akan dipilih untuk pengambilan data iklim mikro (suhu dan kelembaban udara) di empat land use yang berbeda (industri, CBD, perumahan, dan RTH kota). Lokasi pengambilan data dipilih berdasarkan luasan RTH masing-masing

land use tersebut, sehingga digunakan Sistem Informasi Geografi (SIG) dalam memudahkan membuat peta penutupan lahan Kota Bogor. Penutupan lahan didapat dengan menggunakan klasifikasi citra satelit. Klasifikasi citra bertujuan untuk pengelompokan atau melakukan segmentasi terhadap kenampakan-kenampakan yang homogen dengan menggunakan teknik kuantitatif (Purwadhi 2001).

Citra yang digunakan adalah Landsat 7 ETM+ path/row 122/65 yang diambil pada tanggal 12 dan 28 Agustus 2011 yang kemudian dipotong dengan wilayah administrasi Kota Bogor. Wilayah administrasi Kota Bogor didapat dari hasil digitasi batas wilayah Kota Bogor pada peta RTRW Kota Bogor tahun 2011-2031. Data citra yang diambil menggunakan data citra tahun 2011 karena data citra tersebut merupakan data citra dari Landsat 7 ETM+ terbaru yang memiliki gangguan dari awan paling sedikit untuk menghasilkan peta yang lebih akurat. Klasifikasi citra dilakukan dengan menggunakan metode klasifikasi terbimbing (supervised classification). Metode klasifikasi terbimbing dipilih karena operator

(50)

dengan menggunakan identifikasi warna pada peta Landsat 7 ETM+. Klasifikasi penutupan lahan dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kategori yaitu:

1. Ruang Terbuka Hijau (RTH)

Tipe penutupan lahan pada kategori RTH di lokasi penelitian berupa hutan, taman kota, jalur hijau jalan, lapangan bola, dan lahan pertanian. Berdasarkan interpretasi hasil citra Landsat 7 ETM+ path/row 122/65 yang diambil pada tanggal 12 dan 28 Agustus 2011 dicirikan dengan warna hijau gelap hingga hijau terang pada peta dan proses pengklasifikasiannya dicirikan dengan warna hijau. Tipe penutupan lahan terbuka dapat dilihat pada Gambar 5.1.

Gambar5.1 Contoh lokasi penutupan lahan kelas ruang terbuka hijau 2. Lahan Terbangun

Tipe penutupan lahan pada kategori lahan tertutup merupakan lahan yang tertutup oleh struktur buatan manusia seperti bangunan dan jalan. Berdasarkan interpretasi hasil citra Landsat 7 ETM+ path/row 122/65 yang diambil pada tanggal 12 dan 28 Agustus 2011 dicirikan dengan warna merah sampai ungu gelap pada citra dan proses pengklasifikasiannya dicirikan dengan warna merah. Tipe penutupan lahan terbangun dapat dilihat pada Gambar 5.2.

Gambar 5.2 Contoh lokasi penutupan lahan kelas lahan terbangun 3. Badan Air

Badan Air pada tipe penutupan lahan merupakan area yang tertutup air seperti sungai dan danau. Berdasarkan interpretasi hasil citra Landsat 7 ETM+

(51)

dengan warna biru muda pada citra dan proses pengklasifikasiannya dicirikan dengan warna biru tua. Tipe penutupan lahan badan air dapat dilihat pada Gambar 5.3.

Gambar 5.3 Contoh lokasi penutupan lahan badan air

Setelah diperoleh peta penutupan lahan, dilakukan uji akurasi pada peta. Proses mendapatkan nilai akurasi peta ini adalah dengan mengambil Ground Control Point (GCP) yang diambil secara menyebar pada beberapa daerah di Kota Bogor. Hasil dari pengambilan titik kemudian diolah dengan menggunakan tool accuracy assesment pada software ERDAS Imagine 9.1. Hasil akurasi dari peta penutupan lahan Kota Bogor tahun 2011 dalam penelitian ini bernilai 85,14 persen. Hasil akurasi dapat dilihat pada Lampiran 5. Tingkat ketelitian interpretasi minimum dengan menggunakan penginderaan jauh harus tidak kurang dari 85 persen menurut sistem klasifikasi penggunaan lahan dan penutup lahan United States Geographical Survey (USGS) (Lillesand dan Kiefer 1979), sehingga peta hasil klasifikasi penutupan lahan tersebut sudah dapat digunakan dalam penelitian ini. Peta penutupan lahan yang dihasilkan mengandung informasi tentang luasan penutupan lahan yang ada di Kota Bogor yang dapat dilihat pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1 Luas Penutupan Lahan Kota Bogor Tahun 2011

No Klasifikasi Luas (Ha) Luas (%)

1 Ruang Terbuka Hijau 6464,25 54,76

2 Lahan Terbangun 4982,4 42,21

3 Badan Air 358,2 3,03

Total 11804,85 100

(52)

kota. Berdasarkan peraturan tersebut, Kota Bogor masih memiliki proporsi RTH yang ideal bagi kawasan kota. Hal ini merupakan potensi dan tantangan bagi Kota Bogor. Jumlah RTH yang masih banyak pada Kota Bogor harus dipertahankan dan ditingkatkan kualitasnya sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal bagi lingkungan dan warga kota.

Lahan terbangun pada Kota Bogor sebesar 4982,4 Ha atau 42,21 persen dari total luas keseluruhan. Lahan terbangun banyak berada di pusat kota dimana banyaknya kawasan perkantoran, dan perdagangan. Selain itu badan air memiliki luas sebesar 358,2 Ha atau 3,03 persen dari total luas keseluruhan. Badan air di Kota Bogor didominasi dengan adanya Sungai Cisadane dan Sungai Ciliwung yang melewati Kota Bogor. Dapat dilihat pada Tabel 5.2, penyebaran luasan RTH, lahan terbangun, dan badan air pada setiap kecamatan di Kota Bogor.

Tabel 5.2 Penyebaran penutupan lahan setiap kecamatan di Kota Bogor

(53)

dalam menjalankan aktivitasnya. Sehingga penting untuk meningkatkan kualitas RTH pada masing-masing land use pada wilayah perkotaan untuk dapat menjaga kenyamanan warga kota.

Pada penelitian ini dipilih empat kawasan dengan jenis land use yang berbeda untuk melihat pengaruhnya terhadap iklim mikro. Kawasan tersebut dipilih berdasarkan kawasan terbesar di Kota Bogor dan luasan RTH-nya. Kemudian dilakukan overlay antara peta penggunaan lahan pada RTRW 2011-2031 dan peta penutupan lahan yang dihasilkan pada penelitian ini. Sehingga diketahui jumlah luasan RTH di setiap kawasan dengan jenis land use yang berbeda yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.3 Presentase luasan RTH setiap land use yang sudah dipilih

Land Use RTH (Ha) LB (Ha) BA (Ha) Total RTH (%) Industri (PT Unitex) 3,52 9,54 0 13,06 26,95 CBD (Bantarjati) 8,91 30,51 0,81 40,23 22,15 Perumahan (BCC) 12,87 38,52 0,27 51,66 24,9

RTH Kota (KRB) 72,72 6,66 5,4 84,78 85,8

Keterangan : RTH = Ruang Terbuka Hijau BCC = Bukit Cimanggu City LB = Lahan Terbangun KRB = Kebun Raya Bogor BA = Badan Air

(54)
(55)

5.2 Analisis Iklim Mikro pada setiap Land Use

5.2.1 Analisis Iklim Mikro Kawasan Industri

Sektor perindustrian yang akan dikembangkan di Kota Bogor adalah industri non polutan dan ramah lingkungan baik berupa industri kecil, menengah maupun besar. Pengembangan industri yang tidak berwawasan lingkungan seperti menggunakan potensi air yang sangat banyak, berpolusi udara tinggi, sudah tidak mungkin dialokasikan di Kota Bogor. Kawasan industri yang direncanakan pun terbatas pada kawasan yang telah berkembang industri tidak ada penambahan kawasan/lokasi industri baru kecuali untuk kegiatan industri kecil/industri rumah tangga (Bappeda 2011). Salah satu kawasan industri di Bogor adalah PT Unitex. PT Unitex merupakan industri penghasil textil, PT Unitex pada saat ini telah mendapatkan Peringkat Hijau pada penilaian Proper Prokasih yang dilakukan oleh Bapedal. Hal ini menunjukkan bahwa PT Unitex merupakan salah satu industri yang telah berwawasan lingkungan cukup baik.

(56)

Gambar 5.5 Suhu dan kelembaban udara pada kawasan industri

Selisih suhu udara pohon dengan semak 2,07⁰C, selisih suhu udara semak dengan rumput mencapai 1,41⁰C, dan selisih suhu udara pohon dengan rumput mencapai 3,48⁰C. Suhu udara paling tinggi adalah suhu udara di atas rumput, hal ini disebabkan karena rumput secara langsung menerima sinar matahari tanpa adanya naungan. Suhu udara di bawah naungan semak lebih tinggi daripada pohon dan lebih rendah daripada rumput, hal ini dikarenakan naungan yang diberikan semak lebih sedikit dibandingkan pohon, namun semak lebih mampu mereduksi suhu udara dibandingkan rumput.

Gambar

Gambar 3.5  Bagan pengambilan data
Gambar 3.6  Hasil tabel anova dalam uji-T
Gambar 4.1  Suhu udara Kota Bogor pada tahun 2011 (Sumber: BMKG Darmaga,
Tabel 4.3  Jenis dan intensitas penggunaan lahan di Kota Bogor tahun 2007
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil yang telah diperoleh dan dinyatakan dalam grafik iklim mikro, terlihat bahwa suhu yang dihasilkan pada struktur vegetasi pohon, semak dan rumput pada

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perencanaan Ruang Terbuka Hijau untuk Ameliorasi Iklim Mikro Kota Depok (Studi Kasus: Kecamatan Beji) adalah

Kota Bogor dapat dikatakan belum cukup dalam memenuhi luasan RTH khususnya lahan bervegetasi pohon untuk kebutuhan oksigen akibat terjadinya perubahan tutupan

Pengambilan data iklim mikro (suhu udara dan kelembaban) dilakukan pada 9 titik contoh yang telah ditentukan terlebih dahulu sebagai titik contoh untuk tipe pemanfaatan ruang

Oleh karena itu, perlu dipikirkan alternatif pemecahan masalah dalam hal ini perencanaan yang terpadu yang berkaitan dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH) baik berupa perumahan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai sejauh mana vegetasi pohon penyusun RTH di Kota Pontianak dapat memenuhi fungsi ekologisnya serta

Jenis Tumbuhan Bukan Pohon pada RTH Hutan Kota Taman Beringin, Taman Olahraga dan Rekreasi Gadjah Mada, dan Taman Kota Ahmad Yani... Jenis Rumput dan Semak pada RTH Hutan Kota

Pada perumahan berskala besar, terdapat 100% sampel disediakan RTH di kavlingnya oleh developer dengan rata-rata prosentase luasan 12,2% dari luas kavling dan RTH