HAK MENGUASAI TANAH OLEH NEGARA
TERHADAP HAK ULAYAT
TESIS
Oleh
HAKIM JANTER PARLUHUTAN SITORUS 077011024/MKn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
HAK MENGUASAI TANAH OLEH NEGARA
TERHADAP HAK ULAYAT
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan Pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Oleh
HAKIM JANTER PARLUHUTAN SITORUS
077011024/MKn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Telah diuji pada
Tanggal : 13 Maret 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin , SH, MS, CN Anggota : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS
2. Dr. T. Keizerina Devi , SH, CN, Mhum
3. Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn
ABSTRAK
Kewenangan Pemerintah untuk mengatur bidang pertanahan tumbuh dan mengakar dari Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang menegaskan bahwa ”bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya oleh kemakmuran rakyat”. Dan hal ini ditegaskan juga dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria. Hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya melahirkan hak ulayat, dan gabungan antara perorangan dengan tanah melahirkan hak-hak perorangan atas tanah.
Hak menguasai tanah oleh Negara dipegang oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dapat mempunyai wewenangtersebut apabila ada pelimpahan hak dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (tugas pembantuan). Hal ini secara tegas tercantum dalam Pasal 2 ayat 4 Undang-Undang Pokok Agraria yang berbunyi” hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada kepala daerah-daerah dan masyarakat hukum adat, sekedar diperlikan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan Peraturan Pemerintah. Dengan demikian maka pelimpahan wewenang untuk melaksanaan hak penguasaan dari Negara atas tanah itu adalah merupakan pendelegasian.
Peraturan perundang-undangan di Indonesia, disamping ada yang mengakui dan menghormati hak ulayat juga ada yang mengingkari hak ulayat masyarakat hukum adat. Pengingkaran tersebut dilakukan dengan cara mengingkari eksistensi tanah ulayat yang dinyatakan sebagai tanah Negara. Dengan dinyatakannya tanah ulayat sebagai tanah Negara meyebabkan hilangan hak-hak masyarakat hukum
adat/warga masyarakat hukum adat yang berdasar hak ulayatnya.
Untuk membahas permasalahan tersebut di atas, maka sifat penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu suatu penelitian yang mengungkapkan suatu masalah, keadaan atau peristiwa dengan memberikan suatu penilaian secara menyeluruh, luas, mendalam, dari sudut pandang ilmu hukum, yaitu dengan meneliti asas-asas hukum, kaidah hukum, dan sistematis hukum, dan jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan data primer dan data sekunder, oleh karena itu cara yang ditempuh dalam penelitian ini adalah melalui Penelitian kepustakaan. Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan adalah data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer, sekunder, dan tertier. Alat pengumpulan data dalam melakukan penelitian ini adalah dengan menggunakan studi dokumen, yaitu dengan meneliti, mempelajari, menganalisis bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.
ABSTRACT
Government authority in land affairs is growth and based on Article 33 paragraph 3 of Constitution of Republic of Indonesia (UUD RI) that said, ”Earth, Land and Natural resources on it occupied by State and use optimally for society prosperity”. This supported by Act No. 5 of 1960 concerning to Principal Act of Agraria. Alaw relationship betwwen State and Land create a right for land occupation by State, a law relationship between custom law in the grant land create a grant right and combination between individual and land create the individual right on the land.
The right of land occupation by the State held by the national government and the local government can get the authority if there is delegation of the right from the national government to the local government. This indicated in article 2 paragraph 4 of Principal Act of Agraria that said, ”A right to occupy the land by State aforementioned can be delegated to the local governments and custom law society if required and did not vialote the national interest according to the government rule. Therefore, the authority delegation in the implementation of land occupation by Stateis a delegation.
The regulation in Indonesia, in addition to recognize the grant rights, there are also the law that neglect the custom right of society. The denial implemented by neglect the existence of the grant land as a State’s land. The statement of the grant land as state’s land cause the removing of the society right of the custom law society.
In order to discuss the aforementioned problem, this research is a normative yuridical study as a research thet study a problem, event or situation by provide the total, detail appraisal in the law perspective, i.e. by study the law principles, law norms and law systematics and the type of study in this research is study using the primary and secondary data. Therefore, this research was conducted by library research. The data from the library research is secondary data from the subject of primary, secondary and tertiery law. The data collecting in this study is document study by review, study, analyze the primary, secondary and tertiary law subject.
Keywords : Grant right, Land occupation, Government
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimphakan berkat dan karunianya yang tidak terkira sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini dengan judul” Hak Menguasai Tanah Oleh Negara Terhadap
Hak Ulayat”.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah
memberikan bantuan, bimbingan, dan dukungan dalam proses penyelesaian tesis ini,
sebagai berikut :
1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp.A.(K), Selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara Di Medan, yang telah memberikan kesempatan
pada penulis untuk melanjutkan studi sampai dengan memperoleh gelar
Magister Di Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Di Medan.
2. Bapak Prof. DR. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara; Bapak Prof. DR Muhammad Yamin SH, MS, CN
selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara; serta Para Guru Besar dan Dosen-dosen yang
telah membimbing dan memberi ilmu-ilmu pengetahuan yang sangat berguna
3. Bapak Prof. DR Muhammad Yamin SH, MS, CN; Bapak Prof. DR. Alvi
Syahrin, SH,MS; Ibu DR. T.Keizerina Azwar, SH,CN,M.Hum, selaku Komisi
Pembimbing; Bapak DR. Faisal Akbar Nasution, SH,M.Hum; Bapak Syahril
Sofyan SH,MKn, selaku Komisi Penguji yang dengan sabar membantu
memberikan bimbingan dan saran kepada penulis dalam penyusunan tesis ini.
4. Seluruh Staf Sekretariat Program Studi Magister Kenotariatan Universitas
Sumatera Utara yang telah membantu dan mengurus administrasi penulis
selama kuliah.
5. Teman-teman di Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera
Utara, baik yang sudah mendapat gelar Magister Kenotariatan maupun yang
masih berjuang meraih gelar Magister Kenotariatan.
6. Kepada Orang Tua penulis, ayahanda Joram Sitorus dan ibunda Mardurum
Silaen, yang telah menjadi motivasi dalam hidup penulis, yang selalu berdoa,
memberikan kasih sayang, semangat, memberikan dorongan baik moril
maupun materil.
7. Kepada saudara-saudara penulis, Surungan Sitorus, Norma Sitorus (Alm),
Hotman Sitorus, Agustinus Sitorus, Netty Sitorus, Bedman Sitorus, Ronald
Sitorus, Ellis Sitorus, Kristina Sitorus, beserta keluarga masing-masing yang
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan berkat dan karunia-Nya kepada
kita semua dan terima kasih kepada semua pihak yang banyak membantu penulis.
Harapan penulis semoga tesis ini dapat bermanfaat untuk pengembangan Ilmu
Pengetahuan Hukum khususnya di bidang Hukum Agraria.
Medan, 26 Pebruari 2010 Hormat Penulis
RIWAYAT HIDUP
A. Keterangan Pribadi
1. Nama : Hakim Janter Parluhutan Sitorus
2. Tempat/ Tanggal lahir : Simpang Tiga, 29 Juni 1984
3. Status Perkawinan : Belum Kawin
4. Alamat : Jalan Perkutut Gg. Mulia No. 373
5. Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
6. Agama : Kristen Protestan
B. Keterangan Keluarga Nama Orang Tua
a. Ayah : Joram Sitorus
b. Ibu : Mardurum Silaen
C. Riwayat Pendidikan :
1. SD Negeri 1 Parsambilan Tahun 1996
2. SMP Negeri 1 Silaen Tahun 1999
3. SMU Swasta Cahaya Medan Tahun 2002
4. S1 Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun 2006
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR... iii
RIWAYAT HIDUP... v
DAFTAR ISI... vi
BAB I : PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 10
1.3. Tujuan Penelitian ... 10
1.4. Manfaat Penelitian ... 10
1.5. Keaslian Penelitian ... 11
1.6. Kerangka Teori dan Konsepsi... 12
1. Kerangka Teori ... 12
2. Kerangka Konsepsi ... 24
1.7. Metode Penelitian ... 27
1. Sifat Penelitian ... 27
2. Jenis Penelitian ... 27
3. Alat Pengumpulan Data... 28
BAB II : PEMBATASAN WEWENANG PEMERINTAH TERHADAP
HAK ULAYAT YANG DIATUR DALAM UUPA... 30
2.1. Hak Menguasai Tanah dalam UUPA ... 30
2.2. Hak menguasai Tanah oleh Negara Dalam Otonomi Daerah. 47 BAB III : TERHIMPITNYA HAK ULAYAT OLEH BERLAKUNYA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG LAINNYA... 65
3.1. Undang-Undang No 5 Tahun 1967 jo UU No 41 Tahun 1999 Tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Kehutunan... 65
3.2. Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan... 84
3.3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi... 92
BAB IV : HAK – HAK ATAS TANAH MENURUT UUPA... 99
4.1 Hak Milik... 99
4.2 Hak Guna Usaha (HGU) ... 110
4.3 Hak Guna Bangunan (HGB) ... 116
4.4 Hak Pakai... 122
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN... 128
5.1. Kesimpulan ... 128
5.2. Saran... 129
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Kewenangan Pemerintah untuk mengatur bidang pertanahan tumbuh dan mengakar dari Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang menegaskan bahwa ”bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya oleh kemakmuran rakyat”. Dan hal ini ditegaskan juga dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria. Hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya melahirkan hak ulayat, dan gabungan antara perorangan dengan tanah melahirkan hak-hak perorangan atas tanah.
Hak menguasai tanah oleh Negara dipegang oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dapat mempunyai wewenangtersebut apabila ada pelimpahan hak dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (tugas pembantuan). Hal ini secara tegas tercantum dalam Pasal 2 ayat 4 Undang-Undang Pokok Agraria yang berbunyi” hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada kepala daerah-daerah dan masyarakat hukum adat, sekedar diperlikan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan Peraturan Pemerintah. Dengan demikian maka pelimpahan wewenang untuk melaksanaan hak penguasaan dari Negara atas tanah itu adalah merupakan pendelegasian.
Peraturan perundang-undangan di Indonesia, disamping ada yang mengakui dan menghormati hak ulayat juga ada yang mengingkari hak ulayat masyarakat hukum adat. Pengingkaran tersebut dilakukan dengan cara mengingkari eksistensi tanah ulayat yang dinyatakan sebagai tanah Negara. Dengan dinyatakannya tanah ulayat sebagai tanah Negara meyebabkan hilangan hak-hak masyarakat hukum
adat/warga masyarakat hukum adat yang berdasar hak ulayatnya.
Untuk membahas permasalahan tersebut di atas, maka sifat penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu suatu penelitian yang mengungkapkan suatu masalah, keadaan atau peristiwa dengan memberikan suatu penilaian secara menyeluruh, luas, mendalam, dari sudut pandang ilmu hukum, yaitu dengan meneliti asas-asas hukum, kaidah hukum, dan sistematis hukum, dan jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan data primer dan data sekunder, oleh karena itu cara yang ditempuh dalam penelitian ini adalah melalui Penelitian kepustakaan. Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan adalah data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer, sekunder, dan tertier. Alat pengumpulan data dalam melakukan penelitian ini adalah dengan menggunakan studi dokumen, yaitu dengan meneliti, mempelajari, menganalisis bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.
ABSTRACT
Government authority in land affairs is growth and based on Article 33 paragraph 3 of Constitution of Republic of Indonesia (UUD RI) that said, ”Earth, Land and Natural resources on it occupied by State and use optimally for society prosperity”. This supported by Act No. 5 of 1960 concerning to Principal Act of Agraria. Alaw relationship betwwen State and Land create a right for land occupation by State, a law relationship between custom law in the grant land create a grant right and combination between individual and land create the individual right on the land.
The right of land occupation by the State held by the national government and the local government can get the authority if there is delegation of the right from the national government to the local government. This indicated in article 2 paragraph 4 of Principal Act of Agraria that said, ”A right to occupy the land by State aforementioned can be delegated to the local governments and custom law society if required and did not vialote the national interest according to the government rule. Therefore, the authority delegation in the implementation of land occupation by Stateis a delegation.
The regulation in Indonesia, in addition to recognize the grant rights, there are also the law that neglect the custom right of society. The denial implemented by neglect the existence of the grant land as a State’s land. The statement of the grant land as state’s land cause the removing of the society right of the custom law society.
In order to discuss the aforementioned problem, this research is a normative yuridical study as a research thet study a problem, event or situation by provide the total, detail appraisal in the law perspective, i.e. by study the law principles, law norms and law systematics and the type of study in this research is study using the primary and secondary data. Therefore, this research was conducted by library research. The data from the library research is secondary data from the subject of primary, secondary and tertiery law. The data collecting in this study is document study by review, study, analyze the primary, secondary and tertiary law subject.
Keywords : Grant right, Land occupation, Government
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar BelakangSecara formal, kewenangan Pemerintah untuk mengatur bidang pertanahan
tumbuh dan mengakar dari pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang
menegaskan bahwa : “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara untuk pergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Sebelum amandemen Undang-undang Dasar 1945, pasal 33 ayat 3 tersebut dijelaskan
dalam penjelasan pasal 33 alinea 4 yang berbunyi : “Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu
harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”. Kemudian dituntaskan secara kokoh didalam undang-undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara
1960-104 atau disebut juga Undang-undang pokok agraria UUPA).1 Hukum tanah
Indonesia berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 tersebut
mengisyaratkan bagi pembuat undang-undang dalam membentuk hukum tanah
nasional jangan sampai mengabaikan, melainkan harus mengindahkan unsur-unsur
yang bersandar pada hukum agama.2
1
Muhammad Yamin, Abdul Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju,
Cetakan I, 2008. h. 19
2
Sejarah terbentuknya pasal 33 ayat 3 UUD 1945, berawal pada saat R
Soepomo melontarkan didepan sidang BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1945 yang
diakhir pidatonya tentang Negara integralistik. Dinyatakan bahwa, Dalam Negara
yang berdasar integralistik berdasar persatuan, maka dalam lapangan ekonomi akan
dipakai sistem “Sosialisme Negara” (Staats Socialisme). Perusahaan-perusahaan yang penting akan diurus oleh Negara sendiri. pada hakekatnya Negara yang akan
menentukan dimana, dimasa apa, perusahaan apa yang akan diselenggarakan oleh
pemerintah pusat atau oleh pemerintah daerah atau yang akan diserahkan pada suatu
badan hukum privat atau kepada seseorang, itu semua tergantung dari pada
kepentingan Negara atau kepentingan rakyat seluruhnya. Begitupun tentang hal tanah,
pada hakekatnya Negara yang menguasai tanah seluruhnya. Tambang-tambang yang
penting untuk Negara akan diurus oleh Negara sendiri.3
Pasal 2 UUPA yang merupakan aturan pelaksanaan pasal 33 ayat 3 UUD
1945 dijelaskan pengertian hak menguasai Sumber daya alam oleh Negara sebagai
berikut :
1. Atas dasar ketentuan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang
dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam
Negara dan cita-cita bangsa seperti yang tercantum sebagai dasar Negara dalam pembukaan UUD 1945.
3
Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah OLeh Negara( Paradigma Baru Untuk Reformasi
yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Hak menguasai Negara tersebut dalam ayat 1 pasal ini memberikan
wewenang untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan
ruang angkasa.
2. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada
ayat 2 pasal 33, digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat
dalam arti kebangsaan kesejahteraan, kemerdekaan dalam masyarakat dan
Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat adil dan makmur.
3. Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan
kepada daerah-daerah, swasta dan masyarakat-masyarakat hukum adat,
sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional,
menurut ketentuan-ketentuan Peraturan yang berlaku.
Berdasar pasal 2 UUPA dan penjelasannya tersebut, menurut konsep UUPA,
memberi wewenang kepada Negara untuk menguasai seperti hal tersebut diatas.4 Isi
wewenang Negara yang bersumber pada hak menguasai SDA oleh Negara tersebut
semata-mata bersifat publik yaitu, wewenang untuk mengatur (wewenang regulasi)
dan bukan menguasai tanah secara fisik dan menggunakan tanahnya sebagaimana
wewenang pemegang hak atas tanah yang “bersifat pribadi”.5 Hal ini dipertegas
dalam pasal 9 ayat 2” tiap-tiap warga Negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita
mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta
untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya”.
Wewenang Negara untuk mengatur hubungan hukum antara orang-orang
termasuk masyarakat hukum adat dengan tanah terkait erat hubungan hukum antara
tanah dengan negara. Hukum yang mengatur pengakuan dan perlindungan tersebut
sangat diperlukan untuk memberi jaminan kepastian hukum kepada masyarakat agar
hak-hak atas tanahnya tidak dilanggar oleh siapapun. Oleh Karena itu, sangat tidak
tepat jika melihat hubungan Negara dengan tanah terlepas dengan hubungan antara
masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya dan hubungan antara perorangan
dengan tanahnya. Ketiga hubungan ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
4
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi DanPelaksanaanya, Djambatan, h.234
5
Istilah” Bersifat Pribadi” menyatakan bahwa, sifat pribadi hak individual menunjukkan kepada kewenangan pemegang hak untuk menggunakan tanah yang bersangkutan bagi kepentingan
dipisahkan satu dengan yang lain, dan merupakan hubungan yang bersifat
“tritunggal”.6
Hubungan hukum antara Negara dengan tanah melahirkan hak menguasai
tanah oleh Negara, Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya
melahirkan hak ulayat, dan gabungan antara perorangan dengan tanah melahirkan
hak-hak perorangan atas tanah.7 idealnya hubungan ketiga hak tersebut (hak
menguasai tanah oleh Negara, hak ulayat dan hak perorangan atas tanah) terjalin
secara harmonis dan seimbang. Artinya, ketiga hak itu sama kedudukan dan
kekuatannya, dan tidak saling merugikan. Namun peraturan perundang-undangan di
Indonesia memberi kekusaan yang besar dan tidak jelas batas-batasnya kepada
Negara untuk menguasai semua tanah yang ada diwilayahnya Indonesia. Sebagai
contoh, berdasar Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang “Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan” dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang “Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan”, dalam pemberian Hak Guna Usaha (HGU), dan kuasa pertambangan yang diberikan diatas tanah ulayat,
menyebabkan hilangnya sebagian tanah-tanah ulayat masyarakat hukum adat.
Demikian pula dengan pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang “Pencabutan Hak Atas
6
Loc. Cit, h.7
7
Pasal 2 UUPA, Parlindungan AP, dalam bukunya Komentar atas undang-undang pokok
Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya” dan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang “Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum” yang diganti oleh Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005
tentang “Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum”, terjadi pengambilan tanah perorangan secara paksa oleh pemerintah.
Dikalangan para ahli muncul gagasan untuk membatasi wewenang Negara
yang bersumber pada hak menguasai oleh Negara atas tanah yaitu:
1. Maria Sriwulandari Sumardjono menghendaki agar kewenangan Negara yang bersumber pada hak menguasai oleh Negara atas tanah dibatasi oleh dua hal : 8
a.
garan hak-hak dasar manusia yang dijamin oleh
Undang-b.
ngkinkan
an antara hak menguasai oleh Negara dengan hak-hak adat sebagai berikut :9
Pembatasan oleh Undang-Undang Dasar
Pada prinsipnya, hal-hal yang diatur oleh Negara tidak boleh berakibat terhadap pelang
Undang Dasar.
Pembatasan yang bersifat substantif
Sesuai dengan pasal 2 ayat (3) UUPA, maka semua peraturan pertanahan harus ditujukan untuk terwujudnya sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sedangkan ruang lingkupnya pengaturan pertanahan dibatasi oleh Pasal 2 ayat (2) UUPA. Disamping relevansi, maka kewenangan pembuatan kebijaksanaan tidak dapat didelegasikan kepada organisasi swasta, karena yang diatur itu berkaitan dengan kesejahteraan umum yang sarat dengan misi pelayanan. Pihak swasta merupakan bagian dari masyarakat yang ikut diwakili kepentingannya dan oleh karena itu tidak dimu
mengatur karena hal itu akan menimbulkan konflik kepentingan.
2. Maria Rita Ruwiastuti, mengemukakan analisis kritis tentang hubung
8
Sumardjono, Maria Sriwulani, Kewenangan Negara Untuk Mengatur Dalam Penguasaan
Tanah Oleh Negara, pidato pengukuhan jabatan guru besar pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, h.4-9
9
“Politik hukum agraria yang terkandung dalam Undang-Undang Pokok Agraria 1960 tersebut sejak semula telah menetapkan keluasan kewenangan Negara dalam menguasai sumber-sumber agraria di seluruh wilayah negeri ini. Kewenangan yang kemudian disebut dengan Hak Menguasai dari Negara (HMN) itu sama sekali tidak dapat diperbandingkan dengan hak-hak keperdataan (privaatrechtelijk) biasa seperti hak memiliki, sebab baik luas cakupan maupun sifat-sifatnya publik (publiekrechtelijk) itu hanya mungkin dipegang oleh sebuah badan kenegaraan.
Hubungan antara hak menguasai yang ada ditangan Negara ini dengan hak-hak penduduk Negeri ini yang ada telah ada turun temurun mendahului lahirnya Negara diatur sebagai berikut (penjelasan Umum undang-undang Pokok Agraria 1960, II/2,3) : “Adapun kekuasaan yang dimaksudkan itu mengenai semua bumi, air dan ruang angkasa, jadi baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang tidak. Kekuasaan Negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa besar Negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyainya untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan Negara.
3. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menggugat konsep hak menguasai tanah oleh Negara yang dimanfaatkan oleh pemerintah untuk melakukan sejumlah pengingkaran terhadap hak-hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam yang ada diwilayah (tanah ulayatnya), dan memanfaatkannya untuk memberi ruang gerak bagi perusahaan-perusahaan besar dengan mengatasnamakan pembangunan. KPA menghendaki hak menguasai tanah oleh Negara dibatasi secara tegas, agar hak ini mempunyai batas-batas yang jelas baik secara konseptual maupun implementasinya. KPA memberi rekomendasi sebagai berikut:10
1. Sudah selayaknya, proses konsentrasi penguasaan sumber-sumber agraria di satu pihak dan sengketa agraria, mendorong para pembentuk kebijakan untuk melakukan pembaruan hukum pertahanan.
2. Bahwa penyebab pokok dari konsentrasi penguasaan tanah dan sengketa agraria adalah penggunaan suatu “Kekuasaan Negara atas Tanah” yang berlebihan, yang diwakili oleh konsep politik hukum hak menguasai oleh Negara atas tanah. Pembatasan itu bisa dilakukan terhadap hak menguasai oleh Negara atas tanah. KPA mengusulkan adanya pembatasan hak
10
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) dan Konsorsium Pembaruan Agraria,
Usulan Revisi Undang-Undang Pokok Agraria, Menuju Penegakan Hak-Hak Rakyat Atas Sumber Agraria, h.123
menguasai oleh Negara atas tanah. Pembatasan itu bisa dilakukan dengan me-review berbagai undang-undang yang berhubungan dengan “kekuasaan Negara atas tanah” yang terlampau besar, yang didalamnya tentunya termasuk UUPA.
3. Bahwa perubahan konsep hak menguasai oleh Negara atas tanah diperlukan setidaknya empat pertimbangan utama :
a. Secara substansial, konsep menguasai hak oleh Negara atas tanah mengasumsikan penyerahan “kekuasaan masyarakat hukum adat atas tanah” kepada Negara dimana tanah-tanah adat dijadikan tanah-tanah Negara.
b. Hak menguasai oleh Negara atas tanah berkedudukan lebih tinggi dari hak milik perdata warga Negara, padahal Negara dibentuk dengan maksud melindungi hak dari warga negaranya.
c. Mandat hak menguasai oleh Negara atas tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, tidak dijalankan dalam rangka penataan penguasaan atas tanah yang timpang. Bahkan sebaliknya, dengan hak menguasai oleh Negara atas tanah terjadi pemberian hak-hak tanah baru yang sangat besar melalui hak pengusahaan hutan, kuasa pertambangan, hak guna usaha dan yang lainnya.
d. Pengunaan hak menguasai oleh Negara atas tanah melalui pemberian hak-hak baru tersebut, telah mengakibatkan konsentrasi penguasaan tanah disatu pihak dan sengketa-sengketa agraria yang berkepanjangan dilain pihak.
4. Sri hayati dalam disertasinya juga menyarankan agar hak menguasai tanah oleh Negara dibatasi secara tegas untuk masa-masa mendatang, sebagaimana ia nyatakan bahwa Oleh karena itu hendaknya hak menguasai Negara ini dibatasi secara tegas untuk masa-masa yang akan datang dan sudah saatnya untuk memikirkan alternatif dari hak menguasai Negara agar hak itu bisa menjadi terbatas sifatnya dalam konsepsi maupun implementasinya.11
Sejalan dengan pendapat ahli diatas, A.P Parlindungan, dalam pandangan
filosofisnya menyatakan bahwa permasalahan yang terdapat dalam Undang-Undang
11
Hayati, Sri, 2003, Pengaturan Hak Atas Tanah Dalam Kaitanya Dengan Investasi,
Pokok Agraria tidak boleh terjadi, karena upaya mengatur agraria harus memenuhi
prinsip pokoknya yang antara lain : 12
1. Prinsip kesatuan hukum agraria untuk seluruh wilayah tanah air 2. Penghapusan pernyataan domein
3. Fungsi sosial hak atas tanah
4. Pengakuan hukum agraria nasional berdasarkan hukum adat dan pengakuan dari eksistensi dari hak ulayat
5. Persamaan derajat sesama Warga Negara Indonesia dan antara laki-laki dan wanita
6. Pelaksanaan reformasi hubungan antara manusia (indonesia) dengan tanah atau dengan bumi, air dan ruang angkasa
7. Rencana umum penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
8. Prinsip nasionalitas
Bila dicermati lebih rinci, beberapa ketentuan didalam undang-undang
pertanahan, maka jelas negara sajapun sebagai organisasi tertinggi untuk mengolah
tanah, kewenangan itu tidak turut menjual atau bahkan mengadaikan, yang jelas
haknya tidak beralih kepada yang bukan warga Negara Indonesia. Sekalipun
kewenangan itu ada ditangan pemerintah namun hanya kewenangan yang mencakup
sebagai organisasi tertinggi untuk mengatur (dalam arti membuat aturan tentang
pertanahan), menyelenggarakan aturan yang dimaksud dalam penggunaanya,
peruntukanya serta pemeliharaanya saja. Jelas bahwa makna pengaturan,
penyelenggaraan, pemeliharaan, penggunaan, peruntukan tanah tidak dapat diartikan
untuk tujuan lain kecuali untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehingga bila
terjadi penjualan atas nama kepentingan rakyat baik langsung maupun tidak langsung
adalah perbuatan yang jelas bertentangan dengan kewenangan yang diberikan
undang-undang itu sendiri. Sebab dengan penjualan itu ada pemutusan hubungan
hukum yang tidak diperkenankan oleh isi aturan tersebut.
1.2Perumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang penelitian ini, maka peneliti merumuskan
permasalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pembatasan wewenang pemerintah terhadap hak menguasai
tanah oleh Negara yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria?
2. Apakah Tanah Ulayat terhimpit oleh berlakunya berbagai peraturan
perundang-undangan di Indonesia?
3. Apakah jenis-jenis hak yang dimiliki oleh warga Negara Indonesia?
1.3Tujuan penelitian
Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat
dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pembatasan wewenang Negara terhadap hak menguasai
tanah oleh Negara yang diatur dalam undang-undang pokok agraria
2. Untuk mengetahui kedudukan tanah ulayat di dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
3. Untuk mengetahui jenis-jenis hak yang dimiliki oleh Warga Negara
1.4Manfaat penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Secara teoritis
Secara teoritis diharapkan pembahasan masalah-masalah yang akan dibahas
akan melahirkan pemahaman dan pandangan yang lebih jelas tentang tanah
ulayat dan hasil penelitian ini merupakan sumbangan bagi perkembangan
ilmu pengetahuan hukum bidang keperdataan khusunya bidang hukum
Agraria.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan memberikan masukan kepada setiap
orang yang berhubungan langsung dengan hukum agraria, baik praktisi,
pemerintah, pengusaha, asosiasi, perkebunan dan masyarakat yang ingin
mendalami hukum agraria di Indonesia, khususnya mengenai hak penguasaan
tanah baik oleh Negara maupun masyarakat.
1.5Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan baik terhadap
hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan khususnya pada
Sekolah Pasca Sarjana di Universitas Sumatera Utara belum ada penelitian yang
menyangkut masalah Hak menguasai tanah oleh Negara terhadap hak ulayat. Dengan
demikian penelitian ini asli baik dari segi substansi maupun dari segi permasalahan
1.6Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka teori
Dalam setiap penelitian selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran
teoritis, oleh karena adanya hubungan timbal balik yang erat antara teori
dengan kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisa dan konstruksi data.
Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah memberikan arahan/petunjuk
dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati. Karena penelitian ini
merupakan penelitian hukum normatif, maka kerangka teori diarahkan secara
khas kedalam ilmu hukum. Kerangka teori yang dimaksud disini adalah
kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, ilmu hukum
dibidang pertanahan, khususnya yang lebih mengenai masalah penguasaan
tanah.
Dalam hubunganya dengan tanah, menurut alam pikiran hukum adat
tertanam keyakinan bahwa setiap kelompok masyarakat hukum adat tersedia
suatu lingkungan tanah sebagai peninggalan pemberian dari sesuatu kekuatan
gaib sebagai pendukung kehidupan kelompok dan para anggotanya sepanjang
zaman. Disinilah sifat religius hubungan hukum antara para warga masyarakat
tanah bersama dalam hal ini oleh kelompok dibawah pimpinan kepala adat
masyarakat hukum adat, misalnya adalah hutan, tanah lapang.13
Hak ulayat diakui eksistensinya bagi suatu masyarakat hukum adat tertentu, sepanjang menurut kenyataanya masih ada. Masih adanya hak ulayat pada suatu masyarakat hukum adat tertentu, antara lain dapat diketahui dari kegiatan sehari-hari kepala adat dan para tetua adat dalam kenyataanya, sebagai pengemban tugas kewenangan mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah ulayat yang merupakan tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Selain diakui, pelaksanaanya juga dibatasi dalam arti sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang serta peraturan yang lebih tinggi lainya.14
Kerangka teori yang yang dibahas disini meliputi berbagai hal yaitu;
a. Hak menguasai tanah oleh Negara berasal dari konsep hak ulayat
Konsideran UUPA menyebutkan bahwa Hukum Agraria Nasional
berdasarkan asas hukum adat, yang sederhana dan menjamin kepastian
bagi seluruh masyarakat hukum Indonesia, dengan tidak mengabaikan
unsur-unsur yang bersandar pada hukum agraria. Maka atas hak tersebut
maka pembangunan Hukum tanah nasional harus dilakukan dalam bentuk
penuangan norma-norma hukum adat dalam peraturan
perundang-
13
Arie Sukanti Hutagalung,” Konsepsi Yang Mendasari Penyempurnaan Hukum Tanah
Nasional”(pidato pengukuhan Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok: 2003), h. 15
14
Hasim Purba, Syafruddin Kalo, Muhammad Yamin lubis, dkk” Sengketa Pertanahan Dan
undangan menjadi hukum yang tertulis. Dan selama hukum adat yang
bersangkutan tetap berlaku penuh, serta menunjukkan adanya hubungan
fungsional antara hukum adat dan hukum tanah nasional.
Hukum adat yang dipakai sebagai hukum agraria adalah hukum adat
yang telah dihilangkan sifat-sifatnya yang khusus daerah yang diberi sifat
nasional. Sehingga dalam hubunganya dengan prinsip persatuan bangsa
dan Negara kesatuan Republik Indonesia, maka hukum adat yang dahulu
hanya mementingkan suku dan masyarakat dan hukumnya sendiri harus
diteliti.
Menurut Boedi Harsono mengemukakan bahwa penggunaan
norma-norma hukum adat sebagai pelengkap tanah yang tertulis, haruslah tidak
bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA. 15
Hukum sebagai kaedah atau norma merupakan pencerminan dari
nilai-nilai hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
bersifat dinamis yang berarti berkembang sesuai dengan perkembangan
jaman, akibatnya hukumpun berkembang sesuai dengan nilai-nilai yang
hidup didalam masyarakat. Demikian pula terhadap konsep hukum yang
ada, konsep hak menguasai tanah oleh Negara yang berlaku saat ini
bukanlah muncul secara tiba-tiba, melainkan hasil dari suatu proses
15
Boedi Harsono, Hukum Agraria Hukum Indonesia, Sejarah pembentukan UUPA, isi, dan
perkembangan terus-menerus.16 Rumusan pasal 1 ayat 1 UUPA
menyatakan bahwa seluruh wilayah adalah kesatuan tanah air dari seluruh
rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Hal ini berarti
bahwa tanah diseluruh wilayah Indonesia adalah hak bersama dari bangsa
Indonesia (aspek perdata) dan bersifat abadi, yaitu seperti hak ulayat pada
masyarakat hukum adat. Dengan demikian, hak bangsa Indonesia
mengandung dua unsur yaitu:
1. Unsur kepunyaan bersama yang bersifat perdata, tetapi bukan berarti
hak kepemilikan dalam arti yuridis, tanah bersama dari seluruh rakyat
Indonesia yang telah bersatu menjadi bangsa Indonesia.
2. Unsur tugas kewenangan yang bersifat publik untuk mengatur dan
memimpin pengguasaan dan penggunaan tanah yang dipunyai
bersama tersebut.
Apabila unsur perdata sifatnya abadi dan tidak memerlukan campur
tangan kekuasaan politik untuk melaksanakanya, tugas kewajiban yang
termasuk hukum publik tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh rakyat. Oleh
karena itu, penyelenggaraanya dilakukan oleh bangsa Indonesia sebagai
pemegang hak dan pengemban amanat yang pada tingkatan tertinggi
diserahkan kepada Negara Republik Indonesai sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat.
Tugas kewenangan ini dilaksanakan oleh Negara berdasarkan hak
menguasai Negara yang dirumuskan dalam pasal 2 UUPA yang merupakan
tafsiran autentik dari pengertian dikuasai oleh Negara. dalam pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945,” bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat sehingga
harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Penguasaan Negara atas tanah diseluruh wilayah
Republik Indonesia bersumber pada hak bangsa Indonesia yang meliputi
kewenangan Negara dalam pasal 2 ayat (2) UUPA yaitu:17
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa
c. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang
angkasa
Dalam Pasal 16 UUPA No. 5 tahun 1960 disebutkan juga bahwa Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) adalah:18
a. hak milik b. hak guna-usaha c. hak guna-bangunan
17
Undang-Undang Pokok Agraria, Psl. 2
d. hak pakai e. hak sewa
f. hak membuka tanah
g. hak memungut-hasil hutan,
h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut
dalam pejelasanya, Pasal 16 UUPA menjelaskan bahwa Pasal ini adalah pelaksanaan dari pada ketentuan dalam pasal 4.Sesuai dengan azas yang diletakkan dalam pasal 5, bahwa hukum pertanahan yang Nasional didasarkan atas hukum adat, maka penentuan hak-hak atas tanah dan air dalam pasal ini didasarkan pula atas sistematik dari hukum adat. Dalam pada itu hak guna usaha dan hak guna bangunan diadakan untuk memenuhi keperluan masyarakat modern dewasa ini. Perlu kiranya ditegaskan, bahwa hak-guna usaha bukan hak erfpacht dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hak guna-bangunan bukan hak opstal. Lembaga erfpacht dan opstal ditiadakan dengan dicabutnya ketentuan ketentuan dalam Buku ke II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pada itu hak-hak adat yang sifatnya bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini (pasal 7 dan 10), tetapi berhubung dengan keadaan masyarakat sekarang ini belum dapat dihapuskan diberi sifat sementara dan akan diatur (ayat 1 huruf h yo pasal 53).
Sejalan dengan pasal 16 UUPA No. 5 Tahun 1960, Hak ulayat masyarakat
hukum adat dianggap masih ada apabila ( pasal 2 ayat 2 PMA No. 5 Tahun 1999):
a. terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum
adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang
mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut
dalam kehidupannya sehari-hari,
b. terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga
persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan
c. terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan
penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga
persekutuan hukum tersebut.
Menurut S.1875-199a pernyataan umum tanah Negara tersebut berlaku juga
didaerah-daerah diluar jawa dan Madura. Berdasarkan atas pasal 1 Keputusan
Agraria, ternyata bahwa semua tanah dianggap menjadi tanah Negara. Artinya
Negara menjadi pemilik dari tanah itu, kecuali jikalau orang lain dapat membuktikan,
bahwa dia menjadi pemilik dari tanah tersebut.
Meskipun sudah ada pernyataan umum tanah agraria, sebagaimana tersebut
dalam pasal 1 Keputusan Agraria, sepertinya tentang hal ini masih ada keragu-raguan.
Itulah kiranya mengapa sebelum pemberian hak erfpacht atas tanah-tanah Negara
diluar jawa dan Madura diadakan pernyataan khusus tanah Negara untuk Sumatera
(S. 1847-94f), Manado (S. 1877-55) dan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur
(S.1888-58).
Dalam pasal 1 dari masing-masing peraturan tersebut ditetapkan, bahwa
semua tanah-tanah kosong didaerah Gubernuran di Sumatera, Keresidenan di
Manado, Keresidenan Kalimantan Selatan dan Timur, termasuk tanah Negara,
sekedar pada tanah-tanah itu tidak terdapat ada hak-hak penduduk asli (rakyat) yang
diperoleh dari hak membuka tanah. Sebagaimana telah diterangkan diatas, bahwa
tanah-tanah bangsa Indonesia seperti tanah komunal, tanah yang sawah-sawah,
Yang dapat diberikan oleh Negara kepada orang lain hanyalah tanah-tanah kosong
saja.19berhubung dengan hal tersebut, tanah-tanah Negara dapat dibagi atas dua
bagian yaitu :
a. Tanah Negara yang bebas ( Vrij Landsdomein), artinya tanah yang tidak terikat dengan hak-hak bangsa Indonesia.
b. Tanah Negara yang tidak bebas (Onvrij Landsdomein), artinya tanah yang terikat dengan hak-hak bangsa Indonesia.
Sejak Indonesia merdeka cita-cita merombak hukum agraria kolonial telah
ada, dengan menciptakan hukum agraria nasional berdasarkan pasal 33 ayat 3 UUD
1945 tersebut. Namun pekerjaan untuk menciptakan undang-undang yang sifatnya
unifikasi yang berlaku untuk seluruh Indonesia bukanlah pekerjaan yang mudah,
maka baru pada tanggal 24 September 1960, cita-cita tersebut terlaksana.
Demikian mendesaknya segera direalisasikan hukum agraria yang sifatnya
melindungi rakyat Indonesia, beberapa ketentuan mengenai agraria ini secara
sporadik telah ditetapkan seperti:20
a. Penghapusan Tanah-Tanah Partikulir, dengan Undang-Undang No. 1
Tahun 1958.
19
Purwopranoto, Penuntut Tentang Hukum Tanah, Astana Buku “ ABEDE”, Semarang,
1953, h. 98
b. Penghapusan Tanah-tanah Swapraja, dengan Undang-undang No. 8
Tahun 1953.
c. Undang-undang Bagi hasil, dengan Undang-undang No. 2 Tahun 1960.
b. Hierarki peraturan perundang-undangan
Dalam ilmu hukum dikenal adanya tingkatan-tingkatan (hierarki)
peraturan-peraturan berjenjang, dari tingkat yang paling bawah sampai
tingkat paling atas. Di Indonesia terdapat tata urutan peraturan
perundang-undangan yang diatur dalam pasal 7 ayat 1 Undang-undang Nomor 10 tahun
2004 tentang “Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan” yang berbunyi sebagai berikut :
a) Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
b)Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
c) Peraturan Pemerintah
d)Peraturan Presiden
e) Peraturan Daerah
Jika tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut dihubungkan
langsung dengan pendapat Hans Kelsen, maka dapat dilihat kesimpulan yang
menyatakan sebagai berikut:
1) Peraturan Perundang-Undangan yang paling tinggi tingkatanya,
2) Peraturan Perundang-Undangan dibawah Constitution (general norm created in the legislative process) adalah Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang walaupun dibuat oleh presiden
namun tingkatanya disamakan dengan Undang-Undang. Seperti
halnya Undang-undang No. 5 Tahun 1960
3) Peraturan Perundang-Undangan yang paling rendah tingkatanya
(Administrative regulation) adalah Peraturan Perundang-Undangan yang dibuat oleh Presiden dan Pemerintahan Daerah yaitu, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden Dan Peraturan Daerah. Seperti halnya
PP No.24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, PMA No. 5 Tahun
1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat.
Hierarki peraturan perundang-undangan tersebut membawa
konsekwensi. peraturan perundang-undangan yang tingkatanya dibawah
dibentuk, bersumber dan berdasar pada peraturan perundang-undangan yang
ada diatasnya, demikian seterusnya hingga pada akhirnya sampai pada
peraturan perundang-undangan yang paling tinggi tingkatanya yaitu
Undang-undang Dasar. Dengan demikian, maka pembentukan peraturan perUndang-undang-
perundang-undangan yang ada dibawahnya senantiasa harus searah dan sejalan dengan
Apabila terjadi konflik hukum diantara sesama peraturan
perundang-undangan, konflik hukum ini diatasi dengan tiga asas yaitu: 21
1. Lex superior derogat legi inferiori artinya, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatanya mengenyampingkan
berlakunya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
tingkatanya, apabila kedua peraturan perundang-undangan tersebut
memuat ketentuan yang saling bertentangan
2. Lex specialis derogat legi generali artinya, peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus (special) mengenyampingkan
berlakunya peraturan perundang-undangan yang bersifat umum
(general), apabila kedua peraturan perundang-undangan itu memuat
ketentuan yang saling bertentangan
3. Lex posterior derogat legi priori artinya, peraturan perundang-undangan yang baru mengenyampingkan berlakunya peraturan
undangan yang lama, apabila kedua peraturan
perundang-undangan itu memuat ketentuan yang saling bertentangan.
c. Kedudukan UUPA terhadap peraturan perundang-undangan lainya
Pada tanggal 24 september 1960, berlaku Undang-undang No.5 tahun 1960
tentang Peraturan Pokok Dasar Agraria atau lebih terkenal dengan nama
21
UUPA. Sesuai dengan namanya yaitu “undang-Undang Pokok Agraria”,
UUPA memuat asas-asas pokok peraturan yang mengatur tentang Bumi, Air,
Ruang angkasa dan Kekayaan alam yang terkandung didalamnya ( pasal 1
ayat 1-3 UUPA). Undang-undang Pokok Agraria ini juga sekaligus sebagai
aturan penjabaran dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
d. Paradigma baru hak menguasai tanah oleh Negara
Menurut UUPA, hak menguasai tanah oleh Negara dipegang
pemerintah pusat, pemerintah daerah dapat mempunyai hak itu apabila ada
pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Akibatnya, hak menguasai tanah oleh Negara itu bersifat sentralistis. Setelah
amandemen UUD 1945, terjadi perubahan paradigma kekuasaan Negara yang
semula bersifat sentralistis menjadi desentralistis.
Dalam Pasal 18 Undang-undang Pokok Agraria No 5 Tahun 1960,
menyatakan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa
dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat
dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang
diatur dengan Undang-undang.
Penguasaan hak Menguasai Negara dapat kita konstruksikan dalam
1. Memberikan hak seseorang atau badan yaitu melalui lembaga
konversi atas tanah-tanah eks BW dan eks. Hukum adat dan atas
tanah-tanah yang dikuasai oleh pemerintah daerah otonom
ataupun dikuasai oleh lembaga-lembaga pemerintahan.
2. Memberikan hak-hak baru yang ditetapkan oleh UUPA seperti
hak milik, hak guna usaha, hak guna bagunan, hak pakai.
3. Mengesahkan sesuatu perjanjian yang diperbuat antara seseorang
pemegang hak milik dengan orang lain untuk menimbulkan suatu
hak lain diatasnya, seperti yang kita kenal Hak Guna Bangunan
diatas Hak Milik dan Hak Pakai diatas Hak Milik (Pasal 19 PP
No. 10 Tahun 1961).
2. Kerangka Konsepsi
Konsepsi hukum tanah nasional secara utuh diambil dari konsepsinya
hukum adat, yang oleh Boedi Harsono dikatakan bahwa Konsepsi Hukum
Tanah nasional adalah komunalistik religius, yang memungkinkan penguasaan
tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi,
sekaligus mengandung kesamaan. Konsepsi ini masih relevan ( dan harus tetap)
dipertahankan untuk masa kini maupun untuk masa yang akan datang, oleh
karena konsepsi ini merupakan penjabaran dari sila-sila pancasila dibidang
Nasional sebagaimana yang digariskan dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945. 22
Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping yang
lain-lain seperti asas dan standar, Oleh Karena itu kebutuhan untuk membentuk
konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam
hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan
oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan
analistis. Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi dan
pengertian yang akan dipergunakan sebagai penelitian hukum.
Untuk menjadikan penelitian tesis ini lebih terarah maka diperlukan
konsep atau kerangka konsepsional sebagai pengarah dan pedoman yang lebih
konkret. Sebagai pegangan yang lebih nyata bagi penulis didalam penulisan
tesis ini, maka penulis mempergunakan defenisi-defenisi sebagai berikut:
1. Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat (untuk
selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum
adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu
yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil
manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut
bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan
22 Alvi Syahrin,
secara lahiriah dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara
masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
2. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari
suatu masyarakat hukum adat tertentu.
3. Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh
tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum
karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.
4. Daerah adalah daerah otonom yang berwenang melaksanakan urusan
pertanahan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang Nomor 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah.
5. Agraria menurut pasal 1 UUPA adalah seluruh wilayah kesatuan tanah air
dari seluruh rakyat yang bersatu sebagai bangsa Indonesia atau seluruh
bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan
Yang Maha Esa.
6. Kepastian hak atas tanah adalah menekankan pada terjaminya kepentingan
dari sipemilik tanah dalam rangka mempertahankan haknya.
7. Sertifikat adalah surat atau keterangan berupa pernyataan tertulis atau
tercetak dari orang yang berwenang yang dapat digunakan sebagai bukti
suatu kejadian secara otentik.
8. Sertifikat tanah adalah surat bukti kepemilikan tanah yang dikeluarkan
9. Hak adalah kewenangan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
karena telah ditentukan oleh Undang-undang maupun peraturan yang
lainya.
10. Pengukuhan kawasan hutan adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan
melalui proses penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan
kawasan hutan.
1.7. Metode penelitian
Penelitian ini bersifat yuridis normatif yaitu berupa penelitian terhadap
peraturan perundang-undangan, studi kepustakaan dan bahan-bahan hukum
lainya yang berkaitan dengan penulisan tesis ini. Pendekatan ini dilakukan guna
memperoleh data sekunder dibidang hukum dan untuk Melengkapi serta
menunjang data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan maupun penjabaran
buku-buku. Selengkapnya cara penelitianya adalah sebagai berikut:
1. Sifat penelitian
Sifat penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu suatu penelitian yang
mengungkapkan suatu masalah, keadaan atau peristiwa dengan
memberikan suatu penilaian secara menyeluruh, luas, mendalam, dari
sudut pandang ilmu hukum, yaitu dengan meneliti asas-asas hukum,
2. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer
dan data sekunder, oleh karena itu cara yang ditempuh dalam penelitian
ini adalah melalui Penelitian kepustakaan. Data yang diperoleh dari
penelitian kepustakaan adalah data sekunder yang diperoleh dari bahan
hukum primer, sekunder, dan tertier.
1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat berupa
norma dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. antara lain kitab
undang-undang hukum perdata, dagang, hukum pertanahan,
hukum kehutanan, UUPA No.5 tahun 1960 dan PMA No.5 Tahun
1999.
2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberi
penjelasan mengenai hukum primer berupa hasil penelitian, karya
ilmiah yang berkaitan dengan penelitian ini.
3. Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun
sekunder seperti kamus hukum, majalah, jurnal ilmiah. surat kabar.
4. Teori-teori yang bersifat umum yang berkaitan dengan
3. Alat pengumpulan data
Dalam melakukan penelitian, peneliti menggunakan studi :
a. Studi dokumen, yaitu dengan meneliti, mempelajari, menganalisis
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.
b. Pengamatan (observasi), pengamatan ini dipergunakan dengan tujuan untuk menambah kejelasan yang jujur dan seksama atas situasi
tertentu sehingga mendapatkan pertimbangan sejumlah kenyataan.
4. Analisis Data
Analisis data terhadap data primer dan data sekunder dilakukan setelah
diadakan terlebih dahulu pemeriksaan, pengelompokan, pengolahan dan
dievaluasi sehingga diketahui kebenaranya, kemudian dianalisis secara
kualitatif dengan mempelajari seluruh peraturan maupun ketentuanya
kemudian diolah dengan menggunakan metode induksi dan terakhir
BAB II
PEMBATASAN WEWENANG PEMERINTAH
TERHADAP HAK ULAYAT YANG DIATUR DALAM UUPA
2.1 Hak Menguasai Tanah Dalam UUPA
Sumber utama dalam pembangunan hukum tanah nasional adalah hukum adat.
Hal ini tercermin dari rumusan pasal 5 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang
UUPA yang menyatakan bahwa” Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan
ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme
Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang
ini, dan dengan peraturan perundangan lainya, segala sesuatu dengan mengindahkan
unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Menurut C.S.J. Maassen dan A.P.G Hens menjelaskan, yang dimaksud
dengan hak ulayat adalah hak desa menurut adat dan kemauanya untuk menguasai
tanah dan daerahnya buat kepentingan- kepentingan anggotanya atau untuk
kepentingan orang lain (orang asing) dengan membayar kerugian kepada kepala desa,
sedikit banyaknya turut campur terhadap pembukaan tanah itu dan turut bertanggung
jawab terhadap perkara-perkara yang terjadi disitu dan belum dapat diselesaikan.23
Dalam perundang-undangan Indonesia, hal ini tidak diterangkan dengan tegas
23
mengenai hak tersebut sering dipergunakan istilah hak milik asli atau eigendom rechts dan juga disebut sebagai hak komunal.24
Hukum tanah Indonesia berdasarkan UUPA No. 5 tahun 1960 tersebut
mengisyaratkan bagi pembuat undang-undang dalam membentuk hukum tanah
nasional jangan sampai mengabaikan, melainkan harus mengindahkan unsur-unsur
yang bersandar pada hukum agama. Dalam kaitan ini penguasaan tanah yang terletak
diwilayah hukum Indonesia menjadi hak dari bangsa Indonesia, bukan hanya hak
pemiliknya saja. Siapapun yang mengaku dirinya sebagai warga Negara Indonesia
berhak memperoleh hak milik atas tanah diseluruh wilayah republik Indonesia secara
sah.25
Dalam rumusan pasal 1 UUPA Nomor 5 tahun 1960 menyatakan bahwa:26
1) seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan dari seluruh rakyat Indonesia yang
bersatu sebagai bangsa Indonesia.
2) seluruh bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam
wilayah republik Indonesia, sebagai karunia tuhan yang maha esa adalah
24
Ter Haar, “ Asas- Asas dan Susunan Hukum Adat”, Jakarta, Pradnya Paramita, 1985, h. 71
25
Wiradi Gunawan, Reforma Agraria, Instits Press KPA dan Pustaka Pelajar,Yojakarta.
2000,h. 43
bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia yang merupakan kekayaan
nasional.
3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa
termasuk dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi.
4) Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi
dibawahnya serta berada dibawah air.
5) Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah
Indonesia.
6) Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang diatas bumi dan air tersebut
pada ayat (4) dan (5) pasal ini.
Hal ini akan lebih jelas dapat dimengerti jika kita menelaah doktrin wawasan
nusantara sebagai satu kesatuan politik, satu kesatuan budaya, satu kesatuan sosial,
satu kesatuan ekonomi, dan satu kesatuan hukum sebagaimana dirumuskan dalam
GBHN 1978 bab II E butir 1. Adapun hubungan antara bangsa dan bumi, air serta
ruang angkasa tersebut diatas tidak berarti, bahwa hak milik perseorangan atas bumi
tidak dimungkinkan lagi. Diatas telah dikemukakan, bahwa hubungan itu adalah
semacam hubungan hak ulayat, jadi bukan berarti hubungan hak milik.27
Dalam hubunganya dengan tanah, menurut alam pikiran hukum adat, tertanam
keyakinan bahwa setiap kelompok masyarakat hukum adat pada dulunya jauh
sebelum masuknya penjajah di Indonesia, kepulauan Indonesia telah dihuni oleh
berbagai persekutuan hukum yang mempunyai warga yang teratur, mempunyai
pemerintahan sendiri dan mempunyai harta materil dan immaterial.28 Persekutuan
hukum ini juga dinamakan masyarakat hukum yaitu sekelompok manusia yang
teratur dan bersifat tetap, mempunyai pemerintahan/ pimpinan serta mempunyai
kekayaan sendiri baik berupa benda yang kelihatan dan benda yang tidak kelihatan.
Palsafah hukum adat tersebut mengandung konsepsi hukum adat mengenai
pertanahan yang kemudian diangkat menjadi konsepsi hukum tanah nasional.29
Dilain pihak dalam pasal 3 UUPA dengan tegas menyatakan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat masih tetap diakui keberadaanya sepanjang kenyataanya masih ada. Dengan adanya pengakuan terhadap keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat, maka hal ini menimbulkan dilematis dalam penyelesaian sengketa, dimana dalam perkembanganya keberadaan hukum adat itu sendiri masih menimbulkan perbedaan persepsi dikalangan masyarakat adat dengan pihak-pihak lainya. Kenyataan ini dari sudut ilmu hukum dapat dikatakan bahwa UUPA No. 5 tahun 1960 mengandung 2(dua) sistem hukum yang berbeda yaitu sistem hukum nasional dan sistem hukum adat.30
Menurut hukum adat, tanah ulayat merupakan tanah bersama para warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sedangkan dalam hukum tanah nasional,
28
Soekanto, 1981, Menuju Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 67
29
Iman Soetiknjo, 1988, materi Pokok Hukum Dan Politik Agrarian, Universitas Terbuka, Jakarta, h, 123
semua tanah dalam wilayah Negara Republik Indonesia adalah tanah bersama seluruh
rakyat indonesia yang bersatu menjadi satu. Jikalau dibandingkan dengan konsepsi
hukum tanah barat dan tanah feodal, konsepsi hukum tanah nasional yang didasarkan
pada hukum adat jelas merupakan konsepsi yang sesuai dengan palsafah dan budaya
bangsa Indonesia. Konsepsi hukum tanah eropa yang didasarkan pada semangat
individualisme dan liberalisme tentu tidak sesuai dengan pandangan hidup bangsa
Indonesia yang komunal dan religius.
Van Vollenhoven menyebutkan, manifestasi hak ulayat itu adalah31:
a. Persekutuan hukum dan para anggotanya secara bebas boleh mengerjakan tanah yang tanah yang belum dijamah orang lain untuk macam-macam keperluan, boleh membuka tanah dijadikan tanah pertanian, boleh mendirikan kampung, boleh mengambil hasil hutan.
b. Orang luar, dalam arti orang yang bukan warga persekutuan hukum yang bersangkutan boleh melakukan tindakan dalam sub 1 hanya dengan izin persekutuan, mereka akan melakukan tindak pidana jika tindakan-tindakan itu dilakuakan tanpa izin.
c. Orang luar, dan kadang-kadang para anggota persekutuan harus membayar sewa bumi, supaya diberi izin melakukan tindakan tersebut
d. Persekutuan hukum tetap mempunyai hak pengawasan terhadap “ Cultivated Lands”
e. Persekutuan bertanggung jawab dalam hal tanah tidak dikerjakan
f. Hak ulayat dapat diserahkan atau dilepaskan selamanya.
Usaha untuk mewujudkan keinginan ini dulunya hal yang pertama yang
dilakukan adalah dengan mengganti asas” domeinverklaring” yang menjadi dasar
31
Mahadi, “ Uraian Singkat Tentang Hukum Adat, Sejak RR Tahun 1854”, (Bandung:
pijakan kebijakan pemerintahan Hindia Belanda di bidang pertanahan, dengan asas”
hak menguasai tanah oleh Negara” sebagaimana termuat dalam pasal 33 ayat 3 UUD
1945. Asas domeinverklaring`(pernyataan domein) termuat dalam pasal 1
“Agrarische Besluit”(S.1870-118) yang terjemahanya berbunyi” dengan tidak mengurangi berlakunya ketetentuan dalam ayat 2 dan 3 Agrarische Wet, maka tetap dipertahankan asas bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan
bahwa tanah itu eigendomnya, adalah domein Negara.32
Dari ketentuan pasal 1 Agrarische Besluit tersebut dapat dirinci hal-hal sebagai berikut:
1) Penerapan asas domeinverklaring jangan sampai melanggar ketentuan pasal 2 dan 3 Agrarische Wet yaitu, pasal-pasal yang berisi perlindungan terhadap hak-hak rakyat indonesia asli atas tanah. Dengan demikian penerapan asas
domeinverklaring tidak boleh merugikan rakyat Indonesia asli
2) Dalam pasal 1 Agrarische Besluit terdapat kata” tetap dipertahankan asas ” artinya, sebelum berlakunya Agrarische Besluit sudah ada peraturan yang memuat asas domeinverklaring yaitu termuat dalam pasal 520 BW yang berbunyi sebagai berikut:” pekarangan dan kebendaan tak bergerak lainya
yang tak terpelihara dan tiada pemiliknya, seperti kebendaan mereka yang
32
meninggal dunia tanpa ahli waris atau yang warisanya telah ditinggalkan,
adalah milik Negara”.
3) Pihak lain yang tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu eigendomnya
adalah tanah milik Negara. Yang dimaksud denga pihak lain adalah, selain
Negara yaitu rakyat. Jadi, jika rakyat tidak dapat membuktikan bahwa
sebidang tanah adalah hak eigendomnya, maka tanah tersebut dinyatakan
sebagai tanah milik Negara. Dalam ketentuan ini terdapat pembalikan beban
pembuktian, karena menurut hukum acara perdata yang termuat pasal 163
HIR/ Pasal 283 RBg dan pasal 1865 yang terjemahanya menyatakan bahwa,
setiap orang yang mendalilkan bahwa dia mempunyai sesuatu hak, atau guna
meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain,
menunjuk pada suatu peristiwa tersebut diwajibkan membuktikan adanya hak
atau peristiwa tersebut. Hak milik dalam hukum adat adalah berlaku konsep
ipso factor artinya hak milik terwujud karena seseorang secara defacto
memang menguasai tanah yang bersangkutan. Sedangkan konsep hak milik
menurut hukum barat dan juga yang dianut UUPA, adalah konsep ipso Jure
dengan pembuktian milik tidak cukup dari penguasaan menurut kenyataanya
saja melainkan bukti-bukti hukum sebagaimana dinyatakan dalam
registrasinya.33
Walaupun ada perbedaan pendapat, namun dalam praktiknya yang sering
diterapkan adalah penafsiran yang dibuat oleh pemerintah hindia belanda. sehingga
tanah-tanah yang dipunyai rakyat Indonesia asli dengan hak milik dan tanah-tanah
yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat dengan hak ulayat, adalah tanah domein
Negara. Tanah yang dipunyai orang indonesia asli dengan hak milik hanya dihargai
sebagai hak pakai turun-temurun, namun demikian hak-hak adat tersebut tetap
dilindungi dan dihormati sehingga tidak boleh diambil oleh Gubernur Jenderal untuk
diberikan kepada pengusaha dengan hak erfpacth. Dari asas domeinverklaring yang termuat dalam pasal 1 Agrarische Besluit (AB) tersebut dapat disimpulkan bahwa, hubungan hukum antara tanah dan Negara adalah hubungan kepemilikan, artinya
Negara memiliki semua tanah yang bukan hak eigendom dan hak agrarische eigendom.
Dalam praktek fungsi domeinverklaring dalam perundang-undangan pertanahan pemerintah kolonial Belanda adalah :34
a) Sebagai landasan hukum bagi pemerintah yang mewakili Negara sebagai pemilik tanah, untuk memberikan tanah dengan hak-hak barat yang diatur dalam KUHPdt, seperti hak erfacht, hak postal dan lain-lainnya. Dalam rangka domeinverklaring, pemberian tanah dengan hak eigendom dilakukan dengan cara pemindahan hak milik Negara kepada penerima tanah.
b) Bidang pembuktian pemilikan.
33
Soetandyo Wignjosoebroto “ Perbedaan Konsep Tentang Dasar Hak Penguasaan Atas Tanah Antara Apa Yang Dianut dalam Tradisi Pandangan Pribumi Dan Apa Yang Dianut Dalam
Hukum Positif Eropa”, Surabaya: Arena Hukum, No. 1, 1994, h. 39-43