ANALISIS SPASIAL HUBUNGAN PENGGUNAAN LAHAN
DENGAN SUHU UDARA DI KOTA MEDAN
SKRIPSI
Oleh:
CORRY YOSI PURBA 041201006/MANAJEMEN HUTAN
DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
ABSTRAK
CORRY YOSI PURBA: Analisis Spasial Hubungan Penggunaan Lahan dengan Suhu Udara di Kota Medan. Dibimbing oleh NURDIN SULISTIYONO
Penggunaan lahan perkotaan dalam rangka pembangunan kota mengakibatkan perubahan peningkatan suhu udara yang diakibatkan oleh penggunaan lahan bakar berlebih. Berdasarkan kondisi tersebut diperlukan suatu teknologi untuk mengetahui penggunaan lahan kota Medan pada tahun 2001 dan tahun 2006 serta untuk mengetahui suhu udara kota medan tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan sebaran suhu secara spasial dan hubungannya dengan penggunaan lahan di kota Medan. Metode analisis yang digunakan adalah analisis citra satelit landsat TM 5 kota Medan, analisis regresi linear sederhana, analisis spasial sebaran suhu, analisis NDVI, dan analisis korelasi bivariat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa band yang paling berpengaruh terhadap sebaran suhu pada tahun 2001 adalah band 7 sedangkan pada tahun 2006 adalah band 4. Dari model regresi yang terbentuk maka klasifikasi suhu udara kota Medan menjadi tiga kelas yaitu antara 26-280C; 28,1-300C; dan 30,1-320C. Korelasi Bivariat menunjukkan bahwa semakin kecil tutupan vegetasi kota Medan, maka semakin tinggi suhu udara kota Medan tersebut.
ABSTRACT
CORRY YOSI PURBA. Spatial analysis of land use relationship with the air
temperature in Medan. Guided by NURDIN SULISTIYONO.
Urban land use in the context of urban development cause changes in air temperature increase caused by the excessive burning of land use. Under these conditions required a technology to determine land use in Medan in 2001 and the year 2006 and to determine the temperature of the field .
This study aims to determine the spatial distribution of temperature and its relation with land use in Medan. The method of analysis used is image analysis of Landsat Satelite image TM 5 Medan, a simple linear regression analysis, analysis of spatial distribution of temperature, NDVI analysis, and bivariate correlation analysis. The results showed that the most influential bands of the distribution of temperature in 2001 was band 7 while the band in 2006 was the band 4. From the regression model that forms the temperature classification of the field into three classes, it between 26-280C; 28,1-300C; and 30,1-320C. Bivariate correlations showed that the smaller the vegetation cover of Medan, the higher of Medan Temperature.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabanjahe, Kabupaten Karo pada tanggal 9 Maret
1986 dari ayah Alm. K. Purba dan ibu R. Munthe. Penulis merupakan anak kelima dari lima bersaudara.
Tahun 2004 penulis lulus dari SMA Negeri I Tigapanah dan pada tahun
2004 lulus seleksi masuk Universitas Sumatera Utara (USU) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih program studi
Manajemen Hutan Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi salah satu anggota organisasi HIMAS (Himpunan Mahasiswa Sylva). Pada tahun 2006 Penulis
melaksanakan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Taman Nasional Batang Gadis (TNBG), Kecamatan Mandailing Natal, Kabupaten
Tapanuli Selatan. Pada akhir studi penulis mengikuti Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah KPH Kedu Selatan. Untuk dapat menyelesaikan studi, penulis melakukan penelitian dengan judul ”Analisis Spasial
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Analisis Spasial Hubungan Penggunaan Lahan dengan Suhu Udara di Kota Medan”.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan pernyataan terima kasih sebesar-besarnya kepada ibunda penulis R. Munthe, kakak dan abang serta
keluarga yang selalu memberikan dorongan semangat serta doa yang tulus.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Nurdin Sulistiyono, S.Hut, M.Si selaku dosen pembimbing serta Bapak Achmad Siddik Thoha S.Hut,
M.Si yang telah banyak membantu penulis dalam memberikan masukan dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada sahabat-sahabat penulis: Selvi, Rumondang, Jenny, Yessi, Susi, Rinaldi, Welly, Josua, Okki, Dapot, Patiar, Saud, Nora, Julia, Sanusi, Rio, serta teman-teman stambuk 2004 lainnya yang
telah banyak membantu penulis dalam meyelesaikan skripsi ini.
Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi
pihak-pihak yang membutuhkannya. Terima kasih.
Medan, Januari 2010
DAFTAR ISI
Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Suhu Udara ... 8
Manfaat Ruang Terbuka Hijau (RTH) Bagi Suhu Udara ... 10
Aplikasi Sistem Informasi Geografis Pada Pemetaan Suhu... 12
Analisis Citra Satelit ... 14
Normalized Difference Vegetation Index ... 15
Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 16
METODE PENELITIAN
Penentuan Lokasi Pengukuran ... 24
Permodelan Sebaran Suhu ... 24
Analisa Data... 25
Uji Korelasi Bivariat ... 26
HASIL DAN PEMBAHASAN Klasifikasi Citra Satelit Landsat TM ... 28
Penutupan Lahan Tahun 2001 ... 28
Penutupan Lahan Tahun 2006 ... 32
Pengujian Syarat Regresi pada Permodelan Sebaran Suhu Udara Tahun
2001 dan Tahun 2006 ... 39
Uji Normalitas... 39
Uji Multikolinearitas ... 40
Uji Heterokedasitas ... 40
Permodelan Sebaran Suhu ... 41
Normalized Difference Vegetation Index ... 48
Korelasi Bivariat ... 51
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 54
Saran ... 54
DAFTAR PUSTAKA ... 55
DAFTAR TABEL
No. Hal.
1. Luasan kota Medan hingga tahun 2005 ... 16 2. Hasil analisis akurasi tutupan lahan kota Medan tahun 2001... 29 3. Tipe tutupan lahan kota Medan tahun 2001 ... 31 4. Penyebaran penggunaan lahan tahun 2001 di kecamatan kota
Medan ... 32 5. Hasil analisis akurasi tutupan lahan kota Medan tahun 2006 ... 33 6. Tipe tutupan lahan kota Medan tahun 2006 ... 35 7. Penyebaran penggunaan lahan tahun 2006 di kecamatan kota
Medan ... 36 8. Luas penutupan lahan kota Medan tahun 2001 dan tahun 2006
serta perubahannya ... 36 9. Data koordinat X dan koordinat Y di lokasi pengukuran suhu ... 39 10. Luas penyebaran kelas suhu tahun 2001 pada penutupan
lahan kota Medan ... 44 11. Luas penyebaran kelas suhu tahun 2006 pada penutupan
lahan kota Medan ... 46 12. Luas suhu udara kota Medan tahun 2001 dan tahun 2006
DAFTAR GAMBAR
No. Hal.
1. Diagram Alir Analisis Perubahan Lahan ... 23
2. Langkah-langkah penelitian ... 27
3. Peta Tutupan Lahan Kota Medan Tahun 2001 ... 30
4. Peta Tutupan Lahan Kota Medan Tahun 2006 ... 34
5. Peta Penyebaran Sampel Pengukuran Suhu di Kota Medan ... 38
6. Peta Sebaran Suhu Spasial Tahun 2001 ... 43
6. Peta Sebaran Suhu Spasial Tahun 2006 ... 45
7. Peta Sebaran Vegetasi Tahun 2001 di Kota Medan... 49
DAFTAR LAMPIRAN
No. Hal.
1. Hasil Uji Normalitas Model ... 57
2. Hasil Uji Heterokedasitas Model ... 58
3. Hasil Uji Multikolinearitas Model ... 59
4. Hasil Pengukuran Suhu dan Digital Number pada Citra tahun 2001 ... 60
5. Hasil Pengukuran Suhu dan Digital Number pada Citra tahun 2006 ... 61
6. Hasil analisis regresi linear sederhana tahun 2001 ... 62
7. Hasil analisis regresi linear sederhana tahun 2006 ... 63
8. Hasil nilai kisaran NDVI tahun 2001 serta suhu udara ... 64
... 9. Hasil nilai kisaran NDVI tahun 2001 serta suhu udara ... 65
10.Dokumentasi pengambilan titik di lapangan ... 66
ABSTRAK
CORRY YOSI PURBA: Analisis Spasial Hubungan Penggunaan Lahan dengan Suhu Udara di Kota Medan. Dibimbing oleh NURDIN SULISTIYONO
Penggunaan lahan perkotaan dalam rangka pembangunan kota mengakibatkan perubahan peningkatan suhu udara yang diakibatkan oleh penggunaan lahan bakar berlebih. Berdasarkan kondisi tersebut diperlukan suatu teknologi untuk mengetahui penggunaan lahan kota Medan pada tahun 2001 dan tahun 2006 serta untuk mengetahui suhu udara kota medan tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan sebaran suhu secara spasial dan hubungannya dengan penggunaan lahan di kota Medan. Metode analisis yang digunakan adalah analisis citra satelit landsat TM 5 kota Medan, analisis regresi linear sederhana, analisis spasial sebaran suhu, analisis NDVI, dan analisis korelasi bivariat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa band yang paling berpengaruh terhadap sebaran suhu pada tahun 2001 adalah band 7 sedangkan pada tahun 2006 adalah band 4. Dari model regresi yang terbentuk maka klasifikasi suhu udara kota Medan menjadi tiga kelas yaitu antara 26-280C; 28,1-300C; dan 30,1-320C. Korelasi Bivariat menunjukkan bahwa semakin kecil tutupan vegetasi kota Medan, maka semakin tinggi suhu udara kota Medan tersebut.
ABSTRACT
CORRY YOSI PURBA. Spatial analysis of land use relationship with the air
temperature in Medan. Guided by NURDIN SULISTIYONO.
Urban land use in the context of urban development cause changes in air temperature increase caused by the excessive burning of land use. Under these conditions required a technology to determine land use in Medan in 2001 and the year 2006 and to determine the temperature of the field .
This study aims to determine the spatial distribution of temperature and its relation with land use in Medan. The method of analysis used is image analysis of Landsat Satelite image TM 5 Medan, a simple linear regression analysis, analysis of spatial distribution of temperature, NDVI analysis, and bivariate correlation analysis. The results showed that the most influential bands of the distribution of temperature in 2001 was band 7 while the band in 2006 was the band 4. From the regression model that forms the temperature classification of the field into three classes, it between 26-280C; 28,1-300C; and 30,1-320C. Bivariate correlations showed that the smaller the vegetation cover of Medan, the higher of Medan Temperature.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan kota akibat bertambahnya populasi penduduk dan industrialisasi telah menyebabkan penggunaan bahan bakar yang meningkat, baik untuk proses industri, transportasi maupun keperluan rumah tangga. Disamping
itu penggunaan lahan di perkotaan cenderung menambah jumlah gedung dan bangunan, serta panjang jalan akibat pembangunan yang pesat. Perkembangan ini
mengakibatkan perubahan unsur-unsur iklim terutama di pusat kota akan berbeda dengan wilayah di sekitarnya. Untuk mengatasi kondisi lingkungan kota seperti ini sangat diperlukan Ruang Terbuka Hijau.
Ruang Terbuka Hjau (RTH) dari tahun ke tahun mengalami tren yang sangat negatif. Luas RTH dari tahun ke tahun semakin menurun. Selama 10 tahun
terakhir ruang terbuka hijau di kota Medan cenderung terus menyusut. Kawasan perkotaan di Indonesia cenderung mengalami permasalahan yang tipikal, yaitu tingginya tingkat pertumbuhan penduduk terutama akibat arus urbanisasi sehingga
menyebabkan pengelolaan ruang kota makin berat (Sinulingga, 1999). Perbandingan luas RTH dengan luas kota secara keseluruhan berkurang dari 30%
di awal tahun 1970-an dan menjadi berkurang 10% hingga sekarang ini. Berkurangnya luasan RTH yang merupakan salah satu faktor meningkatnya suhu di kota Medan. Dengan adanya peningkatan suhu udara akan mengurangi
kenyamanan.
Banyak faktor yang dapat menyebabkan peningkatan suhu di kota medan,
kombinasi keduanya. Pencemaran udara dapat mengakibatkan dampak
peningkatan suhu yang bersifat langsung dan lokal, regional, maupun global atau tidak langsung dalam kurun waktu kemudian. Pencemaran udara di antaranya
disebabkan oleh kegiatan manusia yaitu transportasi, industri, pembakaran (perapian dan kompor) dan kebakaran hutan. Dampak yang terjadi akibat perubahan suhu yang terus meningkat yaitu, mewabahnya penyakit misalnya
malaria dan demam berdarah, penurunan produktivitas lahan dan kualitas lahan, perubahan dan tata guna fungsi hutan, berkurangnya kuantitas dan kualitas air,
kawasan pesisir tenggelam dan berubah fungsi, serta kepunahan spesies dan kerusakan habitat.
Berdasarkan kondisi diatas, mengingat semakin bertambahnya
faktor-faktor peningkatan suhu yang berdampak pada kerusakan alam yang terjadi, maka dilakukan penelitian tentang hubungan penggunaan lahan dengan suhu udara di
kota Medan. Untuk itu diperlukan informasi yang memadai yang bisa digunakan oleh pengambil keputusan khususnya informasi spasial. Sistem Informasi Geografis (SIG) akan mempermudah perencanaan penghijauan kota terutama
dalam menentukan posisi geografis suatu lokasi dan menyajikan tampilan dari kawasan perkotaan tersebut. Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG) akan
mendukung kelancaran perencanaan penghijauan kota, sehingga tujuan dan sasarannya akan tercapai.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan sebaran suhu secara spasial dan
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi sebagai dasar pengambilan keputusan dalam perencanaan penghijauan kota bagi
pihak-pihak yang membutuhkan.
Hipotesis Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Suhu
Secara umum iklim sebagai hasil interaksi proses-proses fisik dan kimiafisik parameternya, seperti suhu, kelembaban, angin, dan pola curah hujan yang terjadi pada suatu tempat di muka bumi. Iklim muncul akibat dari
pemerataan energi bumi yang tidak tetap dengan adanya perputaran/revolusi bumi mengelilingi matahari selama kurang lebih 365 hari serta rotasi bumi selama 24
jam. Hal tersebut menyebabkan radiasi matahari yang diterima berubah tergantung lokasi dan posisi geografi suatu daerah (Winarso, 2008).
Suhu udara adalah ukuran energi kinetik rata – rata dari pergerakan
molekul – molekul. Suhu suatu benda ialah keadaan yang menentukan kemampuan benda tersebut, untuk memindahkan (transfer) panas ke benda –
benda lain atau menerima panas dari benda – benda lain tersebut. Dalam sistem dua benda, benda yang kehilangan panas dikatakan benda yang bersuhu lebih tinggi (Yani, 2009).
Suhu merupakan karakteristik yang dimiliki oleh suatu benda yang berhubungan dengan panas dan energi. Jika panas dialirkan pada suhu benda,
maka suhu benda tersebut akan turun jika benda yang bersangkutan kehilangan panas. Akan tetpi hubungan antara satuan panas dengan satuan suhu tidak merupakan suatu konstanta, karena besarnya peningkatan suhu akibat penerimaan
Suhu udara akan berfluktuasi dengan nyata selama setiap periode 24 jam.
Fluktuasi suhu udara (dan suhu tanah) berkaitan erat dengan proses pertukaran energi yang berlangsung di atmosfer. Pada siang hari, sebagian dari radiasi
matahari akan diserap oleh gas-gas atmosfer dan partikel-partikel padat yang melayang di atmosfer. Serapan energi radiasi matahari akan menyebabkan suhu udara meningkat. Suhu udara harian maksimum tercapai beberapa saat setelah
intensitas cahaya maksimum tercapai. Intensitas cahaya maksimum tercapai pada saat berkas cahaya jatuh tegak lurus, yakni pada waktu tengah hari
(Lakitan, 2002).
Permukaan bumi merupakan permukaan penyerap utama dari radiasi matahari. Oleh sebab itu permukaan bumi merupakan sumber panas bagi udara di
atasnya dan bagi lapisan tanah di bawahnya. Pada malam hari, permukaan bumi tidak menerima masukan energi dari radiasi matahari, tetapi permukaan bumi
tetap akan memancarkan energi dalam bentuk radiasi gelombang panjang, sehingga permukaan akan kehilangan panas, akibatnya suhu permukaan akan turun. Karena perannya yang demikian maka fluktuasi suhu permukaan akan lebih
besar dari fluktuasi udara di atasnya (Lakitan, 2002).
Fluktuasi Suhu Udara
Kemajuan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Seni dan Budaya (IPTEK) yang pesat telah menyebabkan peta ekonomi dan politik dunia berubah secara
mendasar, membawa tantangan, masalah dan peluang, serta harapan baru. Semakin banyak bermunculan fenomena masalah lingkungan di perkotaan seperti
atau hilangnya berbagai habitat yang diikuti menurunnya keanekaragaman flora
dan fauna, hilang dan rusaknya pemandangan, serta berbagai macam masalah sosial. Setiap pembangunan lahan hijau atau vegetasi selalu menjadi korban.
Padahal vegetasi mempunyai peranan penting dalam ekosistem (Irwan, 2005). Di Indonesia, kurang lebih 70 % pencemaran udara disebabkan oleh emisi kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor mengeluarkan zat-zat berbahaya yang
dapat menimbulkan dampak negatif, baik terhadap kesehatan manusia maupun terhadap lingkungan serta meningkatkan angka kematian bayi Indonesia
(Susanta dan Hari, 2008). Di Indonesia, pembabatan hutan dan perubahan tata guna lahan memberikan kontribusi terbesar dalam peningkatan emisi rumah kaca (Irwan, 2005).
Kenaikan konsentrasi gas CO2 ini disebabkan oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak (BBM), batu bara, dan bahan bakar organik lainnya untuk
menunjang aktivitas manusia. Di sisi lain, jumlah tumbuh-tumbuhan yang menggunakan CO2 hanya sedikit. Dengan demikian gas CO2 semakin meningkat (Susanta dan Hari, 2008).
Miller (1986) dalam Irwan (2005) mengemukakan bahwa bangunan beton dan jalan aspal menyerap panas sepanjang hari dan melepaskannya dengan lambat
pada malam hari. Pusat kota tidak hanya lebih panas dari pinggir kota tetapi juga kurang nyaman, mengandung banyak polusi, kurang sinar matahari, kurang angin, dan kelembapannya rendah. Hasil penelitian Duckworth et al (1954) dalam Irwan
(2005) menunjukkan kesan suhu udara kota yang lebih panas daripada lingkungan di sekitarnya, seolah-olah sebuah pulau panas terapung di atas media yang lebih
sebuah kota biasanya terletak di daerah padat penduduk yang merupakan pusat
kota terpanas. Sedangkan suhu udara terendah terletak di tepi kota, dan dipinggir pulau panas. Kesan pulau panas terhadap wilayah di tepi kota, dan dipinggir pulau
panas. Kesan pulau panas terhadap wilayah di tepi kota bergantung kepada besar dan luasnya kota. Fenomena suhu udara kota yang lebih panas di pusatnya menjadi masalah penting (Irwan, 2005).
Hal ini terjadi karena adanya penambahan panas yang berasal dari aktivitas manusia maupun polusi yang dihasilkan oleh pabrik dan dari kendaraan
bermotor. Selain itu juga disebabkan karena permukaan jalan dan dinding bangunan yang menyimpan panas yang diterimanya mulai dari pagi hari hingga siang hari dan akan melepaskan panas tersebut kembali ke udara setelah matahari
terbenam (Irwan, 2005).
Perubahan iklim yang terjadi akibat pemanasan global akan meningkatkan
berbagai macam penyakit terhadap manusia, juga akan berpengaruh langsung terhadap ketahanan pangan karena tumbuhan terganggu. Selain itu, perubahan iklim juga berdampak negatif pada kehidupan di daerah pesisir pantai karena
gelombang pasang dan banjir yang sering terjadi, hujan lebat, badai, kekeringan yang silih berganti, sulitnya ketersediaan air bersih, serta penyebaran berbagai
penyakit (Susanta dan Hari, 2008).
Pengukuran Suhu
Termometer adalah alat untuk mengukur suhu. Termometer Merkuri adalah jenis termometer yang sering digunakan oleh masyarakat awam. Merkuri
terbilang konstan sehingga perubahan volume akibat kenaikan atau penurunan
suhu hampir selalu sama (Rotib, 2007).
Alat ini terdiri dari pipa kapiler yang menggunakan material kaca dengan
kandungan Merkuri di ujung bawah. Untuk tujuan pengukuran, pipa ini dibuat sedemikian rupa sehingga hampa udara. Jika temperatur meningkat, Merkuri akan mengembang naik ke arah atas pipa dan memberikan petunjuk tentang suhu di
sekitar alat ukur sesuai dengan skala yang telah ditentukan. Skala suhu yang paling banyak dipakai di seluruh dunia adalah Skala Celcius dengan poin 0 untuk
titik beku dan poin 100 untuk titik didih (Rotib, 2007).
Termometer Merkuri pertama kali dibuat oleh Daniel G. Fahrenheit. Peralatan sensor panas ini menggunakan bahan Merkuri dan pipa kaca dengan
skala Celsius dan Fahrenheit untuk mengukur suhu. Cara kerja termometer Merkuri :
1. Sebelum terjadi perubahan suhu, volume Merkuri berada pada kondisi awal. 2. Perubahan suhu lingkungan di sekitar termometer direspon Merkuri dengan
perubahan volume.
3. Volume merkuri akan mengembang jika suhu meningkat dan akan menyusut jika suhu menurun.
4. Skala pada termometer akan menunjukkan nilai suhu sesuai keadaan lingkungan.
Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Suhu Udara
Adanya aktivitas manusia dalam menjalankan kehidupan ekonomi, sosial
Diperkotaan, perubahan umumnya mempunyai pola yang relatif sama, yaitu
bergantinya penggunaan lahan lain menjadi lahan urban. Sawah atau lahan pertanian umumnya berubah menjadi pemukiman, industri atau infrastruktur kota.
Pola demikian terjadi karena lahan urban mempunyai nilai sewa lahan (land rent) yang lebih tinggi dibanding penggunaan lahan sebelumnya (Sitorus et al, 2006).
Penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang
lahan, sedangkan pada penutup lahan lebih merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap
obyek-obyek tersebut. Satuan-satuan penutup lahan kadang-kadang juga bersifat penutup lahan alami. Klasifikasi penutupan lahan adalah upaya pengelompokan berbagai jenis penutup lahan/penggunaan lahan ke dalam suatu kesamaan sesuai
dengan sistem tertentu. Klasifikasi penutupan lahan digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam proses interpretasi citra penginderaan jauh untuk tujuan
pemetaan penutupan lahan. Banyak sistem klasifikasi penutup/penggunaan lahan yang telah dikembangkan, yang dilatarbelakangi oleh kepentingan tertentu atau pada waktu tertentu (Sitorus et al, 2006).
Beberapa penelitian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan menunjukkan bahwa bagian tengah kota menunjukkan suhu yang lebih tinggi 3-4° Celcius
dibandingkan dengan wilayah sekitarnya (Caldwell, 1981 dalam Widyawati et al 2006). Perbedaan ini terjadi sepanjang tahun. Namun pada musim panas, perbedaan suhu tersebut nampak lebih tajam. Ada beberapa hal yang
menyebabkan gejala ini terjadi. Hal utama yang ditemukan oleh Caldwell adalah luasnya tutupan lahan yang berupa pengerasan (seperti semen dan aspal). Semakin
Sementara itu, kota cenderung memiliki udara yang lebih buruk untuk melepaskan
panas dibandingkan dengan wilayah pedesaan. Hal ini terjadi karena luasnya daerah tutupan berupa pengerasan dan rapatnya bangunan. Hasil penelitian ini
menunjukkan betapa pentingnya penataan ruang yang baik agar masyarakat dapat hidup nyaman (Widyawati et al, 2006).
Manfaat Ruang Terbuka Hijau (RTH) Bagi Stabilitas Suhu Udara
Kota membutuhkan vegetasi (tumbuhan), karena
tumbuh-tumbuhan mempunyai peranan dalam segala kehidupan makhluk hidup selain nilai keindahan bagi masyarakat. Tumbuhan yang ada di pekarangan dan halaman bangunan kantor, sekolah, atau di halaman bangunan lainnya serta tumbuhan yang
ada di pinggir jalan, baik jumlah dan keanekaragamannya semakin menurun. Sebagai akibatnya fungsi tumbuhan sebagai penghasil oksigen yang sangat
diperlukan oleh manusia untuk proses respirasi (pernafasan) serta untuk kebutuhan aktivitas manusia semakin berkurang, karena proses fotosintesis dari vegetasi semakin berkurang. Sebaliknya, keberadaan gas CO2 semakin tinggi
karena semakin meningkatnya asap kendaraan bermotor, limbah industri, dan aktivitas lainnya dari penduduk kota semakin meningkat (Irwan, 2005).
Kehadiran tumbuhan sangat diperlukan di perkotaan mengingat proses fotosintesis tumbuhan yang terjadi apabila ada sinar matahari dan dibantu oleh enzim, yaitu suatu proses di mana zat-zat anorganik H2O dan CO2 oleh klorofil
diubah menjadi anorganik, karbohidrat serta O2. Tumbuhan hijau akan menjaring CO2 dan melepas O2 kembali ke udara. Grey dan Deneke (1978) dalam Irwan
mempersenyawakan sekitar 150.000 juta ton CO2 dan 25.000 juta hidrogen
dengan membebaskan 400.000 juta ton oksigen ke atmosfer, serta menghasilkan 450.000 juta ton zat-zat organik. Setiap jam 1 ha daun-daun hijau menyerap 8 kg
CO2 yang ekuivalen dengan CO2 yang dihembuskn oleh napas manusia sekitar 200 orang dalam waktu yang sama. Pentingnya peranan tumbuhan di bumi ini dalam upaya penanganan krisis lingkungan terutama di perkotaan sehingga sangat
tepat jika keberadaan tumbuhan mendapat perhatian serius dalam pelaksanaan penghijauan perkotaan/ hutan kota (Irwan, 2005).
Dengan adanya RTH sebagai paru-paru kota, maka dengan sendirinya akan terbentuk iklim yang sejuk dan nyaman. Kenyamanan ini ditentukan oleh adanya saling keterkaitan antara faktor-faktor suhu udara, kelembaban udara,
cahaya, dan pergerakan angin. Hasil penelitian di Jakarta, membuktikan bahwa suhu di sekitar kawasan RTH (di bawah pohon teduh), dibanding dengan suhu di
luarnya, bisa mencapai perbedaan angka sampai 2-4 derajat celcius. RTH membantu sirkulasi udara. Pada siang hari dengan adanya RTH, maka secara alami udara panas akan terdorong ke atas, dan sebaliknya pada malam hari, udara
dingin akan turun di bawah tajuk pepohonan. Pohon, adalah pelindung yang paling tepat dari terik sinar matahari, di samping sebagai penahan angin kencang,
peredam kebisingan dan bencana alam lain, termasuk erosi tanah. Bila terjadi tiupan angin kencang diatas kota tanpa tanaman, maka polusi udara akan menyebar lebih luas dan kadarnya pun akan semakin meningkat
(Dwiyanto,2009).
Hutan kota sebagai unsur RTH merupakan subsistem kota, sebuah
pengertian hutan yang dipahami selama ini. Hutan kota diharapkan dapat
mengatasi masalah lingkungan di perkotaan dengan menyerap hasil negatif yang disebabkan aktivitas kota. Aktivitas kota dipicu oleh pertumbuhan penduduk yang
meningkat setiap tahun (Irwan, 2005).
Hutan kota adalah komunitas vegetasi berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitar kota, berbentuk jalur, meyebar, atau
bergerombol (menumpuk) dengan struktur meniru (menyerupai) hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa dan menimbulkan
lingkungan sehat, nyaman dan estetis. Hasil negatif kota antara lain meningkatnya suhu udara, menurunnya kelembaban, kebisingan, debu, polutan lainnya, dan hilangnya habitat berbagai burung karena hilangnya berbagai vegetasi dan RTH.
Dalam hal ini diharapkan hutan kota dapat menyerap panas, meredam suara bising di kota, mengurangi debu, memberikan estetika, membentuk habitat untuk
berbagai jenis burung atau satwa lainnya (Irwan, 2005).
Aplikasi Sistem Informasi Geografis Pada Pemetaan Suhu
Geographic Information System atau Sistem Informasi Geografis (SIG)
merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk mengelola (input, manajemen,
proses, dan output) data spasial atau data yang bereferensi geografis (Nuarsa, 2005) sedangkan menurut Husein (2006) SIG merupakan komputer yang berbasis pada sistem informasi yang digunakan untuk memberikan bentuk digital dan
Manfaat utama penggunaan sistem informasi spasial dengan komputer
dibandingkan dengan metode pembuatan peta tradisional dan masukan data manual atau informasi manual, adalah memperkecil kesalahan manusia,
kemampuan memanggil kembali peta tumpangsusun dari simpanan data SIG secara cepat, menggabungkan tumpangsusun tersebut tetapi penggabungan batas agak sulit, dan untuk memperbaharui dengan memperhatikan perubahan
lingkungan data statistik dan batas agak sulit, dan untuk memperbaharui dengan memperhatikan perubahan lingkungan data statistic dan batas-batas dan area yang
Nampak pada peta (Howard, 1996).
Keuntungan utama dari SIG adalah memberi kemungkinan untuk mengindentifikasi hubungan spasial diantara data geografis dalam bentuk peta.
SIG tidak hanya sekedar menyimpan peta menurut pengertian konvensional yang ada dan SIG tidak pula sekedar menyimpan citra atau pandangan dari area
geografi tertentu. Akan tetapi, SIG dapat menyimpan data menurut kebutuhan yang diinginkan dan menggambarkan kembali sesuai dengan tujuan tertentu. SIG menghubungkan data spasial dengan informasi geografi tentang feature tertentu
pada peta. Informasi ini disimpan sebagai atribut atau karakteristik dari feature yang disajikan secara grafik (Pardede, 2008).
SIG adalah sistem yang berbasis komputer yang digunakan untuk memetakan kondisi dan peristiwa yang terjadi di muka bumi dan dapat juga dipakai untuk menyimpan, memanipulasi, dan menganalisis informasi geografi.
Teknologi ini berkembang pesat sejalan dengan perkembangan teknologi informatika atau teknologi komputer. Informasi permukaan bumi telah
menggambarkan suatu topografi suatu daerah ataupun batas-batas administratif
suatu wilayah atau negara. Sedangkan peta tematik (thematic) secara khusus menampilkan distribusi keruangan (spatial distribution)
kenampakan-kenampakan seperti geologi, geomorfologi, tanah, vegetasi, atau sumber daya alam lainnya (Nugrahani,2006).
Analisis Citra Satelit
Analisis citra visual atau interpretasi foto dapat didefenisiskan sebagai
aktivitas visual untuk mengkaji citra yang menunjukkan gambaran muka bumi yang tergambar di dalam foto tersebut untuk tujuan identifikasi obyek dan menilai maknanya. Interprtasi visual merupakan kegiatan pemecahan masalah yang
meliputi deteksi dan identifikasi obyek di muka bumi pada foto udara, dengan mengenali obyek-obyek tersebut melalui unsur-unsur utama spektral dan spasial,
dan kadang-kadang di dalam kehutanan dengan melalui kondisi temporalnya. Adapun unsur-unsur pengenalan citra yang penting adalah enam buah, yakni rona atau warna, ukuran, bentuk, tekstur, bayangan dan pola, tinggi, situs dan asosiasi
serta adanya perubahan terhadap unsur waktu (Howard,1996).
Landsat TM (Thematic Mapper) dan SPOT (System Pour 1’Observation
de la Terre) merupakan satelit yang sering digunakan dalam kegiatan perencanaan
tata guna lahan dan tata ruang kota. Menurut Howard (1996), landsat TM memiliki kelebihan pada resolusi spektral dengan 6 saluran tampak/inframerah
dan 1 saluran termal dengan resolusi spasialnya sebesar 30x30 m. Resolusi spasial yang semakin tinggi dengan dikombinasikan perluasan spektral ternyata sangat
Sistem citra Landsat TM meliput lebar sapuan (scanning) sebesar 185 km,
direkam dengan menggunakan tujuh saluran panjang gelombang , yaitu tiga saluran panjang gelombang tampak, tiga saluran panjang gelombang inframerah
dekat, dan satu saluran panjang gelombang inframerah termal. Panjang gelombang yang digunakan pada setiap saluran Landsat TM adalah saluran dengan gelombang biru (0,45-0,52) µm, saluran 2 dengan gelombang hijau (0,52-0,60)
µ m, saluran 3 dengan gelombang merah (0,63-0,69) µm, saluran 4 dengan gelombang inframerah dekat (0,76-0,90) µm, saluran 5 dengan gelombang
inframerah pendek (1,55-1,75) µm, saluran 6 dengan gelombang inframerah termal (10,40-12,50) µm, dan saluran 7 dengan gelombang inframerah pendek (2,08-2,35) µm. Satelit Landsat 7 akan dilengkapi dengan fasilitas penerima
system posisi lokasi (Ground Positioning Sistem/GPS receiver) untuk meningkatkan ketepatan letak satelit didalam jalur orbitnya (Purwadhi, 2001).
Normalized Diferential Vegetation Index (NDVI)
Vegetasi perkotaan dapat mempengaruhi udara disekitarnya secara
langsung maupun tidak langsung dengan cara merubah kondisi atmosfer lingkungan udara. PP RI No. 63/2002 menyebutkan bahwa fungsi vegetasi di
perumahan ditekankan sebagai penyerap CO2, penghasil oksigen, penyerap polutan, penyerap kebisingan, penahan angina dan peningkatan keindahan. Kondisi dan keberadaan vegetasi di daerah perkotaan dapat diketahui dengan
Nilai indeks vegetasi dapat memberikan informasi tentang persentase
penutupan vegetasi, indeks tanaman hidup. Indeks vegetasi adalah pengukuran kuantitatif berdasarkan nilai digital dari data penginderaan jauh yang digunakan
untuk mengukur biomassa atau intensitas vegetasi di permukaan bumi (Tampubolon et al, 2008).
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Kota Medan memiliki luas 26.510 hektar (265,10 km2) atau 3.6 % dari
keseluruhan wilayah Sumatera Utara. Dibandingkan dengan kota/kabupaten lainnya, kota Medan memiliki luas wilayah yang relatif kecil dengan jumlah penduduk yang relatif besar (BPS, 2002). Secara geografis kota Medan terletak
pada 3º 30' - 3º 43' Lintang Utara dan 98º 44' Bujur Timur dengan batas-batas sebagai berikut :
- Batas Utara : Kabupaten Deli Serdang dan Selat Malaka
- Batas Selatan : Kabupaten Deli Serdang
- Batas Timur : Kabupaten Deli Serdang
- Batas Barat : Kabupaten Deli Serdang
Luas wilayah Kota Medan dapat dipersentasekan sebagai berikut
Tabel 1. Luasan Kota Medan Hingga Tahun 2005
No Lokasi Luas sebenarnya
Luas (Ha) Luas (%)
Kota Medan mempunyai iklim tropis dengan suhu minimum menurut
Stasiun Polonia pada tahun 2001 berkisar antara 23,2ºC - 24,3ºC. Suhu maksimum berkisar antara 30,8ºC - 33,2ºC serta menurut Stasiun Sampali suhu minimumnya
berkisar antara 23,3ºC - 24,1ºC dan suhu maksimum berkisar antara 31,0ºC - 33,1ºC. Kelembaban udara di wilayah Kota Medan rata-rata berkisar antara 84-85%. Kecepatan angin rata-rata sebesar 0,48 m/sec, sedangkan rata-rata total laju
penguapan tiap bulannya 104,3 mm. Hari hujan di Kota Medan pada tahun 2001 rata-rata per bulan 19 hari dengan rata-rata curah hujan per bulannya 226,0 mm
(menurut Stasiun Sampali) dan 299,5 mm pada Stasiun Polonia (BPS, 2002). Secara geografis, Kota Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya sumber alam seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara,
Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan lain-lain. Kondisi ini menjadikan Kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai
METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Oktober 2009 di Kota Medan. Analisa data dilakukan di Laboratorium Manajemen Hutan Terpadu Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah Citra satelit landsat TM 7 Kota Medan (path/row 129/57 dan 129/58) tahun 2001 dan tahun 2006, peta administrasi kota Medan, peta Rupa Bumi Indonesia.
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah, Personal Computer (PC) dengan perangkat lunaknya, perangkat SIG (Software Arc View 3,3 dan Erdas
Imagine 8,5), Global Positioning System (GPS), kamera digital, Termometer.
Metode Penelitian
1. Pengumpulan Data
a. Data-data sekunder diperoleh dari berbagai instansi dan studi literatur, terdiri dari :
1. Citra Landsat TM 7 Kota Medan (path/row 129/57 dan 129/58) tahun 2001 dan tahun 2006.
b. Pengumpulan data primer diperoleh dari :
1. Pengambilan titik koordinat di kota Medan. Data ini diperlukan untuk mengetahui titik koordinat lokasi pengukuran suhu udara.
2. Pengukuran suhu dilakukan di setiap sampel lokasi. Lokasi yang mewakili areal bervegetasi seperti hutan kota, padang rumput dan mangrove serta areal non vegetasi seperti jalan raya, danau, gedung,
dan lapangan udara.
2. Analisis Citra
Citra Landsat TM dianalisis dengan tujuan untuk memperoleh peta perubahan penggunaan lahan dari kawasan yang diteliti. Menurut Lillesand dan
Kiefer (1990), analisis citra dapat dilakukan dalam enam tahap yang digambarkan dalam diagram alir seperti gambar 1, yang mencakup :
1. Mosaik Image
Mosaik image adalah penggabungan dua citra yakni citra landsat 129/57 dan citra landsat 129/58 sehingga gambaran pada kedua citra tersebut
bertampalan. 2. Subset Image
Subset image adalah memotong (cropping) citra untuk menentukan daerah
kawasan yang diteliti dari kedua citra tersebut. 3. Koreksi Citra
Koreksi citra merupakan prosedur operasi agar diperoleh data yang sesuai
media antara, dan faktor objeknya sendiri, sehingga perlu dibetulkan atau
dipulihkan kembali. Koreksi citra terdiri dari :
a. Koreksi Geometris
Koreksi geometris dilakukan sesuai dengan atau penyebab kesalahannya, yaitu kesalahan sistematik dan kesalahan random
dengan sifat distorsi geometrik pada citra. Tujuan koreksi geometrik antara lain :
- Melakukan rektifikasi (pembetulan) citra agar koordinat citra sesuai dengan koordinat geografi
- Mencocokkan (registrasi) posisis citra dengan citra lainnya ataua mentransformasikan sistem koordinat citra multispektral atau multitemporal
- Registrasi citra ke peta atau transformasi sistem koordinat citra ke peta, yang menghasilkan citra dengan sistem proyeksi tertentu.
b. Koreksi Radiometrik
Koreksi radiometrik merupakan perbaikan akibat cacat atau kesalahan radiometrik, yaitu kesalahan pada sistem optik, kesalahan karena gangguan energi radiasi elektromagnetik pada atmosfer dan kesalahan karena pengaruh sudut elevasi matahari.
4. Klasifikasi Citra (Image classification)
Klasifikasi citra bertujuan untuk pengelompokan atau segmentasi terhadap kenampakan-kenampakan yang homogen dengan menggunakan teknik kuantitaif. Klasifikasi citra yang digunakan yakni klasifikasi terbimbing
pemilihan kategori informasi yang diinginkan dan memilih training area untuk tiap kategori penutup lahan yang mewakili sebagai kunci interpretasi.
5. Uji Ketelitian
Uji ketelitian dilakukan dengan menggunakan metode maksimum likelihood.Uji ketelitian bertujuan untuk menguji kebenaran dari hasil interpretasi yang diperoleh dengan cara pengecekan di lapangan serta pengukuran beberapa titik (sampel area) yang dipilih dari setiap bentuk penutup/penggunaan lahan yang homogen. Besarnya tingkat akurasi akan diperoleh dari hasil uji ketelitian. Makin tinggi nilai akurasi maka makin baik klasifikasi yang dibuat dan makin mendekati kondisi sebenarnya di lapangan. Adapun diagram alir analisis perubahan lahan dapat disajikan pada Gambar 1. Besarnya tingkat akurasi dapat dihitung dari matriks analisis akurasi dengan formulasi sebagai berikut:
Producer’s accuracy = x100%
Xkt = ΣXij (jumlah semua kolom pada baris ke i)
Gambar 1. Diagram Alir Analisis Perubahan Lahan Peta Penutupan
Lahan Tahun 2001
Peta Penutupan Lahan Tahun 2006
Uji Ketelitian Citra Landsat
129/57
Citra Landsat 129/58
Mosaik Image
Subset Image
Koreksi
Geometris Radiometrik
Penentuan lokasi pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan
metode Purposive sampling. Menurut Soekartawi (1995), dalam purposive sampling, pemilihan sekelompok subjek didasarkan atas ciri atau sifat tertentu
yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri atau sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya untuk mencapai tujuan tertentu dalam suatu penelitian. Mengingat populasi penelitian sangatlah luas/banyak, maka perlu
dilakukan pengambilan sampel guna mengatasi keterbatasan sumber daya yang digunakan dalam penelitian ini (tenaga, waktu dan biaya).
Tahap-tahap penentuan sampel dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1. Menentukan areal/daerah yang bervegetasi dan non vegetasi sesuai dengan
perubahan penggunaan lahan pada peta di kota Medan. Areal yang bervegetasi
meliputi hutan kota, lahan hijau (padang rumput dan sawah), dan mangrove. Untuk areal yang non vegetasi meliputi danau, sungai, industri, pemukiman
dan lapangan terbuka yang mencakup landasan aspal serta lapangan udara. 2. Setiap areal yang terpilih merupakan daerah yang akan dilakukan pengukuran
suhu yang tersebar merata di kawasan kota Medan.
Pengukuran suhu yang dilakukan dengan menggunakan termometer. Pengamatan perubahan suhu yang terjadi pada termometer diamat pada pukul 07.00, pukul 13.00 dan pada pukul 18.00.
4. Permodelan Sebaran Suhu
dinyatakan dalam bentuk persamaan matematik yang menyatakan hubungan fungsional antara variabel-variabel.
Analisis regresi linear sederhana dilakukan apabila jenis variabelnya merupakan variabel bebas dan terikat. Pada umumnya variabel yang mudah didapat (diukur) dianggap sebagai variabel bebas (X), dan variabel lainnya yaitu variabel terikat (Y). Statistik melakukan analisis dan mengajukan bentuk formula (persamaan) yang menandai kualitas keterikatan antar variabel (Sudjana, 1997). Persamaan yang didapat menjelaskan hubungan fungsional antarvariabel, seperti hubungan antara suhu dengan
Digital Number (DN) yaitu nilai digital pixel yang terekam pada sensor satelit. Model
regresi linear sederhana dapat dinyatakan sebagai berikut : Y = a + bX
Keterangan : Y = Suhu (OC)
X = Digital Number (DN)
Analisis data yang dilakukan menggunakan bantuan program SPSS
(Statistical Program for Social Science) versi 15,0. Model ini dipilih karena ingin mengetahui hubungan antara land user (penggunaan lahan) dengan suhu udara di kota Medan.
5. Analisa Data
Data yang diperoleh melalui pengukuran suhu dan penentuan titik kordinat
di lapangan dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis (SIG) sehingga menghasilkan informasi spasial yang akan di overlay
6. Uji Korelasi Bivariat
Langkah-langkah penelitian disajikan dalam gambar berikut :
Gambar 2. Langkah-langkah penelitian
Peta Sebaran Suhu Peta Land Cover
Hubungan Land Cover dengan Suhu
Klasifikasi Citra
Analisis Citra/ Permodelan Suhu
Ground Cek Peta Administrasi Citra Satelit Pengukuran Suhu
HASIL DAN PEMBAHASAN
Klasifikasi Citra Satelit Landsat TM
Penutupan Lahan Tahun 2001
Data penutupan lahan kota Medan diperoleh dari hasil klasifikasi citra satelit landsat TM 7 tahun 2001 dan landsat TM 7 tahun 2006. Adapun kombinasi
band yang umum digunakan pada klasifikasi citra yaitu 543 (kombinasi band yang biasa digunakan di bidang Kehutanan) dimana berbagai kenampakan vegetasi baik
alami maupun yang ditanam serta mempermudah pengenalan tipe-tipe penutup lahan dapat terlihat dengan jelas. Citra yang telah terkoreksi tersebut diklasifikasikan dengan menggunakan metode supervised classification.
Kenampakan citra dalam penyajian data dipengaruhi oleh resolusi. Citra landsat TM mempunyai resolusi 30 m x 30 m, oleh karena itu obyek yang ukurannya
lebih kecil dari 30 m tidak dapat dikenali.
Kenampakan citra diidentifikasikan berdasarkan ukuran, bentuk, tekstur, pola bayangan dan asosiasinya. Hasil klasifikasi citra diperoleh enam jenis
sebaran tutupan lahan di kota Medan yaitu awan, badan air, industri, Ruang Terbuka Hijau (RTH), lapangan terbuka, dan pemukiman yang diinterpretasikan
secara visual.
Citra satelit landsat TM 7 tahun 2001 diklasifikasikan untuk menghasilkan penutupan lahan kota Medan pada tahun 2001. Citra yang telah diklasifikasikan
untuk menghasilkan areal tutupan lahan yang akurat. Hasil akurasi dapat
ditampilkan pada tabel 2.
Tabel 2. Hasil analisis akurasi tutupan lahan kota medan tahun 2001
Kelas Awan Badan
Sumber : Hasil klasifikasi citra satelit landsat TM tahun 2001
Uji akurasi tutupan lahan kota Medan menunjukkan bahwa hasil klasifikasi citra satelit landsat TM tahun 2001 dapat terklasifikasi dengan baik.
Hasil uji klasifikasi citra satelit dikatakan baik jika hasil uji contingency diatas 80%. Hasil perhitungan uji akurasi diperoleh tingkat akurasi keseluruhan (overall accuracy) sebesar 91,16 %, rata User’s accuracy (UA) sebesar 94,63%,
rata-rata producer’s accuracy sebesar 90,66%, dan untuk Kappa accuracy sebesar 94,40 %. Hasil uji akurasi ini diketahui bahwa citra terklasifikasi dengan baik
sehingga dapat diperoleh peta tutupan lahan kota Medan tahun 2001. Hasil klasifikasi citra satelit menunjukkan enam tutupan lahan di kota Medan yaitu awan, badan air, industri, lapangan terbuka, pemukiman dan Ruang Terbuka Hijau
Gambar 3. Peta Tutupan Lahan Kota Medan Tahun 2001
Peta tutupan lahan kota Medan menunjukkan areal penggunaan lahan di kota Medan dengan luasan yang berbeda. Luas penutupan lahan kota Medan
Tabel 3. Tipe tutupan lahan kota medan tahun 2001
Tutupan Lahan Luas (ha) Persentase (%)
Awan 797,51 2,99
Badan air 915,27 3,42
Industri 630,32 2,36
Lapangan terbuka 3.829,13 14,35
Pemukiman 9.183,59 34,38
RTH 11.354,53 42,51
Total 26.710,3 100
Sumber : Hasil klasifikasi citra satelit landsat TM tahun 2001
Luas tutupan lahan yang paling sedikit adalah industri dengan luas sebesar 630,32 Ha atau 2,36% dan tutupan lahan yang paling besar adalah Ruang Terbuka Hijau (RTH) yaitu sebesar 11.354,53 Ha atau 42,51%. Citra yang diklasifikasi
merupakan citra yang memiliki luasan RTH yang besar, sehingga tutupan lahan yang paling luas pada tahun 2001 adalah RTH. Pemukiman adalah tutupan lahan
terbesar kedua yaitu seluas 9.183,59 Ha. Tutupan lahan non vegetasi dibagi menjadi tiga yaitu lapangan terbuka seluas 3.829,13 Ha (14,35%), badan air seluas 915,27 Ha (3,42%) dan awan.
Peta tutupan lahan menunjukkan bahwa citra satelit landsat TM tahun 2001 memiliki awan yang banyak. Awan tersebut menutupi sebagian kecamatan
Tabel 4. Penyebaran penggunaan lahan tahun 2001 di kecamatan kota medan Klasifikasi Awan Badan air Industri Lapangan terbuka Pemukiman RTH Total (Ha)
Medan Amplas 0,147 2,259 19,953 263,045 513,198 728,262 1.526,864 Medan Perjuangan 0,989 3,787 8,207 220,951 682,214 166,555 1.082,703 Medan Petisah 0,556 1,237 4,605 113,394 206,945 50,136 376,873 Total 58,761 915,274 646,821 3.847,884 9.783,598 11.474,525 26.710,3
Sumber : Hasil klasifikasi citra satelit landsat TM tahun 2001
Berdasarkan peta tutupan lahan kota Medan, lapangan terbuka, pemukiman dan RTH tersebar merata di 21 kecamatan yang ada di kota Medan.
RTH pada peta tersebut terdiri dari tiga bentuk yaitu hutan kota, lahan hijau dan mangrove sedangkan pemukiman terdiri dari gedung, pertokoan, dan perumahan.
Penutupan Lahan Tahun 2006
Citra satelit landsat TM 7 tahun 2006 diklasifikasikan untuk menghasilkan
penutupan lahan kota Medan pada tahun 2006. Sama halnya dengan penutupan lahan tahun 2001, klasifikasi citra tahun 2006 juga memiliki enam penutupan lahan yaitu awan, badan air, industri, lapangan terbuka, pemukiman dan RTH. Hal
menghasilkan areal tutupan lahan yang akurat. Hasil akurasi dapat ditampilkan
pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil analisis akurasi tutupan lahan kota medan tahun 2006
Kelas Awan Badan air RTH Lahan
terbuka Pemukiman Industri Total Awan 1691 0 0 0 0 0 1691
Sumber : Hasil klasifikasi citra satelit landsat TM tahun 2006
Uji akurasi tutupan lahan kota Medan menunjukkan bahwa hasil
klasifikasi citra satelit landsat TM tahun 2006 dapat terklasifikasi dengan baik. Hasil perhitungan uji akurasi diperoleh tingkat akurasi keseluruhan (overall
accuracy) sebesar 97,73%, rata User’s accuracy (UA) sebesar 97,40%,
rata-rata producer’s accuracy sebesar 93,42%, dan untuk Kappa accuracy sebesar 96,76%. Hasil uji akurasi ini diketahui bahwa citra terklasifikasi dengan baik
Gambar 4. Peta Tutupan Lahan Kota Medan Tahun 2006
Peta tutupan lahan menunjukkan bahwa keberadaan mangrove hanya ada di sebelah utara kota Medan, yaitu kawasan yang dekat dengan pesisir pantai
mangrove di kecamatan Medan Belawan ditetapkan sebagai hutan kota yang dapat
berfungsi sebagai sarana rekreasi. Peta tutupan lahan kota Medan tahun 2006 juga menunjukkan areal penggunaan lahan di kota Medan dengan luasan yang berbeda.
Luas penutupan lahan kota Medan disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6. Tipe tutupan lahan kota medan tahun 2006
Tutupan Lahan Luas (ha) Persentase (%)
Awan 797,51 2,99
Badan air 1.367,84 5,12
Industri 766,45 2,87
Lapangan terbuka 3.815,53 14,28
Pemukiman 10.712,55 40,09
RTH 9.250,4 34,63
Total 26.710,3 100
Sumber : Hasil klasifikasi citra satelit landsat TM tahun 2006
Luas tutupan lahan yang paling sedikit adalah industri dengan luas sebesar 766,45 Ha atau 2,87% dan tutupan lahan yang paling besar adalah pemukiman
yaitu sebesar 10.712,55 Ha atau 40,09%. Sedangkan tutupan lahan lain meliputi badan air seluas 1.367,84 Ha (5,12%), lapangan terbuka seluas 3.815,53 Ha (14,28%), awan dan RTH. RTH merupakan daerah tutupan lahan terbesar kedua
setelah kawasan pemukiman yaitu seluas 9.250,4 Ha (34,63%). Penyebaran penggunaan lahan tahun 2006 di seluruh kecamatan kota medan dapat dilihat pada
Tabel 7. Penyebaran penggunaan lahan tahun 2006 di kecamatan kota Medan Kecamatan Awan Badan air Industri Lapangan terbuka Pemukiman RTH Total (Ha)
Medan Amplas 49,767 2,959 25,899 332,485 699,884 467,113 1.578,107 Medan Labuhan 7,767 683,544 160,356 453,152 464,782 2.426,597 4.196,198 Medan Maimun 149,771 0,09 9,871 15,815 288,423 18,665 482,635 Medan Marelan 0,847 384,494 16,027 89,456 117,489 1.491,592 2.099,905 Medan Perjuangan 0,939 6,384 17,418 168,356 700,213 91,642 984,952 Medan Petisah 45,852 - 2,657 11,862 287,531 29,076 376,978 Medan Tuntungan 0,09 26,377 2,808 163,983 273,656 1.373,538 .1840,452 Total 738,751 1.367,836 766,45 3.815,534 10.732,548 9.289,181 26.710,3
Sumber : Hasil klasifikasi citra satelit landsat TM tahun 2006
Tabel 7 menunjukkan bahwa awan, industri, lapangan terbuka, pemukiman dan RTH tersebar merata di setiap kecamatan kota Medan. Pemukiman
merupakan tutupan lahan yang terluas pada tahun 2006 di kota Medan. Perubahan luas tiap-tiap kelas tutupan lahan pada tahun 2001 dan tahun 2006 dicantumkan pada Tabel 8.
Tabel 8. Luas penutupan lahan kota medan tahun 2001 dan tahun 2006 serta perubahannya
No Kelas Tutupan
Lahan Luas Tahun 2001 Luas Tahun 2006
Perubahan
Perubahan tutupan lahan yang paling besar terdapat pada tutupan lahan
ruang terbuka hijau. Tahun 2001 ruang terbuka hijau memiliki luas sebesar 11.354,53 Ha, sedangkan tahun 2006 berubah menjadi 9.250,4 Ha, berarti
perubahan tata guna lahan pada ruang terbuka hijau sebesar 2.104,13 Ha atau 49,47%. Begitu juga pada kelas tutupan lahan yang lain seperti badan air dan pemukiman terdapat perubahan tata guna lahan sebesar 10,69% dan 36,10%.
Areal pemukiman juga memiliki perubahan yang cukup besar. Pada tahun 2001 pemukiman memiliki luas sebesar 9.183,59 Ha, sedangkan tahun 2006 menjadi
luas 10.712,55 Ha, berarti perubahan tata guna lahan bertambah menjadi 1.528,96 Ha. Berarti perubahan areal pemukiman sebesar 36,10%. Hal ini berarti ruang terbuka hijau di kota Medan mengalami pengurangan dalam jangka lima tahun,
baik itu mangrove, lahan hijau serta hutan kota.
Salah satu dampak negatif dari perubahan ruang terbuka hijau tersebut
dapat meningkatkan suhu udara, kebisingan, debu polutan, dan menurunnya kelembaban. Sebaliknya jika ruang terbuka hijau tersebut dapat menyebar secara merata serta dapat memenuhi kebutuhan ruang terbuka hijau di setiap kecamatan
kota Medan, maka suhu udara di kota Medan akan menurun.
Sebaran Suhu Udara di Kota Medan
Pengukuran suhu dilakukan secara menyebar di kota Medan. Ada 32 sampel titik penyebaran pengukuran suhu yang dilakukan. Sampel-sampel
Gambar 5. Peta Penyebaran Sampel Pengukuran Suhu di Kota Medan
Sampel-sampel tersebut dianggap sudah mewakili tiap-tiap areal penutupan lahan kota Medan seperti areal bervegetasi yaitu lapangan bola, sawah,
landasan tanah, landasan aspal dan perumahan dan ruko. Adapun koordinat X dan
koordinat Y pengukuran suhu dapat ditampilkan pada tabel 9.
Tabel 9. Data koordinat X dan koordinat Y di lokasi pengukuran suhu
No Lokasi Koordinat X Koordinat Y 13 Landasan Tanah Amplas 98,714 3,557 14 Landasan Tanah Helvetia 98,628 3,608 15 Dennaisquare 98,725 3,571 23 Berastagi Supermarket 98,683 3,733 24 Sungai Deli 98,654 3,590 30 Jembatan Beringin 98,626 3,568 31 Jembatan 98,669 3,576 32 Mangrove 98,721 3,568
Sumber : Data primer (2009)
Pengujian Syarat Regresi Pada Permodelan Sebaran Suhu Udara Tahun 2001 dan Tahun 2006
Uji Normalitas
data sebaran suhu menunjukkan bahwa model berada di sekitar garis diagonal
(Lampiran 1) sehingga dikatakan model regresi sebaran suhu yang diperoleh memenuhi syarat normalitas data yaitu data tersebar di sekitar nilai rata-rata.
Syarat ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Santoso (2000) yang menyatakan bahwa syarat model penduga konsumsi air dikatakan baik apabila memenuhi syarat kenormalan yang ditunjukkan oleh tampilan plot yang menunjukkan
penyebaran data di sekitar garis diagonal.
Uji multikolinearitas
Hasil analisis (Lampiran 2) menunjukkan bahwa band 7 pada tahun 2001 dan band 4 pada tahun 2006 memiliki nilai VIF sebesar 1,000, dengan nilai
Tolerance masing-masing sebesar 1,000. Berdasarkan hasil analisis dan ketentuan
pengujian multikolinearitas tersebut, diketahui kedua band tersebut memiliki nilai
VIF disekitar angka 1 dan nilai Tolerance mendekati angka 1. Hasil analisis ini berarti band 7 dan band 4 tidak terdapat multikolinearitas.
Uji heterokedasitas
Hasil uji (Lampiran 3) diketahui bahwa titik-titik (data) band 7 dan band 4,
tidak membentuk sebuah pola tertentu yang jelas, serta tersebar baik di atas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y. Dengan demikian, maka berarti tidak terjadi heterokedasitas pada model regresi, sehingga model regresi layak dipakai
Permodelan Sebaran Suhu
Permodelan sebaran suhu yang dibutuhkan dua variabel yaitu suhu dan digital number. Digital number yang digunakan merupakan digital number pada
kombinasi seluruh band. Hasil pengukuran suhu dan digital number pada tahun 2001 disajikan pada Lampiran 2. Hasil pengukuran suhu dan digital number pada tahun 2001 disajikan pada Lampiran 4.
Band 7 merupakan band yang paling berpengaruh dalam permodelan sebaran suhu pada tahun 2001 karena band 7 merupakan band thermal. Band ini
biasanya digunakan dalam pembuatan sebaran suhu udara dibandingkan dengan band-band lainnya. Sesuai dengan pernyataan Newcomer (2008) yang menyatakan bahwa band 7 merupakan thermal infrared yaitu band panas, yang
terutama digunakan untuk aplikasi geologi tetapi kadang digunakan untuk mengukur stress panas tanaman, juga untuk membedakan embun dari lapisan
tanah yang cerah karena embun cenderung sangat dingin. Sedangkan untuk tahun 2006, band 4 merupakan band yang paling berpengaruh dalam permodelan sebaran suhu udara pada tahun. Menurut Newcomer (2008) menyatakan bahwa
band 4 merupakan band banyak mengandung biomassa dari vegetasi yang ada. Hal ini berarti pada citra tahun 2001, band 4 merupakan band yang paling
menonjolkan vegetasi yang ada di tahun 2001 sehingga mampu digunakan dalam permodelan sebaran suhu udara dibandingkan dengan band-band lainnya.
Tingkat suhu udara tertinggi berada di landasan aspal amplas, lapangan
Analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS. Hasil analisis regresi
pada tahun 2001 dan tahun 2006 menunjukkan bahwa model persamaan regresi yang diperoleh layak digunakan dalam pembuatan sebaran suhu secara spasial
karena memiliki tingkat signifikansi sebesar 0,000 dan 0,046. Menurut Priyatno (2008), bahwa tingkat signifikansi 0,05 atau 5 % berarti tingkat kesalahan dalam pengambilan keputusan sebanyak-banyaknya sebesar 5% dan tingkat kepercayaan
sebesar 95 %.
Model regresi yang terbentuk tahun 2001 adalah Y = 31,249 – 0,026X,
sedangkan untuk tahun 2006 model regresi yang terbentuk adalah Y = 20,567 + 0,036X. Model regresi yang diperoleh menunjukkan sebaran suhu spasial tahun 2001 seperti yang ditampilkan pada Gambar 6, dan sebaran suhu spasial tahun
2006 ditampilkan pada Gambar 7. Untuk hasil analisis regresi ditampilkan pada Lampiran 5 dan Lampiran 6.
Citra tahun 2006 menghasilkan hasil analisis regresi dengan nilai R Square rendah yaitu sebesar 0,131. Menurut Santoso (2002), semakin kecil angka R Square, maka semakin lemah hubungan kedua variabel. Hasil persamaan regresi
tersebut memiliki nilai R Square yang rendah dikarenakan bahwa :
1. Citra landsat TM yang digunakan bukanlah citra landsat TM tahun 2009
melainkan tahun 2006 sedangkan pengukuran suhu dilakukan pada tahun 2009,
2. GPS yang digunakan memiliki tingkat akurasi yang relatif rendah. Pengukuran
Gambar 6. Peta Sebaran Suhu Spasial Tahun 2001
Hasil penelitian menunjukkan bahwa klasifikasi suhu di kota Medan terdiri dari tiga kelas yaitu antara 26-280C, 28,1-300C, 30,1-320C. Umumnya suhu
suhu 28,1-300C sangat banyak terdapat di tengah kota Medan yaitu wilayah
medan kota, medan polonia, medan area dan sebagain medan belawan. Suhu 30,1-320C banyak terdapat di sekitar mangrove medan labuhan dan medan marelan.
Luas penyebaran suhu kota Medan terhadap kelas penutupan lahan dapat ditampilkan pada Tabel 10 .
Tabel 10. Luas penyebaran kelas suhu tahun 2001 pada penutupan lahan kota Medan
No Kelas Tutupan Lahan Luas Kelas Pada Suhu (Ha)
(26 – 28)0C (28,1 – 30)0C (30,1 – 32)0C Total
1 Badan air 853,65 128,98 1,17 983,8
2 Industri 33,7 291,46 34,58 359,74
3 Lapangan terbuka 112,13 3.079,45 744,02 3.935,6
4 Pemukiman 211,41 4.778,86 4.628,35 9.618,62
5 RTH 4.364,31 6.872,97 575,31 11.812,59
Total 5.575,2 15.151,72 5.983,43 26.710,35
Sumber : Citra satelit Landsat TM tahun 2001
Ketiga kelas tersebut menunjukkan bahwa kelas suhu udara antara
28,1-300C memiliki luas yang besar yaitu 15.151,72 Ha. Luasan terendah terdapat pada kelas suhu udara antara 26-280C yaitu sebesar 5.575,2 Ha. Penutupan lahan tahun
2001 menunjukkan bahwa RTH memiliki luas yang paling besar pada suhu 26-280C yaitu sebesar 4.364,31 Ha dan pada suhu 28,1-300C yaitu sebesar 6.872,97 dibandingkan dengan tutupan lahan yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa RTH
mampu menciptakan iklim mikro yang rendah. Sesuai dengan pernyataan Irwan (2005), ruang terbuka hijau mampu menciptakan iklim mikro dengan mengurangi
Gambar 7. Peta Sebaran Suhu Spasial Tahun 2006
Hasil penelitian menunjukkan bahwa klasifikasi suhu di kota Medan terdiri dari tiga kelas yaitu antara 26-280C, 28,1-300C, 30,1-320C. Umumnya suhu
kecamatan Medan Belawan yang terletak di pesisir pantai. Sama halnya dengan
suhu antara 28,1-300C di kota Medan, sangat banyak terdapat di kecamatan Medan Belawan, dan umumnya terdapat di wilayah Mangrove. Untuk suhu
berkisar antara 26-280C, hampir seluruh kecamatan kota Medan memiliki suhu yang berkisar antara 26-280C. Luas penyebaran suhu kota Medan terhadap kelas penutupan lahan dapat ditampilkan pada Tabel 11.
Tabel 11. Luas penyebaran kelas suhu tahun 2006 pada penutupan lahan kota Medan
No Kelas Tutupan Lahan Luas Kelas Pada Suhu (Ha)
(26 – 28)0C (28,1 – 30)0C (30,1 – 32)0C Total (Ha)
Total 4.713,48 16.776,88 5.219,94 26.710,3
Sumber : Citra satelit Landsat TM tahun 2006
Ketiga kelas tersebut menunjukkan bahwa kelas suhu udara antara 28,1-300C memiliki luas yang besar. Luasan terendah terdapat pada kelas suhu udara
antara 26-280C yaitu sebesar 4.713,48 Ha.
Berdasarkan enam tipe penggunaan lahan, badan air terdapat pada ketiga kelas suhu yang ada; yaitu 26-280C seluas 1.374,52 Ha merupakan badan air
tawar yang terdapat pada kawasan bervegetasi rapat; pada suhu 28,1-300C merupakan badan air yang terdapat di sekitar kawasan mangrove yang suhunya
lebih tinggi dari badan air tawar karena tumbuhan mangrove mengalami respon radiasi sinar matahari dan suhu yang tinggi (Onrizal, 2005); pada suhu 30,1-320C merupakan badan air asin atau laut yang memiliki tingkat penguapan lebih tinggi
karena tidak ditutupi oleh vegetasi atau tutupan lahan lainnya.
Ruang Terbuka Hijau terdapat pada ketiga kelas suhu, pada suhu 26-280C
sedang dan pada suhu 30,1-320C memiliki tutupan vegetasi yang jarang. Pada
tutupan lahan yang berupa lapangan terbuka pada suhu 26-280C adalah landasan tanah, pada suhu 28,1-300C adalah lapangan terbuka yang berupa lahan parkir dan
pada suhu 30,1-320C adalah jalan raya (aspal). Tutupan lahan pemukiman dengan suhu 26-280C merupakan kawasan perumahan, pemukiman dengan suhu 28,1-300C merupakan kawasan gedung, ruko dan sejenisnya, sedangkan pemukiman
dengan suhu 30,1-320C merupakan kawasan industri, gedung tinggi dan gedung-gedung berkaca. Perubahan luas pada suhu udara yang ada dari tahun 2001 hingga
tahun 2006 kota Medan dapat ditampilkan pada tabel 12.
Tabel 12. Luas suhu udara kota medan tahun 2001 dan tahun 2006 serta perubahannya
Pada Suhu (Ha) Perubahan luas pada suhu (Ha)
(26-Sumber : Citra Landsat TM tahun 2001 dan tahun 2006
Penutupan lahan badan air pada tabel menunjukkan perubahan luas yang terbesar terletak pada suhu 30,1-320C yaitu meningkat sebesar 940,08 Ha. Pada
suhu yang rendah yaitu 26-280C tahun 2001, badan air memiliki luas yang besar yaitu 853,65 Ha, sedangkan pada suhu yang sama tahun 2006 badan air
mengalami pengurangan luas menjadi 21,33 Ha. Begitu juga terhadap industri, lapangan terbuka, pemukiman dan RTH. Pemukiman mengalami kenaikan suhu udara pada kelas suhu 26-280C yaitu sebesar 107,43 Ha dan kelas suhu 28,1-300C
luas. Pada kelas suhu 26-280C, RTH mengalami pengurangan luas yaitu sebesar
907,32 Ha. Sedangkan untuk kelas suhu 28,1-300C mengalami pengurangan luas sebesar 1.151,2 Ha. Hal ini menunjukkan semakin sedikitnya luas RTH di kota
Medan yang mampu menciptakan iklim mikro untuk kota Medan itu sendiri. Dapat disimpulkan bahwa telah terjadi kenaikan suhu udara di berbagai areal di kota Medan akibat perubahan penggunaan lahan selama 5 tahun terakhir.
Normalized Differential Vegetation Index (NDVI)
NDVI merupakan suatu persamaan yang paling umum digunakan untuk mencari nilai indeks vegetasi dimana NDVI memiliki sensivitas yang tinggi terhadap perubahan kerapatan tajuk vegetasi. Hasil nilai kisaran NDVI serta suhu
udara tahun 2001 ditampilkan pada Lampiran 7. Peta sebaran vegetasi di kota Medan tahun 2001 dapat ditampilkan pada Gambar 8. Hasil nilai kisaran NDVI
Gambar 8. Peta Sebaran Vegetasi Tahun 2001 di Kota Medan
terdapat di kawasan kecamatan medan selayang dan medan johor sedangkan nilai
NDVI rendah terdapat di sekitar pinggiran pantai dan mangrove.
Hasil proses hitungan NDVI diperoleh nilai NDVI dengan rentang nilai
antara -0,66 hingga 0,74, dengan rata-rata nilai rentang 0,23. Nilai NDVI tertinggi terdapat di kawasan kebun binatang sedangkan nilai NDVI rendah terdapat di
sekitar pinggiran pantai.
Korelasi Bivariat
Korelasi negatif yang ditunjukkan oleh hasil penelitian antara nilai indeks vegetasi dengan suhu udara menunjukkan adanya hubungan antara indeks vegetasi
dengan suhu udara di Kota Medan. Nilai korelasi/hubungan antara Suhu dan NDVI pada tahun 2001 dapat ditampilkan pada Tabel 13 dan untuk tahun 2006 dapat ditampilkan pada tabel 14.
Tabel 13. Nilai korelasi bivariat antara Suhu dan NDVI tahun 2001
Variabel Hubungan Suhu NDVI
Tabel 14. Nilai korelasi bivariat antara Suhu dan NDVI tahun 2006
Variabel Hubungan Suhu NDVI
Dengan menggunakan teknik korelasi bivariat dihasilkan nilai korelasi
sebesar -0,412 pada tahun 2001 dan sebesar -0,262 pada tahun 2006. Hal ini berarti korelasi antara NDVI dengan suhu udara mempunyai hubungan terbalik
(2008) bahwa koefisien korelasi sebesar +1 atau -1 berarti memiliki korelasi yang
sempurna sedangkan koefisien korelasi 0 menunjukkan tidak adanya korelasi. Semakin kecil nilai NDVI maka semakin besar suhu udara. Hal ini berarti
semakin kecil tutupan vegetasi kota Medan, maka semakin tinggi pula suhu udara kota Medan tersebut. Perubahan area vegetasi bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi perubahan temperatur. Faktor-faktor lainnya yaitu iklim, curah
hujan, dan tingkat pencemaran.
Vegetasi memiliki fungsi sebagai pengendali tingkat pencemar udara
perkotaan selain berperan sebagai penyediaan oksigen dan penyerap karbondioksida, juga berperan sebagai pelindung terhadap asap dan gas beracun, serta penyaring udara kotor dan debu. Soenaryo (1996) dalam Syakur (2009)
menyebutkan bahwa setiap jam, 1 ha daun-daun tumbuhan hijau mampu menyerap 8 kg CO2, jumlah ini sama dengan jumlah CO2 yang dihembuskan oleh
+ 200 orang manusia dalam waktu yang bersamaan, sedangkan menurut Wolf (1998) dalam Syakur (2009), 2 pohon yang sehat cukup untuk mensuplai kebutuhan oksigen seorang manusia setiap tahunnya.
Perkembangan kota yang memiliki pusat pemanfaatan lahan yang berbeda-beda mengakibatkan perberbeda-bedaan tingkatan dan karakteristik pencemaran udara
yang terjadi pada masing-masing kawasan. Sarana transportasi merupakan sumber utama polusi udara di kota Medan, oleh karena itu kawasan-kawasan seperti pemukiman campuran, zona industri kecil dan aneka industri merupakan
Vegetasi di perkotaan dapat mengubah kondisi lingkungan sekitarnya
dengan mempengaruhi kualitas udara yaitu dengan cara menurunkan suhu udara, mengurangi gas-gas pencemar, menahan laju angin dan mengurangi tingkat
kebisingan. Vegetasi dapat mengurangi panasnya suhu harian yang dikarenakan keberadaan tajuk vegetasi mampu mengurangi radiasi sinar matahari bagi lingkungan dibawahnya, selain itu kelembaban yang disebabkan yang disebabkan
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa klasifikasi suhu di kota Medan terdiri dari tiga kelas yaitu antara 26-280C, 28,1-300C, dan 30,1-320C yang tersebar diseluruh kecamatan kota Medan. Suhu 28,1-300C yang menempati areal
yang terluas yaitu 16.776,88 Ha, sedangkan suhu tertinggi yaitu sebesar 30,1-320C menempati areal yang terkecil seluas 5.219,94 Ha.
2. Tingkat suhu udara tertinggi berada di penutupan lahan aspal, lapangan udara serta jalan raya dengan suhu sebesar 320C. Hal ini dikarenakan kurangnya vegetasi yang tumbuh di sekitar kawasan tersebut. Sedangkan untuk suhu
terendah berada pada tutupan lahan vegetasi yaitu taman kampus dan kebun binatang sebesar 270C, karena memiliki tutupan vegetasi yang rapat.
Saran
Dalam penelitian sejenis ada baiknya menggunakan citra yang sama sesuai
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kota Medan . 2002. Profil Kota Medan 2002. Medan Badan Pusat Statistik Kota Medan . 2005. Kependudukan Kota Medan. Medan Departemen Pekerjaan Umum. 2005. Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah
Perkotaan. Lab. Perencanaan Lanskap Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor
Dwiyanto, A. 2009. Kuantitas dan Kualitas Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Pemukiman Kota. Jurnal Nasional Arsitektur. Universitas Diponegoro Press Howard, J. A. 1996. Penginderaan Jauh Untuk Sumberdaya Hutan Teori dan
Aplikasi. Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta
Husein, R. 2006. Konsep Dasar Sistem Informasi Geografi (Geographics
Information System).
2008]
Irwan, Z. D. 2005. Tantangan Lingkungan Dan Lansekap Hutan Kota. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta
Lakitan, B. 2002. Dasar Dasar Klimatologi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
Lillesand, T. M dan Kiefer, R.W. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Newcomer, J. 2008. Satellite Landsat TM. Extr. Data.
Nuarsa, I. 2005. Menganalisis Data Spasial Dengan Arc View GIS 3,3 Untuk Pemula. PT Elex Media Komputindo. Jakarta
Nugrahani, T. 2006. Sistem Informasi Geografi Perikanan. Dinas Perikanan dan Kelautan Daerah Istimewa Yogyakarta. Desember 2008]
Onrizal. 2005. Adaptasi Tumbuhan Mangrove Pada Lingkungan Salin Dan Jenuh Air. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan
Pardede, M. 2008. Sistem Informasi Geografi. Kantor pengolahan Data Elektronik. Propinsi Sumatera Utara. Medan. [5 Desember 2008]