• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Penyakit Kusta di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan Tahun 2011-2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Penyakit Kusta di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan Tahun 2011-2013"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN PENYAKIT KUSTA DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

DR. PIRNGADI MEDAN TAHUN 2011-2013

Oleh:

SHINTA PEDIA DINANTI 110100324

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

GAMBARAN PENYAKIT KUSTA DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

DR. PIRNGADI MEDAN TAHUN 2011-2013

KARYA TULIS ILMIAH INI DIAJUKAN SEBAGAI SALAH SATU SYARAT MEMPEROLEH KELULUSAN SARJANA KEDOKTERAN

Oleh:

SHINTA PEDIA DINANTI 110100324

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Gambaran Penyakit Kusta di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan Tahun 2011-2013

Nama : SHINTA PEDIA DINANTI NIM : 110100324

Pembimbing Penguji I

(dr. Syahril Rahmat Lubis, SpKK (K)) (dr. Eka Roina Megawati, M.Kes) NIP. 19501022 198211 1 001 NIP. 19781223 200312 2 002

Penguji II

(dr. Maya Savira, M.Kes) NIP. 19761119 200312 2 001

Medan, 08 Januari 2015 Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(4)

ABSTRAK

Kusta adalah penyakit infeksi yang kronis, penyebabnya ialah Mycobacterium Leprae yang merupakan intersellular obligat. Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya masalah dari segi medis, tapi juga meluas ke masakah sosial, budaya, ekonomi. Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan/pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran penyakit kusta di RSUD dr. Pirngadi Medan.

Penelitian ini bersifat deskriptif yang dilakukan dengan menggunakan rekam medis dari Instalasi Rekam Medis RSUD dr. Pirngadi Medan. Tehnik pengambilan sampel dengan menggunakan tehnik total sampling. Responden dalam penelitian ini berjumlah 33 pasien.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa proporsi tertinggi umur penderita penyakit kusta adalah 25-44 tahun 48.5%, proporsi laki-laki 57.6%, proporsi cacat kusta tingkat 0 93.9%, proporsi pasien kusta tipe multibasilar (MB) 72.7%, proporsi pasien kusta dengan reaksi kusta tipe 2 51.5%, proporsi pasien kusta dengan jenis pekerjaan wiraswasta 24.2%, dan proporsi pasien kusta yang bertempat tinggal di luar Kota Medan 72.7%.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah kusta banyak di derita pada jenis kelamin laki-laki, paling banyak pada kelompok usia 25-44 tahun, tertinggi pada kusta dengan tipe Multibasiler (MB), tertinggi pada cacat kusta tingkat 0, mayoritas pada reaksi kusta tipe 2, mayoritas pada jenis pekerjaan wiraswasta, mayoritas tinggal di daerah Kecamatan Medan Area.

(5)

ABSTRACT

Leprosy is a chronic disease caused by Mycrobacterium Leprae that is a obligat intracellular. Leprosy is one of the contagious disease that implied very complex problems. Leprosy is not only implied medical problem, but also social problem, culture problem, and economic problem. Leprosy is still a threatening disease in community, including medical personel. The purpose of this research is to know the description of leprosy in RSUD dr. Pirngadi Medan start from 1 January 2011 until 31 December 2013.

This is a descriptive study conducted using medical record RSUD dr. Pirngadi Medan. The were sampling was total sampling technique. The respondent of this research were 33 patients.

The result showed the highest proportion of leprosy patient were in the group of 25-44 years 48.5%, proportion of men 57.6%, proportion of leprosy defect level 0 93.9%. proportion of leprosy patients were multibacillary type 72.7%, proportion of leprosy patients were leprosy reaction type 2 51.5%, proportion of leprosy patients were type of work self-employed 24.2%, and proportion of leprosy patients residing outside the city of Medan 72.7%.

The conclusion is most of these patients were men. Most of them were in the 25-44 years old group, the highest type is multibacillary leprosy (MB), the highest leprosy defect is leprosy defect level 0, mostly in leprosy reaction type 2. Most of them were self-employed work type. Most of those who live in the Kecamatan Medan Area.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan berkah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan KTI (Karya Tulis Ilmiah) ini yang berjudul “Gambaran Penyakit Kusta di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan Tahun 2011-2013”. Karya tulis ilmiah ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. dr. Gontar A Siregar, Sp. PD-KGEH selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Dosen - dosen Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat / Ilmu Kedokteran Komunitas (IKM / IKK ) Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3. dr. Syahril Rahmat Lubis, Sp.KK(K) selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan pikirannya dalam memberikan petunjuk, saran dan bimbingan kepada penulis serta telah banyak memberikan bahan kepustakaan sehingga karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan.

4. dr. Eka Roina Megawati, M.Kes selaku dosen penguji I serta dr. Maya Savira, M.Kes selaku dosen penguji II yang telah bersedia menguji, memberikan masukan, dan saran kepada penulis.

(7)

6. dr. Selfi Nafianti, Sp.A(K) selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing dan memberikan banyak nasihat dan masukan kepada penulis dalam menghadapi masalah perkuliahan.

7. Komisi Etik dan Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah menyetujui pelaksanaan penelitian ini.

8. Bidang Pendidikan dan Penelitian Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi Medan yang telah memberikan izin melakukan penelitian.

9. Seluruh staf Rekam Medis Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan atas dukungan, semangat, dan bantuan dalam pengambilan data penelitian ini.

10. Teman seperjuangan penulis Vien Hardiyanti, serta teman-teman yang telah mendukung penuh selama proses penyusunan karya tulis ilmiah ini Ryan Rinaldi, Herna Wahyuni, Rachwina Apriza, Febryna Rizky Anwar, Abangda Fadlan Pulungan serta teman-teman FK USU 2011.

11. Seluruh civitas academica Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah membantu selama perkuliahan. Demikian ucapan terima kasih ini disampaikan. Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca, dan penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.

Medan, 06 Desember 2014

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Persetujuan .………..………. . i

Abstrak... ii

Abstract... . iii

Kata Pengantar... iv

Daftar Isi………... vi

Daftar Tabel... viii

Daftar Gambar... ix

Daftar Lampiran... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

(9)

2.1.12 Pencegahan Cacat Kusta ... ... 21

2.1.13 Relaps Kusta ... 22

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL…….. 24

3.1. Kerangka Konsep Penelitian... 24

3.2. Defenisi Operasional... 24

BAB 4 METODE PENELITIAN... 28

4.1. Jenis Penelitian ... 28

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 28

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 28

4.4. Metode Pengumpulan Data ... 29

4.5. Metode Analisis Data ... 29

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... . 30

5.1. Hasil Penelitian... 30

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian... . 30

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Individu... 30

5.1.3 Distribusi Karakteristik Sampel... 30

5.2. Pembahasan... . 32

5.3. Keterbatasan Penelitian... . 37

BAB 6 KSEIMPULAN DAN SARAN... 38

6.1 Kesimpulan... 38

6.2 Saran... . 38

DAFTAR PUSTAKA... 40

(10)

LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

5.1. DistribusiPenderitaKusta di RSUD dr. Pirngadi Medan 01 Januari 2011-31 Desember 2013

31

5.2. DistribusiProporsiPasienPenyakitKustaBerdasarkanJenisKelamin 33 5.3. DistribusiProporsiPasienPenyakitKustaBerdasarkanUmur 33 5.4. DistribusiProporsiPasienPenyakitKustaBerdasarkanCacatKusta 34 5.5. DistribusiProporsiPasienPenyakitKustaBerdasarkanTipeKusta 34 5.6. DistribusiProporsiPasienPenyakitKustaBerdasarkanReaksiKusta 35 5.7. DistribusiProporsiPasienPenyakitKustaBerdasarkanPekerjaan 36 5.8. DistribusiProporsiPasienPenyakitKustaBerdasarkanTempatTinggal 36

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul

Lampiran 1 DaftarRiwayatHidup

Lampiran 2 SuratIzinPenelitian Lampiran 3 Ethical Clearence

(12)
(13)

ABSTRAK

Kusta adalah penyakit infeksi yang kronis, penyebabnya ialah Mycobacterium Leprae yang merupakan intersellular obligat. Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya masalah dari segi medis, tapi juga meluas ke masakah sosial, budaya, ekonomi. Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan/pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran penyakit kusta di RSUD dr. Pirngadi Medan.

Penelitian ini bersifat deskriptif yang dilakukan dengan menggunakan rekam medis dari Instalasi Rekam Medis RSUD dr. Pirngadi Medan. Tehnik pengambilan sampel dengan menggunakan tehnik total sampling. Responden dalam penelitian ini berjumlah 33 pasien.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa proporsi tertinggi umur penderita penyakit kusta adalah 25-44 tahun 48.5%, proporsi laki-laki 57.6%, proporsi cacat kusta tingkat 0 93.9%, proporsi pasien kusta tipe multibasilar (MB) 72.7%, proporsi pasien kusta dengan reaksi kusta tipe 2 51.5%, proporsi pasien kusta dengan jenis pekerjaan wiraswasta 24.2%, dan proporsi pasien kusta yang bertempat tinggal di luar Kota Medan 72.7%.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah kusta banyak di derita pada jenis kelamin laki-laki, paling banyak pada kelompok usia 25-44 tahun, tertinggi pada kusta dengan tipe Multibasiler (MB), tertinggi pada cacat kusta tingkat 0, mayoritas pada reaksi kusta tipe 2, mayoritas pada jenis pekerjaan wiraswasta, mayoritas tinggal di daerah Kecamatan Medan Area.

(14)

ABSTRACT

Leprosy is a chronic disease caused by Mycrobacterium Leprae that is a obligat intracellular. Leprosy is one of the contagious disease that implied very complex problems. Leprosy is not only implied medical problem, but also social problem, culture problem, and economic problem. Leprosy is still a threatening disease in community, including medical personel. The purpose of this research is to know the description of leprosy in RSUD dr. Pirngadi Medan start from 1 January 2011 until 31 December 2013.

This is a descriptive study conducted using medical record RSUD dr. Pirngadi Medan. The were sampling was total sampling technique. The respondent of this research were 33 patients.

The result showed the highest proportion of leprosy patient were in the group of 25-44 years 48.5%, proportion of men 57.6%, proportion of leprosy defect level 0 93.9%. proportion of leprosy patients were multibacillary type 72.7%, proportion of leprosy patients were leprosy reaction type 2 51.5%, proportion of leprosy patients were type of work self-employed 24.2%, and proportion of leprosy patients residing outside the city of Medan 72.7%.

The conclusion is most of these patients were men. Most of them were in the 25-44 years old group, the highest type is multibacillary leprosy (MB), the highest leprosy defect is leprosy defect level 0, mostly in leprosy reaction type 2. Most of them were self-employed work type. Most of those who live in the Kecamatan Medan Area.

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya masalah dari segi medis, tapi juga meluas ke masalah sosial, budaya, ekonomi, dan juga ketahanan nasional. Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara yang sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan dan kesejahteraaan sosial ekonomi pada masyarakat (Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, 2006).

Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat dan keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan/pengertian serta kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya (Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, 2006).

Pada tahun 1991 World Health Assembly telah mengeluarkan suatu resolusi yaitu eliminasi kusta tahun 2000, sehingga penyakit kusta tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Eliminasi yang dimaksud World Health Organization (WHO) adalah suatu keadaan dimana prevalensi (jumlah penderita yang tercatat) kurang dari 1/10.000 penduduk (Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, 2006).

Upaya pengendalian penyakit kusta di dunia menetapkan tahun 2000 sebagai tonggak pencapaian eliminasi. Indonesia berhasil mencapai target ini pada tahun yang sama. Sebagai upayaglobal WHO yang didukung The Internastional Federation of Anti-Leprosy Associations (ILEP) mengeluarkan Enchanced Global Strategy for Further Reducing the Disease Burden due to Leprosy (2011-2015).

(16)

Menurut WHO Weekly Epidemiological Report mengenai kusta tahun 2013, selama tahun 2012 terdapat 18.994 kasus baru di Indonesia, dengan 15.703 kasus teridentifikasi sebagai kasus kusta tipe Multi Basiler (MB) yang merupakan tipe yang menular. Dari data kasus kusta baru tahun 2012 tersebut, 6.667 kasus diantaranya oleh diderita oleh kaum perempuan, sedangkan 2.191 kasus diderita oleh anak-anak.

Data Kementrian Kesahatan menyebutkanpada tahun 2012 dilaporkan terdapat 16.123 kasus baru kusta, terdiri dari kasus tipe Multi Basiler sebanyak 13.268 kasus dan tipe Pausi Basiler sebanyak 2.855 kasus dengan Newly Case Detection Rate (NCDR) sebesar 6,6 per 100.000 penduduk. NCDR tahun 2012 relatif lebih kecil dibandingkan 5 tahun sebelumnya.

Data Dinas Kesehatan Sumatera Utara menyebutkan pada akhir tahun 2012 prevalensi rate kusta di Provinsi Sumatera Utara sudah relatif sangat rendah yakni 0,17 per 10,000 penduduk. Jumlah kasus kusta terbanyak tercatat di Kota Medan yaitu 61 kasus, diikuti dengan Asahan sebanyak 23 kasus dan Tapanuli Selatan sebanyak 20 kasus. Pada tahun 2012 tercatat 25 kasus baru kusta pada anak berumur < 15 tahun dan22 kasus baru denga kecacatan tingkat 2.

WHO (1980) membatasi istilah dalam cacat kusta sebagai berikut: impairment, disability, dan handicap. Sedangkan WHO Expert Comittee on Leprosy dalam laporan yang dimuat dalam WHO Technical Report Series No. 607 telah membuat klasifikasi cacat bagi penderita kusta. Klasifikasi tersebut antara lain: Tingkat 0, tingkat 1, dan tingkat 2 (Kosasih, 2008).

Bayangan cacat kusta menyebabkan penderita seringkali tidak dapat menerima kenyataan bahwa ia menderita kusta. Akibatnya akan ada perubahan mendasar pada kepribadian dan tingkah lakunya. Akibatnya ia akan berusaha untuk menyembunyikan keadaannya sebagai penderita kusta. Hal ini tidak menunjang proses pengobatan dan kesembuhan, sebaliknya akan memperbesar resiko timbulnya cacat (Kuniarto, 2006).

(17)

keliru mengenai penyakit kusta. Sikap dan perilaku masyarakat yang negatif terhadap penderita kusta seringkali menyebabkan penderita kusta merasa tidak mendapat tempat di keluarganya dan lingkungan masyarakat (Kuniarto, 2006).

Akibatnya penderita cacat kusta (PCK) cenderung hidup menyendiri dan mengurangi kegiatan sosial dengan lingkungan sekitar, tergantung kepada orang lain, merasa tertekan dan malu untuk berobat. Dari segi ekonomi, penderita kusta cenderung mengalami keterbatasan ataupun ketidakmampuan dalam bekerja maupun mendapat diskriminasi untuk mendapatkan hak dan kesempatan untuk mencari nafkah akibat keadaan penyakitnya sehingga kebutuhan hidup tidak dapat terpenuhi, apalagi mayoritas penderita kusta berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, padahal penderita kusta memerlukan perawatan lanjut sehingga memerlukan biaya perawatan. Hal-hal tersebut yang akhirnya akan mempengaruhi tingkat kualitas hidup (Kuniarto, 2006).

Di Sumatera Utara, dari hasil penelitian Syahril Rahmat Lubis (2013) dengan tujuan untuk mengetahui gambaran penderita kusta di tiga rumah sakit pendidikan di provinsi Sumatera Utara periode 1 Januari 2008 – 31 Desember 2012. Dari hasil yang didapatkan total penderita sebanyak 211 orang di RSUP H. Adam Malik Medan, 145 orang di RSU dr. Pirngadi Medan dan 88 orang di RS Kusta Pulau Sicanang, dengan total 444 orang penderita, dimana ditemukan prevalensi laki-laki lebih banyak daripada perempuan, usia dominan adalah 25-44 tahun, diagnosis terbanyak adalah kusta tipe multibasiler, dengan reaksi kusta menjadi penyakit yang menyertai, dan pengobatan terbanyak adalah MDT-MB untuk kusta. Pada umumnya penderita pulang dalam kondisi sembuh dan RFT (Release from Treatment).

1.2Rumusan Masalah

(18)

1.3Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran penderita kusta di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Pirngadi Medan mulai dari Januari 2011-Desember 2013.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui gambaran penderita kusta berdasarkan tipe kusta di RSUD dr. Pirngadi Medan pada tahun 2011-2013

2. Untuk mengetahui gambaran penderita kusta berdasarkan reaksi kusta di RSUD dr. Pirngadi Medan pada tahun 2011-2013

3. Untuk mengetahui gambaran penderita kusta berdasarkan cacat kusta di RSUD dr. Pirngadi Medan pada tahun 2011-2013

4. Untuk mengetahui gambaran penderita kusta berdasarkan umur di RSUD dr. Pirngadi Medan pada tahun 2011-2013

5. Untuk mengetahui gambaran penderita kusta berdasarkan jenis kelamin di RSUD dr. Pirngadi Medan pada tahun 2011-2013

6. Untuk mengetahui gambaran penderita kusta berdasarkan jenis pekerjaan di RSUD dr. Pirngadi Medan pada tahun 2011-2013

7. Untuk mengetahui gambaran penderita kusta berdasarkan lokasi tempat tinggal di RSUD dr. Pirngadi Medan pada tahun 2011-2013

1.4Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti

Sebagai bahan untuk menambah pengalaman dan bahan untuk mengaplikasikan ilmu dalam hal melakukan penelitian dan juga sebagai bahan pembelajaran bagi peneliti mengenai penyakit kusta.

2. Bagi Ilmu Pengetahuan dan Dunia Penelitian

(19)

3. Bagi Dinas Kesehatan dan Pemerintah Daerah

Sebagai sumber data, mengenai bagaimana gambaran penyakit kusta khususnya di Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi Medan.

4. Bagi Masyarakat

(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kusta 2.1.1. Definisi

Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M.leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya

menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis, kecuali susunan saraf pusat.Istilah kusta berasal dari bahasa India yakni kustha dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Penyakit kusta disebut juga lepra dan Morbus Hansen. Kata lepra disebut dalam kitab injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Morbus Hansen sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 di Norwegia sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen (Kosasih, 2011).

2.1.2 Epidemiologi

Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat yang lain sampai tersebar seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanisia termasuk Indonesia, diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina. Distribusi penyakit ini tiap-tiap negara maupun dalam negara sendiri ternyata berbeda-beda (Kosasih,2011).Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan kemungkinan adanya resevoir diluar manusia (Linuwih, 2011).

(21)

peringkat ketiga, dengan jumlah penderita 22.390 jiwa pada tahun 2012 (WHO,2013).

Menurut laporan WHO tersebut, selama tahun 2012 terdapat 18.994 kasus baru di Indonesia, dengan 15.703 kasus teridentifikasi sebagai kasus kusta tipe Multi Basiler (MB) yang merupakan tipe yang menular. Dari data kasus kusta baru tahun 2012 tersebut, 6.667 kasus diantaranya oleh diderita oleh kaum perempuan, sedangkan 2.191 kasus diderita oleh anak-anak (WHO,2013).

Menurut Ress (1975) dalam Zulfikli (2002), dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni bakteri Mycobacterium Leprae itu sendiri dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah:

1. Usia, anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa. 2. Jenis kelamin, laki-laki lebih banyak menderita kusta. 3. Ras, bangsa Asia dan Afrika lebih banyak menderita kusta.

4. Keadaan sosial, umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara dengan tingkat sosial ekonomi rendah.

5. Lingkungan, fisik, biologi dan sosial yang kurang sehat.

2.1.3. Gejala Klinis

Penyakit kusta adalah penyakit menular, menahun dan disebabkan oleh kuman kusta yang bersifat intraselular obligat. Saraf tepi/perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa saluran nafas bagian atas. Maka untuk mendiagnosis kusta dicari kelainan yang berhubungan dengan gangguan saraf tepi dan kelainan yang tampak pada kulit.

Untuk menciptakan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau tanda kardinal (cardinal signs), yaitu:

1. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa.

Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak putih (hipopigmentasi) atau kemerahan (eritema) yang mati rasa (anestesi).

(22)

Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan saraf tepi (neuritis perifer) kronis.

Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa: a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa

b. Gangguan fungsi motoris: kelemahan (paresis) atau kelumpuhan (paralisis) otot.

c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering dan retak-retak.

3. Adanya basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (slit skin smear.

Gejala-gejala umum pada reaksi kusta :

1. Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil 2. Anoreksia

3. Nausea, kadang-kadang disertai vomitus 4. Nyeri kepala

5. Kadang-kadang disertai Neuritis dan Orchitis

2.1.4. Klasifikasi

Adapun klasifikasi yang banyak dipakai dalam bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis, dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan.

1. Tipe Tuberkuloid (TT)

(23)

2. Bordeline Tuberculoid (BT)

Lesi pada tipe ini menyerupai tipe tuberculoid (TT), yakni berupa makula atau plak yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.

3. Mid Bordeline (BB)

Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum penyakit kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan bentuk ini jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk makula infiltratif. Permukaan lesi dapat berkilap, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe borderline tuberculoid(BT) dan cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi, baik dalam ukuran, bentuk, ataupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.

4. Bordeline Lepromatous (BL)

(24)

5. Tipe Lepramatosa (LL)

Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa, berkilap, berbatas tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah mengenai dahi pelipis, dagu, cuping telinga: sedang dibadan dan diwajah mengenai bagian badan yang dingin, lengan, punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung membentuk fasies leonina yang dapat disertai madarosis, iritis, dan keratitis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking & glove anaesthesia. Bila penyakit ini menjadi progressif, muncul makula dan papula baru, sedangkan lesi lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.

Klasifikasi Internasional (Madrid, 1953) - Indeterminate (I)

- Tuberkuloid (T)

- Borderline – Dimorphus (B) - Lepromatosa (L)

Klasifikasi WHO (1981) - Pausibasilar (PB)

(25)

- Multibasilar (MB)

Termasuk kusta tipe lepramatosa (LL), tipe borderline lepramatosa (BL), tipe mid borderline (BB) dan sebagian tipe borderline tuberculoid (BT) menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe borderline – dimorphus (B) dan tipe lepromatosa (L) menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif (Syahril R. Lubis).

2.1.5 Patogenesis

M. leprae merupakan parasit obligat intraselular yang terutama terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwan di jaringan saraf. Bila kuman M. Leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag (berasal dari monosit darah, sel mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya.

Pada kusta tipe lepramatosa (LL) terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan.Pada kusta tipe tuberculoid (TT) kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua kuman di fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia type Langerhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya.

(26)

2.1.6. Pemeriksaan 1. Anamnesis

Anamnesis diperlukan untuk mengetahui keluhan pasien, riwayat kontak dengan pasien, dan latar belakang keluarga, misalnya keadaan sosial ekonomi (Amirudin et al, 2003).

2. Inspeksi

Dengan penerangan yang baik, lesi kulit harus diperhatikan dan juga kerusakan kulit (Amirudin et al, 2003).

3. Palpasi

- Kelainan kulit: nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus, khususnya pada tangan dan kaki.

- Kelainan saraf

Pemeriksaan saraf, termasuk meraba dengan teliti: N. aurikularis magnus, N. ulnaris, dan N. perenous. Petugas harus mencatat adanya nyeri tekan dan penebalan saraf. Harus diperhatikan raut wajah pasien, apakah kesakitan atau tidak pada waktu saraf diraba. Pemeriksaan saraf harus sistematis, meraba atau pasien mendapat kesan kurang baik. Pemeriksaan saraf tepi :

• Bandingkan saraf bagian kiri dan kanan • Membesar atau tidak

• Pembesaran regular (smooth) atau irregular, bergumpal • Perabaan keras atau kenyal

• Nyeri atau tidak

Untuk mendapat kesan saraf mana yang mulai menebal atau sudah menebal dan saraf mana yang masih normal, diperlukan pengalaman yang banyak.

Cara pemeriksaan saraf tepi : a. N. aurikularis magnus

(27)

jari pemeriksa diletakan di atas persilangan jalannya saraf tersebut dengan arah otot. Bila ada penebalan pada perabaan secara seksama akan menemukan jaringan kabel atau kawat. Jangan lupa membandingkan yang kiri dan kanan.

b. N. ulnaris

Tangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya diletakkan diatas satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa yang lain meraba lekukan dibawah siku (sulkus nervi ulnaris) dan merasakan, apakah ada penebalan atau tidak. Perlu dibandingkan N. ulnaris kanan dan kiri untuk melihat adanya perbedaan atau tidak

c. N. paroneus lateralis

Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, dirabadi sebelah lateral dan capitulum fibulae, biasanya sedikit ke posterior (Amirudin et al, 2003).

4. Tes Fungsi Saraf a. Tes sensoris

• Rasa raba

Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk memeriksa perasaan rangsang raba dengan menyinggungkannya pada kulit. Pasien yang diperiksa harus duduk pada saat dilakukan pemeriksaan.

• Rasa nyeri

Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung jarum yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien harus mengatakan tusukan mana yang tajam dan mana yang tumpul.

• Rasa suhu

(28)

tempat lain, lalu tempelkan tabung tersebut pada daerah kulit yang dicurigai secara bergantian dengan sebelumnya melakukan kontrol pada kulit yang sehat. Jika pada daerah kulit yang dicurigai penderita salah menyebutkan suhu pada tabung yang ditempelkan, maka dapat disimpulkan bahwa sensasi suhu di daerah tersebut terganggu.

b. Tes motoris: Voluntary muscle test (VMT) (Amirudin et al, 2003) 5. Pemeriksaan Bakteriologis

Skin smear atau kerokan kulit adalah pemeriksaan sediaan yang

diperoleh lewat irisan dan kerokan kecil pada kulit yang kemudiaan diberi

pewarnaan Ziehl Nielsen untuk melihat M. Leprae.

6. Pemeriksaan Histopatologis

Diagnosis penyakit kusta biasanya dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan klinis secara teliti dan pemeriksaan bakterioskopis. Pada sebagian kecil kasus, bilamana diagnosis masih diragukan, pemeriksaan histopatologis dapat dilakukan. Pemeriksaan histopatologis digunakan untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta. Pemeriksaan ini sangat membantu khususnya pada anak-anak, bilamana pemeriksaaan saraf sensoris sulit dilakukan, juga pada lesi dini contohnya pada tipe indeterminate, serta untuk menentukan klasifikasi yang tepat (Amirudin et al, 2003)

7. Pemeriksaan Serologis

a. Uji MLPA (Mycrobacterium leprae particle agglutination) b. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-sorbent Assay) c. ML disptick (Mycrobacterium leprae disptick) 8. Pemeriksaan Reaksi Rantai Polimerase

2.1.7 Pengobatan

Obat antikusta diberikan secara kombinasi 2 atau 3 obat yang terdiri dari Diamino-difenil-sulfon (Dapson), Rifampisin, Klofazimin. DDS mulai dipakai

(29)

tahun 1988 WHO menambahkan 3 obat antibiotik lain untuk pengobatan alternatif, yaitu ofloksasin, minosiklin dan klaritomisin (Kosasih, 2011).

A.Program Multi Drug Therapy (MDT) 1. DDS (Diamino-difenil-sulfon)

Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat sintetase. Resistensi terhadap dapson timbul sebagai akibat kandungan enzim sintase yang terlalu tinggi pada kuman kusta, Dapson biasanya diberikan dosis tunggal, yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa, atau 2 mg/kg berat badan untuk anak-anak. Efek samping yang mungkin timbul antara lain: erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia. Namun efek samping tersebut jarang dijumpai pada dosis lazim (Soebono, 2003)

2. Rifampisin

Rifampisin merupakan obat yang paling ampuh saat ini untuk kusta, dan bersifat bakterisidal kuat pada dosis yang lazim. Rifampisin bekerja menghambat enzim polimerasi RNA yang berikatan secara ireversibel. Dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kg berat badan). Pemberian seminggu sekali dalam dosis tinggi dapat menimbulkan gejala yang disebut flu like syndrome. Efek samping yang harus diperhatikan adalah: hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal dan erupsi kulit (Soebono, 2003).

Obat ini adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS dengan dosis 10 mg/kg berat badan diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya (Kosasih, 2011).

3. Klofazimin (Lamprene)

(30)

adalah 50mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1 mg/kg berat badan/hari. Efek sampingnya hanya terjadi pada dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal (nyeri abdomen, diare, anoreksia, dan vomittus) (Soebono, 2003).

4. Etionamid dan protionamid

Kedua obat ini merupakan obat tuberkolosis dan hanya sedikit dipakai pada pengobatan kusta. Dahulu dipakai sebagai pengganti klofazimin, pada kasus-kasus yang berat karena perubahan pigmentasinya. Obat ini bekerja bakteriostatik, tetapi cepat menimbulkan resistensi, lebih toksik, harganya mahal serta hepatotoksik, oleh karenanya sekarang tidak dianjurkan lagi pada rejimen pengobatan kusta (Soebono, 2003).

Skema rejimen Multi Drug Therapy (MDT) WHO terdiri atas obat-obatan dapson, rifampisin, klofazimin, dengan skema menurut WHO sebagai berikut:

a. Rejimen PB dengan lesi kulit 2-5 buah, terdiri atas rifampisin 600 mg sebulan sekali, dibawah pengawasan, ditambah dapson 100 mg/hari (1-2 mg/kg berat badan) selama 6 bulan.

b. Rejimen MB dengan lesi kulit lebih dari 5 buah, terdiri atas kombinasi rifampisim 600 mg sebulan sekali di bawah pengawasan, dapson 100 mg/hari, ditambah klofazimin 300 mg sebulan sekali diawasi dan 50 mg/hari dengan lama pengobatan 1 tahun.

c. Rejimen PB dengan lesi tunggal, terdiri atas rifampisin 600 mg ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal (Soebono, 2003).

B.Obat Alternatif Kusta 1. Ofloksasin

Ofloksasin merupakan turunan flurokuinolon yang paling aktif terhadap Mycrobacterium leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis

tunggal yang diberikan dalam 22 hari akan membunuh kuman Mycrobacterium leprae hidup sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan

(31)

insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi. Walaupun demikian hal ini jarang ditemukan dan biasanya tidak membutuhkan penghentian pemakain obat. Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui harus hati-hati, karena pada hewan muda kuinolon menyebabkan artropati.

2. Minosiklin

Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada rifampisin. Dosis standar harian 100 mg. Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai sistem saluran cerna dan susunan saraf pusat, termasuk dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak dianjurkan untuk anak-anak atau selama kehamilan.

3. Klaritomisin

Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal terhadap Mycrobacterium Leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99,9% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus dan diare yang terbukti sering ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg (Kosasih, 2011).

2.1.8 Prognosis

Prognosis penyakit kusta bergantung pada deteksi dini apa yang dialami pasien, akses ke pelayanan kesehatan dan penanganan awal yang diterima oleh pasien. Relaps pada penderita kusta terjadi sebesar 0,01 – 0,14 % per tahun dalam 10 tahun. Perlu diperhatikan terjadinya resistensi terhadap dapson atau rifampisin. Secara keseluruhan, prognosis kusta pada anak lebih baik karena pada anak jarang terjadi reaksi kusta (Lewis, 2010)

2.1.9 Reaksi Kusta Definisi

(32)

selama dan sesudah pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan.

1) Reaksi tipe 1

Reaksi ini lebih banyak terjadi pada pasien yang berada di spektrum borderline, karena tipe borderline ini merupakan tipe tidak stabil. Reaksi tipe ini terutama terjadi selama pengobatan karena adanya peningkatan hebat respons imun selular secara tiba-tiba, mengakibatkan terjadinya respons inflamasi pada daerah kulit dan saraf yang terkena. Inflamasi pada jaringan saraf dapat mengakibatkan kerusakan dan kecacatan jika tidak ditangani secara adekuat. Gejala pada reaksi tipe 1 dapat dilihat berupa perubahan pada kulit, maupun saraf dalam bentuk peradangan. Pada kulit lesi plakat makin infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah luas. Pada saraf terjadi neuritis akut, berupa nyeri pada saraf dan gangguan fungsi saraf. Kadang juga dapat terjadi gangguan keadaan umum, seperti demam.

2) Reaksi tipe 2

(33)

2.1.10 Cacat Kusta

WHO (1980) membatasi istilah dalam cacat kusta sebagai berikut:

1. Impairment: segala kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi yang bersifat patologik, fisiologik, atau anatomik, misalnya leproma, ginekomastia, madarosis, claw hand, ulkus, dan absorbsi jari.

2. Disability: segala keterbatasan atau kekurangmampuan (akibat

impairment) untuk melakukan kegiatan dalam batas kehidupan yang

normal bagi manusia.

3. Handicap: kemunduran pada seorang individu (akibat impairment atau disability) yang membatasi atau menghalangi penyelesaian tugas

normal yang bergantung pada umur, jenis kelamin, dan faktor soial budaya. Handicap ini merupakan efek penyakit kusta yang berdampak sosial, ekonomi, dan budaya.

4. Deformity: kelainan struktur anatomis

5. Dehabilitation: keadaan/proses pasien kusta (handicap) kehilangan

status sosial secaara progresif, terisolasi dari masyarakat, keluarga dan teman-temannya.

6. Destitution: dehabilitasi yang berlanjut dengan isolasi yang menyeluruh dari seluruh masyarakat tanpa makanan atau perlindungan (shelter).

Klasifikasi cacat kusta(WHO):

a. Cacat tingkat 0 : tidak terdapat gangguan sensibilitas atau ada kerusakan atau deformitas yang terlihat pada tangan, kaki, dan mata. b. Cacat tingkat 1 : ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau

deformitas yang terlihat pada tangan dan kaki. Ada gangguan pada mata, tidak ada gangguan yang berat. Visus 6/60 atau lebih baik

(34)

Jenis cacat yang timbul pada penderita kusta dapat dibagi: 1. Kelompok cacat primer

Kelompok kecacatan yang disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit, terutama kecacatan sebagai respon kerusakan jaringan terhadap infeksi. Yang termasuk cacat ini:

a. Cacat pada fungsi sensorik, misalnya anestesia, fungsi saraf motorik. Misalnya: claw hand, wrist drop, foot drop, lagoftalmos dan cacat pada fungsi otonom yang dapat menyebabkan kulit kering dan elastisitas kulit berkurang.

b. Infiltrasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan menyebabkan kulit berkerut dan berlipat-lipat. Kerusakan folikel rambut menyebabkan alopesia dan madarosis.

c. Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman dapat terjadi tendon, ligamen, sendi, tulang rawan, tulang, testis, dan bola mata (Wisnu, 2003).

2. Kelompok cacat sekunder

Cacat yang terjadi akibat cacat primer, terutama akibat adanya kerusakan saraf. Anestesi memudahkan luka akibat trauma mekanis maupun termis. Kelumpuhan motorik dapat menyebabkan kontraktur sehingga dapat menimbulkan gangguan mengenggam dan berjalan. Lagoftalmos dapat menyebabkan kornea kering dan terjadinya keratitis (Wisnu, 2003).

Menurut (Kurniarto, 2006), terdapat beberapa faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya kecacatan pada penderita kusta, yaitu:

a. Umur

b. Jenis kelamin c. Tipe kusta d. Lama sakit

e. Keteraturan minum obat f. Pendidikan

(35)

2.1.11 Rehabilitasi Cacat Kusta

Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi penyesuaian diri secara maksimal atas suatu usaha untuk mempersiapkan penderita cacat secara fisik, mental, sosial, dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang penuh, sesuai dengan kemampuan yang ada padanya (Depkes,1977).

Pengertian rehabilitasi (Jones, Mayo, Hinsi, Camphbell):

a. Rehabilitasi ditujukan bagi orang cacat dan yang mempunyai keterbatasan (activity limitation, participation restriction).

b. Rehabilitasi adalah pertolongan yang berdasarkan pada pemberian hak azasi, bukan pada filanterofi (charity).

c. Rehabilitasi bertujuan untuk mengembalikan individu menjadi manusia normal, mandiri dan berguna.

d. Rehabilitasi merupakan upaya tradisi dan terkordinasi meliputi berbagai aspek yang dijalankan menurut sistem dan metode tertentu secara bertahap.

Maka Penyandang Cacat Kusta (PCK) perlu mendapat berbagi pengertian rehabilitasi memulai pendekatan paripurna sebagai berikut:

1. Rehabilitasi Bidang Medis:

a. Perawatan (care) yang dikerjakan bersamaan dengan program Pengendalian Penyakit Kusta melalui kegiatan Pencegahan Cacat (POD), Kelompok Perawatan Diri (KPD) atau Self Care Group.

b. Rehabilitasi fisik dan mental

Yang dikerjakan melalui berbagai tindakan pelayanan medis dan konseling medik.

2. Rehabilitasi Bidang Sosial-Ekonomi

(36)

bergulir, modal usaha, dll (Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta, 2006).

Menurut Soewono (2003), peranan pengobatan fisioterapi sangat penting pada pengelolaan dan pencegahan cacat pasien kusta. Beberapa peranan fisioterapi bagi PCK:

1. Mengembalikan tonus otot yang paresis atau paralisis

2. Mencegah atrofi dan kontraktur otot yang paresis atau paralisis

3. Mencegah timbulnya kontraktur dan mempertahankan range gerakan sendi normal

4. Membuat kulit tetap lembut dan lunak

Sebagai kesatuan dari rehabilitasi medis, maka perlu dilakukan tindakan bedah pada penderita kusta yang cacat, khususnya bedah rekonstruksi, dengan tujuan:

1. Memperbaiki fungsi anggota badan seoptimal mungkin. 2. Mencegah cacat berlanjut menjadi berat

3. Memperbaiki penampilan (kosmetik).

Agar pembedahan berhasil dengan baik, maka harus memunuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Basil tahan asam (M. leprae) negatif atau pasien sudah bebas terapi (CTC = Completion of treatment cure).

2. Bebas reaksi lebih dar 6 bulan.

3. Tidak pernah mendapat pengobatan steroid dalam 6 bulan terakhir. 4. Kelumpuhan otot sudah menetap.

5. Ada otot donor yang normal.

6. Tidak ada kontraindikasi pada operasi umum. 7. Pasien koorperatif dan ada motivasi untuk dioperasi.

2.1.12 Pencegahan Cacat Kusta

1. Upaya pencegahan cacat primer, yang meliputi: a. Diagnosis dini

(37)

c. Diagnosis dini dan penatalaksanaan neuritis d. Diagnosis dini dan penatalaksanaan reaksi 2. Upaya pencegahan cacat sekunder, antara lain:

Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka

a. Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya kontraktur.

b. Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan.

c. Bedah septik untuk mengurangi perluasan infeksi, sehingga pada proses penyembuhan tidak terlalu banyak jaringan yang hilang. d. Perawatan mata, tangan dan atau kaki yang anestesi atau

mengalami kelumpuhan otot (Wisnu, 2003).

2.1.13 Relaps Kusta

Relaps adalah kembalinya penyakit secara aktif pada pasien yang sesungguhnya telah menyelesaikan pengobatan yang telah ditentukan dan karena itu pengobatannya telah dihentikan oleh petugas kesehatan yang berwenang (Amirudin,2003).

1. Relaps pada kusta pasibasilar dapat bermanifestasi:

a. Terjadinya pada kulit dan saraf dengan klasifiasi tipe kusta yang sama seperti asalnya.

b. Manifestasi relaps mungkin secara klinis dan imunologis lebih buruk dari klasifikasi asalnya, contoh: pasien dengan klasifikasi asal BT dapat relaps dengan ciri-ciri BB atau BL.

c. Dapat bermanifestasi dalam bentuk yang lebih baik, contoh: pasien yang asalnya BT dapat relaps dalam bentuk TT.

2. Relaps pada kusta multibasilar dapat bermanifestasi:

a. Relaps dapat terjadi dalam bentuk tipe klasifikasi yang sama dengan asalnya.

(38)

c. Dapat bermanifestasi lebih baik, contoh: pasien dengan bentuk asal LL dapat relaps dalam bentuk lepra borderline, misalnya BL, BB atau BT. d. Tipe lesi yang disebut histoid dapat terjadi pada beberapa kasus. Relaps

yang khas ini disebabkan oleh resistensi obat (terutama terhadap dapson).

3. Gejala klinis Relaps adalah:

a. Meluasnya lesi yang telah ada, menebal, eritematosa atau terjadinya infiltrat pada lesi yang sebelumnya telah menghilang, atau terbentuknya lesi yang baru.

b. Penebalan atau kekakuan saraf, atau adanya saraf baru yang terkena. c. Ditemukan bakteri pada tempat yang sebelumnya negatif dan atau

(39)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian.

3.2 Definisi Operasional 3.2.1 Penderita Kusta

Penderita kusta merupakan pasien yang mengalami infeksi kronik Mycrobacterium leprae yang telah didiagnosa dokter spesialis kulit dan kelamin di RSU dr. H. Pirngadi Medan. Cara pengukuran dengan observasi. Alat ukur adalah rekam medis.

KUSTA

Umur

Jenis Kelamin

Tipe Kusta

Reaksi Kusta Cacat

Kusta Pekerjaan

(40)

3.2.2 Umur

Umur adalah usia pasien yang menderita penyakit kusta pada saat pertama kali datang berobat di RSU dr. H. Pirngadi Medan yang dinyatakan dalam tahun. Cara pengukuran dengan observasi. Alat ukur adalah rekam medis. Dengan pengelompokan umur sebagai berikut:

a. <15 tahun

Jenis kelamin adalah jenis kelamin penderita kusta sebagaimana yang tercatat pada alat ukur yaitu rekam medis dengan cara pengukuran dengan observasi, yang dibedakan sebagai berikut:

a. Laki-laki b. Perempuan

3.2.4 Tipe Kusta

Tipe kusta adalah jenis klasifikasi penyakit kusta yang sebagaimana telah tercatat pada alat ukur yaitu rekam medis penderita kusta di RSU dr. H. Pirngadi Medan dengan cara pengukuran dengan observasi, yang terdiri dari:

a. Pausi Basiler (PB)

Kusta tipe TT dan sebagian besar BT dengan BTA (-) (Kriteria Ridley & Jopling) atau tipe I dan T negatif (Klasifikasi Madrid).

b. Multi Basiler (MB)

(41)

3.2.5 Reaksi Kusta

Reaksi kusta adalah keadaan mengenai gejala dan tanda radang pada perjalanan penyakit kusta yang sebagaimana telah tercatat pada alat ukur yaitu rekam medis pada penderita kusta di RSU dr. H. Pirngadi Medan dengan cara pengukuran dengan observasi, yang terdiri dari:

a. Reaksi Kusta Tipe 1

Reaksi yang lebih banyak terjadi pada pasien yang di spektrum borderline. b. Reaksi Kusta Tipe 2

Terjadi pada pasien tipe LL & BL dan merupakan reaksi humoral pada penderita lepramatous dan borderline.

3.2.6 Cacat Kusta

Kecacatan yang terjadi akibat perjalanan penyakit kusta yang disebut cacat primer, maupun kecacatan yang diakibatkan oleh cacat primer atau yang disebut cacat sekunder yang telah ditetapkan oleh dokter spesialis kulit dan kelamin RSU dr. H. Pirngadi Medan. Cara pengukuran dengan observasi. Alat ukur adalah rekam medis.

a. Kecacatan Tingkat 0

Tidak terdapat gangguan sensibilitas dan deformitas yang terlihat. b. Kecacatan Tingkat 1

Ada kerusakan sensibilitas tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat pada tangan dan kaki. Ada gangguan pada mata.

c. Kecacatan Tingkat 2

Terdapat kerusakan atau deformitas pada tangan dan kaki. Ada gangguan berat pada mata.

3.2.7 Pekerjaan

(42)

a. Pegawai Swasta

b. Pegawai Negeri Sipil (PNS) c. Wiraswasta

d. Ibu Rumah Tangga e. Pelajar

f. Petani

3.2.8 Tempat Tinggal (Lokasi)

Tempat tinggal adalah tempat dimana seseorang tinggal dan melangsungkan kegiatan sehari-hari yang sebagaimana telah tercatat pada alat ukur rekam medis pasien di RSUD dr. Pirngadi Medan dengan cara pengukuran dengan observasi, yang terdiri dari:

a. Kecamatan Medan Maimun

Merupakan daerah yang terletak di sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Medan polonia dan disebelah Timur berbatasan dengan Medan Kota.

b. Kecamatan Medan Denai

Merupakan wilayah Timur Kota Medan yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Deli Serdang.

c. Kecamatan Medan Tembung

Merupakan daerah pintu gerbang Kota Medan di sebelah Timur yang merupakan pintu masuk dari Kabupaten Deli Serdang.

d. Kecematan Medan Area

Merupakan daerah pintu gerbang Kota Medan disebelah Timur yang merupakan pintu masuk daerah lainnya di Sumatera Utara.

(43)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menganalisis gambaran kejadian di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2011-2013.

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2.1 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan mulai dari September hingga Oktober 2014. 4.2.2 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUD Dr. Pirngadi dengan pertimbangan yaitu tersedianya data pasien yang menderita penyakit kusta.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1 Populasi

Populasi penelitian adalah seluruh pasien yang menderita penyakit Kusta yang datang ke RSUD Dr. Pirngadi Medan dari 1 Januari 2011 hingga 31 Desember 2013.

a. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah seluruh penderita kusta berdasarkan rekam medis. b. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi adalah seluruh status rekam medis yang tidak lengkap. 4.3.2 Sampel

(44)

4.4 Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, data diambil dari rekam medis penderita kusta di Departemen Kulit dan Kelamin RSUD. Dr. Pirngadi Medan dari 1 Januari 2011 hingga 31 Desember 2013. Kartu status penderita kusta yang dipilih sebagai sampel, dikumpulkan dan ditabulasi sesuai variabel.

4.5 Metode Analisis Data

(45)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Daerah Pirngadi Kota Medan yang terletak di jalan Prof. H. M. Yamin S.H. No. 47 Medan Sumatera Utara. Rumah sakit umum ini milik pemerintah Kota Medan serta menjadi rumah sakit pendidikan dan terakreditasi B, Rumah sakit ini merupakan salah satu rumah sakit rujukandi Propinsi Sumatera Utara. RSUD dr. Pirngadi diresmikan pada tanggal 11 Agustus 1928. Pada tanggal 10 April 2007 Badan Pelayanan Kesehatan RSUD dr. Pirngadi Kota Medan resmi menjadi Rumah Sakit Pendidikan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 433/Menkes/SK/IV/2007.

5.1.2. Distribusi Karakteristik Individu

Selama bulan 1 Januari 2011 sampai bulan 31 Desember 2013, didapatkan sebanyak 33 penderita Kusta seluruhnya diambil dari data sekunder (rekam medis) yang telah didiagnosis dan dirawat jalan dan rawat inap dengan gambaran klinis pada kulit di RSUD Dr. Pirngadi Medan.

5.1.3. Distribusi Karakteristik Sampel dan Analisa Data

Dari keseluruhan sampel yang ada, diperoleh distribusi penderita Kusta atas beberapa variabel antara lain, usia, jenis kelamin, cacat kusta, tipe kusta, reaksi kusta, pekerjaan, dan tempat tinggal.

Tabel 5.1 Distribusi Proporsi Penderita Kusta di RSUD dr. Pirngadi Medan 31 Januari 2011 – 31 Desember 2013

Variabel N:33 (%)

Umur (n,%)

a. <15 tahun 0

b. 15-24 tahun 6 (18.2)

(46)

d. 45-64 tahun 8 (24.2)

a. PegawaiSwasta 4 (12.1)

b. PegawaiNegeriSipil 0

c. Wiraswasta 8 (24.2)

d. IbuRumahTangga 7 (21.2)

e. Pelajar 7 (21.2)

* Tipe Kusta: Pausibasiler (Kusta tipe TT dan sebagian besar BT dengan BTA (-) (Kriteria Ridley & Jopling) atau tipe I dan T negatif (Klasifikasi Madrid)); Multibasiler (Kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT (Kriteria Ridley & Jopling)

(47)

Medan yang berbatasan langsung dengan Kab. Deli Serdang); Medan Tembung (daerah pintu gerbang Kota Medan disebelah Timur yang merupakan pintu masuk dari Kab. Deli Serdang); Medan Area (daerah pintu gerbang Kota Medan disebelah Timur yang merupakan pintu masuk daerah lainnya di Sumatera Utara.

Dari 33 penderita yang didiagnosa Penyakit Kusta, ditemukan perbedaan proporsi penderita Kusta ditemukan pada variabel usia. Penderita kusta terbanyak berada pada usia 25-44 tahun dengan persentase 48.5% (16 orang). Proporsi penderita kusta terbanyak kedua berada pada usia 45-64 tahun dengan persentase 24.2% (8 orang).

Perbedaan proporsi antar jenis kelamin dimana laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan dengan persentase 57.6% laki-laki (19 orang) dan 42.4% perempuan (14 orang).

Hal yang bervariasi juga ditemukan dalam hal tipe kusta. Dimana penderita Kusta yang datang ke RSUD dr. Pirngadi Medan banyak dengan diagnosis tipe multibasiler dengan persentase 72.7 % (24 orang).

Berdasarkan reaksi kusta ditemukan reaksi kusta tipe 2 sebanyak 17 orang dengan persentase sebesar 51.5%, diikuti dengan reaksi kusta tipe 1 sebanyak 16 orang dengan persentase sebesar 48.5%.

Pada gambaran tingkat kecacatan kusta ditemukan perbedaan proporsi dimana kecacatan tingkat 0 yang paling mendominasi dengan persentase 93.9 %, diikuti dengan kecacatan tingkat 1 sebanyak 2 orang (6.1%). Sementara itu tidak ada ditemukan penderita kusta dengan kecacatan tingkat 2.

Berdasarkan jenis pekerjaan pada penderita Kusta sebagian besar adalah kelompok wiraswasta dengan presentase 24.2% (8 orang). Jenis pekerjaan ibu rumah tangga, pelajar, dan petanimemperoleh hasil yang sama dengan persentase 21.2% (7 orang). Dan pada jenis pekerjaan pegawai swasta memperoleh hasil terendah dengan persentase 12.1% (4 orang).

(48)

Medan Denai dan Kecamatan Medan Tembung memperoleh hasil yang sama sebanyak 2 orang dengan persentase 6.1%. Sedangkan penderita kusta paling sedikit terrdapat pada Kecamatan Medan Maimun sebanyak 1 orang dengan persentase 3.0%.

5.2. Pembahasan

5.2.1. Distribusi Proporsi Pasien Penyakit Kusta Berdasarkan Umur

Berdasarkan kelompok usia, penderita kusta berkisar antara 0-65 tahun, dimana terbanyak pada rentang usia 25-44 tahun (48.5%). Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2013) Profil Penderita Kusta Di Tiga Rumah Sakit Pendidikan Di Provinsi Sumatera Utara Periode 1 Januari 2008 – 31 Desember 2012 proporsi tertinggi umur 25-44 tahun (50.88%). Sama halnya dengan penelitian Lubis S.R, Pulungan M.F (2013) Kejadian Reaksi Kusta Pada Penderita Kusta di RSUP H. Adam Malik, RSU Dr. Pirngadi dan Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Tahun 2008-2012 dengan desain penelitian cross sectional proporsi tertinggi umur 31-40 tahun (29%). Hal cukup

memprihatinkan karena terjadinya pada usia produktif sehingga lebih banyak beraktivitas diluar rumah yang kemungkinannya untuk terpapar lebih tinggi.

5.2.2. Distribusi Proporsi Pasien Penyakit Kusta Berdasarkan Jenis Kelamin

(49)

5.2.3. Distribusi Proporsi Pasien Penyakit Kusta Berdasarkan Tipe Kusta Berdasarkan tabel 5.5 diatas dapat diketahui bahwa penderita kusta terbanyak dengan diagnosis kusta tipe multibasiler yaitu sebanyak 24 orang (72.7%), dengan diikuti kusta tipe pausibasiler sebanyak 9 orang (27.3%). Hal ini terjadi kemungkinan karena waktu pengobatan yang cukup lama sekitar 2 tahun untuk kusta tipe Multibasiler (MB) yang dapat menyebabkan drop out sehingga kuman kusta aktif kembali yang dapat memperburuk keadaan dan menularkan penyakit kusta ke orang lain (Tamba, 2010). Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Tamba (2010) Karakteristik Penderita Penyakit Kusta yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan proporsi tertinggi pada kusta tipe multibasiler (63.4%). Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2013) Profil Penderira Kusta Di Tiga Rumah Sakit Pendidikan Di Provinsi Sumatera Utara Periode 1 Januari 2008 – 31 Desember 2012 proporsi tertinggi pada kusta tipe multibasiler (64.86%).

5.2.4. Distribusi Proporsi Pasien Penyakit Kusta Berdasarkan Reaksi Kusta Berdasarkan tabel 5.6 diatas dapat diperoleh bahwa penderita kusta dengan reaksi kusta tipe 2 sebanyak 17 orang dengan persentase sebesar 51.5%, diikuti dengan reaksi kusta tipe 1 sebanyak 16 orang dengan persentase sebesar 48.5%. Hasil Penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2013) Profil Reaksi Kusta Di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan Periode 1 Januari 2008 – 31 Desember 2012 dengan proporsi tertinggi pada reaksi kusta tipe 2 (70.89%). Sama halnya dengan penelitian (Pulungan 2013) Kejadian Reaksi Kusta Pada Penderita Kusta di RSUP H. Adam Malik, RSU Dr. Pirngadi dan Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Tahun 2008-2012 dengan desain penelitian cross sectional proporsi tertinggi pada reaksi kusta tipe 2 (61.9%). Hal ini terjadi

(50)

5.2.5. Distribusi Proporsi Pasien Penyakit Kusta Berdasarkan Cacat Kusta Berdasarkan tabel 5.4 terlihat bahwa pada tingkat kecacatan kusta yang paling besar terdapat pada kecacatan tingkat 0 sebanyak 31 orang (93.9%), diikuti dengan kecacatan tingkat 1 sebanyak 2 orang (6.1%). Sementara itu tidak ada ditemukan penderita kusta dengan kecacatan tingkat 2. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2013) Profil Penderira Kusta Di Tiga Rumah Sakit Pendidikan Di Provinsi Sumatera Utara Periode 1 Januari 2008 – 31 Desember 2012 proporsi tertinggi pada kecacatan tingkat 0 (95.96%). Hal ini cukup baik, dimana penderita menyadari adanya kelainan pada kulit dan segera mencari pengobatan sebelum terjadi cacat kusta yang lebih lanjut.

5.2.6. Distribusi Proporsi Pasien Penyakit Kusta Berdasarkan Pekerjaan Berdasarkan tabel. 5.7 didapatkan bahwa jenis pekerjaan penderita kusta yaitu wiraswasta sebanyak 8 orang (24.2%). Hasil Penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2013) Profil Reaksi Kusta Di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan Periode 1 Januari 2008 – 31 Desember 2012 dengan proporsi tertinggi 37 orang (46.83%). Hal ini terjadi kemungkinan karena kurangnya pengetahuan tentang penyakit kusta dan tertularnya dari lingkungan pekerjaan.

5.2.7. Distribusi Proporsi Pasien Penyakit Kusta Berdasarkan Tempat Tinggal

(51)

penderita dari luar kota medan (66.3%). Hal ini terjadi kemungkinan karena tersedianya sarana dan fasilitas yang lengkap pada rumah sakit ini sehingga banyak penderita yang berasal dari luar Kota Medan datang untuk berobat.

5.3. Keterbatasan Penelitian

(52)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari hasil analisis deskriptif yang telah dilakukan terhadap karateristik penderita kusta dari segi umur, jenis kelamin, cacat kusta, tipe kusta, reaksi kusta, jenis pekerjaan, dan lokasi tempat tinggal yang terkait dengan penyakit kusta di RSUD dr. Pirngadi Medan, dapat disimpulkan bahwa:

1. Distribusi pasien penyakit kusta berdasarkan umur yang paling tertinggi pada kelompok usia 25-44 tahun dengan persentase 48.5% (16 orang). 2. Distribusi pasien penyakit kusta berdasarkan jenis kelamin yang paling

banyak adalah laki-laki sebanyak 19 orang (57.6%).

3. Distribusi pasien penyakit kusta berdasarkan tipe kusta paling banyak ditemukan pasien penyakit kusta dengan tipe Multibasiler (MB) dengan persentase 72.7% (24 orang).

4. Distribusi pasien penyakit kusta berdasarkan reaksi kusta paling banyak reaksi kusta tipe 2 sebanyak 17 orang (51.5%).

5. Distribusi pasien penyakit kusta berdasarkan cacat kusta paling banyak cacat kusta tingkat 0 sebanyak 31 orang (93.9%).

6. Distribusi pasien penyakit kusta berdasarkan jenis pekerjaan paling tinggi ialah wiraswasta dengan persentase 24.2% (8 orang).

7. Distribusi pasien penyakit kusta berdasarkan lokasi tempat tinggal paling banyak pada berasal dari luar Kota Medan sebanyak 24 orang (72.7%).

6.2. Saran

(53)

2. Diharapkan kepada pihak rumah sakit sebaiknya melengkapi pencatatan data penderita kusta terutama pekerjaan, obat yang diberikan, lokasi tempat tinggal yang mungkin akan berguna untuk penelitian selanjutnya. 3. Diharapkan kepada masyarakat lebih memperhatikan kebersihan

lingkungan daerah tempat tinggal dan segera melapor ke pukesmas jika ada dijumpai tanda-tanda yang dicurigai penyakit kusta.

4. Kepada calon peneliti, diharapkan dapat meneliti lebih lanjut mengenai riwayat keluarga penderita kusta, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi drop out pengobatan pada kusta tipe multibasiler (MB), dan dapat

(54)

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI, 2012. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta Cetakan XVIII. Direktorial Jendral Pengendalian Penyakit

dan Penyehatan Lingkungan.

Dinas Kesehatan Sumatera Utara, 2013. Profil Kesehatan Sumut. Diperoleh dari:

Gunasekaran, T., 2012. Penyakit Morbus Hansen dengan hubungannya Berdasarkan Tingkat Pendidikan, Sosioekonomi, Umur dan Jenis Kelamin

di RSUP. H. Adam Malik Medan dan Rumah Sakit Kusta Sicanang

2009-2011, Skripsi Mahasiswa FK Universitas Sumatera Utara, Medan

Kementrian Kesehatan RI, 2013. Profil Kesehatan Indonesia 2012. Diperoleh dari:

Kurniato, J., 2006. Faktor-faktor Risiko yang berhubungan dengan kecacatan penderita kusta di Kabupaten Tegal. Diperoleh dari:

Apr 01).

Kosasih, A, et al, 2011, Kusta. Dalam: Juanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. (eds). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Keenam. Edisi %. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 73-88.

Lewis, F.S., 2010. Dermatologic Manifestations of Leprosy. Available from:

(Accessed 2011 May 7).

Lubis, S.R, 2013. Profil Penderita Kusta Di Tiga Rumah Sakit Pendidikan Provinsi Sumatera Utara Periode 1 Januari 2008 – 31 Desember 2012

(Yogyakarta), Penelitian Dosen Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin

(55)

Lubis, S.R, 2013. Profil Penderita Reaksi Kusta Di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan Periode 1 Januari 2008 – 31 Desember 2012

(Bandung), Penelitian Dosen Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan

Lubis, S.R, Pulungan, M.P, 2013. Kejadian Reaksi Kusta Pada Penderita Kusta Di RSUP. H. Adam Malik, RSU Dr. Pirngadi Medan dan Rumah Sakit

Kusta Pulang Sicanang Tahun 2008-2012, Skripsi Mahasiswa FK

Universitas Sumatera Utara, Medan

Manurung, T.D., 2009. Karakteristik Penderita Kusta di Rumah Sakit Kusta Sicanang Medan Belawan Tahun 2009. Diperoleh dari:

20).

Pratama, S.E., 2012. Tingkat Kualitas Hidup Pasien Kusta yang Datang Berobat ke RSU Dr. Pirngadi Medan September-Oktober 2011. Diperoleh dari:

20).

Sastroasmoro, S., dan Ismael, S., 2010. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Sagung Seto.

Sjamsoe-daili, E.S., Menaldi, S.L., Ismiarto, S.P., Nilasari, H., 2003. Kusta Diagnosis dan Penatalaksanaan. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Tamba, R.S, 2010. Karakteristik Penderita Penyakit Kusta yang Dirawat inap di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan Tahun 2008.

Diperoleh dari:

(Accessed 2014 Oct 27)

WHO, 2013. Weekly Epidemiological Report. Available form:

29)

WHO, 1998. A Guide of Leprosy control, 2nd ed, Geneva

Zulkifli. 2002. Penyakit kusta dan masalah yang di timbulkannya. Diperoleh dari:

(56)

Nama : Shinta Pedia Dinanti

NIM : 110100324

Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 18 Desember 1993

Agama : Islam

Alamat : Jl. Budi Luhur No. 26 Medan Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat Email : shinta.pedia@yahoo.com Riwayat Pendidikan :

LAMPIRAN 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. TK Muhammdiyah, Medan 1997-1999

2. SDN 060884, Medan 1999-2005

3. SMP Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah, Medan 2005-2008 4. SMA Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah, Medan 2008-2011 5. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan 2011-Sekarang

Riwayat Organisasi :

(57)

No.

LAMPIRAN 4

Data Induk Pasien Kusta di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011-2013

(58)
(59)

4

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Frequency Percent Valid Percent

(60)

5

Cacatkusta

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Frequency Percent Valid Percent

(61)

6

tempattinggal

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Medan Maimun 1 3.0 3.0 3.0

Medan Denai 2 6.1 6.1 9.1

Medan Tembung 2 6.1 6.1 15.2

Medan Area 4 12.1 12.1 27.3

Luar Kota Medan 24 72.7 72.7 100.0

(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)

Gambar

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Dimana diajukan lima variabel bebas dan satu variabel terikat, yaitu bukti fisik, keandalan, daya tanggap, jaminan dan empati sebagai variabel bebas dan

Pada umumnya para guru juga masih ragu atas implementasi yang dilakukan berdasarkan tuntunan kurikulum 2013, ini terjadi disebabkan pemahaman Kompetensi Inti baik sikap

Memberikan tugas kelompok untuk presentasi berupa kaitan antara Unsur Kebudayaan dengan Hasil Budaya, yang mencakup asal-usul hasil budaya, nilai yang terkandung di dalamnya dan

Daerah sesuai Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Dinas Pendapatan Kota adalah Dinas Pendapatan Kota Tebing Tinggi. Pajak Hotel yang selanjutnya disebut pajak adalah pajak

Hasil penelitian menunjukkan bahwa fungi dan tanaman Rhizophora mucronata tidak memberikan pengaruh yang nyata sehingga tidak terdapat jenis fungi yang mempunyai potensi

Dari pengertian diatas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa kode etik jurnalistik adalah norma atau landasan moral yang mengatur tindak-tanduk seorang wartawan

[r]

Yorguc Pasa Mansion is a good example to observe the different impacts of partite usage on a historic timber frame structure. It is essential to visualize this