• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Stres Kerja Antara Guru Tunarungu Dengan Guru Tunagrahita Di SLB-E Negeri Pembina Medan Tahun 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbedaan Stres Kerja Antara Guru Tunarungu Dengan Guru Tunagrahita Di SLB-E Negeri Pembina Medan Tahun 2011"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

OLEH :

DEWANTY PUJI ASRI NIM. 071000088

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh :

DEWANTY PUJI ASRI NIM. 071000088

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)
(4)

ketika berhadapan dengan pekerjaan, lingkungan pekerjaan dan hal lain yang berkaitan dengan pekerjaannya. Guru SLB (Sekolah Luar Biasa) merupakan salah satu pekerjaan yang menuntut kesabaran yang tinggi serta kesehatan fisik dan mental dalam bekerja sehingga memungkinkan guru mengalami stres kerja.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik yang bertujuan untuk melihat perbedaan stres kerja antara guru tunarungu dan guru tunagrahita di SLB-E Negeri Pembina Medan. Sampel dipilih dengan metode total sampling yang terdiri dari 7 orang guru tunarungu dan 11 orang guru tunagrahita. Alat pengukuran menggunakan kuesioner stres kerja NUT (National Union of Teacher) yang terdiri dari 47 pertanyaan yang disusun dalam skala Likert. Hasil kuesioner kemudian diuji dengan uji Mann Whitney untuk mengetahui apakah ada perbedaan stres kerja antara kedua sampel.

Hasil penelitian menunjukkan 5 orang guru tunarungu (71,5%) memiliki tingkat stres kerja ringan dan 2 orang (28,6%) memiliki tingkat stres sedang, 8 orang guru tunagrahita (72,7%) memiliki tingkat stres kerja ringan dan 3 orang (27,3%) memiliki tingkat stres kerja sedang. Berdasarkan uji Mann Whitney didapatkan nilai p=0,717 (p>0,05) yang berarti Ho diterima sehingga dapat disimpulkan tidak ada perbedaan stres kerja antara guru tunarungu dan guru tunagrahita.

Kata kunci: stres kerja, guru tunarungu, guru tunagrahita

(5)

when dealing with work, work environment and other work related issues. Special School teacher is a job that demands a high patience also physical and mental health in work thus enable teacher experienced job stress.

This research is a descriptive analytic that aimed to view differences in job stress between deaf teachers and mental retardation teachers in SLB Negeri Pembina Medan. Samples were selected with a total sampling method consisting of 7 deaf teachers and 11 mental retardation teachers. Measurement using job stress questionnaire NUT (National Union of Teachers), which consists of 47 questions arranged in a Likert scale. Questionnaire results then tested with Mann Whitney test to determine whether there are differences in job stress between the two samples.

The result showed 5 deaf teachers (71.5%) had mild levels of job stress and 2 others (28.6%) had a medium level of stress, 8 mental retardation teachers (72.7%) had mild levels of job stress and 3 others (27.3%) had medium levels of job stress. Based on the Mann Whitney test p value = 0.717 (p> 0.05) which means that Ho is received so it can be concluded there was no difference in job stress between deaf teachers and mental retardation teacher.

Keyword : job stress, deaf teachers, mental retardation teachers

(6)

Tempat / Tanggal Lahir : Nias / 26 Desember 1988

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Kawin

Jumlah Anggota Keluarga : 4 (empat) orang

Alamat Rumah : Jl. Banten Baru No. 166 Tj. Gusta Medan

Riwayat Pendidikan

Tahun 1994-1995 : TK Helvetia Medan

Tahun 1995-2001 : SD Negeri 064981 Medan

Tahun 2001-2004 : SMP Negeri 18 Medan

Tahun 2004-2007 : SMK Telekomunikasi Shandy Putra Medan

Tahun 2007-2011 : Fakultas Kesehatan Masyarakat USU

(7)

anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Perbedaan Stres Kerja Antara Guru Tunarungu Dengan Guru Tunagrahita Di

SLB-E Negeri Pembina Medan Tahun 2011” yang merupakan salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera.

Rasa sayang, cinta dan terima kasih yang dalam kepada kedua orangtua,

kakak dan kedua adik penulis atas doa dan semangat serta memberikan semua

yang dibutuhkan penulis selama penyelesaian skripsi ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak dr. Muhammad Makmur

Sinaga, MS dan Ibu dr. Halinda Sari Lubis, MKKK selaku dosen pembimbing

skripsi yang telah memberikan pemikiran, waktu, bimbingan dan kesabarannya

kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Dalam penulisan skripsi ini penulis juga mendapatkan dukungan dan

bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis

mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes. selaku Ketua Departemen Keselamatan

Dan Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera

Utara.

(8)

Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Seluruh Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

khususnya Departemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja yang telah

memberikan ilmu dan pengarahan serta Bu Ainun yang turut membantu

dalam kelancaran skripsi ini.

5. Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara yang telah memberikan izin

untuk penelitian ini.

6. Kepala Sekolah SLB-E Negeri Pembina Medan Bapak Drs. Bahrizal, M.Pd

dan seluruh guru SLB-E Negeri Pembina Medan yang telah banyak

membantu dalam kelancaran skripsi ini terutama Ibu Sitti dan Ibu Fariyeni.

7. Teman-temanku di peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja: Nova,

Rita, Lidya, Chacha, Sheila, Indri, Ega, Grace, Kak Icha, Kak Delly, Kak

Ipak, Kak Mei, Bang Af

8. Temanku Cea, Heni, Mei, Sari, Yani, Ayu, Juni, Aliena, dan Eka yang

selalu memberikan semangat dan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.

Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan bagi

pengembangan ilmu pengetahuan di masa mendatang

Medan, Juni 2011

Penulis

(9)
(10)

4.1.2. Visi dan Misi SLB-E Negeri Pembina Medan... 33

4.1.3. Ketenagaan SLB-E Negeri Pembina Medan... 34

4.1.4. Fasilitas di SLB-E Negeri Pembina Medan... 35

4.1.5. Proses Belajar Mengajar di SLB-E Negeri Pembina Medan... 35

4.2.Karakteristik Guru Tunarungu dan Guru Tunagrahita di SLB-E Negeri Tunagrahita di SLB-E Negeri Pembina Medan Tahun 2011... 42

4.5. Hasil Uji Statistik... 43 Tunagrahita di SLB-E Negeri Pembina Medan... 49

5.1.1. Stres Kerja Pada Guru Tunarungu SLB-E Negeri Pembina Medan... 49

(11)

Negeri Pembina Medan Tahun 2011... 36

Tabel 2. Distribusi Guru Tunarungu dan Tunagrahita Menurut Jenis Kelamin di

SLB-E Negeri Pembina Medan Tahun 2011... 37

Tabel 3. Distribusi Guru Tunarungu dan Tunagrahita Menurut Status Perkawinan

di SLB-E Negeri Pembina Medan Tahun 2011 ... 37

Tabel 4. Distribusi Guru Tunarungu dan Tunagrahita Menurut Masa Kerja di

SLB-E Negeri Pembina Medan Tahun 2011... 38

Tabel 5. Distribusi Guru Tunarungu dan Tunagrahita Menurut Tingkat

Pendidikan di SLB-E Negeri Pembina Medan Tahun 2011... 38

Tabel 6. Nilai Rata-Rata (x) dan Standar Deviasi (SD) Setiap Kuesioner Stres

Kerja... 39

Tabel 7. Gambaran Stres Kerja Pada Guru Tunarungu Dan Guru Tunagrahita di

SLB-E Negeri Pembina Medan Tahun 2011... 42

Tabel 8. Hasil Uji Beda Stres Kerja Antara Guru Tunarungu Dengan Guru

Tunagrahita di SLB-E Negeri Pembina Medan Tahun 2011... 43

(12)

Lampiran 2. Surat Izin Penelitian Dari Fakultas Kesehatan Masyarakat.

Lampiran 3. Surat Keterangan Selesai Penelitian Dari SLB-E Negeri Pembina Medan

Lampiran 4. Master Data Kuesioner Stres Kerja

Lampiran 5. Hasil Uji Perbedaan Stres Kerja Antara Guru Tunarungu dan Tunagrahita

Lampiran 6. Foto Hasil Penelitian

(13)

ketika berhadapan dengan pekerjaan, lingkungan pekerjaan dan hal lain yang berkaitan dengan pekerjaannya. Guru SLB (Sekolah Luar Biasa) merupakan salah satu pekerjaan yang menuntut kesabaran yang tinggi serta kesehatan fisik dan mental dalam bekerja sehingga memungkinkan guru mengalami stres kerja.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik yang bertujuan untuk melihat perbedaan stres kerja antara guru tunarungu dan guru tunagrahita di SLB-E Negeri Pembina Medan. Sampel dipilih dengan metode total sampling yang terdiri dari 7 orang guru tunarungu dan 11 orang guru tunagrahita. Alat pengukuran menggunakan kuesioner stres kerja NUT (National Union of Teacher) yang terdiri dari 47 pertanyaan yang disusun dalam skala Likert. Hasil kuesioner kemudian diuji dengan uji Mann Whitney untuk mengetahui apakah ada perbedaan stres kerja antara kedua sampel.

Hasil penelitian menunjukkan 5 orang guru tunarungu (71,5%) memiliki tingkat stres kerja ringan dan 2 orang (28,6%) memiliki tingkat stres sedang, 8 orang guru tunagrahita (72,7%) memiliki tingkat stres kerja ringan dan 3 orang (27,3%) memiliki tingkat stres kerja sedang. Berdasarkan uji Mann Whitney didapatkan nilai p=0,717 (p>0,05) yang berarti Ho diterima sehingga dapat disimpulkan tidak ada perbedaan stres kerja antara guru tunarungu dan guru tunagrahita.

Kata kunci: stres kerja, guru tunarungu, guru tunagrahita

(14)

when dealing with work, work environment and other work related issues. Special School teacher is a job that demands a high patience also physical and mental health in work thus enable teacher experienced job stress.

This research is a descriptive analytic that aimed to view differences in job stress between deaf teachers and mental retardation teachers in SLB Negeri Pembina Medan. Samples were selected with a total sampling method consisting of 7 deaf teachers and 11 mental retardation teachers. Measurement using job stress questionnaire NUT (National Union of Teachers), which consists of 47 questions arranged in a Likert scale. Questionnaire results then tested with Mann Whitney test to determine whether there are differences in job stress between the two samples.

The result showed 5 deaf teachers (71.5%) had mild levels of job stress and 2 others (28.6%) had a medium level of stress, 8 mental retardation teachers (72.7%) had mild levels of job stress and 3 others (27.3%) had medium levels of job stress. Based on the Mann Whitney test p value = 0.717 (p> 0.05) which means that Ho is received so it can be concluded there was no difference in job stress between deaf teachers and mental retardation teacher.

Keyword : job stress, deaf teachers, mental retardation teachers

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil, makmur dan merata baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dimana tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk kebutuhan masyarakat (Soepomo, 2001).

Persaingan dunia kerja saat ini semakin meningkat sehingga menyebabkan manusia menghabiskan waktunya untuk terus bekerja dan bekerja. Hal tersebut secara tidak sadar telah menyebabkan kejenuhan-kejenuhan dan meningkatkan kadar stres pada manusia.

Stres adalah situasi ketegangan/ tekanan emosional yang dialami seseorang yang sedang menghadapi tuntutan yang sangat besar, hambatan-hambatan dan adanya kesempatan yang sangat penting yang dapat memengaruhi emosi, pikiran dan kondisi fisik seseorang (Hariandja, 2002).

(16)

mampu lagi ditolerir oleh seorang individu akan menimbulkan dampak yang tidak sehat, karena individu tersebut kehilangan kemampuan untuk mengendalikan dirinya secara utuh. Akibatnya ia tidak dapat lagi mengambil keputusan-keputusan yang tepat dan kadang perilakunya ikut terganggu. Dampak lain yang mungkin terjadi adalah sakit secara fisik, putus asa, sering absen dan lain-lain. Akhirnya selama stres ini belum teratasi, maka tingkat produktivitas/prestasi kerja cenderung dan terus menurun. Kondisi yang sama dapat terjadi bila dalam lingkungan pekerjaan tersebut tidak ada stres sama sekali. Karena tantangan-tantangan kerja tidak ada sehingga pekerjaan menjadi suatu hal yang membosankan dan menjemukan (Situngkir, 2010).

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi stres seperti: kelebihan beban kerja, tanggung jawab atas orang lain, perkembangan karir, kurangnya kohesi kelompok, dukungan kelompok yang kurang memadahi, struktur dan iklim organisasi, wilayah dalam organisasi, karakteristik tugas dan pengaruh pimpinan (Ivancevich dan Matteson 1980 dalam Indriyani 2009).

Stres kerja juga merupakan penentu penting timbulnya depresi, penyebab keempat terbesar timbulnya penyakit di seluruh dunia. Depresi diperkirakan bakal menduduki tempat kedua menjelang 2020 sesudah penyakit jantung yang menduduki tempat ketiga. Di negara-negara Uni Eropa, ongkos yang harus dibayar akibat stres kerja dan penyakit mental yang terkait dengannya diperkirakan mencapai rata-rata 3-4 % dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB), yaitu sekitar 265 miliar Euro setiap tahun (Mistiani, 2007).

(17)

Journal of Managerial Psychology tahun 2005 menunjukkan enam profesi

pekerjaan (supir ambulan, guru, pekerja social, customer services-call centers, petugas penjara dan polisi) merupakan profesi pekerjaan dengan tingkat stres yang paling besar baik dalam aspek stres fisik, psikologi dan kepuasan kerja (Sasono, 2004).

Gold dan Roth (1993) dalam Othman (2003) menggambarkan bahwa profesi pendidikan masa kini dianggap mempunyai tiga hal negatif, yaitu tekanan itu sendiri, moral pendidik dan rendahnya pandangan terhadap profesi. Di beberapa negara, persoalan tekanan di kalangan pendidik bukan lagi sekedar bahan kajian ilmiah, namun telah menjadi isu dalam media masa, seperti halnya yang terjadi di Malaysia pada tahun 1990an. Pada saat itu ada 75 guru yang meninggalkan profesi mereka di Serawak dengan alasan yang beragam dan terkuak bahwa alasan-alasan yang mereka kemukakan bermuara dari tekanan yang mereka hadapi selama mengajar.

Cinamon dkk. (2002) dalam Indriyani (2009) menyatakan bahwa guru akan berusaha mengatasi permasalahan dengan baik, masalah keluarga maupun masalah pekerjaan sehingga menimbulkan konflik pekerjaan-keluarga yang akan mengarah pada timbulnya stres kerja. Penelitian ini menyatakan bahwa disamping berusaha untuk menurunkan tingkat konflik pekerjaan-keluarga dengan cara waktu kerja yang lebih fleksibel, akan berarti jika pihak sekolah ikut membantu dalam mengatasi masalah siswa dengan meminta dukungan kepada orang tua siswa.

(18)

(2003) dalam Herawaty (2006) permasalahan yang timbul pada guru sekolah luar biasa berupa beban kerja dimana guru dituntut tidak hanya mampu mengajarkan sejumlah pengetahuan dan keterampilan yang selaras dengan potensi dan karakteristik peserta didiknya, melainkan juga harus mampu bertindak seperti paramadis, terapis, social worker, konselor dan administrator.

Penelitian yang dilakukan oleh Boe, Bobbitt, dan Cook, tahun 1997 dengan mengikutkan 4.798 guru pendidikan umum dan guru pendidikan khusus menunjukkan bahwa terdapat turnover yang lebih tinggi untuk guru pendidikan khusus (20%) dibandingkan dengan guru pendidikan umum (13%) (Fore, 2003).

Survei nasional yang diselenggarakan oleh Council for Exceptional Children (CEC) yang melibatkan lebih dari 1000 guru pendidikan khusus menyatakan: “Kondisi kerja guru yang buruk memberikan kontribusi yang besar terhadap tingginya jumlah guru yang meninggalkan bidang kerjanya, stres pada guru dan kualitas pendidikan khusus yang tidak memenuhi syarat” (Fore, 2003).

(19)

mengalami depresi dan kurang antusias terhadap pekerjaannya (Weiskopf 1980, Crane & Iwanicki 1986, Croasmun dkk.,1997 dalam Küçükssüleymanoğlu 2011).

Rice & Goessling (2005), Ruma dkk. (2010) dalam Pranjić & Grbović (2011) menyebutkan faktor-faktor yang menyebabkan stress pada guru yaitu beban kerja berlebih, kurangnya dukungan administrasi dan orang tua, gaji yang tidak mencukupi, masalah disiplin, kurangnya minat belajar murid, kelas yang terlalu penuh dan kritikan masyarakat terhadap guru dan pekerjaannya.

Sekolah Luar Biasa (SLB) merupakan lembaga pendidikan yang dipersiapkan untuk menangani dan memberikan pelayanan pendidikan kepada anak-anak penyandang kelainan (anak luar biasa) yang meliputi kelainan fisik, mental dan emosi / sosial (Mikarsa, 2002).

SLB-E Negeri Pembina Medan merupakan bagian dari Pendidikan Khusus (PK) dan Pendidikan Layanan Khusus (PLK) di wilayah Sumatera Utara yang dibentuk sebagai sumber pengembangan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) dan anak yang memerlukan pendidikan layanan khusus.

SLB-E Negeri Pembina Medan dalam proses pendidikannya diperuntukkan bagi anak berkebutuhan khusus meliputi: tunanetra (gangguan penglihatan), tunarungu (gangguan pendengaran), tunagrahita (ganguan intelektual), tunadaksa (gangguan gerak anggota tubuh), tunawicara (gangguan berbicara), tunalaras (gangguan perilaku dan emosi) dan autis.

(20)

untuk SLB (satu kelas > 5 orang murid). Guru SLB selain mengajarkan pelajaran juga harus dapat mengajarkan program khusus berupa kegiatan bina pribadi dan sosial serta program pengembangan diri yang disesuaikan dengan masing-masing jenis anak didik. Guru tunarungu harus mampu mengenalkan dan mengajarkan kosa kata kepada anak didik dengan metode membaca gerak bibir (lips reading) sedangkan guru tunagrahita dituntut untuk lebih sabar dan kreatif dalam mengajar agar anak didik dapat lebih mudah menangkap pelajaran. Dari hasil wawancara didapat juga informasi bahwa guru SLB merasa cemas dan sakit kepala karena pekerjaannya, kondisi lingkungan sekolah dan tuntutan dari orangtua murid yang besar terhadap perkembangan anaknya.

Dari uraian di atas mengenai gambaran kerja guru Sekolah Luar Biasa tersebut maka penulis tertarik untuk meneliti mengenai perbedaan stres kerja antara guru tunarungu dengan guru tunagrahita di SLB-E Negeri Pembina Medan Tahun 2011.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, timbul permasalah apakah ada perbedaan stres kerja antara guru tunarungu dengan guru tunagrahita di SLB-E Negeri Pembina Medan Tahun 2011.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

(21)

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui karakteristik guru tunarungu dengan guru tunagrahita di SLB-E Negeri Pembina Medan Tahun 2011.

2. Untuk mengetahui gambaran stres kerja guru tunarungu di SLB-E Negeri Pembina Medan Tahun 2011.

3. Untuk mengetahui gambaran stres kerja guru tunagrahita di SLB-E Negeri Pembina Medan Tahun 2011.

4. Untuk menganalisa perbedaan stres kerja antara guru tunarungu dengan guru tunagrahita di SLB-E Negeri Pembina Medan Tahun 2011.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai masukan bagi pihak sekolah mengenai kondisi umum dan gambaran stres yang dialami oleh guru SLB-E Negeri Pembina.

2. Menambah pengetahuan penulis dalam penelitian lapangan dan dapat dimanfaatkan sebagai referensi ilmiah untuk pengembangan ilmu khususnya bagian Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Stres Kerja

2.1.1. Pengertian Stres Kerja

“Stres adalah satu abstraksi. Orang tidak dapat melihat pembangkit stres

(stressor). Yang dapat dilihat ialah akibat dari pembangkit stres.” menurut Dr.

Hans Selye, guru besar emiritus (purnawirawan) dari Universitas Montreal dan

“penemu” stres.

Spielberger dalam Handoyo (2001) menyebutkan bahwa stres adalah

tuntutan-tuntutan eksternal yang mengenai seseorang, misalnya obyek-obyek

dalam lingkungan atau suatu stimulus yang secara obyektif adalah berbahaya.

Stres juga biasa diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau gangguan yang tidak

menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang.

Luthans dalam Yulianti (2000) mendefinisikan stres sebagai suatu

tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu

dan proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan lingkungan, situasi atau

peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik

seseorang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stres kerja timbul karena

tuntutan lingkungan dan tanggapan setiap individu dalam menghadapinya dapat

berbeda.

Menurut Ulhaq (2008) stres merupakan suatu keadaan dimana seseorang

mengalami ketegangan karena adanya kondisi-kondisi yang mempengaruhi

dirinya, kondisi-kondisi tersebut dapat diperoleh dari dalam maupun dari luar diri

seseorang. Namun perlu diperhatikan bahwa suatu kondisi yang membuat stres

(23)

yang terjadi pada seorang karyawan mungkin menimbulkan stres kerja pada

seorang karyawan, namun merupakan tantangan bagi karyawan lainnya.

Berdasarkan contoh-contoh tersebut dapat dilihat bahwa kondisi yang sama belum

tentu diterima sama oleh masing-masing individu tergantung pada keadaan

individu, lingkungan dan faktor-faktor lain.

Dengan demikian secara umum dapat disimpulkan bahwa stres adalah

suatu stimulus yang berupa tekanan yang akan mempengaruhi kondisi fisik

maupun psikologi individu dimana tekanan/stimulus tersebut dapat berasal dari

luar individu.

2.1.2. Jenis-jenis Stres

Pada umumnya kita merasakan bahwa stres merupakan suatu kondisi

negatif, suatu kondisi yang mengarah ke timbulnya penyakit fisik ataupun mental,

atau mengarah ke perilaku yang tak wajar. Selve membedakan antara distress,

yang dekstruktif dan eustress, yang merupakan kekuatan positif (eustress

mengandung suku awal yang dalam bahasa Yunani berarti ‘baik’, seperti yang

terdapat dalam kata euphoria).

Stres diperlukan untuk menghasilkan prestasi yang tinggi. Stres dalam

jumlah tertentu dapat mengarah ke gagasan-gagasan yang inovatif dan keluaran

yang konstruktif. Sampai titik tertentu bekerja dengan tekanan batas waktu dapat

merupakan proses kreatif yang merangsang. Seseorang yang bekerja pada tingkat

optimal menunjukkan antusiasisme, semangat yang tinggi, kejelasan dalam

berpikir (mental clarity) dan pertimbangan yang baik. Jika orang terlalu ambisius,

memiliki dorongan kerja yang besar atau jika beban kerja menjadi berlebihan,

(24)

kesehatan orangnya, kekuatannya. Tanda-tanda beban berlebih ialah mudah

tersinggung, kelelahan fisikal dan mental, ketidaktegasan, hilangnya obyektivitas,

kecenderungan berbuat salah, kekhilafan dalam ingatan dan hubungan

interpersonal yang tegang.

Stres yang meningkat sampai unjuk-kerja mencapai titik optimalnya

merupakan stres yang baik, yang menyenangkan, eustress. Dekat, sebelum

mencapai titik optimalnya, peristiwanya atau situasinya dialami sebagai tantangan

yang merangsang. Melewati titik optimal stres menjadi distress, peristiwanya atau

situasinya dialami sebagai ancaman yang mencemaskan.

Quick dan Quick (1984) mengkategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu:

1. Eustress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan

konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan

individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan,

fleksibilitas, kemampuan adaptasi dan tingkat performance yang tinggi.

2. Distress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat,

negatif dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi

individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat

ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan

keadaan sakit, penurunan dan kematian.

2.1.3. Tanda-tanda Stres

Everly dan Girdano (1980) mengajukan daftar ‘tanda-tanda dari adanya

distress’. Menurut mereka, stres akan mempunyai dampak pada suasana hati

(25)

1. Tanda-tanda suasana hati (mood):

a. Menjadi overexcited

b. Cemas

c. Merasa tidak pasti

d. Sulit tidur pada malam hari (somnabulisme)

e. Menjadi mudah bingung dan lupa

f. Menjadi sangat tidak enak (uncomfortable) dan gelisah (ill at ease)

g. Menjadi gugup (nervous)

2. Tanda-tanda otot kerangka (muscoskeletal)

a. Jari-jari dan tangan gemetar

b. Tidak dapat duduk diam atau berdiri di tempat

c. Mengembangkan tic (gerakan tidak sengaja)

d. Kepala mulai sakit

e. Merasa otot menjadi tegang atau kaku

f. Menggagap jika berbicara

g. Leher menjadi kaku

3. Tanda-tanda organ-organ dalam badan (visceral)

a. Perut terganggu

b. Merasa jantung berdebar

c. Banyak berkeringat

d. Tangan berkeringat

e. Merasa kepala ringan atau akan pingsan

f. Mengalami kedinginan (cold chillc)

(26)

h. Mulut menjadi kering

i. Mendengar bunyi berdering dalam kuping

j. Mengalami ‘rasa akan tenggelam’ dalam perut (sinking feeling)

2.1.4. Pembangkit Stres (Stressors)

Setiap aspek di pekerjaan dapat menjadi pembangkit stres. Tenaga kerja

yang menentukan sejauh mana situasi yang dihadapi merupakan situasi stres atau

tidak. Tenaga kerja dalam interaksinya di pekerjaan, dipengaruhi pula oleh hasil

interaksinya di tempat lain, di rumah, di sekolah, di perkumpulan dan sebagainya.

Sumber stres yang menyebabkan seseorang tidak berfungsi optimal atau yang

menyebabkan seseorang jatuh sakit, tidak saja datang dari satu macam

pembangkit stres saja tetapi dari beberapa pembangkit stres. Sebagian besar dari

waktu manusia bekerja karena itu lingkungan pekerjaan mempunyai pengaruh

yang besar terhadap kesehatan seseorang yang bekerja. Pembangkit stres di

pekerjaan merupakan pembangkit stres yang besar perannya terhadap kurang

berfungsinya atau jatuh sakitnya seorang tenaga kerja yang bekerja.

Faktor-faktor di pekerjaan yang berdasarkan penelitian dapat

menimbulkan stres dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori besar, yaitu

faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan, peran dalam organisasi, pengembangan

karir, hubungan dalam pekerjaan, serta struktur dan iklim organisasi (Hurrell dkk.

1988).

1. Faktor-faktor Intrinsik dalam Pekerjaan

Termasuk dalam kategori ini ialah tuntutan fisik dan tuntutan tugas.

(27)

mencakup: kerja shift/kerja malam, beban kerja dan penghayatan dari risiko dan

bahaya.

a. Tuntutan Fisik

Kondisi kerja fisik tertentu dapat menghasilkan prestasi kerja yang

optimal. Di samping dampaknya terhadap prestasi kerja, kondisi kerja fisik juga

memiliki dampak terhadap kesehatan mental dan keselamatan kerja seorang

tenaga kerja. Kondisi fisik kerja mempunyai pengaruh terhadap kondisi faal dan

psikologis diri seorang tenaga kerja. Kondisi fisik dapat merupakan pembangkit

stres (stressor).

Bising : Bising selain dapat menimbulkan gangguan sementara atau tetap

pada alat pendengaran kita, juga dapat merupakan sumber stres yang

menyebabkan peningkatan dari kesiagaan dan ketidakseimbangan psikologis kita.

Ivancevich dan Matteson (1980) berpendapat bahwa bising yang berlebih (sekitar

80 desibel) yang berulang kali didengar untuk jangka waktu lama, dapat

menimbulkan stres.

Vibrasi (getaran): Vibrasi merupakan sumber stres yang kuat yang

mengakibatkan peningkatan taraf catecholamine dan perubahan dari berfungsinya

seseorang secara psikologikal dan neurologikal. Vibrasi atau getaran yang beralih

dari benda-benda fisik ke badan dapat memberi pengaruh yang tidak baik pada

unjuk-kerja.

Hygiene: Lingkungan yang kotor dan tidak sehat merupakan pembangkit

stres. Para pekerja dari industri baja menggambarkan kondisi berdebu dan kotor,

akomodasi pada waktu istirahat yang kurang baik, juga toilet yang kurang

(28)

b. Tuntutan Tugas

Kerja shift/ kerja malam: Penelitian menunjukkan bahwa kerja shift

merupakan sumber utama dari stres bagi para pekerja pabrik (Monk dan Teps

1985). Para pekerja shift lebih sering mengeluh tentang kelelahan dan gangguan

perut daripada para pekerja pagi/siang dan dampak dari kerja shift terhadap

kebiasaan makan yang mungkin menyebabkan gangguan-gangguan perut.

Pengaruhnya adalah emosional dan biologikal, karena gangguan ritme circadian

dari tidur/daur keadaan bangun (wake cycle), pola suhu dan ritme pengeluaran

adrenalin.

Beban Kerja: Beban kerja berlebih dan beban kerja terlalu sedikit

merupakan pembangkit stres. Beban kerja dapat dibedakan lebih lanjut ke dalam

beban kerja berlebih/terlalu sedikit ‘kuantitatif’, yang timbul sebagai akibat dari

tugas-tugas yang terlalu banyak/sedikit diberikan kepada tenaga kerja untuk

diselesaikan dalam waktu tertentu dan beban kerja berlebih/terlalu sedikit

‘kualitatif’, yaitu jika orang merasa tidak mampu untuk melakukan suatu tugas,

atau tugas tidak menggunakan keterampilan dan/atau potensi dari tenaga kerja.

2. Peran Individu dalam Organisasi

Setiap tenaga kerja bekerja sesuai dengan perannya dalam organisasi,

artinya setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus ia lakukan

sesuai dengan aturan-aturan yang ada dan sesuai dengan yang diharapkan oleh

atasannya. Namun demikian tenaga kerja tidak selalu berhasil untuk memainkan

perannya tanpa menimbulkan masalah. Kurang baik berfungsinya (dysfunction)

peran, yang merupakan pembangkit stres, yang akan dibicarakan di sini ialah

(29)

a. Konflik Peran

Miles dan Perreault (1976) membedakan empat jenis konflik peran:

1. Konflik peran-pribadi: Tenaga kerja ingin melakukan tugas berbeda dari yang

disarankan dalam uraian pekerjaannya.

2. Konflik ‘Intrasender’: Tenaga kerja menerima penugasan tanpa memiliki

tenaga yang cukup untuk dapat menyelesaikan tugas dengan baik.

3. Konflik ‘Intersender’: Tenaga kerja diminta untuk berperilaku sedemikian

rupa sehingga ada orang yang merasa puas dengan hasilnya, sedangkan orang

lain tidak.

4. Peran dengan beban berlebih: Tenaga kerja mendapat penugasan kerja yang

terlalu banyak dan tidak dapat ia tangani secara efektif.

b. Ketaksaan Peran

Ketaksaan peran dirasakan jika seorang tenaga kerja tidak memiliki cukup

informasi untuk dapat melaksanakan tugasnya, atau tidak mengerti atau

merealisasi harapan-harapan yang berkaitan dengan peran tertentu.

Menurut Kahn dkk. (1964) stres yang timbul karena ketidakjelasan sasaran

akhirnya mengarah ke ketidakpuasan pekerjaan, kurang memiliki kepercayaan

diri, rasa diri tidak berguna, rasa harga diri yang menurun, depresi, motivasi

rendah untuk bekerja, peningkatan tekanan darah dan detak nadi serta

kecenderungan untuk meninggalkan pekerjaan.

3. Pengembangan Karier (Career Development)

a. Job Insecurity

Ketakutan kehilangan pekerjaan, ancaman bahwa pekerjaannya dianggap

(30)

kerja. Perubahan-perubahan lingkungan menimbulkan masalah baru yang dapat

mempunyai dampak pada perusahaan. Reorganisasi dirasakan perlu untuk dapat

menghadapi perubahan lingkungan dengan lebih baik. Sebagai akibatnya ialah

adanya pekerjaan lama yang hilang dan adanya pekerjaan yang baru. Introduksi

hasil-hasil teknologi yang canggih ke dalam perusahaan juga memberikan dampak

pada jumlah dan macam pekerjaan yang ada. Dapat terjadi bahwa

pekerjaan-pekerjaan yang baru memerlukan keterampilan baru.

b. Over dan Under-promotion

Peluang yang kecil untuk promosi, baik karena keadaan tidak mengizinkan

maupun karena mungkin ‘dilupakan’, dapat merupakan pembangkit stres bagi

tenaga kerja yang merasa sudah waktunya mendapatkan promosi. Perilaku yang

mengganggu, semangat kerja yang rendah dan hubungan antarpribadi yang

bermutu rendah, berkaitan dengan stres dari kesenjangan yang dirasakan antara

kedudukannya sekarang di organisasi dengan kedudukan yang diharapkan.

Stres yang timbul karena over-promotion memberikan kondisi yang sama

seperti beban kerja berlebihan. Harga diri yang rendah dihayati oleh seorang

tenaga kerja yang mendapatkan promosi terlalu dini, atau yang dipromosikan ke

jabatan yang menuntut pengetahuan dan keterampilan yang tidak sesuai dengan

bakatnya.

4. Hubungan dalam pekerjaan

Hubungan kerja yang tidak baik terungkap dalam gejala-gejala adanya

kepercayaan yang rendah, taraf pemberian support yang rendah dan minat yang

(31)

positif behubungan dengan ketaksaan peran yang tinggi, yang mengarah ke

komunikasi antarpribadi yang tidak sesuai antara para tenaga kerja dan

ketegangan psikologikal dalam bentuk kepuasan pekerjaan yang rendah,

penurunan dari kondisi kesehatan dan rasa diancam oleh atasan dan rekan-rekan

kerjanya (Kahn dkk., 1964).

5. Struktur dan Iklim Organisasi

Kepuasan dan ketidakpuasan kerja berkaitan dengan penilaian dari struktur

dan iklim organisasi. Faktor stres yang terdapat dalam kategori ini terpusat pada

sejauh mana tenaga kerja dapat terlibat atau berperan serta dan pada support

sosial.

Penelitian menunjukkan bahwa kurangnya peran serta atau partisipasi

dalam pengambilan keputusan berhubungan dengan suasana hati dan perilaku

negatif, misalnya menjadi perokok berat. Peningkatan peluang untuk berperan

serta menghasilkan peningkatan unjuk kerja dan peningkatan taraf dari kesehatan

mental dan fisik.

Studi-studi mengenai stres guru (Louden 1987, Dinham 1993, Punch dan

Tuetteman 1996, Pithers dan Soden 1999, Kyriacou 2001) menyebutkan

sumber-sumber stres guru:

1. Hubungan murid-guru yang buruk

a. Murid tidak mempunyai motivasi belajar dan rasa hormat kepada guru

(32)

c. Adanya miscommunication dan kurangnya pemahaman antara guru dan

murid disebabkan oleh perbedaan etnik, budaya dan latar belakang

2. Tekanan waktu

a. Waktu yang tidak cukup untuk persiapan

b. Tuntutan dari sekolah yang tidak realistis

c. Deadlines yang membebani

d. Adanya isu mengenai beban kerja

3. Konflik peran

a. Ada konflik antara filosofi mengajar dengan sekolah

b. Kebijakan sekolah yang menuntut perubahan dan inovasi

c. Perubahan yang diminta tidak diikuti dengan pelatihan yang tepat

d. Tuntutan administrasi dan pekerjaan yang berlebihan

4. Kondisi pekerjaan yang buruk

a. Fasilitas sarana dan prasarana yang tidak mencukupi

b. Ukuran kelas yang terlalu besar

c. Lingkungan sekolah yang bising

(33)

5. Kurangnya kontrol dan keikutsertaan dalam pengambilan keputusan yang

dapat muncul ketika:

a. Struktur birokrasi sekolah sangat hirarkis dan kekuasaan terletak pada

segelintir orang saja

b. Adanya kepemimpinan otokrasi

6. Hubungan dengan teman sekerja yang dapat muncul ketika

a. Kurangnya rasa percaya dan kerja sama antara teman sekerja

b. Adanya budaya bersaing di sekolah

7. Perasaan tidak mampu

a. Guru merasa tidak mempunyai kompetensi dan kurang terlatih

b. Guru dituntut untuk mengajar di luar kompetensi dan pelatihan mereka

c. Kurangnya pengakuan dari rekan kerja dan sekolah untuk prestasi yang

dilakukan

8. Sumber stres dari luar organisasi yang muncul ketika

a. Adanya pandangan negatif masyarakat mengenai guru dan sekolah

b. Kehidupan pribadi guru yang tidak stabil

2.2. Anak Berkebutuhan Khusus

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah anak yang dalam pendidikan

(34)

karena mengalami hambatan dalam belajar dan perkembangan yang disebabkan

oleh faktor lingkungan, faktor dalam diri anak sendiri ataupun kombinasi

keduanya (UU No. 20 Tahun 2003).

2.2.1. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus

Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan

Nasional anak berkebutuhan khusus terdiri dari :

1. Anak dengan gangguan penglihatan (Tunanetra)

2. Anak dengan gangguan pendengaran (Tunarungu)

3. Anak dengan gangguan intelektual (Tunagrahita)

4. Anak dengan gangguan gerak anggota tubuh (Tunadaksa)

5. Anak dengan gangguan berbicara (Tunawicara)

6. Anak dengan gangguan perilaku dan emosi (Tunalaras)

7. Anak dengan gangguan belajar spesifik

8. Anak lamban belajar (slow learner)

9. Anak dengan kemampuan inteligensi di atas rata-rata dan anak berbakat

10. Anak Autis

(35)

2.2.2. Hambatan Belajar Anak Berkebutuhan Khusus

1. Hambatan Belajar Anak Tunarungu

a. Hambatan Komunikasi

Sebagai dampak langsung dari gangguan atau kehilangan pendengarannya,

anak dengan kehilangan pendengaran (terutama yang mengalami ketulian sejak

lahir) mengalami hambatan dalam berkomunikasi secara verbal, baik secara

ekspresif (bicara) maupun reseptif (memahami bahasa/bicara orang lain). Keadaan

tersebut menyebabkan anak dengan kehilangan pendengaran mengalami

hambatan dalam berkomunikasi dengan lingkungan orang mendengar yang lazim

menggunakan bahasa verbal sebagai alat komunikasi. Di samping itu, orang

mendengar sulit memahami bahasa isyarat mereka. Keadaan seperti ini

mengakibatkan interaksi antara anak tersebut dan orang-orang mendengar menjadi

terbatas, serta tidak menutup kemungkinan mereka salah menafsirkan sesuatu.

Van Uden (1977) mengemukakan bahwa dampak ketunarunguan adalah

keterbatasan dalam penguasaan bahasa secara keseluruhan. Artinya tanpa

pendidikan khusus, terlebih bagi anak tuli, mereka tidak akan mengenal lambang

bahasa atau nama suatu benda, kegiatan, peristiwa dan perasaan serta sulit

memahami aturan atau sistem bahasa yang berlaku dan digunakan oleh

lingkungannya. Oleh karena itu dari berbagai dampak yang ada akan

menimbulkan hambatan yang kompleks dan saling mempengaruhi satu sama lain.

Hambatan dalam penguasaan bahasa, merupakan hambatan utama yang

dialami anak dengan gangguan pendengaran, sedangkan penguasaan bahasa

(36)

proses pendidikannya di sekolah, harus diupayakan terjadinya proses penguasaan

bahasa terlebih dahulu sebelum penyajian materi lainnya.

b. Hambatan dalam Perkembangan Kognitif

Perkembangan kognitif dipengaruhi oleh kemampuan berbahasa. Oleh

karena itu, anak dengan gangguan pendengaran terutama anak tuli, sering

menunjukkan prestasi akademik yang lebih rendah dibanding anak mendengar

seusianya. Hal tersebut senada dengan pendapat Rittenhouse (Hallahan dan

Kauffman, 1998) bahwa:’…karena anak dengan gangguan pendengaran

berprestasi sangat jauh di bawah rata-rata kelas sekolahnya, terutama di kelas

yang agak tinggi, ada kecenderungan atau anggapan bahwa mereka secara

kognitif kemampuannya kurang. Kesulitan akademik yang dihadapi anak tersebut

bukanlah karena masalah kognitif yang kurang, akan tetapi kesulitan dalam

bahasa. Dengan demikian pendidik harus berusaha mengoptimalkan kelebihan

kognitif anak tersebut.’

c. Hambatan dalam Perkembangan Emosi dan Penyesuaian Sosial

Kekurangan dalam kemampuan berbahasa verbal menyebabkan anak

tunarungu sulit mengungkapkan perasaan maupun keinginannya pada orang

mendengar, sehingga hal tersebut menimbulkan perasaan negatif yang dapat

mempengaruhi perkembangan emosi dan sosialnya. Di samping itu kekurangan

dalam pemahaman bahasa verbal menyebabkan anak tunarungu seringkali salah

menafsirkan sesuatu dan hal tersebut menjadi tekanan bagi emosinya. Hal tersebut

dapat menghambat perkembangan pribadinya dengan kecenderungan

menampilkan sikap menutup diri atau sebaliknya menampakkan kebimbangan dan

(37)

Demikian juga gangguan pendengaran berdampak pada penyesuaian sosial

anak. Hambatan dalam berkomunikasi sebagai dampak langsung gangguan

pendengaran, menyebabkan anak tersebut mengalami hambatan dalam

sosialisasinya. Namun terjadinya hambatan tersebut tidak terlepas dari pengaruh

atau sikap lingkungan terhadap anak tersebut. Sikap orang tua dan masyarakat

yang kurang kondusif akan menghambat perkembangan sosial anak. Orang tua

yang menolak kehadiran anak dengan gangguan pendengaran cenderung

mengisolasi anak tersebut. Di samping itu masyarakat ada kalanya menunjukkan

sikap kurang kondusif, seperti memandang rendah anak bahkan mungkin

mencemoohkan kelainan yang disandangnya.

2. Hambatan Belajar Anak Tunagrahita

a. Hambatan dalam belajar

Hambatan dalam belajar merupakan masalah yang nyata pada anak

tunagrahita, ini disebabkan keterbatasan mereka dalam berpikir. Kesulitan belajar

pada anak tunagrahita nampak nyata ketika berhadapan dengan bidang pengajaran

akademik di sekolah, seperti berhitung, membaca, atau pelajaran lain yang

memerlukan pemikiran. Tapi bukan berarti mereka tidak dapat belajar, mereka

dapat belajar tapi harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan mereka.

Untuk mengatasi kesulitan belajar ini guru harus kreatif menciptakan kondisi

supaya anak mau untuk belajar, selain itu materi pembelajaran harus aplikatif

dalam kehidupan anak.

b. Hambatan penyesuaian diri

Penyesuaian diri ada kaitannya dengan perilaku adaptif, perilaku adaptif

(38)

pribadi (personal independence) dan tanggung jawab sosial yang diharapkan dari

umurnya dan kultur setempat (Payne dan Patton 1981), dengan kata lain bahwa

perilaku adaptif seorang anak berkaitan dengan kemampuannya dan kultur atau

norma lingkungan setempat disadari atau tidak masalah perilaku adaptif atau

masalah penyesuaian diri ada kaitannya dengan sikap dan pola asuh orang tua

serta perlakuan dari orang-orang di lingkungannya. Oleh karena itu perlakuan

orang tua akan memberi warna pada pola perilaku anak tunagrahita. Ketika orang

tua mau menerima anak apa adanya maka orang tua akan berusaha untuk

memahami kekurangan anak dan mempelakukan mereka seperti anak-anak

lainnya yang tidak tunagrahita.

c. Masalah gangguan kepribadian dan emosi

Kepuasan secara fisik dan kebutuhan akan kesehatan adalah pokok untuk

kelangsungan hidup dan pertumbuhan emosi dan sosial seorang anak yang sangat

penting untuk perkembangan anak secara keseluruhan. Pertumbuhan psikososial

anak di bantu oleh perasaan dicintai dan diterima oleh orang-orang yang berada

dalam lingkungan sekitarnya. Keamanan secara emosi dan fisik memberikan dasar

untuk mengembangkan kepercayaan, yang mana mengizinkan anak untuk

mengeksplor dan menguji aspek-aspek lingkungan dan berusaha untuk

mengembangkan pemahaman terhadap diri sendiri (sense of self). (Ericson 1968

dalam Payne dan Patton 1981).

Anak-anak tunagrahita memiliki dasar psikologis, sosial dan emosi yang

sama dengan anak-anak yang bukan tunagrahita. Tetapi sebab mereka mengalami

(39)

dalam berhubungan dengan lingkungan sekitar, yang mana mereka kurang mampu

untuk mengatasinya, mereka sering mengembangkan pola-pola perilaku yang

kurang produktif (counterproduktive) untuk merealisasikan potensi mereka

sepenuhnya.

2.3. Guru

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta

didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar

dan pendidikan menengah (UU No. 14 Tahun 2005).

Guru pendidikan khusus adalah tenaga pendidik yang memenuhi

kualifikasi akademik, kompetensi dan sertifikasi pendidik bagi peserta didik yang

memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial dan/atau potensi

kecerdasan dan bakat istimewa pada satuan pendidikan khusus, satuan pendidikan

umum dan/atau satuan pendidikan kejuruan (Permendiknas No.32 Tahun 2008).

2.3.1. Klasifikasi Guru Pendidikan Khusus

Guru pendidikan khusus terdiri dari :

a. Guru Kelas TKLB

b. Guru Kelas SDLB

c. Guru Mata Pelajaran SDLB, SMPLB, SMALB

d. Guru Pendidikan Khusus pada satuan pendidikan umum dan kejuruan

2.3.2. Standar Kompetensi Guru Pendidikan Khusus

Standar kompetensi guru pendidikan khusus dikembangkan secara utuh

(40)

kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Keempat kompetensi

tersebut terintegrasi dalam kinerja guru pendidikan khusus.

Standar kompetensi guru pendidikan khusus mencakup kompetensi inti

guru yang dikembangkan menjadi kompetensi guru kelas TKLB, guru kelas

SDLB, guru mata pelajaran SDLB, SMPLB, SMALB dan guru pendidikan

khusus pada satuan pendidikan umum dan kejuruan.

Kompetensi inti guru pendidikan khusus menyesuaikan kompetensi inti

guru sekolah umum sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan

Nasional Nomor 16 Tahun 2007.

1. Kompetensi Pedagogik

a. Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial,

kultural, emosional dan intelektual

b. Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik

c. Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran/bidang

pengembangan yang diampu

d. Menyelenggarakan pembelajaran/pengembangan yang mendidik

e. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan

penyelenggaraan kegiatan pembelajaran/pengembangan yang mendidik

f. Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk

mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki

g. Berkomunikasi secara efektif, empatik dan santun dengan peserta didik

h. Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar

i. Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan

(41)

j. Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran

2. Kompetensi Kepribadian

a. Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial dan kebudayaan

nasional Indonesia

b. Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia dan teladan

bagi peserta didik dan masyarakat

c. Menampilkan diri sebagai pribadi yang sabar, tekun, mantap, stabil,

dewasa, arif dan berwibawa

d. Menunjukkan etos kerja, tanggungjawab yang tinggi, rasa bangga menjadi

guru dan rasa percaya diri

e. Menjunjung tinggi kode etik profesi guru

3. Kompetensi Sosial

a. Bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif karena

pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang

keluarga dan status sosial ekonomi

b. Berkomunikasi secara efektif, empatik dan santun dengan sesama

pendidik, tenaga kependidikan, orang tua dan masyarakat

c. Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia

yang memiliki keragaman sosial budaya

d. Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara

lisan dan tulisan atau bentuk lain

4. Kompetensi Profesional

a. Menguasai materi, struktur, konsep dan pola pikir keilmuan yang

(42)

b. Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata

pelajaran/bidang pengembangan yang diampu

c. Mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif

d. Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan

tindakan reflektif

e. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi

dan mengembangkan diri

Kompetensi untuk guru pendidikan khusus dibagi-bagi lagi sesuai dengan

ABK yang ditangani. Kompetensi untuk guru tunarungu tidak sama dengan

kompetensi untuk guru tunagrahita.

Kompetensi yang harus dimiliki guru tunarungu yaitu:

1. Guru tunarungu harus menguasai pendidikan khusus anak didik.

2. Guru tunarungu harus menguasai artikulasi.

3. Guru tunarungu harus mampu mengenalkan dan mengajarkan kosa

kata kepada anak didik.

4. Guru tunarungu harus mampu mengajarkan terapi bicara.

5. Guru tunarungu harus mampu mengajarkan Bina Komunikasi Persepsi

Bunyi dan Irama (BKPBI)

6. Guru tunarungu harus mencapai target kurikulum sehingga anak didik

dapat melewati UAS BN dan melanjutkan pendidikannya di SMP inklusi.

Kompetensi yang harus dimiliki guru tunagrahita yaitu:

1. Guru tunagrahita harus mampu merancang jaring-jaring tematik sebagai

metode dalam mengajar anak didik.

(43)

3. Guru tunagrahita harus mampu mengajarkan Program Menolong Diri

Sendiri (PMDS) atau bina diri sehingga anak didik dapat mandiri

4. Guru tunagrahita harus mengembangkan kemampuan anak didik

5. Guru tunagrahita harus mampu mengajarkan lab skill seperti memasak,

menjahit dan otomotif kepada anak didik

2.4. Kerangka Konsep

2.5 Hipoptesis Penelitian

Ha : Ada perbedaan stres kerja antara guru tunarungu dengan guru

tunagrahita di SLB-E Negeri Pembina Medan Tahun 2011. Guru SLB-E Negeri

Pembina Medan

- Guru Tunarungu - Guru Tunagrahita

STRES KERJA Karakteristik

Guru SLB

- Jenis Kelamin - Umur

- Pendidikan - Masa Kerja - Status

(44)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

analitik dengan desain cross sectional.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Sekolah Luar Biasa E (SLB-E) Negeri Pembina

Medan. Adapun pertimbangan mengenai pelaksanaan penelitian di tempat

tersebut adalah:

1. Belum pernah dilakukan penelitian sejenis di tempat tersebut.

(45)

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah seluruh guru tunarungu dan tunagrahita di

SLB-E Negeri Pembina Medan yaitu sebanyak 18 orang yang terdiri dari 7 guru

tunarungu dan 11 guru tunagrahita.

3.3.2 Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara total sampling, dimana

seluruh populasi dijadikan sampel dalam penelitian.

3.4. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder.

1. Data primer yaitu data yang diperoleh dari responden dengan cara

memberikan kuesioner penilaian stres yang telah dimodifikasi. Kuesioner

yang digunakan merupakan kuesioner baku dari NUT (National Union of

Teachers) yang telah direvisi dengan standar manajemen dari HSE (Health

and Safety Environtment) untuk kategori stres akibat kerja.

2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari SLB-E Negeri Pembina

berupa gambaran umum sekolah, sejarah sekolah dan struktur organisasi.

3.5 Definisi Operasional

1. Guru tunarungu di SLB-E Negeri Pembina adalah guru yang melakukan

terapi bicara serta mengenalkan dan mengajarkan kosa kata pada murid

dengan gangguan pendengaran dengan metode lips reading.

2. Guru tunagrahita di SLB-E Negeri Pembina adalah guru yang

mengajarkan lab skill dan mengembangkan kemampuan yang dimiliki

(46)

3. Jenis kelamin adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan.

4. Umur adalah usia guru yang dihitung berdasarkan ulang tahun terakhir

saat penelitian dilakukan.

5. Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang telah

diselesaikan oleh guru.

6. Masa kerja adalah rentang waktu sejak guru mulai mengajar di SLB

sampai saat penelitian dilakukan.

7. Status pernikahan adalah status guru yang terdiri dari menikah dan

tidak menikah.

8. Stres kerja adalah gejala-gejala fisik, psikologi dan perilaku yang

dirasakan oleh guru selama mengajar di SLB-E Negeri Pembina Medan.

3.6 Aspek Pengukuran

Skala stres kerja disusun dengan pertanyaan favourable. Setiap pertanyaan

mempunyai lima alternatif jawaban dengan nilai yang bergerak dari satu ke lima.

Favourable artinya sependapat atau sesuai dengan pernyataan yang diajukan, skor

1 untuk jawaban Sangat Tidak Setuju (STJ), skor 2 untuk jawaban Tidak Setuju

(TS), skor 3 untuk jawaban Netral (N), skor untuk jawaban Setuju (S) dan skor 5

untuk jawaban Sangat Setuju (SS). Kuesioner ini terdiri dari 47 pertanyaan,

dengan skor tertinggi 235 dan skor terendah 47.

Skor Tertinggi = 47 x 5 = 235

Skor Terendah = 47 x 1 = 47

Mean teoritis (µ) = skor tertinggi + skor terendah = 235 + 47 = 141

2 2

(47)

Berdasarkan jumlah skor yang diperoleh maka dapat dikatakan tingkat

stres pada guru dikategorikan :

Ringan = x < µ - 1 σ = x < 109,7

Sedang = µ - 1 σ ≤ x ≤ µ + 1 σ = 109,7 ≤ x ≤ 172,3

Berat = x > µ + 1 σ = x > 172,3

(Saifuddin Azwar, 2004)

3.7 Teknik Analisa Data

Data yang sudah diperoleh kemudian diolah dan dianalisa dengan program

komputer SPSS untuk melihat perbedaan rata-rata stres kerja. Pengukuran

perbedaan rata-rata stres kerja menggunakan uji Mann Whitney. Jika nilai

signifikansi (p) > 0,05 maka dapat diambil kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan

stres kerja antara guru tunarungu dengan guru tunagrahita di SLB-E Negeri

(48)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.1. Sejarah dan Lokasi SLB-E Negeri Pembina Medan

SLB-E Negeri Pembina Medan mulai berdiri dari tahun 1983 dan diresmikan pada tanggal 14 Maret 1986 oleh Bapak Dirjen Dikdasmen. Sekolah

yang terletak di Jalan Karya Ujung, Helvetia Timur, Medan ini dibangun di atas

areal seluas 2,5 Ha yang terdiri dari TKLB, SDLB, SMPLB, dan SMALB.

SLB-E Negeri Pembina merupakan bagian dari Pendidikan Khusus (PK)

dan Pendidikan layanan Khusus (PLK) di wilayah Sumatera Utara yang dibentuk

sebagai sumber pengembangan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program

pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dan anak yang memerlukan

pendidikan layanan khusus.

SLB-E Negeri Pembina Medan dalam proses pendidikannya

diperuntukkan bagi anak berkebutuhan khusus meliputi: tunanetra (gangguan

penglihatan), tunarungu (gangguan pendengaran), tunagrahita (gangguan

intelektual), tunadaksa (gangguan gerak anggota tubuh), tunawicara (gangguan

berbicara), tunalaras (gangguan perilaku dan emosi) dan autis.

4.1.2. Visi dan Misi SLB-E Negeri Pembina Medan a. Visi SLB-E Negeri Pembina Medan

“Mewujudkan pelayanan yang optimal bagi anak yang berkebutuhan

khusus sehingga dapat berkreasi, berprestasi, mandiri, mengatasi hidupnya

(49)

b. Misi SLB-E Negeri Pembina Medan

a. Meningkatkan mutu pendidikan sesuai dengan tuntutan masyarakat dan

perkembangan IPTEK dengan melaksanakan kegiatan pembelajaran secara

efektif dan efisien serta mengaktifkan dan meningkatkan kegiatan

penerapan disiplin sekolah dan tata tertib sekolah.

b. Meningkatkan prestasi dalam bidang ekstrakurikuler sesuai dengan potensi

yang dimiliki.

c. Mengaktifkan kegiatan keagamaan, kegiatan bimbingan konseling,

kegiatan pelayanan perpustakaan dan laboratorium.

d. Mengupayakan terciptanya sikap rindu datang ke sekolah bagi semua

warga sekolah pada setiap hari belajar dan bekerja.

e. Menyelenggarakan program pendidikan yang senantiasa berakar pada

sistem nilai, adat istiadat, agama dan budaya masyarakat yang berkembang

dengan tetap mengedepankan dan mengikuti perkembangan dunia.

4.1.3. Ketenagaan SLB-E Negeri Pembina Medan

Ketenagaan di SLB-E Negeri Pembina Medan berjumlah 64 orang, adapun

pembagiannya adalah sebagai berikut:

1. Kepala Sekolah

2. Wakil Kepala Sekolah

3. Bendahara

4. PKS

5. Guru

6. Tata Usaha

(50)

8. Keamanan

4.1.4. Fasilitas SLB-E Negeri Pembina Medan

SLB-E Negeri Pembina Medan memiliki fasilitas-fasilitas yang diperlukan

dalam menangani anak-anak berkebutuhan khusus antara lain:

1. Ruang Kelas

2. Ruang Keterampilan

3. Ruang Terapi Fisik dan Artikulasi

4. Bengkel Kerja

5. Ruang ICT

6. Ruang Kedap Suara

7. Gymnasium

8. Lapangan Olahraga

9. Perpustakaan

10. Kantin

11. Aula

12. Asrama

4.1.5. Proses Belajar-Mengajar di SLB-E Negeri Pembina Medan

Proses Belajar-Mengajar di SLB-E Negeri Pembina Medan sama halnya

seperti sekolah umum yang lain berlangsung dari hari Senin hingga Sabtu, hanya

saja waktunya lebih singkat. Waktu belajar di SLB-E Negeri Pembina Medan

dimulai dari pukul 07.45-11.00 untuk murid tingkat SD dan 07.45-12.30 untuk

murid tingkat SMP dan SMA.

Berbeda dengan guru di sekolah umum yang hanya mengajarkan mata

(51)

pengembangan diri dan Program Khusus Bina Pribadi dan Sosial sesuai dengan

kebutuhan anak didik. Pengembangan diri bertujuan memberi kesempatan kepada

anak didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan bakat

dan minat dengan cara mengajarkan keterampilan kepada anak didik. Adapun

keterampilan-keterampilan yang diajarkan pada pengembangan diri yaitu:

tataboga, tatabusana, pertamanan, perikanan, musik, otomotif, las, perkayuan, tari,

acupressure.

4.2. Karakteristik Guru Tunarungu dan Guru Tunagrahita SLB Negeri Pembina Medan

Secara umum dapat digambarkan karakteristik individu berdasarkan umur,

jenis kelamin, status perkawinan, dan masa kerja.

4.2.1. Umur

Tabel 1. Distribusi Guru Tunarungu dan Tunagrahita Menurut Umur di SLB-E Negeri Pembina Medan Tahun 2011

N o

Umur (Thn) Guru SLB N Pembina Medan Total %

Tunarungu

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa secara keseluruhan umur responden

terbanyak pada kelompok umur 40–49 tahun berjumlah 10 orang (55,6%). Jika

dilihat per jenis guru, maka pada guru tunarungu yang terbanyak adalah kelompok

(52)

tunagrahita umur terbanyak adalah kelompok umur 30–39 tahun yang berjumlah

6 orang (33,3%).

4.2.2. Jenis Kelamin

Tabel 2. Distribusi Guru Tunarungu dan Tunagrahita Menurut Jenis Kelamin di SLB-E Negeri Pembina Medan Tahun 2011

N o

Jenis Kelamin

Guru SLB N Pembina Medan Total % Tunarungu

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat secara keseluruhan sebagian besar

pegawai adalah perempuan sebanyak 11 orang (61,1 %). Jika dilihat per jenis

guru, maka guru yang paling banyak pada bagian tunarungu adalah perempuan

yang berjumlah 5 orang (27,8%), sama halnya dengan guru pada bagian

tunagrahita yang paling banyak adalah perempuan yang berjumlah 6 orang

(33,3%).

4.2.3. Status Perkawinan

Tabel 3. Distribusi Guru Tunarungu dan Tunagrahita Menurut Status Perkawinan di SLB-E Negeri Pembina Medan Tahun 2011

N o

Status Perkawinan

Guru SLB N Pembina Medan Total %

Tunarungu

(53)

4.2.4. Masa Kerja

Tabel 4. Distribusi Guru Tunarungu dan Tunagrahita Menurut Masa Kerja di SLB-E Negeri Pembina Medan Tahun 2011

N o

Masa Kerja (Thn)

Guru SLB N Pembina Medan Total % Tunarungu

guru tunagrahita mempunyai masa kerja terbanyak antara 1-5 tahun, dengan guru

tunarungu berjumlah 4 orang (22,2%) dan guru tunagrahita 7 orang (38,9).

4.2.5. Tingkat Pendidikan

Tabel 5. Distribusi Guru Tunarungu dan Tunagrahita Menurut Tingkat Pendidikan di SLB-E Negeri Pembina Medan Tahun 2011

N o

Tingkat Pendidikan

Guru SLB N Pembina Medan Total % Tunarungu

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat secara keseluruhan hampir semua

guru tingkat pendidikannya adalah sarjana yang berjumlah 16 orang (88,8 %)

untuk guru tunarungu sebanyak 6 orang (33,3%) dan tunagrahita 10 orang

(54)

No Pertanyaan Guru Tunarungu (n) x SD Guru Tunagrahita (n) x SD

5. Tugas-tugas yang harus saya tangani menyebabkan beban kerja saya bertambah

2 4 2 2 1 4 2 2,43 1,134 2 2 2 2 1 2 2 3 2 2 2 2,00 0,447

6. Murid yang saya ajar terlalu banyak 2 2 2 2 1 2 1 1,71 0,488 2 2 2 2 1 2 2 2 2 3 4 2,18 0,751

7. Sarana dan prasarana di sekolah tidak memadai 2 2 2 2 1 2 2 1,86 0,378 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 1,91 0,302

8. Deadline/ batas waktu pekerjaan yang ditetapkan

sering membebani saya

2 2 2 2 1 2 3 2,00 0,577 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 4 2,18 0,603

9. Saya merasa kewalahan dengan target kerja yang terlalu tinggi

2 2 2 2 1 3 3 2,14 0,690 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 4 2,09 0,701

10. Terlalu sedikit kebebasan dalam susunan pekerjaan saya 2 2 2 2 1 3 2 2,00 0,577 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 1,91 0,302 11. Saya merasa tertekan menempatkan pekerjaan saya di

atas segalanya

2 2 2 2 1 3 2 2,00 0,577 2 3 2 2 1 2 2 2 2 2 3 2,09 0,539

12. Saya merasa waktu istirahat saya di sekolah kurang 3 2 2 2 1 2 2 2,00 0,577 2 3 2 2 1 2 2 2 2 2 3 2,09 0,539 13. Saya kewalahan akibat sejumlah guru tidak masuk

karena cuti/sakit dalam waktu yang lama

3 4 2 2 1 3 3 2,57 0,976 3 3 2 2 2 3 2 4 3 2 3 2,64 0,647

14. Saya merasa tertekan terhadap tuntutan orangtua mengenai perkembangan anak mereka

2 2 2 2 1 3 4 2,29 0,951 2 3 2 1 2 2 2 2 1 3 3 2,09 0,701

Kontrol 1,90 0,499 1,88 0,454

15. Saya tidak mempunyai kontrol dalam mengatur pekerjaan saya

2 2 2 2 1 2 1 1,71 0,488 2 2 1 2 2 2 2 2 1 2 2 1,82 0,405

16. Saya merasakan hari-hari selama di sekolah penuh dengan stres

2 4 2 2 1 2 2 2,14 0,900 2 2 2 1 1 2 2 4 1 3 2 2,00 0,894

17. Saya tidak diberi kebebasan untuk menggunakan inisiatif saya sendiri dalam mengajar

2 2 2 2 1 2 2 1,86 0,378 2 2 2 2 1 2 2 2 1 2 2 1,82 0,405

Dukungan 2,10 0,656 2,08 0,371

18. Saya tidak menerima bantuan yang saya perlukan dalam melakukan pekerjaan saya

2 2 3 2 1 2 2 2,00 0,577 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2,00 0,000

19. Pelatihan yang diberikan oleh sekolah kurang efektif 2 4 2 2 1 3 2 2,29 0,951 2 3 2 2 2 2 2 2 2 3 3 2,27 0,467 20. Saya merasa kesulitan ketika berurusan dengan

(55)

Efektif

26. Saya kuatir mengenai perkembangan karir saya 2 2 2 2 1 3 2 2,00 0,577 2 3 2 2 1 2 2 2 2 2 3 2,09 0,539

27. Saya merasa terasing ketika berada di ruang guru 2 2 2 2 1 2 2 1,86 0,378 2 2 2 1 1 2 2 2 1 1 2 2,09 1,640 28. Saya hanya menerima sedikit pelatihan yang saya

perlukan dalam menjalankan tugas saya

2 4 3 2 1 4 2 2,57 1,134 3 2 2 2 3 4 2 2 2 3 2 2,64 0,809

Hubungan di Sekolah 2,26 0,707 2,51 0,505

29. Saya sering mengalami konflik dengan atasan di sekolah 2 2 1 1 1 2 1 1,43 0,535 2 3 2 1 1 2 1 2 1 1 2 1,64 0,674 30. Saya sering mengalami konflik dengan rekan di sekolah 2 4 2 1 1 2 1 1,86 1,069 2 3 2 1 1 2 1 4 1 1 2 1,82 0,982 31. Saya tidak bisa dekat dengan dengan atasan dan rekan

(56)

Kuesioner yang digunakan untuk penelitian ini adalah kuesioner stres

kerja yang disusun berdasarkan sumber stres kerja (stressor) oleh NUT (National

Union of Teacher). Stressor terdiri dari 6 variabel yang berkontribusi terhadap

kejadian stres kerja pada guru yaitu: Tuntutan, Kontrol, Dukungan, Hubungan di

Sekolah, Peran dan Perubahan.

Dengan melihat nilai rata-rata (mean) dari tiap-tiap pertanyaan yang

terdapat pada kuesioner, dapat diketahui pertanyaan-pertanyaan dan

variabel-variabel mana saja yang menjadi stressor bagi guru.

Pada variabel Tuntutan sejumlah guru menyatakan kewalahan karena

sejumlah guru tidak masuk (pertanyaan no. 13, x = 2,61), merasa tugasnya terlalu

banyak (pertanyaan no. 5, x = 2,17) dan merasa tertekan terhadap tuntutan orang

tua terhadap perkembangan anaknya (pertanyaan no. 14, x = 2,17).

Pada variabel Kontrol sejumlah guru menyatakan bahwa hari-hari

disekolah penuh dengan stres (pertanyaan no. 16, x = 2,06).

Pada variabel Dukungan sejumlah guru menyatakan pelatihan yang

diberikan terlalu sedikit (pertanyaan no. 28, x = 2,61) dan pelatihan yang

diberikan sekolah kurang efektif (pertanyaan no. 19, x = 2,28).

Pada variabel Hubungan di Sekolah sejumlah guru menyatakan bahwa

mereka harus menangani murid yang bermasalah (pertanyaan no. 33, x = 3,44)

dan menangani murid yang tempramen (pertanyaan no. 34, x = 3,28). Sejumlah

guru juga menyatakan peduli dengan kekerasan yang dilakukan orang tua murid

Gambar

Tabel 1. Distribusi Guru Tunarungu dan Tunagrahita Menurut Umur di
Tabel 2. Distribusi  Guru  Tunarungu  dan  Tunagrahita  Menurut  Jenis  Kelamin di SLB-E Negeri Pembina Medan Tahun 2011
Tabel 4. Distribusi Guru Tunarungu dan Tunagrahita Menurut Masa Kerja di SLB-E Negeri Pembina Medan Tahun 2011
Tabel 6. Nilai Rata-Rata ( x ) dan Standar Deviasi (SD) Kuesioner Stres Kerja
+2

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis adanya perbedaan tingkat depresi antara guru yang mengajar di SLB Negeri Surakarta dengan guru yang mengajar

Hasil penelitian diketahui bahwa : (1) pengembangan media papan magnetik pada kompetensi pengenalan piranti menjahit bagi siswa tunagrahita SMPLB di SLB Negeri

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengembangkan media papan flanel pada mata pelajaran membuat lenan rumah tangga bagi siswa tunagrahita SMPLB di SLB Negeri Pembina

Populasi dalam penelitian ini adalah anak tunagrahita ringan usia 13-15 tahun di SLB Negeri Pembina Yogyakarta yang berjumlah 22 siswa.. Teknik analisis data menggunakan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab stres kerja pada guru kelas autis di Unit Pelaksana Teknis Sekolah Luar Biasa E Negeri Pembina

Skripsi yang berjudul “KEMAMPUAN ANAK TUNAGRAHITA RINGAN DALAM BINA DIRI MEMASAK LAPIS SINGKONG DI SLB NEGERI PEMBINA YOGYAKARTA“ yang disusun oleh Nurhasanah,

Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan ketrampilan menulis pada siswa Tunarungu khususnya kelas XI Tunarungu di SLB Pembina Tingkat Nasional Bagian C Malang,

Adapun secara khusus, penelitian dengan judul Studi Kasus Lukisan Damar Penyandang Tunagrahita Sedang di SLB N Pembina Yogyakarta dipilih sebagai upaya untuk