• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Sistem Agroforestry Berbasis Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kajian Sistem Agroforestry Berbasis Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN SISTEM AGROFORESTRY

BERBASIS SALAK DI KABUPATEN

TAPANULI SELATAN

TESIS

Oleh

IDASARI SIREGAR

NIM. 107001033

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

PASCASARJANA FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KAJIAN SISTEM AGROFORESTRY

BERBASIS SALAK DI KABUPATEN

TAPANULI SELATAN

TESIS

Untuk memperoleh Gelar Magister Pertanian dalam Program Studi Agroekoteknologi Pascasarjana

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

Oleh

IDASARI SIREGAR

NIM. 107001033

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

PASCASARJANA FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul : KAJIAN SISTEM AGROFORESTRY BERBASIS SALAK DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN Nama Mahasiswa : Idasari Siregar

NIM : 107001033

Program Studi : Agroekoteknologi

Menyetujui Komisi Pembimbing :

Ketua, Anggota,

Prof.Dr.Ir. Abdul Rauf, MP Rahmawaty, S.Hut,M.Si,Ph.D

Ketua Program Studi, Dekan,

Prof.Dr.Ir. Abdul Rauf, MP Prof.Dr.Ir. Darma Bakti, MS

(4)

Telah diuji pada hari : Senin

Tanggal : 11 Pebruari 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof.Dr.Ir. Abdul Rauf, MP Anggota : Rahmawaty, S.Hut,M.Si, Ph.D

Dr.Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS Dr. Deni Elfiati, MP

(5)
(6)

ABSTRAK

Idasari Siregar. Kajian Sistem Agroforestry Berbasis Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan. Dibimbing oleh Abdul Rauf dan Rahmawaty.

(7)

ABSTRACT

Idasari Siregar. Salak-Based Agroforestry System Study in Tapanuli Selatan District, supervised by Abdul Rauf and Rahmawaty.

Most of the salak farmers in Tapanuli Selatan District apply the agroforestry system in their farm land. The study aimed to classify agroforestry system salak-based into several types and sub-types based on their constituent components,to evaluate the impact of the salak-based agroforestry system to the soil characteristics and the income of the farmers, and to obtain the most appropriate and sustainable type of salak-based agroforestry system in Tapanuli Selatan District. This study employed descriptive analysis and Analytical Hirarchy Process (AHP) methods. The results of this study showed that the salak-based agroforestry system salak-salak-based consist of agrisilvicultural type with ASCkpb and ASCkpbs sub-types, agrosilvopastural type with ASPkpbt and ASPkpbst sub-types, and agroaquaforestry type with AQFkpbi and AQFkpbsi sub-types. Based on the net income, the highest net income was obtained from agrisilvicultural type consisting of the combination of trees, plantation crops, fruit trees, and seasonal crops (ASCkpbs). The results of soil chemical characteristic analysis showed the lowest N elements was found in agroaquaforestry type, while the highest N element was found in agrosilvopastural type. The elements of P and K in agrosilvopastural type was higher compared that of the other agroforestry types. The C-organic in agroaquaforestry and agrisilvicultural types was lower compared to that of agrosilvopastural type. The result of AHP showed that the most appropriate and sustainable type of salak-based agroforestry system in Tapanuli Selatan District was agrosilvopastural type.

Keywords: Salak, Agroforestry, Tapanuli Selatan.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul : “Kajian Sistem Agroforestry Berbasis Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan”. Selesainya tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Prof.Dr.Ir.Abdul Rauf,MP, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan mulai dari awal penelitian hingga tesis ini dapat diselesaikan.

2. Rahmawaty,S.Hut,M.Si,Ph.D, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan masukan hingga tesis ini dapat diselesaikan. 3. Dr.Ir.Edy Batara Mulya Siregar,MS, selaku dosen penguji yang telah memberi

banyak masukan demi kelengkapan tesis ini.

4. Dr.Deni Elfiati,MP, selaku dosen penguji yang telah memberi banyak masukan demi kelengkapan tesis ini.

5. Prof.Dr.Ir.Erwin Masrul Harahap,MS, selaku dosen penguji yang telah memberikan saran untuk kelengkapan tesis ini.

(9)

7. Prof.Dr.Ir.Darma Bakti,MS, selaku Dekan Program Studi Agroekoteknologi Pascasarjana Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara dan Prof.Dr.dr.Syahril Pasaribu,DTM&H,M.Sc(CTM),Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

8. Seluruh rekan mahasiswa Program Studi AET angkatan 2010, serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

9. Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Ayahanda Mukmin Yus Siregar, SH (alm) dan Ibunda Darlia Harahap, mertua Timan Harahap (alm) dan Jadiatas (alm), atas dorongan dan doa yang telah diberikan selama ini.

10.Khusus kepada suami tercinta Mhd.Rasad,SH serta anak-anak tersayang Sofyan dan Arifin yang dengan sabar dan ikhlas mendampingi penulis dalam mengatasi segala kesulitan yang dihadapi sejak dari awal penelitian hingga selesainya tesis ini.

Akhirnya kepada semua pihak yang telah banyak membantu dan tak dapat penulis urutkan namanya satu demi satu, penulis ucapkan terima kasih. Semoga amalan baik yang telah diberikan akan mendapat pahala yang setimpal dari Allah SWT. Amin Yaa Rabbal Alamin.

Padangsidimpuan, Oktober 2012

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 14 Oktober 1966 di Binjai Sumatera Utara. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara, puteri dari Bapak Mukmin Yus Siregar, SH (alm.) dan Ibu Darlia Harahap. Pada tahun 1980 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 12 Binjai, tahun 1983 lulus dari Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Padangsidimpuan, dan tahun 1986 lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri 4 Padangsidimpuan. Pada tahun 1991 penulis memperoleh gelar Sarjana Kehutanan (S1) pada Fakultas Kehutanan, Jurusan Manajemen Hutan, Universitas Mulawarman Samarinda. Pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Agroekoteknologi Pascasarjana Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, dan selesai tahun 2013. Pada tahun 1997 penulis diangkat sebagai staf di Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah Kabupaten Tapanuli Selatan. Pada tahun 2000 penulis dimutasikan ke Dinas Kehutanan Kabupaten Tapanuli Selatan sebagai staf pada Dinas tersebut sampai dengan sekarang.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ……….. ... i

ABSTRACT……… ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ……… iv

DAFTAR ISI …... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Kegunaan Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

A. Sistem Agroforestry ……... 6

B. Sistem Agroforestry Berbasis Salak ... 8

C. Klassifikasi Sistem Agroforestry... ... 11

D. Keuntungan dan Kelemahan Sistem Agroforestry ... 13

1. Keuntungan Sistem Agroforestry ……… 13

2. Kelemahan Sistem Agroforestry... 15

3. Mengatasi Kelemahan Sistem Agroforestry …... 16

E. Sifat Tanah pada Beberapa Tipe Penggunaan Lahan ... 16

(12)

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN ... 29

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1 Estimasi Persentase Usahatani Tanaman Salak Berdasarkan Sistem

Pengusahaannya ... 8

2 Deskripsi Usahatani Salak yang Dilakukan Petani …….……….. 9 3 Pemasaran salak dari Kabupaten Malang ke luar Wilayah

Kabupaten... 9

4 Keadaan Sosio-Teknologi Budidaya Salak di Wilayah Kabupaten Malang ...

10

5 Analisis Keuntungan Usahatani kebun Salak ……… 11 6 Hasil Analisis Sifat Kimia Tanah pada Beberapa Pola Agroforestry di

Desa Cikanyere ……….. 17 7 Nilai Skala AHP ... 26 8 Nilai Indeks Konsistensi Random ………. 27 9 Sasaran dan Teknik Pengumpulan Data Pada Kajian Sistem

Agroforestry Berbasis Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan ………... 31 10 Subtipe Agroforestry Berbasis Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan,

berdasarkan Komponen Penyusunnya, Tahun 2012……….. 35

11 Distribusi petani agroforestry berdasarkan tingkat penghasilan kotor dan tingkat penghasilan bersih dari sistem agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan……….

49

12 Subtipe Agroforestry Berbasis Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan, berdasarkan tingkat penghasilan bersih, Tahun 2012……….

50

13 Komposisi petani agroforestry berdasarkan jumlah anggota keluarga dari Sistem agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan

51

14 Rekapitulasi Hasil Akhir Perhitungan Kriteria …………... 54 15 Hubungan Sistem Agroforestry Berbasis Salak Terhadap Sifat Tanah

di Kabupaten Tapanuli Selatan………. 55

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1 Tahapan penelitian kajian sistem agroforestry berbasis salak di

Kabupaten Tapanuli Selatan ………... 30

2 Struktur hierarki tipe agroforestry berbasis salak yang sesuai dan berkesinambungan ...

33

3 Skema subtipe agrisilvikultural berbasis salak kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012 ………

37

4 Subtipe agrisilvikultural berbasis salak kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan (ASCkpb) di Desa Padang Lancat, Kec. Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012 ………

37

5 Skema subtipe agrisilvikultural berbasis salak kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan, dan tanaman semusim di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012 ……… 39 6 Subtipe agrisilvikultural berbasis salak kombinasi pohon kayu,

tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan dan tanaman semusim (ASCkpbs) di Desa Situmbaga Julu, Kec. Angkola Selatan, Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012 ………

39

7 Skema subtipe agrosilvopastural berbasis salak kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan, dan rumput pakan ternak di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012 …………

40

8 Subtipe agrosilvopastural berbasis salak kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan dan rumput pakan ternak (ASPkpbt) di Desa Aek Tinjak, Kec. Angkola Barat, Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012 ………

41

9 Skema subtipe agrosilvopastural berbasis salak kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan, tanaman semusim dan rumput pakan ternak di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012

43

10 Subtipe agrosilvopastural berbasis salak kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan, tanaman semusim dan rumput pakan ternak (ASPkpbst) di Desa Padang Natikko, Kec. Angkola Timur, Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012 ………….

43

11 Skema subtipe agroaquaforestry berbasis salak kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan, dengan kolam ikan di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012 ………

44

12 Subtipe agroaquaforestry berbasis salak kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan, dengan kolam ikan (AQFkpbi) di Desa Sanggarudang Tobotan, Kecamatan Angkola Barat, Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012 ……….

(15)

Nomor Halaman 13 Skema subtipe agroaquaforestry berbasis salak kombinasi pohon

kayu, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan, tanaman semusim dengan kolam ikan di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012 ……….

46

14 Subtipe agroaquaforestry berbasis salak kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan, tanaman semusim dengan kolam ikan (AQFkpbsi) di Desa Sibongbong, Kec. Angkola Selatan, Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012 ……….

46

15 Persentase petani agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan berdasarkan KHM dan KHL Tahun 2012 ...

52

16 Hubungan antara suhu tanah dengan tipe agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli SelatanTahun 2012...

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1 Komoditi Tanaman Buah-buahan yang terdapat pada Sistem

Agroforestry Berbasis Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012………

64

2 Komoditi Tanaman Pangan yang terdapat pada Sistem Agroforestry Berbasis Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012…………..

64

3 Komoditi Tanaman Perkebunan dan Industri yang terdapat pada Sistem Agroforestry Berbasis Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012……….

65

4 Komoditi Tanaman Hutan yang terdapat pada Sistem Agroforestry Berbasis Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012…………..

65

5 Komoditi Tanaman Sayuran yang terdapat pada Sistem Agroforestry Berbasis Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012…………..

66

6 Kolam, rumput, dan keladi yang terdapat pada Sistem Agroforestry Berbasis Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012…………..

66

7 Distribusi Petani Agroforestry Berbasis Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan berdasarkan kelas kemiringan lereng Tahun 2012………

66

8 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe agrisilvikultural model Miil Azhar Siregar………...

67

9 Komposisi dan produksi sistem agroforestry berbasis salak tipe agrisilvikultural model Ganda Nainggolan………...

67

10 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe agrosilvopastural model Sutan Ritonga……….

68

11 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe agroaquaforestry model Maraganti Siregar………

68

12 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe agrosilvopastural model Muslim Siregar………...

69

13 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe agrisilvikultural model Mara Muda Siregar………...

69

14 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe agrosilvopastural model Agus Salim Siregar………..

70

15 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe agrisilvikultural model Abu Dahrun Pasaribu………..

70

16 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe agrisilvikultural model Ali Naruddin……..………..

71

17 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe agrisilvikultural model Akhmad Harahap………..

(17)

Nomor Halaman 18 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe

agrisilvikultural model Akhir Siregar………. 72

19 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe agroaquaforestry model Mardin Samosir………..

72

20 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe agrisilvikultural model Samuddin Simamora……..………..

73

21 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe agrisilvikultural model Mara Halim Siregar………..

73

22 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe agrisilvikultural model Malim……….………..

74

23 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe agrisilvikultural model Nazaruddin Harahap………..

74

24 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe agroaquaforestry model Samsuddin Harahap………..

75

25 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe agrisilvikultural model Mawardi Siregar…………..………..

75

26 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe agrisilvikultural model Rapotan…………...………..

76

27 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe agrosilvopastural model Irwan Efendi Sikumbang..………..

76

28 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe agrosilvopastural model Muklis Sarumpaet………..

77

29 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe agrisilvikultural model Judan Siregar……...………..

77

30 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe agrisilvikultural model Basarullah Rambe…...………..

78

31 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe agrosilvopastural model Safruddin Lubis….………..

78

32 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe agrisilvikultural model Akhiruddin Batubara..………..

79

33 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe agrisilvikultural model Irsan Siregar………...………..

79

34 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe agroaquaforestry model Irwan Siregar…..…...………..

80

35 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe agrosilvopastural model Sawali Sihombing...……….

80

36 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe agrisilvikultural model Irwan Tambunan.…...………..

(18)

Nomor Halaman

37 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe

agrisilvikultural model Nuraini………….…...……….. 81

38 Data Responden ahli……… 82

39 Kuisioner Analytical Hierarchy Process……….. 83

40 Responden ahli penyebaran kuisioner AHP………. 85

41 Overall inconsistency alternatif………... 86

42 Sifat kimia dan fisika tanah pada beberapa subtipe agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012………… 87 43 Tabel rataan tahunan curah hujan Kecamatan Batang Angkola…….. 88

44 Tabel rataan tahunan curah hujan Kecamatan Batangtoru…………... 88

45 Tabel rataan tahunan curah hujan Kecamatan Angkola Barat………. 88

(19)
(20)

ABSTRAK

Idasari Siregar. Kajian Sistem Agroforestry Berbasis Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan. Dibimbing oleh Abdul Rauf dan Rahmawaty.

(21)

ABSTRACT

Idasari Siregar. Salak-Based Agroforestry System Study in Tapanuli Selatan District, supervised by Abdul Rauf and Rahmawaty.

Most of the salak farmers in Tapanuli Selatan District apply the agroforestry system in their farm land. The study aimed to classify agroforestry system salak-based into several types and sub-types based on their constituent components,to evaluate the impact of the salak-based agroforestry system to the soil characteristics and the income of the farmers, and to obtain the most appropriate and sustainable type of salak-based agroforestry system in Tapanuli Selatan District. This study employed descriptive analysis and Analytical Hirarchy Process (AHP) methods. The results of this study showed that the salak-based agroforestry system salak-salak-based consist of agrisilvicultural type with ASCkpb and ASCkpbs sub-types, agrosilvopastural type with ASPkpbt and ASPkpbst sub-types, and agroaquaforestry type with AQFkpbi and AQFkpbsi sub-types. Based on the net income, the highest net income was obtained from agrisilvicultural type consisting of the combination of trees, plantation crops, fruit trees, and seasonal crops (ASCkpbs). The results of soil chemical characteristic analysis showed the lowest N elements was found in agroaquaforestry type, while the highest N element was found in agrosilvopastural type. The elements of P and K in agrosilvopastural type was higher compared that of the other agroforestry types. The C-organic in agroaquaforestry and agrisilvicultural types was lower compared to that of agrosilvopastural type. The result of AHP showed that the most appropriate and sustainable type of salak-based agroforestry system in Tapanuli Selatan District was agrosilvopastural type.

Keywords: Salak, Agroforestry, Tapanuli Selatan.

(22)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salak merupakan salah satu buah tropis yang banyak diminati orang karena memiliki keunggulan baik dari segi rasa maupun penampilan buahnya. Ada 3 (tiga) jenis salak yang terdapat di Indonesia, yakni : salak Jawa Salacca zalacca

(Gaertner Voss) yang berbiji 2 – 3 butir, salak Bali Salacca amboinensis (Becc Mogea) yang berbiji 1 – 2 butir, dan salak Padangsidimpuan Salacca sumatrana

(Becc) yang berdinding merah.

Sebagian daerah di Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan penghasil salak yang dikenal dengan nama salak Padangsidimpuan. Tampilan buahnya cukup menggiurkan, berukuran besar dibandingkan dengan salak lainnya, berkulit hitam kekuningan. Ada beberapa varietas salak yang telah terdaftar dalam buah unggul nasional asal Sumatera Utara, yaitu salak Padangsidimpuan merah, dan Salak Padangsidimpuan putih. Salak Padangsidimpuan merah memiliki sejumlah ciri khas, seperti warna daging buah merah atau warna daging buah putih semburat merah dengan rasa daging buah kombinasi manis, masam, dan sepat. Begitu juga dengan salak Padangsidimpuan putih yang memiliki daging buah berwarna putih dengan rasa manis, masam, dan sepat.

(23)

Tanaman salak dapat ditanam dengan jarak tanam yang lebih rapat. Kerapatan tanam selain dapat menambah jumlah populasi, yang berarti jumlah tanaman produktif lebih banyak, juga berfungsi untuk konservasi alam. Akar tanaman salak akan membantu menahan tanah dari erosi yang sering terjadi di lereng pegunungan atau lereng-lereng bukit.

Potensi suatu daerah untuk pengembangan suatu komoditas pertanian pada umumnya ditentukan oleh kecocokan antara sifat fisik lingkungan (dalam hal ini mencakup iklim, tanah, topografi) dengan persyaratan tumbuh tanaman. Kecocokan antara sifat fisik lingkungan dari suatu daerah dengan persyaratan tumbuh tanaman dapat memberikan informasi bahwa komoditas tersebut potensial dikembangkan di daerah bersangkutan. Agar tanah dapat melaksanakan fungsi-fungsi diatas maka perlu disediakan kondisi tanah yang sesuai bagi tanaman tersebut. Tanaman salak mempunyai perakaran yang dangkal. Tanah yang cocok adalah tanah yang banyak mengandung bahan organik, mampu menyimpan air tetapi tidak mudah tergenang, gembur, dan secara kualitatif mengandung zat-zat hara utama bagi tanaman.

(24)

Sebagian besar petani salak yang terdapat di Kabupaten Tapanuli Selatan menerapkan sistem agroforestry. Banyak ahli mendefinisikan agroforestry sebagai “suatu sistem manajemen lahan yang berkelanjutan untuk meningkatkan variasi hasil lahan dengan mengkombinasikan antara tanaman hutan dan atau hewan secara simultan atau berurutan dalam unit lahan yang sama dan dengan aplikasi pengelolaan yang sesuai budaya masyarakat setempat”. Mereka menanam tanaman semusim (seasonal crop) di sela tanaman keras (tree) dengan mengandalkan sumber daya alam yang ada. Petani biasanya tidak melakukan pemupukan dan perawatan intensif. Petani juga belum memperhatikan jenis tanaman sela. Akibatnya hasil yang diperoleh relatif kecil. Perpaduan antara tanaman pohon dengan tanaman pertanian dikenal dengan nama Agrisilvicultural (Nair, 1989b; Chundawat dan Gautam, 1993; Lal, 1995).

Pengelolaan lahan dengan menanam berbagai jenis tanaman keras sebagai penaung tanaman salak (agroforestry berbasis tanaman pertanian atau musiman) telah banyak dilakukan petani salak di Kabupaten Tapanuli Selatan. Tanaman keras yang ditanam sebagai penaung tanaman salak seperti : karet, durian, pokat, langsat, petai, jengkol, kelapa, dan dadap membuat keragaman hayati sehingga ekosistem menjadi lebih stabil. Untuk itu, keberadaan sistem agrofotrestry yang merupakan salah satu bentuk sistem pertanian konservasi (SPK) ini perlu dikembangkan agar sumberdaya lahannya dapat secara ekologis lestari, secara ekonomis menguntungkan dan secara agronomis memberikan hasil yang tinggi secara berkesinambungan (sustainable).

(25)

Kabupaten Tapanuli Selatan terhadap sifat tanah dan penghasilan petani serta memperoleh sistem agroforestry berbasis salak yang paling sesuai dan berkesinambungan.

B. Perumusan Masalah

Sistem agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan sudah banyak dilakukan para petani, tetapi masih menerapkan budidaya tradisionil dengan menanam tanaman semusim (seasonal crop) di sela tanaman keras (tree) dan atau ternak pada saat bersamaan atau berurutan. Tanaman keras yang ditanam sebagai penaung tanaman salak seperti : karet, durian, pokat, langsat, petai, jengkol, kelapa, dan dadap, sedangkan ternaknya bebek serta kolam ikan. Hal itu membuat keragaman hayati sehingga ekosistem menjadi lebih stabil.

Permasalahannya adalah belum pernah dilakukan inventarisasi sistem agroforestry berbasis salak yang telah ada di Kabupaten Tapanuli Selatan. Beberapa faktor yang terkait dengan masalah ini adanya keragaman jenis, populasi, dan tata letak komponen agroforestry berbasis salak. Selain itu bagaimana dampak sistem agroforestry berbasis salak terhadap penghasilan petani.

(26)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengklasifikasikan sistem agroforestry berbasis salak yang terdapat di Kabupaten Tapanuli Selatan kedalam beberapa tipe dan subtipe berdasarkan komponen penyusunnya.

2. Mengevaluasi dampak sistem agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan terhadap penghasilan petani.

3. Memperoleh tipe agroforestry berbasis salak yang paling sesuai dan berkesinambungan di Kabupaten Tapanuli Selatan.

D. Kegunaan Penelitian

Diharapkan dengan penelitian ini :

1. Tersedia data dan informasi mengenai tipe dan subtipe agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan.

2. Bahan pertimbangan bagi petani pelaksana sistem agroforestry berbasis salak dalam menerapkan tipe agroforestry.

(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistem Agroforestry

Agroforestry mengacu pada sistem penggunaan lahan dimana pepohonan tumbuh bergabung dengan tanaman pertanian, rumput-rumputan atau ternak. Gabungannya boleh jadi waktu, seperti rotasi antara pepohonan dengan komponen lain, atau di ruang dengan komponen-komponen tumbuh bersama pada lahan yang sama. Selalu ada interaksi antara ekologi dan ekonomi antara pepohonan dengan komponen lain dari sistem tersebut. Adanya interaksi antara ekologi yang memiliki ciri-ciri yang paling khusus yang mengambil tempat di atas tanah (seperti penaungan, evapotranspirasi), di bawah tanah (seperti interaksi akar dengan masing-masing air dan unsur hara) melalui transfer biomassa, ketika serasah pohon atau pangkasan ditambahkan pada tanah (Young, 1997). Selanjutnya Young (1997) menyatakan tumbuh-tumbuhan tahunan yang berkayu termasuk pohon-pohonan, semak belukar, kelapa, bambu temasuk pada kata “pohon-pohonan”. Dalam kasus yang terkecuali, tanaman berkayu yang tumbuh kurang dari satu tahun ( seperti

Sesbania spp.) juga dimasukkan.

(28)

Nair (1989a) mengemukakan bahwa agroforestry adalah suatu sistem penggunaan lahan : (a) tanaman tahunan dan tanaman perdu tumbuh bersama-sama dalam campuran dengan pembagian tapak dan/atau secara berurutan dengan atau tanpa hewan, dan (b) menghasilkan lebih besar keuntungan pada penggunaan lahannya daripada mengusahakan tanaman pertanian atau hutan saja. Keuntungan dimaksud termasuk satu atau lebih dari kriteria berikut : terjadi keberlanjutan kesuburan tanah, konservasi tanah, peningkatan hasil, memperkecil resiko kerusakan atau kegagalan tanaman, kemudahan pengelolaan dan pengendalian hama serta penyakit, dan/atau lebih dapat memenuhi kebutuhan sosial ekonomi masyarakat setempat.

Satjapradja (1981) telah mengumpulkan beberapa pengertian agroforestry yang kemudian memberikan batasan umum sebagai suatu bentuk pemanfaatan lahan secara optimal pada suatu tapak yang mengusahakan produksi biologis berdaur pendek dan berdaur panjang (komoditi pertanian dan kehutanan), membentuk tajuk yang berlapis-lapis, berdasarkan kelestarian, baik ditanam secara serentak maupun berurutan di dalam dan/atau di luar kawasan hutan, untuk kesejahteraan masyarakat.

(29)

Dari definisi-definisi tersebut diatas, Nair (1989a) dan juga Chundawat dan Gautam (1993) membatasi agroforestry dengan kriteria sebagai berikut : a) dalam bentuk yang normal, agroforestry terdiri dari dua atau lebih spesies tanaman (dan/atau hewan), b) agroforestry selalu memiliki dua atau lebih produk, c) siklus dari sistem agroforestry selalu lebih dari satu tahun, dan d) sistem agroforestry lebih komplek daripada sistem monokultur dengan sekaligus memenuhi keuntungan secara ekologis (struktur dan fungsinya) dan keuntungan secara ekonomis.

B. Sistem Agroforestry Berbasis Salak

Penelitian di Kabupaten Malang, Jawa Timur menunjukkan bahwa tanaman salak pada umumnya diusahakan di lahan pekarangan secara sambilan. Estimasi tentang persentase luas pengusahaan salak berdasarkan sistem pengusahaannya disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Estimasi persentase usahatani tanaman salak berdasarkan sistem pengusahaannya

Sistem Pertanian % luasan

1. 2.

3.

Salak diusahakan pada lahan pekarangan dan ruang publik Salak diusahakan pada lahan penghijauan, tegalan dan

tumpangsari dengan tanaman pangan Salak diusahakan pada lahan tegalan secara monokultur

40 – 50

30 ± 5

Sumber: Soemarno et al, 2000.

(30)

Tabel 2. Deskripsi sistem usahatani salak yang dilakukan petani Kondisi aktual 1. Rata-rata jumlah pohon 15 -50 pohon

2. Lahan yang digunakan Lahan pekarangan, tegalan, HRKR 3. Jarak tanam Tidak beraturan

4. Sistim penanaman Sebagian besar berasal dari bibit grafting dan okulasi

5. Jenis Salak yang banyak diusahakan Suwaru dan Lokal

6. Pemangkasan Umumnya dilakukan pada waktu tanaman umur 1-3 tahun 7. Pemupukan Umumnya dilakukan pada waktu tanaman umur 1-2 tahun

8.Pemberantasan hama dan penyakit Jarang dilakukan Sumber: Soemarno et al, 2000.

Ketersediaan sarana produksi untuk pengembangan salak yang terpenting adalah bibit yang kualitasnya baik. Potensi bibit salak di Jawa Timur masih dapat dikembangkan lagi sesuai dengan permintaan pasar. Market share petani dari harga beli konsumen hanya sebesar lebih kurang 45% (Tabel 3).

Tabel 3. Pemasaran salak dari Kabupaten Malang ke luar wilayah Kabupaten

Aktivitas Nilai Pangsa

(Rp/kg buah) (%)

1. Petani

Harga jual di tingkat lahan 1.200 24.00 2. Tengkulak desa

Harga beli

Harga jual ke pengumpul Keuntungan

1.200 2.000

800 16.00

2. Pedagang pengumpul

a. Harga beli dari tengkulak 2.000

b. Biaya 1.000 20.00

c. Harga jual 5.000 100.00

d. Keuntungan 2.000 40.00

Sumber: Soemarno et al, 2000.

(31)

penduduk pada umumnya sudah menguasai syarat minimal, akan tetapi untuk menuju kepada usahatani yang lebih intensif masih diperlukan tambahan informasi teknologi inovatif. Teknologi bibit dan pembibitan, penanaman bibit dan perawatan tanaman, serta fungsi pascapanen sederhana telah dikuasai penduduk (Soemarno et al, 2000). Keadaan sosio teknologi budidaya salak disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Keadaan sosio-teknologi budidaya salak di wilayah Kabupaten Malang

Malang:

Pekarangan Kebun rakyat

I. Bibit dan Pembibitan a. Asal bibit

- Sendiri 75.0 % 35 %

- Membeli 25.0 % 65 %

b. Cara Pembibitan : Biji 75.0 % 65.0

- Sambungan 0.0 % 0.0

- Okulasi 0.0 % 0.0

- Cangkok 25.0 % 35.0

c. Jarak Tanam; m

- Tak teratur 5 x 5 -

- Teratur 10 x 10 12 x 12

d. Sistim Penanaman

- Tumpangsari 100 % 75 %

- Monokultur - 25 %

II. Pemeliharaan

a. Pemangkasan/Benalu 60.00 % 40.75 %

b. Pemupukan 11.00 % 55.00 %

c. Pemberantasan hama penyakit 5.00 % 45.00 %

d. Penyiangan 40.00 % 75.00%

III. Jumlah rata-rata 15-50 pohon 500

pohon setiap orang

Sumber: Soemarno et al, 2000.

Berdasarkan estimasi cash flow selama 20 tahun diperoleh informasi bahwa tanaman salak baru mendatangkan keuntungan setelah umur 5-6 tahun. Sedangkan apabila modalnya berasal dari kredit akan dapat terlunasi pada tahun ke-8-10. Besarnya keuntungan Salak pada "discount rate" 22 persen per tahun dengan "Net

Present Value" (NPV) sekitar Rp.4.000.000,- sedangkan besarnya "Internal Rate of

(32)

secara finansial usahatani salak sangat menguntungkan (Soemarno et al, 2000). Analisis keuntungan usahatani salak disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Analisis keuntungan usahatani kebun salak (untuk setiap hektar pertanaman salak)

Keterangan Keadaan

1. Umur mulai berproduksi 4 tahun

2. Umur impas permodalan 8-10 tahun

3. Net Present Value (NPV)

dengan DF = 22 % Rp. 4.000.000 4. Internal Rate of Return (IRR) 32.00 % 5. Nilai Break Event Point (BEP)

a. Produksi 50 tandan / pohon /th b. Harga Rp. 20-25 / buah Sumber: Soemarno et al, 2000.

C. Klasifikasi Sistem Agroforestry

Keragaman sistem agroforestry dapat dikelompokkan kedalam empat dasar utama (Nair, 1989b; Chundawat dan Gautam, 1993) yaitu (1) berdasarkan strukturnya (structural basis) yang berarti penggolongan sistem agroforestry dilihat dari komposisi komponen penyusunnya (tanaman pertanian, hutan, pakan dan/atau ternak); (2) berdasarkan fungsinya (functional basis), penggolongan sistem agroforestry ditinjau dari fungsinya seperti fungsi produksi dan fungsi proteksi atau perlindungan; (3) berdasarkan sosial ekonominya (socioeconomic basis) yang ditinjau dari segi tingkat pengelolaan dan tujuan komersialnya, serta (4) berdasarkan ekologisnya (ecological basis) yang didasarkan pada kondisi ekologis tempat atau lokasi sistem agroforestry diterapkan atau ditemukan.

Berdasarkan strukturnya, sistem agroforestry dibedakan atas beberapa tipe (Nair, 1989b; Chundawat dan Gautam, 1993; Lal, 1995) : (1) Agrisilvicultural

(33)

tanaman pertanian. Alley cropping, kebun pepohonan multispesies, tanaman pagar, pohon penahan angin dan sejenisnya termasuk kedalam tipe agrisilvicultural; (2)

Silvopastural yaitu sistem agroforestry yang mengkombinasikan tanaman pakan

dan atau ternak dengan tanaman pohon (hutan). Tanaman pohon yang digunakan terutama yang dapat menjadi sumber pakan ternak seperti tanaman leguminosa dan pohon buah-buahan; dan (3) Agrosilvopastural atau sistem campuran yaitu sistem agroforestry yang mengkombinasikan sekaligus tanaman pohon (hutan), tanaman pertanian, dan tanaman pakan dan/atau ternak.

Chundawat dan Gautam (1993) melengkapi tipe agroforestry berdasarkan strukturnya : (1) Apicultural yaitu kombinasi budidaya tanaman pohon dengan pemeliharaan lebah madu, dan (2) Aquaforestry atau Agroaquaforestry yaitu sistem agroforestry yang mengkombinasikan pemeliharaan ikan dengan tanaman pohon (hutan) dan tanaman pertanian. Interaksi antara sistem hutan, pertanian dan kolam ikan merupakan bentuk yang lazim ditemui, selain penanaman pohon bernilai ekonomis yang mampu tumbuh dalam kondisi tergenang (dalam rawa atau gambut) termasuk ke dalam tipe aquaforestry.

(34)

Berdasarkan sosial ekonomis, sistem agroforestry dibedakan atas : (1) tujuan komersial yaitu pengelolaannya dimaksudkan terutama untuk menghasilkan produk bernilai ekonomis tinggi melebihi sistem monokultur; (2) Subsistence yaitu sistem agroforestry yang dikelola tanpa mempertimbangkan input dan output, berbasis tenaga keluarga dan umumnya merupakan dampak dari sistem perladangan berpindah; dan (3) Intermediate yaitu sistem agroforestry yang memiliki sifat diantara komersil dan subsisten dengan tingkat pengelolaan dan pencapaian produksi yang medium dan tetap mempertimbangkan input meski pada tingkat yang tidak maksimal (Nair, 1989b; Chundawat dan Gautam, 1993).

Berdasarkan ekologisnya, sistem agroforestry dapat dibedakan kedalam tiga kategori yaitu sistem agroforestry pada dataran rendah humid dan subhumid, pada daerah arid dan semi arid serta pada dataran tinggi (Nair, 1989b; Chundawat dan Gautam, 1993). Di Indonesia khususnya di Sumatera, sistem agroforestry banyak dijumpai pada daerah dataran tinggi atau lereng-lereng bukit yang umumnya terbentuk akibat konversi penggunaan lahan hutan menjadi lahan budidaya (Michon, Mary dan Bompard, 1989).

D. Keuntungan dan Kelemahan Sistem Agroforestry

1. Keuntungan Sistem Agroforestry

(35)

siklus hara, terutama pemindahan hara dari lapisan bawah solum tanah ke lapisan permukaan oleh sistem perakaran tanaman pepohonan yang dalam; (c) penurunan dan pengendalian laju aliran permukaan, pencucian hara, dan erosi tanah; (d) pemeliharaan iklim mikro seperti terkendalinya temperatur tanah lapisan atas, pengurangan evaporasi dan terpeliharanya kelembaban tanah oleh pengaruh tajuk dan mulsa sisa tanaman; (e) terciptanya kondisi yang menguntungkan bagi peningkatan/pemeliharaan populasi dan aktivitas organisme tanah; (f) penambahan hara tanah melalui dekomposisi bahan organik sisa tanaman dan atau hewan; dan (g) terpeliharanya struktur tanah akibat siklus yang konstan dari bahan organik sisa-sisa tanaman dan hewan.

Secara ekonomis, sistem agroforestry sangat menguntungkan terutama dalam hal (Nair, 1989c; Chundawat dan Gautam, 1993; Lal, 1995) : (a) peningkatan keluaran dalam arti lebih bervariasinya produk yang diperoleh yaitu berupa pangan, pakan, serat, kayu, bahan bakar, pupuk hijau dan atau pupuk kandang; (b) memperkecil kegagalan panen karena gagal atau menurunnya panen dari salah satu komponen masih dapat diitutupi oleh adanya hasil (panen) komponen lain; dan (c) meningkatnya pendapatan petani karena input yang diberikan akan menghasilkan output yang berkelanjutan.

(36)

terjaminnya stabilitas komunitas petani dan pertanian lahan kering sehingga dapat mengurangi dampak negatif urbanisasi.

2. Kelemahan Sistem Agroforestry

Selain kebaikan-kebaikan yang dimiliki sistem agroforestry tersebut diatas, sistem ini juga memiliki kelemahan-kelemahan, baik kelemahan secara ekologis atau lingkungan, maupun kelemahan secara sosial ekonomis (Chundawat dan Gautam, 1993). Kelemahan dari aspek lingkungan antara lain : (a) kemungkinan terjadinya persaingan matahari, air tanah dan hara antara tanaman pohon (hutan) dengan tanaman pertanian/pangan dan pakan; (b) kerusakan tanaman pangan saat dilakukan pemanenan tanaman pohon (terutama saat penebangan kayu); (c) tanaman pohon secara potensial dapat menjadi inang bagi hama dan penyakit tanaman pertanian; dan (d) relatif lamanya regenerasi tanaman pohon menyebabkan penyempitan lahan untuk tanaman pangan sejalan dengan semakin besarnya tanaman pohon. Kelemahan dari segi sosial ekonomis antara lain (Chundawat dan Gautam, 1993) : (a) terbatasnya tenaga kerja yang berminat

dibidang pertanian, khususnya dalam membangun sistem agroforestry; (b) terjadinya persaingan antara tanaman pohon dengan tanaman pangan yang

(37)

besar petani untuk menggantikan tanaman pertanian/pangan dengan tanaman pohon atau sebaliknya yang lebih bernilai ekonomis.

3. Mengatasi Kelemahan Sistem Agroforestry

Dengan tingkat pengetahuan yang memadai, sebenarnya kelemahan-kelemahan sistem agroforestry tersebut di atas dapat dikendalikan sebagian atau seluruhnya dengan jalan (Nair, 1989c; Chundawat dan Gautam, 1993) : (a) penggunaan pohon leguminosa (pohon kacangan) atau tanaman berbuah polong yang sedikit dalam menghambat sinar matahari, sehingga kebutuhan cahaya untuk tanaman pangan dapat terpenuhi; (b) pemilihan tanaman pohon dengan sistem perakaran dalam, sehingga mengurangi persaingan hara dan air dengan tanaman pangan di sekitar permukaan atau tanah lapisan atas; dan (c) jarak tanaman pohon dibuat lebih lebar, sehingga mengurangi persaingan cahaya matahari, hara dan air tanah dengan tanaman pangan dan memudahkan pada saat tanaman pohon akan dipanen (ditebang) dan lahan sela dapat ditanami tanaman semusim secara berkelanjutan.

E. Sifat Tanah pada Beberapa Tipe Penggunaan Lahan

Berdasarkan hasil penelitian Wijayanto dan Rifa’i (2009), hasil analisis sifat kimia tanah pada beberapa pola agroforestri di Desa Cikanyere pada Tabel 6.

(38)

unsur mikro yang menyebabkan tanaman mengalami kahat unsur hara sehingga

AF 1 : Pola agroforestry 1 : gmelina, jagung, singkong, pisang,petai AF 2 : Pola agroforestry 2 : gmelina, jagung, kopi, pisang,petai AF 3 : Pola agroforestry 3 : gmelina, mahoni, singkong, petai AF 4 : Pola agroforestry 4 : gmelina, mahoni, jagung, cabai

AF 5 : Pola agroforestry 5 : gmelina, mahoni, padi gogo, singkong, jagung, petai

(39)

dalam tanah sebagai serasah, (2) akar tanaman, melalui akar tanaman yang mati, ujung-ujung akar, eksudasi akar dan respirasi akar, (3) biota tanah.

Unsur N dan C yang ditemukan pada tanah bisa digunakan untuk memperkirakan besarnya kandungan bahan organik dalam tanah (BOT). Nisbah C/N rendah menunjukkan kandungan bahan organik tanah yang tinggi, karena bahan organik merupakan sumber N yang utama dalam tanah. Pola AF 4 menunjukkan nilai nisbah C/N yang paling rendah dibandingkan dengan pola agroforestry yang lain. Bahan organik tanah pada pola AF 4 diduga menyebabkan kapasitas tukar kation (KTK) pada pola tersebut paling tinggi dibandingkan dengan pola yang lain. Tanah dengan nilai KTK yang tinggi mampu menyerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah (Hardjowigeno, 2003).

(40)

Penelitian Young (1997) pada ekosistem alam menunjukkan masing-masing tingkat jenis hasil bersih dari ekosistem alam (dalam kg/ha/tahun berat kering, pada permukaan tanah) adalah Tropis Basah (Hutan Hujan) lebih besar 20.000, Tropis Agak Basah Lembab (Savana berdaun lebar) sebesar 10.000, Tropis Agak Basah Kering (Savana berdaun sempit) sebesar 5.000, dan Daerah Agak Kering (Vegetasi

subdesert) lebih kecil 2.500.

(41)

F. Analytical Hierarchy Proses

Analytical Hierarchy Proses (AHP) adalah suatu metode unggul untuk

memilih aktivitas yang bersaing atau banyak alternatif berdasarkan kriteria tertentu atau khusus. Kriteria dapat bersifat kuantitatif atau kualitatif, dan bahkan kriteria kuantitatif ditangani dengan struktur kesukaan pengambil keputusan daripada berdasarkan angka (Amborowati dan Armadyah, 2008).

Pada perkembangannya, AHP dapat memecahkan masalah yang kompleks atau tidak berkerangka dengan aspek atau kriteria yang cukup banyak. Kompleksitas ini disebabkan oleh struktur masalah yang belum jelas, ketidakpastian tersedianya atau bahkan tidak ada sama sekali data statistik yang akurat. Adakalanya timbul masalah keputusan yang dirasakan dan diamati perlu diambil secepatnya, tetapi variasinya rumit sehingga datanya tidak mungkin dapat dicatat secara numerik hanya secara kualitatif saja yang dapat diukur, yaitu berdasarkan persepsi pengalaman dan intuisi. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa model-model lainnya ikut dipertimbangkan pada saat proses pengambilan keputusan dengan pendekatan AHP, khususnya dalam memahami para pengambil keputusan individual pada saat proses penerapan pendekatan ini (Iryanto, 2008).

(42)

1. Kesatuan, dalam hal ini AHP memberikan satu model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk aneka ragam persoalan tidak terstruktur.

2. Kompleksitas, dalam hal ini AHP memadukan ancangan deduktif dan ancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks.

3. Saling ketergantungan, AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam suatu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.

4. Penyusunan hierarki, AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat.

5. Pengukuran, AHP memberikan suatu skala untuk mengukur hal-hal dan terwujud suatu metode untuk menetapkan prioritas.

6. Sintesis, AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif.

7. Tawar menawar, AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan organisasi memilih altenatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka.

8. Penilaian dan konsesus, AHP tidak memaksakan konsesus tetapi mensintesiskan suatu hasil yang representatif dari berbagai penilaian yang berbeda.

(43)

Prinsip dasar AHP menurut Saaty (1993) dalam Tantyonimpuno (2006), meliputi :

1. Penyusunan hierarki masalah (Problem Decomposition)

Dalam penyusunan hierarki ini perlu dilakukan perincian atau pemecahan dari persoalan yang utuh menjadi beberapa unsur/komponen yang kemudian dari komponen tersebut dibentuk suatu hierarki. Pemecahan unsur ini dilakukan sampai unsur tersebut sudah tidak dapat dipecah lagi sehingga didapat beberapa tingkat suatu persoalan. Penyusunan hierarki merupakan langkah penting dalam model analisis hierarki.

2. Penilaian perbandingan berpasangan (Comparative Judgement)

Prinsip ini dilakukan dengan membuat penilaian perbandingan berpasangan tentang kepentingan relatif dari dua elemen pada suatu tingkat hierarki tertentu dalam kaitannya dengan tingkat di atasnya dan memberikan bobot numerik berdasarkan perbandingan tersebut. Hasil penelitian ini disajikan dalam matriks yang disebut pairwise comparison.

3. Penentuan prioritas (Synthesis of Priority)

(44)

4. Konsistensi logis (Logical Consistensy)

Konsistensi memiliki dua makna, pertama adalah objek-objek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi. Arti kedua adalah menyangkut tingkat hubungan anatara objek-objek yang didasarkan pada kriteria tertentu. Konsistensi data dapat dari rasio konsistensi (CR) yang merupakan hasil bagi antara indeks konsistensi (CI) dan indeks random (RI).

Iryanto (2008) menyebutkan, metode AHP mempunyai keunggulan dalam memecahkan masalah-masalah multikriteria, masalah yang tak terstruktur, yang dapat diraba maupun yang tidak dapat diraba bahkan masalah yang tidak mempunyai data statistik. Metode AHP mampu menyerap persepsi, preferensi, dan pengalaman pengambil keputusan dan tidak membutuhkan keahlian yang tinggi.

(45)

Suryadi dan Ramadhani (1998), menyebutkan langkah-langkah penyusunan AHP sebagai berikut :

1. Mendefinisikan masalah

Mendefinisikan masalah dan menentukan tujuan yang diinginkan. Bila AHP digunakan untuk memilih alternatif atau menyusun prioritas alternatif, maka pada tahap ini dilakukan pengembagan alternatif.

2. Penyusunan Hierarki

Penyusunan hierarki permasalahan merupakan langkah pendefinisian masalah yang rumit dan kompleks sehingga menjadi lebas dan detail. Hierarki keputusan disusun berdasarkan pandangan pihak yang memiliki keahlian dan pengetahuan dibidang yang bersangkutan. Keputusan yang diambil dijadikan sebagai tujuan dan dijabarkan menjadi elemen yang lebih rinci hingga tercapai suatu tahapan yang terukur. Membuat struktur hierarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah.

3. Penentuan prioritas atau membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria yang setingkat diatasnya. AHP melakukan analisis prioritas elemen dengan metode perbandingan berpasangan antar dua elemen sehingga seluruh elemen yang ada tercakup.

(46)

5. Menghitung nilai eigen dan menguji konsistensinya. Jika tidak konsisten maka pengambilan data kembali diulangi. Konsistensi jawaban responden dalam menentukan prioritas elemen merupakan prinsip pokok yang menentukan validitas data dan hasil pengambilan keputusan. Secara umum, responden harus memiliki konsistensi dalam melakukan perbandingan elemen.

6. Mengulangi langkah 3, 4, dan 5 untuk seluruh tingkat hierarki

7. Menghitung vector eigen dari setiap matriks perbandingan berpasangan. Nilai

vector eigen merupakan bobot setiap elemen. Langkah ini untuk mensintesis

penilaian dalam penentuan prioritas elemen pada tingkat hierarki terendah sampai pencapaian tujuan.

8. Memeriksa konsistensi hierarki. Jika nilainya lebih dari sepuluh persen, maka data penilaian harus diperbaiki (diulangi).

Secara lengkap Rahmawaty, et al (2011) menyebutkan bahwa dalam proses perbandingan berpasangan melibatkan perhitungan vektor kolom. Hal ini diperoleh dengan mengalikan matriks tujuan dengan bobot relatif, misalnya bobot tujuan, dalam bentuk persamaan :

Vk = Mk * Wik Keterangan :

Vk = vektor kolom pengambil keputusan ke- k Mk = matrik obyektif pengambil keputusan ke- k

(47)

Tabel 7. Nilai skala AHP

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada

Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas elemen lainnya elemen lainnya.

5 Elemen yang satu sangat penting daripada elemen

pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas elemen lainnya yang lainnya.

7 Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen

Satu elemen denga kuat disokong dan

dominannya telah terlihat dalam praktek

yang lain.

9 Satu elemen mutlak lebih penting daripada elemen

Bukti yang menyokong elemen yang satu atas yang lainnya memiliki tingkat yang lain. penegasan yang tertinggi yang

mungkin menguatkan

Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j, maka j memiliki nilai kebalikannya bila dibandingkan

dengan i.

Sumber : Saaty dan Vargas (2001) dalam Rahmawaty, et al (2011)

Dengan vektor kolom dari bobot, nilai eigen maksimum atau pokok (yang disumbangkan oleh Ymaks) dihitung semakin dekat nilai eigen utama adalah ke n, yang lebih konsisten adalah penilaian subjektif itu berasal dengan mengambil rata-rata dari jumlah rasio dari vektor kolom dan bobot relatif (Rahmawaty et al, 2011).

q

λmaks = ∑ Vk/Wik/q

k = 1 Keterangan :

(48)

Pusat untuk AHP adalah ukuran dari konsistensi dalam penilaian manusia. Penyimpangan dari konsistensi dapat diwakili oleh indeks konsistensi (CI). Nilai ini adalah perbedaan antara nilai eigen maksimum atau pokok dan jumlah tujuan (N) dibagi dengan n-1. Bentuk persamaan sebagai berikut:

CI = λ maks – n/n-1 Keterangan :

CI = indeks konsistensi

λ maks

CR = CI/RI = nilai eigen pokok n = jumlah obyek

Untuk mendapatkan ide dari konsistensi penilaian, CI dibandingkan dengan indeks konsistensi acak (RI) dari nilai-nilai seperti yang ditunjukkan pada Tabel 8. Sebuah rasio konsistensi sepuluh persen atau kurang dianggap dapat diterima. Persamaan rasio konsistensi (CR)

Keterangan :

CI = indeks konsistensi RI = indeks random

Malczewski (1999) dalam Rahmawaty et al, (2011) menyebutkan bahwa ketika CR kurang dari atau 0,1, nilai-nilai dari rasio tersebut tidak konsisten. Dalam kasus terakhir nilai asli dalam matriks perbandingan pasangan yang bijaksana harus direvisi.

Table 8. Nilai indeks konsistensi random (RI)

N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 RI 0,00 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49 1,51 1,48 1,56

Sumber : Saaty (1980)

(49)

alternatif yang didasarkan pada tujuan masing-masing dihitung dengan cara yang sama. Peringkat akhir dari alternatif (menunjukkan ωj) itu dihitung dengan melakukan perkalian matriks bobot relatif dari alternatif per tujuan (dilambangkan dengan Mij) dan bobot relatif dari tujuan (dilambangkan dengan ωi). ini dihitung dengan menggunakan persamaan:

ωj= Mij * ωi Keterangan :

ωj = bobot akhir dari alternatif j

Mij = matriks bobot relatif alternatif per obyektif

ωi = pembobotan obyektif

disamping itu, Mij mengambil bentuk: Mij = ω11 …. ω1p

ωn1 ….ωnp Keterangan :

ω11 = bobot relatif dari alternatif 1 (j ke p) obyektif 1 (i ke n)

Langkah terakhir adalah untuk agregat prioritas vektor dari setiap tingkat yang diperoleh pada langkah kedua, untuk menghasilkan bobot keseluruhan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara perkalian urutan vektor bobot pada setiap tingkat hierarki. Bobot keseluruhan mewakili ranting alternatif sehubungan dengan tujuan keseluruhan. Ri skor keseluruhan alternatif ke-i adalah jumlah total dari peringkat tersebut pada setiap tingkat yang dihitung sebagai berikut:

Ri = ∑k ωkrik Keterangan:

ωk = vektor prioritas berhubungan dengan elemen ke-k dari hierarki

(50)

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan, yaitu di Kecamatan Angkola Timur, Kecamatan Angkola Barat, Kecamatan Angkola Selatan, Kecamatan Marancar, Kecamatan Batang Angkola, dan Kecamatan Batangtoru (Lampiran 46). Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni sampai dengan bulan September 2012.

B. Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah : GPS, Thermometer tanah, Kamera, Cangkul, Skop, Kantong Plastik, dan Sofware Expert Choice. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Lahan sistem agroforestry berbasis salak, sampel tanah, Kuisioner AHP, dan Peta Administrasi.

C. Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan melalui beberapa tahapan seperti disajikan pada Gambar 1.

D. Metode Penelitian

(51)

Gambar 1. Tahapan penelitian kajian sistem agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan

Inventarisasi Sistem Agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan

(Komponen/Struktur Agroforestry)

Tipe/Subtipe Agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan

Evaluasi Dampak Sistem Agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan

terhadap sifat tanah dan penghasilan petani

TIPE SISTEM AGROFORESTRY

Agrisilvikultural

Agrosilvopastural

Agroaquaforestry

Keluaran yang Diinginkan

(52)

Tabel 9. Sasaran dan teknik pengumpulan data pada kajian sistem agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan.

No. Sasaran Pengumpulan Data Teknik Pengumpulan Data Keluaran dan masukan pada sistem

agroforestry yang diterapkan petani sampel Sifat tanah (N, P, K, C-organik, pH tanah, dan

Data yang dibutuhkan untuk mengklasifikasikan sistem agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan ke dalam beberapa tipe dan subtipe berdasarkan komponen penyusunnya adalah data primer. Data primer diperoleh dari survey lapang dan wawancara dengan petani pelaksana sistem agroforestry berbasis salak. Lahan dipilih secara purposive sebanyak 30 dengan kategori terdapat pola pemanfaatan lahan sistem agroforestry berbasis salak, tanaman salak yang sudah berproduksi, dan luas lahan lebih dari 0.5 hektar. Struktur agroforestry berbasis salak diamati dengan cara deskriptif yang ditujukan untuk menginventarisasi komponen penyusun agroforestry berbasis salak yang terdiri dari tanaman pertanian, perkebunan, hutan, pakan, ternak serta kolam ikan. Pengamatan tersebut dilakukan terhadap jenis, populasi dan kerapatan serta tata letak komponen penyusunnya.

(53)

Sedangkan data keluaran yang diperlukan meliputi jenis dan jumlah/volume produksi masing-masing komponen penyusun, jumlah produksi yang dikonsumsi atau digunakan sendiri oleh keluarga petani, jumlah produksi yang dijual dan total pendapatan per tahun.

Pengambilan sampel tanah untuk pengamatan sifat kimia tanah dilakukan pada tanah lapisan atas (0-20 cm). Pada masing-masing lokasi diambil sampel tanah yang dipilih secara acak pada lima titik yang mewakili, lalu dikompositkan. Sampel tanah kemudian dianalisis di laboratorium untuk memperoleh N, P, K, C- organik, dan pH. Sedangkan pengukuran suhu tanah dilakukan dengan menusukkan bagian konduktor panasnya perlahan-lahan ke dalam lapisan tanah 0 – 10 cm. Pengamatan dilakukan pada jam 14.00. Alat didiamkan dalam tubuh tanah sampai cairan penunjuk skalanya konstan.

Untuk memperoleh tipe agroforestry berbasis salak yang sesuai dan berkesinambungan di Kabupaten Tapanuli Selatan digunakan metode AHP. Data yang diperlukan dilakukan dengan cara menyebarkan kuisioner AHP kepada para responden ahli. Responden ahli dipilih secara purposive sampling, ditetapkan berjumlah enam orang, terdiri dari : satu orang Akademisi USU, satu orang Akademisi UGN, satu orang dari Dinas Perkebunan, satu orang dari Dinas Kehutanan, satu orang dari Petani, dan satu orang dari Tokoh Masyarakat.

Prinsip pertama dari metode AHP adalah penyusunan hierarki. Struktur hierarki dari tipe agroforestry berbasis salak yang sesuai dan berkesinambungan di

(54)

komputer Expert Choice yang dirancang untuk proses pengambilan keputusan dalam pemilihan alternatif strategi. Analisis data menggunakan metode AHP dengan batas tingkat inkonsistensi dalam penelitian adalah 10%. Selanjutnya hasil pembobotan per individu apabila konsisten, digabungkan dengan rumus rataan geometrik yang kemudian hasilnya disatukan dalam satu tabel.

RG = n√x1. x2 … xn Keterangan :

RG = Rataan geometrik n = Jumlah responden

x1, x2 … xn = Penilaian responden ke-1, ke-2 sampai dengan ke-n

Hasil rataan geometrik tersebut kemudian dicari prioritasnya lewat mekanisme perhitungan nilai setiap elemen pada tabel rataan geometrik dibagi dengan jumlah total rataan geometrik di setiap kolomnya.

Sasaran

Kriteria

Alternatif

Gambar 2. Struktur hierarki tipe agroforestry berbasis salak yang paling sesuai dan berkesinambungan

Tipe agroforestry berbasis salak yang paling sesuai

dan berkesinambungan

Sosial Ekonomi Sifat

Tanah Keragaman

Hayati

Agroaquaforestry Agrosilvopastural

(55)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Tipe Agroforestry Berbasis Salak Berdasarkan Struktur/Komponen Penyusun

Berdasarkan hasil pengamatan lapang, sistem agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan ditinjau dari struktur atau komponen penyusunnya dapat diketahui bahwa sedikitnya terdapat 70 jenis komoditi yang merupakan komponen penyusun dalam sistem agroforestry berbasis salak di wilayah tersebut. Komponen penyusun sistem agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan dapat dikelompokkan kedalam komoditi tanaman buah-buahan, komoditi tanaman pangan, komoditi tanaman perkebunan dan industri, komoditi tanaman hutan, komoditi tanaman sayuran, rerumputan pakan ternak dan ikan (kolam). Kelompok komoditi tersebut beserta jumlah dan persentase petani sampel pemelihara, luas lahan, populasi tanaman dan rataan populasi perhektarnya disajikan berturut-turut pada Lampiran 1, 2, 3, 4, 5, dan 6.

(56)

Tabel 10. Subtipe agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan, berdasarkan komponen penyusunnya, Tahun 2012.

Tipe Agrisilvikultural Kombinasi pohon kayu, tanaman

perkebunan dan tanaman buah-buahan

Agrosilvopastural Kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan, dan ternak (ASPkpbt)

Kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan, tanaman semusim, dan ternak (ASPkpbst)

3

3

10.00

10.00

Agroaquaforestry Kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan, dan kolam (AQFkpbi)

Kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan, tanaman semusim, dan kolam (AQFkpbsi)

1

3

3.33

10.00

Jumlah 30 100.00

(57)

Setiap subtipe agroforestry berbasis salak yang ditemui di lokasi penelitian (Tabel 10) memiliki karakteristik dasar yang merupakan ciri khas dan dapat membedakan satu subtipe dengan subtipe lainnya. Ciri khas tersebut terutama dapat dilihat dari kombinasi dan tata letak komponen penyusun serta lokasi diterapkannya sistem agroforestry berbasis salak tersebut.

1. Subtipe Agrisilvikultural Berbasis Salak Kombinasi Pohon Kayu, Tanaman Perkebunan, dan Tanaman Buah-buahan (ASCkpb)

Karakteristik dasar dari subtipe ASCkpb ini adalah kombinasi pohon kayu yang tumbuh secara alami dan atau dibudidayakan (andulpak, bambu, beringin, jati, dan gamal) dengan tanaman perkebunan dan industri (karet, coklat, aren, cengkeh, kulit manis, kelapa, pinang, kapas), serta tanaman buah-buahan (durian, duku, pisang, langsat, nenas, kedondong, alpukat, nangka, jambu, jeruk). Deskripsi singkat karakteristik dasar dari subtipe agrisilvikultural berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan diuraikan berikut ini secara skematis pada Gambar 3-14. Jarak dan barisan tanaman umumnya tidak beraturan dan lahan sela ditumbuhi semak belukar dan atau pohon muda sehingga menyerupai hutan.

(58)

.

Keterangan :

= salak = durian = langsat = aren = jengkol = gamal = kelapa = karet = pokat = jati = andulpak = petai = pisang = pinang = bambu

Gambar 3. Skema subtipe agrisilvikultural berbasis salak kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012

.

Gambar 4. Subtipe Agrisilvikultural berbasis salak kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan (ASCkpb) di Desa Padang Lancat, Kec.Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012.

(59)

Kapas, kelapa, jengkol, dan petai serta pinang yang biasanya sebagai pagar lahan/batas termasuk tanaman industri yang juga umum terdapat pada subtipe ASCkbp ini.

Penanaman pohon jati dilakukan di lahan kosong dan sebagai pagar lahan. Budidaya pohon jati ini dilakukan secara tradisionil tanpa pemupukan dan jarak tanam yang tidak beraturan. Pada saat penelitian dilakukan pohon jati telah berumur 12 tahun.

2. Subtipe Agrisilvikultural Berbasis Salak Kombinasi Pohon Kayu, Tanaman Perkebunan, Tanaman Buah-buahan dan Tanaman Semusim (ASCkpbs)

Subtipe ASCkpbs memiliki karakteristik dasar kombinasi pohon kayu yang tumbuh secara alami (andulpak, bambu, beringin, gumbot, dan terap), maupun yang dibudidayakan (jati, gamal) dengan tanaman perkebunan dan industri (karet, aren, cengkeh, kulit manis, kelapa, pinang), dan dengan tanaman buah-buahan (durian, duku, pisang, papaya, langsat, manggis, nenas, kedondong, alpukat, nangka, jambu, kapundung, jeruk, sawo) serta tanaman semusim (ubi kayu, labu jipang, cabai, rimbang, dan padi) (Gambar 5 dan Gambar 6).

(60)

.

Keterangan :

= salak = durian = langsat = aren = jengkol = gamal = kelapa = karet = pokat = jati = andulpak = petai = pisang = pinang = bambu

= cabai = rimbang = ubi kayu = labu jipang = sawah

Gambar 5. Skema subtipe agrisilvikultural berbasis salak kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan, dan tanaman semusim di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012.

Gambar 6. Subtipe Agrisilvikultural berbasis salak kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan dan tanaman semusim (ASCkpbs) di Desa Situmbaga Julu, Kec.Angkola Selatan, Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012.

(61)

Tanaman pohon juga tumbuh secara tidak beraturan, baik jarak maupun barisan tanamannya. Keberadaan tanaman pohon ini pada awalnya tumbuh secara alami yang kemudian diperkaya dengan jenis tanaman lainnya sejalan dengan ketersediaan dan kecenderungan minat petani. Begitu juga dengan tanaman perkebunan dan buah-buahan yang tumbuh secara alami secara tidak beraturan (aren, dan kapundung) yang kemudian diperkaya dengan tanaman buah-buahan yang lain yang bernilai ekonomis seperti durian, pokat, dan langsat.

3. Subtipe Agrosilvopastural Berbasis Salak Kombinasi Pohon Kayu, Tanaman Perkebunan, Tanaman Buah-buahan dan Rumput Pakan Ternak (ASPkpbt)

Subtipe ASPkpbt ini memiliki karakteristik dasar kombinasi pohon kayu yang dibudidayakan (mahoni dan gamal) dengan tanaman perkebunan dan industri (karet, coklat, kapas, pinang), dan tanaman buah-buahan (durian, langsat, mangga, manggis, pisang, papaya, jambu, nangka, rambutan, dan nenas). Di lahan sela pepohonan terdapat rumput dan keladi sebagai pakan ternak (Gambar 7 dan Gambar 8). Ayam, itik, dan angsa dibiarkan lepas memakan rumput dan mengkais-kais di lahan sela tersebut, sedangkan kambing diikat di lahan yang penuh rumput.

(62)

.

Keterangan :

= salak = durian = langsat = aren = jengkol = gamal = kelapa = karet = pokat = mahoni = andulpak = petai = pisang = pinang = bambu

K = semak K = keladi √ = rumput pakan ternak

Gambar 7. Skema subtipe agrosilvopastural berbasis salak kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan, dan rumput pakan ternak di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012.

Gambar 8. Subtipe Agrosilvopastural berbasis salak kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan dan rumput pakan ternak (ASPkpbt) di Desa Aek Tinjak, Kec.Angkola Barat, Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012.

K K

K

K

√ K √√√√

(63)

4. Subtipe Agrosilvopastural Berbasis Salak Kombinasi Pohon Kayu, Tanaman Perkebunan, Tanaman Buah-buahan, Tanaman Semusim dan Rumput Pakan Ternak (ASPkpbst)

Subtipe ASPkpbst ini memiliki karakteristik dasar kombinasi pohon kayu yang umumnya tumbuh secara alami (andulpak, bambu, dara-dara, dadap, beringin, dan hatopul) dengan tanaman perkebunan dan industri (karet, kulit manis, kopi, aren, kelapa, pinang) serta tanaman buah-buahan (durian, langsat, alpukat, jeruk, jambu, pisang, rambutan, dan markisa). Di lahan sela pepohonan terdapat rumput pakan dan keladi, dan sebagian ditanami tanaman semusim (andaliman, cabai, terung, ubi kayu, rimbang, dan labu jipang) (Gambar 9 dan Gambar 10).

Subtipe ASPkpbst ini merupakan modifikasi dari subtipe ASPkpbt yaitu dengan membudidayakan tanaman semusim pada sebagian lahan sela yang selama ini digunakan untuk vegetasi rumput. Namun demikian vegetasi rumput di bawah tegakan pohon tetap dibiarkan tumbuh.

Tipe agrosilvopastural umumnya banyak dijumpai di daerah subtropis dengan curah hujan rendah. Di daerah tropis basah, tipe agrosilvopastural umumnya terbentuk akibat adanya upaya pembudidayaan vegetasi rumput di bawah tegakan pohon atau di sebagian lahan, terutama bagian lahan yang curam atau pada bibir-bibir teras (Lal, 1995; Siagian dkk, 1993) sehingga dapat mengurangi limpasan permukaan dan laju erosi.

(64)

Keterangan :

= salak = durian = langsat = aren = jengkol = gamal = kelapa = karet = pokat = andulpak = petai = pisang = pinang = bambu

= cabai = rimbang = ubi kayu = labu jipang = habo = dadap = rumput dan semak

Gambar 9. Skema subtipe agrosilvopastural berbasis salak kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan, tanaman semusim, dan rumput pakan ternak di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012.

Gambar10. Subtipe Agrosilvopastural berbasis salak kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan, tanaman semusim dan rumput pakan ternak (ASPkpbst) di Desa Padang Natikko, Kec.Angkola Timur, Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012.

Gambar

Tabel 3. Pemasaran salak dari Kabupaten Malang ke luar wilayah Kabupaten
Tabel  4. Keadaan sosio-teknologi budidaya salak di wilayah Kabupaten Malang
Tabel 5.  Analisis keuntungan usahatani kebun salak (untuk setiap hektar pertanaman salak)
Tabel 6.  Hasil  analisis  sifat  kimia  tanah  pada  beberapa pola agroforestry di   Desa   Cikanyere
+7

Referensi

Dokumen terkait

Judul Skripsi : Analisis Finansial dan Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Tingkat Pendapatan Sistem Agroforestry (Studi Kasus Sistem Agroforestry di Nagari Koto

Mengingat kawasan Register 39 Datar Setuju merupakan kawasan hutan lindung yang dikelola dengan menerapkan sistem agroforestry, sehingga penelitian mengenai karbon tersimpan

Beras telah menjadi bahan pangan pokok strategis yang kebutuhannya selalu meningkat. Stok beras domestik menjadi hal penting yang harus diperhatikan mengingat kenaikan harga pangan

Hasil analisis nilai tambah tersebut menunjukkan bahwa dengan melakukan pengolahan salak menjadi dodol salak akan mendapatkan tambahan nilai produksi yang lebih

stratified random sampling yang terdiri dari 50 responden pada strata usahatani sistem agroforestry dan 50 responden pada strata sistem perladangan

Hasil analisis nilai tambah tersebut menunjukkan bahwa dengan melakukan pengolahan salak menjadi dodol salak akan mendapatkan tambahan nilai produksi yang lebih

Agroforestry sebagai suatu sistem managemen pemanfaatan lahan yang mengusahakan produksi biologis berdaur pendek dan panjang (kombinasi komoditi kehutanan,

Faktor yang mempunyai hubungan nyata dengan tingkat pendapatan adalah luas lahan garapan dan sistem agroforestry yang diterapkan, sedang faktor sosial ekonomi yang tidak mempunyai