URGENSI PEMBERIAN BANTUAN HUKUM OLEH
ADVOKAT TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
TERORISME
Tesis
Oleh
ARIZAL
097005007
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
URGENSI PEMBERIAN BANTUAN HUKUM OLEH ADVOKAT
TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME
Tesis
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
ARIZAL
097005007
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis : URGENSI PEMBERIAN BANTUAN HUKUM OLEH ADVOKAT TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME.
Nama Mahasiswa : ARIZAL.
NIM : 097005007
Program Studi : Magister Ilmu Hukum.
Menyetujui: Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH. MHum K e t u a
)
(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum A n g g o t a A n g g o t a
)
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum K e t u a
Telah diuji pada
Tanggal : 15 Agustus 2011.
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH. MHum. Anggota : 1. Prof. Suhaidi, SH, MH.
2. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum 3. Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum
ABSTRAK
Advokat dalam kedudukannya sebagai suatu profesi yang mulia atau lebih dikenal dengan istilah officium nobile, maka Advokat berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, memiliki kewajiban dalam memberikan bantuan hukum. Secara ideal dapat dijelaskan bahwa bantuan hukum merupakan tanggung jawab sosial dari Advokat. Bantuan hukum tersebut juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, karena salah satu hak yang dimiliki oleh pelaku dari suatu tindak pidana yang dalam hal ini juga adalah pelaku tindak pidana terorisme adalah hak untuk mendapat bantuan hukum dari Advokat. Pemberian bantuan hukum terhadap pelaku yang diduga yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana adalah didasarkan pada berbagai asas yang terdapat dalam hukum pidana dan hukum acara pidana, diantaranya adalah: pertama asas presumption of innocence (asas praduga tidak bersalah) dan kedua asas equality before the law (bahwa setiap orang sama dipandang dihadapan hukum). Adanya kedua asas ini jelaslah bahwa martabat manusia sebagai anggota masyarakat dihargai sehingga orang berhak menyatakan dirinya tidak bersalah sebelum terbukti kesalahannya dihadapan sidang Pengadilan.
Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan sifat penelitian deskriptif analitis. Dalam melakukan pengumpulan data dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu: penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan adalah dengan merujuk pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, sedangkan penelitian lapangan yang digunakan hanya sebagai pendukung terhadap penelitian yuridis normatif, yaitu dilakukan melalui wawancara dengan informan yang terkait dengan penelitian yaitu Advokat dari Tim Pembela Muslim. Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan akan ditelaah dan dianalisis secara kualitatif, maksudnya adalah bahwa seluruh data dianalisis dengan cara menginterpretasikan secara kualitas tentang pendapat atau tanggapan informan, kemudian menjelaskannya secara lengkap dan komperhensif mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan pokok persoalan.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kendati pemberian bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme adalah sesuatu yang urgent disebabkan oleh karena pemberian bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme adalah kewajiban Advokat untuk menegakkan keadilan dan hak asasi manusia, namun pada kenyataannya pemberian bantuan hukum oleh Advokat terhadap pelaku tindak pidana terorisme mengalami berbagai hambatan, diantaranya adalah hambatan dari sisi Undang-Undang, hambatan dari sisi budaya hukum dan hambatan dari sisi aparat penegak hukum yang terdiri dari hambatan dari pihak kepolisian dan hambatan dari pihak kejaksaan.
pidana terorisme yang substansinya diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam rangka penegakan hak asasi manusia. Disamping itu juga Perlu diberikan hak immunitas terhadap Advokat dan hak untuk mendapat perlindungan keselamatan dalam menjalankan profesinya dalam hal pendampingan pelaku tindak pidana terorisme mengingat tindak pidana terorisme adalah suatu kejahatan luar biasa.
ABSTRACT
Advocate in a position as a noble profession or known as afficium nobile, according to act No. 18 of 2003 concerning to Advocate has liability to provide the legal aid. Ideally it described that legal aid is a social responsibility of Advocate. Legal aid also provided to the terorism accused because one of right of accused of a crime especially the terorism is a right for legal aid from Advocate. Legal aid for the accused do a crime is based on any principle of presumption of innocence and the second one is a principle of equality before the law. By the both of principles indicated that human dignity as society member is respected so anyone has a right to state that himself is not do a mistake before it proven before the court.
This research is a normative juridical study in analytic descriptive study. By collecting the data in two methods, i.e. library and field study. The library study is refers to the primary law material even the secondary and tertiary law resources, while the field study only as the support on the normative juridical study, i.e. through interview the informant related to the research namely the Advocate from Moslem Lawyer Team. All of the collected data would studied and analyzed qualitatively in which all on the data was analyzed by interpretation qualitatively the opinion or respond of informant, and then describe the aspect related to the topic completely and comprehensively.
Based on the result of research it indicated that although the legal aid for the accused of terrorism is an urgent issue because the legal aid to the terrorism accused is a liability of Advocate for the law enforcement and human basic right, but in fact, the legal aid by Advocate to the terrorism accused has any obstacles, such as in the view point of rule, law culture, and law enforcer i.e. police and attorney.
Therefore, in order to solve the aforementioned problem, it is important to provide the terrorism accused with legal aid from Advocate that regulated by the Act on Terrorism Crime Eradication for the enforcement of human basic right. In addition it is important to provide the Advocate with immunity and right to get the safety protection in do this profession as terrorism accused advisory because the terrorism is an extraordinary crime.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Pada detik yang berbahagia ini izinkanlah penulis memanjatkan segala puji dan
syukur atas kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul : ”Urgensi Pemberian Bantuan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme”. Demikian juga shalawat beriring salam disampaikan kepada Rasulullah SAW yang telah membawa
manusia dari alam kebodohan ke alam kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan.
Dalam melaksanakan penulisan Tesis ini bukanlah merupakan pekerjaan yang
ringan laksana membalikkan telapak tangan, hal tersebut ditandai dengan banyaknya
rintangan dan cobaan yang datang silih berganti menyertai langkah penulis dalam
melakukan penulisan tesis ini. Namun semua itu penulis anggap sebagai suatu ujian
dari ALLAH SWT, sehingga harus penulis hadapi dengan penuh kesabaran dan
senantiasa mengharap ridho dan pertolongan dari ALLAH SWT, karena penulis yakin
bahwa ALLAH SWT tidak akan membebani dan menguji hambaNya melebihi dari
daya dan kemampuannya.
Penulisan Tesis ini dapat terselesaikan tidak terlepas berkat adanya bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itulah pada kesempatan yang baik ini penulis
menghaturkan banyak terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada
1. Yang terpelajar Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH. MHum selaku ketua
komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dalam
memperluas wawasan penulis.
2. Yang terpelajar Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH. MHselaku pembimbing II dan juga
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bimbingan dan kesempatan
kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.
3. Yang terpelajar Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH. MHum selaku pembimbing III
yang ditengah-tengah kesibukannya masih sempat untuk meluangkan waktunya
dalam memberikan arahan, bimbingan dan masukan yang sangat bermanfaat bagi
penulis dalam penulisan Tesis ini.
4. Yang Terpelajar Bapak Dr. Jelly Leviza, SH. MHum dan yang terpelajar Bapak
Syafruddin S Hasibuan, SH. MH. DFM yang telah berkenan sebagai penguji dari
mulai kolokium hingga meja hijau dan telah banyak memberikan kritik dan
sarannya demi menuju tesis ini kearah yang lebih baik.
5. Seluruh civitas akademika dan pegawai di Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas
Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu.
6. Teman-teman satu angkatan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas
Semoga segala bantuan yang telah diberikan dapat dikategorikan sebagai amal
saleh dan dibalas dengan pahal yang berlipat ganda oleh ALLAH SWT, Amin.
Dalam kesempatan ini juga penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih
kepada isteri penulis tercinta, yakni: Elvita Delar Ir Fariris yang dengan ketulusannya
telah mencurahkan perhatian dan kasih sayang kepada penulis, serta senantiasa
menemani penulis baik dalam suka maupun duka, penulis mengucapkan terimakasih
yang tiada tara, semoga Elvita senantiasa berada dalam lindungan ALLAH SWT.
Akhirnya penulis sampaikan terimakasih yang tiada tara disertai dengan doa nan
tulus penulis untuk segala bantuan, doa restu, kasih sayang, pengorbanan, dan
kesabaran yang telah diberikan orang tua penulis tercinta, yakni Ayahanda Bahtiar
dan Ibunda Asmah, kalian telah menjadi pemicu dan motivator bagi anakmu untuk berusaha semaksimal mungkin dalam menyelesaikan penulisan tesis ini. Serta penulis
megucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh keluarga yang berada
di Palembang Sumatera Selatan, khususnya orang yang telah penulis anggap sebagai
orang tua kandung penulis, yakni: Ayahanda Hamzah Idrus dan Ibunda Huzailah.
Sesuai dengan kata pepatah ”Tiada Gading Yang Tak Retak, Kalau Tak Retak Bukanlah Gading” yang berarti juga penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharap
kritik dan saran dari para pembaca sekalian demi menuju tulisan ini kearah yang lebih
Akhirnya, penulis berharap tulisan ini dapat membawa manfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmu hukum, AMIN.
Terimakasih.
Medan, September 2011. Penulis
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Arizal.
Tempat / Tanggal Lahir : Pangkalan Dodek / 18 Juli 1980.
Alamat : Jl. T. Haru Link. III Kel. Martubung, Kec. Medan Labuhan, Kota Medan.
Agama : Islam.
Pekerjaan : Advokat.
Status Pribadi : Sudah Menikah.
Pendidikan : 1. SD Neg. No. 010232 : Tahun 1994.
Pangkalan Dodek.
1. Madrasah Tsanawiyah Swasta : Tahun1997. Pangkalan Dodek.
2. SMU Laksamana Martadinata : Tahun 2000 Medan.
4. Fakultas Hukum UISU : Tahun 2004.
Nama Orang Tua Laki-Laki : Bahtiar.
Nama Orang Tua Perempuan : Asmah.
Anak Ke : 2 dari 6 bersaudara.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... viii
DAFTAR ISI ... ix
BAB I : PENDAHULUAN ……….. 1
A. Latar Belakang ……….. 1
B. Permasalahan ... 14
C. Tujuan Penelitian ... 15
D. Manfaat Penelitian ... 15
E. Keaslian Penelitian ... 16
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 16
1. Kerangka Teori ... 16
2. Kerangka konsepsi ... 34
G. Metode Penelitian ... 36
1. Spesifikasi penelitian ... 36
2. Sumber data ... 37
3. Analisis data ... 38
BAB II : URGENSI PEMBERIAN BANTUAN HUKUM OLEH OLEH ADVOKAT TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME ... 40
B. Landasan Filosofis dan Yuridis Pemberian Bantuan Hukum Oleh Oleh Advokat Terhadap Pelaku
Tindak Pidana Terorisme ... 46
C. Urgensi Pemberian Bantuan Hukum Oleh Advokat Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme ... 67
1. Pemberian bantuan hukum oleh Advokat terhadap pelaku tindak pidana terorisme kewajiban Advokat untuk menegakkan keadilan ... 69
2. Pemberian bantuan hukum oleh Advokat terhadap pelaku tindak pidana terorisme penegakan hak asasi manusia ... 74
3. Gambaran perlakuan aparat penegak hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme ... 78
BAB III : HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI OLEH ADVOKAT DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME ... 81
A. Hambatan Dari Sisi Undang-Undang ... 82
B. Hambatan Dari Sisi Aparat Penegak Hukum ... 87
1. Hambatan dari pihak kepolisian ... 88
2. Hambatan dari pihak kejaksaan ... 94
C. Hambatan Dari Sisi Budaya Hukum ... 99
BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ... 107
A. Kesimpulan ... 107
B. Saran ... 109
ABSTRAK
Advokat dalam kedudukannya sebagai suatu profesi yang mulia atau lebih dikenal dengan istilah officium nobile, maka Advokat berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, memiliki kewajiban dalam memberikan bantuan hukum. Secara ideal dapat dijelaskan bahwa bantuan hukum merupakan tanggung jawab sosial dari Advokat. Bantuan hukum tersebut juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, karena salah satu hak yang dimiliki oleh pelaku dari suatu tindak pidana yang dalam hal ini juga adalah pelaku tindak pidana terorisme adalah hak untuk mendapat bantuan hukum dari Advokat. Pemberian bantuan hukum terhadap pelaku yang diduga yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana adalah didasarkan pada berbagai asas yang terdapat dalam hukum pidana dan hukum acara pidana, diantaranya adalah: pertama asas presumption of innocence (asas praduga tidak bersalah) dan kedua asas equality before the law (bahwa setiap orang sama dipandang dihadapan hukum). Adanya kedua asas ini jelaslah bahwa martabat manusia sebagai anggota masyarakat dihargai sehingga orang berhak menyatakan dirinya tidak bersalah sebelum terbukti kesalahannya dihadapan sidang Pengadilan.
Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan sifat penelitian deskriptif analitis. Dalam melakukan pengumpulan data dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu: penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan adalah dengan merujuk pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, sedangkan penelitian lapangan yang digunakan hanya sebagai pendukung terhadap penelitian yuridis normatif, yaitu dilakukan melalui wawancara dengan informan yang terkait dengan penelitian yaitu Advokat dari Tim Pembela Muslim. Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan akan ditelaah dan dianalisis secara kualitatif, maksudnya adalah bahwa seluruh data dianalisis dengan cara menginterpretasikan secara kualitas tentang pendapat atau tanggapan informan, kemudian menjelaskannya secara lengkap dan komperhensif mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan pokok persoalan.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kendati pemberian bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme adalah sesuatu yang urgent disebabkan oleh karena pemberian bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme adalah kewajiban Advokat untuk menegakkan keadilan dan hak asasi manusia, namun pada kenyataannya pemberian bantuan hukum oleh Advokat terhadap pelaku tindak pidana terorisme mengalami berbagai hambatan, diantaranya adalah hambatan dari sisi Undang-Undang, hambatan dari sisi budaya hukum dan hambatan dari sisi aparat penegak hukum yang terdiri dari hambatan dari pihak kepolisian dan hambatan dari pihak kejaksaan.
pidana terorisme yang substansinya diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam rangka penegakan hak asasi manusia. Disamping itu juga Perlu diberikan hak immunitas terhadap Advokat dan hak untuk mendapat perlindungan keselamatan dalam menjalankan profesinya dalam hal pendampingan pelaku tindak pidana terorisme mengingat tindak pidana terorisme adalah suatu kejahatan luar biasa.
ABSTRACT
Advocate in a position as a noble profession or known as afficium nobile, according to act No. 18 of 2003 concerning to Advocate has liability to provide the legal aid. Ideally it described that legal aid is a social responsibility of Advocate. Legal aid also provided to the terorism accused because one of right of accused of a crime especially the terorism is a right for legal aid from Advocate. Legal aid for the accused do a crime is based on any principle of presumption of innocence and the second one is a principle of equality before the law. By the both of principles indicated that human dignity as society member is respected so anyone has a right to state that himself is not do a mistake before it proven before the court.
This research is a normative juridical study in analytic descriptive study. By collecting the data in two methods, i.e. library and field study. The library study is refers to the primary law material even the secondary and tertiary law resources, while the field study only as the support on the normative juridical study, i.e. through interview the informant related to the research namely the Advocate from Moslem Lawyer Team. All of the collected data would studied and analyzed qualitatively in which all on the data was analyzed by interpretation qualitatively the opinion or respond of informant, and then describe the aspect related to the topic completely and comprehensively.
Based on the result of research it indicated that although the legal aid for the accused of terrorism is an urgent issue because the legal aid to the terrorism accused is a liability of Advocate for the law enforcement and human basic right, but in fact, the legal aid by Advocate to the terrorism accused has any obstacles, such as in the view point of rule, law culture, and law enforcer i.e. police and attorney.
Therefore, in order to solve the aforementioned problem, it is important to provide the terrorism accused with legal aid from Advocate that regulated by the Act on Terrorism Crime Eradication for the enforcement of human basic right. In addition it is important to provide the Advocate with immunity and right to get the safety protection in do this profession as terrorism accused advisory because the terrorism is an extraordinary crime.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Advokat dalam kedudukannya sebagai sutau profesi yang mulia atau lebih
dikenal dengan istilah officium nobile1
Oleh karena itu maka Advokat dituntut agar dapat mengalokasikan waktu dan
juga sumber daya yang dimilikinya untuk memberikan bantuan hukum. Pemberian
bantuan hukum oleh Advokat bukan hanya dipandang sebagai suatu kewajiban an sich,namun harus dipandang pula sebagai bagian dari kontribusi dan tanggung jawab sosial (social contribution and social liability) dalam kaitannya dengan peran dan fungsi sosial dari profesi Advokat. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang
Advokat telah mengatur secara tegas mengenai kewajiban Advokat untuk
memberikan bantuan hukum sebagai bagian dari kewajiban profesi. Dalam hal
Advokat tidak melakukan kewajiban profesi maka dapat dikategorikan telah , maka Advokat berdasarkan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, memiliki kewajiban dalam memberikan
bantuan hukum. Secara ideal dapat dijelaskan bahwa bantuan hukum merupakan
tanggung jawab sosial dari Advokat.
1
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban profesi sehingga dapat
diberlakukan sanksi.2
Kendati demikian, seorang Advokat juga dapat menolak untuk memberi
nasihat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan jasa dan atau
bantuan hukum dengan pertimbangan oleh karena tidak sesuai dengan keahliannya
dan bertentangan dengan hati nuraninya, akan tetapi tidak dapat menolak dengan alas
an karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan
politik dan kedudukan sosialnya.3
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka yang dimintakan nasihat dan atau
bantuan hukum dari seorang Advokat yang dimaksud disini adalah terkait dengan
perbuatan jahat yang diduga telah dilakukan oleh seseorang atau lebih yang diduga
telah melakukan suatu tindak pidana atau perbuatan jahat atau dengan perkataan lain
seseorang atau lebih yang diduga telah melakukan perbuatan jahat yaitu tindak pidana
terorisme.
Perbuatan jahat merupakan fenomena sosial yang senantiasa ada dalam
kehidupan masyarakat dan akan selalu terjadi dan dihadapi oleh seluruh masyarakat
di dunia ini. Perbuatan jahat atau kejahatan dirasakan sangat meresahkan dan
mengganggu ketentraman hidup masyarakat. Pada hakekatnya suatu masyarakat
selalu menginginkan adanya kehidupan yang tenang dan teratur, harmonis dan
tentram serta jauh dari gangguan kejahatan yang mengancam kehidupan masyarakat.
2
Perhatikan Pasal 7 huruf h Kode Etik Advokat Indonesia.
3
Oleh karena itu, reaksi Negara terhadap perbuatan jahat yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang adalah bertujuan untuk melindungi kepentingan
kepentingan masyarakat tersebut.4
Kejahatan terorisme merupakan salah satu bentuk kejahatan berdimensi
internasional yang sangat menakutkan masyarakat. Di berbagai negara di dunia telah
terjadi kejahatan terorisme baik di negara maju maupun negara-negara sedang
berkembang. Aksi-aksi teror yang dilakukan telah memakan korban tanpa pandang
bulu. Hal ini menyebabkan Perserikatan Bangsa Bangsa dalam kongresnya di Wina
Austria tahun 2000 mengangkat tema The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders, antara lain menyebutkan terorisme sebagai suatu perkembangan perbuatan dengan kekerasan yang perlu mendapat perhatian. Menurut Muladi, terorisme
merupakan kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime) yang membutuhkan pula penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa (Extraordinary Measure)
karena berbagai hal:5
1. Terorisme merupakan perbuatan yang menciptakan bahaya terbesar (the greatest danger) terhadap hak asasi manusia. Dalam hal ini hak asasi manusia untuk hidup (the right to life) dan hak asasi untuk bebas dari rasa takut.
2. Target terorisme bersifat random atau indiscriminate yang cenderung
mengorbankan orang-orang tidak bersalah.
3. Kemungkinan digunakannya senjata-senjata pemusnah massal dengan memanfaatkan teknologi modern.
4. Kecenderungan terjadinya sinergi negatif antar organisasi terorisme nasional dengan organisasi internasional.
4
Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, (Bandung: PT. Eresco, 1992), hlm. 127.
5
5. Kemungkinan kerjasama antara organisasi teroris dengan kejahatan yang terorganisasi baikyang bersifat nasional maupun transnasional.
6. Dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional.
Terorisme sebagai kejahatan telah berkembang menjadi lintas negara.
Kejahatan yang terjadi di dalam suatu negara tidak lagi hanya dipandang sebagai
yurisdiksi satu negara tetapi bisa diklaim termasuk yurisdiksi tindak pidana lebih dari
satu negara. Menurut Romli Atmasasmita dalam perkembangannya kemudian dapat
menimbulkan konflik yurisdiksi yang dapat mengganggu hubungan internasional
antara negara-negara yang berkepentingan di dalam menangani kasus-kasus tindak
pidana berbahaya yang bersifat lintas batas teritorial6
Kejahatan terorisme juga telah terjadi di Indonesia dan juga telah memakan
korban orang yang tidak berdosa baik warga negara Indonesia sendiri maupun warga
negara asing. Aksi peledakan bom bunuh diri pada tanggal 12 Oktober 2002 di
Legian, Kuta Bali yang menewaskan kurang lebih 184 orang dan ratusan orang lainya
luka berat dan ringan dari berbagai negara seperti Australia, Amerika Serikat, Jerman,
Inggris dan lain-lain. Aksi-aksi lain dengan menggunakan bom juga banyak terjadi di
Indonesia seperti di Pertokoan Atrium Senen Jakarta, peledakan bom di Gedung
Bursa Efek Jakarta, peledakan bom restoran cepat saji Mc Donald Makassar,
peledakan bom di Hotel J W Mariot Jakarta, peledakan bom di Kedutaan Besar
Filipina dan dekat Kedutaan Besar Australia, serta beberapa kejadian peledakan bom
di daerah konflik seperti Poso, Aceh dan Maluku yang kesemuanya itu menimbulkan
6
rasa takut dan tidak tentram bagi masyarakat. Akibat aksi pengeboman tersebut
disamping runtuhnya bangunan dan sarananya, juga telah menyebabkan timbulnya
rasa takut bagi orang Indonesia maupun orang asing. Dikancah internasional
menyebabkan turunnya rasa kepercayaan dunia internasional kepada sektor keamanan
di Indonesia, menurunnya sektor pariwisata karena adanya pengakuan bahwa di
Indonesia memang benar ada teroris.7
Akibat yang ditimbulkan karena perbuatan terorisme dapat dilihat dari
peristiwa peledakan bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 yang menyebabkan
meninggalnya lebih kurang 184 orang dan yang menderita luka berat dan ringan dari
berbagai bangsa yang sedang berwisata di Pulau Bali. Berbagai bangunan juga telah
hancur akibat ledakan bom tersebut. Akibat secara ekonomi antara lain turis yang
membatalkan kunjungannya ke Pulau Bali khususnya dan Indonesia pada umumnya
karena merasa terancam dan tidak nyaman berada di Indonesia. Bahkan Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan Resolusi Nomor 1438
(2002) yang mengutuk sekeras-kerasnya peledakan bom Bali dan menyampaikan
duka cita dan simpati kepada pemerintah dan rakyat Indonesia serta para korban dan
keluarganya, dan menyerukan kepada semua negara berdasarkan Resolusi Nomor
1373 (2002) untuk bekerjasama mendukung dan membantu Pemerintah Indonesia
7
untuk menangkap semua pelaku yang terkait dengan peristiwa bom Bali dan
membawanya ke Pengadilan.8
Dengan tertangkapnya para pelaku yang diduga telah melakukan tindak
pidana terorisme, khususnya di Indonesia sudah tentu para pelaku yang diduga
melakukan tindak pidana terorisme tersebut mempunyai berbagai hak walaupun
tindak pidana terorisme pada hakikatnya adalah kejahatan kemanusiaan.
Sekurang-kurangnya ada 7 (tujuh) kelompok hak-hak tersangka/terdakwa yang secara tegas
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu:9
1. Hak untuk segera diperiksa. Pasal 50 KUHAP menentukan pemeriksaan segera
itu untuk: dipenyidikan, diajukan kesidang pengadilan dan diadili serta mendapat
putusan pengadilan.
2. Hak untuk melakukan pembelaan, yang diatur antara lain dalam Pasal 51 sampai
dengan Pasal 57 KUHAP. Hak-hak pembelaan diri ini sekurang-kurangnya
meliputi 8 (delapan) hal: (1) berhak diberitahukan dengan jelas dalam bahasa
yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangka/didakwakan, (2) hak
pemberitahuan itu mulai berlaku pada waktu pemeriksaan, (3) pemberitahuan itu
juga terhadap apa yang didakwakan dipersidangan pengadilan, (4) hak untuk
memberikan keterangan secara bebas disemua tingkat pemeriksaan, (5) berhak
mendapat juru bahasa, (6) berhak mendapat bantuan hukum pada semua tingkat
8
Susilo Bambang Yudhoyono, Selamatkan Negeri Kita Dari Terorisme, Kementrian Koordinator Polkam, 2002, hlm. 4.
9
pemeriksaan dan setiap waktu yang diperlukan, (7) bebas memilih penasehat
hukumnya, (8) wajib didampingi penasehat hukum dalam hal tersangka/terdakwa
dipersangkakan tindak pidana dengan ancaman hukuman mati, 15 tahun keatas
atau 5 tahun.
3. Hak tersangka/terdakwa selama berada dalam penahanan. Meliputi
sekurang-kurangnya 6 (enam) hal, yaitu: (1) menghubungi dan menerima kunjungan dokter
pribadinya untuk kepentingan kesehatan untuk proses perkara atau yang tidak
berhubungan, (2) pemberitahuan status dan tempat penahanan kepada pihak
keluarga atau orang yang serumah dengannya, (3) hak untuk menerima kunjungan
keluarga atau Advokat, (4) hak atas kunjungan sanak keluarga untuk kepentingan
pekerjaan atau urusan keluarga yang tidak ada hubungan dengan perkara
tersangka/terdakwa, (5) hak untuk surat menyurat dengan Advokat atau keluarga,
(6) hak untuk kunjungan rohaniawan.
4. Hak terdakwa selama masa persidangan, meliputi: (1) hak terdakwa untuk diadili
pada persidangan yang terbuka untuk umum, (2) hak untuk mengajukan saksi
yang meringankan, (3) hak untuk tidak dibebani pembuktian.
5. Hak terdakwa untuk melakukan upaya hukum biasa seperti banding dan kasasi,
juga upaya hukum luar biasa untuk peninjauan kembali.
6. Hak tersangka atau terdakwa untuk menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.
7. Hak terdakwa setelah putusan pengadilan diucapkan dipersidangan, meliputi: (1)
menerima atau menolak putusan, (2) mempelajari putusan selama tenggang waktu
yang ditentukan untuk dapat langsung mengajukan grasi, dalam hal ia menerima
putusan, (4) meminta banding dalam tenggang waktu yang ditentukan, (5)
mencabut pernyataan tentang menolak atau menerima putusan selama dalam
tenggang waktu yang ditentukan.
Khusus yang berkaitan dengan hak untuk mendapat bantuan hukum dari
seorang Advokat terhadap pelaku yang diduga telah melakukan tindak pidana
terorisme, maka bantuan hukum adalah bantuan memberikan jasa untuk:10
1. Memberikan nasehat hukum.
2. Bertindak sebagai pendamping atau kuasa dalam menyelesaikan masalah yang timbul karena adanya perselisihan hukum yang menyangkut hak dan kewajiban seseorang baik diluar maupun dimuka pengadilan.
3. Bertindak sebagai pendamping dan pembela seseorang yang dituduh melakukan kejahatan dalam perkara pidana.
Pemberian bantuan hukum terhadap pelaku yang diduga melakukan tindak
pidana yang dalam hal ini juga adalah pelaku tindak pidana terorisme didasarkan
pada asas yang terdapat dalam hukum pidana dan hukum acara pidana, yaitu:11
1. Tiada perbuatan dapat dihukum kecuali yang telah ditentukan dalam
Undang-Undang (pidana).
2. Tiada seorang dapat dinyatakan bersalah sebelum dibuktikan dimuka Hakim.
Asas yang demikian dijamin dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 6 dan Pasal 8 yang masing-masing
berbunyi sebagai berikut:
10
Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum Departemen Kehakiman, Penyuluhan Hukum Tentang Bantuan Hukum, (Jakarta: Pengayoman, 1981), hlm. 11.
11
Pasal 6: (1) Tiada seorang juapun dapat dihadapkan didepan pengadilan selaindaripada yang ditentukan baginya oleh Undang-Undang.
(2) Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-Undang mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.
Pasal 8: Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan dan/atau dihadapkan didepan Pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Adanya kedua asas ini jelaslah bahwa martabat manusia sebagai anggota
masyarakat dihargai sehingga orang berhak menyatakan dirinya tidak bersalah
sebelum terbukti kesalahannya dihadapan sidang Pengadilan.
Berdasarkan uraian tersebut lalu timbul pertanyaan, bagaimana dengan
orang-orang yang diduga telah melakukan tindak pidana (terorisme) ternyata tidak mampu
untuk membayar seorang Penasehat Hukum/Advokat guna membela dirinya terutama
dalam hal ancaman hukuman yang berat? Dapat dikemukakan bahwa hukum pidana
termasuk hukum publik yang mengatur hubungan orang dengan
masyarakat/Pemerintah, maka Pemerintah dalam rangka pemberian bantuan hukum
menyediakan anggaran. Pemerintah menyediakan dana bagi mereka yang
kurang/tidak mampu untuk mendapatkan haknya dibantu oleh seorang Penasehat
Hukum/Advokat. Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.02.UM.09.08
Tahun 1980 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Hukum, pada pokoknya
ditentukan sebagai berikut:12
12
1. Pemberian bantuan hukum diselenggarakan melalui badan Peradilan Umum (dalam hal ini Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi).
2. Bantuan hukum diberikan kepada tertuduh yang kurang mampu/tidak mampu dalam perkara pidana:
a. Yang diancam dengan pidana lima tahun penjara atau lebih, seumur hidup, atau pidana mati.
b. Yang diancam dengan pidana kurang dari lima tahun, tetapi perkara tersebut menarik perhatian masyarakat luas.
3. Untuk dapat diberikan dana bantuan hukum harus ada bukti berupa surat keterangan bahwa tertuduh tidak mampu dari pejabat yang bersangkutan. 4. Dengan bukti tersebut Majelis Hakim menunjuk seorang/lebih pemberi
bantuan hukum yang ada didaerah hukum Pengadilan Negeri Setempat. Kalau didaerah hukum Pengadilan Negeri tersebut tidak ada pemberi bantuan hukum maka dapat menunjuk pemberi bantuan hukum didaerah Pengadilan Negeri lain yang terdekat.
5. Dengan dana yang tersedia, para pemberi bantuan hukum tersebut diberi honorarium oleh Pemerintah melalui Badan Peradilan Umum, dalam hal ini Pengadilan Negeri setempat.
Konsep bantuan hukum sesungguhnya merupakan konsep keadilan sosial
sebagaimana tercantum pada sila ke-5 (lima) Pancasila. Keadilan sosial itu sendiri
diberi batasan dengan berpegang pada rumusan keadilan dari Aristoteles: ”virtus suum unus que tribuere” yakni memberikan kepada seseorang sesuatu bagian apa yang menjadi haknya.13
Arti dan tujuan bantuan hukum harus selaras dengan dasar negara Pancasila
dan oleh karena itu konsep bantuan hukum harus diarahkan untuk tujuan-tujuan
sebagai berikut:
. Kemudian Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 adalah
penjabaran keadilan sosial yang merupakan cita-cita bangsa yang ingin dicapai
melalui gerakan pembangunan dan pelaksanaan dari cita-cita tersebut.
14
1. Merealisasikan pelaksanaan dan pengamalan sila kedua dari Pancasila.
13
Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun VI No. 64, Januari 1991, hlm. 143.
14
2. Memperlancar fungsi dan integritas peradilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 3. Sebagai pihak yang ikut serta dalam membangun sistem hukum nasional
juga melibatkan berbagai pihak terutama dalam memilih dan merumuskan nilai hukum yang akan dijadikan landasan sistem hukum nasional.
4. Untuk mengefektifkan peraturan-peraturan kesejahteraan sosial bagi keuntungan simiskin.
5. Untuk menumbuhkan tanggungjawab yang lebih besar bagi Pejabat Pemerintah kepada masyarakat.
6. Untuk menggiatkan partisipasi masyarakat kedalam program pemerintah. 7. Untuk kepentingan pengembangan profesi hukum itu sendiri.
Artinya adalah bahwa pelaku yang disangka melakukan tindak pidana
terorisme, selain mempunyai kewajiban juga mempunyai hak-hak dihadapan hukum
yang salah satunya adalah hak untuk mendapat bantuan hukum dari Advokat.
Seorang Advokat juga tidak boleh menolak apabila diminta untuk melakukan
pembelaan, khususnya terhadap tindak pidana terorisme yang merupakan bagian dari
tanggungjawab profesi seorang Advokat. Hal tersebut dapat diperhatikan dalam
sumpah atau janji seorang Advokat, yaitu:15
Demi Allah bersumpah/saya berjanji:
a. Bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia; b. Bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung
dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapapun juga;
c. Bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggungjawab berdasarkan hukum dan keadilan;
d. Bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi didalam atau diluar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara klien yang sedang atau akan saya tangani;
15
e. Bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggungjawab saya sebagai Advokat;
f. Bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum didalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggungjawab profesi saya sebagai seorang Advokat.
Salah satu contoh pemberian bantuan hukum oleh Advokat terhadap pelaku
yang diduga telah melakukan tindak pidana terorisme adalah pada kasus Ustadz Abu
Bakar Baasyir yang memperoleh bantuan hukum dari Tim Pembela Muslim yang
diwakili oleh Mahendradatta. Dimana Ustadz Abu Bakar Baasyir yang juga
merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mukmin di Ngruki, Jawa Tengah, dan
ketua kelompok Islam Jamaah Anshorud Tauhid tersebut dijerat Pasal berlapis, yaitu
Pasal 7, Pasal 9, dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003. Abu Bakar
Baasyir diancam hukuman penjara seumur hidup dan maksimal hukuman mati. Abu
Bakar Ba'asyir diduga dengan sengaja menyediakan dana untuk kejahatan terorisme.
Ia dituding menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme juga menyembunyikan
informasi si pelaku. Ia pun disangka terlibat pendirian kamp pelatihan terorisme di
Bumi Serambi Mekkah.16
Disisi lain, persoalan yang kerap muncul dalam pemberian bantuan hukum
terhadap pelaku tindak pidana terorisme adalah berkaitan dengan bukti permulaan
yang cukup untuk dimulainya penyidikan, sehingga pada gilirannya akan membawa
dampak terhadap hak asasi seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana
16
terorisme. Mengenai batasan dari pengertian Bukti Permulaan itu sendiri, hingga kini
belum ada ketentuan yang secara jelas mendefinisikannya, sedangkan mengenai bukti
permulaan dalam konteks Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 meliputi:17
1. Untuk memperoleh Bukti Permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelejen.
2. Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh Bukti Permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses
pemeriksaan oleh Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri.
3. Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
4. Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya Bukti Permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan Penyidikan.
Permasalahannya adalah masih terdapat kesimpang siuran tentang pengertian
Bukti Permulaan itu sendiri, sehingga sulit menentukan apakah yang dapat
dikategorikan sebagai Bukti Permulaan, termasuk pula Laporan Intelijen, apakah
dapat dijadikan Bukti Permulaan. Selanjutnya, menurut pasal 26 ayat 2, 3 dan 4
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, penetapan suatu Laporan Intelijen sebagai Bukti Permulaan dilakukan
oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri melalui suatu proses/mekanisme
pemeriksaan secara tertutup. Hal itu mengakibatkan pihak intelijen mempunyai dasar hukum yang kuat untuk melakukan penangkapan terhadap
seseorang yang dianggap melakukan suatu Tindak Pidana Terorisme, tanpa adanya
pengawasan masyarakat atau pihak lain mana pun. Padahal kontrol sosial sangat
dibutuhkan terutama dalam hal-hal yang sangat sensitif seperti perlindungan terhadap
17
hak-hak setiap orang sebagai manusia yang sifatnya asasi, tidak dapat diganggu
gugat. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya tindakan kesewenang-wenangan
yang dilakukan terhadap pelaku yang diduga telah melakukan tindak pidana
terorisme, maka disinilah diperlukan salah satu peran dan fungsi Advokat dalam
memberikan bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme.
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan diatas, mengingat bahwa kendati tindak
pidana terorisme adalah suatu perbuatan yang sangat tidak terpuji. Namun terhadap
pelaku yang disangka telah melakukan tindak pidana terorisme tersebut juga
mempunyai berbagai hak, diantaranya adalah hak untuk mendapatkan bantuan hukum
dari Advokat.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang sebagaimana dikemukakan diatas, maka perlu
dibuat rumusan masalah yang berkenaan dengan peran dan fungsi Advokat dalam
pemberian bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme, sebagai berikut:
1. Bagaimanakah urgensi pemberian bantuan hukum oleh Advokat terhadap pelaku
tindak pidana terorisme?
2. Hambatan-hambatan apa yang dihadapi oleh Advokat dalam memberikan bantuan
C. Tujuan Penelitian
Sedangkan yang menjadi tujuan penelitian yang dilakukan adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui urgensi pemberian bantuan hukum oleh Advokat terhadap
pelaku tindak pidana terorisme.
2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Advokat dalam
memberikan bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme.
D. Manfaat Penelitian
Kegunaan atau manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang dilakukan ini
antara lain adalah sebagai berikut :
1. Secara teoritis.
Hasil penelitian ini akan melahirkan beberapa konsep ilmiah yang pada
gilirannya akan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu
hukum, khususnya yang berkaitan dengan urgensi pemberian bantuan hukum oleh
Advokat terhadap pelaku tindak pidana terorisme.
2. Secara praktis.
a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum, Institusi Pemerintah
dan Penegak Hukum dikalangan masyarakat luas.
b. Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan yang berkaitan dengan
c. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk menambah wawasan
dalam bidang ilmu hukum, khsususnya yang berkaitan dengan urgensi
pemberian bantuan hukum oleh Advokat terhadap pelaku tindak pidana
terorisme.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pengamatan serta penelusuran kepustakaan yang dilakukan,
penelitian yang mengangkat judul tentang “ Urgensi Pemberian Bantuan Hukum Oleh Advokat Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme” ini belum pernah dilakukan baik dalam judul maupun permasalahan yang sama. Sehingga penelitian ini
dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keasliannya dapat saya
pertanggungjawabkan, karena dilakukan dengan nuansa keilmuan, kejujuran,
rasional, objektif dan terbuka serta dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan
akademis.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka teori.
Indriyanto Seno Adji mengatakan bahwa Sistem Peradilan Pidana di
Justice System, suatu sistem yang dikembangkan oleh praktisi hukum (Law enforcement officers) di Amerika Serikat.18
Sedangkan Norvel Morris sebagaimana dikutip Mardjono Reksodiputro,
mengatakan bahwa:
Sistem Peradilan Pidana adalah suatu operasionalisasi atau suatu sistem yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan, salah satu usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan negara berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat “diselesaikan” dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputus bersalah serta mendapat pidana.19
Sementara itu, Loebby Loqman mengatakan tujuan dari sistem peradilan
pidana adalah :
Terciptanya keadilan dalam memperjelas suatu perkara, disamping untuk menjaga agar hak asasi manusia terlaksana meskipun terjadi upaya paksa yang tentunya akan terjadi pelanggaran hak asasi manusia tersebut. Tujuan lain dari SPP adalah menjaga agar seorang yang tidak bersalah dilakukan pemidanaan, sebagai tujuan dari Hukum Acara Pidana lainnya, yaitu mencari kebenaran materiil dimana dengan demikian akan tercipta suatu keadilan dalam masyarakat.20
Dalam perkembangannya sistem peradilan pidana itu mengalami
prluasan arti dan tujuannya sebagaimana dipaparkan oleh Mardjono Reksodiputro
18
Indriyanto Seno Adji, Arah dan Sistem Peradilan (Pidana) terpadu Indonesia (suatu tinjauan pengawasan aplikatif dan praktek), (Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2001), hlm. 5.
19
Mardjono Reksodiptro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan karangan buku kedua, (Jakarta; Lembaga Kriminologi UI), hlm. 140
20
sebagai berikut:21
Diatas memang tugas utama dari sistem ini, tetapi tidak merupakan keseluruhan tugas sistem. Masih merupakan bagian tugas sistem adalah mencegah terjadinya korban kejahatan maupun mencegah bahwa mereka yang sedang ataupun telah selesai menjalani pidana tidak mengulangi lagi perbuatan mereka melanggar hukum itu. Dengan demikian cakupan tugas sistem ini memang luas : (a) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, (b) menyelesaikan kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta (c) berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Berbicara tentang sistem peradilan pidana (criminal justice system) tidak terlepas kaitannya dengan sistem hukum (legal system), karena sistem peradilan pidana adalah merupakan sub-sistem dari sistem hukum itu sendiri. Dalam hal ini
Lawrence M. Friedman mengemukakan:22
Sistem hukum (legal system) tidak saja merupakan rangkaian larangan atau perintah, akan tetapi lebih dari itu sebagai serangkaian aturan yang bisa menunjang, meningkatkan, mengatur, dan menyuguhkan cara untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, kita akan berbicara tentang 3 (tiga) komponen penting dalam sistem hukum (legal system) yaitu: legal structure, legal substance, dan legal culture. Ketiga hal ini adalah komponen pembentuk sesbuah sistem hukum (legal system) yang dikehendaki oleh sebuah masyarakat.
Lebih lanjut lagi menurut Lawrence M. Friedman, untuk menggambarkan
kinerja kutipan komponen tersebut diatas dapat kita bayangkan apabila komponen
struktur hukum (legal structure) diibaratkan sebagai sebuah mesin, maka substansi hukumnya (legal substance) adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan
21
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Makalah, Jakarta, 13 November 2001
22
oleh mesin itu, sedangkan budaya hukum (legal culture) adalah apa atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan atau mematikan, menetapkan
bagaimana mesin itu digunakan. Bagi Friedman yang terpenting adalah fungsi
dari hukum itu sendiri, yaitu sebagai kontrol sosial (ibarat polisi), penyelesaian
sengketa (dispute settlement), skema distribusi barang dan jasa (goods distributing scheme), dan pemeliharaan sosial (social maintenance).23
Di Indonesia, tahapan dalam peradilan pidana dijalankan oleh subsistem
yaitu terhadap penyidikan oleh Kepolisian, penuntutan oleh Kejaksaan,
pemeriksaan sidang Pengadilan oleh Pengadilan, pemasyarakatan oleh Lembaga
Pemasyarakatan dan bantuan hukum oleh Advokat. Kelima komponen ini
bekerjasama membentuk apa yang dikenal dengan nama suatu “Integrated Criminal Justice”.24
Lebih lanjut Mardjono Reksodiputro mengemukakan bahwa :
Sebagai suatu sistem, maka cara kerja sistem peradilan
pidana ini didukung oleh kelima komponen diatas (Polisi, Jaksa, Hakim,
Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat).
Sering kita melupakan bahwa lembaga-lembaga yang melaksanakan penyelenggaraan peradilan pidana harus saling berhubungan dalam suatu sistem. Oleh karena itulah sering dipergunakan istilah “Sistem Peradilan Pidana”, yang terdiri atas sub-sub sistem : Kepolisian, Kejaksaan, Advokat, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Dalam system peradilan inilah, maka profesi pengacara (Advokat), profesi jaksa dan profesi hakim melakukan masing-masing tugas mereka.25
23
Ibid, hlm. 2.
24
Mardjono Reksodiputro, op.cit, hlm. 85 25
Setiap sistem mempunyai tujuan tertentu yang harus dihayati baik oleh
sub sistem itu sendiri maupun sub sistem lainnya. Meskipun setiap sub-sistem
akan mempunyai pula tujuannya sendiri, yang merupakan landasan dan pedoman
kerja bagi mereka yang bekerja dalam sub-sistem yang bersangkutan, tetapi
masing-masing tujuan sub-sistem tidak boleh bertentangan dengan tujuan utama,
yaitu dari sistem itu sendiri (dalam hal ini: Sistem Peradilan Pidana).26
Menurut Romli Atmasasmita sebagaimana dikutip Mujahid, lima ciri
pendekatan sistem peradilan pidana:
Kesalahan
pada sub-sistem yang satu akan mengakibatkan kegagalan pada sub-sistem yang
lainnya sehingga tujuan dari sistem itu sendiri yaitu tujuan SPP tidak akan
terwujud.
27
1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana;
2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana;
3. Efektivitas dari sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara;
4. Penggunaan hukum sebagai instrument untuk memantapkan the administration of justice.
Sementara Muladi berpendapat, penggunaan istilah sistem dalam system
peradilan pidana, semua subsistem harus mengarah pada 6 (enam) hal, yaitu:28
1. Berorientasi pada tujuan yang sama; 2. Menjauhkan sifat fragmentaris;
26 Ibid.
27
Mujahid, Menciptakan Mekanisme Pengawasan yang Efektif Dalam SPP, Tesis (Jakarta: Program Pasca Sarjana UI, 2004), hlm. 3.
28
3. Berinteraksi dengan sistem yang lebih besar;
4. Adanya keterkaitan dan ketergantungan antar sub-sistem; 5. Operasionalisasi bagian-bagiannya menciptakan nilai tertentu; 6. Adanya mekanisme kontrol dalam rangka pengendalian.
Dengan melihat pendapat diatas dapat dilihat terdapat jenis pendekatan
internal dan eksternal dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana. Pendekatan
internal mencakup bagaimana sistem peradilan pidana bekerja untuk mencapai
tujuan dimana salah satu sub-sistem dari sistem peradilan pidana adalah Advokat,
sedangkan pendekatan eksternal menempatkan sistem peradilan pidana dalam
sistem yang lebih besar dimana terdapat interaksi antara sistem peradilan pidana
dengan sistem sosial lainnya. Dalam hal ini Advokat sebagai Sub-sistem dalam
sistem peradilan pidana merupakan bagian dari interaksi tersebut. Dari
pendekatan tersebut, dibutuhkan sebuah mekanisme pengawasan untuk menilai
bagaimana sistem peradilan pidana bekerja untuk mencapai tujuannya.
Dari uraian diatas dapat dilihat 3 (tiga) hal mendasar yang harus
diperhatikan dalam pembaharuan sistem peradilan pidana di Indonesia yaitu
keterpaduan dalam sistem peradilan pidana, adanya interaksi sistem peradilan
pidana dan adanya mekanisme kontrol. Pendekatan sistem dalam sistem peradilan
pidana menyangkut masalah perencanaan, organisasi dan kebijakan. Dengan
sendirinya seluruh komponen-komponen yang ada yaitu: Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat mempunyai perencanaan,
pengorganisasian dan pengambilan kebijakan dimungkinkan berbeda. Akan
Oleh karena itu dalam sistem peradilan pidana memungkinkan adanya konsep
Unity in diversity. Maksudnya, dalam peradilan pidana setiap subsistem sistem peradilan pidana menjalankan fungsi masing-masing dengan membedakan praktis
yang berbeda pula tetapi tetap dalam kerangka besar sistem peradilan pidana.
Menurut Muladi, tidak hanya dalam konteks hukum acara semata. sistem
peradilan pidana juga mencakup kesamaan pandang dalam hukum materiel dan
hukum pelaksanaan pidana. Lebih jauh Muladi berpendapat:29
Konotasi bahwa sistem peradilan pidana tidak hanya bersentuhan dengan hukum formal semata, apa yang dinamakan sistem abstrak tercermin dari hukum materiil yang menggambarkan secara jelas aliran hukum pidana yang dianut suatu bangsa, yang selanjutnya diterjemahkan dalam hukum formil dan hukum pelaksanaan pidana.
Hubungan antara sub-sistem dalam sistem peradilan pidana bersifat
interdependen, yakni pendekatan sistem terhadap peradilan pidana membuka
ruang adanya konsultasi dan kooperasi antar sub-sistem.30 Lebih jauh Harkristuti
Harkrisnowo menggambarkan, pendekatan sistem yang digunakan untuk
mengkaji peradilan pidana mempunyai implikasi:31
1. Semua sistem akan saling tergantung, karena produk suatu sub-sistem merupakan masukan bagi sub-sub-sistem yang lain;
2. Pendekatan sistem mendorong adanya inter-agency consultation and corporation, yang pada gilirannya akan meningkatkan upaya penyusunan strategik dari keseluruhan sub-sistem;
29
Muladi, Akses Pengadilan dan Bantuan Hukum, Makalah Workshop Akses Publik ke Pengadilan,. Jakarta 10 Juli 2002
30
Harkristuti Harkrisnowo, Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan peran Akademis, Makalah Pada Forum Dengar Pendapat Publik: Pembaharuan Kejaksaan, Kejaksaan Agung, Jakarta 24-25 Juni 2003
3. Kebijakan yang diputuskan dan dijalankan oleh satu sub-sistem akan berpengaruh pada sub-sistem lain.
Menjadi keharusan, sub-sistem dalam sebuah sistem berorientasi pada
tujuan yang sama. Untuk mencapainya, dibutuhkan sebuah mekanisme yang
terarah. Ketidakpaduan antar sub-sistem administrasi peradilan pidana akan
menyebabkan terhambatnya proses peradilan. Fragmentasi sub-sistem akan
mengurangi efektivitas sistem bahkan menyebabkan keseluruhan sistem
disfungsional.32
Untuk mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu dan menghindari
adanya fragmentasi maka perlu adanya sinkronisasi dalam sistem peradilan
pidana baik substansi, struktur maupun budaya hukum.33 Sinkronisasi substansial
mencakup sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
sistem peradilan pidana mengenai tugas dan wewenang aparat penegak hukum.34
Sinkronisasi struktural, bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenang
mencakup keselarasan dalam mekanisme penyelenggaraan peradilan pidana
dalam kerangka hubungan antar sub-sistem. Selain Kepolisian, penyidikan
dilakukan juga oleh Kejaksaan dan penyidik PNS lainnya, oleh karena itu perlu
adanya sinkronisasi, sehingga tidak tumpang tindih pelaksanaan tugas antara
aparat penegak hukum. Sinkronisasi kultural mengandung usaha untuk selalu
32Muladi,
Peran Administrasi Peradilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu, loc.cit.
33 Ibid.
34
serempak dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah
yang secara menyeluruh mendasari jalannya Sistem Peradilan Pidana.35
Perlunya sinkronisasi dalam ketiga aspek tersebut karena perlunya
kesamaan pandang dan gerak seluruh sub-sistem sistem peradilan pidana dalam
mencapai tujuan sistem peradilan pidana. Masalah utama yang muncul dalam
pelaksanaan sistem peradilan pidana sekarang, menurut Harkristuti belum seluruh
ketentuan berorientasi pada sistem demi menunjang kinerja semua lembaga dalam
proses peradilan pidana.36
Untuk mewujudkan sebuah sistem peradilan pidana terpadu, terdapat
sejumlah contributing factors yang perlu diperhatikan. Harkristuti menjelaskan
contributing factors antara lain:37
1. Penerapan hukum dan kebijakan mengenai sistem peradilan pidana sangat bergantung pada kerjasama antar lembaga;
2. Persepsi tiap lembaga mengenai peran mereka dalam proses peradilan pidana akan sangat mempengaruhi keputusan-keputusan kunci dan penerapan ketentuan formal;
3. Kerjasama antar lembaga dapat ditingkatkan atau mungkin sebaliknya dihambat oleh sikap dan hubungan antar lembagalembaga yang berbeda dengan para pihak yang terlibat;
4. Setiap perubahan dan reformasi mengenai kebijakan dan perundang-undangan, oleh karenanya harus memperhitungkan pula kesiapan dan kualitas Sumber daya serta budaya hukum masyarakat;
5. Dibutuhkan kepekaan yang lebih tinggi dari lembaga terkait untuk memiliki dan mencapai tujuan bersama.
35
Muladi, Peran Administrasi Peradilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu, loc. cit.
36
Harkristuti Harkrisnowo, Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan Peran Akademis, loc.cit 37
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang
menjadi komponen dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) beserta dengan tugasnya adalah sebagai berikut:
1. Kepolisian.
Kepolisian sebagai subsistem peradilan pidana sesuai dengan Pasal 13
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik
mempunyai tugas pokok untuk: memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat.38
2. Kejaksaan.
Sedangkan dalam peradilan pidana,
kepolisian mempunyai kewenangan yang khusus sebagai penyidik
sebagaimana diatur dalam Pasal 15 dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 dan Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Adapun yang menjadi tugas kejaksaan sebagai subsistem peradilan pidana
adalah sebagai berikut:39
a. Melakukan penuntutan;
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
38
Perhatikan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
39
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
3. Pengadilan.
Keberadaan pengadilan sebagai subsistem peradilan pidana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Hal
tersebut dapat dilihat dari pengertian kekuasaan kehakiman yaitu: kekuasaan
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara
Hukum Republik Indonesia.40
4. Lembaga Pemasyarakatan.
Sebagai subsistem peradilan pidana, keberadaan Lembaga Pemasyarakatan
(Lapas) sangat dibutuhkan, karena setelah seseorang dinyatakan bersalah
karena melakukan tindak pidana, maka orang tersebut harus mendapat
pembinaan agar sehingga diharapkan dikemudian hari pelaku tindak pidana
tersebut tidak mengulangi lagi perbuatannya. Karena masksud dan tujuan dari
diadakannya pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan
Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara
40
pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata
peradilan pidana.41
5. Advokat.
Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
Tentang Advokat menyatakan bahwa Advokat adalah sebagai penegak
hukum. Artinya, seluruh pelayanan, tindakan dan bahkan tingkah laku
Advokat adalah dalam rangka atau sebagai penegak hukum. Sebagai penegak
hukum tidak berarti kebal hukum karena semua warga negara bersamaan
kedudukannya didepan hukum. Namun dengan pernyataan yang demikian
dalam Undang-Undang menjadikan profesi Advokat menjadi jelas dan tegas
statusnya khususnya jika berhubungan dengan aparat penegak hukum yang
lain. Dengan perkataan lain, secara formal telah diakui bahwa Advokat adalah
bahagian dari sistem peradilan pidana.42
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa tujuan dari sistem
peradilan pidana adalah agar terciptanya keadilan dalam memperjelas suatu
perkara, disamping untuk menjaga agar hak asasi manusia terlaksana. Demikian
juga halnya dengan hak individu untuk didampingi Advokat (acces to legal counsel) merupakan sesuatu yang imperative dalam rangka mencapai proses hukum yang adil (due proces of law). Dengan kehadiran Advokat dapat dicegah
41
Perhatikan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
42
perlakuan yang tidak adil oleh Polisi, Jaksa, atau Hakim dalam proses interogasi,
investigasi, pemeriksaan, penahanan, peradilan, dan hukuman.43
Disamping itu juga, diadakannya sistem peradilan pidana dan berhaknya
seorang yang diduga telah melakukan tindak pidana didampingi oleh pembela
(Advokat) adalah dalam rangka menegakkan asas equality before the law (setiap orang sama dipandang dihadapan hukum) dan juga asas presumption of innocence
(praduga tidak bersalah), artinya adalah bahwa Setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap
tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya
dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.44
Selanjutnya, asas equality before the law dan asas presumption of innocence tersebut ditegakkan adalah dalam rangka menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara
hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia.45
43
Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum, Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2000), hlm. 104.
44
Perhatikan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
45
Hak asasi merupakan sejumlah hak yang seakan-akan berakar dalam tabiat
setiap oknum pribadi manusia justeru karena kemanusiaannya yang tidak dapat
dicabut oleh siapapun juga, karena apabila dicabut maka hilang juga kemanusiaan
itu. Oleh karena itu, merupakan jaminan kebebasan setiap individu manusia untuk
menentukan isi jiwanya sendiri, untuk melahirkan isi jiwanya itu dengan suara
atau aktivitas lain, dan untuk mengembangkan aktivitasnya itu baik secara
individual maupun secara berorganisasi dengan individu-individu lain dengan
kehendaknya. Akan tetapi tidak dapat disangkal bahwa negara (pemerintah)
berhak juga membatasi kebebasan-kebebasan individu itu.46
Secara harafiah, yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah:47
Hak pokok atau hak dasar. Jadi, hak asasi itu merupakan hak yang bersifat fundamental sehingga keberadaannya merupakan suatu keharusan (conditio sine qua non), tidak dapat diganggu gugat. Bahkan harus dilindungi, dihormati dan dipertahankan dari segala macam ancaman, hambatan dan gangguan dari sesamanya.
Sejalan dengan hal tersebut, Ramdlon Naning menyatakan bahwa:48
Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada martabat manusia, yang melekat padanya sebagai ciptaan Allah Yang Maha Esa atau hak-hak dasar yang prinsip sebagai anugerah Illahi. Berarti Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya, karena itu Hak Asasi Manusia bersifat luhur dan suci.
46
Samidjo, Ilmu Negara, (Bandung: CV. Armico, 1986), hlm. 339.
47
O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, (Bandung: PT. Alumni, 2006), hlm. 60.
48
Berdasarkan pengertian Hak Asasi Manusia tersebut diatas, paling sedikit
terdapat 4 (empat) kelompok pandangan mengenai Hak Asasi manusia, yaitu:49
1. Mereka yang berpandangan universal-absolute yang melihat Hak Asasi Manusia sebagai nilai-nilai universal belaka seperti dirumuskan dalam the international bill of human rights. Kelompok ini tidak menghargai sama sekali profil sosial budaya yang melekat pada masing-masing bangsa. Pandangan ini dianut oleh negara-negara maju, pada negara-negara berkembang dalam urusan Hak Asasi Manusia, negara maju dipandang eksploitatif karena menggunakannya sebagai alat untuk menekan dan instrumen penilai (tool of judgment). 2. Negara-negara atau kelompok yang memandang Hak Asasi Manusia
secara universal-relative. Mereka memandang Hak Asasi Manusia sebagai masalah universal, tetapi asas-asas hukum internasional tetap diakui keberadaannya.
3. Negara atau kelompok yang berpandangan particularistic-absolute, yang berpandangan bahwa Hak Asasi Manusia merupakan persoalan masing-masing bangsa sehingga mereka menolak berlakunya dokumen-dokumen internasional. Pandangan ini bersifat chauvinis, egois dan pasif terhadap Hak Asasi Manusia.
4. Yang berpandangan particularistic-relative, yang melihat persoalan Hak Asasi Manusia disamping sebagai masalah universal juga merupakan persoalan masing-masing negara, berlakunya dokumen-dokumen internasional diselaraskan dan diserasikan dengan budaya bangsa.
Selanjutnya, di Indonesia pada saat memasuki era reformasi timbul
kehendak berbagai elemen masyarakat untuk mengubah UUD 1945, yang
membawa perubahan mendasar terhadap keberadaan dan diakuinya Hak Asasi
Manusia serta upaya penegakannya dalam kehidupan sehari-hari. Dari beberapa
Pasal UUD 1945 yang menegaskan soal Hak Asasi Manusia, ada beberapa Pasal
yang sangat berkaitan erat dengan perlindungan hukum atas hak asasi tersangka,
terdakwa, dan terpidana, yaitu Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 G
49
ayat (1) dan (2), Pasal 28 I ayat (1) dan (2), dan Pasal 28 J ayat (1) dan (2).
Ketentuan-ketentuan Pasal-Pasal dalam UUD 1945 yang dimaksud adalah secara
normatif konstitusional memberikan jaminan kepada setiap orang:50
1. Kedudukan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum. 2. Perlindungan dan kepastian hukum yang adil.
3. Perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang berada dibawah kekuasaannya.
4. Rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya.
5. Hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia.
6. Hak untuk hidup, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
7. Hak untuk mendapatkan perlindungan dan bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun.
Kesemuanya ini bermuara pada prinsip persamaan kedudukan dihadapan hukum (equality before the law).
Dalam ranah teoritis, Negara yang berdasarkan atas hukum harus
menjamin persamaan (equality) setiap individu termasuk kemerdekaan individu untuk menggunakan hak asasinya. Hal ini merupakan condition sine qua non, mengingat Negara hukum lahir sebagai hasil perjuangan individu untuk
melepaskan diri dari keterikatan serta tindakan sewenang-wenang penguasa. Atas
dasar itulah penguasa tidak boleh bertindak sewenang-wenang terhadap individu
dan kekuasaannya pun harus dibatasi.
Disamping asas persamaan kedudukan dihadapan hukum (equality before the law) yang menjadi elemen pokok dari konsep Hak Asasi Manusia, juga
50