• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penangkaran Kura-Kura Yang Berkelanjutan Berdasarkan Model Sistem Dinamik.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penangkaran Kura-Kura Yang Berkelanjutan Berdasarkan Model Sistem Dinamik."

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

PENANGKARAN KURA-KURA YANG BERKELANJUTAN

BERDASARKAN MODEL SISTEM DINAMIK

PURWANTONO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penangkaran Kura-kura yang Berkelanjutan berdasarkan Model Sistem Dinamik adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

PURWANTONO. Penangkaran Kura-kura yang Berkelanjutan berdasarkan Model Sistem Dinamik. Dibimbing oleh MIRZA DIKARI KUSRINI dan BURHANUDDIN

MASY’UD.

Penangkaran kura-kura merupakan salah satu konservasi ex-situ untuk memenuhi permintaan konsumen di pasaran baik untuk konsumsi maupun pet. Prakteknya sudah mulai dijalankan sejak beberapa tahun yang lalu sebagai bentuk usaha yang menghasilkan keuntungan, namun hingga saat ini belum ada kajian mengenai keberlanjutan dari usaha tersebut. Empat jenis kura-kura saat ini diketahui dimanfaatkan dan ditangkarkan di Indonesia yaitu labi-labi cina dan labi-labi/bulus untuk konsumsi serta kura-kura brazil dan kura-kura rote untuk hewan peliharaan (pet). Penelitian ini bertujuan: (1) mengidentifikasi aspek-aspek teknis manajemen penangkaran kura-kura, (2) mendeskripsikan pemanfaatan hasil dan perijinan dari penangkaran kura-kura, (3) mengidentifikasi keunggulan dan

kelemahan jenis kura-kura di penangkaran terkait aspek bioekologinya, (4) membuat rancangan dan simulasi model sistem dinamik penangkaran

kura-kura berkelanjutan, dan (5) mensintesis aspek konservasi manajemen penangkaran kura-kura yang berkelanjutan menggunakan model sistem dinamik.

Manajemen dari keempat jenis penangkaran bervariasi tergantung pada tujuan pemeliharaan dan asal kura-kura. Hasil penelitian menunjukkan bahwa spesies eksotis seperti kura-kura brazil dan labi-labi cina mudah beradaptasi, berbiak dan tumbuh dengan cepat dibandingkan jenis asli. Jenis ini juga diminati konsumen dan dapat dibuat dalam unit skala usaha yang besar (produksi massal), wewenang perijinan jenis eksotik berada di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan karena masih dikategorikan jenis ikan yang dibudidayakan. Sebaliknya, jenis asli merupakan jenis dengan pertumbuhan lambat dan masa dewasa lama. Oleh karena itu, unit penangkaran jenis asli masih dalam skala kecil, wewenang perijinannya di bawah Kementerian Kehutanan yang masih ditentukan berdasarkan kuota. Perbedaan wewenang ini merupakan salah satu masalah dalam pengembangan penangkaran kura-kura di masa depan.

Berdasarkan simulasi model sistem dinamik yang digunakan menunjukkan hasil bahwa labi-labi cina semula berjumlah 1 500 ekor pada tahun 1994, menjadi bertambah dengan pertumbuhan mengikuti kurva sigmoid dan diprediksi mencapai daya dukung setelah tahun 2015 dengan batas populasinya 190 200 ekor. Labi-labi semula berjumlah 74 ekor akan bertambah hingga mencapai 675 ekor sebagai indukan dewasa dan pemanenannya sudah dapat dilakukan pada tahun 2019. Kura-kura brazil dengan jumlah indukan sebanyak 52 190 ekor sudah dianggap memenuhi daya dukung yang tersedia dan dapat menghasilkan anakan yang siap jual dengan prediksi sebanyak 100 000 ekor per tahun. Kura-kura rote yang awalnya pada tahun 2002 hanya berjumlah 15 ekor, dapat dipanen anakannya 60 ekor per tahun.

Upaya penangkaran kura-kura dapat ditingkatkan dengan mempermudah perijinan, penyediaan induk melalui pemanfaatan hasil sitaan dan penangkapan terbatas di alam, insentif pengurangan pajak, penerbitan aturan khusus yang mengijinkan penjualan kura-kura hanya hasil penangkaran dan tidak untuk hasil tangkapan dari alam.

(5)

SUMMARY

PURWANTONO. Sustainable Turtles of Captive Breeding based Dinamic System Model. Supervised by MIRZA DIKARI KUSRINI and BURHANUDDIN MASY’UD.

Captive turtles are an ex-situ conservation practise to meet consumers demand for food and pet market. Captive breeding turtle farm as a profit-making business has been operated in Indonesia for many years, but there has been no study on the sustainability of the business. Four species of turtles are currently used and farmed in Indonesia. These species consist of chinese softshell turtle and common softshell turtle for consumption and brazilian turtle and rote turtle for pets. This study aims to: (1) identify the technical aspects of breeding management for turtles, (2) examine the use and licensing turtle captive, (3) identify the strengths and weaknesses of turtles were bred related ecobiology aspects, (4) create a design and simulation model of a dynamic system of breeding turtles, and (5) sintesis the management aspects of conservation breeding turtles used a dynamic system model.

Managament of the four farms varied depending on the purposes of the cultivation and the origins of the turtles. The research shows that the exotic species such as brazilian and chinese softshell turtles are easy to adapt, reproduce and grow faster than the local species. These species can be bred in a large scale unit under licence from the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries since it is categorized as a cultivated fish. On the contrary, local species are mostly slow growing and reach maturity longer than its counterparts. Hence, breeding operation for local species is mostly small scale business. The licensing authority for the local species is under the Ministry of Forestry through a quota system. The discrapencies of the authorities is one of the challenges that will affect the development of turtles farm in the future.

Based on the simulation of dynamic system model, the initial number of 1 500 chinese softshell turtle in 1994 can increase along sigmoid curve and is predicted to reach the carrying capacity in 2015 at the population limit of 190 200 turtles. The initial number of 74 common softshell turtle will grow to adult and at the time they are ready to harvest in 2019 the number will rise to 675 turtles. The number of red ear sliders 52 190 in the farm at the time of the research is considered to reach the carrying capacity of the farm and the number of juveniles that can be sell as pet is estimated 100 000 turtles per year. Rote snake necked terrapin was originally bred in 2002 with only 15 turtles as parent stock, however based on simulation it was be able to produce 60 juveniles per year.

Turtle captive breeding efforts can be enhanced by facilitating the process of permit, supply of parent stock through the use of confiscated turtles and limiting capture from nature, giving tax deductions to legal company, publishing special rules that allow the sale of turtle from captive breeding farm and limiting wild capture.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)
(8)
(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi

pada

Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati

PENANGKARAN KURA-KURA YANG BERKELANJUTAN

BERDASARKAN MODEL SISTEM DINAMIK

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(10)

ii

(11)

iii

Judul Tesis : Penangkaran Kura-kura yang Berkelanjutan berdasarkan Model Sistem Dinamik

Nama : Purwantono NIM : E353120015

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Mirza Dikari Kusrini, MSi Ketua

Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Konservasi Keanekaragaman Hayati

Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

iv

PRAKATA

Puji dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penelitian dan penyusunan tesis yang berjudul “Penangkaran Kura-kura yang Berkelanjutan berdasarkan Model Sistem Dinamik” ini dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan karya ilmiah yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada: (1) Dr Ir Mirza Dikari Kusrini, MSi dan (2) Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, MS selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberi saran dan arahan, serta (3) Dr Ir Arzyana Sunkar, MSc atas kesediaannya selaku Penguji Luar Komisi, masukan dan koreksinya sehingga menjadikan tesis ini lebih baik.

Selama persiapan, pelaksanaan, dan penulisan karya ilmiah ini penulis memperoleh bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: (1) Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan, (2) Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara, (3) Ketua APEKLI (Asosiasi Pengusaha Kura-kura dan Labi-Labi Konsumsi Indonesia), (4) Mr Li Xiao Ming dari PT. Agrisatwa Alam Nusa dan PT. Tarum Fajar Pratama, (5) Bapak Deni Gunalen dari PT. Alam Nusantara Jayatama, dan (6) Bapak Lim Hao Tiong dari UD. Halim Jaya, yang telah membantu pemberian ijin dan pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah (alm), ibu, serta seluruh keluarga tercinta, atas doa dan kasih sayangnya selama ini. Tak lupa juga bagi rekan-rekan semua dan para pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(13)

v

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN UMUM 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 4

2 MANAJEMEN PENANGKARAN EMPAT JENIS KURA-KURA

PELIHARAAN DAN KONSUMSI 7

Pendahuluan 8

Metode 9

Hasil 10

Pembahasan 16

Simpulan 21

3 MODEL SISTEM DINAMIK PENANGKARAN KURA-KURA

BERKELANJUTAN 22

Pendahuluan 23

Metode 25

Hasil 29

Pembahasan 39

Simpulan 45

4 PEMBAHASAN UMUM 46

5 SIMPULAN DAN SARAN 53

DAFTAR PUSTAKA 54

(14)

vi

DAFTAR TABEL

1 Sumber dan persyaratan bibit kura-kura setiap jenis di penangkaran 11 2 Realisasi ekspor labi-labi dan kura-kura rote tahun 2009 – 2013 13 3 Keunggulan dan kelemahan jenis kura-kura di penangkaran 15 4 Data perkembangan jenis kura-kura yang ditangkarkan 29 5 Karakteristik penangkaran kura-kura asli dan kura-kura eksotik 30 6 Asumsi-asumsi untuk membangun model sistem dinamik penangkaran 31 7 Aspek konservasi manajemen penangkaran kura-kura yang

berkelanjutan 39

8 Deskripsi aspek teknis penangkaran kura-kura yang dipersyaratkan 50

DAFTAR GAMBAR

1 Alur pikir penelitian 6

2 Realisasi penjualan kura-kura brazil bulan Pebruari – Desember 2013 13 3 Proporsi pemenuhan kura-kura brazil di pasaran dalam negeri 13 4 Diagram hubungan sebab akibat (causal loop) antara variabel

penyusun model sistem dinamik penangkaran kura-kura 27 5 Diagram alir model sistem dinamik penangkaran labi-labi cina 32 6 Diagram alir model sistem dinamik penangkaran labi-labi/bulus 33 7 Diagram alir model sistem dinamik penangkaran kura-kura brazil 34 8 Diagram alir model sistem dinamik penangkaran kura-kura rote 34 9 Simulasi model sistem dinamik penangkaran labi-labi cina selama 21

tahun 35

10 Simulasi model sistem dinamik penangkaran labi-labi selama 9 tahun 35 11 Simulasi model sistem dinamik penangkaran kura-kura brazil selama

50 tahun 36

12 Simulasi model sistem dinamik penangkaran kura-kura rote selama

19 tahun 36

DAFTAR LAMPIRAN

13 Deskripsi aspek-aspek teknis penangkaran keempat jenis kura-kura 58 14 Data penjualan kura-kura brazil PT. Agrisatwa Alam Nusa Tahun

2013 dalam empat ukuran plastron 61

15 Realisasi pemasaran kura-kura brazil periode Mei – Desember

2013 dari PT. Agrisatwa Alam Nusa 61

16 Kurva pertumbuhan populasi labi-labi cina terhadap perubahan daya

tetas telur (di bawah dan di atas kondisi saat ini) 62 17 Kurva pertumbuhan populasi labi-labi/bulus terhadap perubahan daya

tetas telur (di bawah dan di atas kondisi saat ini) 63 18 Kurva pertumbuhan populasi kura-kura brazil terhadap perubahan daya

tetas telur (di bawah dan di atas kondisi saat ini) 64 19 Kurva pertumbuhan populasi kura-kura rote terhadap perubahan daya

(15)

1 PENDAHULUAN UMUM

Latar Belakang

Kura-kura merupakan reptil yang sudah lama dimanfaatkan telur dan dagingnya, serta sebagai hewan peliharaan (Iskandar 2000). Sebanyak 85 spesies dari 260 spesies kura-kura yang sudah dikenal di dunia, ditemukan di Asia (Ernst & Barbour 1989; Iverson 1992) dan 39 spesies diantaranya terdapat di Indonesia (Iskandar 2000). Indonesia memiliki enam famili kura air tawar dan kura-kura darat yang terdiri atas famili Testudinidae, famili Bataguridae, famili Trionychidae, famili Carettochelyidae, famili Emydidae dan famili Chelidae (Samedi dan Iskandar 2000).

Menurut Goin et al. (1978), kura-kura memberikan keuntungan langsung bagi manusia, tidak hanya dimakan daging dan telurnya yang berguna sebagai sumber protein, tetapi juga dijadikan perhiasan dan benda seni. Kura-kura darat dan kura-kura air tawar dipelihara sebagai hewan kesayangan di kebun, terrarium atau akuarium (Grzimek 1975). Pemanfaatan kura-kura dari hasil penangkaran saat ini sebagian besar untuk konsumsi dan hewan peliharaan (pet).

Kura-kura air tawar dan kura-kura darat banyak dimanfaatkan dan diperdagangkan untuk konsumsi manusia. Compton (2000) mendeskripsikan bentuk pemanfaatan kura-kura dalam lima kategori yaitu: sebagai makanan (daging dan telur), obat-obatan tradisional Cina (Traditional Chinese Medicine atau TCM), satwa peliharaan atau penangkaran herpetofauna, barang kerajinan dan pelepasan untuk tujuan religius. Berdasarkan TRAFFIC (2012) dalam panduan identifikasi kura-kura air dan kura-kura darat CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), bentuk perdagangan spesies kura-kura terbagi menjadi tujuh yaitu produk makanan (daging), barang-barang dari kulit (sepatu, dompet dan ikat pinggang), karapas (alat musik dan sisir rambut), telur, perhiasan (kalung dan anting), minyak dan produk lain (obat tradisional, lampu dan spesimen).

Menurut Sinaga (2008), tercatat sudah ada 48 jenis kura-kura yang diperdagangkan pada empat pasar penjualan di wilayah Jakarta terdiri atas 16 jenis asli (33,33%) dan 32 jenis asing (66,67%). Hal ini berarti dua pertiga jenis kura-kura yang diperdagangkan di pasaran sudah didominasi jenis asing. Kura-kura tersebut sebagian besar dijual untuk hewan peliharaan (pet) yang banyak diminati masyarakat penggemar dikarenakan kemudahan merawatnya, kesan eksotisme yang ditimbulkan, mempunyai keunikan (warna, corak atau bentuk karapas) dan gengsi (prestise) bagi pemiliknya.

(16)

2

(Compton 2000; Lau & Shi 2000; Platt et al. 2007) yang dapat menyebabkan penurunan populasi alami bahkan kepunahan jenis kura-kura Asia (Diesmos et al. 2004; Gavino & Schoppe 2004; Kalyar et al. 2007; Nijman & Shepherd 2007). Kura-kura yang diperdagangkan di Cina berasal dari negara-negara Asia, utamanya Vietnam, Bangladesh dan Malaysia (Chiew 2003) serta Indonesia (Cheung & Dudgeon 2006).

Meningkatnya permintaan terhadap kura-kura untuk konsumsi dan pet mengakibatkan tekanan populasinya di alam makin bertambah, sehingga dikhawatirkan dapat mengancam kelestariannya. Oleh karena itu penting untuk melakukan kegiatan konservasi jenis di luar habitatnya (konservasi ex-situ) melalui penangkaran yang bertujuan membuat cadangan bagi populasi di alam. Dengan demikian ketika terjadi kelangkaan dapat dijadikan sumber untuk restocking melalui pelepasliaran (reintroduksi) terhadap populasi tersebut untuk menghindarkan dari kepunahan. Selain itu konservasi ex-situ juga penting dilakukan untuk memenuhi permintaan kura-kura yang diperdagangkan, sehingga pemanfaatan jenis tersebut dari alam dapat ditekan guna menghindari ancaman kepunahannya. Pemenuhan permintaan kura-kura jenis asli selama ini berasal dari hasil tangkapan di alam dengan pola pembesaran (ranching), kecuali kura-kura jenis eksotik dengan pola pembiakan (captive breeding) yang sudah dapat dibiakkan menghasilkan individu baru dan memeliharanya sampai dewasa ataupun ukuran tertentu.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 menyatakan bahwa pemanfaatan jenis satwa liar dapat dilaksanakan dalam bentuk penangkaran (Dephut 1990). Penangkaran adalah suatu kegiatan untuk mengembangbiakkan jenis satwa liar, yang bertujuan memperbanyak populasinya dengan tetap mempertahankan kemurnian genetiknya, sehingga kelestarian dan keberadaan jenis yang ditangkarkan tersebut dapat dipertahankan di habitat alaminya (Hardjanto et al. 1991). Menurut Dephutbun (1999b) yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 dinyatakan bahwa penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui perkembangbiakan dan pembesaran tumbuhan dan satwa liar dari alam dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Program penangkaran ini diupayakan berorentasi pada perlindungan dan pemanfaatan berkelanjutan (Indrawan et al. 2012).

(17)

3 Beberapa jenis kura-kura saat ini sudah ada yang dapat dikembangbiakan melalui penangkaran, meskipun labi-labi/bulus (Amyda cartilaginea) masih dalam taraf uji coba dan belum menunjukkan keberhasilan pembiakkan ataupun pembesarannya. Namun demikian upaya penangkaran kura-kura untuk menambah dan menjaga kelestarian populasinya sudah dilakukan dalam rangka memenuhi permintaan konsumen dan mengurangi ketergantungan tangkapan dari alam. Jenis kura-kura yang sudah dapat dikembangbiakan melalui penangkaran di Indonesia antara lain: kura-kura brazil/kura-kura telinga merah (Trachemys scripta elegans), labi-labi cina (Pelodiscus sinensis), dan kura-kura rote (Chelodina mccordi). Meskipun jenis kura-kura brazil dan labi-labi cina termasuk jenis eksotik hasil introduksi dari luar, namun pada kenyataannya saat ini jenis tersebut ada dan diusahakan di Indonesia melalui penangkaran/budidaya.

Penangkaran kura-kura yang berkelanjutan merupakan salah satu bentuk upaya untuk menambah populasi kura-kura secara terus menerus dan berkesinambungan dalam rangka memenuhi permintaan konsumen di pasaran dengan tetap menjaga kelestariannya di alam. Upaya tersebut dapat diwujudkan dengan memperhatikan beberapa aspek teknis manajemen penangkaran kura-kura, pemanfaatan hasil dan perijinan, aspek bioekologi kura-kura terkait keunggulan dan kelemahan setiap jenis di penangkaran, karakteristik penangkaran, rancangan dan simulasi model sistem dinamik penangkaran, serta aspek konservasinya yang dikaji berdasarkan hasil observasi lapang dan wawancara di lokasi penangkaran.

Pengelolaan usaha penangkaran kura-kura tidaklah semudah yang dibayangkan. Mengingat keempat jenis kura-kura tersebut berbeda, maka diasumsikan terdapat perbedaan karakteristik penangkarannya. Jenis kura-kura yang berbeda, kemungkinan akan mendapat perlakuan berbeda, seperti pemberian pakan, penyediaan tempat/kandang, pemeliharaan, dan lain-lain. Selama ini, informasi mengenai perbedaan itu belum diketahui secara pasti. Perbedaan jenis kura-kura yang ditangkarkan akan mempunyai tujuan penangkaran yang berbeda (untuk konsumsi atau hewan peliharaan/pet). Demikian juga dengan unit usaha penangkarannya tentu akan berbeda karena masing-masing memiliki kiat, dasar, pengetahuan dan pengalaman yang berbeda-beda. Aspek teknis manajemen penangkaran, pemanfaatan hasil dan perijinan, aspek bioekologi, dan karakteristik setiap jenis perlu diidentifikasi agar dapat diketahui sejauh mana praktek penangkaran kura-kura telah dijalankan. Model sistem dinamik dirancang dan disimulasikan untuk mengetahui gambaran perkembangan populasi kura-kura di penangkaran. Dukungan terhadap kelestarian populasi kura-kura di alam perlu dilakukan dengan memperhatikan aspek konservasinya guna mengetahui sejauh mana penangkaran kura-kura yang berkelanjutan itu mampu memenuhi permintaan konsumen di pasaran agar dapat menekan pemanfaatannya dari alam dan mendukung upaya pelestarian jenis.

(18)

4

di pasaran. Aspek bioekologi diidentifikasi karena berimplikasi pada keunggulan dan kelemahan masing-masing jenis kura-kura yang ditangkarkan. Karakteristik penangkaran kura-kura diidentifikasi berdasarkan kondisi aktual di lokasi yang mencirikan suatu penangkaran. Model sistem dinamik penangkaran kura-kura dirancang dan disimulasikan dengan software, sedangkan aspek konservasi disintesis berkaitan dengan penerapan kaidah-kaidah konservasi di penangkaran dalam rangka menunjang konservasi jenis.

Berdasarkan kondisi aktual yang dianalisis, selanjutnya dapat disintesis aspek konservasi manajemen penangkaran kura-kura yang berkelanjutan sebagai kondisi ideal dengan menitikberatkan pada manajemen populasi yang harus dijalankan, persyaratan teknis pendukung yang perlu dipertimbangkan dan regulasi yang harus ditetapkan guna mendukung tercapainya tujuan usaha penangkaran. Alur pikir penelitian ini disajikan sebagaimana Gambar 1. Rumusan masalah yang mendasari dilakukannya penelitian ini adalah minimnya informasi mengenai penangkaran kura-kura yang sudah dijalankan dan dapat dikembangbiakan di Indonesia. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian terhadap usaha penangkaran keempat jenis kura-kura tersebut untuk mendapatkan gambaran dan pengetahuan mengenai penangkaran kura-kura di Indonesia.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi aspek-aspek teknis manajemen penangkaran kura-kura. 2. Mendeskripsikan pemanfaatan hasil dan perijinan dari penangkaran kura-kura. 3. Mengidentifikasi keunggulan dan kelemahan jenis kura-kura asli dan eksotik

di penangkaran terkait aspek bioekologinya.

4. Membuat rancangan dan simulasi model sistem dinamik penangkaran kura-kura berkelanjutan.

5. Mensintesis aspek konservasi manajemen penangkaran kura-kura yang berkelanjutan menggunakan model sistem dinamik.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan nantinya dapat memberikan manfaat dalam: (1) menyediakan informasi teknis mengenai penangkaran kura-kura bagi para

pihak, terutama masyarakat yang berminat di bidang penangkaran kura-kura, (2) memberikan gambaran dan pengetahuan para stakeholders mengenai penangkaran kura-kura yang sudah berjalan dan dapat dikembangbiakan di Indonesia, dan (3) memberikan masukan bagi pemerintah yang berwenang dalam upaya membangun penangkaran kura-kura yang berkelanjutan.

Ruang Lingkup Penelitian

(19)

5 kura-kura brazil (Trachemys scripta elegans), dan kura-kura rote (Chelodina mccordi). Keempat jenis tersebut dikelompokan menjadi jenis asli (labi-labi/bulus, kura-kura rote), jenis eksotik (labi-labi cina, kura-kura brazil), jenis untuk konsumsi (labi-labi/bulus, labi-labi cina), dan jenis untuk hewan peliharaan/pet (kura-kura brazil, kura-kura rote). , kura-kura rote). Penelitian kura-kura ini dilaksanakan di empat lokasi penangkaran, yaitu: penangkaran labi-labi cina PT. Tarum Fajar Pratama di Desa Cimahi, Kecamatan Klari, Kabupaten Karawang; penangkaran labi-labi UD. Halim Jaya di Desa Cinta Damai, Kecamatan Patumbak, Kabupaten Deli Serdang; penangkaran kura-kura brazil PT. Agrisatwa Alam Nusa di Desa Sukasari, Kecamatan Purwasari, Kabupaten Karawang; dan kura-kura rote PT. Alam Nusantara Jayatama di Kelurahan Jatiraden, Kecamatan Jatisampurna dan Kelurahan Jatiranggon, Kecamatan Cibubur, Kabupaten Bekasi, dengan observasi dan pengumpulan datanya berlangsung pada bulan Desember 2013 – Pebruari 2014.

Hasil penelitian ini disajikan dalam dua sub judul, yaitu:

1. Manajemen penangkaran empat jenis kura-kura peliharaan dan konsumsi; bertujuan mengidentifikasi aspek-aspek teknis manajemen penangkaran kura, mendeskripsikan pemanfaatan hasil dan perijinan dari penangkaran kura, dan mengidentifikasi keunggulan dan kelemahan penangkaran jenis kura-kura asli dan eksotik di penangkaran terkait aspek bioekologinya.

(20)

6

PENANGKARAN KURA-KURA YANG BERKELANJUTAN

PENANGKARAN KURA-KURA

untuk konsumsi untuk pet

Labi-labi cina Labi-labi/bulus Kura-kura rote Kura-kura brazil

ASPEK-ASPEK TEKNIS MANAJEMEN: 1. Pengadaan bibit

2. Adaptasi & aklimatisasi 3. Perkandangan

4. Pakan & air

5. Penyakit & perawatan kesehatan 6. Reproduksi & teknik penetasan telur 7. Pemeliharaan

(21)

7

2 MANAJEMEN PENANGKARAN EMPAT JENIS

KURA-KURA PELIHARAAN DAN KONSUMSI

ABSTRACT

Four species of turtles are currently used and farmed in Indonesia. These species consist of chinese softshell turtle (Pelodiscus sinensis) and common softshell turtle (Amyda cartlaginea) for consumption and brazilian turtle (Trachemys scripta elegans) and rote turtle (Chelodina mccordi) for pets. This study aims to: (1) identify the technical aspects of breeding management for turtles, (2) examine the use and licensing turtle captive, and 3) identify the strengths and weaknesses of turtles were bred related ecobiology aspects.

Managament of the four farms varied depending on the purposes of the cultivation and the origins of the turtles. The research shows that the exotic species such as brazilian and chinese softshell turtles are easy to adapt, reproduce and grow faster than the local species. These species can be bred in a large scale unit under licence from the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries since it is categorized as a cultivated fish. On the contrary, local species are mostly slow growing and reach maturity longer than its counterparts. Hence, breeding operation for local species is mostly small scale business. The licensing authority for the local species is under the Ministry of Forestry through a quota system. The discrapencies of the authorities is one of the challenges that will affect the development of turtles farm in the future.

Keywords: captive breeding, consumption, pet, turtle

ABSTRAK

Empat jenis kura-kura saat ini dimanfaatkan dan ditangkarkan di Indonesia. Jenisnya yaitu labi-labi cina (Pelodiscus sinensis) dan labi-labi (Amyda cartlaginea) untuk konsumsi serta kura-kura brazil (Trachemys scripta elegans) dan kura-kura rote (Chelodina mccordi) untuk hewan peliharaan (pet). Penelitian ini bertujuan: (1) mengidentifikasi aspek-aspek teknis manajemen penangkaran kura-kura, (2) mendeskripsikan pemanfaatan hasil dan perijinan dari penangkaran kura-kura, dan (3) mengidentifikasi keunggulan dan kelemahan jenis kura-kura di penangkaran terkait aspek bioekologinya.

(22)

8

berdasarkan kuota. Perbedaan wewenang ini merupakan salah satu masalah dalam pengembangan penangkaran kura-kura di masa depan.

Kata kunci : konsumsi, kura-kura, peliharaan, penangkaran

Pendahuluan

Pemanfaatan kura-kura yang telah dilakukan manusia seringkali dalam jumlah besar sehingga dikhawatirkan dapat menyebabkan kepunahan spesies.

Kura-kura telah lama dimanfaatkan di Asia Timur dan Tenggara untuk makanan, obat-obatan, dan hewan peliharaan, dan China adalah negara konsumen terbesar di dunia (Gibbons et al. 2000; Van Dijk et al. 2000; Moll & Moll 2004). Volume perdagangan tahunan dari kura-kura hidup di Asia telah melampaui 13 000 ton, dan proporsi yang tinggi dari mereka diyakini dikumpulkan dari alam (Van Dijk et al. 2000). Permintaan yang berkembang di pasar menyusul pertumbuhan ekonomi yang cepat, maka berdampak lebih setengah dari jumlah spesies kura-kura air tawar dan kura-kura-kura-kura darat dari Asia Tenggara dan Asia Timur telah sangat terancam oleh eksploitasi berlebihan untuk makanan dan obat-obatan tradisional (Jenkins 1995; Klemens & Thorbjarnarson 1994; Van Dijk et al. 2000).

Jenis kura-kura di Indonesia yang diketahui untuk konsumsi menurut Kemenhut (2014) berdasarkan penetapan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor SK.13/IV-KKH/2014 tentang Kuota pengambilan tumbuhan alam dan penangkapan satwa liar periode tahun 2014 terdiri dari empat spesies yaitu labi-labi (Amyda cartilaginea), kura ambon (Cuora amboinensis), labi-labi hutan (Dogania subplana) dan kura-kura bergerigi (Cyclemys dentata). Spesies yang dijual sebagai peliharaan terdiri atas dua spesies yaitu labi-labi (Amyda cartilaginea), kura-kura leher ular rote (Chelodina mccordi). Selain dijual untuk keperluan ekspor, kura-kura ini juga dijual di pasar dalam negeri seperti di Jakarta untuk makanan maupun peliharaan (Sinaga 2008). Selain itu Sinaga (2008) juga mencatat keberadaan kura-kura impor di pasar tersebut.

Penangkaran merupakan salah satu pemanfaatan yang dibenarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 (Dephutbun 1999a). Seiring dengan tingginya pemanfaatan kura-kura sebagai makanan dan hewan peliharaan (pet), penangkaran merupakan salah satu cara agar pemanfaatan kura dari alam berkurang. Informasi dan pengetahuan tentang penangkaran kura-kura di Indonesia masih terbatas, sehingga perlu dilakukan penelitian pada perusahaan penangkaran yang sudah mampu mengembangbiakkan dan memelihara kura-kura hingga menjual hasilnya.

(23)

9 al. 2000). Labi-labi merupakan jenis yang penyebarannya di Asia Tenggara termasuk di Indonesia.

Kura-kura untuk peliharaan yang dikaji dalam penelitian ini adalah kura-kura brazil (Trachemys scripta elegans) dan kura-kura-kura-kura rote (Chelodina mccordi). Menurut Iskandar (2000), kura-kura brazil adalah hewan introduksi dari Amerika Tengah atau Amerika Selatan. Jenis ini mudah sekali dikenal dari tepi kepalanya di belakang matanya ada sebuah bercak besar yang berwarna merah, dan lehernya dihiasi dengan garis-garis hijau tua. Kura-kura rote merupakan jenis yang sebenarnya sudah lama diketahui dari Pulau Rote, namun sebelumnya dianggap sejenis dengan kura-kura papua sampai dikukuhkan sebagai jenis tersendiri pada tahun 1994 (Iskandar 2000). Kura-kura ini belum dilindungi, namun populasinya di alam dianggap punah sehingga kuota tangkap dari alam tidak pernah diberikan sejak tahun 2009. Status dalam IUCN adalah rawan, dan dalam CITES termasuk Appendiks II.

Penelitian yang mengkaji aspek teknis manajemen penangkaran kura-kura baik untuk konsumsi maupun hewan peliharaan (pet) di Indonesia hingga saat ini belum ada. Demikian pula mengenai seberapa besar pemanfaatan kura-kura yang dihasilkan dari penangkaran dan perijinannya, serta keunggulan dan kelemahan masing-masing jenis dalam rangka pengelolaan penangkaran lebih lanjut. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan: (1) mengidentifikasi aspek-aspek teknis manajemen penangkaran kura-kura, (2) mendeskripsikan pemanfaatan hasil dan perijinan dari penangkaran kura-kura, dan (3) mengidentifikasi keunggulan dan kelemahan jenis kura-kura asli dan eksotik di penangkaran terkait aspek bioekologinya.

Metode

Kunjungan ke lokasi penelitian dilakukan untuk memperoleh berbagai data terkait dengan aspek-aspek teknis manajemen penangkaran sebagai faktor yang penting untuk menjamin keberlangsungan usaha penangkaran. Pada saat kunjungan dilakukan pencatatan berdasarkan pengamatan langsung dan wawancara baik kepada pengelola maupun pekerja di lokasi. Aspek-aspek teknis manajemen penangkaran yang diamati dan dicatat adalah:

- Pengadaan bibit; asal bibit untuk indukan di penangkaran dari alam atau sumber-sumber lain yang sah (hasil penangkaran).

- Adaptasi dan aklimatisasi; perlakuan untuk membiasakan diri satwa menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang baru dan mencegah masuknya penyakit dari luar melalui satwa tersebut.

- Perkandangan; merupakan tempat hidup buatan berupa kolam air sebagai pengganti habitat aslinya di alam, meliputi: sistem perkandangan, ukuran kandang, pengayaan lingkungan kandang, bahan bangunan kandang, dan perawatan kandang.

(24)

10

- Penyakit dan perawatan kesehatan; meliputi: jenis penyakit yang pernah, sedang dan sering dialami, cara pencegahan dan pengobatan penyakit serta perawatannya.

- Perkembangbiakan/reproduksi dan teknik penetasan telur; meliputi: penentuan sex ratio, jumlah indukan, perlakuan terhadap telur dan tukik/anakan yang baru menetas.

- Pemeliharaan; meliputi: rutinitas perlakuan yang diberikan dalam mengelola penangkaran.

- Pemanenan; produk kura-kura yang siap panen dengan kualifikasi sesuai permintaan pasar, meliputi: pemanenan, kuota dan bentuk pemanfaatan.

- Penunjang lainnya; sebagai pelengkap untuk menunjang aspek teknis penangkaran, seperti: diversifikasi jenis kura-kura lain yang dipelihara, vegetasi, ketenagakerjaan, sarana dan prasarana perlengkapan pendukung.

Pengukuran berat tubuh dan panjang tubuh (lebar lengkung karapas/LLK dan panjang lengkung karapas/PLK) dilakukan pada beberapa kura-kura yang ada di penangkaran sebagai sampel dan jumlah telur serta tukik yang ada berikut data-data lainnya yang terkait sebagai pelengkap. Wawancara dengan pengelola penangkaran yang dilakukan berkenaan dengan hal-hal mengenai sejarah, tujuan, manfaat, kondisi umum penangkaran, dan kendala/hambatan yang dihadapi, serta aspek-aspek lainnya yang berkaitan.

Data dan informasi yang berkaitan dengan aspek-aspek teknis manajemen penangkaran dianalisis dan disajikan secara deskriptif untuk mendapatkan gambaran dan penjelasan teknis manajemen penangkaran kura-kura. Semua data yang terkumpul diolah dalam bentuk tabel, grafik ataupun kurva untuk memperjelas dan memudahkan pemahaman mengenai hasil analisis yang dilakukan.

Hasil

Aspek-aspek Teknis Manajemen Penangkaran

Penangkaran labi-labi cina dibangun tahun 1994 di atas tanah seluas 8 hektar. Kompleks penangkaran ini memiliki kolam pendederan dan kolam pembesaran bagi anakan/tukik sampai berusia 6 bulan sebanyak 4 unit, sedangkan yang dewasa dipelihara tersebar di 17 unit kolam (40 m x 30 m) di blok A. Tahun 1997 dibangun sebanyak 25 unit kolam tambahan (40 m x 25 m) di blok B dan 18 unit (40 m x 25 m) di blok C, sehingga kolam keseluruhan berjumlah 60 unit. Jumlah indukan awal di penangkaran sebanyak 1 500 ekor yang diimpor dari Cina.

(25)

11 Penangkaran kura-kura brazil dibangun tahun 2010 di atas tanah seluas 3,6 hektar terdiri dari 4 unit kolam pemeliharaan induk dan 8 unit kolam pemeliharaan anakan dengan berbagai ukuran. Sumber bibit/indukan kura-kura brazil awalnya diimpor dari negara Cina yang dapat bereproduksi menghasilkan telur. Data jumlah indukan kura-kura brazil yang tercatat pada saat penelitian berlangsung sebanyak 52 190 ekor (40 569 ekor betina dan 11 621 ekor jantan) tersebar di 4 unit kolam.

Kura-kura rote dewasa yang digunakan sebagai sumber bibit/indukan pertama kali di penangkaran PT. Alam Nusantara Jayatama berasal dari alam yang merupakan hasil tangkapan masyarakat pada beberapa lokasi di Pulau Rote, kemudian dijual ke PT. Alam Nusantara Jayatama. Awalnya pada tahun 2002 kura-kura rote yang ditangkarkan hanya berjumlah 15 ekor (10 ekor betina dan 5 ekor jantan). Setelah setahun di penangkaran, kura-kura ini mulai bertelur dan berhasil ditetaskan menjadi individu baru pada tahun 2003.

Perbedaan masing-masing jenis penangkaran terletak pada skala unit usaha yang dijalankan masing-masing perusahaan. Bila ditinjau dari luasan tempat dan banyaknya kura-kura yang diusahakan, penangkaran labi-labi cina dan kura-kura brazil termasuk dalam skala unit usaha yang besar (> 50 000 ekor), sedangkan penangkaran labi-labi/bulus dan kura-kura rote dalam skala unit usaha yang kecil (< 100 ekor). Menurut asalnya, kura-kura dalam penangkaran dibedakan jenis asli dari alam Indonesia dan eksotik hasil introduksi dari luar.

Pada awal dibangunnya penangkaran, bibit labi-labi cina dan kura-kura brazil merupakan hasil introduksi dari luar yang pengadaannya melalui impor. Bibit labi-labi/bulus dan kura-kura rote berasal dari alam diperoleh melalui suplier di daerah asal bibit yang membeli hasil tangkapan masyarakat setempat sesuai jumlah kuota tangkap khusus jenis labi-labi. Namun demikian, dalam perkembangannya hanya penangkaran labi-labi cina dan kura-kura rote yang dapat menghasilkan indukan sebagai sumber bibit untuk regenerasi dengan bertelur. Hal ini sebenarnya memberikan peluang sebagai sumber bibit bagi penangkaran di lokasi lain. Sumber dan persyaratan bibit pada awal dibangunnya penangkaran disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Sumber dan persyaratan bibit kura-kura setiap jenis di penangkaran Jenis kura-kura Sumber bibit awal Persyaratan bibit Labi-labi cina Impor hasil penangkaran

dari Cina tahun 1994

Sehat, normal, bobot

 1.5 kg Labi-labi/bulus Tangkapan dari alam

tahun 2010

Sehat, normal, bebas dari mata pancing, bobot 5 – 15 kg

Kura-kura brazil Impor hasil penangkaran dari Cina tahun 2010

Sehat, normal, bobot

 1.5 kg Kura-kura rote Tangkapan dari alam

tahun 2002

Sehat, normal, PLK berukuran 20 – 25 cm.

Sumber: hasil observasi di lokasi penelitian

(26)

12

kolam pemeliharaan/pembesaran dari individu muda sampai dewasa untuk dipanen ataupun sebagai indukan untuk regenerasi. Perawatan kandang telah dilakukan dengan cara membersihkan kolam dan menambah air bila sudah nampak berkurang. Pemberian pakan sehari satu kali untuk anakan kura-kura, kecuali kura-kura rote. Kura-kura rote dan labi-labi dewasa diberikan pakan sehari sekali, sedangkan kura-kura brazil dan labi-labi cina sehari dua kali dengan jenis pakan yang beragam. Deskripsi aspek-aspek teknis manajemen penangkaran yang telah dijalankan pada masing-masing jenis kura-kura selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.

Pemanfaatan Hasil dan Perijinan

Pemanfaatan hasil dari penangkaran dilakukan dengan cara memanen kura-kura sesuai tujuannya yaitu untuk konsumsi dan pet. Kura-kura untuk konsumsi dipanen pada usia dewasa setelah dipelihara hingga mencapai berat (kg atau ons) sesuai permintaan konsumen, sedangkan kura-kura untu pet dipanen pada usia masih anakan setelah dipelihara hingga mencapai ukuran (cm) sesuai permintaan konsumen. berdasarbaru dilakukan terhadap tiga jenis kura-kura yaitu labi-labi cina, kura-kura brazil dan kura-kura rote. Penangkaran labi-labi cina menjual hasil produknya berupa telur dan labi-labi dewasa untuk dikonsumsi melalui ekspor ke luar negeri, antara lain ke Korea dan Hongkong. Hasil pengukuran dari labi-labi cina sebagai sampel yang diekspor ke Hongkong menunjukkan berat rata-rata yang dipanen adalah 1 496.6 gram (n = 30, std = 281.5) dengan panjang PLK dan LLK rata-rata adalah 23.1 + 0.6 dan 17.2 + 0.5. Berdasarkan wawancara untuk ekspor ke Korea ada tiga macam ukuran dengan umur kurang lebih 1 tahun yaitu 800 – 1 000 g, 1 000 – 1 500 g dan lebih 1 500 g, dengan rata-rata ekspor sebanyak 500 kg atau sekitar 300 – 500 ekor per minggu.

(27)

13

Sumber: Rekapitulasi data penjualan kura-kura brazil PT. Agrisatwa Alam Nusa, Desember 2013 (Data pada Lampiran 2)

Gambar 2 Realisasi penjualan kura-kura brazil bulan Pebruari – Desember 2013

Penjualan kura-kura brazil tergantung permintaan dan ketersediaan yang ada di penangkaran. Satwa ini tidak termasuk dalam catatan CITES tetapi tergolong hewan budidaya yang dikategorikan sebagai ikan, sehingga pemanfaatan dan penjualannya tidak ditentukan beradasarkan kuota. Apabila dari penangkaran sendiri tidak mencukupi permintaan konsumen, maka kura-kura brazil dapat dipenuhi dari impor langsung dan membeli dari importir lain dengan proporsi sumber pemenuhan disajikan pada Gambar 3. Hal ini menunjukkan bahwa penangkaran kura-kura brazil yang ada masih berkontribusi relatif kecil yaitu sebesar 6% dalam memenuhi kebutuhan di pasaran, sehingga perlu diupayakan strategi untuk meningkatkan produksinya yang lebih besar.

Sumber: Data realisasi pemasaran kura-kura brazil periode Mei – Desember 2013 dari

PT. Agrisatwa Alam Nusa (Data pada Lampiran 3)

(28)

14

ekspor labi-labi UD. Halim Jaya dan kura-kura rote PT. Alam Nusantara Jayatama selama lima tahun disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Realisasi ekspor labi-labi/bulus dan kura-kura rote tahun 2009 - 2013

Tahun Realisasi ekspor (ekor)

Labi-labi/bulus Kura-kura rote

2009 2 707 62

2010 2 722 30

2011 2 976 24

2012 3 150 5

2013 3 250 14

Sumber: Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam 2014

Perijinan penangkaran kura-kura jenis eksotik hasil introduksi (labi-labi cina dan kura-kura brazil) pada kenyataannya berbeda dengan kura-kura jenis asli (labi-labi/bulus dan kura-kura rote). Kura-kura jenis eksotik hasil introduksi yang masih dikategorikan jenis budidaya ikan wewenang perijinananya di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan, sedangkan kura-kura jenis asli yang dikategorikan jenis satwa liar wewenang perijinannya di bawah Kementerian Kehutanan berdasarkan penetapan kuota tangkap. Perbedaan ini mengandung konsekuensi terhadap sudut pandang kedua jenis kura-kura tersebut yaitu sebagai hewan budidaya dan satwa liar. Hewan budidaya tanpa ada pembatasan jumlah sehingga dapat dibudidayakan dalam skala usaha yang besar karena mudah dipelihara dan dikembangbiakan dalam waktu relatif tidak terlalu lama (< 2 tahun), sedangkan satwa liar berlaku sebaliknya.

Keunggulan dan Kelemahan Jenis Kura-kura Asli dan Eksotik Terkait Aspek Bioekologi

Menurut asalnya, kura-kura yang ditangkarkan di Indonesia secara garis besar dikelompokkan dalam dua jenis yaitu jenis asli dan jenis eksotik. Biasanya satu perusahaan dapat menangkarkan kura-kura dengan diversifikasi jenis yang berbeda-beda (kombinasi beberapa jenis kura-kura). Hal ini dilakukan dengan tujuan agar pembiayaannya bisa saling menunjang antar jenis dari hasil penjualan produknya. Selain itu, sharing pengalaman teknik penangkaran kura-kura antar jenis juga ikut berperan meningkatkan kemampuan dan keterampilan pengelola.

(29)

15 mamalia. Kura-kura pada setiap jenisnya mempunyai keunggulan dan kelemahan terkait aspek bioekologinya. Keunggulan dan kelemahan teridentifikasi dalam penelitian ini berdasarkan hasil observasi di lokasi penangkaran disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Keunggulan dan kelemahan jenis kura-kura di penangkaran Aspek

a. Media tetas pasir halus fermikulit pasir halus campuran pasir dan serbuk kayu

b.Perlakuan dikarantina dikarantina dikarantina dikarantina c. Daya

adaptasi

tidak adaptif adaptif adaptif adaptif

Peluang

(30)

16

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa jenis kura-kura hasil introduksi dari luar (labi-labi cina dan kura-kura brazil) relatif mudah ditangkarkan karena memiliki keunggulan lebih banyak dibandingkan jenis kura-kura asli (labi-labi/bulus dan kura-kura rote), terutama dalam hal kemudahan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan dan makanan, berbiak dan bertumbuh dengan cepat, serta tahan/imun terhadap penyakit sehingga dapat diusahakan dalam jumlah banyak dengan puluhan ribu individu yang dipelihara.

Pembahasan

Aspek-aspek Teknis Manajemen Penangkaran

Manajemen penangkaran yang dijalankan pada masing-masing jenis kura-kura memenuhi beberapa aspek teknis antara lain: pengadaan bibit, adaptasi dan aklimatisasi, perkandangan, pakan dan air, penyakit dan perawatan kesehatan, reproduksi dan teknik penetasan telur, pemanenan dan pemanfaatan, dan penunjang lainnya. Kondisi yang terlihat di penangkaran adalah kura-kura yang ditangkarkan sudah mampu beradaptasi dengan lingkungannya, tercukupi kebutuhan pakannya, terpenuhi kesesuaian habitatnya, dan terjaga kesehatannya sehingga dapat dipelihara dan melakukan regenerasi menghasilkan individu baru dengan perkembangan jumlah populasi yang dinamis. Meskipun dalam pelaksanaannya belum optimal dan masih ditemukan hambatan/kendala yang dihadapi karena masih minimnya tenaga yang ahli, terampil dan berpengalaman di bidang penangkaran kura-kura.

(31)

17 mempengaruhi, sehingga penurunan populasi akibat suatu faktor akan mengakibatkan kerentanan populasi terhadap dua faktor lainnya. Ketiga faktor tersebut dapat menurunkan keberhasilan reproduksi, menaikkan tingkat kematian dan akhirnya mendorong kepunahan.

Bibit kura-kura yang diperoleh dari habitat alam harus melalui proses adaptasi dan aklimatisasi terlebih dahulu sebelum dimanfaatkan dalam suatu usaha penangkaran. Adaptasi dan aklimatisasi ini dimaksudkan untuk membiasakan diri kura-kura terhadap lingkungan yang baru dan juga untuk mencegah masuknya penyakit dari luar melalui kura-kura tersebut. Indikator satwa telah dapat menerima lingkungan barunya adalah nafsu makan satwa yang normal, perilakunya tidak menyimpang, dan dapat bereproduksi (Payne et al. 1999). Oleh karena itu ketersediaan bibit kura-kura yang baik dan berkualitas dapat menjamin proses regenerasi kura-kura di penangkaran agar menghasilkan individu yang baik dan berkualitas juga di masa yang akan datang.

Pengembangbiakkan memegang peranan yang penting dalam usaha penangkaran, sebab pada dasarnya keberhasilan usaha penangkaran sangat ditentukan oleh keberhasilan reproduksinya. Hal ini berarti satwa yang ditangkarkan sudah mampu beradaptasi dengan lingkungannya, tercukupi kebutuhan pakannya, dan terpenuhi kesesuaian habitatnya, serta terjaga kesehatannya sehingga dapat melakukan regenerasi menghasilkan individu baru. Dalam usaha penangkaran satwa dengan ketersediaan jumlah bibit yang terbatas, maka keberhasilan pengembangbiakkan merupakan kunci utama dalam mendukung keberhasilan suatu penangkaran. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa tidak ada produksi tanpa reproduksi (Hardjanto et al. 1991).

(32)

18

terhindar dari jamur ataupun penyakit lainnya. Perawatan kandang/kolam penting dilakukan untuk menjaga kebersihan lingkungan kura-kura agar terhindar dari gangguan penyakit.

Pemberian pakan kura-kura dilakukan secara rutin dengan jenis pakan yang disukai, sebagai variasi diberikan pelet untuk memaksimalkan pertumbuhan dan produktivitas telur, serta kesehatan. Keuntungan dari penggunaan pelet adalah kualitas yang terkandung dalam bahan pakan jelas, mudah diperoleh dan praktis. Menurut Amri dan Khairuman (2002), pemberian pakan seharusnya dilakukan sebanyak 2 kali sehari dengan jumlah pakan 1/10 hingga 1/5 dari berat badan rataan individu dewasa. Menurut Nupus (2001), jumlah pemberian pakan untuk tukik adalah sejumlah 5-10% dari bobot tubuhnya. Jenis pakannya berupa pelet agar lebih mudah memakan dan mencernanya. Kekurangan pemberian pakan dapat menyebabkan persaingan dalam mendapat makanan dan dapat mengakibatkan timbulnya perilaku kanibalisme sesama individu sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan dan kesehatan kura-kura.

Pemantauan kesehatan kura-kura dalam jumlah banyak belum sepenuhnya dapat dilakukan karena sulitnya mengetahui secara pasti kondisi yang sakit ataupun terluka di dalam air. Dengan demikian, kura-kura brazil dan labi-labi cina lebih sulit dipantau kesehatannya dibandingkan dengan labi-labi/bulus dan kura-kura rote. Kura-kura lebih banyak menghabiskan waktu hidupnya di dalam air dibandingkan di daratan. Oleh karena itu pemantauan kesehatannya perlu dilakukan dengan mengangkat dan mengecek kura-kura tersebut dari dalam air ke daratan secara berkala. Menurut Amri dan Khairuman (2002), ciri-ciri labi-labi yang terkena penyakit adalah gerakannya lemah, hilang keseimbangan, nafsu makan berkurang, menggosok-gosokkan tubuhnya pada benda yang keras, kulit dan bagian badannya rusak sehingga berwarna pucat, dan terlihat bintik-bintik pucat pada permukaan tubuhnya.

Masalah yang menjadi penyebab timbulnya penyakit pada kura-kura antara lain: pemberian pakan yang berlebihan sehingga mengotori kolam, daya tahan tubuh rendah sehingga rentan terhadap penyakit menular dan air kolam yang kotor. Hal ini terjadi pada penangkaran kura-kura brazil dan labi-labi cina, karena dibudidayakan dalam jumlah besar sehingga pemberian pakannya kadang berlebihan. Penanganan terhadap kura-kura hanya dilakukan saat ditemui gangguan kesehatan pada satwa yang dikelola dan tidak ada general check up secara rutin untuk memantau perkembangan kesehatannya. Pemeliharaan kura-kura yang dilakukan untuk mencegah penyakit adalah pemberian pakan secara secara teratur, pembersihan kandang/kolam secara teratur dan dijaga agar tetap bersih untuk mencegah timbulnya jamur, pencegahan penyakit dan perawatan kesehatan. Pemeliharaan kura-kura tersebut bertujuan supaya pertumbuhannya dapat terjaga dengan baik dan juga tidak mudah terserang penyakit.

(33)

19 dalam rangka menjamin keberlangsungan usaha penangkaran untuk mencapai tujuannya. Meskipun perlakuan penanganan dalam menjalankan aspek-aspek teknis tersebut berbeda untuk setiap jenis kura-kura karena perbedaan manajemen masing-masing perusahaan, tetapi setidaknya aspek-aspek teknis tersebut dapat menjadi informasi dan gambaran bagaimana menjalankan usaha penangkaran kura. Hasil identifikasi aspek-aspek teknis manajemen penangkaran kura-kura sesuai deskripsinya pada masing-masing jenis dapat disintesis menjadi persyaratan teknis penunjang untuk menjalankan suatu usaha penangkaran kura-kura yang akan diuraikan dalam pembahasan umum. Namun tingkat optimal dari keberhasilan penangkarannya akan ditentukan oleh banyak faktor, antara lain kemampuan sumber daya manusia yang mengelola, fasilitas pendukung yang tersedia, biaya atau modal, penguasaan teknik dan cara menangkarkan, dan bahan baku/bibit yang menghasilkan produk dengan kuantitas dan kualitas sesuai permintaan konsumen di pasaran.

Pemanfaatan Hasil dan Perijinan

Pemanfaatan hasil penangkaran kura-kura dilakukan melalui pemanenan terhadap populasi kura-kura yang dipelihara berdasarkan berat atau ukuran tertentu yang diinginkan. Pemanfaatan hasil dari penangkaran labi-labi cina dan labi-labi/bulus adalah untuk konsumsi, sedangkan kura-kura brazil dan kura-kura rote untuk hewan peliharaan. Bobot labi-labi cina dijual pada kisaran 0.8 – 2.5 kg, sedangkan labi-labi/bulus dengan bobot lebih dari 6 kg. Bobot labi-labi/bulus seberat itu membutuhkan waktu yang lebih lama dalam pemeliharaannya dibandingkan dengan labi-labi cina. Kedua jenis kura-kura tersebut diekspor keluar negeri sebagai menu makanan berbahan baku labi-labi di restoran-restoran. Bedanya kalau labi-labi cina dalam jumlah tidak terbatas sesuai permintaan, sedangkan labi-labi/bulus dibatasi oleh kuota. Selain diekspor, labi-labi/bulus juga untuk memenuhi permintaan dalam negeri (kebutuhan bibit penangkaran, penelitian dan keperluan lain) sebanyak 10% dari kuota tangkap yang ditetapkan.

Kemampuan berkembangbiak yang cepat dan adaptif dari kura-kura brazil dan labi-labi cina di penangkaran dirasakan masih belum dapat mencukupi permintaan di pasaran. Jumlah penjualan kura-kura brazil di dalam negeri yang dipasok PT. Agrisatwa Alam Nusa dengan kisaran sebanyak 500 000 – 600 000 ekor setiap tahun sebagian besar masih diimpor dari luar negeri ataupun dibeli dari importir lainnya, sedangkan hasil penangkaran hanya mampu memenuhi sebanyak 6% saja. Oleh karena itu, perusahaan penangkaran perlu mengupayakan untuk meningkatkan produksi untuk mengurangi ketergantungan dari ekspor. Permintaan labi-labi cina di pasaran masih dapat tercukupi dari hasil penangkaran dengan rata-rata sebanyak 24 000 ekor setiap tahun.

(34)

20

Keunggulan dan Kelemahan Jenis Kura-kura Asli dan Eksotik Terkait Aspek Bioekologi

Keunggulan kura-kura jenis eksotik adalah mudah beradaptasi dengan perubahan lingkungan, berbiak dan tumbuh dengan cepat, serta tahan (imun) terhadap penyakit dibandingkan dengan kura-kura jenis asli. Oleh karena itu kura-kura jenis eksotik oleh beberapa perusahaan penangkaran sudah dibudidayakan dalam jumlah besar untuk tujuan ekspor. Adanya keunggulan tersebut labi-labi cina diduga telah membentuk populasi introduksi di beberapa negara seperti Filipina (Regodos & Schoppe 2005), Taiwan (Chen et al. 2000) dan Hongkong (Lau et al. 2000). Menurut Santigosa (2008) kura-kura brazil sudah menginvasi area Eropa Selatan dan mampu bereproduksi dalam iklim mediterania di Eropa Selatan (Vamberger 2011).

Kelemahan kura-kura jenis eksotik adalah peluang menjadi spesies invasif. Menurut Indrawan et al. (2012), hal ini mengindikasikan spesies eksotik tersebut mampu dan dengan mudah menginvasi dan mendominasi habitat baru, bahkan dapat menggantikan kedudukan spesies lokal, karena ketidakhadiran predator dan parasit alaminya di habitat yang baru tersebut sehingga pertumbuhannya tidak terkontrol pula. Dalam upaya konservasi spesies dan ekosistem, upaya mengurangi laju introduksi spesies invasif perlu mendapat prioritas penting. Untuk mencegah introduksi spesies eksotik, pemerintah harus mengeluarkan peraturan dan penegakan hukum serta pembatasan pabean terkait. Selain itu dukungan dana juga diperlukan untuk mengontrol agar spesies eksotik tidak tersebar luas. Namun, yang lebih murah dan lebih efektif adalah dengan melakukan pemberantasan dan pengendalian yang cepat pada saat pertama kali terlihat, agar spesies itu tidak sempat berkembang. Salah satunya adalah mengupayakan agar spesies eksotik yang ditangkarkan atau dipelihara tidak terlepas ke alam. Oleh karena itu, kedua jenis kura-kura yang sudah dibudidayakan di Indonesia ini perlu diwaspadai kemungkinan spesies tersebut menjadi invasif dan mengancam keberadaan kura-kura jenis asli.

Kelemahan kura-kura jenis asli adalah sulitnya beradaptasi dari habitat alam ke penangkaran, memerlukan waktu relatif lama untuk beradaptasi, pertumbuhan lambat, rentan terhadap penyakit, dan berpeluang terjadi inbreeding apabila tidak didukung jumlah indukan yang memadai. Oleh karena itu, penangkaran kura-kura jenis asli dengan pola pembiakkan (captive breeding) jarang diminati oleh masyarakat/pengusaha yang ingin menangkarkan. Sebagian besar masih mengandalkan hasil tangkapan dari alam dengan penangkaran pola pembesaran yang menampung dan memeliharanya sementara sebelum diekspor ke luar negeri. Penangkaran labi-labi/bulus merupakan penangkaran kura-kura dengan pola pembesaran yang saat ini sedang dalam taraf uji coba dengan pola pembiakan. Penangkarannya baru sebatas sudah berhasil menetaskan telur dan memelihara tukik/anakannya.

(35)

21 telah berjalan dengan memperhatikan dan memenuhi aspek-aspek teknis manajemen penangkaran dalam menjalankan usahanya. Hal ini terlihat perusahaan sudah dapat memelihara dan mengembangbiakkan kura-kura yang dibudidayakan, serta tidak berdiri sendiri hanya mengusahakan satu jenis saja tetapi sudah melakukan diversifikasi jenis kura-kura untuk mengoptimalkan keuntungannya.

Simpulan

Aspek-aspek teknis manajemen penangkaran yang teridentifikasi di empat lokasi penangkaran kura-kura adalah pengadaan bibit, adaptasi dan aklimatisasi, perkandangan, pakan dan air, penyakit dan perawatan kesehatan, reproduksi dan teknik penetasan telur, pemanenan dan pemanfaatan, dan penunjang lainnya, yang kesemuanya saling mendukung dan berkaitan sebagai rangkaian kegiatan dalam menjalankan penangkaran.

Aspek-aspek tersebut perlu diperhatikan dalam manajemen penangkaran karena menjadi faktor utama dan syarat penting yang dapat menunjang keberlangsungan usaha penangkaran kura-kura baik untuk konsumsi maupun peliharaan (pet). Apabila terpenuhi aspek-aspek tersebut dalam pengelolaannya, maka dari usaha penangkaran tersebut akan dihasilkan individu-individu baru sebagai produknya secara terus menerus dan berkesinambungan.

(36)

22

3 MODEL SISTEM DINAMIK PENANGKARAN

KURA-KURA BERKELANJUTAN

ABSTRACT

Captive turtles are an ex-situ conservation practise to meet consumers demand for food and pet market. Captive breeding turtle farm as a profit-making business has been operated in Indonesia for many years, but there has been no study on the sustainability of the business. The purpose of this study was to: (1) create a design and simulation model of a dynamic system of breeding turtles, and (2) sintesis the management aspects of conservation breeding turtles used a dynamic system model.

Based on the simulation of dynamic system model, the initial number of 1 500 chinese softshell turtle in 1994 can increase along sigmoid curve and is predicted to reach the carrying capacity in 2020 at the population limit of 190 200 turtles. The initial number of 74 common softshell turtle will grow to adult and at the time they are ready to harvest in 2019 the number will rise to 675 turtles. The number of red ear sliders 52 190 turtles in the farm at the time of the research is considered to reach the carrying capacity of the farm and the number of juveniles that can be sell as pet is estimated 109 000 turtles per year. Roti snake necked terrapin was originally bred in 2002 with only 15 turtles as parent stock, however based on simulation it might be able to produce 60 juveniles per year.

Turtle captive breeding efforts can be enhanced by facilitating the process of permit, supply of parent stock through the use of confiscated turtles and limiting capture from nature, giving tax deductions to legal company, publishing special rules that allow the sale of turtle from captive breeding farm and limiting wild capture.

Keywords : captive breeding, model, sustainable, turtle

ABSTRAK

Penangkaran kura-kura merupakan salah satu konservasi ex-situ untuk memenuhi permintaan konsumen di pasaran baik untuk konsumsi maupun pet. Prakteknya sudah mulai dijalankan sejak beberapa tahun yang lalu sebagai bentuk usaha yang menghasilkan keuntungan, namun hingga saat ini belum ada kajian mengenai keberlanjutan dari usaha tersebut. Penelitian ini bertujuan: (1) membuat rancangan dan simulasi model sistem dinamik penangkaran kura-kura berkelanjutan, dan (2) mensintesis aspek konservasi manajemen penangkaran kura-kura yang berkelanjutan menggunakan model sistem dinamik.

(37)

23 ekor sebagai indukan dewasa dan pemanenannya sudah dapat dilakukan pada tahun 2019. Kura-kura brazil dengan jumlah indukan sebanyak 52 190 ekor sudah dianggap memenuhi daya dukung yang tersedia dan dapat menghasilkan anakan yang siap jual dengan prediksi sebanyak 100 000 ekor per tahun. Kura-kura rote yang awalnya pada tahun 2002 hanya berjumlah 15 ekor, dapat dipanen anakannya 60 ekor per tahun.

Upaya penangkaran kura-kura dapat ditingkatkan dengan mempermudah perijinan, penyediaan induk melalui pemanfaatan hasil sitaan dan penangkapan terbatas di alam, insentif pengurangan pajak, penerbitan aturan khusus yang mengijinkan penjualan kura-kura hanya hasil penangkaran dan tidak untuk hasil tangkapan dari alam.

Kata kunci: berkelanjutan, kura-kura, model, penangkaran

Pendahuluan

Kura-kura merupakan salah satu jenis satwa liar dalam keanekaragaman hayati di Indonesia, yang sedikitnya terdapat 39 jenis ada di Indonesia (Iskandar 2000). Kura-kura telah dimanfaatkan oleh manusia untuk bahan makanan, obat-obatan, pendidikan dan hewan peliharaan (pet). Sejauh ini, sedikit sekali kajian ilmiah yang dilakukan terhadap kura-kura baik populasi maupun habitatnya. Banyak jenis kura-kura memiliki penyebaran geografis tertentu atau endemik di pulau kecil. Selain itu kura-kura memiliki pertumbuhan yang lambat dan masa kedewasaan yang lama (Auliya 2007).

Kura-kura sudah lama dikonsumsi sebagai makanan dan sebagai bahan obat-obatan di Asia (Ades et al. 2000; Chen et al. 2000; Compton 2000; Hendrie 2000; Lau & Shi 2000). Mardiastuti & Soehartono (2003) mengatakan bahwa labi-labi (Amyda cartilaginea) merupakan reptil yang banyak di ekspor dalam kondisi hidup untuk dikonsumsi. Negara tujuan ekspor labi-labi adalah China, Taiwan, Singapura, dan Malaysia (Shepherd 2000; Mardiastuti & Soehartono 2003). Tingginya permintaan daging labi-labi baik untuk kebutuhan dalam negeri (lokal) maupun luar negeri (ekspor) diduga bukan saja karena rasanya, namun juga anggapan bahwa daging tersebut memiliki khasiat obat (Amri & Khairuman 2002). Pemanfaatan domestik kura-kura diyakini jauh lebih rendah dibandingkan tingkat ekspor ke luar negeri (TRAFFIC 1999; Samedi & Iskandar 2000), meskipun belum ada hasil penelitian yang menggambarkan tingkat pemanfaatan domestik (Mardiastuti 2008). Namun demikian menurut penelitian Prastiwi (2014), dikatakan bahwa selama 3 bulan (Desember 2013 – Maret 2014), jumlah labi-labi yang diperdagangkan untuk konsumsi di Jakarta adalah 8 818.1 kg, terdiri atas 7 171.6 kg jenis Amyda cartilaginea (atau 2 390.5 kg per bulan) dan 1 646.5 kg jenis Trionyx siamensis (atau 548.8 kg per bulan).

(38)

24

oleh komunitas pecinta kura-kura di berbagai momen dan tempat di wilayah Indonesia. Permintaan kura-kura untuk pet di luar negeri juga mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir ini, karena mudah dan menariknya hewan ini dipelihara.

Pemanfaatan kura-kura saat ini tentu tidak sebanding dengan pertumbuhannya yang lambat dan masa kedewasaan yang lama dari kura-kura. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian untuk mengetahui perkembangan kura-kura di penangkaran yang menghasilkan individu baru untuk konsumsi ataupun pet. Jenis yang dikaji dalam penelitian ini adalah labi-labi cina (Pelodiscus sinensis), labi-labi/bulus (Amyda cartilaginea), kura-kura brazil (Trachemys scripta elegans) dan kura-kura rote (Chelodina mccordi), yang keempatnya merupakan jenis paling banyak dimanfaatkan untuk konsumsi ataupun pet baik di dalam maupun luar negeri.

Pengelolaan kura-kura di penangkaran dalam rangka pemanfaatan dan pelestariannya perlu diketahui perkembangan atau dinamika populasi kura-kura di penangkaran. Hal ini dapat ditelusuri melalui mekanisme umpan balik, parameter-parameter yang berhubungan dalam causal loop umpan balik dapat memiliki hubungan positif dan negatif. Komponen utama yang mempengaruhi dinamika populasi kura-kura di penangkaran adalah populasi kura-kura, daya dukung kolam, dan pemeliharaan, serta kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang ditetapkan bersifat regulasi/pengaturan dan bertujuan untuk menjamin ketersediaannya bagi konsumen dan kelestarian populasinya di alam. Variabel lain yang membangun causal loop dinamika populasi kura-kura diantaranya variabel kelahiran, kematian alami, pemanenan, dan lain-lain. Oleh karena itu diperlukan suatu model sistem dinamik yang diharapkan dapat membantu pengelola dan pemerintah dalam menentukan strategi penangkaran kura-kura berkelanjutan.

Kondisi penangkaran kura-kura yang telah ada saat ini perlu dikembangkan dalam rangka menjamin kelestarian sumberdaya kura-kuranya, sehingga dapat menjadi ladang usaha bagi masyarakat secara berkelanjutan. Pemodelan dinamika penangkaran kura perlu dilakukan ntuk menggambarkan pengelolaan kura-kura yang berlangsung secara terus menerus dan berkesinambungan. Model tersebut adalah model dinamis dengan menggunakan Powersim Constructor 2.5, sehingga dapat mempermudah penggambaran dinamika penangkaran kura-kura dengan mensimulasikan keadaan nyata yang terjadi untuk memprediksi dinamika yang akan terjadi. Jadi, sistem dinamik merupakan metodologi untuk menganalisis dan memahami bagaimana sistem yang komplek berubah sepanjang waktu. Pendekatan sistem ini memiliki beberapa unsur antara lain adanya metodologi untuk perencanaan dan pengelolaan, bersifat multidisplin dan terorganisir, mampu berpikir secara non-kuantitatif, menggunakan model matematika, teknik simulasi dan optimasi, serta dapat diaplikasikan dengan komputer (Eriyatno 1998).

(39)

25 populasi kura-kura di penangkaran sesuai jenisnya. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan: (1) membuat rancangan dan simulasi model sistem dinamik penangkaran kura-kura berkelanjutan, dan (2) mensintesis aspek konservasi manajemen penangkaran kura-kura yang berkelanjutan menggunakan model sistem dinamik.

Metode

Data penelitian yang diambil berupa data primer dan data sekunder. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data primer adalah dengan cara survei melalui wawancara secara langsung yang bertujuan untuk memperoleh informasi dan mengetahui kondisi lokasi penangkaran. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka dan data dari instansi-instansi terkait. Kunjungan ke lokasi penelitian dilakukan untuk memperoleh berbagai data terkait dengan aspek-aspek teknis manajemen penangkaran yang merupakan variabel penting dalam menjamin keberlangsungan usaha penangkaran, yaitu pengadaan bibit, adaptasi dan aklimatisasi, perkandangan, pakan dan air, penyakit dan perawatan kesehatan, reproduksi dan teknik penetasan telur, pemanenan dan pemanfaatan, dan penunjang lainnya. Saat kunjungan dilakukan pencatatan berdasarkan pengamatan langsung dan wawancara baik kepada pengelola maupun pekerja di lokasi penangkaran.

Penelitian ini dilakukan dengan memanfaatkan data primer dan sekunder sebagai dasar analisis. Aspek konservasi dapat dilihat berdasarkan jumlah produksi yang ada saat ini, jumlah indukan awal, serta data-data lainnya yang terkait. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan sistem untuk mendesain dan menghasilkan suatu model sistem dinamik penangkaran kura-kura sebagai dasar menganalisis keberlanjutannya. Pemodelan dinamika sistem dibangun dengan tahapan sebagai berikut:

1. Konseptualisasi model

Pada tahap ini pemahaman tentang sistem yang akan dimodelkan dituangkan dalam sebuah konsep. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh tentang model yang dibuat. Tahap ini dimulai dengan mengidentifikasi semua komponen penting yang terlibat atau yang akan dimasukkan ke dalam pemodelan dan menetapkan batas model (model boundaries). Komponen-kompenen tersebut kemudian dicari interrelasinya satu sama lain dengan menggunakan metode diagram sebab akibat. Tanda panah pada diagram diberi tanda (+) atau (-) tergantung pada hubungan yang terjadi apakah positif atau negatif. Tanda (+) digunakan untuk menyatakan hubungan yang terjadi antara dua faktor yang berubah dalam arah yang sama. Tanda (-) digunakan jika hubungan yang terjadi antara dua faktor tersebut berubah dalam arah yang berlawanan.

2. Formulasi model

Gambar

Gambar 1 Alur pikir penelitian
Tabel 1.  Sumber dan persyaratan bibit kura-kura setiap jenis di penangkaran
Gambar 3 Proporsi sumber pemenuhan kura-kura brazil di pasaran dalam negeri
Tabel 3 Keunggulan dan kelemahan jenis kura-kura di penangkaran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Data radiasi matahari pada Pulau Giliiyang berdasarkan software Homer ditunjukkan pada gambar 4. mempunyai rata-rata berkisar 5.8 kwh/m2/day tapi berdasarkan pengukuran

Setiap latihan yang membutuhkan pasokan energi melebihi kebutuhan normal- fisiologis tubuh, bahkan menguras cadangan energi otot, sangat memerlukan waktu untuk pulih

Berdasarkan hasil pengolahan data dengan uji statistik, ternyata secara empirik terdapat pengaruh yang signifikan pembelajaran dengan menggunakan media gambar

coli yamg homolog, galur acuan yang dipakai untuk penyuntikan di atas yang sudah diketahui serotipenya baik galur akuan atau isolat lapang, lalu ditumbuhkan dalam media agar

Pada peternakan KJT, pola penurunan diare dan mortalitas anak babi lahir dari induk yang divaksinasi dengan vaksin ETEC dapat dilihat pada Gambar 4.. Penggunaan 2 dosis vaksin

Hasil dari penelitian ini adalah 1 3 akar masalah dari penyebab keterlambatan penimbangan bahan baku glycerin yaitu tidak adanya alat bantu khusus proses penimbangan glycerin

Bagaimana membuat sistem uji agar spektrometer digital ini dapat digunakan untuk mengukur panjang gelombang laser HeNe, lampu LED dan mencari hubungan linier antara pergeseran

Karena luasnya cakupan wilayah pemasaran PEP Jawa Barat dan supaya penelitian lebih terarah dan terfokus pada tujuan penelitian, maka masalah dibatasi oleh perbandingan