• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Pengendalian Mastitis Subklinis melalui Pemberian Antibiotik pada Saat Kering Kandang di KPSBU Lembang, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Pengendalian Mastitis Subklinis melalui Pemberian Antibiotik pada Saat Kering Kandang di KPSBU Lembang, Jawa Barat"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PENGENDALIAN MASTITIS SUBKLINIS

MELALUI PEMBERIAN ANTIBIOTIK PADA SAAT KERING

KANDANG DI KPSBU LEMBANG JAWA BARAT

IMAS SRI NURHAYATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Pengendalian Mastitis Subklinis Melalui Pemberian Antibiotik pada Saat Kering Kandang di KPSBU Lembang, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2014

Imas Sri Nurhayati

(4)
(5)

RINGKASAN

IMAS SRI NURHAYATI. Kajian Pengendalian Mastitis Subklinis melalui Pemberian Antibiotik pada Saat Kering Kandang di KPSBU Lembang Jawa Barat. Dibimbing oleh ETIH SUDARNIKA dan ABDUL ZAHID ILYAS.

Mastitis merupakan masalah utama dalam tatalaksana usaha peternakan sapi perah karena dapat menurunkan produksi susu dalam jumlah besar. Salah satu upaya pengendalian penyakit di lapangan yaitu melalui pemberian antibiotik pada saat kering kandang. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor pendorong peternak melakukan pemberian antibiotik pada saat kering kandang, hubungan pemberian antibiotik terhadap tingkat kejadian kasus mastitis subklinis dan pengaruh pemberian antibiotik terhadap peningkatan produksi susu. Sebanyak 110 peternak yang berasal dari lima Tempat Pelayanan Koperasi, KPSBU, Lembang dipilih secara acak. Penelitian dilakukan melalui wawancara terhadap responden dan pengujian mastitis subklinis dengan menggunakan pereaksi IPB-1. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik peternak di wilayah KPSBU Lembang pada umumnya tua (47.28%), memiliki tingkat pendidikan tidak lulus SD-tidak lulus SMA (87.27%), pekerjaan utama beternak (72.7%), milik sendiri (95.5%), mempunyai pengalaman beternak lama (59.09%), aktif dalam pertemuan kelompok (78.2%) dan memiliki sapi laktasi kurang dari lima ekor (85.5%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mendorong peternak melakukan pemberian antibiotik pada saat kering kandang adalah tingkat keaktifan peternak (OR = 4.05; SK = 1.36 - 12.04) dan jumlah sapi laktasi yang dimiliki (OR = 5.3; SK = 1.43 - 19.58). Pemberian antibiotik pada saat kering kandang dapat meningkatkan produksi susu sebesar 620.5 (76.3 - 1164.7) liter/ekor/tahun.

(6)
(7)

SUMMARY

IMAS SRI NURHAYATI. Study of The Dry Cow Therapy Application for Controling Sub Clinical Mastitis at KPSBU Lembang West Java. Supervised by ETIH SUDARNIKA and ABDUL ZAHID ILYAS.

Mastitis is main problem in dairy farming because of decrease of production milk. Dry cow therapy is one of treatment for controlling subclinical mastitis. This study was conducted to identify the variables which supported the dairy farmers to apply dry cow therapy for controling sub clinical mastitis and the treatment impact to milk production. Total of 110 respondens was sampled randomly. The study was conducted by interviewing using questionnaires and testing subclinical mastitis using IPB-1 reagen. This study showed that the caracteristics of farmers old (47.28%), elementry until junior high school (95.5%), farming is main of business (72.7%), have long experience (95.5%), active in farmers meetings (78.2%) and productive cow < 5 head (85.5%). This study showed that variables which supported the dairy farmers to apply dry cow therapy were the attending of farmers in meeting (OR = 4.05; CI =1.36 - 12.04) and number of productive dairy (OR =5.3; CI =1.43 - 19.58). Dry cow therapy was able to improve milk production by 620.5 (76.3 - 1164.7) litre per cow per year.

Key words: dry cow therapy, milk production, sub clinical mastitis

(8)
(9)

©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(10)
(11)

i

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

KAJIAN PENGENDALIAN MASTITIS SUBKLINIS

MELALUI PEMBERIAN ANTIBIOTIK PADA SAAT KERING

KANDANG DI KPSBU LEMBANG, JAWA BARAT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(12)

ii

(13)

iii Judul Tesis : Kajian Pengendalian Mastitis Subklinis melalui Pemberian

Antibiotik pada Saat Kering Kandang di KPSBU Lembang, Jawa Barat

Nama : Imas Sri Nurhayati NIM : B251100051

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Etih Sudarnika MSi Ketua

Drh Abdul Zahid Ilyas MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah MSc Agr

(14)

iv

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan. Selama pengerjaan tesis ini, penulis mendapatkan banyak saran dan masukan yang membangun dari berbagai pihak demi penyempurnaan tulisan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Etih Sudarnika MSi dan Bapak Drh Abdul Zahid Ilyas MSi atas segala waktu selama pembimbingan, saran, dan arahannya dalam penyelesaian tesis dan seluruh staf pengajar beserta tenaga kependidikan PS KMV SPs IPB. Terima kasih kepada Bapak Drh Ramdan yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian dan Drh Fatul beserta staf Keswan KPSBU Lembang yang telah membantu selama pengumpulan data. Terima kasih pula kepada seluruh rekan-rekan PS KMV Reguler tahun 2010/2011 (KMV SRIWERS) yang selalu memberikan dukungan dalam proses penyelesaian tesis. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada keluarga tercinta atas kasih sayang, perhatian, dan dukungannya kepada penulis.

Atas segala kebaikan yang telah penulis terima, penulis ucapkan syukur semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Semoga tesis ini bermanfaat dan dapat memberikan informasi yang berguna bagi semua pihak.

Bogor, Juni 2014

(15)

v

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN

1

Latar Belakang 2

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

2 TINJAUAN PUSTAKA

2

Agen Penyebab dan Mekanisme Terjadinya Mastitis Subklinis

2

Epidemiologi Penyakit 4

Pengendalian dan Dampak Pengendalian Mastitis Subklinis 5 Faktor-faktor Pendorong dan Penghambat Partisipasi

Masyarakat

6

3 METODE

7

Rancangan Penelitian 7

Waktu dan Tempat Penelitian 8

Pengambilan Data 8

Definisi Operasional 9

Analisis data 9

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

10

Profil dan Karakteristik KPSBU Lembang 10

Profil Responden 11

Tindakan Pengendalian Mastitis melalui Pemberian

Antibiotik pada Saat Kering Kandang di KPSBU Lembang

12 Faktor Pendorong Peternak Melakukan Tindakan Pemberian

Antibiotik pada Saat Kering Kandang

13 Hubungan Pemberian Antibiotik pada Saat Kering Kandang

terhadap Tingkat Kejadian Kasus Mastitis Subklinis

15 Hubungan Pemberian Antibiotik pada Saat Kering Kandang

terhadap Produksi Susu

16 Analisis Ekonomi Pemberian Antibiotik pada Saat Kering

(16)

vi

DAFTAR TABEL

1 Jumlah responden dan sampel ternak untuk pengujian mastitis subklinis pada masing-masing TPK

8 2 Definisi operasional variabel-variabel dalam penelitian 9 3 Profil dan karakteristik KPSBU Lembang 10 4 Profil dan karakteristik usaha peternakan sapi perah di

wilayah KPSBU Lembang

11 5 Karakteristik peternak responden di KPSBU Lembang dan

asosiasinya terhadap kesediaan peternak melakukan tindakan pemberian antibiotik pada saat kering kandang

12

6 Faktor pendorong pemberian antibiotik pada saat kering kandang

13 7 Hasil pengujian mastitis subklinis dengan IPB-1 15 8 Analisis ekonomi melalui Partial Budgeting terhadap

tindakan pemberian antibiotik pada saat kering kandang

18

DAFTAR GAMBAR

1 Fenomena gunung es kasus mastitis subklinis 4

2 Sistem pertahanan mamae 5

3 Kerangka konsep penelitian 8

4 Jumlah peternak yang melakukan DCT di KPSBU Lembang 13

DAFTAR LAMPIRAN

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Mastitis merupakan masalah utama dalam tatalaksana usaha peternakan sapi perah karena dapat menurunkan produksi susu dalam jumlah besar. Tindakan pencegahan dan pengendalian penyakit sangat diperlukan sebagai salah satu upaya pengendalian penyakit di lapangan. Tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan deteksi dini terutama untuk penyakit mastitis sub klinis yaitu mastitis yang tidak disertai gejala klinis pada ambing dan perubahan fisik pada susu yang dihasilkannya.

Mastitis adalah peradangan jaringan internal kelenjar susu atau ambing dengan berbagai penyebab dengan derajat keparahan, lama penyakit dan akibat penyakit yang sangat beragam. Mastitis terbagi atas mastitis klinis dan mastitis subklinis. Mastitis klinis senantiasa diikuti tanda klinis baik berupa pembengkakan, pengerasan ambing, rasa sakit, panas serta kemerahan bahkan sampai terjadi penurunan fungsi ambing. Mastitis subklinis adalah mastitis yang tidak menampakkan perubahan yang nyata pada ambing dan susu yang dihasilkannya namun menyebabkan penurunan produksi dan kualitas susu. Proses terjadinya mastitis merupakan interaksi antara sapi, agen penyebab dan lingkungan.

Pengendalian mastitis klinis pada umumnya segera dilakukan karena gejala klinis yang muncul sangat jelas, namun pengendalian mastitis subklinis pada umumnya sering terlambat dilakukan karena penyakit tidak menunjukkan gejala klinis yang jelas, sehingga dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar. Prevalensi mastitis subklinis di Indonesia sampai tahun 2008 mencapai 85% dan dapat menyebabkan kerugian ekonomi sebesar Rp 10 000 000/ekor/tahun (Rahayu 2009). Berdasarkan studi yang dilakukan di pulau Jawa, dilaporkan bahwa prevalensi mastitis subklinis berkisar antara 37-67%, sedangkan mastitis klinis antara 5-30% yang menyebabkan kerugian Rp 8.5 M per tahun apabila tanpa tindakan pengendalian yang intensif (Supar 1997). Kerugian ekonomi yang diakibatkan mastitis adalah: a) penurunan produksi susu per kwartir per hari antara 9-45.5%, b) penurunan kualitas susu yang mengakibatkan penolakan susu mencapai 30-40% (Sudarwanto 1999), penurunan kualitas hasil olahan susu, dan c) peningkatan biaya perawatan dan pengobatan serta pengafkiran ternak lebih awal.

(18)

2

Perumusan Masalah

Untuk mengurangi kerugian akibat mastitis subklinis yang semakin besar, diperlukan tindakan pengendalian yang tepat. Pengobatan mastitis subklinis pada saat kering kandang merupakan salah satu alternatif dalam upaya pengendalian penyakit di lapangan, namun keberhasilan dari upaya pengendalian penyakit perlu didukung oleh partisipasi yang baik dari peternak.

Tujuan Penelitian

Penelitian dilakukan untuk mengetahui a) faktor pendorong peternak melakukan pemberian antibiotik pada saat kering kandang, b) hubungan pemberian antibiotik pada saat kering kandang terhadap tingkat kejadian kasus mastitis subklinis dan c) pengaruh pemberian antibiotik pada saat kering kandang terhadap peningkatan produksi susu.

Manfaat Penelitian

Hasil kajian diharapkan dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan ilmiah bagi pemerintah dan para pemangku kebijakan terkait dalam upaya pengendalian penyakit mastitis subklinis pada sapi perah di lapangan.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Agen Penyebab dan Mekanisme Mastitis Subklinis

Proses terjadinya mastitis subklinis merupakan interaksi antara sapi, agen penyebab dan lingkungan. Mikroorganisme yang paling banyak menyebabkan mastitis subklinis adalah bakteri (80%). Bakteri penyebab mastitis subklinis antara lain Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Streptococcus dysgalactiae, Streptococcus agalactiae dan Streptococcus uberis serta bakteri Coliform terutama Escherichia coli dan Klebsiella (Sharif et al. 2009). Menurut Hameed et al. (2006) mastitis subklinis disebabkan oleh Streptococcus dysgalactiae, Escherichia coli dan bakteri penyebab mastitis lainnya.

Staphylococcus epidermidis mendominasi sebesar 91.5% sedangkan

Streptococcus dysgalactiae, Streptococcus uberis, coliform dan lain-lain sebesar 8.5% (Supar dan Ariyanti 2008).

Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang paling banyak menyebabkan mastitis subklinis. Bakteri ini dapat berpindah antar kuartir selama proses pemerahan sehingga terjadi penularan (Marogna et al. 2010). Menurut Fox dan Gay yang dikutip Sharif (2009) agen penyebab yang berada dalam kuartir ditularkan dari sapi ke sapi yang lain selama proses pemerahan.

(19)

3

Streptococcus spp seperti Streptococcus uberis, dan Streptococcus dysgalactiae

(Sharif et al. 2009). Escherichia coli merupakan agen patogen yang berasal dari lingkungan yang terdapat pada tangan pemerah atau ambing yang masuk ke dalam saluran kelenjar ketika sapi mengalami kontak dengan lingkungan yang terkontaminasi. Sumber penularan antara lain berupa lingkungan kandang dan alas tidur. Agen patogen secara normal ditemukan pada feses, alas tidur dan pakan. Kejadian mastitis yang disebabkan oleh bakteri yang berasal dari lingkungan dapat terjadi kapan saja dengan sumber infeksi berupa lingkungan sekitar sapi (Hillerton dan Berry 2005). Tingkat kejadian penyakit yang disebabkan oleh agen yang berada dalam kuartir lebih tinggi jika dibandingkan dengan mastitis subklinis yang disebabkan oleh agen penyakit yang berasal dari lingkungan (Sori

et al. 2005).

Infeksi pada umumnya terjadi pada saat kering kandang terutama dua minggu setelah penghentian pemerahan dan dua minggu menjelang waktu beranak. Infeksi terjadi pada periode tersebut dan terus berlangsung selama masa laktasi. Mamae sangat peka terhadap kemungkinan infeksi menjelang waktu beranak dan awal masa laktasi (Hillerton dan Berry 2005; Schrick et al. 2001). Kejadian mastitis subklinis yang terjadi pada masa kering kandang mencapai 63% (Pantoja

et al. 2009).

Faktor predisposisi mastitis subklinis pada hewan adalah ambing itu sendiri. Ambing yang sangat menggantung atau ambing dengan lubang puting yang besar mudah terinfeksi penyakit (Akers et al. 2006). Kasus mastitis pada ambing yang menggantung lebih tinggi jika dibandingkan dengan kasus mastitis pada ambing yang tidak menggantung (Sori et al. 2005). Hal ini terjadi karena pada ambing yang menggantung, kemungkinan eksposure agen patogen lebih tinggi sehingga agen patogen lebih mudah melekat dan memudahkan masuk ke dalam ambing.

Umur hewan juga turut menentukan mudah tidaknya seekor hewan terinfeksi mastitis subklinis. Semakin tua umur sapi, terutama sapi dengan produksi susu yang tinggi maka semakin kendur pula sphincter putingnya, sehingga sapi semakin mudah terinfeksi karena kemampuan sphincter menahan masuknya kuman berkurang. Semakin tinggi produksi susu, maka makin lama waktu yang dibutuhkan oleh sphincter untuk menutup dengan sempurna (Subronto 2003).

Penyebaran bakteri dapat terjadi dari ambing yang terinfeksi ke ambing yang sehat selama proses pemerahan melalui tangan dan lap yang digunakan untuk mencuci atau mengeringkan ambing atau dapat juga ditularkan oleh lalat. Ternak yang menderita mastitis subklinis dapat berpotensi sebagai sumber infeksi terhadap ambing yang sehat (Tomita dan Hart 2001).

Proses infeksi dimulai dengan masuknya mikroorganisme ke dalam kelenjar melalui lubang puting yang terbuka setelah proses pemerahan. Mikroorganisme berkembang dalam puting dan menyebar ke alveoli dan menyebabkan kerusakan pada susu yang dihasilkan. Mikroorganisme yang masuk ke dalam ambing dapat merusak sel dalam ambing akibat reaksi peradangan dan invasi mikroorganisme. Infeksi akut dapat merangsang pembentukan jaringan ikat pada ambing (Holtenius

(20)

4

Epidemiologi Penyakit

Manifestasi penyakit mastitis pada sapi perah dibedakan menjadi dua macam yaitu mastitis klinis dan mastitis subklinis. Pada umumnya peternak sudah mengenal mastitis klinis, namun belum begitu paham dan mengenal mastitis subklinis, karena tidak tampak gejala-gejala klinis. Menurut Hameed dan Sender (2006) kejadian mastitis subklinis bisa mencapai 50 kali dibandingkan dengan mastitis klinis. Populasi ternak yang menderita mastitis subklinis jauh lebih banyak dari ternak yang menderita mastitis klinis sehingga jumlah kasus mastitis subklinis di lapangan seperti fenomena gunung es (Gambar 1).

Gambar 1 Fenomena gunung es kasus mastitis subklinis (McGill University 2012) Mastitis subklinis mempunyai dampak ekonomi karena menyebabkan penurunan produksi susu per kuartir per hari antara 9-45.5%, penurunan kualitas susu yang mengakibatkan penolakan susu mencapai 30-40% (Sudarwanto 1999) dan penurunan kualitas hasil olahan susu, peningkatan biaya perawatan dan pengobatan serta pengafkiran ternak lebih awal. Gambaran kerugian ekonomi mastitis subklinis dari kajian yang dilakukan di Kabupaten Boyolali telah menyebabkan penurunan produksi susu 19% per hari dan pada mastitis subklinis berat penurunan produksi mencapai 36%. Lebih lanjut, studi mastitis subklinis dilakukan di pulau Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur) dan dilaporkan bahwa prevalensi mastitis subklinis antara 37-67% dan mastitis klinis antara 5-30% dapat menyebabkan kerugian ekonomi mencapai 8.5 M rupiah per tahun bila tanpa pengendalian yang intensif (Supar 1997).

(21)

5 masih merupakan masalah dalam tatalaksana usaha sapi perah, sebagai contoh tingkat kejadian mastitis subklinis di India dan Pakistan berkisar antara 17-93% pada sapi dan 4-48% pada kerbau (Allore 1993).

Pengendalian dan Dampak Pengendalian Mastitis Subklinis

Prinsip dasar pengendalian mastitis adalah menurunkan kemungkinan eksposure agen patogen terhadap puting atau melalui peningkatan daya tahan ternak terhadap kemungkinan terjadinya infeksi. Pada dasarnya, mamae sudah dilengkapi dengan perangkat pertahanan, sehingga air susu dipertahankan dalam keadaan steril, dan tidak tercemar oleh bakteri patogen. Perangkat pertahanan yang dimiliki oleh mamae, antara lain: perangkat pertahanan mekanis, seluler, dan perangkat pertahanan nonspesifik.

Gambar 2 Sistem pertahanan mamae (McGill University 2012)

Tingkat pertahanan mamae mencapai titik terendah pada saat-saat sesudah dilakukan pemerahan, karena spinchter puting saat itu masih terbuka sekitar 2-3 jam, sel darah putih sangat minim jumlahnya dan antibodi serta enzim juga habis ikut terperah (Sharif et al. 2009). Hal ini menjadi alasan agar ternak diupayakan agar tetap berdiri setelah proses pemerahan dengan menyediakan pakan dan minuman setelah proses pemerahan. Selain itu, kandang harus diupayakan agar tetap bersih ketika ternak berbaring.

Pemberian antibiotik pada saat kering kandang merupakan salah satu upaya pengendalian mastitis, karena pada saat kering kandang mamae sangat mudah terkena infeksi baru, baik saat awal maupun menjelang akhir waktu kering kandang hal ini berkaitan dengan perubahan fisiologis mamae. Menurut Smith dan Hogan dalam Sharif (2009), pengobatan dengan menggunakan antibiotik yang tepat pada semua kuartir pada saat kering kandang dapat membantu mengendalikan infeksi oleh Streptococcus spp. Sedangkan menurut Smith et al.

(22)

6

menghindari terjadinya kerugian ekonomi yang semakin besar. Jumlah kasus pada kelompok ternak yang dilakukan tindakan pemberian antibiotik pada saat kering kandang lebih sedikit jika dibandingkan dengan kelompok yang diberikan teat-sealant (Bhutto 2011).

Tindakan pemberian antibiotik pada saat kering kandang yang dilakukan pada kambing menyebabkan penurunan jumlah bakteri dari 60% menjadi 20%, penurunan jumlah sel somatik dari 2500×103 menjadi 1000×103 sel/ml dan secara bersamaan terjadi peningkatan produksi susu 395 sampai 487 liter per ekor per

tahun (Shwimmer et al. 2008). Pengendalian mastitis subklinis dengan pemberian antibiotik pada saat kering kandang dapat meningkatkan produksi susu, selama 90 hari masa produksi terjadi peningkatan produksi susu sebanyak 295 liter (Supar dan Ariyanti 2008).

Tindakan pemberian antibiotik pada saat kering kandang memiliki beberapa keuntungan yaitu a) tingkat keberhasilan pengobatan jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan tindakan yang dilakukan pada saat laktasi seperti halnya yang dikemukan Waldner (2014) yaitu pemberian antibiotik pada saat kering kandang mempunyai tingkat keberhasilan dalam pengobatan mastitis subklinis sebesar 80-90% jika dibandingkan dengan pemberian antibiotik pada saat laktasi dengan tingkat keberhasilan yang lebih rendah sekitar 30-40%; b) selain itu dosis yang digunakan dalam tindakan pengobatan dapat lebih tinggi dan aman, karena waktu retensi obat di dalam ambing menjadi lebih lama, serta c) risiko kontaminasi antibiotik ke dalam susu dapat dihindari karena susu tidak diperah dan d) merupakan cara terbaik untuk mengobati mastitis subklinis dan mastitis kronis yang sulit dilakukan pada masa laktasi.

Namun tindakan pemberian antibiotik pada saat kering kandang memiliki kelemahan diantaranya a) dapat membunuh flora normal yang ada pada saluran dan ujung ambing; b) resistensi antibiotik pada penggunaan antibiotik skala luas; c) iritasi pada ujung ambing; d) tindakan yang tidak perlu pada kuartir ambing yang sehat merupakan biaya tambahan yang mahal dan e) susu serta daging terbuang jika dilakukan pemotongan pada waktu withdrawal time obat atau terjadi kelahiran prematur (Sandholm dan Pyorala 1995). Tindakan harus dilakukan pada semua kuartir ambing sehingga obat yang digunakan relatif lebih banyak sehingga biaya yang dikeluarkan relatif menjadi lebih besar. Pengobatan menggunakan antibiotik tidak efektif untuk mengendalikan patogen lingkungan khususnya bakteri Coliform. Pengafkiran merupakan salah satu alternatif pengendalian untuk kasus yang kronis namun metode ini membutuhkan biaya untuk penggantian ternak (Tomita dan Hart 2001).

Faktor-faktor Pendorong dan Penghambat Partisipasi Masyarakat

(23)

7 keberhasilan suatu program dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor pendorong dapat berupa kesadaran masyarakat terhadap manfaat suatu program sehingga rela mengorbankan waktu, biaya dan tenaga, adanya bantuan dana dari pemerintah serta budaya masyarakat yang mulai menerima perubahan (Nuanti 2009). Aktif dalam organisasi masyarakat (kelompok tani) dan status sosial yang tinggi merupakan faktor pendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam suatu program (Sadono 2012).

Faktor internal yang menjadi pendorong bagi peternak agar berpartisipasi dalam program salah satunya adalah pengetahuan atau informasi yang memadai. Pengetahuan mengenai suatu obyek akan menumbuhkan sikap positif terhadap obyek tersebut apabila pengetahuan tersebut disertai dengan kesiapan untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan terhadap obyek tersebut (Gerungan 1996). Sikap akan sangat menentukan tindakan atau praktik (behavior) dari seseorang. Seseorang yang memiliki sikap positif terhadap suatu obyek, maka besar kemungkinan juga untuk bertindak positif terhadap obyek tersebut. Adanya sikap positif tersebut didasari oleh adanya pemikiran dan pengetahuan terhadap obyek tersebut (Sujarwo 2004).

Faktor penghambat baik secara individu maupun kelompok dapat disebabkan oleh keterbatasan kemampuan untuk melakukan suatu tindakan sosial. Masyarakat seringkali berada pada kondisi situasional yang dapat membatasi tindakannya dalam mencapai tujuan. Faktor yang dapat menjadi penghambat masyarakat untuk berpartisipasi dalam suatu program diantaranya keterbatasan ekonomi (faktor internal masyarakat) dan terbatasnya informasi yang diterima (faktor eksternal) (Nuanti 2009), masyarakat dengan tingkat pendidikan dan berpenghasilan rendah (Sadono 2012).

3 METODE

Rancangan Penelitian

(24)

8

Gambar 3 Kerangka konsep penelitian

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan mulai bulan Februari sampai dengan Maret 2013. Penelitian dilakukan di Kabupaten Bandung Barat sebagai salah satu wilayah padat populasi sapi perah di Jawa Barat.

Pengambilan Data

Jumlah responden sebanyak 110 peternak, yaitu 55 peternak yang melakukan pemberian antibiotik pada saat kering kandang (dry cow therapy, DCT) sebagai kelompok kasus dan 55 peternak yang tidak melakukan pemberian antibiotik pada saat kering kandang (non-DCT sebagai kelompok kontrol (Tabel 1). Pengujian mastitis subklinis dilakukan pada dua ekor sapi laktasi untuk setiap peternak pada masing-masing kelompok. Responden dipilih secara acak di 5 Tempat Pelayanan Koperasi (TPK). Pemilihan 5 dari 23 TPK dilakukan secara acak.

Tabel 1 Jumlah responden dan sampel ternak untuk pengujian mastitis subklinis pada masing-masing TPK

- Tingkat produksi susu

Kelompok peternak tanpa pengobatan kering kandang:

- Prevalensi mastitis

subklinis

(25)

9 Data karakteristik dan manajemen peternakan sapi perah diperoleh melalui wawancara terhadap responden dengan menggunakan kuesioner terstruktur, serta status mastitis subklinis diperoleh melalui pengujian dengan menggunakan reagen IPB1.

Definisi Operasional

Definisi operasional variabel-variabel dalam penelitian ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Definisi operasional variabel-variabel dalam penelitian

Variabel Definisi operasional Pengukuran Kategori Skala

Umur Usia peternak pada

saat dilakukan

Wawancara Tidak lulus SD - tidak lulus SMA

Wawancara 1 = Peternak 2 = Bukan peternak

Wawancara 1 = Milik sendiri 2 = Bagi hasil

Wawancara Jumlah produksi susu selama satu periode produksi

(26)

10

Analisis Data

Data produksi susu rata-rata per ekor per tahun dianalisis dengan menggunakan uji T untuk menduga peningkatan produksi susu akibat pemberian antibiotik pada saat kering kandang. Untuk mengetahui asosiasi antara variabel seperti umur, tingkat pendidikan, pekerjaan utama, pengalaman beternak, pemilikan usaha, tingkat keaktifan peternak dan jumlah sapi laktasi yang dimiliki dianalisis dengan khi-kuadrat dan dilanjutkan dengan model regresi logistik berganda untuk menduga nilai odds ratio variabel tersebut (Giuseppe et al. 2008).

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil dan Karakteristik KPSBU Lembang

KPSBU Lembang merupakan koperasi yang besar tercermin dari jumlah anggota aktif hampir mencapai 5 ribu peternak dan produksi susu yang dihasilkan di atas 40 ribu kg/hari (Yusdja 2005). Disamping itu KPSBU juga telah mengembangkan usahanya ke pengolahan susu pasteurisasi dan yogurt (Tabel 3). Upaya ini juga ditujukan untuk menciptakan pasar baru agar dapat meningkatkan harga susu di tingkat peternak. KPSBU juga mempunyai pabrik pakan yang menyediakan konsentrat bagi para peternak anggotanya. Upaya ini dilakukan agar pakan yang diberikan kepada ternak terjamin kualitas dan kontinuitasnya sehingga dapat menghasilkan susu dengan kualitas tinggi.

Tabel 3 Profil dan karakteristik KPSBU Lembang

Aspek Uraian

Jumlah anggota aktif (orang) 4 359

Populasi sapi perah (ekor) 15 000

Produksi susu saat ini (kg/hari) 114 850

Unit pengelola susu Yogurt dan susu pasteurisasi Unit pengelola makanan ternak Ada/konsentrat

Sumber: KPSBU (2013)

(27)

11 produktivitas semakin menurun dan teknologi bibit unggul sapi perah tidak memperlihatkan kemampuan optimal. Hal tersebut disebabkan oleh kesulitan dalam mendapatkan pakan hijauan dan konsentrat karena lahan bebas semakin sempit dan rendahnya daya beli.

Tabel 4 Profil dan karakteristik usaha peternakan sapi perah di wilayah KPSBU Lembang

Aspek Uraian

Rataan kepemilikan sapi perah (ekor/peternak) 4 Rataan jumlah sapi laktasi (ekor/peternak) 3 Rataan produksi susu (liter/ekor/hari) 14.9 Harga susu tertinggi di tingkat peternak (Rp/liter) 3 600 Rataan harga susu di peternak (Rp/liter) 3 407

Rataan harga konsentrat (Rp/kg) 2 000

Rataan potongan biaya untuk IB dan keswan (handling cost) (Rp/liter)

560.32

Dalam upaya optimalisasi pelayanan koperasi terhadap anggotanya, setiap peternak dikenakan biaya handling cost sebesar Rp 560.32/liter susu yang diperuntukkan untuk biaya manajemen dan pelayanan kesehatan ternak. Namun masih banyak peternak yang masih belum memanfaatkan fasilitas ini dengan baik. Misalnya saja peternak masih banyak yang tidak melapor apabila ternaknya sudah waktunya mendapatkan tindakan post partus dengan alasanmereka tidak memiliki uang untuk insentif bagi petugas keswan. Padahal pelayanan kesehatan merupakan salah satu paket pelayanan yang diberikan pihak pengelola KPSBU Lembang yang dibiayai dari handling cost yang dipotong langsung dari setoran susu setiap harinya.

Profil Responden

(28)

12

Tabel 5 Karakteristik peternak responden di KPSBU Lembang dan asosiasinya terhadap kesediaan peternak melakukan tindakan pemberian antibiotik pada saat kering kandang

Variabel

-Tidak lulus SD-tidak lulus

SMA

96 87.27 2.694 0.101

-SMA-PerguruanTinggi 14 12.73

Pekerjaan utama

Tingkat keaktifan peternak 7.674 0.006

-Pasif 24 21.8

-Aktif 86 78.2

Jumlah sapi laktasi yang dimiliki

4.681 0.031

-≤ lima ekor 94 85.5

-> lima ekor 16 14.5

Tindakan Pengendalian Mastitis melalui Pemberian Antibiotik pada Saat Kering Kandang di KPSBU Lembang

(29)

13

Gambar 4 Jumlah peternak yang melakukan DCT di KPSBU Lembang Kebijakan penggunaan antibiotik pada saat kering kandang sudah lama dilakukan di wilayah KPSBU Lembang, namun pihak pengelola KPSBU belum pernah melakukan kajian terhadap kebijakan ini. Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak pengelola KPSBU dalam upaya peningkatan pelayanan terhadap anggotanya.

Faktor Pendorong Peternak Melakukan Tindakan Pemberian Antibiotik pada Saat Kering Kandang

Berdasarkan hasil analisis khi-kuadrat seperti yang tertera pada Tabel 5, diperoleh empat variabel yang merupakan kandidat (nilai P<0.25) untuk dilakukan analisis lebih lanjut dengan model regresi logistik berganda yaitu tingkat pendidikan, pekerjaan utama, tingkat keaktifan peternak dan jumlah sapi laktasi yang dimiliki. Setelah diuji dengan model regresi logistik berganda diperoleh dua variabel yang mendorong peternak untuk melakukan pemberian antibiotik pada saat kering kandang, yaitu tingkat keaktifan peternak dan jumlah sapi laktasi yang dimiliki seperti terlihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Faktor pendorong pemberian antibiotik pada saat kering kandang

Variabel Odds ratio Selang

kepercayaan Nilai P Tingkat keaktifan peternak 4.05 1.36-12.04 0.012 Jumlah sapi laktasi yang dimiliki 5.29 1.43-19.58 0.012

Peternak yang aktif mengikuti kegiatan pertemuan kelompok maupun kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh petugas (89%) mempunyai kemungkinan 4.05 (1.36-12.04) kali melakukan tindakan pemberian antibiotik

(30)

14

pada saat kering kandang dibandingkan dengan peternak yang pasif. Hal ini kemungkinan karena peternak tersebut mempunyai informasi dan pemahaman yang baik terhadap manfaat pemberian antibiotik pada saat kering kandang sehingga mau melakukan tindakan pengendalian mastitis subklinis melalui tindakan tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gerungan (1996) bahwa pengetahuan mengenai suatu obyek akan menumbuhkan sikap positif terhadap obyek tersebut apabila pengetahuan tersebut disertai dengan kesiapan untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan terhadap obyek tersebut. Sikap akan sangat menentukan tindakan atau praktik (behavior) dari seseorang. Seseorang yang memiliki sikap positif terhadap suatu obyek, maka besar kemungkinan juga untuk bertindak positif terhadap obyek tersebut. Adanya sikap positif tersebut didasari oleh adanya pemikiran dan pengetahuan terhadap obyek tersebut (Sujarwo 2004). Hasil penelitian sesuai pula dengan pernyataan Sadono (2012) bahwa aktif dalam organisasi masyarakat (kelompok tani) dan status sosial yang tinggi merupakan faktor pendorong terhadap tingkat partisipasi masyarakat, dan sesuai pula dengan pernyataan Rusmana (2013) bahwa semakin terbuka berkomunikasi maka semakin tinggi kesadaran masyarakat dalam menerima suatu program.

Peternak yang memiliki sapi laktasi di atas 5 ekor (14.5%) mempunyai kemungkinan 5.29 (1.43-19.58) kali melakukan tindakan pemberian antibiotik pada saat kering kandang dibandingkan dengan peternak yang memiliki sapi laktasi kurang dari lima ekor. Hal ini disebabkan karena kelompok peternak pertama mempunyai daya beli yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok peternak yang memiliki sapi laktasi kurang dari lima ekor. Selain daya beli, peternak yang tidak memiliki ketergantungan ekonomi secara penuh tidak memiliki motivasi yang baik untuk mengurus usahanya dengan baik. Pada kelompok peternak kedua ini hasil dari penjualan susu habis untuk biaya pemeliharaan, sehingga peternak merasa keberatan untuk menambah pengeluaran untuk pembelian obat kering kandang.

Untuk meningkatkan kualitas pelayanan terhadap anggota, tindakan pemberian antibiotik pada saat kering kandang dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan bagi pengurus koperasi agar dimasukan ke dalam komponen

handling cost, mengingat komposisi peternak sapi perah di Indonesia sebagian besar merupakan peternak dengan tingkat kepemilikan yang rendah, yakni kurang dari 5 ekor (85.5%) dengan tingkat daya beli yang relatif rendah. Dengan demikian anggota koperasi dapat lebih memanfaatkan handling cost yang telah dikeluarkan para anggota sebesar Rp 560.32/liter susu untuk setiap harinya dan tindakan pengendalian mastitis subklinis melalui pemberian antibiotik pada saat kering kandang akan dapat dilakukan dengan lebih intensif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rusidi (2002) bahwa sebagai pelanggan/pemakai, para anggota memanfaatkan berbagai potensi/pelayanan yang disediakan oleh koperasi dalam menunjang kepentingan-kepentingannya.

(31)

15 manfaat tindakan DCT karena minimnya informasi yang dimiliki. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nuanti (2009) bahwa faktor yang dapat menjadi penghambat diantaranya keterbatasan ekonomi (faktor internal masyarakat) dan terbatasnya informasi yang diterima (faktor eksternal). Tindakan penyuluhan sangat diperlukan dalam upaya peningkatan pemahaman peternak terhadap manfaat tindakan pengendalian mastitis subklinis serta perlu adanya upaya lain agar peternak menjadi tertarik dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan yang dilakukan oleh kelompok ternak dan kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh petugas. Upaya lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pemahaman peternak, khususnya peternak yang bersifat pasif adalah kegiatan penyuluhan yang bersifat personal (face to face communication).

Hubungan Pemberian Antibiotik pada Saat Kering Kandang terhadap Tingkat Kejadian Kasus Mastitis Subklinis

Penelitian menunjukkan bahwa tindakan pemberian antibiotik pada saat kering kandang (DCT) menunjukan pengaruh yang nyata terhadap tingkat kejadian mastitis subklinis di lapangan (P<0.05), data ditampilkan pada Tabel 7.

Tabel 7 Hasil pengujian mastitis subklinis dengan IPB-1

Perlakuan Hasil pengujian mastitis subklinis Odds rasio Selang

kepercayaan Nilai P

Negatif Positif Jumlah

DCT 29 (26.36%) 81(73.63%) 110 3.5 1.6 – 7.6 0.001

Non DCT 10 (9.09%) 98(89.09%) 108

Berdasarkan Tabel 7 diperoleh nilai odds ratio 3.5 (1.6 – 7.6). Kelompok peternak yang tidak melakukan pemberian antibiotik pada saat kering kandang memiliki kemungkinan 3.5 (1.6 – 7.6) kali terkena penyakit mastitis subklinis daripada kelompok peternak yang melakukan pemberian antibiotik pada saat kering kandang. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya bahwa pemberian antibiotik pada saat kering kandang sangat baik dilakukan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi baru karena pada saat kering kandang mamae sangat mudah terkena infeksi baru, baik saat awal maupun menjelang akhir waktu kering kandang, hal ini berkaitan dengan perubahan fisiologis mamae. Smith et al yang dikutip oleh Sharif (2009) menyampaikan bahwa tindakan pemberian antibiotik pada saat kering kandang dapat menurunkan terjadinya infeksi baru sekitar 82%. Hal serupa disampaikan pula oleh Waldner (2014) bahwa pemberian antibiotik pada saat kering kandang mempunyai tingkat keberhasilan dalam pengobatan mastitis subklinis sebesar 80-90% jika dibandingkan pemberian antibiotik pada saat laktasi dengan tingkat keberhasilan yang lebih rendah sekitar 30-40%. Menurut Smith dan Hogan (1993), pengobatan dengan menggunakan antibiotik yang tepat pada semua kuartir pada saat kering kandang dapat membantu mengendalikan infeksi oleh Streptococcus spp.

(32)

16

kerugian ekonomi yang semakin besar (Halasa et al. 2010). Jumlah kasus pada kelompok ternak yang dilakukan tindakan pemberian antibiotik pada saat kering kandang lebih sedikit jika dibandingkan dengan kelompok yang diberikan teat-sealant (Bhutto 2011).

Hubungan Pemberian Antibiotik pada Saat Kering Kandang terhadap Produksi Susu

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan uji T, tindakan pemberian antibiotik pada saat kering kandang memberikan manfaat yang signifikan terhadap peningkatan produksi susu. Produksi susu pada kelompok peternak yang melakukan pemberian antibiotik pada saat kering kandang adalah 5 750.4 ± 217.38 liter per ekor per tahun. Sedangkan kelompok peternak yang tidak melakukan pemberian antibiotik pada saat kering kandang memiliki produksi susu sebesar 5 129.9 ± 167.68 liter per ekor per tahun. Kelompok peternak yang melakukan pemberian antibiotik pada saat kering kandang memiliki produksi susu rata-rata lebih tinggi sebesar 620.5 (76.3 – 1164.7) liter per ekor per tahun dibandingkan dengan kelompok peternak yang tidak melakukan pemberian antibiotik pada saat kering kandang. Hasil penelitian yang serupa disampaikan pula oleh Supar dan Ariyanti (2008) bahwa pengendalian mastitis subklinis dengan pemberian antibiotik pada saat kering kandang dapat meningkatkan produksi susu. Hal tersebut sesuai pula dengan hasil penelitian Schwimmer et al.

(2008) bahwa tindakan pemberian antibiotik pada saat kering kandang yang dilakukan pada kambing menyebabkan penurunan jumlah bakteri dari 60% menjadi 20%, jumlah sel somatik dari 2500× 103 berkurang menjadi 1000×103 sel/ml dan secara bersamaan terjadi peningkatan produksi susu 395

sampai 487 liter per ekor tahun (Shwimmer et al. 2008).

(33)

17

Analisis Ekonomi Pemberian Antibiotik pada Saat Kering Kandang

Potensi peningkatan produksi susu melalui tindakan pengobatan mastitis pada saat kering kandang dapat memberikan peningkatan keuntungan yang cukup besar kepada peternak. Dari hasil penelitian ini diperoleh data bahwa produksi susu pada kelompok peternak yang melakukan pemberian antibiotik pada saat kering kandang adalah 5 750.4 ± 217.38 liter per ekor per tahun. Sedangkan kelompok peternak yang tidak melakukan pemberian antibiotik pada saat kering kandang memiliki produksi susu sebesar 5 129.9 ± 167.68 liter per ekor per tahun. Rata-rata produksi susu pada kelompok peternak yang melakukan pemberian antibiotik pada saat kering kandang lebih tinggi 620.5 (76.3 - 1164.7) liter per ekor per tahun. Jika dilakukan analisis melalui partial budgeting, selisih produksi susu tersebut dapat memberikan keuntungan sebesar Rp 2 049 044 (194 954 – 3 903 133) per ekor per tahun jika harga susu di tingkat peternak sebesar Rp 3 407 per liter.

Apabila dibandingkan dengan rata-rata produksi susu per ekor per tahun di wilayah KPSBU Lembang sebesar 5 440.2 liter, maka produksi susu pada kelompok peternak yang melakukan pemberian antibiotik pada saat kering kandang meningkat sebesar 620.5 liter atau sebesar 11.4%. Namun jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Supar dan Ariyanti (2008) di Sukabumi, peningkatan produksi susu selama 90 hari masa produksi sebanyak 295 liter, dengan demikian peningkatan produksi susu di wilayah KPSBU Lembang masih relatif lebih rendah. Tindakan pemberian antibiotik pada saat kering kandang harus disertai dengan perbaikan manajemen pemerahan. Hal ini sesuai pula dengan pernyataan Supar dan Ariyanti (2008) bahwa tindakan pengendalian mastitis subklinis dengan dry cow therapy disertai dengan manajemen pemerahan yang baik dapat menekan kejadian mastitis subklinis dan meningkatkan produksi susu.

(34)

18

Tabel 8 Analisis ekonomi melalui partial budgeting terhadap tindakan pemberian antibiotik pada saat kering kandang

No Komponen Analisis

1. Selisih produksi susu setelah tindakan

DCT

= 620.5 (76.3 – 1164.7) liter/ekor/tahun

2. Biaya tambahan untuk tindakan DCT

= Rp 65 000/ekor/tahun

3. Selisih keuntungan = Pendapatan tambahan – biaya tambahan = (620.5 x Rp 3 407) – Rp 65 000

= Rp 2 114 044 – 65 000

= Rp 2 049 044 (194 954 – 3 903 133) /ekor/tahun

Catatan: Rp 3 407 merupakan harga rata-rata susu di tingkat peternak di wilayah KPSBU Lembang bulan Maret 2013

Dengan prevalensi penyakit sebesar 85% dari total populasi sekitar 15 000 ekor berarti populasi sapi perah yang terinfeksi sebanyak 12750 ekor. Apabila tindakan dilakukan pada semua sapi perah yang terkena penyakit, maka KPSBU Lembang memiliki potensi peningkatan keuntungan sebagai berikut:

620.5 liter /ekor/tahun x 12750 x 3 407 = Rp 26 954 054 625 Tambahan biaya untuk tindakan pemberian antibiotik yang harus dikeluarkan untuk populasi yang terinfeksi yaitu sebagai berikut:

Rp 65 000 x 12750 = Rp 828 750 000

Apabila diperhitungkan dengan tambahan pengeluaran yang harus dikeluarkan untuk biaya pengobatan pada semua sapi perah yang terinfeksi, secara ekonomi tindakan pengendalian penyakit masih sangat menguntungkan karena masih memberikan potensi keuntungan sebesar Rp 26 125 304 625 per tahunnya.

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(35)

19 Tindakan pemberian antibiotik pada saat kering kandang menunjukan pengaruh yang nyata terhadap tingkat kejadian mastitis subklinis di lapangan dengan OR = 3.5 (1.6 – 7.6), yang artinya kelompok peternak yang tidak melakukan tindakan pemberian antibiotik pada saat kering kandang mempunyai kemungkinan lebih dari tiga kali terkena mastitis subklinis.

Kelompok peternak yang melakukan tindakan pemberian antibiotik pada saat kering kandang mempunyai produksi susu 5 750.4 ± 217.38 liter per ekor per tahun sedangkan kelompok peternak yang tidak melakukan pemberian antibiotik pada saat kering kandang mempunyai produksi susu 5 129.9 ± 167.68 liter per ekor per tahun. Produksi susu pada kelompok pengguna mempunyai produksi susu lebih tinggi sebesar 620.5 (76.3 – 1164.7) liter per ekor per tahun. Selisih produksi susu tersebut dapat memberikan keuntungan yang lebih tinggi sebesar Rp 2 049 044 per ekor per tahun.

Saran

1. Hasil kajian di lapangan diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu dasar pengambilan kebijakan dalam penentuan strategi pengendalian mastitis subklinis di lapangan.

2. Untuk meningkatkan partisipasi peternak dalam upaya pengendalian mastitis subklinis perlu dilakukan tindakan penyuluhan yang tepat agar informasi yang diterima peternak lebih memadai sehingga pemahaman peternak terhadap manfaat pemberian antibiotik pada saat kering kandang meningkat. 3. Penelitian lebih lanjut diharapkan dapat dilakukan untuk mengukur secara

(36)

20

DAFTAR PUSTAKA

Akers RM, Capuco AV, Keys JE. 2006. Mammary histology and alveolar cell diffrentiation during late gestation and early lactation in mammary tissue of beef and dairy heifers. Livestock Sci. 105:44-49.

Allore HG. 1993. A review of the incidence of the mastitis in buffaloes and cows.

Pakistan Vet J. 13:1-7.

Anggraeni A. 2007. Pengaruh umur, musim dan tahun beranak terhadap produksi susu sapi Friesien Holstein pada pemeliharaan intensif dan semi intensif di Kabupaten Banyumas. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm 156-166.

Anggraeni A. 2003. Keragaan produksi susu sapi perah: Kajian pada faktor koreksi pengaruh lingkungan internal. Wartazoa. 13 (1):1-9.

Bhutto AL, Murray RD, Woldehiwet Z. 2011. The effect of dry cow therapy and internal teat-sealant on intra-mammary infections during subsequent lactation. Res Vet Sci. 90:316–320.

Fox LK and Gay JM. 1993. Contagious mastitis. North Am. Food Anim Pract Vet Clin. 9:475.

Gerungan WA. 1996. Psikologi Sosial, Suatu Ringkasan. Bandung (ID): Eresco. Giuseppe GD, Abbate R, Albano L, Marinelli P, Angelillo IF. 2008. A survey of

knowledge, attitudes, and practices towards avian influenza in an adult population in Italy. J Bio Med Central Infect Dis. 8:36.

Halasa T, Nielen M, Werven TV, Hogeveen. 2010. A simulation model to calculate cost and benefits of dry period interventions in dairy cattle. J Liv Sci. 129: 80-87.

Hameed KGA, Sender G. 2006. Public health hazard due to mastitis in dairy cows.

Animal Science Papers and Reports. 25 (2): 73-85.

Hillerton JE, Berry EA. 2005. Treating mastitis in the cow is a tradition or an archaism. J Appl Microbiol. 98:1250-1255.

Holtenius K, Waller KP, Gustavsson BE, Holtenius P, Sandgren CH. 2004. Metabolic parameters and blood leukocyte profiles in cows from herds with high or low mastitis incidence. Vet J. 168:65-73.

Listiana I. 2010. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan kemitraan penggemukan sapi potong antara PT. Great Giant Livestock Company (GGLC) dan peternak sapi di Kabupaten Lampung Tengah [tesis]. Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret.

Marogna G, Sandro R, Stefano L, Sebastian T, Guido L. 2010. Clinical findings in dairy farms affected by recurrent bacterial mastitis. Small Rumin Res.

88:119-125.

McGill University. 2012. Mastitis in dairy cows. Bogor (ID): McGill University. Page 1-12; [diunduh 2012 Mei 26]. Tersedia pada www.forhealthcows/assets/goldspikecaps-mastitisstudy.pdf.

Mulyadi AN, Soedjana TD dan Subandriyo. 1995. Sistem produksi dan efisiensi usaha sapi perah rakyat di Jawa. J Penelitian. 2:1-11.

(37)

21 masyarakat terhadap pengembangan rumah dome sebagai daerah tujuan wisata di Dusun Nglepen, Kelurahan Sumberhajo, Kecamatan Prambanan,Kabupaten Sleman, Yogyakarta)[skripsi]. Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret.

Pantoja JCF, Hulland C, Ruegg PL. 2009. Dynamics of somatic cell count and intramammary infections across the dry period. Prev Vet Med. 90:43-54. Rahayu ID. 2009. Kerugian ekonomi mastitis subklinis pada sapi perah. Bogor

(ID): Univesitas Winayamukti. hlm1;[diunduh 19 Juni 2014]. Tersedia pada http://www.umm.ac.id/fapet/ekonomi-mastitis.

Rusidi. 2002. Paradigma Dimensional bagi Pengembangan Teori-teori Koperasi. Di dalam: Rusidi dan Suratman, editor. 20 Pokok Pemikiran Tentang Pembangunan Koperasi. Sumedang (ID): UPT Penerbitan Ikopin. hlm 28. Rusmana D. 2013. Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan program

imunisasi di Kecamatan Banjaran Kabupaten Bandung[tesis]. Bandung (ID): Universitas Pendidikan Indonesia.

Sadono Y. 2013. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan taman nasional gunung Merbabu di Desa Jeruk Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. J Pembangunan Kota. 9(1):53-64.

Sandholm M, Pyorala S. 1995. Dry cow therapy: The bovine udder and mastitis. Bogor (ID): University of Helsinki, Faculty of Veterinary Medicine. Page 209-214; [diunduh 2014 April 27]. Tersedia pada www.scrip.org/journal/paperinformation.aspx.paperID.

Schrick FN, Hockett ME, Saxton AM, Lewis MJ, Dowlen HH, Oliver SP. 2001. Influence of subclinical mastitis during early lactation on reproductive parameters. J Dairy Sci. 84:1407-1412.

Sharif A, Muhammad U, Ghulam M. 2009. Mastitis control in dairy production. J Agric Soc Sci. 5(3):102-105.

Shwimmer A, Kenigswal G, Van Straten, Lavi Y, Merin U, Weisblit L, Leitner G. 2008. Dry-off treatment of Assaf sheep: Efficacy as a management tool for improving milk quantity and quality. Small Rumin Res. 74 :45–51.

Siregar SB. 2003. Peluang dan tantangan peningkatan produksi susu nasional.

Wartazoa. 2:48-55.

Siregar SB. 2001. Peningkatan kemampuan berproduksi susu sapi perah laktasi melalui pebaikan pakan dan frekuensi pemberiannya. JITV. 1 (6): 76-82. Smith K, Hogan JS. 1993. Environmental mastitis. Vet Clin N America. 9:489-498. Sori H, Zerihum, Abdicho S. 2005. Dairy cattle mastitis in and around Sebeta,

Ethiopia. Int J Appl Res Vet Med. 3:332-338.

Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia) I.Ed ke-2. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr.

Sudarwanto M. 1999. Usaha peningkatan produksi susu melalui program pengendalian mastitis subklinis. Orasi Ilmiah. 22 Mei 1999.

Sudarwanto M, Latif, M.Noordin. 2006. The relationship of the Somatic cell counting to sub-clinical mastitis to improve milk quality. 1st International AAVS Scientific Conference. 2006 July 12-13; Jakarta, Indonesia.

(38)

22

Supar. 1997. Mastitis subklinis pada sapi perah di Indonesia: Masalah dan pendekatannya. Wartazoa. 6 (2): 48-52.

Supar dan T Ariyanti. 2008. Kajian pengendalian mastitis subklinis pada sapi perah. Di dalam: Kusuma D, Elizabeth W, Atien P, Lily N, Tati H, Budi P, editor. Prospek Industri Sapi Perah Menuju PerdaganganBebas 2020. 2008 April 21; Jakarta, Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm 360-366.

Tomita GM, Hart SP. 2001. The mastitis problem. Bogor (ID): Oklahoma, Langston University. page 6-9; [diunduh 2012 Mei 25]. www.luresext.edu/goats/library/field/tomita01.pdf.

Waldner DN. 2014. Dry cow therapy for mastitis control. Bogor (ID): Oklahoma State University. page 1-4; [diunduh 2014 Jan 10]. Tersedia pada http://osufacts.okstate.edu/pdf_file/fact sheets/DNWaldner.

(39)

23

RIWAYAT HIDUP

(40)
(41)

25

Analisis Biaya Manfaat Manajemen Produksi Melalui

Pendekatan Pengendalian Mastitis Subklinis

di KPSBU Lembang, Jawa Barat

K

UI SI ON ER

P

ETERN AK

t anggal bulan t ahun

Tanggal :

-

-



Nom or Kuisioner :



D a t a Re spon de n :

Nam a : __________________________________________

Alam at : Desa : _______________________________

Kecam at an : _______________________________

Kabupat en : _______________________________

No. Telp./ HP : __________________________________________

Jenis Kelam in/ Um ur :  Laki- laki  Per em puan / ___t ahun

D a t a En u m e r a t or :

Nam a : _____________________

2. ________________________

Alam at : _____________________

No Telp./ HP : _____________________

(42)
(43)

27

I . KARAKTERISTIK PETERNAK

1. Pendidikan formal Anda:  Tidak lulus SD  Lulus SD

 Tidak lulus SMP  Lulus SMP  Tidak lulus SMA  Lulus SMA  Perguruan Tinggi

2. Berapa lamakah pengalaman Anda beternak?...tahun 3. Apakah pekerjaan utama Anda?

 Pegawai negeri  Pegawai swasta

 Polisi /ABRI /Staf Militer  Pedagang

 Petani  Peternak

 Lain-lain, sebutkan: …...

4. Aktif dalam pertemuan kelompok:  Ya

 Tidak

II. KARAKTERISTIK PETERNAKAN

5. Pemilikan usaha:  Milik sendiri  Bagi hasil/paroan

 Lain-lain, Jelaskan...

6. Jumlah sapi perah yang dipelihara:  1 - 5 ekor

(44)

28

II.MANAJEMEN PEMELIHARAAN Sistem Pemeliharaan

7. Jenis pakan yang diberikan:  Rumput segar yang dilayukan  Jerami padi

 Jerami padi yang difermentasi  Konsentrat

 Lain-lain, sebutkan………

8. Jumlah pakan yang diberikan per hari:

 Rumput segar yang dilayukan :………...…..……..kg/hari

 Jerami padi :………..kg/hari

 Jerami padi yang difermentasi :………...kg/hari

 Konsentrat :………...…………..………..kg/hari

 Lain-lain, sebutkan……….……….

9. Jenis kandang yang digunakan:

 Kandang permanen dengan dinding tembok  Kandang kayu tanpa dinding

 Lain-lain, jelaskan: ………...………...

Sanitasi Kandang

10. Apakah Anda membersihkan kandang secara rutin:  Ya

 Tidak

11. Jika Ya, kapan Anda membersihkan kandang:

 Pagi dan sore hari sebelum melakukan pemerahan  Satu kali sehari

 Satu minggu sekali  Kadang-kadang

12. Apakah Anda mengolah kotoran ternak dan sisa pakan :  Ya

 Tidak

(45)

29 13. Jika Ya, kotoran ternak dan sisa pakan diolah menjadi: (Jawaban dapat lebih

dari satu)  Biogas  Pupuk

 Lain-lain, sebutkan….………..

14. Jika Anda tidak mengolah kotoran ternak dan sisa pakan, kemana anda membuang kotoran ternak dan sisa pakan dari kandang:

 Selokan  Sungai

 Lain-lain, sebutkan………....……..

15. Lantai kandang yang digunakan:  Karpet ternak

 Lantai yang dipelester  Tanah

 Lain-lain, sebutkan……….

16. Sumber air yang digunakan untuk memelihara ternak: (Jawaban dapat lebih dari satu)

 Air sumur  Air ledeng  Air sungai  Air selokan

 Lain-lain, sebutkan………..

IV. MANAJEMEN PEMERAHAN

17. Apakah Anda selalu memandikan ternak Anda sebelum dilakukan pemerahan:

 Ya

 Kadang-kadang  Tidak

18. Apakah Anda selalu membersihkan ambing sebelum melakukan pemerahan:  Ya

(46)

30 19. Air yang Anda gunakan untuk membersihkan ambing sebelum pemerahan:

 Air kran  Air sumur  Air sungai

 Lain-lain, sebutkan……….………....

20. Alat yang Anda gunakan untuk mengeringkan ambing:  Tisue

 Lap

 Lain-lain, sebutkan………..

21. Penggunaan lap/tisue untuk mengeringkan ambing:  Digunakan untuk satu kuartir ambing

 Digunakan untuk satu ekor  Digunakan untuk beberapa ekor

22. Apakah Anda melakukan “teat dipping” atau celup putting setelah melakukan pemerahan:

 Ya  Tidak

(Jika tidak langsung ke no. 23)

23. Jenis cairan yang Anda digunakan untuk “Teat dipping” atau celup putting:  Yodium

 Alkohol  Kaporit  Chlorhexidin

(47)

31

V. MANAJEMEN KESEHATAN

24. Program Kesehatan Hewan apa saja yang diberikan kepada ternak Anda: No Tindakan Penyakit Merk

Produk

Frekuensi dalam 1

tahun

Yang melakukan

tindakan

Program Pemerintah/s wadaya (Rp)

1. Vaksinasi

2. Antibiotika

3. Vitamin

4. Obat cacing

5.

Lain-lain

25. Tindakan apa yang Anda lakukan terhadap ternak yang sakit?  Diobati dan dipisahkan dari kelompok

 Diobati, tetapi tidak dipisahkan dari kelompok  Dibiarkan saja tetapi dipisahkan dari kelompok  Dibiarkan saja dalam kelompok

 Dijual dengan harga Rp.../ekor  Diberikan kepada orang lain (cuma-cuma)

 Dipotong dan dikomsumsi sendiri

 Dipotong dan dagingnya dijual dengan harga Rp……….….…kg

(48)

32 26. Siapakah yang mendiagnosa jika ternak Anda terjangkit penyakit tertentu?

 Dokter hewan dari Dinas Peternakan  Dokter hewan dari KPSBU Lembang  Paramedis dari KPSBU Lembang  Peternak lain

 Anda sendiri  Lain-lain,

jelaskan………..……….………… 27. Apakah Anda melakukan tindakan pengobatan mastitis pada saat kering

kandang?  Ya  Tidak

(Jika tidak langsung ke no. 28)

28. Siapakah yang melakukan pengobatan terhadap ternak yang sakit tersebut?  Dokter hewan dari Dinas Peternakan

 Dokter hewan dari KPSBU Lembang

 Paramedis dari KPSBU Lembang KPSBU Lembang  Peternak lain

 Anda sendiri

 Lain-lain, jelaskan: ……….………....

29. Pernah melakukan pengobatan mastitis pada saat kering kandang, namun saat ini sudah tidak melakukannya lagi. Mengapa anda tidak melakukannya lagi, apa alasannya?

... ... ... 30. Dalam upaya pengendalian mastitis subklinis, apakah Anda melakukan

pengujian kualitas susu secara rutin?  Ya

 Tidak

(49)

33 31. Jika Ya, kapan Anda melakukan pengujian kualitas susu?

 Setiap bulan  Setiap 3 bulan  Setiap 6 bulan

 Lain-lain, Jelaskan:...

32. Bagaimana cara Anda melakukan pengujian kualitas susu?  Pengujian dilakukan pada setiap kuartir ambing

 Pengujian dilakukan pada setiap ekor  Pengujian dilakukan per blok kandang  Pengujian dilakukan per peternakan

 Pengujian dilakukan di tempat penampungan susu

 Lain-lain, jelaskan: ……….………

33. Siapakah yang melakukan pengujian kualitas susu tersebut?  Anda sendiri

 Petugas koperasi  Peternak lain

 Lain-lain, jelaskan: ………

V. MANAJEMEN PRODUKSI BIAYA TETAP

34. Inventarisasi ternak saat ini:

Umur Ternak Jumlah Harga/ekor

(Rp) Pedet

Dara Laktasi Kering kandang

35. Sistem pemeliharaan menggunakan kandang:

 Biaya untuk pembuatan kandang : Rp...

(50)

34

36. Biaya listrik per bulan : Rp……….…..

37. Biaya air per bulan : Rp……….…………..

38. Jumlah tenaga kerja

 Tenaga buruh : ( ) orang

 Tenaga kerja keluarga : ( ) orang

 Upah/buruh : Rp………/bulan

39. Peralatan/barang habis pakai yang diperlukan dalam 1 bulan: Jenis Barang Jumlah Harga Satuan

(Rp)

Total (Rp) Ember

Sapu lidi Sikat

Desinfektan Antiseptik untuk “Teat dipping” Sabun/detergen Selang

Lain-lain

BIAYA VARIABEL

40. Biaya pakan

Jenis pakan Jumlah (kg/ekor/hari)

Harga/kg (Rp) Rumput

(51)

35 41. Biaya untuk pembelian obat per bulan : Rp……...…..… 42. Biaya untuk pembelian vitamin per bulan : Rp……...…...… 43. Biaya untuk pembelian obat cacing per bulan : Rp……..……...….…… 44. Biaya dokter hewan/paramedis per bulan : Rp………...………… 45. Biaya untuk satu kali pengujian kualitas susu : Rp…………...….……….

OUTPUT/HASIL PRODUKSI

46. Produksi susu rata-rata yang dihasilkan :...lt/ekor/hari 47. Harga susu sapi :Rp.../liter 48. Apakah Anda mengolah susu yang menjadi produk lain:

 Ya  Tidak

(Jika tidak langsung ke no.49)

49. Produk susu olahan: (Jawaban dapat lebih dari satu)  Permen karamel

 Yogurth

 Susu pasterisasi  Tahu

 Kerupuk

 Lain-lain, sebutkan...

50. Apakah pupuk kandang yang dihasilkan Anda manfaatkan?  Tidak

 Ya,

51. Jika Ya, pemanfaatan pupuk :

 Untuk keperluan sendiri :...kg/tahun  Dijual :...kg/tahun  Harga pupuk kandang :Rp.../kg 52. Penjualan dalam bentuk daging (hasil pemotongan ternak)

 Berat karkas ternak yang dipotong……...……….. kg

 Harga daging :Rp………./kg

(52)

36 53. Penjualan pedet per tahun

 Jumlah pedet yang dijual :...ekor

 Harga pedet :...Rp/ekor

CALVING INTERVAL

No. No. Induk Tanggal Beranak Terakhir

Tanggal Beranak Sebelumnya

Calving Interval 1.

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

VI. PENGUJIAN MASTITIS SUBKLINIS

No No Induk Hasil Uji

(53)

37

VII. INFORMASI

54. Informasi tentang penyakit mastitis diperoleh dari (Jawaban dapat lebih dari satu):

 Televisi  Radio  Surat kabar  Majalah

 Petugas Dinas Peternakan  Perguruan Tinggi/mahasiswa  Kader dari desa/kelurahan

 Lain-lain, sebutka………

55. Kegiatan penyuluhan tentang penyakit mastitis : No. Petugas Penyuluh Frekuensi/

Tahun

Teknik Penyuluhan (door to door/

forum) 1. Petugas Dinas Peternakan

2. Perguruan

Tinggi/mahasiswa 3. Petugas dari KPSBU 4. LSM

Gambar

Gambar 1 Fenomena gunung es kasus mastitis subklinis (McGill University 2012)
Gambar 2 Sistem pertahanan mamae (McGill University 2012)
Gambar 3 Kerangka konsep penelitian
Tabel 2 Definisi operasional variabel-variabel dalam penelitian
+3

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Di dalam penetapan ujroh yang ada di BMT Al-Madinah Jajar Laweyan Surakarta dimana dalam pambagiannya tersebut dengan menggunakan hasil kesepakatan oleh kedua belah

[r]

Pentingnya kerjasama dalam kelompok juga diungkapkan oleh Mulyaningrum (2012) dalam hasil penelitiannya yang menemukan bahwa.. kerjasama yang terjalin baik akan menjadikan

Pancasila dalam mengembangkan sikap sosial siswa di SMA Negeri 4 Bandar Lampung maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas nilai Pancasila telah berjalan dengan baik

konstanta laju pertumbuhan tinggi terbesar ditunjukkan oleh tanaman aplikasi dengan dosis 7,5 % yaitu massa kering padi sebesar 35,490 gram dan konstanta laju

memungkinkan pemerintah pemerintah untuk untuk mengarahkan mengarahkan langsung langsung sumber sumber daya daya agar agar dibebaskan dibebaskan dari dari biaya

Sebagai pihak yang menerima perwalian atau yang disebut dengan seorang wali adalah orang atau perkumpulan-perkumpulan yang akan menyelenggarakan keperluan-keperluan hidup