i
BAGIAN WARIS ANAK LUAR KAWIN DALAM
HUKUM ISLAM PASCA PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010
SKRIPSI
Untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
pada Universitas Negeri Semarang
Oleh:
NUNKY ADIN ARDILLA 8150408146
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
ii
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010” oleh Nunky
Adin Ardilla, telah disetujui oleh Pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia
ujian skripsi di Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang pada :
Hari :
Tanggal :
Menyetujui,
Dosen Pembimbing 1 Dosen Pembimbing 2
Baidhowi, S.Ag., M.Ag Dian Latifiani S.H., M.H
NIP. 19730712 200801 1 010 NIP. 19800222 200812 2 003
Mengetahui,
Pembantu Dekan Bidang Akedemik
Drs. Suhadi, S.H, M.Si
iii
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010” oleh Nunky
Adin Ardilla, telah dipertahankan di depan Sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas
Hukum Universitas Negeri Semarang pada :
Hari :
Tanggal :
Panitia Ujian
Ketua, Sekretaris,
Drs Sartono Sahlan, MH
NIP.19530825 1982031 003
Drs. Suhadi, SH, Msi
NIP. 19671116 199309 1 001
Penguji Utama,
Tri Andari Dahlan S.H.,M.Kn
NIP. 19830604 200812 2 00 3
Penguji 1, Penguji 2,
Baidhowi, S.Ag., M.Ag
NIP. 19730712 200801 1 010
Dian Latifiani S.H., M.H
iv
Waris Anak Luar Kawin Dalam Hukum Islam Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010” benar-benar hasil karya saya sendiri,
bukan jiplakan karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat
atau temuan orang lain dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode
etik ilmiah.
Semarang, 12 Maret 2013
Nunky Adin Ardilla
v MOTTO
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tidak mempersekutukan Allah)
tetapi orang tuanya lah yang menjadikan dia seorang yahudi atau nasrani (
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra.)
PERSEMBAHAN
ALLAH SWT yang senantiasa
melindungi dan memberi berkah
Ayahanda Edi Salari dan Ibunda Septaria
Suciati, beliau adalah orang tua terbaik
di dunia yang tak pernah henti-hentinya
memberikan dukungan dan doa.
Saudara-saudaraku Hening Kasih
Sarinastiti, Sasha Nadia Putih dan Adlan
Juang Taratih.
vi
melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini baik secara langsung maupun
tidak langsung sehingga skripsi dengan judul “Bagian Waris Anak Luar Kawin
Dalam Hukum Islam Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010”dapat terselesaikan. Sehubungan dengan pelaksanaan penelitian sampai
tersusunnya skripsi ini, dengan rasa rendah hati, penulis sampaikan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Sudijono Sastroatmodjo, M.Si, Rektor Universitas Negeri
Semarang.
2. Drs. Sartono Sahlan, M.H, Dekan Fakultas Hukum Universitas Negeri
Semarang.
3. Baidhowi, S.Ag., M.Ag, Dosen Pembimbing 1 yang telah berkenan
memberikan bimbingan serta motivasi kepada penulis hingga skripsi ini
dapat terselesaikan.
4. Dian Latifiani S.H., M.H, Dosen Pembimbing 2 yang telah berkenan
memberikan bimbingan dan semangat kepada penulis hingga skripsi ini
vii
petunjuk, motivasi, bantuan, semangat, kasih sayang dengan sabar dan tulus
dalam proses yang dijalankan penulis semasa berorganisasi dan kuliah di
Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.
7. Dr Muhyidin M.Ag Ketua Fatwa MUI Provinsi Jawa Tengah yang telah
berkenan berdiskusi dan membantu memberikan informasi dalam penelitian
di MUI Provinsi Jawa Tengah.
8. Bapak Ibu Dosen serta Staf Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang
yang telah membantu dan membimbing penulis selama mengikuti
perkuliahan.
9. Keluargaku tercinta (Bapak Edi Salari, Ibu Septaria Suciati, dan
Adik-adikku Sari, Puput dan Adlan) atas kasih sayang, do’a, motivasi, dan
semangat dalam penyusunan skripsi ini.
10. Keluarga Besar Embah Uti Rodah Tati dan Alm.Eyang Hj.Rubiati (Bude
Titik, Bude Tatik, Pakde Gede, Pakde Heri, Pakde Sis,Bude Minuk)
11. Sahabatku angkatan 2008 Denny, Kukuh, Martini, Salomo, Edwin yang
selalu memberikan kecerian dan dukungan dalam menyusun skripsi ini
kepada penulis.
12. Kakak-kakak angkatan Mas Fajar, Mas Luhur, Mbak Sesar, Bang Doni,
viii
dan seluruh teman-teman lain di Unit Peradilan Semu yang selalu
memberikan kudungan, bantuan dan motivasi kepada penulis dalam
membuat skripsi ini.
14. Kakak sahabat terkasih Fajar Romy Gumilar yang selalu ada dan
memberikan bantuan, dukungan, semangat, kasih sayang tanpa henti selama
penulis menyusun dan menyelesaikan skripsi ini.
15. Teman-teman Kos Eresa , Winda, Vivi dan Ari yang membantu dan
mendukung penulis selama menyelesaikan skripsi ini.
16. Semua teman-teman Fakultas Hukum angkatan 2008 yang sudah
memberikan informasi maupun masukannya selama penulisan skripsi.
17. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga Allah SWT membalas amal baik Bapak, Ibu dan Saudara. Disadari
bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari
semua pihak sangat diharapkan guna menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi
ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis.
Semarang 12 Maret 2013
ix
Pembimbing I, Baedhowi, S.Ag.,M.Ag. Pembimbing II, Dian Latifiani, S.H.,M.H.
Kata Kunci: Hukum Waris Islam, Anak Luar Kawin, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 merupakan putusan atas judicial review dari Pasal 43 ayat 1 UUP yang diajukan oleh H Macicha Mochtar. Didalam Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 anak yang dihasilkan diluar perkawinan juga mempunyai hak keperdataan dengan sang ayah biologisnya asalkan bisa dibuktikan dengan ilmu teknologi dan pengetahuan. Di keluarkannya Putusan MK tersebut, membuat penulis tertarik untuk meneliti mengenai Bagian Waris Anak Luar Kawin Dalam Hukum Islam Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.
Permasalahan yang akan dikaji adalah: (1) Pandangan Hukum Islam terhadap bagian waris anak luar nikah sebagai ahli waris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 46 / PUU-VIII/ 2010 (2) Berapakah bagian waris dalam Hukum Islam terhadap anak luar nikah sebagai ahli waris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 46 / PUU-VIII/ 2010.
Pendekatan peneliti dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Dari Hasil Penelitian dan Pembahasan yang dilakukan oleh Anak Luar Kawin yang dibahas oleh penulis merupakan Anak Luar Kawin Nikah sirri.Nikah sirri merupakan pernikahan yang sah sehingga anak yang dilahirkan mempunyai kedudukan yang sama dengan anak sah dalam hal saling mewarisi. Terhadap bagian waris anak luar kawin nikah sirri sama dengan anak sah pada umumnya, dimana pembagianya sesuai dengan aturan-aturan yang ada dalam Hukum Waris Islam dan yang ada dalam KHI.
x
HALAMAN JUDUL ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERNYATAAN... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v
KATA PENGANTAR ... vi
ABSTRAK ... ix
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Pembatasan Masalah ... 6
1.3 Perumusan Masalah ... 6
xi
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 10
2.1 Tinjauan Tentang Perkawinan ... 10
2.1.1 Pengertian Perkawinan ... 10
2.1.2 Syarat dan Rukun Perkawinan ... 12
2.1.2.1 Syarat sahnya Perkawinan ... 12
2.1.2.1.1 Syarat Umum Perkawinan ... 15
2.1.2.1.1 Syarat Khusus Perkawinan ... 16
2.1.2.2 Rukun Perkawinan ... 16
2.1.2.2.1Calon Suami dan Istri ... 17
2.1.2.2.2 Wali Nikah ... 19
2.1.2.2.3 Dua Orang saksi ... 20
2.1.2.2.4 Akad Nikah ... 22
2.2 Tinjauan Anak Luar Kawin ... 23
2.2.1 Pengertian Anak Laur Kawin ... 23
xii
2.3.1 Pengertian Hukum Waris Islam ... 33
2.3.2 Syarat-syarat pewarisan ... 37
2.3.2.1 Pewaris ... 37
2.3.2.2 Ahli Waris ... 38
2.3.2.3 Harta Peninggalan ... 40
2.3.3 Asas-asas Pewarisan ... 41
2.3.3.1 Asas Ijbari ... 41
2.3.3.2 Asas Bilateral ... 44
2.3.3.3 Asas Individual ... 42
2.3.3.4 Asas Keadilan Berimbang ... 42
2.3.3.5 Asas Kewarisan Semata Karena Kematian... 43
2.3.4 Bagian-bagian Waris dalam Hukum Islam ... 43
2.4 Tinjauan tentang Putusan Judicial Review MK No 46/PUU-VIII/2010 ... 45
2.4.1 Kedudukan MK berkaitan dengan Judicial Review ... 45
xiii
3.2 Sifat Penelitian ... 53
3.4 Pendekatan Penelitian ... 58
3.5 Jenis dan Sumber Data ... 54
3.6 Teknik Pengumpulan Data ... 55
3.7 Teknik Analisis Data ... 57
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 59
4.1 Hasil Penelitian ... 59
4.1.1 Pandangan Hukum Islam Terhadap Bagian Waris Anak Luar Kawin Sebagai Ahli Waris Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010 ... 59
4.1.2 Bagian Waris dalam Hukum Islam Terhadap Bagian Waris Anak Luar Kawin Sebagai Ahli Waris Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010 ... 79
4.2 Pembahasan ... 96
xiv
BAB 5 PENUTUP ... 119
5.1 Simpulan ... 119
5.2 Saran ... 121
DAFTAR PUSTAKA ... 122
xv
xvi
Lampiran 1 Surat Ijin Penelitian ... 131
Lampiran 2 Instrumen Penelitian ... 132
Lampiran 4 Putusan Mahkamh Konstitusi No 46 / VIII-PUU/2010 ... 133
Lampiran 5 Fatwa MUI No 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina
Dan Perlakuan Terhadapnya ... 134
Lampiran 6 SEMA NO 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat
Pleno Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi
Pengadilan ... 135
Lampiran 7 Surat Edaran Pengadilan Tinggi Agama NO
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Keberadaan anak menjadi hal yang sangat dibanggakan dan diingin oleh
kedua orang tuanya. Anak memiliki arti yang berbeda-beda bagi setiap orang.
Anak merupakan penyambung keturunan, investasi masa depan, dan anak
merupakan harapan untuk menjadi sandaran di kala usia lanjut. Anak
dianggap sebagai modal untuk meningkatkan peringkat hidup, sehingga kelak
dapat mengontrol status sosial orang tua. Anak menjadi keistimewaan bagi
setiap orang tua, waktu orang tua masih hidup anak sebagai penenang dan
sewaktu orang tua telah meninggal anak adalah lambang penerus dan
lambang keabadian.
Setiap anak kelak akan memikul tanggung jawabnya baik itu tanggung
jawabnya secara pribadi maupun tangung jawabnya secara keluarga terhadap
orang tuanya dan terhadap keluarganya yang ia bagun kelak. Untuk dapat
melakukaan hal tersebut hendaknya anak perlu mendapat kesempatan yang
seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara normal baik secara
jasmani maupun secara rohani.
Upaya anak untuk memenuhi segala tanggung jawabnya tentunya tidak
lepas dari peran serta kedua orang tua, baik itu ayah maupun ibu. Kewajiban
anak, kerena bagaimanapun adanya seorang anak dari akibat yang
ditimbulkan oleh orang tuanya.
Anak digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu anak sah dan anak luar kawin.
Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menyatakan anak
sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
menjelaskan anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya. Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah dan hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim
dan dilahirkan oleh istri tersebut merupakan anak sah menurut Pasal 99
Kompilasi Hukum Islam.
Kedudukan dan status anak dapat dilihat dari sah atau tidak suatu
perkawinan yang dilangsungkan oleh kedua orang tuanya. Dalam Hukum
Nasional dijelaskan bahwa suatu perkawinan sah apabila dicatatkan
dilembaga atau instansi yang berwenang mencatatkan nikah. Sedangkan
dalam Hukum Islam suatu perkawinan sah apabila sudah memenuhi syarat
dan rukun nikah.
Pandangan Hukum Islam anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang
sah namun tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama sesuai Hukum Nasional
merupakan anak sah. Karena dalam Hukum Islam sendiri sekalipun
perkawinan itu disebut Nikah Sirri tetap perkawinan itu sah, karena sudah
dalam Hukum Islam apakah ada. Sementara itu bagaimana akibat hukum
terhadap pembagian waris anak luar kawin berdasarkan uraian yan telah
dibahas sebelumnya.
Berdasarkan hal yang diuraikan mengenai kedudukan anak luar kawin,
masyarakat mulai melakukan upaya-upaya agar anak luar kawin mendapatkan
kejelasan hukum. Upaya tersebut salah satunya dilakukan oleh artis Machicha
yang mengajukan permohonan judicial review terhadap Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974, khususnya Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat
(1) kepada Mahkamah Konstitusi.
Machicha melangsungkan perkawinan dengan Moerdjiono yang hanya
dilakukan secara agama atau biasanya disebut Nikah Sirri tanpa adanya
pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangakan sesuai penjelasan
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang sah
adalah perkawinan yang dicatatkan. Perkawinan yang tidak dicatatkan ialah
perkawinan yang tidak sah dan anak yang dihasilkan atas perkawinan tersebut
adalah anak tidak sah atau anak luar kawin. Akibat yang timbul dari itu sesuai
Pasal 43 ayat (1) bahwa anak diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya.
Pada dasarnya Machicha hanya mengkhawatirkan nasib si anak kelak
dimasa depan ketika si ibu sudah meninggal dan hanya ada ayah ataupun
keluarga ayahnya. Anak luar kawin tersebut tentunya tidak akan mendapatkan
Pada tanggal 17 Februari 2012 permohonan Machicha atas judicial
review Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) disahkan oleh Mahkamah
Konstitusi lewat Putusannya No.46/PUU-VIII/2010. Lewat Putusan tersebut
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pasal 43 ayat (1) dan
menolak permohonan terhadap Pasal 2 ayat (2). Putusan tersebut menjelaskan
bahwa anak luar kawin juga mempunyai hubungan keperdataan dengan sang
ayah.
Permasalahan yang terjadi apabila sang ayah dari anak luar kawin
tersebut meninggal dunia dan meninggalkan anak tersebut dengan ibunya.
Apakah anak tersebut dapat mendapatkan hak-haknya sebagai anak dari ayah
biologisnya. Hak-hak seorang anak dalam hal ini ialah hak waris mewarisi
antara pewaris yaitu si ayah dan si ahli waris ialah anak. Karena
bagaimanapun si ayah tersebut tetap behubungan darah dengan si anak dan
tetap menjadi ayah biologis si anak. Apakah anak tersebut mendapatkan
haknya sebagai anak dari ayah biologisnya atau tidak berhak sama sekali
seperti yang sudah tertulis dalam perundang-undangan.
Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 hanya menjelaskan
anak luar kawin juga mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah, apabila
dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Putusan
Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 tidak menjelaskan mengenai
bagian-bagian atau aturan-aturan tentang pembagian warisan antara anak luar
kawin dan ayah biologisnya. Hukum Islam tidak mengatur dan menjelaskan
kawin. Oleh sebab itulah terjadi kebinggungan apabila ada kasus tentang
pewarisan anak luar kawin dengan ayah biologisnya.
Pencerahan terhadap hubungan keperdataan dan kedudukan anak luar
kawin kepada sang ayah biologisnya juga diberikan oleh Putusan Mahkamah
Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010. Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi ayah
harus bertanggung jawab atas anak yang lahir dari hubungan perzinahan. Hal
itu sesuai dengan Undang-undang Kewarganegaraan menyangkut Hak Asasi
Manusia (HAM). ( Dalam diskusi publik Akibat Hukum Terhadap Anak Luar
Kawin Pasca putusan Mahkamah Konstitusi di Yogyakarta )
Masyarakat tidak sepenuhnya menerima Putusan Mahkamah Konstitusi
No.46/PUU-VIII/2010. Fenomena yang terjadi di masyarakat pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 ini beragam. Ada sekelompok
masyarakat yang merasa diuntungkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi
No.46/PUU-VIII/2010 dan ada pula yang merasa bahwa Putusan Mahkamah
Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 tidak sesuai dengan kaidah Agama Islam,
masyarakat merasa Mahkamah Konstitusi melegalkan anak zina. Padahal
anak zina dengan anak luar kawin berbeda, keragaman kedudukan dan status
anak luar kawin inilah yang menjadi penentu apakah anak luar kawin dapat
meminta dan menerima haknya dari ayah biologisnya.
Berdasarkan uraian mengenai polemik dan permasalahan anak luar kawin
WARIS ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM ISLAM PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010”
1.2
Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang terjadi pada anak luar kawin,
maka permasalahan dibatasi pada kedudukan anak luar kawin sebagai ahli
waris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 menurut
Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Islam dan bagaimana bagian waris anak
luar kawin apabila anak luar kawin tersebut masuk dalam ahli waris pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010.
1.3
Perumusan Masalah
Agar permasalahan yang diteliti menjadi lebih jelas dan penulisan
penelitian hukum mencapai tujuan yang diinginkan maka perlu disusun
perumusan maslah yang didasarkan pada uraian latar belakang diatas. Adapun
perumusan masalah dalam penelitian hukum ini adalah:
1. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap bagian waris anak
luar kawin sebagai ahli waris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
No.46/PUU-VIII/2010?
2. Berapakah bagian waris dalam Hukum Islam terhadap anak luar
kawin sebagai ahli waris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
1.4
Tujuan Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilakukan oleh penulis agar dapat menyajikan
data akurat sehingga dapat memberikan manfaat dan mampu menyelesaikan
masalah. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian mempunyai tujuan
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana pandangan Hukum Islam tentang
bagian waris anak luar kawin pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
No.46/PUU-VIII/2010 .
2. Untuk mengetahui berapa bagian waris anak luar kawin dalam
Hukum Islam pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
No.46/PUU-VIII/2010 .
1.5
Manfaat Penelitian
Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini
akan bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Adapun manfaat yang
diharapkan penulis dapat dari penulisan hukum ini antara lain:
1. Manfaat teoritis
Dapat menambah wawasan baik penulis sendiri maupun siapa saja
yang membacanya sebagai referensi kepustakaan bagi pihak-pihak yang
ingin mengetahui tentang pandangan Hukum Islam mengenai bagian
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah serta memberikan
pengetahuan kepada masyarakat tentang kedudukan hukum anak luar
kawin sebagai ahli waris dan berapa bagian warisan yang didapat anak
luar kawin pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010
menurut Hukum Islam. Memberikan sumbangan pemikiran dalam
memecahkan permasalahan yang ada hubungannnya dengan bagian
waris anak luar kawin.
1.6
Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai penelitian
yang akan dilakukan oleh peneliti, perlu kiranya untuk mengetahui
pembagian sistematika penulisan hukum ini. Secara keseluruhan, penulisan
hukum ini terbagi atas empat bab yang masing-masing terdiri beberapa sub
bab sesuai dengan pembahasan dan sustansi penelitiannya. Adapun
sistematika dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
Bab 1 : Pendahuluan
Dalam bab ini dikemukakan tentang latar belakang masalah,
pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
Bab 2 : Tinjauan Pustaka
Bab kedua ini membahas mengenai Kerangka Teoritis dan
ini adalah tinjauan tentang perkawinan, tinjauan tentang anak
luar kawin, tinjauan tentang warisan dan tinjauan tentang
Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010.
Bab 3 : Metode Penelitian
Bab ketiga ini membahas tentang jenis penelitian, sifat
penelitian, pendekatan penelitian, jenis dan sumber penelitian,
teknik analisis data.
Bab 4 : Hasil Penelitian Dan Pembahasan
Bab ini merupakan suatu hasil dari penelitian yang dilakukan
peneliti mengenai bagian waris anak luar kawin sebagai ahli
waris Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
No.46/PUU-VIII/2010 berdasarkan Hukum Islam dan Kompilasi Hukum
Islam.
Bab 5 : Penutup
Bab ini sebagai bagian aKompilasi Hukum Islamr dari penulisan
penelitian mengenai simpulan dan saran sebagai suatu masukan
maupun perbaikan dari apa saja yang telah didapatkan selama
penelitian
Daftar Pustaka
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Tinjauan tentang Perkawinan
2.1.1 Pengertian Perkawinan
Hukum Islam memberikan pengertian perkawinan yang dalam bahasa
Islam disebut pernikahan dengan dua pandangan yaitu yang secara luas
maupun yang secara sempit. Pernikahan secara luas sebagai alat pemenuhan
kebutuhan emosi dan seksual yang sah dan benar guna memperoleh
keturunan yang sah dan sebagai fungsi sosial. Sedangkan pernikahan secara
sempit seperti yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam menyebutkan
dalam Pasal 2 bahwa pernikahan merupakan suatu akad yang sangat kuat atau
mitsaqan galidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.
Pernikahan / perkawinan di langsungkan sebagai tujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaadah dan rahmah
(tentram, cinta dan kasih sayang) hal ini sesuai yang tertuang dalam Pasal 3
Kompilasi Hukum Islam.
Selain dalam Kompilasi Hukum Islam pengertian dan istilah pernikahan
juga terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974,
dimana Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dewasa
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Perkawinan / pernikahan barulah ada apabila dilakukan antara seorang
pria dan seorang wanita, dengan demikian perkawinan sama dengan perikatan
/ Verbindtenis (Hadikusumo, 1990 : 7). Tidak dinamakan perkawinan apabila
yang terkait dalam perjanjian itu 2 (dua) orang pria saja ataupun 2 (dua) orang
wanita saja, atau dilakukan antara banyak pria dan banyak wanita. Demikian
juga tidak merupakan pernikahan apabila sekiranya ikatan lahir batin itu tidak
bahagia, atau pernikahan itu tidak kekal dan tidak berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Peraturan yang digunakan untuk mengatur perkawinan
inilah yang menimbulkan pengertian perkawinan (Prodjodikoro, 1974 : 7) .
Perkawinan sendiri merupakan salah satu perintah agama khusunya
dalam agama Islam dimana perkawinan harus segera dilaksanakaan oleh
orang yang sudah mampu untuk melaksanaakan perkawinan. Hal ini sebagai
suatu bentuk pengendalian diri dan menjauhakan kita dari maksiat dan
perbuataan-perbuatan zina.
2.1.2 Syarat dan Rukun Perkawinan
Tiap-tiap perkawinan yang dilaksanakaan mempunyai syarat dan rukun
masing yang harus dipenuhi ataupun dilaksanakaan guna menjadi sahnya
suatu perkawinan. Karena kita berada dalam Negara Hukum yang tidak lepas
pula dari unsur agama yang sangat kental. Maka keberadaan hukum di dalam
dalam peraturan perkawinan dalam Hukum Islam, antara lain mengenai syarat
dan rukun perkawinan.
2.1.2.1Syarat sahnya Perkawinan
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1)
menyatakan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaan. Sehingga dapat dikatakan disini
syarat materiil perkawinan secara umum diambil dari aturan-aturan agama
yang ada di Indonesia, karena masyarakat Indonesia mayoritas agama yang
dianut Indonesia ialah Agama Islam tentunya peraturan yang ada dalam
Agama Islam memiliki andil besar dalam mempengaruhi penentuan syarat
materiil perkawinan dalam Hukum Nasional Indonesia seperti adanya
aturan tentang larangan perkawinan, masa tunggu bagi wanita yang
bercerai, pembebanan nafkah keluarga, dan lain sebagainya.
Sehubungan dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No.
1 Tahun 1974, jika sebuah perkawinan tidak memenuhi syarat materil
perkawinan baik itu syarat materil yang telah mendapat penegasan dalam
undang-undang maupun yang masih hidup dalam aturan agama dan
kepercayaan masing-masing pemeluknya, maka terhadap perkawinan
tersebut dapat dilakukan pencegahan perkawinan atau dibatalkan jika
telah terlaksana.
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 selain menentukan
sebagai syarat yang ditentukan dengan tujuan untuk mewujudkan
ketertiban perkawinan di Indonesia. Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa
tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan tersebut sebagai bentuk perlindungan yang diberikan Negara
untuk ketertiban perkawinan bagi wargannya.
Pelaksanaan perkawinan di Indonesia bukan hanya didasarkan atas
prinsip saling menyukai, tetapi ada syarat-syarat materil dan formil
perkawinan yang mesti dipenuhi oleh masing-masing calon mempelai. Jika
syarat tersebut tidak dipenuhi maka secara legal perkawinan tidak dapat
dilaksanakan.
Sah atau tidaknya suatu perkawinan bukan hanya memenuhi rukun
serta syarat perkawinan yang ditentukan oleh agama dan kepercayaannya
masing-masing, tetapi perkawinan dikatakan sah jika dicatatkan pada
instansi yang berwenang untuk itu. Penguraian Pasal 2 ayat (1) dan ayat
(2) apabila dicermati memiliki pengertian yang ambigu. Pertama, dilihat
pada Pasal 2 ayat (1) disebutkan perkawinan sudah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Ini berarti
bahwa perkawinan antar orang-orang yang beragam Islam sudah sah
apabila telah memenuhi syarat dan rukunnya sebagaiman tersebut dianut
oleh agamanya (Hasan dan Sumitro, 1997 : 116).
Sehubungan dengan Pasal 2 ayat (1) di dalam Hukum Perkawinan
Islam pencatatan perkawinan bukanlah rukun perkawinan. Agama Islam
perkawinan) adalah: ijab dan qabul, wali, 2 orang saksi, dan kedua
mempelai sebagaimana telah di taqnin dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum
Islam. Sehingga dalam hal ini fungsi sebuah Negara yang menjamin
penduduknya secara bebas untuk menjalankan ajaran agama dan
kepercayaannya sesuai Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 tidak dibenarkan
untuk memaksakan sebuah ajaran agama tunduk terhadap aturan hukum
nasional.
Mazhab syafi’I menyebutkan bahwa perkawinan sah menurut Islam
dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan dimana
adanya ijab qabul dan dihadiri oleh dua orang saksi. Sedangkan Mazhab
maliki memberikan pendapat bahwa perkawinan harus terlaksana dengan
adanya kedua mempelai laki-laki dan perempuan adanya mahar dengan
dilakukannya ijab qabul dan harus dihadiri oleh wali nikah karena tanpa
wali perkawinannya tidak sah.
Kaitanya tentang sahnya perkawinan sesuai Pasal 4 Kompilasi Hukum
Islam sebutkan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
Hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan.
Perkawinan dapat diuraikan menurut Islam dikatakan sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Pasal 5 ayat (1) diterangkan bahwa untuk menjamin ketertiban perkawinan
bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
Pencatatan tidak membuat perkawinan tersebut menjadi batal atau
tidak sah, hanya perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum,
yang mana kekuatan hukum itu kan menjadi pelindung atas akibat-akibat
hukum yang mungkin terjadi atas perkawinan tersebut.
Perkawinan yang tidak dicatatkan di Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
dapat diajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama hal ini sesuai Pasal 7
Kompilasi Hukum Islam. Akan tetapi pengajuan itsbat nikah terbatas pada
hal-hal tertentu sesuai tertuang dalam Pasal 7 ayat (3) Kompilasi Hukum
Islam.
Selain itu dalam Hukum Islam sahnya perkawinan harus memenuhi
syarat pernikahan sebagai berikut :
2.1.2.1.1 Syarat Umum Perkawinan
Syarat umum suatu pernikahan dikatakan sah apabila
perkawinan dilakukan dengan tidak menentang larangan perkawinan
yang berbeda agama. Dalam ketentuan Q. II ayat 221, kecuali S. Al
Ma’adah ayat (5) yaitu khusus laki-laki Islam boleh mengawini
perempuan ahli kitab, dan tidak bertentangan dengan QS. An-Nisa’
2.1.2.1.2 Syarat Khusus Perkawinan
Syarat Khusus adanya calon pengantin laki-laki dan calon
pengantin perempuan. Dimana setiap calon pengantin tersebut harus
memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Kedua mempelai harus beragama Islam, aqil, baligh, sehat jasmani
dan rohani
2. Harus ada wali nikah (Mazhab Syafi’i)
3. Harus membayar mahar / mas kawin, dari laki-laki kepada
perempuan
4. Harus ada dua orang saksi, Islam, dewasa dan adil
5. Adanya ijab dan qobul.
2.1.2.2Rukun Perkawinan
Rukun pernikahan yang dimaksud ialah segala sesuatu yang
ditentukan menurut Hukum Islam dan harus dipenuhi pada saat pernikahan
dilangsungkan. (Murtiningdyah, 2005: 31) Hal ini dapat diartikan apabila
syarat-syarat perkawinannya telah dipenuhi, maka sebelum
melangsungkan perkawinan syarat-syarat untuk sahnya harus ada
rukun-rukun yang perlu dipenuhi.
Adapun rukun pernikahan diatur dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum
2.1.2.2.1 Calon Suami dan Istri
Calon suami dan calon istri atau dapat juga disebut dengan
calon mempelai adalah seorang pria dan seorang wanita yang
merupakan hal paling penting sebagai para pihak yang akan
melangsungkan pernikahan. Para calon mempelai harus memenuhi
syarat-syarat tertentu antara lain :
1. Telah baligh dan memenuhi kecakapan yang sempurna.
Pasal 15 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam
memberikan ketentuan sebagai berikut untuk kemaslahatan
keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh
dilakukan oleh mempelai yang telah mencapai umur yang
ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974yaitu calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri
sekurang-kurangnya berumur 16 tahun Bagi calon mempelai
yang belum berumur 21 tahun harus mendapat ijin
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5)
Undang-Undang Perkawinan
Berakal sehat dan tidak mengalami gangguan, baik
jasmani maupun rohani, artinya para mempelai harus dapat
mempertanggungjawabkan apa itu perkawinan yang
2. Tidak karena paksaan, artinya harus didasarkan pada kerelaan
kedua belah pihak.
Pasal 16 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam
menyebutkan bahwa perkawinan didasarkan atas persetujuan
calon mempelai. Persetujuan ini penting agar masing-masing
suami dan istri, memasuki gerbang perkawinan dan rumah
tangga benar-benar dengan senang hati dan bahagia sehingga
dapat melaksanakan tugas, hak dan kewajibannya secara
proposional (Rofiq 2003:74 )
Persetujuan yang dimaksud dapat berupa pernyataan
tegas dan nyata dengan tulisan-tulisan, lisan atau isyarat
tetapi juga berupa diam dalam arti tidak ada penolakan yang
tegas sesuai dengan Pasal 16 ayat (2) Kompilasi Hukum
Islam. Dijelaskan dalam sabda Rasulullah SAW, riwayat dari
ibnu Abbas ra “janda lebih berhak atas dirinya dari pada
walinya, dan kepada gadis (perawan) dimintai
persetujuannya, dan persetujuannya jika dimintai,(gadis itu)
diam (Riwayat Muslim)”
Sebagai bukti adanya persetujuan antara kedua
mempelai, Pegawai Pencatat menanyakan kepada mereka
sesuai yang dijelaskan dalam Pasal 17 Kompilasi Hukum
2.1.2.2.2 Wali Nikah
Wali nikah dalam perkawinan sangatlah penting dan yang
menentukan sah tidaknya suatu perkawinan. Hal ini disampaikan
Mazhab Maliki tentang harus adanya wali, karena wali nikah dalam
hukum perkawinan Islam merupakan rukun perkawinan (nikah),
sehingga nikah tanpa wali adalah tidak sah sebagaimana hadis
Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Daruquthni,
berbunyi “ Jangan menikahkan perempuan akan perempuan yang lain
dan jangan pula menikahkan perempuan akan dirinya sendiri ” dan
yang diriwayat HR Ahmad, berbunyi “Tidak sah nikah melainkan
dengan wali dan dua saksi yang adil.”
Ketentuan mengenai pentingnya wali dalam melangsungkan
pekawinan juga lebih dipertegas dengan ketentuan Pasal 19 Kompilasi
Hukum Islam, yang di dalamnya disebutkan bahwa “Wali nikah
dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon
mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.”
Kedudukannya yang sangat penting dan menentukan ini maka
tidak sembarangan orang dapat menjadi wali nikah. Pasal 20 ayat (1)
Kompilasi Hukum Islam menyebutkan “bahwa yang bertindak sebagai
wali adalah laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam, yaitu
2.1.2.2.3 Dua Orang Saksi
Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksana akad
nikah, karena setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi
hal ini sesuai Pasal 24 Kompilasi Hukum Islam. Adanya saksi dalam
akad nikah menurut Imam Syafi’i adalah suatu keharusan dalam
perkawinan, karena saksi dalam perkawinan sangat diperlukan.
Dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974 menegaskan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di
muka Pegawai Pencatat Perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah
yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang
saksi dapat dimintakan pembatalan oleh para keluarga dalam garis
keturunan yang lurus keatas dari suami istri, jaksa dan suami atau istri.
Al-Daruqutny meriwayatkan dari Aisyah, bahwa Rasulullah SAW
bersabda “Tidak ada nikah melainkan dengan (adanya) wali, dan
siapa saja wanita yang nikah tanpa wali maka nikahnya batal. Jika dia
tidak punya wali, maka penguasa (hakimlah) walinya wanita yang
tidak punya wali.”
Saksi terdiri atas dua orang atau lebih yang melihat dan
mendengarkan ijab qabul. Tugasnya dalam perkawinan hanya
memberikan kesaksian bahwa perkawinan itu benar-benar dilakukan
oleh pihak-pihak yang berkeinginan dan menyatakan tegas tidaknya
Dua orang saksi hendaknya laki-laki, tetapi kalau tidak ada,
wanitapun diperkenankan hanya berjumlah 4 orang. Dasar hukum
perbandingan jumlah itu dilihat dari makna anak kalimat dari Surah
(2) Al-Baqarah ayat 228 yang menyatakan :
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari aKompilasi Hukum Islamrat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah
serta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah
dilangsungkan hal ini sesuai dengan Pasal 26 Kompilasi Hukum
Islam.
Tujuan lain adanya saksi dalam suatu perkawinan sebagai
perkawinan nantinya dimana saksi-saksi perkawinan itu bisa menjadi
saksi guna menerangkan perkawinan tersebut.
2.1.2.2.4 Akad Nikah (Ijab Qabul)
Akad nikah / ijab qabul adalah pernyataan sepakat dan pihak
calon suami dan pihak istri untuk mengikatkan diri mereka ke dalam
tali perkawinan dengan menggunakan sighat akad nikah, yaitu
perkataan atau ucapan-ucapan yang diucapkan oleh calon suami dan
calon istri yang terdiri atas ijab dan qabul.
Ijab ialah pernyataan penyerahan dari pihak wanita yang
biasanya dilakukan oleh wali calon mempelai wanita atau wakilnya
dengan maksud bahwa calon mempelai wanita bersedia dinikahkan
dengan calon mempelai pria, sedangkan qabul ialah pernyataan
penerimaan yang sah atau jawaban pihak calon mempelai pria atas
ijab calon mempelai wanita, yang intinya bahwa calon mempelai pria
menerima kesediaan calon mempelai wanita menjadi menjadi istrinya
yang sah.
Memperhatikan ketentuan Pasal 29 Kompilasi Hukum Islam,
tidak membenarkan pelaksanaan ijab qabul jarak jauh melalui sarana
telekomunikasi. Ketika calon mempelai berhalangan, Kompilasi
2.2.
Tinjauan tentang Anak Luar Kawin
2.2.1 Pengertian Anak Luar Kawin
Anak merupakan akibat yang timbul dari suatu perkawinan. Kelahiran
seorang anak menjadi symbol keturunan bagi sebuah keluarga. Keturunan
(afstamming) ada hubungan darah antara anak-anak dan orangtuanya.
Undang-undang mengatur tentang anak-anak sah dan anak-anak tidak sah
(wettige en on wettige kinderen). Yang teraKompilasi Hukum Islamr ini juga
diberi nama anak luar kawin (natuurlijke kinderen) atau diterjemahkan
“anak-anak alam” (Kie, 2000 : 18).
Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan,
sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah
dengan pria yang menyetubuhinya. Pengertian di luar kawin adalah hubungan
seorang pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan,
sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah
menurut hukum positif dan agama yang dipeluknya. (Abdul Manan, 2008:
80)
Anak luar kawin dalam Undang-undang sendiri tidak secara spesifik
menyebutkan arti ataupun makna anak luar kawin. Pasal 43 ayat (1) dan ayat
(2) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974menyebutkan “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya. Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas
Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974tersebut hanya menerangkan tentang hak keperdataan dari anak luar
kawin dan tidak menyebutkana bahwa anak luar kawin ini ialah anak yang
lahir diluar perkawinan yang sah atau anak yang dihasilkan / dibenihkan
diluar perkawinan yang sah.
Kompilasi Hukum Islam juga hanya menyebutkan tentang nasab dari
anak luar kawin seperti yang tertera dalam Pasal 100 yang menyebutkan
“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab
dengan ibunya dan keluarga ibunya ”
Beberapa ulama berpendapat mengenai anak luar kawin, Syafi`iy dan
Malik berpendapat “bahwa anak di lahirkan kurang dari enam bulan setelah
akad nikah maka tidak bisa dinasabkan kepada ayah yang menikahi ibunya,
juga tidak menjadi mahram dan dengan demikian dia bisa dinikahi ayah
tersebut”. Ali bin Abi Thalib menyebutkan “masa mengandung dan menyusui
bayi adalah 30 bulan seperti yang tertera di dalam surat Al- Ahqaaf ayat 15,
lalu dikaitkan dengan surat al-Baqarah ayat 233 bahwa masa menyusui adalah
2 tahun, ini artinya masa mengandung paling pendek 6 bulan dan masa
menyusui paling panjang 2 tahun. ( Tafsir Al-Alusi, Surat al Ahqaaf ayat 15)”
(http://www.muslimat-nu.or.id/index.php)
Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan oleh para ulama, dapat
dipahami bahwa anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan diluar
Ulama telah sepakat bahwa seorang tidak dapat dinasabkan kepada
ayahnya sebagai anak sah, kalau anak itu dilahirkan kurang dari waktu enam
bulan setelah akad perkawinan, sebab menurut mereka tenggang waktu yang
sependek-pendeknya yang harus ada antara kelahiran anak dengan
perkawinan itu adalah enam bulan. Hal ini dapat diartikan jika ada anak yang
lahir tidak mencapai enam bulan setelah orang tuanya akad nikah, maka anak
tersebut tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya sebagai anak yang sah.
(Ishaq, 2008 : 88)
2.2.2 Kedudukan Anak Luar Kawin
Keberadaan anak luar kawin menjadi fenomena tersendiri saat ini, karena
keberadaan anak tersebut semakin banyak terjadi. Tidak bisa dipungkiri kelak
ini akan menjadi masalah yang sangat besar apabila pemerintah maupun
masyarakat sendiri tidak segera mengatasinya. Kemajuan gaya hiduplah yang
membuat anak luar kawin menjadi berkembang. Gaya hidup kita yang selalu
mengarah kebarat-baratan membuat pola hidup yang berkembang dalam
masyarakat tidak lagi sesuai norma – norma hukum dan agama yang ada. Para
muda-mudi yang melakukan seks bebas tanpa peduli pada akibat yang timbul
atas perbuatanya tersebut. Kelak yang dirugikan dengan adanya seks bebas
adalah perempuan dan apabila seks bebas itu menimbulkan anak maka anak
tersebut akan merasa dirugikan atas perbuatan kedua orang tuanya, kemudian
Sebagai penduduk Indonesia yang menganut norma-norma pancasila
tentunya harus tunduk dengan aturan-aturan yang ada, namun karena
penduduk Indonesia mayoritas memeluk Agama Islam tentunya norma-norma
dan aturan-aturan yang ada dalam Hukum Islam tidak bisa diabaikan karena
tanpa dipungkiri ini sangat berdampak besar dalam menjalankan
norma-norma yang ada agar sesuai dengan kaidah yang baik.
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menggolongkan
kedudukan anak menjadi dua yaitu anak sah dan anak luar kawin. Pasal 42
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974menyebutkan anak sah adalah
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Anak
sah menurut Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam yang diterangkan “Anak yang
lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” Hasil pembuahan
suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut
(Abdurahman, 1995 : 137).
Kedudukan anak luar kawin menjadi sangat ironis ketika kesalahan atas
adanya anak luar kawin hanya ditunjukan pada sang ibu. Karena
bagaimanapun lahirnya seorang anak tidak hanya berperan pada sang ibu,
seorang ayah sangat berperan dalam hal ini. Sehingga anak luar kawin ialah
anak yang dihasilkan dari hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang
dapat melahirkan keturunan, sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan
perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dipeluknya.
Anak luar kawin sering kali mendapat pandangan buruk dan cacian dari
masyarakat dengan sebutan anak haram. Kondisi inilah yang memeberikan
sebuah ketidakadilan bagi seorang anak, disamping itu seorang anak
seolah-olah ikut menanggung dosa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Hal ini
tidak sesuai dengan hadist Rasulullah SAW yang berbunyi “setiap anak
dilahirkan dalam ke adaan fitrah (sesuai dengan asal kejadian bersih tanpa
dosa)”.
Kedudukan anak luar kawin baik di dalam Undang-Undang Perkawinan
No. 1 Tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam berkedudukan nasab
dengan ibu dan keluarga ibunya. Menurut Abu Hanifah, anak mempunyai
hubungan darah dengan laki-laki yang tidur seranjang dengan ibu anak. Bila
dilahirkan di luar perkawinan maka menurut Abu hanifah anak tersebut meski
tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, ia tetap menjadi
mahram (haram dinikahi) oleh ayah biologisnya sama dengan mahram
melalui perkawinan.( Al-Qurthubi, Bidayah al--Mujtahid, juz 2 hal. 34).”
Kekuasaan orang tua terhadap anak erat kaitanya dengan bagaimana
kedudukan anak tersebut atas orang tuanya. Kekuasaan orang tua ini kelak
yang akan menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak.
Hak dan kewajiban yang dimiliki oleh anak luar kawin hanya terbatas pada
ibu dan keluarga ibunya saja.
Anak luar kawin yang diingkari keberadaanya oleh ayah biologisnya,
dengan akta kelahiran seperti yang tercantum dalam Pasal 103 Kompilasi
Hukum Islam “(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan
akta kelahiran atau alat bukti lainnya.(2) Bila akta kelahiram alat buktilainnya
tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat
mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan
pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti bukti yang sah. (3) Atas dasar
ketetetapan pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka instansi Pencatat
Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut
mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.”
Proses pengingkaran anak luar kawin yang dilakukan ayah dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan seperti yang terdapat Pasal 102
Kompilasi Hukum Islam “(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak
yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama
dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah
putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya
melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan
perkaranya kepada Pengadilan Agama. (2) Pengingkaran yang diajukan
sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima.”
Ayah biologis dapat mengakui anak luar kawin sebagai anaknya sehingga
mempunyai hak dan kewajiban terhadap anak luar kawin atas persetujuan
sang ibu. Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 menyebutkan
anak luar kawin ialah anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai
sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan atau alat bukti lainya menurut hukum mempunyai hubungan
darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya
Guna kepengurusan pengakuan anak luar kawin pemerintah menunjuk
Kantor Catatan Sipil sebagai instansi pemerintah yang berwenang, sesuai
dengan tugas dan fungsi Kantor Catatan Sipil. Adapun yang dimaksud
dengan Catatan Sipil adalah suatu catatan yang menyangkut kedudukan
hukum seseorang. Bahwa untuk dapat dijadikan dasar kepastian hukum
seseorang maka data atau catatan peristiwa penting seseorang, seperti :
perkawinan, perceraian, kelahiran, kematian, pengakuan anak dan pengesahan
anak, perlu didaftarkan ke Kantor Catatan Sipil. Kantor Catatan Sipil adalah
suatu lembaga resmi pemerintah yang menangani hal-hal yang berhubungan
dengan percatatan sipil, Kantor Catatan Sipil yang sengaja diadakan oleh
pemerintah dan bertugas untuk mencatat, mendaftarkan serta membukukan
selengkap mungkin setiap peristiwa penting bagi status keperdataan
seseorang.
2.2.3 Status Anak Luar Kawin
Mengenai status anak luar kawin, para ulama sepakat bahwa anak itu
tetap punya hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Tanggung
jawab atas segala keperluannya, baik materiil maupun spiritual adalah ibunya
dan keluarga ibunya. Demikian pulanya dengan hak waris-mewaris (Ibnu
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 juga menjelaskan bahwa status anak
luar kawin hanya berhubungan dengan sang ibu namun tidak dipungkiri
keberadaan sang ayah biologis apabila dapat dibuktikan dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang lain.
Setelah uraian mengenai pengertian serta kedudukan anak luar kawin
diatas, didapatkan beberapa kesimpulan tentang anak luar kawin, dimana
Aniisatul Murtasyidah menyebutkan bahwa anak luar kawin tergolong atas 2
(dua) yaitu Anak yang dibuahi tidak dalam pernikahan yang sah, namun
dilahirkan dalam pernikahan yang sah dan Anak yang dibuahi dan dilahirkan
diluar perkawinan yang sah .( Murtasyidah 2012:20) .
1. Anak yang dibuahi tidak dalam pernikahan yang sah, namun dilahirkan
dalam pernikahan yang sah.
Menurut Imam Malik dan imam Syafi’i, anak yang lahir
setelah enam bulan dari perkawinan ibu dan bapaknya, anak itu
dinasabkan kepada bapaknya. Jika anak itu dilahirkan sebelum enam
bulan, maka anak itu dinasabkan kepada ibunya.
Berbeda dengan pendapat itu, menurut Imam Abu Hanifah
bahwa anak di luar nikah itu tetap dinasabkan kepada bapaknya
sebagai anak yang sah (M. Ali Hasan, 1997 : 81). Perbedaan pendapat
ini disebabkan karena terjadinya perbedaan ulama dalam mengartikan
lafaz fiarsy, dalam hadist nabi : “anak itu bagi pemilik tilam dan bagi
firasy menunjukkan kepada perempuan, yang diambilkan ibarat dari
tingkah iftirasy (duduk berlutut). Namun ada juga ulama yang
mengartikan kepada laki-laki (bapak) ( Jalaluddin Mahalli,
al-Qulyuby wa Umarah, , Juz III : 31).
2. Anak yang dibuahi dan dilahirkan diluar pernikahan yang sah.
Status anak diluar kawin dalam kategori yang kedua,
disamakan statusnya dengan anak zina dan anak li’an. Terhadap anak
zina tentunya tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya. Anak itu
hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Bapaknya tidak
wajib memeberikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis ia
tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah secara manusiawi,
bukan secara hukum.
Dalam hal mewarisi anak zina tidak dapat mewarisi harta
warisan suami dari sang ibu, anak tersebut hanya dapat mewarisi dari
sang ayah karena ini berhubungan nasab dengan sang ayah
kandungnya. Apabila anak luar kawin itu perempuan maka bapak
biologisnya tidak mempunyai hak untuk menjadi wali
diperkawinannya. (Amir Syarifuddin, 2002 : 195).
Namun berdasarkan pembahasaan yang sebelumnya telah dibahas
tentang anak luar kawin, penulis juga merasa perlu adanya satu golongan
1. Anak yang dibuahi dan dilahirkan dalam perkawinan yang sah namun
tidak dicatatkan dalam Pegawai Pencatat Nikah atau biasanya disebut
Nikah Sirri.
Karena dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974maupun Kompilasi Hukum Islam mengisyaratkan bahwa setiap
perkawinan harus dicatatkan di Pegawai Pencatat Nikah agar terjamin
ketertiban perkawinan dan agar mendapatkan perlindungan hukum
terhadap perkawinan tersebut. Namun dalam peratauran tidak
dijelaskan apakah perkawinan yang tidak dicatatkan dalam PPN
merupakan perkawinan yang tidak sah. Sehingga disini pencatatan
nikah hanya sebagai syarat administratif yang hendaknya harus
dilaksanakan.
Dalam Islam tidak mengenal Nikah Sirri, karena setiap
perkawinan itu sah apabila dilakukan sesuai dengan syarat-syarat dan
rukun perkawinan sesuai dengan ajaran dan kaidah-kaidah norma
agama Islam. Apabila perkawinan yang dilakukan itu sah menrut
agama tentunya anak yang lahir dalam perkawinan itu sah. Sehingga
ukewajiban orang tua kepada anak hendaknya terpenuhi dengan
“Para ibu menyususi anaknya dua tahun secara
sempurna, bagi yang menginginkan untuk
menyempurnakan masa menyusui, dan bagi yang memiliki anak (ayah) wajib untuk menafkahi isteri mereka dan memberikan pakaian secara baik (Q.S. Al-Baqarah ayat [233])”
Didasarkan Indonesia merupakan negara hukum dengan begitu banyak
agama dan norma-norma yang ada tentunya akan merasa sulit apabila terjadi
perbedaan dalam suatu hal, oleh karena itunya dikeluarkanlah undang-undang
dan peraturan-peraturan lainnya. Perkawinan yang tidak dicatatkan tidak
mempunyai kekuatan hukum maka anak yang timbul atas perkawinan
tersebut juga tidak mendapatkan kekuatan hukum dari kedua orang tuanya.
Kekuatan hukum ini menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua
dan anak. Karena tidak berkekuatan hukum maka hak dan kewajiban orang
tua dan anak yang semestinya timbul menjadi hilang. Pasal 43
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974menjelaskan anak yang lahir diluar
perkawinan hanya mempunyai keperdatan dengan ibunya. Hak dan kewajiban
yang harusnya ada antara orang tua dan anak terbatas pada anak dan ibunya
saja.
2.3.
Tinjauan tentang Hukum Waris
2.3.1 Pengertian Hukum Waris Islam
Pasal 171 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang
siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya
masing-masing.
Hukum Kewarisan Islam disebut juga hukum fara’id, jamak dari kata
farida, erat sekali hubungannya dengan kata fard yang berarti kewajiban yang
harus dilaksanakan. Hukum Kewarisan Islam pada dasarnya bersumber pada
beberapa ayat dari firman Allah SWT dalam Al Qur’an terutama surat
An-Nisa’ (4) ayat 11, 12, 176 dan sunnah Nabi (Ali, 2004:313).
An-Nisa’ (4) ayat (11)
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa'atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
An-Nisa’ (4) ayat (12)
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya .Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika
kamu mempunyai anak, maka para isteri
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan
yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
An-Nisa’ (4) ayat (176)
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang
kalalah)387. Katakanlah : "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu) : jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, maka bagi
tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Salah satu sabda Nabi dalam Hadis riwayat Muttafaq ‘alaih yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: “Nabi SAW bersabda: Berikanlah
bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Dan sisanya untuk
orang laki-laki yang lebih utama (dekat kekerabatannya)” (Rofiq, 2003: 380)
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Hukum Waris adalah suatu hukum
yang mengatur tentang hak dan kewajiban serta tata cara pembagian harta
peninggalan dari seseorang yang sudah meninggal (Pewaris) kepada para
keluarga dan kerabat-kerabatnya yang ditinggalkan (ahli waris).
2.3.2 Syarat-syarat Pewarisan
Terdapat tiga komponen yang sangat pokok dalam melakukan system
pewarisan, dimana tanpa adanya tiga komponen tersebut sistem pewarisan
tidak dapat terjadi. Tiga Komponen tersebut ialah :
2.3.2.1Pewaris
Pada Pasal 171 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam, menyebutkan
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan
meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam,
meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Pewarisan tidak dapat
terlaksana tanpa adanya pewaris.
Tidak semua orang dapat dikatkan sebagai pewaris salah satu yang
disyaratkan telah meninggal dunia, pewaris juga disyaratkan beragama
Islam dan mempunyai ahli waris dan harta peninggalan. Syarat-syarat ini
sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam fiqh mawaris.
2.3.2.2Ahli Waris
Pasal 171 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam, Ahli waris adalah orang
yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak
terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Ahli waris dalam Hukum Islam dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:
1. Ahli waris nasabiyah yaitu ahli waris yang mendapat warisan
karena adanya hubungan darah
2. Ahli waris sababiyah yaitu ahli waris yang mendapat warisan
karena adanya suatu sebab yaitu perkawinan yang sah dan atau
karena memerdekakan hamba (hamba sahaya) (Rofiq, 2003:
383).
Dilihat dari bagian yang diterima atau haknya ahli waris dibedakan
menjadi tiga yaitu :
1. Ahli waris Ashab al-farud yaitu ahli waris yang telah
ditentukan bagian-bagiannya. Misalkan 12, 13 dan lain-lainya.
2. Ahli waris Ashab al-usubah yaitu ahli waris yang ketentuan
bagiannya adalah menerima sisa setelah diberikan kepada
ashab al-farud, seperti anak laki-laki, ayah, paman dan lain
3. Ahli waris Zawi al – arham yaitu orang yang sebenarnya
mempunyai hubungan darah dengan pewaris, namun karena
dalam ketentuan nas tidak diberi bagian, maka mereka tidak
berhak menerima. Kecuali ahli waris tersebut termasuk
golongan Ahli waris ashab al-farud dan Ahli waris ashab
al-usubah.
Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan ahli waris terdiri dari
beberapa kelompok sebagai berikut :
1. Menurut hubungan darah yakni golongan laki-laki yang terdiri
dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek
dan golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan,
saudara perempuan dari nenek.
2. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda.
Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat
warisan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Berdasarkan Pasal 174, 181, 182 dan 185 Kompilasi Hukum Islam
,golongan-golongan ahli waris yang telah disebutkan diatas tersebut terdiri
atas:
1. Ahli waris laki, ialah ayah, anak laki, saudara
laki-laki, paman, kakek dan suami.
2. Ahli waris perempuan, yaitu ibu, anak perempuan, saudara
3. Ahli waris yang dimungkinkan sebagai ahli waris pengganti
adalah seperti cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki
atau perempuan.
4. Tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Terhalangnya seseorang menjadi ahli waris sesuai Pasal 173
Kompilasi Hukum Islam apabila dengan putusan hakim yang telah
mempunyai ketetapan hukum tetap dikarenakan :
1. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat pada pewaris.
2. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan
bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam
dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih
berat.
2.3.2.3Harta Peninggalan
Menurut Pasal 171 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam, harta
peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa
benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
Sedangkan tentang harta waris dijelaskan pada Pasal 171 huruf (e)
Kompilasi Hukum Islam menyebutkan harta waris adalah harta bawaan
ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan
pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah
(tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
1. Benda dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan,
dimaksudkan ialah benda tersebut dapat berwujud ataupu tidak dan
dapat bergerak mauun tidak bergerak.
2. Hak-hak kebendaan ialah hak yang dapat dimiliki terhadap benda
tersebut.
3. Hak-hak yang bukan kebendaan, misalkan hak tetangga.
Pada aturan umum dalam Pada Bab 1 butir (d) dan (e) Kompilasi
Hukum Islam membedakan antara harta peninggalan dengan harta warisan
menyebutkan:
“Harta Peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh seorang pewaris baik yang berupa harta benda
yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
Sedangkan Harta Warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meningganya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran uang dan pemberian untuk kerabat.”
2.3.3 Asas-asas Pewarisan
Dalm pembangian waris terdapat beberapa asas-asas yang ikut
mendukung keberadaannya yaitu :
2.3.3.1Asas Ijbari
Yang dimaksudkan dalam asas ini ialah peralihan harta sesorang yang
meninggal dunia kepada ahli warinya berlaku dengan sendirinya tanpa
menurut kehendak pewaris ataupun ahli waris (Muhibbin, 2009:23 ).
Asas ini mengatur mengenai cara peralihan harta warisan, juga disebut
bahwa sisa dari pengeluaran yang dimaksud adalah merupakan harta
warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak.
Ketentuan asas ini sesuai dengan surat An.Nissa ayat 7 yang
menyatakan sebagai berikut :
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian harta peninggalan ibu bapak dan kerabat, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) harta peninggalan ibu bapak dan kerabat, baik sedikit ataupun banyak menurut bagian yang ditetapkan”
2.3.3.2Asas Bilateral
Asas Bilateral ialah bahwa seseorang menerima hak warisan dari
kedua belah pihak garis kerabat, yaitu garis keturunan perempuan maupun
garis keturunan laki-laki (Suhrawardi K. Lubis, 2004:60)
2.3.3.3Asas Individual
Setiap ahli waris berhak mendapatkan bagian yang semestinya ia
dapatkan tanpa terikat terhadap ahli waris yang lain. (Suhrawardi K. Lubis,
2004:60)
2.3.3.4Asas Keadilan Berimbang
Yang dimaksudkan dalam asas ini ialah keseimbangan antara hak dan
kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan yang akan
2.3.3.5Asas Kewarisan Semata Karena Kematian
Asas ini menyatakan bahwa kewarisan ada kalau ada yang meninggal
dunia tercermin dalam rumusan berbagai istilah yaitu hukum kewarisan,
pewaris, ahli waris dan harta peninggalan dalam Pasal 171 pada bab
ketentuan umum (Ali, 2004: 322).
Tanpa adanya kematian pembagian warisan tidak akan terjadi,
walaupun ketika ia hidup dapat memanfaatkan hartanya utuk dapat
dibagikan kepada kerabat yang lain. Namun dalam hukum kewarisan Islam
antara wasiat dengan kewarisan diuraikan secara terpisah
2.3.4 Bagian-bagian Waris dalam Hukum Islam
Harta peninggalan sebagai harta waris terlebih dahulu harus diselesaikan
masalah hutang piutang pewaris (yang meninggal) dan biaya pemakaman
serta wasiat yang dibolehkan (bila ada). Disamping itu bila si mayit
meninggalkan istri (janda) atau suami (duda) dan masih terikat perkawinan
perlu dipisahkan lebih dahulu antara harta bawaan dan harta