• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAGIAN WARIS ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM ISLAM PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46 PUU VIII 2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAGIAN WARIS ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM ISLAM PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46 PUU VIII 2010"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

i

BAGIAN WARIS ANAK LUAR KAWIN DALAM

HUKUM ISLAM PASCA PUTUSAN MAHKAMAH

KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010

SKRIPSI

Untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

pada Universitas Negeri Semarang

Oleh:

NUNKY ADIN ARDILLA 8150408146

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

(2)

ii

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010” oleh Nunky

Adin Ardilla, telah disetujui oleh Pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia

ujian skripsi di Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang pada :

Hari :

Tanggal :

Menyetujui,

Dosen Pembimbing 1 Dosen Pembimbing 2

Baidhowi, S.Ag., M.Ag Dian Latifiani S.H., M.H

NIP. 19730712 200801 1 010 NIP. 19800222 200812 2 003

Mengetahui,

Pembantu Dekan Bidang Akedemik

Drs. Suhadi, S.H, M.Si

(3)

iii

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010” oleh Nunky

Adin Ardilla, telah dipertahankan di depan Sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas

Hukum Universitas Negeri Semarang pada :

Hari :

Tanggal :

Panitia Ujian

Ketua, Sekretaris,

Drs Sartono Sahlan, MH

NIP.19530825 1982031 003

Drs. Suhadi, SH, Msi

NIP. 19671116 199309 1 001

Penguji Utama,

Tri Andari Dahlan S.H.,M.Kn

NIP. 19830604 200812 2 00 3

Penguji 1, Penguji 2,

Baidhowi, S.Ag., M.Ag

NIP. 19730712 200801 1 010

Dian Latifiani S.H., M.H

(4)

iv

Waris Anak Luar Kawin Dalam Hukum Islam Pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010” benar-benar hasil karya saya sendiri,

bukan jiplakan karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat

atau temuan orang lain dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode

etik ilmiah.

Semarang, 12 Maret 2013

Nunky Adin Ardilla

(5)

v MOTTO

 Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tidak mempersekutukan Allah)

tetapi orang tuanya lah yang menjadikan dia seorang yahudi atau nasrani (

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra.)

PERSEMBAHAN

 ALLAH SWT yang senantiasa

melindungi dan memberi berkah

 Ayahanda Edi Salari dan Ibunda Septaria

Suciati, beliau adalah orang tua terbaik

di dunia yang tak pernah henti-hentinya

memberikan dukungan dan doa.

 Saudara-saudaraku Hening Kasih

Sarinastiti, Sasha Nadia Putih dan Adlan

Juang Taratih.

(6)

vi

melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini baik secara langsung maupun

tidak langsung sehingga skripsi dengan judul “Bagian Waris Anak Luar Kawin

Dalam Hukum Islam Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

46/PUU-VIII/2010”dapat terselesaikan. Sehubungan dengan pelaksanaan penelitian sampai

tersusunnya skripsi ini, dengan rasa rendah hati, penulis sampaikan terimakasih

yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Sudijono Sastroatmodjo, M.Si, Rektor Universitas Negeri

Semarang.

2. Drs. Sartono Sahlan, M.H, Dekan Fakultas Hukum Universitas Negeri

Semarang.

3. Baidhowi, S.Ag., M.Ag, Dosen Pembimbing 1 yang telah berkenan

memberikan bimbingan serta motivasi kepada penulis hingga skripsi ini

dapat terselesaikan.

4. Dian Latifiani S.H., M.H, Dosen Pembimbing 2 yang telah berkenan

memberikan bimbingan dan semangat kepada penulis hingga skripsi ini

(7)

vii

petunjuk, motivasi, bantuan, semangat, kasih sayang dengan sabar dan tulus

dalam proses yang dijalankan penulis semasa berorganisasi dan kuliah di

Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.

7. Dr Muhyidin M.Ag Ketua Fatwa MUI Provinsi Jawa Tengah yang telah

berkenan berdiskusi dan membantu memberikan informasi dalam penelitian

di MUI Provinsi Jawa Tengah.

8. Bapak Ibu Dosen serta Staf Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang

yang telah membantu dan membimbing penulis selama mengikuti

perkuliahan.

9. Keluargaku tercinta (Bapak Edi Salari, Ibu Septaria Suciati, dan

Adik-adikku Sari, Puput dan Adlan) atas kasih sayang, do’a, motivasi, dan

semangat dalam penyusunan skripsi ini.

10. Keluarga Besar Embah Uti Rodah Tati dan Alm.Eyang Hj.Rubiati (Bude

Titik, Bude Tatik, Pakde Gede, Pakde Heri, Pakde Sis,Bude Minuk)

11. Sahabatku angkatan 2008 Denny, Kukuh, Martini, Salomo, Edwin yang

selalu memberikan kecerian dan dukungan dalam menyusun skripsi ini

kepada penulis.

12. Kakak-kakak angkatan Mas Fajar, Mas Luhur, Mbak Sesar, Bang Doni,

(8)

viii

dan seluruh teman-teman lain di Unit Peradilan Semu yang selalu

memberikan kudungan, bantuan dan motivasi kepada penulis dalam

membuat skripsi ini.

14. Kakak sahabat terkasih Fajar Romy Gumilar yang selalu ada dan

memberikan bantuan, dukungan, semangat, kasih sayang tanpa henti selama

penulis menyusun dan menyelesaikan skripsi ini.

15. Teman-teman Kos Eresa , Winda, Vivi dan Ari yang membantu dan

mendukung penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

16. Semua teman-teman Fakultas Hukum angkatan 2008 yang sudah

memberikan informasi maupun masukannya selama penulisan skripsi.

17. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang

tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT membalas amal baik Bapak, Ibu dan Saudara. Disadari

bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari

semua pihak sangat diharapkan guna menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi

ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis.

Semarang 12 Maret 2013

(9)

ix

Pembimbing I, Baedhowi, S.Ag.,M.Ag. Pembimbing II, Dian Latifiani, S.H.,M.H.

Kata Kunci: Hukum Waris Islam, Anak Luar Kawin, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 merupakan putusan atas judicial review dari Pasal 43 ayat 1 UUP yang diajukan oleh H Macicha Mochtar. Didalam Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 anak yang dihasilkan diluar perkawinan juga mempunyai hak keperdataan dengan sang ayah biologisnya asalkan bisa dibuktikan dengan ilmu teknologi dan pengetahuan. Di keluarkannya Putusan MK tersebut, membuat penulis tertarik untuk meneliti mengenai Bagian Waris Anak Luar Kawin Dalam Hukum Islam Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

Permasalahan yang akan dikaji adalah: (1) Pandangan Hukum Islam terhadap bagian waris anak luar nikah sebagai ahli waris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 46 / PUU-VIII/ 2010 (2) Berapakah bagian waris dalam Hukum Islam terhadap anak luar nikah sebagai ahli waris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 46 / PUU-VIII/ 2010.

Pendekatan peneliti dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Dari Hasil Penelitian dan Pembahasan yang dilakukan oleh Anak Luar Kawin yang dibahas oleh penulis merupakan Anak Luar Kawin Nikah sirri.Nikah sirri merupakan pernikahan yang sah sehingga anak yang dilahirkan mempunyai kedudukan yang sama dengan anak sah dalam hal saling mewarisi. Terhadap bagian waris anak luar kawin nikah sirri sama dengan anak sah pada umumnya, dimana pembagianya sesuai dengan aturan-aturan yang ada dalam Hukum Waris Islam dan yang ada dalam KHI.

(10)

x

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Pembatasan Masalah ... 6

1.3 Perumusan Masalah ... 6

(11)

xi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Tinjauan Tentang Perkawinan ... 10

2.1.1 Pengertian Perkawinan ... 10

2.1.2 Syarat dan Rukun Perkawinan ... 12

2.1.2.1 Syarat sahnya Perkawinan ... 12

2.1.2.1.1 Syarat Umum Perkawinan ... 15

2.1.2.1.1 Syarat Khusus Perkawinan ... 16

2.1.2.2 Rukun Perkawinan ... 16

2.1.2.2.1Calon Suami dan Istri ... 17

2.1.2.2.2 Wali Nikah ... 19

2.1.2.2.3 Dua Orang saksi ... 20

2.1.2.2.4 Akad Nikah ... 22

2.2 Tinjauan Anak Luar Kawin ... 23

2.2.1 Pengertian Anak Laur Kawin ... 23

(12)

xii

2.3.1 Pengertian Hukum Waris Islam ... 33

2.3.2 Syarat-syarat pewarisan ... 37

2.3.2.1 Pewaris ... 37

2.3.2.2 Ahli Waris ... 38

2.3.2.3 Harta Peninggalan ... 40

2.3.3 Asas-asas Pewarisan ... 41

2.3.3.1 Asas Ijbari ... 41

2.3.3.2 Asas Bilateral ... 44

2.3.3.3 Asas Individual ... 42

2.3.3.4 Asas Keadilan Berimbang ... 42

2.3.3.5 Asas Kewarisan Semata Karena Kematian... 43

2.3.4 Bagian-bagian Waris dalam Hukum Islam ... 43

2.4 Tinjauan tentang Putusan Judicial Review MK No 46/PUU-VIII/2010 ... 45

2.4.1 Kedudukan MK berkaitan dengan Judicial Review ... 45

(13)

xiii

3.2 Sifat Penelitian ... 53

3.4 Pendekatan Penelitian ... 58

3.5 Jenis dan Sumber Data ... 54

3.6 Teknik Pengumpulan Data ... 55

3.7 Teknik Analisis Data ... 57

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 59

4.1 Hasil Penelitian ... 59

4.1.1 Pandangan Hukum Islam Terhadap Bagian Waris Anak Luar Kawin Sebagai Ahli Waris Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010 ... 59

4.1.2 Bagian Waris dalam Hukum Islam Terhadap Bagian Waris Anak Luar Kawin Sebagai Ahli Waris Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010 ... 79

4.2 Pembahasan ... 96

(14)

xiv

BAB 5 PENUTUP ... 119

5.1 Simpulan ... 119

5.2 Saran ... 121

DAFTAR PUSTAKA ... 122

(15)
[image:15.595.147.449.269.570.2]

xv

(16)

xvi

Lampiran 1 Surat Ijin Penelitian ... 131

Lampiran 2 Instrumen Penelitian ... 132

Lampiran 4 Putusan Mahkamh Konstitusi No 46 / VIII-PUU/2010 ... 133

Lampiran 5 Fatwa MUI No 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina

Dan Perlakuan Terhadapnya ... 134

Lampiran 6 SEMA NO 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat

Pleno Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi

Pengadilan ... 135

Lampiran 7 Surat Edaran Pengadilan Tinggi Agama NO

(17)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Keberadaan anak menjadi hal yang sangat dibanggakan dan diingin oleh

kedua orang tuanya. Anak memiliki arti yang berbeda-beda bagi setiap orang.

Anak merupakan penyambung keturunan, investasi masa depan, dan anak

merupakan harapan untuk menjadi sandaran di kala usia lanjut. Anak

dianggap sebagai modal untuk meningkatkan peringkat hidup, sehingga kelak

dapat mengontrol status sosial orang tua. Anak menjadi keistimewaan bagi

setiap orang tua, waktu orang tua masih hidup anak sebagai penenang dan

sewaktu orang tua telah meninggal anak adalah lambang penerus dan

lambang keabadian.

Setiap anak kelak akan memikul tanggung jawabnya baik itu tanggung

jawabnya secara pribadi maupun tangung jawabnya secara keluarga terhadap

orang tuanya dan terhadap keluarganya yang ia bagun kelak. Untuk dapat

melakukaan hal tersebut hendaknya anak perlu mendapat kesempatan yang

seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara normal baik secara

jasmani maupun secara rohani.

Upaya anak untuk memenuhi segala tanggung jawabnya tentunya tidak

lepas dari peran serta kedua orang tua, baik itu ayah maupun ibu. Kewajiban

(18)

anak, kerena bagaimanapun adanya seorang anak dari akibat yang

ditimbulkan oleh orang tuanya.

Anak digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu anak sah dan anak luar kawin.

Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menyatakan anak

sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang

sah dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

menjelaskan anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan

ibunya dan keluarga ibunya. Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat

perkawinan yang sah dan hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim

dan dilahirkan oleh istri tersebut merupakan anak sah menurut Pasal 99

Kompilasi Hukum Islam.

Kedudukan dan status anak dapat dilihat dari sah atau tidak suatu

perkawinan yang dilangsungkan oleh kedua orang tuanya. Dalam Hukum

Nasional dijelaskan bahwa suatu perkawinan sah apabila dicatatkan

dilembaga atau instansi yang berwenang mencatatkan nikah. Sedangkan

dalam Hukum Islam suatu perkawinan sah apabila sudah memenuhi syarat

dan rukun nikah.

Pandangan Hukum Islam anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang

sah namun tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama sesuai Hukum Nasional

merupakan anak sah. Karena dalam Hukum Islam sendiri sekalipun

perkawinan itu disebut Nikah Sirri tetap perkawinan itu sah, karena sudah

(19)

dalam Hukum Islam apakah ada. Sementara itu bagaimana akibat hukum

terhadap pembagian waris anak luar kawin berdasarkan uraian yan telah

dibahas sebelumnya.

Berdasarkan hal yang diuraikan mengenai kedudukan anak luar kawin,

masyarakat mulai melakukan upaya-upaya agar anak luar kawin mendapatkan

kejelasan hukum. Upaya tersebut salah satunya dilakukan oleh artis Machicha

yang mengajukan permohonan judicial review terhadap Undang-Undang

Perkawinan No. 1 Tahun 1974, khususnya Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat

(1) kepada Mahkamah Konstitusi.

Machicha melangsungkan perkawinan dengan Moerdjiono yang hanya

dilakukan secara agama atau biasanya disebut Nikah Sirri tanpa adanya

pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangakan sesuai penjelasan

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang sah

adalah perkawinan yang dicatatkan. Perkawinan yang tidak dicatatkan ialah

perkawinan yang tidak sah dan anak yang dihasilkan atas perkawinan tersebut

adalah anak tidak sah atau anak luar kawin. Akibat yang timbul dari itu sesuai

Pasal 43 ayat (1) bahwa anak diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan

perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya.

Pada dasarnya Machicha hanya mengkhawatirkan nasib si anak kelak

dimasa depan ketika si ibu sudah meninggal dan hanya ada ayah ataupun

keluarga ayahnya. Anak luar kawin tersebut tentunya tidak akan mendapatkan

(20)

Pada tanggal 17 Februari 2012 permohonan Machicha atas judicial

review Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) disahkan oleh Mahkamah

Konstitusi lewat Putusannya No.46/PUU-VIII/2010. Lewat Putusan tersebut

Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pasal 43 ayat (1) dan

menolak permohonan terhadap Pasal 2 ayat (2). Putusan tersebut menjelaskan

bahwa anak luar kawin juga mempunyai hubungan keperdataan dengan sang

ayah.

Permasalahan yang terjadi apabila sang ayah dari anak luar kawin

tersebut meninggal dunia dan meninggalkan anak tersebut dengan ibunya.

Apakah anak tersebut dapat mendapatkan hak-haknya sebagai anak dari ayah

biologisnya. Hak-hak seorang anak dalam hal ini ialah hak waris mewarisi

antara pewaris yaitu si ayah dan si ahli waris ialah anak. Karena

bagaimanapun si ayah tersebut tetap behubungan darah dengan si anak dan

tetap menjadi ayah biologis si anak. Apakah anak tersebut mendapatkan

haknya sebagai anak dari ayah biologisnya atau tidak berhak sama sekali

seperti yang sudah tertulis dalam perundang-undangan.

Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 hanya menjelaskan

anak luar kawin juga mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah, apabila

dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Putusan

Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 tidak menjelaskan mengenai

bagian-bagian atau aturan-aturan tentang pembagian warisan antara anak luar

kawin dan ayah biologisnya. Hukum Islam tidak mengatur dan menjelaskan

(21)

kawin. Oleh sebab itulah terjadi kebinggungan apabila ada kasus tentang

pewarisan anak luar kawin dengan ayah biologisnya.

Pencerahan terhadap hubungan keperdataan dan kedudukan anak luar

kawin kepada sang ayah biologisnya juga diberikan oleh Putusan Mahkamah

Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010. Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi ayah

harus bertanggung jawab atas anak yang lahir dari hubungan perzinahan. Hal

itu sesuai dengan Undang-undang Kewarganegaraan menyangkut Hak Asasi

Manusia (HAM). ( Dalam diskusi publik Akibat Hukum Terhadap Anak Luar

Kawin Pasca putusan Mahkamah Konstitusi di Yogyakarta )

Masyarakat tidak sepenuhnya menerima Putusan Mahkamah Konstitusi

No.46/PUU-VIII/2010. Fenomena yang terjadi di masyarakat pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 ini beragam. Ada sekelompok

masyarakat yang merasa diuntungkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi

No.46/PUU-VIII/2010 dan ada pula yang merasa bahwa Putusan Mahkamah

Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 tidak sesuai dengan kaidah Agama Islam,

masyarakat merasa Mahkamah Konstitusi melegalkan anak zina. Padahal

anak zina dengan anak luar kawin berbeda, keragaman kedudukan dan status

anak luar kawin inilah yang menjadi penentu apakah anak luar kawin dapat

meminta dan menerima haknya dari ayah biologisnya.

Berdasarkan uraian mengenai polemik dan permasalahan anak luar kawin

(22)

WARIS ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM ISLAM PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010”

1.2

Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang terjadi pada anak luar kawin,

maka permasalahan dibatasi pada kedudukan anak luar kawin sebagai ahli

waris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 menurut

Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Islam dan bagaimana bagian waris anak

luar kawin apabila anak luar kawin tersebut masuk dalam ahli waris pasca

Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010.

1.3

Perumusan Masalah

Agar permasalahan yang diteliti menjadi lebih jelas dan penulisan

penelitian hukum mencapai tujuan yang diinginkan maka perlu disusun

perumusan maslah yang didasarkan pada uraian latar belakang diatas. Adapun

perumusan masalah dalam penelitian hukum ini adalah:

1. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap bagian waris anak

luar kawin sebagai ahli waris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

No.46/PUU-VIII/2010?

2. Berapakah bagian waris dalam Hukum Islam terhadap anak luar

kawin sebagai ahli waris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

(23)

1.4

Tujuan Penelitian

Kegiatan penelitian ini dilakukan oleh penulis agar dapat menyajikan

data akurat sehingga dapat memberikan manfaat dan mampu menyelesaikan

masalah. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian mempunyai tujuan

sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana pandangan Hukum Islam tentang

bagian waris anak luar kawin pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

No.46/PUU-VIII/2010 .

2. Untuk mengetahui berapa bagian waris anak luar kawin dalam

Hukum Islam pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

No.46/PUU-VIII/2010 .

1.5

Manfaat Penelitian

Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini

akan bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Adapun manfaat yang

diharapkan penulis dapat dari penulisan hukum ini antara lain:

1. Manfaat teoritis

Dapat menambah wawasan baik penulis sendiri maupun siapa saja

yang membacanya sebagai referensi kepustakaan bagi pihak-pihak yang

ingin mengetahui tentang pandangan Hukum Islam mengenai bagian

(24)

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian diharapkan dapat menambah serta memberikan

pengetahuan kepada masyarakat tentang kedudukan hukum anak luar

kawin sebagai ahli waris dan berapa bagian warisan yang didapat anak

luar kawin pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010

menurut Hukum Islam. Memberikan sumbangan pemikiran dalam

memecahkan permasalahan yang ada hubungannnya dengan bagian

waris anak luar kawin.

1.6

Sistematika Penulisan Skripsi

Untuk memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai penelitian

yang akan dilakukan oleh peneliti, perlu kiranya untuk mengetahui

pembagian sistematika penulisan hukum ini. Secara keseluruhan, penulisan

hukum ini terbagi atas empat bab yang masing-masing terdiri beberapa sub

bab sesuai dengan pembahasan dan sustansi penelitiannya. Adapun

sistematika dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:

Bab 1 : Pendahuluan

Dalam bab ini dikemukakan tentang latar belakang masalah,

pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, dan sistematika penulisan hukum.

Bab 2 : Tinjauan Pustaka

Bab kedua ini membahas mengenai Kerangka Teoritis dan

(25)

ini adalah tinjauan tentang perkawinan, tinjauan tentang anak

luar kawin, tinjauan tentang warisan dan tinjauan tentang

Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010.

Bab 3 : Metode Penelitian

Bab ketiga ini membahas tentang jenis penelitian, sifat

penelitian, pendekatan penelitian, jenis dan sumber penelitian,

teknik analisis data.

Bab 4 : Hasil Penelitian Dan Pembahasan

Bab ini merupakan suatu hasil dari penelitian yang dilakukan

peneliti mengenai bagian waris anak luar kawin sebagai ahli

waris Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

No.46/PUU-VIII/2010 berdasarkan Hukum Islam dan Kompilasi Hukum

Islam.

Bab 5 : Penutup

Bab ini sebagai bagian aKompilasi Hukum Islamr dari penulisan

penelitian mengenai simpulan dan saran sebagai suatu masukan

maupun perbaikan dari apa saja yang telah didapatkan selama

penelitian

Daftar Pustaka

(26)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Tinjauan tentang Perkawinan

2.1.1 Pengertian Perkawinan

Hukum Islam memberikan pengertian perkawinan yang dalam bahasa

Islam disebut pernikahan dengan dua pandangan yaitu yang secara luas

maupun yang secara sempit. Pernikahan secara luas sebagai alat pemenuhan

kebutuhan emosi dan seksual yang sah dan benar guna memperoleh

keturunan yang sah dan sebagai fungsi sosial. Sedangkan pernikahan secara

sempit seperti yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam menyebutkan

dalam Pasal 2 bahwa pernikahan merupakan suatu akad yang sangat kuat atau

mitsaqan galidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya

merupakan ibadah.

Pernikahan / perkawinan di langsungkan sebagai tujuan untuk

mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaadah dan rahmah

(tentram, cinta dan kasih sayang) hal ini sesuai yang tertuang dalam Pasal 3

Kompilasi Hukum Islam.

Selain dalam Kompilasi Hukum Islam pengertian dan istilah pernikahan

juga terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974,

dimana Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dewasa

(27)

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa.

Perkawinan / pernikahan barulah ada apabila dilakukan antara seorang

pria dan seorang wanita, dengan demikian perkawinan sama dengan perikatan

/ Verbindtenis (Hadikusumo, 1990 : 7). Tidak dinamakan perkawinan apabila

yang terkait dalam perjanjian itu 2 (dua) orang pria saja ataupun 2 (dua) orang

wanita saja, atau dilakukan antara banyak pria dan banyak wanita. Demikian

juga tidak merupakan pernikahan apabila sekiranya ikatan lahir batin itu tidak

bahagia, atau pernikahan itu tidak kekal dan tidak berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa. Peraturan yang digunakan untuk mengatur perkawinan

inilah yang menimbulkan pengertian perkawinan (Prodjodikoro, 1974 : 7) .

Perkawinan sendiri merupakan salah satu perintah agama khusunya

dalam agama Islam dimana perkawinan harus segera dilaksanakaan oleh

orang yang sudah mampu untuk melaksanaakan perkawinan. Hal ini sebagai

suatu bentuk pengendalian diri dan menjauhakan kita dari maksiat dan

perbuataan-perbuatan zina.

2.1.2 Syarat dan Rukun Perkawinan

Tiap-tiap perkawinan yang dilaksanakaan mempunyai syarat dan rukun

masing yang harus dipenuhi ataupun dilaksanakaan guna menjadi sahnya

suatu perkawinan. Karena kita berada dalam Negara Hukum yang tidak lepas

pula dari unsur agama yang sangat kental. Maka keberadaan hukum di dalam

(28)

dalam peraturan perkawinan dalam Hukum Islam, antara lain mengenai syarat

dan rukun perkawinan.

2.1.2.1Syarat sahnya Perkawinan

Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1)

menyatakan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agama dan kepercayaan. Sehingga dapat dikatakan disini

syarat materiil perkawinan secara umum diambil dari aturan-aturan agama

yang ada di Indonesia, karena masyarakat Indonesia mayoritas agama yang

dianut Indonesia ialah Agama Islam tentunya peraturan yang ada dalam

Agama Islam memiliki andil besar dalam mempengaruhi penentuan syarat

materiil perkawinan dalam Hukum Nasional Indonesia seperti adanya

aturan tentang larangan perkawinan, masa tunggu bagi wanita yang

bercerai, pembebanan nafkah keluarga, dan lain sebagainya.

Sehubungan dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No.

1 Tahun 1974, jika sebuah perkawinan tidak memenuhi syarat materil

perkawinan baik itu syarat materil yang telah mendapat penegasan dalam

undang-undang maupun yang masih hidup dalam aturan agama dan

kepercayaan masing-masing pemeluknya, maka terhadap perkawinan

tersebut dapat dilakukan pencegahan perkawinan atau dibatalkan jika

telah terlaksana.

Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 selain menentukan

(29)

sebagai syarat yang ditentukan dengan tujuan untuk mewujudkan

ketertiban perkawinan di Indonesia. Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa

tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.

Pencatatan tersebut sebagai bentuk perlindungan yang diberikan Negara

untuk ketertiban perkawinan bagi wargannya.

Pelaksanaan perkawinan di Indonesia bukan hanya didasarkan atas

prinsip saling menyukai, tetapi ada syarat-syarat materil dan formil

perkawinan yang mesti dipenuhi oleh masing-masing calon mempelai. Jika

syarat tersebut tidak dipenuhi maka secara legal perkawinan tidak dapat

dilaksanakan.

Sah atau tidaknya suatu perkawinan bukan hanya memenuhi rukun

serta syarat perkawinan yang ditentukan oleh agama dan kepercayaannya

masing-masing, tetapi perkawinan dikatakan sah jika dicatatkan pada

instansi yang berwenang untuk itu. Penguraian Pasal 2 ayat (1) dan ayat

(2) apabila dicermati memiliki pengertian yang ambigu. Pertama, dilihat

pada Pasal 2 ayat (1) disebutkan perkawinan sudah sah apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Ini berarti

bahwa perkawinan antar orang-orang yang beragam Islam sudah sah

apabila telah memenuhi syarat dan rukunnya sebagaiman tersebut dianut

oleh agamanya (Hasan dan Sumitro, 1997 : 116).

Sehubungan dengan Pasal 2 ayat (1) di dalam Hukum Perkawinan

Islam pencatatan perkawinan bukanlah rukun perkawinan. Agama Islam

(30)

perkawinan) adalah: ijab dan qabul, wali, 2 orang saksi, dan kedua

mempelai sebagaimana telah di taqnin dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum

Islam. Sehingga dalam hal ini fungsi sebuah Negara yang menjamin

penduduknya secara bebas untuk menjalankan ajaran agama dan

kepercayaannya sesuai Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 tidak dibenarkan

untuk memaksakan sebuah ajaran agama tunduk terhadap aturan hukum

nasional.

Mazhab syafi’I menyebutkan bahwa perkawinan sah menurut Islam

dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan dimana

adanya ijab qabul dan dihadiri oleh dua orang saksi. Sedangkan Mazhab

maliki memberikan pendapat bahwa perkawinan harus terlaksana dengan

adanya kedua mempelai laki-laki dan perempuan adanya mahar dengan

dilakukannya ijab qabul dan harus dihadiri oleh wali nikah karena tanpa

wali perkawinannya tidak sah.

Kaitanya tentang sahnya perkawinan sesuai Pasal 4 Kompilasi Hukum

Islam sebutkan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

Hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

Perkawinan.

Perkawinan dapat diuraikan menurut Islam dikatakan sah apabila

dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.

(31)

Pasal 5 ayat (1) diterangkan bahwa untuk menjamin ketertiban perkawinan

bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.

Pencatatan tidak membuat perkawinan tersebut menjadi batal atau

tidak sah, hanya perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum,

yang mana kekuatan hukum itu kan menjadi pelindung atas akibat-akibat

hukum yang mungkin terjadi atas perkawinan tersebut.

Perkawinan yang tidak dicatatkan di Pegawai Pencatat Nikah (PPN)

dapat diajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama hal ini sesuai Pasal 7

Kompilasi Hukum Islam. Akan tetapi pengajuan itsbat nikah terbatas pada

hal-hal tertentu sesuai tertuang dalam Pasal 7 ayat (3) Kompilasi Hukum

Islam.

Selain itu dalam Hukum Islam sahnya perkawinan harus memenuhi

syarat pernikahan sebagai berikut :

2.1.2.1.1 Syarat Umum Perkawinan

Syarat umum suatu pernikahan dikatakan sah apabila

perkawinan dilakukan dengan tidak menentang larangan perkawinan

yang berbeda agama. Dalam ketentuan Q. II ayat 221, kecuali S. Al

Ma’adah ayat (5) yaitu khusus laki-laki Islam boleh mengawini

perempuan ahli kitab, dan tidak bertentangan dengan QS. An-Nisa’

(32)

2.1.2.1.2 Syarat Khusus Perkawinan

Syarat Khusus adanya calon pengantin laki-laki dan calon

pengantin perempuan. Dimana setiap calon pengantin tersebut harus

memenuhi syarat sebagai berikut :

1. Kedua mempelai harus beragama Islam, aqil, baligh, sehat jasmani

dan rohani

2. Harus ada wali nikah (Mazhab Syafi’i)

3. Harus membayar mahar / mas kawin, dari laki-laki kepada

perempuan

4. Harus ada dua orang saksi, Islam, dewasa dan adil

5. Adanya ijab dan qobul.

2.1.2.2Rukun Perkawinan

Rukun pernikahan yang dimaksud ialah segala sesuatu yang

ditentukan menurut Hukum Islam dan harus dipenuhi pada saat pernikahan

dilangsungkan. (Murtiningdyah, 2005: 31) Hal ini dapat diartikan apabila

syarat-syarat perkawinannya telah dipenuhi, maka sebelum

melangsungkan perkawinan syarat-syarat untuk sahnya harus ada

rukun-rukun yang perlu dipenuhi.

Adapun rukun pernikahan diatur dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum

(33)

2.1.2.2.1 Calon Suami dan Istri

Calon suami dan calon istri atau dapat juga disebut dengan

calon mempelai adalah seorang pria dan seorang wanita yang

merupakan hal paling penting sebagai para pihak yang akan

melangsungkan pernikahan. Para calon mempelai harus memenuhi

syarat-syarat tertentu antara lain :

1. Telah baligh dan memenuhi kecakapan yang sempurna.

Pasal 15 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam

memberikan ketentuan sebagai berikut untuk kemaslahatan

keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh

dilakukan oleh mempelai yang telah mencapai umur yang

ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2)

Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974yaitu calon suami

sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri

sekurang-kurangnya berumur 16 tahun Bagi calon mempelai

yang belum berumur 21 tahun harus mendapat ijin

sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5)

Undang-Undang Perkawinan

Berakal sehat dan tidak mengalami gangguan, baik

jasmani maupun rohani, artinya para mempelai harus dapat

mempertanggungjawabkan apa itu perkawinan yang

(34)

2. Tidak karena paksaan, artinya harus didasarkan pada kerelaan

kedua belah pihak.

Pasal 16 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam

menyebutkan bahwa perkawinan didasarkan atas persetujuan

calon mempelai. Persetujuan ini penting agar masing-masing

suami dan istri, memasuki gerbang perkawinan dan rumah

tangga benar-benar dengan senang hati dan bahagia sehingga

dapat melaksanakan tugas, hak dan kewajibannya secara

proposional (Rofiq 2003:74 )

Persetujuan yang dimaksud dapat berupa pernyataan

tegas dan nyata dengan tulisan-tulisan, lisan atau isyarat

tetapi juga berupa diam dalam arti tidak ada penolakan yang

tegas sesuai dengan Pasal 16 ayat (2) Kompilasi Hukum

Islam. Dijelaskan dalam sabda Rasulullah SAW, riwayat dari

ibnu Abbas ra “janda lebih berhak atas dirinya dari pada

walinya, dan kepada gadis (perawan) dimintai

persetujuannya, dan persetujuannya jika dimintai,(gadis itu)

diam (Riwayat Muslim)”

Sebagai bukti adanya persetujuan antara kedua

mempelai, Pegawai Pencatat menanyakan kepada mereka

sesuai yang dijelaskan dalam Pasal 17 Kompilasi Hukum

(35)

2.1.2.2.2 Wali Nikah

Wali nikah dalam perkawinan sangatlah penting dan yang

menentukan sah tidaknya suatu perkawinan. Hal ini disampaikan

Mazhab Maliki tentang harus adanya wali, karena wali nikah dalam

hukum perkawinan Islam merupakan rukun perkawinan (nikah),

sehingga nikah tanpa wali adalah tidak sah sebagaimana hadis

Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Daruquthni,

berbunyi “ Jangan menikahkan perempuan akan perempuan yang lain

dan jangan pula menikahkan perempuan akan dirinya sendiri ” dan

yang diriwayat HR Ahmad, berbunyi “Tidak sah nikah melainkan

dengan wali dan dua saksi yang adil.”

Ketentuan mengenai pentingnya wali dalam melangsungkan

pekawinan juga lebih dipertegas dengan ketentuan Pasal 19 Kompilasi

Hukum Islam, yang di dalamnya disebutkan bahwa Wali nikah

dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon

mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.”

Kedudukannya yang sangat penting dan menentukan ini maka

tidak sembarangan orang dapat menjadi wali nikah. Pasal 20 ayat (1)

Kompilasi Hukum Islam menyebutkan “bahwa yang bertindak sebagai

wali adalah laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam, yaitu

(36)

2.1.2.2.3 Dua Orang Saksi

Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksana akad

nikah, karena setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi

hal ini sesuai Pasal 24 Kompilasi Hukum Islam. Adanya saksi dalam

akad nikah menurut Imam Syafi’i adalah suatu keharusan dalam

perkawinan, karena saksi dalam perkawinan sangat diperlukan.

Dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1

Tahun 1974 menegaskan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di

muka Pegawai Pencatat Perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah

yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang

saksi dapat dimintakan pembatalan oleh para keluarga dalam garis

keturunan yang lurus keatas dari suami istri, jaksa dan suami atau istri.

Al-Daruqutny meriwayatkan dari Aisyah, bahwa Rasulullah SAW

bersabda “Tidak ada nikah melainkan dengan (adanya) wali, dan

siapa saja wanita yang nikah tanpa wali maka nikahnya batal. Jika dia

tidak punya wali, maka penguasa (hakimlah) walinya wanita yang

tidak punya wali.”

Saksi terdiri atas dua orang atau lebih yang melihat dan

mendengarkan ijab qabul. Tugasnya dalam perkawinan hanya

memberikan kesaksian bahwa perkawinan itu benar-benar dilakukan

oleh pihak-pihak yang berkeinginan dan menyatakan tegas tidaknya

(37)

Dua orang saksi hendaknya laki-laki, tetapi kalau tidak ada,

wanitapun diperkenankan hanya berjumlah 4 orang. Dasar hukum

perbandingan jumlah itu dilihat dari makna anak kalimat dari Surah

(2) Al-Baqarah ayat 228 yang menyatakan :

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari aKompilasi Hukum Islamrat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah

serta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah

dilangsungkan hal ini sesuai dengan Pasal 26 Kompilasi Hukum

Islam.

Tujuan lain adanya saksi dalam suatu perkawinan sebagai

(38)

perkawinan nantinya dimana saksi-saksi perkawinan itu bisa menjadi

saksi guna menerangkan perkawinan tersebut.

2.1.2.2.4 Akad Nikah (Ijab Qabul)

Akad nikah / ijab qabul adalah pernyataan sepakat dan pihak

calon suami dan pihak istri untuk mengikatkan diri mereka ke dalam

tali perkawinan dengan menggunakan sighat akad nikah, yaitu

perkataan atau ucapan-ucapan yang diucapkan oleh calon suami dan

calon istri yang terdiri atas ijab dan qabul.

Ijab ialah pernyataan penyerahan dari pihak wanita yang

biasanya dilakukan oleh wali calon mempelai wanita atau wakilnya

dengan maksud bahwa calon mempelai wanita bersedia dinikahkan

dengan calon mempelai pria, sedangkan qabul ialah pernyataan

penerimaan yang sah atau jawaban pihak calon mempelai pria atas

ijab calon mempelai wanita, yang intinya bahwa calon mempelai pria

menerima kesediaan calon mempelai wanita menjadi menjadi istrinya

yang sah.

Memperhatikan ketentuan Pasal 29 Kompilasi Hukum Islam,

tidak membenarkan pelaksanaan ijab qabul jarak jauh melalui sarana

telekomunikasi. Ketika calon mempelai berhalangan, Kompilasi

(39)

2.2.

Tinjauan tentang Anak Luar Kawin

2.2.1 Pengertian Anak Luar Kawin

Anak merupakan akibat yang timbul dari suatu perkawinan. Kelahiran

seorang anak menjadi symbol keturunan bagi sebuah keluarga. Keturunan

(afstamming) ada hubungan darah antara anak-anak dan orangtuanya.

Undang-undang mengatur tentang anak-anak sah dan anak-anak tidak sah

(wettige en on wettige kinderen). Yang teraKompilasi Hukum Islamr ini juga

diberi nama anak luar kawin (natuurlijke kinderen) atau diterjemahkan

“anak-anak alam” (Kie, 2000 : 18).

Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan,

sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah

dengan pria yang menyetubuhinya. Pengertian di luar kawin adalah hubungan

seorang pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan,

sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah

menurut hukum positif dan agama yang dipeluknya. (Abdul Manan, 2008:

80)

Anak luar kawin dalam Undang-undang sendiri tidak secara spesifik

menyebutkan arti ataupun makna anak luar kawin. Pasal 43 ayat (1) dan ayat

(2) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974menyebutkan “Anak yang

dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan

ibunya dan keluarga ibunya. Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas

(40)

Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun

1974tersebut hanya menerangkan tentang hak keperdataan dari anak luar

kawin dan tidak menyebutkana bahwa anak luar kawin ini ialah anak yang

lahir diluar perkawinan yang sah atau anak yang dihasilkan / dibenihkan

diluar perkawinan yang sah.

Kompilasi Hukum Islam juga hanya menyebutkan tentang nasab dari

anak luar kawin seperti yang tertera dalam Pasal 100 yang menyebutkan

“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab

dengan ibunya dan keluarga ibunya ”

Beberapa ulama berpendapat mengenai anak luar kawin, Syafi`iy dan

Malik berpendapat “bahwa anak di lahirkan kurang dari enam bulan setelah

akad nikah maka tidak bisa dinasabkan kepada ayah yang menikahi ibunya,

juga tidak menjadi mahram dan dengan demikian dia bisa dinikahi ayah

tersebut”. Ali bin Abi Thalib menyebutkan “masa mengandung dan menyusui

bayi adalah 30 bulan seperti yang tertera di dalam surat Al- Ahqaaf ayat 15,

lalu dikaitkan dengan surat al-Baqarah ayat 233 bahwa masa menyusui adalah

2 tahun, ini artinya masa mengandung paling pendek 6 bulan dan masa

menyusui paling panjang 2 tahun. ( Tafsir Al-Alusi, Surat al Ahqaaf ayat 15)”

(http://www.muslimat-nu.or.id/index.php)

Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan oleh para ulama, dapat

dipahami bahwa anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan diluar

(41)

Ulama telah sepakat bahwa seorang tidak dapat dinasabkan kepada

ayahnya sebagai anak sah, kalau anak itu dilahirkan kurang dari waktu enam

bulan setelah akad perkawinan, sebab menurut mereka tenggang waktu yang

sependek-pendeknya yang harus ada antara kelahiran anak dengan

perkawinan itu adalah enam bulan. Hal ini dapat diartikan jika ada anak yang

lahir tidak mencapai enam bulan setelah orang tuanya akad nikah, maka anak

tersebut tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya sebagai anak yang sah.

(Ishaq, 2008 : 88)

2.2.2 Kedudukan Anak Luar Kawin

Keberadaan anak luar kawin menjadi fenomena tersendiri saat ini, karena

keberadaan anak tersebut semakin banyak terjadi. Tidak bisa dipungkiri kelak

ini akan menjadi masalah yang sangat besar apabila pemerintah maupun

masyarakat sendiri tidak segera mengatasinya. Kemajuan gaya hiduplah yang

membuat anak luar kawin menjadi berkembang. Gaya hidup kita yang selalu

mengarah kebarat-baratan membuat pola hidup yang berkembang dalam

masyarakat tidak lagi sesuai norma – norma hukum dan agama yang ada. Para

muda-mudi yang melakukan seks bebas tanpa peduli pada akibat yang timbul

atas perbuatanya tersebut. Kelak yang dirugikan dengan adanya seks bebas

adalah perempuan dan apabila seks bebas itu menimbulkan anak maka anak

tersebut akan merasa dirugikan atas perbuatan kedua orang tuanya, kemudian

(42)

Sebagai penduduk Indonesia yang menganut norma-norma pancasila

tentunya harus tunduk dengan aturan-aturan yang ada, namun karena

penduduk Indonesia mayoritas memeluk Agama Islam tentunya norma-norma

dan aturan-aturan yang ada dalam Hukum Islam tidak bisa diabaikan karena

tanpa dipungkiri ini sangat berdampak besar dalam menjalankan

norma-norma yang ada agar sesuai dengan kaidah yang baik.

Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menggolongkan

kedudukan anak menjadi dua yaitu anak sah dan anak luar kawin. Pasal 42

Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974menyebutkan anak sah adalah

anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Anak

sah menurut Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam yang diterangkan “Anak yang

lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” Hasil pembuahan

suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut

(Abdurahman, 1995 : 137).

Kedudukan anak luar kawin menjadi sangat ironis ketika kesalahan atas

adanya anak luar kawin hanya ditunjukan pada sang ibu. Karena

bagaimanapun lahirnya seorang anak tidak hanya berperan pada sang ibu,

seorang ayah sangat berperan dalam hal ini. Sehingga anak luar kawin ialah

anak yang dihasilkan dari hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang

dapat melahirkan keturunan, sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan

perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dipeluknya.

(43)

Anak luar kawin sering kali mendapat pandangan buruk dan cacian dari

masyarakat dengan sebutan anak haram. Kondisi inilah yang memeberikan

sebuah ketidakadilan bagi seorang anak, disamping itu seorang anak

seolah-olah ikut menanggung dosa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Hal ini

tidak sesuai dengan hadist Rasulullah SAW yang berbunyi “setiap anak

dilahirkan dalam ke adaan fitrah (sesuai dengan asal kejadian bersih tanpa

dosa)”.

Kedudukan anak luar kawin baik di dalam Undang-Undang Perkawinan

No. 1 Tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam berkedudukan nasab

dengan ibu dan keluarga ibunya. Menurut Abu Hanifah, anak mempunyai

hubungan darah dengan laki-laki yang tidur seranjang dengan ibu anak. Bila

dilahirkan di luar perkawinan maka menurut Abu hanifah anak tersebut meski

tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, ia tetap menjadi

mahram (haram dinikahi) oleh ayah biologisnya sama dengan mahram

melalui perkawinan.( Al-Qurthubi, Bidayah al--Mujtahid, juz 2 hal. 34).”

Kekuasaan orang tua terhadap anak erat kaitanya dengan bagaimana

kedudukan anak tersebut atas orang tuanya. Kekuasaan orang tua ini kelak

yang akan menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak.

Hak dan kewajiban yang dimiliki oleh anak luar kawin hanya terbatas pada

ibu dan keluarga ibunya saja.

Anak luar kawin yang diingkari keberadaanya oleh ayah biologisnya,

(44)

dengan akta kelahiran seperti yang tercantum dalam Pasal 103 Kompilasi

Hukum Islam “(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan

akta kelahiran atau alat bukti lainnya.(2) Bila akta kelahiram alat buktilainnya

tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat

mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan

pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti bukti yang sah. (3) Atas dasar

ketetetapan pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka instansi Pencatat

Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut

mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.”

Proses pengingkaran anak luar kawin yang dilakukan ayah dapat

mengajukan gugatan ke Pengadilan seperti yang terdapat Pasal 102

Kompilasi Hukum Islam “(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak

yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama

dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah

putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya

melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan

perkaranya kepada Pengadilan Agama. (2) Pengingkaran yang diajukan

sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima.”

Ayah biologis dapat mengakui anak luar kawin sebagai anaknya sehingga

mempunyai hak dan kewajiban terhadap anak luar kawin atas persetujuan

sang ibu. Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 menyebutkan

anak luar kawin ialah anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai

(45)

sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan

teknologi dan atau alat bukti lainya menurut hukum mempunyai hubungan

darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya

Guna kepengurusan pengakuan anak luar kawin pemerintah menunjuk

Kantor Catatan Sipil sebagai instansi pemerintah yang berwenang, sesuai

dengan tugas dan fungsi Kantor Catatan Sipil. Adapun yang dimaksud

dengan Catatan Sipil adalah suatu catatan yang menyangkut kedudukan

hukum seseorang. Bahwa untuk dapat dijadikan dasar kepastian hukum

seseorang maka data atau catatan peristiwa penting seseorang, seperti :

perkawinan, perceraian, kelahiran, kematian, pengakuan anak dan pengesahan

anak, perlu didaftarkan ke Kantor Catatan Sipil. Kantor Catatan Sipil adalah

suatu lembaga resmi pemerintah yang menangani hal-hal yang berhubungan

dengan percatatan sipil, Kantor Catatan Sipil yang sengaja diadakan oleh

pemerintah dan bertugas untuk mencatat, mendaftarkan serta membukukan

selengkap mungkin setiap peristiwa penting bagi status keperdataan

seseorang.

2.2.3 Status Anak Luar Kawin

Mengenai status anak luar kawin, para ulama sepakat bahwa anak itu

tetap punya hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Tanggung

jawab atas segala keperluannya, baik materiil maupun spiritual adalah ibunya

dan keluarga ibunya. Demikian pulanya dengan hak waris-mewaris (Ibnu

(46)

Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 juga menjelaskan bahwa status anak

luar kawin hanya berhubungan dengan sang ibu namun tidak dipungkiri

keberadaan sang ayah biologis apabila dapat dibuktikan dengan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang lain.

Setelah uraian mengenai pengertian serta kedudukan anak luar kawin

diatas, didapatkan beberapa kesimpulan tentang anak luar kawin, dimana

Aniisatul Murtasyidah menyebutkan bahwa anak luar kawin tergolong atas 2

(dua) yaitu Anak yang dibuahi tidak dalam pernikahan yang sah, namun

dilahirkan dalam pernikahan yang sah dan Anak yang dibuahi dan dilahirkan

diluar perkawinan yang sah .( Murtasyidah 2012:20) .

1. Anak yang dibuahi tidak dalam pernikahan yang sah, namun dilahirkan

dalam pernikahan yang sah.

Menurut Imam Malik dan imam Syafi’i, anak yang lahir

setelah enam bulan dari perkawinan ibu dan bapaknya, anak itu

dinasabkan kepada bapaknya. Jika anak itu dilahirkan sebelum enam

bulan, maka anak itu dinasabkan kepada ibunya.

Berbeda dengan pendapat itu, menurut Imam Abu Hanifah

bahwa anak di luar nikah itu tetap dinasabkan kepada bapaknya

sebagai anak yang sah (M. Ali Hasan, 1997 : 81). Perbedaan pendapat

ini disebabkan karena terjadinya perbedaan ulama dalam mengartikan

lafaz fiarsy, dalam hadist nabi : “anak itu bagi pemilik tilam dan bagi

(47)

firasy menunjukkan kepada perempuan, yang diambilkan ibarat dari

tingkah iftirasy (duduk berlutut). Namun ada juga ulama yang

mengartikan kepada laki-laki (bapak) ( Jalaluddin Mahalli,

al-Qulyuby wa Umarah, , Juz III : 31).

2. Anak yang dibuahi dan dilahirkan diluar pernikahan yang sah.

Status anak diluar kawin dalam kategori yang kedua,

disamakan statusnya dengan anak zina dan anak li’an. Terhadap anak

zina tentunya tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya. Anak itu

hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Bapaknya tidak

wajib memeberikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis ia

tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah secara manusiawi,

bukan secara hukum.

Dalam hal mewarisi anak zina tidak dapat mewarisi harta

warisan suami dari sang ibu, anak tersebut hanya dapat mewarisi dari

sang ayah karena ini berhubungan nasab dengan sang ayah

kandungnya. Apabila anak luar kawin itu perempuan maka bapak

biologisnya tidak mempunyai hak untuk menjadi wali

diperkawinannya. (Amir Syarifuddin, 2002 : 195).

Namun berdasarkan pembahasaan yang sebelumnya telah dibahas

tentang anak luar kawin, penulis juga merasa perlu adanya satu golongan

(48)

1. Anak yang dibuahi dan dilahirkan dalam perkawinan yang sah namun

tidak dicatatkan dalam Pegawai Pencatat Nikah atau biasanya disebut

Nikah Sirri.

Karena dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun

1974maupun Kompilasi Hukum Islam mengisyaratkan bahwa setiap

perkawinan harus dicatatkan di Pegawai Pencatat Nikah agar terjamin

ketertiban perkawinan dan agar mendapatkan perlindungan hukum

terhadap perkawinan tersebut. Namun dalam peratauran tidak

dijelaskan apakah perkawinan yang tidak dicatatkan dalam PPN

merupakan perkawinan yang tidak sah. Sehingga disini pencatatan

nikah hanya sebagai syarat administratif yang hendaknya harus

dilaksanakan.

Dalam Islam tidak mengenal Nikah Sirri, karena setiap

perkawinan itu sah apabila dilakukan sesuai dengan syarat-syarat dan

rukun perkawinan sesuai dengan ajaran dan kaidah-kaidah norma

agama Islam. Apabila perkawinan yang dilakukan itu sah menrut

agama tentunya anak yang lahir dalam perkawinan itu sah. Sehingga

ukewajiban orang tua kepada anak hendaknya terpenuhi dengan

(49)

“Para ibu menyususi anaknya dua tahun secara

sempurna, bagi yang menginginkan untuk

menyempurnakan masa menyusui, dan bagi yang memiliki anak (ayah) wajib untuk menafkahi isteri mereka dan memberikan pakaian secara baik (Q.S. Al-Baqarah ayat [233])”

Didasarkan Indonesia merupakan negara hukum dengan begitu banyak

agama dan norma-norma yang ada tentunya akan merasa sulit apabila terjadi

perbedaan dalam suatu hal, oleh karena itunya dikeluarkanlah undang-undang

dan peraturan-peraturan lainnya. Perkawinan yang tidak dicatatkan tidak

mempunyai kekuatan hukum maka anak yang timbul atas perkawinan

tersebut juga tidak mendapatkan kekuatan hukum dari kedua orang tuanya.

Kekuatan hukum ini menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua

dan anak. Karena tidak berkekuatan hukum maka hak dan kewajiban orang

tua dan anak yang semestinya timbul menjadi hilang. Pasal 43

Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974menjelaskan anak yang lahir diluar

perkawinan hanya mempunyai keperdatan dengan ibunya. Hak dan kewajiban

yang harusnya ada antara orang tua dan anak terbatas pada anak dan ibunya

saja.

2.3.

Tinjauan tentang Hukum Waris

2.3.1 Pengertian Hukum Waris Islam

Pasal 171 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa yang

dimaksud dengan hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang

(50)

siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya

masing-masing.

Hukum Kewarisan Islam disebut juga hukum fara’id, jamak dari kata

farida, erat sekali hubungannya dengan kata fard yang berarti kewajiban yang

harus dilaksanakan. Hukum Kewarisan Islam pada dasarnya bersumber pada

beberapa ayat dari firman Allah SWT dalam Al Qur’an terutama surat

An-Nisa’ (4) ayat 11, 12, 176 dan sunnah Nabi (Ali, 2004:313).

An-Nisa’ (4) ayat (11)

(51)

ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu

mempunyai beberapa saudara, maka ibunya

mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian

tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa'atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

An-Nisa’ (4) ayat (12)

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya .Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika

kamu mempunyai anak, maka para isteri

(52)

tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan

yang tidak meninggalkan ayah dan tidak

meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.

An-Nisa’ (4) ayat (176)

Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang

kalalah)387. Katakanlah : "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu) : jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan

mempunyai saudara perempuan, maka bagi

(53)

tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Salah satu sabda Nabi dalam Hadis riwayat Muttafaq ‘alaih yang

diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: “Nabi SAW bersabda: Berikanlah

bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Dan sisanya untuk

orang laki-laki yang lebih utama (dekat kekerabatannya)” (Rofiq, 2003: 380)

Sehingga dapat disimpulkan bahwa Hukum Waris adalah suatu hukum

yang mengatur tentang hak dan kewajiban serta tata cara pembagian harta

peninggalan dari seseorang yang sudah meninggal (Pewaris) kepada para

keluarga dan kerabat-kerabatnya yang ditinggalkan (ahli waris).

2.3.2 Syarat-syarat Pewarisan

Terdapat tiga komponen yang sangat pokok dalam melakukan system

pewarisan, dimana tanpa adanya tiga komponen tersebut sistem pewarisan

tidak dapat terjadi. Tiga Komponen tersebut ialah :

2.3.2.1Pewaris

Pada Pasal 171 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam, menyebutkan

Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan

meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam,

meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Pewarisan tidak dapat

terlaksana tanpa adanya pewaris.

Tidak semua orang dapat dikatkan sebagai pewaris salah satu yang

(54)

disyaratkan telah meninggal dunia, pewaris juga disyaratkan beragama

Islam dan mempunyai ahli waris dan harta peninggalan. Syarat-syarat ini

sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam fiqh mawaris.

2.3.2.2Ahli Waris

Pasal 171 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam, Ahli waris adalah orang

yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau

hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak

terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Ahli waris dalam Hukum Islam dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:

1. Ahli waris nasabiyah yaitu ahli waris yang mendapat warisan

karena adanya hubungan darah

2. Ahli waris sababiyah yaitu ahli waris yang mendapat warisan

karena adanya suatu sebab yaitu perkawinan yang sah dan atau

karena memerdekakan hamba (hamba sahaya) (Rofiq, 2003:

383).

Dilihat dari bagian yang diterima atau haknya ahli waris dibedakan

menjadi tiga yaitu :

1. Ahli waris Ashab al-farud yaitu ahli waris yang telah

ditentukan bagian-bagiannya. Misalkan 12, 13 dan lain-lainya.

2. Ahli waris Ashab al-usubah yaitu ahli waris yang ketentuan

bagiannya adalah menerima sisa setelah diberikan kepada

ashab al-farud, seperti anak laki-laki, ayah, paman dan lain

(55)

3. Ahli waris Zawi al – arham yaitu orang yang sebenarnya

mempunyai hubungan darah dengan pewaris, namun karena

dalam ketentuan nas tidak diberi bagian, maka mereka tidak

berhak menerima. Kecuali ahli waris tersebut termasuk

golongan Ahli waris ashab al-farud dan Ahli waris ashab

al-usubah.

Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan ahli waris terdiri dari

beberapa kelompok sebagai berikut :

1. Menurut hubungan darah yakni golongan laki-laki yang terdiri

dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek

dan golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan,

saudara perempuan dari nenek.

2. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda.

Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat

warisan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda.

Berdasarkan Pasal 174, 181, 182 dan 185 Kompilasi Hukum Islam

,golongan-golongan ahli waris yang telah disebutkan diatas tersebut terdiri

atas:

1. Ahli waris laki, ialah ayah, anak laki, saudara

laki-laki, paman, kakek dan suami.

2. Ahli waris perempuan, yaitu ibu, anak perempuan, saudara

(56)

3. Ahli waris yang dimungkinkan sebagai ahli waris pengganti

adalah seperti cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki

atau perempuan.

4. Tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Terhalangnya seseorang menjadi ahli waris sesuai Pasal 173

Kompilasi Hukum Islam apabila dengan putusan hakim yang telah

mempunyai ketetapan hukum tetap dikarenakan :

1. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau

menganiaya berat pada pewaris.

2. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan

bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam

dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih

berat.

2.3.2.3Harta Peninggalan

Menurut Pasal 171 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam, harta

peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa

benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.

Sedangkan tentang harta waris dijelaskan pada Pasal 171 huruf (e)

Kompilasi Hukum Islam menyebutkan harta waris adalah harta bawaan

ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan

pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah

(tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.

(57)

1. Benda dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan,

dimaksudkan ialah benda tersebut dapat berwujud ataupu tidak dan

dapat bergerak mauun tidak bergerak.

2. Hak-hak kebendaan ialah hak yang dapat dimiliki terhadap benda

tersebut.

3. Hak-hak yang bukan kebendaan, misalkan hak tetangga.

Pada aturan umum dalam Pada Bab 1 butir (d) dan (e) Kompilasi

Hukum Islam membedakan antara harta peninggalan dengan harta warisan

menyebutkan:

“Harta Peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh seorang pewaris baik yang berupa harta benda

yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.

Sedangkan Harta Warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meningganya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran uang dan pemberian untuk kerabat.”

2.3.3 Asas-asas Pewarisan

Dalm pembangian waris terdapat beberapa asas-asas yang ikut

mendukung keberadaannya yaitu :

2.3.3.1Asas Ijbari

Yang dimaksudkan dalam asas ini ialah peralihan harta sesorang yang

meninggal dunia kepada ahli warinya berlaku dengan sendirinya tanpa

menurut kehendak pewaris ataupun ahli waris (Muhibbin, 2009:23 ).

Asas ini mengatur mengenai cara peralihan harta warisan, juga disebut

(58)

bahwa sisa dari pengeluaran yang dimaksud adalah merupakan harta

warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak.

Ketentuan asas ini sesuai dengan surat An.Nissa ayat 7 yang

menyatakan sebagai berikut :

Bagi orang laki-laki ada hak bagian harta peninggalan ibu bapak dan kerabat, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) harta peninggalan ibu bapak dan kerabat, baik sedikit ataupun banyak menurut bagian yang ditetapkan”

2.3.3.2Asas Bilateral

Asas Bilateral ialah bahwa seseorang menerima hak warisan dari

kedua belah pihak garis kerabat, yaitu garis keturunan perempuan maupun

garis keturunan laki-laki (Suhrawardi K. Lubis, 2004:60)

2.3.3.3Asas Individual

Setiap ahli waris berhak mendapatkan bagian yang semestinya ia

dapatkan tanpa terikat terhadap ahli waris yang lain. (Suhrawardi K. Lubis,

2004:60)

2.3.3.4Asas Keadilan Berimbang

Yang dimaksudkan dalam asas ini ialah keseimbangan antara hak dan

kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan yang akan

(59)

2.3.3.5Asas Kewarisan Semata Karena Kematian

Asas ini menyatakan bahwa kewarisan ada kalau ada yang meninggal

dunia tercermin dalam rumusan berbagai istilah yaitu hukum kewarisan,

pewaris, ahli waris dan harta peninggalan dalam Pasal 171 pada bab

ketentuan umum (Ali, 2004: 322).

Tanpa adanya kematian pembagian warisan tidak akan terjadi,

walaupun ketika ia hidup dapat memanfaatkan hartanya utuk dapat

dibagikan kepada kerabat yang lain. Namun dalam hukum kewarisan Islam

antara wasiat dengan kewarisan diuraikan secara terpisah

2.3.4 Bagian-bagian Waris dalam Hukum Islam

Harta peninggalan sebagai harta waris terlebih dahulu harus diselesaikan

masalah hutang piutang pewaris (yang meninggal) dan biaya pemakaman

serta wasiat yang dibolehkan (bila ada). Disamping itu bila si mayit

meninggalkan istri (janda) atau suami (duda) dan masih terikat perkawinan

perlu dipisahkan lebih dahulu antara harta bawaan dan harta

Gambar

Tabel 4.1 Bagian Waris Dalam Hukum Islam .......................................................
Tabel 1

Referensi

Dokumen terkait

pada silabus, modul, lembar kerja siswa (LKS), rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), modul, dan soal evaluasi disisipkan aspek NEP ( New Ecological Paradigm

Hasil Penelitian diperoleh hasil material logam induk adalah baja ST 42 dengan sifat sifat mekanis sebagai berikut Kekuatan tarik: 43,802 Kg/mm 2, Regangan patah: 4,833 % , Reduksi

Daya tarik wisata pantai yang menempati prioritas utama dalam pengembangan adalah Pantai Marina didasarkan pada skor potensi gabungan tertinggi, disusul dengan

PERTUMBUHAN ALOMETRI DAN TINJAUAN MORFOLOGI SERABUT OTOT DADA (M.

Kriteria unjuk kerja merupakan bentuk pernyataan yang menggambarkan kegiatan yang harus dikerjakan untuk memperagakan hasil kerja/karya pada setiap elemen

PEMERINTAH KABT}PATEN BENGKULU SELATAI{.. DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN

kesempatan dari dokter spesialis karena dokter spesialis tidak selalu berada di lingkungan rumah sakit/ UGD selama 24 jam, maka untuk tindakan medik yang dilakukan atas

Murid akan dapat melakukan kemahiran bola sepak dalam permainan kecil dan sebagai aktiviti riadah.. NILAI Semangat pasukan -Kerjasama ABM Bola sepak Bola jaring