• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan model pembelajaran kooperatif informal tipe Formulate-Share-Listen-Create (FSLC) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penerapan model pembelajaran kooperatif informal tipe Formulate-Share-Listen-Create (FSLC) untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa"

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:

BENNI AL AZHRI NIM : 109017000040

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

i

Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, April 2014.

Penelitian ini dilakukan di SMP Muslim Asia Afrika Pamulang Tangerang Selatan tahun ajaran 2013/2014, bertujuan untuk menganalisis dan membandingkan kualitas peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis antara siswa yang diterapkan Model Pembelajaran Kooperatif Informal Tipe Formulate-Share-Listen-Create (FSLC) dan siswa yang diterapkan pembelajaran konvensional. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimen semu dengan desain Matching Pretest-Posttest Control Group Design. Sampel penelitian diperoleh sebanyak dua kelas dengan teknik cluster random sampling yang terdiri dari kelas eksperimen (FSLC) sebanyak 19 siswa dan kelas kontrol (konvensional) sebanyak 18 siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang diterapkan model pembelajaran kooperatif informal tipe Formulate-Share-Listen-Create (FSLC) secara signifikan lebih baik daripada siswa yang diterapkan pembelajaran konvensional. Kualitas peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa pada kelas FSLC berada pada kategori “sedang”, hal ini lebih baik daripada kelas konvensional yang berada pada kategori “rendah”. Dari keempat indikator kemampuan berpikir kreatif matematis siswa (kelancaran, keluwesan, orisinalitas dan elaborasi), kualitas peningkatan indikator keluwesan dan orisinalitas pada kelas FSLC lebih baik yaitu berada pada kategori “sedang”, sedangkan kelas konvensional berada pada kategori “rendah”. Untuk kedua indikator lainnya, baik kelas FSLC maupun konvensional berada pada kategori yang sama yaitu “sedang”.

(6)

ii

of Mathematics Education Faculty of Tarbiyah and Teaching Science UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, April 2014 .

This research was conducted at SMP Muslim Asia Afrika Pamulang South Tangerang academic year 2013/2014, aimed to analyze and compare the improvement quality of mathematical creative thinking skills among students who were applied FSLC and students who were applied the conventional learning. The method used in this study was a quasi-experimental method with a pretest-posttest Matching Control Group Design. Samples were obtained as many as two classes by cluster random sampling technique consisting of experimental class (FSLC) as many as 19 students and control class (conventional) as many as 18 students. The results showed that the students' mathematical creative thinking skills who were applied FSLC were significantly better than students who were applied conventional learning. Improvement quality of mathematical creative thinking skills of students in the FSLC class was in the category "medium", it was better than conventional class which was in the category "low". Of the four indicators of students' mathematical creative thinking skills (fluency, flexibility, originality, and elaboration), improvement quality indicators for flexibility and originality in FSLC class were stated in the "moderate" category, while in the conventional class they were in the "low" category. For the other two indicators, both FSLC and conventional classes were in the same category as "moderate".

(7)

iii

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa mencurahkan rahmat, hidayat dan hikmah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Salawat dan salam senantiasa dicurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan para pengikutnya sampai akhir zaman.

Selama penulisan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tidak sedikit kesulitan yang dialami. Namun, berkat kesungguhan hati, perjuangan, doa, dan semangat dari berbagai pihak untuk penyelesaian skripsi ini, semua dapat teratasi. Oleh sebab itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ibu Nurlena Rifa’I, M.A, Ph.D., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Kadir, Ketua Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Abdul Muin, S.Si, M.Pd, Sekretaris Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Abdul Muin, S.Si, M.Pd sebagai Dosen Pembimbing I dan Ibu

Khairunnisa, S.Pd, M.Si sebagai Dosen pembimbing II yang telah memberikan waktu, bimbingan, arahan, motivasi, dan semangat dalam membimbing penulis selama ini. Terlepas dari segala perbaikan dan kebaikan yang diberikan, semoga Bapak dan Ibu selalu berada dalam kemuliaanNya. 5. Bapak Otong Suhyanto, M.Si sebagai dosen pembimbing akademik yang telah

memberikan waktu, bimbingan, arahan, motivasi, dan semangat dalam membimbing penulis selama ini.

(8)

iv

Matematika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

9. Bapak Sukardi, S. PdI selaku Kepala SMP Muslim Asia Afrika Pamulang yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian. 10.Seluruh dewan guru SMP Muslim Asia Afrika Pamulang, khususnya Ibu Fitri,

S.E selaku guru mata pelajaran yang telah membantu penulis dalam melaksanakan penelitian ini. Serta siswa dan siswi SMP Muslim Asia Afrika Tangerang Selatan, khususnya kelas VII.A dan VII.B.

11.Teristimewa untuk kedua orangtuaku tercinta, Papa dan Mama, yang tak henti-hentinya mendoakan, melimpahkan kasih sayang dan memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis. Serta kepada adik-adik kesayangan Angga dan Amel.

12.Syifa Nurjanah yang telah memberikan dukungan, motivasi, semangat, dan doanya kepada penulis.

13.Teman-teman Jurusan Pendidikan Matematika angkatan 2009, Erdy Poernomo, S.Pd, Hajroni, Arif, Ilham, Rifan, Thoyibah, dan seluruh teman-teman PMTK B 2009.

14.Kelas kelas angkatan 2008 dan 2007 yang membantu mempermudah penulis dalam menyusun skripsi. Serta adik kelas angkatan 2010 dan 2011yang telah memberikan doa dan motivasi kepada penulis dalam menyusun skripsi.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis meminta kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan di masa yang akan datang. Akhir kata semoga skripsi ini dapat berguna bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

Jakarta, April 2014

Penulis

(9)

v

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR BAGAN ...ix

DAFTAR DIAGRAM ... x

DAFTAR LAMPIRAN ...xi

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Pembatasan Masalah ... 6

D. Perumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II: KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN A. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis (KBKM) ... 9

B. Menilai Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis ... 13

C. Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis ... 16

D. Pembelajaran Kooperatif Informal Tipe FSLC ... 19

E. Pembelajaran Konvensional ... 24

F. Penelitian yang Relevan ... 26

G. Kerangka Berpikir ... 27

H. Hipotesis Penelitian ... 29

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 31

B. Metode dan Desain penelitian ... 31

(10)

vi

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ... 45

1. Kemampuan Awal Berpikir Kreatif Matematis ... 45

2. Kemampuan Akhir Berpikir Kreatif Matematis ... 47

3. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis ... 49

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 53

C. Hambatan dalam Penelitian ... 66

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 67

B. Saran ... 67

(11)

vii

Tabel 3.1 Jadwal Kegiatan Penelitian ... 31

Tabel 3.2 Desain Penelitian ... 32

Tabel 3.3 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Materi Himpunan ... 34

Tabel 3.4 Rubric for Creative Thinking Skills Evaluation ... 35

Tabel 3.5 Kategorisasi Indeks Gain Ternormalisasi ... 43

Tabel 4.1 Deskripsi Kemampuan Awal Berpikir Kreatif Matematis Siswa ... 45

Tabel 4.2 Hasil Uji Normalitas Tes Awal Kelas Eksperimen dan Kontrol ... 46

Tabel 4.3 Hasil Uji Homogenitas Tes Awal Kelas Eksperimen dan Kontrol ... 46

Tabel 4.4 Hasil Uji Kesamaan Rata-rata Tes Awal Kelas Eksperimen dan Kontrol ... 47

Tabel 4.5 Deskripsi Kemampuan Akhir Berpikir Kreatif Matematis Siswa .... 47

Tabel 4.6 Hasil Uji Normalitas Tes Akhir Kelas Eksperimen dan Kontrol ... 48

Tabel 4.7 Hasil Uji Homogenitas Tes Akhir Kelas Eksperimen dan Kontrol .. 48

Tabel 4.8 Hasil Uji Kesamaan Rata-rata Tes Akhir Kelas Eksperimen dan Kontrol ... 49

Tabel 4.9 Deskripsi Gain Ternormalisasi Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa ... 50

Tabel 4.10 Hasil Uji Normalitas Gain Ternormalisasi Kelas Eksperimen dan Kontrol ... 50

Tabel 4.11 Hasil Uji Homogenitas Gain Ternormalisasi Kelas Eksperimen dan Kontrol ... 51

Tabel 4.12 Hasil Uji Kesamaan Rata-rata Gain Ternormalisasi Kelas Eksperimen dan Kontrol ... 51

(12)

viii

... 54

Gambar 4.2 Contoh jawaban posttest siswa eksperimen pada indikator kelancaran ... 55

Gambar 4.3 Contoh jawaban posttest siswa kontrol pada indikator kerincian . 56 Gambar 4.4 Contoh jawaban posttest siswa eksperimen pada indikator kerincian ... 56

Gambar 4.5 Contoh jawaban posttest siswa kontrol pada indikator keluwesan ... 57

Gambar 4.6 Contoh jawaban posttest siswa eksperimen pada indikator keluwesan ... 58

Gambar 4.7 Contoh jawaban posttest siswa kontrol pada indikator orisinalitas ... 59

Gambar 4.8 Contoh jawaban posttest siswa eksperimen pada indikator orisinalitas ... 59

Gambar 4.9 Langkah Penerapan FSLC Tahap Formulate ... 61

Gambar 4.10 Langkah Penerapan FSLC Tahap Share & Listen ... 62

Gambar 4.11 Langkah Penerapan FSLC Tahap Create ... 62

Gambar 4.12 Siswa Mempresentasikan Hasil Diskusi Kelompoknya ... 63

Gambar 4.13 Siswa Memperhatikan Penjelasan Guru ... 64

Gambar 4.14 Siswa Mencatat Materi yang Disampaikan Guru ... 64

(13)
(14)
(15)

xi

Lampiran 2 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelas Kontrol ... 86

Lampiran 3 Lembar Kerja Siswa (LKS) ... 94

Lampiran 4 Kisi-kisi Instrumen ... 115

Lampiran 5 Instrumen Tes KBKM ... 117

Lampiran 6 Kunci Jawaban Instrumen Tes KBKM ... 119

Lampiran 7 Pedoman Penskoran Instrumen Tes KBKM ... 124

Lampiran 8 Hasil Wawancara Validitas Muka (Face Validity) ... 127

Lampiran 9 Hasil Uji Coba Instrumen Tes KBKM ... 130

Lampiran 10 Hasil Uji Validitas Instrumen Tes KBKM ... 131

Lampiran 11 Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Tes KBKM ... 132

Lampiran 12 Hasil Uji Taraf Kesukaran Instrumen Tes KBKM ... 133

Lampiran 13 Hasil Uji Daya Beda Instrumen Tes KBKM ... 134

Lampiran 14 Hasil Pretest, Posttest, dan N-Gain Kelas Eksperimen ... 135

Lampiran 15 Hasil Pretest, Posttest, dan N-Gain Kelas Kontrol ... 136

Lampiran 16 Hasil Pretest, Posttest, dan N-Gain Kelas Eksperimen Per Indikator KBKM ... 137

Lampiran 17 Hasil Pretest, Posttest, dan N-Gain Kelas Kontrol Per Indikator KBKM ... 138 Lembar Uji Referensi

Surat Izin Penelitian

(16)

1 A. Latar Belakang Masalah

Sejak zaman dahulu hingga sekarang telah terjadi banyak sekali perubahan dalam setiap aspek kehidupan, mulai dari yang paling sederhana hingga yang paling kompleks. Pada zaman dahulu penduduk yang mengalami empat musim dalam setahun (semi, panas, gugur, dan dingin) sangat kesulitan untuk hidup jika musim dingin tiba karena mereka tidak memiliki rumah permanen yang bisa

melindungi mereka dari dinginnya salju. Namun jika dibandingkan dengan zaman sekarang, salju bukan lagi masalah sebab mereka telah memiliki teknologi

arsitektur yang sangat canggih untuk membuat rumah bertungku perapian yang menghangatkan mereka, bahkan sekarang tidak sedikit pemukiman yang memiliki pemanas ruangan portable yang lebih efisien sebab tidak memerlukan tempat khusus dan tidak perlu membakar kayu sehingga tidak menimbulkan polusi udara. Sejak dahulu manusia juga sudah terbiasa dengan kegiatan migrasi dari tempat asal mereka ke tempat lain yang sangat jauh untuk ditempuh demi mencari wilayah penghidupan yang lebih baik. Namun karena jauhnya jarak yang ditempuh, banyak kendala yang dihadapi mengenai perbekalan yang menipis, perampokan di jalanan, atau bisa juga karena medan yang susah dilalui menyebabkan manusia pada saat itu berpikiran untuk menciptakan suatu alat yang bisa membawa mereka ke tempat yang jauh dengan cepat dengan sedikit hambatan. Setelah sekian lama, alat yang diimpikan tersebut sekarang telah tercipta yaitu pesawat terbang.

(17)

…. سفنأب ا ا رِّغي ىَّح قب ا رِّغي ا ه لا َّإ….

“…. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum

sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka

sendiri ….”. (QS. Ar-Ra’d: 11)

Kombinasi dari cara berpikir dan terobosan-terobosan atau produk baru inilah yang disebut sebagai kreativitas.1 Kreativitas menjadikan manusia lebih mampu bertahan seiring perkembangan zaman.

Indonesia sebagai bangsa yang besar pun harus menjadi bangsa yang kreatif agar mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Dengan penduduk yang jumlahnya lebih dari dua ratus juta orang, seharusnya banyak sekali ide dan produk kreatif tercipta untuk menyelesaikan berbagai masalah yang dialami masyarakat Indonesia. Ironisnya berdasarkan penelitian Martin Prosperity Institute, indeks kreativitas bangsa Indonesia berada pada peringkat ke 81 dari 82 negara.2

[image:17.595.113.506.280.694.2]

Tabel 1.1

Overall Global Creativity Index Ranking

….

1

Yeni Rahmawati & Euis Kurniati, Strategi Pengembangan Kreativitas pada Anak Usia Taman Kanak-kanak, (Jakarta: Kencana, 2010), Cet.1, h. 14.

2

(18)

Faktor paling utama yang menjadi indikator pengukuran kreativitas pada penelitian itu adalah teknologi dan talenta. Teknologi dinilai dari tiga aspek yaitu besarnya anggaran keuangan untuk peneltian, sumber daya manusia yang menjadi peneliti, dan hak paten yang dimiliki perkapita3 sedangkan talenta dinilai dari pencapaian proses pendidikan dan sebaran pekerjaan yang diraih lulusan sekolah (misalnya teknologi, sains, bisnis, arsitektur).4 Dilihat dari segi teknologi, Indonesia berada pada peringkat 74 dari 75 negara sedangkan dari segi talenta Indonesia berada pada peringkat 80 dari 82 negara.

Tidak hanya itu, studi lain juga mengungkapkan bahwa kreativitas bangsa Indonesia masih belum baik, hal ini diungkapkan berdasarkan Global innovation Index yang dirilis oleh Johnson Cornell University, INSEAD Business School, dan WIPO (World Intelectual Property Organization).5 Khusus pada bidang Knowledge and technology output dan Creative output berturut-turut Indonesia berada pada peringkat ke 81 dan 57 dari 142 negara.

Rendahnya tingkat kreativitas bangsa Indonesia tentunya tidak luput dari

hasil pendidikan yang diterapkan. Pendidikan bertanggung jawab untuk memandu dan memupuk bakat-bakat yang terdapat dalam diri anak Indonesia sehingga kelak menjadi manusia-manusia yang kreatif dan tanggap dalam menyelesaikan persoalan sehari-hari.6 Salah satu bentuk pendidikan pokok yang ada di Indonesia adalah melalui wajib belajar 9 tahun dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Apapun bentuk kreativitasnya, tentu dimulai dari proses berpikir kreatif. Pada semua materi pembelajaran yang ada di sekolah, matematika salah satu mata pelajaran yang sangat menonjolkan proses berpikir. Mulai dari mengidentifikasi pola bilangan, geometri, memprediksi peluang suatu kejadian hingga penyelesaian

3

Ibid, p. 4. 4

Ibid, p. 7.

5

Indonesia Kreatif, Global Innovation Index 2013, diakses dari http://gov.indonesiakreatif.net/global-innovation-index-2013/, pada 12 April 2014.

6

(19)

masalah yang lebih kompleks dapat dipikirkan solusinya melalui pembelajaran matematika. Bahkan matematika juga menjadi landasan utama dalam perkembangan teknologi. Melihat fakta ini, dapat dikatakan bahwa matematika memungkinkan proses berpikir kreatif dapat dilatih dengan baik.

Masalahnya adalah “apakah pembelajaran matematika di Indonesia selama ini kurang memupuk kemampuan berpikir kreatif siswa sehingga lulusannya kurang kreatif dalam menerapkan konsep-konsep matematika dalam menyelesaikan masalah?” Pakar statistika UII, Prof. Ahmad Fauzy menyebutkan bahwa pembelajaran matematika yang diterapkan di sekolah selama ini kurang membuat siswa berpikir kreatif. Bahkan materi matematika yang diajarkan jauh dari konteks dunia nyata. Sebagai ilmu pasti, matematika seharusnya memiliki keterkaitan erat dengan kehidupan manusia, bukan hanya teori.7

Presiden Asosiasi Guru Matematika Indonesia, Drs. Firman Syah Noor, M.Pd juga mengungkapkan hal serupa bahwa pembelajaran matematika di Indonesia saat ini belum dirancang untuk mendidik siswa agar memiliki high order thinking skill (HOTS). Konsep high order thinking skill merupakan kemampuan siswa untuk menyelesaikan masalah, membuat keputusan, berpikir kritis dan berpikir kreatif.8 Dari kedua pendapat pakar di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika di Indonesia memang belum diarahkan untuk memupuk kemampuan berpikir kreatif siswa.

Berbeda dengan Indonesia, beberapa negara yang indeks kreativitasnya tinggi seperti Jepang dan Belanda sudah cukup lama memulai pembelajaran matematika yang berorientasi kepada high order thinking skill. Hal ini dapat diidentifikasi melalui berbagai pendekatan yang diterapkan oleh negara-negara tersebut. Misalnya di Belanda, guru matematika di negara ini menggunakan konsep pendidikan matematika realistik (Realistic Mathematics Education). Inti dari

7

Ratih Keswara, Pembelajaran Matematika di Indonesia Masuk Peringkat Rendah, diakses dari http://nasional.sindonews.com/read/2013/11/11/15/804091/pembelajaran-matematika-di-indonesia-masuk-peringkat-rendah, pada 12 April 2014.

8

(20)

pembelajaran matematika seperti ini adalah penggunaan pengalaman siswa sehari-hari lalu dengan mendiskusikannya, para siswa mengkonversi realitas-realitas itu menjadi model-model matematis.9 Pendekatan seperti ini diduga mampu mengantarkan siswa dalam merespon setiap masalah dengan baik, karena dalam kehidupan sehari-hari, siswa telah mengenal masalah tersebut.

Di Jepang, para guru matematika di negara ini telah menggunakan pendekatan terbuka (the open-ended approach). Pembelajaran dengan pendekatan ini adalah dengan memberikan soal-soal yang memiliki beragam jawaban benar, penekanannya bukan pada perolehan jawaban akhir tetapi lebih kepada upaya mendapatkan beragam cara memperoleh jawaban dari soal yang diberikan. Beberapa negara lain seperti Finlandia, Australia dan Inggris juga menggunakan pendekatan ini.10 Karena sifatnya yang terbuka inilah yang membuat siswa semakin terpacu untuk menghasilkan beragam ide kreatif.

Melihat pembelajaran matematika di Indonesia yang jelas tertinggal dari negara-negara tersebut, sudah sewajarnya dilakukan perubahan agar kualitas lulusannya semakin kreatif. Ada banyak sekali perubahan yang dapat dilakukan,

salah satunya menyediakan proses pembelajaran yang mampu memupuk kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. Proses pembelajaran tersebut dapat mengikuti salah satu yang telah diterapkan oleh negara-negara maju di atas atau dapat juga mengkombinasikannya dalam suatu model pembelajaran tertentu, semua tergantung guru yang akan mengajarkannya, dan tentunya disesuaikan dengan kurikulum yang ada di Indonesia.

Salah satu model pembelajaran yang mampu mengakomodasi berbagai jenis pendekatan itu adalah model pembelajaran kooperatif informal tipe Formulate-Share-Listen-Create (FSLC). Berdasarkan pengkajian teori, pembelajaran kooperatif informal tipe FSLC ini dapat memupuk kemampuan berpikir kreatif matematis. Pada awal pembelajarannya guru memulai dengan memberikan suatu

9

MGMP Matematika MTs Jombang, Pembelajaran Matematika di Negara Maju, diakses dari http://math-mts-jombang.blogspot.com/2009/04/pembelajaran-matematika-di-negara-maju.html, pada 12 April 2014.

10

(21)

persoalan, persoalan atau masalah yang diberikan oleh guru ini sifatnya dinamis, sehingga dapat menggunakan masalah terbuka ataupun realistis. Lalu siswa diberikan kesempatan berpikir (formulate) secara individu untuk setidaknya memahami dan merinci (elaboration) informasi pada persoalan yang diberikan dan bahkan menemukan solusi awal (fluency & Originality) dan tidak lupa mencatatnya sebagai modal bertukar pendapat saat diskusi. Setelah itu siswa beserta teman di dalam kelompoknya saling bertukar pendapat (share & listen). Pada proses berdiskusi ini diharapkan keluwesan (flexibility) berpikir siswa makin terpupuk sebab dengan bertukar pikiran mereka akan mendapat cara pandang baru yang mungkin belum terpikirkan olehnya. Hal terakhir yang diharapkan dari proses diskusi adalah mereka mampu merumuskan (create) solusi yang cukup unik (originality) untuk di presentasikan di depan kelas.

Dibutuhkan penelitian dan kajian lebih jauh untuk membuktikan secara empiris bahwa pembelajaran kooperatif informal tipe Formulate-Share-Listen-Create (FSLC) memberikan peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis yang lebih baik daripada melalui pembelajaran konvensional di kelas. Atas dasar

inilah peneliti tertarik melakukan penelitian yang berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Informal Tipe Formulate-Share-Listen-Create (FSLC) Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, masalah yang teridentifikasi adalah bahwa proses pembelajaran matematika disekolah belum dipersiapkan untuk memupuk kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.

C. Pembatasan Masalah

(22)

2) Materi matematika yang diajarkan selama proses penelitian berlangsung adalah materi Himpunan kelas VII semester genap di SMP Muslim Asia Afrika Pamulang, Tangerang Selatan tahun ajaran 2013/2014. Adapun kemampuan berfikir kreatif dibatasi pada aspek kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), orisinalitas (originality) dan kerincian (elaboration).

a. kelancaran yaitu siswa mampu memberikan banyak jawaban atau menilai suatu pernyataan berdasarkan konsep yang diketahui terhadap masalah yang diberikan;

b. keluwesan yaitu siswa mampu memberikan pandangan berbeda terhadap cara atau jawaban dari masalah yang telah diselesaikannya;

c. orisinalitas yaitu siswa mampu menguraikan sendiri solusi berdasarkan keterbatasan informasi yang diperoleh dari masalah; dan

d. elaborasi yaitu siswa mampu merinci informasi yang tersirat didalam masalah.

3) Kualitas peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa pada penelitian ini dinilai berdasarkan interpretasi nilai indeks gain ternormalisasi.

4) Pembelajaran konvensional yang dimaksud adalah pembelajaran yang biasa diterapkan disekolah tempat penelitian berlangsung, yaitu model pembelajaran klasikal.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah terdapat perbedaan kemampuan berpikir kreatif matematis antara siswa yang telah diterapkan model pembelajaran kooperatif informal tipe FSLC dengan siswa yang ditrapkan pembelajaran konvensional?

(23)

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Membandingkan kemampuan berpikir kreatif matematis antara siswa yang telah diterapkan model pembelajaran kooperatif informal tipe FSLC dengan siswa yang pembelajarannya konvensional.

2. Menganalisis perbedaan kualitas peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa setelah diterapkan model pembelajaran kooperatif informal tipe FSLC maupun dengan pembelajaran konvensional.

F. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Memberikan informasi kepada pembaca mengenai bagaimana model pembelajaran kooperatif informal tipe FSLC dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.

2. Sebagai pembanding bagi peneliti lain yang ingin meneliti terkait hasil penelitian yang diperoleh.

(24)

9

A. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis (KBKM)

Pada awalnya kreativitas dipandang sebagai suatu kecakapan mental yang langka, seperti yang diungkapkan Weisberg bahwa dahulu kreativitas dipandang hanya dimiliki oleh orang jenius yang tanpa memerlukan usaha keras dan cepat dalam proses berpikir yang luar biasa1. Dari pandangan ini tersirat bahwa menurut teori terdahulu, kreativitas memang alamiah terdapat pada jiwa-jiwa jenius

sehingga tidak diperlukan adanya suatu perlakuan tertentu untuk dikembangkan pada orang yang dianggap tidak jenius.

Namun seiring berjalannya waktu, pandangan yang lebih modern pun muncul dengan gagasan yang bertolak belakang dengan gagasan sebelumnya. Mengutip dari Holyoak, Thagard dan Sternberg, bahwa kreativitas merupakan wilayah pemahaman yang mendalam dan fleksibel; cenderung dipengaruhi oleh proses pembelajaran dan pengalaman serta sering diasosiasikan dengan usaha dan refleksi dalam jangka waktu yang lama. Pandanganini juga meyebutkan bahwa aktifitas kreatif berawal dari kecenderungan untuk berpikir dan berperilaku kreatif.2 Pandangan modern ini menyiratkan bahwa kreativitas sebenarnya dimiliki oleh setiap orang, bukan hanya orang yang terlahir jenius, sehingga dapat dikembangkan melalui suatu proses pembelajaran agar menjadi lebih kreatif.

Mengenai definisinya, Haylock menyebutkan bahwa tidak ada definisi tunggal mengenai kreativitas yang secara umum diterima sekaligus digunakan dalam suatu penelitian. Secara umum kreativitas dapat dilihat dari dua sisi, yang pertama dilihat dari suatu cara berpikir spesial yang biasa disebut divergent thinking dan yang kedua dapat dilihat dari produk yang dianggap kreatif seperti

1

Edward A. Silver, Fostering Creativity through Instruction Rich in Mathematical Problem Solving and Problem Posing, diunduh dari http://www.emis.de/journals/ZDM/zdm973a3.pdf, pada 14 November 2013, p. 75.

2

(25)

hasil seni, musik, arsitektur, dll.3 Namun banyak ahli cenderung melihat kreativitas dari segi prosesnya yaitu proses berpikir, seperti yang diungkapkan Gallagher bahwa kreativitas merupakan proses mental yang dilakukan seseorang dalam menciptakan ide atau produk atau mengkombinasikan ide-ide dan produk itu dengan cara yang menurutnya baru.4 Malaguzzi dengan sangat gamblang mengatakan bahwa kreativitas akan lebih terlihat ketika orang lebih memperhatikan proses kognitif dari pada hasil yang dicapai.5 Maka berdasarkan beberapa pendapat ini dapat dinyatakan bahwa kreativitas dapat ditinjau dari proses mental kognitifnya yaitu berpikir kreatif.

Terdapat beberapa pendapat mengenai pengertian berpikir kreatif, menurut Munandar, berpikir kreatif atau berpikir divergen adalah kemampuan menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah berdasarkan data atau informasi yang tersedia6. Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, Brookhart menyatakan bahwa berpikir kreatif merupakan brainstorming atau pencurahan gagasan sebanyak-banyaknya atau menyusun ide-ide baru.7 Menurut Pehkonen, berpikir kreatif dapat didefinisikan sebagai kombinasi dari berpikir logis dan

berpikir divergen yang berdasarkan intuisi namun masih dalam keadaan sadar. Berpikir divergen menghasilkan banyak ide dalam menyelesaikan masalah sedangkan berpikir logis berperan dalam pengambilan keputusan atas ide yang banyak tadi.8 Dari segi redaksi mungkin terlihat berbeda, namun berdasarkan pendapat para ahli ini terlihat bahwa berpikir kreatif dapat diidentifikasi dari banyaknya ide yang dilahirkan siswa dalam menanggapi masalah yang diberikan kepadanya dan keragaman dari ide itu sendiri.

3

Derek Haylock, Recognising Mathematical Creativity in Schoolchildren, diunduh dari http://www.emis.de/journals/ZDM/zdm973a2.pdf, pada 12 September 2013, p. 68.

4

Yeni Rahmawati & Euis Kurniati, Strategi Pengembangan Kreativitas pada Anak Usia Taman Kanak-kanak, (Jakarta: Kencana, 2010), Cet.1, h. 13.

5

Johanna E. Dickhut, A Brief Review of Creativity, diakses dari http://www.personalityresearch.org/papers/dickhut.html, pada 24 Oktober 2013.

6

SC. Utami Munandar, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah: Petunjuk Bagi Para Guru dan Orang Tua, (Jakarta: PT. Grasindo, 1999), h. 48.

7

Susan. M. Brookhart, How to Asses Higher-Order Thinking Skills in Your Classroom. (Alexandra Virginia USA: ASCD, 2010), p. 125.

8

(26)

Selanjutnya mengenai berpikir kreatif, beberapa ahli juga mengungkapkan aspek-aspek untuk mengidentifikasi kemampuan berpikir kreatif. Torrance dan Balka yang sama-sama menggunakan aspek fluency, flexibility, dan novelty/originality.9 Guilford menyebutkan bahwa terdapat empat komponen utama dalam berpikir kreatif atau berpikir divergen yaitu fluency, flexibility, originality, dan elaboration.10 Senada dengan pendapat ini, Grieshober menyebutkan bahwa berpikir kreatif adalah proses menghasilkan ide-ide yang seringkali menekankan pada kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), orisinalitas (originality) dan elaborasi (elaboration) dalam berpikir.11 Tidak jauh berbeda, Munandar juga mengungkapkan hal yang sama dengan menambahkan aspek evaluasi.12 Hal serupa juga diungkapkan oleh Holland dengan menambahkan aspek sensitivitas (sensitivity)13. Terlihat bahwa semua ahli di atas menggunakan indikator yang berbeda-beda dalam mengidentifikasi kemampuan berpikir kreatif, namun kebanyakan peneliti sepakat memasukkan indikator kelancaran, keluwesan, orisinalitas dan elaborasi sebagai aspek utama dalam pengukuran kemampuan berpikir kreatif.

Terkait dengan pembelajaran matematika, telah diketahui bahwa pembelajaran matematika adalah pembelajaran yang menekankan pada proses kognitif atau berpikir. Bishop mengungkapkan bahwa seseorang memerlukan dua pola berpikir berbeda dalam bermatematika, yaitu berpikir kreatif dan berpikir

9

Edward A. Silver, op. cit, p. 76.

10

Hija Park, The Effects of Divergent Production Activities with Math Inquiry and Think Aloud of Students with Math Difficulty, diunduh dari

http://repository.tamu.edu/bitstream/handle/1969.1/2228/etd-tamu-2004.%20%5B15;jsessionid=5074B91F822F2637EB209F76CA80171F?sequence=1, pada 24 Oktober 2013, p. 15.

11

William E. Grieshober , Continuing a Dictionary of Creativity Terms and Definitions, diunduh dari http://www.buffalostate.edu/orgs/cbir/readingroom/theses/Grieswep.pdf, pada 24 Oktober 2013, p. 25.

12

SC. Utami Munandar, op. cit , h. 88.

13

(27)

analitis.14 Pernyataan ini mengindikasikan eksistensi berpikir kreatif di dalam matematika. Hal ini juga memberikan penegasan bahwa berpikir kreatif di dalam matematika merupakan hal yang penting untuk dikembangkan bukan hanya kemampuan prosedural atau analitis semata. Karena proses berpikir kreatif yang sedang dikaji ini berada di dalam pembelajaran matematika, maka proses ini dapat diistilahkan sebagai berpikir kreatif matematis.

Untuk memperjelas setiap indikator yang terdapat pada kemampuan berpikir kreatif di dalam proses pembelajaran, Munandar telah mendefinisikannya sebagai berikut:15 (1) kelancaran adalah kemampuan siswa dalam mencetuskan banyak gagasan untuk memecahkan masalah yang diberikan; (2) keluwesan adalah kemampuan siswa dalam memberikan berbagai solusi dari suatu masalah melalui sudut pandang yang berbeda atau variatif; (3) orisinalitas adalah kemampuan siswa dalam membuat kombinasi dari informasi yang diberikan dalam suatu masalah sehingga menghasilkan solusi yang unik; (4) elaborasi adalah kemampuan siswa dalam memberikan rincian terhadap ide yang didapat dari informasi pada suatu masalah.

Agar semakin terperinci, berikut diuraikan beberapa perilaku siswa pada setiap aspek kemampuan berpikir kreatif matematis berdasarkan ciri-ciri kemampuan berpikir kreatif matematis yang dikutip dari Munandar.16

1. Kelancaran :

a. Merespon pertanyaan dengan sejumlah jawaban

b. Dapat dengan cepat melihat kesalahan atau kekurangan pada suatu masalah

2. Keluwesan :

a. Memberikan bermacam-macam penafsiran terhadap suatu gambar, cerita atau masalah

b. Menerapkan suatu konsep atau azas dengan cara yang berbeda-beda

14

Erkki Pehkonen, op. cit , p. 63.

15

SC. Utami Munandar, loc. cit.

16

(28)

c. Jika diberikan suatu masalah biasanya memikirkan bermacam cara yang berbeda untuk menyelesaikannya.

3. Orisinalitas :

a. Memikirkan masalah-masalah atau hal-hal yang tidak terpikirkan oleh orang lain

b. Memilih cara berpikir yang lain daripada yang lain

c. Membuat kombinasi-kombinasi yang tidak lazim dari bagian-bagian informasi

4. Elaborasi :

a. Mencari arti yang lebih mendalam terhadap jawaban atau pemecahan masalah dengan melakukan langkah-langkah terperinci

b. Mengembangkan gagasan atau informasi yang didapat

Berdasarkan proses pengkajian teori di atas, dapat didefinisikan secara operasional bahwa kemampuan berpikir kreatif matematis (KBKM) adalah kemampuan memberikan gagasan atau ide untuk menyelesaikan suatu masalah

matematika berdasarkan indikator:

1. kelancaran yaitu siswa mampu memberikan banyak jawaban atau menilai suatu pernyataan berdasarkan konsep yang diketahui terhadap masalah yang diberikan;

2. keluwesan yaitu siswa mampu memberikan pandangan berbeda terhadap cara atau jawaban dari masalah yang telah diselesaikannya;

3. orisinalitas yaitu siswa mampu menguraikan sendiri solusi berdasarkan keterbatasan informasi yang diperoleh dari masalah; dan

4. elaborasi yaitu siswa mampu merinci informasi yang tersirat didalam masalah.

B. Menilai Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis

(29)

berpikir kreatif matematis dari tes yang dibuatnya sendiri yaitu TTCT (The Torrance Test of Creative Thinking) aspek yang diteliti pada tes ini adalah kelancaran, keluwesan dan kebaruan. Tes ini pada dasarnya sama dengan aktivitas problem posing dan problem solving.17

Lebih spesifik, Pehkonen menitikberatkan sumber penilaian kemampuan berpikir kreatif matematis melalui penugasan berbentuk penyelesaian masalah. Ditambahkan lagi bahwa masalah yang harus diselesaikan siswa agar kemampuan berpikir kreatif matematis dapat dinilai adalah melalui masalah terbuka atau Open-Ended Problem.18 Sama dengan Pehkonen, Mahmudi juga menggunakan masalah terbuka sebagai sumber penilaian KBKM, dikatakan bahwa indikator KBKM yang dapat dinilai melalui masalah terbuka adalah kelancaran, keluwesan, orisinalitas, dan elaborasi. Beberapa ahli lain seperti Getzels dan Jackson juga menggunakan cara yang sama untuk menilai KBKM siswa.19 Berdasarkan uraian ini terlihat bahwa tidak sedikit ahli yang memandang bagaimana siswa menyelesaikan masalah terbuka sebagai sumber penilaian KBKM.

Masalah dalam matematika dapat dikategorikan menjadi dua macam, yang pertama masalah tertutup (closed problems) dan yang kedua adalah masalah terbuka (open-ended problems). Menurut Shimada dan Becker masalah tertutup

adalah masalah yang tujuannya sudah jelas tercantum pada soal dan hanya memiliki satu jawaban yang tepat20, lebih rinci lagi, Yee mengungkapkan bahwa masalah tertutup adalah masalah yang hanya memiliki satu jawaban benar dengan cara yang sudah tetap berdasarkan data atau informasi yang jelas.21 Masalah

17

Edward A Silver, loc. cit.

18

Erkki Pehkonen, op. cit., 64.

19

Ali Mahmudi, Mengukur Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis, diakses dari http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Ali%20Mahmudi,%20S.Pd,%20M.Pd,%20Dr./M akalah%2014%20ALI%20UNY%20Yogya%20for%20KNM%20UNIMA%20_Mengukur%20Ke mampuan%20Berpikir%20Kreatif%20_.pdf, pada 24 Oktober 2013, h. 4.

20

Joseph B. W. Yeo, Mathematical Tasks : Clarification, Classification, and Choice of Suitable Task for Different Types of Learning and Assessment, diunduh dari http://math.nie.edu.sg/bwjyeo/publication/MMETechnicalReport2007_MathematicalTasks_ME20 0701.pdf, pada 24 Oktober 2013, p. 12.

21

(30)

seperti ini yang biasanya digunakan pada pembelajaran matematika disekolah sebab guru dapat dengan mudah menilai pekerjaan siswa.

Masalah terbuka adalah masalah yang memiliki banyak kemungkinan jawaban benar akibat dari cara yang tidak pasti yang disebabkan oleh kurangnya informasi pada soal.22 Lebih spesifik lagi Shimada dan Becker mengungkapkan bahwa karakteristik masalah terbuka adalah memiliki banyak jawaban benar23 atau metode dan pendekatan yang beragam dalam menyelesaikan masalah tersebut24. Untuk lebih memperjelas perbedaan antara masalah tertutup dan masalah terbuka, dapat dilihat dari contoh soal berikut:

Soal tertutup

Seekor beruang kutub memiliki berat tubuh sebesar 20 kali berat tubuh Ali. Jika diketahui berat tubuh Ali adalah 25 kg. Berapakah berat tubuh beruang kutub itu?

Soal terbuka

Seekor beruang kutub memiliki berat tubuh sebesar 500 kg. berapa banyak anak yang dibutuhkan untuk menyamai berat tubuh beruang kutub tersebut?

Jika diperhatikan, soal tertutup di atas telah memberikan informasi dengan jelas yaitu dengan kata kunci “20 kali”, maka siswa pun langsung merespon dengan mengingat konsep perkalian, lalu mulai mengerjakan soal itu dengan mengalikan berat tubuh Ali dengan 20, sehingga jawaban yang didapat pasti 500 kg. Jika siswa lain menjawab bukan 500 kg, maka siswa tersebut salah. Pada soal ini siswa tidak dituntut untuk berpikir lebih kreatif sebab semua data telah tersedia.

Untuk soal terbuka, dapat dilihat bahwa informasi yang diberikan sangat terbatas, atau dengan kata lain terdapat informasi yang hilang. Hal ini

menyebabkan siswa sedikit “kebingungan” untuk memilih konsep apa yang akan

digunakan, bisa saja perkalian, pembagian, pengurangan, atau penjumlahan.

22

Foong Pui Yee, op. cit., p. 137.

23

Joseph B. W. Yeo, loc. cit.

24

(31)

Siswa pun “terpaksa” membuat asumsi berapa berat anak-anak yang akan menjadi pembanding berat beruang kutub tersebut. Hal ini akan menghasilkan beragam jawaban dari setiap siswa dan memungkinkan terciptanya ide atau gagasan yang sangat unik sebab setiap siswa memiliki pendekatan yang berbeda dalam menghasilkan asumsi-asumsi tersebut.

Dari contoh di atas dapat dijelaskan bahwa masalah terbuka memungkinkan siswa untuk berpikir lebih fleksibel dalam menanggapi persoalan yang diberikan sehingga diharapkan muncul banyak ide atau gagasan yang unik. Atas dasar pertimbangan inilah yang menjadi alasan mengapa banyak ahli menggunakan masalah terbuka sebagai instrumen untuk menilai kemampuan berpikir kreatif matematis siswa (KBKM) siswa.

Dalam berbagai penelitian eksperimen maupun kuasi eksperimen, biasanya pengukuran suatu hasil perlakuan (termasuk kemampuan berpikir kreatif matematis) menggunakan disain tes awal dan tes akhir. Salah satu hal yang diukur adalah peningkatan yang terjadi sebelum dan sesudah perlakuan diberikan. Hal ini dikenal dengan nama Normalized Gain (Gain Ternormalisasi).25

Skor gain ternormalisasi diinterpretasikan kedalam bentuk kualitatif untuk menggambarkan kualitas peningkatan hasil perlakuan. Oleh karena itu dalam penelitian ini, sumber utama penilaian kemampuan berpikir kreatif matematis siswa adalah melalui hasil peningkatan skor tes siswa yang setiap butir soalnya bersifat terbuka (open-ended) dengan menggunakan analisis gain ternormalisasi.

C. Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis

Telah diketahui sebelumnya bahwa para ahli psikologi modern telah sepakat mengatakan kreativitas dapat dikembangkan. Tentu saja kemampuann berpikir kreatif matematis siswa pun juga dapat ditingkatkan. Ada banyak faktor yang memungkinkan meningkatnya kemampuan berpikir kreatif matematis siswa, misalnya penugasan yang sesuai dan situasi kelas yang mendukung.

25

(32)

Brookhart menyatakan bahwa penugasan yang baik untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa adalah penugasan yang sifatnya memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikannya dalam berbagai cara sehingga diharapkan jawaban atau tanggapan yang kreatif akan muncul terhadap penugasan itu.26 Makin sering tipe penugasan seperti ini diberikan, maka kemampuan berpikir kreatif matematis siswa akan semakin meningkat.

Tidak hanya mengenai penugasan, suasana kelas pun harus mendukung untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis. Terkait suasana di dalam kelas, Munandar menyatakan bahwa kegiatan belajar yang kreatif sering menuntut lebih banyak diskusi antar siswa.27 Diskusi merupakan interaksi antar siswa yang didalamnya siswa dapat bertukar pendapat mengenai gagasan dan pandangannya terhadap suatu informasi atau permasalahan. Hal ini sangat baik dalam meningkatkan keluwesan berpikir sebab saat berdiskusi, muncul banyak pendapat dari masing-masing siswa. Ketika pendapat itu tidak sejalan dengan pemahaman awal siswa, maka akan menimbulkan suatu konflik kognitif dalam pikiran siswa tersebut, sehingga memaksanya untuk memikirkan ulang hal yang telah

dipahaminya sejak awal. Dari proses ini lahirlah pemahaman baru yang lebih orisinal berdasarkan kombinasi pemahaman siswa tersebut dan siswa lain yang berdiskusi dengannya. Proses ini mendorong siswa untuk berpikir lebih kreatif.28 Oleh karena itu, guru juga sudah sewajarnya lebih luwes dalam mengharapkan ketenangan pada siswa.29 Siswa terkadang berdiskusi dengan suara yang cukup besar, dan bisa saja mereka membutuhkan suasana diskusi dengan lebih bebas misalnya dengan duduk bebas di lantai atau mengatur tempat duduk senyaman mungkin. Guru harus dapat membedakan antara kesibukan yang asyik sendiri dengan kesibukan yang menghasilkan suara yang produktif untuk menghasilkan banyak solusi terhadap masalah yang diberikan.

26

Susan. M. Brookhart, op. cit., p. 133.

27

Munandar, op. cit., h. 80.

28

Spencer Kagan & Miguel Kagan, Cooperative Learning, (California USA: Kagan Publishing, 2009), p. 3.7.

29

(33)

Mahmudi mengemukakan pendapatnya mengenai suasana yang mampu meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. Lingkungan yang dimaksud salah satunya adalah interaksi pembelajaran yang dapat diuraikan sebagai berikut:30 (1) menghormati pertanyaan yang tidak biasa, (2) menghormati gagasan yang tidak biasa serta imajinasi anak, (3) memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar atas prakarsa sendiri, (4) memberi penghargaan kepada anak, dan (5) meluangkan waktu bagi anak untuk belajar dan bersibuk diri tanpa suasana penilaian.

Salah satu solusi yang diajukan Mahmudi adalah dengan mengizinkan atau mentoleransi anak berbuat salah. Fakta menunjukkan bahwa individu-individu kreatif melahirkan karya-karya monumental setelah mereka mengalami beberapa kegagalan dan melakukan kesalahan.31 Ketika anak diizinkan untuk melakukan kesalahan dalam aktivitasnya, maka rasa khawatir terhadap dimarahi guru atau diejek teman akan berkurang sehingga kemampuan untuk berpikir kreatif dapat lebih dieksplorasi dalam diri mereka.

Ditambahkan oleh Mahmudi bahwa biasanya ide-ide kreatif muncul secara

spontan. Ide-ide ini akan segera hilang jika tidak segera digunakan. Oleh karena itu, membiasakan anak untuk menuliskan ide-ide mereka dengan segera dipandang sebagai cara strategis untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif mereka.32 Aktivitas seperti ini akan membantu anak memperkuat pemikiran mereka. Ide-ide kreatif yang spontan perlu ditata sedemikian sehingga lebih bermakna dengan cara menuliskannya.

Lebih khusus dalam pembelajaran matematika, kemampuan berpikir kreatif matematis akan tumbuh subur dalam suasana yang memberikan kebebasan kepada anak untuk mencoba dan mengeksplorasi berbagai ide-ide untuk memahami materi pelajaran atau menyelesaikan soal. Guru sebaiknya tidak segera

30

Ali Mahmudi, Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kreatif (1), diakses dari http://blog.uny.ac.id/mahmudi/2013/12/05/mengembangkan-kemampuan-berpikir-kreatif-1/, pada 23 Maret 2014.

31

Ali Mahmudi, Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kreatif (2), diakses dari http://blog.uny.ac.id/mahmudi/2013/12/05/mengembangkan-kemampuan-berpikir-kreatif-2/, pada 23 Maret 2014.

32

(34)

memberikan cara baku atau rumus formal kepada siswa untuk menyelesaikan soal, melainkan memberikan kebebasan terlebih dahulu kepada anak untuk menggunakan cara-cara mereka sendiri. Hal demikian akan mendorong anak berpikir kreatif.33 Walaupun akhirnya siswa menyadari bahwa cara yang mereka gunakan tidak efisien atau tidak sesuai, hal tersebut tetap harus diapresiasi sebagai kerja keras yang luar biasa dari mereka. Mereka akan menyadari bahwa terdapat beberapa cara penyelesaian, meskipun ada yang tidak efisien.

D. Pembelajaran Kooperatif Informal Tipe FSLC

Model pembelajaran pada dasarnya merupakan suatu kerangka konseptual yang menggambarkan langkah-langkah yang tertata rapih dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar.34 Melihat fungsinya ini, sudah menjadi keharusan bagi setiap guru yang hendak mengajar di dalam kelas untuk mempersiapkan model pembelajaran apa yang akan digunakan sehingga jalannya

pembelajaran menjadi terarah dan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai.

Dalam praktiknya terdapat banyak model pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru, salah satunya adalah model Pembelajaran Kooperatif. Artzt dan Newman menyatakan bahwa di dalam model pembelajaran kooperatif, siswa belajar dan bekerja secara bersama sebagai suatu tim untuk mencapai tujuan bersama yaitu menyelesaikan tugas-tugas kelompoknya.35 Prinsipnya, setiap siswa memiliki tanggung jawab terhadap kelompoknya bukan hanya satu atau dua orang siswa saja. Kagan menyatakan prinsip yang mendasari model pembelajaran

kooperatif yang dikenal dengan akronim “PIES”, yaitu Positive Interdependence,

33

Ibid.

34

Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif : Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Kencana, 2010), Cet.IV, h. 22.

35

(35)

Individual Accountability, Equal Participation, Simultaneous Interaction, berikut penjabarannya:36

a. Positive Interdependence (Saling Ketergantungan Positif) adalah proses penciptaan sikap saling ketergantungan antar siswa yang bersifat positif dalam arti bahwa siswa tidak akan merasa sukses kecuali semua siswa dalam kelompoknya sukses.

b. Individual Accountability (Tanggung Jawab Individu) meningkatkan motivasi untuk mempunyai andil dalam mencapai kesusksesan kelompoknya.

c. Equal Participation (Kesetaraan Partisipasi) memungkinkan siswa yang tadinya tidak biasa berpartisipasi dalam kelompok untuk terlibat dan berpartisipasi aktif apabila semua merasa posisi mereka sama.

d. Simultaneous Interaction (Interaksi Bersama), banyaknya partisipasi siswa dan efisiensi guru dalam mengajar akan meningkat drastis apabila guru menggunakan struktur interaksi siswa bersama-sama daripada memberi contoh secara langsung.

Salah satu bentuk dari model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran kooperatif Informal. Model pembelajaran kooperatif informal menempatkan siswa belajar bersama dalam kelompoknya dalam waktu yang sifatnya sementara, yang berlangsung untuk satu diskusi hingga satu kali pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran bersama-sama.37 Pembelajaran seperti ini berfungsi untuk memfokuskan perhatian siswa pada materi yang diajarkan, menciptakan suasana hati yang baik untuk belajar, dan memastikan siswa memproses materi yang diajarkan kepada mereka secara kognitif. Ditambahkan lagi bahwa proses yang terjadi di dalam pembelajaran kooperatif informal ini adalah pengajaran oleh guru lalu diikuti oleh diskusi siswa, dan begitu berulang terus hingga jam pelajaran usai.

36

Spencer Kagan & Miguel Kagan, op. cit., p. 4.2.

37

(36)

Perbedaan antara pembelajaran kooperatif formal dan informal adalah terletak pada lamanya posisi siswa sebagai tim.38 Jika pada pembelajaran kooperatif formal siswa bekerja sebagai tim dalam waktu yang cukup lama (bisa sampai beberapa minggu) untuk menyelesaikan suatu proyek atau penugasan tertentu, maka pada pembelajaran kooperatif informal dapat diterapkan pada sebagian dari suatu pertemuan kegiatan belajar mengajar dimana siswa menjadikan rekan satu kelompoknya sebagai partner untuk memperdalam pemahaman materi yang mereka dapat.

Salah satu variasi dari pembelajaran kooperatif informal yang umum dikenal adalah Think-Pair-Share (TPS). Model pembelajaran kooperatif informal tipe Think-Pair-Share pertama kali dikembangkan oleh Frank Lyman, dkk di Universitas Maryland. Secara sederhana dapat dijelaskan langkah-langkah pembelajaran TPS adalah:39

1. Siswa dipersiapkan dalam kelompok berpasang-pasangan; 2. Guru menyampaikan materi;

3. Guru memberikan pertanyaan terkait materi yang sudah disampaikan;

4. Siswa masing-masing memikirkan (think) jawaban;

5. Siswa saling berbagi hasil pemikirannya pada pasangannya (Pair); 6. Siswa mempresentasikan hasil diskusi mereka di depan kelas (Share). Pembelajaran melalui TPS ini sangat bermanfaat untuk memberi waktu lebih banyak kepada siswa untuk berpikir (think) dan saling membantu satu sama lain.40 Namun manfaat ini menjadi sedikit berkurang apabila siswa hanya berpikir saja tanpa mencatat apa yang terpikirkan olehnya, dengan asumsi bahwa kemungkinan lupa akan muncul, maka hal ini tentu menjadi kelemahan. Ketika memasuki fase berdiskusi (pair), maka gagasan yang tadinya terpikirkan oleh siswa, bisa saja

38

Wendy Jolliffe, Cooperative Learning in the Classroom: Putting It into Practice, (London: Paul Chapman Publishing, 2007), p. 43.

39

Robert E. Slavin, Cooperative Learning: Teori, Riset, dan Praktik, Terj. dari Cooperative Learning: theory, research, and practice oleh Nurulita Yusron, (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2008), Cet. I, h. 257.

40

(37)

hilang, akibatnya mereka akan menghabiskan waktu untuk memikirkan ulang ide tadi sehingga diskusi tidak berjalan lancar.

Salah satu solusi yang diajukan oleh Johnson, Johnson, dan Smith dari University of Minnesota yaitu menciptakan variasi baru dari model pembelajaran kooperatif informal yang mereka namakan Formulate-Share-Listen-Create (FSLC). Secara prinsip FSLC sama dengan TPS, dari proses pembelajaran ini diharapkan siswa memahami dengan baik materi yang akan atau telah disampaikan guru dan mampu memberikan ide atau gagasan mereka terhadap masalah yang diajukan guru kepadanya melalui tahapan berikut:41

a. Formulate yaitu siswa mencari ide untuk menjawab permasalahn yang diberikan guru lalu menuliskannya.

b. Share dan Listen yaitu saling mendengarkan ide yang teman berikan dalam kelompoknya

c. Create yaitu membentuk jawaban atas permasalahan yang diberikan guru berdasarkan hasil penyatuan ide-ide terbaik saat berdiskusi dalam kelompok.

Langkah-langkah penerapan model pembelajaran kooperatif informal tipe FSLC didalam kelas dijelaskan oleh Johnson, Johnson, dan Smith sebagai berikut:42

1. Persiapkan beberapa pertanyaan yang akan membantu siswa memahami dengan baik materi yang akan diajarkan. Lalu setelah di dalam kelas, bentuk lah siswa menjadi kelompok kecil (berpasang-pasangan atau kelompok bertiga). Jelaskan apa yang akan siswa lakukan selama proses pembelajaran, dan pentingnya bekerja sama untuk menemukan jawaban dari setiap masalah yang diberikan;

2. Sajikan materi pelajaran namun jangan terlalu lama agar konsentrasi siswa tidak terpecah, cukup sampaikan materi pengantar sebagai pengetahuan awal siswa;

41

Roger T. Johnson, David W. Johnson & Karl A. Smith, op. cit., p. 11.

42

(38)

3. Lalu beri siswa pertanyaan sebagai masalah yang terkait dengan materi pelajaran. Siswa diminta menyelesaikan masalah itu melalui tahap Formulate-Share-Listen-Create;

4. Setelah waktu diskusi dianggap cukup, guru memilih beberapa siswa untuk mempresesntasikan jawaban hasil diskusi kelompok mereka di depan kelas;

5. Ulangi tahap 1 sampai 4 hingga materi selesai;

6. Minta siswa lakukan diskusi penutup sebagai konfirmasi atas apa yang telah mereka pahami dari pembelajaran saat itu;

Masalah yang dapat digunakan untuk melaksanakan FSLC bentuknya sangat bervariasi, mulai dari meminta mereka merangkum materi yang baru disajikan, memberi reaksi terhadap konsep atau informasi yang baru saja disajikan, memprediksi apa yang akan dipelajari selanjutnya, menyelesaikan persoalan, mengaitkan masalah dengan materi yang lalu kemudian membuat pemahaman yang baru, dan lain-lain.43 Intinya adalah model pembelajaran ini sangat fleksibel, apapun jenis atau bentuk masalah dapat digunakan, tentunya harus disesuaikan

dengan tujuan pembelajaran yang harus dicapai siswa.

Karena tidak ada pembatasan secara khusus dalam model pembelajaran kooperatif informal tipe FSLC berapa kali siswa harus berada pada mode diskusi, maka dalam penelitian ini akan dibatasi mode diskusi sebanyak dua kali (double FSLC). Hal ini dikarenakan penyesuaian dengan banyaknya materi yang akan diajarkan dan juga ketersediaan waktu penelitian. Bagan 2.1 menggambarkan langkah penerapan FSLC dalam penelitian.

Ditinjau dari karakteristik model pembelajaran kooperatif informal FSLC ini, terlihat beberapa keunggulan seperti yang diungkapkan oleh Johnson, Johnson, dan Smith bahwa model pembelajaran seperti ini menuntun siswa terlibat aktif dalam memahami apa yang mereka pelajari. Hal ini juga memberikan waktu yang cukup bagi guru untuk untuk lebih banyak memperhatikan apa yang didiskusikan

43

(39)

siswa. Dengan memperhatikan diskusi siswa, guru akan mengetahui seberapa jauh siswa memahami materi pelajaran yang sedang dipelajari.44

Bagan 2.1

Langkah Penerapan FSLC

Susan Ledlow, seorang peneliti dari Arizona State University, mengatakan bahwa model pembelajaran FSLC ini sangat baik bila menggunakan

masalah-masalah yang sifatnya memiliki beragam cara penyelesaian.45 Hal ini menjadi kelebihan lain yang ditunjukan pada model pembelajaran FSLC yaitu fleksibilitasnya, dalam arti semua materi pelajaran bisa menggunakan model ini dan berbagai jenis persoalan pun dapat digunakan sebagai bahan diskusi termasuk masalah terbuka.

E. Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang biasa diterapkan sehari-hari oleh guru ketika mengajar di sekolah. Pembelajaran konvensional yang diterapkan di sekolah tempat dilaksanakan penelitian ini adalah pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran klasikal. Menurut Erman Suherman, dkk, model pembelajaran klasikal merupakan model pembelajaran

44

Ibid, p. 10.

45

Susan Ledlow, Using Think-Pair-Share in the College Classroom, diunduh dari http://www.hydroville.org/system/files/team_thinkpairshare.pdf, pada 21 April 2014, p.2.

Pembukaan

Lecturing Oleh Guru

Penutup FSLC Tahap

Kedua FSLC Tahap

(40)

yang biasa diterapkan sehari-hari oleh guru di sekolah. Salah satu pembelajaran klasikal yang biasa diterapkan di sekolah tempat penelitian adalah pembelajaran ekspositori.

Pembelajaran ekspositori merupakan salah satu metode yang masih berlaku dan banyak digunakan oleh guru-guru di sekolah. Dalam prakteknya, pembelajaran ekspositori merupakan pembelajaran yang banyak digunakan oleh guru adalah dimana guru lebih banyak bertutur di dalam kelas sedangkan siswa hanya menyimak penjelasan guru46. Pembelajaran ini menekankan pada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal.47 Jadi dalam pembelajaran ekspositori guru memberikan materi secara langsung kepada siswa, dan siswa menerima materi tanpa harus menemukan menggali pengetahuan mereka.

Langkah-langkah pembelajaran ekspositori dapat dirinci sebagai berikut48 : a. Persiapan, dalam tahap ini berkaitan dengan mempersiapkan siswa untuk

menerima pelajaran.

b. Penyajian, dalam tahap ini guru menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan persiapan yang telah dilakukan. Guru berusaha semaksimal mungkin agar materi pelajaran dapat dengan mudah ditangkap dan dipahami oleh siswa.

c. Korelasi, dalam tahap ini guru menghubungkan materi pelajaran dengan pengalaman siswa untuk memberikan makna terhadap materi pembelajaran. d. Menyimpulkan, adalah tahapan memahami inti dari materi pembelajaran

yang disajikan.

e. Mengaplikasikan, merupakan tahapan unjuk kemampuan siswa setelah menyimak penjelasan dari guru.

46

Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Prenada Media Group, 2009), Cet. 6, h. 178

47

Ibid., h.177.

48

(41)

Beberapa karakteristik pembelajaran ekspositori diantaranya adalah sebagai berikut:49

1. Penyampaian materi pelajaran secara verbal, artinya bertutur secara lisan merupakan alat utama dalam melakukan strategi ini.

2. Materi pelajaran yang disampaikan adalah materi pelajaran yang sudah jadi, seperti data atau fakta, konsep-konsep tertentu yang harus dihafal sehingga tidak menuntut siswa untuk berfikir ulang.

3. Tujuan utama pembelajaran adalah penguasaan materi pelajaran itu sendiri. Artinya, setelah proses pembelajaran berakhir siswa diharapkan dapat memahami materi pelajaran dengan benar.

Oleh karena itu pembelajaran ekspositori yang lebih menekankan pada pengumpulan fakta atau konsep tidak lagi relevan untuk diterapkan disebabkan banyaknya kelemahan-kelemahan yang terdapat didalamnya antara lain; proses pembelajaran bersifat statis dan komunikasi berjalan searah, siswa menjadi pasif dan tidak dapat mendorong siswa untuk berpikir kritis dan kreatif yang akan berdampak pada kualitas hasil pembelajaran.

F. Penelitian yang Relevan

1. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sunaryo dan Fitriana Yuli S yang

berjudul “Implementasi Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan Open Ended Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS) Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif

Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama” menunjukkan bahwa

terjadi peningkatan yang cukup signifikan anatara siklus 1 penelitian dan siklus 2 penelitian. Pada siklus pertama kemampuan berpikir kreatif matematis siswa berada pada kategori baik namun pada siklus kedua kategori meningkat menjadi sangat baik, jumlah siswa yang kemampuan berpikir kreatif matematisnya di bawah standar minimal berkurang dari 40% menjadi 18,5%. Disebutkan bahwa dengan adanya kesempatan berpikir dan diskusi pada model pembelajaran TPS, menjadikan siswa

49

(42)

lebih terlatih dan termotivasi untuk memberikan gagasan yang ada di pikirannya sehingga kemampuan berpikir kreatif mereka lebih terasah50 2. Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Dian Anggraini dan Utari Sumarmo

yang berjudul “Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematik Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Melalui Pendekatan Kontekstual dan Strategi Formulate-Share-Listen-Create

(FSLC)” menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kemampuan

pemahaman dan komunikasi matematika pada saat awal sebelum penelitian dilakukan baik di kelas FSLC maupun konvensional, keduanya berada pada kategori rendah, namun setelah dilakukan pembelajaran, baik kemampuan pemahaman maupun komunikasi matematik siswa kelas FSLC berada pada kategori “sedang”, sedangkan pada kelas konvensional

berada pada kategori “rendah”. Hal ini akibat pengaruh strategi FSLC yang melatih semua individu untuk mengkomunikasikan apapun ide mereka, sehingga kemampuan pemahaman dan komunikasi matematik siswa meningkat.51

G. Kerangka Berpikir

Kelemahan siswa Indonesia dalam menyelesaikan masalah matematika tidak lepas dari rendahnya kemampuan berpikir kreatif matematis yang mereka miliki. Hanya dengan menghapal rumus mereka akan mengalamai banyak kesulitan ketika dihadapkan pada masalah matematika terlebih yang sifatnya kompleks seperti masalah-maslah kontekstual atau terbuka.

Secara teoritis berdasarkan pengkajian teori dan penelitian yang relevan, kemampuan berpikir kreatif matematis dapat dikembangkan melalui pemberian

50 Sunaryo dan Fitriana Yuli S, “Implementasi Pembelajaran Matematika Dengan

Pendekatan Open Ended Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS) Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa Sekolah Menengah

Pertama”, Ejournal Universitas Negeri Yogyakarta, Edisi 4, Vol 4, 2012

51 Dian Anggraeni dan Utari Sumarmo, “Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan

(43)

soal atau penugasan terbuka, sebab dengan sifatnya yang terbuka memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikannya dalam berbagai cara sehingga diharapkan jawaban atau tanggapan yang kreatif akan muncul terhadap penugasan itu. Lingkungan yang kondusif juga menjadi faktor penting untuk pengembangan kemampuan berpikir kreatif matematis. Lingkungan yang dimaksud adalah penerimaan dan keterbukaan guru terhadap pendapat para siswa, walaupun mereka memberikan respon tidak tepat terhadap masalah yang diberikan, bahkan jika perlu guru memberikan apresiasi terhadap siswa yang berani mengungkapkan pendapatnya. Hal ini dianggap baik sebab dapat meningkatkan motivasi tersendiri pada siswa untuk semakin mengeksplorasi diri sehingga gagasan-gagasan kreatif lebih tergali dalam diri siswa.

Untuk itu diperlukan suatu perubahan pola pembelajaran yang harus diterapkan di sekolah. Pertanyaannya adalah, “Pola pembelajaran seperti apa yang dapat diterapkan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis

siswa?” Negara-negara maju yang terkenal memiliki siswa dengan taraf kecerdasan matematika tinggi, seperti Belanda, Jepang, Singapura, Finlandia, dll

telah mengembangkan suatu pembelajaran yang memungkinkan peningkatan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa termasuk berpikir kreatif matematis. Belanda terkenal dengan Pendidikan Matematika Realistis sedangkan Jepang terkenal dengan pendekatan Open-ended yang juga dipakai oleh Singapura dan Finlandia.

Dengan meniru atau mengkombinasikan beberapa pola pembelajaran dari negara-negara tersebut kedalam suatu model pembelajaran, secara teoritis kemampuan berpikir kreatif matematis siswa Indonesia juga bisa lebih baik. Salah satu model pembelajaran yang diduga mampu mengakomodasi pola pemebelajaran tersebut adalah model pembelajaran kooperatif informal tipe Formulate-Share-Listen-Create (FSLC).

(44)

menggunakan masalah terbuka ataupun realistis. Lalu siswa diberikan kesempatan berpikir (formulate) secara individu untuk setidaknya memahami dan merinci (elaborasi) informasi pada persoalan yang diberikan dan bahkan menemukan solusi awal (kelancaran & Orisinalitas) dan tidak lupa mencatatnya sebagai modal bertukar pendapat saat diskusi, setelah itu siswa beserta teman di dalam kelompoknya saling bertukar pendapat (share & listen).

Pada proses berdiskusi ini diharapkan keluwesan (keluwesan) berpikir siswa makin terpupuk sebab dengan bertukar pikiran mereka akan mendapat cara pandang baru yang mungkin belum terpikirkan olehnya. Dan terakhir diharapkan dari proses diskusi, mereka mampu merumuskan (create) solusi yang cukup unik (orisinalitas) untuk dipresentasikan di depan kelas. Jika guru melakukan proses pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif informal tipe Formulate-Share-Listen-Create (FSLC) ini dengan baik dan tidak lupa dengan sikap mengapresiasi apapun respon siswa terhadap masalah atau penugasan yang diberikan kepada mereka, maka diduga kemampuan berpikir kreatif matematis siswa akan meningkat secara signifikan. Secara sederhana kerangka berpikir pada

penelitian ini digambarkan sebagai berikut:

Bagan 2.2 Kerangka Berpikir

H. Hipotesis Penelitian

(45)

1. Kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif informal tipe FSLC lebih tinggi daripada yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional.

(46)

31 A. Tempat dan Waktu Penelitian

[image:46.595.117.512.210.638.2]

Penelitian ini bertempat di SMP Muslim Asia Afrika, Pamulang, Tangerang Selatan. Pelaksanaan pembelajaran di sekolah tersebut dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran 2013/2014, yaitu dimulai pada tanggal 9 Januari 2014 hingga tanggal 7 Februari 2014. Secara keseluruhan jadwal kegiatan penelitian adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1

Jadwal Kegiatan Penelitian

No Jenis Kegiatan Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr

1 Persiapan dan perencanaan

V V V V

2 Observasi (studi lapangan)

V

3 Pelaksanaan di lapangan (Tes Awal, Proses Pembelajaran, & Tes Akhir)

V V

4 Analisis Data V V

5 Laporan Penelitian V V V

B. Metode dan Desain penelitian

(47)

menggunakan pembelajaran kooperatif informal tipe FSLC dan kelompok kontrol diberikan pembelajaran secara konvensional.

[image:47.595.111.511.203.635.2]

Adapun rancangan penelitian dengan menggunakan Matching Pretest-Posttest Control Group Design. Desain penelitian ini pada dasarnya sama dengan Randomized Pretest-Posttest Control Group Design pada metode eksperimen murni, perbedaannya adalah pengambilan sampel pada metode eksperimen semu tidak dilakukan dengan cara sepenuhnya acak, melainkan hanya satu atau beberapa karakter saja yang dikontrol atau di cocokkan pada kedua kelas penelitian, baik eksperimen maupun kontrol.1 Khusus pada penelitian ini, yang dicocokkan adalah kemampuan kognitifnya yaitu berdasarkan informasi dari guru matematika yang mengajar di tempat penelitian tersebut yang menilai bahwa rata-rata kemampuan matematika di setiap kelas VII adalah sama. Adapaun desain penelitian ini dapat dinyatakan sebagai berikut:

Tabel 3.2 Desain Penelitian

Kelompok Pretest Treatment Posttest

KE O X O

KK O O

Keterangan

KE : Kelompok eksperimen KK : Kelompok kontrol

Gambar

Overall Global Creativity Index RankingTabel 1.1
Tabel 3.1 Jadwal Kegiatan Penelitian
Tabel 3.2 Desain Penelitian
Tabel 3.3 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Materi Himpunan
+7

Referensi

Dokumen terkait

(1) Struktur kurikulum program sarjana (S-1) kependidikan bagi guru dalam jabatan terdiri atas mata kuliah yang dilaksanakan melalui kegiatan pembelajaran tatap muka

[r]

Penjamahtentang Sanitasi Pengolahan Makanan Pada Instalasi Gizi Rumah Sakit..

untuk melakukan pengujian mengenai pengaruh Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan, dalam skripsi

Bagan Gambaran Dinamika : Menulis Refleksi Diri Membantu Proses Perkembangan Pribadi Seminaris Menjadi Lebih berkualitas. dan

Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi akademik individu terdiri dari faktor internal yang merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu yang terdiri

Sebagai bagian dari Kurikulum 2013 yang menekankan pentingnya keseimbangan kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan. Kemampuan mempelajari

Terdapat tiga soalan yang dijawab oleh kajian ini iaitu; (1) adakah terdapat perbezaan dari segi min pencapaian dalam ujian pra dan ujian pasca; (2) bagaimanakah tahap