• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Sabun dengan Formula Tallow dan Ekstrak Temu Ireng (Curcuma aeruginosa) yang Berbeda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Sabun dengan Formula Tallow dan Ekstrak Temu Ireng (Curcuma aeruginosa) yang Berbeda"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK SABUN DENGAN FORMULA

TALLOW

DAN EKSTRAK TEMU IRENG (

Curcuma aeruginosa

)

YANG BERBEDA

HESTI ANGGRANI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Sabun dengan Formula Tallow dan Ekstrak Temu Ireng (Curcuma aeruginosa) yang

Berbeda adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2014

Hesti Anggrani

(4)

ABSTRAK

HESTI ANGGRANI. Karakteristik Sabun dengan Formula Tallow dan Ekstrak

Temu Ireng (Curcuma aeruginosa) yang Berbeda. Dibimbing oleh TUTI

SURYATI dan MOCHAMMAD SRIDURESTA SOENARNO.

Tallow adalah hasil ikutan produksi ternak yang diperoleh dari proses

rendering. Tingginya kandungan trigliserida pada tallow dapat dimanfaatkan

sebagai bahan baku sabun dengan proses saponifikasi. Ekstrak temu ireng dapat ditambahkan sebagai bahan pengisi karena mengandung total fenolik yang tinggi sehingga dapat menjadi agen antioksidan dalam sabun. Tujuan penelitian ini adalah menguji karakteristik sabun mandi yang dibuat dari tallow danekstrak temu ireng

pada komposisi yang berbeda. Sabun formula A, B, dan C memenuhi syarat SNI 06-3532-1994 pada parameter kadar air, jumlah asam lemak, dan alkali bebas, namun tidak memenuhi syarat jumlah lemak tak tersabunkan. Formula sabun A, B, dan C menghasilkan perbedaan jumlah asam lemak, nilai pH, lemak tak tersabunkan, dan aktivitas penghambatan radikal bebas terhadap DPPH yang nyata. Hasil uji mutu hedonik menunjukkan bahwa formula sabun A, B, dan C berbeda nyata pada intensitas warna, aroma temu ireng, aroma lemak, dan daya pembusaan. Aktivitas penghambatan radikal bebas terhadap DPPH tertinggi pada formula sabun C sebesar 24.01% dengan kapasitas antioksidan vitamin C sebesar 73.47 mg EVC per 100 g BK dan total fenolik sebesar 17.32 mg EAG per 100 g.

Kata kunci: sabun, tallow, temu ireng (Curcuma aeruginosa)

ABSTRACT

HESTI ANGGRANI. Soap characteristics made from different formula of tallow and temu ireng (Curcuma aeruginosa) exract. Supervised by TUTI SURYATI and

MOCHAMMAD SRIDURESTA SOENARNO.

Tallow is a by-product that obtained from livestock production through fat rendering process. The high content of triglycerides in tallow can be utilized as raw bath soap with the saponification process. Temu ireng extract can be considered as fillers to the soap, because temu ireng extract countains higher total phenolic so that temu ireng can be acted as an antioxidants agent in the soap. The objective of this research was to study the characteristics of bath soap that made from different composition of tallow and extract temu ireng. Soap with A, B, and C formulation met the qualification with the SNI 06-3532-1994 in water content, the amount of fatty acid, and free alkaline, but did not to the amount of unsaponification fat. Soap with A, B, and C formula significantly affected the amount of fatty acids, pH value, unsaponifiable fat,and DPPH scavenging activity. The result of hedonic quality test from A, B, and C formula affected the intensity of color, temu ireng aroma, fatty aroma and foaming power significantly. DPPH scavenging activity had highest activity at 24.01% of C formula soap with antioxidant capacity of 73.47 mg EVC per 100 g and the amount of total phenolic was 17.32 mg GAE per 100 g.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan

pada

Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

KARAKTERISTIK SABUN DENGAN FORMULA

TALLOW

DAN EKSTRAK TEMU IRENG (

Curcuma aeruginosa

)

YANG BERBEDA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2014

(6)
(7)

Judul Skripsi : Karakteristik Sabun dengan Formula Tallow dan Ekstrak Temu

Ireng (Curcuma aeruginosa) yang Berbeda

Nama : Hesti Anggrani NIM : D14100056

Disetujui oleh

Dr Tuti Suryati, SPt MSi

Pembimbing I Mochammad Sriduresta Soenarno, SPt MSc Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Muladno, MSA Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya tulis ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari sampai Juni 2014 ini ialah pemanfaatan tallow pada pembuatan sabun, dengan judul Karakteristik Sabun

dengan Formula Tallow dan Ekstrak Temu Ireng (Curcuma aeruginosa) yang

Berbeda.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Tuti Suryati, SPt MSi selaku Pembimbing Utama dan Mochammad Sriduresta Soenarno, SPt MSc selaku Pembimbing Anggota yang telah membimbing, memberikan waktunya, tenaga, pemikiran, serta semangat selama penulisan skripsi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dr Ir Salundik, MSi selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing selama masa perkuliahan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr Rudi Afnan, SPt MSc Agr selaku dosen penguji dalam sidang. Di samping itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Dwi Febiyanti dari Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Fitry Manihuruk, SPt; Nopi Elida, SPt; Dewi Elfrida, SPt; Dyah Nurul, SPt; Dwi Ernaningsih, SPt; Reza Hanifah, SPt; dan Heni Rizqiati, SPt MSi yang telah banyak membantu selama penelitian. Ungkapan terima kasih kepada Asnidar Reni; Laura Casalla; Isnaini Puji; Kartini Afriana; Dwi Andaruwati; Jannatin Alfaafa, SPt; Nova Andrian, dan keluarga besar IPTP 47 yang telah membantu dan memberikan semangat. Ungkapan terima kasih yang amat dalam penulis sampaikan untuk kedua orangtua yaitu Bapak Sukarno, Ibu Suparni, adik penulis Krisno Cahyadi dan Rama Aditya Nugroho serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2014

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Ruang Lingkup Penelitian 1

METODE 2

Waktu dan Tempat Penelitian 2

Bahan 2

Alat 2

Prosedur 2

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Analisis Mutu Sabun 6

Karakteristik Sensori dan Kekerasan Sabun 9

Total Fenolik, Aktivitas Penghambatan terhadap Radikal

Bebas DPPH dan Kapasitas Antioksidan Vitamin C dalam Sabun 11

SIMPULAN DAN SARAN 13

DAFTAR PUSTAKA 13

LAMPIRAN 16

(10)

DAFTAR TABEL

1 Mutu sabun mandi dengan formula tallow dan ekstrak temu ireng yang

berbeda 7

2 Uji mutu hedonik sabun 9

3 Tingkat kekerasan sabun 11

4 Total fenolik, aktivitas penghambatan terhadap radikal bebas DPPH dan

kapasitas antioksidan vitamin C sabun 12

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil analisis ragam kadar air 16

2 Hasil analisis ragam nilai pH 16

3 Hasil analisis ragam jumlah asam lemak 16

4 Hasil analisis ragam alkali bebas 16

5 Hasil analisis ragam lemak taktersabunkan 16

6 Hasil analisis ragam aktivitas penghambatan terhadap

radikal bebas DPPH 16

7 Kurva standar asam galat 16

8 Kurva standar vitamin C 17

9 Hasil pengujian total fenol, aktivitas penghambatan

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lemak ekstra muskular merupakan hasil ikutan yang rendah nilai ekonomisnya. Leat (1976) menyatakan karkas sapi dewasa mengandung lemak 30%-40%. Lemak abdomen dan lemak ginjal merupakan lemak ekstra muskular dengan presentase tertinggi. USDA (1989) menyatakan karkas standar memiliki presentase lemak ginjal dan lemak abdomen sebesar 4% dari bobot karkas. Menurut Ngadiyono et al. (2008), sapi Peranakan Ongol (PO) memiliki presentase

lemak sebesar 7%-11%. Muthalib (2003) menyatakan sapi Bali memiliki presentase lemak ginjal dan lemak abdomen sebesar 2.43% dari bobot karkas.

Pengolahan lemak ginjal dan lemak abdomen saat ini masih terbatas hingga proses rendering yang disebut dengan tallow, yang saat ini pemanfaatannya belum

maksimal. Tallow sangat mudah mengalami kerusakan apabila tidak disimpan atau

diolah dengan baik. Pengolahan non pangan yang dapat dilakukan salah satunya adalah pembuatan sabun yang akan meningkatkan nilai ekonomi serta nilai guna

tallow tanpa mengkhawatirkan dampak kerusakan tallow.

Sabun merupakan pembersih yang dibuat dengan reaksi kimia antara basa natrium atau kalium dengan asam lemak dari minyak nabati atau lemak hewani (BSN 1994). Karakteristik produk sabun sangat berpengaruh terhadap tingkat kesukaan konsumen serta nilai jual sabun. Dewasa ini banyak produk sabun yang ditambahkan kandungan herbal untuk meningkatkan nilai jual di pasaran serta memperkaya kandungan zat aktif penambah nilai guna sabun. Temu ireng

(Curcuma aeruginosa) mengandung berbagai zat seperti minyak atsiri, tanin,

saponin, flavonoid, curcuminoid yang memiliki sifat antibakteri, antioksidan dan anti hepatoksik (Wahyuni 2006). Chan et al. (2008) menyatakan daun temu ireng

segar mengandung total fenol sebesar 282 mg EAG per 100 g. Adanya kandungan gugus fenol diprediksi dapat menjadi antioksidan alami dalam sabun yang ditambahkan ekstrak temu ireng.

Penelitian ini dilakukan guna mendapatkan formula sabun mandi terbaik dari

tallow dan ekstrak temu ireng. Pemanfaatan tallow menjadi sabun mandi akan

meningkatkan nilai tambah produk hasil ikutan ternak serta dapat menjadi solusi alternatif produk sabun herbal yang memiliki kemampuan antioksidan dan bersifat ramah lingkungan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji karakteristik sabun mandi yang dibuat dari tallow danekstrak temu ireng dengan formula yang berbeda.

Ruang Lingkup Penelitian

(12)

2

sabun, total fenolik, aktivitas penghambatan terhadap radikal bebas DPPH, serta kapasitas antioksidan vitamin C produk sabun.

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan Juli 2014. Penelitian dilakukan di Laboratorium Pengolahan Hasil Ikutan Ternak, Laboratorium Uji Organoleptik, dan Laboratorium Analisis Hasil Ternak yang berada di Bagian Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan

Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan sabun adalah tallow, minyak

kelapa, ekstrak temu ireng, dan NaOH. Bahan kimia yang digunakan yaitu asam sulfat 20%, jingga metal 0.05%, heksana, alkohol netral, HCl 0.1 N alkoholis, KOH 0.1 N alkoholis, KOH alkohol 0.5 N dan HCl 0.5 N alkoholis, HCl 10%, KOH 0.5 N alkoholis, alkohol 95%, reagen Folin Ciocalteu, natrium karbonat, 1,1-difenil-2-pikril hidrazil (DPPH) dan metanol absolut.

Alat

Peralatan yang digunakan yaitu panci stainless, mixer, termometer,

timbangan analitik, labu Erlenmeyer, pH meter, penetrometer, botol timbang tutup asah, gelas piala, corong pemisah, pendingin tegak, mikroburet, buret 50 mL, pipet 5 mL, tabung reaksi, vacum rotary evaporator Heidoph,dan spektrometer.

Prosedur

Penelitian ini dibagi menjadi empat tahapan yaitu, tahap persiapan bahan, pengujian ekstak temu ireng, pembuatan sabun dan tahap pengujian sabun.

Persiapan Bahan

(13)

3 pertama dan kedua dicampur. Filtrat diuapkan dengan vacum rotary eveporator

Heidoph hingga semua pelarut teruapkan.

Proses Rendering. Proses rendering dilakukan mengikutimetode rendering Kamikaze (2002) yang dimodifikasi pada proses preparasi lemak. Lemak ginjal dipotong kecil dan digiling dengan grinder. Lemak dicairkan di atas api pada suhu

50-55 °C hingga menjadi minyak. Minyak yang terbentuk disaring sehingga dapat dipisahkan dari padatan dan kotoran lainnya. Minyak dicetak dalam wadah hingga mengeras kembali menjadi lemak.

Formula Sabun. Sabun dibuat dengan tiga formula berbeda yang terdiri atas:

tallow, ekstrak temu ireng, dan minyak kelapa. Komposisi bahan baku lemak yang

digunakan untuk pembuatan sabun adalah sebagai berikut: A : 85% tallow + 15% minyak kelapa (kontrol)

B : 82.5% tallow + 2.5% ekstrak temu ireng + 15% minyak kelapa

C : 80% tallow + 5% ekstrak temu ireng + 15% minyak kelapa

Bahan-bahan tersebut ditimbang untuk memenuhi komposisi yang diinginkan dan dihomogenkan dengan mixer berkecepatan rendah selama 30 menit.

Pengujian Ekstrak Temu Ireng

Ekstraksi Temu Ireng. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan metanol absolut mengikuti metode Tangkanakul et al. (2009) yang telah dimodifikasi oleh

Suryati et al. (2012). Sampel temu ireng dihaluskan dan dimaserisasi dengan

pelarut metanol absolut pada suhu ruang selama 24 jam dengan perbandingan sampel dan pelarut sebanyak 1:10. Sampel sebanyak 1 g dimaserasi dengan 5 mL metanol pada 24 jam pertama. Hasil maserasi berupa supernatan ditampung dalam botol terpisah dan disimpan dalam freezer (-25 °C). Filtrat temu ireng dimaserisasi

kembali selama 24 jam dengan ditambah 5 mL metanol. Setelah 24 jam kedua supernatan hasil maserisasi digabungkan dan ditambahkan metanol hingga 10 mL. Ekstrak disimpan dalam freezer (-25 °C).

Total Fenol. Metode kandungan total fenol mengikuti metode Tangkanakul

et al. (2009). Ekstrak sampel sebanyak 2 mL ditambah 10 mL pereaksi

Folin-Ciocalteu (sebelumnya diencerkan 10 kali) dimasukkan kedalam labu takar 25 mL. Setelah 30 detik sebelum 8 menit ditambahkan 8 mL Na2CO3 (7.5%) lalu diterakan

dengan aquadest. Larutan dipanaskan pada suhu 40 °C selama 30 menit. Modifikasi yang dilakukan yaitu membekukan larutan lalu disaring dengan kertas saring lalu diukur absorbansinya dengan spektrometer pada panjang gelombang 765 nm.

Aktivitas Antioksidan. Metode aktivitas antioksidan mengikuti metode Tangkanakul et al. (2009). Ekstrak sampel sebanyak 0.15 mL direaksikan dengan

larutan DPPH 0.1 mM (pelarut metanol). Larutan diinkubasi pada suhu 37 °C selama 30 menit. Modifikasi yang dilakukan yaitu menyaring larutan dengan kertas saring sebelum waktu inkubasi berakhir, lalu diukur absorbansinya dengan spektrometer pada panjang gelombang 517 nm.

Pembuatan Sabun

(14)

4

ditambahkan dalam formula disesuaikan dengan jumlah bilangan saponifikasi, bahan yang telah dihomogenkan lalu didinginkan hingga suhu 32-35 °C. Ekstrak dicampurkan hingga homogen. NaOH dengan suhu 32-35 °C dimasukkan sedikit demi sedikit dan diaduk dengan mixer pada kecepatan rendah selama ± 30 menit,

dicetak dan diaging selama 4 minggu. Pengujian Sabun

Nilai pH (Warra et al. 2010). Pengukuran pH sabun dilakukan dengan menimbang 10 g sampel sabun yang dilarutkan dalam 100 mL air. Alat yang digunakan yaitu pH meter. Elektroda pada pH meter sebelumnya dikalibrasi lalu dimasukan dalam larutan sampel hingga didapat nilai pH yang tetap.

Kekerasan (Piyali et al. 1999). Pengukuran kekerasan dilakukan dengan

menggunakan alat Penetrometer. Jarum pada Penetrometer dijatuhkan ke dalam sampel sabun dan dibiarkan untuk menembus bahan selama 5 detik (atau pada interval waktu yang berbeda) pada temperatur konstan. Kedalaman dari penetrasi jarum ke dalam sampel sabun dinyatakan dalam sepersepuluh milimeter dari anggka yang ditujukkan pada skala Penetrometer.

Kadar Air (SNI 06-3532-1994). Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven. Sekitar 4 g sampel sabun ditimbang dengan teliti pada botol tutup asah yang telah diketahui bobotnya. Sampel pada botol tutup asah dipanaskan dalam oven pada suhu 105 °C hingga diperoleh bobot tetap. Kadar air dapat ditentukan dengan rumus:

Kadar air = − x 100% W1 : berat + bobot timbang (g)

W2 : berat contoh setelah pengeringan (g) W : berat contoh (g)

Jumlah Asam Lemak (SNI 06-3532-1994). Pengukuran jumlah asam lemak menggunakan metode ekstraksi dengan pelarut. Sampel sabun ditimbang sekitar 10 g dilarutkan dengan 50 mL air. Beberapa tetes jingga metal ditambahkan ke dalam larutan. Asam sulfat 20% ditambahkan berlebihan hingga semua asam lemak terbebaskan dari natrium, ditunjukkan dengan timbulnya warna merah. Larutan dimasukkan dalam corong pemisah. Endapan silikat dan lainnya tidak dimasukkan dalam corong pemisah. Heksana (jenis 40-60 °C) dituangkan dalam endapan dan larutan air dikeluarkan. Pelarut dikocok dan dicuci dengan 10 mL air air sampai tidak bereaksi asam. Pelarut kemudian dikeringkan dengan natrium sulfat kering, disaring dan dimasukkan ke dalam labu lemak yang telah ditimbang terlebih dahulu beserta batu didih (W1). Pelarut disuling dan labu dikeringkan pada

suhu 102-150 °C sampai bobot tetap (W2). Jumlah asam lemak dapat ditentukan

dengan:

Kadar asam lemak jumlah = −

B t t h x 100% W1 : bobot labu lemak dan batu didih (g)

(15)

5 Asam Lemak Bebas (SNI 06-3532-1994). Alkohol netral sebanyak 100 mL dididihkan dalam labu Erlenmeyer 250 mL, fenolftalin ditambahkan 0.5 mL dan didinginkan sampai suhu 70 °C lalu dinetralkan dengan KOH 0.1 N dalam alkohol, masukan sampel sabun sekitar 5 g, ditambahkan batu didih lalu dipasang pada pendingin tegak dan dipanasi selama 30 menit. Apabila larutan bersifat alkalis (tidak berwarna merah), didinginkan sampai 70 °C dan titer dengan larutan : KOH 0.1 N dalam alkohol hingga timbul warna merah yang ditahan selama 15 detik, kemudian dihitung menggunakan persamaan berikut:

Kadar asam lemak bebas = x N x , x 100% V : KOH 0,1N yang digunakan (mL)

N : normalitas KOH yang digunakan (mL) W : berat contoh (g)

205 : berat setara dengan asam laurat

Bila larutan bersifat basa, maka yang diperiksa bukan asam lemak bebas tetapi alkali bebas dengan menitarnya menggunakan HCl 0.1 N sampai warna merah tepat hilang.

Lemak yang Tidak Tersabunkan (SNI 06-3532-1994). Larutan bekas pemeriksaan asam lemak bebas ditambah 5 mL KOH 0.5 N alkoholis. Pendingin tegak dipasang dan dididihkan diatas penangas air selama 1 jam. Larutan didinginkan sampai suhu 70 °C dan dititar dengan HCl 0.5 N alkoholis sampai warna merah penunjuk phenopphtalein tepat hilang (V1 mL). Penitaran dikerjakan

di blanko KOH 0.5 N alkoholis sebanyak yang dipergunakan (V2 mL). Jumlah

lemak yang tidak tersabunkan dapat ditentukan dengan rumus: Lemak yang tidak tersabunkan = − x N x ,

, 8 x 100% N : normalitas HCl yang digunakan

W : berat contoh (g) 561 : berat setara KOH

258 : bilangan penyabunan rata-rata minyak kelapa

Minyak Mineral (SNI 06-3532-1994). Sampel sabun sekitar 5 g dilarutkan dalam 10 mL air, ditambahkan HCl 10% berlebih hingga petunjuk jingga metal berwarna merah dan seluruh asam lemak, lemak netral dan bagian yang tidak mungkin dapat tersabunkan akan terpisah di lapisan atas. Lapisan lemak dipipet ditambah 5 mL KOH berlebih dalam alkohol lalu dipanaskan selama 2 menit. Larutan dititar dengan air tetes demi tetes. Jika terjadi kekeruhan berarti minyak mineral positif adanya. Jika larutan tetap jernih berarti adanya minyak mineral tidak nyata, dan dinyatakan negatif (kurang dari 0.05%).

Aktivitas Antioksidan dan Total Fenol Sabun. Pengujian aktivitas antioksidan dan total fenol dilakukan dengan mengikuti metode Tangkanakul et al.

(16)

6

Uji Organoleptik. Uji organoleptik yang digunakan ialah uji mutu hedonik dengan 38 orang panelis yang sebelumnya sudah dilakukan persamaan persepsi terlebih dahulu. Karakteristik uji mutu hedonik yang diuji yaitu warna, aroma lemak, aroma temu ireng, dan pembusaan dengan skala berkisar dari 1 sampai 6. Rancangan

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini ialah rancangan acak lengkap (RAL) pola searah dengan perlakuan tiga formula lemak yang berbeda dan tiga kali ulangan. Model rancangan percobaan secara matematis yang digunakan menurut Steel dan Torrie (1991) adalah sebagai berikut :

Yij = μ + Pi + εij

Data hasil analisis kimia diolah dengan analisis ragam (analysis of variance/

ANOVA). Apabila hasil pengujian asumsi menunjukkan adanya salah satu syarat asumsi untuk ANOVA tidak terpenuhi, maka data ditransformasi kemudian dilakukan uji asumsi kembali. Bila data tidak memenuhi syarat asumsi ANOVA maka data dianalisis menggunakan uji nonparametrik Kruskall-Wallis. Data organoleptik dianalisis menggunakan Kruskall-Wallis. Hasil analisis yang menunjukkan perbedaan diuji dengan uji banding Tukey untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan (Steel dan Torrie 1991).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Mutu Sabun

Pengujian syarat mutu sabun mandi menurut SNI 06-3532-1994 dilakukan untuk mengetahui kualitas sabun serta kelayakan mutu sabun sebagai sabun mandi. Hasil analisis syarat mutu sabun mandi dengan formula tallow dan ekstrak temu

ireng yang berbeda beserta standar mutu yang telah ditentukan dalam SNI 06-3532-1994 disajikan pada Tabel 1.

Kadar Air

Kadar air dari ketiga formula berbeda (A, B, dan C) memenuhi standar mutu sabun mandi (Tabel 1). Berdasarkan sidik ragam ketiga formula sabun memiliki kadar air yang tidak berbeda nyata. Hal ini berarti penambahan ekstrak temu ireng 2.5% dan 5% serta penggunaan tallow hingga 85% tidak mengasilkan kadar air

yang berbeda.

Kadar air sabun yang dihasilkan diduga dipengaruhi oleh kadar air bahan baku pada sabun yaitu tallow, ekstrak temu ireng, serta kepekatan larutan NaOH

(17)

7 minyak, alkali, serta air. Menurut Badan Standardisasi Nasional dalam SNI 06-3532-1994, batas maksimal kandungan air dalam produk sabun mandi yaitu 15%. Kandungan air dalam produk sabun sangat berpengaruh terhadap tekstur serta kelarutan sabun saat pemakaian (Idrus et al. 2013).

Tabel 1 Mutu sabun mandi dengan formula tallow dan ekstrak temu ireng yang berbedaa

Minyak mineral Negatif Negatif Negatif Negatif

Keterangan : aAngka-angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda

Formula sabun A, B, dan C berbeda nyata (p<0.05) terhadap pH sabun yang dihasilkan. Hasil uji Tukey pada taraf 95% menunjukkan bahwa pH formula sabun A dan B, berbeda nyata dengan formula sabun C. Nilai pH yang lebih rendah pada sabun dengan penambahan ekstrak temu ireng (sabun B dan C) diprediksi karena adanya gugus fenol dalam ekstrak, yang bersifat asam (Tabel 1). Ekstrak temu ireng memiliki total fenol yang tinggi 472.62 (mg EAG per 100 g), gugus fenol memiliki sifat yang cenderung asam menurut Aini et al. (2007) karena dapat

melepaskan ion H+ dari gugus hidroksilnya (C

6H6O).

Hambali et al. (2005) menyatakan sabun komersial memiliki pH pada kisaran

9.5 – 10.8. Kulit manusia memiliki pH sekitar 5. Proses mencuci dengan sabun akan meningkatkan pH kulit untuk sementara, namun peningkatan nilai pH tidak akan melebihi 7. Sabun formula C memiliki nilai pH yang lebih baik dibandingkan dengan sabun formula A dan B, karena nilai pH yang semakin rendah diduga dapat meminimalisasi terjadinya iritasi kulit.

Jumlah Asam Lemak

Formula sabun A, B, dan C memenuhi syarat mutu sabun mandi menurut SNI 06-3532-1994 (Tabel 1). BSN (1994) menyatakan jumlah asam lemak dalam sabun tidak boleh kurang dari 70% (Tabel 1). Jumlah asam lemak merupakan total keseluruhan asam lemak baik asam lemak yang terikat dengan NaOH maupun asam lemak bebas dan lemak netral (BSN 1994).

(18)

8

ireng 2.5% pada sabun formula B (Tabel 1). Menurut Andre dan Howard (2001) pada umumnya sabun batangan terdiri atas 70% - 80% asam lemak, dan sisanya merupakan bahan pengisi serta asam lemak sintetis.

Alkali Bebas

Formula sabun A, B, dan C tidak berbeda nyata terhadap presentase alkali bebas dalam sabun. Kandungan alkali bebas diprediksi sebagai kandungan alkali yang tidak bereaksi dengan asam lemak dalam reaksi saponifikasi. BSN (1994) menyatakan kandungan maksimal alkali bebas dalam produk sabun yaitu 0.1%. Kondisi sabun yang mengandung alkali bebas diduga dapat terjadi akibat faktor pencampuran larutan alkali dalam lemak yang tidak sempurna, penggunaan konsentrasi alkali yang terlalu pekat, jumlah alkali melebihi bilangan saponifikasi lemak yang digunakan, serta proses aging yang belum selesai. Cavitch (1997) menyatakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam pembuatan sabun yaitu proses pencampuran dan suhu. Suhu (panas) akan mencaikan asam lemak yang membeku sehingga proses pencampuran larutan alkali akan semakin merata.

Ketiga formula sabun mengandung alkali bebas dibawah 0.1%. Bila kandungan alkali bebas dalam sabun terlalu tinggi (>0.1%) dapat menyebabkan iritasi (Andre dan Howard 2001) dan menyebabkan kulit kering (Idrus et al. 2013).

Lemak Tak Tersabunkan

Lemak tak tersabunkan dari formula A, B, dan C tidak memenuhi syarat sabun mandi menurut SNI 06-3532-1994 yaitu kurang dari 2.5% (Tabel 1). Lemak tak tersabunkan merupakan lemak netral/trigliserida netral yang tidak bereaksi selama proses penyabunan atau lemak yang sengaja ditambahkan untuk menghasilkan sabun superfat (BSN 1994). Ketiga formula sabun (A, B, dan C)

dalam proses pembuatannya sengaja ditambahkan lemak berlebih sebagai

superfatting. Superfatting diberikan pada taraf 1% - 7% dari jumlah presentase

asam lemak yang digunakan. Pemberian superfatting dapat meningkatkan daya

pembusaan, menghilangkan alkali bebas, serta memberikan kesan lembut pada kulit (Andre dan Howard 2001).

Hasil analisis ragam menunjukkan formula sabun A, B, dan C berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap presentase lemak tak tersabunkan dalam sabun. Uji Tukey menunjukkan bahwa formula sabun A nyata memiliki lemak tak tersabunkan yang lebih rendah (p<0.05) dari pada formula sabun B, namun formula sabun C tidak memberikan pengaruh berbeda dengan formula sabun A dan B (Tabel 1). Penambahan ekstrak temu ireng pada formula sabun B dan C menunjukkan peningkatan presentase lemak tak tersabunkan dalam produk sabun dibandingkan formula sabun A (kontrol). Penambahan ekstrak temu ireng diduga menyebabkan bertambahnya zat-zat yang tidak dapat disabunkan oleh alkali sehingga masuk ke dalam hitungan lemak tak tersabunkan. Temu ireng menurut Srivastava et al.

(19)

9 Minyak Mineral

Seluruh sampel sabun yang diuji tidak ditemukan adanya kandungan minyak mineral (Tabel 1), artinya seluruh formula sabun memenuhi standar mutu sabun mandi. Minyak mineral dalam syarat mutu sabun mandi menurut BSN (1994) keberadaannya haruslah negatif.

Minyak mineral merupakan minyak yang tidak dapat disabunkan meskipun bereaksi dengan alkali (BSN 1994). Menurut Kamikaze (2002), minyak mineral disebut juga sebagai minyak bumi diantaranya yaitu bensin, minyak tanah, solar, oli, dan lain sebagainya. Minyak mineral dinyatakan kandungannya harus negatif dalam sabun karena menurut Andre dan Howard (2001), minyak mineral dapat membuat kulit teriritasi dan menyebabkan kemerahan pada kulit.

Karakteristik Sensori dan Kekerasan Sabun

Pengujian karakteristik fisik sabun secara sensori dilakukan pada parameter warna, aroma lemak, aroma temu ireng, daya pembusaan diuji menggunakan uji mutu hedonik, serta pengujian fisik kekerasan sabun. Berikut ini merupakan hasil pengujian mutu hedonik sabun yang disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Uji mutu hedonik sabuna

Parameterb Formula Sabunc

A B C

putih); 2(sangat tidak putih); 3(agak putih); 4(putih); 5(sangat putih); 6(amat sangat putih). Aroma lemak : 1(amat sangat beraroma lemak); 2(sangat beraroma lemak); 3(beraroma lemak); 4(agak beraroma lemak); 5(tidak beraroma lemak); 6(sangat tidak beraroma lemak). Aroma temu ireng : 1(amat sangat beraroma temu ireng); 2(sangat beraroma temu ireng); 3(beraroma temu ireng); 4(agak beraroma temu ireng); 5(tidak beraroma temu ireng); 6(sangat tidak beraroma temu ireng). Pembusaan : 1(amat sangat tidak berbusa); 2(sangat tidak berbusa); 3(agak berbusa); 4(berbusa); 5(sangat berbusa); 6(amat sangat berbusa).

c A : 85% tallow + 15% minyak kelapa (kontrol); B : 82.5% tallow + 2.5%

ekstrak temu ireng + 15% minyak kelapa; C : 80% tallow + 5% ekstrak temu

ireng + 15% minyak kelapa

Intensitas Warna

(20)

10

Yernisa et al. (2013) menyatakan warna sabun dapat ditentukan oleh senyawa

yang menghasilkan warna dalam kondisi basa maupun zat warna pigmen yang terkandung dalam komposisi formulanya. Temu ireng mengandung zat aktif kurkumin yang dapat memberikan warna (pigmen) kuning jingga (Bernadeta et al.

2012).

Aroma Lemak

Formula sabun berbeda (A, B, dan C) berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap karakteristik aroma lemak. Formula sabun A nyata (p<0.05) lebih beraroma lemak dibandingkan formula sabun B, namun formula sabun C tidak memberikan pengaruh berbeda dengan formula sabun A dan B (Tabel 2). Hasil uji mutu hedonik menunjukkan karakteristik sabun formula A beraroma lemak, sabun formula B agak beraroma lemak, sedangkan sabun formula C beraroma lemak. Aroma lemak dapat terbentuk akibat asam lemak tak jenuh yang membentuk komponen volatil yang dapat menciptakan aroma khas dari lemak akibat adanya proses oksidasi (Maijon et al. 2009).

Maijon et al. (2009) menyatakan penggunaan antioksidan dapat mencegah

terjadinya oksidasi komponen volatil. Temu ireng mengandung aktivitas antioksidan 30.56% (Lampiran), namun hasil menunjukkan bahwa sabun dengan penambahan ekstrak temu ireng masih beraroma lemak. Hal ini mungkin terjadi karena komponen volatil dalam sabun formula B dan C sudah berikatan dengan gugus antioksidan dalam sabun selama proses aging dan penyimpanan. Maijon et al. (2009) menyatakan adanya kandungan antioksidan akan mencegah atau

menghambat oksidasi lipida karena memberikan atom hidogen untuk berikatan dengan lipida.

Aroma Temu Ireng

Formula sabun berbeda (A, B, dan C) memberikan pengaruh nyata (p<0.05) terhadap karakteristik aroma temu ireng. Formula sabun A, formula sabun B, serta formula sabun C memberikan pengaruh berbeda terhadap karakteristik aroma temu ireng. Hasil uji mutu hedonik menunjukkan sabun formula A tidak beraroma temu ireng, sabun formula B tidak beraroma temu ireng, sedangkan sampel C agak beraroma temu ireng (Tabel 2).

Aroma temu ireng semakin tinggi seiring dengan jumah esktrak temu ireng yang ditambahkan. Aroma temu ireng terbentuk akibat adanya kandungan gugus fenolik yang bersifat aromatik (Dwi et al. 2005) sehingga terbentuk aroma khas

temu ireng. Kandungan total fenolik temu ireng 472.62 mg EAG per 100 g (Lampiran).

Daya Busa

Formula sabun berbeda (A, B, dan C) berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap karakteristik daya busa. Formula sabun A nyata memiliki karakteristik daya busa yang lebih tinggi dibandingkan dengan formula sabun C, namun formula sabun B tidak memberikan pengaruh berbeda dengan formula sabun A dan C (Tabel 2).

Karakteristik daya busa dipengaruhi oleh jenis asam lemak penyusun sabun (Yernisa et al. 2013). Ketiga formula (A, B, dan C) memiliki perbedaan komposisi

tallow yaitu sabun formula A 85%, sabun formula B 82.5%, dan sabun formula C

(21)

11 sebanyak 33.87%, asam lemak stearat 21.46%, asam lemak miristat 8.76%. Menurut Cavitch (2010), asam lemak yang menghasilkan busa adalah asam laurat dan asam miristat, sedangkan asam lemak yang menstabilkan busa adalah asam palmitat dan stearat.

Kekerasan Sabun

Karakteristik tingkat kekerasan sabun batang sangatlah penting karena konsumen beranggapan bahwa sabun batang yang keras akan lebih efisien saat pemakaian. Berikut hasil pengujian fisik karakteristik kekerasan sabun formula A, B, dan C yang disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Tingkat kekerasan sabun

Peubah A Formula SabunB a C

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan formula sabun A, B, dan C tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kekerasan sabun. Sabun formula A lebih keras dibandingkan sabun formula C, dan sabun formula C lebih keras dibandingkan sabun formula B. Asam lemak penyusun sabun sangat menentukan sifat fisik kekerasan sabun (Yernisa et al. 2013). Asam lemak yang memberikan

sifat kekerasan yaitu asam laurat, asam miristat, asam palmitat, serta asam stearat (Cavitch 2010). Tallow mengandung asam lemak palmitat (C16:0) sebanyak

33.87% dan asam lemak stearat (C18:0) sebanyak 21.46% (Dwi et al. 2013).

Minyak kelapa mengandung asam lemak laurat (C12:0) sebanyak 47.5% dan asam lemak miristat (C14:0) sebanyak 18.1% (O’Brien 2009).

Total Fenolik, Aktivitas Penghambatan terhadap Radikal Bebas DPPH dan Kapasitas Antioksidan Vitamin C dalam Sabun

Penambahan ekstrak temu ireng dalam formula sabun diharapkan dapat meningkatkan mutu sabun. Berikut merupakan hasil pengamatan terhadap kemampuan antioksidan ketiga formula sabun yang disajikan dalam Tabel 4.

Total Fenolik

Total fenolik sabun diduga mengalami peningkatan seiring dengan presentase ektrak temu ireng dalam formula sabun (Tabel 4). Antioksidan alami dapat berasal dari kandungan fenolik, komponen polifenol, vitamin dan enzim antioksidan, serta karatenoid dan karnosin (Shahidi 1997). Menurut Anesini et al. (2008) total fenolik

(22)

12

formula sabun merupakan minyak pangan yang sudah mengalami proses pemanasan dan pemurnian, sehingga diprediksi presentase total fenoliknya pun berkurang (Soraya 2007).

Presentase ekstrak temu ireng dalam sabun formula B 2.5% dan C 5%. Total fenolik sabun formula B sebanyak 9.75 mg EAG per 100 g sedangkan sabun formula C sebanyak 17.32 mg EAG per 100 g. Kandungan total fenolik dalam sabun formula B dan C berasal dari minyak kelapa serta ekstrak temu ireng yang ditambahkan. Sebagai data perbanding, temu ireng mengandung total fenolik 472.62 mg EAG per 100 g (Lampiran).

Tabel 4 Total fenolik, aktivitas penghambatan terhadap radikal bebas DPPH dan kapasitas antioksidan vitamin C sabuna

Peubah A Formula SabunB b C

Total fenolik

(mg EAG per 100 g sample) 5.21 9.75 17.32

Aktivitas penghambatan terhadap

radikal bebas DPPH (%) 0.00±0.00b 0.56±0.79b 24.01±6.35a Kapasitas antioksidan vitamin C

(mg EVC per 100 g BK Sampel) 10.24 13.07 73.47

Keterangan : aAngka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda

menunjukan perbedaan nyata (p<0.05).

b A : 85% tallow + 15% minyak kelapa (kontrol); B : 82.5% tallow + 2.5%

ekstrak temu ireng + 15% minyak kelapa; C : 80% tallow + 5% ekstrak

temu ireng + 15% minyak kelapa. EAG : Ekuivalen Asam Galat EVC : Ekuivalen Vitamin C

Aktivitas penghambatan terhadap radikal bebas DPPH

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa formula sabun berbeda berpengaruh nyata terhadap aktivitas penghambatan terhadap radikal bebas DPPH. Uji Tukey menujukan bahwa sampel sabun formula A dan B memberikan pengaruh berbeda (p<0.05) dengan sabun formula C terhadap aktivitas penghambatan terhadap radikal bebas DPPH (Tabel 4). Sabun formula C dengan presentase ekstrak temu ireng 5% memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibanding sampel yang lain (Tabel 4).

Kondisi ekstrak temu ireng yang mengandung banyak minyak atsiri membuat adanya lapisan terpisah pada ekstrak sesuai dengan pernyataan Istianto (2007) bahwa campuran minyak atsiri dan air akan terpisah dimana minyak atsiri berada pada lapisan atas. Terpisahnya minyak atsiri dalam ekstrak diduga mengakibatkan proporsi minyak atsiri yang lebih banyak pada akhir penggunaan (formula sabun C). Minyak atsiri dalam temu ireng mengandung curzerenone (41.63%), 1,8-cineole (9.64%) dan β-pinene (7.71%) (Jarikasem et al. 2005). Aktivitas

(23)

13 Kapasitas Antioksidan Vitamin C

Hasil pengujian kapasitas antioksidan vitamin C pada sabun menunjukkan bahwa semakin banyak ekstrak temu ireng yang ditambahkan akan meningkatkan kapasitas antioksidan (Tabel 4). Sabun formula C memiliki nilai kapasitas antioksidan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sabun formula A dan B. Kapasitas antioksidan sabun formula C sebesar 73.47 mg EVC per 100 g BK sampel (Tabel 4) mendekati kapasitas antioksidan temu ireng sebesar 87.52 mg EVC per 100 gBK sampel (Lampiran).

Kapasitas antioksidan temu ireng seharusnya jauh lebih besar jika dibandingkan dengan hasil yang didapatkan, hal ini mungkin terjadi karena sifat pelarut (metanol) yang polar sedangkan menurut Dwi et al. (2005) senyawa

flavonoid bersifat kurang polar. Santosa dan Purwantini (2003) menyatakan minyak atsiri bersifat cenderung non polar, sehingga saat proses ekstraksi dengan pelarut yang bersifat polar zat aktif yang dikandung kurang terekstraksi dengan sempurna.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Sabun dengan formula tallow dan ekstrak temu ireng yang berbeda, ketiganya

memenuhi syarat mutu sabun menurut SNI 06-3532-1994 pada peubah kadar air, jumlah asam lemak, alkali bebas, asam lemak bebas, dan minyak mineral, namun tidak memenuhi syarat mutu jumlah lemak tak tersabunkan. Penambahan ekstrak temu ireng pada taraf 5% merupakan sabun dengan formula terbaik karena memiliki karakteristik sabun yang lebih baik dari pada sabun kontrol dan penambahan 2.5% ekstrak temu ireng dengan total fenolik, aktivitas penghambatan terhadap radikal bebas dan kapasitas antioksidan sabun yang lebih tinggi dibandingkan sabun kontrol dan penambahan ekstrak 2.5%.

Saran

Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk meminimalkan jumlah lemak taktersabunkan dalam produk sabun.

DAFTAR PUSTAKA

Aini N, Purwono B, Tahir I. 2007. Analisa hubungan struktur aktivitas antioksidan dari isoeugenol, eugenol, vanillin dan turunannya. Indo. J. Chem 7(1)61-66.

Anesini C, Ferraro GE, Filip R. 2008. Total polyphenol content and antioxidant capacity of commercially availeble tea (Camellia sinensis) in Argentina. J.

Agric. Food Chem. 56(16):9225-9229.

Andre OB, Howard IM. 2001. Handbook of Cosmetic Science and Technology.

(24)

14

Bernadeta W R, Rini D, Lucia W W. 2012. Aplikasi spektrofotometri visibel untuk menggukur kadar curcuminoid pada rimpang kunyit (Curcuma domestica).

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi (SNAST) III.

Yogyakarta (ID) : ISSN

[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2004.

Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia. Volume ke-1. Jakarta (ID):

BPOM RI.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1994. SNI 06-3532-1994. Sabun Mandi.

Jakarta (ID) : Badan Standarisasi Nasional.

Chan EWC, Lim YY, Wong LF, Lianto FS, Wong SK, Lim KK, Joe CE, Lim TY. 2008. Antioxidant and tyrosinase inhibition properties of leave and rhizome of ginger species. Food Chemistry 109 (2008):477-483.

Cavitch SM. 1997. The Natural Soap Book Making Herbal and Vegetable Based

Soaps. North Adams (US) : Storey Book.

Cavitch SM. 2010. The Soapmaker’s Companion a Comprehensive Guide with

Recipes, Tecniques and Know How. North Adams (US) : Storey Book.

Dwi KN, Matsjeh S, Dwi TS. 2005. Isolasi dan identifikasi senyawa flavonoid dalam rimpang temu ireng (Curcuma aeruginosa Roxb.). Biofarmasi

3(1):32-38.

Dwi RNA, Toni RA, Taslim, Iriany. 2013. Produksi biodisel dari lemak sapi dengan proses transesterifikasi dengan katalis basa NaOH. Jurnal Teknik Kimia USU

2(1).

Hanarya SJ. 2009. Gambaran imunohistokimia antioksidan superoksida dismutase pada jaringan hati tikus diabetes mellitus yang duberi virgin coconut oil (VCO) [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Hambali E, Surtani A, Indriani EU. 2005. Kajian pengaruh penambahan lidah buaya

(Aloe vera) terhadap sabun transparan. J. Tek. Ind. Pert. 14(2):74-79.

Idrus A, Harismah K, Sriyanto A. 2013. Pemanfaatan kemangi (Ocimum sanctum)

sebagai substitusi aroma pada pembuatan sabun herbal antioksidan.

Simposium Nasional Teknologi Terapan (SNTT). Surakarta (ID): ISSN

2339-028X.

Istianto M. 2007. Perkembangan dan kemampuan reproduksi tungau Panonychuc

citri McGregor (Acarina:Tetranychidae) yang resisten dan peka terhadap

akarisida. J. Hort. 17(2):181-187.

Kamikaze D. 2002. Studi awal pembuatan sabun menggunakan campuran lemak abdomen sapi (tallow) dan curd susu afkir [skripsi]. Bogor (ID) : Institut

Pertanian Bogor.

Ketaren S. 1996. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta (ID) :

UI Pr.

Leat WMF. 1976. Meat Animals. Growth and Productivity. Laster D, Rhodes DN,

Fowler VR, Fuller MF, editor. New York (US) and London (GB): Plenum Pr. Maijon P, Laconi EB, Ketaren PP, Wijaya CH, Hardjosworo. 2009. Kualitas sensori dan komposisi asam lemak daging itik lokal jantan dengan suplementasi santoquin, vitamin E dan C dalam ransum. JITV 15(1):47-55.

Muthalib RA. 2003. Karakteristik karkas dan daging turunan F1 empat bangsa

(25)

15 Ngadiono N, Murdjito G, Agus A, Supriyana U. 2008. Kinerja produksi sapi peranakan ongol jantan dengan pemberian dua jenis konsentrasi yang berbeda.

J. Indo.Trop. Anim. Agric. 33(4).

O’Brien R. 2009. Fat and Oils : Formulating and Processing for Applications. New

York (US) : CRC Press.

Piyali G, Bhirud RG, Kumar VV. 1999. Detergent and foam studies on linear alkylbenzene sulfonate and foam alkyl sulfonate. Journal of Surfactants and

Detergents 2(4):489-493.

Santosa D, Purwantini I. 2003. Aktivitas antifungi (Candida albians) beberapa

tanaman yang secara empirik digunakan sebagai obat keputihan. Jurnal

Bahan Alam Indonesia ISSN 1412-28855 2(3).

Shahidi F. 1997. Natural Antioxidant : Chemistry, Healty Effect, and Aplication.

United States (US). AOCS Pr.

Soraya N. 2007. Kajian aplikasi virgin coconut oil dan dietanolamida pada formula sabun transparan [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Srivastava S, Chitranshi N, Srivastava S, Dan M, Rawat AKS. 2007. Pharmacognostic evaluation of Curcuma aeruginosa Roxb Curcuma. Natural

Product Sciences 12(3):162-165.

Steel RGD, Torrie JH. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. Sumantri B,

Penerjemah. Jakarta (ID): PT Gramedia.

Suryati T, Astawan M, Lieo H N, Wesdiyati T. 2012. Curing ingredients, characteristics, total phenolic, and antioxidant activity of commercial Indonesian dried meat product (dendeng). Media Peternakan , Agustus 2012,

pp.111-116.

Tangkanakul P, Auttaviboonkul P, Niyomwit B, Lowvitoon N, Charoenthamawat P, Trakoontivakorn G. 2009. Antiokxidant capacity, total phenolic conten and nutritional composition of Asian foods after thermal processing.

International Food Research Journal 16(2009):571-580.

[USDA] United States Department of Agriculture. 1989. Official United States

Standards for Grades of Carcass Beef. C&MS. Washington, DC (US): United

States Departement of Agriculture.

Wahyuni. 2006. Potensi serbuk temu hitam sebagai obat cacing dan peningkatan produksi susu serta kesehatan sapi Perah [skripsi]. Surabaya (ID): Airlangga University Library.

Warra AA, Hasan LG, Gunu SY, Jega SA. 2010. Cold-process synthesis and properties of soap prepared from different triacylglycerol sources. Nigerian

Journal of Basic and Applied Science 18(2):315-321.

Yenisa, Gumbira ES, Syamsu K. 2013. Aplikasi perwarna bubukan alami dari ekstrak biji pinang (Areca catechu) pada pewarnaan sabun transparan. Jurnal

(26)

16

LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil analisis ragam kadar air sabun

Sumber Keragaman Db JK KT Fhitung F0.05

Perlakuan 2 0.4991 0.2495 0.71 0.537

Galat 5 1.7661 0.3532

Total 7 2.2652

Lampiran 2 Hasil analisis ragam nilai pH

Sumber Keragaman Db JK KT Fhitung F0.05

Perlakuan 2 0.04759 0.02379 19.67 0.004

Galat 5 0.00605 0.00121

Total 7 0.05364

Lampiran 3 Hasil analisis ragam jumlah asam lemak

Sumber Keragaman Db JK KT Fhitung F0.05

Perlakuan 2 149.604 74.802 23 0.003

Galat 5 16.259 3.252

Total 7 165.863

Lampiran 4 Hasil analisis ragam alkali bebas

Sumber Keragaman db JK KT Fhitung F0.05

Perlakuan 2 0.00029 0.00014 0.96 0.456

Galat 5 0.00061 0.00015

Total 7 0.00091

Lampiran 5 Hasil analisis ragam lemak taktersabunkan

Sumber Keragaman db JK KT Fhitung F0.05

Perlakuan 2 3.6156 1.8078 7.25 0.033

Galat 5 1.2463 0.2393

Total 7 4.8619

Lampiran 6 Hasil analisis ragam aktivitas penghambatan terhadap radikal bebas DPPH

Sumber Keragaman Db JK KT Fhitung F0.05

Perlakuan 2 1061.17 530.58 32.67 0.001

Galat 5 81.22 16.24

Total 7 1142.38

Lampiran 7 Kurva standar asam galat

y = 86.14x + 0.0598 R² = 0.999 0

0,5 1

0 0,001 0,002 0,003 0,004 0,005 0,006 0,007 0,008 0,009

(27)

17 Lampiran 8 Kurva standar vitamin C

Lampiran 9 Hasil pengujian total fenol, aktivitas penghambatan terhadap radikal bebas DPPH, dan kapasitas vitamin C temu ireng

Peubah Ekstrak metanol temu ireng Total fenolik

(mg EAG per 100 g sample) 472.62 Aktivitas penghambatan terhadap

radikal bebas DPPH (%) 30.56

Kapasitas antioksidan vitamin C (mg

EVC per 100g BK Sampel) 87.52

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Klaten pada tanggal 1 Oktober 1992 dari pasangan Bapak Sukarno dan Ibu Suparni. Penulis merupakan anak pertama dari 3 bersaudara. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bogor dan pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan terdaftar sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengikuti kegiatan organisasi. diantaranya Bendahara II HIMAPROTER IPB 2011/2012 dan Bendahara Umum HIMAPROTER IPB 2012/2013. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Dasar Teknologi Ternak 2012/2013 dan mata kuliah Hasil Ikutan Ternak 2013/2014.

y = 18.557x - 3.9245 R² = 0.9657

-20 0 20 40 60

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

A

bsor

ba

nsi

Konsentrasi vit C

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengamatan di SD NEGERI SALATIGA 10 menunjukkan adanya beberapa masalah dalam proses belajar mengajar yaitu kurangnya minat siswa dalam mengikuti pembelajaran yang

Pelaksanaan sertifikasi bagi guru tahun 2016 pada Subrayon Universitas Riau berdasarkan Keputusan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 296/ M/ KPT/ 2016

(1) Bidang Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat, Lembaga Kemasyarakatan, Lembaga Adat dan Masyarakat Hukum Adat dipimpin oleh seorang Kepala Bidang yang berada di bawah dan

The objectives of the study are (1) To know how teachers’ characteristics may influence students’ behavior, (2) To know the behavior and language of students at SMA

Konsumen kami secara umum atau general tidak dipungut usia, tetapi lebih kepada anak- anak, para remaja maupun orang dewasa yang mengikuti yang banyak dan

Pengembangan media convertible book berbasis scientific approach untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan karakter tanggung jawab belajar siswa kelas IV

Otpor kotrljanja kotača (automobilske gume) po podlozi F R ... Maksimalna sila automobilske gume ... PERFORMANSE VOZILA ... Maksimalna brzina ... Svladavanje maksimalnog uspona

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan nyata (a=5%) pada wama dan tingkat kesukaan panelis terhadap warna, dan ada perbedaan nyata pada kadar air,